Вы находитесь на странице: 1из 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Urinaria 2.1.1. Definisi Sistem urinal (urinary tract) adalah suatu sistem saluran dalam tubuh manusia, meliputi ginjal dan saluran keluarnya yang berfungsi untuk membersihkan tubuh dari zat-zat yang tidak diperlukan. Zat yang diolah oleh sistem ini selalu berupa sesuatu yang larut dalam air ( sloane, 2003). Sistem ini terdiri dari sepasang ginjal (ren,kidney) dengan saluran keluar urine berupa ureter dari setiap ginjal. Ureter itu bermuara pada sebuah kandung kemih (urinary bladder, vesica urinaria) di perut bagian bawah di belakang tulang kemaluan (pubic bone). Urine selanjutnya dialirkan keluar melalui sebuah urethra (sloane, 2003). 2.1.2. Struktur Sistem Urinaria A. Ginjal 1. Struktur Ginjal a) Anatomi kasar ginjal 1. Tampilan Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm(kurang lebih sebesar kepalan tangan). Setaip ginjal memiliki berat antara 125 sampai 175 gram pada laki-laki dan 155 sampai 155 gram pada perempuan. 2. Lokasi a. Ginjal terletak di area yang tinggi yaitu pada dinding abdomen posterior yang berdekatan dengan dua pasang iga terakhir. Organ ini merupakan organ retroperitoneal dan terletak di antra otot-otot punggung dan peritoneum

rongga abdomen atas. Tiap-tiap ginjal memiliki sebuah kelenjar adrenal di atasnya. b. Ginjal kanan terletak agak dibawah di bandingkan ginjal kiri karena ada hati pada sisi kanan (Sloane, 2003). 3. Jaringan ikat pembungkus a. Fasia renal adalah pembungkus terluar. Pembungkus ini melabuhkan ginjal pada struktur di sekitarnya dan mempertahankan posisi organ. b. Lemak perirenal adalah jaringan adipose yang terbungkus fasia ginjal. Jaringan ini membantali ginjal dan membantu organ tetap pada posisinya. c. Kapsul fibrosa adalah membrane halus transparan yang langsung membungkus ginjal dan dapat dengan mudah di lepas (Sloane, 2003). A. Struktur internal ginjal 1. Hilus adalah tingkat kecekungan dari tepi medial ginjal. 2. Sinus ginjal adalah rongga yang berisi lemak yang membuka pada hilus. Sinus ini membentuk perlekatan untuk jalan masuk dan keluar ureter, vena dan arteri renalis, saraf dan limfatik. 3. Pelvis ginjal adalah perluasan ujung proksimal ureter. Ujung ini berlanjut menjadi dua sampai tiga kalik mayor, yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian penghasil urine pada injal. Setiap kaliks mayor bercabang menjadi beberapa ( 8 sampai 18) kaliks minor. 4. Parenkim ginjal adalah jaringan ginjal yang menyelubungi struktur sinus ginjal. Jaringtan ini terbagi menjadi medula dalam dan korteks luar. a. Medulla terdiri dari massa-massa triangular yang disebut piramida ginjal. Ujung yang sempit dari setiap piramida, papilla, masuk dengan pas dalam kaliks minor dan ditembus mulut duktus pengumpil urine.

b. Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron yang merupakan unit structural dan fungsional ginjal. Korteks terletak di dalam antara piramida-piramida medulla yang bersebelahan untuk membentuk kalumna ginjal yang terdiri dari tubulus-tubulus pengumpul yang mengalir ke dalam duktis pengumpul. 5. Ginjal terbagi-bagi lagi menjadi lobus ginjal. Setiap lobus terdiri dari satu piramida ginjal, kolumna yang saling berdekatan, dan jaringan korteks yang melapisinya (Sloane, 2003). B. Struktur nefron Satu ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit pembentuk urine. Setiap nefron memiliki satu komponen vascular ( kapilar ) dan satu komponen tubular. 1. Glomerulus adalah gulungan kapilar yang dikelilingi kapsul epitel berdinding ganda disebut kapsul bowman. Glomerulus dan kapsul bowman bersama-sama membentuk sebuah korpuskel ginjal. a. Lapisan visceral kapsul bowman adalah lapisan internal epithelium. Sel-sel lapisan visceral di modifikasi menjadi podosit. 1) Setiap sel podosit mellekat pada permukaan luar kapilar glomerular melalui beberapa prosesus primer panjang yang mengandung prosesus

sekunder yang disebut prusesus kaki atau pedikel. 2) Pedikel berinterdigitasi (saling mengunci) dengan prosesus yang sama dari podosit tetangga. Ruang sempit antar pedikel-pedikel yang berinterdigitasi disebut filtration slits (pori-pori dari celah) yang lebarnya sekitar 25 nm. Setiap pori dilapisi selapis membrane tipis yang memungkinkan aliran

beberapa molekul dan menahan aliran molekul lainnya. 3) Barier filtrasi glomerular adalah barier jaringan yang memisahkan darah dalam kapsul bowman. Barier ini terdiri dari endothelium kapilar,

membrane dasar (lamina basalis) kapilar, dan filtration slit. b. Lapisan parietal kapsul bowman membentuk tepi terluar korpuskel ginjal. 1) Pada kutub vascular korpuskel ginjal, arteriola aferen masuk ke glomerulus dan arteriol eferen keluar dari glomerulus. 2) Pada kutub urinarius korpuskel ginjal, glomerulus memfiltrasi aliran yang masuk ke tubulus kontortus proksimal (Sloane, 2003). 2. Tubulus kontorktur proksimal panjangnya mencapai 15mm dan sangat berlliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus ini terdapat sel-sel epitel kuboid yang kaya akan mikrovilus (brush border) dan memperluas area permukaan lumen (Sloane, 2003). 3. Ansa henle. Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai desenden ansa henle yang masuk kedalam medulla,

membentuk lengkungan jepit yang tajam (lekukan), dan membalik ke atas membentuk tungkai asenden ansa henle (Sloane, 2003). a) Nefron korteks terletak dibagian terluar korteks. Nefron ini memiliki lekukan pendek memanjang ke sepertiga bagian atas medulla. b) Nefron jukstamedular terletak di dekat medulla. Nefron ini memiliki lekukan panjang yang menjulur kedalam piramuda medulla.

4. Tubulus kontortus distal juga sangat berliku, panjangnya sekitar 5 mm dan membentuk segmen terakhir nefrron. a) Disepanjang jalurnya. Tubulus ini bersentuhan dengan dinding arteriol aferen. Bagian yang bersentuhan dengan arteriol mengandung sel-sel termodifikasi yang disebut macula densa. Macula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor dan distimulasi oleh penurunan ion natrium. b) Dinding anterior aferen yang bersebelahan dengan macula densa mengandung sel-sel otot polos termodifikasi yang disebut sel jukstaglomerular. Sel ini distimulasi melalui penurunan tekanan darah untuk memproduksi rennin. c) Macula densa, sel jukstaglomerular, dan sel mesangium saling bekerja sama untuk membentuk apparatus

jukstaglomerular yang penting dalam pengaturan tekanan darah (Sloane, 2003). 5. Tubulus dan duktus pengumpul. Karena setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk duktus pengumpul besar yang lurus. Duktus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang mengalirkan urine kedalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara ke dalam pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Dari pelvis ginjal, urine di alirkan ke ureter yang mengarah ke kandung kemih (Sloane, 2003). 2. Fungsi Ginjal Menurut Sloane (2003), fungsi ginjal adalah sebagai berikut: a. Pengeluaran zat sisa organic Ginjal mengekskresi urea, asam urat, kreatinin dan produk penguraian hemoglobin dan hormon. b. Pengaturan konsentrasi ion-ion penting

Ginjal

mengekskresi

ion

natrium,

kalium,

kalsium,magnesium, sulfat dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini seimbang dengan asupan dan ekskresinya melalui rute lain, seperti pada saluran gastrointestinal atau kulit. c. Pengaturan keseimbangan asam-basa tubuh Ginjal mengendalikan ekskresi ion hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-) dan amonium (NH4+) serta memproduksi urin asam atau basa, bergantung pada kebutuhan tubuh. d. Pengaturan produksi sel darah merah Ginjal melepas eritropoitein, yang mengatur sel darah merah dalam sumsum tulang. e. Pengaturan tekanan darah Ginjal mengatur volume cairan yang esensial bagi pengaturan tekanan darah, dan juga memproduksi enzim renin. Renin adalah komponen penting dalam mekanisme renin-

angiotensinaldosteron, yang meningkatkan tekanan darah dan retensi air. f. Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam amino darah Ginjal melalui ekskresi glukosa dan asam amino berlebih bertanggung jawab atas konsentrasi nutrien dalam darah. g. Pengeluaran zat beracun Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obatobatan atau zat kimia asing lain dari tubuh. B. Ureter Ureter merupakan organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urin dari pielum ginjal ke dalam kandung kemih. Pada orang dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm pada laki-laki dan kirakira 1 cm lebih pendek pada wanita dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik guna

mengeluarkan urin ke kandung kemih. Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju kandung kemih, secara anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya sempit. Tempat-tempat penyimpanan itu antara lain adalah perbatasan anatara pelvis renalis dan ureter, tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis dan pada saat ureter masuk ke kandung kemih. Ureter masuk ke dalam kandung kemih dalam posisi miring dan berada di dalam otot kandung kemih (intramural), keadaaan ini dapat mencegah terjadinya aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter pada saat kandung kemih berkontraksi C. Kandung Kemih Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrussor yang saling beranyaman. Disebalah dalam dan luar berupa otot longitudinal, dan ditengah merupakan otot sirkuler. Otot-otot tersebut saling bersilangan dan berakhir melingkar di leher kandung kemih. Secara anatomi bentuk kandung kemih terdidri atas 3 permukaan, yaitu permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritonium, dua permukaan inferiolateral permukaan posterior. Kandung kemih berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkan melalui uretra dalam mekanisme miksi. Dinding kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal paa orang dewasa kurang lebih 300-400 ml pada saat kosong kandung kemih terletak di belakang simfisis dan pada saat penuh terletak di atas simfisis. Persyarafan kandung kemih adalah nervous pelvikus sebagai saraf aferen dan eferen yang berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis (S-2 dan S-3). Syaraf sensorik mendeteksi derajat tegangan pada dinding kandung kemih, dan bertanggung jawab untuk mencetuskan reflek pengosongan kandung kemih. Syaraf motorik yang menjalar salam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serta ini berakhir pada sel ganlion yang terletak paa dinding kandung kemih, dan mempersyarafi otot detrussor. Kandung kemih juga

10

menerima syraf simpatis melalui nervus hipogastrikus. Terutama berhubungan dengan12 medula spinalis. Pada sfingter eksternus kandung kemih disyarafi melalui nervus pudendal yang mengontrol otot lurik pada sfingter. D. Uretra Uretra berawal dari leher kandung kemih (orifisium uretae internum) sampai muara terakhir (orifisium uretrae eksternum). Panjang uretra pada pria dewasa kurang lebih 23-25 cm dan berfungsi sebagai kanal komunis untuk sistem reproduksi dan sistem perkemihan. Uretra posterior pada pri terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat dan uretra pars membrane. Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikularis dan meatus uretra eksterna. Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi yaitu kelenjar cowperi yang bermuara di pars bulbosa dan kelejar littre yang bermuara di uretra pars pendularis. Pada wanita uretra hanya berfungsi untuk sistem perkemihan dengan panjangnya kurang lebih 3-5 cm dan berada di bawah simfisis pubis yang bernuara disebelah anterior vagina. Dalam uretra wanita bermuara kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar uri tetap berada dalam kandung kemih pada saat perasaan ingin berkemih. 2.1.3. Mekanisme Kontrol Cairan dan Elektrolit 2.1.3.1. Kontrol Cairan Kestabilan cairan tubuh yang relatif sangat mengagumkan karena adanya pertukaran cairan dan zat terlarut yang terus menerus dengan lingkungan eksternal. Adanya asupan cairan yang sangat bervariasi yang harus disesuaikan dengan pengeluaran yang sebanding dari tubuh untuk mencegah penurunan atau

11

peningkatan volume cairan tubuh (Guyton dan Hall, 2006). Di dalam tubuh, terdapat 2 cairan tubuh, antara lain: 1. Cairan intraseluler Sekitar 28 dari 42 liter cairan tubuh merupakan cairan intraseluler. Cairan intraseluler dipisahkan dari cairan ekstraseluler oleh membran selektif yang sangat permeabel terhadap air, tetapi tidak permeabel terhadap sebagian elektrolit dalam tubuh. Membran sel mempertahankan komposisi cairan didalam agar serupa seperti yang terdapat diberbagai sel tubuh lainnya 2. Cairan ekstraseluler (CES) Seluruh cairan diluar sel disebut cairan ekstraseluler. Cairan ini merupakan 20% dari berat badan. Cairan ekstraseluler terdiri dari kompartemen penting, antara lain: 1. Cairan intertisial adalah cairan di sekitar sel tubuh dan limfe (cairan dalam pembuluh limfatik). Gabungan kedua cairan ini mencapai tiga per empat CES. 2. Plasma darah adalah bagian cair dari darah dan mencapai seperempat CES. 3. Cairan transeluler, sekitar 1% sampai 3% berat badan meliputi seluruh cairan tubuh yang dipisahkan dari CES oleh lapisan sel epitel. Subkompartemen ini meliputi keringat, cairan serebrospinal, cairan sinovial, cairan dalam peritonium, perikardiak, dan rongga pleura, cairan dalam ruang-ruang mata, dan cairan dalam sistem pernafasan, pencernaan, urinaria. 2.1.3.2. Keseimbangan Elektrolit Di dalam tubuh manusia, terdapat beberapa cairan elektrolit, diantaranya: 1. Natrium Sumber utama natrium adalah makanan. Asupannya bervariasi mulai dari 4 gram sampai 20 gram NaCl. Natrium dikeluarkan melalui kulit, ginjal dan saluran

gastrointestinal. Pengaturan natrium dalam tubuh terjadi terutama melalui ekskresi natrium oleh ginjal bukannya melalui asupan

12

natrium. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme ginjal meliputi gangguan pada volume darah, tekanan darah atau natrium plasma. 2. Kalium Kalium adalah kation intraseluler utama (95%). Ion ini secara normal dikonsumsi dan di ekskresi dalam jumlah yang seimbang yaitu 10% dari asupan harian di ekskresi pada feses dan 90% dalam urin. Pengaturan kadar kalium darah dikendalikan oleh aldosteron. Hormon lain yang menstimulasi asupan selular terhadap kalium adalah insulin dan epinefrin. 3. Kalsium dan fosfat Faktor yang mempengaruhi jumlah kalsium dalam plasma adalah jumlah kalsium yang dikonsumsi, jumlah yang di absorbsi dari saluran pencernaan, dan jumlah yang di ekskresi dalam feses dan urin. Pengaturan konsentrasi kalsium dalam CES dan plasma darah terutama dilakukan melalui mekanisme hormonal. 4. Anion lain Anion lain seperti klorida dan bikarbonat, diatur bersamaan dengan pengaturan ion natrium dan keseimbangan asam basa tubuh. Sulfat, nitrat dan laktat memiliki maksimum transpor. Jika maksimum tranpornya terlewati, ion yang berlebihan akan diekskresi. 2.1.4. Pembentukan Urine oleh Ginjal Tahap Pembentukan Urin a. Proses Filtrasi, di Glomerulus Proses pembentukan urin di awali dengan penyaringan darah yang terjadi di kapiler glomerulus. Sel-sel kapiler glomerulus yang berpori (podosit),

13

tekanan permeabilitas yang tinggi pada gromerulus mempermudah proses penyaringan. Selain penyaringan di glomerulus juga terjadi penyerapan kembali selsel darah, keping darah dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil yang terlarut dalam plasma darah seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, dan urea dapat melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan di glomerulus disebut filtrat glomerulu atau urine primer, mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium dan garam-garam lainnya. b. Proses Rearbsorbsi Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urine primer akan diserap kembali di tubulus kontortus proximal, sedangkan di tubulus kontortus distal terjadi penambahan zat-zat sisa dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui proses difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Penyerapan air tejadi pada tubulus konturtus proximal dan tubulus konturtus distal Substansi yang masih diperlukan seperti glukosa dan asam amino di kembalikan ke darah. Zat amonia, obat-obatan seperti penisilin, kelebihan garam dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan bersama urine Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urine sekunder, zat-zat yang diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya , konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah misalnya urea c. Augmentasi Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal Dari tubulus-tubulus ginjal, urine akan menuju rongga ginjal. Selanjutnya menuju kandung kemih melalui saluran ginjal. Jika kantung kemih telah penuh terisi urine, dinding kantung kemih akan tertekan sehingga timbul rasa ingin buang air kecil. Urine akan keluar melalui uretra.

14

2.1.5.

Komposisi dan Sifat Fisik Urine Normal 2.1.5.1. Komposisi Urine Komposisi urine terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut berikuit: a. Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari katabolisme asam nukleat,dan kreatin dari proses penguratan kreatin fosfat dalam jaringan otot. b. Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah. c. Badan keton yang dihasilkan dalam metabolisme lemak adalah konstitusien normal dalam jumlah kecil. d. Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat, kalsium, dan magnesium. e. Horman atau katabolit hormon ada secara normal dalam urinee. f. Berbagai jenis taksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim secaraa normal ditemukan dalam jumlah kecil. g. Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah besar badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam tubulus dan dikeluarkan), dan baru ginjal atau kalkuli. 2.1.5.2. Sifat fisik urine

a. Warna. Urinee encer berwarna kuning pucat, dan kuning pekat jika kental. Urinee segar biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan. b. Bau. Urinee memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika didiamkan. Bau ini dapat bervariasi sesuai dengan diet; misalnya, setelah makan asparagus. Pada diabetes yang tidak terkontrol, aseton menghasilkan bau manis pada urinee. c. Asiditas atau alkalinitas. ph urinee bervariasi antara 4,8 sampai 7,5 dan biasanya sekitar 6,0 tetapi juga bergantung pada diet. Ingesti makanan yang berprotein tinggi akan meningkatkan asiditas, sementara diet sayuran meningkatkan alkalinitas.

15

d. Berat jenis urinee berkisar anatara 1,001- 1,035, bergantung pada konsentrasi urinee. 2.1.6. Hormon dan Syaraf yang Mempengaruhi 2.1.6.1. Hormon Sistem endokrin dalam sistem urinaria berperan dalam eliminasi sampah metabolisme melalui pengaturan jumlah air dan natrium yang diasorbsi kembali oleh ginjal yang berkaitan dengan jumlah cairan tubuh, selain itu juga sistem endokrin juga berperan dalan pengaturan final urine misal pada kondisi dehidrasi maka urin akan sangat pekat. Bila minum air banyak maka urine akan lebih encer dari darah ( Ahmadi, 2008). Pengaturan final urine diatur oleh tiga hormon yaitu antidiuretik hormon (ADH), renin, dan aldosteron. Bila terjadi kehilangan tubuh, misalnya dehidrasi, maka osmolalitas meningkat dan merangsang osmoresptor yang terdapat ada hipotalamus. Hipotalamus memberikan respon dengan menyekresi ADH, yang meningkatkan permeabilitas dari sel- sel tubulus koligentes terhadap air. Hal ini memungkinkan reabsorbsi air saja tanpa elektrolit, yang selanjutnya akan menurunkan konsentrasi cairan ekstraseluler. Kemudian timbul feedback negatif untuk mengatur sekresi ADH, artinya jika cairan ekstraseluler kembali normal, maka rangsangan terhadap sekresi ADH menghilang dan sekresi ADH terhenti (Ahmadi, 2008). Hormon lain yang mempengaruhi sekresi urine adalah renin. Bila laju filtrasi glomelurus (LFG) karena dehidrasi atau kehilangan volume darah, tekanan darah turun akan mengakibatkan penurunan perfusi ke ginjal. Hal ini akan menyebabkan aparatus jukstaglomelurus akan menyekresi renin. Renin mengubah angiotensin yang diubah oleh hepar menjadi angiotensin I. Sel kapiler paru- paru selanjutnya akan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II mengonstriksi otot polos sekeliling arteriola. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah, yang selnjutnya meningkatkan LFG. Angiotensi II

16

merangsang korteks adrenal untuk sekresi aldosteron. aldosteron meragsang sel tubular untuk mereabsorbsi natrium. Peningkatan reabsorbsi natrium diikuti oleh pengingkatan rearbsorbsi air oleh ginjal. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah dan menurunkan osmolalitas serum (Ahmadi, 2008). 2.1.6.2. Syaraf Perkemihan (urinasi) bergantung pada inervasi saraf

parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunter. Pengeluaran urin membutuhkan kontraksi aktif otot detrusor (sloane, 2003). 1. Bagian dari otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter uretra internal yang menjaga saluran tetap tertutup. Otot ini diinervasi oleh neuron parasimpatis. 2. Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot perineal transversa yang berada di bawah kendali volunter. Bagian pubokoksigeus pada otot levator ini juga berkontribusi dalam pembentukan sfingter. 3. Refleks perkemihan terjadi saat peregangan kandung kemih sampai sekitar 300-400ml urin menstimulasi reseptor peregang pada dinding kandung kemih. a. Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang menjalar melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih. b. Refleks perkemihan menyebabkan kontraksi otot detrusor; relaksasi sfingter internal dan eksternal mengakibatkan

pengosongan kandung kemih. c. Pada laki-laki, serabut simpatis menginervasi jalan keluar uretra dan mengkonstriksi jalan tersebut untuk mencegah refluks semen ke dalam kandung kemih saat orgasme ( sloane, 2003). 4. Pencegahan refluks perkemihan melalui kendali volunter sfingter eksernal adalah respons yang dapat dipelajari.

17

a. Pencegahan volunter bergantung pada integritas saraf terhadap kandung kemih dan uretra, traktus yang keluar dari medulla spinals menuju dan dari otak, dan area motorik serebrum. Cedera pada lokasi ini dapat menyebabkan inkontinensia (sloane, 2003). b. Kendali volunter urinasi (latihan toileting) adalah respons yang dapat dipelajari. Hal ini tidak dapat dilatih pada SSP yang imatur dan sebaiknya ditunda sampai paling tidak berusia 18 bulan ( sloane, 2003). 2.1.7. Gangguan Pada Sistem Urinaria Menurut Sloane (2003), gangguan sistem urinaria sebagai berikut: Sistitis adalah inflamasi kandung kemih. Inflamasi ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (biasanya Escherichia Coli) yang menyebar dari uretra atau karena repons alergik atau akibat iritasi mekanis pada kandung kemih. Gejalanya adalah sering berkemih dan nyeri (disuria) yang disertai darah dalam urinee (hematurial). Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada glomerulus. Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respons imun terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A). Glomerulonefritis kronik tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamasi ini mungkin diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau karena glomerulonefritis akut. Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri. Inflamasi dapat berawal di traktus urinearia bawah (kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dam limfe ke ginjal. Obstruksi traktus urinearia terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek kongenital yang

18

memicu terjadinya pielonefritis. Batu Ginjal (kalkuli urinearia) terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama urinee; batu yang lebih besar akan tersangkFut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam (kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan. Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya retensi garam air, zat buangan nitrogen (urea dan kreatinin) dan penurunan drastis volume urinee (oligura). Melalui pengobatan terhadap kondisi penyebab gagal ginjal, maka prognosinya membaik. Gagal ginjal yang tidak di obati dapat mengakibatkan penghentian total fungsi ginjal dan kematian. Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berhasil di obati. Penyakit ini ditandai dengan oligura mendadak yang diikuti dengan penghentian produksi urinee (anuria) secara total. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah ke ginjal akibat trauma atau cedera, glomerulonefritis akut, hemoragi, tranfusi darah yang tidak cocok, atau dehidrasi berat. Gagal ginjal kronik adalah kondisi progresif parah karena penyakit yang mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal, seperti glomerulonefritis kronik atau pielonefritis, trauma, atau diabetes nefropati (penyakit ginjal akibat diabetes melitus). Penyakit ini diobati melalui hemodialisis (ginjal buatan) atau transplantasi ginjal. 2.1.8. GNA 2.1.8.1. Definisi Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang

19

mengenai

glomeruli,

sebagai

akibat

infeksi

kuman

streptokokus

beta

hemolitikusgrup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak (marry, 2009). Glomerulonefritisakut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritisakut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis (marry, 2009). 2.1.8.2. Etiologi Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska

streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikusgrup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedangtipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, beta timbul ini gejala-gejala klinis. Infeksi kuman

streptokokus

hemolitikus

mempunyai

resiko

terjadinya

glomerulonefritisakut paska streptokokus berkisar 10-15% (marry, 2009). Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa : 1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina 2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A 3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita. Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman

Streptococcuss. Ada beberapa penyebab glomerulonefritisakut, tetapi yang paling

20

sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya: 1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,

Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll 2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,

parotitisepidemika dl 3. Parasit : malaria dantoksoplasma (marry, 2009). 2.1.8.3. GejalaKlinis Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak jarang anak dating dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edemperiorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota GFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginjal biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium.Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edemperiorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan

21

payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam (marry, 2009).. Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA (marry, 2009). Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengan jelas (marry, 2009). 2.1.3.4.Diagnosa Diagnosis glomerulonefritisakut pasca streptokokus perlu dicurigai pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratories dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut pasca streptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-Ig A dan glomerulonefritis kronik. Anak dengann efropati-Ig A sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut pasca streptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-Ig A terjadi bersamaan pada saat faringitas (synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut pasca streptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropatiIg A (marry, 2009).

22

Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membrane proliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferative kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut pasca streptokokus sulit diketahui pada awal sakit (marry, 2009). Pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus perjalanan penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus dibandingkan pada glomerulonefritis kronik.

Polakadarkomplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pasca streptokok dengan glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pasca streptokok sedangkan pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama. Kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd (marry, 2009). Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada

glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain nonnefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis membrane proliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak perlu dilakukan biopsy ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindromne frotik yang menetap atau memburuk, biopsy merupakan indikasi (marry, 2009). 2.1.3.5. Patofisiologi Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan

kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran

23

basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigenantibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop

imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN (marry, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigenantibodi yang timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus (marry, 2009). Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi (marry, 2009).

24

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal (marry, 2009). Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen (marry, 2009). Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel (marry, 2009). Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain (marry, 2009).

25

Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus (marry, 2009). Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut : 1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis glomerulus dan kemudian merusaknya. 2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus. 3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis ginjal (marry, 2009). 2.1.8.6. Streptokokus Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes . S. pyogenes -hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu: a. Sterptolisin O adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen.

26

Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang menghasilkan sterptolisin O. antibody ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin O. fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang

hipersensitifitas. b. Sterptolisin S Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus. Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan

glomerulonefritis

2.1.8.7.Hubungan GNA dengan Saluran Pernafasan Atas dan Jaringan Periodontium GNA Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi

streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,

27

Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang 10 hari factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya infeksi kuman streptococcus Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran glomerulonefritis akut setelah

pernafasan bagian atas atau pada kulit, ISPA Disebut infeksi saluran pernafasan bagian atas, karena memang infeksi tersebut terjadi pada bagian-bagian atas dari sistem saluran pernafasan antara lain hidung, sinus, faring, dan laring. Kuman yang masuk dan menyebabkan infeksi bisa berupa bakteri, bisa berupa virus, bisa pula berupa jamur

Jaringan Periodontium Periodontium merupakan suatu jaringan yang mengelilingi dan mendukung Gingiva, Sementum. Penyebab utama oleh invasi bakteri dan mikroorganisme. kemudian tubuh mengadakan perlawanan dengan cara menetralisir atau merusak mikroorganisme. (autoimun). Ligamen gigi, periodontal, Antara Tulang lain alveolar

28

Kegagalan imun tubuh terhadap Invasi bakteri dapat Menyebabkan Peradangan pada saluran nafas bagian atas. 2.1.8.8. Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus. 1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya. 2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis. 3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan,

29

sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi. 4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis. 5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga (marry, 2009).

Вам также может понравиться