Вы находитесь на странице: 1из 8

Good Governance Brief

Keterlibatan Warga dan Tata Pemerintahan yang Partisipatif


Tantangan dan Peluang untuk Meningkatkan Pelayanan Publik di Tingkat Daerah
Agar fungsional, demokrasi memerlukan adanya warga yang berpengetahuan luas, media yang berdaya, masyarakat yang berpartisipasi menyusun kebijakan, negara yang responsif, serta proses pemerintahan yang terbuka, transparan menampung semua kepentingan. Memperbaiki hubungan warga dengan pemerintah mengharuskan ditingkatkannya efektivitas dan tingkat respons negara, pemberdayaan warga, serta akuntabilitas pejabat dan anggota DPRD. Negara tidak bisa bekerja sendirian memecahkan berbagai masalah masyarakat dan memberikan obat untuk defisit demokrasi tindakan warga juga diperlukan. Demokrasi yang bermakna harus memperkuat suara masyarakat, mendemonstrasikan sistem tata pemerintahan yang responsif, serta mempromosikan kepentingan semua warga. Paradigma baru tata pemerintahan meliputi proses, politik dan kemitraan. Di masa lalu, banyak negara (termasuk Indonesia) dikelola oleh pejabat yang mengambil keputusan semata berdasar pengetahuan teknis dan kepentingan pribadi. Tapi, struktur dan tuntutan tata pemerintahan yang baru medorong lembaga pemerintah mengembangkan konsultasi publik, menerapkan praktek tata pemerintahan partisipatif di tingkat daerah, mendorong partisipasi masyarakat dan mengembangkan kemitraan baru dengan organisasi Ada kegairahan tinggi sehubungan dengan peluang baru masyarakat warga. Hal ini memerlukan deprofesionaldemokratisasi dan otonomi daerah yang segera disambut oleh isasi politik dan administrasi publik. Tata pemerintahan masyarakat. Pemerintah daerah, kini ada di garis terdepan tidak hanya milik para spesialis dan pejabat pemerinperubahan sosial dan politik dan perlu bekerja erat dengan tah. Aktor pemerintah harus mulai membuka diri bagi warga untuk menghantarkan agenda rumit pelayanan publik, pengambilan keputusan yang lebih responsif dan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. transparan. Tanpa transparansi, partisipasi warga tidak akan efektif. Tanpa akuntabilitas, mereka yang berkuasa bisa mengabaikan kehendak rakyat. Dengan menuntut pemerintah cepat tanggap terhadap kebutuhan ekonomi dan sosial, aktivitas terorganisir warga bisa memiliki pengaruh riil dan kasat mata terhadap kinerja pemerintah dan juga terhadap kualitas dan tingkat respons pelayanan publik. Risalah ini fokus pada peran aktif warga dalam tata pemerintahan daerah. Khususnya, menyoroti upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat warga untuk memperbaiki pelayanan publik lewat berbagai peran yang dimainkan warga: sebagai klien, sebagai warga penuntut perbaikan, dan sebagai penduduk yang berbagi peran dalam penyediaan layanan. Risalah ini terdiri beberapa bagian: Munculnya masyarakat warga (civil society) dan partisipasi masyarakat di Indonesia Kerangka kebijakan untuk keterlibatan warga Praktek keterlibatan organisasi masyarakat warga dalam tata pemerintahan partisipatif Tantangan terhadap partisipasi warga dalam tata pemerintahan daerah dan pelayanan publik Rekomendasi dari konferensi nasional yang dilaksanakan Mei 2008

Agustus 2 0 0 8

Munculnya Masyarakat Warga dan Partisipasi Masyarakat di Indonesia


Terdapat sejarah panjang perkumpulan warga di Indonesia. Tekstur kaya berbagai kelompok masyarakat dan gerakan sosial telah lama ada: masyarakat agamis, sekolah swasta, perkumpulan kredit, kelompok gotong-royong, RT/RW, perkumpulan pengguna air, dan banyak lainnya. Kebanyakan kelompok ini bersifat askriptif (berdasar pada suku, agama, jenis kelamin atau kekeluargaan) dan bukan sukarela. Hanya dengan kebangkitan modernisasi selama dekade kebangkitan nasional (19101920) organisasi masyarakat itu berkembang menjadi domein publik yang mandiri. Beratus-ratus, jika tidak beribu-ribu, organisasi massa berdiri berdasarkan agama, suku, afiliasi politik dan keprihatinan bersama lainnya. Di tahun 2008 ini, Indonesia merayakan seratus tahun berdirinya organisasi massa yang pertama, Budi Utomo. Organisasi non-pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) mulai dikenal di Indonesia di akhir tahun 1970-an. Walaupun pemerintah Orde Baru mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, kemiskinan dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan menciptakan ruang bagi LSM untuk berperan dalam kegiatan sosial dan ekonomi berbasis masyarakat. Peraturan Departemen Dalam Negeri pada tahun 1990 memformalisasikan kerjasama ini dan mengijinkan LSM terpilih terlibat dalam pembangunan dengan menjadi mitra pemerintah. Lembaga Swadaya Masyarakat ini terlibat dalam berbagai bidang, baik sebagai penyedia layanan publik atau sebagai agen program pemerintah yang tanpa mereka layanan tidak akan dapat menjangkau strata terendah masyarakat. Namun demikian, masih terdapat larangan tentang kebebasan berkumpul dan berekspresi. Organisasi warga diatur dengan Undang-undang No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang memungkinkan negara menghalangi pertumbuhan organisasi non-pemerintah pada 1980-an, dan membatasi kesempatan organisasi kemasyarakatan non-pemerintah (termasuk LSM) untuk bebas beroperasi. Dengan munculnya paradigma pembangunan masyarakat (community development) di akhir 1970-an dan awal 1980-an, pemerintah memperkenalkan organisasi pembangunan masyarakat seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Selama tahun 1990-an, penilaian partisipasi pedesaan (participatory rural appraisal) dan bentuk lain pembangunan berbasis proyek menjadi hal yang biasa antara para donor dan LSM. Tetapi, pada prakteknya, seringkali partisipasi ini dikooptasi oleh elit lokal dan hasil konsultasi publik tertutup bagi publik. Maka, partisipasi pun menjadi mobilisasi terpaksa melalui apa yang dinamakan gotong royong untuk proyek pembangunan masyarakat; yang sekali lagi, sering disalahgunakan oleh elit lokal untuk kepentingan pribadi. Dengan berakhirnya pemerintah Orde Baru tahun 1998, larangan terhadap partisipasi dan masyarakat warga dihilangkan. Pemilihan umum yang demokratis pada tahun 1999 dan 2004 memungkinkan dipilihnya anggota DPRD yang lebih akuntabel (lihat Good Governance Brief LGSP Peran DPRD dalam Meningkatkan Otonomi Daerah dan Tata Pemerintahan yang Baik, terbitan April 2008). Pemilihan langsung kepala daerah mulai 2005 telah mulai memunculkan pemimpin yang lebih responsif. Implementasi desentralisasi sejak 2001 telah memungkinkan munculnya inovasi daerah dan berpindahnya proses pembuatan keputusan lebih dekat kepada warga. Kebebasan berkumpul dan berbicara telah mendorong masyarakat warga yang terorganisir memainkan peran lebih penting dalam kehidupan publik. Sepuluh tahun terakhir jumlah organisasi masyarakat warga di seluruh Indonesia sangat meningkat berbarengan dengan bangkitnya masyarakat warga. Penyebaran demokrasi telah membuka kesempatan baru bagi kelompok masyarakat warga di Indonesia untuk berpartisipasi memperkenalkan institusi dan mekanisme akuntabilitas dalam negara yang sebelumnya tidak menyokong keterlibatan warga. Dengan meningkatnya kebebasan dasar berekspresi dan berkumpul, muncul dan berkembanglah berbagai ide serta aktor sosial baru karena masyarakat yang sebelumnya ditolak berpartisipasi kini mencoba lebih terlibat. Indonesia memiliki potensi untuk perubahan sosial yang besar serta peningkatan kewirausahaan. Untuk mengimbangi hal ini, para pejabat daerah juga telah mulai membuka pintu bagi masukan dari warga dan organisasi masyarakat.

Kerangka Kebijakan untuk Keterlibatan Warga


Sebuah telaah mengenai kerangka hukum partisipasi warga1 menjelaskan bagaimana peluang baru ini tumbuh lewat berbagai undang-undang sektoral. Contohnya Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memperkenalkan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan berbasis kabupaten; Undang-undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang mewajibkan badan pemerintah daerah menyelenggarakan dengar pendapat publik tentang kebijakan sumber daya air; Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan yang memperkenalkan konsep kehutanan masyarakat; dan Undang-undang No. 27/2007 tentang Tata Ruang yang mengakui hak warga untuk terlibat dalam desain tata ruang dan mengakses dokumen perencanaan. Warga juga berpartisipasi dalam siklus perencanaan pembangunan, melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang diselenggarakan pemerintah (lihat Good Governance Brief LGSP Musrenbang sebagai Penggerak Penting dalam Penganggaran Partisipatif yang Efektif, terbitan Juli 2007). Berdasar Undang-undang No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Musrenbang adalah langkah pertama dalam perencanaan partisipatif dan siklus anggaran yang memungkinkan warga membuat prioritas kebutuhan mereka lewat pertemuan Musrenbang tingkat desa, kecamatan dan kabupaten.2 Warga memiliki hak berpartisipasi dalam semua tingkatan Musrenbang. Beberapa pemerintah daerah juga telah menetapkan peraturan daerah (Perda) yang memungkinkan transparansi dan partisipasi warga dikonsultasikan dalam proses pembuatan kebijakan. Meskipun partisipasi warga tidak bisa sepenuhnya diatur undang-undang, setidaknya Perda tranparansi telah memberi perlindungan hukum dan dorongan bagi warga untuk terlibat dan mengabadikan haknya dalam undang-undang. Perda ini juga menjamin akses terhadap informasi tertentu di daerah. Ini penting karena Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik baru disahkan DPR April 2008 dan masih perlu waktu untuk diterapkan penuh. Departemen Dalam Negeri, yang kini tengah merevisi Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tengah mempertimbangkan untuk memasukan satu bagian tentang partisipasi warga yang akan menjamin hak warga untuk mengakses dokumen daerah dan menjadi peserta aktif dalam proses penganggaran dan penyusunan peraturan daerah serta kebijakan publik lainnya.

Keterlibatan Masyarakat Warga dalam Pemerintahan Partisipatif


Tidak seperti pemerintah daerah dan DPRD, tidak ada peran yang telah ditentukan untuk organisasi masyarakat warga dalam urusan kebijakan publik. Secara global, peran formal organisasi masyarakat warga dan lembaga swadaya masyarakat tidak dikenal oleh pemerintah maupun organisasi internasional hingga 20 tahun lalu. Bentuk demokrasi klasik tidak memberi peran bagi warga selain sebagai pemilih dan konsumen dari pelayanan pemerintah. Tetapi, bersamaan dengan perubahan paradigma dari government ke governance, dan kebangkitan masyarakat warga dalam gelombang ketiga demokrasi global, istilah seperti civil society, citizen participation dan governance makin biasa terdengar. Institute of Development Studies (IDS) di Inggris telah menerbitkan suatu matriks yang mengklasifikasikan pola dan cara masyarakat warga dan pemerintah berinteraksi3. Bentuk dan pola itu adalah antara lain: peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas untuk mobilisasi; riset dan penyusunan informasi untuk advokasi; lobi untuk mempengaruhi perencanaan dan penyusunan kebijakan; pengawasan dan evaluasi yang berbasis warga;

1 2

Suhirman, Kerangka Hukum dan Kebijakan Partisipasi Warga di Indonesia, Bandung 2007. Dirinci dalam Surat Edaran Bersama Departemen dalam Negeri dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 0008/ M.PPN/01/2007 tentang Petunjuk Tehnis Penyelenggaraan Musrenbang. Goetz, Anne Marie and Gaventa, John, Bringing Citizen Voice and Client Focus into Service Delivery, Lembar Kerja IDS No. 138, Juli 2001, halaman 15.

kemitraan dan implementasi; pemeriksaan (auditing); pengelolaan bersama program sektoral (termasuk rencana produksi bersama); dan kerangka kerja pemerintah untuk perencanaan yang partisipatif.

Peran yang dimainkan masyarakat warga dalam tata pemerintahan di Indonesia terentang mulai dari pengawasan murni, advokasi sampai menjadi fasilitator resmi Musrenbang. Keterlibatan komunitas dalam tata pemerintahan dapat mengambil bentuk beragam, dan merupakan prasyarat bagi perubahan sosial berkelanjutan. Beberapa tahun terakhir, muncul sejumlah praktek dan eksperimen keterlibatan warga. Sebagian didukung para donor tetapi kebanyakan dimulai oleh pejabat pemerintah yang reformis bermitra dengan organisasi masyarakat warga. Beberapa kasus khusus dipaparkan pada konferensi nasional LGSP Keterlibatan Warga dan Tata Pemerintahan yang Partisipatif di Jakarta, Mei 2008. Lima diantaranya disarikan di bawah ini.4 Kelompok masyarakat warga telah berhasil melobi pemerintah untuk alokasi dana lebih besar bagi sektor pendidikan, perawatan kesehatan bagi kaum miskin, dan penganggaran yang lebih peka gender. Berpindah dari pola lama politik protes, kelompok masyarakat warga kini terlibat dengan badan pemerintah dalam konsultasi publik, dengar pendapat anggaran dan gugus tugas antar pemangku kepentingan. Dengan keterampilan berorganisasi dan advokasi yang baru, koalisi warga makin memperoleh kepercayaan dari pejabat pemerintah yang responsif. Di Parepare (Sulawesi Selatan), aliansi warga lokal bermitra dengan badan pemerintah dan anggota DPRD sukses membagikan uang Bantuan Langsung Tunai (program pemerintah yang di beberapa daerah lain mendapat perlawanan) dan memperoleh komitmen pemerintah daerah untuk memberi bantuan tambahan bagi keluarga miskin di tiga kecamatan sebagai sebuah proyek percontohan. Kartu laporan warga (citizen report card) dan kontrak pelayanan (citizen charter) telah memungkinkan terjadinya interaksi pemerintah warga pada pelayanan publik tertentu dan mendorong lembaga pemerintah meningkatkan pelayanan lewat tuntutan publik. Pakta integritas menjamin peran yang jelas bagi warga dalam pengawasan pelayanan publik. Sepanjang 2007, LGSP dan mitra lokal berhasil memperkenalkan kartu laporan warga (CRC) ini di tiga kabupaten: Padang Panjang (Sumatera Barat), Semarang (Jawa Tengah) dan Gowa (Sulawesi Selatan). LSM lokal dengan kemampuan melaksanakan survei kepuasan dan analisis data digabungkan dengan kelompok advokasi yang menggunakan hasil survei itu untuk berdialog tentang perbaikan pelayanan publik dengan badan pemerintah daerah. Di Gowa awal 2008, siaran langsung televisi mempertemukan bupati dengan dua wakil masyarakat untuk membicarakan hasil CRC yang menyebut tingkat kepuasan warga terhadap pelayanan pendidikan menengah sangat rendah. Dalam dialog itu, bupati Gowa menjanjikan kerjasama dengan lembaga pendidikan daerah untuk memperbaiki pendidikan. Bupati mendukung proses CRC dengan mengatakan: Survei ini sesuai dengan peraturan daerah transparansi, dan membuktikan bahwa pemerintah daerah Gowa benarbenar melibatkan warga untuk memantau kinerja pelayanan publik. Kelompok advokasi dan pengawasan anggaran telah mendedah praktek anggaran pemerintah yang tak responsif, seperti tidak konsistennya kebijakan perencanaan dan penganggaran, alokasi dana yang rendah untuk pelayanan publik, serta besarnya biaya operasional jika dibandingkan dengan pelayanan. Anggaran yang rumit dapat dibuat lebih transparan dengan mempublikasikan poster dan kalender anggaran serta menyelenggarakan dengar pendapat anggaran. Sebagaimana dicatat International Budget Project (www.internationalbudget.org), keterlibatan masyarakat warga dalam penerapan kerja anggaran (termasuk analisis, advokasi, dan transparansi anggaran) dapat menjadi cara yang kuat untuk memaksa pemerintah menjadi akuntabel sekaligus mengenalkan kebijakan pemberian bantuan bagi kaum yang kurang beruntung. Beberapa organisasi masyarakat warga yang bermitra dengan anggota DPRD di Kota Madiun misalnya, menemukan ketidaksesuaian dalam draft anggaran 2008 dan bersama menyampaikan keberatan dan menuntut klarifikasi. Hal ini memberi isyarat pada pemda bahwa mereka diawasi, dan terbukti draft anggaran itu lalu direvisi. Melibatkan dan mengorganisasikan warga benar-benar bisa memaksa pemerintah untuk lebih akuntabel mengenai praktek pengeluaran mereka. Sehubungan dengan transparansi anggaran, organisasi masyarakat warga telah berhasil melobi pemerintah daerah untuk mempublikasikan anggarannya. Pada 2006, di Padang Panjang (Sumatera Barat), LGSP bekerja
4

Materi konferensi selengkapnya dapat dilihat di situs web LGSP, www.lgsp.or.id.

Dukungan LGSP terhadap Keterlibatan Masyarakat Warga dalam Tata Pemerintahan Daerah
Salah satu tujuan utama LGSP adalah untuk memperkuat kapasitas organisasi masyarakat warga dalam mendesak pemerintah daerah agar lebih tranparan dan akuntabel, juga dalam mengadvokasi warga menuntut pelayanan publik yang lebih baik, serta dalam memposisikan organisasi masyarakat warga sebagai mitra sah yang dihormati pemerintah. Program LGSP membantu meningkatkan peluang bagi keterlibatan publik dan memperkuat keahlian warga untuk memberikan kontribusi secara konstruktif dan efektif terhadap kebijakan publik, khususnya dalam perencanaan dan siklus anggaran, serta peningkatan pelayanan publik. Dukungan diberikan guna mendorong organisasi masyarakat untuk: Beradvokasi untuk perbaikan pelayanan dan pemantauan kinerja pemerintah, Berpartisipasi dalam perencanaan daerah, penganggaran dan penyusunan kebijakan publik, dan Mengawasi pelaksanaan program pemerintah daerah dan DPRD.

Dalam tiga tahun terakhir ini, LGSP mendukung berdirinya kelompok kepentingan publik dan aksi warga yang telah terlibat dan berhubungan efektif dengan lembaga pemerintah dan DPRD. LGSP juga telah mengembangkan paket pelatihan, dan memberikan pelatihan di bidang analisis anggaran, pelayanan publik dan ketrampilan advokasi. Di tahun 2007 saja, LGSP telah membantu menyelenggarakan 150 acara tata pemerintahan seperti dengar pendapat anggaran, konsultasi publik dan rembug warga (townhall meetings) yang memungkinkan masyarakat dan organisasi masyarakat warga memberikan masukan kebijakan. Lebih dari 160 organisasi masyarakat warga telah menganalisis APBD dan mengajukan temuan mereka kepada pemerintah daerah, dua kali lipat lebih dari jumlah di tahun 2006. LGSP juga mendukung keterlibatan organisasi masyarakat warga dalam peningkatan implementasi pelayanan publik dalam pengawasan pelayanan publik. Dengan menggunakan analisis anggaran dan advokasi anggaran, warga telah terlibat lebih efektif dalam perencanaan dan penganggaran pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, dan di beberapa kasus berhasil membuat alokasi anggaran meningkat. sama dengan pejabat kota mendesain dan menjalankan kampanye untuk meningkatkan pemahaman warga mengenai proses penganggaran publik, serta program dan pengeluaran tahunan pemerintah. organisasi masyarakat warga dan para pemuka masyarakat menyambut inisiatif ini, termasuk pengakuan pemerintah atas hak dasar untuk memperoleh informasi anggaran dan kesediaan menjadikan pandangan komunitas sebagai pertimbangan dalam keputusan penganggaran. LGSP juga membantu pemerintah daerah mengembangkan kampanye informasi berupa ruang di media dan poster-poster yang memuat alokasi anggaran pembangunan tahunan. Poster dirancang mudah terlihat di gedung pemerintahan, sekolah, warung kopi, dan pasar. Bappeda melaporkan mereka kesulitan memenuhi permintaan publik terhadap poster itu. Dalam acara peluncuran resmi, walikota Padang Panjang menekankan bahwa inisiatif transparansi ini akan membantu memperbaiki implementasi anggaran melalui partisipasi publik, dan menambahkan Ini terobosan yang akan diteruskan di masa depan. Pemerintah daerah Padang Panjang belakangan mempublikasikan poster anggaran 2007 dan 2008 atas inisiatif mereka sendiri. Rembug warga ( town-hall meetings) dan kebangkitan kembali tradisi pertemuan warga untuk membangun konsensus, menjadi forum pelibatan konstruktif warga dan pemerintah. Di Jepara (Jawa Tengah) dan Mojokerto (Jawa Timur), rembug warga besar digelar awal 2008 sebagai sarana bagi warga untuk memberi masukan dalam proses perencanaan. Pertemuan ini terbuka dan dihadiri pejabat senior, anggota DPRD, forumforum warga, organisasi komunitas dan LSM kunci. Tujuannya bukanlah untuk membuat proses perencanaan paralel, namun justru untuk melengkapi dan memberi masukan pada pertemuan Musrenbang dengan cara menyiapkan warga lebih baik untuk forum SKPD dan Musrenbang, serta membuat pemerintah menyadari keresahan utama warganya. Kelompok kerja yang dibentuk di dua kota itu juga akan terus berhubungan dengan pemerintah untuk menjamin adanya kesepakatan yang tepat waktu untuk peristiwa penganggaran.

Tantangan terhadap Partisipasi Warga dalam Tata Pemerintahan Daerah dan Pelayanan Publik
Sejumlah faktor dan tantangan masih menghalangi pendalaman keterlibatan warga. Indonesia adalah demokrasi yang masih berusia muda, dengan administrasi publik dan struktur pegawai negeri masih terkait dengan masa lalu yang otoriter. Politisi terlihat masih melayani diri sendiri dan masih ada sisa ketidakpercayaan antara aktivis LSM dan pejabat pemerintah. Maka, apa yang dapat dicapai masyarakat warga pun terbatas. Berikut beberapa faktor yang menjadi penghalang partisipasi warga dan demokrasi lokal di Indonesia didiskusikan: Korupsi. Indonesia masih berada di seperempat bagian terbawah pada Corrupion Perception Index Transparency International. Hal ini mengurangi keyakinan terhadap lembaga negara, dan membuat banyak organisasi berbasis warga berhati-hati bekerja sama secara formal dengan institusi negara. Rasa berkuasa di antara politisi, pejabat pemerintah dan elit lokal mempersulit tuntutan partisipasi warga.Anggota DPRD kadang menganggap dengar pendapat publik tidak diperlukan,Kami sudah mewakili masyarakat, kata mereka. Sentimen ini berkait dengan hubungan patron-klien yang mengakar dan anggapan adanya kewajiban menunjukkan penghormatan kepada mereka yang berstatus lebih tinggi. Dalam wacana demokratis saat ini, hal di atas kurang wajar, tapi praktek lama ini masih tetap ada. Pejabat pemerintah memiliki tugas, yang menurut mereka harus dilakukan tanpa campurtangan pengawasan dari luar. Untuk penyediaan pelayanan publik, pejabat pemerintah mungkin merasa penghantaran layanan adalah hak mereka. Warga hanya diperlakukan sebagai pengguna, bukan pemangku kepentingan atau konsumen yang dimintai pendapat. Staf pemerintah daerah juga kurang memiliki insentif dan kesempatan dalam melakukan inovasi. Saling tidak percaya. Terkait dengan tema korupsi dan rasa berkuasa adalah ketiadaan rasa percaya, satu warisan rezim lama yang terus ada. Pejabat berargumen bahwa warga desa tidak kompeten memutuskan masa depannya; sebaliknya warga tidak percaya para pejabat merencanakan pembangunan dengan niat untuk membela rakyat. Selama dengar pendapat publik yang partisipatif dan rembug warga, ketidakpercayaan ini kadang tumpah dalam interaksi yang memanas. Reformasi birokrasi yang lambat. Aparat negara masih mencantol keatas dan patrimonial. Pegawai negeri cenderung melihat diri mereka sebagai pejabat dengan hak istimewa dan bukan sebagai abdi masyarakat yang punya tanggung jawab.Tempat akuntabilitas masih terlalu tinggi dalam hirarki administratif. Sulitnya implementasi peraturan perundang-undangan. Walaupun terdapat peraturan perundang-undangan yang memberikan ruang bagi warga untuk terlibat dalam rencana kebijakan dan pembuatan keputusan, prakteknya peran warga justru seringkali dibatasi sebagai pengamat pasif pada acara yang diselenggarakan pemerintah. Ada rasa frustasi terhadap pelaksanaan Musrenbang dan dengar pendapat mengenai Perda-Perda, karena seringkali acara itu tidak lebih dari penyebaran informasi tentang keputusan yang telah diambil. Kapasitas berbeda diantara organisasi masyarakat warga. Banyak orang, termasuk para aktivis LSM punya pemahaman terbatas mengenai isu pemerintahan, dan tidak mengerti program politik, siklus penyusunan kebijakan pemerintah ataupun cara menggunakan sarana legal untuk memberantas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka sering menggunakan pendekatan yang kurang halus atau destruktif. Politik protes yang bisa memperburuk rasa saling percaya masih ada di kalangan LSM. Juga masih ada kecenderungan untuk fokus mencari keuntungan jangka pendek dari pemerintah, dalam bentuk peningkatan alokasi anggaran atau pelayanan publik untuk kelompok sosial tertentu (misalnya pendidikan untuk kaum tunanetra) dibanding mengejar isu lebih luas menuntut pejabat publik lebih akuntabel terhadap yang dilakukan (atau tidak dilakukan) agar mereka melaksanakan tanggungjawabnya secara konsisten dan efektif.5

Bacaan lebih lanjut, lihat Bab 6 dalam Merilee S. Grindle, Going Local. Decentralization, Democratization and the Promise of Good Governance. Princeton (NJ): Princeton University Press, 2007.

Kepemimpinan. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam tata pemerintahan daerah di Indonesia sangat bergantung pada niat baik dan aktifitas kewirausahaan para pemimpin lokal. Jika ada pemimpin daerah baik dari lembaga eksekutif ataupun legislatif berpikiran reformis, keterlibatan masyarakat dalam tata pemerintahan daerah juga akan tinggi. Sebaliknya, di daerah yang kurang terbuka, warga terpaksa menggunakan cara-cara lain seperti demonstrasi dan protes untuk mengekspresikan pandangan mereka tentang kebijakan publik. Keterlibatan komunitas yang efektif tergantung pada para pelopor partisipasi6 di dalam maupun di luar pemerintahan Berubah-ubahnya aturan tentang kebebasan berkumpul dan informasi. Meskipun hak-hak publik diundangkan dalam konstitusi yang telah diamandemen, warga masih sulit menjalankan hak-hak demokratik mereka, contohnya dalam mengakses dokumen publik. Ada pula upaya-upaya pemerintah daerah untuk membatasi kebebasan LSM. Undang-undang No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sekarang sedang direvisi, dan sebagian pengamat khawatir undang-undang ini akan memperketat kontrol negara terhadap kebebasan berserikat.

Rekomendasi
Pada Mei 2008, LGSP menggelar konferensi nasional tiga hari Keterlibatan Warga dan Tata Pemerintahan yang Partisipatif: Tantangan dan Kesempatan untuk Meningkatkan Pelayanan Publik di Tingkat Daerah, menggunakan kerangka kerja risalah ini. Hadir sekitar 200 mitra tata pemerintahan daerah, baik lembaga legislatif maupun eksekutif serta perwakilan organisasi masyarakat warga di 35 kabupaten/kota, juga lembaga donor dan mitra LGSP di pemerintah pusat. Pembicara kunci adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta, yang diwakili Raden Siliwanti, Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas. Juga hadir pembicara internasional Jesse Robredo, walikota Naga City dari Filipina; Derick Brinkerhoff, senior fellow RTI International; Judith Edstrom, chief of party LGSP; dan Robert Cunnane, Acting Mission Director USAID. Konferensi ini menggarisbawahi upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat warga untuk memperbaiki penghantaran pelayanan publik melalui berbagai peran yang dilakukan warga: sebagai klien, sebagai warga penuntut perbaikan, dan sebagai penduduk yang ikut berbagi peran dalam penyediaan pelayanan publik. Rekomendasi yang muncul dari konferensi dan dari kerja LGSP di bidang ini adalah: Memastikan agar kerangka hukum mewajibkan pejabat pemerintah dan anggota DPRD melibatkan warga dan organisasi masyarakat warga dalam pengambilan kebijakan. Sebagaimana telah disebut, ada banyak peraturan sektoral dan regulasi lokal yang memungkinkan warga terlibat dalam pengambilan keputusan pemerintah. Namun, kerangka hukum harus benar-benar jelas dan bisa dijalankan. Perlu peraturan pelaksanaan di tingkat pusat agar ada petunjuk tehnis yang jelas sehingga warga bisa terlibat dalam pengambilan keputusan. Memelihara kebebasan warga. Aktivis masyarakat warga dan intelektual khawatir proses revisi UU 8/ 1985 tentang organisasi massa akan berujung pada pengekangan kebebasan berserikat dan berbicara. Peserta konferensi sepakat bahwa pemerintah harus berkonsultasi dengan jaringan masyarakat warga nasional dalam merancang Undang-Undang itu, sehingga bisa menjamin hak asasi berserikat dan berbicara terlindungi. Terus mengembangkan dan mendukung praktek memihak warga seperti meja keluhan, pakta integritas, kartu laporan warga, dan forum multi-stakeholder. Beberapa daerah telah menerapkan cara praktis untuk menjamin keterlibatan nyata warga. Cara-cara ini harus dievaluasi untuk disebarkan ke daerah lain. Lembaga donor biasanya mendukung inovasi ini, tapi jaringan organisasi masyarakat warga dan lembaga seperti Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara seharusnya juga menyokong. Rembug warga di pendopo kota/kabupaten, forum warga, dan forum multistakeholder lain mulai menjadi kebiasaan dan terbukti mampu membuat pemerintah lebih akuntabel serta menggalakkan perubahan sosial yang positif. Forum semacam ini harus disokong dan dilembagakan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
6

Lihat Champions of Participation: Engaging Citizens in Local Governance, Laporan IDS international learning event, May 2007.

Memperbaiki akuntabilitas LSM/organisasi masyarakat warga. Akuntabilitas adalah prasyarat untuk advokasi yang berhasil. Masyarakat akan diuntungkan jika LSM menerapkan standar tinggi, sebagaimana standar yang mereka tuntut terhadap pejabat pemerintah. Jaringan organisasi masyarakat warga harus menjamin agar lembaga mitra tak menyalahgunakan kepercayaan pemerintah untuk keuntungan pribadi. Terlebih, mengingat secara historis ada ketidakpercayaan dan politik protes yang tinggi di Indonesia, jaringan LSM harus mendorong anggotanya untuk mengalihkan energi ke bentuk keterlibatan yang lebih efektif, seperti forum warga, partisipasi popular dan advokasi kebijakan yang didasarkan pada analisis data. Mekanisme seperti itu bisa menyalurkan tuntutan warga menjadi permintaan yang lebih konstruktif dan memperbaiki kualitas dari kinerja pemerintah. Menjadikan proses perencanaan dan penganggaran lebih transparan. Proses perencanaan musrenbang dengan persiapan anggaran pemerintah sering tidak berhubungan. Maka, meski warga terlibat dalam proses perencanaan, tidak berarti anggaran final pemerintah akhirnya merefleksikan prioritas warga. Cara untuk menjamin adanya konsistensi adalah dengan mengijinkan warga berpartisipasi pada pertemuan persiapan penganggaran, termasuk ketika kerangka anggaran tengah dipersiapkan oleh DPRD dan tim anggaran pemerintah daerah. Menyiapkan anggaran memang hak prerogatif pemerintah, namun pengawasan publik pada saat-saat penting akan memperkecil kemungkinan kepentingan pribadi mempengaruhi alokasi anggaran. Mendukung penyertaan peran warga pada pelayanan publik tertentu. Di banyak negara, pelayanan publik membaik setelah diserahkan kepada komunitas. Contohnya termasuk pengelolaan air limbah, penitipan anak, dan klinik ibu-anak. Skema semacam ini belum sepenuhnya diterapkan secara efektif di Indonesia. Peraturan pemerintah No 50/2007 tentang kerjasama pihak ketiga, yang memberikan kerangka hukum untuk kerjasama swasta-pemerintah, memunculkan peluang untuk meningkatkan kerjasama pemerintah, tak hanya dengan sektor swasta namun juga dengan organisasi warga.

Kesimpulan
Indonesia telah beranjak jauh dari praktek tata pemerintahan yang buruk, terpusat, dan penuh rasa saling tidak percaya milik pemerintah otoriter masa lalu. Ada kegairahan tinggi sehubungan dengan peluang baru demokratisasi dan otonomi daerah yang disambut masyarakat. Pemerintah dan masyarakat warga bergerak ke arah demokrasi yang lebih partisipatif dan bermakna, yang memberi persamaan dan kesejahteraan bagi semua. Donor seperti LGSP mendukung semua pemangku kepentingan untuk mengembangkan kapasitas tata pemerintahan mereka. Pemerintah daerah, kini ada di garis terdepan perubahan sosial dan politik, dan bukan sekadar pelengkap pemerintah pusat. Mereka harus bekerja erat dengan warga untuk menghantarkan agenda rumit pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Organisasi masyarakat warga bisa ambil bagian memobilisasi warga untuk membangun strategi menangani kebutuhan vital daerah. Untuk itu organisasi masyarakat warga memerlukan ruang, kapasitas dan legitimasi agar bisa terlibat dalam kemitraan yang berhasil.

Tentang LGSP
Program Dukungan Tata Pemerintahan Daerah (LGSP) membantu pemerintah daerah di Indonesia dengan bantuan teknis yang mendukung kerangka kerja untuk memerintah secara adil dan demokratis. LGSP mendukung pemerintah daerah menjadi lebih kompeten dalam tugas utama tata pemerintahan daerah dan mampu meningkatkan penyediaan layanan serta mengelola sumber daya dengan lebih baik. LGSP juga memperkuat kapasitas DPRD dan masyarakat dalam melaksanakan peran perwakilan dan pengawasan mereka, serta meningkatkan partisipasi warga dalam proses pembuatan keputusan. Bantuan LGSP bekerja di lebih dari 60 pemerintah kota/kabupaten terpilih di sembilan propinsi: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten dan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua barat. Program LGSP dilaksanakan atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, pemerintah daerah dan organisasi masyarakat dalam wilayah provinsi target LGSP. Program LGSP didanai oleh United States Agency for International Development (USAID) dan dilaksanakan oleh RTI International berkolaborasi dengan International City/County Management Association (ICMA), Democracy International (DI), Computer Assisted Development Incorporated (CADI) dan Indonesia Media Law and Policy Center (IMLPC). Pelaksanaan program dimulai pada 1 Maret 2005 dan akan berakhir pada 30 September 2009. Kantor Pusat LGSP Gedung Bursa Efek Indonesia, Tower 1, Lantai 29, Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53, Jakarta 12190, Indonesia Tel: +62 21 515 1755 Fax: +62 21 515 1752 Email: info@lgsp.or.id Website: www.lgsp.or.id

Вам также может понравиться