Вы находитесь на странице: 1из 108

SKRIPSI

KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN

Oleh ELSADORA REAPINA M F 24102132

2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN

SKRIPSI

Oleh:

ELSADORA REAPINA M F 24102132

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Elsadora Reapina Malthaputri. F 24102132. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi (Cryptocaria massoia) terhadap bakteri patogen dan pembusuk pangan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Elvira Syamsir, STP., Msi.

RINGKASAN Di Indonesia terdapat kira-kira 4000 jenis kayu dan dari jumlah tersebut masih banyak yang belum diketahui sifat dan kegunaannya, termasuk didalamnya adalah tanaman mesoyi (Cryptocaria massoia). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antimikroba pada kulit kayu mesoyi sebagai salah satu sumber daya alam khas Indonesia yang belum optimal pemanfaatannya. Dengan diketahui aktivitas antimikrobanya diharapkan penggunaan kulit kayu mesoyi dapat dikembangkan sebagai salah satu sumber antimikroba alami. Penelitian dibagi atas dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan persiapan kultur bakteri uji, proses ekstraksi, dan pengujian aktivitas antimikroba dengan metode uji difusi sumur. Pada penelitian lanjutan dilakukan penentuan nilai MIC dan uji fitokimia terhadap ekstrak kulit kayu mesoyi terpilih. Persiapan kultur bakteri uji dilakukan dengan metode hitungan cawan dan didapatkan bahwa pengenceran yang diperlukan adalah 10-3. Proses ekstraksi dilakukan dengan metode refluks dan destilasi uap. Proses ekstraksi dilakukan secara tunggal dengan pelarut air dan etanol, serta secara bertingkat dengan pelarut heksan, etil asetat, dan metanol. Rendemen ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi berturut-turut adalah 7.80% (w/w), 8.93% (w/w), 2.04% (w/v), 1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Uji difusi sumur menunjukkan bahwa hampir semua ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki spektrum penghambatan yang luas karena mampu menghambat semua bakteri uji, kecuali ekstrak air dan ekstrak metanol. Perbedaan ekstrak yang diujikan, bakteri uji yang digunakan, dan interaksi yang terjadi diantaranya memiliki pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai diameter penghambatan. Bakteri uji yang paling sensitif terhadap ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella Thypimurium, sedangkan bakteri yang paling tahan adalah E. coli. Ekstrak kulit kayu mesoyi yang memiliki aktivitas antimikroba paling baik adalah ekstrak etil asetat dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang paling tidak efektif adalah ekstrak air. Ekstrak yang dipilih untuk diuji lanjut adalah ekstrak etanol dan minyak atsiri. Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus adalah 0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (% w/w). Uji fitokimia terhadap ekstrak etanol dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi membuktikan bahwa ekstrak etanol mengandung fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid.

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh

ELSADORA REAPINA M F 24102132


Dilahirkan Pada Tanggal 24 September 1984 Di Jakarta Tanggal Lulus : 15 Januari 2007 Menyetujui Bogor, 24 Januari 2007 Dr. Ir.Sedarnawati Yasni, M.Agr Dosen Pembimbing I Mengetahui Elvira Syamsir, STP., Msi. Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Elsadora Reapina Malthaputri adalah anak kedua dari Bapak Bakri Beck dan Ibu Sri Enery yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 September 1984. Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanakkanak Aisyah Palangkaraya (1988-1990), Sekolah Dasar Negeri Langkai 12 Palangkaraya (1990-1992), Sekolah Dasar Negeri Anyelir I Depok (1992-1996), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Al-Azhar Pejaten (1996-1999), dan Sekolah Menengah Umum Negeri 8 Jakarta (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi panitia dalam berbagai kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana FATETA, BAUR 2004, NSPC (National Students Paper Competition) dan LCTIP (Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti seminar National Students paper competition on food issue (2003) dan IDF International Conference of FGW Student Forum for Milk and Milk Product (2005). Penulis melakukan kegiatan praktek lapang di PT Makro Indonesia dengan topik mempelajari sistem penyimpanan dan pemajangan bahan pangan segar dalam usaha mengurangi tingkat kerusakan di makro cabang pasar rebo (Divisi fresh food) di PT. Makro Indonesia, Jakarta. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul Kajian aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi (Cryptocaria massoia) terhadap bakteri patogen dan pembusuk pangan di bawah bimbingan Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr dan Elvira Syamsir, STP., MSi.

KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam juga tidak lupa penulis panjatkan kehadirat Rasulullah SAW. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr .Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Elvira Syamsir, STP., Msi. selaku dosen pembimbing akademis yang selalu memberikan bimbingan, selama perkuliahan dan penelitian sampai penulisan skripsi selesai. 2. Ir. Budi Nurtama, M. Agr, atas kesediaannya menjadi dosen penguji. 3. Papa, Mama, kak Ridho dan Rayhan, untuk semua dukungan yang diberikan. 4. Mas Deddy yang sudah menemani dan menyemangati disetiap waktu penulis, dan Vita Amanda yang mengajarkan arti sahabat sejati. 5. Sahabat-sahabat poobiers-ku, Nungi, Tuxki, Farah, Tish, Tante, Ina, Grid dan Nene, terima kasih untuk kebersamaan dan waktunya berbagi apa saja. 6. Sahabat-sahabatku, Ratih Woro, Aponk, dan Kanyaka, serta teman-teman TPG 39, Vero Anna, Ajeng, Didin, Dadik, Ulik, dan Boyon. 7. Eva H. Direja, untuk kerja sama tak terlupakan, dan teman sebimbingan lainnya, Mba dewi TPG36, Mba Lily TPG37, dan Mba Nurma TPG38. 8. Teman-teman selama di Laboratorium, Inda, Rebek, Manginar, Nanda, Shinta, Muslimah, Tojay, Ibu Yuspi, Ibu Diana, Ibu Asriani, dan Mba Tri. 9. Laboran-laboran Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. 10. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangannya dalam penulisan, walaupun demikian penulis tetap berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Januari 2007 Penulis

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 .................................................................................... 3 ............................................................................ 4

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Tujuan dan Sasaran II. B. C. E. F.

TINJAUAN PUSTAKA Teknik ekstraksi

A. Kulit kayu mesoyi Senyawa antimikroba

.................................................................................... 4 ........................................................................................ 7 ................................................................................ 11 .............. 12 .............................................................. 18

D. Karakteristik mikroba patogen dan mikroba perusak makanan Pengujian aktivitas antimikroba Uji fitokimia

.............................................................................................. 23

III. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 29 A. B. C. D. E. Bahan dan alat Metode penelitian Metode analisis Pengolahan data .......................................................................................... 29 .................................................................................... 29 ...................................................................................... 30 ........................................................................................ 37 ........................................................................................ 43 Tempat dan waktu

IV. A. B. C. V. A. B.

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan kultur bakteri uji

............................................................ 45 .................................................................... 45 ................................ 46 .................................................... 63

Aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi Uji lanjut ekstrak kulit kayu mesoyi

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 70 Kesimpulan .............................................................................................. 70 71 Saran .........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 72

DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Hasil analisis proksimat kulit kayu mesoyi .............................. Nilai MIC beberapa minyak rempah-rempah .......................... .............. .......... .. Komponen fenolik yang ditemukan dalam tanaman Komponen fenolik tanaman dan aktivitas antimikroba Total mikroba kultur bakteri uji Hasil uji statistik GLM-Univariate Hasil uji fitokimia 6 23 25 25 45 47 54 64 65 67

............................................ .......................................... .................... ......................

Nilai rendemen dan karakteristik ekstrak kulit kayu mesoyi Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) Karakteristik minyak atsiri kulit kayu mesoyi

..................................................................

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. (a) pohon mesoyi (b) minyak atsiri .................................... 6 .. 6 17 22 32 34

Mesoyi lakton atau 5-Pentylpent-2-en-5-olide (C10H16O2) Bakteri-bakteri uji : (a) P. aeruginosa, (b) B. cereus, (c) E.

coli, (d) S. aureus, dan (e) Salmonella Thypimurium.............. Dimethyl sulfoxide atau DMSO ............................................ Diagram alir penelitian Diagram alir metode hitungan cawan .................................. ......

........................................................ 30

Skema ekstraksi tunggal dengan pelarut etanol dan air

Diagram alir proses ekstraksi bertingkat dari ampas kulit kayu mesoyi.............................................................................. 36 Diagram alir uji difusi sumur .............................................. 39 ...................................... 41 Diagram alir penentuan nilai MIC

Jenis ekstrak kulit kayu mesoyi : (a) ekstrak air, (b) ekstrak etanol, (c) minyak atsiri, (d) ekstrak heksan, (e) ekstrak etil asetat, dan (f) ekstrak metanol.................................................. 48

Gambar 12. Gambar 13.

Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri uji....................................................... (a) penghambatan ekstrak etil asetat terhadap P. aeruginosa dan (b) penghambatan minyak atsiri terhadap Salmonella Typhimurium dengan kontrol positifnya.................................. 52 51

Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18.

Profil perkiraan aktivitas antimikroba berbagai jenis ekstrak kulit kayu mesoyi..................................................................... Profil perkiraan penghambatan berbagai bakteri uji ............ Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif............................ Perbandingan diameter penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi..................................................................... Penghambatan pertumbuhan B. cereus oleh ekstrak etanol..... 61 63 58 53 53

10

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Hasil uji kadar air ekstrak air kulit kayu mesoyi Perhitungan rendemen Data uji konfirmasi .......... 79

........................................................ 80 ........................................................ 81 .................................. 82 ...................... 83 ...................... 83 ...................... 84 ...................... 85 .............. 86

Perhitungan diameter penghambatan

Data aktivitas antimikroba ekstrak etanol Data aktivitas antimikroba minyak atsiri Data aktivitas antimikroba ekstrak heksan Data aktivitas antimikroba ekstrak metanol

Data aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat ...................... 84

Lampiran 10. Uji statistik metode GLM dengan uji lanjut LSD

Lampiran 11. Perkiraan rataan marginal daya hambat jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri uji.................................... 93 Lampiran 12. Perkiraan rataan marginal daya hambat bakteri uji oleh jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi...................................... 93 Lampiran 13. Perkiraan rataan marginal daya hambat pertumbuhan bakteri uji karena interaksi jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan jenis bakteri uji.................................................................... Lampiran 14. Struktur dinding sel bakteri (a) Gram positif dan (b) Gram negatif..................................................................................... Lampiran 15. Penentuan nilai MIC minyak atsiri terhadap Salmonella Typhimurium.......................................................................... Lampiran 16. Penentuan nilai MIC ekstrak etanol terhadap B. cereus .... 96 97 95 94

11

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu karakteristik bahan pangan adalah mudah sekali mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme. Senyawa antimikroba ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk menghindari kerusakan ataupun penurunan mutu bahan pangan akibat mikroorganisme. Senyawa antimikroba terbuat dari bahan yang berasal dari alam ataupun buatan (sintetik). Saat ini senyawa antimikroba yang banyak ditambahkan pada makanan (aditif) sebagai pengawet adalah senyawa antimikroba buatan atau sintetik. Adanya peningkatan taraf hidup, dan perubahan pola hidup, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan telah mengubah pola pikir sebagian masyarakat untuk cenderung memilih produk pangan alami daripada produk pangan yang diawetkan dengan menggunakan pengawet sintetik. Perubahan perilaku masyarakat tersebut mendorong banyaknya penelitian yang dilakukan untuk mencari solusi melepaskan ketergantungan terhadap pengawet sintetik dan kembali ke alam (back to nature), termasuk mencari sumber pengawet/senyawa antimikroba alami. Indonesia adalah salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia selain Brazilia dan Tanzania (Agusta, 2000). Indonesia adalah negara penghasil rempah-rempah khas yang telah dikenal sejak dahulu kala. Rempah banyak digunakan sebagai bumbu ataupun digunakan secara tradisional untuk pengobatan suatu penyakit dan pengawetan bahan pangan. Salah satu rempah di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai obat terutama di Indonesia bagian timur adalah kulit kayu mesoyi. Mesoyi merupakan salah satu dari 4000 jenis kayu di Indonesia yang belum diketahui sifat dan kegunaannya (Kartasujana dan Martawijaya, 1973). Tanaman mesoyi (Cryptocaria massoia) termasuk dalam famili Lauraceae. Beberapa rempah dari famili ini yang telah lebih banyak dikenal dibandingkan mesoyi adalah kayu manis (Cinnamomun burmanii) dan

12

antarasa (Litsea cubeba) (Agusta, 2000). Selain itu, bagian kayu dari rempah yang banyak diteliti adalah kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.). Mesoyi (Cryptocaria massoia) merupakan pohon hutan yang terdapat di Indonesia, terutama di Indonesia Timur. Kulit kayu merupakan bagian yang paling banyak dimanfaatkan dari tanaman mesoyi (Guenther, 1972). Kulit kayu mesoyi lebih banyak digunakan sebagai obat-obatan daripada sebagai bumbu. Kulit kayu mesoyi banyak digunakan untuk mengobati diare, kejang, demam, TBC, sakit otot, sakit kepala, dan konstipasi kronis (Lily, 1980). Saroni dan Adjirni (2001) menyatakan bahwa infus kulit kayu mesoyi dosis 300 mg/100 g bobot badan mempunyai efek antiinflamasi pada tikus putih, tetapi tidak sekuat fenilbutazon (kontrol) dengan dosis 10 mg/100 g bobot badan. Mesoyi juga diketahui sebagai rempah yang memiliki khasiat analgetika. Pada dosis 100 mg/10 g bobot badan, mesoyi memiliki efektivitas analgetik lebih besar daripada asetosal sebagai kontrol pada dosis 0.52 mg/10 g bobot badan mencit (Widowati dan Pudjiastuti, 2001). Diketahuinya manfaat kulit kayu mesoyi sebagai antiinflamasi dan analgetika, serta penggunaan kulit kayu mesoyi secara empiris inilah yang menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian lain agar pemanfaatan kulit kayu mesoyi semakin luas. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari aktivitas antimikroba dari kulit kayu mesoyi. Kemampuan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh kandungan komponen bioaktif yang bersifat antimikroba di dalam suatu bahan. Telah diketahui bahwa kandungan komponen bioaktif rempah-rempah merupakan komponen yang banyak berperan sebagai senyawa antimikroba. Diduga kulit kayu mesoyi berpotensi sebagai salah satu sumber senyawa antimikroba alami, sehingga dapat digunakan sebagai pengawet pangan dan dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional. Dengan demikian nilai ekonomis kulit kayu mesoyi akan meningkat.

13

B. TUJUAN DAN SASARAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antimikroba beberapa jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap mikroba patogen dan perusak pangan. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah peningkatan pemanfaatan ekstrak kulit kayu mesoyi sebagai pengawet pangan alami dan pengembangannya sebagai pangan fungsional.

14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KULIT KAYU MESOYI Kulit kayu mesoyi merupakan bagian kulit kayu dari tanaman mesoyi (Cryptocaria massoia). Mesoyi termasuk famili Lauraceae. Spesies yang paling populer dari famili tumbuhan ini sebagai penghasil minyak atsiri adalah Cinnamomun burmannii (kayu manis) dari genus Cinnamomun, Litsea cubeba (antarasa) dari genus Litsea, dan Cryptocaria massoia (mesoyi) dari genus Cryptocaria (Agusta, 2000). Daerah sebaran Cinnamomun dan Cryptocaria di Indonesia terbagi menjadi dua daerah yang menarik untuk dicermati. Daerah Indonesia bagian barat dan tengah seperti Sumatera dan Jawa, umumnya didominasi oleh Cinnamomun, sedangkan Cryptocaria populasinya lebih dominan di daerah Indonesia timur, terutama Irian Jaya (Agusta, 2000). Beberapa ilmuwan mengemukakan beberapa nama botani tanaman mesoyi, antara lain Massoia aromaticum Becc., dan Cinnamomun xanthoneuron Blume (Guenther, 1972). Saat ini diketahui bahwa terdapat beberapa varietas tanaman mesoyi, seperti Cryptocaria massoia, Massoia aromaticum Baecari., Cinnamomun xanthoneuron Blume, dan Cinnamomun culilawan Blume (Ketaren, 1985). Varietas Cryptocaria massoia terdapat di daerah Bogor (Ketaren 1985), dan karenanya kulit kayu mesoyi yang digunakan pada penelitian ini termasuk dalam varietas Cryptocaria massoia. Mesoyi digambarkan sebagai pohon hutan yang indah, tingginya sedang, tegak, dan dapat tumbuh pada tanah berkapur. Mesoyi terdapat di beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Seram Selatan dan Laut Bacan, Pulau Aru dan Kai, dan Irian. Mesoyi memiliki beberapa bagian penting yang banyak digunakan, antara lain daun, cabang, kulit dan kayu. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 1000-1500 m diatas permukaan laut (Heyne, 1987). Selain terdapat di beberapa daerah di Indonesia, mesoyi juga banyak terdapat di Cina (Guenther, 1972).

15

Mesoyi memiliki beberapa bagian penting yang banyak digunakan. Daun mesoyi banyak digunakan di Pulau Seram sebagai bahan pengisi bantal atau sebagai obat dengan mengoleskannya pada kepala saat perjalanan jauh (Guenther, 1972), karena daun mesoyi memberi efek menghangatkan. Kulit kayu mesoyi berwarna coklat, memiliki bau tajam yang khas, dan rasa yang cenderung kurang disukai (Heyne, 1987). Kulit kayu mesoyi memiliki ukuran rata-rata lebar 5 cm dan panjang mencapai 100 cm. Biasanya kulit tanaman mesoyi dijual dalam bentuk ikatan atau potongan (Guenther, 1972). Bagian kulit ini mengeluarkan cairan yang dapat menyebabkan gatal-gatal bila terkena kulit. Oleh karena itu pada penanganannya cairan ini harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan cara diletakkan secara berdiri selama beberapa hari. Setelah kering kulit kayu kayu mesoyi akan terlepas dengan sendirinya. Meskipun demikian kulit kayu mesoyi tetap mengandung lemak walaupun dibiarkan berhari-hari (Iskandar dan Ismanto, 2001). Kulit kayu mesoyi banyak digunakan sebagai obat-obatan, makanan, dan jamu. Penggunaannya sebagai obat, antara lain sebagai campuran pada obat kejang perut, dan obat keputihan. Di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, kulit kayu mesoyi digunakan pada hari-hari dingin karena dapat membuat badan lebih hangat. Di Jawa dan Bali, kulit kayu mesoyi dibuat menjadi bubur, yang berfungsi selain membuat badan lebih hangat juga dapat mengharumkan badan (Heyne, 1987). Kulit kayu mesoyi berwarna kelabu muda, kaki batang kasar dan retak, dan bagian dalam berwarna kemerah-merahan. Potongan kulit kayu mesoyi dan minyak hasil penyulingannya dapat dilihat pada Gambar 1. Komposisi kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Tabel 1. Saat ini, kulit kayu mesoyi banyak diambil minyaknya sebagai bahan baku parfum. Minyak kulit kayu mesoyi dihasilkan dari proses penyulingan uap kulit kayu mesoyi. Komponen utama minyak kulit kayu mesoyi adalah persenyawaan mesoyi-lakton (Ketaren, 1985). Struktur persenyawaan mesoyi-lakton dapat dilihat pada Gambar 2.

16

(a) kayu mesoyi (Anonima, 2004)

(b)

Gambar 1. (a) pohon mesoyi (Sudibyo, 1998) dan (b) minyak atsiri kulit

Tabel 1. Hasil analisis proksimat kulit kayu mesoyi Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat Persentase (%) 10.73 5.15 4.01 6.44 73.67

Gambar 2. Mesoyi Lakton atau 5-Pentylpent-2-en-5-olide (C10H16O2) (Leffingwell, 1999) Sebagai tanaman khas Indonesia, kulit kayu mesoyi belum banyak dimanfaatkan dan diteliti kegunaannya bila dibandingkan dengan tanaman khas Indonesia lainnya seperti kayu manis, antarasa, dan kayu secang. Kayu manis dengan senyawa sinamaldehid sebagai komponen utamanya, telah diketahui sebagai salah satu rempah penghasil minyak yang memiliki aktivitas antimikroba (Davidson dan Naidu, 2000). Litsea

17

cubeba (antarasa) diketahui sebagai rempah yang memiliki aktivitas antimikroba (Mulia, 2000). Kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) merupakan rempah di Indonesia yang juga berasal dari kayu dan telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba (Sundari et al., 1998). B. TEKNIK EKSTRAKSI Ekstraksi adalah suatu cara memisahkan komponen tertentu dari suatu bahan sehingga didapatkan zat yang terpisah secara kimiawi maupun fisik. Ekstraksi biasanya berkaitan dengan pemindahan zat terlarut diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan, dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen, 2003). Terdapat dua jenis ekstraksi yang dikenal, yaitu dengan menggunakan panas dan tanpa pemanasan. Pada penelitian ini digunakan teknik ekstraksi yang menggunakan pemanasan, atau biasa disebut refluks. Pembagian jenis ekstraksi dapat juga dilakukan menurut pelarut yang digunakan. Untuk pembagian ini, ekstraksi dibagi menjadi ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah teknik ekstraksi pada bahan secara langsung menggunakan satu jenis pelarut, sedangkan ekstraksi bertingkat adalah ekstraksi dengan beberapa pelarut organik yang tingkat kepolarannya berbeda-beda. Proses ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini adalah ekstraksi tunggal dengan pemanasan (refluks), destilasi uap, dan ekstraksi bertingkat dengan pemanasan (refluks). Berikut akan dijelaskan lebih lanjut proses ekstraksi tersebut.

18

1. Refluks Refluks adalah teknik ekstraksi dengan menggunakan panas. Kelebihan dari refluks adalah dapat mempercepat proses ekstraksi, dan mendapatkan komponen bahan lebih banyak (rendemen lebih besar). Pengaplikasian panas dapat meningkatkan kelarutan bahan dan membuat komponen-komponen didalamnya lebih mudah terekstrak (Adawiyah, 1998). Selain itu, penggunaan panas juga lebih mendekati pada aplikasi sehari-hari, yaitu rempah sering digunakan sebagai bumbu dan dalam pengolahannya biasanya melalui proses pemasakan (panas). Kekurangannya adalah resiko terjadinya kerusakan komponen yang terekstrak karena terkena panas. Untuk memperkecil resiko, maka refluks dilakukan dengan waktu yang lebih singkat. Selain itu, pemilihan pelarut yang digunakan juga dapat mengurangi kerusakan oleh panas. Pelarut yang baik digunakan pada cara panas adalah pelarut organik dengan titik didih lebih rendah daripada air, seperti benzena (Pomeranz dan Meloan, 1994). Pada refluks, baik tunggal ataupun bertingkat, bahan diekstraksi pada suhu tinggi selama 3 jam. Cairan kemudian disaring dan bahan diekstraksi kembali selama dua jam. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan rendemen (Adawiyah, 1998). Gambar alat refluks dapat dilihat pada Lampiran 2.

2. Destilasi uap Destilasi adalah cara ekstraksi yang telah dikenal sejak dahulu kala dan digunakan secara luas selama ribuan tahun. Awalnya alat yang terdiri dari evaporator dan kondensor banyak digunakan untuk mendapatkan konsentrat dari minuman beralkohol. Destilasi dapat diartikan sebagai proses yang memisahkan dua atau lebih campuran

19

bahan yang memiliki titik didih yang berbeda. Pemisahan terjadi dengan mengeluarkan komponen volatil (Kister, 1992). Untuk mendapatkan minyak atsiri, dilakukan destilasi uap. Destilasi uap adalah salah satu jenis ekstraksi tanpa menggunakan panas. Pada metode ini, air sebagai sumber uap panas berada pada ketel yang berbeda yang kemudian dialirkan dari bejana uap ke dalam bahan (Ketaren, 1985). Setelah bahan banyak teruapkan, maka bahan akan mendidih kemudian air dan minyak naik melalui tabung dan mengalami kondensasi. Distilat yang diperoleh terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan minyak dan lapisan air. Dengan demikian minyak dapat dipisahkan dari air (Mulia, 2000). Ekstraksi minyak atsiri dengan metode destilasi uap memiliki beberapa kelemahan, yaitu: (1) tidak baik digunakan terhadap beberapa jenis minyak yang mengalami kerusakan oleh adanya panas dan air, (2) minyak atsiri yang mengandung fraksi ester akan terhidrolisa karena adanya air dan panas, (3) komponen minyak yang larut dalam air tidak dapat diekstraksi, dan (4) bau minyak sedikit berubah dari bau wangi alamiah (Ketaren, 1985).

3. Ekstraksi dengan pelarut organik Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Hal ini dikarenakan tingkat kepolaran berbagai komponen non-volatil dalam rempah-rempah berbeda-beda juga. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah: (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992). Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak akan

20

terlarut dalam pelarut. Kelebihan dari ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah mendapatkan senyawa yang lebih terkonsentrasi dan memiliki aroma yang hampir benar-benar sama dengan bahan alami awal (Anonimb, 2006). Pengekstraksian minyak tumbuhan dengan kimiawi (pelarut organik) adalah cara paling ekonomis karena membutuhkan sedikit biaya dengan hasil yang banyak. Tetapi bahanbahan kimia yang digunakan dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan dan mencemari lingkungan (Iskandar, 2003). Kekurangan ini disebabkan terdapatnya residu pelarut organik didalam ekstrak. Oleh karena itu, setelah proses ekstraksi selesai, penting dilakukan penghilangan sisa pelarut organik yang terdapat dalam bahan (Anonimb, 2006). Pada penelitian ini, ekstraksi dilakukan secara berturut-turut menggunakan heksan, etil asetat, dan metanol. Dengan demikian akan diperoleh ekstrak yang mengandung senyawa non polar, senyawa dengan kepolaran menengah, dan senyawa polar. Proses ekstraksi dengan pelarut non-polar (heksan) diperlukan untuk menghilangkan lemak (defatting), sehingga pelarut yang lain lebih efektif dalam mengekstraksi ampas mesoyi. Heksan adalah hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan biasanya merupakan cairan tak berwarna dan bersifat non-polar. Heksan memiliki titik didih 69C dan dapat larut dalam air (Anonimh, 2006). Etil asetat adalah komponen organik semi polar dengan rumus molekul C4H8O2. Etil asetat adalah cairan tidak berwarna dan memiliki bau tajam yang kurang enak. Keuntungan menggunakan etil asetat sebagai pelarut disebabkan oleh sifatnya yang volatil, nontoksik, dan tidak higrokopis (Anonimi, 2006). Metanol adalah alkohol sederhana dengan senyawa kimia dengan rumus molekul CH3OH. Metanol merupakan cairan kimia tak berwarna, volatil, dapat terbakar, beracun, dengan bau yang lebih dalam dan lebih wangi dibandingkan etanol. Metanol banyak

21

digunakan sebagai pelarut dan bahan bakar. Titik didih pelarut ini adalah 64.7C. Metanol bersifat polar dan karenanya akan mengekstrak komponen-komponen polar dari bahan (Anonimc, 2006).

C. SENYAWA ANTIMIKROBA Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau senyawa kimia yang digunakan dalam dosis kecil dengan tujuan untuk mencegah ataupun menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Ray, 2001). Senyawa ini terdapat didalam bahan pangan dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya terdapat secara alamiah, ditambahkan dengan sengaja, ataupun terbentuk selama pengolahan atau oleh mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi (Fardiaz, 1992). Dalam bidang pangan, senyawa antimikroba umumnya digunakan sebagai senyawa aditif untuk mencegah pembusukan makanan karena adanya pertumbuhan mikroba (Branen, 1993). Senyawa antimikroba yang ditambahkan pada makanan untuk mengawetkan harus mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain memiliki aktivitas antimikroba, aman untuk dikonsumsi manusia, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan kualitas makanan, memiliki aktivitas antimikroba yang baik pada kondisi lingkungan makanan, efektif pada dosis kecil, serta bersifat membunuh daripada menghambat pertumbuhan mikroba (Ray, 2001). Pemilihan senyawa antimikroba pangan yang baik didasarkan pada kemampuannya menghambat jenisjenis mikroba. Biasanya senyawa antimikroba yang dapat menghambat lebih banyak bakteri, baik bakteri pembusuk ataupun patogen (spektrum penghambatan yang luas) lebih diharapkan (Branen, 1993). Penghambatan terhadap bakteri uji dapat bersifat bakterisidal ataupun bakteristatik. Bakteristatik artinya dapat menghambat pertumbuhan bakteri secara cukup signifikan, dan bila bahan penghambat dihilangkan maka bakteri akan pulih dan dapat tumbuh kembali (Prescott

22

et al., 2003). Bakterisidal dapat diartikan sebagai bahan yang dapat membunuh bakteri yang menjadi target. Aktivitas dari senyawa yang bersifat bakterisidal sangat tergantung pada konsentrasi antimikroba yang digunakan (Prescott et al., 2003). Fakta yang menunjukkan adanya hubungan antara rempah-rempah dengan mikrobiologi diantaranya adalah: (1) beberapa rempah diketahui memiliki aktivitas antimikroba, (2) rempah-rempah dapat menstimulasi metabolisme mikroorganisme, (3) rempah-rempah menjadi berjamur bila disimpan pada tempat dengan kelembaban tinggi, dan (4) terkadang rempah mengandung mikroba secara alami (Farkas, 2000). Rempahrempah dan ekstrak-ekstrak tanaman telah banyak diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Kayu manis, bawang putih, bawang bombay, jahe, dan banyak rempah lainnya telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba. Hal ini membuka jalan untuk banyak penelitian yang bertujuan mempelajari kemungkinan penggunaan bahan alami sebagai pengawet (Ray, 2001). Senyawa antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri dengan beberapa cara. Secara umum mekanisme kerja antimikroba dalam menghambat mikroba adalah: (1) bereaksi dengan membran sel, (2) inaktivasi enzim esensial, dan (3) mendestruksi atau menginaktivasi fungsi dari materi genetik (Davidson, 1993). D. KARAKTERISTIK MIKROBA PATOGEN DAN MIKROBA

PEMBUSUK MAKANAN Bakteri yang akan diuji pada penelitian ini mewakili bakteri patogen dan pembusuk pangan. Bakteri yang akan diuji adalah Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, Pseudomonas aeruginosa, dan Bacillus cereus. Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, dan Bacillus cereus mewakili jenis bakteri patogen, sedangkan Pseudomonas aeruginosa mewakili bakteri pembusuk pangan.

23

Bakteri

dikategorikan

patogen

bila

bakteri

tersebut

dapat

menyebabkan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsi makanan yang mengandung bakteri ini dalam jumlah tertentu. Beberapa bakteri patogen juga dapat menghasilkan toksin (racun), sehingga jika toksin tersebut dikonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan intoksikasi. Pada intoksikasi, sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan, toksin yang sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tak ada dalam makanan (Ardiansyah, 2006). Kualitas pangan akan menurun jika terdapat bakteri pembusuk di dalamnya. Pembusukan (spoilage) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penurunan kualitas dari warna, tekstur, aroma, dan rasa makanan hingga titik dimana makanan tersebut tidak dapat diterima oleh manusia (Shiddieqy, 2006). Bakteri-bakteri uji ini dapat dikelompokkan atas golongan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri yang termasuk kedalam kelompok bakteri Gram positif adalah Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, sedangkan yang termasuk pada bakteri Gram negatif adalah Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Salmonella Typhimurium. 1. Staphylococcus aureus Stapilokoki merupakan kumpulan sel yang tidak beraturan dan berbentuk seperti buah anggur. Staphylococcus aureus merupakan golongan bakteri Gram positif, famili Micrococcaceae, dan berbentuk bulat dengan diameter 0.5-1.5 m. Staphylococcus aureus dapat hidup secara aerobik maupun anaerobik fakultatif, bersifat non-motil dan tidak membentuk spora (Parker, 2000). Gambar S. aureus dapat dilihat pada Gambar 3. S. aureus dapat tumbuh pada kisaran suhu 7-48C dengan suhu optimum pertumbuhannya adalah 35-37oC. S. aureus terbukti mampu bertahan pada suhu beku (freezing), dan pada suhu -18C dapat bertahan pada daging dan produk unggas dengan tidak atau

24

hanya mengalami sedikit perubahan dalam jumlah sel (White dan Hall, 1984). Beberapa strain dari S. aureus juga tahan panas. Faktorfaktor yang mempengaruhi ketahanan S. aureus terhadap panas adalah suhu dimana sel tersebut tumbuh dan umur sel (Parker, 2000). S. aureus yang tumbuh dibawah suhu 30C lebih sensitif terhadap panas dibandingkan S. aureus yang tumbuh di atas suhu 30C, sedangkan S. aureus yang tumbuh di atas suhu 40C lebih resisten terhadap panas (Smith dan Marmer, 1991). Sel S. aureus pada masa awal fase log lebih tidak tahan panas dibandingkan sel pada masa stasioner. Kondisi penyembuhan dari sel S. aureus yang rusak akibat panas berlangsung optimum pada suhu 32C dan pH 6.0 (Parker, 2000). S. aureus adalah salah satu mikroba patogen yang paling tahan terhadap lingkungan kering. S. aureus dapat tumbuh pada lingkungan dengan nilai aw yang lebih rendah dibandingkan bakteri patogen lain. Batas nilai aw untuk pertumbuhan akan lebih rendah pada kondisi lingkungan aerobik daripada anaerobik, dan bila suhu dan pH turun batas nilai aw yang diharapkan untuk pertumbuhan meningkat. Kisaran pH untuk pertumbuhan S. aureus adalah antara 4.0-10.0 dalam kondisi lingkungan yang cocok, dengan pH optimumnya adalah 6.0-7.0 (Parker, 2000). Hampir seluruh strain S. aureus bersifat patogen dan dapat memproduksi 6 jenis enterotoksin (A, B, C1, C2, D, dan E) dengan tingkat toksisitas yang berbeda yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya. Sebagian besar kasus keracunan makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A. S. aureus sering menyebabkan orang yang mengkonsumsi susu dari sapi yang menderita mastitis stapilokoki menjadi sakit (Parker, 2000). 2. Escherichia coli Bakteri koliform dibedakan atas dua kelompok yaitu fekal dan nonfekal. Escherichia coli merupakan jenis bakteri dari kelompok

25

fekal yang berasal dari saluran pencernaan manusia dan biasanya diisolasi dari kotoran manusia. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang. E. coli termasuk famili Enterobacteriaceae. Panjang E. coli adalah 2.0-6.0 m dan lebarnya adalah 1.1-1.5 m. E. coli bersifat motil atau non motil dengan flagela peritrikat bersifat fakultatif anaerob. Kisaran suhu untuk pertumbuhan E. coli adalah 10-40oC, dengan suhu optimum pertumbuhannya adalah 37oC. Gambar E. coli dapat dilihat pada Gambar 3. E. coli mengandung enterotoksin dan faktor virus lainnya yang dapat menyebabkan diare. Bakteri ini adalah penyebab utama infeksi pada saluran kencing dan nosocomial, termasuk septisimia dan meningitis (Holt, et al.., 1994). 3. Bacillus cereus B. cereus adalah bakteri Gram positif yang memiliki sel berukuran cukup besar. B. cereus bersifat fakultatif dan dapat menghasilkan spora yang tahan terhadap suhu tinggi dan pengeringan. Spora B. cereus umumnya berbentuk silinder. B. cereus dapat tumbuh secara aerobik dan juga anaerobik (Granum, 2000). Gambar B. cereus dapat dilihat pada Gambar 3. Suhu optimum pertumbuhan B. cereus adalah 35-40C, tetapi beberapa strain B. cereus diketahui dapat tumbuh pada suhu 4-6C atau bersifat psikrotropik (Driessen, 1993). B. cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan adalah jenis B. cereus yang tumbuh pada suhu 30-40C atau bersifat mesofilik (Granum, 2000). Bacillus cereus merupakan saprofit umum pada tanah (Granum, 2000). B. cereus banyak terdapat pada daging, sayuran, nasi goreng, sup, makaroni, keju, produk roti, kacang-kacangan dan salad mentah. B. cereus dapat menyebabkan penyakit pada manusia lewat makanan (food borne illness). Penyakit yang ditimbulkan oleh B.

26

cereus adalah muntah-muntah, diare, dan sakit perut (Granum, 2000). Sindrom diare disebabkan oleh setidaknya dua jenis enterotoksin yang dihasilkan selama pertumbuhan vegetatif B. cereus didalam usus kecil. Untuk mencegah dampak buruk B. cereus, makanan harus dijaga agar jumlah kontaminasinya tidak tinggi. Batas aman konsumsi B. cereus adalah 1x106 (Granum, 1994). Hal ini dapat dilakukan dengan pemasakan yang dapat membunuh sel vegetatif dan mencegah germinasi spora; pemanasan kemudian pendinginan secepatnya sehingga memberikan shok; dan penyimpanan pada suhu refrigerator. 4. Salmonella Typhimurium Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh maka menimbulkan gejala yang disebut salmonelosis. Gejala salmonelosis yang paling sering terjadi adalah gastroenteritis. Selain gastroenteritis, beberapa spesies Salmonella juga dapat menimbulkan gejala penyakit lainnya, misalnya demam enterik seperti demam tifoid dan demam paratifoid serta infeksi lokal (Fardiaz, 1992). Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae. Salmonella berbentuk batang, Gram negatif, anaerobik fakultatif, dan aerogenik. Biasanya, Salmonella bersifat motil dan mempunyai flagela peritrikus. Kebanyakan strain Salmonella bersifat aerogenik, dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, dan tidak membentuk H2S (Fardiaz,1992). Gambar Salmonella Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 3. Salmonella hidup secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini tidak dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba yang umum terdapat di dalam makanan seperti bakteri-bakteri pembusuk, bakteri genus lainnya dalam famili Escericieae dan bakteri asam laktat. Oleh karena itu, pertumbuhannya sangat terhambat dengan adanya bakteri-bakteri tersebut (Cox, 2000).

27

Salmonella Typhimurium dapat tumbuh pada suhu 5-47C dengan suhu optimum 35-37C. Nilai pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 6.5-7.5, sedangkan aw optimum adalah 0.945-0.999 (Cox, 2000). 5. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa termasuk ordo Pseudomonadales, sub ordo Pseudomonadaceae, dan famili Pseudomonadaceae, merupakan bakteri aerob obligat dan oksidase positif. Beberapa spesies bersifat motil dengan flagela polar, sedangkan spesies lainnya bersifat non-motil (Bennik, 2000). Pseudomonas aeruginosa adalah Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dan berukuran kecil (Gambar 3). Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu 37 C.
o

Bakteri

ini

memproduksi

senyawa-senyawa

yang

menimbulkan bau busuk dan pigmen tiosianin yang berwarna biru. Untuk pertumbuhan yang baik, diperlukan aw minimum 0.96-0.98, pH optimum 6.6-7.0, dan suhu pertumbuhan optimum 37C (Bennik, 2000).

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 3. Bakteri-bakteri uji: (a) P. aeruginosa, (b) B. cereus, (c) E. coli, (d) S. aureus, dan (e) Salmonella Thypimurium.

28

E. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA Pengujian aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan metode in vitro ataupun dengan metode aplikasi (Davidson dan Parish, 1989). Metode aplikasi adalah metode dimana senyawa antimikroba diaplikasikan secara langsung terhadap produk pangan untuk mengukur pengaruhnya terhadap mikroflora alami produk pangan tersebut. Metode in vitro adalah uji aktivitas antimikroba dengan senyawa antimikroba yang tidak diaplikasikan langsung kepada produk. Metode ini hanya bisa memberikan informasi awal tentang potensi kegunaan komponen sebagai antimikroba. (Davidson dan Parish, 1993). Salah satu metode pengujian aktivitas antimikroba secara in vitro adalah uji difusi sumur dan penentuan nilai MIC. 1. Uji difusi sumur Uji difusi sumur adalah cara menguji aktivitas antimikroba yang paling banyak digunakan (NCCLS, 1991). Branen (1993) menyatakan bahwa uji difusi sumur merupakan cara yang sederhana dan cepat, walaupun cara ini memiliki kelemahan pada data yang dihasilkan karena lebih bersifat kualitatif. Aktivitas antimikroba yang terlihat pada uji difusi sumur dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) tipe dan ukuran cawan, (2) tipe agar, pH, dan kandungan garamnya, (3) kemampuan zat untuk berdifusi kedalam agar, (4) karakteristik media, dan (5) jenis bakteri uji yang digunakan. Ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur atau lubang akan berdifusi masuk kedalam agar selama masa inkubasi. Bila memiliki sifat antimikroba, ekstrak ini akan menimbulkan gradien konsentrasi di dalam agar dan membentuk penghambatan yang akan terlihat sebagai zona bening. Semakin jauh jarak masuk ke dalam agar, maka konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji juga akan semakin berkurang. Berkurangnya konsentrasi berarti

29

kekuatan ekstrak berkurang dan hanya beberapa bakteri yang dapat terhambat. Hal inilah yang menimbulkan gradien konsentrasi pada tingkat-tingkat konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993). Batas dari zona bening adalah pada saat kekuatan ekstrak sudah jauh berkurang, sehingga tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona bening yang terbentuk disebut juga diameter penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak, dan kemampuan ekstrak untuk berdifusi kedalam agar (Prescott et al., 2003). 2. Penggunaan Kontrol Pada uji difusi sumur digunakan kontrol sebagai pembanding. Kontrol negatif yang digunakan adalah pelarut untuk melarutkan ekstrak, yaitu Dimetilsulfoksida (DMSO), sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik. Tujuan menggunakan kontrol negatif adalah untuk melihat pengaruh DMSO terhadap aktivitas antimikroba ekstrak. Kontrol positif digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antimikroba ekstrak, karena antibiotik merupakan senyawa antimikroba yang telah dibuat secara terstandar. a. Kontrol positif Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik dengan spektrum antimikroba yang luas, yaitu amoxycillin. Antibiotik adalah produk metabolit yang dihasilkan organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lainnya. Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroba dan bersifat menghambat mikroorganisme yang lain. Antibiotik merupakan bahan yang sering digunakan dalam penelitian. Beberapa antibiotik yang sering digunakan pada

30

penelitian adalah penicillin, actinomycins, chloramphenicol, cycloserine, asam et al., 2003). Suatu zat antibiotik hendaknya memiliki sifat sebagai berikut: (1) mampu menghambat atau merusak patogen spesifik, (2) tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resisten, (3) tidak menimbulkan efek samping yang dikehendaki, (4) tidak mengganggu flora alamiah dari suatu benda atau manusia, (5) harus dapat dimasukkan dari mulut tanpa diinaktifkan, dan (6) sangat mudah larut dalam air. Amoxycillin adalah senyawa antibiotik semisintesis dari Penisilin. Penisilin merupakan salah satu antibiotik yang umum dan banyak beredar di masyarakat. Penisilin merupakan antibiotik modern yang pertama, dan merupakan antibiotik yang bermanfaat karena paling luas penggunaannya. Penisilin ditemukan sebagai metabolit sekunder dari kapang jenis tertentu, yaitu Penicillium notatum, dan P. Chrysogenum. Cara kerja penisilin menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri. Penisilin menghambat kerja enzim yang mengkatalis reaksi pemindahan peptida-peptida dalam proses pembentukan peptidoglikan dinding sel. Kemampuan ini dimiliki penisilin karena kemiripan struktur dengan enzim pengkatalis. Penisilin diketahui efektif karena memiliki kemampuan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Penghambatan tersebut bersifat spesifik dan sedikit sekali mempunyai efek buruk bagi pemakai (Prescott et al., 2003). Penisilin menghambat bakteri patogen hanya bila bakteri tersebut sedang berada pada fase log (Prescott et al., 2003). Hal ini sesuai dengan kemampuan penisilin menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel yang terjadi pada fase log. Penisilin nalidiksik dan novobiosin, rifampin, cycloheximide, daunomisin, mitomisin C, dan polioksin (Prescott

31

menghalangi

pembentukan

ikatan

peptidoglikan

dengan

sempurna dan pada akhirnya dapat mengakibatkan osmotik lisis (Prescott et al., 2003). Bila sel bakteri yang peka terhadap penisilin ditumbuhkan dengan tambahan antibiotik ini, sel bakteri tersebut akan menjadi luar biasa besar ukurannya serta memiliki bentuk yang tidak umum lalu kemudian lisis. Saat ini telah diketahui beberapa mekanisme penghambatan penisilin yang lain. Pensilin diketahui dapat berikatan dengan protein pengikat dan dapat menghancurkan bakteri dengan mengaktifkan enzim autolisis. Penisilin menstimulasi protein khusus yang disebut hollins untuk membentuk lubang pada membran plasma. Hal ini akan mengakibatkan membran rusak dan menyebabkan kematian. Beberapa antibiotik lain yang memiliki 2003). Penisilin G efektif terhadap beberapa bakteri patogen Gram positif, misalnya Streptococcus dan Staphylococcus. Ampisilin, yang merupakan salah satu turunan penisilin, diketahui efektif untuk dikonsumsi dengan diminum, dan memiliki spektrum penghambatan bakteri yang lebih luas antara lain dapat menghambat bakteri Gram negatif, seperti Haemophilus, Salmonella, dan Shigella. b. Kontrol negatif Kontrol negatif yang digunakan pada uji difusi sumur adalah DMSO (dimetil sulfoksida). DMSO adalah pelarut yang umum digunakan dalam analisis atau percobaan, karena kemampuannya untuk melarutkan senyawa baik polar ataupun non polar. DMSO memiliki sifat seperti emulsifier. Rumus senyawa DMSO adalah (CH3)2SO. Gambar strukturnya dapat dilihat pada Gambar 4. mekanisme serupa dengan penisilin adalah cephalosporins, vancomycin, dan bakitrasin (Prescott et al.,,

32

Gambar 4. Dimethyl sulfoxide atau DMSO (Anonimd, 2006) DMSO merupakan cairan bening dengan bau seperti bawang putih. DMSO memiliki titik didih 189C dan dapat larut dalam air. DMSO bersifat stabil dalam kondisi normal dan bersifat higrokopis. DMSO efektif sebagai pelarut dalam proses ekstraksi dan pemisahan komponen aroma (flavor), serta dalam fraksinasi komponen tidak jenuh dari suatu bahan (Anonimd, 2006). 3. Penentuan Nilai MIC MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah dari suatu senyawa antimikroba dimana antimikroba tersebut masih memiliki kemampuan menghambat mikroba dalam periode inkubasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993). Nilai MIC penting diketahui untuk mengkonfirmasi resistensi bakteri uji terhadap senyawa antimikroba dan untuk menentukan aktivitas senyawa antimikroba baru (Anonimc, 2006). Penentuan MIC dapat dilakukan dengan cara padat ataupun cara cair. Perbedaan cara padat dan cara cair terletak pada jenis media agar yang digunakan untuk analisis. Pada cara cair, mikroba uji yang telah ditumbuhkan didalam media cair kemudian ditambahkan senyawa antimikroba dalam selang konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993). Cara ini disebut metode kontak. Nilai MIC ditentukan pada konsentrasi dimana mikroba didalam media cair sudah tidak tumbuh lagi, dengan ciri-ciri media agar cair bening (tidak keruh) (Davidson dan Parish, 1993). Pada cara padat digunakan uji difusi sumur. Data diameter penghambatan kemudian diolah dengan regresi sehingga didapat persamaan sederhana yang dapat digunakan untuk mencari nilai MIC.

33

Kelebihan dari metode kontak adalah hasilnya yang lebih akurat. Kelemahannya adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama, diperlukan ketelitian dan pengulangan analisis berkali-kali untuk mendapatkan data yang valid. Kelebihan dari metode difusi sumur untuk menentukan nilai MIC adalah cara ini lebih sederhana dan waktu yang diperlukan lebih singkat, sedangkan kelemahannya adalah datanya kurang akurat. Beberapa nilai MIC dari minyak rempah-rempah terhadap beberapa bakteri dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) beberapa minyak rempah-rempah (% v/v) (Hammer, et al., 1999a) Thypiimurium Pseudomonas Enterococcus Salmonella aeruginosa S. aureus

Candida

Rempah-rempah

Basil Jinten hitam Cengkeh Jahe Oregano Tanaman lemon Tanaman teh Thyme Peppermint

>2.0 1.0 0.5 >2.0 0.25 0.12 2.0 0.5 2.0

0.5 >2.0 0.25 >2.0 0.12 0.06 0.25 0.12 0.5

>2.0 >2.0 >2.0 >2.0 2.0 1.0 >2.0 >2.0 >2.0

2.0 >2.0 >2.0 >2.0 0.12 0.25 0.5 >2.0 1.0

2.0 >2.0 0.25 >2.0 0.12 0.06 0.5 0.25 1.0

0.5 >2.0 0.12 >2.0 0.12 0.06 0.5 0.12 0.5

F. UJI FITOKIMIA Fitokimia mempelajari aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alamiah, dan fungsi biologis. Kandungan kimia tumbuhan dapat digolongkan

34

albicans

faecalis

E. coli

berdasarkan asal biosintesis, sifat kelarutan, dan adanya gugus kunci tertentu (Harborne, 1996). Uji fitokimia biasanya memiliki kegunaan dalam fisiologi tumbuhan, patologi tumbuhan, ekologi tumbuhan (interaksi antara tumbuhan dengan lingkungan), paleobotani (tumbuhan berperan dalam menguji hipotesis tentang fosil), dan genetika tumbuhan (Harborne, 1996). Pada bidang fisiologi tumbuhan, uji fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi baik secara awal ataupun lanjut senyawa-senyawa yang menyusun tanaman, seperti penentuan struktur, asal-usul biosintesis, dan fungsi kerja senyawa tersebut dalam tanaman. Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder dari tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki aktivitas antimikroba (Naidu, 2000). Metabolit sekunder tanaman yang banyak terdapat pada batang, daun, kayu, bunga, dan buah antara lain adalah saponin, flavonoid, fenol, alkaloid, steroid dan terpenoid, serta tanin. 1. Fenol Fenol merupakan senyawa yang memiliki sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Fenol dan turunannya memiliki sifat cenderung larut dalam air (Suradikusumah, 1989). Fenol merupakan senyawa yang penting karena merupakan kelas besar diantara senyawa-senyawa penyusun tanaman. Senyawa fenolik terdiri atas ribuan struktur. Beberapa senyawa fenol yang banyak ditemukan di tanaman dapat dilihat pada Tabel 3. Komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi minyak esensial rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis fenol (Beuchat, 1994). Komponen fenolik dari tanaman yang memiliki aktivitas antimikroba dapat dilihat pada Tabel 4.

35

Tabel 3. Komponen fenolik yang ditemukan dalam tanaman (Nychas, 1994) Senyawa fenol Asam benzoat Kafein Eugenol Tanin Sumber Rempah-rempah Teh, kopi Kayu manis Anggur, teh, rempah-rempah Senyawa fenol Isovanilin Katekin Vanilin Asam hidrobenzoat Sumber Alpukat Kulit anggur, teh Vanila Wortel

Tabel 4. Komponen fenolik tanaman dan aktivitas antimikrobanya (Davidson dan Naidu, 2000) Sumber Nigella sativa L. Anethum graveolens L. Ducrosia anethifolia Thymus vulgaris Ocimum sp. Melaleuca alternifolia Senyawa fenolik Timohidrokuinon Minyak atsiri -pinen / limonen Minyak atsiri Minyak atsiri Linalool / terpinen Spektrum antimikroba Bakteri Gram positif Saccaromyces vini Bakteri Gram positif, khamir Enterobakteria patogen E. coli, S. aureus E. coli, S. aureus

Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba. Termasuk diantaranya adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson, 1993). Fenol dapat membentuk ikatan hidrogen dengan protein (Suradikusumah, 1989). Hal ini sesuai dengan Juven et al. (1994) yang menyatakan bahwa thymol dapat bereaksi dengan kandungan protein membran sitoplasma Salmonella Thypimurium. Kompleks ini membuat perubahan permeabilitas membran sel mikroba dan membuat Salmonella Thypimurium dapat dihambat. 2. Flavonoid Flavonoid banyak terdapat dalam buah-buahan, sayuran, kacangkacangan, biji-bijian, akar, dan bunga (Middleton dan Kandaswami,

36

1994). Flavonoid merupakan bagian dari fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1996). Flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan, penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik (Middleton dan Kandaswami, 1994). Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan anti-virus, dan mengatur kerja anti-serangga (Robinson, 1995). Selain itu, banyak dari jenis flavonoid merupakan pigmen tanaman, seperti antosianin, flavonol, dan kalkon (Harborne, 1987). Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2000). Flavonoid juga penting dalam teknologi pangan karena turut serta dalam meningkatkan kualitas sensori dan nutrisi dari buah dan produk-produk pangan dari buah-buahan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dengan dua cincin benzen terikat dan membentuk struktur C6-C3-C6 (Suradikusumah, 1989). Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan jenis flavonoid lainnya. Sebagai contoh isoflavon dapat menghambat pertumbuhan kapang dan membantu dalam mengontrol wabah penyakit (Naidu, 2000). 3. Saponin Saponin merupakan senyawa yang secara alami mengandung glikosida, banyak terdapat di tumbuhan (Naidu, 2000). Gruiz (1996) menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung saponin. Saponin bersifat seperti sabun. Keberadaan saponin dapat dideteksi dengan mengamati kemampuannya membentuk busa.

37

Saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et al.,, 1996). 4. Terpenoid Terpenoid merupakan senyawa besar yang terkandung dalam tumbuhan. Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul isopren. Secara kimiawi, terpenoid bersifat larut dalam lemak dan terdapat dalam sel tumbuhan (Suradikusunah, 1989). Terpenoid merupakan zat pengatur pertumbuhan tanaman. Salah satu golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba adalah triterpenoid. Triterpenoid (C30) tersebar luas dalam damar, gabus dan kutin tumbuh-tumbuhan. Triterpenoid termasuk senyawa yang merupakan komponen aktif dalam obat. Senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat antijamur, insektisida, antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995). 5. Tanin Tanin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa pahit (Anonime, 2006). Nama tanin diambil dari kegunaannya menyamak kulit binatang. Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein. Senyawa tanin memiliki berat molekul antara 50020.000 g. Tanin mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit. Tanin terdiri dari berbagai asam fenolat. Beberapa tanin dapat mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse

transkripitase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995).

38

Tanin

memiliki

beberapa

fungsi

kesehatan,

diantaranya

antioksidan dan relaksasi. Selain itu tanin merupakan senyawa yang secara klinis memiliki kemampuan anti-diare, hemostatik, dan antihemorhodial (Anonime, 2006). 6. Alkaloid Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur. Senyawa yang tergolong kedalam alkaloid adalah senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen. Kebanyakan alkaloid memiliki rasa sepat. (Anonimf, 2006). Alkaloid banyak ditemukan pada tanaman berbunga. Alkaloid merupakan metabolit sekunder pada tanaman, misalnya kentang dan tomat. Beberapa tanaman yang terbukti mengandung alkaloid adalah Litsea firma, Phoebe cuneata BL., Litsea diversifolia BL. (Santoni, 2004; Alfinus, 2004; Hakim, 2004). Alkaloid memiliki efek farmakologi pada hewan dan juga manusia, seperti penggunaannya sebagai analgesik dan anaestetik. Alkaloid yang biasa digunakan sebagai analgesik dan anaestetik adalah morfin dan kodein. Selain berguna sebagai obat-obatan, alkaloid juga dapat bersifat racun, misalnya strisin dan konin (Anonimf, 2006).

39

III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama pada penelitian ini adalah bubuk kulit kayu mesoyi. Bubuk kulit kayu mesoyi yang digunakan didapat dari pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Untuk proses ekstraksi digunakan aquades, heksan teknis, etil asetat teknis, metanol teknis, etanol teknis, es batu, dan gas N2. Bahan-bahan yang digunakan untuk persiapan kultur, uji difusi sumur dan penentuan MIC (Minimum Inhibition Concentration) adalah spiritus, antibiotik, alkohol 70%, NaCl, Dimetil Sulfoksida (DMSO), dan Nutrient Broth (NB) serta Nutrient Agar (NA). Kultur murni bakteri uji yang digunakan terdiri dari bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, dan Bacillus cereus, sedangkan kultur bakteri uji yang merupakan bakteri pembusuk yaitu Pseudomonas aeruginosa. Peralatan yang digunakan pada proses ekstraksi adalah peralatan refluks, oven vakum, kertas saring Whatman No.1, termometer, sudip, gelas ukur 100 ml, botol berwarna gelap, corong kaca, botol kaca bening, rotavapor, labu refluks, tabung rotavapor, plastik, kain, dan alat saring vakum. Alat-alat untuk persiapan kultur, uji difusi agar dan penentuan nilai MIC adalah otoklaf, shaker, gelas piala, sudip, timbangan, sudip, peralatan gelas, plastik tahan panas, cawan petri, ose, pipet mikron ukuran 1000 l dan 200 l, tip untuk pipet mikro, alat pembuat sumur, botol kaca, tusuk gigi, jar atau botol kaca, gelas piala, cawan petri, jangka sorong, bunsen bakar, baskom, tissue, label, pembungkus aluminium, dan gunting. B. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari Februari 2006 hingga September 2006.

40

C. METODE PENELITIAN Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1) persiapan kultur bakteri uji, (2) proses ekstraksi, dan (3) pengujian aktivitas antimikroba dengan uji difusi sumur. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan beberapa tahap, yaitu : (1) penentuan MIC dan (2) uji fitokimia (Gambar 5).

Bubuk kayu kulit kayu mesoyi

Ekstraksi

Persiapan kultur bakteri uji

Ekstraksi tunggal (air, etanol, minyak atsiri)

Ekstraksi bertingkat (heksan, etil asetat, metanol)

Ekstrak

Uji aktivitas antimikroba

Jenis ekstrak terpilih

Penentuan nilai MIC

Uji fitokimia Gambar 5. Diagram alir penelitian

41

1. Penelitian Pendahuluan a. Persiapan kultur bakteri uji Pada tahap persiapan kultur bakteri uji dilakukan perhitungan total mikroba menggunakan metode hitungan cawan. Persiapan kultur ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba sehingga dapat dihitung pengenceran yang diperlukan agar saat kultur digunakan pada uji difusi sumur total mikroba pada cawan adalah 1x105 hingga 1x106 dan jumlah ini stabil di setiap cawan. Kultur murni yang berupa padatan diambil satu ose, kemudian dilarutkan secara aseptis dalam media pertumbuhan NB 10 ml. Media NB yang telah berisi mikroba kemudian diinkubasi pada suhu ruang (37C) selama 24 jam. Setelah itu, dari NB 10 ml diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam NB 9 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna keruh maka diambil 1 ml dari NB 9 ml dan diencerkan pada pengencer (larutan fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-8. Pada pengenceran ke-5 sampai dengan ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri steril. Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang (pour plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 48 jam. Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna bening maka diambil 1 ml dari NB 9 ml dan diencerkan pada larutan pengencer (larutan fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-5. Pada pengenceran ke-0 sampai dengan ke-5, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri steril. Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang (pour plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 48 jam. Diagram alir persiapan kultur menggunakan metode hitungan cawan dapat dilihat pada Gambar 6. Setelah dilakukan tahapan persiapan kultur dan telah didapat jumlah total mikroba, maka selanjutnya dihitung pengenceran yang diperlukan saat mengerjakan uji difusi sumur.

42

Kultur Bakteri Diambil satu ose Dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 C Diambil 1 ml Dimasukkan ke dalam 9 ml NB steril Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 C Diamati kekeruhannya Keruh Dipipetl 1 ml Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril Dilakukan pengenceran dari 101-108 Dipipet masing-masing 1ml dari pengenceran 105-108 Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril Agak bening Dipipet 1 ml Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril Dilakukan pengenceran dari 100-105 Dipipet masing-masing 1 ml dari pengenceran 100-105 Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril

Kedalam cawan petri dituang agar Didiamkan hingga agar membeku Diinkubasi 48 jam pada 37 C Diamati dan dihitung total mikroba Ditentukan jumlah l NB yang akan dimasukkan ke dalam 25 ml NA cair ( A )

Gambar 6. Diagram alir metode hitungan cawan

43

b. Proses ekstraksi Ekstraksi tunggal dilakukan dengan mengekstrak secara langsung bubuk kulit kayu mesoyi. Tujuan dari ekstraksi tunggal adalah mendapatkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang dekat dengan aplikasi sehari-hari, dengan menggunakan pelarut yang aman dan mudah didapat (air dan etanol teknis). Selain itu, penyulingan minyak atsiri juga merupakan ekstraksi tunggal. Minyak atsiri diperoleh dengan teknik destilasi uap, sedangkan ekstrak etanol dan air diperoleh dengan teknik ekstraksi refluks. Pada ekstraksi tunggal bubuk kulit kayu mesoyi dilakukan ekstraksi langsung dengan etanol teknis dan juga aquades sebagai pelarut. Perbandingan antara pelarut dengan bahan adalah 3:1 (v/w). Suhu refluks harus dibawah titik didih pelarut yang digunakan. Karenanya ekstraksi dengan pelarut etanol teknis berlangsung pada suhu 60C, sedangkan ekstraksi dengan aquades berlangsung pada suhu 100C. Proses ekstraksi bahan secara refluks dicoba selama 5 jam secara langsung dan 5 jam dengan pengulangan ekstraksi. Ekstraksi bahan selama 5 jam dengan pengulangan dilakukan dengan mengekstraksi bahan selama 3 jam yang kemudian diekstraksi kembali selama 2 jam. Ekstrak hasil refluks selama 5 jam secara langsung ternyata memiliki karakteristik yang lebih tidak baik dibandingkan dengan ekstrak hasil proses refluks selama 3 jam yang kemudian direfluks kembali selama 2 jam. Karakteristik yang tidak baik tersebut antara lain tidak adanya bau khas mesoyi dan rendemen yang lebih sedikit. Karenanya untuk selanjutnya, baik pada ekstraksi tunggal ataupun ekstraksi bertingkat, ekstraksi refluks dilakukan selama 3 jam dan cairan disaring dengan kertas saring Whatman No.1 kemudian diekstraksi kembali selama 2 jam dengan menambahkan pelarut dengan jumlah yang sama. Cairan ekstrak yang didapat kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.1 menggunakan penyaring vakum. Proses ekstraksi

44

tunggal ini menghasilkan ekstrak air dan ekstrak etanol. Diagram alir proses ekstraksi tunggal menggunakan etanol dan air dapat dilihat pada Gambar 7.

Bubuk Kulit Kayu Mesoyi

Direfluks dengan etanol (60 oC, 3 jam)


Ulangan (60C, 2 jam) Ulangan (60C, 3 jam)

Direfluks dengan air (100 oC, 3 jam)

Ampas

Filtrat

Ampas

Filtrat

Dipekatkan dengan rotavapor pada suhu 40 oC Dipekatkan dengan rotavapor pada suhu 50 oC Dihembuskan gas N2 Ekstrak air

Ekstrak etanol Gambar 7. Skema ekstraksi tunggal dengan pelarut etanol dan air Kulit kayu mesoyi didestilasi uap untuk mendapatkan minyak atsiri. Dari minyak atsiri diperoleh komponen volatil kulit kayu mesoyi. Ampas kulit kayu mesoyi hasil penyulingan uap minyak atsiri tentu masih mengandung komponen-komponen yang bersifat non-volatil, karena itulah diekstraksi lanjut secara bertingkat menggunakan pelarut organik dengan rasio antara pelarut dan bahan adalah 3:1 (v/w). Tujuan

45

ekstraksi bertingkat adalah fraksinasi dan mengisolasi komponen aktif. Setelah dikeringkan dengan oven vakum selama 24 jam pada suhu kamar (35-40C), ampas kulit kayu mesoyi kemudian diekstraksi dengan pelarut heksan. Setelah heksan yang merupakan pelarut non polar kemudian dilanjutkan proses ekstraksi secara bertingkat dengan pelarut yang lebih tinggi kepolarannya, yaitu etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Suhu yang digunakan pada proses ekstraksi bertingkat adalah 60C. Pada ekstraksi bertingkat dilakukan proses pengulangan refluks selama 3 jam kemudian diekstraksi kembali dengan pelarut yang sama selama 2 jam. Cairan ekstrak yang didapat disaring dengan kertas saring Whatman No.1 menggunakan penyaring vakum. Setiap penggantian pelarut ampas dikeringkan dengan oven vakum selama 24 jam pada suhu kamar (35-40C). Diagram alir ekstraksi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 8. Pada proses ekstraksi bertingkat ini diperoleh ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol. Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang didapat, kecuali minyak atsiri, kemudian dipekatkan menggunakan rotavapor. Ekstrak air dirotavapor pada suhu 50oC, sedang ekstrak etanol, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol dirotavapor pada suhu 40C. Suhu ini dipilih sehingga diharapkan senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tidak akan rusak. Ekstrak kemudian dihembus dengan gas N2 sebelum disimpan. Penghembusan ekstrak dengan gas N2 dilakukan terhadap seluruh ekstrak etanol, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol. Botol ekstrak yang telah seluruhnya diganti kandungan udaranya dari O2 menjadi N2 akan menjadi dingin. Selain itu, ciri-ciri lainnya adalah berat ekstrak yang terus berkurang, yang berarti pelarut telah dihilangkan oleh hembusan N2. Penghembusan gas N2 dihentikan bila botol ekstrak tidak menjadi lebih lebih dingin lagi dan berat ekstrak sudah stabil. Berat ekstrak yang stabil adalah bila berat sudah tidak berubah, atau paling tidak perubahannya tidak lebih dari 0,1 gr.

46

Khusus untuk ekstrak air kulit kayu mesoyi dilakukan analisis kadar air ekstrak, karena air tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh rotavapor. Pengukuran kadar air ekstrak air kulit kayu mesoyi dilakukan dengan metode azeotropik.

Ampas hasil destilasi uap Direfluks dengan heksan (60 oC, 3 jam) Ampas
Ulangan (60 C, 2 jam)

Ulangan (60 C, 2 jam)

Filtrat Dipekatkan (40 oC) Dihembus gas N2

Direfluks dengan etil asetat (60 oC, 3 jam) Ampas Filtrat

Ulangan (60 C, 2 jam)

Direfluks dengan metanol o (60 C, 3 jam) Ampas

Dipekatkan (40 oC)

Ekstrak heksan

Dihembus Filtrat gas N2 Ekstrak etil asetat

Dipekatkan (40C)

Dihembus gas N2

Ekstrak metanol Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi bertingkat dari ampas kulit kayu mesoyi c. Uji Difusi Sumur Pengujian aktivitas antimikroba awal ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi dilakukan dengan uji difusi sumur. Uji difusi sumur merupakan

47

uji kualitatif. Pada uji difusi sumur diukur diameter penghambatan. Hasilnya kemudian digunakan untuk memilih ekstrak yang akan diuji lebih lanjut. Hasil uji difusi sumur diolah secara statistik. Uji lebih lanjut yang dilakukan adalah penentuan nilai MIC dan uji fitokimia. Sesuai dengan hasil perhitungan total mikroba pada tahap persiapan kultur bakteri uji, maka untuk mendapatkan total mikroba yang seragam didalam cawan uji difusi agar sebanyak 1x105, maka kultur harus diencerkan sebanyak 10-3. Cara untuk mengencerkan sebanyak 10-3 kali adalah dengan memasukkan 25l bakteri uji kedalam 25 ml agar. 2. Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan bertujuan untuk mengetahui nilai MIC dan komponen fitokimia yang dimiliki ekstrak kulit kayu mesoyi terpilih. Ekstrak terpilih adalah ekstrak yang dapat menghambat semua bakteri uji. Ekstrak-ekstrak terpilih didasarkan pada hasil uji difusi sumur secara kualitatif yang diolah secara statistik. Ekstrak terpilih adalah minyak atsiri dan ekstrak etanol. Penentuan nilai MIC dilakukan terhadap satu jenis mikroba yang pada uji difusi sumur sebelumnya dapat dihambat paling optimum oleh ekstrak terpilih. Analisis fitokimia yang dilakukan terhadap kedua ekstrak terpilih adalah analisis secara kualitatif fenol, tanin, saponin, terpenoid, steroid, flavonoid, dan alkaloid. D. METODE ANALISIS Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak-ekstrak kayu dilakukan dengan beberapa metode analisis, antara lain: (1) uji difusi sumur, (2) penentuan MIC (Minimum Inhibition Concentration), dan (3) uji fitokimia.

1. Perhitungan nilai rendemen Sejumlah bubuk kulit kayu mesoyi (sekitar 30 g) dimasukkan kedalam tabung refluks dan diekstraksi selama 3 jam kemudian

48

dilanjutkan selama 2 jam. Cairan ekstrak yang didapat kemudian dirotavapor dan dihembus gas N2 untuk menghilangkan pelarut. Setelah didapat ekstrak tanpa pelarut kemudian dapat dihitung rendemennya dengan rumus berikut ini.

Rendemen =

( W/W ) 100 % (w/w)


0

dimana: W = berat ekstrak (g) W0 = berat bahan yang diekstrak (g) Ukuran sampel bubuk kulit kayu mesoyi = 40 mesh

2. Uji difusi sumur (metode modifikasi Garriga et al., 1993) Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan uji difusi sumur. Uji difusi sumur dilakukan 3 kali ulangan dari ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi yang sama. Ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi dilarutkan dalam DMSO dan diuji efektivitasnya terhadap lima mikroba dari jenis bakteri patogen dan bakteri perusak pangan dengan jumlah total mikroba dalam cawan adalah 1x105 hingga 1x106 koloni/ml. Total mikroba dikonfirmasi dengan metode hitungan cawan. DMSO digunakan sebagai kontrol negatif untuk menghilangkan pengaruh DMSO terhadap mikroba uji. Selain kontrol negatif, digunakan juga antibiotik amoxycillin sebagai kontrol positif. Antibiotik dilarutkan dalam DMSO pada konsentrasi 0,01%. Kultur yang akan digunakan untuk uji difusi sumur disegarkan terlebih dahulu dengan cara diambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada media pertumbuhan NB 10 ml dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Setelah diinkubasi diambil kembali 1 ml dan dipindahkan kedalam NB 9 ml untuk kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama. Dari kultur yang telah disegarkan dan berumur 24 jam diambil sebanyak yang diperlukan, sesuai dengan hasil perhitungan pada tahapan persiapan kultur sebelumnya (nilai A), dan dimasukkan kedalam media agar 25 ml yang kemudian dituang kedalam cawan petri steril.

49

Agar kemudian

dibiarkan

membeku. Setelah beku, dibuat

lubang/sumur menggunakan alat pembuat sumur. Pengujian dilakukan duplo, karenanya pada setiap satu cawan dibuat 6 lubang/sumur. Dua lubang/sumur diisi dengan ekstrak kulit kayu mesoyi, dua lubang/sumur lainnya diisi dengan kontrol positif, dan 2 lubang/sumur sisanya diisi dengan kontrol negatif. Cawan uji difusi sumur kemudian disimpan didalam refrigerator selama 30 menit, lalu diinkubasi tidak terbalik pada suhu 37C selama 24 jam. Diagram alir uji difusi sumur dapat dilihat pada Gambar 9. Kultur mikroba yang telah disegarkan berumur 24 jam Dipipet sejumlah 25 l Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril Dituang ke dalam cawan petri steril Dibiarkan beku dan dibuat 6 lubang/sumur 1 2 3 4 6 5

Keterangan : 1 = dimasukkan 50 l antibiotik 2 = dimasukkan 50 l antibiotik 3 = dimasukkan 50 l DMSO 4 = dimasukkan 50 l DMSO 5 = dimasukkan 50 l larutan ekstrak 6 = dimasukkan 50 l larutan ekstrak Diinkubasi pada suhu optimum selama 24 jam Diamati dan diukur diameter penghambatan tiap sumur Gambar 9. Diagram alir uji difusi sumur

50

3. Penentuan nilai MIC (Minimum Inhibition Concentration) (modifikasi metode Bloomfield, 1991) Nilai MIC ditentukan dengan cara padat menggunakan metode Bloomfield (1991), yaitu dengan memplotkan antara ln konsentrasi ekstrak pada sumbu X terhadap nilai kuadrat zona penghambatan pada sumbu Y. Perpotongan dari regresi linier Y = a + bX dengan sumbu X sebagai nilai Mt. Nilai MIC adalah 0.25 x Mt. Konsentrasi ekstrak yang dibuat untuk penentuan nilai MIC adalah 10, 20, 30, 40, dan 50% (w/w) yang kemudian dimasukkan ke dalam 5 botol bening kecil. Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak-ekstrak terbaik pada uji difusi sumur. Kultur yang akan digunakan untuk uji difusi sumur disegarkan terlebih dahulu dengan cara diambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada media pertumbuhan NB 10 ml dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Setelah diinkubasi diambil kembali 1 ml dan dipindahkan kedalam NB 9 ml untuk kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama. Dari kultur yang telah disegarkan dan berumur 24 jam diambil sebanyak yang diperlukan, sesuai dengan hasil perhitungan pada tahapan persiapan kultur sebelumnya (nilai A), dan dimasukkan kedalam media agar 25 ml yang kemudian dituang kedalam cawan petri steril. Agar kemudian dibiarkan membeku. Setelah beku, dibuat lubang/sumur menggunakan alat pembuat sumur. Pengujian dilakukan duplo. Cawan uji difusi sumur kemudian disimpan didalam refrigerator selama satu jam, lalu diinkubasi tidak terbalik pada suhu 37C selama 24 jam. Diagram alir uji difusi sumur dapat dilihat pada Gambar 10. Setelah itu, dilakukan pengamatan jumlah bakteri menggunakan metode hitungan cawan dan dihitung nilai MIC.

51

Kultur mikroba yang telah disegarkan berumur 24 jam Di-vorteks Dipipet sejumlah 25 l Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril Dituang ke dalam cawan petri steril Dibiarkan beku Dibuat 6 lubang/sumur 2 1 5 4 6 3 Dibuat 4 lubang/sumur 1 2 4 3

Ket: 1 = dimasukkan 50 l ekstrak 10/30% Ket:1=dimasukkan 50 l ekstrak 50% 2 = dimasukkan 50 l ekstrak 10/30% 2= dimasukkan 50 l ekstrak 50% 3 = dimasukkan 50 l ekstrak 20/40% 3= dimasukkan 50 l DMSO 4 = dimasukkan 50 l ekstrak 20/40% 4= dimasukkan 50 l DMSO 5 = dimasukkan 50 l DMSO 6 = dimasukkan 50 l DMSO Diinkubasi pada suhu optimum selama 24 jam Diamati dan diukur diameter penghambatan tiap sumur Gambar 10. Diagram alir penentuan nilai MIC 4. Uji fitokimia Fitokimia saat ini telah menjadi ilmu kimia terapan yang banyak digunakan untuk mengetahui secara kualitatif kandungan kimia tanaman (Harborne, 1996). Kandungan kimia tanaman perlu diketahui untuk menduga komponen aktif yang menyebabkan suatu bahan tanaman memiliki aktivitas antimikroba. Uji fitokimia yang dilakukan adalah

52

identifikasi terhadap beberapa jenis metabolit sekunder yang umum terdapat pada tanaman. Identifikasi dilakukan terhadap metabolit sekunder karena metabolit sekunder merupakan kandungan dalam bahan yang biasanya menjadi senyawa aktif yang memiliki sifat antimikroba. a. Uji golongan fenol dan tanin (Houghton dan Raman, 1998) Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa tetes FeCl3. Bila terbentuk warna hitam kehijauan, maka ekstrak berarti mengandung senyawa golongan fenol. Larutan kemudian ditambahkan gelatin. Bila terbentuk gel yang cukup stabil, maka ekstrak berarti mengandung senyawa dari golongan tanin. b. Uji golongan flavonoid (Harborne, 1996) Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa tetes H2SO4, lalu dikocok kuat-kuat atau menggunakan vorteks. Bila terbentuk warna kuning, maka berarti ekstrak mengandung senyawa golongan flavon dan flavonol. Bila yang terbentuk adalah warna jingga atau krem, maka berarti ekstrak mengandung senyawa golongan flavonoid. Bila yang terbentuk adalah warna krem atau merah tua, maka ekstrak mengandung senyawa golongan khalkon. c. Uji golongan saponin (Harborne, 1996) Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan air panas, kemudian dikocok kuat-kuat atau menggunakan vorteks, selama 10 detik. Bila kemudian terbentuk busa stabil yang tahan hingga lebih dari 10 menit, maka berarti ekstrak mengandung senyawa dari golongan saponin.

53

d. Uji golongan terpenoid dan steroid (Harborne, 1996) Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan 2 ml kloroform. Kemudian ditambahkan beberapa tetes asam asetat glasial dan H2SO4 pekat. Larutan kemudian dikocok perlahan. Bila warna larutan berubah menjadi biru atau hijau, maka berarti ekstrak mengandung senyawa dari golongan steroid. Bila warna yang terbentuk adalah merah atau ungu, maka berarti ekstrak mengandung senyawa golongan terpenoid.

e. Uji golongan alkaloid (modifikasi Houghton dan Raman, 1998) Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa tetes NaOH, lalu dikocok kuat-kuat atau divorteks dan disaring dengan kertas saring Whatman No.1. Filtrat kemudian ditambahkan beberapa tetes H2SO4 pekat, lalu divorteks. Lapisan bening yang terbentuk dipermukaan kemudian diambil dan dipindahkan ke tiga tabung reaksi yang lain. Masing-masing kemudian ditambahkan beberapa tetes pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Wagner. Bila bereaksi membentuk endapan putih dengan pereaksi Mayer, maka berarti ekstrak mengandung senyawa golongan Alkaloid. Bila dengan pereaksi Dragendorf larutan berubah warna menjadi oranye, maka berarti ekstrak mengandung senyawa golongan alkaloid. Bila terbentuk warna coklat setelah ditambahkan pereaksi Wagner, maka berarti ekstrak mengandung senyawa dari golongan alkaloid.

E. PENGOLAHAN DATA Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11.0 untuk mengetahui pengaruh aktivitas ekstrak, bakteri uji, dan interaksi diantaranya terhadap nilai diameter penghambatan. Metode yang digunakan adalah General Linear Model (GLM) dan uji lanjut LSD pada taraf kepercayaan 0.05. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial. Percobaan

54

faktorial dicirikan oleh perlakuan yang merupakan komposisi dari segala kemungkinan kombinasi dari taraf-taraf dua faktor atau lebih (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Model linear dari rancangan ini secara umum adalah sebagai berikut: Yijk = + i + j + ()ij + ijk

dimana :

Yijk = nilai pengamatan pada faktor A (ekstrak) dan faktor B (bakteri) , , = komponen rataan aditif i = taraf faktor A (ekstrak kulit kayu mesoyi) j = taraf faktor B (bakteri uji) k= ulangan ()ij = interaksi antara faktor A dan faktor B ijk = pengaruh acak sebaran normal

55

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI UJI Persiapan kultur bakteri uji dilakukan untuk menentukan jumlah total mikroba dari kultur bakteri uji. Total mikroba penting diketahui agar dapat dihitung pengenceran yang diperlukan, sehingga total mikroba menjadi seragam untuk semua jenis bakteri uji dalam semua cawan, baik untuk uji difusi sumur maupun penentuan MIC, sehingga diameter penghambatan yang terukur dapat langsung dibandingkan secara proporsional. Hasil penghitungan total mikroba dengan metode hitungan cawan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Total Mikroba Kultur Bakteri Uji Jenis Bakteri Uji Staphylococcus aureus Eschericia coli Salmonella Typhimurium Pseudomonas aeruginosa Bacillus cereus Total Mikroba (CFU/ml) 4.7x108 4.6x108 5.4x108 9.5x108 5.4x108

Total mikroba yang diharapkan pada semua cawan pada pengujian dengan difusi sumur adalah antara 1x105 hingga 1x106. Total mikroba antara 1x105 hingga 1x106 merupakan total mikroba yang cukup sehat dan tidak terlalu banyak. Inokulum yang mengandung terlalu banyak atau terlalu sedikit bakteri, dapat menyebabkan kesalahan hasil uji (Piddock, 1990). Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa kelima bakteri uji harus diencerkan sebanyak 10-3 untuk mendapatkan total mikroba standar dalam cawan, yaitu antara 1x105 hingga 1x106.

56

B. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI 1. Proses Ekstraksi Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa yang terkandung dalam bubuk kulit kayu mesoyi dan mendapatkan ekstrak. Untuk mendapatkan minyak atsiri digunakan teknik ekstraksi destilasi uap, dan untuk mendapatkan ekstrak lainnya dilakukan proses ekstraksi menggunakan air dan pelarut organik dengan cara refluks. Sebelum diekstraksi, bubuk kulit kayu mesoyi diayak pada ayakan berukuran 40 mesh untuk mendapatkan ukuran bubuk yang lebih seragam. Ukuran partikel bahan yang seragam berpengaruh terhadap pengeluaran senyawa aktif pada tahap ekstraksi (Agusta, 2000). Proses ekstraksi dilakukan secara tunggal dan bertingkat. Setelah ekstrak kasar terkumpul, dilakukan proses pemekatan menggunakan rotavapor, dan sebelum disimpan dihembuskan gas N2 kedalam botol agar tidak terjadi proses oksidasi karena ruang gas oksigen telah terganti oleh gas nitrogen. Pada ekstrak air, pemekatan dengan rotavapor tidak efisien, karena kemampuan pompa vakum untuk menurunkan tekanan pada rotavapor rendah. Selain itu, suhu yang digunakan pada waktu memekatkan ekstrak air adalah 50C, suhu ini sangat rendah dibandingkan titik didih air, sehingga pemekatan selama 4 jam tidak dapat menghilangkan kandungan air dalam ekstrak. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pengukuran kadar air dari ekstrak air secara terpisah sebelum dilakukan uji aktivitas antimikrobanya. Kadar air dari ekstrak air diukur dengan metode azeotropik, dan dilakukan secara duplo. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata kadar air dalam ekstrak air kulit kayu mesoyi adalah 79.83% (Lampiran 1). Dari proses ektraksi yang dilakukan diperoleh beberapa jenis ekstrak, yaitu ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol dari kulit kayu mesoyi. Masing-masing jenis ekstrak yang diperoleh dihitung nilai rendemennya berdasarkan rumusan yang tertera pada Lampiran 2. Nilai rendemen dari ekstrak-ekstrak mesoyi dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan karakteristik jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Gambar 11.

57

Tabel 6. Nilai Rendemen dan Karakteristik Jenis-jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi Nama Ekstrak Ekstrak air Ekstrak etanol Minyak atsiri Ekstrak heksan Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol Pelarut Metode Ekstraksi Refluks 7.80 a,d) Etanol Heksan Etil asetat Metanol Refluks Distilasi uap Refluks Refluks Refluks 8.93 a) 2.04 b) 1.69 a) 1.47 a) 1.52 a) Rendemen (%) 38.68a,c) Air Karakteristik Ekstrak Berwarna coklat, tidak terlalu berb \au khas, agak keruh Berwarna coklat muda, bening Bening, berbau sangat khas mesoyi Berwarna kuning, tampak terpisah Berwarna coklat tua kehitaman, bau khas mesoyi Berwarna coklat tua

a)

Rendemen berdasarkan w/w dengan pembagi yaitu berat bubuk/ampas yang diekstrak Rendemen berdasarkan v/w dengan pembagi yaitu berat bubuk kulit kayu mesoyi awal c) Rendemen ekstrak air sebelum dikurangi dengan air yang terkandung d) Rendemen setelah dikurangi dengan air yang terkandung didalam ekstrak yaitu 79.83%
b)

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol memiliki rendemen sebesar 7.80% (w/w) dan 8.93% (w/w). Rendemen ekstrak air dan etanol lebih besar dibandingkan dengan rendemen ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol yang berturut-turut sebesar 1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Ekstraksi dengan air dan etanol dilakukan secara langsung atau tunggal, tanpa perlakuan awal apapun, sehingga ekstrak yang didapat mengandung berbagai komponen, yang larut dalam kedua pelarut tersebut. Berbeda dengan ekstraksi tunggal, rendemen ekstrak heksan, etil asetat, dan metanol menunjukkan nilai rendemen kandungan komponen non-volatil saja, karena sampel yang digunakan adalah ampas dari proses destilasi uap. Secara rinci proses ekstraksi bertingkat yang dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut.

58

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 11. Jenis-jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi : (a) ekstrak air, (b) ekstrak etanol, (c) minyak atsiri, (d) ekstrak heksan, (e) ekstrak etil asetat, dan (f) ekstrak metanol Ekstraksi dengan heksan dilakukan terhadap ampas hasil destilasi uap, yang telah diambil kandungan volatil dari bahan. Ekstraksi dengan heksan dimaksudkan untuk menghilangkan kandungan lemak bahan. Proses ekstraksi kemudian dilanjutkan dengan pelarut etil asetat untuk mengambil komponen-komponen yang bersifat semi polar dan dengan pelarut metanol untuk mengambil komponen-komponen yang tersisa, yaitu senyawa-senyawa yang bersifat polar. Dengan cara ekstraksi bertingkat menggunakan berbagai tingkat kepolaran pelarut organik yang digunakan, diperoleh jenis-jenis ekstrak dengan kandungan lebih spesifik, dan nilai rendemen yang rendah menunjukkan karakteristik kandungan zat dalam kulit kayu mesoyi.

59

Setiap pelarut memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengekstrak komponen suatu bahan dan rendemen hanya merupakan acuan awal untuk menentukan pelarut yang lebih baik karena nilai rendemen tidak selalu berbanding lurus dengan aktivitas antimikroba. Nilai rendemen yang lebih tinggi berarti lebih efektif digunakan untuk mengekstrak kulit kayu mesoyi untuk maksud tertentu. Rendemen ekstrak etanol (8.93%) lebih besar bila dibandingkan dengan ekstrak air (7.80%). Hal ini menunjukkan bahwa pelarut etanol lebih efektif dalam mengekstrak komponen polar kulit kayu mesoyi daripada air. Etanol diketahui merupakan pelarut yang lebih baik dalam mengekstrak senyawa antimikroba dibandingkan air dan heksan (Ahmad et al., 1998), sehingga umumnya etanol digunakan untuk melarutkan zat antimikroba, komponen aroma pangan, dan komponen warna yang tidak dapat dilarutkan oleh air (Anonimh, 2006). Rendemen minyak atsiri sangat rendah bila dibandingkan dengan ekstrak air dan etanol, yaitu sebesar 2.04% (v/w). Walaupun demikian nilai rendemen minyak atsiri mesoyi ini tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan rendemen minyak atsiri jinten hitam (0.34% v/w), dan lebih tinggi dari beberapa jenis minyak atsiri yang juga berasal dari bagian kayu, misalnya kayu manis memiliki rendemen minyak atsiri sebesar 0.5-1.0%, dan kayu secang yang memiliki rendemen sebesar 0.16-0.20% (Davidson dan Naidu, 2000; Sundari et al., 1998). Semua jenis ekstrak dari kulit kayu mesoyi yang diperoleh memiliki bau khas mesoyi yang sangat tajam. Selain karena jumlah komponen volatilnya yang cukup besar bila dibandingkan kandungan pada rempah lain, bau tajam mesoyi juga dapat disebabkan karena kandungan komponen volatilnya yang memang memiliki bau tajam. Pada ekstraksi bertingkat dengan pelarut organik yang berbeda-beda kepolarannya, nilai rendemen ketiga jenis ekstrak berbeda yaitu ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol, berturut-turut adalah 1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Untuk ekstrak heksan, etil asetat, dan metanol, nilai rendemen yang dihasilkan oleh ketiga pelarut hampir sama,

60

dan dapat dikatakan bahwa komponen aktif bersifat non-polar, semi-polar, dan polar yang jumlahnya relatif sama. 2. Uji Difusi Sumur Pada masing-masing ekstrak kulit kayu mesoyi dilakukan pengujian aktivitas antimikrobanya terhadap 5 jenis bakteri uji dengan metode uji difusi sumur. Uji difusi sumur bertujuan untuk mengetahui potensi awal mesoyi sebagai antimikroba alami. Keseragaman ukuran dan fisiologi bakteri uji bersifat kritis dan karenanya harus dapat dikontrol dengan baik (Davidson dan Parish, 1993). Oleh karena itu setiap uji difusi sumur perlu disertai dengan uji konfirmasi. Uji konfirmasi adalah penghitungan total mikroba dengan tujuan mengkonfirmasi bahwa total mikroba didalam cawan terdapat dalam rentang 1x105-1x106. Uji konfirmasi menggunakan metode hitungan cawan (Lampiran 3). Pada uji difusi sumur digunakan kontrol negatif dan kontrol positif sebagai pembanding. Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik dengan spektrum antimikroba yang luas, yaitu amoxycillin, dan kontrol negatif yang digunakan adalah DMSO yang merupakan pelarut untuk melarutkan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi sebelum digunakan dalam pengujian. Dari pengamatan dapat diketahui bahwa nilai diameter penghambatan DMSO terhadap bakteri-bakteri uji adalah nol, berarti DMSO merupakan pelarut ekstrak yang baik karena dapat melarutkan dengan baik tanpa memberikan pengaruh dalam aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji. Ekstrak-ekstrak kayu mesoyi dilarutkan didalam DMSO dengan konsentrasi 28% (w/w) dan diuji aktivitas antimikrobanya dengan uji difusi sumur.

61

a. Perbandingan aktivitas antimikroba jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri-bakteri uji
16

Diameter Penghambatan (mm)

12

0
Ekstrak air Ekstrak etanol Minyak atsiri Ekstrak heksan Jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol

E. coli

Salmonella typhimurium

P. aeruginosa

B. cereus

S. aureus

Gambar 12. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri uji Secara umum dapat dilihat pada Gambar 12 bahwa ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki profil aktivitas antimikroba yang berbeda-beda terhadap bakteri-bakteri uji. Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri-bakteri uji, kecuali ekstrak air. Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi, kecuali ekstrak metanol, mampu menghambat semua bakteri uji. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum yang cukup luas. Spektrum penghambatan tergantung pada jenis dan kekuatan senyawa antimikroba masing-masing komponen yang terekstrak karena masing-masing pelarut dapat mengekstrak komponen aktif yang berbeda-beda. Selain itu, aktivitas antimikroba juga dipengaruhi oleh jumlah komponen aktif yang terekstrak. Ekstrak air tidak memiliki aktivitas antimikroba (Gambar 12). Hal ini diduga karena ekstrak air yang masih bercampur dengan pelarutnya (air). Air yang tidak dapat dihilangkan dengan sempurna membuat kadar

62

komponen aktif yang terekstrak rendah, dan akan mempengaruhi jumlah komponen aktif ekstrak yang diujikan dalam sumur sehingga tidak sebanding dengan konsentrasi pengujian ekstrak lain di dalam sumur. Tidak adanya aktivitas antimikroba dari ekstrak air juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan air dalam mengekstrak komponen-komponen esensial yang bersifat antimikroba. Secara umum jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki profil penghambatan yang serupa untuk setiap bakteri uji, kecuali untuk Salmonella Typhimurium dan P. aeruginosa (Gambar 12). Pada kedua bakteri uji tersebut terdapat satu jenis ekstrak mesoyi yang memiliki penghambatan mencolok dibandingkan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi lainnya, sedangkan pada B. cereus, E. coli, dan S. aureus diameter penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi tidak jauh berbeda. Minyak atsiri menghambat Salmonella Typhimurium dengan nilai diameter penghambatan yang jauh lebih besar daripada jenis ekstrak kulit kayu mesoyi lainnya, sedangkan jenis ekstrak yang menghambat P. aeruginosa lebih kuat daripada jenis ekstrak lainnya adalah ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi (Gambar 13).

Ekstrak etil asetat

Kontrol positif

Minyak atsiri Gambar 13. (a) penghambatan ekstrak etil asetat terhadap P. aeruginosa, (b) penghambatan minyak atsiri terhadap S. Typhimurium yang hampir sama besar dengan kontrol positifnya Uji statistik dilakukan untuk memperkirakan profil penghambatan oleh semua jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dan bakteri uji. Nilai perkiraan

63

dapat dilihat pada Lampiran 11 dan Lampiran 12. Profil penghambatan dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.

20

Rataan Diameter Penghambatan (mm)

EKSTRAK
10 ekstrak air ekstrak etanol minyak atsiri 0 ekstrak heksan ekstrak etil asetat -10 E. coli P. aeruginosa S. Typhimurium B. cereus S. aureus ekstrak metanol

Jenis Bakteri Uji

Gambar 14. Profil perkiraan aktivitas antimikroba berbagai jenis ekstrak kulit kayu mesoyi

20

Rataan Diameter Penghambatan (mm)

10

BAKTERI
E. coli S. Typhimurium

0 P. aeruginosa B. cereus -10 ekstrak air minyak atsiri ekstrak etanol ekstrak etil asetat ekstrak metanol ekstrak heksan S. aureus

Jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi

Gambar 15. Profil perkiraan penghambatan berbagai bakteri uji

64

Selain untuk memperkirakan profil ekstrak, uji statistik juga dilakukan untuk membandingkan potensi aktivitas antimikroba di antara jenis-jenis ekstrak dan untuk mengetahui jenis mikroba yang memiliki sensitivitas paling tinggi terhadap senyawa antimikroba yang terkandung dalam kulit kayu mesoyi. Pengujian itu dilakukan melalui pengolahan secara statistik terhadap nilai diameter penghambatan bagi setiap bakteri uji. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 10. Tabel 7. Hasil uji statistik GLM-Univariate Sumber keragaman Ekstraka) Bakteri
b)

Jumlah Kuadrat 671.819 225.704 213.562 98.770 3794.768

Derajat Bebas 5 4 20 60 90

Kuadrat Tengah 134.364 56.426 10.678 1.646 -

Nilai F 81.623 34.277 6.487 -

Sig. 0.000 0.000 0.000 -

Interaksi antara ekstrak dengan bakteri uji Galat Total


a) b) c) c)

Hasil uji statistik terhadap enam jenis ekstrak kulit kayu mesoyi Hasil uji statistik terhadap lima bakteri uji Hasil uji statistik terhadap interaksi antara jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan jenis bakteri uji

Perbedaan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang diuji berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap pertumbuhan bakteri uji, dan juga terdapat pengaruh nyata (p<0.05) antara jenis bakteri yang diujikan terhadap nilai diameter penghambatan dari masing-masing jenis ekstrak. Selain itu, uji statistik juga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan jenis bakteri uji yang berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap nilai diameter penghambatan (Tabel 7). Hal ini menunjukkan perbedaan jenis ekstrak atau jenis bakteri yang diujikan memiliki aktivitas antimikroba yang secara statistik berbeda pula. Interaksi antara jenis ekstrak dan jenis bakteri uji bersifat spesifik. Setiap jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki kekuatan penghambatan pertumbuhan yang berbeda pada masing-masing jenis bakteri uji dengan

65

nilai penyimpangan masing-masing yang berbeda (Lampiran 10b dan Lampiran 10d). Uji statistik berguna untuk memilih ekstrak yang akan diuji lanjut beserta bakteri targetnya. Ekstrak yang paling tidak efektif dalam menghambat jenis bakteri uji adalah ekstrak air (Lampiran 10g). Ekstrak etil asetat dan minyak atsiri merupakan ekstrak yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Uji statistik lanjut menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi tidak berbeda nyata (p>0.05), sehingga tidak dapat ditentukan ekstrak yang memiliki aktivitas antimikroba lebih baik diantara keduanya (Lampiran 10g). Jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang lainnya, yaitu ekstrak metanol, ekstrak etanol, dan ekstrak heksan memiliki aktivitas antimikroba yang sama kuatnya (p>0.05) (Lampiran 10g). Faktor antimikroba biasanya terkandung dalam minyak esensial dari rempah-rempah (Farrel, 1990). Minyak atsiri kulit kayu mesoyi dapat menghambat bakteri-bakteri uji dengan diameter penghambatan paling besar terhadap Salmonella Typhimurium (14.60 mm) dibandingkan dengan keempat bakteri uji lainnya (Gambar 12). Minyak atsiri dari rempah-rempah sering diartikan sebagai senyawa aromatik bersifat volatil yang didapat dengan proses destilasi uap. Kelebihan dari minyak ini dalam industri adalah bebas dari enzim dan mikroba pengkontaminan, kelarutan yang seragam, dan mudah dalam penanganan dan penyimpanan (Lund et al., 2000). Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 6. Ekstrak etil asetat dalam menghambat pertumbuhan P. aeruginosa merupakan aktivitas antimikroba yang terbesar dibandingkan kemampuan jenis ekstrak yang lain (Gambar 12). Selain itu, ekstrak etil asetat juga memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan B. cereus paling baik (Gambar 12). Hal ini berarti ekstrak etil asetat memiliki spektrum hambatan yang luas karena merupakan ekstrak yang paling kuat dalam menghambat bakteri pembusuk P. aeruginosa dan bakteri patogen B.

66

cereus. Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 8. Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar sehingga senyawa yang terkandung didalam ekstrak merupakan senyawa-senyawa yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba tersebut dapat larut di dalam senyawa polar (air) tempat mikroba biasanya tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat bereaksi dengan membran mikroba (Branen, 1993). Heksan merupakan pelarut organik non-polar dan karenanya hanya dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang juga bersifat non-polar dari kulit kayu mesoyi. Dari diameter penghambatan yang terukur diketahui bahwa senyawa-senyawa non-polar yang terkandung dalam kulit kayu mesoyi merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba walaupun tidak terlalu baik dibandingkan dengan jenis ekstrak lainnya. Ekstrak heksan adalah ekstrak yang memiliki aktivitas penghambatan paling lemah terhadap E. coli dan S. aureus, dan ekstrak heksan merupakan ekstrak kedua yang memiliki aktivitas antimikroba paling lemah dalam menghambat B. cereus dan P. aeruginosa (Lampiran 7). Ekstrak heksan memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan paling baik terhadap Salmonella Typhimurium, tetapi bukan merupakan yang terkuat dalam menghambat Salmonella Typhimurium. Oleh karena itu, ekstrak heksan bukan merupakan sumber antimikroba yang cukup baik karena dengan aktivitas antimikroba yang paling baik ekstrak heksan tetap tidak menjadi yang terkuat dalam menghambat pertumbuhan Salmonella Typhimurium. Ekstrak metanol tidak dapat menghambat seluruh bakteri uji, yaitu tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap E. coli. Dengan demikian

67

ekstrak metanol merupakan ekstrak kulit kayu mesoyi yang cenderung memiliki spektrum penghambatan yang sempit dibandingkan kemampuan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi lainnya. Oleh karena itu, ekstrak metanol bukan merupakan senyawa antimikroba yang cukup baik untuk dikembangkan menjadi sumber pengawet pangan alami. Pengawet pangan alami yang baik memiliki spektrum penghambatan yang luas (Branen, 1993). Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak metanol kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 9. Uji statistik juga bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri uji yang paling sensitif terhadap aktivitas antimikroba jenis ekstrak kulit kayu mesoyi. Secara statistik, bakteri uji yang memiliki sensitivitas paling tinggi terhadap jenis ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella Typhimurium, sedangkan yang paling tahan terhadap aktivitas antimikroba kulit kayu mesoyi adalah E. coli. Bakteri B. cereus dapat dihambat lebih baik dibandingkan S. aureus, P. aeruginosa, dan E. coli, tetapi masih lebih tahan dibandingkan Salmonella Typhimurium (Lampiran 10g). Aktivitas antimikroba kulit kayu mesoyi lebih rendah dalam menghambat pertumbuhan P. aeruginosa dibandingkan dengan aktivitas penghambatannya pada B. cereus dan Salmonella Typhimurium. Ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki aktivitas antimikroba yang sama antara P. aeruginosa dengan S. aureus (Lampiran 10f). Hal ini berarti aktivitas antimikroba kulit kayu mesoyi lebih rendah pada bakteri pembusuk dibandingkan dengan bakteri patogen, kecuali untuk E. coli. Selain kulit kayu mesoyi, penisilin sebagai antimikroba yang telah umum digunakan memiliki aktivitas antimikroba terhadap banyak bakteri, tetapi tidak mampu menghambat bakteri pembusuk. Turunan penisilin, yaitu karbenisilin dan tikarsilin, mampu menghambat bakteri pembusuk seperti Pseudomonas sp. (Prescott et. al., 2003).

68

b. Perbandingan aktivitas antimikroba terhadap jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif
Gram negatif Gram positif

16
Rataan Diameter Penghambatan (mm

14 12 10 8 6 4 2 0
E. coli Salmonella typhimurium P. aeruginosa B. cereus S. aureus

Ekstrak air Ekstrak heksan

Ekstrak etanol Ekstrak etil asetat

Minyak atsiri Ekstrak metanol

Gambar 16. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif Beberapa ekstrak rempah mengandung zat antimikroba yang memiliki spektrum luas, sedangkan beberapa ekstrak rempah lainnya hanya dapat menghambat jenis mikroorganisme tertentu (Conner, 1993). Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa hampir semua jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki spektrum yang luas karena mampu menghambat bakteri uji baik Gram positif ataupun Gram negatif. Senyawa antimikroba yang memiliki spektrum penghambatan yang luas lebih diinginkan dalam pengawetan bahan pangan, karena senyawa antimikroba dapat secara efektif menghambat semua jenis mikroorganisme yang bersifat merusak ataupun patogen pada bahan pangan yang biasanya berupa bakteri, kapang, dan khamir (Ray, 2001). Secara umum bakteri Gram positif paling baik dihambat oleh ekstrak etil asetat, sedangkan jenis ekstrak yang dapat menghambat bakteri Gram negatif lebih baik adalah minyak atsiri dan ekstrak etil asetat

69

(Gambar 16). Rata-rata diameter penghambatan minyak atsiri terhadap bakteri uji Gram negatif adalah 7.87 mm dan rata-rata diameter penghambatan terhadap bakeri uji Gram positif adalah 7.44 mm. Ekstrak heksan juga dapat menghambat jenis bakteri uji yang tergolong dalam Gram negatif dan Gram positif dengan rata-rata 5.52 mm dan 6.11 mm, sedangkan rata-rata diameter penghambatan jenis bakteri uji yang tergolong pada Gram negatif dan Gram positif oleh ekstrak etil asetat adalah 8.07 mm dan 9.20 mm. Ekstrak metanol menghambat bakteri uji yang tergolong Gram negatif dan Gram positif dengan diameter penghambatan rata-rata adalah 6.44 mm dan 6.41 mm. Dari data tersebut diketahui bahwa minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi dapat menghambat bakteri, baik dari jenis Gram negatif ataupun Gram positif dengan kekuatan antimikroba yang hampir sama. Hal ini sesuai dengan uji lanjut statistik (Lampiran 10f), yang menunjukkan bahwa kekuatan penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri Gram negatif P. aeruginosa dan bakteri Gram positif S. aureus tidak berbeda nyata (p>0.05). Walaupun demikian, ekstrak etanol memiliki kecenderungan yang berbeda. Rata-rata penghambatan ekstrak etanol terhadap jenis bakteri uji yang tergolong Gram negatif adalah 4.34 mm, sedangkan rata-rata penghambatan terhadap jenis bakteri uji yang tergolong Gram positif adalah 7.12 mm. Dengan demikian dapat dikatakan ekstrak etanol kulit kayu mesoyi dapat menghambat bakteri dari kelompok Gram positif lebih baik daripada bakteri dari kelompok Gram negatif. Hal ini sesuai dengan uji lanjut statistik (Lampiran 10f), yang menunjukkan bahwa kekuatan penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri Gram negatif E. coli, Salmonella Thypimurium, dan P. aeruginosa berbeda nyata (p<0.05) dengan bakteri Gram positif B. cereus. Penghambatan terhadap bakteri Gram negatif E. coli dan Salmonella Thypimurium berbeda nyata (p<0.05) dengan bakteri Gram positif S. aureus.

70

Aktivitas antimikroba yang lebih baik terhadap bakteri Gram positif juga dapat disebabkan oleh kandungan di dalam ekstrak. Pelarut etanol yang bersifat polar akan mengekstrak komponen-komponen yang juga bersifat polar. Komponen polar yang biasa terkandung didalam tanaman dan diketahui memiliki aktivitas antimikroba adalah senyawa fenolik. Gram positif diketahui lebih sensitif dan dapat dihambat oleh minyak esensial tanaman yang mengandung senyawa fenolik dibandingkan Gram negatif (Davidson dan Naidu, 2000). Penyebabnya adalah bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar selain peptidoglikan yang melindungi membran dengan lebih baik sehingga lebih tahan terhadap zat-zat antimikroba (Branen, 1993). Lapisan membran sel bakteri dapat dilihat pada Lampiran 14. Diduga bahwa ekstrak etanol kulit kayu mesoyi mengandung komponen yang termasuk dalam senyawa fenolik ataupun memiliki sifat yang serupa dengan senyawa fenolik. c. Perbandingan aktivitas antimikroba terhadap aktivitas kontrol positif Amoxycillin sebagai kontrol positif dalam penelitian ini merupakan turunan semisintetik dari penisilin. Penisilin mampu menghambat bakteri pada masa pertumbuhannya melalui mekanisme menghambat sintesis peptidoglikan. Penisilin menghambat kerja enzim yang menjadi katalis dari reaksi transpeptidasi karena strukturnya yang sangat serupa. Peptidoglikan yang tidak sempurna kemudian dapat menyebabkan osmotik yang tidak normal dan lisis (Prescott et. al., 2003). Kontrol positif merupakan antimikroba yang telah murni dan karenanya digunakan dalam konsentrasi yang kecil yaitu 0.01%, sedangkan pengujian jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dilakukan pada konsentrasi 28%, sehingga perbandingan konsentrasi antara ekstrak dengan kontrol positifnya sebesar 2800:1. Karena kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai senyawa antimikroba yang kuat, penggunaan perbandingan ini bertujuan untuk mengukur potensi aktivitas antimikroba kayu mesoyi (Gambar 17).

71

20
Rataan Diameter Penghambatan (mm)

16 12 8 4 0
E. coli Kontrol + E. heksan S. Typhimurium E. etanol Kontrol + P.aeruginosa Kontrol + E. etil asetat S. aureus M. atsiri Kontrol + B. cereus Kontrol + E. metanol

Gambar 17. Perbandingan diameter penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi Secara umum kontrol positif diketahui dapat menghambat Salmonella Typhimurium, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus, tetapi tidak dapat menghambat Eschericia coli dan Pseudomonas aeruginosa. Hal ini diduga karena resistensi atau kecilnya konsentrasi yang digunakan. Resistensi beberapa jenis bakteri terhadap penisilin berhubungan dengan mekanisme penisilin yang mengganggu pembentukan peptidoglikan, sedangkan beberapa bakteri hanya memiliki sedikit peptidoglikan atau bahkan tidak memiliki peptidoglikan (Heritage et al., 1999). Selain itu, dapat juga disebabkan karena bakteri tersebut dapat mensintesis penisilinase, yaitu enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang resisten terhadap penisilin. Enzim ini dapat menghancurkan penisilin dengan menghidrolisis ikatan pada penisilin (Prescott et al., 2003). Kontrol positif menghambat pertumbuhan bakteri uji dengan penghambatan terhadap Salmonella Typhimurium lebih besar daripada terhadap S. aureus dan B. cereus. Hal ini sesuai dengan Granum (2000) yang menyatakan bahwa penisilin tidak efektif terhadap B. cereus.

72

Secara umum, pada konsentrasi yang jauh lebih besar, jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki diameter penghambatan yang jauh lebih kecil dibandingkan kontrol positifnya. Ekstrak etanol dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi memiliki diameter penghambatan terhadap Salmonella Typhimurium sebesar sepertiga dari diameter penghambatan oleh kontrol positif, sehingga didapat bahwa perbandingan kekuatan penghambatan antara ekstrak etanol dan ekstrak metanol terhadap kontrol positifnya adalah 1:8000. Selain itu, perbandingan diameter penghambatan antara minyak atsiri, ekstrak heksan, dan ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi terhadap kontrol positifnya dalam menghambat Salmonella Typhimurium adalah setengah. Oleh karena itu, didapat bahwa perbandingan kekuatan penghambatan antara minyak atsiri, ekstrak heksan, dan ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi terhadap kontrol positifnya dalam menghambat Salmonella Typhimurium adalah 1:5000. Perbandingan diameter penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan kontrol positifnya terhadap S. aureus hampir mencapai setengah, sehingga didapat bahwa perbandingan kekuatan penghambatan antara ekstrak etanol dan metanol terhadap kontrol positifnya adalah 1:5000. Ekstrak heksan dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi menghambat pertumbuhan Bacillus cereus dengan diameter penghambatan yang hampir sama besar dengan kontrol positif (Gambar 17). Perbandingan aktivitas ekstrak heksan dan ekstrak metanol terhadap kontrol positifnya dalam menghambat B. cereus adalah 1:3000. Minyak atsiri, ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol memiliki diameter penghambatan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kontrol positifnya terhadap B. cereus (Gambar 17), sehingga didapat bahwa perbandingan kekuatan antara minyak atsiri, ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol dengan kontrol positifnya adalah 1:2000.

73

C. UJI LANJUT EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI 1. Penentuan Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) Nilai MIC adalah nilai konsentrasi terendah dari senyawa antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba uji secara signifikan. Penentuan nilai MIC dilakukan terhadap dua ekstrak kulit kayu mesoyi yaitu ekstrak etanol dan minyak atsiri. Ekstrak etanol akan menunjukkan aktivitas antimikroba kandungan polar dari kulit kayu mesoyi, sedangkan minyak atsiri akan menunjukkan aktivitas antimikroba dari kandungan volatil kulit kayu mesoyi. Penentuan MIC ekstrak etanol kulit kayu mesoyi dilakukan terhadap Bacillus cereus, sedangkan minyak atsiri dilakukan terhadap Salmonella Typhimurium. Gambar penghambatan B. cereus oleh ekstrak etanol kulit kayu mesoyi dengan konsentrasi 30% dan 40% pada penentuan nilai MIC metode padat dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Penghambatan pertumbuhan B. cereus oleh ekstrak etanol Data hasil pengujian difusi sumur dari masing-masing ekstrak dibuat kurva dan dihitung persamaan regresinya. Nilai sumbu X didapat dari menghitung nilai logaritma murni (Ln) dari konsentrasi ekstrak yang digunakan. Nilai diameter penghambatan dikuadratkan, dan menjadi nilai sumbu Y. Setelah mendapat persamaan dengan bentuk y = a + bx, maka dapat dihitung nilai MIC. Cara penghitungannya dapat dilihat pada Lampiran 15 dan Lampiran 16.

74

Tabel 8. Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) Bakteri Uji Bacillus cereus Salmonella Typhimurium Sampel Mesoyi Ekstrak etanol Minyak atsiri Nilai MIC (% w/w) 0.557 0.005 Nilai MIC (ppm) 5570 50

Nilai MIC seperti pada Tabel 8, menunjukkan bahwa nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus sebesar 0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (% w/w). Nilai MIC minyak atsiri terhadap Salmonella Typhimurium lebih kecil daripada nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus. Hal ini menunjukkan bahwa minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan Salmonella Typhimurium secara lebih efektif daripada kerja ekstrak etanol dalam menghambat pertumbuhan Bacillus cereus. Nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium merupakan nilai MIC yang rendah dibandingkan nilai MIC beberapa rempah lainnya misalnya jinten hitam yang memiliki nilai MIC 0.084% (w/w) terhadap Salmonella Typhimurium. Hal ini berarti Salmonella Typhimurium memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap minyak atsiri mesoyi. Selain itu, diketahui bahwa minyak atsiri rempah yang juga berasal dari kayu, yaitu kayu manis yang lebih tidak efektif daripada minyak atsiri kulit kayu mesoyi. Kayu manis memiliki nilai MIC terhadap Campylobacter jejuni, E. coli, Salmonella Enteritidis, L. monocytogenes, dan S. aureus pada uji difusi agar dengan masa inkubasi 24 jam, masing-masing sebesar 0.05, 0.05, 0.05, 0.03, dan 0.04% (Smith-Palmer et al., 1998). 2. Uji Fitokimia Sensitivitas yang tinggi terhadap suatu zat antimikroba sangat terkait dengan senyawa yang terkandung didalamnya, oleh karena itu perlu diketahui komponen aktif yang ada didalam minyak atsiri dan ekstrak etanol mesoyi. Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif yang

75

terkandung di dalam ekstrak secara kualitatif. Uji fitokimia pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa fenol, tanin, saponin, flavonoid, alkaloid, steroid dan terpenoid. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Uji Fitokimia Sampel Ekstrak etanol Minyak atsiri Fenol + Tanin Saponin Steroid Terpenoid

Flavonoid -

Alkaloid -

+ +

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa ekstrak etanol kulit kayu mesoyi mengandung senyawa fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri kulit kayu mesoyi mengandung senyawa terpenoid. Tidak banyaknya jenis senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam kulit kayu mesoyi menunjukkan bahwa kulit kayu mesoyi mengandung senyawa yang jumlahnya dominan dan bukan merupakan senyawa aktif umum yang banyak terdapat dalam jenis tanaman atau rempah lainnya. Umumnya minyak esensial rempah mengandung beberapa campuran senyawa dan hanya sedikit yang mengandung satu jenis komponen kimia yang persentasenya sangat tinggi. Beberapa minyak esensial rempah yang memiliki senyawa yang terkandung secara dominan misalnya minyak mustard (Brassica alba) yang mengandung alil isotiosianat 93%, kayu manis (Cinnamomun cassia) mengandung sinamaldehida 97%, dan cengkeh (Eugenia aromatica) yang mengandung senyawa fenol, terutama eugenol, sebesar 85% (Agusta, 2000). a. Minyak atsiri kulit kayu mesoyi Komposisi dan kandungan minyak atsiri dari rempah bervariasi antara satu rempah dengan rempah lainnya, bahkan antara rempah yang sejenis. Hal ini tergantung pada cara perawatan pada saat rempah ditanam, geografi, dan kondisi iklim saat pertumbuhan (Lund et al., 2000). Hasil uji

76

fitokimia menunjukkan bahwa minyak atsiri kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid. Hal ini sesuai dengan Agusta (2000) yang menyatakan bahwa minyak atsiri umumnya mengandung monoterpena yang bersifat volatil dan turunan oksigen dari terpen. Senyawa antimikroba yang terkandung pada rempah-rempah dapat merupakan senyawa yang umum terdapat pada rempah-rempah ataupun senyawa yang tidak terdapat pada rempah lain. Kulit kayu mesoyi terutama minyak atsirinya, memang telah terbukti banyak mengandung senyawa khusus yang disebut mesoyi lakton. Senyawa ini telah dikenal di pasaran karena minyak atsiri kulit kayu mesoyi banyak dijual sebagai bahan campuran parfum (Ketaren, 1985). Dalam perdagangan minyak atsiri, mutu minyak mesoyi ditentukan oleh kandungan laktonnya. Mesoyi lakton terkandung secara dominan didalam minyak atsiri mesoyi. Senyawa ini merupakan komponen pembentuk bau mesoyi yang sangat khas. Senyawa utama dalam mesoyi adalah mesoyi lakton yang terdiri dari lakton I berkisar antara 55-80% dan lakton II berkisar antara 520% (hasil riset Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat yang tidak dipublikasikan). Selain itu terdapat juga senyawa pinen dan benzil benzoat dalam jumlah kecil. Mesoyi lakton akan memberikan panas bila terkena kulit secara langsung dan dapat menyebabkan iritasi. Dari hasil uji fitokimia (Tabel 9), minyak atsiri kulit kayu mesoyi diketahui hanya mengandung terpenoid, sehingga diduga mesoyi lakton merupakan senyawa yang termasuk dalam kelas terpenoid. Salah satu golongan utama terpenoid dalam tanaman adalah monoterpenoid yang termasuk didalamnya adalah monoterpena lakton yang lebih dikenal dengan iridoid. Contoh dari monoterpena lakton adalah nepetalakton, yang merupakan senyawa pemberi bau pada Nepeta cataria Labiateal (Suradikusumah, 1989). Monoterpena adalah terpenoid dengan susunan C10, hal ini sesuai dengan struktur kimia mesoyi lakton yang memiliki rumus molekul C10H16O2 (Leffingwell, 1999). Berdasarkan hasil riset Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat yang tidak dipublikasikan, diketahui bahwa minyak atsiri kulit kayu

77

mesoyi tidak mengandung eugenol. Eugenol merupakan senyawa yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba dan termasuk dalam golongan fenol. Hal ini sesuai dengan hasil uji fitokimia dimana uji terhadap minyak atsiri kulit kayu mesoyi menunjukkan hasil fenol yang negatif. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat telah meneliti sifat fisik senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri mesoyi dari beberapa sampel minyak atsiri kulit kayu mesoyi seperti tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik minyak atsiri kulit kayu mesoyi Karakteristik Sampel 1 Berat jenis (25C) Indeks bias (25C) Putaran optik Bilangan asam
*)

Nilai*) Sampel 2 0.9767 1.4747 9724 26.96 Sampel 3 0.9795 1.4720 8930 20.50 Sampel 4 0.9840 1.4715 -8220 8.15 Sampel 5 0.9855 1.4734 -8630 6.40

0.9860 1,4726 -8848 5.20

Sampel 1-5 diperoleh dari sumber yang berbeda Sumber: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (tidak dipublikasikan)

b. Ekstrak etanol kulit kayu mesoyi Ekstrak etanol kulit kayu mesoyi menunjukkan hasil yang positif terhadap adanya senyawa dari golongan fenol dan terpenoid. Menurut Pelczar et. al. (1993), komponen utama pada rempah yang telah diketahui memiliki aktivitas antimikroba adalah komponen fenolik. Komponen fenolik merupakan komponen yang banyak terdapat di alam. Fenol merupakan senyawa yang digunakan sebagai antimikroba dan antiseptik sejak tahun 1867, yaitu untuk membersihkan alat-alat operasi (Davidson, 1993). Senyawa fenolik diketahui memiliki aktivitas antimikroba dengan beberapa mekanisme penghambatan. Mekanisme fenol dalam menghambat bakteri P. aeruginosa adalah dengan bereaksi dengan komponen fosfolipid pada membran sel yang menyebabkan meningkatnya

78

permeabilitas. Fenol juga diketahui dapat mempengaruhi enzim yang dimiliki oleh E. coli, yaitu dehidrogenase dan oksidase (Davidson, 1993). Selain itu, fenol diketahui menghambat pertumbuhan mikroba dengan meningkatkan permeabilitas membran sel. Permeabilitas membran sel mikroba berubah karena fenol mengganggu sistem transport, transport elektron, dan produksi energi (Ismaeil dan Pierson, 1990). Komponen fenolik terkandung dalam banyak tanaman dan buah yang telah menjadi konsumsi manusia sehari-hari, karenanya komponen fenolik merupakan komponen pengawet yang lebih aman dibandingkan pengawet sintetik (Davidson dan Naidu, 2000). Etanol 70% diketahui dapat mengekstrak flavonoid dengan baik. Walaupun begitu, uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol menunjukkan hasil flavonoid yang negatif. Flavonoid dan tanin merupakan senyawa yang termasuk kedalam senyawa fenolik. Hal ini berarti senyawa fenolik yang terkandung dalam ekstrak etanol kulit kayu mesoyi tidak termasuk dalam kelas flavonoid dan tanin. Menurut Ketaren (1985) senyawa fenolik yang terkandung di dalam kulit kayu mesoyi adalah eugenol. Eugenol diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Eugenol dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis dengan total mikroba 1x105 CFU/ml pada konsentrasi 0.06% (v/v) setelah diinkubasi pada suhu ruang selama 72 jam. Selain itu eugenol juga diketahui sebagai zat antimikroba paling efektif dibandingkan timol, anetol, dan mentol dalam menghambat Salmonella Thypimurium, S. aureus, dan V. parahaemolyticus (Davidson dan Naidu, 2000). Hasil uji fitokimia juga menunjukkan bahwa seperti minyak atsiri, ekstrak etanol kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid (Tabel 9). Hal ini mungkin terjadi karena terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa. Terpenoid pada tanaman dapat berupa monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang lebih sukar menguap (C20), dan senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1996).

79

Pada penelitian ini, ekstrak etanol didapat melalui ekstraksi pada suhu tinggi dan dihembus dengan gas N2, karenanya terpenoid yang terkandung di dalam ekstrak etanol tidak mungkin monoterpena dan seskuiterpena. Selanjutnya menurut Harborne (1996) triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan, yaitu: (1) triterpena sebenarnya, (2) steroid, (3) saponin, dan (4) glikosida jantung. Hasil uji fitokimia menunjukkan negatif terhadap keberadaan steroid dan saponin di dalam ekstrak etanol kulit kayu mesoyi, karenanya terpenoid yang terkandung di dalam ekstrak etanol diduga termasuk dalam golongan diterpena, triterpena sebenarnya, glikosida jantung, atau karotenoid.

80

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Mesoyi adalah tanaman rempah khas Indonesia yang belum banyak dimanfaatkan dan banyak tumbuh di Indonesia Timur terutama di Irian Jaya. Efek antiinflamasi, analgetik, dan penggunaan mesoyi secara tradisional sebagai obat menjadi dasar untuk perlunya dilakukan penelitian lain, antara lain menguji efek antimikroba beberapa jenis ekstrak kulit kayu mesoyi. Rendemen ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi berturut-turut adalah 7.80% (w/w), 8.93% (w/w), 2.04% (v/w), 1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Hampir semua ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki spektrum penghambatan yang luas karena mampu menghambat semua bakteri uji, kecuali ekstrak air dan ekstrak metanol. Ekstrak air tidak memiliki aktivitas antimikroba, sedangkan ekstrak metanol tidak mampu menghambat pertumbuhan E. coli. Perbedaan ekstrak yang diujikan, bakteri uji yang digunakan, dan interaksi yang terjadi diantaranya memiliki pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai diameter penghambatan. Bakteri uji yang paling sensitif terhadap ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella Thypimurium, sedangkan bakteri yang paling tahan adalah E. coli. Ekstrak kulit kayu mesoyi yang memiliki aktivitas antimikroba paling baik adalah ekstrak etil asetat dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang paling tidak efektif adalah ekstrak air. Ekstrak yang dipilih untuk diuji lanjut adalah ekstrak etanol dan minyak atsiri. Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus sebesar 0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (% w/w). Uji fitokimia terhadap ekstrak etanol dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi membuktikan bahwa ekstrak etanol mengandung fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid.

81

B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah: Pengujian aktivitas antimikroba jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi pada sistem pangan tertentu mewakili pangan nabati dan hewani. Aplikasi senyawa antimikroba pada bahan pangan dilakukan untuk mengetahui potensinya sebagai pengawet alami. Pengujian jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi untuk mengetahui batas pemakaian yang aman. Identifikasi komponen aktif jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan metode Thin Layer Chromatoraphy (TLC) atau dengan alat Gas Chromatography-Mass Spectrophotometer (GC-MS). Perluasan pemanfaatan kulit kayu mesoyi sebagai tanaman khas Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan pengujian lainnya seperti aktivitas antioksidan, dan uji farmakologis lain seperti antidiare.

82

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB, Bogor. Adawiyah, D. R. 1998. Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen Antimikroba Buah Atung (Parinarium gaberium Hassk.). Tesis. FATETA-IPB. Bogor. Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Penerbit ITB. Bandung. Ahmad, I., Mehmood, Z., Mohammad, F. 1998. Screening of Some Indian Medicinal Plants for Their Antimicrobial Properties. Di dalam Ahmad, I., dan Arina, Z. B. 2001. Antimicrobial and Phytochemical Studies on 45 Indian Medicinal Plants Againts Multi-drug Resistent Human Pathogens. Journal of Ethnopharmacology 74, 113-123. Alfinus. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Alkaloid dari Phoebe cuneata bl. dan Triterpenoid dari Litsea elliptica. www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006] Anonima. 2004. Massoia Oil. www.haldin-natural.com [28 Agustus 2006] Anonimb. 2006. The Essential Oil Source. www.libertynatural.com [28 Agustus 2006] Anonimc. 2006. Methanol. www.wikipedia.com [02 Desember 2006] Anonimd. 2006. Dimethyl Sulfoxide. www.chemicalland21.com [28 Agustus 2006] Anonime. 2006. Tannins. www.wikipedia.com [02 Desember 2006] Anonimf. 2006. Alkaloid. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimg. 2006. Ethanol. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimh. 2006. Hexane. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimi. 2006. Ethyl Acetat. www.wikipedia.com [19 November 2006] Ardiansyah. 2006. Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional. www.beritaiptek.com [19 November 2006] Bennik, M. H. J. 2000. Pseudomonas aeruginosa. Di dalam Robinson, R. K., Carl A. Batt, dan Pradip D. Patel. (eds.) Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York, USA.

83

Branen, A. L. 1993. Introduction to Use of Antimicrobials. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Beuchat, L. R. 1994. Antimicrobial Properties of Spices and Their Essential Oils. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Conner, D. E. 1993. Naturally Occuring Compounds. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Cox, J. 2000. Salmonella Thypimurium. Di dalam Robinson, R. K., Carl A. Batt, dan Pradip D. Patel. (eds.) Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York, USA. Davidson, P. M., dan A. S. Naidu. 2000. Phyto-phenols. Di dalam A. S. Naidu (Ed.). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. New York. Davidson, P. M. 1993. Parabens and Phenolic Compounds. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Davidson, P. M. 1993. Parabens and Phenolic Compounds. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Davidson, P. M., dan Mickey E. Parish. 1989. Methods for Testing The Efficacy of Food Antimicrobials. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). 1993. Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Davidson, P. M., dan Mickey E. Parish. 1993. Methods for Evaluation. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Driessen, F. M. 1993. Importance of Bacillus Cereus in Fermented Milks and Processed Non-fermented Dairy Products. Di dalam Lund, B. M. et. al (eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi-IPB. Jakarta. Farrel, Kenneth T. 1990. Spices, Condiments, and Seasonings 2nd edition. Van Nostrand Reinhold. New York.

84

Garigga, M., M. Hugas, T. Aymerich dan J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermentation Sausages. Journal of Applied Microbiology, 7 : 142-148. Granum, P. E. 1994. Bacillus Cereus and its toxins. Di dalam Lund, B. M. et. al (Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Granum, P. E., dan Tony C. B. Bacillus species. Di dalam Lund, B. M. et. al (Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Gruiz, K. 1996. Fungitoxic Activity of Saponins: Practical Use and Fundamental Principiles. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Guenther, E. 1972. The Essential Oils. Di dalam Iskandar, M. I., dan Agus Ismanto. 2001. Tinjauan Beberapa Sifat dan Manfaat Tumbuhan Masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta. Hakim, E. H. 2004. Alkaloid dari Kulit Akar Litsea diversifolia bl.. www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006] Hammer, K. A., Carson, C. A., dan Riley, T. V. 1999a. Antmicrobial Activity of Essential Oils and Other Plant Extract. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Hammer, K. A., Carson, C. A., dan Riley, T. V. 1999b. Influence of Organic Matter, Cations and Surfactants on The Antimicrobial Activity of Melaleuca alternifolia (Tea Tree) Oil. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan. K. Padmawinata dan I. Soediro. Penerbit ITB. Bandung. Heritage, J., E. G. V. Evans, dan R. A. Killington. 1999. Microbiology in Action. Cambridge University Press. London. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Holt, John G., Noel R. Kriey, Peter H. A. Sneath, James T. Staley, dan Stanley T. Williams. 1994. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology 9th edition. Lippincott Williams&Wilkins Co. Baltimore, USA.

85

Houghton P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. Chapman and Hall, London. Iskandar, M. I., dan Agus Ismanto. 2001. Tinjauan Beberapa Sifat dan Manfaat Tumbuhan Masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta. Iskandar, S. 2003. Minyak Tumbuhan, Sumber Energi Alami. www.chem-istry.org.id [19 November 2006] Ismaeil, A. A., dan Pierson, M. D. 1990. Inhibition of Germination, Outgrowth and Vegetative Growth of Clostridium botulinum 67B by Spice Oils. Di dalam Lund, B. M. et. al (Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume I. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Juven, B. J., Kanner J., Schved F., dan Weisslowicz, H. 1994. Factors That Interact With The Antibacterial Action of Thyme Essential Oil and Its Active Constituent. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Kartasajuna, I., dan A. Martawijaya. 1973. Kayu Perdagangan Indonesia. Sifat dan Kegunaannya. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka. Jakarta. Kister, H. Z. 1992. Distillation Design. McGraw-Hill, Inc. USA. Leffingwell. 1999. Delta-lactones and Molecular Structures.www.leffingwell.com [28 Agustus 2006] Lily, P. 1980. Medicinal Plants of South East Asia. Di dalam Widowati, L., dan Pudjiastuti. 2001. Khasiat Analgetika Kulit Batang Masoyi (Massoia aromaticum Becc.) Pada Mencit Putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta. Lund, B. M., T. C. Baird-Parker, dan G. W. Gould. 2000. The Microbial Safety and Quality of Food. Vol II. Mattjik, A. A., dan I Made Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. Middleton, E., dan Chithan K. 1994. The Impact of Plant Flavonoids on Mammalian Biology : Implication for Immunity, Inflammation, and Cancer. Di dalam Harborne, J. B. (ed.). The Flavonoids. Chapman&Hall. London.

86

Mulia, L. 2000. Kajian Aktivitas Antimikroba Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodicum) dan Antarasa (Litsea cubeba). Skripsi. FATETA, IPB, Bogor. Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. NCCLS. 1991. Antimicrobial Susceptibility Testing 3rd edition. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Nielsen, S. Suzanne. 2003. Food Analysis 3rd edition. Kluwer Academic / Plenum Publisher. New York, USA. Nychas, G. J. 1994. Natural Antimicrobial From Plants. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Parhusip, Adolf J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap Bakteri Patogen Pangan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Parker, Tony C. B. 2000. Staphylococcus aureus. Di dalam Lund, B. M. et al. (Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Piddock, L. J. 1990. Techniques Used for The Determination of Antimicrobial Resistance and Sensitivity in Bacteria. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Pomeranz, Y., dan Clifton E. Meloan. 1994. Food Analysis Theory and Practise 3rd edition. Chapman and Hall Publishing Company. New York, USA. Prescott, L. M, John P. Harley, dan Donald A. Klein. 2003. Microbiology 5th edition. McGraw-Hill. USA. Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology 2nd edition. CRC Press. USA. Robinson. 1995. Phyto-chemistry in Plants. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Santoni, A. 2004. Beberapa Alkaloid dari Kulit Batang Litsea firma (BI.)Hk.f (Lauraceae). www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006] Saroni, dan Adjirni. 2001. Efek Antiinflamasi Kulit Batang Massoia aromaticum Becc. (Masoyi) Pada Tikus Putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.

87

Shiddieqy, M. I. 2006. Bakteri Menyebabkan Keracunan Susu. www.pikiranrakyat.com [19 November 2006] Smith, J. L., dan Marmer, B. S. 1991. Death and Injury of Staphylococcus aureus: Effect of Growth Temperature. Di dalam Lund, B. M. et al. (Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Smith-Palmer, A., Stewart, J., dan Fyfe, L. 1998. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. Antimicrobial Properties of Plant Essential Oils and Essences Againts Five Important Food-Borne Pathogens. CRC Press. New York. Sundari, D., W. Lucie, dan M. W. Winarno. 1998. Informasi Khasiat, Keamanan, dan Fitokimia Tanaman Secang (Caesalpinia sappan Linn). Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Volume 4 Nomor 3:1 Edisi 1998. Jakarta. Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB. Widowati, L., dan Pudjiastuti. 2001. Khasiat Analgetika Kulit Batang Masoyi (Massoia aromaticum Becc.) Pada Mencit Putih. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta. White, C. A., dan Hall, L. P. 1984. The Effect of Temperature Abuse on Staphylococcus aureus and Salmonella in Raw Beef and Chicken Substrates During Freezing. Di dalam Lund, B. M. et al. (Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Zablotowicz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effects of Saponin on The Growth and Activity of Rhizosphere Bacteria. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.

88

89

Lampiran 1. Hasil Uji Kadar Air Ekstrak Air Kulit Kayu Mesoyi

Hasil analisis (%) I 78.71


*)

II 80.95

Rata-rata (%)*) 79.83

merupakan rata-rata dari dua kali pengukuran (duplo)

90

Lampiran 2. Perhitungan Rendemen

Rendemen =

( W -W ) 100 % (w/w)
a b

W0 Keterangan : = berat botol berisi ekstrak (g) Wa Wb = berat botol kosong (g) = berat bahan yang diekstrak (g) W0 Ukuran sampel bubuk kulit kayu mesoyi = 40 mesh Ekstrak Heksan Etil asetat Metanol Etanol Air Contoh : Ekstrak heksan Rendemen (% w/w) = Wa Wb = 8.28 7.74 100 % W0 32.14 = 1.69 % (w/w) W0 32.14 27.80 25.72 30.10 30.76 Wa 8.28 8.24 8.05 10.32 129.50 Wb 7.74 7.83 7.66 7.63 117.60

) (

91

Lampiran 3. Data Uji Konfirmasi

Bakteri Uji E. coli S. Typhimurium P. aeruginosa S. aureus B. cereus


*)

Jumlah koloni (CFU/ml)*) Ulangan 1 1.2x108 2.4x108 1.2x108 2.4x108 1.7x108 Ulangan 2 2.1x108 5.6x108 1.1x108 3.3x108 1.2x108 Ulangan 3 4.1x108 6.1x108 3.5x108 1.9x108 2.0x108 Rata-rata 2.5x108 4.7x108 1.9x108 2.5x108 1.6x108

Rata-rata dari duplo

92

Lampiran 4. Perhitungan Diameter Penghambatan (mm)

A, B, C D

Keterangan : A = pengukuran diameter pertama (mm) B = pengukuran diameter kedua (mm) C = pengukuran diameter ketiga (mm) D = diameter setiap lubang/sumur = 6 mm

= Contoh: A = 10.9 mm B = 10.5 mm C = 10.4 mm D = 6 mm =

A+B+C 3

) -D

10.9 + 10.5 + 10.4 3

) -6

= 4.6 mm

93

Lampiran 5. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol

Diameter Penghambatan Ekstrak Etanol (mm) Gram negatif Salmonella Typhimurium Ulangan P. aeruginosa Gram positif

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Mean SD SE

4.100 4.350 3.730 4.060 0.3119 0.1801

4.800 5.750 6.050 5.530 0.6526 0.3768

3.150 3.400 3.750 3.430 0.3014 0.1740

7.450 7.500 7.900 7.620 0.2466 0.1424

6.250 6.650 7.000 6.630 0.3753 0.2167

Lampiran 6. Data Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri Diameter Penghambatan Minyak Atsiri (mm) Gram Negatif Salmonella Typhimurium Ulangan P. aeruginosa Gram positif S. aureus 7.450 6.150 6.600 6.730 0.6602 0.3812 94 B. cereus

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Mean SD SE

3.600 4.900 4.550 4.350 0.6727 0.3884

E. coli

14.800 13.250 15.750 14.600 1.2619 0.7286

4.050 5.400 4.550 4.670 0.6825 0.3941

8.100 7.750 8.600 8.150 0.4272 0.2466

S. aureus

B. cereus

E. coli

Lampiran 7. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Heksan Diameter Penghambatan Ekstrak Heksan (mm) Gram Negatif Salmonella Typhimurium Ulangan P. aeruginosa Gram Positif S. aureus 5.450 5.100 5.550 5.370 0.2363 0.1364 8.150 8.100 9.100 8.450 0.5635 0.3253 S. aureus B. cereus 6.050 6.900 7.600 6.850 0.7762 0.4481 11.750 9.050 9.050 9.950 1.5588 0.9000 B. cereus

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Mean SD SE

3.200 3.900 3.850 3.650 0.3905 0.2255

E. coli

7.700 10.350 7.050 8.370 1.7481 1.0093

5.200 4.200 4.250 4.550 0.5635 0.3253

Lampiran 8. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etil Asetat Diameter Penghambatan Ekstrak Etil Asetat (mm) Gram Negatif Gram Positif Salmonella Typhimurium 8.200 10.250 10.800 9.750 1.3702 0.7911 Ulangan E. coli P. aeruginosa 8.550 14.050 6.650 9.750 3.8432 2.2189

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Mean SD SE

5.850 4.150 4.150 4.720 0.9815 0.5667

95

Lampiran 9. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Metanol

Diameter Penghambatan Ekstrak Metanol (mm) Gram Negatif Salmonella Typhimurium Ulangan E. coli P. aeruginosa Gram Positif S. aureus 7.300 5.400 0.000 6.350 1.3435 0.9500 B. cereus 7.600 5.050 6.800 6.480 1.3042 0.7530

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Mean SD SE

0.000 0.000 0.000 0.000 0.0000 0.0000

5.250 7.750 6.200 6.400 1.2619 0.7286

6.100 8.450 4.900 6.480 1.8058 1.0426

96

Lampiran 10a. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

Univariate Analysis of Variance


Between-Subjects Factors Value Label ekstrak air ekstrak etanol minyak atsiri ekstrak heksan ekstrak etil asetat ekstrak metanol E. coli S. Thypimuriu m P. aeroginosa B. cereus S. aureus N 15 15 15 15 15 15 18 18 18 18 18

EKSTRAK

1 2 3 4 5 6

BAKTERI

1 2

3 4 5

97

Lampiran 10b. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD
Descriptive Statistics Dependent Variable: HAMBATAN EKSTRAK ekstrak air BAKTERI E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Total E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Total E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Total E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Total E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Total E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Total E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Total Mean .0000 .0000 .0000 .0000 .0000 .0000 4.0600 5.5333 3.4333 7.6167 6.6333 5.4553 4.3500 14.6000 4.6667 8.1500 6.7333 7.7000 3.6500 8.3667 4.5500 6.8500 5.3667 5.7567 4.7167 9.7500 9.7500 9.9500 8.4500 8.5233 .0000 6.4000 6.4833 6.4833 4.2333 4.7200 2.7961 7.4417 4.8139 6.5083 5.2361 5.3592 Std. Deviation .00000 .00000 .00000 .00000 .00000 .00000 .31193 .65256 .30139 .24664 .37528 1.64606 .67268 1.26194 .68252 .42720 .66018 3.90759 .39051 1.74809 .56347 .77621 .23629 1.89980 .98150 1.37022 3.84318 1.55885 .56347 2.66377 .00000 1.26194 1.80578 1.30416 3.78726 3.12209 2.10782 4.66326 3.38491 3.29604 3.06281 3.68699 N 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 18 18 18 18 18 90

ekstrak etanol

minyak atsiri

ekstrak heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak metanol

Total

98

Lampiran 10c. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: HAMBATAN Source Model EKSTRAK BAKTERI EKSTRAK * BAKTERI Error Total Type III Sum of Squares 3695.998a 671.819 225.704 213.562 98.770 3794.768 df 30 5 4 20 60 90 Mean Square 123.200 134.364 56.426 10.678 1.646 F 74.841 81.623 34.277 6.487 Sig. .000 .000 .000 .000

a. R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .961)

99

Lampiran 10d. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD
Parameter Estimates Dependent Variable: HAMBATAN Parameter [EKSTRAK=1 [EKSTRAK=2 [EKSTRAK=3 [EKSTRAK=4 [EKSTRAK=5 [EKSTRAK=6 [BAKTERI=1 [BAKTERI=2 [BAKTERI=3 [BAKTERI=4 [BAKTERI=5 [EKSTRAK=1 * [BAKTERI=1 [EKSTRAK=1 * [BAKTERI=2 [EKSTRAK=1 * [BAKTERI=3 [EKSTRAK=1 * [BAKTERI=4 [EKSTRAK=1 * [BAKTERI=5 [EKSTRAK=2 * [BAKTERI=1 [EKSTRAK=2 * [BAKTERI=2 [EKSTRAK=2 * [BAKTERI=3 [EKSTRAK=2 * [BAKTERI=4 [EKSTRAK=2 * [BAKTERI=5 [EKSTRAK=3 * [BAKTERI=1 [EKSTRAK=3 * [BAKTERI=2 [EKSTRAK=3 * [BAKTERI=3 [EKSTRAK=3 * [BAKTERI=4 [EKSTRAK=3 * [BAKTERI=5 [EKSTRAK=4 * [BAKTERI=1 [EKSTRAK=4 * [BAKTERI=2 [EKSTRAK=4 * [BAKTERI=3 [EKSTRAK=4 * [BAKTERI=4 [EKSTRAK=4 * [BAKTERI=5 [EKSTRAK=5 * [BAKTERI=1 [EKSTRAK=5 * [BAKTERI=2 [EKSTRAK=5 * [BAKTERI=3 [EKSTRAK=5 * [BAKTERI=4 [EKSTRAK=5 * [BAKTERI=5 [EKSTRAK=6 * [BAKTERI=1 [EKSTRAK=6 * [BAKTERI=2 [EKSTRAK=6 * [BAKTERI=3 [EKSTRAK=6 * [BAKTERI=4 [EKSTRAK=6 * [BAKTERI=5 B -7.02E-16 6.633 6.733 5.367 8.450 4.233 -4.233 2.167 2.250 2.250 0a 4.233 -2.167 -2.250 -2.250 0 1.660 -3.267 -5.450 -1.267 0 1.850 5.700 -4.317 -.833 0 2.517 .833 -3.067 -.767 0 .500 -.867 -.950 -.750 0 0 0 0 0 0
a a a a a

] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ] ]

Std. Error .741 .741 .741 .741 .741 .741 1.048 1.048 1.048 1.048 . 1.482 1.482 1.482 1.482 . 1.482 1.482 1.482 1.482 . 1.482 1.482 1.482 1.482 . 1.482 1.482 1.482 1.482 . 1.482 1.482 1.482 1.482 . . . . . .

t .000 8.955 9.090 7.245 11.407 5.715 -4.041 2.068 2.148 2.148 . 2.857 -1.462 -1.519 -1.519 . 1.120 -2.205 -3.679 -.855 . 1.249 3.847 -2.914 -.562 . 1.699 .562 -2.070 -.517 . .337 -.585 -.641 -.506 . . . . . .

Sig. 1.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .043 .036 .036 . .006 .149 .134 .134 . .267 .031 .001 .396 . .217 .000 .005 .576 . .095 .576 .043 .607 . .737 .561 .524 .615 . . . . . .

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.482 1.482 5.152 8.115 5.252 8.215 3.885 6.848 6.968 9.932 2.752 5.715 -6.329 -2.138 7.118E-02 4.262 .155 4.345 .155 4.345 . . 1.270 -5.130 -5.213 -5.213 . -1.303 -6.230 -8.413 -4.230 . -1.113 2.737 -7.280 -3.797 . -.447 -2.130 -6.030 -3.730 . -2.463 -3.830 -3.913 -3.713 . . . . . . 7.197 .797 .713 .713 . 4.623 -.303 -2.487 1.697 . 4.813 8.663 -1.353 2.130 . 5.480 3.797 -.103 2.197 . 3.463 2.097 2.013 2.213 . . . . . .

a. This parameter is set to zero because it is redundant.

100

Lampiran 10e. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

Post Hoc Tests EKSTRAK


Multiple Comparisons Dependent Variable: HAMBATAN LSD Mean Difference (I-J) -5.4553* -7.7000* -5.7567* -8.5233* -4.7200* 5.4553* -2.2447* -.3013 -3.0680* .7353 7.7000* 2.2447* 1.9433* -.8233 2.9800* 5.7567* .3013 -1.9433* -2.7667* 1.0367* 8.5233* 3.0680* .8233 2.7667* 3.8033* 4.7200* -.7353 -2.9800* -1.0367* -3.8033*

(I) EKSTRAK ekstrak air

ekstrak etanol

minyak atsiri

ekstrak heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak metanol

(J) EKSTRAK ekstrak etanol minyak atsiri ekstrak heksan ekstrak etil asetat ekstrak metanol ekstrak air minyak atsiri ekstrak heksan ekstrak etil asetat ekstrak metanol ekstrak air ekstrak etanol ekstrak heksan ekstrak etil asetat ekstrak metanol ekstrak air ekstrak etanol minyak atsiri ekstrak etil asetat ekstrak metanol ekstrak air ekstrak etanol minyak atsiri ekstrak heksan ekstrak metanol ekstrak air ekstrak etanol minyak atsiri ekstrak heksan ekstrak etil asetat

Std. Error .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850 .46850

Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .523 .000 .122 .000 .000 .000 .084 .000 .000 .523 .000 .000 .031 .000 .000 .084 .000 .000 .000 .122 .000 .031 .000

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -6.3925 -4.5182 -8.6371 -6.7629 -6.6938 -4.8195 -9.4605 -7.5862 -5.6571 -3.7829 4.5182 6.3925 -3.1818 -1.3075 -1.2385 .6358 -4.0051 -2.1309 -.2018 1.6725 6.7629 8.6371 1.3075 3.1818 1.0062 2.8805 -1.7605 .1138 2.0429 3.9171 4.8195 6.6938 -.6358 1.2385 -2.8805 -1.0062 -3.7038 -1.8295 .0995 1.9738 7.5862 9.4605 2.1309 4.0051 -.1138 1.7605 1.8295 3.7038 2.8662 4.7405 3.7829 5.6571 -1.6725 .2018 -3.9171 -2.0429 -1.9738 -.0995 -4.7405 -2.8662

Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.

101

Lampiran 10f. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

Multiple Comparisons Dependent Variable: HAMBATAN LSD Mean Difference (I-J) -4.6456* -2.0178* -3.7122* -2.4400* 4.6456* 2.6278* .9333* 2.2056* 2.0178* -2.6278* -1.6944* -.4222 3.7122* -.9333* 1.6944* 1.2722* 2.4400* -2.2056* .4222 -1.2722*

(I) BAKTERI E. coli

S. Thypimurium

P. aeroginosa

B. cereus

S. aureus

(J) BAKTERI S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus E. coli P. aeroginosa B. cereus S. aureus E. coli S. Thypimurium B. cereus S. aureus E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa S. aureus E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus

Std. Error .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768 .42768

Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .033 .000 .000 .000 .000 .327 .000 .033 .000 .004 .000 .000 .327 .004

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -5.5010 -3.7901 -2.8733 -1.1623 -4.5677 -2.8567 -3.2955 -1.5845 3.7901 5.5010 1.7723 3.4833 .0779 1.7888 1.3501 3.0610 1.1623 2.8733 -3.4833 -1.7723 -2.5499 -.8390 -1.2777 .4333 2.8567 4.5677 -1.7888 -.0779 .8390 2.5499 .4167 2.1277 1.5845 3.2955 -3.0610 -1.3501 -.4333 1.2777 -2.1277 -.4167

Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.

102

Lampiran 10g. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

E.coli

P. aeruginosa

S. aureus

B. cereus

S. thypimurium

E.coli 2.80

Nilai rata-rata diameter penghambatan (mm) P.aerginosa S.aureus B.cereus S. Typhimurium 4.81 5.24 6.51 7.44

EA

EMet

EEt

EH

MA

EEtA

Nilai rata-rata diameter penghambatan (mm) EA EMet EEt EH MA EEtA 0.00 4.72 5.46 5.76 7.70 8.52
Keterangan : EA EMet EEt EH MA EEtA =ekstrak air =ekstrak metanol =ekstrak etanol =ekstrak heksan =minyak atsiri =ekstrak etil asetat

103

Lampiran 11. Perkiraan rataan marginal daya hambat jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri uji
2. EKSTRAK Dependent Variable: HAMBATAN EKSTRAK ekstrak air ekstrak etanol minyak atsiri ekstrak heksan ekstrak etil asetat ekstrak metanol Mean -4.91E-16 5.455 7.700 5.757 8.523 4.720 Std. Error .331 .331 .331 .331 .331 .331 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.663 .663 4.793 6.118 7.037 8.363 5.094 6.419 7.861 9.186 4.057 5.383

Lampiran 12. Perkiraan rataan marginal daya hambat bakteri uji oleh jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi
3. BAKTERI Dependent Variable: HAMBATAN BAKTERI E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Mean 2.796 7.442 4.814 6.508 5.236 Std. Error .302 .302 .302 .302 .302 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 2.191 3.401 6.837 8.047 4.209 5.419 5.903 7.113 4.631 5.841

104

Lampiran 13. Perkiraan rataan marginal daya hambat pertumbuhan bakteri uji karena interaksi jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan jenis bakteri uji

4. EKSTRAK * BAKTERI Dependent Variable: HAMBATAN EKSTRAK ekstrak air BAKTERI E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus E. coli S. Thypimurium P. aeroginosa B. cereus S. aureus Mean -8.88E-16 1.332E-15 -1.33E-15 -8.88E-16 -7.02E-16 4.060 5.533 3.433 7.617 6.633 4.350 14.600 4.667 8.150 6.733 3.650 8.367 4.550 6.850 5.367 4.717 9.750 9.750 9.950 8.450 -7.99E-15 6.400 6.483 6.483 4.233 Std. Error .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 .741 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.482 1.482 -1.482 1.482 -1.482 1.482 -1.482 1.482 -1.482 1.482 2.578 5.542 4.052 7.015 1.952 4.915 6.135 9.098 5.152 8.115 2.868 5.832 13.118 16.082 3.185 6.148 6.668 9.632 5.252 8.215 2.168 5.132 6.885 9.848 3.068 6.032 5.368 8.332 3.885 6.848 3.235 6.198 8.268 11.232 8.268 11.232 8.468 11.432 6.968 9.932 -1.482 1.482 4.918 7.882 5.002 7.965 5.002 7.965 2.752 5.715

ekstrak etanol

minyak atsiri

ekstrak heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak metanol

105

Lampiran 14. Struktur Dinding Sel Bakteri: (a) Gram positif dan (b) Gram negatif (Kightley, 2006)

(a)

(b)

106

Lampiran 15. Penentuan Nilai MIC Minyak Atsiri Terhadap Salmonella Typhimurium Sumbu X

Konsentrasi 10 30 40 50

Ln [ ] 2.302585 3.401197 3.688879 3.912023

Sumbu Y

Diameter Penghambatan (mm) Ulangan 1 I 9.5 11.5 11.9 12.6 II 12.8 12.4 11.1 13.1 Ulangan 2 I 13.7 15.9 14.8 14.9 II 13.1 13.7 11.2 15.6 X 12.25 13.35 12.25 14.1 Kuadrat

150.0625 178.2225 150.0625 198.81

Kurva :
200

kuadrat diameter penghambatan

y = 19.611x + 75.641 R2 = 0.5656


160

120

80 1 2 3 ln [ ] 4 5

Jika y = 0 x = -75.641/19.611 = - 3.857070012 Mt = 0.021129819

Mic = 0.005282455

107

Lampiran 16. Penentuan Nilai MIC Ekstrak Etanol Terhadap Bacillus cereus Sumbu X Konsentrasi 10 20 30 40 50 Sumbu Y Ln [ ] 2.302585 2.995732 3.401197 3.688879 3.912023

Diameter Penghambatan (mm) Ulangan 1 I 7.7 8.9 9.5 10.5 10.8 II 7.9 9.0 10.3 10.8 10.1 Ulangan 2 I 7.1 9.2 10.0 11.1 9.9 II 6.8 8.9 9.7 10.6 10.3 X 7.35 9 9.85 10.8 10.3 Kuadrat

54.0225 81.0 97.0225 116.64 106.09

Kurva :
kuadrat diameter penghambatan 160

120

y = 36.974x - 29.584 R2 = 0.9246

80

40 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

ln [ ]

Jika y = 0 x = 29.584/36.974 = 0.80013 Mt = 2.22583

Mic = 0.556457

108

Вам также может понравиться