Вы находитесь на странице: 1из 24

CRS SPONDYLOSIS LUMBALIS SPONDYLOLISTESIS LUMBAL

oleh : Kharisma Handayani S,ked G1A106098

Pembimbing : Dr. Taufik, Sp.Rad KEPANITERAAN KLINIK STASE RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI/PSPD UNJA 2013

BAB I LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien Nama : Ny. D Umur : 79 tahun. Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Pendidikan : SMP Pekerjaan : ibu Rumah Tangga Alamat : kota jambi 1.2. Anamnesis Keluhan utama : Nyeri didaerah pinggang. Riwayat penyakit sekarang: Nyeri pinggang dialami oleh pasien sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya pasien hanya merasa pegal pegal pada daerah pinggang yang kemudian lama kelamaan berubah menjadi rasa nyeri. Nyeri bersifat hilang timbul, nyeri paling terasa pada waktu pasien melakukan pekerjaan seperti mencuci pakaian, menyetrika, mengangkat barang barang yang berat atau ketika pasien berjalan lama. Nyeri yang menjalar sampai ke daerah tungkai disangkal oleh pasien. Pasien sudah berobat di poli Interna dan di beri obat Meloxicam dan Ranitidin, tetapi pasien tetap merasakan nyeri di daerah pinggang. Pasien juga mengeluh bahwa pasien tidak mampu lagi melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasanya, seperti mencuci, menyetrika dan membersihkan rumah akibat sakit pinggang yang dialaminya. BAB / BAK tidak ada keluhan apapun. Riwayat penyakit dahulu: Pasien tidak pernah mengalami penyakit ini sebelumnya. Asam urat, kencing manis, darah tinggi, belum pernah diperiksakan oleh pasien. Riwayat penyakit keluarga: Hanya pasien sendiri yang mengalami penyakit seperti ini di dalam keluarga.

Riwayat kebiasaan dan pekerjaan: Pasien sering duduk lama di depan televisi, pasien sering mengangkat barang yang berat, pasien sering berdiri lama untuk menyetrika pakaian. 1.3. Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan umum : Cukup baik. Kesadaran : Compos mentis. Tanda-tanda vital :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg - Nadi : 72 x/m - Respirasi : 22 x/m - Suhu : 36,5C Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-). Leher : Pembesaran KGB (-) Thoraks : Bunyi jantung I dan II normal, bising (-), suara pernapasan vesikuler, ronki -/-, wheezing -/Abdomen : Datar, lemas, timpanis, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak teraba. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-). Status Lokalis Pada regio lumbosakral : - Tes penekanan pada regio lumbal : Terdapat nyeri tekan (+) pada vertebrae lumbal 4 5 - Tes melipat kulit : Spasme (+) pada lumbal 4 5

1.4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Radiologis X foto lumbal AP/lateral : Spondylolistesis Lumbal dan Spondilosis Lumbalis. 1.5. Diagnosis - Klinis : Low back pain - Etiologis : Spondylolistesis lumbal dan spondilosis lumbalis - Topis : Vertebrae lumbal 4 5. - Fungsional : Disabiitas. 1.6. Penatalaksanaan Terapi yang diberikan pada pasien ini terapi simptomatik berupa analgesik golongan NSAID meloxicam 7,5 mg 2 kali sehari dan terapi konservatif berupa pembatasan aktivitas, melakukan latihan fleksi, penggunaan korset lumbal yang bermanfaat untuk memberikan stabilitas tulang belakang. 1.7. Prognosis Dubia ed bonam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SPONDYLOLISTESIS LUMBAL DAN SPONDYLOSIS LUMBALIS

PENDAHULUAN Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 S1 yang paling besar menerima beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar sepanjang vertebra.1 Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine. Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari mekanikal nyeri pinggang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus).4 Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini

terjadi pada usia 30 45 tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah.2

ANATOMI Columna vertebralis adalah pilar utama tubuh. Merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang-tulang tak beraturan, disebut vertebrae. Vertebrae dikelompokkan sebagai berikut : - Cervicales (7) - Thoracicae (12) - Lumbales (5) - Sacroles (5, menyatu membentuk sacrum) - Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu) Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh ligamentum dan tulang rawan. Bagian anterior columna vertebralis terdiri dari corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan ligamentum longitudinalis posterior.3 Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.4 Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus lateralis

dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian inferior. 4 Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis. 4 Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan. 4

Gambar Struktur Columna Vertebralis Lumbal

ETIOLOGI Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009). Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun ke atas. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal2 adalah: a. Kebiasaan postur yang jelek b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang. c. Tipe tubuh Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) : a. Faktor usia Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun. b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal

setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis. c. Peran herediter Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar (47 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training. d. Adaptasi fungsional Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.

PATOGENESIS Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis. 5 Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi. 5 Menurut Kirkaldy-Willis,5 terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu : a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi

sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya kandungan proteoglycan. b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil. c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak. Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L5 S1 dan pada L4 L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun.5 Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superiorinferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas

juga dapat menyebabkan perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular inferior superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan.5 Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbalis disebabkan oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang.

GAMBARAN KLINIS Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine.5 Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa claudicatio neurogenik, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang.5 Karakteristik dari spondylosis lumbalis adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri di lapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebrae lumbalis. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010). Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah, defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat ditemukan. 4 Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini berhubungan dengan penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-gejala akan dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi. 4 Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam waktu yang lama

sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain, menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang, yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada saat yang sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak pendek. 4 Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan claudicatio intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal yang mengalami gangguan sirkulasi tersebut muncul pada titik tempat terjadinya penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan arachnoid yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya dengan akibat negatif pada metabolismenya. 4

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS - X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan komplikasi.6 - Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan [DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya osteoporosis.6 Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.2 Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan derajat dan kemiringan

besarnya stenosis karena lebih dari sati titik penekanan tidak cukup. 4 CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat. 4 MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat. 4 Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang asimptomatik atau pasien yang sama sekali asimptomatik dan seharusnya tidak diperhitungkan.

Spinal canal stenosis-Sagittal MRI

Spondylosis Lumbalis

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tidak ada indikasi pemeriksaan laboratorium.6

PEMERIKSAAN LAINNYA Elektromiografi (EMG) dan nerve conduction velocity (NCV) hanya digunakan pada keadaan dengan komplikasi). 6

PENGOBATAN

Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada kebanyakan pasien dapat dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang menetap sampai pada 1/3 pasien.4 Pengobatan konservatif Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari. 4 Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk herniasi diskus. 4 Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.6 - Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien. - Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi. - Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.

Terapi Pembedahan Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.2 Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.6 Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.6 - Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari normal. - Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi foramen sampai

kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang diinduksi osteofit. - Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi. - Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi. - Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum. Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:4 Operasi dekompresi Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis, dekompresi selektif dari akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis4 Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah. Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan hasil yang buruk. Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel, 1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi recessus lateralis.

Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan membran post laminektomi. Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf. Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati. Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. Unroofing foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar dan processus spinosus.

Dekompresi selektif akar saraf 4 Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat. Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi, instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.

Dekompesi dan stabilisasi4 Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer. Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif. Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi osteosintetik, trauma

neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui. Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya. Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain: Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan stabilisasi Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan menguatkan otototot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan pengobatan baik konservatif maupun pembedahan. Spondilolistesis merupakan subluksasi tulang belakang yang sering dijumpai pada individu muda. Ketika subluksasi terjadi secara terpisah karena degenerasi discus intervertebralis dan arthritis permukaan sendi pada populasi geriatri (spondilolistesis degeneratif), pada orang tua dan dewasa muda, umumnya berasal dari defek tulang pada arkus laminar (spondilosis pars interartikularis) pada satu atau lebih vertebra. Keadaan ini lebih sering terjadi pada tulang vertebra spinalis bawah ( 85% pada L5; 10% pada L4; dan 4 % pada semua vertebra lumbalis bagian lainnya), jarang dijumpai pada segmen vertebra yang lain. Defek pada tulang umumnya terjadi pada http://backandneck.about.com/od/conditions/p/spondylolisthes.htmmasa kanak-kanak lanjut. Biasanya akibat stress fracture yang terjadi akibat tekanan berlebihan pada arkus laminar vertebra. Tekanan yang berlebihan tersebut umumnya akibat posisi berdiri keatas ( tidak dijumpai pada anak-anak yang tidak bisa berjalan) atau aktivitas atletik yang menggunakan penyangga punggung (misalnya senam, sepakbola, dan lain sebagainya). Jika celah/keretakan tersebut diketahui segera setelah terjadi, jika tulang belakang/vertebra berada dalam keadaan immobile, celah/keretakan tersebut dapat mengalami perbaikan dalam beberapa bulan. Jika diagnosis tertunda, pinggir celah/bagian yang retak tersebut tidak akan membaik dengan immobilisasi jika terdapatnya resorpsi pinggir celah.

Bilamana defek pars interarticularis terjadi karena fraktur akut akibat trauma hebat (kecelakaan lalu lintas, atau cedera/trauma hebat lainnya), angka kejadiannya sangat jarang dan biasanya kurang dari 1% dari kasus spondilolistesis yang terjadi. Spondilolistesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita. Karena gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai. Sering penderita mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme otot, kelemahan, dan ketegangan otot betis (hamstring muscle). Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat predisposisi kongenital dalam terjadinya spondilolisthesis dengan prevalensi sekitar 69% pada anggota keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga berhubungan dengan meningkatnya insidensi spina bifida sacralis. Banyak penelitian mengindikasikan bahwa pada splastic spine, stress traumatic berulang pada pars interarticularis akan dapat mengakibatkan kegagalan struktural. Vertebra L4 dan L5- paling penting pada tulang belakang lumbosacral- merupakan bagian yang paling sering terkena, penanganan deangan memberikan stabilisasi dan mencegah pergerekan yang tidak dibutuhkan merupakan kunci utama dalam penatalaksanaan kelainan tersebut. Definisi Spondilolistesis Dalam istilah yang sederhana, spondilolistesis menggambarkan suatu pergeseran vertebra atau pergeseran kolumna vertebralis yang berhubungan dengan vertebra di bawahnya. Pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1782 oleh ahli obstetric Belgia, Dr. Herbinaux. Dia melaporkan terdapatnya penonjolan bagian anterior tulang sacrum yang menyebabkan hambatan jalan lahir pada sebagian kecil pasien.Istilahspondilolisthesis pertama sekali diterima pada tahun 1854, berasal dari bahasa yunani spondylo untuk vertebra dan olisthesis untuk pergeseran. Pergeseran tersebut sering terjadi pada tulang vertebra lumbal. Spondilolistesis menunjukkan suatu pergeseran kedepan satu korpus vertebra bila dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pada tingkatan yang lebih tinggi. Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk: kongenital atau displastik, isthmus, degeneratif, traumatik, dan patologis. Banyak kasus dapat diterapi secara konservatif. Meskipun demikian, pada individu dengan radikulopati, klaudikasio neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan yang tidak behasil dengan penanganan non-operatif, dan terdapatnya pergeseran yang progresif, pembedahan dianjurkan. Tujuan pembedahan adalah untuk menstabilkan segmen spinal dan menekan elemen saraf jika dibutuhkan. Etiologi dan Klasifikasi Spondilolistesis Etiologi spondilolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak pada spondilolistesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat lima tipe utama spondilolistesis: A. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik dan terjadi sekunder akibat kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior atau keduanya dengan

pergeseran vertebra L5. B. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada individu dibawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolistesis. Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori: Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolisthesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur rekuren yang disebabkan oleh hiperketensi. Juga disebut dengan stress fracture pars interarticularis dan paling sering terjadi pada pria. Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih tetap intak akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang baru. Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam menegakkan diagnosis kelainan ini. C. Tipe III, merupakan spondilolistesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat degenerasipermukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis degeneratif tidak terdapatnya defek dan pergeseran vertebra tidak melebihi 30%. D. Tipe IV, spondilolistesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan fraktur pada bagian pars interartikularis. E. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya. Patofisiologi Spondilolistesis Sekitar 5-6% pria dan 2-3% wanita mengalami spondilolistesis. Pertama sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktivitas fisik yang berat seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita, terutama diakibatkan oleh tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa anak-anak dibawah usia 5 tahun dapat mengalami spondilolistesis, sangat jarang anak-anak tersebut didiagnosis dengan spondilolistesis. Spondilolistesis sering terjadi pada anak usia 7-10 tahun. Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang aktivitas sehari-hari mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa. Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe displastik, isthmik, degeneratif, traumatik, dan patologik. Spondilolistesis displatik merupakan kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi lumbosacral joints dengan permukaan persendian yang kecil dan inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang, akan tetapi cenderung berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan defisit neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan prosesus transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area permukaan kecil untuk fusi pada bagian

posterolateral. Spondilolistesis displatik terjadi akibat defek arkus neural pada sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95% kasus berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjadi kompresi serabut saraf pada foramen S1, meskipun pergeserannya (slip) minimal. Spondilolistesis isthmic merupakan bentuk spondilolistesis yang paling sering. Spondilolistesis isthmic (juga disebut dengan spondilolistesis spondilolitik) merupakan kondisi yang paling sering dijumpai dengan angka prevalensi 5-7%. Fredericson et al menunjukkan bahwa defek sponsilolistesis biasanya didapatkan pada usia 6 dan 16 tahun, dan pergeseran tersebut sering terjadi lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang progresif, meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan hubungan antara progresifitas pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus intervertebralis pada usia pertengahan. Telah dianggap bahwa kebanyakan spondilolistesis isthmik tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya gejala tidak diketahui. Suatu studi/penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh Fredericson et al yang mempelajari 22 pasien dengan mempelajari perkembangan pergeseran tulang vertebra pada usia pertengahan, mendapatkan bahwa banyak diantara pasien tersebut mengalami nyeri punggung, akan tetapi kebanyakan diantaranya tidak mengalami/tanpa spondilolistesis isthmik. Satu pasien menjalani operasi spinal fusion pada tingkat vertebra yang mengalami pergeseran, akan tetapi penelitian tersebut tidak menunjukkan apakah pergeseran isthmus merupakan indikasi pembedahan. Secara kasar 90% pergeseran ishmus merupakan pergeseran tingkat rendah(low grade)(kurang dari 50% yang mengalami pergeseran) dan sekitar 10% bersifat high grade ( lebih dari 50% yang mengalami pergeseran). Sistem pembagian/grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai adalah sistem grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran. Kategori tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior dari korpus vertebra superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan dengannya pada foto x ray lateral. Jarak tersebut kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total: Grade 1 adalah 0-25% Grade 2 adalah 25-50% Grade 3 adalah 50-75% Grade 4 adalah 75-100% Spondiloptosis- lebih dari 100% Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan spondilosis menjadi spondilolistesis. Tekanan/kekuatan gravitasional dan postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis. Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan kelemahan pars inerartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan antara tingginya aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars interartikularis. Faktor genetik juga berperan penting. Pada tipe degeneratif, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit diskus degeneratif atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan spondilosis.

Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya tertekan akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat hipertropi ligamen atau permukaan sendi. Pada tipe traumatik, banyak bagian arkus neural yang terkena/mengalami fraktur akan tetapi tidak pada bagian pars interartikularis, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil. Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang, atau berasal dari metastasis atau penyakit metabolik tulang, yang menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan bagian posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets, tuberkulosis tulang, Giant Cell Tumor, dan metastasis tumor. Gambaran Klinis Spondilolistesis Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama selama aktivitas tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran(slippage), meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai sistem sensoris, motorik dan perubahan refleks akibat dari pergeseran serabut saraf (biasanya S1). Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa: Terbatasnya pergerakan tulang belakang. Kekakuan otot hamstring Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh. Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal. Hiperkifosis lumbosacral junction. Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis). Kesulitan berjalan. Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya pada orang tua dan muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan hipertropi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor hallucis longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenik selama pergerakan adalah bersifat multifaktorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran dengan menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang timbul.3 Diagnosis Spondilolistesis Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. a. Gambaran klinis

Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala khas. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti adanya subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya. b. Pemeriksaan fisik Postur paisen biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur. Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul. Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position). Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Fleksi tulang belakang seperti itu membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin dilakukan. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi. c. Pemeriksaan radiologis Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP, Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral persendian lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan. Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI

sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal, dan anatomi serabut saraf) lebih baik dibandingkan dengan foto polos. Xylography umumnya dilakukan pada pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi. Penatalaksanaan Spondilolistesis Sering dokter menggunakan satu pengobatan atau kombinasi beberapa jenis pengobatan dalam rencana terapi pada pasien, dengan pemberian analgetik untuk mengontrol nyeri. Hal tersebut bervariasi dari pemberian ibuprofen hingga acetaminofen, akan tetapi pada beberapa kasus berat, NSAIDs digunakan untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi yang dapat terjadi. Jadi terapi untuk spondilolistesis tingkat rendah masih bersifat konservatif, dengan istirahat/immobilisasi pasien dan pemberian anti-inflamasi secara bersamaan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus, intervensi bedah mungkin dibutuhkan. A. Terapi konservatif Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga termasuk: Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat. Analgetik (misalnya NSAIDs). Latihan dan terapi penguatan dan peregangan. Bracing Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan. Salah satu tantangan adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung hebat dan menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin memiliki penyakit degeneratif pada diskus atau bahkan pergeseran ringan (low grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai dengan pemeriksaan fisik dan gambaran radiografi. Nyeri punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan faktor tingkah laku dan psikososial yang berperan terhadap timbulnya disabilitas tersebut. B. Terapi pembedahan Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Jika gejala dapat secara langsung diketahui akibat dari defek pada pars interartikularis, dan kemudian repair secara pembedahan terhadap defek tersebut, melalui beberapa prosedur pembedahan, akan dapat mengurangi nyeri yang disebabkan oleh defek tersebut. Tujuan terapi adalah untuk dekompresi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil atau segmen kolumna vertebralis. Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi(facets joints) dan diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi). Jika terjadinya subluksasi ringan dan degenerasi diskus yang dapat diidentifikasi dengan MRI, fusi spinal , biasanya bersaman dengan instrumentasi spinal merupakan pilihan terapi. Karena pilihan terapi terbaik untuk beberapa pasien bervariasi diantara beberapa ahli bedah berpengalaman, konsultasi dengan ahli bedah tersebut merupakan pendekatan terbaik bagi pasien yang simtomatis, sebagai second opinion.

Pada pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi (high grade spondilolysthesis) dengan gejala yang menetap dan dengan deformitas spinal/vertebra berat, intervensi pembedahan dengan berbagai pendekatan mungkin dibutuhkan. Hal tersebut termasuk spinal instrumentation dan fusi. Usaha untuk meningkatkan alignment spinal/kesejajaran vertebra didasarkan pada beratnya deformitas spinal pada pasien tersebut dan risiko yang terjadi akibat penggunan pendekatan pembedahan tersebut. Indikasi fusi spinal berbeda antara populasi pediatrik dan populasi dewasa. Pada pasien yang lebih muda, faktor dibawah ini diketahui berhubungan dengan meningkatnya progresifitas pergeseran vertebra (slip progression): Usia muda (< 15 tahun). Listesis grade tinggi (high grade listhesis>30%). Jenis kelamin perempuan. Tipe displastik. Hipermobilitas lumbosacral. Ligamentous laxity Meskipun demikian banyak pasien muda diterapi dengan immobilisasi atau modifikasi aktivitas saja, dengan angka keberhasilan yang signifikan. Dengan tidak adanya tingkat pergeseran yang berat (high grade slip), gejala yang ringan, fusi biasanya tidak diindikasikan pada populasi tersebut. Sebelum operasi dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan spondilolistesis degeneratif, tanda neurologis minimal, atau hanya nyeri punggung mekanik (mechanical back pain), terapi konservatif harus diberikan pertama sekali, dan pertimbangan faktor psikososial dan sosial harus dipertimbangkan. Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah: Tanda neurologis- radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi konsrvatif) klaudikasio neurogenik. Pergeseran berat(high grade slip>50%) Pergeseran tipe I dan Tipe II, dengan bukti adanya instabilitas, progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif. Spondilolistesis traumatik. Spondilolistesis iatrogenik. Listesis tipe III (degeneratif) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat. Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan(gait abnormality). A. Fusi Terdapat berbagai metode untuk mendapatkan fusi intersegmental pada tulang lumbosacral. Berbagai metode tersebut antara lain: Posterolateral (intratransversus): umumnya arthrodesis bersamaan dengan penggunaan autograft crista iliaka atau dengan allograft. Instrumentasi spinal segmental membuat fiksasi kaku pada segmen fusi dan kemungkinan dilakukannya reduksi segmen dengan listesis tersebut. Lumbar interbody fusion: hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas segmen spinal/vertebra dengan menempatkan/meletakkan bone graft untuk kompresi kolumna anterior dan media dan meningkatkan permukaan fusi tulang secara keseluruhan. Repair pars interartikularis: umumnya dengan menggunakan teknik Scott Wiring technique

atau modifikasi Van Darm. B. Fiksasi Meskipun pemakaian/penggunaan instrumentasi spinal pada pasien dengan skeletal immature dipertimbangkan sebagai pilihan terapi bagi beberapa pasien dengan spondilolistesis isthmic, banyak ahli bedah vertebra/spinal yakin bahwa fiksasi kaku tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan fusi solid yang valid. Untuk spondilolistesis degeneratif, fiksasi menunjukkan angka arthrodesis solid yang tinggi. C. Dekompresi Biasanya digunakan pada spondilolistesis traumatik atau degeneratif, dekompresi elemen neural baik sentral maupun perifer, diatas serabut saraf diindikasikan. Dekompresi optimal biasanya didapatkan melalui laminectomy posterior atau facetectomy total dengan dekompresi radikal serabut saraf(misalnya Gill prosedure). D. Reduksi Beberapa ahli bedah berupaya mengurangi spondilolistesis untuk meningkatkan alignment(kesejajaran) sagital dan memperbaiki biomekanik vertebra/spinal. Hal tersebut memiliki manfaat dalam memperbaiki posisi saat berdiri dan mengurangi tekanan/kekakuan pada massa fusi posterior sehingga mengurangi insidensi nonunion dan progresifitas spondilolistesis. Prognosis Spondilolistesis Fusi lumbal sebagai salah satu terapi pembedahan pada spondilolistesis telah sering digunakan di Amerika Serikat, dengan berbagai variasi pertimbangan. Variasi tersebut bergantung pada banyak faktor, dari tersedianya instrumentasi yang baik hingga pemahaman tentang penyembuhan tulang. Kurangnya indikasi jelas dalam dilakukannya fusi lumbal juga merupakan faktor lain yang juga ikut berperan dalam menentukan perlu tidaknya fusi lumbal. Bukti yang mendukung perlunya fusi pada spondilolistesis tipe I,II,III, dan IV dan spondilolistesis iatrogenik sangat kuat. Akan tetapi terdapat beberapa kontroversi pada beberapa individu dengan tipe spondilolistesis degenratif (tipe III), skoliosis degeneratif dan nyeri punggung mekanik(mechanical back pain). Hasil terapi terhadap spondilolistesis tipe isthmic yang merupakan spondilolistesis yang banyak terjadi belumlah menjanjikan. Banyak peneliti melaporkan angka outcome yang baik sekitar 75-90%. Pasien yang mendapatkan pembedahan melaporkan peningkatan kualitas hidup dan berkurangnya rasa/tingkatan nyeri yang dialami. Menariknya, luaran/outcome yang didapatkan tidak berhubungan dengan derajat spondilolistesis atau besarnya sudut pergeseran yang terjadi. Beberapa penelitian yang memfokuskan pada follow up jangka panjang mendukung terapi konservatif terhadap anak-anak dan dewasa dengan spondilolistesis yang asimptomatik (tipe I, tipe II), meskipun demikian banyak peneliti menyarankan untuk dilakukannya tindakan fusi bilamana pergeseran tersebut bersifat simptomatik, tidak berespon dengan terapi konservatif dan jika pergeseran yang terjadi berada dalam derajat tinggi (high grade spondilolistesis).

Daftar Pustaka 1. Vookshoor A, Spondilolisthesis, spondilosis and spondilysis Dalam: www.eMedicine.com. Diakses Tanggal 23 Juni 2011 2. Bodner RJ, Heyman S, Spondilolysthesis Dalam: www.google.com. Diakses Tanggal 19januari 2012. 3. Deyo RA, Nachemson A, Mirza SK, Spondilolysthesis Dalam: Dalam: www.wikipedia.com. Diakses Tanggal 21september 2011. 4. Mller H, Hedlund R, Spondilolysthesis Dalam: www.google.com. Diakses Tanggal 10 april 2012. 5. Mc Donald J, Management of Spondilolysthesis Dalam: www.bmjjournals.com. Diakses Tanggal 27 Mei 2011. 6. Rodts M, Spondilolysthesis Dalam: www.google.com. Diakses Tanggal 10 Agustus 2011. 7. Grande D, Mezebish D, Spondilolysthesis Dalam: www.wikipedia.com. Diakses Tanggal 10 Maret 2012. 8. Benly T, Cicek H, Comparison of sagital plane realignment and reduction with posterior instrumentation in developmen low and hihg dysplatic Spondilolysthesis Dalam: www.bmjjournals.com. Diakses Tanggal 10 juni 2011. 9. Bellenir K, editor. Sports Injuries Information for Teens. Detroit, MI: Omnigraphics; 2009. 10. Atlas Anatomi Manusia, Sobotta Jilid 2, EGC, Jakarta 2000, hal;24.

Вам также может понравиться