Вы находитесь на странице: 1из 154

SKRIPSI

KARAKTERISASI TEPUNG LIMA VARIETAS JAGUNG KUNING HIBRIDA DAN POTENSINYA UNTUK DIBUAT MIE JAGUNG

RIYANTI EKAFITRI F24051778

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

KARAKTERISASI TEPUNG LIMA VARIETAS JAGUNG KUNING HIBRIDA DAN POTENSINYA UNTUK DIBUAT MIE JAGUNG

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: RIYANTI EKAFITRI F24051778

2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KARAKTERISASI TEPUNG LIMA VARIETAS JAGUNG KUNING HIBRIDA DAN POTENSINYA UNTUK DIBUAT MIE JAGUNG

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : RIYANTI EKAFITRI F24051778 Dilahirkan pada tanggal 25 April 1988 di Yogyakarta Tanggal lulus : 29 Juni 2009 Menyetujui, Bogor, 2009

Nur Wulandari, STP, MSi Dosen Pembimbing I

Tjahja Muhandri, STP, MT Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen

Riyanti Ekafitri. F24051778. Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan Potensinya untuk Dibuat Mie Jagung. Di bawah bimbingan Nur Wulandari, STP, MSi dan Tjahja Muhandri, STP, MT.

ABSTRAK Jagung merupakan salah satu komoditi pangan Indonesia yang dapat diandalkan untuk dijadikan komoditas yang menunjang program ketahanan pangan. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung nasional adalah dengan penggunaan jagung hibrida. Jagung hibrida memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan jagung komposit. Oleh karena itu jenis jagung ini menjadi potensial diolah menjadi produk pangan, salah satunya diolah menjadi mie basah jagung. Selama ini penelitian tentang mie jagung telah banyak dilakukan, namun belum tersedia database varietas jagung terbaik yang cocok untuk dijadikan mie jagung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tepung lima varietas jagung kuning hibrida yaitu varietas NT 10, Bisi 16, Nusantara 1, Jaya, dan Prima serta mengetahui potensi kelima tepung jagung tersebut untuk dibuat mie jagung berdasarkan sifat fisik dan organoleptiknya. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu pembuatan tepung lima varietas jagung hibrida, karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, dan karakterisasi sifat fisik serta organoleptik mie basah jagung yang dihasilkan. Tepung jagung dihasilkan melalui metode penggilingan kering berdasarkan metode Fahmi (2007). Karakterisasi yang dilakukan terhadap tepung jagung adalah karakterisasi sifat fisiko kimia (pH, warna, proksimat, kadar pati, amilosa, amilopektin) dan karakterisasi sifat fungsional (sifat amilografi, water absorbtion capacity, kelarutan, dan swelling volume). Mie basah jagung pada penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode ekstrusi dengan ekstruder tipe MS9 Multi-Function Noodle Machine Operation. Mie dibuat dengan pengaturan tekanan secara manual menggunakan variabel terukur waktu adonan keluar pertama kali dari die hingga adonan mie habis di dalam ekstruder (filling rate). Pada penelitian pendahuluan pembuatan mie basah jagung, mie yang dihasilkan dianalisis sifat fisiknya meliputi parameter Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) (Oh et al. 1985) dan persen elongasi menggunakan alat Texture Analyzer TAXT 2. Pada penelitian utama, sifat fisik mie yang diamati secara objektif meliputi Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP), persen elongasi, kekerasan, dan warna. Persen elongasi dan kekerasan diukur dengan menggunakan alat Rheoner. Selain itu diamati pula sifat fisik mie secara subjektif melalui uji deskripsi QDA. Sifat fisik mie yang diamati dengan uji deskripsi QDA meliputi parameter KPAP, persen elongasi, kekerasan, kelengketan dan warna mie. Tingkat kesukaan mie terhadap sifat fisik mie dan penerimaan secara keseluruhan dianalisis dengan uji rating hedonik. Lima tepung jagung yang dihasilkan memiliki pH 5.29-5.96, kecerahan warna 84.35-85.17, kadar air 5.25-9.53% bb, kadar abu 0.23-0.60% bb, kadar protein 5.46-8.05% bb, kadar lemak 0.53%-2.90% bb, kadar karbohidrat 80.9884.25% bb, kadar pati 75.57-81.10% bb, kadar amilosa 21.53-29.80% bb, dan kadar amilopektin 45.77-59.57% bb. Kelima tepung jagung yang diteliti memiliki

sifat fungsional, dengan sifat amilografi yang meliputi suhu awal gelatinisasi 70.5-73.5oC, suhu puncak gelatinisasi 81.00-91.50oC, viskositas maksimum 357.50-510.00 BU, holding paste viscosity 270.00-370.00 BU, breakdown viscosity 32.50-240.00 BU, dan setback viscosity 180.00292.50 BU. Sifat fungsionalnya yang lain, yaitu water absorbtion capacity 1.44-1.63 (g/g), kelarutan 6.7610.26%, dan swelling volume 9.05-10.73 ml/gr. Mie basah jagung yang dibuat tanpa pemberian tekanan pada varietas NT 10 menghasilkan KPAP 7.15% dan elongasi 108.46%, sedangkan dengan pemberian tekanan menghasilkan KPAP 5.56% dan elongasi 126.29%. Pada pembuatan mie basah jagung selanjutnya diterapkan perlakuan tekanan. Semua varietas jagung kuning hibrida memiliki potensi untuk diolah menjadi mie basah jagung berdasarkan sifat fisik dan tingkat kesukaan terhadap mie jagung yang dihasilkan. Kelima mie basah jagung memiliki nilai KPAP sebesar 4.67-8.90%, elongasi dengan perlakuan awal dicelup sebesar 98.78116.23%, elongasi dengan perlakuan awal rendam air panas sebesar 94.64103.80%, kekerasan sebesar 73.25-248.88 gf, dan kecerahan warna (L) sebesar 39.18-67.09. Secara umum nilai KPAP, persen elongasi dan kekerasan mie basah jagung termasuk dalam kisaran contoh mie basah terigu yang digunakan sebagai standar. Mie basah terigu yang digunakan memiliki kisaran nilai KPAP 5.5910.84%, persen elongasi sebesar 98.4%-118.47%, dan kekerasan sebesar 120.002388.70 gf. Oleh karena itu dikatakan bahwa kelima tepung jagung yang dihasilkan berpotensi untuk dibuat menjadi mie jagung berdasarkan sifat fisiknya secara objektif. Selain pengukuran sifat fisik secara objektif, dilakukan pengukuran sifat fisik mie basah jagung secara subjektif organoleptik menggunakan uji deskripsi QDA. Berdasarkan uji deskripsi ini, mie basah jagung dideskripsikan memiliki nilai KPAP dan kecerahan warna yang berbeda nyata pada taraf 0.05 dan parameter elongasi, kekerasan, dan kelengketan dideskripsikan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Hal ini secara visual digambarkan dalam spider web diagram. Uji rating hedonik dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap kelima mie basah jagung berdasarkan sifat fisik yang dimilikinya. Mie basah jagung memiliki nilai KPAP yang agak disukai hingga cukup disukai panelis, elongasi yang agak tidak disukai panelis, kekerasan yang agak tidak disukai hingga cukup disukai panelis, kelengketan yang cukup disukai panelis, kecerahan warna yang cukup disukai hingga agak disukai panelis, dan penerimaan keseluruhan terhadap atribut fisik mie basah jagung yang cukup disukai panelis. Berdasarkan tingkat kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan terhadap atribut fisik mie basah jagung tersebut, disimpulkan bahwa mie basah jagung cukup berpotensi diterima oleh panelis sebagai produk mie.

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Riyanti Ekafitri dilahirkan pada tanggal 25 April 1988 di Yogyakarta dan merupakan putri pertama dari pasangan Ida Mariyanti Bsc, SP dan Ir. Yulnoma Satria. Penulis menempuh pendidikan di TK Pertiwi Jambi (1992-1993), pendidikan dasar di SDN 92 Jambi (1993-1995) dan di SDN 15 Jambi (1995-1999), pendidikan menengah pertama di SLTPN 7 Jambi (1999-2002), dan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Jambi (2002-2005). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahu 2005 melalui jalur USMI dan pada tahun 2006 diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah Jambi HIMAJA (2005-2008), koordinator Divisi Bakery Food Processing Club HIMITEPA (2007-2008), pengurus Unit Kebun Mahasiswa AGRIFARMA (20062007), staf HRD Bina Desa (2006-2007), panitia Suksesi HIMITEPA (2007), panitia BAUR 2007, panitian Massa Perkenalan Fakultas (2007) panitia HACCP (2007), panitia National Congres Food Safety, Quality, and Nutrition for The Best Future (2007), dan panitia Wisuda Tingkat Sarjana FATETA (2007).

Adapun seminar dan pelatihan yang pernah diikuti penulis yaitu Seminar HACCP (2006), seminar Tanaman Obat dan Sayur Organik (2007), Seminar Si Emas Merah dari Papua (2005), Pelatihan ISO 9001:2000 ISO 22000:2005 (2008), Pelatihan AMT (Achiefment Motivation Training) (2007), Pelatihan ESQ (2007), Pelatihan Sistem Manajemen Halal (2007), dan Pelatihan Tanaman obat (2006). Penulis pernah menjadi asisten pratikum pada mata kuliah Evaluasi Sensori Departemen ITP, FATETA, IPB (2008). Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari Bantuan Belajar Mahasiswa pada tahun 2008 dan 2009. Untuk menyelesaikan tugas akhirnya, penulis menulis skripsi dengan judul Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan Potensinya Untuk Dibuat Mie Jagung di bawah bimbingan Nur Wulandari, STP, MSi dan Tjahja Muhandri, STP, MT.

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan Potensinya untuk Dibuat Mie Jagung. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada : 1. Mama dan papa atas doa, kasih sayang, nasihat, dorongan dan motivasi yang dicurahkan tiada henti. 2. Nur Wulandari STP, MSi. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis. 3. Tjahja Muhandri, STP, MT. selaku Dosen Pembimbing II yang telah mendanai penelitian ini dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran. 4. Dra. Waysima, MSc. selaku Dosen Penguji atas masukan dan arahannya untuk kesempurnaan skripsi ini 5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 6. Adik-adikku tersayang, Dayu dan Nita atas doa, kasih sayang, motivasi, dan keceriaan yang diberikan. 7. Syahryan Affy atas kasih sayang, perhatian, dan semangat yang diberikan. 8. Teman-teman penelitianku: Gia, Shita, dan Tam-tam atas bantuan dan semangat yang telah diberikan. 9. Dilla atas masukan dan pola pikir yang selalu membangun penulis. 10. Teman-teman SQ tersayang: Cam-cam, Mum, Septi, Siti, Lina, Puty, Unun, dan Mbak Ade atas canda tawa, perhatian, semangat, motivasi dan keceriaan yang tak terlupakan.

11. Teman-teman PKM: Kak Tomi, Kak Tuko, Muji, dan Dilla atas kebersamaan, kekompakan, dan kekeluargaan yang telah tercipta. 12. Teman satu bimbingan, Wahyu dan Mbak Indri. Terimakasih untuk waktu berbagi, semangat, dan masukan-masukan yang telah diberikan kepada penulis. 13. Kak Angga ITP 40 yang telah membantu penulis di awal-awal penelitian. 14. Teman-teman ITP 42: Septi, Riska, Susan, Harist, Didot, Icha, Sobur, dan teman-teman lainnya yang namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, kekompakan, dan persahabatnnya selama ini. Banyak kenangan indah yang terukir bersama kalian. 15. Kak Ami atas semangat, dukungan, dan bantuannya selama penulis mengerjakan penelitian. 16. Pak Jun, Pak Deni, Pak Iyas, Pak Wahid, Pak Yahya, Bu Rubiyah, Bu Sri, Pak Rojak, dan semua laboran di Laboraturium ITP dan Seafast lainnya atas bantuan dan kerjasamanya . 17. Seluruh pustakawan dan pustakawati di PAU, PITP, dan LSI yang telah membantu penulis dalam mencari literatur.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2009

Penulis

ii

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................. i DAFTAR ISI ........................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ................................................................... 1 B. TUJUAN ....................................................................................... 3 C. MANFAAT ................................................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN JAGUNG .................................................................. 1. Deskripsi Tanaman Jagung ..................................................... 2. Jenis dan Komposisi Jagung .................................................... 3. Morfologi dan Anatomi Biji Jagung ........................................ B. TEPUNG JAGUNG ...................................................................... C. PATI JAGUNG ............................................................................. 1. Amilosa ................................................................................... 2. Amilopektin ............................................................................ 3. Hubungan Amilosa dan Amilopektin dengan Reologi Mie ...... 4. Gelatinisasi Pati ....................................................................... 5. Sifat Pati yang Diinginkan untuk Produk Mie .......................... D. MIE BASAH ................................................................................. E. MIE JAGUNG DAN TEKNOLOGI PROSESNYA ...................... F. KEUNGGULAN MIE JAGUNG .................................................. G. REOLOGI MIE BASAH ............................................................... H. EKSTRUSI ................................................................................... III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ................................................................... B. TAHAPAN PENELITIAN ............................................................ C. ANALISIS DAN PENGUKURAN ............................................... 1. Analisis Karakterisasi Fisiko-Kimia dan Fungsional Tepung Jagung a. Karakterisasi Sifat Fisik 1) pH (Derajat keasaman) ................................................ 2) Analisis Warna Menggunakan Metode Hunter ............. b. Karakterisasi Sifat Kimia 1) Kadar Air Metode Oven ............................................... 2) Kadar Abu ................................................................... 3) Kadar Lemak Metode Soxhlet ...................................... 4) Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl ......................... 5) Kadar Karbohidrat by Difference .................................. 6) Kadar Pati Metode Luff Schoorl ................................... 7) Kadar Amilosa ............................................................. 5 5 6 10 12 14 15 15 16 17 18 19 21 24 27 28 31 31 37

37 37 37 38 38 39 40 40 42 iii

c. Karaketrisasi Sifat Fungsional 1) Sifat Amilografi .......................................................... 2) Water Absorption Capacity .......................................... 3) Kelarutan dan Swelling Volume .................................... 2. Analisis Fisik Mie Basah Jagung a. Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer................................................................. b. Analisis Persen Elongasi Menggunakan Rheoner ............... c. Analisis Kekerasan Mie Menggunakan Rheoner ................ d. Pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) ........................... 3. Analisis Organoleptik a. Uji Deskripsi QDA ............................................................ b. Uji Rating Hedonik ............................................................ 4. Melihat Hubungan antara Sifat Fisik Mie dan Hasil Uji Rating Hedonik .......................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG ............................................. B. KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG 1. Karakteristik Fisiko-kimia Tepung Jagung a. Sifat Fisik Tepung Jagung 1) Nilai pH ....................................................................... 2) Warna Tepung Jagung ................................................. b. Sifat Kimia Tepung Jagung 1) Kadar Air .................................................................... 2) Kadar Abu ................................................................... 3) Kadar Protein ............................................................... 4) Kadar Lemak ............................................................... 5) Kadar Karbohidrat ....................................................... 6) Kadar Pati, Amilosa, dan Amilopektin ......................... c. Sifat Fungsional Tepung Jagung 1) Sifat Amilografi ........................................................... 2) Water Absorption Capacity (Daya absorbsi air) ............ 3) Kelarutan dan Swelling volume .................................... C. PEMBUATAN MIE BASAH JAGUNG 1. Penelitian Pendahuluan Pembuatan Mie Basah Jagung ............. a. Pembuatan Mie Basah Jagung ............................................ b. Hasil Analisis KPAP dan Elongasi Mie Basah Jagung pada Penelitian Pendahuluan .............................................. c. Perbaikan Proses Pembuatan Mie Basah Jagung ................ 2. Penelitian Utama Pembuatan Mie Basah Jagung ...................... a. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) ................ b. Persen Elongasi ................................................................ c. Kekerasan .......................................................................... d. Warna Mie Basah Jagung .................................................. D. HASIL UJI ORGANOLEPTIK 1. Hasil Uji Deskripsi ............................................................ 2. Hasil Uji Rating Hedonik....................................................

43 44 44

45 45 46 46 46 47 47 48

50 51 53 55 56 57 59 60 63 70 71 74 76 78 79 82 82 86 89 91 94 98 iv

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .............................................................................. 106 B. SARAN ......................................................................................... 107 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 108 LAMPIRAN ............................................................................................ 115

DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia dan gizi jagung dalam 100 g ................................... 9 2 Perbandingan komposisi kimia jagung dan gandum ............................ 10 3 Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya .............. 10 4 Bagian-bagian anatomi biji jagung ..................................................... 11 5 Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .................................................. 18 6 Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992 ............................ 21 7 Kelebihan dan kekurangan metode pembuatan mie teknik calandering dan ekstrusi .......................................................... 25 8 Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ..................... 41 9 10 11 12 Set up Texture Analyzer yang digunakan ........................................... 45 Nilai pH varietas tepung jagung hibrida ............................................ 51 Warna tepung jagung varietas hibrida ................................................ 52 Jumlah air yang ditambahkan pada tiap tepung jagung pada proses pembuatan mie basah jagung (basis tepung 100 g) ......... 55 13 14 15 16 Sifat amilografi tepung jagung hibrida .............................................. 64 Daya absorbsi air tepung jagung hibrida ............................................ 70 Kelarutan dan swelling volume tepung jagung hibrida ....................... 72 Spesifikasi ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China .......................................... 75 17 Hasil pengukuran KPAP dan elongasi mie basah jagung ................... 79

18 Waktu filling rate adonan mie dalam ekstruder .................................. 80 19 KPAP dan elongasi mie yang diberi perlakuan tekanan dalam ekstruder pada tepung jagung varietas NT 10 ......................... 81 20 Warna lima mie basah jagung dan mie terigu ..................................... 91

vi

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur biji jagung ............................................................................ 12 2 Garis besar pelaksanaan penelitian ..................................................... 32 3 Diagram alir pembuatan tepung jagung .............................................. 34 4 Diagram alir pembuatan mie basah jagung ......................................... 36 5 Kadar air tepung jagung varietas hibrida ............................................ 54 6 Kadar abu tepung jagung varietas hibrida ........................................... 55 7 Kadar protein tepung jagung varietas hibrida ...................................... 57 8 Kadar lemak tepung jagung varietas hibrida ....................................... 58 9 Kadar karbohidrat tepung jagung varietas hibrida ............................... 59 10 Kadar pati tepung jagung varietas hibrida ........................................... 60 11 Kadar amilosa tepung jagung varietas hibrida .................................... 61 12 Kadar amilopektin tepung jagung varietas hibrida .............................. 62 13 Profil gelatinisasi tepung jagung Nusantara 1 ..................................... 64 14 Ekstruder pencetak mie ...................................................................... 75 15 Adonan tepung jagung setelah pengepresan dan pemotongan menjadi kotak-kotak ....................................................... 77 16 Proses pencetakan untaian mie dalam ekstruder .................................. 78 17 Nilai KPAP mie basah jagung ............................................................. 83 18 Persen elongasi lima mie basah jagung................................................ 87 19 Nilai kekerasan mie basah jagung ....................................................... 89 20 Warna mie basah jagung secara subjektif .......................................... 93 21 Spider web diagram parameter KPAP, elongasi, kekerasan, kelengketan, dan warna mie basah jagung ......................................... 96 22 Rata-rata kesukaan terhadap parameter KPAP mie basah jagung ......... 99 23 Rata-rata kesukaan terhadap parameter elongasi mie basah jagung ...... 100 24 Rata-rata kesukaan terhadap parameter kekerasan mie basah jagung ... 101 25 Rata-rata kesukaan terhadap parameter kelengketan mie basah jagung. 102 26 Rata-rata kesukaan terhadap parameter kecerahan warna mie basah jagung ................................................................................ 103 27 Rata-rata kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan mie basah jagung ............................................................................... 104

vii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Profil Singkat Varietas Jagung yang Digunakan ................................. 115 Kesetimbangan Masa dan Contoh Perhitungan Penambahan Air pada Pembuatan Mie Basah Jagung .............................................. 117 3a Hasil Sidik Ragam KPAP Mie Basah Jagung ..................................... 118 3b Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap KPAP Mie Basah Jagung .............. 118 4a Hasil Sidik Ragam Elongasi Celup Mie Basah Jagung ........................ 118 4b Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Elongasi Celup Mie Basah Jagung 119 5a Hasil Sidik Ragam Elongasi Rendam Air Panas Mie Basah Jagung .... 119 5b Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Elongasi Rendam Air Panas Mie Basah Jagung ................................................ 119 6a Hasil Sidik Ragam terhadap Parameter Kekerasan Mie Basah Jagung ............................................................. 120 6b Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Penilaian Kekerasan Mie Basah Jagung ............................................................. 120 7a 7b Hasil Sidik Ragam Kecerahan Warna Mie Basah Jagung ................... 120 Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Kecerahan Warna Mie Basah Jagung .................................................................. 121 8 9 Kuisioner Uji Deskripsi QDA .......................................................... 122 Kuisioner Uji Rating Hedonik ........................................................... 127

1 2

10a Hasil Pengolahan Data Uji Deskripsi Multivariate ANOVA terhadap parameter warna, kekerasan, kelengketan, elongasi, dan KPAP pada lima mie basah jagung ............................................. 133 10b Uji lanjut Duncan pada paremeter yang berbeda nyata, yaitu parameter KPAP lima mie basah jagung ................................... 134 10c Uji lanjut Duncan pada paremeter yang berbeda nyata, yaitu parameter warna lima mie basah jagung ................................... 134 11a Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap KPAP Mie Basah Jagung ............................................................................ 135 11b Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Tingkat Kesukaan pada Parameter KPAP Mie Basah Jagung ............ 135

viii

12

Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Elongasi Mie Basah Jagung ............................................................... 135

13a Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan Mie Basah Jagung ............................................................ 136 13b Hasil Uji Duncan Terhadap Tingkat Kesukaan pada Parameter Kekerasan Mie Basah Jagung ................................... 136 14 Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Kelengketan Mie Basah Jagung ......................................................... 136 15a Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Kecerahan Warna Mie Basah Jagung ................................................ 137 15b Hasil uji lanjut Duncan terhadap Tingkat Kesukaan Kecerahan Warna pada Mie Basah Jagung ........................................ 137 16 Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Penerimaan Keseluruhan Mie Basah Jagung ..................................... 137 17 Rekapitulasi sifat tepung dan mie basah jagung yang dihasilkan......... 138

ix

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG Jagung merupakan komoditi pangan Indonesia dengan tingkat produksi per tahun mencapai 12.45 juta ton pipilan kering. Produksi jagung ini meningkat dari tahun 2006 sebesar 11.61 juta ton menjadi 15.6 juta ton pada tahun 2008 (BPS 2008). Tingginya produktivitas jagung di Indonesia mendorong terbukanya industri pengolahan mie jagung yang merupakan salah satu produk pangan yang digemari oleh masyarakat di Indonesia. Mie jagung merupakan salah satu alternatif produk yang perlu dikembangkan mengingat kebutuhan mie di Indonesia sangat tinggi yang ditandai oleh produksi mie yang semakin meningkat. Menurut data PT. Indofood Sukses Makmur Tbk (2004-2005) secara kuantitas, produksi mie dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dengan trend yang positif. Mie dari jagung kuning memiliki keunggulan tidak perlu menggunakan pewarna karena warna kuning berasal dari pigmen kuning alami pada jagung. Kusnandar et al. (2008) diacu dalam Ahmad (2009) menyatakan bahwa penggunaan tepung jagung pada produk mie memiliki keunggulan antara lain: (1) dapat mengurangi biaya bahan baku dan produksi; (2) mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku terigu; (3) tidak menggunakan bahan pewarna sintetis dan adanya kandungan karoten. Berbagai teknik pembuatan mie jagung telah dikembangkan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) pembuatan mie jagung dengan teknik calendering yang meliputi proses pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sliting) atau modifikasi teknik mie terigu (Juniawati 2003; Budiyah 2005; Fadlillah 2005; Rianto 2006; Soraya 2006; Kurniawati 2006), dan (2) pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi (Fahmi 2007; Etikawati 2007; Hatorangan 2007; Susilawati 2007). Penggunaan teknik calendering pada produk mie yang berbahan baku non terigu sulit dilakukan karena adonan tidak dapat membentuk lembaran yang kohesif, ekstensibel dan elastis. Pembentukan adonan mengandalkan proses gelatinisasi, sehingga teknik yang dianggap paling sesuai untuk mie jagung

adalah teknik ekstrusi menggunakan ekstruder pencetak, baik proses gelatinisasi terpisah maupun menyatu di dalam ekstruder. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan teknik ekstrusi untuk membuat mie jagung. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang mie jagung telah banyak dilakukan, baik dari segi teknologi pembuatannya maupun varietas jagung yang digunakan. Namun, belum tersedia database varietas jagung terbaik yang cocok dijadikan mie jagung. Selama ini telah banyak dilakukan penelitian tentang mie jagung dengan menggunakan berbagai varietas jagung, baik varietas lokal maupun varietas hibrida. Jagung varietas hibrida merupakan jenis jagung yang semakin banyak dibudidayakan di Indonesia. Hal ini mendukung ketersediaan bahan baku utama dalam pembuatan mie jagung. Jagung hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan dua atau lebih galur murni (Singh 1987, diacu dalam Suwarno 2008) dan memiliki perbedaan keragaman antar varietas, tergantung dari tipe hibridisasi dan stabilitas galur murni (Agrawal 1997, diacu dalam Suwarno 2008). Varietas jagung hibrida telah memberikan hasil yang memuaskan di sebagian negaranegara berkembang. Penggunaan jagung hibrida merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Hernanda (2008) menyatakan bahwa pasar benih jagung hibrida tahun 2009 diperkirakan meningkat akibat penggunaan benih hibrida di tanah air diproyeksikan naik 10% atau mencapai 2 juta ha. Hal ini akan mendukung peningkatan produksi jagung pada tahun 2009 sebanyak 18 juta ton. Peningkatan benih hibrida ini diharapkan menyumbang tambahan produksi jagung nasional sebesar 20% karena tingkat produktivitas tanaman ini yang mencapai 7-10 ton per ha. Selain produktivitasnya yang tinggi dan diperkirakan semakin meningkat setiap tahunnya, jagung hibrida juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jagung lokal seperti: rendemen yang tinggi (Suartha 2008), satu batang dapat menghasilkan dua tongkol (Dispertan 2008), pertumbuhannya cepat (Matz 1959), tahan terhadap hama dan penyakit (Kepmentan 2006; Aak 2008; Matz 1959), dan dapat ditanam di

lahan yang kurang subur (Ali 2009) atau mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan (Suartha 2008). Penelitian yang dilakukan selama ini telah menggunakan beberapa jenis jagung hibrida seperti varietas P21 (Etikawati 2007; Hatorangan 2007; Putra 2008; Lestari 2009; Ahmad 2009), varietas Pioneer 13 (Pratama 2008), dan varietas Bisi 2 (Fahmi 2007) dengan berbagai metode pembuatan mie jagung. Sementara itu masih banyak jenis jagung hibrida lain yang belum tergali potensinya untuk diolah menjadi mie jagung. Untuk melengkapi database varietas jagung yang cocok dijadikan mie jagung, pada penelitian ini digunakan jagung varietas hibrida yang berbeda dengan varietas hibrida yang pernah digunakan sebelumnya, yaitu varietas NT 10, Bisi 16, Nusantara 1, Prima, dan Jaya. Kelima varietas jagung ini memiliki produktivitas yang cukup tinggi, sehingga mampu terjaga ketersediannya sebagai bahan baku pembuatan mie. Jagung varietas NT 10 memiliki produktivitas sebesar 12.80 ton per ha (Kepmentan 2006), varietas Bisi 16 sebesar 16.9 ton per ha (Sib 2009), Nusantara 1 sebesar 12 ton per ha (Ali 2009), Jaya sebesar 15.5 ton per ha (Runtunuwu 2006), dan Prima sebesar 1213.5 ton per ha (Anonima 2007). Dengan melakukan karakterisasi tepung jagung berbagai varietas hibrida dapat diketahui varietas yang cocok untuk dibuat mie jagung dan lebih jauh dapat mengungkap sifat-sifat dari varietas jagung yang tersebut.

B.

TUJUAN PENELITIAN Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan varietas jagung terbaik yang cocok untuk dibuat mie jagung. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui karakteristik tepung dari lima varietas jagung kuning hibrida yaitu meliputi karakterisasi berdasarkan sifat fisikokimia dan sifat fungsional tepung jagung. b. Mengetahui potensi lima varietas jagung kuning hibrida yang dapat dibuat menjadi mie, yaitu varietas NT 10, Bisi 16, Nusantara 1, Jaya, dan Prima berdasarkan sifat fisik dan organoletiknya.

C.

MANFAAT Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini berupa tersedianya informasi mengenai varietas jagung hibrida yang berpotensi dijadikan mie sehingga dapat mendorong peningkatan nilai tambah jagung hibrida. Selain itu diharapkan pula hasil penelitian ini dapat dilanjutkan hingga ke tahap industrialisasi dalam rangka diversifikasi pangan pokok dan mengurangi ketergantungan pada impor terigu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN JAGUNG Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia misalnya di Madura dan Nusa Tenggara, juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok (Anonimb 2008). Pembudidayaan tanaman jagung di Indonesia sudah berkembang sangat luas. Daerah-daerah utama penghasil jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku. Di daerah Jawa Timur dan Madura, budidaya jagung dilakukan secara intensif mengingat jenis tanahnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung. Selain itu, di daerah Madura khususnya, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno 1998).

1. Deskripsi Tanaman Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan (Warisno 1998). Jagung diklasifikasikan ke dalam Divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledae, Ordo Poales, Famili Poaceae dan Genus Zea (Anonimb 2008). Tanaman jagung memiliki tinggi yang bervariasi, umumnya antara 1-3 meter. Akan tetapi ada varietas yang mencapai tinggi 6 meter. Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 meter meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 meter. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman. Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Batang jagung beruas-ruas dan ruas terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Anonimb 2008).

Jagung memiliki daun yang tergolong sebagai daun sempurna dengan bentuk daun yang memanjang. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Daun jagung memilikiki permukaan yang licin, tetapi juga ada yang berambut. Setiap stoma pada daun dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun. Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah dalam satu tanaman (monoecious). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak tanaman berupa karangan bunga (inflorescence) dan bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun (Anonimb 2008).

2. Jenis dan Komposisi Jagung Menurut Suprapto (1998), varietas jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain tinggi tempat penanaman, umur varietas pembenihannya, warna, dan tipe biji. Namun secara umum, klasifikasi jagung dibedakan berdasarkan bentuk kernelnya (Suprapto 1998). Berdasarkan bentuk kernelnya, terdapat enam tipe utama jagung, yaitu dent, flint, flour, sweet, pop dan pod. Perbedaan utama didasarkan pada kualitas, kuantitas dan komposisi endosperma (Johnson 1991). Jagung jenis dent memiliki selaput corneous, horny endosperm (endosperma keras) pada setiap sisi dan di belakang kernel, dan floury endosperm (endosperma lunak dan bertepung) di bagian inti kernel (Johnson 1991). Jagung jenis flint memiliki bentuk agak tebal, keras, lapisan endosperma seperti kaca, kecil, dan lunak. Jagung jenis flour memiliki ciri-ciri adanya endosperma yang lunak yang menembus kernel, sangat mudah dihancurkan dan sangat mudah pula ditumbuhi kapang, terutama bila ditanam di lahan basah. Jugenheirmer (1976) mengatakan bahwa jagung ini mengandung pati yang lunak dan mudah dijadikan tepung. Jagung jenis sweet memiliki kadar sakarida terlarut mencapai 12% bk, sedangkan jagung jenis lain hanya berkisar 2-3%. Jagung jenis ini diyakini sebagai jagung jenis mutasi (Johnson 1991). Jagung jenism pop memiliki ciri-ciri selaput endosperma yang sangat keras dan kernel yang kecil seperti jenis flint. Jagung

jenis pod berbeda dengan jagung pada umumnya. Biji jagung ini diselubungi oleh kelobot dan tipe ini tidak digunakan secara komersial (Jugenheimer 1976). Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioner-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn). Menurut Jatmiko (2009) jagung dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu jagung komposit, jagung hibrida dan jagung transgenik. Jagung komposit bisa dikategorikan sebagai jenis jagung lokal. Keunggulan jagung komposit ini adalah berumur pendek, biasanya tahan penyakit, tidak menimbulkan ketergantungan dan bisa ditanam secara berulang-ulang. Namun jagung jenis ini memiliki kekurangan, yaitu kapasitas produksinya yang rendah, hanya sekitar 3-5 ton per ha. Contoh jagung komposit adalah Arjuna, Bisma, Joster, Sukma Raga, Goter, Kretek, Genjah Mas, dan Genjah Rante. Jagung hibrida adalah jagung yang pada proses pembuatannya dengan cara pemuliaan dan penyilangan antara jagung induk jantan dan jagung induk betina sehingga menghasilkan jagung jenis baru yang memiliki sifat keunggulan dari kedua induknya. Keunggulan jagung hibrida adalah kapasitas produksinya tinggi sekitar 8-12 ton per ha. Contoh jagung hibrida adalah Pioner, Bisi, NK, Jaya, NT 10, N 35, dan DK. Jagung transgenik adalah jagung yang proses pembuatannya dengan cara menyisipkan gen dari makhluk hidup atau nonmakhluk hidup yang hasilnya nanti diharapkan jagung itu bisa tahan penyakit, tahan hama atau juga tahan obat kimia. Contoh jagung transgenik adalah jagung Bt, jagung Terminator, jagung RR-GA21, dan jagung RR-NK603. Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung varietas, cara menanam, iklim dan tingkat kematangan sehingga diperlukan seleksi untuk mendapatkan komposisi kimia yang tepat untuk dibuat mie (Jugenheimer 1976). Menurut Muchtadi dan Sugiono (1989), jagung mengandung lemak dan protein yang

jumlahnya tergantung pada umur dan varietas jagung tersebut. Jagung muda memiliki kandungan lemak dan protein yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jagung tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar dan pentosan. Komposisi terbesar dalam jagung adalah pati, terutama terletak pada bagian endosperma. Sekitar 85% dari total pati terdapat pada bagian endosperma (Hallauer 2001). Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin, sedangkan gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung terutama terdapat dalam lembaga yaitu 85% dari total lemak jagung (Inglett 1970). Asam lemak penyusun terdiri dari asam lemak jenuh yang berupa palmitat dan stearat, sedangkan asam lemak tak jenuhnya seperti oleat dan linoleat. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein merupakan protein yang tidak larut air (Inglett 1970). Ketidaklarutannya dalam air disebabkan oleh adanya asam amino hidrofobik, seperti leusin, prolin dan alanin, tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan tingginya persentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat yang relatif rendah (Johnson 1991). Zein merupakan protein dengan bobot molekul rendah yang larut pada etil alkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik, seperti asam asetat glasial, fenol dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen, yaitu zein (larut pada 95% etanol) dan -zein (larut dalam 60% etanol). Pada -zein kandungan asam amino histidin, arginin, prolin dan metionin lebih banyak daripada yang terkandung pada -zein (Lasztity 1986). Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Lasztity 1986).

Selain kedua protein utama tersebut, protein jagung juga mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif. Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim (Inglett 1970). Protein ini merupakan protein larut air atau larutan garam. Protein yang masuk kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein, protein membran, dan lain-lain. Selain pati, lemak dan protein, jagung juga mengandung vitamin-vitamin seperti tiamin, niasin, riboflavin dan piridoksin. Komposisi jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum komposisi kimia jagung tidak jauh berbeda dengan komposisi kimia gandum, seperti yang disajikan pada Tabel 2. Karakteristik kimia jagung ini menunjukkan bahwa jagung juga mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi untuk dijadikan bahan pangan alternatif selain beras dan tepung terigu. Salah satu contohnya adalah menjadikan jagung sebagai bahan baku pembuatan mie, baik mie instan, mie kering ataupun mie basah.

Tabel 1 Komposisi kimia dan gizi jagung dalam 100 g* Jenis Jagung Zat Kimia dan Gizi Jagung Kuning Jagung Putih Jagung Muda Kalori (kal) 355 355 33 Protein (g) 9.2 9.2 2.2 Lemak (g) 3.9 3.9 0.1 Karbohidrat (g) 73.7 73.7 7.4 Kalsium (mg) 10 10 7 Fosfor (mg) 256 256 100 Besi (mg) 2.4 2.4 0.5 Vitamin A (SI) 510.0 200 Vitamin B1 (mg) 0.38 0.38 0.08 Vitamin C (mg) 0.08 Air (%) 12 12 89.5 *Sumber : Daftar komposisi bahan makanan, Departemen Kesehatan RI (1996)

Tabel 2 Perbandingan komposisi kimia jagung dan gandum Komposisi kimia Jagung* 300.7 7.90 3.40 63.60 148.00 2.1 440.00 24.00 Jumlah Gandum** 340 10.69 368.30 75.36 34 5.37 0 10.42

Energi (kal) Protein (mg) Lemak (mg) Karbohidrat (mg) Ca (mg) Fe (mg) Vitamin A (SI) Air (%) Sumber: * : Ristek (2006) ** : Anonimc (2007)

3. Morfologi dan Anatomi Biji Jagung Biji jagung merupakan biji sereal yang paling besar, dengan berat masing-masing 250-300 mg (Johnson 1991). Biji jagung berbentuk bulat pada tongkol jagung. Susunan biji pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari kuning, putih, merah atau biru (Johnson 1991). Jagung terdiri dari empat bagian pokok anatomi, yaitu kulit (pericarp); endosperma yaitu bagian yang menyimpan nutrisi yang mendukung germinasi; lembaga; dan tudung pangkal (tip cap) yaitu tempat penempelan biji pada tongkol. Setiap bagian anatomi memiliki komposisi yang berbedabeda (Johnson 1991). Komposisi kimia dari bagian-bagian biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya * Pati Endosperma 86.4 Lembaga 8.0 Kulit 7.3 Tip cap 5.3 *Sumber : Johnson (1991) Komponen Protein 8.0 18.4 3.7 9.1 Jumlah (%) Lemak 0.8 33.2 1.0 3.8 Serat 3.2 14.0 83.6 77.7 Lain-lain 0.4 26.4 4.4 4.1

Pericarp merupakan lapisan pembungkus biji yang disusun oleh beberapa lapis sel yaitu epicarp (lapisan paling luar), mesocarp, dan tegmen 10

(seed coat). Bagian terakhir ini terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang mengandung lemak (Johnson 1991). Bagian terbesar biji jagung adalah endosperma yang mengandung pati sebagai cadangan energi. Sel endosperma ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein yang sebagian besar adalah zein (Johnson 1991). Lapisan pertama endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit (pericarp). Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari dari 1-7 lapis sel, sedangkan untuk jagung hanya terdiri dari satu lapis sel, demikian juga gandum. Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian yang keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, demikian juga susunan granula pati yang ada di dalamnya (Muchtadi dan Sugiono 1990). Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiono 1990). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap menempel atau terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoseney 1998). Persentase bagianbagian anatomi jagung ini dapat dapat dilihat pada Tabel 4 dan struktur biji jagung dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 4 Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian anatomi Pericarp Endosperma Lembaga Tip cap *Sumber : Inglett (1990) Jumlah (%) 5 82 12 1

11

Gambar 1 Struktur biji jagung (Encyclopaedia Britannica 1996).

B. TEPUNG JAGUNG Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling tepung jagung (Zea mays L.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung salah satunya terdiri dari proses pemisahan kulit, endosperma, lembaga dan tip cap. Endosperma merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tip cap merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap juga merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tip cap tidak sempurna maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung (Lestari 2009). Secara umum, pembuatan tepung jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan penggilingan basah dan penggilingan kering. Perbedaan kedua cara penggilingan ini terletak pada penggunaan air untuk

12

mempermudah proses penggilingan. Pada penggilingan basah, dilakukan penambahan air secara kontinyu saat penggilingan. Proses penggilingan basah ini lebih aplikatif di masyarakat (Soraya 2006). Namun, menurut Suprapto (1998), proses penggilingan kering lebih sering digunakan dalam pembuatan tepung skala besar. Proses penggilingan basah yang dilakukan Soraya (2006) meliputi perendaman biji jagung selam 6 jam, penggilingan dengan air yang dialirkan secara kontinyu, penyaringan, pengendapan selama 2 jam, dekantasi, sentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit, dan pengeringan pada suhu 45oC selama 15 jam. Sedangkan proses penggilingan kering yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari tahapan pengilingan kasar, pengambangan untuk pembuangan lembaga dan kulit ari jagung, perendaman grits selama 3 jam, pengeringan grits, penggilingan halus, pengeringan tepung pada suhu 50oC selama 2 jam, pengayakan tepung (100 mesh), dan pengeringan tepung setelah diayak pada suhu 50oC selama 2 jam. Berdasarkan penelitian Soraya (2006) penggunaan tepung jagung basah pada pembuatan mie jagung memerlukan tahapan pencampuran dengan tepung jagung kering setelah tepung hasil penepungan basah dipregelatinisasi terlebih dahulu. Dari segi waktu dan pelaksanaan hal ini kurang efisien, sehingga lebih baik langsung menggunakan tepung kering dalam pembuatan mie jagung. Selain itu tepung basah lebih cepat rusak apabila tidak segera diolah. Berdasarkan penelitian Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung dilakukan menggunakan metode penggilingan kering dengan dua kali proses penggilingan. Proses penggilingan pertama dilakukan menggunakan multi mill yang merupakan proses penggilingan kasar. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit, lembaga dan tip cap. Kemudian kulit, lembaga dan tip cap dipisahkan melalui pengayakan. Selanjutnya, grits jagung yang diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3 jam. Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung menggunakan disc mill (penggiling halus) menghasilkan tepung jagung. Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak berukuran 100 mesh.

13

Pada penelitian ini, proses penepungan jagung dilakukan dengan metode penggilingan kering menggunakan disc mill sebagai penggiling halus dan kasar dengan ukuran mesh yang berbeda. Menurut Syarif dan Arvana (1992), dalam penggilingan kering, gaya-gaya permukaan pada alat penggiling menjadi aksi yang menyebabkan penahanan dan penggilingan bekerja dengan efisiensi penggunaan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan penggiling basah. Tepung jagung yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 100 mesh. Merdiyanti (2008) menyatakan bahwa partikel dengan ukuran kecil lebih bagus dibandingkan dengan ukuran yang lebih besar. Pratama (2008) dalam penelitiannya mengenai paket teknologi untuk memproduksi mie jagung dengan bahan baku tepung jagung juga menyatakan bahwa ukuran tepung jagung yang dianjurkan yaitu berukuran 100 mesh, hal ini dikarenakan mie jagung yang dihasilkan dari tepung jagung berukuran 100 mesh akan mempunyai tekstur yang lebih halus.

C. PATI JAGUNG Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai cadangan energi dan secara luas tersebar di berbagai macam tanaman. Pari tersusun dari unit-unit glukosa. Pati memegang peranan yang penting dalam pengolahan pangan karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang lebih tinggi. Lebih dari 80% tanaman pangan terdiri dari biji-bijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan Munro 1979 , diacu dalam Muchtadi et al. 1979). Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari penggilingan jagung dengan teknik basah (wet mill). Perbedaan yang signifikan antara tepung jagung dan pati jagung terletak pada kandungan protein, lemak dan kadar abu. Tepung jagung memiliki kandungan kimia yang masih lengkap, sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan dan sebagian hilang pada proses pencucian. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan intermediet

14

materials (Hallauer 2001). Pada pati biji-bijian bahan antara yang dikandung lebih besar dibandingkan dengan pati batang dan pati umbi (Greenwood 1975, diacu dalam Muchtadi et al. 1979).

1. Amilosa Amilosa merupakan polimer linear dari -D glukosa yang dihubungkan dengan ikatan -(1-4)-D-glukosa. Amilosa umumnya dikatakan sebagai bagian linear dari pati, tetapi sebenarnya amilosa juga memiliki cabang. Titik cabang amilosa berada pada ikatan -(1-4). Hanya saja derajat

percabangannya sangat rendah. Dalam satu rantai linear, cabang-cabang amilosa berada pada titik yang sangat jauh dan sedikit (Hoseney 1988). Amilosa terdiri dari 50-300 unit glukosa. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang dipergunakan. Secara umum, amilosa yang diperoleh dari umbi-umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa pada pati biji-bijian (Hoseney 1998).

2. Amilopektin Amilopektin merupakan polimer yang memiliki ikatan -(1-4) pada rantai lurusnya dan memiliki ikatan -(1-6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah 4-5% dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Fennema 1976). Amilopektin biasanya mengandung 1000 atau lebih unit glukosa. Berat molekul amilopektin bervariasi tergantung sumbernya (Greenwood dan Munro 1979, diacu dalam Muchtadi et al. 1979). Dalam produk pangan amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses puffing dimana produk makanan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, poros, garing dan renyah. Sebaliknya, pati yang mengandung amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal karena proses puffing terjadi secara terbatas (Fahmi 2007).

15

3. Hubungan Amilosa dan Amilopektin dengan Rheologi Mie Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Menurut Harper (1981) amilosa merupakan molekul linear polisakarida dengan ikatan -(1-4), sedangkan amilopektin merupakan struktur seperti amilosa pada rantai lurusnya tetapi memiliki ikatan -(1-6) pada cabang yang terdapat pada setiap 20-25 unit glukosa. Pati jagung normal memiliki kandungan amilosa sekitar 28% merupakan pati yang baik digunakan dalam produksi bihun (Tam et al. 2004). Pasta pati dibentuk dengan cara pemanasan dispersi pati aqueous di atas suhu gelatinisasi (Mita 1992). Pasta dianggap sebagai bahan komposit yang terdiri dari granula yang mengembang yang terdispersi dalam matriks polimer (Morris 1990). Oleh karena itu karakteristik pada fase dispersi, fase kontinyu dan interaksi antara komponen sangat penting untuk mengetahui karakteristik pasta pati (Rao 1999, diacu dalam Chang et al. 2003). Gelatinisasi pasta pati selama pendinginan dan penuaan (aging) melibatkan perubahan dalam amilosa dan amilopektinnya (Mieles et al. 1985). Selama penyimpanan dalam jangka waktu yang cukup panjang, proses pembentukan struktur (rekristalisasi) amilopektin berperan dalam perubahan tekstural yang tidak diinginkan pada pangan berbasis pati (Kulp dan Ponte 2001). Laju rekritalisai (retrogradasi) tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi pati, keberadaan dan konsentrasi dari bahan organik dan inorganik (Whistler et al. 1984). Sifat rheologi merupakan salah satu penentu kualitas produk pasta seperti mie. Pada umumnya kualitas mie dengan bahan baku terigu ditentukan oleh kadar protein, terutama gluten. Tingginya rasio glutenin dengan gliadin yang terkandung dalam gluten berkorelasi positif terhadap kualitas pemasakan (Washik and Bushuk 1975, diacu dalam Faubion 1990). Namun, pada mie dengan bahan baku tepung jagung, sifat rheologi dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin. Hal ini disebabkan karena tepung jagung tidak

16

memiliki gluten seperti halnya terigu yang mampu membentuk adonan yang lengket dan elastis dengan penambahan air (Fadlillah 2005). Dalam pembuatan mie jagung, karakteristik adonan memanfaatkan pati tergelatinisasi untuk mendapatkan sifat rheologi yang baik. Hal ini berbeda dengan mie terigu yang lebih memanfaatkan keberadaan protein gluten. Sifat rheologi yang diamati dalam pembuatan mie antara lain kekerasan dan kelengketan. Menurut Etikawati (2007), amilosa terlarut akan mempengaruhi tingkat kekerasan mie. Tingginya jumlah amilosa terlarut akan meningkatkan kekerasan mie karena amilosa terlarut akan berikatan satu sama lain dengan matriks pengikat. Selain itu amilosa juga akan mengalami retrogradasi yang dapat meningkatkan kekerasan mie. Kekerasan berhubungan dengan kekenyalan mie setelah rehidrasi (Fadlillah 2005). Kelengketan pada produk mie jagung dapat diakibatkan oleh lepasnya pati selama proses, gelatinisasi yang tidak sempurna dan rasio amilosa dan amilopektin (Etikawati 2007). Semakin tinggi kadar amilopektinnya, mie akan makin lengket. Pada umumnya pati jagung memiliki kadar amilosa 24-26% dan kadar amilopektin 74-76% (Johnson 1991).

4. Gelatinisasi Pati Bila pati mentah dimasukan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun, jumlah air yang terserap terbatas begitu pula dengan pembengkakannya. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55-65oC merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Winarno 2008). Pada proses gelatinisasi terjadi perusakan ikatan hidrogen

intramolekuler. Ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati (Greenwood 1976,

17

diacu dalam Pomeranz 1976). Granula pati bersifat tidak larut air dingin, tetapi menyerap air bila berada dalam kelembaban yang tinggi atau direndam dan akan kembali ke bentuk semula. Apabila campuran pati dengan air dipanaskan hingga di atas suhu kritis, ikatan hidrogen yang mengatur integritas pati akan melemah sehingga air masuk dan terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin (Wurzburg 1989). Menurut Wurzburg (1989) lebih lanjut, ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Suspensi menjadi bening dan viskositasnya akan meningkat terus hingga mencapai puncak di mana granula pecah dan terpotong-potong membentuk molekul polimer atau agregat dan viskositasnya menurun. Fenomena gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati. Suspensi dari pati jagung, tepung terigu, beras, dan bahan lain yang mempunyai kadar amilosa tinggi dapat membentuk gel yang opaque pada saat didinginkan. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan Differential Scanning Calorimetry (Whitsler 1984). Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati * Sumber pati Beras Ubi jalar Tapioka Jagung Gandum * Sumber : Fennema (1996) Suhu gelatinisasi pati (oC) 65-73 82-83 59-70 61-72 53-64

5. Sifat Pati yang Diinginkan untuk Produk Mie Sifat fungsional pati akan sangat menentukan kualitas mie yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena sifat fungsional ini berkaitan dengan pembentukan adonan dan kualitas tekstur mie. Menurut Lii dan Chang (1981) diacu dalam Collado et al. (2001), pati yang ideal untuk produk mie adalah pati yang memiliki swelling power dan kelarutan yang terbatas serta memiliki kurva viskositas Brabender yang tidak memperlihatkan puncak pada

18

viskositas maksimum, namun viskositasnya cenderung tinggi dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Selain itu karakter pati yang baik untuk mie adalah pati yang stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki nilai persen sineresis yang rendah (Chen et al. 2003), memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah dan cepat mengalami retrogradasi (Tam et al. 2004). Mie yang dihasilkan dari pati dengan karakter seperti yang disebutkan di atas memiliki kualitas cooking loss yang rendah, untaian mie yang kuat dan kompak, elastis, serta kelengketan yang rendah (Collado et al. 2001; Purwani 2006).

D. MIE BASAH Menurut Mulyanto (1985) dalam Badrudin (1994), berdasarkan kadar air mie dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu mie kering dengan kadar air maksimal 12%, mie basah dengan kadar air 25-35% dan mie setengah basah dengan kadar air 15-17%. Adapun berdasarkan jenis mie yang dipasarkan, produk mie dibedakan menjadi dua, yaitu mie basah (mie ayam dan mie kuning) dan mie kering (mie telur dan mie instan) dengan proses pembuatan yang hampir sama. Menurut SNI 01-2987-1992, mie basah merupakan produk makanan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Mie basah merupakan mie dengan kadar air maksimal 35% bb. Proses pembuatan mie basah terdiri atas beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran, pemotongan, pematangan, dan pelumuran dengan minyak sawit. Pencampuran bahan bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran, dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Tahap selanjutnya dalah

19

pembentukan lembaran dengan tujuan menghaluskan serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin 1994). Lembaran mie yang dihasilkan kemudian dipotong dengan ukuran 1-3 mm. Untaian mie yang dihasilkan kemudian dikukus agar diperoleh mie basah matang. Proses pematangan ini bertujuan agar terjadi gelatinisasi dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin 1994). Gelatinisasi menyebabkan pati meleleh sehingga terbentuk lapisan tipis pada permukaan mie yang memberikan kelembutan pada mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie. Tahapan akhir pembuatan mie basah matang adalah pemberian minyak sawit. Pelumuran dengan minyak sawit dilakukan agar untaian mie tidak lengket satu sama lain dan untuk memperbaiki penampakan mie agar mengkilap (Bogasari 2005). Beberapa syarat mutu mie basah dapat dilihat pada Tabel 6. Karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie basah adalah warna dan tekstur (Hou dan Krouk 1998). Secara fisik, diameter mie basah berkisar antara 1.52 mm (Astawan 1999). Hou dan Krouk (1998) menyatakan persyaratan warna untuk mie basah matang adalah warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk persyaratan tekstur, masih menurut Hou dan Krouk (1998), mie basah matang harus memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit dan memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Pada penelitian ini mie jagung dibuat menggunakan metode ekstrusi, berbeda dengan metode pembuatan mie terigu secara umum yang biasanya menggunakan metode calendering. Pembuatan mie dengan metode ekstrusi terdiri dari beberapa tahapan yakni, pencampuran bahan,

pengadonan/pengadukan, pembentukan lembaran secara manual, pengukusan pertama, ekstrusi, dan pengukusan kedua. Proses pencampuran, pengadonan, dan pembentukan lembaran memiliki tujuan yang sama dengan proses pembuatan mie terigu. Pengukusan pertama bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian pati pada tepung jagung sehingga mudah dicetak dalam ekstruder pencetak. Pati tergelatinisasi yang diperoleh pada tahapan ini berfungsi

20

sebagai matriks pengikat adonan, sehingga adonan mudah dicetak menjadi untaian mie. Keberadaan pati tergelatinisasi ini menggantikan fungsi protein gluten yang terdapat pada terigu. Setelah adonan dikukus, adonan dicetak menggunakan ekstruder sehingga dihasilkan untaian mie jagung. Selanjutnya untuk menyempurnakan gelatinisasi setelah tahapan tersebut, dilakukan pengukusan untaian mie agar dihasilkan mie yang cukup elastis.

Tabel 6 Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992 No. 1. Kriteria Uji Keadaan : 1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna Kadar air Kadar abu Kriteria Uji Kadar protein Bahan tambahan pangan : 5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna 5.3. Formalin Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg) Arsen Cemaran mikroba 8.1.Angka Lempeng Total 8.2. E. coli 8.3. Kapang Satuan % bb % bb Satuan % bb Persyaratan normal normal normal 20-35 maks. 3 Persyaratan min. 3 tidak boleh ada sesuai SNI-02220 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88 maks. 1.0 maks. 10.0 maks. 40.0 maks. 0.05 maks. 0.05 maks. 1.0 x 106 maks. 10 maks. 1.0 x 104

2. 3. No. 4. 5.

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g APM/g koloni/g

6.

7. 8.

E. MIE JAGUNG DAN TEKNOLOGI PROSESNYA Mie jagung merupakan mie dengan bahan baku utama tepung jagung. Pembuatan mie jagung telah banyak diteliti, tetapi masih belum banyak diperdagangkan. Penelitian yang dilakukan meliputi pembuatan mie jagung

21

basah maupun mie jagung kering, pembuatan mie jagung dengan bahan baku tepung dan pati jagung, desain proses dan formulasi yang berbeda untuk membentuk mie jagung yang terbaik dilihat dari sifat fisik mie dan sifat kimia mie jagung itu sendiri, dan paket teknologi dalam memproduksi mie jagung. Perbedaan antara mie jagung dan mie terigu adalah komponen pembentuk tekstur mie. Pembentuk tekstur yang elastis dan kompak pada mie terigu adalah gluten. Adanya gluten pada mie terigu menyebabkan terbentuknya tekstur yang elastis dan kompak setelah terigu ditambahkan air, sehingga adonan tersebut dapat dibentuk menjadi lembaran. Hal tersebut tidak dapat terjadi ketika tepung jagung ditambahkan air, sehingga membutuhkan bahan atau proses tertentu agar terbentuk adonan yang memiliki tekstur elastis dan kompak. Berdasarkan Soraya (2006) dan Putra (2008), pembentukan adonan pada mie jagung berasal dari matriks yang terbentuk akibat gelatinisasi pati. Mie non terigu (seperti mie beras, kacang hijau dan ubi jalar) lebih memanfaatkan pati daripada protein untuk membentuk struktur mie. Berbagai teknik pembuatan mie jagung telah dikembangkan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) pembuatan mie jagung dengan teknik calendering yang meliputi proses pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sliting) atau modifikasi teknik mie terigu (Juniawati 2003; Budiyah 2005; Fadlillah 2005; Rianto 2006; Soraya 2006; Kurniawati 2006; Putra 2008), dan (2) pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi (Fahmi 2007; Etikawati 2007; Hatorangan 2007; Susilawati 2007). Penggunaan teknik calendering pada produk mie yang berbahan baku non terigu sulit dilakukan karena adonan tidak dapat membentuk lembaran yang kohesif, ekstensibel dan elastis. Pembentukan adonan mengandalkan proses gelatinisasi, sehingga teknik yang dianggap paling sesuai untuk mie jagung adalah teknik ekstrusi menggunakan ekstruder pencetak, baik proses gelatinisasi terpisah maupun yang menyatu di dalam ekstruder. Budiyah (2004) melakukan penelitian untuk membuat mie jagung instan dengan bahan baku pati jagung dengan penambahan baking powder, CMC dan Corn Gluten Meal (CGM). Basis teknologi yang digunakan adalah teknologi pembuatan mie terigu (teknik calendering). Teknik pembuatan mie yang

22

dikembangkan Budiyah (2004) memiliki kelebihan utama dalam produksi masal yaitu peralatan dan mesin yang telah siap. Namun kelemahan dari teknik ini adalah waktu pengolahan yang lama karena terdiri dari tahapan proses pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie dengan minyak. Menurut Rianto (2006), pembuatan mie dengan menggunakan teknik calendering, secara garis besar terdiri dari tahapan pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pencetakan (pressing, sheeting, dan slitting), dan perebusan. Putra (2008) membuat mie kering jagung dengan teknik calendering dengan tahapan pencampuran bahan-bahan, pengukusan adonan, penggilingan adonan, pencetakan (sheeting dan slitting), pengukusan mie, dan pengovenan. Penelitian Rianto (2006) mengenai pembuatan mie basah berbahan baku tepung jagung dengan teknologi calendering menghasilkan mie dengan parameter mutu terbaik yang dibuat dengan penambahan air 30 ml dan waktu pengukusan 3 menit. Formula tersebut menghasilkan mie basah jagung dengan KPAP 17.6%, elongasi 19.78%, dan mie yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lengket. Soraya (2006) dalam penelitiannya mengenai perancangan proses dan formulasi mie basah jagung berbahan dasar High Quality Protein Maize yang juga menggunakan metode calendering, menghasilkan mie basah jagung terbaik dengan penambahan guar gum 0.6% dan pengukusan selama 5 menit. Mie yang dihasilkan memiliki parameter mutu KPAP 10.10%, elongasi 14.7%, dan kelengketan serta kekerasan yang relatif rendah. Penelitian Putra (2008) menghasilkan mie jagung dengan mutu yang semakin baik, yaitu KPAP 8.21% dan elongasi 219.96-268.34%. Pembuatan mie jagung dengan metode ekstrusi yang dilakukan oleh Fahmi (2007) menghasilkan produk mie basah jagung terbaik dengan komposisi tepung jagung 60 gram, kadar air 70%, dan diolah pada suhu 90oC dengan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Proses pembuatan mie basah jagung tersebut terdiri dari tahap pencampuran bahan, pemasakan yang terjadi selama di dalam ekstruder, pencetakan dan perendaman dalam air dingin. Proses pengolahan mie basah jagung ini berbeda dengan pengolahan mie basah terigu

23

karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pemasakan di dalam ekstruder. Pemasakan yang terjadi di dalam ekstruder diperlukan agar adonan dapat dibentuk dan dicetak menjadi mie. Berdasarkan penelitian ini, diperoleh optimasi produksi mie basah berbasis tepung jagung dengan teknologi ekstrusi menggunakan alat ekstruder pemasak (forming extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand). Mie jagung yang dihasilkan memiliki parameter mutu yang cukup baik, yaitu KPAP sebesar 2.24% dan elongasi sebesar 324.05%. Hatorangan (2007) yang juga menggunakan teknik ekstrusi dengan ekstruder yang sama menghasilkan mie basah jagung yang memiliki nilai elongasi, kekerasan, tekanan, kelengketan yang lebih tinggi dibandingkan mie glosor dan spaghetti. Mie basah jagung yang dihasilkan dengan menggunakan ekstruder ini memiliki diameter yang cukup besar yaitu 4.530.12 mm (Hatorangan 2007). Jika dibandingkan antara teknik pembuatan mie jagung dengan calendering dan ekstrusi terlihat bahwa dengan menggunakan teknik ekstrusi dihasilkan mie jagung dengan mutu yang lebih baik. Kelebihan dan kekurangan kedua teknik tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Teknik pembuatan mie jagung dengan ekstrusi piston (Subarna et al. 1999) serta teknik pembuatan mie jagung dengan sistem ekstrusi ulir (Waniska et al. 2000) memiliki kelebihan yaitu proses yang lebih sederhana karena tidak memerlukan tahapan proses sheeting, slitting, dan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

F. KEUNGGULAN MIE JAGUNG Mie basah jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan mie terigu, antara lain: (1) memiliki kandungan indeks glikemik yang sedang, (2) mengandung beta karoten sebagai pewarna alami pada mie jagung, dan (3) dapat dijadikan makanan yang cocok bagi penderita alergi gluten dan penderita autis karena mie jagung 100% tidak mengandung gluten.

24

Tabel 7 Kelebihan dan kekurangan metode pembuatan mie teknik calendering dan ekstrusi Teknik Calendering Teknik Ekstrusi Kelebihan Banyak digunakan di Tidak membutuhkan proses industri besar dan kecil pembentukan lembaran dan (Lestari 2009) pemotongan untaian mie (Fahmi 2007; Hatorangan, 2007; Etikawati 2007). Lebih efisien dari segi waktu produksi Proses gelatinisasi dapat menyatu di dalam ekstruder (Fahmi 2007; Hatorangan 2007; Etikawati 2007). Mutu mie basah yang dihasilkan berdasarkan Fahmi (2007): KPAP 2.25%, elongasi 324.05%; berdasarkan Hatorangan (2007): KPAP 581.55%, elongasi 2.83% Kelemahan Adanya proses pembentukan lembaran sehingga sulit diterapkan pada pembuatan mie jagung dari 100% tepung jagung (Ahmad 2009) Memerlukan tambahan proses pengukusan diantara tahap pencampuran bahan dan proses pembentukan lembaran (Ahmad 2009) Waktu produksi lebih lama Mutu mie basah yang dihasilkan berdasarkan Rianto (2006): KPAP 17.6%, elongasi 19.78%, berdasarkan Putra (2008) : KPAP 9.99-11.42%, elongasi 219.96-268.34% Belum banyak diterapkan di industri besar dan kecil Dengan ekstruder tipe forming extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C masih dihasilkan mie dengan diameter yang besar

25

Menurut Loehr and Schwartz (2000) jagung merupakan salah satu bahan pangan yang tergolong memiliki IG (indeks glikemik) yang sedang yaitu sebesar 59. Makanan dengan nilai IG tinggi akan menyebabkan terjadinya loncatan kandungan gula darah yang tinggi secara tiba-tiba. Kadar gula darah menjadi tidak stabil, tubuh tiba-tiba merasa kenyang namun juga segera cepat menjadi lapar kembali. Perputaran siklus lapar-cepat kenyang-cepat lapar kembali cenderung menyebabkan seseorang makan sebelum waktunya, dan seringnya dengan jumlah yang tidak terkontrol dengan baik, sehingga berpotensi menimbulkan problem makan yang berlebihan (Thomson et al. 2006). Oleh karena akan menguntungkan apabila mengkonsumsi bahan pangan dengan IG yang rendah atau sedang, salah satunya dengan mengkonsumsi mie jagung. Perbedaan yang dapat dilihat jelas antara jagung dan jenis serealia lainnya adalah warna kuning pada jagung. Warna kuning pada jagung dikarenakan kandungan karoten dan beta karoten. Jagung kuning mengandung karoten 1.3 ppm dan beta karoten 0.7-1.46 ppm (Howe dan Tanumiharjo 2006, diacu dalam Lestari 2009). Pigmen alami tersebut memberikan nilai tambah pada jagung yaitu memiliki aktivitas provitamin A, terutama karena adanya beta karoten. Selain itu beta karoten juga memiliki fungsi sebagai pelindung sel normal dari sel mutan pemicu penyebab kanker, menangkal radikal bebas yang dapat merusak jaringan tubuh, meningkatkan sistem imunitas tubuh terhadap serangan infeksi, dan dapat memberikan

perlindungan terhadap kebutaan, khususnya yang disebabkan oleh katarak (Anonimd 2009). Mie jagung diperkirakan masih mengandung sejumlah beta karoten setelah serangkaian proses yang dilakukan dalam pengolahannya. Namun, jumlah beta karoten dan karakter sifatnya dalam mie jagung masih perlu diketahui melalui penelitian lanjutan. Tidak adanya gluten pada tepung jagung menjadi keunggulan tersendiri bagi mie jagung yang dihasilkan. Ketiadan gluten menjadikan mie jagung cocok dikonsumsi oleh penderita alergi gluten dan penderita autis. Menurut Dr. Hariss Steinman dikutip oleh Nirmala (2008) adanya kandungan protein gandum (termasuk gluten) dalam jumlah sedikit saja di dalam makanan,

26

secara langsung akan menyebabkan timbulnya gangguan pada mereka yang sensitif, seperti gatal-gatal pada kulit dan eksim, gangguan pencernaan (kram perut, mual dan muntah), serta gangguan pernapasan. Reaksi alergi juga bisa berupa serangan asma (baker's asthma). Reaksi alergi ini melibatkan antibodi IgE yang terdapat di dalam darah. Antibodi IgE bereaksi terhadap protein gluten yang dianggap sebagai alergen (bahan penyebab alergi). Inilah yang menimbulkan reaksi alergi. Pernyataan Dr Natasha Campbel McBride dikutip oleh Nirmala (2008) menginformasikan bahwa makanan yang mengandung gluten dicurigai dapat mempengaruhi kesehatan usus pada penderita autis. Bagi penderita autis, gluten dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna jenis protein ini. Akibatnya, protein yang tidak tercerna ini akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid atau opiate. Opioid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin yang dapat mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas, serta menimbulkan gangguan perilaku. Berdasarkan hal tersebut konsumsi mie jagung yang bebas gluten merupakan salah satu alternatif makanan yang sesuai bagi penderita alergi gluten dan penderita autis.

G. RHEOLOGI MIE BASAH Rheologi adalah ilmu tentang deformasi dan aliran bahan (Bourne 1989, diacu dalam Faridi 1994)). Pada bahan padat rheologi merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan pada bahan cair merupakan hubungan antara gaya dengan aliran. Pada produk mie beberapa sifat rheologi yang penting di antaranya adalah kekerasan, kekenyalan dan kekuatan tarik (Fahmi 2007). Kekenyalan (elasticity) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula bila diberi gaya, dan saat gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mie, kekenyalan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Kekenyalan dapat diukur dengan menggunakan Texture Analyzer. Alat ini akan mengukur besarnya gaya yang

27

diperlukan sampai bahan padat (mie) mengalami perubahan bentuk (Fahmi 2007). Pada bahan dilakukan penekanan dengan kecepatan konstan, kemudian pada jarak tertentu tekanan dihentikan. Bahan mengalami relaksasi dan resistensi bahan menurun. Pada waktu tertentu tekanan ditarik

(decompression), dan bahan mengalami proses perubahan kembali ke bentuk semula.

H. EKSTRUSI Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan (Fellows 2000). Teknologi pangan ekstrusi dapat didefinisikan sebagai teknologi pengolahan pangan yang menggunakan prinsip-prinsip proses mendorong bahan di dalam suatu laras (barrel) dengan mekanisme transport menggunakan ulir (screw) sampai melewati suatu bukaan (lubang pencetak atau die) untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan (Ahza 1996, diacu dalam CFNS 1997) Proses ekstrusi yang menggunakan prinsip transport bahan dengan tekanan hidraulik, umumnya diterapkan pada pengolahan bahan yang tidak disertai dengan pemasakan. Sebagai contoh, teknik pencetakan cookies, kue, mie, makaroni, dan atau produk pasta lainnya, yaitu untuk proses-proses pencetakan adonan yang umumnya tidak menggunakan pemanasan (Ahza 1996 dalam CFNS 1997) Prinsip ekstrusi adalah proses pengolahan menggunakan alat yang sekaligus dapat berfungsi mendorong bahan dan mengadoni bahan sampai melewati die (CFNS 1997). Alatnya dikenal dengan nama ekstruder. Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper 1981). Menurut Muchtadi et al. (1988), fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan molekular, pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan

pengelembungan/pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi. Berdasarkan kemampuannya, ekstruder dikelompokkan ke dalam kelompok ekstruder pemasak dan ekstruder pencetak (CFNS 1997). Menurut

28

Fellows (2000) pada ekstruder pemasak (cooking extruder), makanan dipanaskan pada suhu di atas 100oC. Adanya gesekan yang menghasilkan panas dan tambahan panas lainnya mengakibatkan peningkatan suhu yang cepat. Muchtadi et al. (1988) mengatakan bahwa ekstruder pencetak (forming extruder) dirancang agar dapat dioperasikan dalam keadaan dingin dengan cara mengurangi timbulnya panas antara silinder dan model ulir serta didinginkan dari luar, dan untuk menghasilkan tekanan tinggi yang diperlukan untuk memperoleh bentuk tertentu. Fellows (2000) menambahkan bahwa pada ekstrusi dingin, suhu akan dipertahankan tetap untuk mencampur dan membentuk makanan, seperti produk pasta dan daging. Alat ini dirancang untuk memproses adonan lembek dan cair (dengan kelembaban lebih tinggi) yang dioperasikan pada kecepatan lebih rendah sehingga diperoleh proses pemasakan yang lebih lunak dan lebih lama (Muchtadi et al. 1988). Pada ekstrusi dingin, produk diekstrusi tanpa proses pemasakan. Ekstruder memiliki deep-flight screw yang beroperasi pada kecepatan rendah dalam barrel untuk menguleni dan mengekstrusi material dengan sedikit gesekan. Alat ini biasa digunakan untuk memproduksi pasta, hot dog, adonan pastry, dan beberapa produk confectionary (Fellow 2000). Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terdiri dari ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir silinder yang berputar pada barel yang juga berbentuk silinder (Fellow 2000). Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam pengembangan produk baru seperti makanan ringan, makanan bayi, makanan ternak, breakfast cereal atau produk modifikasi pati (Mercier dan Feillet 1975). Selain itu, juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta, cookies atau permen (Linko et al. 1981). Ekstruder berulir tunggal memiliki keuntungan karena biaya operasinya yang lebih rendah dibandingkan biaya ekstruder berulir ganda dan tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatannya (Fellow 2000). Ekstruder inilah yang digunakan dalam penelitian ini. Lima jenis ekstruder berulir tunggal yang umum dipakai di industri pangan adalah pasta extruder, high-pressure forming extruder, low-shear cooking extruder, collet extruder, dan high-shear cooking extruder (Muchtadi et al. 1988).

29

Ekstruder ulir ganda terbagi atas lima kelompok berdasarkan arah perputaran dan keterkaitan ulir, yaitu ulir berputar searah dan saling berkaitan, ulir berputar searah dan tidak berkaitan, ulir berputar berlawanan saling berkaitan, ulir berputar berlawanan tidak berkaitan dan ulir berbentuk kerucut berkaitan (Hubber 2001). Menurut Fellow (2000), keuntungan utama ekstruder berulir ganda adalah kemampuannya dalam beroperasi lebih fleksibel, yakni dengan mengubah derajat penghancuran ulir, jumlah sayap atau sudut ujung ulir.

30

METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima varietas jagung kuning hibrida yang terdapat di Indonesia, yaitu varietas NT 10, Bisi 16, Nusantara I, Jaya, dan Prima. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisis kadar pati (NaOH, HCl, indikator PP, KI, H2SO4, Na-thiosulfat, dan larutan Luff-Schoorl), kadar amilosa dan amilopektin (asam asetat, I2, NaOH, etanol, dan larutan iod), dan analisis proksimat (CuSO4, K2SO4, H2SO4, H3PO3, HCl, NaOH, dan Na2S2O3). Alat yang digunakan adalah penggiling tepung disc mill, vibrating screen, ekstruder pencetak mie (model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China), oven, sealer, freezer, panci pengukus, texture analyzer, rheoner, brabender amylograph, water bath, chromameter CR-200, sentrifuse, dan pH meter.

B. TAHAPAN PENELITIAN Secara umum penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Pada tahap pertama dilakukan proses penepungan terhadap lima varietas jagung. Selanjutnya dilakukan beberapa analisis terhadap tepung yang dihasilkan untuk menentukan karakteristik setiap varietas jagung. Kemudian tepungtepung jagung tersebut diolah menjadi mie dengan menggunakan metode ekstrusi dan dianalisis sifat fisiknya. Berdasarkan hasil analisis tersebut dilihat potensi kelima tepung jagung untuk dibuat mie jagung. Selain itu dilakukan pula uji organoleptik untuk melihat sifat fisik mie secara subjektif dan melihat tingkat kesukaan panelis terhadap mie basah jagung yang dihasilkan. Selanjutnya hasil uji organoleptik ini dihubungkan dengan sifat fisik mie yang diamati secara objektif dengan alat. Garis besar pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

31

Lima varietas jagung pipil

Pembuatan tepung jagung dengan metode dry milling Karakterisasi tepung jagung: 1. Sifat fisik : pH, warna 2. Sifat kimia : Proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat), kadar pati, amilosa, amilopektin 3. Sifat fungsional : Sifat amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume. Gambar 4. lima Garismie besar pelaksanaan penelitian Pembuatan jagung dengan teknik ekstrusi

Uji Organoleptik (analisis subjektif mie): Deskripsi QDA Rating hedonik

Analisis fisik mie secara objektif: Warna KPAP Elongasi Kekerasan

Melihat hubungan tingkat kesukaan dengan parameter fisik mie Gambar 2 Garis besar pelaksanaan penelitian.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung jagung dari lima varietas jagung hibrida yang telah dipilih. Penepungan jagung dilakukan dengan proses penepungan kering. Secara garis besar proses penepungan jagung dengan teknik penggilingan kering terdiri atas pengilingan kasar dengan ukuran ayakan 10 mesh, pengambangan untuk memisahkan lembaga dan kulit ari jagung, pengeringan grits, penggilingan halus dengan ukuran ayakan 48 mesh, pengeringan tepung, pengayakan tepung (100 mesh), dan pengeringan tepung setelah diayak.

32

Proses penepungan diawali dengan penggilingan kasar jagung pipil menjadi grits dengan alat disc mill yang menggunakan saringan 10 mesh. Proses ini bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan lembaga, kulit dan tip cap. Selanjutnya dilakukan proses pencucian yang berfungsi untuk mengambangkan lembaga dan kulit ari dari grits jagung sehingga bagian-bagian tersebut mudah dibuang dan dipisahkan. Kemudian grits jagung yang telah bersih direndam dalam air selama 3 jam dengan tujuan memperlunak endosperma sehingga memudahkan proses penepungan halus. Setelah itu, grits jagung dikeringkan dengan memanfaatkan sinar matahari hingga grits tidak terlalu basah dan tidak pula terlalu kering. Hal ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih efisien dan rendemen hasil penggilingan lebih tinggi. Selanjutnya grits jagung yang dihasilkan digiling kembali menggunakan mesin penggiling disc mill dengan saringan berukuran 48 mesh. Proses penggilingan kedua ini bertujuan untuk memperhalus ukuran jagung menjadi tepung. Setelah menjadi tepung jagung, tepung tersebut dikeringkan dalam oven pengering bersuhu 50oC selama 2 jam untuk mengurangi kadar air tepung yang berasal dari grits jagung yang semibasah. Kemudian tepung diayak menggunakan vibrating screen dengan ukuran ayakan 100 mesh. Ukuran ini dipilih berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Pratama (2008) yang menyatakan bahwa ukuran tepung 100 mesh merupakan ukuran tepung terbaik untuk dijadikan mie basah jagung. Selanjutnya, tepung jagung dikeringkan lagi di oven pengering pada suhu 50oC selama 2 jam yang bertujuan mengurangi kadar air sehingga mengurangi resiko tepung mengalami kerusakan dan memperpanjang umur simpan tepung. Proses penepungan jagung ini dapat dilihat pada Gambar 3.

33

Pembersihan jagung dari biji yang cacat dan benda asing Penggilingan I dengan disc mill menggunakan ayakan berukuran 10 mesh

Tepung kasar

Grits jagung

Pengambangan jagung di air suhu normal untuk pembuangan kulit ari dan lembaga Pengendapan selama 3 jam Pembuangan cairan, penjemuran grits jagung sampai grits tidak terlalu basah Penggilingan dengan disc mill menggunakan ayakan berukuran 48 mesh Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam Pengayakan dengan vibrating screen menggunakan saringan 100 mesh Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam Pengemasan dengan plastik PP tiap 200 g, diberi silika gel dan disimpan di freezer Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung jagung (Fahmi, 2007 dengan modifikasi). Pembuatan tepung jagung berdasarkan Fahmi (2007) dimodifikasi pada waktu lamanya pengendapan grits jagung dan banyaknya jumlah tepung yang disimpan dalam kemasan. Fahmi (2007) mengendapkan grits jagung selama 30 menit dan tepung yang dihasilkan dikemas sebanyak 250 g per kemasan. Sedangkan pada penelitian ini, grits jagung diendapkan selam 3 jam dan tepung yang dihasilkan dikemas sebanyak 200 g per kemasan. Tepung yang

34

diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan sifat fisiko-kimianya yang meliputi sifat fisik (analisis pH dan warna), sifat kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat, kadar pati, kadar amilosa, dan amilopektin). Selain itu juga dilakukan analisis sifat fungsional tepung jagung yang meliputi analisis daya absorbsi air (water absorption capacity), kelarutan dan swelling volume. Analisis tepung jagung berdasarkan sifat fisiko-kimia dan sifat fungsionalnya ini bertujuan untuk mengkarakterisasi tepung jagung yang dihasilkan. Selanjutnya dilakukan pembuatan mie jagung dari tepung jagung yang telah dihasilkan. Menurut Muhandri (2008), secara garis besar proses pembuatan mie jagung terdiri atas tahapan-tahapan sebagai berikut: penimbangan bahan, pencampuran, pengadonan, pembentukan lembaran secara manual,

pengukusan pertama, pencentakan mie dengan ekstruder, dan pengukusan kedua. Penimbangan bahan-bahan pembuatan mie basah jagung meliputi basis tepung jagung 100 g, NaCl 2% (4 g), dan penambahan air hingga mencapai 70% bk adonan. Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak membentuk gumpalan. Pencampuran air dan garam dilakukan dengan cara melarutkan garam terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Kemudian adonan dibentuk lembaran menggunakan pengepres kayu sampai ketebalan 0.5 cm dan dipotong kotak-kotak. Hal ini bertujuan untuk meratakan distribusi panas yang diterima adonan saat proses pengukusan pertama. Selama pengukusan, adonan akan mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga tekstur adonan akan menjadi lebih lunak, kenyal, dan elastis sehingga adonan mudah dicetak menjadi untaian mie. Pati yang tergelatinisasi pada proses ini akan berperan membentuk matriks pengikat sehingga adonan dapat dicetak menjadi mie. Setelah itu, adonan yang telah dikukus dimasukan ke dalam ekstruder tipe MS9 Multifunctional noodle modality machine. Adonan yang telah mengalami pencampuran di dalam ekstruder, kemudian akan keluar melalui lubang/die ekstruder khusus untuk mie dengan ukuran diameter die 1.5 mm. Selanjutnya mie yang dihasilkan

35

kembali dikukus untuk menyempurnakan proses gelatinisasi sehingga diperoleh tekstur yang lebih baik. Tahapan pembuatan mie basah jagung dapat dilihat pada Gambar 4.

NaCl Tepung jagung Mixing Pembuatan lembaran dengan ketebalan 0.5 cm Pengukusan adonan selama 15 menit Pencetakan dalam ekstruder Pengukusan mie selama 15 menit Mie basah jagung

Air sampai k.a adonan 70% bk

Pencampuran dan pengadukan hingga NaCl larut

Gambar 4 Diagram alir pembuatan mie basah jagung (Muhandri 2008).

Mie jagung yang telah dihasilkan selanjutnya akan dianalisis sifat fisiknya secara objektif yang meliputi analisis KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), persen elongasi, kekerasan, dan warna. Berdasarkan nilai KPAP, persen elongasi, dan kekerasan mie basah jagung yang berada dalam kisaran KPAP, persen elongasi, dan kekerasan mie basah terigu, ditentukan potensi tepung jagung untuk diolah menjadi mie bsah jagung. Selain itu juga dilakukan analisis sifat fisik mie secara subjektif dengan uji organoleptik, yaitu uji deskripsi metode QDA. Selanjutnya, dilakukan uji rating hedonik terhadap mie yang dihasilkan untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap mie jagung.

36

C. ANALISIS DAN PENGUKURAN 1. Analisis Karakterisasi Fisiko-Kimia dan Fungsional Tepung Jagung Analisis karakterisasi fisik yang dilakukan adalah analisis pH dan warna tepung, sedangkan analisis karakterisasi kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan penentuan kadar karbohidrat menggunakan perhitungan by difference), kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin.

a. 1)

Karakterisasi Sifat Fisik pH (Derajat keasaman) pH diukur dengan membuat suspensi tepung sebesar 10%, kemudian pH diukur dengan menggunakan alat pH meter yang telah dikalibrasi.

2)

Analisis Warna Menggunakan Metode Hunter (Hutching 1999) Analisis warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter CR-200 Minolta untuk mendapatkan nilai L, a, dan b dengan standar kalibrasi Y= 68.3, x = 0.420, dan y = 0.438. Parameter yang diukur seharusnya adalah L untuk lightness atau kecerahan, a untuk derajat warna merah, dan b untuk derajat warna kuning. Namun, pada Chomameter yang digunakan nilai L, a, b tidak muncul. Parameter yang muncul adalah Y, x, dan y. Oleh karena itu nilai-nilai tersebut harus dikonversi untuk mendapatkan nilai L, a, dan b. Konversi nilai tersebut dapat dilihat melalui rumus berikut (Hutching 1999). Y=Y X = Y (x/y) Z = Y (1- (x+y) /y L = 10 Y1/2 a = 17.5(1.02X-Y)/Y1/2 b = 7.0(Y-0.847Z)/ Y1/2

b. 1)

Karakterisasi Sifat Kimia Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang dari 5 g) dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta

37

isinya dimasukan ke dalam oven bersuhu 100oC selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isi didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air ditentukan dengan rumus : Kadar air (% bb) = c (a - b) x 100 % c Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir(g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)

2)

Kadar Abu (AOAC 1995) Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar abu (% bb) = c - (a - b) x 100 % c Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)

3)

Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak yang digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100110 C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 g, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana. Refluks dilakukan 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil 38
o

ekstrusi dipanaskan dalam suhu 100oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar lemak (% bb) = a - b x 100% c Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)

4)

Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 g ditimbang dan diletakan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian tambahkan 0.9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Larutan kemudian dimasukan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti pada penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar N (%) = (ml HCL sampel-ml HCL blanko) x N HCL x 14.007 x 100 mg sampel Kadar protein (% bb) = % N x faktor konversi (6.25)

39

5)

Kadar Karbohidrat by Difference (AOAC 1995) Kadar Karbohidrat (% bb) = 100% - (P + KA + A + L) Keterangan : P KA = kadar protein (%) = kadar air (%) A L = abu (%) = kadar lemak (%)

6)

Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al. 1997) a) Pembuatan larutan Luff Schoorl Sebanyak 25 g CuSO4.5H2O sejauh mungkin bebas besi, dilarutkan dalam 100 ml air, 50 g asam sitrat dilarutkan dalam 50 ml air dan 388 g soda murni (Na2CO3.10H2O) dilarutkan dalam 300-400 ml air mendidih. Larutan asam sitrat dituangkan dalam larutan soda sambil dikocok hati-hati. Selanjutnya, ditambahkan larutan CuSO4. Sesudah dingin ditambahkan air sampai 1 L. Bila terjadi kekeruhan, didiamkan kemudian disaring. b) Penentuan sakarosa Sebanyak 50 ml filtrat bebas Pb dari larutan, masukan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah dengan 25 ml akuades dan 10 ml HCl 30% (berat jenis 1.15). Panaskan di atas penagas air pada suhu 67-70oC selama 10 menit. Kemudian didinginkan cepat-cepat sampai suhu 20oC. Netralkan dengan NaOH 45%, kemudian diencerkan sampai volume tertentu sehingga 25 ml larutan mengandung 15-60 mg gula pereduksi. Diambil 25 ml larutan dan dimasukan dalam erlenmeyer, ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl dan dibuat pula larutan blanko yaitu 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah dengan akuades 25 ml. Setelah ditambah beberapa butir batu didih, erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik, kemudian dididihkan.

Diusahakan selama 2 menit larutan sudah mendidih. Pendidihan larutan dipertahankan selama 10 menit. Setelah dingin, tambahkan KI 20% dan dengan hati-hati tambahkan 25 ml H2SO4 26.5%.

40

Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na-thiosulfat 0.1 N memakai indikator pati sebanyak 2-3 ml. Untuk memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi, pati ditambahkan pada saat titrasi hampir berakhir. c) Perhitungan kadar pati Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi contoh, kadar gula reduksi setelah inversi (setelah dihidrolisa dengan HCl 30%) dalam bahan dapat dicari dengan menggunakan Tabel 8. Selisih kadar gula reduksi sesudah inversi dengan sebelum inversi dikalikan 0.9 merupakan kadar pati dalam bahan.

Tabel 8 Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ml 0.1 N Glukosa, fruktosa, dan gula invert Na-thiosulfat Mg C6H12O6 1 2.4 2.4 2 4.8 2.4 3 7.2 2.5 4 9.7 2.5 5 12.2 2.5 6 14.7 2.5 7 17.2 2.6 8 19.8 2.6 9 22.4 2.6 10 25.0 2.6 11 27.6 2.7 12 30.3 2.7 13 33.0 2.7 14 35.7 2.8 15 38.5 2.8 16 41.3 2.9 17 44.2 2.9 18 47.1 2.9 19 50.0 3.0 20 53.0 3.0 21 56.0 3.1 22 59.1 3.1 23 62.2 24 -

41

7)

Kadar Amilosa Metode IRRI (AOAC 1995) a) Pembuatan kurva standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tahap selanjutnya adalah pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk akan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1.0 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Tahap selanjutnya adalah pengukuran intensitas warna biru yang terbentuk dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. b) Penetapan sampel Ditimbang sampel sebanyak 100 mg dalam bentuk tepung kemudian ditambahkan dengan 1 ml etanol 96% dan 95 ml NaOH 1 N. Selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selma 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian dikocok dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Tahap selanjutnya adalah larutan tersebut dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan air, dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa (bb%) = a x fp x v x 100% b Keterangan : a = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) fp = faktor pengenceran b = berat sampel (mg) v = volume mula-mula (ml)

42

c. 1)

Karakterisasi Sifat Fungsional Sifat Amilografi Buret diberi 450 ml air akuades. Sampel sebanyak 45 g dimasukan ke dalam gelas piala kemudian dilarutkan dengan sebagian air akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukan ke dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas buret kemudian dimasukan ke dalam bowl amilograph. Suhu awal diatur dengan termoregulator pada suhu 30oC kemudian diswitch pengatur suhu berada di bawah posisi 97oC dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl amilograph berputar serta dipanaskan dengan menggunakan air. Kemudian pasang pena pencatat pada skala kertas amilogram. Mesin amilograph dimatikan ketika pasta mencapai suhu 95oC. Perhitungan analisis amilograph dilakukan dengan rumus : Suhu awal gelatinisasi Suhu pada puncak gelatinisasi = suhu pada saat kurva mulai naik = suhu pada saat viskositas maksimum dicapai (kurva mencapai puncak) Suhu ditentukan berdasarkan = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5 menit) = pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Amilograph atau Brabender Unit Breakdown viscosity = viskositas maksimum- viskositas pada 95oC setelah 10 menit Setback viscosity = viskositas pada suhu 50oC setelah10 menit - viskositas pada suhu95oC setelah10 menit Stabilitas selama pemanasan = viskositas pada suhu 95oC - viskositas setelah holding 95oC Stabilitas selama pendinginan = viskositas pada suhu 50oC viskositas suhu setelah holding 50oC

perhitungan berikut Viskositas maksimum

43

2)

Water Absorption Capacity (Metode Sathe dan Salunke 1981) Absorbsi air ditentukan dengan cara sentrifugasi. Satu g contoh dicampur dengan 10 ml akuades dan diaduk 30 detik, campuran kemudian didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar, selanjutnya campuran tersebut disentrifuse dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Absorbsi air dinyatakan dalam g/g (bk) dan dihitung dengan rumus: Absorbsi air (% bb) =a-b c

Keterangan : a = bobot air mula-mula(g) b = bobot supernatan (g) c = bobot sampel (g)

3)

Kelarutan dan Swelling Volume (Collado and Corke 1999 dengan modifikasi) Swelling volume ditentukan dengan menimbang sebanyak 0.35 g (bk) tepung yang kemudian ditambahkan air sebanyak 12.5 ml dalam tabung sentrifuse. Selanjutnya larutan divortex lalu dipanaskan dalam waterbath yang bersuhu 92.5oC dan setiap 5 menit sekali divortex selama 10 menit. Selanjutnya larutan didinginkan pada air es selama 1 menit dan pada suhu 25oC selama 15 menit. Kemudian larutan disentrifuse dengan kecepatan 3600 rpm selama 15 menit. Gel yang terbentuk diukur volumenya dan dinyatakan sebagai swelling volume dalam satuan ml/g (bk). Sedangkan kelarutan diperoleh dengan cara menuangkan supernatan yang dihasilkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan pada suhu 110oC selama semalam. Kelarutan dihitung dengan rumusan sebagai berikut : Kelarutan = berat supernatan kering berat cawan x 100% berat awal sampel (bk)

44

2. Analisis Fisik Mie Basah Jagung a. Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer Sampel dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0.3 cm/s. Set up Texture Analyzer yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 9 dan persen elongasi dihitung dengan rumus berikut.

Persen elongasi = waktu putus sampel (s) x 0.3 cm/s x 100% 2 cm Tabel 9 Set up Texture Analyzer yang digunakan Pre test speed 30 mm/s Test speed 3.0 mm/s Post test speed 5.0 mm/s Rupture test distance 1.0 mm Distance 50 mm Force 100 g Time 5 sec Count 5 b. Analisis Persen Elongasi Menggunakan Rheoner Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mie yang akan diukur kekerasan dan elastisitasnya. Beban yang digunakan 0.2 volt (5 gf/0.25 cm), test speed 0.5 mm/s, dan chart speed 40 mm/menit. Sampel yang telah direhidrasi diletakan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (gf) dan waktu (s). Cara perhitungan persen elongasi: b c L = lebar kurva (mm) x 0.5 = (a2 + b2) , dimana a = 10.5 mm = (2 x c) 2a

% elongasi = ( L/2a) x 100% a

b c c

45

c.

Analisis Kekerasan Mie Menggunakan Rheoner Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Beban yang digunakan 0.5 volt, test speed 0.5 mm/s, chart speed 40 mm/menit. Sampel yang telah direbus selama 5 menit diletakan pada probe dan dilakukan penekanan sejauh 1 mm. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (gf) dan waktu (s). Kekerasan dinyatakan dalam satuan gram force.

d.

Pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) (Oh et al. 1985) Penentuan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) dilakukan dengan cara merebus 5 g mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100oC sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: KPAP = 1- berat sampel setelah dikeringkan berat awal (1- kadar air sampel) x 100%

3. Analisis Organoleptik a. Uji Deskripsi QDA Analisis organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji

deskripsi. Uji ini dilakukan dengan mengunakan 8 orang panelis terlatih yang merupakan tim dari LJA (Laboraturium Jasa Analis) Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Uji deskripsi bertujuan untuk mengidentifikasi sifat sensori yang penting pada produk mie yang dihasilkan dengan metode QDA (Quantitative Descriptive Analysis). Parameter yang diujikan pada uji deskripsi ini adalah KPAP, elongasi, kekerasan, kelengketan, dan warna dengan menggunakan skala garis. Skala garis berukuran 15 cm dengan ujung sisi kiri garis hingga ujung sisi kanan garis menunjukkan nilai yang semakin tinggi. Panelis akan memberi penilaian pada rentang garis tersebut, kemudian akan diukur jarak dari ujung sisi kiri dari masing-masing tanda yang diberikan panelis. Setelah

46

itu akan dibuat matriks responnya dan dilakukan pengolahan data menggunakan Multivariate Analisis of Variance (MANOVA). Untuk pembandingan secara visual, hasil pengolahan data juga ditampilkan dalam bentuk spider web.

b.

Uji Rating Hedonik Uji rating hedonik dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih dengan menggunakan skala garis. Skala garis berupa garis horizontal dengan panjang 15 cm. Pada sisi kiri diberi label sangat tidak suka dan pada sisi kanan diberi label sangat suka. Panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap tingkat kesukaan dengan memberikan garis vertikal pada garis horizontal. Data didapatkan dari respon panelis dengan cara mengukur dari ujung kiri hingga titik pertemuan garis vertikal dan garis horizontal. Selanjutnya data direkap dalam tabel. Data yang diperoleh diolah menggunakan prosedur statistik ANOVA dan bila terdapat perbedaan tingkat kesukaan terhadap sampel akan dilakukan uji lanjut Duncan.

4. Melihat Hubungan antara Sifat Fisik Mie dan Hasil Uji Rating Hedonik Setelah mengetahui apakah kelima mie basah jagung yang dihasilkan memiliki potensi untuk dibuat menjadi mie basah jagung berdasarkan sifat fisiknya, dillihat apakah panelis menyukai mie basah jagung berdasarkan parameter-parameter sifat fisik tersebut. Mie dikatakan berpotensi menjadi mie jagung berdasarkan sifat fisiknya apabila mie jagung memiliki nilai-nilai yang masuk ke dalam kisaran sifat fisik mie terigu yang ada pada umumnya. Mie dikatakan cukup berpotensi menjadi mie jagung berdasarkan sifat organoleptiknya apabila memiliki rata-rata nilai kesukaan yang cukup disukai.

47

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG Penelitian ini menggunakan lima varietas jagung hibrida untuk ditepungkan yang selanjutnya diproses menjadi mie jagung. Lima varietas jagung tersebut adalah jagung varietas NT 10 yang diperoleh dari Provinsi Sumatra Barat dan jagung varietas Bisi 16, Nusatara I, Jaya, dan Prima yang diperoleh dari Dinas Pertanian Ponorogo. Keunggulan dan produktivitas kelima varietas jagung ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Penepungan jagung yang dilakukan pada penelitian ini adalah penepungan jagung dengan proses penggilingan kering. Proses penepungan ini dipilih karena prosesnya yang lebih mudah dilakukan dan lebih efisien dari segi waktu dibandingkan dengan proses penggilingan basah. Proses pembuatan tepung jagung dengan penggilingan kering terdiri dari beberapa tahapan. Pertama, sortasi biji jagung dari biji jagung yang cacat dan adanya benda asing. Selanjutnya dilakukan proses penggilingan I

menggunakan disc mill dengan ukuran saringan 10 mesh agar terbentuk grits jagung. Selanjutnya grits jagung diambangkan di dalam air bersuhu normal, sehingga kulit ari dan lembaga jagung berada di atas permukaan air dan dapat dipisahkan secara manual. Kulit ari dipisahkan karena kandungan seratnya yang tinggi sehingga dapat menyebabkan tepung yang dihasilkan bertekstur kasar. Selain itu, menurut Lestari (2009) kulit ari harus dipisahkan karena batas maksimal jumlah serat kasar dalam tepung jagung menurut SNI 013727-1995 adalah 1.5%. Lembaga dipisahkan dengan tujuan untuk menghindari tepung menjadi cepat tengik. Hal ini dikarenakan lembaga merupakan bagian jagung yang paling banyak mengandung lemak. Lemak yang terkandung dalam lembaga jagung sebesar 33.2% (Johnson 1991). Setelah itu dilakukan proses perendaman grits jagung selama 3 jam. Hal ini dilakukan untuk memperlunak endosperma sehingga mudah digiling. Air yang digunakan untuk merendam grits jagung dibuang dan grits jagung dijemur hingga grits jagung tidak terlalu basah dan tidak pula terlalu kering. Hal ini ditandai dengan grits jagung yang tidak menggumpal satu sama lain

48

dan tidak lengket di tangan. Jika grits jagung terlalu basah, pada penggilingan kedua bahan akan menempel di disc mill sehingga dapat menyebabkan kemacetan pada alat. Sedangkan jika kadar air grits terlalu kering, endosperma jagung sudah kembali menjadi keras sehingga sulit untuk dihancurkan, akibatnya jumlah tepung yang lolos saringan 100 mesh pada proses pengayakan menjadi lebih sedikit. Hal ini mengakibatkan tepung jagung yang dihasilkan memiliki rendemen yang rendah. Selanjutnya dilakukan pengeringan tepung menggunakan oven pengering dengan suhu 50oC selama 2 jam dan diayak menggunakan vibrating screen dengan ukuran ayakan 100 mesh. Ukuran ini dipilih berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Pratama (2008) yang menyatakan bahwa ukuran tepung 100 mesh merupakan ukuran tepung terbaik untuk dijadikan mie basah jagung. Mie jagung yang dihasilkan dari tepung jagung berukuran 100 mesh memiliki tekstur yang lebih halus. Selanjutnya, tepung jagung dikeringkan lagi di oven pengering pada suhu 50oC selama 2 jam yang bertujuan mengurangi resiko tepung mengalami kerusakan. Suhu pengeringan ini dipilih karena dikhawatirkan jika tepung dikeringkan pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi kerusakan pada granula pati dan menyebabkan sifat fungsional pati berubah sehingga tidak dapat menghasilkan mie dengan tekstur yang baik. Selain itu, juga dikhawatirkan terjadi denaturasi protein pada tepung jagung yang mengakibatkan kelarutan serta daya serap tepung menjadi berkurang karena tepung terlalu kering. Menurut Winarno (2008), protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya akibat lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam. Tahap terakhir adalah pengemasan tepung jagung dalam plastik PP tiap 200 g untuk memudahkan pembuatan mie basah jagung dengan basis tepung 200 g yang selanjutnya disimpan dalam freezer agar tepung terhindar dari kerusakan akibat kapang dan hama kutu yang sering menyerang. Selama penyimpanan, tepung diberi silika gel untuk menjaga kelembaban tepung dan mempertahankan kadar air tepung selama penyimpanan.

49

B. KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG 1. Karakteristik Fisikokimia Tepung Jagung Pengujian terhadap karakteristik fisik tepung jagung dilakukan untuk mengetahui nilai pH dan warna dari tepung jagung. Sedangkan pengujian terhadap karakteristik kimia tepung jagung dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi tepung jagung sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mie. Sifat kimia jagung yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar pati, amilosa, dan amilopektin.

a. Sifat Fisik Tepung Jagung 1) Nilai pH Nilai pH suspensi 10% lima varietas tepung jagung yang dianalisis berkisar antara 5.29-5.96. Nilai pH terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Nusantara 1 (5.29) dan yang tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi 16 (5.96). Perbedaan nilai pH tiap varietas jagung ini diduga disebabkan oleh kadar asam organik yang dikandung tiap varietas jagung berbeda-beda. Menurut Fennema (1996), sejumlah kecil asam organik yang terdapat pada tanaman merupakan hasil metabolisme lanjut (dalam siklus TCA atau glikosilat) yang terakumulasi dalam vakuola tanaman. Akumulasi asam organik ini akan memberikan keasaman dan jagung sendiri memiliki tingkat asam yang rendah. Nilai pH berpengaruh terhadap pembentukan gel yang optimum. Pembentukan gel pati yang optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno 2008). Artinya kelima varietas tepung jagung tersebut masih berada pada kisaran pH untuk menghasilkan gel yang optimum. Nilai pH yang tinggi dapat menyebabkan perubahan sifat fungsional pati dalam tepung jagung, yaitu pembentukan gel yang makin cepat tercapai namun viskositasnya cepat pula turun dan bila pemanasan dilanjutkan viskositas akan turun lagi. Pada pH 4-7 kecepatan pembentukan gel lebih lambat daripada pH 10, tetapi bila pemanasan dilanjutkan, viskositas tidak berubah (Winarno 2008). Nilai pH kelima varietas jagung dapat dilihat pada Tabel 10.

50

Tabel 10 Nilai pH varietas tepung jagung hibrida No 1 2 3 4 5 Varietas jagung Nusantara 1 Prima Jaya NT 10 Bisi 16 pH 5.29 5.48 5.76 5.80 5.96

Dalam kaitannya dengan produk mie, pH tepung berpengaruh pada proses gelatinisasi tepung yaitu pada karakter pembentukan gel yang optimum. Pada pembuatan mie jagung, faktor utama pembentukan gel adalah gelatinisasi pati bukan dari pembentukan gluten seperti yang terdapat dalam tepung terigu. Gel pati yang diharapkan pada pembuatan mie adalah gel yang memiliki viskositas cenderung tinggi dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan (Tam et al. 2004). Menurut Hoseney (1998), pada pH sekitar 5 hingga 7 pati jagung normal memiliki viskositas yang relatif tinggi dan dapat dipertahankan.

2) Warna Tepung Jagung Warna tepung jagung diamati secara kuantitatif menggunakan Chromameter CR-200 dengan metode Hunter yang memberikan tiga nilai pengukuran L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur, maka nilai L akan mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel, nilai L akan mendekati 0. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Bila a bernilai positif, sampel cenderung berwarna merah. Sebaliknya, bila a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru. Bila b bernilai positif, sampel cenderung berwarna kuning dan bila b bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna biru (Hutching 1999). Hasil pengukuran warna pada tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 11.

51

Tabel 11 Warna tepung jagung varietas hibrida No Varietas jagung L a b 1 NT 10 84.68 -1.90 25.53 2 Jaya 84.53 -1.67 29.14 3 Prima 84.41 -1.82 28.26 4 Bisi 16 84.35 -0.71 31.19 5 Nusantara 1 85.17 -0.71 27.57 Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa tingkat kecerahan warna lima varietas tepung jagung berkisar antara 84.35-85.17 yang diamati dari nilai L. Tepung jagung yang memiliki kecerahan tertinggi adalah tepung jagung varietas Nusantara 1 dengan nilai L sebesar 85.17 dan tepung jagung yang memiliki tingkat kecerahan terendah adalah tepung jagung varietas Bisi 16 dengan nilai L sebesar 84.35. Besarnya nilai a semua varietas tepung jagung menunjukkan bahwa tepung jagung cenderung berwarna hijau, dengan nilai a terbesar dimiliki oleh tepung jagung varietas NT 10 (-1.90) dan nilai a terkecil dimiliki oleh tepung jagung varietas Nusantara 1 dan Bisi 16 (-0.71). Besarnya nilai b dari seluruh tepung jagung menunjukkan bahwa tepung jagung tersebut berwarna kuning. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa semua tepung jagung memiliki nilai b yang positif, artinya semua tepung jagung cenderung berwarna kuning. Nilai b tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi 16 (+31.19) dan yang terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas NT 10 (+25.53). Hal ini sesuai dengan pengamatan secara visual dimana tepung jagung varietas Bisi 16 terlihat lebih kuning dibandingkan jenis tepung yang lainnya, sedangkan tepung jagung NT 10 terlihat kuning agak pucat. Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada jagung. Xantofil termasuk ke dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung. Kandungan pigmen xantofil yang terdapat pada jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg dengan kisaran 12-36 mg/kg, sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2.8 mg/kg (Watson 2003).

52

Warna kuning pada tepung jagung inilah yang nantinya memberikan warna kuning alami pada produk mie jagung. Warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari mie jagung yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mie jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mie jagung dibandingkan mie terigu karena tidak memerlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mie yang berwarna kuning. Menurut Astawan (2001), pewarna yang biasa digunakan pada produk mie adalah tartrazine yellow. Pewarna ini ditambahkan sebanyak 5 g ke dalam basis 22 g tepung terigu pada pembuatan mie basah (mie kuning).

b. Sifat Kimia Tepung Jagung 1) Kadar Air Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang dapat mempengaruhi kualitas bahan pangan itu sendiri. Peningkatan jumlah air dapat mempengaruhi laju kerusakan bahan pangan oleh proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Rendahnya kadar air suatu bahan pangan merupakan salah satu faktor yang dapat membuat bahan pangan awet. Proses pengurangan kadar air pada pembuatan tepung jagung ini, dilakukan melalui tahapan pengeringan. Gambar 5 memperlihatkan bahwa lima varietas jagung tersebut memiliki kisaran kadar air antara 5.25-9.53% bb dengan kadar air tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi 16 (9.53% bb), sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Prima (5.25% bb). Seluruh nilai kadar air tepung jagung yang telah dianalisis, memiliki kisaran kadar air yang sesuai dengan kadar air yang ditetapkan dalam SNI. Berdasarkan SNI 01-3727 (1995), kadar air tepung jagung ditetapkan maksimal 10% bb. Perbedaan kadar air pada kelima tepung jagung yang dianalisis diduga disebabkan oleh perbedaan kadar air awal yang terdapat pada jagung pipil kering yang diperoleh.

53

9.53 10 8.19 6.15 5.25 8.25

Kadar air (%bb)

8 6 4 2 0 Prima

NT 10

Jaya

Nusantara 1

Bisi 16

Varietas jagung

Gambar 5 Kadar air tepung jagung varietas hibrida.

Kadar air tepung jagung yang ditetapkan dalam SNI adalah maksimal 10% bb. Hal ini di duga berkaitan berkaitan dengan keberadaan air T Tipe II dalam tepung jagung. Menurut Winarno (2008), jika kadar air Tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 33-7%. Kadar air tepung jagung sebesar 10% menunjukkan bahwa bahan telah kehilangan sebagian air Ti Tipe II. Winarno (2008) menyatakan bahwa penghilangan sebagian air Tipe II akan mengakibatkan penurunan aw, sehingga mampu mengurangi pertumbuhan mikroba dan reaksi reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak bahan pangan seperti reaksi browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak. Kadar air ir yang dimiliki oleh tepung jagung ini mempengaruhi jumah air yang akan ditambahkan pada saat tepung akan diproses menjadi mie jagung. Hal ini disebabkan pada pembuatan mie jagung, dikehendaki kadar air adonan adalah 70% bk. Menurut Muhandri (2008) diketa diketahui bahwa pada kadar air adonan 70% bk diperoleh karakteristik adonan yang bersifat semi basah, adonan yang agak sulit dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak, kotak, mie yang dihasilkan lurus, tidak lengket, elastis, dan warna mie yang seragam.

54

Jumlah air yang yang ditambahkan pada tiap tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 12. Kesetimbangan massa dan contoh perhitungan perolehan jumlah air yang ditambahkan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 12 Jumlah air yang ditambahkan pada tiap tepung jagung pada proses pembuatan mie basah jagung (basis tepung 100 g) Jumlah air yang ditambahkan pada 100 g Varietas tepung jagung tepung jagung jagung (ml) Bisi 16 53.80 Nusantara 1 55.98 Jaya 56.07 NT 10 59.55 Prima 61.08 2) Kadar Abu Kadar abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Abu merupakan residu yang tertinggal setelah suatu bahan pangan dibakar hingga bebas karbon. Semakin besar kadar abu suatu bahan pangan, semakin tinggi pula mineral mine yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa kadar abu kelima varietas jagung yang dianalisis memiliki kisaran 0.23 0.23-0.60% bb dengan kandungan abu tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Jaya (0.60% bb) dan kandungan kadar abu abu terendah dimiliki tepung jagung varietas Bisi 16 (0.23% bb).

0.70 0.60

0.58 0.45 0.39 0.23

0.60

Kadar abu (% bb)

0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Bisi 16

NT 10

Nusantara 1 Varietas jagung

Prima

Jaya

Gambar 6 Kadar abu tepung jagung varietas hibrida.

55

Kadar abu kelima tepung jagung ini sesuai dengan syarat mutu tepung jagung yang dimuat dalam SNI 01-3727 (1995), yaitu maksimal 1.5% bb. Jika kadar abu di atas 1.5% bb dikhawatirkan telah terjadi kontaminasi logam selama proses penepungan dilakukan dan jika kadar abu kurang dari 1.5% menunjukkan kandungan mineral yang cukup rendah dalam tepung jagung yang dihasilkan. Kandungan abu yang berbeda-beda tiap varietas yang diamati diduga karena perbedaan kandungan mineral dalam tepung jagung. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh penambahan pupuk dan kondisi tanah tumbuh (Wargiono 1979). Mineral yang terdapat dalam jagung umumnya adalah kalsium, fosfor, potasium, magnesium, dan besi (Inglett 1970).

3) Kadar Protein Kadar protein yang terlihat pada Gambar 7 merupakan kadar protein kasar yang dikandung tepung jagung yang dianalisis dengan metode kjeldahl. Kadar protein kelima tepung jagung berkisar antara 5.46-8.05% bb menunjukkan bahwa kelima tepung jagung tersebut memiliki kadar protein yang cukup tinggi. Menurut Johnson (1991), bagian lembaga biji jagung selain mengandung lemak yang tinggi (33.2%) juga mengandung protein hingga 18.4%. Artinya, proses penepungan jagung telah menurunkan kadar protein jagung kering panen. Hal ini disebabkan karena pada proses penepungan, terdapat tahapan pemisahan lembaga sehingga mempengaruhi jumlah kandungan protein tepung jagung yang dihasilkan. Kadar protein tertinggi tepung dimiliki oleh tepung jagung varietas Prima (8.05% bb) dan yang terendah dimiliki oleh varietas tepung jagung Bisi 16 (5.46% bb). Walaupun kadar protein kelima varietas tepung jagung ini tergolong tinggi, tetapi jagung tidak memiliki protein gluten yang merupakan protein utama pada terigu. Oleh karena itu, protein jagung tidak berkontribusi secara signifikan terhadap karakteristik yang dihasilkan pada produk mie jagung. Berbeda halnya pada mie terigu yang karakteristiknya sangat dipengaruhi oleh keberadaan protein gluten.

56

9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00

7.10 5.46

7.63

7.83

8.05

Kadar protein (% bb)

Bisi 16

Nusantara 1

Jaya

NT 10

Prima

Varietas jagung

Gambar 7 Kadar protein tepung jagung varietas hibrida.

Protein total endosperm dalam jagung 80-85% 80 85% terdiri dari zein dan glutelin (Johnson 1991). Sedangkan protein total dalam gandum 80-85% 80 adalah gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat membentuk massa yang elastis elastis dan kohesif bila ditambah air dan diuleni, sehingga membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, cukup elastis, dan mudah dicetak dalam bentuk untaian mie (Sunaryo 1985). Oleh karena itu, dalam pembuatan mie jagung dibutuhkan adanya matriks pati pregel pregelatinisasi atinisasi yang berfungsi sebagai bahan pengikat (Tam et al. 2004) dan dapat menggantikan fungsi protein gluten untuk menghasilkan mie yang mudah dicetak dan elastis (Rianto 2006).

4) Kadar Lemak Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet. Kadar lemak yang diperoleh tidak hanya lemak (true fat), tetapi juga lilin, fosfolipid, sterol, hormon, minyak atsiri, dan pigmen (Ketaren 1986). Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak kelima varietas tepung jagung tergolong rendah, yakni berkisar berkisa antara 0.53%-2.90% 2.90% bb yang digambarkan pada Gambar 8. Kadar lemak terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi16 (0.53% bb) dan kadar lemak tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Prima (2.90% bb).

57

2.90 3.00 2.60 2.18 1.52

Kadar lemak (% bb)

2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Bisi 16 NT 10 0.53

Nusantara 1 Varietas jagung

Jaya

Prima

Gambar 8 Kadar lemak tepung jagung varietas hibrida.

Kandungan lemak yang rendah pada tepung jagung disebabkan adanya proses pemisahan lembaga pada saat jagung diproses menjadi tepung. Lembaga merupakan biji jagung yang kaya akan lemak, sehingga apabila lembaga tidak dipisahkan akan menyebabkan tepung jagung menjadi tengik selama penyimpanan. Kandungan lemak pada jagung paling tinggi adalah pada bagian lembaga yaitu 34.5%, sedangkan pada endosperma hanya 0.8% (Inglett 1970). Kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu mengganggu proses gelatinisasi pati, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Akibatnya diperlukan energi yang lebih besar untuk melepaskan amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi. Selain itu pada proses gelatinisasi lemak akan diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekitar granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula pati. Hal ini menyebabkan ebabkan kelekatan atau kekentalan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula pati (Collinson 1968). Dalam kaitannya dengan produk mie yang dihasilkan, kadar lemak yang tinggi diduga akan mengganggu proses gelatinisasi saat adonan

58

tepung dikukus. Jika pengikatan air oleh granula pati terhambat, dapat mengakibatkan gelatinisasi yang diharapkan tidak tercapai dan tidak merata. Hal ini dapat menyebabkan tekstur mie yang dihasilkan menjadi mudah patah dan kasar karena tidak terbentuk matriks pati yang sempurna saat gelatinisasi.

5) Kadar Karbohidrat Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi, seperti pati, pektin, selulosa, dan dan lignin (Winarno 2008). Pada umumnya karbohidrat dikelompokkan di menjadi monosakarida,

oligosakarida, dan polisakarida. Kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode perhitungan by difference. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa kisaran kadar dar karbohidrat kelima varietas tepung jagung adalah 80.98-84.25% 80.98 84.25% bb Tepung jagung yang memiliki kadar karbohidrat tertinggi adalah tepung jagung varietas Bisi 16 (84.25% bb) dan yang terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Jaya (80.98% bb). Kandungan gan karbohidrat tepung jagung ini tergolong tinggi. Oleh karena itu besar potensinya untuk dijadikan salah satu pangan yang berkontribusi sebagai sumber energi melalui pemanfaatannya dalam bentuk mie jagung. Gambar 9 menunjukkan perbandingan kadar karbohidrat rat tiap tepung jagung varietas hibrida.
Kadar karbohidrat (% bb)
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 80.98 82.02 83.22 84.11 84.25

Jaya

Nusantara 1

Prima

NT10

Bisi 16

Varietas jagung

Gambar 9 Kadar karbohidrat tepung jagung varietas hibrida.

59

6) Kadar Pati, Amilosa, dan Amilopektin a) Kadar Pati Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai cadangan energi dan secara luas tersebar di berbagai macam tanaman. Menurut Belitz (1999), biji biji-bijian bijian mengandung polisakarida selain pati seperti hemiselulosa, pentosan, selulosa, -glukan, glukan, dan glu glukofruktan. Pati beserta komponennya, yaitu amilosa dan amilopektin merupakan bagian dari karbohidrat. Pati tergolong karbohidrat polisakarida yang tersusun lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Kadar pati dari kelima varietas tepung jagung yang dianalisis menghasilkan nilai yang berbeda-beda berbeda dengan kisaran 75.57-81.10% 75.57 bb yang terlihat erlihat pada Gambar 10. Kadar pati tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Prima (81.10% (8 bb) ) dan yang paling rendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi 16 (75.57% bb). bb Seluruh varietas tepung jagung hibrida yang dianalisis memiliki kadar pati jagung sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam SII (Standar Industri Indonesia), yaitu minimal 75%.
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 75.57 76.28 76.39 76.84 81.10

Kadar pati (% bb)

Bisi 16

Nusantara 1

NT 10

Jaya

Prima

Varietas jagung

Gambar 10 Kadar pati tepung jagung varietas hibrida.

Perbedaan kadar pati tiap varietas ini akan mempengaruhi karakteristik mie yang dibuat melalui proses ekstrusi. Pengaruh ini terutama disebabkan oleh rasio amilosa dan amilopektin. Selain itu,

60

pati juga akan mempengaruhi proses pembuatan mie jagung, terutama teruta pada proses pengukusan. Selama proses pengukusan pati tepung jagung akan mengalami gelatinisasi yang mengakibatkan

pengembangan granula pati sehingga adonan mie menjadi mudah dicetak menjadi untaian mie dalam ekstruder. Pati yang tergelatinisasi ini akan n berperan sebagai matriks pengikat pada produk mie yang dihasilkan menggantikan keberadaan protein gluten seperti yang terdapat pada mie terigu.

b) Kadar Amilosa Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara, seperti lipid dan protein (Greenwood 1976, 197 diacu dalam Pomeranz 1976). Amilosa merupakan polimer linear dari -D D glukosa yang dihubungkan dengan ikatan -(14)-D-glukosa glukosa (Hoseney 1988). Kandungan amilosa kelima varietas jagung hibrida yang dianalisis dianalis berada pada kisaran 21.53-29.80% 29.80% bb (Gambar 11). Kadar amilosa tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi 16 (29.80%) dan yang terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Prima (21.53%). Kandungan amilosa seluruh tepung jagung yang dianalisis berada di bawah kisaran amilosa yang diungkapkan oleh Bellizt dan Grosch (1999) yaitu sebesar 28% kecuali tepung jagung Bisi 16. Perbedaan jumlah amilosa ini dapat disebabkan oleh perbedaan varietas jagung, jagung faktor genetik dan tingkat usia tanaman (Hoseney 1998).
Kadar amilosa (% bb)
30.00 21.53 20.00 10.00 0.00 Prima Jaya Nusantara 1 Varietas jagung NT 10 Bisi 16 22.31 23.94 24.16 29.80

Gambar 11 Kadar amilosa tepung jagung varietas hibrida. 61

Kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mie non terigu karena memiliki daya ikat yang lebih kuat (Kim et al. 1996). Tam et al. (2004) menyatakan bahwa produk dengan amilosa yang tinggi (40%-60.8%) (40% 60.8%) dan amilosa yang rendah (0.2%-3.8%) (0.2% 3.8%) akan menghasilkan produk ekstrusi yang keras dan menghasilkan mie yang kurang baik. Menurut Guo et al. (2003) pada umumnya mie di Asia dibuat dari tepung tepung dengan kandungan amilosa 1-29%, 1 29%, namun kandungan amilosa optimum yang memberikan kualitas mie terbaik adalah 21-24%. 21 24%. Berdasarkan hal tersebut kelima tepung jagung yang dianalisis memiliki kisaran kandungan amilosa yang dapat menghasilkan mie berkualita berkualitas baik, kecuali tepung jagung Bisi 16 yang sebesar 29.80%. memiliki kandungan amilosa

c) Kadar Amilopektin Kandungan amilopektin yang terkandung dalam tepung jagung kelima varietas diperoleh dengan cara menghitung selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa. Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh kadar amilopektin tepung jagung berkisar antara 45.77 45.7759.97% bb dengan kadar amilopektin tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Prima (59.57% bb) dan yang terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas va Bisi 16 (45.77% bb). Kadar adar amilopektin ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Kadar amilopektin (% bb)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Bisi 16 NT10 Nusantara 1 Varietas jagung Jaya Prima 52.23 45.77 52.34 54.53 59.57

Gambar 12 Kadar amilopektin tepung jagung varietas hibrida. 62

Sama halnya dengan kadar amilosa, kadar amilopektin juga akan mempengaruhi tekstur mie yang dihasilkan. Kadar amilopektin yang terlalu tinggi akan menyebabkan adonan mie yang dibuat bersifat lengket pada mesin ekstrusi pencetak mie, sehingga alat sulit dibersihkan. Selain itu, juga akan dihasilkan untaian mie yang terlalu lengket karena amilopektin sulit mengalami retrogradasi untuk mempertahankan struktur mie (Tam et al. 2004). Amilopektin yang tinggi membutuhkan waktu yang lama untuk beretrogradasi

dibandingkan dengan amilosa dan kristal amilopektin kurang stabil dibandingkan dengan kristal amilosa (Eerligen and Delcour 1995, di acu dalam Tam et al. 2004).

c. Sifat Fungsional Tepung Jagung 1) Sifat Amilografi Uji amilografi dilakukan untuk mengukur tingkat gelatinisasi. Pada uji ini, terdapat beberapa parameter yang diamati yaitu suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, viskositas maksimum, viskositas pada suhu 95oC setelah holding (holding paste viscosity), breakdown viscosity, dan setback viscosity. Uji amilograf dilakukan terhadap kelima varietas tepung jagung dengan ukuran ayakan 100 mesh. Sebanyak 45 g tepung dilarutkan ke dalam 450 ml air akuades. Suhu awal diatur 30oC dan suhu akhir 95oC dengan waktu holding 10 menit. Data hasil pengukuran sifat amilografi dapat dilihat pada Tabel 13 dan salah satu profil gelatinisasi pati jagung, yaitu varietas Nusantara 1 dapat dilihat pada Gambar 13.

63

Tabel 13 Sifat amilografi tepung jagung hibrida Parameter yang diamati


Suhu awal gelatinisasi (oC) Waktu awal gelatinisasi (menit) Viskositas maksimum (BU) Suhu puncak gelatinisasi(oC) Viskositas saat 95 oC (BU) Viskositas setelah holding 95oC (BU) Viskositas saat 50 oC (BU) Viskositas setelah holding 50oC (BU) Breakdown viscosity BU) Stabilitas panas (BU) Setback viscosity (BU) Stabilitas setelah pendinginan (BU) NT10 70.50 27.00 510.00 84.38 347.50 270.00 477.50 560.00 240.00 77.50 212.50 80.00 Varietas tepung jagung BISI 16 Nusantara I Jaya 72.00 72.00 72.75 28.00 28.50 28.50 410.00 357.50 475.00 90.50 83.25 81.00 357.50 345.00 430.00 305.00 325.00 370.00 540.00 480.00 550.00 650.00 550.00 610.00 105.00 32.50 105.00 52.50 20.00 60.00 292.50 205.00 180.00 70.00 70.00 650.00 Prima 73.50 29.00 462.50 83.25 432.50 370.00 510.00 580.00 92.50 62.50 147.50 60.00

Viskositas maksimum

Viskositas saat suhu 95oC

Viskositas setelah holding 95oC Viskositas saat suhu 50oC

Viskositas setelah holding 50oC

Waktu awal gelatinisasi

Gambar 13 Profil gelatinisasi tepung jagung Nusantara 1.

a) Suhu awal gelatinisasi Suhu awal gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kurva mulai menaik dikalikan dengan kecepatan kenaikan suhu (1.5oC/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Menurut Leach (1965) diacu dalam Goldsworth (1999), yang dimaksud dengan suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini disebabkan karena terjadinya penyerapan air dan pembengkakan granula pati yang

64

irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik pati di dalam granula pati. Suhu awal gelatinisasi merupakan suatu fenomena fisik pati yang kompleks, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran molekul amilosa dan amilopektin (Collinson 1968). Tabel 12. menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi kelima varietas jagung berada pada kisaran 70.5-73.5oC dengan suhu gelatinisasi tertinggi dimiliki oleh pati tepung jagung varietas Prima (73.5oC) dan suhu gelatinisasi terendah dimiliki oleh pati tepung jagung varietas NT 10 (70.5oC). Menurut Fennema (1996) suhu awal gelatinisasi pati jagung berkisar antara 60-72oC. Artinya, tepung jagung Prima memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dari kisaran tersebut, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memulai proses gelatinisasinya. Tingginya suhu awal gelatinisasi ini diakibatkan oleh kandungan protein dan lemak yang tinggi pada tepung jagung Prima. Tepung jagung prima memiliki kandungan protein tertinggi (8.05% bb) dan kandungan lemak tertinggi (2.90% bb) dibandingkan keempat jenis jagung lainnya. Menurut Quinn et al. (1980) diacu dalam Afdi (1989) selama pemanasan, protein akan terdenaturasi di sekitar suhu gelatinisasi. Dengan adanya protein, proses migrasi air ke dalam granula pati terhalang sehingga meningkatkan suhu gelatinisasi. Begitu pula halnya lemak. Kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi pati, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Akibatnya diperlukan energi yang lebih besar untuk melepaskan amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi. Suhu gelatinisasi yang rendah akan menguntungkan karena dapat menghemat energi pemasakan. Suhu awal gelatinisasi ini penting diketahui pada proses pembuatan mie untuk optimasi pada tahapan proses pengukusan sebelum adonan mie dicetak dalam ekstruder menjadi untaian mie dan

65

pengukusan setelah dihasilkannya untaian mie dari ekstruder. Suhu awal gelatinisasi mengandung arti bahwa tepung jagung akan mulai tergelatinisasi pada suhu tersebut sehingga terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak ketika keluar dari die ekstruder. Jika suhu yang digunakan di bawah suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan mie yang kurang elastis dan menghasilkan untaian mie yang permukaan teksturnya kasar, terlihat spot-spot putih atau kuning pada untaian mie, dan mudah patah ketika dicetak karena belum mengalami gelatinisasi. Sebaliknya, jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi maksimum dalam waktu di atas waktu tercapainya puncak gelatinisasi maka akan terjadi proses peleburan granula pati. Hal ini mengakibatkan tidak terbentuknya matriks yang seragam yang akan meningkatkan ikatan antar granula. Selain itu juga mengakibatkan adonan yang dihasilkan tidak elastis dan kohesif sehingga mie yang keluar dari die ekstruder memiliki penampakan tekstur yang kasar dan lengket sehingga tidak baik untuk dibuat mie.

b) Suhu puncak gelatinisasi Suhu puncak gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kenaikan kurva mencapai maksimum dikalikan dengan kecepatan kenaikan suhu (1.5oC/menit) kemudian ditambah dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran adalah 30oC. Suhu puncak gelatinisasi juga dikenal dengan suhu pada saat tercapainya viskositas maksimum yaitu suhu ketika granula pati mencapai pengembangan maksimum hingga selanjutnya pecah. Suhu puncak gelatinisasi kelima varietas tepung jagung berkisar antara 81.00-90.50oC, dengan suhu puncak gelatinisasi tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi 16 (90.50oC) dan yang terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Jaya (81.00oC). Pada suhu inilah akan tercapai viskositas maksimum dari suspensi pasta pati. Pada proses pembuatan mie, parameter ini dicapai pada

66

proses pengukusan. Pengukusan pertama dilakukan pada air mendidih (100oC) selama 15 menit. Pada tahap ini diharapkan akan terjadi proses gelatinisasi sebagian pada adonan tepung dan pada proses pengukusan kedua dilakukan juga pada air mendidih selama 15 menit untuk menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga dihasilkan mie dengan tekstur yang halus dan tidak mudah patah.

c) Viskositas maksimum Viskositas maksimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan (Glickman 1969). Pada titik ini granula pati yang mengembang mulai pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas. Viskositas maksimum dinyatakan dalam satuan Brabender Unit (BU). Tabel 12 memperlihatkan viskositas maksimum lima varietas tepung jagung yang berada pada kisaran 357.50-510.00 BU dengan viskositas maksimum tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas NT 10 (510.00 BU) dan viskositas maksimum terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Nusantara 1 (357.50 BU). Viskositas maksimum ini menggambarkan fragilitas dari granula pati yang mengembang, yaitu mulai saat pertama kali mengembang sampai granula tersebut pecah selama pengadukan yang terus-menerus secara mekanik oleh alat Brabender (Mazurs et al. 1957). Pada pembuatan mie jagung, tepung jagung yang digunakan dikehendaki memiliki viskositas maksimum yang tinggi untuk menghasilkan daya ikat yang baik pada mie. d) Viskositas setelah holding suhu 95oC (Holding paste viscosity) Setelah mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan dalam Brabender dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi, granula pati menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk polimer dan agregat serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Penurunan tersebut terjadi pada pemanasan suhu suspensi 95oC yang dipertahankan selama 10 menit. Tabel 12 menunjukkan

67

bahwa holding paste viscosity pada tepung jagung yang dianalisis berkisar antara 270.00-370.00 BU, holding paste viscosity tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Jaya dan Prima (370.00 BU) dan holding paste viscosity terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas NT 10 (270.00 BU) Menurut Jin et al. (1994) diacu dalam Beta and Corke (2001) holding paste viscosity yang tinggi secara umum menggambarkan cooking loss yang rendah yang baik pada mie. Hal ini disebabkan oleh tingginya viskositas berhubungan dengan tingginya ketahanan pasta terhadap gaya yang diberikan kepadanya (shear).

e) Breakdown viscosity Nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas

maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit disebut dengan breakdown viscosity. Dari hasil yang diperoleh, nilai breakdown viscosity lima varietas tepung jagung hibrida berkisar antara 32.50-240.00 BU, dengan nilai breakdown viscosity tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas NT 10 (32.50-240.00 BU) dan nilai breakdown viscosity terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Nusantara I (32.50 BU). Breakdown viscosity menggambarkan kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan (Panikulata 2008). Menurut Beta and Corke (2001) breakdown viscosity

berhubungan dengan kestabilan pati selama pemanasan. Semakin rendah breakdown viscosity, maka pati semakin stabil pada kondisi panas. Breakdown viscosity merupakan ukuran kemudahan pati yang dimasak untuk mengalami disintegrasi. Besarnya viskositas breakdown menunjukkan bahwa granula-granula tepung yang telah membengkak secara keseluruhan bersifat rapuh dan tidak tahan terhadap proses pemanasan (Panikulata 2008). Pada produk mie, diperkirakan bahwa pada proses pemasakan mie yang terlalu lama dapat mengakibatkan rusaknya tekstur mie dan mie yang patah-patah akibat pemanasan.

68

f) Setback viscosity Pasta pati yang dihasilkan pada pemanasan suspensi hingga suhu 95 C akan mengalami kenaikan viskositas jika didinginkan. Dalam hal ini, pasta mengalami pendinginan dari suhu 95oC hingga suhu 50oC dengan kecepatan pengadukan konstan yaitu 1.5oC/menit dan suhu dipertahankan tetap 50oC selama 10 menit. Kenaikan viskositas yang terjadi disebabkan oleh retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen
o

intermolukuler (Swinkels 1985, diacu dalam Roels dan Beynum 1985). Nilai kenaikan viskositas ketika pasta pati didinginkan disebut setback viscosity. Nilai setback viscosity diperoleh dengan menghitung selisih antara viskositas pasta pati pada suhu 50oC dengan viskositas maksimum yag telah dicapai pada saat pemanasan. Nilai setback viscosity pati lima varietas tepung jagung berkisar antara 180.00292.50 BU. Dengan setback viscosity tertinggi dimiliki oleh varietas tepung jagung Bisi 16 (292.50 BU) dan yang terendah dimiliki oleh varietas tepung jagung Jaya (180.00 BU). Beta and Corke (2001) mengatakan bahwa setback viscosity merupakan ukuran dari rekristalisasi pati tergelatinisasi selama pendinginan. Setback viscosity adalah parameter yang dipakai untuk melihat kecenderungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi, sedangkan sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati (Winarno 2008). Pada produk mie, tidak dikehendaki terjadinya sineresis dan menghendaki adanya retrogradasi untuk mempertahankan bentuk mie. Semakin positif nilai setback viscosity, proses retrogradasi semakin kuat dan bila nilainya semakin negatif, yang terjadi adalah proses sineresis (Munarso 1996). Hasil analisis menunjukkan bahwa kelima tepung jagung memiliki nilai set back viscosity yang bernilai positif, artinya mie yang dihasilkan cenderung akan mengalami retrogradasi ketika didinginkan. Hal ini lah yang dikehendaki ada pada produk mie.

69

2) Water Absorption Capacity (Daya absorbsi air). Absorbsi air digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan tepung untuk menyerap air. Daya absorbsi air ini ditentukan dengan cara sentrifugasi. Daya absorbsi air berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air. Granula dapat menyerap air dan membengkak (Fennema 1976) dan menurut Elliason (1981), granula pati dapat basah dan secara spontan terdispersi dalam air. Pada Tabel 14 dapat dilihat nilai daya absorbsi lima varietas tepung jagung yang relatif sama, yaitu berkisar antara 1.44-1.63 (g/g). Daya absorbsi air terbesar dimiliki oleh tepung jagung varietas NT 10 (1.63 g/g) dan yang paling rendah adalah tepung jagung varietas Jaya (1.44 g/g). Tabel 14 Daya absorbsi air tepung jagung hibrida No 1 2 3 4 5 Varietas jagung Jaya Prima Nusantara 1 Bisi 16 NT 10 Daya absorbsi air (g/g) 1.44 1.51 1.56 1.59 1.63

Daya absorbsi dari tepung perlu diketahui karena banyaknya air yang ditambahkan pada tepung akan mempengaruhi sifat-sifat fisik dari tepung. Air yang terserap dalam molekul disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang terikat secara fisik maupun terikat secara intramolekular (Kulp 1975). Daya absorbsi air ini dipengaruhi oleh kadar amilosa. Amilosa yang tinggi dapat membantu penyerapan air yang lebih banyak. Kandungan amilosa tertinggi terdapat pada tepung jagung Bisi 16 yaitu sebesar 29.80% bb, namun daya absorbsi airnya bukan yang paling rendah. Hal ini diduga akibat adanya perbedaan ukuran granula dan daerah amorphous pada tepung jagung tersebut. Keberadaan protein dan lemak juga mempengaruhi daya absorbsi air. Kadar protein dan lemak yang tinggi dapat menurunkan daya absorbsi air karena protein dan lemak dapat menutupi partikel pati sehingga penyerapan air menjadi terhambat (Fennema 1996). Berdasarkan kandungan protein dan lemak yang dimiliki oleh kelima varietas tepung

70

jagung yang dianalisis, seharusnya tepung jagung varietas Prima memiliki daya absorbsi air yang terendah akibat tingginya kadar protein dan lemak yang dimilikinya. Menurut Afdi (1989) kadar protein dan lemak yang tinggi dapat menurunkan daya absorbsi air. Namun berdasarkan data yang diperoleh, tepung jagung Jaya justru memiliki daya serap air yang terendah. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh perbedaan ukuran granula pada masing-masing varietas. Selain itu dapat pula disebabkan oleh perbedaan daerah amorphous yang dimiliki tiap tepung. Dalam keadaan padat, semua polisakarida mempunyai daerah amorphous, dimana molekulnya tersusun secara tidak beraturan. Bagian ini banyak mempunyai ikatan hidrogen yang tidak kuat, sehingga mudah dimasuki air. Kainuma and French (1980) diacu dalam Afdi (1989) menyatakan bahwa dalam keadaan biasa, air yang terabsorbsi oleh pati hanya terikat pada bagian amorphous ini. Dalam kaitannya dengan produk mie, daya serap air mempengaruhi kemudahan penghomogenan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tepung yang memiliki daya serap air yang tinggi cenderung lebih cepat dihomogenkan. Adonan yang homogen ini akan berpengaruh pada kualitas hasil pengukusan. Tepung yang homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang ditandai tidak terdapatnya spotspot putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang telah dikukus.

3) Kelarutan dan Swelling volume Kelarutan merupakan berat tepung terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah supernatan. Swelling volume merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air (Balagopalan et al. 1988). Kedua parameter ini merupakan petunjuk besarnya interaksi antara rantai pati dalam bidang amorphous dan bidang kristalin (Ahmad 2009). Nilai kelarutan lima tepung jagung varietas hibrida berkisar antara 6.7610.26% seperti yang dapat dilihat pada Tabel 15. Nilai kelarutan tertinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisi 16 (10.26%) dan yang

71

terendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Nusantara 1 (6.76%). Semakin tinggi nilai kelarutan bahan, menunjukkan bahwa bahan semakin mudah larut dalam air. Dalam kaitannya dengan produk mie, nilai kelarutan diperkirakan berpengaruh pada mudahnya amilosa terlepas dari untaian mie apabila mie disajikan dalam makanan yang berkuah. Tingginya nilai kelarutan menyebabkan amilosa mudah terlepas dari untaian mie. Winarno (2008) mengatakan bahwa beberapa molekul pati, khususnya amilosa dapat terdispersi ke dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada disekitarnya. Oleh karena itu untuk produk mie dikehendaki tingkat kelarutan yang rendah. Tabel 15 Kelarutan dan swelling volume tepung jagung hibrida No 1 2 3 4 5 Varietas jagung Nusantara 1 Jaya Prima NT 10 Bisi 16 volume Kelarutan (%) 6.76 7.46 9.44 10.09 10.26 Swelling volume (ml/g) bk 10.48 9.47 9.18 10.73 9.05 volume pati yang

Swelling

menunjukkan

besarnya

mengembang dalam air. Swelling volume yang tinggi menandakan pati yang mudah mengembang dalam air. Berdasarkan Tabel 14, diketahui bahwa swelling volume lima varietas tepung jagung yang diujikan berkisar antara 9.05-10.73 ml/gr. Kelima varietas tepung jagung yang dianalisis memiliki sifat swelling volume yang tidak jauh berbeda. Tingkat swelling dipengaruhi oleh kandungan amilosa dalam pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, semakin rendah tingkat swelling. Hal ini disebabkan oleh molekul-molekul amilosa yang linier sehingga memperkuat jaringan internalnya (Leach 1965, diacu dalam Goldworth 1999). Tingkat swelling yang terendah terdapat pada tepung jagung Bisi 16. Tepung jagung Bisi 16 memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan keempat tepung jagung lainnya, yaitu sebesar 29.80%.

72

Sifat swelling pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati serta sifat alami dan kekuatan daya ikat dalam granula. Menurut Leach (1965) diacu dalam Goldworth (1999), daya ikat tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (1) perbandingan amilosa dan amilopektin, (2) bobot molekul amilosa dan amilopektin, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat percabangan, dan (5) panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang dapat berperan dalam kumpulan ikatan. Selain itu sifat swelling juga dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam pati. Menurut Permatasari (2006), ketika kandungan lemak dalam pati dikurangi, maka terjadinya swelling akan semakin cepat. Inglett (1970) juga mengatakan bahwa keberadaan lemak mampu mencegah terjadinya swelling berlebihan. Oleh karena itu pada tepung jagung Prima yang memiliki kadar lemak tertinggi memiliki tingkat swelling yang cukup rendah. Menurut Moorthy (1985) diacu dalam Balagopalan et al. (1988), swelling volume dan kelarutan juga tergantung oleh perbedaan varietas, faktor lingkungan, dan usia tanaman itu sendiri. Dalam kaitannya dengan produk mie, swelling volume

mempengaruhi penampakan mie setelah direbus. Mie dengan tingkat swelling yang tinggi akan memiliki penampakan mie yang mengembang cukup tinggi setelah direbus atau memiliki diameter mie yang cukup besar. Kelarutan dan swelling volume merupakan dua hal yang berkaitan dan terjadi pada saat gelatinisasi. Saat gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati akan masuk ke daerah amorphous yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses masuknya air dalam granula pati menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga diameter granula pati bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan (Ahmad 2009). Pada produk mie, diharapkan memiliki kelarutan dan swelling volume yang rendah.

73

C. PEMBUATAN MIE BASAH JAGUNG 1. Penelitian Pendahuluan Pembuatan Mie Basah Jagung Mie basah berbahan baku tepung jagung merupakan produk baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Produk ini sekarang perlahan sudah mulai dikenal masyarakat. Pembuatan mie jagung memiliki dua metode pembuatan, yaitu metode calendering dan metode ekstrusi. Pada metode calendering tahapan proses pembuatan mie lebih lama dibandingkan dengan dengan metode ekstrusi. Tahapan-tahapan pembuatan mie dengan metode calendering terdiri dari pencampuran bahan, pengukusan, pengulian, pembentukan lembaran, pemotongan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie dengan minyak. Mie yang berbahan baku non terigu lebih sesuai diolah dengan menggunakan metode ekstrusi. Hal ini disebabkan mie tepung non terigu tidak memiliki gluten yang apabila dicampur dengan air dingin dan diaduk dengan tekanan akan membentuk adonan yang kohesif, elastis dan ekstensibel sehingga mudah dibentuk menjadi lembaran pada metode calendering. Pembuatan mie basah jagung lebih memanfaatkan adanya pati tergelatinisasi untuk membentuk tekstur mie yang baik. Pati yang tergelatinisasi akan bertindak sebagai matriks pengikat sebelum adonan dapat diadon dan diekstrusi menjadi untaian mie (Tam et al. 2004). Oleh karena itu pembuatan mie basah jagung dengan metode ekstrusi lebih disarankan, baik dengan proses gelatinisasi di dalam ataupun di luar ekstruder. Selain itu, pembuatan mie basah jagung dengan menggunakan metode ekstrusi juga memiliki efisiensi waktu yang lebih baik dibandingkan dengan metode calendering karena tidak membutuhkan tahapan pembentukan lembaran (sheeting) dan pembentukan lembaran menjadi untaian mie (slitting). Penelitian ini menggunakan ekstruder pencetak mie baru model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China (Gambar 14). Alat ini berbeda dengan ekstruder yang digunakan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hatorangan (2007) dan Etikawati (2007) yaitu ekstruder type model Scientific Laboratory Single Screw Extruder Type LE25-30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd.,

74

Thailand. Ekstruder pasta yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki pengatur suhu, waktu, dan kecepatan ulir. Namun memiliki kelebihan dari segi ukuran die yang sesuai dengan produk mie pada umumnya. Pembuatan mie jagung menggunakan alat ini membutuhkan proses gelatinisasi adonan tepung jagung yang dilakukan di luar ekstruder karena ekstruder tidak memiliki pemanas internal.

Gambar 14 Ekstruder pencetak mie.

Ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China ini memiliki spesifikasi sebagai berikut (Tabel 16).

Tabel 16 Spesifikasi ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China Model MS 9 Production capacity 9 kg/h Rating Input Power 1.5 Kw Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net weight 60 kg Voltage 220 V Frekuency 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005

75

a. Pembuatan Mie Basah Jagung Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mie jagung pada penelitian ini adalah tepung jagung, garam (NaCl), dan air. Garam digunakan sebagai komponen pemberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Budiyah 2005). Garam juga mampu menghambat aktifitas enzim protease dan amilase sehingga adonan tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan 2002). Penambahan air akan menyebabkan pada saat proses gelatinisasi granula pati akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Pati yang tergelatinisasi inilah yang akan menjadi zat pengikat sehingga tepung jagung dapat dicetak menjadi untaian mie. Selain itu, air juga berfungsi untuk melarutkan garam sebelum dicampurkan ke dalam tepung. Proses pembuatan mie menggunakan ekstruder pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan: penimbangan bahan, pencampuran, pengadonan, pembentukan lembaran secara manual, pengukusan I, pencentakan mie dengan ekstruder, dan pengukusan II. Penimbangan bahan-bahan pembuatan mie basah jagung meliputi basis tepung jagung 100 g, NaCl 2% (2 g), dan penambahan air hingga mencapai kadar air adonan 70% bk. Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan secara manual yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak membentuk gumpalan. Jika pada tahapan ini tidak dicapai pencampuran yang homogen dapat mengakibatkan gelatinisasi yang tidak merata pada proses pengukusan I, yang ditandai dengan adanya spot-spot berwarna putih atau kuning pucat pada lembaran adonan. Pencampuran air dan garam ke dalam tepung jagung dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara melarutkan garam terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Kemudian adonan dibentuk lembaran menggunakan pengepres kayu sampai ketebalan 0.5 cm dan dipotong berbentuk kotak dengan ukuran

76

3x3 cm2 (Gambar 15). Hal ini bertujuan untuk meratakan distribusi panas yang diterima adonan saat proses pengukusan pertama. Pengukusan ini berlangsung selama 15 menit. Selama pengukusan, adonan akan mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga tekstur adonan akan menjadi lebih lunak, kenyal, dan elastis sehingga adonan mudah dicetak menjadi untaian mie. Pati yang tergelatinasi pada proses ini akan berperan membentuk matriks pengikat sehingga adonan dapat dicetak menjadi mie. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan yang terbentuk tidak dapat dicetak menjadi mie. Hal ini dikarenakan jagung tidak memiliki protein gluten seperti pada tepung terigu yang mempunyai sifat membentuk masa yang elastis dan kohesif bila ditambah air dan diuleni. Pengukusan akan membuat adonan tepung jagung dapat dibentuk menjadi masa adonan yang lunak, kohesif, cukup elastis, dan mudah dicetak dalam bentuk untaian mie. Protein yang terkandung dalam endosperma jagung sebagian besar terdiri dari zein dan glutelin, sedangkan protein dalam endosperma gandum sebagian besar terdiri atas glutenin dan gliadin yang merupakan penyusun protein gluten yang mempunyai sifat mampu membentuk masa yang elastis dengan penambahan air dingin.

Pregelatinisasi ini hanya bertujuan agar tepung tergelatinisasi sebagian, karena apabila mengalami gelatinisasi sempurna adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket. Lembaran adonan setelah proses pengukusan pertama memiliki tekstur yang agak lengket dan kenyal serta penampakan yang semi transparan.

Gambar 15 Adonan tepung jagung setelah pengepresan dan pemotongan menjadi kotak-kotak.

77

Selanjutnya, adonan yang telah dikukus langsung dimasukan ke dalam ekstruder tipe MS9 Multifunctional noodle modality machine. Adonan yang telah mengalami pencampuran di dalam ekstruder, kemudian akan keluar melalui lubang/die ekstruder khusus untuk mie dengan ukuran diameter die 1.5 mm (Gambar 16). Selanjutnya mie yang dihasilkan kembali dikukus selama 15 menit untuk menyempurnakan proses gelatinisasi sehingga diperoleh tekstur mie yang lebih baik. Secara

subjektif mie dikatakan bertekstur baik dan matang setelah pengukusan kedua ini apabila pada untaian mie tidak ditemukan partikel-partikel tepung berwarna putih atau kuning pucat.

Gambar 16 Proses pencetakan untaian mie dalam ekstruder.

b. Hasil Analisis KPAP dan Elongasi Mie Basah Jagung pada Penelitian Pendahuluan Terdapat dua parameter utama yang digunakan dalam penelitian ini dan menjadi penentu mutu mie jagung yang dihasilkan, yaitu KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) dan persen elongasi. Hal ini didukung oleh Hou dan Krouk (1998) yang menyatakan bahwa karaketristik fisik mie yang terpenting adalah KPAP dan elongasi. Mie basah jagung dinyatakan bermutu baik apabila memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Penelitian pendahuluan ini mengukur KPAP menggunakan metode Oh et al. (1985) dan pengukuran elongasi dilakukan dengan menggunakan

78

alat Texture Analyzer. Berdasarkan analisis kedua parameter tersebut, diperoleh hasil seperti yang terlihat pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil pengukuran KPAP dan elongasi mie basah jagung No 1 2 3 4 5 Varietas jagung Nusantara 1 Jaya Prima Bisi 16 NT 10 Rata-rata KPAP SD (%) 3.99 0.65 4.67 2.15 5.24 0.62 6.00 1.50 8.53 1.46 Rata-rata % Elongasi SD 120.45 10.97 103.33 10.47 69.15 6.36 83.34 3.03 153.09 14.62

Berdasarkan kedua data tersebut terlihat bahwa untuk data KPAP diperoleh hasil yang sangat bervariasi dilihat dari nilai standar deviasinya yang cukup tinggi. Variasi data ini diperkirakan akibat basis bahan baku yang digunakan terlalu sedikit dan adanya parameter proses yang tidak terkontrol. Jumlah 100 g tepung jagung diduga belum cukup untuk mendapatkan proses yang stabil (steady) jika menggunakan alat ekstruder tipe MS9 Multifunctional noodle modality machine. Selain itu, kelemahan ekstruder tipe MS9 ini adalah tidak adanya pengaturan waktu, suhu, dan tekanan juga menjadi salah satu penyebab nilai KPAP yang bervariasi. Pengaturan tekanan menjadi penting karena diasumsikan bahwa tekanan yang tinggi akan meningkatkan daya ikat pati tergelatinisasi terhadap pati yang tidak tergelatinisasi sehingga mampu menghasilkan mie dengan KPAP yang rendah dan elongasi yang tinggi yang menyebabkan mie tidak mudah putus.

c.

Perbaikan Proses Pembuatan Mie Basah Jagung Melihat hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan pembuatan mie jagung, timbullah hipotesis awal yaitu variasi perbedaan mutu mie basah yang dihasilkan disebabkan oleh bahan baku yang terlalu sedikit dan tidak adanya keseragaman tekanan yang diterima bahan selama bahan berada dalam ekstruder. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan proses dengan cara meningkatkan jumlah bahan baku dan mengontrol tekanan selama bahan berada dalam ekstruder.

79

Dalam penelitian selanjutnya dibuat mie basah jagung dengan basis bahan baku dua kali lipat lebih besar daripada yang dilakukan pada pembuatan mie pendahuluan, yaitu 200 g tepung jagung, 2% (4 g) garam dan air yang ditambahkan hingga kadar air adonan tepung mencapai 70% bk. Selain peningkatan jumlah bahan baku, juga dilakukan pemberian tekanan secara manual yang diterapkan pada satu jenis varietas tepung jagung yaitu tepung jagung varietas NT 10. Pemberian tekanan perlu dilakukan karena diperkirakan bahwa tekanan yang tidak sama diterima oleh tiap untaian mie, sehingga apabila tekanan yang diberikan rendah akan menghasilkan mie yang mudah patah, elongasi yang rendah dan KPAP yang tinggi. Pemberian tekanan secara manual terhadap adonan dilakukan menggunakan balok kayu yang berukuran 13x3x3 cm3. Selanjutnya dihitung waktu keluar pertama mie dari die, hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder yang disebut dengan waktu filling rate. Dengan perlakuan ini, diasumsikan bahwa jika waktu keluar mie hingga adonan habis di dalam ekstruder lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan, artinya adonan mendapatkan tekanan yang lebih besar dan akan dihasilkan mie yang memiliki elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Waktu filling rate mie yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 18 berikut.

Tabel 18 Waktu filling rate adonan mie dalam ekstruder Ulangan 1 2 3 Rata-Rata Dengan tekanan 2 menit 30 detik 2 menit 35 detik 2 menit 35 detik 2 menit 33 detik Tanpa tekanan 2 menit 50 detik 2 menit 53 detik 2 menit 52 detik 2 menit 51 detik

Berdasarkan Tabel 18 diketahui bahwa pemberian tekanan yang dilakukan mempersingkat waktu filling rate. Perlakuan tekanan

menghasilkan filling rate rata-rata 2 menit 33 detik, sedangkan perlakuan tanpa tekanan memberikan waktu filling rate yang lebih lama, yaitu 2 menit 51 detik. Fahmi (2007) menyatakan bahwa kualitas mie basah berbasis tepung jagung dengan teknologi ekstrusi paling baik adalah mie

80

yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm dibandingkan mie yang diproses dengan kecepatan ulir 110 dan 120 rpm. Dengan kecepatan ulir 130 rpm, dihasilkan produk mie basah jagung yang memiliki kekerasan tinggi, kelengketan rendah, persen elongasi yang tinggi, dan KPAP yang rendah. Kecepatan berbanding terbalik dengan waktu. Oleh karena itu, waktu filling rate yang singkat akan menghasilkan kualitas mie yang lebih baik. Waktu filling rate yang singkat memberikan tekanan yang lebih tinggi dibandingkan waktu filling rate yang lebih lama. Tekanan berpengaruh terhadap mutu mie basah jagung karena dengan tekanan yang tinggi, molekul-molekul pati jagung akan lebih rapat sehingga membentuk matriks pengikat yang lebih kuat. Hal ini mengakibatkan molekul pati akan sulit terlepas dari untaian mie yang dihasilkan, sehingga mampu meningkatkan persen elongasi dan menurunkan KPAP mie. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 19, terlihat perbedaan mutu mie basah jagung yang dibuat tanpa pemberian tekanan dan dengan pemberian tekanan. Mie basah jagung yang dihasilkan dengan pemberian tekanan memberikan nilai KPAP yang lebih rendah daripada mie yang dihasilkan tanpa pemberian tekanan. Hal ini disebabkan oleh pemberian tekanan meningkatkan kekompakan antar partikel dalam untaian mie yang dihasilkan.

Tabel 19 KPAP dan elongasi mie yang diberi perlakuan tekanan dalam ekstruder pada tepung jagung varietas NT 10 Rata-rata KPAP SD (%) Rata-rata % Elongasi SD Tanpa tekanan Dengan tekanan Tanpa tekanan Dengan tekanan 7.15 0.11 5.56 0.04 108.46 2.78 126.29 6.29 Selain itu diperoleh pula persen elongasi yang lebih tinggi pada mie basah jagung yang dihasilkan dengan pemberian tekanan dibandingkan mie basah jagung yang dihasilkan tanpa pemberian tekanan. Hal ini disebabkan tekanan yang lebih besar menyebabkan sifat kohesif pati tergelatinisasi terhadap partikel-partikel lain semakin meningkat.

81

Oleh karena perlakuan pemberian tekanan ini dapat memperbaiki mutu mie basah jagung yang dihasilkan, maka pada pembuatan mie basah jagung dari empat varietas lainnya dilakukan dengan metode yang sama.

2. Penelitian Utama Pembuatan Mie Basah Jagung Penelitian utama pembuatan mie basah jagung ini dilakukan dengan merujuk pada penelitian pendahuluan, yaitu membuat mie basah jagung dengan pemberian tekanan selama bahan berada di dalam ekstruder. Kemudian mie basah jagung yang dihasilkan diukur tingkat KPAP, elongasi, kekerasan dan warna yang selanjutnya dibandingkan dengan karakteristik mie basah terigu yang berada di pasaran pada umumnya. Pengukuran karakteristik mie basah belum memiliki standar yang digunakan secara universal (Kruger 1996). Menurut Hou dan Krouk (1998), karakteristik fisik mie yang terpenting adalah KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) dan persen elongasi. Oleh karena itu, mie basah terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan memiliki nilai elongasi yang tinggi dan KPAP/cooking loss yang rendah mendekati atau lebih baik dari mie basah terigu.

a.

KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) menunjukkan banyaknya padatan dalam mie basah yang keluar ke dalam air selama proses pemasakan. KPAP merupakan salah satu parameter mutu yang penting karena berkaitan dengan kualitas mie setelah dimasak. Selama pemasakan, padatan yang hilang disebabkan oleh terlepasnya amilosa pada untaian mie ke air perebus mie. Akibatnya air rebusan mie tampak keruh. Nilai KPAP dinyatakan sebagai perbandingan berat padatan yang terlepas per berat sampel dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Hou dan Kruk (1998) menyatakan KPAP merupakan parameter terpenting untuk produkproduk mie basah yang diperdagangkan dalam bentuk matang. Nilai KPAP yang diinginkan adalah yang relatif kecil. Nilai KPAP yang rendah menunjukkan bahwa mie memiliki kualitas yang baik.

82

Gambar 17 berikut memperlihatkan besarnya nilai nil i KPAP kelima mie basah jagung.
8.61d 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 6.70c 5.56b 4.67a 8.90d

Nilai KPAP (%)

Nusantara 1

NT 10

Bisi 16 Mie basah jagung

Jaya

Prima

Gambar 17 N Nilai KPAP mie basah jagung (superscript superscript berbeda menunjukkan sampel berbeda nyata pada taraf 0.05). Berdasarkan Gambar 17 diketahui bahwa KPAP mie basah jagung berkisar antara 4.67-8.90%. 4.67 8.90%. KPAP mie jagung tertinggi dimiliki oleh mie jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Prima (8.90%) dan yang terendah dimiliki oleh mie jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Nusantara 1. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ANOVA, diketahui bahwa nilai KPAP kelima mie basah jagung berbeda nyata pada taraf 0.05 (Lampiran 3a). Dari uji lanjutan Duncan (Lampiran 3b) diketahui bahwa KPAP mie basah jagung jagun Nusantara usantara 1 berbeda nyata dengan KPAP keempat mie basah jagung lainnya pada taraf 0.05. . Begitu pula halnya mie basah jagung NT 10 dan Bisi 16. Mie basah jagung Jaya dan Prima memiliki nilai KPAP yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 0.05. Pada penelitian penelitian ini diukur pula nilai KPAP mie basah terigu yang diambil dari Pasar Anyar Bogor dengan KPAP sebesar 5.59%. Penelitian terdahulu mengenai desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku tepung jagung oleh Rianto (2006) menggunakan standar mie ie basah terigu yang dibuat dengan formulasi 100% terigu, 30% air, garam 1% dan 0.3% baking powder menghasilkan mie terigu dengan nilai KPAP sebesar 10.84%. 10.84 Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan

83

standar mie basah terigu dengan kisaran nilai KPAP 5.59-10.84%. Berdasarkan hal tersebut, kelima mie basah jagung yang diamati memiliki nilai KPAP dalam kisaran standar (kecuali mie basah Bisi 16) sehingga dikatakan berpotensi untuk dibuat menjadi mie. Mie basah jagung Bisi 16 memiliki KPAP sebesar 4.56%, berada di bawah kisaran standar yang ada. Mie ini tetap dikategorikan mie yang berkualitas baik karena memiliki KPAP yang rendah. Dari kelima nilai KPAP mie yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kelima mie basah jagung memiliki nilai KPAP yang tergolong rendah dan masuk dalam kisaran KPAP mie basah terigu. Nilai KPAP dipengaruhi oleh banyaknya amilosa yang terdispersi dalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi dalam air, maka padatan yang terlarut ketika proses pemasakan akan semakin banyak pula. Mie jagung Nusantara 1 dan NT 10 memiliki nilai KPAP yang rendah menunjukkan jumlah amilosa yang dikeluarkan selama proses pemasakan mie sedikit. Selain itu, rendahnya KPAP juga dipengaruhi proses pembuatan mie. Pembuatan mie dengan tingkat gelatinisasi yang tinggi dan tekanan yang cukup dapat menghasilkan struktur mie yang kompak sehingga akan menurunkan KPAP mie. KPAP yang tinggi dapat disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati 2006) . Berdasarkan karakteristik tepung jagung, mie basah jagung Nusantara 1 memiliki nilai KPAP yang rendah di duga disebabkan oleh kandungan amilosa, breakdown viscosity, dan kelarutannya. Tepung jagung Nusantara 1 memiliki kandungan amilosa 23.94% bb. Menurut Guo et al. (2003) tepung terigu dengan kandungan amilosa 21-24% akan menghasilkan kualitas mie yan baik. Tepung jagung ini memiliki sifat amilografi dengan breakdown viscosity yang rendah (32.50 BU). Menurut Beta and Corke (2001), breakdown viscosity yang rendah menunjukkan bahwa pasta pati stabil terhadap pemasakan, oleh karena kestabilannya terhadap pemanasan, maka mie yang dihasilkan memiliki KPAP yang rendah. Selain itu, rendahnya KPAP pada mie jagung Nusantara 1 diperkirakan juga disebabkan oleh kelarutannya yang rendah (6.76%). Hal

84

ini menandakan bahwa selama pemasakan partikel amilosa yang lepas dari untaian mie cukup rendah. Menurut Winarno (2008), amilosa dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan disekitarnya. Mie basah jagung NT 10 juga menunjukkan nilai KPAP yang rendah. Hal diduga disebabkan oleh kandungan amilosa, viskositas maksimum, dan setback viscosity pada tepung jagungnya. Tepung jagung NT 10 memiliki kandungan amilosa sebesar 24.16% yang menurut Guo et al. (2003) kandungan amilosa ini masih termasuk dalam kisaran tepung yang dapat menghasilkan mie yang berkualitas baik. Tepung jagung NT 10 memiliki sifat amilografi, yaitu viskositas maksimum yang tinggi dan setback viscosity yang bernilai positif. Viskositas maksimum tepung jagung ini memiliki nilai yang terbesar dibandingkan tepung jagung lainnya, yaitu 510 BU. Menurut Narpinder (2002), viskositas yang tinggi memberikan KPAP yang rendah pada produk mie. Tepung jagung NT 10 memiliki setback viscosity yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan kecenderungan pasta mengalami retrogradasi (Munarso, 1996). Menurut Waniska et al. (1999), amilosa yang beretrogradasi akan menghasilkan mie dengan cooking loss yang rendah. Mie basah jagung Bisi 16 memiliki nilai KPAP yang juga cukup rendah dan berada dalam kisaran KPAP terigu diduga disebabkan oleh sifat fungsional patinya yaitu hot paste viscosity yang cukup tinggi (305.00 BU) dan set back viscosity yang bernilai positif dan cukup tinggi (292.50 BU). Menurut Jin et al. (1994) diacu dalam Beta and Corke (2001), hot paste viscosity yang tinggi menunjukkan cooking loss yang rendah dan eating quality yang baik pada mie karena viskositas yang tinggi berhubungan dengan ketahanan terhadap gaya yang diberikan (shear). Set back viscosity yang bernilai positif dan cukup tinggi menandakan sifat pati yang cenderung beretrogradasi. Hal ini dikehendaki pada produk mie. Mie basah jagung Prima dan Jaya memiliki niai KPAP yang tinggi dibandingkan ketiga mie basah jagung lainnya, tetapi masih berada dalam kisaran standar mie terigu. Mie basah jagung Jaya dan Prima memiliki

85

bahan baku tepung jagung dengan kandungan amilosa sebesar 21.53% bb dan 22.31% bb yang menurut Guo et al. (2003) kandungan amilosa ini masih termasuk dalam kisaran tepung yang dapat menghasilkan mie yang berkualitas baik. Tepung jagung Prima dan Jaya memiliki viskositas maksimum yang cukup tinggi (462.00 BU dan 475.00 BU) dan hot paste viscosity yang tinggi (370.00 BU). Menurut Narpinder (2002), viskositas yang tinggi memberikan KPAP yang rendah pada produk mie. Jin et al. (1994) diacu dalam Beta and Corke (2001) menyatakan bahwa hot paste viscosity yang tinggi menunjukkan cooking loss yang rendah dan eating quality yang baik pada mie karena viskositas yang tinggi berhubungan dengan ketahan terhadap gaya yang diberikan (shear).

b.

Persen Elongasi Elongasi menggambarkan kemampuan mie untuk meregang (memanjang) dari ukuran awal pada saat menerima tekanan dari luar. Pengukuran elongasi dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner. Elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Pada penelitian lanjutan ini persen elongasi diukur dengan dua metode perlakuan awal, yaitu untaian mie dicelup sebanyak 3 kali dalam air panas dan untaian mie direndam air panas selama 5 menit. Perlakuan celup diidentikan dengan penggunaan mie pada penyajian mie ayam, sedangkan metode rendam air panas diidentikan pada penggunaan mie pada penyajian mie bakso. Berdasarkan Gambar 18 diketahui bahwa persen elongasi celup mie basah jagung berkisar antara 98.78-116.23%. Persen elongasi tertinggi dimiliki oleh mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas NT 10 (116.23%) dan yang terendah dimiliki oleh mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Bisi 16 (98.78%). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ANOVA diketahui bahwa elongasi celup kelima mie basah jagung berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 4a). Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 4b) diketahui bahwa mie basah jagung NT 10 memiliki persen elongasi celup yang berbeda nyata dengan keempat mie basah jagung lainnya pada taraf signifikansi 0.05. Begitu

86

pula halnya mie basah jagung Bisi 16. Mie basah jagung Nusantara 1, Jaya, dan Prima memiliki persen elongasi celup yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05.
116.23c 103.80c 105.32b 98.78a 105.09b 104.25b 100.22b 95.72a 95.17a 94.64a

120.00 100.00

Elongasi (%)

80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 NT 10 Bisi 16 Nusantara 1 Mie basah jagung rendam air panas celup Jaya Prima

Gambar 18

Persen elongasi mie basah jagung (superscript (superscript berbeda menunjukkan sampel berbeda nyata pada taraf 0.05).

Gambar 18 juga memperlihatkan bahwa persen elongasi rendam air panas mie basah jagung berkisar antara 94.40 94.40-103.80% 103.80% dengan persen elongasi tertinggi dimiliki oleh mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas NT 10 (103.80%) dan yang terendah dimiliki oleh mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Bisi 16 (94.40%). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ANOVA diketahui bahwa elongasi rendam air panas kelima keli mie basah jagung berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5a). Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 5b) diketahui bahwa elongasi rendam air panas mie basah jagung NT 10 berbeda nyata dengan keempat mie basah jagung lainnya pada taraf signifikansi 0.05. Begitu pula halnya mie basah jagung Prima. Mie basah jagung Bisi 16, Nusantara 1, dan Jaya memiliki persen elongasi rendam air panas yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05. Berdasarkan dua perlakuan sebelum pengukuran elon elongasi ini, terlihat bahwa persen elongasi rendam air panas lebih rendah dibandingkan dengan persen elongasi celup. Hal ini disebabkan oleh panas

87

yang diterima oleh mie yang direndam air panas lebih besar dari pada mie yang dicelup, sehingga menurunkan daya ikat pati dan pada akhirnya menurunkan elongasi mie. Penelitian ini juga mengukur elongasi dari standar mie basah terigu yang diperoleh dari Pasar Anyar Bogor dan diperoleh bahwa mie basah terigu ini memiliki persen elongasi celup sebesar 118.47% dan persen elongasi rendam air panas sebesar 107.35%. Penelitian terdahulu mengenai desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku tepung jagung oleh Rianto (2006) menggunakan standar mie basah terigu yang dibuat dengan formulasi 100% terigu, 30% air, garam 1% dan 0.3% baking powder menghasilkan mie terigu denga nilai elongasi sebesar 98.4%. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan standar mie basah terigu dengan kisaran persen elongasi 98.4%-118.47%. Berdasarkan hal tersebut seluruh mie basah jagung yang dihasilkan memiliki persen elongasi yang berada dalam kisaran persen elongasi mie basah terigu untuk parameter elongasi celup. Hal ini menandakan bahwa mie basah jagung lebih baik diperlakukan dengan pencelupan dalam air panas sebanyak 3 kali dibandingkan dengan direndam air panas selama 5 menit. Perendaman air panas selama 5 menit mengakibatkan untaian mie terpapar panas lebih banyak sehingga cenderung merusak tekstur mie basah jagung. Oleh karena kelima mie basah jagung memiliki kisaran persen elongasi yang sesuai dengan standar mie terigu, kelima mie basah jagung ini layak dikatakan berpotensi diolah menjadi mie. Persen elongasi ini dipengaruhi oleh sifat amilografi (sifat gelatinisasi) dan tekanan yang diberikan. Persen elongasi yang tinggi dapat disebabkan oleh kuatnya ikatan pati akibat proses gelatinisasi yang diberikan karena banyaknya pati yang tergelatinisasi. Selain itu, tekanan yang diberikan menyebabkan sifat kohesif antar pati tergelatinisasi dengan partikel lainnya semakin meningkat sehingga meningkatkan persen elongasi. Berdasarkan karakteristik tepung jagung, mie basah jagung NT 10 memiliki persen elongasi yang tinggi di duga disebabkan oleh kandungan

88

amilosa dan profil amilografinya yaitu viskositas maksimum dan setback viscosity. Tepung jagung NT 10 memiliki kandungan amilosa optimum untuk menghasilkan mie yang baik. Selain itu tepung jagung NT 10 juga memiliki viskositas maksimum yang cukup tinggi (510 BU). Hal ini menunjukkan pati yang tergelatinisasi memiliki daya pengikat yan yang baik sehingga meningkatkan elongasi mie. Setback viscosity tepung jagung ini juga bernilai positif, artinya cenderung mengalami retrogradasi retrogradasi, sehingga lebih dapat mempertahankan bentuknya untuk tidak cepat patah/putus.

c. Kekerasan Kekerasan merupakan salah satu parameter yang mendukung mutu mie basah jagung. Kekerasan mie basah jagung diukur dengan alat Rheoner dan dinyatakan dalam satuan gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai peak tertinggi, yaitu gaya maksimal yang menggambarkan ambarkan gaya probe untuk menekan mie. Semakin tinggi puncak kurva (peak), nilai kekerasan mie basah jagung akan semakin tinggi pula. Seperti yang terlihat pada Gambar 19, mie basah jagung yang dianalisis memiliki nilai kekerasan yang berkisar antara 73.25 73.25-248.88 gf dengan nilai kekerasan tertinggi dimiliki oleh mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Bisi 16 (244.88 gf) dan nilai kekerasan terendah dimiliki oleh mie basah jagung jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Prima (73.25 (73.2 gf).
217.13c 250.00 185.00b 235.63cd 248.88d

kekerasan (gf)

200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 Prima NT 10 Nusantara 1 mie basah jagung Jaya Bisi 16 73.25a

Gambar 19

Nilai kekerasan mie basah jagung (superscript (superscript berbeda menunjukkan sampel berbeda nyata pada taraf 0.05). 89

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ANOVA (Lampiran 6a) diketahui bahwa nilai kekerasan kelima mie basah jagung berbeda nyata pada taraf 0.05. Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 6b) diketahui bahwa mie basah jagung NT 10 memiliki nilai kekerasan yang berbeda nyata dengan nilai kekerasan mie basah jagung lainnya pada taraf signifikansi 0.05. Kekerasan mie basah jagung Bisi 16 tidak berbeda nyata dengan kekerasan mie basah jagung Jaya. Kekerasan mie basah jagung Jaya juga tidak berbeda nyata dengan kekerasan mie basah jagung Nusantara 1. Kekerasan mie basah Prima berbeda nyata dengan kekerasan keempat mie basah jagung lainnya pada taraf signifikansi 0.05. Penelitian ini juga mengukur kekerasan dari standar mie basah terigu yang diperoleh dari Pasar Anyar Bogor dan diperoleh bahwa mie basah terigu ini memiliki kekerasan sebesar 120.00 gf. Penelitian terdahulu mengenai desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku tepung jagung oleh Rianto (2006) menggunakan standar mie basah terigu yang dibuat dengan formulasi 100% terigu, 30% air, garam 1% dan 0.3% baking powder menghasilkan mie terigu dengan nilai kekerasan sebesar 2388.70 gf. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan standar mie basah terigu dengan kisaran nilai kekerasan 120.002388.70 gf. Berdasarkan hal tersebut seluruh mie basah jagung yang dihasilkan memiliki nilai kekerasan yang berada dalam kisaran kekerasan mie basah terigu kecuali mie basah jagung Prima. Oleh karena mie basah jagung NT 10, Bisi 16, Nusantara1, dan Jaya memiliki kisaran nilai kekerasan yang sesuai dengan standar mie terigu yang digunakan, mie basah jagung ini layak dikatakan berpotensi diolah menjadi mie. Nilai kekerasan pada produk mie basah jagung ini dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin tepung jagung dan proses gelatinisasi. Mie basah jagung Bisi 16 memiliki kekerasan yang tinggi dperkirakan akibat kandungan amilosanya yang tinggi, yaitu mencapai 29.80% bb. Menurut Guo et al. (2003), mie yang terbuat dari tepung yang mengandung amilosa yang tinggi, akan menghasilkan mie dengan kekerasan, chewiness, dan gumminess yang tinggi. Selain itu, kekerasan yang tinggi pada mie jagung

90

Bisi 16, diperkirakan juga disebabkan oleh profil gelatinisasinya, yaitu cold paste viscosity (viskositas setelah holding 50oC 10 menit) yang tinggi yaitu 650 BU. Menurut Beta and Corke (2001), cold paste viscosity berkorelasi positif dengan kekerasan sehingga cold paste viscosity yang tinggi menunjukkan mie yang memiliki kekerasan yang tinggi.

d.

Warna Mie Basah Jagung Warna mie basah jagung diamati secara kuantitatif menggunakan Chromameter CR-200 dengan metode Hunter yang memberikan tiga nilai pengukuran L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur, maka nilai L akan mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel, nilai L akan mendekati 0. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Bila a bernilai positif, sampel cenderung berwarna merah. Sebaliknya, bila a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru. Bila b bernilai positif, sampel cenderung berwarna kuning dan bila b bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna biru (Hutching 1999). Hasil pengukuran warna pada mie basah jagung dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Warna lima mie basah jagung dan mie terigu No Varietas jagung L a b 1 NT 10 39.18 -0.18 136.03 2 Bisi 16 57.09 1.93 239.28 3 Nusantara 1 46.20 0.84 284.01 4 Jaya 45.85 0.85 341.23 5 Prima 46.29 -0.59 161.30 6 Mie terigu 66.00 -2.35 1109.06 Berdasarkan Tabel 20, diketahui bahwa tingkat kecerahan warna lima jenis mie basah jagung yang dihasilkan berkisar antara 39.18-57.09 yang diamati dari nilai L. Mie basah jagung yang memiliki kecerahan tertinggi adalah mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Bisi 16 dengan nilai L sebesar 57.09 dan mie basah jagung yang memiliki tingkat kecerahan terendah adalah mie basah jagung yang terbuat dari 91

tepung jagung varietas NT 10 dengan nilai L sebesar 39.18. Mie basah terigu memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan kelima warna mie jagung dengan nilai L sebesar 66.00. Hasil analisis sidik ragam ANOVA (Lampiran 7b) menunjukkan bahwa kecerahan warna kelima mie basah jagung dan mie basah terigu berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05. Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 7b) diketahui bahwa kecerahan warna mie basah jagung NT 10 dan Bisi 16 berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05. Sedangkan mie basah jagung Nusantara 1, Jaya, dan Prima memiliki tingkat kecerahan warna yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05. Besarnya nilai a pada mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas NT 10 dan Prima menunjukkan bahwa mie basah jagung cenderung berwarna hijau karena nilai a yang bernilai negatif, sedangkan mie basah jagung yang terbuat dari jagung varietas Bisi 16, Nusantara 1, dan Jaya cenderung berwarna merah ditunjukan dengan nilai a yang bernilai positif. Mie basah terigu yang digunakan sebagai standar memiliki nilai a yang negatif dan bernilai lebih rendah dibandingkan dengan nilai a dari kelima mie basah jagung. Pada mie jagung, nilai a teringgi dimiliki oleh mie basah jagung Bisi 16 (1.93) nilai a terkecil dimiliki oleh mie basah jagung Prima (-0.59). Besarnya nilai b dari seluruh mie basah jagung menunjukkan

bahwa mie basah jagung tersebut berwarna kuning. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa semua mie basah jagung memiliki nilai b yang positif, artinya semua mie basah jagung cenderung berwarna kuning. Nilai b tertinggi dimiliki oleh mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas Jaya (341.23) dan yang terendah dimiliki oleh mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas NT 10 (136.03). Hasil pengukuran ini sesuai dengan pengamtan secara visual dimana mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung NT 10 terlihat lebih pucat dibandingkan dengan mie basah jagung yang terbuat dari tepung jagung varietas lainnya. Mie basah terigu memiliki nilai b yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai b kelima jenis mie basah jagung, yaitu sebesar 1109.06.

92

Artinya mie basah terigu berwarna lebih kuning dibandingkan dengan warna mie basah jagung. Warna kuning pada mie terigu ini disebabkan karena pada

proses pembuatannya menggunakan pewarna buatan seperti tartrazine yellow, sedangkan pada mie basah jagung, warna kuning disebabkan oleh kandungan pigmen alaminya. Warna kuning pada mie jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada jagung. Xantofil termasuk ke dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung. Kandungan pigmen xantofil yang terdapat pada jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg dengan kisaran 12-36 mg/kg, sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2.8 mg/kg (Watson 2003). Perbedaan warna tiap jenis mie basah jagung yang dihasilkan diduga disebabkan oleh faktor genetik dan perbedaan kandungan pigmen xantofil serta total karoten dalam jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie. Warna kuning pada kelima mie basah jagung yang dibuat terlihat pada Gambar 20. Warna kuning ini ada secara alami pada mie basah jagung menjadi keunggulan tersendiri karena tidak lagi membutuhkan zat pewarna pada proses pembuatannya dan memenuhi kriteria kesukaan konsumen terhadap mie yang berwarna kuning. Masyarakat Indonesia pada umumnya lebih menyukai mie yang berwarna kuning karena kebiasaan mie yang konsumsi berwarna kuning. Pada makanan tradisonal Indonesia seperti mie bakso, mie ayam, soto mie, dan toge goreng kebanyakan menggunakan mie yang berwarna kuning yang menjadi daya tarik tersendiri pada produk-produk makanan tersebut.

Gambar 20 Warna mie basah jagung secara subjektif ( A. NT 10, B. Bisi 16, C. Nusantara 1, D. Jaya, E. Prima). 93

Jika dibandingkan dengan dengan warna tepung jagung yang dianalisis sebelumnya, terlihat bahwa telah terjadi penurunan tingkat kecerahan pada produk mie yang dihasilkan yang terlihat dari nilai L mie basah jagung. Hal ini terjadi akibat degradasi pigmen oleh panas sehingga menurunkan jumlah pigmen pada produk mie. Selain itu pemanasan juga menyebabkan terjadinya reaksi mailard yang mendorong pencoklatan pada produk mie, sehingga menurunkan kecerahannya. Reaksi mailard merupakan reaksi antara karbohidarat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer (Winarno 2008). Pemanasan yang menghasilkan pati tergelatinisasi juga mempengaruhi perubahan warna pada produk mie basah jagung. Menurut Sing et al. (1989) warna mie yang kurang cerah juga dapat disebabkan oleh terikatnya pigmen yang terekstrak selama pemanasan oleh pati.

D. HASIL UJI ORGANOLEPTIK Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari uji deskripsi dan uji rating hedonik. Uji deskripsi dilakukan oleh panelis terlatih untuk mengidentifikasi karakteristik sensori pada mie basah jagung yang terbuat dari berbagai varietas tepung jagung. Uji rating hedonik dilakukan oleh panelis tidak terlatih untuk melihat tingkat kesukaan dan penerimaan panelis terhadap karakter sensori yang dimiliki mie basah jagung.

1.

Hasil Uji Deskripsi Analisis deskriptif adalah teknik analisis sensori yang digunakan dengan tujuan memperoleh deskripsi sifat-sifat sensori dari berbagai macam produk atau material (Gacula 1997). Menurut Rahayu (1998), uji deskriptif merupakan penilaian sensori berdasarkan sifat-sifat sensori yang lebih kompleks, meliputi berbagai jenis sifat sensori yang menggambarkan keseluruhan sifat komoditi tersebut. Dalam mendeskripsikan sifat makanan terdapat beberapa metode, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Metode analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA). QDA merupakan salah satu

94

metode pendeskripsian produk secara kuantitatif. Beberapa ciri QDA yaitu penggunaan garis tidak berstruktur (unstructured line scale) dan panelis memberi tanda pada garis sesuai dengan intensitas persepsi yang diterima. Garis tidak berstruktur yang digunakan pada penelitian ini berukuran panjang 15 cm. Contoh kuisioner uji deskripsi ini dapat dilihat pada Lampiran 8. Pelaksanaan uji deskripsi dengan metode QDA ini menggunakan 8 orang panelis terlatih dari Laboraturium Jasa Analisis IPB. Uji ini dilakukan dalam menggunakan booth tertutup untuk setiap panelis agar tidak terjadi bias. Pada uji ini panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap parameter KPAP elongasi, kekerasan, kelengketan, dan warna dari lima sampel mie basah jagung yang disajikan. Data hasil QDA yang diperoleh selanjutnya ditampilkan dalam bentuk spider web diagram yang dapat dilihat pada Gambar 21. Dari spider web diagram tersebut, dapat langsung terlihat keadaan masing-masing sampel mie basah jagung dan perbedaan antara kelima sampel mie basah jagung. Penilaian terhadap parameter KPAP pada spider web diagram

menunjukkan bahwa mie basah jagung NT 10 memililiki nilai KPAP yang hampir sama dengan nilai KPAP mie basah Nusantara 1. Sedangkan mie basah jagung Bisi 16, Jaya, dan Prima memiliki nilai KPAP yang hampir sama namun berbeda dengan nilai KPAP mie basah jagung NT 10 dan Nusantara 1. Secara umum hal ini sesuai dengan hasil pengukuran secara objektif menggunakan metode yang merujuk pada Oh et al. 1995 dimana mie basah NT 10 memiliki KPAP yang tidak jauh berbeda dengan KPAP mie basah Nusantara 1. Visualisasi deskripsi KPAP mie basah jagung ini juga didukung oleh hasil uji deskripsi melalui uji Multivariate ANOVA (Lampiran 10a) yang menunjukkan bahwa parameter KPAP kelima mie basah jagung berbeda nyata pada taraf 0.05. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10b) terlihat bahwa KPAP mie basah jagung NT 10 tidak berbeda nyata dengan KPAP mie basah jagung Nusantara 1 pada taraf 0.05. Mie basah jagung Jagung Nusantara 1 juga tidak berbeda nyata dengan KPAP mie basah jagung Jaya, Prima dan Bisi 16 pada taraf 0.05.

95

mie basah jagung NT 10 mie basah jagung Bisi 16 mie basah jagung Nusantara 1 Warna 14 12 10 8 6 KPAP 4 2 0 Kekerasan mie basah jagung Jaya mie basah jagung Prima

Elongasi

Kelengketan

Gambar 21

Spider web diagram parameter KPAP, elongasi, kekerasan, kelengketan, dan warna mie basah jagung.

Penilaian terhadap parameter elongasi pada Gambar 21 menunjukkan bahwa kelima mie basah jagung memiliki tingkat elongasi yang hampir sama. Hal ini didukung oleh hasil uji Multivariate ANOVA (Lampiran 10a) yang menunjukkan bahwa parameter elongasi kelima mie basah jagung tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran secara objektif menggunakan Rheoner, mie basah jagung NT 10 memiliki nilai elongasi tertinggi sebesar 116.23% (elongasi rendam air panas) dan keempat mie basah jagung lainnya memiliki nilai elongasi yang tidak jauh berbeda. Penilaian terhadap parameter kekerasan pada kelima mie basah jagung juga menunjukkan nilai kekerasan yang hampir sama. Menurut Indriani

96

(2005), kekerasan menunjukkan daya tahan mie terhadap gigitan pertama dan secara sensori didefinisikan sebagai tenaga yang dibutuhkan untuk menembus untaian mie dengan gigi. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kekerasan secara objektif, mie basah jagung seluruhnya memiliki nilai yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 73.25-248.88 gf. Namun, berdasarkan pengujian secara subjektif dari spider web diagram yang disajikan dan hasil uji Multivariate ANOVA (Lampiran 10a) menunjukkan bahwa parameter kekerasan kelima mie basah jagung tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Berdasarkan spider web diagram yang disajikan, dideskripsikan bahwa kelima mie basah jagung memiliki tingkat kelengketan yang hampir sama. Hal ini juga didukung oleh hasil hasil uji Multivariate ANOVA (Lampiran 10a) yang menunjukkan bahwa parameter kelengketan kelima mie basah jagung tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Kelengketan merupakan parameter yang mendukung mutu mie basah mie jagung, dimana dikehendaki mie basah yang memiliki tingkat kelengketan yang rendah. Pengukuran secara objektif tidak dilakukan terhadap parameter ini, sehingga hasilnya tidak dapat dibandingkan dengan hasil pengukuran secara subjektif melalui uji deskripsi. Berdasarkan spider web diagram pada Gambar 21 mie basah jagung Bisi 16 dideskripsikan memiliki intensitas kecerahan warna yang paling tinggi, sedangkan mie basah jagung NT 10 memiliki intensitas kecerahan warna yang paling rendah. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran secara objektif menggunakan Chromameter CR-200 Minolta yang menunjukkan bahwa mie basah jagung Bisi 16 memiliki tingkat kecerahan tertinggi dengan nilai L sebesar 57.09 dan mie basah jagung NT 10 memiliki tingkat kecerahan terendah dengan nilai L sebesar 39.18. Spider web diagram juga mendeskripsikan bahwa mie basah jagung Nusantara 1, Jaya, dan Prima memiliki intensitas warna yang hampir sama. Hal ini juga sesuai dengan hasil pengukuran secara objektif bahwa ketiga mie basah jagung tersebut memiliki nilai L yang berdekatan (46.2; 45.85; 46.29). Menurut hasil uji Multivariate ANOVA (Lampiran 10a) parameter warna pada kelima mie basah jagung berbeda nyata pada taraf 0.05. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10c) menunjukkan bahwa kecerahan warna mie basah jagung NT 10 berbeda nyata

97

dengan keempat mie basah jagung lainnya pada taraf 0.05. Sama hal nya dengan kecerahan warna mie basah Bisi 16. Sedangkan mie basah jagung Nusantara1, Jaya, dan Prima memiliki kecerahan warna yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Hal ini sesuai dengan hasil deskripsi yang ditampilkan dengan spider web diagram.

2. Hasil Uji Rating Hedonik Uji rating hedonik merupakan alat untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap suatu produk yang paling umum dipakai (Soekarto 1985). Uji ini dilakukan terhadap lima sampel mie basah jagung oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Parameter yang diuji meliputi KPAP, elongasi, kekerasan, kelengketan, warna, dan penerimaan secara keseluruhan. Pemberian skor pada uji peringkat hedonik ini menggunakan sistem skala garis 1-15 cm, dimana semakin mendekati arah kanan skor yang diperoleh sampel akan semakin besar yang artinya produk semakin disukai. Sebaliknya, semakin mendekati arah kiri skor yang diperoleh akan semakin kecil yang berarti produk semakin tidak disukai. Penggunaan skala bergaris bertujuan agar panelis lebih bebas menyampaikan tingkat kesukaannya terhadap sampel uji. Contoh kuisioner uji rating hedonik ini dapat dilihat pada Lampiran 9. Data yang diperoleh dari uji rating hedonik diolah dengan analisis sidik ragam, yang dilanjutkan dengan uji Duncan apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata antar sampel.

a. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) KPAP merupakan parameter terpenting sebagai penentu mutu mie basah selain parameter elongasi. KPAP adalah menunjukkan banyaknya padatan dalam mie basah yang keluar ke dalam air selama proses pemasakan. Selama pemasakan, padatan yang hilang disebabkan oleh terlepasnya sebagian kecil pati pada untaian mie. Akibatnya air rebusan mie tampak keruh. Gambar 22 memperlihatkan penilaian panelis terhadap parameter KPAP mie basah jagung.

98

Rata-rata kesukaan terhadap KPAP

15.00 13.50 12.00 10.50 9.00 7.50 6.00 4.50 3.00 1.50 0.00

7.66b

6.93b

6.63ab

6.48ab

5.54a

Bisi 16

NT 10

Prima

Nusantara 1

Jaya

Mie basah jagung

Gambar 22 Rata-rata Rata kesukaan terhadap parameter KPAP mie basah jagung (pada skala 0 0-15). Secara umum terlihat bahwa rata-rata rata rata kesukaan terhadap KPAP mie basah jagung berada pada kisaran rata-rata rata 5.54-7.66. 7.66. Artinya produk mie basah jagung memiliki kisaran kesukaan kesukaan yang agak tidak disukai hingga cukup disukai. Berdasarkan hasil uji sidik ragam menggunakan ANOVA diketahui bahwa tingkat kesukaan terhadap KPAP kelima mie basah jagung berbeda nyata pada taraf 0.05 (Lampiran 11a). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 11b) memperlihatkan bahwa mie basah jagung Bisi 16, NT 10, Prima dan Nusantara 1 memiliki tingkat kesukaan KPAP yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. . Mie basah jagung Prima, Nusantara 1, dan Jaya juga memiliki tingkat kesukaan KPAP yang tidak bebeda nyata pada taraf 0.05. Mie basah jagung Bisi 16, , NT 10, Prima, dan Nusantara 1 adalah produk mie basah jagung yang KPAPnya cukup disukai. Jika dihubungkan dengan pengukuran KPAP secara objektif menggunakan metode Oh et al. (1985), terlihat bahwa panelis s menyukai mie basah jagung dengan kisaran KPAP yang termasuk dalam standar mie basah terigu yaitu 5.59-10.84%. 5.59

99

b. Elongasi Elongasi adalah menunjukkan pertambahan panjang maksimum mie yang mengalami tarikan sebelum putus. putus. Menurut Hou and Kruk (1998) elongasi gasi merupakan salah satu parameter terpenting dari produk mie basah jagung. Gambar 23 memperlihatkan tingkat kesukaan panelis terhadap parameter elongasi.
Rata-rata kesukaan terhadap elongasi

15.00 13.50 12.00 10.50 9.00 7.50 6.00 4.50 3.00 1.50 0.00

5.83

5.62

5.09

4.85

4.36

NT 10

Bisi 16

Prima

Jaya

Nusantara 1

Mie basah jagung

Gambar 23 Rata-rata Rata kesukaan terhadap parameter elongasi mie basah jagung (pada skala 0 0-15). Hasil analisis ragam ANOVA pada parameter kesukaan terhadap elongasi mie basah jagung (Lampiran 12) menunjukkan tingkat kesukaan terhadap elongasi longasi kelima sampel mie basah jagung tidak tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa rata-rata rata kesukaan panelis terhadap elongasi mie basah jagung berada dalam kisaran 4.36-5.83 5.83 yang secara deskriptif berarti agak tidak disukai. Rendahnya tingkat kesukaan terhadap elongasi elongasi ini diduga dapat disebabkan oleh tekstur mie yang berubah menjadi mudah putus ketika akan diujikan, misalnya akibat terlalu lama jarak antara waktu penyajian dengan uji yang dilakukan oleh panelis satu dengan panelis yang lainnya. Berdasarkan penguku pengukuran ran elongasi secara objektif menggunakan Rheoner kelima mie basah jagung memiliki persen elongasi yang termasuk dalam standar mie terigu. Jadi secara objektif kelima mie basah jagung ini

100

memiliki persen elongasi yang baik. Namun hal ini ternyata tidak menj menjadi parameter yang cukup disukai panelis. c. Kekerasan Kekerasan merupakan salah satu parameter tambahan yang mendukung mutu mie basah jagung. Gambar 24 memperlihatkan rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter kekerasan mie basah jagung berada pada kisaran 6.32-8.21. 6.32 Kisaran tersebut menunjukkan bahwa kekerasan kelima mie basah jagung tergolong agak tidak disukai hingga cukup disukai. Berdasarkan hasil sidik ragam menggunakan ANOVA diketahui bahwa tingkat kesukaan terhadap kekerasan kelima mie b basah jagung berbeda nyata pada taraf 0.05 (Lampiran 13a). Uji lanjut Duncan (Lampiran 13b) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan kekerasan mie basah jagung NT 10 dan Jaya tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Tingkat kesukaan kekerasan mie basah jgung Jaya, Jaya, Bisi 16, Nusantara 1, dan Prima juga tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Artinya seluruh mie basah jagung memiliki tingkat kesukaan yang cukup disukai.
Rata-rata kesukaan terhadap kekerasan
15.00 13.50 12.00 10.50 9.00 7.50 6.00 4.50 3.00 1.50 0.00

8.21b

7.30ab

7.11a

7.03a

6.32a

NT 10

Jaya

Bisi 16

Nusantara 1

Prima

Mie basah jagung

Gambar 24 Rata-rata Rata kesukaan terhadap parameter kekerasan mie basah jagung (pada skala 0-15). Pengukuran parameter kekerasan secara objektif menggunakan alat Rheoner menunjukkan bahwa mie basah jagung memiliki nilai kekerasan yang termasuk dalam kisaran standar mie basah terigu dan berdasarkan tingkat kesukaan, seluruh mie basa basah h jagung juga memiliki tingkat

101

kesukaan yang cukup disukai. Oleh karena itu disimpulkan bahwa mie basah jagung memiliki tingkat kekerasan yang baik dan dapat diterima konsumen.

d. Kelengketan Kelengketan juga merupakan salah satu paremeter pendukung mutu mie basah jagung disamping kekerasan. Konsumen menghendaki mie basah yang tidak lengket dengan untaian mie yang lain (menggumpal), mie basah yang tidak lengket di sumpit (bila mie dikonsumsi dengan sumpit), dan mie yang tidak lengket ketika dikunyah. Oleh karena ena itu perlu diketahui tingkat kesukaan konsumen terhadap kelengketan mie basah jagung yang dihasilkan. Gambar 25 menunjukkan bahwa rata-rata rata rata kesukaan panelis terhadap parameter kelengketan mie basah jagung berkisar antara 7.59 7.598.16 yang secara deskrips deskripsi i berarti cukup disukai. Berdasarkan hasil uji sidik ragam ANOVA (Lampiran 14) diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter kelengketan mie basah tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Artinya kelima mie basah jagung memiliki kelengketan yang g cukup disukai panelis. Pada uji deskripsi QDA kelima mie basah jagung dinilai tidak lengket. Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai mie basah jagung yang tidak lengket.
Rata-rata kesukaan terhadap kelengketan
15.00 13.50 12.00 10.50 9.00 7.50 6.00 4.50 3.00 1.50 0.00

8.16

7.93

7.84

7.69

7.59

NT 10

Jaya

Prima

Bisi 16

Nusantara 1

Mie basah jagung

Gambar 25 Rata-rata Rata kesukaan terhadap parameter kelengketan mie basah jagung (pada skala 0-15). 0 102

Nilai kelengketan pada produk mie basah jagung dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin pada tepung jagung yang digunakan. Menurut Elliason dan Gudmundsson (1996) amilosa yang terlepas dari granula pati dapat menye menyebabkan kelengketan.

e. Warna Mie basah jagung umumnya berwarna kuning. Hal ini disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang tergolong ke dalam pigmen karotenoid dalam jagung. . Walaupun seluruh mie basah jagung berwarna kuning, namun tingkat kecerahan mie basah basah jagung dari tiap varietas jagung berbeda-beda. beda. Hal ini diduga akibat jumlah pigmen yang berbeda pada tiap varietas jagung tersebut. Gambar 26 memperlihatkan tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warna.
rata-rata kesukaan terhadap kecerahan warna

15.00 13.50 12.00 10.50 9.00 7.50 6.00 4.50 3.00 1.50 0.00

8.99b

8.81b

8.59b

8.21b

7.04a

Jaya

Bisi 16

Prima

Nusantara 1

NT 10

Mie basah jagung

Gambar 26 Rata Rata-rata kesukaan terhadap parameter kecerahan warna mie basah jagung (pada skala 0 0-15). Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa rata-rata rata rata kesukaan terhadap kecerahan warna mie basah jagung berkisar antara 7.04-8.99 7.04 8.99 yang secara deskripsi berarti cukup disukai hingga agak disukai. . Hasil uji sidik ragam dengan menggunakan ANOVA (Lampiran 15a) menunjukkan bahwa kelima mie basah jagung memiliki tingkat kesukaan terhadap kecerahan warna mie yang berbeda nyata pada taraf 0.05. . Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 15b) terlihat terl bahwa mie basah jagung Jaya, Bisi 16, 6, Prima, dan

103

Nusantara 1 memiliki tingkat kesukaan terhadap kecerahan warna mie yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 dan merupakan mie basah jagung yang agak disukai panelis dari segi kecerahan warna. Mie basa basah jagung NT 10 memiliki tingkat kesukaan terhadap kecerahan warna yang berbeda nyata dan paling rendah dibandingkan keemapat mie basah jagung lainnya pada taraf 0.05. 5. Jika dilihat dari hasil pengukuran warna menggunakan Chromameter CR-200, diketahui bahwa a mie basah jagung NT 10 adalah mie basah jagung dengan intensitas kecerahan yang paling rendah atau terlihat lebih pucat dibandingkan keempat warna mie basah jagung lainnya. Berdasarkan uji rating hedonik ini terlihat bahwa panelis lebih menyukai mie basah basa jagung dengan warna yang cerah.

f. Penerimaan keseluruhan Penerimaan keseluruhan didasarkan kepada penilaian subjektif panelis terhadap kesukaan dari masing-masing masing masing atribut mie basah jagung yang disajikan. Gambar 27 memperlihatkan tingkat kesukaan panelis terhadap parameter penerimaan keseluruhan.
Rata-rata kesukaan terhadap parameter penerimaan secara keseluruhan

15.00 13.50 12.00 10.50 9.00 7.50 6.00 4.50 3.00 1.50 0.00

8.39

8.05

8.02

7.78

7.43

NT 10

Bisi 16

Prima

Jaya

Nusantara 1

Mie basah jagung

Gambar 27 Rata-rata rata kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan mie basah jagung (pada skala 0 0-15). Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa rata-rata rata rata kesukaan panelis terhadap penerimaan keseluruhan mie basah jagung berkisar antara 7.43 7.438.39 yang secara deskripsi berarti cukup disukai. Hasil uji sidik ragam

104

menggunakan ANOVA (Lampiran 16) menunjukkan bahwa kelima mie basah jagung memiliki tingkat kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan mie basah jagung yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan bahwa kelima mie basah jagung cukup disukai dan cukup berpotensi menjadi mie berdasarkan kesukaan panelis terhadap atribut keseluruhan mie.

Seluruh tepung jagung yang dianalisis berpotensi untuk diolah menjadi mie basah jagung berdasarkan sifat fisik dan organoleptiknya. Berdasarkan sifat fisik, mie basah jagung memiliki nilai KPAP, elongasi, dan kekerasan yang memenuhi kisaran standar mie basah terigu dan secara organoleptik, kelima mie basah jagung memiliki tingkat kesukaan yang cukup disukai berdasarkan atribut penerimaan secara keseluruhan. Hal ini terlihat secara ringkas pada rekapitulasi sifat tepung jagung dan mie basah jagung yang dihasilkan (Lampiran 17).

105

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Jagung varietas NT 10, Bisi 16, Nusantara 1, Jaya, dan Prima memiliki potensi untuk diolah menjadi mie basah jagung. Tepung jagung varietas NT 10, Bisi 16, Nusantara 1, Jaya, dan Prima memiliki karakteristik sifat fisikokimia dengan pH 5.29-5.96, kecerahan warna 84.35-85.17, kadar air 5.259.53% bb, kadar abu 0.23-0.60% bb, kadar protein 5.46-8.05% bb, kadar lemak 0.53%-2.90% bb, kadar karbohidrat 80.98-84.25% bb, kadar pati 75.5781.10% bb, kadar amilosa 21.53-29.80% bb, dan kadar amilopektin 45.7759.57% bb. Kelima tepung jagung yang diteliti memiliki sifat fungsional, dengan sifat amilografi yang meliputi suhu awal gelatinisasi 70.5-73.5oC, suhu puncak gelatinisasi 81.00-91.50oC, viskositas maksimum 357.50-510.00 BU, holding paste viscosity 270.00-370.00 BU, breakdown viscosity 32.50-240.00 BU, dan setback viscosity 180.00292.50 BU. Sifat fungsionalnya yang lain, yaitu water absorption capacity 1.44-1.63 (g/g), kelarutan 6.7610.26%, dan swelling volume 9.05-10.73 ml/gr. Tepung jagung dari varietas NT 10, Bisi 16, Nusantara 1, Jaya, dan Prima memiliki potensi untuk diolah menjadi mie basah jagung dilihat dari sifat fisik dan organoleptiknya. Kelima mie basah jagung memiliki nilai KPAP sebesar 4.67-8.90%, elongasi dengan perlakuan awal dicelup sebesar 98.78-116.23%, elongasi dengan perlakuan awal rendam air panas sebesar 94.64-103.80%, kekerasan sebesar 73.25-248.88 gf, dan kecerahan warna (L) sebesar 39.18-67.09. Secara umum nilai KPAP, persen elongasi dan kekerasan mie basah jagung termasuk dalam kisaran contoh mie basah terigu yang digunakan sebagai standar. Mie basah terigu yang digunakan memiliki kisaran nilai KPAP 5.59-10.84%, persen elongasi sebesar 98.4%-118.47%, dan kekerasan sebesar 120.00-2388.70 gf. Oleh karena sifat fisik mie basah jagung yang dihasilkan berada dalam kisaran sifat fisik mie basah terigu, maka disimpulkan bahwa kelima tepung jagung berpotensi diolah menjadi mie basah jagung. Berdasarkan uji organoleptik melalui uji tingkat kesukaan rating hedonik, kelima mie basah jagung yang dihasilkan memiliki rata-rata tingkat

106

kesukaan terhadap parameter keseluruhan sebesar 7.43-8.39 yang secara deskripsi berarti cukup disukai panelis. Oleh karena itu disimpulkan bahwa secara organoleptik kelima mie basah jagung cukup berpotensi diterima oleh panelis sebagai produk mie yang cukup disukai.

B. SARAN Tepung jagung NT 10, Bisi 16, Nusantara 1, Jaya, dan Prima memiliki potensi untuk dijadikan mie jagung. Berdasarkan hasil uji organoleptik, mie basah jagung termasuk mie yang cukup disukai. Oleh karena itu perlu dilakukan scalling up dan analisis biaya pembuatan mie jagung dengan ekstruder pencetak sehingga pembuatan mie jagung dapat diterapkan dalam masyarakat. Usaha peningkatan umur simpan mie basah jagung juga perlu dilakukan, salah satunya dapat dilakukan dengan usaha pembuatan mie kering jagung. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan secara in vivo untuk mengeksplorasi manfaat konsumsi mie jagung terhadap kesehatan tubuh. Hal ini diharapkan mampu menjadi daya tarik tersendiri dalam promosi mie jagung, sehingga dapat mendorong upaya peningkatkan konsumsi mie jagung di kalangan masyarakat.

107

DAFTAR PUSTAKA Aak. 2008. Seri Budaya Jagung, Teknik Bercocok Tanam Jagung. Jakarta: Kanisius. Afdi E. 1989. Modifikasi pati jagung (Zea mays, L) [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Agrawal RL.1997. Identifying characteristics of crop varieties. Di dalam: Suwarno. Perakitan varietas jagung hibrida. http://willy.situshijau.co.id [7 Februari 2009] Ahmad L. 2009. Modifikasi fisik pati jagung dan aplikasinya untuk perbaikan kualitas mi jagung [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ali M. 2009. JHS siapkan benih jagung untuk NTT. http://tv.pos-kupang.com [15 Maret 2009] [Anonima]. 2008. Filipina bangun pabrik jagung http://www.endonesia.com [15 Maret 2009]. hibrida di Jember.

[Anonimb]. 2008. Jagung. http//:wikipedia.go.id [09 Mei 2008]. [Anonimc]. 2007. Komposisi kimia tepung terigu. http//:www.asiamaya.go.id [11 Mei 2008]. [Anonimd]. 2009. Beta Karoten si Penangkal http://pusatmedis.com [3 Juli 2009]. Radikal Bebas. http//:

[AOAC] Analysis of The Association of Official Agriculture Chemistry. 1995. Official Methods of Analysis, 16th Edition. Gaithersburg, Maryland: AOAC International. Astawan M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Jagung. http//: bps.go.id [11 Mei 2008]. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-29871992. Mi Basah. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Badrudin C. 1994. Modifikasi tepung ubi kayu (Manihot esculanta Crantz) sebagai bahan pembuat mie kering [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bagalopalan CG, Nanda SK, and Moorthy SN. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry. Florida: CRC Press.

108

Belitz HD and Grosch W. 1999. Food Chemistry. Berlin: Spinger. Beta T and H Corke. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch properties. J Cereal Chem 78:417-420. Bogasari. 2005. Manual Produksi Mi. Departemen Research and Development. Jakarta: Bogasari. Budiyah. 2005. Pemanfaatan pati dan protein jagung (Corn Gluten Meal) dalam pembuatan mi jagung instan [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Chang YH, ST Lim and B Yoo. 2003. Dynamic rheology corn starch-sugar composities. J Food Engineering 64:521-527. Cheng. 2006. Starch structure : composition http://www.cheng.cam.ac.uk [4 Maret 2008]. and structure.

[CFNS] Center For Nutrition Study. 1997. Pengkajian dan Pengembangan Produk Olahan Ekstrusi Bakery dan Frying. Kerjasama Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dengan Center For Nutrition Study Institut Pertanian Bogor. Collado LS, Corke H. 1998. Heat moisture treatment effects on sweet potato starch differing in amylose content. J Food Chem 65:339-346. Collado LS, LB Mabesa, CG Oates, and H Corke. 2001. Bihon type noodle from heat moisture treated sweet potato tarch. J Food Science 66:604-609. Collinson R. 1968. Sweeling and Gelation of Starch. Di dalam: Radley JA (ed). Starch and Its Derivates. London: Champan and Hall Ltd. [Dispertan] Dinas Pertanian. 2008. Panen perdana http://harianjoglosemar.com [15 Maret 2009]. jagung hibrida

Efendi S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. Jakarta: CV Yasaguna. Etikawati EC. 2007. Pengaruh perlakuan passing, konsentrasi Na2CO3, dan kadar air terhadap mutu fisik mi basah jagung yang dibuat menggunakan ekstruder ulir pemasak [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Encyclopaedia. 1996. Corn Cernel Compotition. http://cachemedia.britannica.com/eb-media/20/620-004-5B4216B9.gif [16 Juni 2009]. Fadlillah HN. 2005. Verifikasi formulasi mie jagung instan dalam rangka pengendalian skala [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

109

Fahmi A. 2007. Optimasi produksi mie basah berbasis tepung jagung dengan teknologi ekstrusi [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Faubion JM. 1990. Dough Reology and Baked Product Texture. New York: Van Nostrand Reinhold. Faridi H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. New York: Chapman and Hall. Fellows. 2000. Food Engineering. New York: Marcell Dekker Inc. Fennema OR.1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc. Gacula, JR MC (ed.). Descriptive Sensory Analysis in Practice. Trumbull, Connecticut: Food and Nutrition Press, Inc. Glickman M. 1969. Gum Technology in Food Industry.London: Academic Press. Greenwood CT. 1975. Observation On The Structure of The Starch Granule. Di dalam TR, Muchtadi, P.Haryadi, dan AB Ahzra. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Greenwood, CT and DN Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam: Muchtadi TR, P Haryadi, dan AB Ahzra. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Guo G, DS Jackson, RA Graybosch, and AM Parkhurst. 2003. Asian salted noodle quality: Impact of amylose content adjustments using waxy wheat flour. J Cereal Chem 80:437-445. Harper JM. 1981. Extrution of Food Vol II. Florida: CRC Pres Inc. Hatorangan EF. 2007. Pengaruh perlakuan konsentrasi NaCl, kadar air, dan passing terhadap mutu fisik mie basah jagung yang diproduksi dengan menggunakan ekstruder ulir pemasakan dan pencetak [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hernanda AR. 2008. Pasar benih jagung hibrida http://www.perumperhutani.com [7 Februari 2009] Hallauler AR. 2001. Speciality Corns. New York: CRC Press. Honesey RC. 1998. Principle of Cereal Science and Technology, 2nd edition. St. Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemist Inc. Hou G and Mark K. 1998. Asian noodle technology. http://secure.aibonline.org/catalog/example/V20Iss12.pdf [25 Juni 2008]. naik 10%.

110

Hutching JB. 1999. Food Color and Appearance, 2nd edition. Gaithersburg, Maryland: Aspen publisher, Inc. Indofood Tbk. 2008. Tingkat konsumsi mie instan. http//:www.indofood.co.id [11 Mei 2008]. Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. Westport, Connecticut: The Avi Publishing Company Inc. Jin, M., J Wu, and X Wu. 1994. A Study on properties of strarch used for starch noodle making. Di dalam Beta, T and Corke. Noodle Quality as Related to Sorghum Starch Properties. J Cereal Chem 78 : 417-420. Jatmiko. 2009. Mengenal benih jagung. http://binatanimakmur.com [20 Mei 2009]. Johnson LA. 1991. Corn: Production, Processing, and Utilization. Di dalam : Handbook of Cereal Science of Technology. Karel K and Josep GP, editor .Basel, New York: Marcell Dekker, Inc. Jugenheimer RW. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. New York:. John Willey and Sons. Juniawati. 2003. Optimasi pengolahan mie jagung instan berdasarkan kajian preferensi konsumen [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kainuma K and D French. 1972. Negeli Amylodekstrin and Its Relationship to Starch Granula Structure, Role of Water in Crystalization of B-Starch Biopolimer. Di dalam: Afdi. Modifikasi Pati Jagung (Zea Mays, L). Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. [Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian. 2006. Pelepasan galur murni jagung hibrida SX 44 sebagai varietas unggul dengan nama NT 10. http://www.deptan.go.id [ 15 Maret 2009]. Kulp K and Joseph GP. Hand Book of Cereal Science and Technology. 2000. New York: Marcel Dekker, Inc. Kusnandar F, Dahrulsyah, dan Subarna. 2008. Pengembangan Showcase Mi Jagung dalam Rangka Pengandaan Skala Proses Produksi Mi Jagung dan Percepatan Difusi Teknologi. Di dalam: Ahmad L. Modifikasi Sifat Fisik Pati Jagung dan Aplikasinya untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagung [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Lasztity R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. USA: CRC Press Inc.

111

Leach HW. 1965. Gelatinization of Starch. Di dalam: Goldsworth R, editor. Abundan Plant Varieties. New York: World Wide, Inc. Lestari OA. 2009. Karakterisasi sifat fisiko kimia dan evaluasi nilai gizi biologis mi jagung kering yang disubsitusi tepung jagung termodifikasi [Tesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Linko PP, Colonna, and C. Mercier. 1981. High temperature short time extrution cooking. Di dalam: Y. Pomeranz, editor. Advance in Cereal Science and Technology. St.Minnesota: The AACC Inc. Matz SA. 1959. The Chemistry and Technology of Cereal as Food and Feed. New York : The Avi Publishing Company, Inc. Mestres C, P Colonna, and A Buleon. 1988. Characteristics of starch networks within rice flour noodles and mung bean starch vermicelli. Di dalam: Sung WC and M Stone. Characterization of legume starch and their noodle quality. J Marine Science and Technology 12:25-32. Mercier C dan P Feillet. 1975. Modification of carbohydrate componen by extrution cooking of cereal product. J Cereal Chem 53(3): 283-286. Merdiyanti A. 2008. Paket teknologi pembuatan mie kering dengan memanfaatkan bahan baku tepung jagung [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mita 1992. Structure of Paste in Aging Process by the Measurement of Their Dynamic Moduli. Carbohydrate Polymers, 17:269-276. Moorthy SN. 1985. Effect of Surfactant on Cassava Starch Viscosity. Di dalam: Balagopalan CG, SK Nanda, and SN Moorthy. Cassava in Food, Feed, and Industry. Florida: CRC Press. Muchtadi TR dan Sugiono.1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Muhandri T. 2006. Karakterisasi rheologis pada pengolahan mie jagung dengan proses ekstrusi pencetak. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Muhandri T. 2008. Karakterisasi tepung sepuluh varietas jagung kuning dan potensinya untuk dibuat mie jagung. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Munarso SJ. 1996. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras sebagai Bahan Baku Pembuatan Mi Beras Instan. Laporan Kemajuan Penelitian. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

112

Nirmala. 2008. Fakta di balik mitos gluten. http//: cybermed.cbn.net.id [3 Juli 2009]. Oh NH, Seib PA, Finney KF, dan Pomeranz Y. 1985. Oriental Noodles. J Cereal Chem 63: 93-96. Panikulata G.2008. Potensi Modified Cassava Flour (Mocaf) sebagai subsituen tepung terigu pada produk kacang telur [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Permatasari NA. 2007. Karakterisasi pati jagung varietas unggul nasional [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pratama GGFS. 2008. Paket teknologi untuk memproduksi mi jagung dengan bahan baku tepung jagung [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Putra SN. 2008. Optimalisasi fomula dan proses pembuatan mi jagung dengan formulasi dengan metode kalandering [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Purwani EY, Widaningrum, R Thahir, and Muslich. 2006. Effect of heat treatment of sago satrch on its noodle quality. J Agri Sci 7(1):8-14. Rahayu WP. 1998. Penilaian Organoleptik. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Rianto BF. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku tepung jagung [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Ristek] Riset dan Teknologi. 2006. Komposisi kimia jagung. http//:www. ristek.go.id. [11 Mei 2008] Runtunuwu SD. 2006. Keberhasilan crash program http//:www.hariandsulut.com [11 Mei 2008]. jagung di Sulut.

Sib H. 2009. Ratusan petani langkat ikut panen jagung di Sei Bingei. http://www.langkatkab.go.id. 15 Maret 2009. Singh N, J Singh, NS Sodhi. 2002. Morphological, thermal, rheological and noodle making properties of potato and corn starch. J Science of Food and Agriculture 82:1376-1383. Singh U, W Varoputhaporn, PV Rao, and R Jambunatan. 1989. Physicochemical characteristics of pigeonpea and mung bean starches and their noodle quality. J Food Sci 54(5): 1293-1297.

113

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Suartha, IGD. 2008. Wujudkan ketahanan pangan melalui budidaya jagung hibrida. http://www.tanindo.com [15 Maret 2009]. Subarna et al. 1999. Pengembangan Bahan Baku Campuran Tepung-Tepungan sebagai Alternatif Makanan Pokok agar Mudah Memasuki Pasar Regional/Global. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudaradji S, Bambang H, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Keempat. Yogakarta: Alberti Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Jakarta: Penebar Swadaya. Suprapto dan Marzuki HAR. 2005. Bertanam Jagung. Edisi Revisi. Cetakan ke14. Jakarta: Penebar Swadaya. Syarif AM dan Arvana, AN. 1992. Teknik Reduksi Ukuran Bahan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Swinkles JJM. 1985. Source of Starch In Chemistry and Physics. Di dalam: V Beyum dan JA Roels, editor. Pasta and Noodle Technology. Newyork: Marcell Dekker, Inc. Tam LM, H Corke, WT Tan, J Li, and LS Collado. 2004. Production of bihontype noodle from maize starch differing in amylose content. J Cereal Chem, 81(4):475-480. Thompson A W, M Blades RD, & J. Suthering. 2006. The G.I. Diet Cookbook. New York: Stewart, Tabori & Chang. http://indomemo.com [3 Juli 2009]. Waniska RD, T Yi, J Lu, L Xue Ping, W Xu dan H.Lin. 1999. Effect of preheating temperature, moisture, and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour and meal. J Food Science and Technology International 5: 339-346. Warisno.1998. Budidaya Jagung Hibrida. Jakarta: Gramedia. Whitsler RL, James NB, and Eugene FP. 1984. Starch Chemistry and Technology. Orlando: Academic Press. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

114

LAMPIRAN Lampiran 1. Profil Singkat Varietas Jagung yang Digunakan Jenis NT 101 Asal Sumatra Barat Keunggulan - Pertumbuhan tanamannya tegak, seragam dan tahan roboh. Dapat menghasilkan 2 tongkol yang sama besarnya. Rendemennya sangat tinggi yaitu 83%, karena mempunyai ukuran janggel kecil, dengan ukuran tongkol besar dan silindris. Tongkol jagung tertutup rapat, sehingga busuk buah berkurang. Dapat dipanen pada umur 103 hari setelah tanam. Kebutuhan benih 15 kg/ha. Dapat ditanam rapat dengan jarak 65 kali 15 cm Toleran terhadap penyakit Hasil produksi sangat tinggi Tahan terhadap penyakit bulai. Umur lebih cepat panen : 95 hari (musim kemarau) dan 105 hari (musim Hujan) Tahan di lahan kering (toleran pada tanah kurang subur). Dengan perawatan ekstra pada tanaman, dimungkinkan bertongkol 2. Jumlah baris pertongkol 1618 sehingga hasil panen 30% lebih banyak Cepat panen atau berumur pendek hanya 95 hari Tongkol jagung besar dengan jumlah baris 14-18 baris. Keuntungan bisa mencapai 30% dibandingkan dengan hibrida lain. Stabil dan toleran terhadap kondisi dibawah standar. Tahan terhadap penyakit

Produktivitas (ton per ha)


9 - 13

Bisi 16
2

Nusantara13

Sumatra Utara dan Jawa Timur Jawa Timur

16.9

12 - 13.5

Jaya3

Jawa Timur dan Sulawesi Utara

15.5

115

Lampiran 1. Profil Singkat Varietas Jagung yang Digunakan (Lanjutan) Jenis


Prima3

Asal Jawa Timur dan Sulawesi utara

Keunggulan - Umur panen kurang lebih 104 hari setelah tanam. Tahan cekaman suhu Tahan terhadap penyakit bulai, karat daun, fusarium dan penyakit jagung lainnya. Cocok ditanam pada lahan kurang subur, lahan berbukit-bukit, lahan yang kurang air hujan Pemakaian pupuk rendah.

Produktivitas (ton per ha)


12

Keterangan: 1 : Kepmentan (2006) 2 : Anonima (2009) 3 : Ali (2009)

116

Lampiran 2. Kesetimbangan Masa dan Contoh Perhitungan Penambahan Jumlah Air pada Pembuatan Mie Basah Jagung. Tepung jagung 100 g k.a = X % bb padatan = (100- x)% x100 g =Yg

Mixing

Adonan k.a = 70% bk = 70% Y

Air Z gram

Contoh Perhitungan pada Tepung Jagung NT 10 basis tepung 100 gram Kadar air tepung = X = 6.15 %bb Padatan = Y= 93.85% = 93. 85 g input = output (X % x 100 g) + Z = 70% Y (6.15 % x 100 g) + Z = 70% x 93. 85 g 6.15 + Z = 65.70 Z = 59.55 g Jadi jumlah air yang harus ditambahkan pada 100 g tepung jagung NT 10 sebesar 59.55 g.

117

Lampiran 3a. Hasil Sidik Ragam KPAP Mie Basah Jagung


Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Varietas Ulangan Error Total Type III Sum of Squares 502.562(a) 27.397 .306 .297 502.859 Df 6 4 1 4 10 Mean Square 83.760 6.849 .306 .074 F 1126.947 92.153 4.120 Sig. .000 .000 .112

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999)

Lampiran 3b. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap KPAP Mie Basah Jagung
Duncan Subset Varietas Nusantara 1 NT 10 Bisi 16 Jaya Prima Sig. N 2 2 2 2 2 1.000 1.000 1.000 1 4.6650 5.5800 6.7000 8.6150 8.8950 .362 2 3 4

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .074. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

Lampiran 4a. Hasil Sidik Ragam Elongasi Celup Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Varietas Ulangan Error Total Type III Sum of Squares 112545.234(a ) 322.591 4.638 5.594 Df 6 4 1 4 Mean Square 18757.539 80.648 4.638 1.398 F 13413.236 57.670 3.316 Sig. .000 .001 .143

112550.827 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

118

Lampiran 4b. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Elongasi Celup Mie Basah Jagung
Duncan Subset Varietas Bisi 16 Jaya Nusantara 1 Prima NT 10 Sig. N 2 2 2 2 2 1 98.7750 104.2500 105.0850 105.3200 116.2350 1.000 2 3

1.000 .422 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.398. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

Lampiran 5a. Hasil Sidik Ragam Elongasi Rendam Air Panas Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Varietas Ulangan Error Total Type III Sum of Squares 95989.932(a) 125.927 .324 6.015 95995.947 Df 6 4 1 4 10 Mean Square 15998.322 31.482 .324 1.504 F 10639.304 20.936 .215 Sig. .000 .006 .667

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Lampiran 5b. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Elongasi Rendam Air Panas Mie Basah Jagung
Duncan Subset Varietas Bisi 16 Nusantara 1 Jaya Prima NT 10 Sig. N 2 2 2 2 2 .438 1.000 1 94.6450 95.1750 95.7150 100.2150 103.8000 1.000 2 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.504. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

119

Lampiran 6a. Hasil Sidik Ragam Kekerasan Mie Basah Jagung


Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Varietas Ulangan Error Total Type III Sum of Squares 408471.975(a ) 39839.463 88.506 497.463 408969.438 Df 6 4 1 4 10 Mean Square 68078.663 9959.866 88.506 124.366 F 547.407 80.085 .712 Sig. .000 .000 .446

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)

Lampiran 6b. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Kekerasan Mie Basah Jagung
Duncan Subset Varietas Prima NT 10 Nusantara 1 Jaya Bisi 16 Sig. N 2 2 2 2 2 .172 1 73.2500 185.0000 217.1250 235.6250 235.6250 248.8750 .301 2 3 4

1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 124.366. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

Lampiran 7a. Hasil Sidik Ragam Kecerahan Warna Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Varietas Ulangan Error Total Type III Sum of Squares 22345.552(a) 330.596 .092 1.984 22347.536 Df 6 4 1 4 10 Mean Square 3724.259 82.649 .092 .496 F 7509.949 166.661 .186 Sig. .000 .000 .689

120

Lampiran 7b. Hasil Uji Lanjut Duncan terhadap Kecerahan Warna Mie Basah Jagung
Duncan Subset Varietas Bisi 16 Jaya Nusantara 1 Prima NT 10 Sig. N 2 2 2 2 2 1.000 .579 1 39.1800 45.8550 46.1950 46.2850 57.0850 1.000 2 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .496. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

121

Lampiran 8. Kuisioner Uji Deskripsi QDA UJI DESKRIPSI QDA Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria Elongasi Instruksi 1. Lakukan penilaian terhadap elongasi sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara memegang ujung-ujung mie dengan kedua tangan, tarik perlahan-lahan oleh tangan kanan, sedangkan tangan kiri menahan. Apabila mie tidak cepat putus berarti memiliki elongasi yang tinggi, sedangkan bila mie cepat putus berarti memiliki elongasi yang rendah. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan.

Kode sampel :

Tidak mudah putus Kode sampel :

Sangat mudah putus

Tidak mudah putus Kode sampel :

Sangat mudah putus

Tidak mudah putus Kode sampel :

Sangat mudah putus

Tidak mudah putus

Sangat mudah putus

Kode sampel :

Tidak mudah putus

Sangat mudah putus

122

UJI DESKRIPSI QDA Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria Kekerasan Instruksi 1. Lakukan penilaian terhadap kekerasan sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara mengambil 1-2 untai mie dan menggigitnya secara perlahan hingga putus, kemudian tentukan tingkat kekerasannya. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan.

Kode sampel :

Tidak keras

Sangat keras

Kode sampel :

Tidak keras

Sangat keras

Kode sampel :

Tidak keras Kode sampel :

Sangat keras

Tidak keras Kode sampel :

Sangat keras

Tidak keras

Sangat keras

123

UJI DESKRIPSI QDA Produk Nama : Mie basah jagung : Kriteria Kelengketan Instruksi 1. Lakukan penilaian terhadap kelengketan sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara mengambil 1-2 untai mie dan mengunyahnya sebanyak 3 kali, kemudian tentukan tingkat kelengketan mie tersebut. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan.

Tanggal :

Kode sampel :

Tidak lengket

Sangat lengket

Kode sampel :

Tidak lengket

Sangat lengket

Kode sampel :

Tidak lengket Kode sampel :

Sangat lengket

Tidak lengket

Sangat lengket

Kode sampel :

Tidak lengket

Sangat lengket

124

UJI DESKRIPSI QDA Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria Warna Instruksi 1. Lakukan penilaian terhadap warna mie dengan cara mengamati tingkat kecerahan warna kuning mie. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan

Kode sampel :

Tidak cerah

Sangat cerah

Kode sampel : Sangat cerah

Tidak cerah

Kode sampel :

Tidak cerah Kode sampel :

Sangat cerah

Tidak cerah

Sangat cerah

Kode sampel :

Tidak cerah

Sangat cerah

125

UJI DESKRIPSI QDA Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria KPAP Instruksi 1. Lakukan penilaian terhadap KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara mengaduk mie dalam kuah sebanyak 2 x kemudian amati kekeruhan pada kuah mie atau banyaknya partikel yang terlepas dari untaian mie tersebut. Makin keruh kuah atau makin banyak partikel yang terlepas dari untain mie, makin tinggi KPAP. Begitu pula sebaliknya. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan.

Kode sampel :

Tidak keruh

Sangat keruh

Kode sampel : Sangat keruh

Tidak keruh

Kode sampel : Sangat keruh

Tidak keruh Kode sampel :

Tidak keruh

Sangat keruh

Kode sampel :

Tidak keruh

Sangat keruh 126

Lampiran 9. Kuisioner Uji Rating Hedonik UJI RATING HEDONIK Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria warna Instruksi 1. Lakukan penilaian terhadap kesukaan terhadap warna dari kiri ke kanan sampel dengan cara memberi tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan. 2. Jangan membandingkan tiap sampel

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel : Sangat suka

Sangat tidak suka

Kode sampel : Sangat suka

Sangat tidak suka Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka 127

UJI RATING HEDONIK Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria Elongasi Instruksi 1. Lakukan penilaian kesukaan terhadap elongasi sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara memegang ujung-ujung mie dengan kedua tangan, tarik perlahan-lahan oleh tangan kanan, sedangkan tangan kiri menahan hingga mie putus. Apabila mie tidak cepat putus berarti memiliki elongasi yang tinggi, sedangkan bila mie cepat putus berarti memiliki elongasi yang rendah. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan. 3. Jangan membandingkan tiap sampel

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka Kode sampel :

Sangat suka

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka 128

UJI RATING HEDONIK Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria kekerasan Instruksi 1. Lakukan penilaian kesukaan terhadap kekerasan sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara mengambil 1-2 untai mie dan menggigitnya secara perlahan hingga putus, kemudian tentukan tingkat kesukaan terhadap kekerasannya. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan. 3. Jangan membandingkan tiap sampel

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel : Sangat suka

Sangat tidak suka

Kode sampel : Sangat suka

Sangat tidak suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

129

UJI RATING HEDONIK Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria kelengkatan Instruksi 1. Lakukan penilaian kesukaan terhadap kelengketan sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara mengambil 1-2 untai mie dan mengunyahnya sebanyak 3 kali, kemudian tentukan tingkat kesukaan terhadap kelengketan mie tersebut. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan. 3. Jangan membandingkan tiap sampel

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka Kode sampel :

Sangat suka

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

130

UJI RATING HEDONIK Produk Nama : Mie basah jagung :

Tanggal :

Kriteria KPAP Instruksi 1. Lakukan penilaian kesukaan terhadap KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) sampel mie satu per satu dari kiri ke kanan dengan cara mengaduk mie dalam kuah sebanyak 2 x kemudian amati kekeruhan pada kuah mie atau banyaknya partikel yang terlepas dari untaian mie tersebut. Makin keruh kuah atau makin banyak partikel yang terlepas dari untain mie, makin tinggi KPAP. Begitu pula sebaliknya. 2. Beri tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan. 3. Jangan membandingkan tiap sampel

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka Kode sampel :

Sangat suka

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka 131

UJI RATING HEDONIK Produk Nama : Mie basah jagung : Kriteria over all

Tanggal :

Instruksi 1. Lakukan penilaian terhadap kesukaan secara keseluruhan dari kiri ke kanan sampel dengan cara memberi tanda berupa garis vertikal pada garis horizontal yang telah disajikan. 2. Jangan membandingkan tiap sampel Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Kode sampel : Sangat tidak suka Sangat suka

Kode sampel :

Sangat tidak suka

Sangat suka

Sebutkan parameter mie basah jagung yang paling anda sukai! .................................................................................................................................... Komentar: ....................................................................................................................................

132

Lampiran 10a. Hasil Pengolahan Data Uji Deskripsi Multivariate ANOVA terhadap parameter warna, kekerasan, kelengketan, elongasi, dan KPAP pada lima mie basah jagung
Tests of Between-Subjects Effects Type III Sum of Squares 3076.924(a) 2526.777(b) 1414.051(c) 5955.141(d) 1820.470(e) 86.240 251.726 652.031 272.476 223.554 371.142 26.551 3.379 37.289 70.456 284.627 188.493 96.129 178.199 162.440 3361.550 2715.270 1510.180 6133.340 1982.910

Source Model

Dependent Variable Warna Kekerasan Kelengketan Elongasi KPAP

Df 12 12 12 12 12 7 7 7 7 7 4 4 4 4 4 28 28 28 28 28 40 40 40 40 40

Mean Square 256.410 210.565 117.838 496.262 151.706 12.320 35.961 93.147 38.925 31.936 92.785 6.638 .845 9.322 17.614 10.165 6.732 3.433 6.364 5.801

F 25.224 31.279 34.323 77.976 26.150 1.212 5.342 27.132 6.116 5.505 9.128 .986 .246 1.465 3.036

Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .329 .001 .000 .000 .000 .000 .431 .910 .239 .034

Panelis

Warna Kekerasan Kelengketan Elongasi KPAP

Sampel

Warna Kekerasan Kelengketan Elongasi KPAP

Error

Warna Kekerasan Kelengketan Elongasi KPAP

Total

Warna Kekerasan Kelengketan Elongasi KPAP

a b c d e

R Squared = .915 (Adjusted R Squared = .879) R Squared = .931 (Adjusted R Squared = .901) R Squared = .936 (Adjusted R Squared = .909) R Squared = .971 (Adjusted R Squared = .958) R Squared = .918 (Adjusted R Squared = .883)

133

Lampiran 10b. Uji lanjut Duncan pada paremeter yang berbeda nyata, yaitu parameter KPAP lima mie basah jagung
Duncan Subset Sampel Jaya Prima Bisi 16 Nusantara 1 NT 10 Sig. N 8 8 8 8 8 .074 1 5.075 5.113 5.125 7.500 7.500 8.075 .637 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 5.801. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c Alpha = .05.

Lampiran 10c. Uji lanjut Duncan pada paremeter yang berbeda nyata, yaitu parameter warna lima mie basah jagung
Duncan Subset Sampel NT 10 Nusantara 1 Jaya Prima Bisi 16 Sig. N 8 8 8 8 8 1 3.000 2 7.838 8.413 8.650 12.563 3

1.000 .636 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 10.165. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c Alpha = .05.

134

Lampiran 11a. Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap KPAP Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor_KPAP Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 7486.039(a) 772.460 70.891 563.721 8049.760 Df 34 29 4 116 150 Mean Square 220.178 26.637 17.723 4.860 F 45.307 5.481 3.647 Sig. .000 .000 .008

a R Squared = .930 (Adjusted R Squared = .909)

Lampiran 11b. Hasil Uji Lanjut Duncan Terhadap Tingkat Kesukaan pada Parameter KPAP Mie Basah Jagung
Duncan Subset Sampel Jaya Nusantara_1 Prima NT_10 Bisi_16 Sig. N 30 30 30 30 30 .075 1 5.547 6.490 6.627 2 6.490 6.627 6.943 7.667 .060

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4.860. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.

Lampiran 12. Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Elongasi Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor_elongasi Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 4912.504(a) 646.865 29.850 483.526 5396.030 Df 34 29 4 116 150 Mean Square 144.485 22.306 7.463 4.168 F 34.663 5.351 1.790 Sig. .000 .000 .135

a R Squared = .910 (Adjusted R Squared = .884)

135

Lampiran 13a. Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor_kekerasan Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 8552.805(a) 736.805 54.393 412.015 8964.820 Df 34 29 4 116 150 Mean Square 251.553 25.407 13.598 3.552 F 70.823 7.153 3.829 Sig. .000 .000 .006

a R Squared = .954 (Adjusted R Squared = .941)

Lampiran 13b. Hasil Uji Duncan Terhadap Tingkat Kesukaan pada Parameter Kekerasan Mie Basah Jagung
Duncan Subset Sampel Prima Nusantara_1 Bisi_16 Jaya NT_10 Sig. N 30 30 30 30 30 .072 1 6.327 7.030 7.117 7.290 7.290 8.203 .063 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.552. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.

Lampiran 14. Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Kelengketan Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor_kelengketan Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 10027.465(a) 781.603 5.627 492.745 Df 34 29 4 116 Mean Square 294.925 26.952 1.407 4.248 F 69.430 6.345 .331 Sig. .000 .000 .857

10520.210 150 a R Squared = .953 (Adjusted R Squared = .939)

136

Lampiran 15a. Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Kecerahan Warna Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor_warna Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 10885.967(a) 411.794 72.501 479.343 11365.310 Df 34 29 4 116 150 Mean Square 320.175 14.200 18.125 4.132 F 77.482 3.436 4.386 Sig. .000 .000 .002

a R Squared = .958 (Adjusted R Squared = .945)

Lampiran 15b. Hasil uji lanjut Duncan terhadap Tingkat Kesukaan Kecerahan Warna pada Mie Basah Jagung
Duncan Subset Sampel NT_10 Nusantara_1 Prima Bisi_16 Jaya Sig. N 30 30 30 30 30 1 7.037 8.213 8.590 8.807 8.990 2

1.000 .182 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4.132. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.

Lampiran 16. Hasil Sidik Ragam Tingkat Kesukaan terhadap Penerimaan Keseluruhan Mie Basah Jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor_overall Source Model Panelis Sampel Error Total Type III Sum of Squares 9851.547(a) 381.518 15.077 609.363 Df 34 29 4 116 Mean Square 289.751 13.156 3.769 5.253 F 55.158 2.504 .718 Sig. .000 .000 .582

10460.910 150 a R Squared = .942 (Adjusted R Squared = .925)

137

Lampiran 17. Rekapitulasi sifat tepung dan mie basah jagung yang dihasilkan Varietas Jagung Sifat yang diamati Bisi Nusantara NT 10 Jaya Prima 16 I Sifat Tepung Jagung pH 5.80 5.96 5.29 5.76 5.48 L 84.68 84.35 85.17 84.41 84.53 a Warna -1.90 -0.71 -0.71 -1.82 -1.67 b 25.53 31.19 27.57 28.26 29.14 Kadar air (%bb) 6.15 9.53 8.25 8.19 5.25 Kadar abu (%bb) 0.39 0.23 0.45 0.58 0.60 Kadar lemak (%bb) 1.52 0.53 2.18 2.90 2.60 Kadar protein (%bb) 7.83 5.46 7.10 8.05 7.63 Kadar karbohidrat (%bb) 84.11 84.25 82.02 83.22 80.98 Kadar pati (%bb) 76.39 75.57 76.28 81.10 76.84 Kadar amilosa (%bb) 24.16 29.80 23.94 21.53 22.31 Kadar amilopektin (%bb) 52.23 45.77 52.34 59.57 54.53 Suhu awal gelatinisasi 70.50 72.00 72.00 72.75 73.50 (oC) Waktu awal gelatinisasi 27.00 28.00 28.50 28.50 29.00 (menit) Viskositas maksimum 510.00 410.00 357.50 475.00 462.50 (BU) Suhu puncak 84.38 90.50 83.25 81.00 83.25 gelatinisasi(oC) Viskositas saat 95 oC 347.50 357.50 345.00 430.00 432.50 Sifat (BU) amilografi Viskositas setelah holding 270.00 305.00 325.00 370.00 370.00 95 oC (BU) Viskositas saat 50 oC 477.50 540.00 480.00 550.00 510.00 (BU) Viskositas setelah holding 560.00 650.00 550.00 610.00 580.00 50 oC (BU) Breakdown viscosity BU) 32.50 105.00 92.50 240.00 105.00 Stabilitas panas (BU) 77.50 52.50 20.00 60.00 62.50 Setback viscosity (BU) 212.50 292.50 205.00 180.00 147.50 1.63 1.59 1.56 1.44 1.51 Daya absorbsi air 10.09 10.26 6.76 7.46 9.44 Kelarutan (%) 10.73 9.05 10.48 9.47 9.18 Swelling volume (ml/g) bk

138

Lampiran 17. Rekapitulasi sifat tepung dan mie basah jagung yang dihasilkan (Lanjutan) Varietas Jagung Sifat yang diamati Bisi Nusantara NT 10 Jaya Prima 16 I Sifat fisik mie basah jagung secara objektif 5.56 6.70 4.67 8.61 8.90 KPAP (%) Celup 116.23 98.78 105.09 104.25 105.32 Elongasi (%) Rendam air panas 103.80 94.64 95.17 95.72 100.22 185.00 248.88 217.13 235.63 73.25 Kekerasan (gf) L 39.18 57.09 46.20 45.85 46.29 -0.59 Warna a -0.18 1.93 0.84 0.85 b 136.03 239.28 284.01 341.23 161.3 Rata-rata tingkat kesukaan mie basah jagung 6.93 KPAP 5.83 Elongasi 8.21 Kekerasan 8.16 Kelengketan 7.04 Kecerahan warna 8.39 Penerimaan keseluruhan 7.66 5.62 7.11 7.69 8.81 8.05 6.48 4.36 7.03 7.59 8.21 7.43 5.54 4.85 7.30 7.93 8.99 7.78 6.63 5.09 6.32 7.84 8.59 8.02

Keterangan: : Nilai parameter mie yang menyebabkan mie dikatakan berpotensi diolah menjadi mie jagung

139

Вам также может понравиться