Вы находитесь на странице: 1из 10

Rico Telah Menemukan Cara Tersendiri, Menemukan Cara Tersendiri Untuk Bisa Memelukku.

Karya: Novi Hervianti Putri

Di malam-malam berikutnya, Sarah pun terus memimpikan hal yang sama. Ya. Rico de Coro. Seorang yang dalm mimpinya seperti pangeran yang amat tampan. Karena terlalu sering memimpikannya, ia pun segera mencari jawaban siapa itu Rico de Coro yang ada dalam mimpinya. Entah memang benar ada dalam nyata ataukah hanya mimpi saja. Sebenarnya, Sarah pun sadar, dulu sepertinya dia pernah menyebut nama itu. Natalia, datang. Hey, sedang apa? Kok melamun terus? Pertanyaan Natalia tak digubris sedikitpun olehnya. Tania lalu menanya lagi dengan keras. Woy! Sedang apa mikirin apa sih? Akhirnya Sarah pun menjawab pertanyaan Natalia yang dari tadi tak digubrisnya. mmm, itu, aku masih sering memimpikan pangeran itu, Rico de Coro. Aku sepertinya kenal nama itu. Tapi siapa? dengan ragu-ragu Tania menjawab. Sar, inget ga, dulu kam pernah menamai hewan-hewan yang ada dirumah ini? Dan kamu memberi salah satu Coro di rumah ini Rico. Ya, Rico de Coro. Sarah akhirnya ingat. Tapi, apa hubungannya pangeran, coro sama aku. Sarah tak mengerti. Sarah pun lulus dari SMA nya. Ia mendaftar kuliah di sebuah Fakultas Ilmu Bahasa di sebuah universitas ternama. Ia biasa menggunakan Busway saat akan ke kampusnya. Saat sedang menunggu kendaraan, ia bertemu teman lamanya. Namanya Riko. Hey Sarah Awalnya Sarah tak tau siapa pemuda tampan yang duduk di sebelahnya. Ia, maaf anda siapa. Riko menjawab saya Riko, teman SD mu dulu, kita pernah satu kelas. Oh, ya aku inget. Akhirnya Sarah pun tau siapa laki-laki yang duduk disampingya. Ya. Riko. Cowo yang dulu pernah ditaksirnya saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Konyol memang. Dulu ayah Sarah dan ayah Riko mempunyai relasi bisnis. Eh, ngomong-ngomong, ko kamu bisa tau kakamu aku Sarah? Mukaku ngga berubah? Rico tersenyum. Mukanya masih mirip. Hahaha ih,, kamu yang berubah banget. Rico melanjutkan pembicaraannya. Eh, kamu sekarang kuliah dimana? Aku ambil FIB di UI, kamu sendiri? Oh ya, aku juga di UI. Aku di FK, ko ngga pernah ketemu ya?

mungkin belum ditadirkan ketemu, ahahhaha. Bus yang ditunggu mereka berdua pun datang. Mereka berangkat bersama-sama. Semenjak itu, mereka jadi sering bersama. Riko mengajak Sarah untuk pulang bersama. Kebetulan Riko sedang membawa mobil. Hay Sar, udah selesai kelasnya? Pulang bareng mau ngga? Kebetulan aku lagi mbawa mobil. Sarah menyeletuk. cieh, tumben bawa mobil. mobil baru ceritanya? Engga, cuma dipinjemin Ayahku, tadi disuruh mbawa aja, mau pulang bareng ngga nih? Kakamu ngga mau aku ngajak cewe lain juga ngga papa.. hahaha. Sari menyeletuk lagi. Emang ada yang mau? ye,, mulai nih anak. Riko menjitak kepala Sarah. Ayo, jadi ngga? oke, mampir ke cafe Daun ya, aku laper nih oke Mereka berdua menuju ke cafe didekat campusnya. Itulah tempat faforit mereka saat makan siang. Biasanya mereka memesan satu porsi Omelet dan sebuah Milkshake Strawbery. Riko, kamu diudang dinner bareng sama Mamah dan Papahku. Katanya dia kepingin ketemu kamu. Bisa kan? oke, insyaalah, jam berapa? jam 7 ya. iya.. Selesai makan Riko mengantar Sarah pulang kerumah. Dengan senyum manisnya Riko berkata. Sampai ketemu di Dinner ya! Sarah hanya membalasnya dengan senyuman manis sambil melambaikan tangan.

***

Riko pun datang ke rumah Sarah dengan memakai hem berwarna krem dan celana jeans hitam. Setelah makan mereka mengobrol-ngobrol kecil. Kita lama ngga ketemu ya, Kata sarah kamu satu sekolah Riko? Hahaha, Iya om Ambil fakultas apa? Aku di FK Wah, calon dokter ini. Riko hanya tersenyum sambil melirik ke arah Sarah. Karena terlalu asyik tak terasa hari pun sudah larut malam. Sarah mengantarkan Riko sampai ke gerbang depan. Seperti biasa Sarah memberikan lambaian tangan dan senyum manisnya.

*** Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Mereka berdua saling berjalan beriringan. Sarah menyelesaikan Kuliahnya selama 5 tahun sedangkan Riko 6 tahun. Sarah pun akhirnya mau mengkui pada dirinya sendiri bahwa suka pada sosok yang selama ini selalu menemaninya. Ya, Riko.Namun, Sarah tak bisa melakukan apapun, Riko kini tengah bersama dengan wanita lain. Hujan menari-nari di luar, suaranya terdengar parau namun bersemangat. Udara dingin sudah sejak tadi menyergap tubuhnya, selimut yang menghangatkan tak terlalu berhasil mengusir rasa dingin. Kadang, gemuruh petir bersahutan, aku menggerakan telapak tangan untuk menutupi telinga agar suara guntur tak terlalu mengagetkan. Lampu kamar dibiarkan menyala, Sarah masih sibuk membaca buku untuk mengusir rasa kesepian. Malam-malam begini, ditambah lagi dengan hujan, dan orang tuanya yang sedang sibuk dengan bisnisnya diluar negeri. Sarah selalu merasa sendirian. Sarah curiga pada malam yang selalu mengundang rasa asing bernama kesunyian. Entah mengapa malam masih saja menjadi sebab utama munculnya kegalauan seseorang. Tak banyak suara yang didengar, hanya detak jarum jam dan derasnya hujan yang terdengar semakin deras. Fokusnya terbagi untuk buku yang berada dalam genggaman jemari, buku itu sudah berkali-kali dibacanya, ia hampir hapal setiap diksi yang berada di beberapa paragraf. Tidak. Ia tidak bosan membaca buku itu, buku yang diberikan oleh seseorang yang sangat spesial, dihari ulangtahunnya yang ke-23 dulu. Saat malam semakin mengenjang, dan matanya mulai redup. Sarah meletakkan buku di samping tempat tidur, lalu segera berjalan mendekati sekring lampu. Lampu padam. Ia siap terlelap. Mencoba untuk terpejam dengan cepat, namun gagal. Langit-langit kamar yang terlihat samar-samar seperti membuat gambar yang begitu mudah kukenali. Ia memikirkan sosok itu lagi, sosok yang begitu spesial dalam mata dan hati, sosok yang namanya selalu ada dalam doanya. Ia mencoba terpejam lagi, hingga satu suara menggoncangkan detak jantung. Suara ketukan yang sangat keras, ia mengira hanya halusinasi, tapi setelah didiamkan lebih lama, suara itu malah semakin besar dan terdengar jelas. Sarah tak enak hati, dihempaskannya selimut dan segera bangun dari tempat tidur, langkahnya mantap saat ingin membuka pintu kamar. Suara ketukan terdengar lebih keras ketika aku berjalan mendekati ruang tamu. Tangannya gemetaran memegang gagang pintu. Pintu terbuka. Seseorang dengan tubuh basah kuyub menatapnya dengan tatapan nanar. *** Air mandinya tadi hangat enggak? tanya Sarah dengan nada datar sambil membawakan dia segelas coklat panas.

Ia segera meraih cangkir yang belum kuletakkan di meja, tak sabar menyeruput minuman hangat yang kubuat beberapa menit yang lalu. Thanks, Sarah. Sorry kalau aku ngerepotin kamu. Enggak apa-apa, santai aja sama aku. Mata sedih yang penuh dengan tanya tak mampu ia sembunyikan, Riko segera meminum coklat panas yang ada di cangkirnya. Sweater dan selimut yang Sarah berikan sehabis Riko mandi nampaknya tak terlalu menokamungnya dari rasa dingin. Sarah tak menatapnya

terlalu lama, membiarkan emosinya tenang sebelum aku bertanya dan mengintrogasinya dengan banyak pertanyaan. Habis darimana? Dari rumah Rana. Sarah menghela napas, mempersiapkan diri untuk mendengar berita selanjutnya, Lantas, kenapa enggak langsung pulang ke rumah ? Tadi, ada masalah sedikit. Kan aku sama om dan tente suruh nemenin kamu juga. oh iya.. Masalah apa? Riko terdiam dan memalingkan wajahnya dari tatapan Sarah. Ketika menyadari pertanyaan Sarah kembali mengaduk-aduk emosinya, Sarah memberi jeda waktu beberapa detik, dan menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan permasalahan yang terjadi. Tadi, ketika sampai di rumah Rana, aku lihat ada mobil di terasnya, aku kira mobil temannya. Makanya aku nyantai aja masuk langsung ke rumahnya. jelas Riko dengan napas terengah-engah, ia masih berusaha menceritakan kronokamugis kejadiannya. Tapi, sewaktu di ruang tamu, aku lihat Rana lagi sama cowok lain. Mesra banget. Terus? Aku langsung meninggalkan rumahnya, ngebanting pintu rumahnya. Dia sadar dan minta maaf sama kamu? Enggak, dia bahkan enggak engejar aku. Telepon aku enggak diangkat sama dia juga. Daridulu aku bilang juga apa, itu cewek jalang banget. Dia berubah karena lingkungan, Dira. Aku percaya Rana masih anak yang baik-baik. kamu masih mau percaya ketika rasa percaya kamu dihancurkan berkali-kali? Iya, aku masih percaya, aku sayang sama dia. Ini bukan yang pertama kalinya, ini udah lebih dari satu kali, Riko! Aku bakal selalu memaafkan dia, wujud cinta adalah memaafkan bukan? Bodoh! kamu bisa bilang gitu karena kamu enggak ngerasain apa yang aku rasa. Aku emang enggak ngerasain apa yang kamu rasakan, tapi setidaknya aku enggak sebodoh kamu yang selalu percaya sama orang yang seharusnya enggak dapet kepercayaan dari ekamu. Kok kamu jadi keras gini sih, Rah?

Sarah menatap Riko dengan tatapan serius. Ini semua demi kebaikan kamu. Tapi, kebahagiaan aku tergantung pada Rana. Itu pemikiran bodoh namanya, ada banyak orang di dunia ini, kenapa satu orang saja harus bikin kamu sedih dan enggak bahagia terus-terusan?" Riko terdiam, ia mengganti posisi duduk, membelakangi Srah. Hanya punggungnya saja yang terlihat, telapak tangannya berada di wajah, berusaha menyembunyikan air mata. Sarah berhenti menatapnya, agar tidak ikut sedih dan menangis. Sarah sungguh ingin menenangkan emosinya, mendekapnya, memeluknya, lalu menghapus air matanya dengan jemarinya sendiri. Tapi, Sarah terlalu dangkal dan terlalu pengecut untuk itu. Sarah merasa bahwa Sarah hanya temannya, tempat Riko melabuhkan segala kesepian ketika ia bertengkar dengan kekasihnya. Sarah tak berhak meminta lebih. Dia datang hanya saat butuh, hanya saat ia sedang sedih dan butuh teman berbagi, tapi itu lebih baik daripada ia tak datang dan benar-benar melupakan. Harusnya, Sarah tak sekeras ini padanya, juga tak sekeras ini pada dirinya sendiri. Semua jadi begitu rumit ketika Sarah mulai mencintainya, dan lebih pelik lagi ketika tahu, ia sama sekali tidak merasakan apa yang Sarah rasakan. Riko memberikan hatinya pada seorang wanita yang tidak benar-benar mencintainya, Sarah tak bisa berbuat banyak, karena senyum Riko sangat tergantung pada wanita itu, wanita itu seperti mesin pengolah emosi yang menjadi tumpuan Riko saat menajalani hari-harinya. Sarah semakin menyalahkan dirinya sendiri. Siapakah Sarah di mata Riko? Sarah hanyalah pelarian tempat ia selalu membuang air mata dan kesedihannya. Sarah adalah boneka yang dipungut kembali, lalu dihempaskan lagi ketika ada yang baru dan lebih menarik. Sarah tak lebih dari wanita yang rela menyediakan waktu untuk seseorang yang bahkan tak menganggapku ada. Harapan Sarah terlalu besar, bahkan Sarah yang benar-benar mencintainya sama sekali tak terlihat oleh mata dan hatinya. Menyakitkan rasanya jika tak bisa membantu seseorang yang dicintai hanya karena dia bukanlah kekasihmu, dan kamu merasa tak berhak untuk bertindak lebih jauh. Menyakitkan rasanya jika kamu tak berani memeluk seseorang, hanya karena merasa kekasihnya bisa memberikan pelukan yang lebih hangat dari pelukmu. Semua rasa sakit semakin bertambah, tapi perhatian dan perasaan sayang padanya juga semakin bertambah, semakin kuat dan semakin dalam. Sarah mencintainya sementara Riko belum bisa berhenti mencintai kekasihnya. Sarah tak bisa memaksanya, karena cinta tak akan hadir jika karena paksaan. Air matanya adalah masalah besar bagi Sarah. Dan, Sarah tak pernah suka melihat seseorang yang dicintainya dibuat menangis seperti ini. ***

Sarah membuka pintu kamar tamu dengan pelan-pelan, kemudian segera menutupnya ketika tubuhnya sudah berada di kamar tamu.Sarah berjalan mendekati ranjang yang ditiduri Riko, ia masih pulas dengan tidurnya yang nyeyak, namun napasnya terkesan sesak. Sarah masih memerhatikan wajahnya yang terlihat manis saat tidur. Wajah itu begitu lugu, membuat sarah yang melihatnya ingin langsung memeluknya, tapi Sarah tak berani dan masih menahan diri. Selimut yang terjatuh hingga ke lantai langsung saja Sarah ia pungut dan diletakkan di atas tubuhnya. Ia mendengus pelan, napasnya sangat hangat, pipinya memerah. Tanpa pikir panjang, telapak tangann Sarah menyentuh keningnya. Demam. Mata Sarah terbelalak, Sarah segera berhambur keluar dari ruang tamu dan berlari ke dapur. Jemarinya bergetaran ketika mengambil bumbu dan bahan untuk membuat bubur. Sarah panik luar biasa, beberapa menit setelahnya ia mulai tenang. Mencoba menghela napas yang terengah-engah, Sarah mengintip lewat jendela dapur, hari sudah terang. Sarah buru-buru menyelesaikan bubur yang dibuatnya, membuat susu hangat dan meletakkan di meja makan. Dengan langkah panik, Sarah segera masuk ke kamar tamu dan mematikan AC. Riko masih tertidur dengan dengusan napas yang berat, tanpa menyentuhnya, iz tahu demamnya pasti mulai naik. Sarah ingin memeluknya, menyentuhnya, membangunkannya, atau menghangatkan tubuhnya agar ia tak merasa kedinginan. Tapi, sekali lagi, ia takut. Bodoh. Tak sempat, aku terburu-buru. Begitu saja ia tinggalkan Riko sendirian; berharap bubur dan susu yang kuletakkan di meja makan tak segera dingin. Sarah berharap Riko baik-baik saja, dan semoga saja demamnya segera turun. Dirogoh tasnya dengan tergesa-gesa, secara cepat kuncil mobil sudah berada dalam genggamanku. Bagasi mobil kubuka dengan kasar, kumasuki mobil dengan langkah kecil namun teratur. Mobil melaju dengan cepat, meninggalkan rumahku juga Riko di kamar tamu. Selama di perjalanan, hanya bayangan Riko yang bekejaran. Untuknya, perhatianya tak pernah habis. *** Riko... sapaku di ujung telepon. Lagi apa? Riko mendengus pelan, Tiduran, kepala aku pusing banget. Masih di rumah aku? Atau udah di rumah kamu? Di rumah kamu, aku belum kuat buat bangun. Bubur yang di meja makan... Oh, udah aku makan. Enak? Banget, makasih ya, Dira. ucap Riko dengan suara yang terdengar mulai hangat. Kenapa kamu sebaik ini sama aku? Sarah terdiam beberapa detik. Karena aku punya perasaan yang dalam terhadapmu, Riko. Bisiknya dalam hati. Kok kamu diem, Sar?

Enggak, enggak apa-apa kok. Kamu lagi di mana? Aku terdiam lagi, Aku masih di kantor. Di kantor? Iya, aku di kantor. sengaja tak terbata-bata, agar ia tak tahu, aku berbohong. Pulang jam berapa? Ini udah malem lho. Riko merenggut. Enggak lama kok. Beneran? Iya. Klik. Sambungan telepon segera kuputus. Beberapa hari setelah itu. Riko putus bersama pacaarnya, Rana. Riko memergoki Rana sedang bersama lelaki lain dan Rana lebih memilih lekaki itu dibandingkan Riko. *** Memang Sarah tak percaya, ketika menatap sosok yang ada di depan cermin. Sosok itu hanya kulihat saat acara-acara pernikahan dan beberapa acara besar yang penting. Begitu berbeda, begitu sempurna. Dengan balutan gaun putih, rambut ikal yang dibiarkan menjuntai rapi, polesan bibir yang tidak terlalu tebal, juga mata yang terlihat bersinar. Sarah tak percaya, sosok di cermin itu adalah dirinya. Dapatkah cermin berbohong? Tatapan Sarah melirik tajam ke arah jam, belum terdengar suara klakson mobil Riko. Tiba-tiba handphone-ku bergetar, dan nama Riko tertera di layarnya. Kamu lama amat! cetusnya dengan suara kesal. Belum sempat kusapa, dia sudah menyemburku dengan tiga kata yang terdengar menyebalkan, Ini aku udah mau keluar. Ah, lama ! Sambungan telepon terputus, tak ingin mengecewakan Riko, aku segera berlari menuruni tangga dan segera memilih alas kaki yang akan kugunakan. Ketika terdengar suara ketukan pintu, Sarah bergegas memilih yang harus dipakai, lalu membukakan pintu untuk seseorang di luar. Ketika pintu kubuka, tampak Riko membelakangi Sarah, hanya punggungnya yang terlihat. Cepatan dong, Sarr.... ia menoleh ke arah Sarah, dan tak melanjutkan kalimatnya. Sarah tersenyum ramah, Yuk, gue udah siap kok. Kamu.... Aku kenapa? Cantik banget. Jantung nya langsung berdebar tak karuan. Sarah tak menjawab pujiannya, masih dengan tindakan yang salah tingkah, aku langsung mengunci pintu rumah dan berjalan menuju mobilnya. Ia mengikuti Sarah dari belakang, tak banyak bicara.

Mobil membelah malam yang remang dan sunyi. Tak banyak Kopaja yang terlihat berhenti di tengah jalan. Mereka tak merancang percakapan, anehnya Riko yang kadang cerewet itu juga tak bicara banyak. Diam-diam Sarah menatap wajahnya, dan seperti ada sesuatu yang aneh dari raut mukanya. Sarah berpikir keras untuk mengalihkan perhatian Riko. Di ujung jalan ada lampu merah, Sarah mempersiapkan diri, dan semoga usahaku tak gagal. Jelas saja, mobilnya terhenti dan detik yang tertera pada papan lampu merah masih tertulis enampuluhenam detik. Tanpa banyak menunggu, Sarah mendekatkan bibirnya ke telinganya, berbisik pelan dengan sedikit berdesah, Kamu suka kalau aku dandan kayak gini? Riko tetaplah Riko, semanja dan secengeng apapun, dia tetaplah pria. Tatapan nakalnya langsung menyambarku, Cantik banget, Dira. Mereka saling bertatapan, bibir Sarah dan bibirnya tak terlalu berjarak. Ia mendekat, dan ketika perhatiannya teralihkan, jemariku segera merogoh saku celananya. Handphone-nya sudah berada di tangan Sarah dan suara klakson kendaraan lain mengakhiri suasana yang hampir romantis itu. Senyum Sarah terlihat puas. Tak lama lagi pukul sepuluh malam, cafe itu hampir dekat. Semakin dekat. Semakin dekat. Setelah mobil selesai diparkir oleh Riko, Sarah dan Riko segera menuruni mobil.

Ada detik yang Sarah manfaatkan untuk kembali menyentuh ponsel milik Riko, sebelum dekat dengan pintu masuk, Sarah berjalan dibelakangnya dan memencet dengan cepat tombol ponselnya. Send to: Rana Sayang, aku ada di Cafe Daun. Siapa itu pria di dekatmu? Teman barumu?

Memasuki pintu masuk, Sarah lancang menggenggam tangan Riko. Kukira dia akan menghempaskan jemari Sarah, nyatanya tidak. Ia malah menggenggamnya lebih erat. Riko terus ia ajak bicara, agar ia tak mengalihkan perhatian pada pengunjung cafe. Riko diarahkan duduk di meja yang Sarah pilih, tanpa banyak basa-basi mereka segera memasan makanan ringan dan minuman bersoda. Kami duduk menunggu, berbicara dengan tatapan yang sangat dalam. Belum pernah Sarah melewati malam sebahagia ini. Bersama Riko. Seseorang yang telah lama ia perjuangkan. Pembicaraan mereka santai saja, karena bukan pokok pembicaraanlah yang penting. Ada hal yang lebih penting daripada sekadar topik pembicaraan, yaitu cara Riko menatap mata Sarah. Ia tak mengalihkan pandangannya, tatapannya benar-benar hanya untuk Sarah, dan cara dia menatap Sarah kala ini berbeda. Dirasakannya lembutnya detik mengunci peristiwa kala ini, Sarah sangat ingin waktu terhenti, dan hanya terus begini. Dengan Riko. Sampai kapanpun.

Sementara Sarah dan Riko bahagia, ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik mereka. Rana, yang duduk bersama pria yang sama, tak melepaskan Sarah dan Riko sebagai pusat pandangannya. Sarah melirik ke arah Rana beberapa detik, wajahnya kusut terlipat, pria yang sekarang bersamanya tak digubris sama sekali. Sekarang, Rana merasakan apa yang dirasakan Riko. Rasa sakit. Detik itu adalah bahagia yang sesungguhnya, lampu cafe mulai meredup, suara musik mulai mengalun damai. Riko masih menatap mata Sarah, dan Sarah masih menatap matanya, namun pengganggu terus saja ada. Ponsel Riko yang masih berada di tangan Sarah tiba-tiba bergetar hebat, Sarah melirik acuh tak acuh, nama Rana tertoreh jelas di layar handphone. Langsung saja ia tekan tombol reject, terputus. Senyum di bibir Sarah tak tergerus. Suasana semakin meremang, penyanyi wanita yang sama telah mengucapkan sebaris lirik lagu Selamanya Cinta.Sarah menarik lembut lengan Riko dan berjalan pelan ke dekat panggung. Riko kebingungan menatapku, tak mengerti yang Sarah maksud. Sarah mendiamkan rasa bingungnya, Riko menatap Sarah lalu menatap pasangan lain yang sudah mulai saling berpeluk mesra. Matanya berbinar, langkahnya mendekat. Ia melingkarkan lengannya di pinggul Sarah, Sarah melingkarkan lenganya di bahunya. Riko memeluknya dengan lengannya sendiri. Dengusan napas Riko terasa hangat menyentuh pipiku, mempercepat detak jantungku. Tubuh kami masih melekat, aku dan dia masih tenggelam dalam suasana. Siapa yang lebih cantik, aku atau Rana? bisik Sarah lembut, sedikit menyentuh daun telinganya. Ia sedikit bergerak, merasa geli, Kamu lebih cantik, Dira. Sarah tersenyum lebar, Siapa yang lebih kaucintai, aku atau Rana? Riko tak langsung menjawab, ia melepaskan peluknya dan langsung menatap Sarah dengan tatapan berbeda. Wajahnya yang hangat tetap terlihat walau dalam keremangan. Aku lebih mencintai kamu daripada Rana. Sekali lagi, aku terjatuh dalam peluk hangat Riko. Dan, Selamanya Cinta masih mengalun pelan. Andaikan kudapat mengungkapkan, perasaanku. Hingga membuat kaupercaya. Waktu pun sudah terlalu larut malam. Riko mengantar Sarah pulang. Seperti biasa Sarah memberikan senyum manis dan lambaian tangannya. Rico yang dulu telah mati kini kembali ke dalam mimpi Sarah. Ia datang kembali. Rico telah bahagia di alam yang berbeda. Rico telah mengirimkan Riko ke dunia Sarah. Rico berkata Aku masih mencintaimu Sarah, namun, berbahagialah kamu dengan Riko di sana, aku senang kamu bersamanya. Aku mencintaimu Sarah, aku akan selalu memelukmu. Begitulah pesan terakhir yang disampaikan Rico. Rico yang mengrimkan Riko untuk selalu menemani dan melindungi Sarah. Sama seperti Rico yang dulu juga selalu melindungi Sarah. Rico telah menemukan cara tersendiri, menemukan cara tersendiri untuk bisa memelukku.

Вам также может понравиться