Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK 2013
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih kami ucapkan kepada dokter pembimbing kami, dr. Alfansuri Kadri, Sp.S, yang telah bersedia menjadi pembimbing makalah ini. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu Penyakit Saraf, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Besar harapan, melalui makalah ini, akan menambah pengetahuan dan pemahaman kita tentang salah satu penyakit saraf, Bells Palsy. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mohon maaf. Penulis juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..................................................................................... i KATA PENGANTAR.................................................................................. ii DAFTAR ISI................................................................................................. iii BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................ 1.1. Latar Belakang................................................................... 1.2. Tujuan................................................................................ TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 2.1 Definisi Sindroma Bells Palsy.......................................... 2.2. Epidemiologi Sindroma Bells Palsy................................. 2.3. Etiologi Sindroma Bells Palsy.......................................... 2.4. Patogenesis dan Gejala Klinik Sindroma Bells Palsy........................................................ 2.5. Diagnosa Sindroma Bells Palsy........................................ 2.6. Differential Diagnosa Sindroma Bells Palsy.................... 2.7. Tatalaksana Sindroma Bells Palsy.................................... 2.8. Prognosa Sindroma Bells Palsy........................................ 1 1 1 2 2 2 3 4 4 5 5 5 6 6 7 8
BAB II
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 3.1. Kesimpulan........................................................................ 3.2. Saran................................................................................... DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelumpuhan wajah adalah gangguan menodai yang memiliki dampak yang besar pada pasien. Kelumpuhan saraf wajah mungkin bawaan atau neoplastik atau mungkin akibat dari infeksi, trauma, eksposur beracun, atau penyebab iatrogenik. Penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral adalah Bell palsy, lebih tepat disebut idiopatik kelumpuhan wajah (IFP). Bell palsy adalah, akut sepihak, perifer, lebih rendah-motor-neuron wajah-saraf kelumpuhan yang secara bertahap menyelesaikan dari waktu ke waktu dalam 80-90% kasus Kontroversi seputar etiologi dan pengobatan palsy Bell. Penyebab cerebral Bell masih belum diketahui, meskipun tampaknya menjadi polyneuritis dengan kemungkinan virus, etiologi peradangan, autoimun, dan iskemik. Meningkatkan bukti berimplikasi jenis herpes simpleks I dan herpes zoster reaktivasi virus dari tengkorak-saraf ganglia.1 Spinal stenosis dikaitkan dengan penyakit degenerasi 1.2. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi bells palsy 2. Mengetahui etiologi bells palsy 3. Mengetahui epidemiologi bells palsy 4. Mengetahui patogenesis dan gejala klinik bells palsy 5. Mengetahui diagnosa bells palsy 6. Mengetahui tatalaksana bells palsy 7. Mengetahui prognosis bells palsy
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Bells palsy adalah paralisis fasialis dimana paralisis ini terjadi secara tibatiba pada satu sisi muka. 3
2.2. Epidemiologi 60-75% kasus paralisis fasialis unilateral yang akut adalah bells palsy.4 Di Amerika, insidensi tahunan adalah 23 kasus per 100,000 orang.4 63% pasien yang didiagnosa bells palsy paralisis terjadi pada bagian kanan muka. Insidensi bells palsy paling banyak terjadi di Japan dan insidensi paling sedikit di Sweden.
5
Secara umum, insidensi bells palsy ini terjadi pada 15-30 kasus per 100,000
populasi.5 Bells palsy menyerang perempuan dan pria dengan insidensi yang sama.5 Namun begitu, wanita muda pada usia 10-19 tahun lebih sering terjadi berbanding pria pada golongan usia yang sama. Resiko terkena bells palsy pada wanita hamil adala 3,3 kali lebih tinggi banding pada perempuan yang tidak hamil. Bells palsy pada perempuan hamil sering terjadi pada trimester ketiga.6 2.2. Etiologi
Dipercayai situasi seperti angin yang dingin dapat menyebabkan bells palsy namun tidak ada pembuktian medis.7 Virus herpes simpleks (HSV) adalah penyebab paling sering bells palsy. 8 2.3. Patofisiologi dan Gejala Klinis
HSV menjadi latent pada ganglion geniculate dan teraktif apabila terjadi imunosupresi HSV ini menjadi aktif dan menyebabkan demielienisasi syaraf fasialis. Demielienisasi syaraf fasialis akan menyebabkan gangguan konduksi impuls sehingga menyebabkan kelemahan otot unilateral dengan gejala logoptalamus, mulut miring, nyeri auricular posterior, hiperakusis, otalgia, gangguan pengecapan , paraesthesia pada mulut. 9
2.4.
Grading
Sistem grading pada pasien Bells palsy adalah skala I hingga VI.1 1. Grade I adalah fungsi fasial yang normal. 2. Grade II adalah disfungsi yang ringan. Kelemahan yang ringan pada inspeksi yang teliti. Tonus ototnya normal dan simetris, pergerakkan dahi normal, dapat menutup mata secara sempurna, mulut sedikit asimetris dengan usaha maksimal. 3. Grade III adalah disfungsi sedang dimana terjadi gangguan pergerakan dahi, ada kontrktur, mata dapat menutup dengan usaha maksimal, pergerakan mulut sedikit melemah, tonus otot normal. 4. Grade IV adalah disfungsi sedang yang berat. Kelemahan yang nyata terjadi pada grade ini dimana tidak ada pergerakan dahi sama sekali, mata tidak menutup secara sempurna, mulut asimetris. 5. Grade V adalah disfungsi yang parah dimana terjadi paresis unilateral, tidak ada pergerakan dahi , mata tidak dapat menutup sama sekali, pergerakan mulut sedikit. 6. Grade VI adalah paresis total. Tidak ada pergerakan sama sekali. 2.5. Diagnosa Anamesa pada pasien bells palsy dilakukan dimana pasien biasanya mengeluhkan onset bells palsy ini terjadi tiba-tiba dan pasien ada riwayat terdedah situasi yang dingin. 8 Pemeriksaan fisik pada pasien bells palsy menunjukkan pasien tidak dapat mengangkat alis, tidak menutup mata secara sempurna, serta senyuman tidak simetris. Pada pemeriksaan otologik dilakukan , biasanya pada pasien bells palsy tidak ada keluhan pendengaran namun jika ada, berarti bells palsy disebabkan oleh otitis media. Pemeriksaan ocular pada pasien bells palsy menunjukkan pasien logotalamus dan gangguan pengeluaran tangisan. Pemeriksaan oral menunjukka pasien bells palsy ada gangguan pengecapan dan saliva.9
2.6.
Differensial Diagnosa
Diagnosa banding bells palsy adalah stroke sirkulasi anterior, tumor jinak tengkorak, aneurisme cerebral, meningioma, meningococcal meningitis. 10 2.7. Tatalaksana Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Bells palsy adalah terapi farmakologi, terapi lokal, pembedahan. Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien bells palsy adalah pemberian kortikosteroid dimana dapat mengurangi inflamasi sehingga dapat memperbaiki mielinasasi syaraf fasialis. Selain itu, pemberian antiviral juga diberikan pada pasien bells palsy asiklovir karena dipercayai penyebab bells palsy adalah HSV. Terapi lokal adalah seperti perawatan mata karena pasien bells palsy ada resiko mata kering maka diberikan lubrikasi ocular topical. Selain itu, terapi loka adalah dengan penggunaan pemberat eksternal pada kelompok mata yang dapat memperbaiki logoptalamus. Botulinum toksin dapat diinjeksi secara transkutaneous yang dapat merelaksasi otot fasialis. Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien Bells palsy adalah dekompresi nervus fasialis dan pembedahan ini diindikasi apabila tidak respon terhadap terapi yang lain. 10
2.8. Prognosis Prognosis bells palsy digolong ke 3 kelompok ; dimana kelompok 1 terjadinya kesembuhan komplit fungsi motorik tanpa sekuele, kelompok 2 terjadi penyembuhan inkomplit fungsi motorik tetapi tidak ada defek kosmetik, kelompok 3 terjadi sekuale neurologis yang tetap dan gangguan kosmetik. Pasien biasanya mempunyai prognosis yang baik kira-kira 80-90%. Namun prognosis menjadi jelek kalau usia melebihi 60 tahun, terjadi paresis total, penurunan pengecapan atau saliva.10
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN 3.1. Kesimpulan 1. Bells palsy adalah paralisis fasialis dimana paralisis ini terjadi secara tibatiba pada satu sisi muka.3 2. Resiko terkena bells palsy pada wanita hamil adala 3,3 kali lebih tinggi banding pada perempuan yang tidak hamil. Bells palsy pada perempuan hamil sering terjadi pada trimester ketiga.6 3. Dipercayai situasi seperti angin yang dingin dapat menyebabkan bells palsy namun tidak ada pembuktian medis.7 Virus herpes simpleks (HSV) adalah penyebab paling sering bells palsy. 8 4. Demielienisasi syaraf fasialis akan menyebabkan gangguan konduksi impuls sehingga menyebabkan kelemahan otot unilateral dengan gejala logoptalamus, mulut miring, nyeri auricular posterior, hiperakusis, otalgia, gangguan pengecapan , paraesthesia pada mulut. 9 5. 6. Sistem grading pada pasien Bells palsy adalah skala I hingga VI.1 Anamesa pada pasien bells palsy dilakukan dimana pasien biasanya mengeluhkan onset bells palsy ini terjadi tiba-tiba dan pasien ada riwayat terdedah situasi yang dingin. 8 7. Diagnosa banding bells palsy adalah stroke sirkulasi anterior, tumor jinak tengkorak, aneurisme cerebral, meningioma, meningococcal meningitis. 10 8. Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita Bells palsy adalah terapi farmakologi, terapi lokal, pembedahan. 9. Pasien biasanya mempunyai prognosis yang baik kira-kira 80-90%. Namun prognosis menjadi jelek kalau usia melebihi 60 tahun, terjadi paresis total, penurunan pengecapan atau saliva.10
3.2. 1.
Saran
Diagnosa dan tatalaksana bells palsy harus dilakukan secepat mungkin untuk menghindari defisit nervus fasialis yang menetap.
2.
Dilakukan penelitian deskriptif mengenai bells palsy untuk mengetahui prevalensi dan insidensi sindroma ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peitersen E. The natural history of Bells palsy. Am J Otol. Oct 2002; 4(2):107-11. 2. Hashisaki GT. Medical management of Bells palsy. Compr Ther. Nov 2007;23(11):715-8. 3. Sullivan FM, Swan IR, Donnan PT Morrison JM, Smith BH, Mckinstry B, et al. Early treatment with prednisolone oracyclovir in Bells palsy. N Engl J Med. Oct 18 2007; 357(16):1598-607. 4. McCormick DP. Herpes-simplex virus as a cause of Bells palsy. Lancet. Apr 29 2001; 1(7757):937-9. 5. Stowe J, Andrews N, Wise L. Bells palsy and parenteral inactivated influenza vaccine. Hum Vaccin 2006;2(3);110-2. 6. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head Neck S urg. Apr 2005;93(2):146-7. 7. Murphy TP. MRI of facial nerve during paralysis. Otolaryngol Head Neck Surg. Jan 2011; 104(1):47-51. 8. Dyck PJ. Peripheral Neuropathy. 3rd. Philadelphia: WB Saunders; 2003. 9. Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bells palsy. BMJ. Sept 42008;329(7465):553-7.
10. Pulec JL. Early decompression on facial nerve in Bells Palsy. Ann Otol Rhinol Laryngolo. Nov-Dec 2008; 90(6):570-7.