Вы находитесь на странице: 1из 49

Laporan Kasus RESUSITASI CAIRAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK AKIBAT PERDARAHAN

Oleh: Carissa Ayu Z. Rau 0810713058

Pembimbing: Dr. Ristiawan Muji, Sp.An

Laboratorium/SMF Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang 2013


1

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat

berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Keseimbangan airini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran. Air tubuh terdapat didalam sel (intrasel) dan diluar sel (ekstrasel).Cairanextraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi yang sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah kloridadan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan magnesiumsedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat. Biasanya perubahankomposisi plasma darah mencerminkan perubahan yang terjadi dalam semua cairantubuh. Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagimenjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangancairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal yang disebabkanoleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan masukkan cairan atau peningkatanpengeluaran cairan. Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dankehilangan yang tetap berlangsung secara normal. Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikansecara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula diberikan secara intravena. Dalam pelaksanaannya pemberian cairan secara intravenapada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis cairan, jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan gejala klinik lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat kematangansistem pengaturan air dan elektrolit. Syok Hipovolemik Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yangtidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yangcepat (syok haemoragik) Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan

perdarahangastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada
2

syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yangakut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organpadat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakanakibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari referat ini adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya. Referat ini dianjurkanuntuk mendiskusikan tentang patofisiologi dan penanganan syok hipovolemik akibat kehilangan cairan dibandingkan darah. Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun1900an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasisyok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dandarah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien yangkondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting pada cedera yangmenyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain membantu padaperkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik traumatik. Namun, peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang, muncul kontraversiseputar penangan minimal pada syok haemoragik. Berdasarkan latar belakang di atas, maka tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita syok hipovolemik penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus.

1.2

Rumusan Masalah Bagaimana pemberian terapi cairan pada pasien dengan syok hipovolemik pada

perdarahan? 1.3 Tujuan Penulisan Mengetahui pemberian terapi cairan pada pasien dengan syok hipovolemik pada perdarahan.

1.4

Manfaat Penulisan Pada penulisan laporan kasus ini diharapkan daat meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai pemberian terapi cairan pada pasien dengan syok hipovolemik khususnya pada perdarahan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Trauma Tumpul Abdomen Definisi Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak

diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk.

2.1.2

Etiologi dan Faktor Resiko Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan

oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen. Kunci sukses untuk penanganan Should be trauma assumed abdomen (harus adalah high index trauma organ suspicion visceral dianggap)

menderita

Dokter pemeriksa harus menentukan ada trauma organ intra abdomen atau tidak, dan harus menentukan apakah perlu intervensi operasi segera atau tidak 75 90% abdominal gunshot wounds membutuhkan laparotomy segera, 25 35% dengan abdominal stab wounds, hanya 15 20% dengan blunt abdominal trauma Trauma merupakan penyebab tertinggi kematian pada orang dewasa yang berusia dibawah 40 tahun dan menduduki peringkat ke 5 penyebab kematian pada semua orang dewasa. Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :

1.

Paksaan /benda tumpul Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka

tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

3.

Trauma tembus Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka

tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak. Organ pada abdomen yang terkena kerusakan terbagi atas dua (Swearingen & Kose, 1999), yaitu : Organ Padat / solid yaitu : hati, limpa dan pancreas Organ berlubang (hollow) yaitu : lambung, usus dan kandung kemih

2.1.3

Patofisiologi Trauma tumpul pada abdomen disebabkan oleh pengguntingan, penghancuran atau

kuatnya tekanan yang menyebabkan rupture pada usus atau struktur abdomen yang lain. Luka tembak dapat menyebabkan kerusakan pada setiap struktur didalam abdomen. Tembakan menyebabkan perforasi pada perut atau usus yang menyebabkan peritonitis dan sepsis. Patofisiologi yang terjadi berhubungan dengan terjadinya trauma abdomen adalah : 1. Terjadi perpindahan cairan berhubungan dengan kerusakan pada jaringan, kehilangan darah dan shock. 2. Perubahan metabolic dimediasi oleh CNS dan system makroendokrin, mikroendokrin. 3. Terjadi masalah koagulasi atau pembekuan dihubungkan dengan perdarahan massif dan transfuse multiple 4. Inflamasi, infeksi dan pembentukan formasi disebabkan oleh sekresi saluran pencernaan dan bakteri ke peritoneum 5. Perubahan nutrisi dan elektrolit yang terjadi karena akibat kerusakan integritas rongga saluran pencernaan. Limpa : Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa. Liver : Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan dihati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu.
6

Esofagus bawah dan lambung : Kadang-kadang perlukaan esofagus bawah disebabkan oleh luka tembus. Karena lambung fleksibel dan letaknya yang mudah berpindah, sehingga perlukaan jarang disebabkan oleh trauma tumpul tapi sering disebabkan oleh luka tembus langsung. Pankreas dan duodenum : Walaupun trauma pada pankreas dan duodenum jarang terjadi. Tetapi trauma pada abdomen yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi disebkan oleh perlukaan di pankreas dan duodenum, hal ini disebabkan karena letaknya yang sulit terdeteksi apabila terjadi kerusakan.

2.1.4 1.

Tanda dan Gejala Nyeri Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.

2.

Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi

3.

Cairan atau udara dibawah diafragma

Yang disebabkan oleh nyeri dibahu adalah : 1. Kehrs sign Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. 2. 3. Mual dan muntah Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi

2.1.5

Pemeriksaan Diagnostik

1.

Foto thoraks Untuk melihat adanya trauma pada thorax.

2.

Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya

perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang


7

meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar. 3. Plain abdomen foto tegak Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus 4. Pemeriksaan urine rutin Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital. 5. VP (Intravenous Pyelogram) Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal. 6. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard). Indikasi untuk melakukan DPL sbb.: Nyeri Abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya Trauma pada bagian bawah dari dada Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak) Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang) Patah tulang pelvis Kontra indikasi relatif melakukan DPL sbb.: Hamil Pernah operasi abdominal Operator tidak berpengalaman Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan

7.

Ultrasonografi dan CT Scan Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan

disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.

2.1.6 A)

Pemeriksaan Khusus Abdominal paracentesis Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.

B)

Pemeriksaan laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya.

C)

Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi.

2.1.7 1.

Penatalaksanaan Medis Abdominal paracentesis menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi Pemeriksaan laparoskopi mengetahui secara langsung peneyebab akut abdomen Pemasangan NGT memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen Pemberian antibiotik mencegah infeksi Laparotomi

2. 3.

4. 5.

2.2 2.2.1

Perdarahan Definisi

Perdarahan

(haemorrhage)

adalah

kehilangan

darah

pada

sistem

sirkulasi.

Perdarahan dapat terjadi internal, dimana darah keluar karena kebocoran pembuluh darah di dalam tubuh, eksternal melalui pengeluaran alami dari vagina, mulut, atau anus, atau karena kerusakan dari kulit. Perdarahan yang terjadi dapat bervariasi mulai dari perdarahan minor yang ringan sampai perdarahan emergensi yang melibatkan keselamatan jiwa. Efek atau akibat dari perdarahan itu sendiri tergantung dari jumlah dan rata-rata kehilangan darah yang terjadi. Perdarahan yang terjadi perlahan-lahan tidak langsung menurunkan volume darah dalam tubuh. Manusia dapat mentoleransi kehilangan darah, tetapi jika kehilangan volume darah sekitar 20% atau sekitar 1 liter, maka akan menurunkan tekanan darah dan dapat menyebabkan seseorang jatuh saat berdiri. Perdarahan merupakan salah satu

komplikasi dari operasi. Penanganan perdarahan merupakan modalitas yang penting bagi ahli bedah untuk menangani masalah perdarahan akut dan kronik yang terjadi pada pasien. Komplikasi pada pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut atau karena adanya infeksi. Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan yang lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. 2.2.2 Klasifikasi Perdarahan dibagi dalam 4 kelas oleh American College of Surgeons Advanced Trauma Life Support (ATLS) yaitu: 1. Kelas I, perdarahan meliputi 15% dari volume darah. Biasanya tidak terdapat perubahan pada tanda vital, dan resusitasi cairan biasanya belum diperlukan. 2. Kelas II, perdarahan meliputi 15-30% dari total volume darah. Pasien biasanya mengalami takikardi dan terjadi penyempitan jarak antara tekanan darah sistole dan diastole. Tubuh berusaha mengkompensasi dengan vasokonstriksi perifer. Kulit mulai terlihat pucat dan dingin saat disentuh. Diperlukan resusitasi dengan larutan kristaloid seperti Ringer Laktat dan NaCl. Transfusi darah belum diperlukan. 3. Kelas III, kehilangan darah meliputi 30-40% dari volume darah sirkulasi. Tekanan darah pasien menurun, denyut nadi meningkat, terjadi perfusi perifer, seperti memburuknya pengisian kapiler dan status mental. Diperlukan resusitasi cairan dengan larutan kristaloid serta diperlukan transfusi darah. 4. Kelas IV, kehilangan darah meliputi >40% dari volume darah sirkulasi. Saat ini batas kompensasi tubuh telah dicapai dan resusitasi agresif diperlukan untuk mencegah kematian2. 2.2.3 Trauma Pembuluh Darah Kehilangan darah dalam jumlah besar pada operasi dapat terjadi karena kerusakan pada pembuluh darah. Trauma pembuluh darah yang paling berbahaya dan dapat menjadi masalah serius apabila terjadi pada bagian atas dan bawah vena jugularis, vena subclavia, atau dari arteri carotis. Oleh karena itu pembedahan pada daerah leher paling berbahaya. Jika hal ini terjadi dapat dilakukan ligasi dari arteri tersebut untuk menghentikan perdarahan. Kehilangan darah dapat diatasi dengan hemostat selama operasi. Dapat juga dilakukan pengikatan atau kauterisasi sebanyak mungkin pembuluh darah yang mengalami trauma saat operasi. Kauterisasi dapat menyebabkan nyeri pada pasien, sehingga perlu penambahan anestesi lokal pada operasi untuk mengurangi perdarahan akibat nyeri. Dapat
10

diberikan lidokain spray dengan epinefrin intraoperatif untuk mengontrol perdarahan dan nyeri. Biasanya pasien dengan hematokrit yang normal pada pemeriksaan sebelum operasi tidak akan membutuhkan transfusi darah postoperatif. 2.2.4 Penyembuhan luka Selain karena trauma pada pembuluh darah, salah satu faktor yang menyebabkan perdarahan adalah proses penyembuhan luka yang tidak berfungsi dengan baik. Proses penyembuhan luka dapat didefinisikan sebagai perbaikan dari diskontinuitas jaringan setelah mengalami trauma. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga proses penyembuhan luka tidak berfungsi dengan baik, yaitu: 1. Infeksi Kontaminasi bakteri pada luka akan memperlambat penyembuhan luka. Infeksi juga dapat menurunkan produksi fibroblast. 2. Benda asing Adanya benda asing pada luka seperti kapas yang tertinggal akan menyebabkan menurunnya tekanan oksigen pada daerah luka yang akan menyebabkan

perpanjangan proses inflamasi sehingga akan terjadi kerusakan jaringan. 3. Oksigen Oksigen dibutuhkan untuk sintesis kolagen untuk hidroksilasi prolin dan lisin. Rendahnya kadar oksigen pada luka akan menyebabkan makrofag memproduksi faktor angiogenik yang akan menarik pembuluh darah menuju daerah luka untuk meningkatkan oksigen. 4. Merokok Merokok menyebabkan kurangnya oksigen pada darah, lebih jauh nikotin akan menyebabkan vasokonstriksi yang akan menyebabkan hipoksia lokal sehingga proses penyembuhan terhambat. 5. Tekanan Luka yang dijahit terlalu ketat akan menyebabkan iskemik dan nekrotik. 6. Suplai darah Suplai darah yang adekuat diperlukan untuk menyediakan oksigen dan nutrisi pada penyembuhan luka. 7. Temperatur Hipotermia memperlambat penyembuhan luka, hal ini mengacu pada proses hemodinamik dari darah. 8. Status nutrisi

11

Pasien dengan luka yang kronik membutuhkan nutrisi untuk memuaskan peningkatan kebutuhan metaboliknya. 9. Protein dan karbohidrat Proses penyembuhan membutuhkan protein dan karbohidrat sebagai energi untuk proses glukoneogenesis. 10. Defisiensi vitamin Vitamin yang diperlukan adalah vitamin A, C, K, B, dan E. Terutama vitamin K yang diperlukan untuk sintesis faktor pembekuan seperti faktor VII, IX, dan X. Defisiensi dari vitamin ini akan menyebabkan masalah pedarahan. 11. Usia Proses penyembuhan akan mengalami perlambatan akibat bertambahnya usia, karena proses metabolisme, proliferasi, dan kontraksi sel akan menurun. Sintesis kolagen dan aktivitas fibroblast juga akan menurun. 12. Obat-obatan Penggunaan obat-obatan seperti anti inflamasi, sitotoksik, antikoagulan,

imunosupresan, dan penisilamin akan memperlambat proses penyembuhan luka. Terutama antikoagulan misalnya warfarin dan heparin, akan menghambat koagulasi. Warfarin akan menghambat vitamin K yang bertindak sebagai koenzim dalam sintesis protrombin. Heparin akan mengikat antitrombin III dan menyebabkan inaktivasi trombin dan mencegah pembentukan fibrin. Jika obat-obatan ini dikonsumsi pasien sebelum operasi dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.

Hematoma dapat menjadi komplikasi post operatif yang serius. Perdarahan luka dapat terjadi karena kegagalan hemostasis. Luka operasi tidak boleh ditutup sebelum lapangan operasi sempurna kering. Jika perdarahan disebabkan oleh diatesis (susunan atau kondisi, kecenderungan untuk terjadinya suatu penyakit), hemoragik ini berarti antisipasi sebelum operasi tidak memadai; gangguan fungsi pembekuan darah harus dikoreksi sebelum operasi dimulai. Jika perdarahan aktif muncul pada periode post operatif, pasien harus dievaluasi ulang di kamar operasi, dan dengan teknik steril, harus dilakukan pembukaan ulang luka operasi, dan mencari penyebab perdarahan. Jika dari pembuluh darah maka dilakukan ligasi dari pembuluh darah tersebut Gangguan hemostasis Gangguan hemostasis merupakan salah satu penyebab pendarahan pada

pembedahan. Berkat proses hemostasis darah yang keluar dari pembuluh darah akan berubah bentuk dari cair manjadi trombus atau gumpal darah sehingga dapat berfungsi sebagai sumbat pada kebocoran pembuluh darah. Perubahan bentuk darah di luar pembuluh darah terjadi karena terbentuknya jaring-jaring fibrin yang akan menjerat ujung
12

robekan dinding pembuluh darah dan menyambungnya kembali. Untuk menetapkan diagnosis pada masalah hemostasis perlu anamnesis serta pemeriksaan fisik yang cermat diikuti dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis yang tepat penting untuk menentukan strategi penatalaksanaan penderita.

2.2.5

Diagnosis Pada praktek sehari-hari harus ditentukan apakah perdarahan berdasarkan kelainan

hematologik, yaitu pendarahan non bedah, atau merupakan pendarahan karena kerusakan pembuluh darah, yang disebut perdarahan bedah. Anamnesis: Data penting yang dapat diperoleh melalui anamnesis antara lain adalah riwayat gangguan hemostasis sebelumnya, riwayat perdarahan abnormal dalam keluarga, dan penggunaan obat yang dapat menghambat proses hemostasis. Selanjutnya anamnesis mengenai riwayat perdarahan yang berlebihan setelah trauma, haid yang lama dengan perdarahan yang banyak, perdarahan pascabedah atau pascaekstraksi gigi. Riwayat perdarahan pada keluarga terutama amat bermanfaat untuk mengetahui adanya penykit gangguan hemostasis bawaan. Mengenai penggunaan obat, ditanyakan apakah penderita makan antikoagulan atau antiagregasi trombosit. Keadaan atau penyakit yang cenderung diikuti gangguan hemostasisantara lain adalah penyakit hati, uremia, transfusi masif, sindrom malabsorbsi atau malnutrisi yang disertai hipovitaminosis K dan C, dan penggunaan antiagregasi trombosit seperti asidum salisilikum atau inti koagulan. Pemeriksaan fisis: Pemeriksaan fisis penting untuk mengetahui berat ringan, jenis, serta penyebab gangguan hemostasis yang terjadi. Gangguan pada sistem hemostasis primer yang mengakibatkan gangguan pembentukan trombus. Trombosit, biasanya mengakibatkan perdarahan kulit, dan mukosa seperti di hidung, gusi, traktus urogenital dan traktus gastrointestinal, dan perdarahan selama atau segera setelah pembedahan. Gangguan sistem koagulasi yang mengakibatkan gangguan pembentukan fibrin

menimbulkan perdarahan jaringan seperti di otot dan sendi, dengan tanda ekimosis atau hematom yang biasanya menyebabkan benjolan yang dapat diraba. Perdarahan pascabedah timbul beberapa saat setelah pembedahan. Penyakit yang cenderung diikuti gangguan hemostasis dan tersering dijumpai di Indonesia adalah sirosis hepatitis. Pemeriksaan laboratorium: Pengandalan seluruhnya pada hasil pemeriksaan laboratorium penyakit dapat mendatangkan kesulitan karena dapat dijumpai keadaan negatif palsu. Pemeriksaan penunjang harus meliputi pemeriksaan penapis sistem hemostasis primer yaitu hitung trombosit dan masa perdarahan serta pemeriksaan penyaring koagulasi yaitu masa protrombin dan masa trombinplastin parsial. Untuk menentukan diagnosis, terpenting adalah anamnesis dan hasil pemeriksaan fisis. Apabila hasil pemeriksaan
13

tersebut mengarah pada kemungkinan gangguan hemostasis maka pemeriksaan harus dilanjutkan walaupun hasil pemeriksaan penapis normal. 2.2.6 Pencegahan

Pencegahan perdarahan intraoperatif Perdarahan selama pembedahan dapat membahayakan jiwa pasien dan menyulitkan jalannya proses pembedahan. Oleh karena itu tindakan berikut sangat diperlukan untuk mencegahnya: Tentukan sistem hemostasis pasien, perdarahan yang mengganggu visualisasi tampaknya merupakan komplikasi intraoperatif yang paling sering terjadi. Anamnesis harus meliputi pertanyaan mengenai kemungkinan perdarahan selama pembedahan, fungsi hati, penggunaan obat-obatan antikoagulan dan anti platelet, atau riwayat keluarga dengan kelainan perdarahan. Lakukan skreening tes sebelum operasi meliputi hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan morfologinya, (PT), (APTT), dan fibrinogen. Tindakan dan terapi tergantung dari hasil tes, seperti : o PT dan APTT normal: abnormalitas tersering yang dapat terjadi adalah penurunan aktivitas trombosit, baik trombositopenia atau disfungsi trombosit. Terapi yang dapat diberikan adalah transfusi trombosit. Penyebab abnormalitas lain yang dapat terjadi adalah defisiensi faktor XIII atau defisiensi fibrinogen. o PT normal, APTT tidak normal: biasanya karena pengaruh dari obat-obatan (heparin), penyakit von Willebrand, atau defisiensi faktor pembekuan, seperti hemofilia, harus diduga dan ditangani secara dini. o o PT tidak normal, APTT normal: terdapat penyakit pada hati atau terdapat antikoagulan warfarin, diterapi dengan vitamin K dan FFP. PT dan APTT tidak normal: langkah pertama adalah mengulangi hasil tes tersebut , jika hal ini tidak muncul, maka terjadi reduksi berat faktor pembekuan multipel, dan malnutrisi berat dengan penurunan faktor pembekuan yang tergantung vitamin K, DIC (disseminated intravasculer coagulation), hemodilusi berat, atau sindrom nefrotik dapat terjadi. Persiapan operasi yang baik, berikan sedasi yang adekuat, kontrol tekanan darah, atur anestesia dan pemberian vasokonstriksi. Hentikan aspirin dan obat-obatan anti inflamasi non steroid. Berikan kortikosteroid untuk perbaikan vaskularisasi.

14

Pemberian antibiotik preoperatif akan mengurangi reaksi inflamasi jaringan. Jika hal diatas dapat dilakukan sebelum pembedahan dimulai, maka resiko perdarahan selama pembedahan dapat dikurangi.

2.3 2.3.1

Syok Hipovolemik Definisi Syok adalah suatu sindrom klinis yang terbentuk atau dihasilkan dari kondisi perfusi

jaringan yang tidak adekuat. Penyebabnya terkadang tidak saling berhubungan langsung, misalnya hipoperfusi menginduksi ketidakseimbangan antara jumlah pengiriman dan kebutuhan oksigen atau substrat yang dibutuhkan yang akan menyebabkan disfungsi selular. Kelemahan tingkat seluler ini akhirnya menginduksi produksi dan pelepasan mediator inflamasi yang kemudian akan mempengaruhi perfusi dengan cara lain seperti merubah fungsi dan struktur di tingkat mikrovaskular. Hal ini akan menghasilkan suatu lingkaran setan pada proses perfusi yang akan berdampak pada abnormalitas distribusi aliran darah, lebih lanjut dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan apabila proses ini tidak diintervensi akan menyebabkan kematian. Manifestasi klinis dari shock ini adalah suatu hasil, atau suatu bagian, dari respon neuroendokrin autonom terhadap hipoperfusi seiring dengan kegagalan fungsi organ yang diinduksi oleh disfungsi selular tadi. Syok adalah suatu sindrom akut yang timbul karena disfungsi kardiovaskular dan ketidakmampuan sistem sirkulasi memberi O2 dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan metabolisme organ vital. Syok menyebabkan perfusi jaringan tidak adekuat / hipoksia selular, metabolisme selular abnormal, dan kerusakan homeostatis mikrosirkulasi. Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut: o o o Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek. Syok dapat diklasifikasikan sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, distributif dan syok obtruktif. Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok distributif terjadi ketika volume darah secara abnormal berpindah tempat dalam vaskular seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer. Syok Obtruktif

Ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama

diastol sehingga secara nyata

menurunkan volume sekuncup dan rendahnya curah jantung Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh
15

hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada: o o Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik terganggu. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menyebabkan kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan. o Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada: Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis. Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

2.3.2

Patofisiologi Syok hipovolemik disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan

menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir sistol yang akibatnya juga menyebabkan menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh darah dimana terjadi vasokontriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin memburuk. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada ileus obstruksi dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.

16

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organorgan vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensinaldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang.

2.3.3

Manifestasi Klinis Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,

besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor). Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri.
17

Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat. Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.

Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik. Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas,

pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya. Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.

a.

Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%) Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
18

Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan. Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%

b.

Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%) Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan . Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.

c.

Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%) Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi. Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik. Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.

d.

Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%) Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat. Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

2.3.4

Stadium Syok Hipovolemik

Syok Reversibel dini dan kompensasi Mean arterial pressure turun 10 15 mmHg Berkurangnya volume darah sirkulasi (25 35%) 1000 ml Sistem saraf pusat terangsang; keluarnya katekolamin Untuk menjaga tekanan darah : terjadi peningkatan denyut jantung dan

kontraktilitasnya; meningkatnya vasokontriksi perifer

19

Sirkulasi terjaga, tetapi hanya bisa dipertahankan dalam waktu singkat tanpa membahayakan jaringan Penyebab yang mendasari syok harus diketahui dan dikoreksi atau akan berlanjut ke stadium berikutnya

Syok intermediat atau progresif MAP selanjutnya turun (20%) Bertambahnya kehilangan cairan tubuh (1800 2500 ml) Vasokontriksi berlanjut dan menimbulkan defisiensi oksigen Tubuh akan menjalani metabolisme anaerob yang membentuk asam laktat sebagai produk buangan. Tubuh meningkatkan denyut jantung dan vasokontriksi Jantung dan otak menjadi hipoksia Efek yang lebih berat terhadap jaringan lainnya yang menjadi : iskemia dan anoksia Status asidosis dengan hiperkalemia terjadi Memerlukan penanganan yang cepat

Syok refrakter atau ireversibel Jaringan anoksia, kematian sel tersebar luas Bahkan dengan pengembalian tekanan darah dan volume cairan, terdapat sangat banyak kerusakan untuk mengembalikan hemostasis jaringan. Kematian seluler menimbulkan kematian jaringan, kegagalan organ vital dan kematian terjadi

2.3.5

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar hemoglobin

dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok. Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi.

2.3.6

Diagnosa Banding
20

Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat. Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oligurik, dan takikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena.

2.3.7

Penatalaksanaan Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara

lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan. 1. Memaksimalkan penghantaran oksigen Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks,

hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari. Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah. Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.

21

Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah diberikan.

Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sedang hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.

Autotransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma, darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.

2.

Kontrol perdarahan lanjut Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan.

22

Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.

Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik,

menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.

3.

Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.

Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang interstitial dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)

Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.

Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.

Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena faktafakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap
23

dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut. Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.

Obat-obatan Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta. 1. Somatostatin (Zecnil) Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit. Dosis dewasa bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya maintenance 2-5 hari jika berhasil. Pada anak-anak tidak dianjurkan. Interaksi dengan Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini. Kontraindikasi pemberian obat ini adalah orang yang Hipersensitif terhadap somatostatin Pada Kehamilan Resiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada resiko terhadap janin. Pemberian obat ini dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung. 2. Ocreotide (Sandostatin) Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas. Dosis dewasa 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg penanganan hingga 5 hari. Anak-anak 1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W. Kontraindikasinya hipersensitivitas. Resiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.
24

Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.

2.3.8

Terapi Cairan pada Syok Hipovolemik Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal.

Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas. Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah. Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akut. Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk
25

resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia. Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma (plasma expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi. Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak. Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen, terutama bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat penyimpanan. Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium

26

yang tinggi, pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3diphosphoglycerate rendah. Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah: Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan dengan penilaian kasus per kasus. Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan kebutuhan selanjutnya. Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang

menyebabkan 1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin, kondisi yang tidak stabil, nyeri; 2) penurunan penyediaan oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat, takikardia, penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi yang lebih rasional.

2.4

Managemen Cairan

Komposisi Cairan Tubuh Laki-laki Total air tubuh (%) Intraseluler Ekstraseluler - Plasma - Interstitial 60 40 20 4 16 Perempuan 50 30 20 4 16 Bayi 75 40 35 5 30

Kebutuhan Cairan Kebutuhan air pada orang dewasa setiap harinya adalah 30-35 ml/kgBB/24jam Kebutuhan ini meningkat sebanyak 10-15 % tiap kenaikan suhu 1 C Kebutuhan elektrolit Na 1-2 meq/kgBB (100meq/hari atau 5,9 gram) Kebutuhan elektrolit K 1 meq/kgBB (60meq/hari atau 4,5 gram)

27

Kebutuhan Harian Bayi Dan Anak Berat badan s/d 10 kg 11-20 kg > 20 kg 100 ml/kgBB 1000 ml + 50 ml/kgBB (untuk tiap kg di atas 10 kg) 1500 ml + 20 ml/kgBB (untuk tiap kg di atas 20 kg) Kebutuhan air (perhari)

Keseimbangan Cairan Tubuh Air masuk Minuman: 800-1700 ml Makanan: 500-1000 ml. Hasil oksidasi: 200-300 ml. Air keluar Urine : 600-1600 ml. Tinja : 50-200 ml. Insensible loss : 850-1200 ml

Kebutuhan Cairan Meningkat n demam (12% setiap 1o > 37o C) n hiperventilasi n suhu lingkungan meningkat n aktivitas berlebih n kehilangan abnormal seperti diare

Kebutuhan Cairan Menurun n hipotermia (12% setiap 1o > 37o C) n kelembaban sangat tinggi n oliguria atau anuria n tidak ada aktivitas n retensi cairan misal pada gagal jantung

Masalah yang sering ditemukan pada pre operatif adalah 1. Hipovolemia a. Aktual Perdarahan. Dehidrasi.

b. Potensial Puasa.

2. Hipervolemia

28

TERAPI CAIRAN PERI OPERATIF a. Preoperatif Pasien normohidrasi pengganti puasa (DP): 2 ml/kgBB/jam puasa bedakan dengan kebutuhan cairan per hari (30-35ml/kg/hari) cairan yang digunakan : kristaloid pemberian dibagi dalam 3 jam selama anestesi : o o o 50 % dalam 1 jam pertama 25 % dalam 1 jam kedua 25 % dalam 1 jam ketiga

b. Durante operasi Pemeliharaan: 2 ml/kg/jam Stress operasi: o o o operasi ringan : 4 ml/kgBB/jam operasi sedang : 6 ml/kgBB/jam operasi berat : 8 ml/kgBB/jam

Jenis pembedahan (menurut MK Sykes) a. b. c. Pembedahan kecil / ringan Pembedahan rutin kurang dari 30 menit. Pemberian anestesi dapat dengan masker. Pembedahan sedang. Pembedahan rutin pada pasien yang sehat. Pemberian anestesi dengan pipa endotracheal. Lama operasi kurang dari 3 jam. Jumlah perdarahan kurang dari 10% EBV Pembedahan besar. Pembedahan yang lebih dari 3 jam. Perdarahan lebih dari 10% EBV Pembedahan di daerah saraf pusat, laparatomi, paru dan kardiovaskuler

29

Perdarahan : hitung EBV jika perdarahan 10% EBV berikan kristaloid substitusi dengan

perbandingan 1 : 2-4ml cairan 10% kedua berikan koloid 1 : 1 ml cairan

> 20 % EBV berikan darah 1 : 1 ml darah

Pada anak dan bayi Pemeliharaan: 10 kg pertama 10 kg kedua Kg selanjutnya 4 ml/kgBB/jam 2 ml/kgBB/jam 1 ml/kgBB/jam

bedakan dengan kebutuhan per hari Defisit puasa (DP): cairan pemeliharaan x jam puasa Stress operasi : Ringan Sedang Berat : 2 ml/kgBB/jam : 4 ml/kgBB/jam : 6 ml/kgBB/jam

c.

Pasca operasi Terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk : a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit, nutrisi b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris) c. Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan Pada penderita pasca operasi nutrisi diberikan bertahap (start low go slow). Penderita pasca operasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan

protein 75-125 gr/hari Hipoalbuminemia edema jaringan, infeksi, dehisensi luka operasi, penurunan enzym pencernaan

1. Pasien tidak puasa post operasi. a. Kebutuhan cairan post operasi.

30

Anak BB 0-10 kg BB 10-20 kg BB > 20 kg 1000 cc / 24 jam 1000 cc + 50 cc tiap > 1 kg 1500 cc + 20 cc tiap > 1 kg

Dewasa 50 cc / kgbb/ 24 jam. Na+ K


+

b. Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa 2-4 mEq / kgbb 1-2 mEq / kgbb

c. Kebutuhan kalori basal Dewasa = BB (kg) x 20-30 Anak berdasarkan umur Umur (tahun) <1 1-3 4-6 7-10 11-18 Kcal / kgbb / hari 80-95 75-90 65-75 55-75 45-55

Pada pasien post op yang tidak puasa, pemberian cairan diberikan berupa cairan maintenance selama di ruang pulih sadar (RR). Apabila keluhan mual, muntah dan bising usus sudah ada maka pasien dicoba untuk minum sedikit-sedikit. Setelah kondisi baik dan cairan peroral adekuat sesuai kebutuhan, maka secara perlahan pemberian cairan maintenance parenteral dikurangi. Apabila sudah cukup cairan hanya diberikan lewat oral saja. Rumus Darrow BB (kg) 0-3 3-10 10-15 15-25 >25 Cairan (ml) 95 105 85 65 50

Tetesan infus: Mikro: BBx darrow /96


31

Makro: BB x darrow/24

Melihat tanda-tanda pada pasien disesuaikan dengan prosentase EBV yang hilang: TANDANYA Tensi systole 120 mmhg 100 mmhg < 90 mmhg < 60-70 mmhg

Nadi

80 x/mnt

100 x/mnt

> 120 x/mnt

> 140 x/mnt

Perfusi Estimasi perdarahan

Hangat Minimal

Pucat 600 ml

Dingin 1200 ml

Basah 2100 ml

Estimasi infus

Minimal

1-2 liter

2-4 liter

4-8 liter

Melihat tanda klinis dan sesuaikan dengan prosentase defisit. Tanda Defisit Hemodinamik Ringan 3-5 % dari BB - Tachycardia Sedang 6-8 % dari BB Jaringan Mukosa lidah Tachycardia Hipotensi ortostatik Nadi lemah Vena kolaps Lidah lunak Keriput Turgor menurun Berat 10 % dari BB - Tachycardia. - Cyanosis. - Nadi sulit diraba - Akral dingin. - Atonia, mata cowong - Turgor sangat menurun

kering Turgor kulit

normal Urine Pekat Pekat, produksi / - oligouria

jumlah menurun SSP Tak ada kelainan Apatis - Sangat menurun / coma

Problem puasa a. Pada keadaan normal kehilangan cairan berupa Insesible water losses (IWL) Sensible water losses (SWL)

Pada orang dewasa kehilangan 2250 cc yang terdiri atas 1. IWL 700 ml / 24 jam
32

(suhu lingkungan 25 oC kelembaban 50-60 %, suhu badan 36-37 oC). 2. SWL Urine 1 cc / kgbb / jam (24 cc / kg / bb / 24 jam) b. Kebutuhan elektrolit tidak terpenuhi Kebutuhan normal: c. Na+ 2-4 mEq / kgbb / 24 jam K+ 1-2 eEq / kgbb / 24 jam

Kebutuhan kalori tidak terpenuhi (Kebutuhan normal: 25 Kcal / kgbb / jam)

d. Pada operasi elektif yang dipuasakan, penggantian cairan hanya untuk maintenance saja e. Pemberian cairan pre operasi adalah untuk mengganti bila ada 1) 2) 3) f. Kehilangan cairan akibat puasa. Kehilangan cairan akibat perdarahan. Kehilangan cairan akibat dehidrasi.

Pemberian darah pre operasi di dasarkan atas pertimbangan yang matang dan apabila perlu dilakukan pemeriksaan darah lebih dahulu.

Cairan pengganti Kristaloid Koloid Darah (WB) 2-4 kali dari jumlah perdarahan. 1 kali dari jumlah perdarahan 1 kali dari jumlah perdarahan

33

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Status Pernikahan Tinggi Badan Berat Badan Register Jenis Pembedahan Jenis Anestesi : Tn. S : Laki-laki : 55 th : Das. GunungRongo RT 5/ 1 Tajinan Malang : Menikah : 170 cm : 60 kg : 1307xxx : Eksplorasi Laparotomi : General Anestesi - Intubasi

3.2 Persiapan pre-operatif 3.2.1 Anamnesis (4 Juli 2013) A: Alergi terhadap obat-obatan (+) amoxicilin. Alergi tehadap makanan (-) M: Menurut anamnesa, pasien rutin minum obat liver sejak 1 tahun yang lalu (pasien lupa jenis obat) P: Riwayat penyakit jantung (-), asma (-), sesak (-), riwayat opname (-), riwayat trauma (-). Riwayat sakit liver sejak 1 tahun yang lalu, rutin berobat di bagian penyakit dalam RSSA L: Pasien TERAKHIR MAKAN PUKUL 16.00 ( 4 jam SMRS) pasien makan nasi dan sop. E: Pasien datang ke IGD RSSA Malang tanggal 4 Juli 2013 pukul 20.00 dengan keluhan utama nyeri perut hebat. Urutan kejadiannya yaitu pasien jatuh dari tangga, dengan posisi miring, tangan pasien terlebih dahulu jatuh ke lantai, dan perut pasien terbentur ujung tangga. Setelahitu pasien merasa nyeri perut hebat hingga sesak dan dibawa ke UGD Rumah Sakit Syaiful Anwar. 3.2.2 Pemeriksaan Fisik pre-operasi (4 Juni 2013) B1: Airway paten, napas spontan,O2 10 lpm via NRBM. RR 38 x/menit, regular, simetris, retraksi (-), rhonki (-), wheezing (-), pernafasan cuping hidung, gigi geligi dbN, oklusi dbN, gerak leher bebas, Massa di leher -, trakea di tengah,

34

B2: S1S2 single regular, nadi 77 x/mnt, TD 90/55 mmHg, murmur (-), gallop (-), akral dingin, lembab, pcat, CRT >2 detik B3: GCS 456, pasien tampak gelisah, pupil bulat isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+, lateralisasi (-). B4: Produksi urin (+), urine tampung 40CC selama 1 jam, atau 0,7 cc/kgBB/jam warna kuning jernih. B5: Flat, soefl, BU (+) normal B6: Edema -/-, CRT >2 detik, close fracture (+) ulnar 3.2.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium (4 Juli 2013) Darah Lengkap Hb Leukosit Trombosit Hematokrit : 7,10 gr/dL : 2710 /l : 73.000 /l : 23,60 % (13,4-17,7) (4.300 - 10.300) (142.000 - 424.000) (40,0 47,0 %)

Faal Hemostasis PPT APTT : 20,5 (K: 12,2) detik : 35,3 (K: 26,9) detik

PTT memanjang dan APTT dalam batas normal

Serum Elektrolit Natrium Kalium Chlorida : 134 mmol/l : 4,44 mmol/l : 115 mmol/l (136 145) (3,5 5,0) (98 106)

Kimia Darah SGOT SGPT Ureum Creatinin GDS : 46 : 22 : 35,4 : 1,48 : 128 (0-40) (0-41) (16,6-48,5) (<1,2) (< 200)

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka pasien ini dikategorikan ke dalam ASA 4 .

35

3.3 Planning Tanggal dilakukan anstesi Jenis anastesi Jenis operasi : 4 Juli 2013 : General anastesi intubasi : Eksplorasi Laparotomi

3.4 Persiapan Operasi 1. Di IGD Surat izin operasi dan surat izin tindakan anastesi Puasa sebelum operasi Terapi cairan : Kristaloid : (mulai pukul 20.00 21.30) Nacl 0,9 % 5 x 500 cc Koloid 1x x 500 cc Premedikasi : tanggal 4 Juli 2013 Ketorolac 3 x 30 mg Ranitidin 2 x 50 mg 2. Di kamar operasi Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut (pulse oximetry), dan EKG Scope Tubes dan 7) Airway Tape Introducer Suction orofaringeal airway plester untuk fiksasi untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction stetoskop, laringoskop ETT (cuffed) size 7,5 kink, fix di tepi bibir (disiapkan juga nomor 6

Connector penyambung antara pipa dan alat anestesi Obat emergensi : sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin.

3.5 Laporan Anestesi Preoperatif Assessment : ASA 4 Diagnosa prabedah : Suspek Internal Bleeding +Open fraktur distal radius ulna Dextra Keadaan prabedah (4 Juli 2013): BB 60 kg, TB 170 cm
36

TD 90/55 mmHg, nadi 77x/menit, suhu Hb 7,1 mg/dL Pasien puasa pre-operasi. Jenis pembedahan: eksplorasi laprotomi 1.6 Durante Operatif 3.6.1 Laporan Anestesi Durante Operatif Jenis anestesi Teknik anestesi Lama anestesi Lama operasi : General Anestesi Intubasi : Intubasi oral sleep apneu : 22.00 03.10 WIB : 22.15 03.00 WIB

Obat-obatan yang diberikan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Inj. Midazolam 3 mg Inj. Ketamin 50 mg Inj. Rocuronium 50 mg Inj Vit K 10 mg Inj Asam Traneksamat 6 mg Inj. Propofol 100 mg (induksi) O2 dan isoflurance (maintenance) Inj. Fentanyl 100 g (anastesia) Inj. Atracurium 10 mg

3.6.2 Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi Pasien diposisikan pada posisi supine, head up 30. Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 3 lpm dengan metode face mask selama 5 menit. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal Fentanil 100 g dimasukkan secara intravena pelan sebagai analgetik. (1-3 g/kgBB) Propofol 100 mg intravena untuk induksi (2-2,5 mg/kgBB) Pasien diberi oksigen 100% dengan metode over face mask sehingga pasien tidak sadar Dipastikan apakah airway pasien paten dan ventilasi masuk Dimasukkan muscle relaxant atracurium (Atracurium Besylate) 25 mg intravenous, lalu ditunggu hingga 5 menit. (0,5-0,6 mg/kgBB) dan diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanik
37

Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan reflek jalan nafas (-) untuk dilakukan intubasi ETT Dilakukan intubasi ETT Cuff dikembangkan, lalu cek suara napas pada semua lapang paru dengan stetoskop, dipastikan suara napas dan dada mengembang secara simetris ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator dilakukan ventilasi dengan oksigenasi. Maintenance dengan inhalasi O2 3 liter dan isoflurane. Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi oksigen, tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan napas). Dilakukan ekstubasi dalam apabila pasien mulai sadar, nafas spontan dan ada reflek menelan. Oksigenasi diberikan 2 lpm nasal kanul

3.6.3 Pemberian Cairan Cairan masuk: Preoperatif Cairan keluar : Preoperatif Urin : produksi urin (+) (> 0,5 cc/kgBB/jam) Durante operatif : Urin : 300 cc Perdarahan : 2000cc + 500cc EBV ABL M O2 1.7 Postoperatif 3.7.1 Laporan Anestesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar Pasien masuk jam 15.00
38

: NS 2500 cc HES 500cc

Durante operatif : RL 500 cc, NS 500 + 500 cc , Hes 500cc PRC 250cc + 250 cc

: 70 x 60 = 4200 cc : 30% x 4200 = 1400 cc : 110 cc/jam : 2 x 60 = 120 cc/jam

Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik: B1: Ventilator, mode : Psimv , Pinsp 10, PEEP 5 FrO2 60%, RR 10 x/mnit, fT total 14-21 , sat O2 96% B2: Nadi 100 x/menit, TD 120/80 mmHg, akral hangat, kering, kemerahan. B3: Dibawah pengaruh obat B4: produksi urin 800 cc drain 100cc B5: sulit di evaluasi, post laparotomi B6: edema (-) , akral hangat 3.7.2 Terapi Pasca Bedah Pcu : Head up 30 derajad MOV = Ps IMV Nutrisi Entral = D5% 6X 100cc N 80 6X 200cc Nutrisi Parenteral = RD5% 1000CC, aminofusin 500cc/24 jam Antibiotika : sesuai TS Bedah Inj: Ranitidin 2 x 50 mg Metoclopramid 3x 10 mg Kalnex 3x 500mg Syringe pump : Morfin 1 mg/jam

Nebul Combivent 3 x Bila mual/muntah : -Inj.ondansetron 4 mg iv -Kepala dimiringkan, suction aktif, head down Bila kesakitan Minum / makan : Inj. Ketorolac 30 mg/i.v : Boleh makan/minum bila mual (-), muntah (-)

Hubungi PPDS anastesi

3.8 Monitoring Cek tanda-tanda vital tiap 15 menit Bila RR < 10 x/m 02 100% 10 lpm NRBM Bila N < 50 x/m inj. SA 0,5 mg/iv/cepat Bila TD < 90/50 mmHg inf. RL 500 cc selama 30 menit Bila urine < 0,5 cc/kgBB/jam evaluasi Bila Aldrete score >8 tanpa ada nilai 0 acc pindah ruangan.
39

BAB IV PEMBAHASAN

Tatalaksana Pemberian Cairan Resusitasi pada Perdarahan Internal 1. Pre Operatif Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obatobatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa. Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
40

diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien. Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

Kelas I

Status fisik Pasien normal yang sehat

Contoh Pasien bugar dengan hernia inguinal

II

Pasien dengan penyakit sistemik ringan

Hipertensi esensial, diabetes ringan Angina, insufisiensi pulmoner sedang sampai berat Penyakit paru stadium lanjut, gagal jantung

III

Pasien dgn peny. Sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas

IV

Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas rutin mengancam kematian

Pasien emergensi / muribund, dengan atau tanpa operasi hidupnya tidak lebih dari 24 jam

Ruptur aneurisma aorta, emboli paru massif

Kasus-ksus emergensi diberi tambahan huruf E ke belakang angka.

41

Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang penting dan inform consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat premedikasi. Pada pasien ini, dari history taking tidak didapatkan riwayat alergi terhadap makanan tetapi pasien mengaku alergi terhadap amoxicilin, pasien mengkonsumsi obat liver rutin, tapi pasien lupa jenis obat. tidak didapatkan riwayat operasi sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus, tetapi pasien mengaku sudah didiagnosa sakit liver sejak 1 tahun yang lalu, dan rutin berobat ke poli penyakit dalam RSSA. Dari pemeriksaan fisik saat datang di UGD didapatkan tekanan darah yang terus menurun dengan map <65 mmHg dan tidak mengalami perbaikan dengan resusitasi. Selain itu, tidak didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi. Dan dari hasil laboratorium tidak didapatkan kelainan. Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 4 dengan Suspek Internal Bleeding +Open fraktur distal radius ulna Dextra. Masukan Oral Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia. Terapi Cairan Perioperatif Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
42

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah: Berat Badan Jumlah 10kg pertama 4 mL/kg/jam 10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak 2500 cc NaCl 0,9% dan HES 500cc sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 60kg dimana kebutuhan cairan maintenance adalah 100cc/jam dan pasien ini dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anesthesia Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi reflek yang membahayakan Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Metoclopramide 10 mg, inj. Ranitidine 50 mg, inj. midazolam 3 mg. Metoclopramide dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV. Midazolam juga bisa berfungsi sebagai induksi, sedasi, dan mengurangi kebutuhan obat anestesi. Midazolam Premedication IM 0.070.15 mg/kg Sedation IV 0.010.1 mg/kg Induction IV 0.10.4 mg/kg

2.

Durante Operasi Pemakaian Obat Anestesi Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme induksi general

anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bisa mempotensiasi Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA) yang juga digunakan pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan dengan fentanyl dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang digunakan adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam (pada kasus ini diberikan untuk premedikasi) dengan jumlah kecil (misal 30g/kg) sebelum induksi dengan

43

propofol, karena mereka percaya bahwa kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat dan kebutuhan dosis total menjadi turun). Propofol Induction IV 12.5 mg/kg. Maintenance infusion IV 50200 g/kg/min Sedation infusion IV 25100 g/kg/min Fentanyl Intraoperative anesthesia IV 2150 g/kg Postoperative analgesia IV 0.51.5 g/kg Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya. Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane. Isoflurane tidak memiliki kontraindikasi khusus. Isofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (pada pasien ini dipakai atracurium). Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses intubasi lebih mudah dilakukan. Secara teoritis, pemberian 1015% dosis intubasi muscle relaksan 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan. Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi segera setelah 60 detik bila menggunakan rocuronium dan 90 detik menggunakan agen intermediate-acting nondepolarizers seperti atracurium. Setelah intubasi, paralisis otot mungkin perlu diteruskan untuk memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor menggunakn nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah 45 menit pemberian atracurium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol). Terapi Cairan Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik
44

koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang. Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit and estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Kapan harus ditransfusi itu ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut: Estimate blood volume Adult - Male : 75 mL/kg and female : 65 mL/kg Estimate the red blood cell volume (RBCV) at the preoperative hematocrit (RBCVpreop). Estimate RBCV at a hematocrit of 30% (RBCV30%), assuming normal blood volume is maintained. Calculate the red cell volume lost when the hematocrit is 30%; RBCVlost = RBCVpreop RBCV30%. Allowable blood loss = RBCVlost x 3. Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 3900 mL (60kg x 65 mL/kg). Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 780 mL (20% dari EBV pasien). Selain itu, pasien ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 100cc/jam. Selama durante operasi, pasien telah diberikan cairan RL sebanyak 500cc/jam. Monitoring Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: - Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter - Heart rate, nadi, dan kualitasnya, tekanan darah - Warna membran mukosa, dan capillary refill time - Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) - Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
45

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak pernah < 95%, tekanan darah pasien cenderung rendah (S 80-110, D 50-70), nadi 80

Sebelum di-discharge, pasien seharusnya diobservasi apakah ada depresi nafas selama minimal 20-30 menit setelah pemberian dosis perenteral narkotik terakhir. Kriteria minimal lain untuk discharge pasien yang telah recovery dari general anestesi biasanya meliputi hal-hal berikut ini: - Mudah dirangsang - Orientasi penuh - Mampu mempertahankan dan melindungi airway - Tanda vital stabil selama paling tidak 1530 menit - Mampu untuk meminta bantuan bila membutuhkan - Tidak ada komplikasi operasi yang bermakna (seperti perdarahan aktif). Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring untuk discharge digunakan secara luas. Kebanyakan criteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam waktu 60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan

46

general anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris. Kontrol Nyeri dan PONV Sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas yang timbul setelah insisi menyebabkan amplifikasi nyeri postoperative. Salah satu cara mengontrol nyeri postoperative adalah dengan pre-emptive analgesia. Pre-emptive analgesia adalah pemberian analgesik sebelum insisi, yang mencegah terjadinya sensitisasi sentral yang timbul dari injuri karena insisi dan inflamasi (intervensi preoperative, analgesia intraoperatif, dan manajemen nyeri postoperative). Waktu pemberian pre-emptive analgesia tidak

terlalu berpengaruh

dibandingkan dengan intensitas dan durasinya. Injuri insisi dan inflamasi penting dalam inisiasi dan mempertahankan sensitisasi sentral. Berbagai obat dan teknik telah digunakan untuk mempelajari pre-emptive analgesia. Manfaat klinis maksimal tampak bila terdapat blokade komplit stimulus noxious dengan perpanjangan blokade hingga periode postoperative. Dengan mencegah sensitisasi sentral, pre-emptive analgesia dengan intervensi analgesic multimodal ekstensif secara teori dapat mengurangi nyeri akut postoperative/hiperalgesia dan nyeri kronis setelah pembedahan. Pemberian NSAID preoperatif saja atau bersamaan dengan asetaminofen bisa mengurangi kebutuhan terhadap opioid secara signifikan untuk prosedur operasi tertentu. Penggunaan inhibitor selektif siklooksigenase-2 (seperti celecoxib) dapat mengurangi potential adverse effect terhadap fungsi platelet dan komplikasi gastrointestinal. Nyeri ringan hingga sedang (mild to moderate) bisa diterapi dengan asetaminofen dan kodein oral. Sebagai alternatif bisa digunakan opioid agonis-antagonis (butarphanol 1-2mg atau nalbuphine 5-10mg) atau ketorolacmethamine 30 mg iv. Obat tersebut sering digunakan untuk operasi ortopedi dan ginekologi. Nyeri sedang-berat (moderate to severe) di PACU bisa diterapi dengan opioid parenteral atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila digunakan opioid, pemberian yang aman diberikan dalam titrasi dosis kecil intravena. Opioid yang umum digunakan opioid intermediate-long duration seperti meperidine 10-20 mg (0.25-0.5 mg/kg pada anak-anak), atau morfin 2-4mg (0.025-0.05 mg/kg pada anak-anak). Efek analgesik mencapai peak dalam waktu 4-5 menit. Sedangkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya multifaktorial bisa melibatkan agen anestesi, tipe atau jenis anestesi dan faktor pasien sendiri. Terjadi peningktan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus. Insidensi
47

tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron 0.01 0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga sangat efektif untuk mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi. Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut ekstrapiramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 410 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan). Pada kasus ini, tidak didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi tetap diberikan metoklopramid 3x10mg dan ranitidin 2x50mg intravena untuk mencegah PONV. Sedangkan untuk mengontrol nyeri postoperative diberikan ketorolac 30mg intravena.

48

DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. 1997. Medical Surgical Nursing fifth edition : clinical managemen for continuity of care. Philadelfia : WB. Saunders company Guyton,C Arthur ,Hall, E John. 2006. Fisiologi Kedokteran ,textbook of medical physiology Edisi 11: Syok sirkulasi dan Fisiologi Pengobatannya. Jakarta:EGC. Hal:359-371 Ignativicus, Donna D ; Workman. 2006. Medical Surgical Nursing Critical Thinking for Collaborative Care. USA : Elsevier Saunders Kolecki P. Hypovolemic Shock. http://emedicine.medscape.com/article/760145, Diakses 10 Juli 2013 Perkasa, MF. 2009. The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 AprilJune2009: Bleeding in Surgery.

http://med.unhas.ac.id/jurnal/attachments/article/91/TP-1.pdf. Diakses 10 Juni 2013. Price, A Sylvia, Wilson, M Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol 1: Gangguan Volume, Osmolalitas, dan Elektrolit Cairan. Jakarta:EGC. Hal:328-373 Sjamsuhidajat, R, Jong de Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2: Syok. Jakarta:EGC. Hal:118-124 Sudoyo, W Aru,dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid 1: Syok Hipovolemik. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. Hal:183-184

49

Вам также может понравиться