Вы находитесь на странице: 1из 19

HIPERTENSI PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi sering dikaitkan dengan terjadinya peningkatan tekanan darah secara abnormal yang disebabkan oleh beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan tekanan darah secara normal. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Blood Pressure mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90mmHg atau lebih. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII adalah seperti berikut1: Systolic Pressure Normal Prehipertension Hipertension stage I Hipertension stage II <120 120-139 140-159 160 dan Or Or Or Diastolic Pressure <80 80-89 90-99 100

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab meningkatnya resiko penyakit Strok, jantung dan ginjal. Penderita yang beresiko tinggi terkena hipertensi adalah laki-laki > 45 tahun atau perempuan > 50 tahun dan mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga. Selain itu, obesitas, merokok, alkohol, mengkomsumsi garam berlebihan, kurang olah raga, Diabetes Melitus, stress juga beresiko. Pada akhir abad ke 20, penyakit jantung dan vaskuler menjadi penyebab kematian utama di negara-negara berkembang. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, kematian karena penyakit jantung dan vaskuler di Indonesia sebesar 26,3%. Sementara data kematian di Rumah Sakit 2005 sebesar 16,7%. Resiko utamanya adalah hipertensi, dan juga hiperkolesterolemia dan diabetes melitus2,3. Hipertensi yang lama dan tidak terkontrol dapat menyebabakan Congestive Hearth Failure ( CHF) atau gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan3. CHF di klasifikasikan menjadi akut dan kronik.CHF akut terjadi secara sporadik, ditandai dengan menurunya Cardiac output dan perfusi yang tidak adekuat. Hal ini dapat menyebabakan Edema pulmonal dan kolaps pembuluh darah. Penyebab CHF akut diantaranya ruptur katup jantung karena trauma, endokarditis, miokard infark masif pada penderita yang belum pernah terkena penyakit jantung. Sedangkan CHF kronik terjadi dengan lambat, ditandai dengan penyakit iskemik atau obstruksi pulmonal. Pada CHF kronik, terjadi retensi air dan natrium pada ventrikel yang menyebabkan hipervolume, kemudian dilatasi dan hipertropi ventrikel. CHF kronik biasanya terjadi pada penderita kardiomiopati atau penyakit katup multipel yang berlangsung lambat. Kongestif Vaskuler sering terjadi pada CHF kronik

Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung, hal yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu preload, kontraktilitas dan afterload1,2,3.
Apabila terjadinya kerusakan dalam aksi pemompaan, baik pada ventrikel kiri, ventrikel kanan, atau keduanya, yang menyebabkan darah berkumpul di arteri paru, pembuluh darah, atau keduanya. Bendungan ini menyebabkan kemacetan di paru-paru (cairan terbendung di paru-paru), penurunan output jantung, peningkatan beban jantung, penurunan efisiensi kontraksi otot jantung, penurunan stroke volume, peningkatan denyut jantung, dan hipertrofi. Kompensasi ini dapat menyebabkan peningkatan risiko serangan jantung dan penurunan suplai darah ke seluruh tubuh. Kompensasi terhadap gagal jantung kongestif tersebut merupakan alasan kedatangan penderita ke rumah sakit. Berdasarkan data Medicare di Amerika Serikat dan data Scottish di Eropa, gagal jantung merupakan penyebab rawat inap yang paling banyak di rumah sakit. Data lain menyebutkan bahwa sekitar 5 juta warga Amerika mengalami gagal jantung, dan terjadi penambahan 550.000 penderita gagal jantung setiap tahunnya. Selain insidensi yang tinggi, angka kematian pada gagal jantung kongestif

juga tidak sedikit.

Salah satunya, gagal jantung kongestif dapat menyebabkan edema paru yang Data lain menunjukkan bahwa angka kematian akibat

memiliki angka kematian 12% di rumah sakit.

gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun dan sekitar setengah dari penderita gagal jantung mengalami kematian dalam waktu 5 tahun setelah didiagnosis.

Diagnosis CHF berdasarkan Framinghams Score adalah sebagai berikut: Kriteria Mayor 1. Paroxysmal Nokturnal dispnu atau ortopnu 2. Tekanan vena jugularis meningkat 3. Ronkhi Paru 4. Kardiomegali 5. Edema pulmonal akut 6. Gallop S3 7. Peningkatan Tekanan vena >16cmHg 8. Refluk Hepatojugular

Kriteria Minor 1. Edema Pretibial 2. Batuk pada malam hari 3. Dyspnoe Deffort 4. Hepatomegali 5. Efusi Pleura 6. Penurunan Vital Capacity sampai1/3 Maksimum

7. Takikardi

Diagnosis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Tingginya insidensi dan angka kematian pada gagal jantung kongestif sesuai dengan data tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung kongestif memerlukan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai gagal jantung kongestif ini, sehingga kasus ini perlu diangkat untuk dipelajari.

HIPERTENSI Definisi

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah arterial tinggi (meningkat) atau tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar atau sama dengan 90 mmHg4.

Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Etiologinya 1) Hipertensi primer atau essensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Hipertensi primer sekitar 90-95%5. 2) Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh adanya penyakit lain6.

Hipertensi Berdasarkan Derajatnya Hipertensi diklasifikasikan menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, 2003.

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa Usia 18 tahun atau lebih4

Kategori Sistolik Normal Prehipertensi Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2 Patofisiologi

Tekanan Darah Tekanan Darah Diastolik <120 mmHg 120-139 mmHg 140-159 mmHg 160 mmHg <80 mmHg 80-89 mmHg 90-99 mmHg 100 mmHg

Di dalam tubuh, terdapat empat sistem yang mengendalikan tekanan darah, yaitu baroreseptor, pengaruh volume cairan tubuh, sistem renin-angiotensin, dan autoregulasi pembuluh darah. Menurut persamaan hidrolik, tekanan darah arterial (BP) adalah berbanding langsung dengan hasil perkalian antara aliran darah (curah jantung, CO) dan tahanan lewatnya darah melalui arteriol prekapiler (tahanan vaskular perifer, PVR)6. TEKANAN DARAH = CURAH JANTUNG X TAHANAN PERIFER6

Hipertensi akan terjadi apabila ada perubahan pada persamaan tekanan darah karena adanya perubahan salah satu faktor yaitu resistensi pembuluh darah perifer (tahanan perifer) maupun curah jantung. Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan dua hal tersebut, antara lain faktor genetik, stres, asupan garam yang berlebihan, obesitas, nefron yang berkurang dan bahan-bahan yang berasal dari endotel8.

Diagnosis Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah secara berulang-ulang. Tekanan darah diukur saat seorang duduk selama 5 menit, dengan kaki berada di lantai dan lengan setinggi posisi jantung. Setelah dilakukan 2 kali pengukuran tekanan darah pada waktu yang berbeda (berselang minimal 1 minggu)5,8, didapatkan nilai tekanan darah rata-rata 140/90 mmHg, maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan8.

Penatalaksanaan Hipertensi Tujuan pengobatan penderita hipertensi essensial adalah untuk mencapai tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg dan mengendalikan setiap faktor risiko kardiovaskular melalui perubahan gaya hidup5. Langkah-langkah yang termasuk perubahan gaya hidup, antara lain: a. Penderita hipertensi yang memiliki berat badan berlebihan dianjurkan untuk menurunkan berat badannya sampai batas ideal (Body Mass Index (BMI) 18,5-24,9 kg/m2)5 b. Mengadopsi DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) eating plan.5

c. Mengurangi garam dalam diet. Konsumsi garam harus dibatasi sampai kurang dari 2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida sehari. Berhenti merokok. d. Membatasi minum kopi sampai maksimum 3 cangkir sehari. e. Membatasi minum alkohol tidak lebih dari 2 konsumsi untuk laki-laki dan 1 konsumsi untuk wanita8. f. Cukup istirahat dan tidur adalah penting, karena selama periode itu tekanan darah menurun8. g. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah yang tinggi5,8.

Terapi Farmakologis Berikut ini macam-macam golongan obat antihipertensi yang dapat langsung diberikan secara sendiri-sendiri maupun kombinasi : a. Diuretika Diuretika menurunkan tekanan darah dengan cara mengosongkan simpanan natrium tubuh.6 b. Beta Blocker Beta Blocker memblokade reseptor 1 di jantung (juga di Sistem saraf pusat (SSP) dan ginjal) sehingga menyebabkan melemahnya daya kontraksi jantung, penurunan frekuensi jantung, dan penurunan volume-menitnya. Beta Blocker juga memblokade reseptor 2 di bronkus yang menyebabkan vasokontriksi bronkus.8 c. ACE Inhibitor ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan jalan mengurangi daya tahan pembuluh perifer dan vasodilatasi tanpa menimbulkan refleks takikardia atau retensi garam.8 d. Angiotensin II Antagonist / Angiotensin II Receptor Blocker Angiotensin II Antagonist menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya sehingga tidak terjadi vasokonstriksi dan tidak terjadi retensi air dan garam.6,8 e. Calsium Channel Blocker Calsium Channel Blocker melebarkan arteriol perifer dan mengurangi tekanan darah. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat infulks kalsium ke dalam sel otot polos arteri sehingga dapat mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi miokard serta dinding pembuluh darah6,8. Contoh obatnya yaitu nifedipin, diltiazem dan verapamil6.

3.2 PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI Definisi Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari tingginya tekanan darah tersebut1.

Etiologi Sebab utama penyakit jantung hipertensi adalah tekanan darah yang meningkat dan berlangsung kronik. Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac output) berkurang.2

Patofisiologi Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup kompleks, karena berhubungan dengan berbagai faktor, seperti hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekular. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui neurohormonal dan perubahan vaskular terkait2,9.

Komplikasi penyakit hipertensi yang tidak terkontrol Hipertrofi ventrikel kiri Abnormalitas atrium kiri

Penyakit katup jantung Penyakit jantung koroner Gagal jantung2

Diagnosis Diagnosis penyakit jantung hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesisnya sesuai dengan anamnesis riwayat penyakitnya sekarang dan adanya riwayat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik kemungkinan didapatkan: a. Batas-batas jantung melebar b. Impuls apeks prominen c. Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta d. Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta e. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat peninggian tekanan atrium kiri f. Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri g. Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering h. Pemeriksaan perut untuk pembesaran hati, limpa, ginjal, dan ascites1,7,7

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung hipertensi, antara lain:

Pemeriksaan laboratorium awal (pemeriksaan darah dan urinalisa) Analisis gas darah Elektrokardiografi untuk menemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung Foto thorax untuk menemukan adanya pembesaran jantung atau tanda-tanda bendungan paru Echocardiography, dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini dan lebih spesifik (spesifisitas sekitar 95-100%)1,7,7

3.3 GAGAL JANTUNG KONGESTIF Definisi Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal jantung kongestif adalah keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya.3

Epidemiologi

Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih sering pada penduduk Amerika Afrika daripada penduduk kulit putih.4

Penyebab gagal jantung kongestif

a. Kelainan mekanik Peningkatan beban tekanan o Sentral (stenosis aorta, dll) o Perifer (hipertensi sistemik, dll) Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, pirau, peningkatan beban awal, dll ) Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikuspidal) Tamponade pericardium Pembatasan miokardium atau endokardium Aneurisma ventrikel Dissinergi ventrikel4

b. Kelainan miokardium (otot) Primer o Kardiomiopati

o Miokarditis o Kelainan metabolik o Toksisitas (alkohol, kobalt) o Pesbikardia4 Kelainan disdinamik sekunder (akibat kelainan mekanik) o Deprivasi oksigen (penyakit jantung koroner) o Kelainan metabolik o Peradangan o Penyakit sistemik o Penyakit Paru Obstruksi Kronis4 Perubahan irama jantung atau urutan hantaran o Tenang o Fibrilasi o Takikardia atau bradikardia ekstrim
o

Asinkronitas listrik, gangguan konduksi4

Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju, disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini.3,10 Faktor-faktor komorbid menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon. Pada jantung, dapat terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis. Sedangkan pada mekanisme kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem reninangiotensi-aldosteron, vasopressin, dan natriuretik peptida3,10

Mekanisme Kompensasi pada Jantung

Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas. Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output. Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi terminal berupa peningkatan volume ventrikel.3,10 Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolik akhir atau volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravaskular, tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel. Pompa otot jantung akan memberikan respon pada volume output. Jika volume meningkat, maka jumlah darah yang mampu dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan ini sesuai dengan hukum Frank-Starling.3,10 Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan resistensi vaskular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung dan stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan cardiac output.3,10

Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon


Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem renin-angiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida natriuretik atrium.3,10 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan

retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat menyebabkan kongesti vena.10 Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus yang disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya, kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema, peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi gagal jantung.10 Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan aritmia ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh peningkatan level norepinephrin plasma.10 Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan meningkatkan volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan endotelin (keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam patogenesis gagal jantung.10

Klasifikasi Gagal Jantung

Berdasarkan waktunya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung akut dan kronik. Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung yang terkena, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung kanan dan kiri.9

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) Klasifikasi Fungsional NYHA (Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik) Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas. Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas. Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas. Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa adanya kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan akan semakin meningkat.

Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif

Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain: a. Paroksismal nokturnal dispnea b. Distensi vena leher c. Ronki paru d. Kardiomegali

e. Edema paru akut f. Gallop S3 g. Peningkatan tekanan vena jugularis (>16 cmH2O) h. Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain: a. Edema ekstremitas b. Batuk malam hari c. Dispnea deffort d. Hepatomegali e. Efusi pleura f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal g. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit) Kriteria mayor atau minor, antara lain penurunan berat badan 4,5 kg selama 5 hari pemberian terapi. Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor9.

Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif

Penatalaksanaan Nonfarmakologis Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berdasarkan rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.9
Konsumsi alkohol Walaupun jumlah alkohol yang dapat menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alkohol lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi faktor risiko terjadinya kardiomiopati. 9

Merokok Dengan demikian, penderita dengan gagal jantung kongestif harus menghindari rokok.9

Aktifitas fisik Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu dilakukan motivasi untuk dapat melakukan

aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah secara teratur.9

Pengaturan diet Membatasi konsumsi garam dan cairan Monitor berat badan per hari

Penatalaksanaan Farmakologis Diuretik Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi pada gagal jantung kongestif. Diuretik menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi. Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel darah merah dan sel darah putih tidak berubah.3
Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahan-lahan ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan konsumsi natrium.3,6 Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid, bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau kombinasi agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE Inhibitor akan memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.3,6

Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitor ACE Inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif, penyakit jantung

koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati diabetikum. ACE Inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem renin-angiotensin, tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan penggunaan ACE Inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang, maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung koroner.3,6

Inotropik Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat meningkatkan

kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE Inhibitor dan beta blocker.3,6

Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB) Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB) bekerja dengan mencegah efek angiotensin II di

jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE Inhibitor karena efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE Inhibitor dapat digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi pasien.3,6

Beta Blocker

Beta Blocker dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.3,6

Hidralazin Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita gagal jantung

kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus vena dan tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis. Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka kematian penderita gagal jantung kongestif.3,6

Prognosis Gagal Jantung Kongestif Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20% dan pada pasien rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah diagnosis. Angka ini dapat meningkat sampai 50% setelah 5 tahun pasca diagnosis. Mortalitas pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IV, ACC/AHA tingkat D sebesar lebih dari 50% pada tahun pertama.9

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1. Grady, et al. Team management of patients with heart failure. A statement for healthcare professionals from the cardiovascular nursing councils of the American Heart Association Circulatin. 2000 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta 2006 3. Rilantono, dkk. Buku Ajar Kardiologi: Fakultas Kedokteran Indonesia.Jakarta, 2000. 4. Ebbersole, Hess. Prevalence of CHF in Old Patients. Available From: www.emedicine.library.com 5. Nurjanah S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2006 6. Miftah, Suyapraja. Prevalensi CHF. USU. 2000 7. Rani, Aziz. Panduan Pelayanan Medik, Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI. 2006 8. Pathophysiology of CHF. Available from www.thenewstoday.info/2006/12/08/CH.html 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional CHF. Jakarta. 2006

Вам также может понравиться