Вы находитесь на странице: 1из 35

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Sindrom Gawat Nafas pada Neonatus (SGNN) merupakan suatu sindrom yang sering kita temukan pada neonatus . SGNN sesuai dengan namanya merupakan suatu kegawatan yang dapat berakibat kematian atau cacat fisik dan mental di masa depan1. Prevalensi SGNN sangat bervariasi. Menurut Farrel dan Avery (dikutip Yu, 1986), Hyalin membran disease (HMD) prevalensinya adalah 1 % dari semua kelahiran dan 14 % pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)1. Prevalensinya akan meningkat bila prevalensi BBLR meningkat karena sebagian besar SGNN itu disebabkan oleh HMD1,2. HMD terutama terjadi pada bayi prematur, jarang ditemukan pada bayi aterm. Penyakit ini terjadi pada kira-kira 10 % seluruh bayi prematuri dengan insidens terbesar pada bayi-bayi yang memiliki berat badan kurang dari 1500 gram. Dengan kata lain insidensinya berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan bayi 2. Kejadian penyakit akan meningkat pada bayi lahir kurang bulan (terutama bayi dengan masa gestasi kurang dari 34 minggu) , 60 % bayi yang berumur kurang dari 28 minggu kehamilan, pada sekitar 15-20 % bayi yang berusia kehamilan antara 32-36 minggu dan sekitar 5 % bayi yang berusia lebih dari 37 minggu kehamilan dan penyakit ini jarang ditemukan pada bayi aterm 2. Diperkirakan 50 % dari semua kematian neonatus disebabkan oleh HMD dan komplikasinya. HMD bertanggung jawab atas 10.000-40.000 kematian setiap tahun2. Sampai saat ini SGNN masih merupakan salah satu faktor penyebab mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan kompleknya faktor etiologi serta adanya keterbatasan dalam penatalaksanaan penderita1,3. Akan tetapi dalam dekade akhir ini tampak kemajuan yang sangat berarti, baik dalam cara diagnostik dini maupun dalam penatalaksanaan penderita3. Sehingga angka kesakitan dan angka kematian penyakit terutama di negara berkembang telah mengalami penurunan yang cukup bermakna1. Walaupun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu faktor yang memegang peranan dalam tingginya angka kematian perinatal. Sehingga pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini baik dalam hal pencegahan, diagnostik dan penatalaksanaan penderita merupakan suatu masalah yang perlu diperhatikan1,3.
1

I.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah menambah pengetahuan tentang definisi, epidemiologi, faktor predisposisi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, dan penatalaksanaan HMD I.3 Manfaat Penulisan Referat ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mendiagnosis dan pengelolaan HMD

BAB II TUNJAUAN PUSTAKA


2

2.1 Definisi HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya alveoli.4 2.2 Epidemiologi HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi premature, di Amerika Serikat sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya. Insiden meningkat pada negara berkembang. Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki, riwayat saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes melitus. Pada tahun 2003, di Amerika serikat terdapat 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan 6% kelahiran berkembang menjadi RDS. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus RDS dari 11,6% menjadi 12,7%, mayoritas disebabkan karena kelahiran kurang bulan.5,6 Berdasarkan penelitian di Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001, dari 41 bayi yang lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa HMD. Semuanya lahir dari kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu menunjukan prevalensi HMD pada bayi preterm sebesar 17%.7 2.3 Faktor predisposisi a. Prematuritas Kasus ini sering ditemukan pada usia kehamilan dibawah 30 minggu sebab sintesis surfakatan mulai terjadi pada usia kehamilan 24-28 minggu.6,7,8 b. Jenis kelamin Laki-laki lebih sering menderita HMD dibandingkan perempuan dan lebih tinggi untuk terjadinya kematian. Sebab pada bayi laki-laki maturasi lesitin, spyngomielin, serta pembentukan fosfatidil gliserol lambat akibat efek androgen.7,8

c. Ras Insiden HMD lebih rendah pada kulit hitam di bandingkan kulit putih, yaitu 60-70%. Pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu, 40% dari bayi kulit hitam menderita HMD sedangkan insiden pada kulit putih 75%.8
3

d. Sectio secaria Menurut beberapa penilitian, apabila tindakan sectio secaria dilakukan sebelum masuknya proses persalinan dapat meningkatkan resiko timbulnya HMD sebab ketika proses persalinan produksi cairan paru berkurang, 1/3 cairan paru dikeluarkan akibat penekanan pada dada ketika proses persalinan pervaginam berlangsung. e. APGAR skor Bayi premature dengan APGAR skore <5 memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk terjadinya HMD dibandingkan bayi dengan APGAR skore >5.8 f. Ibu dengan diabetes melitus Insulin dapat memperlambat maturasi sel alveolar tipe 2 dan menurunkan phospatidilcolin, yang merupakan fosfolipid yang penting dalam sintesa surfaktan.9 g. Hipotiroid Aktivitas hormon tiroid penting dalam perkembangan sistem surfaktan pada masa prenatal. Berdasarkan penelitian, bayi preterm yang menderita HMD memiliki kadar hormon tiroid rendah.8 2.4 Patofisiologi HMD terjadi akibat defisiensi struktur lipoprotein surfaktan yang disebabkan oleh belum matang nya paru. Lipoprotein ini memproduksi retikulum endoplasmik dari pneumosit tipe 2 kemudian dibawa ke aparatus golgi dan badan lamelar intrasel. Badan lamelar akan berpindah ke permukaan sel luminal alveolar melalui proses eksositosis.10 Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan. Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan yang mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant - associated proteins yaitu SP - A, SP - B, SP - C, dan SP - D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses multi step dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi. Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan absorpsi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus.10,11

Gambar.1. Fisiologi pembentukan surfaktan12 Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun sehingga akan terjadi metabolism anaerobic dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama - sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.13
5

PREMATURITY

Surfactant Deficiency

Atelactasis

Structurally Immature Lung

V/Q Mismatch Hypoxemia &Hypercarbia Respiratory & Metabolic Acidosis Pulmonary Vasoconstriction

Hypoventilation

High FiO2&Baro or Volutrauma Inflamatory cell Influx Cytokine release Lung Injury Antioxidant Reduction Free-radical reaction

Impaired endothelial and epithelial integrity Proteinaceous exudate

RDS

Chronic Lung Disease/BPD Bagan.1. Patogenesis HMD

2.5 Gejala Klinis Penyakit membran hialin sering terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000 - 2000 gram atau masa gestasi 30 - 36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram.10 Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai tampak 6 - 8 jam pertama setelah
6

kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 - 72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.5,13 Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnu atau hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita PMH berat), hipotensi, kardiomegali, pitting edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi.1 Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan HMD adalah Silverman - Anderson score atau downes score.15

Score 10 Score 7 Score 0

= Severe respiratory distress = Impending respiratory failure = No respiratory distress Gambar.2. Scoring system Silverman Anderson15

Score Frekuensi nafas (per menit) Sianosis

0 <60 None

1 60 -80 In room air

2 >80 In 40% oxigen


7

Retraksi Merintih Air entry

None None Clear

Mild Audible with stethoscope Delayed / decrease

Moderate-severe Audible without stethoscope Barely audible

Score : <6 = Respiratory distress >6 = Inpending respiratory failure Tabel.1. Downes skore15 2.6 Pemeriksaan Penunjang 2.6.1 Pemeriksaan gas darah Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis metabolik dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis dari alveoli dan atau overdistensi dari bronkiolus (terminal airways). Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD dawali dengan asidosis laktat sebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga tubuh menggunakan jalur anaerob untuk metabolisme. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari shunting right to the left melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus artreriosus (PDA), dan atau foramen ovale tidak menutup.16 2.6.2 Pulse Oximetry Pulse Oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk memantau saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada nilai 90 - 95 %. Akan tetapi alat ini tidak dapat mendeteksi terjadinya hiperoksia. Pada metode konvensional digunakan metode monitoring inline arterial PaO2 dan monitoring transkutaneus. Monitoring transkutaneus CO2 seharusnya dgunakan PaCO2.16 2.6.3 Gambaran radiologis Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dan lain lain.10
8

pada infant dengan HMD untuk memonitor ventilasi yang berhubungan dengan

a. Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).9,17 Terdapat 4 stadium: Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance) Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram Stadium 3: stadium 2 + batas jantung - paru kabur Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

Gambar.3. HMD dengan granular appearance pada kedua paru

Gambar.4. HMD dengan granular appearance dan air broncogram10

Gambar.5. HMD dengan gambaran batas jantung - paru kabur (kiri)

10

Gambar.6. white lung appearance (kanan)10

Gambar.7. HMD pada bayi premature

Gambar.8. HMD pada bayi yang sudah mendapat terapi surfaktan. Tampak gambaran gelembung udara pada lobus atas10

11

Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai indikasi. Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi bronchopulmonary Displasia (BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama. 2.6.4 Uji Kematangan paru Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS).18 Tes tersebut diklasifikasikan menjadi: 2.6.4.1 Tes biokimia (Rasio lecithin - sphingomyelin) Paru - paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L / S untuk kehamilan normal adalah <0.5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap. Rasio L / S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal HMD sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L / S >2.8 Dengan rasio 1.5 - 1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi dapat berlanjut ke HMD. <1.5 resiko meningkat sampai 73%. 11 Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini.9

12

Gambar.9. Grafik perbandingan L / S dengan usia gestasi18 2.6.4.2 Tes biofisika (Shake test)18 Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil. Pada janin, cairan paru biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan lambung dalam 30 menit setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru yang ditelan atau cairan amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan lambung dapat digunakan untuk evaluasi apabila surfaktan terdapat pada paru - paru janin sewaktu lahir. Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5 cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan alkohol 1 cc lalu dikocok dengan keras dan didiamkan selama 15 menit. Dengan mengocok cairan amnion dengan alkohol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pada alkohol dengan konsentrasi 47.5%, stable bubble yang dibentuk oleh karena pengocokan akan menetap oleh karena adanya lechitin. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : alkohol) / hasil positive gelembung (+), maka merupakan indikasi maturitas paru janin.7,8

13

Gambar.10. Cara melakukan Shake test18 2.6.5 Pemeriksaan fungsi paru Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan tim yang berpengalaman. Peningkatan frekuensi pernafasan pada penyakit ini akan memperlihatkan perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal volume menurun, lung compliance berkurang, penurunan functional residual capacity disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.18 2.6.6 Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.18 2.6.7 Gambaran patologi/ histopatologi Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami emfisema. Membrane hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.18 2.7 Diagnosis
14

2.7.1 Anamnesis Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat janin) Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin

2.7.2 Pemeriksaan fisik Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala: o Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit) o Grunting atau nafas merintih o Retraksi dinding dada o Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan) Perhatikan tanda prematuritas Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48 - 96 jam2 Diagnosis dari HMD dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen toraks dengan gambaran khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms. Menurut Vermont Oxford Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari rontgen torak memerlukan PaO2 <50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan memerlukan suplimentasi oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO2 >50 mmHg.5,6,19 2.8 Diagnosis Banding Penyakit HMD TTN Sianosis, hidung, Takipnea Gejala apnea, nafas segera setelah Radiologi cuping Ateletaksis, air broncogram, infitrat granular lahir, Hiperexpansi pulmonal, infitrat sudut perihiler peningkatan costofrenikus
15

bayi

retraksi, merintih

corakan vaskuler pulmonal,

Aspirasi Mekonium

tumpul Takipnea, nafas cuping hidung, Infitrat skin Tabel.2. Perbedaan sindrom gawat nafas5

kasar

bilateral,

retraksi, sianosis, mekonium stained hiperinflasi paru

1. Transient Tachypnoea of the newborn (TTNB) Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya mengurangi produksi cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang menimbulkan terjadinya reabsorbsi. Gagalnya untuk membersihkan paru dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN. Faktor risiko terjadi TTN termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria, dan bayi dengan jenis kelamin laki - laki. TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis TTN hanya dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang berbentuk streaky, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan biasanya disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5 / 1000 bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya takipnea yang parah (frekuensi nafas >60 x / menit) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang disertai dengan grunting. TTN merupakan diagnosis eksklusi, dimana diagnosis sindrom gawat nafas, sepsis dan gagal jantung sudah disingkirkan.17

Gambar.11. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada fisura transversalis dan hiperekspansi paru.17 2. Meconium aspiration syndrome
16

Aspirasi mekoneum jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom aspirasi mekonium terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan amnion ketika masih berada dalam kandungan, dan cairan amnion yang terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi. Aspirasi mekonium menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan perfusi ventilasi. Secara klinis, bayi tampak berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai meconium - stained skin. Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak - bercak konsolidasi atau atelektasis, infiltrat kasar di kedua lapangan paru, dan hiperinflasi karena terperangkapnya udara.10,17

Gambar.12. Foto thoraks sindrom aspirasi mekonium 3. Pneumotoraks Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia gestasi 32 - 34 minggu menghasilkan paru - paru yang kurang compliance sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pneumotoraks kecil umumnya dapat sembuh secara spontan. Selama ini, oksigen 100% digunakan sebagai penanganan pneumotoraks kecil, akan tetapi efektivitasnya belum terbukti dan dengan risiko terjadinya toksisitas oksigen, maka penanganan ini sudah tidak lagi dilakukan. Penanganan yang sedang berkembang ialah penggunaan kateterisasi pigtail yang dimasukan dengan tehnik Seldinger. Keuntungan tindakan
17

ini ialah tindakannya yang cepat dan mudah, serta sedikitnya skar yang ditimbulkan dibandingkan dengan traditional chest tubes.17

Gambar.13. Pneumotoraks pada paru sisi kanan17

Gambar.14. Penggunaan kateter pigtail17

18

2.9 Penatalaksanaan 2.9.1 Perawatan Antenatal Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai sebelum kelahiran dan melibatkan bagian anak dan kebidanan. Secara umum sekresi surfaktan meningkat selama proses persalinan, oleh karena itu operasi sectio caesaria elektif tidak dianjurkan. Bayi preterm yang berisiko untuk terjadinya HMD seharusnya dilahirkan di tempat yang memiliki tenaga ahli dan fasilitas yang dilengkapi dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan ventilator mekanik. Untuk bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu, kemungkinan untuk meninggal pada tahun pertama kehidupan berkurang bila dilahirkan di rumah sakit yang memiliki Neonatal Intensif Care Unit (NICU). Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan untuk menunda persalinan sementara agar ibu dapat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas NICU.20,21 2.9.2 Pemberian Kortikosteroid pada Ibu Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan resiko kematian pada neonatal. Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis pertama steroid 1 - 7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan Dexamethason digunakan untuk meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan pada semua kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm. Dosis tunggal pemberian betamethason adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi berdasarkan dosis ulangan dapat menigkatkan keberhasilan efek kortikosteroid.6,20 2.9.3 Stabilisasi Kamar Bersalin Bayi dengan defisiensi surfaktan mengalami gangguan dalam mencapai kapasitas residu fungsional yang adekuat dan memastikan pengaliran udara di alveolar terus menerus. Dulu kebanyakan bayi preterm, tali pusat dipotong segera setelah lahir agar dapat dipindahkan ke lingkungan hangat dengan cepat untuk memudahkan proses resusitasi. Prosedur mengklem tali pusat dengan cepat dipersoalkan baru - baru ini. Lebih kurang setengah dari volume darah dari
19

taksiran

persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak ada bukti yang jelas menunjukkan pemberian

bayi preterm terkandung dalam tali pusat plasenta, dengan menunda pengkleman tali pusat selama 30 - 45 detik dapat mengakibatkan peningkatan volume darah sebanyak 8 - 24% terutama pada persalinan spontan, sehingga terjadinya peningkatan kadar hematokrit, berkurangnya keperluan untuk transfusi dan berkurangnya insiden perdarahan intraventrikuler. Saturasi oksigen optimal yang diperlukan ketika meresusitasi bayi preterm masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak bukti meresusitasi dengan konsentrasi oksigen murni 100% dibandingkan dengan udara ruangan dihubungkan dengan peningkatan kadar mortalitas. Adanya bukti biokimia tentang toksisitas oksigen yang terjadi akibat pemberian oksigen murni. Penggunaan oksigen murni 100% tidak lagi diperlukan, sekarang pencampur oksigen udara ruangan seharusnya tersedia di kamar bersalin untuk membolehkan titrasi oksigen sesuai kondisi bayi. Pulse oxymetri dapat digunakan untuk membantu pemberian oksigen murni. Oleh sebab itu penggunaan oksigen murni untuk meresusitasi haruslah terkontrol dengan pencampur oksigen - udara ruangan. Pemberiannya dimulai dengan konsentrasi oksigen yang paling rendah, biasanya konsentrasi sebanyak 30%. Saturasi normal bayi preterm yang baru lahir semasa proses transisi adalah 40 - 60% dan mencapai 50 - 80% setalah usia 5 menit dan mencapai >85% setelah usia 10 menit. Pemberian rutin ventilasi tekanan positif (Bagging) tidak sesuai bagi preterm yang belum nafas spontan. Jika ventilasi tekanan positif diperlukan untuk menstabilkan bayi, hindari volume tidal yang berlebihan dengan menggunakan alat resusitasi yang bisa mengukur atau melimitasi peak inspiratory pressure (PIP) dan waktu yang sama dapat mempertahankan positive end expiratory pressure (PEEP) semasa ekspirasi. Contoh alatnya adalah Neopuff20

Gambar.15. Neopuff20
20

Hanya sebagian kecil bayi memerlukan intubasi di kamar bersalin. Bayi-bayi ini adalah yang menerima surfaktan dan yang tidak menunjukkan respon pada pemberian CPAP. Jika intubasi diperlukan, posisi benar tube endotraakeal di ketahui dengan menggunakan alat yang mendeteksi CO2 kolorimetrik, sebelum pemberian surfaktan dan penggunaan ventilator.20 2.9.4 Penatalaksanaan Umum Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.13,18 Tindakan yang perlu dikerjakan ialah: 1. Memberikan lingkungan yang optimal Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 - 370 C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 - 80%). 1,3 Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah mencegah terjadinya hipotermia untuk meningkatkan angka kehiudpan. Selain radiant warmer, menyelubungi bayi dengan plastik polietilen dapat menurunkan insiden hipotermia, terutama pada bayi preterm. 2. Pemberian cairan dan nutrisi Prinsip: Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari - hari pertama diberikan glukosa 5 - 10 % dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 - 125 ml / kgbb / hari). Asidosis metabolik pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam - basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus: kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 - 7,45. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.6,13 Bila bayi sudah tidak lagi sesak, minimal enteral feeding dengan air susu dapat diinisiasikan sesegera mungkin, dengan jumlah <20ml / kg / hari untuk membantu maturasi

21

dan meningkatkan fungsi saluran pencernaan bayi, meningkatkan berat badan bayi dan memperpendek waktu perawatan di rumah sakit. Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50 - 70 mmHg. PaCO2 antara 45 - 60 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 - 92% 3. Pemberian oksigen Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain - lain.1 Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 - 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.20 Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi: Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 - 70 mmHg untuk distres pernafasan ringan.13,17 Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway Pressure) terindikasi.1,3 NCPAP merupakan metode ventilasi yang non - invasif.3 Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendah (1000 1500 gram) di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.1 Penggunaan humidified high flow nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedang digalakkan di beberapa negara karena memiliki keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.17 2.9.5 Ventilator mekanik
22

Tujuan

penggunaan

ventilator

adalah

untuk

memastikan

perfusi

pulmonal

yang

berkesinambungan sehingga menurunkan resiko terjadinya trauma paru, dan menurunkan work of breathing pasien. Kesulitannya adalah dalam menentukan ventilator yang paling sesuai untuk menangani gagal nafas neonatus.22 Ventilator mekanis dibagi menjadi dua, yaitu: 23 1. Non invasif Continuos positive airway pressure (CPAP) adalah memberikan tekanan yang berkesinambungan pada alveoli sepanjang siklus respirasi, memastikan alveolar terus inflasi dan mencegahnya dari kolaps, terutama pada akhir ekspirasi.23 Dulu CPAP digunakan melalui selang endotrakeal, tapi kini CPAP bisa diberikan secara nasal. Keuntungan dalam penggunaan CPAP adalah menghasilkan pola pernafasan yang regular, terutama pada bayi preterm.24 CPAP terdiri atas tiga komponen, yaitu : a. Sirkuit yang mensuplai gas inspirasi yang harus dalam keadaan hangat dan lembap secara terus menerus. b. Komponen yang menghubungkan komponen pertama dengan jalan nafas bayi. Yang sering digunakan sekarang adalah selang binasal. c. Komponen terakhir adalah alat yang menghasilkan tekanan positif.23

Gambar.16. CPAP

23

2. Invasif Dibagi menjadi dua yaitu: a. Konvensional I. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV) Dengan IMV tenaga medis dapat menentukan kadar di mana ventilator mekanis memberikan nafas mekanis pada bayi, dimana ada interval regularnya. Ini membolehkan bayi bernafas spontan antara dua jarak nafas buatan. Kekurangannya adalah bayi sering bernafas tidak teratur dengan penggunaan IMV. Pertukaran gas sangat bervariasi pada IMV, tergantung kondisi bayi bernafas dengan atau melawan ventilator. Selain menyebabkan tidak effisiensinya proses pertukaran gas tapi juga bisa mengakibatkan terperangkapnya udara. II. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV) Ini adalah perbaikan dari IMV. Pada SIMV, onset dari nafas buatan ditentukan berdasarkan onset dari nafas spontan jika terjadi dalam timing window. Contohnya, jika kadar SIMV berdasarkan frekuensi nafas 30 kali / menit, siklus ventilator akan terjadi setiap 2 detik. Pada setiap kali ventilator seharusnya memulai nafas buatan, ia akan menunggu nafas spontan terlebih dahulu, jika nafas spontan didapatkan dalam timing window

24

Gambar.17 Ventilator III. Assist / Control Ventilation (A / C) Pada A / C semua nafas spontan yang melebihi ambang batas akan menghasilkan nafas buatan pada onset inspirasi (assist / membantu). Jika terjadi henti nafas atau ketidak mampuan paru dalam menghasilkan nafas spontan maka nafas buatan akan diberikan dengan kadar yang ditetapkan oleh tenaga medis (kontrol).22,23 b. Non Konvensional Disebut juga dengan High-Frequency Ventilation (HFV), yaitu ventilator non - tidal dimana volume pemberian gas lebih rendah dari anatomic dead space dan diberikan dengan kadar yang sangat cepat. Terdiri atas dua jenis yaitu high - frequency jet ventilation dan high frequency oscillatory ventilation.23 Keuntungan dari penggunaan HFV adalah pemberian volume gas yang rendah pada kadar yang cepat menghasilkan tekanan alveolar yang lebih rendah dan menurunkan resiko terjadinya trauma paru akibat pemberian volume dan tekanan yang eksesif. Pada ventilator konvensional, jantung dapat mengkompensasi dengan pengisian cepat saat tekanan intrathoraks berada pada nilai paling rendah (PEEP). Pada HFV, tekanan nafas rata - rata meningkat oleh itu, aliran balik vena menurun sehingga jantung harus bekerja lebih kuat untuk menigkatkan volume inputnya.22
25

I.

High frequency jet ventilation (HFJV) Menggunakan injector jet yang diletakan di proksimal atau distal trakea, dimana gas bervolume rendah dan kadar cepat diberikan melalui alat ini. Dengan HFJV, ekshalasi pasif dapat terjadi dengan bantuan dari elastisitas recoil paru bayi itu sendiri.

II.

High frequency oscillatory ventilation (HFOV) Menggunakan piston atau diafragma untuk mengalirkan gas keluar dan masuk paru melalui jalan nafas sehingga menghasilkan ekspirasi aktif. Dengan HFOV, tekanan yang diberikan akan mengembangkan paru, menurunkan ketidakseimbangan perfusi - ventilasi, dan meningkatkan luas permukaan alveolar untuk pertukaran gas.23

2.9.6 Terapi Surfaktan Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua dekade. Dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan pada bayi dengan resiko HMD, untuk mengurangi resiko timbulnya pneumotoraks dan timbulnya kematian. Pemberian surfaktan profilaksis versus surfaktan rescue Surfaktan profilaksis, atau preventif merupakan pemberian surfaktan secara intratrakeal pada bayi dengan risiko tinggi untuk terjadinya gawat nafas setelah resusitasi dini dalam 10 - 30 menit setelah kelahiran. Pemberian surfaktan rescue dibagi lagi menjadi 2 yaitu, rescue dini yaitu pemberian surfaktan dalam 1 - 2 jam setelah kelahiran dan rescue lambat yaitu pemberian lebih dari 2 jam setelah kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30 minggu memberikan perbaikan setelah diberikan surfaktan profilaksis dan rescue. Akan tetapi, bayi prematur yang diterapi dengan surfaktan profilaksis terbukti memiliki insidensi yang lebih rendah dalam terjadinya sindrom gawat nafas.20,25 Dosis Surfaktan Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total 4mL / kgbb intratrakea (masing - masing 1mL / kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing - masing dosis total atau 1 ml/kg). Dosis total 4ml / kgbb dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru.25
26

Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat diberikan untuk neonates dengan sindrom gawat nafas, antara lain surfaktan sintetik (protein - free) dan natural (diambil dari paru hewan). Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi pulmonary air leaks dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan terapi pilihan di Eropa.12,20,25 Pada penelitian dengan pemilihan sampel random, didapatkan bahwa pemberian 2 dosis surfaktan memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis tunggal dan pada studi lain mendapatkan bahwa pemberian 3 dosis dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal dapat menurunkan mortalitas (13% vs 21%) dan pulmonary air leaks ( 9% vs 18%). Terapi surfaktan selama lebih dari beberapa hari pertama kehidupan bayi memberikan respons langsung dan tidak terbukti adanya perbedaan pada efek jangka panjang. 20

Gambar.18. Sediaan Survanta (bovine surfactant)

Generik Name Bovactanat BLES Poractant alfa

Trade Name Alveofact BLES Curosurf

Source Bovine Bovine Porcine

Manufacturer Lyomark (Germany) BLES Biochemicals (Canada) Chiesi Farmaceutici

Dose (mg / kg / dose) 50 (1,2 ml / kg) 135 (5 ml / kg) 100 - 200 (1,25-2,5 ml / kg)
27

(Italy) Colfosceril palmitate Calfactant Exosurf Infasurf Synthetic Bovine GlaxoSmithKline (USA) ONY Inc. (USA) 64 (5ml / kg) 105 (3ml / kg)

Tabel.3. Preparat surfaktan20

Surfactant Preparation Surfanta Infasurf Corosurf

Initial Dose 4 ml/kg 3 ml/kg 2,5 ml/kg

Phospholipid

Dosing Interval 6 jam 12 jam 12 jam

Maximum Dose 4 3 3

Surfactant Protein B Trace 0,26 mg/ml 0,3 mg/ml

25 mg/ml 35 mg/ml 80 mg/ml

Tabel 4. Dosis Surfaktan20

2.9.7 Menghindari atau mengurangi lama penggunaan ventilator Terdapat hubungan yang jelas antara pemakain ventilator yang menggunakan tube endotrakeal dan perkembangan lebih lanjut dari BPD.20 Intervensi dirancang untuk memperpendek penggunaan ventilator. Weaning atau pelepasan dari ventilator harus dimulakan apabila ada bukti penurunan bantuan ventilasi seperti perbaikan compliance, penurunan kebutuhan FiO 2, meningkatnya jumlah produksi urin dan nilai PaCO2 yang berkurang.22 Terapi Kafein Methylxanthine telah lama digunakan untuk tatalaksana bayi preterm yang apnoe dan memfasilitasi extubasi dari pemakaian ventilator mekanis. Berdasarkan suatu penelitian pada bayi preterm dengan berat baru lahir <1250gram, bayi yang mendapat terapi kafein dapat dilepaskan penggunaan ventilator seminggu lebih awal dari bayi yang tidak mendapat terapi kafein.Selain itu, terapi kafein juga dapat menurunkan resiko terjadinya BPD.22 Permissive Hypercapnia

28

Toleransi penigkatan PaCO2 sselama pelepasan alat atau weaning, telah dicobakan untuk memfasilitasi extubasi lebih awal. Toleransi hiperkapnia sedang dan asidosis respiratorik dalam usaha untuk menurunkan duarsi pemakaian ventilator. Pada sebuah penelitian di Canada, implementasi protocol weaning dapat mempercepat extubasi pertama dan menurkan jangka waktu penggunaan ventilator. Protokol tersebut merekomendasi toleransi pH 7,22 pada lima hari pertama dan diturunkan lagi menjadi 7,20 setelah itu.20 Aggressive Weaning Setelah bayi distabilkan dengan ventilator, bayi dengan HMD akan dilepaskan dari ventilator secara agressif agar extubasi dapat dilakukan dengan aman dan hasil analisa gas darah setelah extubasi dalam batas normal. Extubasi mungkin berhasil dengan tekanan saluran nafas rata-rata 6-7cmH20 dengan ventilator konvensional dan tekanan 8-9cmH20 pada HFOV. Menjaga bayi premature agar tetap stabil pada tekanan rendah di ventilator untuk jangka waktu yang lama tidak meningkatkan kemungkinan keberhasilan extubasi.20,22 2.9.8 Pemberian antibiotika. Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin 3mg / kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.2 Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD. Oleh karena itu, dianjurkan semua bayi dengan sindroma distress pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan mencari tanda - tanda sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif Regimen yang sering dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan dikombinasikan dengan aminoglikosida, namun setiap rumah sakit mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan profil pathogen yang ditemukan di daerahnya.6,20 Tatalaksana dan pencegahan duktus arteriosus persisten (PDA) Insiden PDA tinggi pada bayi premature dan sering menimbulkan masalah dalam penanganan HMD. Pemberian indomethacin profilaksis dapat menurunkan resiko terjadinya PDA. Indomethacin atau ibuprofen dapat digunakan untuk menstimulasi penutupan duktus arteriosus. Tanda PDA adalah hipotensi( terutama tekanan darah diastolic yang amat rendah).20
29

Bagan.2. Algoritma untuk penanganan distres pernafasan

30

BAB III KESIMPULAN HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya alveoli. HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi premature, di Amerika Serikat sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya. Insiden meningkat pada negara berkembang. Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki, riwayat saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes melitus. Berdasarkan penelitian di Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001, dari 41 bayi yang lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa HMD. Semuanya lahir dari kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu menunjukan prevalensi HMD pada bayi preterm sebesar 17%. Faktor Predisposisi dari HMD diantaranya: prematuritas, jenis kelamin, ras, sectio secaria, APGAR skor, ibu dengan diabetes mellitus, hipotiroid. Bayi dengan HMD biasanya disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai tampak 6 - 8 jam pertama setelah kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 - 72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama. Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnu atau hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita PMH berat), hipotensi, kardiomegali, pitting edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi. Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan HMD adalah Silverman - Anderson score atau downes score. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis HMD ini adalah: pemeriksaan radiologi, pemeriksaan biokimia (rasio lesitin dan sfingomielin), shake test, fungsi respirasi dan fungsi kardiovaskuler. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dijelaskan sebelumnya.
31

Prinsip tatalaksana dari HMD meliputi perawatan antenatal, pemberian kortikosteroid pada ibu hamil yang berisiko melahirkan bayi prematur, stabilisasi kamar bersalin, penatalaksanaan umum (lingkungan yang optimal, cairan dan nutrisi, oksigen), ventilator (noninvasif, invasif), serta pemberian terapi surfactan.

DAFTAR PUSTAKA

32

1. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah. Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55. 6566. 2. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 591-599. 3. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306. 4. Schraufnagel D E Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Chapter 19, 197-205. 5. Smith J H. Neonatal Respiratory Care Handbook. Jones and Bartlett Publishers. 2009. Chapter 2, 37-52 6. Gommela. T.L, Cunningham.M.D, Eyal. F.G, Neonatology management, procedur, oncall problems, disease, and drugs.Edisi 6. Lange. chapter 89 : Hyalin membran disease. 2004. 477-481. 7. Dzulfikar DLH, Ali Usman, Melinda D Nataprawira and ArisPrimaldi. The prevalence of hyaline membrane disease and the value of shake test and lamellar body concentration in preterm infants. Paediatrica Indonesiana. 2003. Volume 43 No. 5-6:77-81 8. Rennie. J, Roberton. N, Textbook of neonatology. Edisi 3.Part 2: Acute Respiratory Disease In The Newborn. UK. 1999. hal. 481-514 9. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-Reda.Respiratory distress in full term newborns.The Iraqi Postgraduate medical journal. Vol.6, No. 3, 2007 10. A.L.Baert, M. Knauth, K.Sarter.Radiological imaging of the neonatal chest. 2007. Chapter 4: Hyalin membran disease and complication of its treatment. 67-79. 11. Christian P. Speer. Neonatal Respiratory Distress Syndrome: An Inflammatory Disease. Neonatology 2011;99;316-319 12. Zimmerman L. J.I, Janssen D.J.M.T, Tibboel D.,Hamvas A., Carnielli V.P. Surfactant metabolism in the neonate. 2005. Biology of the neonate 2005;87:296-307 13. Latief Abdul, Napitupulu Partogi, Pudjiadi Antonius, Ghazali Vinci Muhammad, Putra Tulus Sukman. Penyakit membran hialin. Buku Ilmu Kesehatan Anak jilid 3 FKUI. 1083-1087

33

14. Sandra Lee Gardner , Brian S. Carter , Mary I Enzman-Hines RN PhD AHN-BC , Jacinto A. Hernandez . Merenstein & Gardner's Handbook of Neonatal Intensive Care. The Regents of the University of California. 2004. 79-80. 15. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col M. Kanitkar. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63 : 269-272
16.Arun K Pramanik, MD, MBBS; Chief Editor: Ted Rosenkrantz. Repiratory distress syndrome. Di tinjau tanggal 25 Juli 2013. Dapat di tinjau di : http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview

17. Miall.L, Waillis. S, The management of respiratory distress in the moderately preterm newborn infant. 2011. Neonatal intensive care unit, Leeds teaching hospital NHS trust, Leeds, UK. Publis 18. Nur. A, Risa Etika, Sylviati M. Damanik, Fatimah Indarso, Agus Harianto. Pemberian surfaktan pada bayi prematur dengan respiratory distress syndrome, SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.UNAIR/RSUD Dr. Soetomo. 2006 19. Pudjiadi antonius. Hegar badriul. Handriastuti S. Idris Salamia. Gandaputra E. Harmoniati E. penyakit membran hyalin, buku pedoman pelayanan medis IDAI jilid 1.238-242. 20. Sweet DG, Cernielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al. European Consensus Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants-2010 Updates. Neonatalogy 2010, 97:402-417 21. Liu J, Shi Y, Dong J, Zheng T, Li J, Lu L, Liu J, Liang J, Zhang H and Feng Z. Clinical characteristics, diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term neonates. Chin Med J 2010;123(19):2640-2644 22. William Benitz. Mechanical Ventilation.2004. Part 3-B-Respiratory 127-135 23. Steven M Donn and Sunil K Sinha. Respiratory Care : Invasive and Noninvasive Neonatal Mechanical Ventilation. 2003. Volume 48 Chapter 4, 426-441
34

24. Cartwright.D, Beaumont.T. Management of neonatal respiratory distress incorporating the administration of continuous positive airway pressure (CPAP).Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines.September 2009 25. Atul Kr Gupta. The child and the newborn.Neonatolgy: Surfactant replacement therapy Vol.16, No.1 & 2, January - June 2012.17-20

35

Вам также может понравиться