Вы находитесь на странице: 1из 27

CASE REPORT SESSION (CRS) RETENSIO URIN E.

C BPH
Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Anestesi Disusun oleh: M. Arief Budiman Fiqih Firdaus Budiman Partisipan : Aswin Rinaldi Gautama Karima Yudhistina Sherly Rahma P. M. Eros Dzulfikar Mery Susanti 12100111017 12100111043 12100111041 12100111039 12100111073 12100111063 12100111053

Preseptor: Indrianto, dr., Sp.An KIC

SMF ANESTESI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG RSUD AL IHSAN BANDUNG 2012

BAB I STATUS PASIEN

1.1.

IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Tgl Masuk RS Tgl Pemeriksaan : Tn.U : laki-laki : 66 tahun : Bale Endah : 14 Maret 2012 : 16 Maret 2012

1.2.

ANAMNESIS (Heteroanamnesa) Keluhan Utama: Tidak bisa buang air kecil Anamnesis Khusus: Keluhan dirasakan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan

terjadi secara berangsur-angsur. Awalnya pasien merasakan sulit buang air kecil yang semakin hari semakin memburuk sampai akhirnya tidak bisa buang air kecil sama sekali. Keluhan diawali dengan pasien selalu ingin buang air kecil, tidak dapat menahan rasa untuk buang air kecil, dan harus selalu terbangun pada malam hari untuk buang air kecil. Keluhan muncul secara berangsur-angsur, semakin lama semakin meningkat keluhannya. Keluhan juga disertai dengan pasien harus selalu mengedan pada saat buang air kecil, menunggu lama pada saat akan buang air

kecil. Pasien juga merasakan apabila setelah buang air kecil selalu kurang puas. Keluhan ini dirasakan 1 bulan sebelum keluhan utama muncul. Pasien menyangkal adanya keluhan nyeri pada daerah pinggang, panas badan, nyeri seperti terbakar pada saat buang air kecil, air kencing berdarah, trauma pada daerah perut ataupun pada daerah panggul dan penurunan berat badan yang drastis. Keluhan tidak disertai dengan adanya pembengkakan di tubuh dan sesak nafas. Keluhan sebelumnya sudah pernah diobati ke dokter, kemudian diberikan obat dan dipasang kateter. Pasien rutin memasang urin kateter, kira-kira sudah sampai 20x ganti urin kateter. Pasien tidak mempunyai riwayat tekanan darah tinggi dan penyakit gula. Pasien mempunyai riwayat merokok sejak duduk di bangku SD. Kakak pasien mempunyai keluhan yang sama. 1.3. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Kesadaran Tanda-tanda Vital Nadi Respirasi Suhu Tekanan darah : 72x/menit, regular, equal, isi cukup : 24x/menit : 37,1 C : 150/80 : Sakit sedang : Compos mentis

Pemeriksaan Spesifik 1. Kulit 2. Otot 3. Tulang 4. Sendi 5. Kepala Bentuk Rambut Wajah Mata : Simetris : Hitam, halus, tidak mudah rapuh : Simetris, flushing (-) : Simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, : sianosis (-), jaundice (-), ptekiae (-). : Atrofi (-), hipertrofi (-) : Deformitas (-), gibbus (-) : Pembengkakan (-)

konjungtivitis flektinularis (-/-) Pupil Hidung Telinga Mulut hygine baik Tonsil : T1-T1, tenang Faring : Tidak hiperemis : Bulat, isokor, refleks cahaya +/+ : Simetris, epistaksis -/-, sekret -/-, PCH(-) : Simetris, sekret -/-, membran timpani intak : mukosa mulut tidak hiperemis, perioral sianosis (-),oral

6. Leher KGB Kelenjar Tiroid JVP : Tidak ada pembesaran KGB : Tidak ada pembesaran : Tidak mengalami peningkatan

Retraksi suprasternal (-)

7. Thorax Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi intercostal (-) : Pergerakan simetris : Sonor : VBS kanan = kiri, wheezing -/-, crackles -/-

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Iktus kordis tidak tampak : Iktus kordis teraba di ICS IV LMCS : Tidak ada pembesaran jantung : S1-S2 murni reguler, murmur (-)

8. Abdomen Inspeksi: Datar, Massa abdomen (-), retraksi epigastrium (-) Palpasi: Lembut, NT (-) pada daerah epigastrik, ketok CVA (-), massa (-), Hepar dan lien tidak teraba pembesaran, Ballotement ginjal tidak teraba pembesaran, bladder membesar. Perkusi: Tympani, Pekak samping (-), pekak pindah (-) Auskultasi: BU (+), normal

9. Ekstremitas Atas Edema -/Sianosis (-) Deformitas (-) Akral hangat Ptekhie (-) Capillary refill < 2 detik Bantalan tangan tidak pucat 10. Anogenital Tidak ada kelainan (TAK) 1.4. DIAGNOSIS BANDING Retensio urin e.c BPH Retensio urin e.c kanker prostat Retensio urin e.c urolithiasis 1.5. 1.6. USULAN PEMERIKSAAN Laboratorium darah Foto abdomen Foto BNO Kadar PSA Urin rutin Tes fungsi ginjal HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG Bawah Edema -/Sianosis (-) Deformitas (-) Akral Hangat Ptekhie (-) Capillary refill < 2 detik Bantalan kaki tidak pucat

1. Laboratorium Darah Hb Leukosit Eritrosit Ht Trombosit 2. Kimia Klinik SGOT SGPT Ureum Kreatinin 3. Foto Thorax Pulmonum Rongenologik tidak tampak KP aktif atau kelainan pulmo lain Cor : Tidak membesar 4. Foto Abdomen Ginjal kanan dengan massa kistik di pole bawah. Tidak tampak batu ataupun massa. Ginjal kiri normal. Bladder dindingnya tebal. Volume prostat 105,50 ml dan mendesak dinding bladder sejauh 2,25 cm. Kesimpulan: kista simpleks pole bawah ginjal kanan chronic dengan BPH = 26 = 27 = 26 = 1,3 = 11,5 gr/dl = 7.100sel/mm3 = 3,89 sel/mm3 = 32,2 gr% = 266.000 sel/mm3

1.7.

RESUME KASUS

Identitas Tn. U, usia 66 th Keluhan Utama Tidak bisa buang air kecil Anamnesa (heteroanamnesa) Keluhan utama tidak bisa buang air kecil dirasakan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan terjadi secara berangsur-angsur. Awalnya pasien merasakan sulit buang air kecil yang semakin hari semakin memburuk sampai akhirnya tidak bisa buang air kecil sama sekali. Keluhan diawali dengan pasien selalu ingin buang air kecil, tidak dapat menahan rasa untuk buang air kecil (urgency), dan harus selalu terbangun pada malam hari untuk buang air kecil (nocturia). Keluhan muncul secara berangsurangsur, semakin lama semakin meningkat keluhannya. Keluhan juga disertai dengan pasien harus selalu mengedan pada saat buang air kecil, menunggu lama pada saat akan buang air kecil. Pasien juga merasakan apabila setelah buang air kecil selalu kurang puas. Keluhan ini dirasakan 1 bulan sebelum keluhan utama muncul. Riwayat Pasien mempunyai riwayat merokok sejak duduk di bangku SD. Kakak pasien mempunyai keluhan yang sama.

Pemeriksaan RR : 24 x/menit S : 37,1

BP : 150/70 HR : 24x/menit Abdomen : Pembesaran bladder Foto abdomen : Ginjal kanan dengan massa kistik di pole bawah. Tidak tampak batu ataupun massa. Ginjal kiri normal. Bladder dindingnya tebal. Volume prostat 105,50 ml dan mendesak dinding bladder sejauh 2,25 cm. Kesimpulan: kista simpleks pole bawah ginjal kanan chronic dengan BPH

1.8.

DIAGNOSIS KERJA Retensio urin e.c BPH

1.9.

USULAN PENATALAKSANAAN Operasi TURP

1.10.

PERAWATAN PERIOPERATIF

Diagnosis Pre-Op : Retensio urin e.c BPH Jenis Operasi : TURP + sitoscopy

1.11.

Planning Pembedahan TURP+sitoscopy Risiko Pembedahan

10

ASA II Manajemen Operasi Tanggal Operasi Persiapan Operasi Diagnosis Prabedah Jenis Pembedahan Metode anesthesi Premedikasi Induksi Pengaturan Nafas Posisi penderita Medikasi: - N20-O2 : 1:2 - Buvanest 2cc - Pethidine 50 mg - Kalnex 5cc - Dicynone 2cc - Vitamin c 1cc - Phytomenadione 1cc - Ketrobat 2 Amp - Progestin sup - Metergin - Furosemide 2cc - Cendantron 2cc Cairan - Kristaloid : Ringer Lactate 2 labu
20.30 165 20.45 139 21.00 136 21.15 123 21.30 110 21.45 119

: 16 Maret 2012 jam 20.30 WIB : Puasa dari 16 Maret 2012 jam 07.00 : Retensio urin e.c BPH : TURP+sitoscopy : Regional : Tidak dilakukan : Buvanest : Kanul O2 : Litotomy

Sistol

11

Diastole MAP PR SPO2

92 119 83 97

75 99 80 97

73 98 73 96

68 89 64 98

60 76 59 97

65 89 62 98

Diagnosis Pasca bedah : Retensio urine e.c BPH Lama Operasi : 75 menit Instruksi Pasca bedah Observasi : Aldrete Score Posisi Cairan : Terlentang : Ringer lactate 20 gtt + analgetik

Oksigen 2 liter/menit Medikasi : jika Sistol >110 mmHg berikan lasik Mulai makan setelah bising usus normal Periksa Hb post operasi. Jika Hb <10 gr/dl maka dilakukan transfusi PRC

1.12

Pembahasan

1. Mengapa pasien didiagnosa retensio urin ? Retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak dapat mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 % kapasitas kandung kemih. Diagnosis retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologis, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, serta pengukuran volume residu urin. Selain itu, fungsi berkemih diperiksa dengan alat uroflowmetry. Secara umum penanganan retensi urin diawali dengan kateterisasi. Keluhan pasien tidak bisa buang air kecil dirasakan sejak 6 bulan sebelum

12

masuk rumah sakit. Keluhan terjadi secara berangsur-angsur. Awalnya pasien merasakan sulit buang air kecil yang semakin hari semakin memburuk sampai akhirnya tidak bisa buang air kecil sama sekali. Keluhan sebelumnya sudah pernah diobati ke dokter, kemudian diberikan obat dan dipasang kateter. Pasien rutin memasang urin kateter, kira-kira sudah sampai 20x ganti urin kateter.

2. Mengapa pasien didiagnosa BPH Karena pada pasien ditemukan keluhan saluran kemih bagian bawah, yaitu : harus mengedan pada saat berkemih, menunggu lama pada permulaan berkemih, pada saat akhir berkemih belum terasa kosong, sulit menahan berkemih, dan berkemih malam hari lebih dari satu kali. Pasien berusia diatas 50 tahun, karena prevalensi BPH terjadi 50% pada usia diatas 50 tahun. Kakak pasien pernah menderita BPH, terdapat factor keturunan Pada foto abdomen diketahui volume prostat 105,50 ml dan mendesak dinding bladder sejauh 2,25 cm. Tidak ada nyeri ketok CVA Tidak ada penurunan berat badan

13

3. Apa Tujuan pemberian medikasi? Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik dan atau mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. 4. Bagaimana penanganan bagi pasien Tn. U? Pembedahan TURP+sitoscopy : Yang mana penanganan ini cocok bagi pasien karena pasien masuk kedalam indikasi pembedahan yaitu apabila BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya adalah: retensi urine infeksi saluran kemih berulang hematuria makroskopik batu buli-buli gagal ginjal divertikulum bulibuli yang cukup besar

14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pembesaran Prostat Jinak

Pembesaran Prostat Jinak adalah tumor jinak yang paling sering dialami oleh pria di seluruh dunia. Berbentuk nodular dan irregular, pembesaran ini menekan uretra, yaitu saluran yang dilewati oleh urin dari kandung kemih sebelum keluar. Pada pria, uretra melewati bagian dalam prostat, sehingga apabila terjadi PPJ yang membesar ke bagian dalam, uretra akan tertekan oleh pembesaran tersebut dan mengakibatkan terganggunya proses berkemih. Tidak ada bukti yang

menunjukkan bahwa PPJ mengakibatkan Kanker Prostat, namun gejala awal keduanya sulit dibedakan. Seseorang juga dapat menderita keduanya di saat bersamaan. 2.1.1 Pengertian

Sesuai dengan namanya, Pembesaran Prostat Jinak adalah suatu keadaan dimana terjadi pertambahan jumlah sel prostat, atau pertambahan jumlah sel kelenjar periuretra, di mana jaringan prostat terdesak ke perifer menjadi surgical capsule, yang mengakibatkan terjadinya pembesaran prostat yang dalam tingkat yang parah dapat menekan uretra dan menyebabkan gangguan berkemih. 2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi PPJ pada pemeriksaan histology meningkat seiring dengan

15

pertambahan usia, dari 20% pada pria berusia 41-50 tahun hingga 50% pada pria berusia 51-60 tahun, dan lebih dari 90% pada pria berusia lebih dari 80 tahun. Walaupun bukti klinis dari penyakit ini jarang ditemukan, dapat diketahui bahwa gejala akibat obstruksi prostat juga terkait dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria mengeluhkan gangguan berkemih, sedangkan 50% dari pria berusia 75 tahun melaporkan penurunan kekuatan dan caliber pada pancaran urin. Ras turut mempengaruhi insidensi dan tingkat keparahan PPJ walaupun penyebab dan mekanismenya belum dapat dimengerti dengan jelas. Pria berkulit hitam lebih beresiko terkena penyakit ini, dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi, dan dengan prognosis yang lebih buruk, dengan incidence rate 224,3 kasus dari 100.000 orang, pria berkulit putih 150,3 kasus dari 100.000 orang, dan pria Asia 82,2 kasus dari 100.000 orang. Insidensi yang pasti dari PPJ di Indonesia belum pernah diteliti. Tetapi, sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo pada periode 19941997 ditemukan 423 kasus PPJ. Dalam periode yang sama ditemukan 617 kasus di RS Sumber Waras.

2.1.3

Etiologi dan Patogenesis

Etiologi PPJ belum dapat diketahui dengan pasti, namun beberapa teori telah dikemukakan untuk menjelaskan penyebab terjadinya PPJ berdasarkan faktor histologist, hormonal, dan penuaan. Di antaranya adalah : Teori DHT (dihidrotestosteron)

Dengan bantuan enzim 5- reduktase, testosterone dikonversi menjadi DHT yang

16

merangsang pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga dalam keadaan yang berlebih dapat mengakibatkan timbulnya PPJ. Teori Estrogen

Estrogen diyakini turut berperan dalam pembentukan PPJ. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pria yang mengalami PPJ biasanya mengalami peningkatan kadar estrogen. Peningkatan kadar estrogen atau peningkatan sensitivitas jaringan prostat terhadap estrogen diyakini mengakibatkan prostat menjadi lebih rentan terhadap aktivitas DHT. Teori Reawakening

Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. Mc Neal menyatakan bahwa lesi primer PPJ adalah penonjolan kelenjar kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia

menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada usia dewasa. Teori Stem Sel

Isaan dan Coffey berasumsi bahwa terdapat hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying yang tidak tergantung pada androgen. Namun, sel aplifying ini akan berkembang menjadi sel transit yang bergantung secara mutlak pada androgen, sehingga sel tersebut akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal dengan adanya androgen. Teori Growth Factors

17

Teori ini didasarkan adanya interaksi antara unsure stroma dan unsure epitel dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terjadinya PPJ. Faktor pertumbuhan ini diproduksi oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Namun beberapa keadaan akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat, seperti adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF), ekspresi berlebihan dari fibroblast growth factor (FGF), dan penurunan ekspresi transforming growth factor- (TGF-). Namun demikian, DHT dan proses penuaan diyakini sebagai dua faktor terpenting yang mengakibatkan terjadinya PPJ. Pada penderita dengan kelainan congenital yang mengakibatkan terjadinya PPJ. Pada penderita dengan kelainan congenital berupa defisiensi 5- reduktase (enzim yang mengkonversi testosterone menjadi DHT), kadar serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosterone serum menurun disertai meningkatnya konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan perifer. Estrogen diyakini menginduksi reseptor androgen dan menjadikan sel-sel prostat lebih sensitive sehingga menjadi lebih rentan mengalami proliferasi sel. Hal ini mengakibatkan terjadinya pertambahan jumlah sel prostat. Selain itu, penuaan juga diyakini mengurangi fungsi alami tubuh seperti pematangan sel sehingga proses apoptosis tidak dapat berjalan dengan baik.

2.1.4

Faktor Risiko

Faktor risiko bagi perkembangan PPJ masih sulit dimengerti. Walaupun begitu, berbagai studi epidemiologis berskala besar telah memberikan informasi yang

18

signifikan baha usia, ras, kebangsaan, distribusi penyakit, dan beberapa faktor lain memang memberikan pengaruh terhadap kejadian PPJ. 1.2.4.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah Usia

Tidak seperti kanker pada umumnya yang memiliki peak age, risiko untuk terkena PPJ meningkat seiring usia setelah melewati usia 50 tahun dan 95% kasus PPJ ditemukan pada penderita usia 45-89 tahun dengan median 72 tahun. Ras

Pria berkulit hitam memiliki risiko tertinggi terkena PPJ, sedangkan angka terendah ditemukan pada penduduk Asia. Pada pria berkulit putih, angka tertinggi ditemukan di Negara-negara Skandinavia. Pengaruh Endokrin (Hormonal)

Faktor endokrin berpengaruh besar terhadap pertumbuhan prostat, baik pertumbuhan normal maupun abnormal sehingga stimulus androgen yang terus menerus dapat berpotensi mengakibatkan PPJ. Genetik

Genetik adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan PPJ. Setengah dari pria berusia kurang dari 60 tahun yang menjalani operasi untuk PPJ memiliki bentuk yang diturunkan.

1.2.4.2 Faktor Risiko yang Dapat Diubah a. Faktor diet Konsumsi lemak dilaporkan memiliki pengaruh terhadap pathogenesis PPJ,

19

bahkan terhadap kematian akibat PPJ. Pada akhirnya, pengaturan pola makan diyakini berkontribusi pada pencegahan penyakit PPJ. b. Aktivitas fisik, aktivitas seksual, dan konsumsi zinc peroral Hal-hal di atas dilaporkan memiliki hubungan, meskipun lemah dan belum sepenuhnya dapat dimengerti, dengan kejadian PPJ. c. Kadmium Kadmium dilaporkan sebagai faktor risiko terhadap PPJ, meski beberapa penelitian lain menemukan inkonsistensi pada hubungan tersebut. Konsumsi rokok dan occupational exposure adalah sumber utama cadmium, sehingga pengurangan konsumsi rokok dilaporkan mengurangi pula risiko PPJ.

2.1.5

Patofisiologi

Gejala PPJ bisa berhubungan dengan obstruksi prostat maupun dengan efek sekunder dari kandung kemih terhadap resistensi yang terjadi. Gejala obstruktif dapat berupa obstruksi mekanis maupun dinamis. Obstruksi mekanis terjadi karena peningkatan resistensi muara kandung kemih seiring dengan pembesaran prostat tersebut. Obstruksi dinamis menjelaskan banyak hal dalam mekanisme terjadinya gejala PPJ. Stroma prostat terdiri atas otot polos dan kolagen, dan kaya akan suplai saraf adrenergic. Karena itulah, peningkatan level stimulus otonom akan meningkatkan tonus dari uretra prostatika. Gejala iritatif diakibatkan oleh efek sekunder dari kandung kemih terhadap resistensi yang terjadi sebab obstruksi muara kandung kemih dan deposisi kolagen

20

mengakibatkan otot detrusor menjadi hipertrofi dan juga hyperplasia. Kedua hal ini mengakibatkan otot detrusor menebal sehingga terjadi penurunan ketahanan dari kandung kemih. Bila hal ini dibiarkan terus tanpa diobati, dapat terjadi mucosal herniation di antara otot-otot detrusor, yang dalam keadaan ekstrim disebut kandung kemih berjalur-jalur, trabekulasi, saccula, dan akhirnya, terjadi pula pembentukan divertikulum. Penyumbatan uretra lengkap mengakibatkan retensi urin sehingga tidak memungkinkan penderita untuk berkemih. Jika obstruksi meningkat maka terdapat sisa urin di dalam kandung kemih. Dalam fase ini sering timbul gejala akibat infeksi saluran kemih dan dapat terjadi pula uroseptis yang dramatis. Bila hal ini terjadi, maka pengosongan kandung kemih harus dilakukan.

2.1.6

Manifestasi Klinis

Meskipun bukan penyakit yang mengancam nyawa, gejala yang ditimbulkan oleh PPJ dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya karena dapat menimbulkan perubahan pola berkemihnya. Manifestasi klinis lain yang sering ditemukan adalah pembesaran ukuran prostat yang ditemukan saat pemeriksaan rutin. Manifestasi klinis PPJ dapat berupa gejala, tanda klinis (sign), penemuan laboratorium, penemuan pencitraan, penemuan sitoskopi, dan penemuan dari tes penunjang lainnya.

2.1.7

Gejala

21

Karena PPJ akan menekan uretra sehingga mengganggu aliran urin, makma gejala PPJ dapat diketahui utamanya melalui perubahan pola berkemih. Anamnesis pada biasanya menunjukkan : (1) Usia penderita lebih dari 50 tahun, (2) Keluhan berkemih sejak beberapa waktu yang lalu dan semakin berat, (3) Harus terbangun dari tidur malam untuk berkemih mula-mula satu atau dua kali, dan meningkat hingga empat kali, (4) Keinginan berkemih ini kuat sekali dan datang tiba-tiba padahal ia hanya mampu mengeluarkan beberapa tetes urin saja, (5) Pancaran urin menjadi kurang kuat, dan (6) Sebelumnya sehat-sehat saja, tidak pernah mengalami kecelakaan pada daerah sekitar panggul atau menderita penyakit kelamin. Gejala PPJ dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : Gejala obstruktif, yang terdiri dari : a. Menunggu lama pada permulaan berkemih (hesitancy), b. Berkemih terputus-putus (intermittency), c. Urin menetes di celana (dribbling), d. Harus mengedan saat berkemih (weak stream), dan e. Akhir berkemih belum terasa kosong (incomplete voiding).

Gejala iritatif, yang terdiri dari : a. Peningkatan intensitas berkemih (frequency), b. Sulit menahan berkemih (incontinence), dan c. Tergesa-gesa untuk berkemih (urgency), dan d. Berkemih malam hari lebih dari satu kali (nocturia).

22

Gejala-gejala tersebut di atas, yang dahulu disebut prostatism, dinilai dengan menggunakan symptom scoring system. Terdapat berbagai jenis symptom scoring system, namun yang dijadikan sebagai gold standar untuk PPJ adalah International Prostate Symptom Score (I-PSS). Di masa lalu, kebanyakan dokter menilai tingkat keparahan gejala PPJ berupa protatism tersebut atau Lower Urinary Tract Symptoms (gejala-gejala saluran kemih bawah) dengan mengajukan pertanyaan mengenai gejala yang paling umum ditemui olehnya, dalam bentuk pertanyaan yang tidak terstruktur. Bentuk seperti ini menghadapi banyak masalah karena tidak relevan, seperti ketidaksesuaian pertanyaan yang diajukan dengan keadaan pasien dan ketidakcocokan jawaban yang diberikan oleh pasien dengan keadaan pasien yang sebenarnya. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dibuatlah suatu instrument penilai gejala yang baku. Asosiasi Urologi Amerika (AUA) membentuk panitia yang bertugas membuat dan memvalidasi instrument tersebut, yang dinamai The American Urological Association Symptom Index (AUA-SI). Instrumen mengenai gejala-gejala saluran kemih bawah tersebut, yang awalnya berjumlah 37 butir pertanyaan, disederhanakan menjadi tujuh butir pertanyaan yang dapat dijawab sendiri oleh pasien. Oleh International Consultation on BPH, AUA-SI tersebut diadopsi dan dinamai International Prostate Symptom Score (I-PSS). Kini I-PSS telah digunakan secara luas di hampir seluruh Negara di dunia setelah diadopsi ke dalam bahasa yang digunakan oleh masing-masing Negara. Penelitian menunjukkan bahwa penilaian dalam I-PSS tidak terpengaruh oleh

23

tingkat pendidikan, etnis, suku dan status ekonomi pengisi (pasien). Pasien buta huruf tidak dapat menjawab langsung pertanyaan dalam I-PSS, namun hal ini dapat diatasi dengan asistensi dari orang lain. Hal ini pun dilaporkan tidak memberi bias pada hasil penilaian dengan I-PSS. 2.1.7.1 Gejala Obstruktif Obstruksi uretra di tingkat apapun mengakibatkan pancaran urin lemah. Volume urin yang bisa melalui uretra pada satu saat tertentu menjadi berkurang dan jumlah alirannya juga berkurang. Jika obstruksi terletak di proksimal uretra maka pancaran urin melemah, penderita tidak mampu berkemih dalam bentuk pancaran normal. Sedangkan jika obstruksi berada di distal seperti pada meatus eksternal uretra maka dapat menunjukkan sebuah pancaran yang sangat kuat, dapat memancarkan urin lebih jauh namun volume yang dihasilkannya berkurang dan membutuhkan waktu yang lama untuk berkemih. Istilah disuria digunakan untuk berkemih yang sulit, namun dapat juga digunakan untuk berkemih dengan rasa nyeri. Rasa nyeri sewaktu berkemih disebut juga stranguria atau alguria. Gejala obstruktif lainnya adalah menunggu lama pada permulaan berkemih (hesitancy), berkemih terputus-putus (intermittency), sisa urin menetes di celana (dribbling), harus mengedan saat mulai berkemih (straining), pancaran melemah (weak stream), dan akhir berkemih belum terasa kosong (incomplete voiding). 2.1.7.2 Gejala Iritatif

24

Di antara gejala-gejala iritatif yang paling sering ditemui adalah frekuensi, yaitu peningkatan intensitas berkemih atau sering berkemih. Ini dapat disebabkan oleh kandung kemih yang terangsang oleh suatu sebab sehingga sering berkemih ataupun karena penderita tidak berkemih sempurna sehingga terdapat sisa urin dalam kandung kemih. Selain itu, gejala iritatif lain yang mungkin muncul adalah inkontinensia, yang biasanya diakibatkan oleh obstruksi dan muncul disertai dengan polaksiuria, yaitu peningkatan jumlah volume urin, dan urgensi, yaitu dorongan yang sangat kuat untuk berkemih sehingga ia harus segera menuntaskannya sebab ada bahaya keluarnya urin tanpa sadar. Urgensi terjadi akibat rangsangan yang kuat pada kandung kemih seperti peradangan, luapan kandung kemih dan gangguan neurogen. Gangguan pada prostat juga mengakibatkan gejala ini. Gejala lainnya adalah nokturia, yaitu terbangun di malam hari dari tidur karena ingin berkemih. Penyebab nokturia biasanya serupa dengan polaksiuria. Jika seorang penderita berkemih terus-menerus hanya di malam hari maka perlu dipikirkan sebab-sebab lain, terutama penyakit jantung dan diabetes. 2.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PPJ yang dibiarkan tanpa pengobatan di antaranya adalah : Trabekulasi, yaitu terjadinya penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan

dalam kandung kemih yang selalu tinggi akibat adanya obstruksi. Sakulasi, yaitu mukosa kandung kemih menerobos di antara serat-serat

25

detrusor. Divertikel, yaitu keadaan di mana sakulasi menjadi besar. Pembentukan batu kandung kemih. Hal ini diakibatkan karena selalu

terdapat sisa urin setelah berkemih, sehingga terjadi pengendapan dan terjadilah batu kandung kemih. Bila tekanan dalam kandung kemih yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, maka akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal. Tahap akhir dari komplikasi ini adalah tahap dekompensasi detrusor di mana kandung kemih sama sekali tidak dapat mengosongkan diri sehingga terjadi retensi total. Apabila tidak segera ditolong, akan terjadi outflow incontinence.

2.1.9

Pencegahan

Pencegahan terbaik untuk masalah prostat, baik PPJ maupun kanker prostat, adalah dengan melakukan pemeriksaan rutin yang melibatkan pemeriksaan prostat. Selain itu, segera menemui dokter apabila mengalami gejala-gejala permasalahan prostat dapat mempercepat penegakan diagnosis sehingga meningkatkan keberhasilan pengobatan. Gejala-gejala permasalahan prostat yang dimaksud di antaranya adalah : (1) Keinginan yang sangat kuat dan tak tertahankan untuk berkemih, (2) Kesulitan saat berkemih, baik sakit saat berkemih, maupun memerlukan waktu yang lama untuk memulai proses berkemih, atau (3) Urin menetes di celana. Pemeriksaan rutin diperlukan tidak hanya bagi npria yang belum pernah atau baru mengalami gejala-gejala PPJ, tetapi juga untuk pria yang sudah pernah

26

melakukan operasi prostat.

2.1.10 Prognosis Meskipun dapat mengurangi kualitas hidup penderitanya, PPJ bukanlah jenis kanker yang dapat bermetastasis dan mengakibatkan kematian, sehingga secara umum prognosisnya adalah baik. Namun, perlu diingat bahwa dalam setiap kasus PPJ, semakin cepat seorang pasien didiagnosis, maka akan semakin cepat pula ia mendapat terapi sehingga meningkatkan keberhasilan pengobatannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Connell JD Mc. Etiology, Pathophisiology and Diagnosis of Benign Prostatic Hiperplasia. In: Campbells Urology, W.B. Saunders; 1999. p. 1432-44. 2. Rahardjo D. Prostat : kelainan-kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. 1 ed.. Jakarta: Asian Medical; 1999. 3. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robin and Cotran Pathologic Basic of

27

Disease. 7 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. Robin and Cotran Pathologic Basic of Disease, Seven Edition. 4. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-3.htm tanggal 15 Februari 22.15 WIB) Prostat (Diakses Jinak pada

5. Roehborn, Calus G, Mc Connell, John D. Etiology, Patophysiology, and Natural History of Benign prostatic hyperplasia. In: Campbells Urology. 8th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2002. p. 1297-1330.

Вам также может понравиться