Вы находитесь на странице: 1из 313

DAFTAR ISI

1. Rangkuman Hasil Akhir IMD-SPKM

2. Deklarasi Jejaring PPI Eropa

3. Kumpulan Makalah Sumber Daya Alam

4. Kumpulan Makalah Sumber Daya Institusional

5. Kumpulan Makalah Sumber Daya Sosial Ekonomi

6. Kumpulan Makalah Sumber Daya Manusia

7. Kumpulan Makalah Narasumber


Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

SALINAN
”Suara Bersama Den Haag 2007”
Pertemuan Pelajar Indonesia:
Indonesia Masa Depan—Suara dan Peran Kaum Muda
Den Haag, 22 - 24 Juni 2007

Kami, kaum muda Indonesia yang hadir dalam Pertemuan Pelajar Indonesia: Indonesia Masa
Depan—Suara dan Peran Kaum Muda (PPI: IMD-SPKM) di Den Haag, 22-24 Juni 2007,
bersama ini menyatakan:

Kami bertemu dan berkumpul di sini dilandasi oleh semangat dan kehendak bersama untuk
turut memberikan sumbangan kolektif, dalam bentuk apapun terhadap proses perbaikan
kehidupan bersama sebagai negara dan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang.

Kami bertemu dan berkumpul di sini dipicu oleh kerisauan kolektif. Berakhirnya rezim dan
sistem politik Orde Baru pada 1998 telah membawa perjalanan Republik Indonesia tercinta
memasuki babak baru kesejarahannya sejak itulah dimulai proses “reformasi”. Namun
hingga kini arah dan pijakan baru yang nyata dan kokoh untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh warga bangsa belum dirumuskan.

Tidak dipungkiri bahwa telah dicapai sejumlah hasil penting dan strategis sebagai buah dari
proses ”reformasi” yang dihela bersama oleh segenap anak bangsa, di antaranya: kebebasan
pers dan kebebasan berorganisasi dan berpolitik, pemilihan umum yang relatif jujur dan adil,
otonomi daerah, juga pemilihan pejabat pucuk pemerintahan secara langsung oleh rakyat,
baik di tingkat nasional maupun lokal.

Kami tidak bisa menutup mata bahwa segenap capaian penting dan strategis tersebut tidak
dengan serta merta mengatasi berbagai masalah, terutamaangka kemiskinan massal yang
masih cukup tinggi, tingkat kesejahteraan rakyat secara umum juga belum meningkat secara
bermakna. Sejumlah warisan buruk rezim lama belum sirna, seperti birokrasi yang korup,
kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat, serta sistem kepartaian yang elitis.
Kerisauan itu makin bertambah ketika kami berpikir dalam konteks strategisdimana
kompetisi dengan negara-negara lain dalam tata-dunia global yang tidak adil akan membuat
posisi Indonesia semakin terpuruk dalam pergaulan antar bangsa dan negara.

Kendati sistem pemilihan pejabat pemerintahan secara langsung menjanjikan meningkatnya


proses pertanggungjawaban pejabat publik, namun sistem baru ini masih kurang
mengoptimalkan .pemikiran visioner dan gagasan besar yang menjangkau jauh ke depan
termasuk rencana pembangunan jangka panjang. Dalam konteks persoalan kebangsaan dan
kenegaraan seperti itulah urgensi kejelasan visi dan kemantapan orientasi Indonesia masa
depan semakin mengemuka, khususnya buah pemikiran dari kaum muda saat ini, sebagai
pewaris syah Republik Indonesia serta mata rantai menuju generasi selanjutnya.

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

Rangkaian kegiatan PPI: IMD-SPKM ini adalah salah satu wujud tanggung jawab moral dan
intelektual kaum muda Indonesia terhadap masa depan bangsa dan negara, khususnya
terhadap lebih dari 230 juta jiwa manusia Indonesia. Tanggung jawab tersebut perlu disadari
sebagai tanggung jawab kolektif yang hanya akan optimal dengan kolaborasi sehat berbagai
pihak secara sinergis. Oleh karena itu, PPI: IMD-SPKM menjadikan usaha-usaha serupa
sebelumnya sebagai bahan kajian dan masukan yang berharga. Dengan demikian, kegiatan ini
merupakan bagian dari mata rantai upaya membangun Indonesia masa depan yang lebih baik.

Hasil dari PPI: IMD-SPKM merupakan pokok-pokok pikiran yang terutama akan kami
jadikan bahan rujukan bagi upaya kolektif untuk membangun masa depan Indonesia yang
lebih baik; meskipun bisa menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan maupun
institusi dan organisasi lain terkait. Jiwa yang dikandung dalam kegiatan ini adalah tanggung
jawab pelajar dan kaum muda sebagai individu maupun kolektivitas yang ingin memberikan
kontribusi bagi bangsa dan negaranya, bukan sekadar mengajukan tuntutan kepada pihak lain.

Setelah mengalami proses dialektika gagasan secara kolektif sejak sekitar 6 bulan lalu dan
berpuncak pada pertemuan di Den Haag pada 22-24 Juni 2007, maka dengan ini kami
merumuskan pokok-pokok pikiran bersama dalam ”Suara Bersama Den Haag 2007” yang
mencakup

1. Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Alam


2. Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Manusia
3. Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Institusi / Kelembagaan
4. Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Sosial-Ekonomi

Den Haag, 24 Juni 2007

Kami, yang bertandatangan di bawah ini:

Atas nama seluruh peserta Indonesia Masa Depan 2007,


Presidium Pleno Indonesia Masa Depan 2007:

PPI Belanda PPI Rusia


Michael Putrawenas Charles Tampubolon

PPI Italia PPI United Kingdom


Berly Martawardaya Muhammad Izzul Hag

PPI Jerman
Achmad Aditya

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

RANGKUMAN PEMBAHASAN

1. Sumber Daya Alam (SDA)

Pemberdayaan SDA Indonesia tidak terlepas dari tren perkembangan teknologi dunia.
Diawali oleh tantangan pengembangan energi alternatif dan terbarukan, pemanasan global,
dan kekurangan pangan, aplikasi bioteknologi dan teknologi hijau yang berkelanjutan
dipercaya mampu menjadi salah satu jalan keluar.

Selain tantangan global yang Indonesia hadapi, Indonesia masih memiliki beberapa
permasalahan dasar yang masih harus ditangani. Ketidakseimbangan antara input sumber
daya alam yang besar dengan output sosial ekonomi yang minim menjadi persoalan yang
mendasar. Hal ini disertai kurangnya kesadaran stakeholders (aktor-aktor kunci; seperti peneliti,
pemerintah, dan industri) akan pentingnya isu-isu yang berhubungan dengan hak paten,
publikasi, biopiracy, regulasi (yang belum menjalankan mandat rakyat), dan koordinasi riset
dan transfer teknologi. Selain itu, masyarakat Indonesia khususnya generasi muda masih
kurang memahami potensi SDA bangsanya dan aktualisasi iptek nasional. Hal ini membuat
tindakan semena-mena terhadap bumi Indonesia misalnya penggundulan hutan secara liar
dan pencemaran limbah yang mengancam sumber daya bahari.

Dalam menjawab segala tantangan yang ada, Indonesia pada dasarnya memiliki banyak sekali
potensi yang dapat dimanfaatkan secara strategis, yaitu keanekaragaman hayati dan sumber
daya energi alternatif (misal: panas bumi, gelombang laut, angin, dan matahari). Tidak
berhenti sampai di sana, potensi ini bila diikuti oleh pengembangan sumber daya manusia
seperti peneliti-peneliti kelas kakap dan sarjana manajemen Indonesia diyakini dapat
mengkatalisasi hasil riset bangsa yang belum teraplikasikan.

Peningkatan kesadaran publik terhadap alam menjadi salah satu kunci strategi realisasi
potensi yang dimiliki Indonesia. Dalam strategi ini, koordinasi antara pemerintah, swasta dan
sipil (termasuk akademisi di dalamnya) menjadi hal yang krusial.

Bagi mereka yang berkarya di dalam struktur pemerintahan diharapkan:


1. memberikan insentif untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan
2. memberdayakan badan pengawas sumber daya alam
3. mengubah paradigma pengelolaan wilayah dari batas administrasi menjadi batas
ekologi gugus kepulauan
4. membangun institusi dan fasilitas pendidikan, riset, termasuk penerapan teknologi
yang sesuai dengan potensi alam, kebutuhan, dan sosio budaya di daerah masing –
masing

Di lain pihak, mereka yang bekerja di bidang swasta pun hendaknya:


1. memberi dukungan modal bagi hasil penelitian dalam negeri yang strategis dan belum
diaplikasikan
2. melakukan pemberdayaan perusahaan kecil, menengah dan daerah dalam mengelola
sumber daya alam lokal

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

3. tanggung jawab sosial perusahaan termasuk transparansi dalam proses pemanfaatan


sumber daya alam dari proses ekstraksi, konsumsi hingga pasca produksi

Bagi akademisi dan masyarakat pada umumnya, kerja sama untuk mendukung pemerintah
dan swasta serta:
1. Perlunya sosialisasi dan jaringan dalam mengembangkan potensi sumber daya alam
Indonesia secara lintas profesi baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Pengembangan SDM yang disesuaikan dengan potensi alam dan kebutuhan di daerah
masing-masing
3. Pengenalan sedini mungkin kesadaran lingkungan kepada anak-anak
4. Pola konsumsi yang bertanggungjawab dan berkesinambungan
Khusus bagi para akademisi untuk mulai mengkomunikasikan hasil riset mereka kepada
masyarakat sebagai langkah awal transfer ilmu dan teknologi bagi bangsa dan negara.

Sebagai tindak lanjut dan tindak nyata dari hasil diskusi IMD 2007, pelajar Indonesia tidak
akan tinggal diam dan memulai realisasi dari strategi yang diusulkan dengan:
1. pembentukan seranai surat (mailing list) guna pertukaran informasi tentang sumber
daya alam lintas sektoral dan pemantapan jejaring serta komitmen
2. alih pengetahuan dan teknologi, antara lain dengan: pelatihan, temu ilmiah,
penulisan/distribusi artikel
3. kontribusi pemikiran tentang pengembangan pengelolaan sumber daya alam ke
instansi dan komunitas terkait
4. memberikan teladan dan mengajak masyarakat sejak dini untuk mengenal lingkungan

2. Sumber Daya Manusia

Menyongsong globalisasi yang tidak terelakkan, Indonesia ditantang untuk siap memberi
respon akan lintas barann, jasa, dan teknologi. Di sinilah tenaga kerja Indonesia
diperhadapkan kepada tingkat yang lebih kompetitif – bersaing dengan negara-negara
berkembang dan industri lainnya.

Secara umum, SDM bangsa Indonesia dalam pengembangannya memiliki beberapa kendala,
yaitu keterbatasan sistem dan pendanaan pendidikan, kurangnya akses kepemudaan serta
yang tidak kalah pentingnya adalah mental bangsa Indonesia yang masih lemah. Reformasi
mental ini difokuskan dan diharapkan dapat dicapai dengan langkah-langkah strategis yang
secara sinergis dalam bidang pendidikan dan kepemudaan.

Dalam bidang pendidikan, dikenali beberapa hambatan utama:


1. Alokasi dana pendidikan (APBN <20%) dan penentuan skala prioritas yang masih
belum jelas
2. Buruknya koordinasi dan konsistensi penegakan aturan dilapangan misalnya
penarikan uang sekolah walaupun sudah dibiayai BOS hingga kecurangan-
kecurangan UAN baru-baru ini (2007)
3. Belum meratanya professional development di Indonesia ditandai dengan program
pembelajaran yang statis di kelas dan tidak lagi aplikatif.

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

4. Kurangnya apresiasi pemerintah dan masyarakat kepada tenaga pendidik dan


akademisi (termasuk peneliti) yang berujung pada rendahnya kesejahteraan mereka.
5. Tingginya variabilitas kualitas dan kurikulum sekolah khususnya antara sekolah
swasta dan negeri yang turut mendukung ketimpangan sosial

Sedangkan kepemudaan memiliki tantangannya tersendiri yang dapat dikatakan tidak lepas
dari bidang pendidikan:
1. Pudarnya identitas bangsa dan maraknya budaya konsumerisme menyebabkan
bangsa Indonesia menjadi bangsa mangsa globalisasi tanpa memiliki produktivitas
yang seimbang. Hal ini juga membiaskan identitas
2. Perlunya netralisasi dan konsistensi dari kegerakan pemuda yang membangun,
umumnya kegerakan pemuda bersifat jangka pendek dan sebatas monumental
3. Kecilnya jejaring yang dimiliki pemuda untuk mengembangkan diri khususnya dalam
dunia internasional, hal ini memperkecil kesempatan memperoleh ilmu ataupun
pengalaman di luar negeri

Beberapa rekomendasi yang dapat diusulkan dalam bidang pendidikan dan kepemudaan
sekaligus adalah:
1. Melakukan dialog tri-partit antara pemerintah (policy makers), industri (commerce) dan
institusi pendidikan dalam menyusun kebijakan yang menyelaraskan pendidikan yang
aplikatif untuk industri misalnya dalam program magang (internship)
2. Pemberian jaminan akan apresiasi dan kesejahteraan tenaga pendidik dalam kebijakan
pemerintah
3. Adanya advokasi publik bagi insitusi pendidikan khususnya sekolah umum dalam
mengontrol pungutan dan kurikulum yang ditawarkan
4. Meningkatkan kompetensi (professional development) dan quality control bagi
tenaga pendidik yang objektif dan transparan disertai oleh infrastruktur/fasilitas yang
memadai
5. Optimalisasi komunikasi sosial antar sekolah untuk memperkecil kesenjangan yang
ada, misal pertukaran/pelatihan guru dan pakar antara sekolah khususnya dari kota
ke daerah terpencil
6. Mengintegrasikan materi pendidikan moral khususnya anti-korupsi dan anti-
konsumerisme yang praktis sedini mungkin
7. Peningkatan kerja sama dengan dengan pelajar Indonesia di luar negeri untuk turut
melibatkan mereka dalam menyelesaikan isu-isu krusial nasional serta penyebaran
informasi mengenai beasiswa dan magang di luar negeri
8. Program CNN (Care, Nation, Networking) sebagai salah satu ide untuk menjaga
semangat dan konsistensi kegerakan pemuda bekerja sama dengan LSM, institusi
riset, dan berbagai lembaga lainnya
9. Pembuatan basis data akan disertasi, thesis, artikel ilmiah dan informasi pendidikan
dari dan untuk pelajar Indonesia

3. Sumber Daya Institusi / Kelembagaan

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

Masalah pembangunan kelembagaan yang teraktual dan masih akan relevan sampai beberapa
periode ke depan adalah bagaimana proses desentralisasi dapat berkontribusi pada
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, seiring dengan meningkatnya potensi
konflik sosial, manajemen konflik dan keamanan yang komprehensif menjadi sangat krusial
untuk memastikan proses kelembagaan ini berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Dari
rumpun-rumpun masalah tersebut, akan dirumuskan visi transformasi dan agenda aksi bagi
segenap elemen bangsa yang ada.

Masalah-masalah dalam proses desentralisasi yang dapat diidentifikasi adalah:


1. bangun dan format otonomi daerah yang belum mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
2. birokrasi yang korup, terkooptasi kepentingan politik dan tidak professional
3. rendahnya akuntabilitas publik
4. rendahnya partisipasi dan kapasitas masyarakat madani dalam berkontribusi pada
proses pembangunan khususnya terhadap kinerja pemerintahan daerah
5. kesenjangan pelayanan publik baik menurut wilayah maupun sektor
6. pembangunan daerah yang terfragmentasi dan kurang terkoordinasi.

Visi transformasi yang kemudian diformulasikan berdasarkan permasalahan tersebut adalah:


melanjutkan pembangunan otonomi daerah dengan perbaikan sistem administrasi yang lebih
komprehensif dan koheren, peningkatan dan penguatan pelayanan publik yang didasarkan
kepada kebutuhan masyarakat, peningkatan partisipasi publik dalam proses pengawasan, dan
mendorong dilakukannnya kerjasama yang efektif di dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan daerah, baik antar hirarki pemerintahan maupun antar wilayah.

Sedangkan identifikasi masalah untuk area manajemen konflik dan keamanan adalah:
1. tingginya potensi konflik sosial di Indonesia, baik yang disebabkan oleh kesenjangan
sosial-ekonomi maupun rapuhnya integrasi sosial
2. tingginya keterlibatan militer dalam bidang-bidang non-kemiliteran dan rendahnya
tingkat profesionalisme militer yang disebabkan oleh strategi dan kebijakan militer
yang lebih berorientasi kepada Angkatan Darat
3. struktur, budaya, dan kinerja lembaga kepolisian yang berwatak sentralistik,
militeristik korup serta tidak profesional.

Dari sisi tersebut, dirumuskan visi transformasi yang meliputi pengurangan kesenjangan
sosial-ekonomi yang menjadi penyebab konflik serta pengembangan budaya perdamaian dan
pencegahan konflik, penghilangan peran-peran non-militer oleh lembaga militer serta
peningkatan profesionalisme militer melalui pengembangan strategi dan kebijakan
pertahanan yang berorientasi maritim dan dirgantara sesuai posisi dan konstelasi geo-strategis
Indonesia, pengembangan struktur dan lembaga kepolisian yang berwatak desentralistik serta
non-militeristik (sipil), dan pengembangan lembaga kepolisian yang profesional dan
akuntabel.

Untuk mencapai hal tersebut, dirumuskan agenda aksi bagi setiap komponen bangsa yang
ada, sebagai berikut:

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

A. Pembangunan daerah/desentralisasi:

1. Masyarakat madani :
a) Meningkatkan partisipasi publik dalam rangka mengawasi kinerja pemerintah untuk
meningkatkan akuntabilitas publik pemerintah daerah.
b) Melakukan keterlibatan aktif dalam proses penentuan arah pembangunan daerah.

2. Penyelenggara negara:
a) Merevisi dan melengkapi perangkat hukum penyelenggaraan otonomi daerah
Meningkatkan kualitas institusi pemerintah dalam pelayanan publik melalui perbaikan
menyeluruh di bidang struktur, proses, SDM dan relasi pemerintah dan masyarakat
b) Mengevaluasi kinerja aparatur pemerintah berdasarkan indikator - indikator yang
terukur.
c) Meningkatkan penerapan E-government dalam proses penyediaan layanan publik
dalam pembangunan daerah.
d) Memperbaiki hubungan kerja sama fungsional antara pusat dan daerah dalam rangka
menciptakan pembangunan yang sinergis.
e) Mengembangkan perangkat yang mampu mendekatkan proses interaksi dan
penyediaan layanan publik dari institusi pemerintah kepada masyarakat
f) Memperbaiki sistim penerimaan pegawai negeri dalam rangka meningkatkan kualitas
birokrasi pemerintahan Indonesia dengan mendasarkan pada kebutuhan ruang
lingkup kerja / analisis jabatan (job analysis)

3. Swasta :
a) Meningkatkan kemitraan swasta dengan pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan daerah.
b) Berkolaborasi dengan masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja
pembangunan daerah.

B. Manajemen konflik dan keamanan

1. Penyelenggara Negara
a) Melakukan pengurangan tingkat kesenjangan sosial-ekonomi.
b) Menjadikan pendidikan perdamaian menjadi bagian dari program di lembaga-
lembaga pendidikan.
c) Reformasi kelembagaan dan perundang-undagan yg menempatkan TNI di bawah
Dephan dan Polri di bawah Depdagri/Depkeh; Penyusunan ’Buku Putih’ strategi
dan kebijakan pertahanan dan keamanan RI yg mengubah titik berat pada sektor
maritim/udara.
d) Pengembangan lembaga kepolisian melalui reformasi UU, struktur kelembagaan
maupun budaya organisasi yg lebih sesuai dengan tuntutan profesionalisme,
akuntabilitas dan desentralisme; Reformulasi kebijakan keamanan dalam negeri
menyesuaikan dg sistem politik dan pemerintahan yg bersifat desentralistik.

2. Masyarakat Madani

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

a) Meningkatkan program pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi melalui penguatan


organisasi-organisasi masyarakat.
b) Pendidikan perdamaian menjadi bagian dari program kemasyarakatan; menggalakkan
upaya-upaya pencegahan konflik di masyarakat.
c) Melakukan advokasi bagi dilakukannya reformasi kelembagaan dan perundang-
undangan menyangkut TNI dan Polri; Peningkatan kapasitas dan kompetensi
masyarakat madani untuk melakukan pengawasan terhadap TNI dan Polri.
d) Melakukan kajian dan advokasi bagi pengembangan lembaga kepolisian yang
profesional, akuntabel dan berorientasi lokal. Melakukan fungsi-fungsi pengawasan
dan pemantauan terhadap kinerja lembaga kepolisian, baik di aras nasional maupun
lokal;

3. Swasta
a) Meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dan pendidikan perdamaian menjadi bagian
dari program Corporate Social Responsibility.
b) Meningkatan kegiatan bisnis di sektor kelautan-perkapalan dan dirgantara.
c) Bekerjasama dengan masyarakat madani melakukan advokasi bagi pengembangan
lembaga kepolisian yang profesional, akuntabel dan berorientasi lokal.

4. Sumber Daya Sosial Ekonomi

Sumber daya ekonomi dan sosial Indonesia masih memiliki beberapa masalah struktural
namun namun tetap memiliki banyak potensi untuk diberdayakan. Dengan memanfaatkan
potensi-potensi tersebut, pada tahun 2045 diharapkan dapat terwujud suatu masyarakat
Indonesia yang maju, berkeadilan, sejahtera, bermartabat dan mandiri. Tidak menutup
kemungkinan, di masa depan Indonesia mampu menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi
dunia.

Masalah-masalah struktural itu antara lain adalah:


1. posisi lemah Indonesia di dalam tata ekonomi internasional
2. belum tercapainya demokrasi ekonomi dalam arti yang seluas-luasnya
3. tajamnya kesenjangan ekonomi dan sosial
4. daya inovasi dan kewirausahaan yang rendah
5. institusi dan tata kelola pemerintahan yang tidak kondusif bagi kegiatan ekonomi
produktif
6. pengabaian sumber kekuatan ekonomi potensial dan lokal
7. serta pengabaian sejarah dalam perumusan kebijakan ekonomi

Masalah-masalah ini begitu kompleks dan saling terkait satu sama lain. Untuk itu, dibutuhkan
suatu terobosan kebijakan dan strategi transformasi yang sistematis serta menyentuh titik-
titik krusial permasalahan. Basis dari terobosan ini adalah penguatan kelembagaan,
demokratisasi ekonomi dengan titik berat pada masalah kesenjangan dan kemiskinan,
revitalisasi sektor pertanian dan kelautan, pembangunan struktur industri yang tangguh dan
terkait satu sama lain, serta sistem inovasi yang berbasiskan sumber daya dan kebutuhan

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

lokal. Kata kunci berikutnya adalah pendidikan, yang sangat penting dalam proses
pemberdayaan sumber daya ekonomi.

Segenap hal di atas membutuhkan agenda-agenda aksi yang dijalankan secara sinergis tidak
hanya dari pemerintah, tapi juga dari elemen-elemen swasta dan masyarakat.

Agenda aksi pemerintah:


1. Memperkuat aspek kelembagaan untuk memfasilitasi situasi ekonomi yang efisien
dan produktif, dengan fokus pada birokrasi yang bebas korupsi, melayani publik dan
mendukung penguatan masyarakat madani; membangun lembaga peradilan yang
independen dan menjamin sistem kepemilikan; dan kebijakan politik yang
mendukung kebebasan berusaha
2. Melakukan desentralisasi ekonomi seutuhnya dan mengadopsi kebutuhan,
pengetahuan, serta potensi lokal dalam perumusan kebijakan ekonomi.
3. Menyediakan infrastruktur dan suprastruktur yang menjamin berkembangnya
struktur industri yang tangguh dan saling terkait dengan berbasiskan teknologi tepat
guna dan sistem inovasi yang komprehensif; serta secara khusus melakukan
revitalisasi sektor pertanian dan kelautan.
4. Melakukan diplomasi ekonomi secara aktif dengan tujuan mendukung ekonomi
dalam negeri yang mandiri seutuhnya.
5. Memfokuskan diri pada peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat
6. Mengoptimalkan potensi ekonomi dalam negeri khususnya perluasan basis pajak

Agenda aksi swasta dan masyarakat madani:


1. Melakukan kolaborasi yang sinergis dengan pemerintah, dunia pendidikan tinggi, dan
masyarakat lokal dalam pengembangan teknologi dan inovasi dalam sebuah
optimalisasi potensi ekonomi yang saling menguntungkan
2. Mampu menyadari dan mengidentifikasi potensi lokal, potensi sektor pertanian dan
kelautan, serta mengembangkannya menjadi produk bernilai tambah tinggi.
3. Mampu memanfaatkan aspek positif dari globalisasi dengan menonjolkan
kemampuan inovasi berbasiskan sumber daya lokal

Di samping itu, peran pendidikan sangat penting dalam optimalisasi sumber daya ekonomi
dan sosial. Dalam hal ini, agenda aksi pemerintah dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Meningkatkan anggaran untuk infrastruktur pendidikan dengan cara yang efektif dan
transparan
2. Mengakui keberagaman lokal dan mengadopsinya dalam sistem pendidikan
3. Melakukan diversifikasi sekolah yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal
dengan titik berat pada berbagai variasi sekolah kejuruan dan politeknik
4. Membangun skema pembiayaan yang tepat guna untuk pendidikan tinggi, dengan
cara: penerapan sistem subsidi silang, mendukung pemberdayaan Badan Usaha Milik
Kampus, dan peningkatan kerjasama dengan swasta/industri.
5. Menciptakan ”link and match” antara dunia pendidikan pada berbagai strata dengan
dunia ekonomi/sektor industri, melalui: riset universitas yang aplikatif, insentif fiskal
bagi dunia industri yang terlibat sektor pendidikan/riset, dan kurikulum yang
menekankan faktor kewirausahaan.

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

6. Membangun sistem pinjaman (student’s loan) yang komprehensif dan dikelola dengan
baik guna meningkatkan akses pendidikan pada semua kalangan.
7. Membangun sistem insentif untuk tetap sekolah guna mensukseskan program wajib
belajar 12 tahun

Kemudian selanjutnya agenda aksi elemen swasta dan masyarakat madani adalah:
1. Merangkul universitas dan dunia pendidikan pada umumnya untuk pengembangan
teknologi tepat guna guna membangun ekonomi yang berbasis pengetahuan
2. Mengoptimalkan potensi pelajar Indonesia di luar negeri untuk membangun jaringan,
menarik dana penelitian, dan membuka akses bagi pendidikan dan penelitian nasional
pada dunia industri global.

LANGKAH KE DEPAN

Dokumen ini maupun rangkaian kegiatan PPI: IMD-SPKM 2007 bukanlah sebuah akhir,
melainkan sebuah kontinuum yang berusaha melanjutkan apa yang sudah dimulai
sebelumnya untuk semakin dimantapkan –yaitu usaha untuk mewujudkan Indonesia masa
depan yang lebih baik.

PPI: IMD-SPKM berusaha memperkuat tiga pilar utama dalam usaha tersebut, yaitu:
semangat, materi, dan jaringan. Ketiga pilar itulah yang berusaha dirangkum dalam dokumen
ini. Suara Bersama Den Haag 2007 merupakan pernyataan semangat kolektif yang menjiwai
keseluruhan proses PPI: IMD-SPKM dan proses-proses lain yang saling berkolaborasi.
Rangkuman Pembahasan menyiratkan alur materi yang diperkaya dengan makalah-makalah
yang masuk. Sementara jaringan yang terbentuk paling tidak mencakup para peserta PPI:
IMD-SPKM yang juga terafiliasi dengan organisasi / kelompok pelajar Indonesia di berbagai
negara.

Langkah ke depan yang perlu ditapaki bersama adalah memperluas dan memperkaya ketiga
pilar itu. Semangat membangun Indonesia yang lebih baik tidak akan pernah bisa terlalu kuat.
Demikian pula materi konseptual dan intelektual akan selalu terus berkembang. Jaringan
individu-individu dan kelompok-kelompok yang siap berkontribusi dan berkolaborasi juga
akan selalu butuh diperluas. Satu pilar tanpa pilar-pilar yang lain niscaya akan percuma.
Semangat yang tidak diimbangi dengan materi yang kuat dan jaringan yang luas hanya akan
tinggal semangat, dan seterusnya. Tapi jika ketiga pilar tersebut semakin kokoh dan sinkron,
maka Indonesia Masa Depan yang lebih baik akan semakin dekat menjadi sebuah realita.

Bentuk nyata usaha-usaha tersebut bisa berbentuk kajian-kajian lanjutan maupun kritik
terhadap produk PPI: IMD-SPKM 2007. Bisa pula dengan menjaga kontak dan mengundang
rekan-rekan lain untuk bergabung dengan jaringan Indonesia Masa Depan. Namun yang
terpenting adalah dengan mengejewantahkan semangat bersama dalam karya nyata di bidang
kompetensi masing-masing.

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

Akhir kata, kami mengundang siapa saja – lintas generasi, lintas wilayah, lintas sektoral, dan
lintas waktu – untuk turut berkontribusi dengan cara dan kompetensinya masing-maisng.
Indonesia Masa Depan yang lebih baik akan terus menjadi mimpi dan khayalan jika kita
sendiri tidak menggerakkan diri untuk mewujudkannya.

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

DAFTAR MAKALAH

Data dan kontak para penulis makalah dapat diperoleh dengan menghubungi Sekretariat
IMD estela mendapatkan izan tertulis dari yang bersangkutan.

Sumber Daya Alam

Judul Makalah Penulis Makalah


Bioteknologi di Indonesia : tantangan , prospek dan peluang Audrey Clarissa, Hosea Saputro
Handoyo, Kalman Emry Wijaya
Sustainable Economic Development Based on Biodiversity Resources in M. Djaeni
Indonesia
Visi Indonesia 2045 : Ekosistem Kepuluan Sebagai Basis Pembangunan Dwiko B. Permadi
Berkelanjutan
Fenomena Bioterorisme dan Ancamannya terhadap Ketahanan Pangan Nurul Hidayah
Nasional
Pengelolaan Sumber Daya Alam : Tantangan bagi Tanggung Jawab Korporasi Michael Putrawenas
Indonesia
SDA dan Perkembangan yang Berkelanjutan (Konsep dan Penerapan Aristanto Hari Setiawan
Desarrollo Sostenible)
Live With Slope Instability Jenny Wang
Optimasi Pengelolaan Sumber Energi Ari Warokka

Sumber Daya Manusia

Judul Makalah Penulis Makalah


Indonesia Berangkat Menuju Industrialisasi Pendidikan : Kenapa Tidak ? Achmad Adhitya, Anwar Sadat Sari
Siregar
Transformasi Nilai Kepemudaan Menuju ke Sumpah Pemuda Indonesia III Achmad Adhitya, Fahmi Rizanul
Amrullah
Solusi untuk Program Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia Tommy Dharmawan
Penghambat Perkembangan Pendidikan Sekolah Dasar, Menengah Pertama, Juliansyah Shariati Pratomo
dan Menengah Atas di Indonesia
Organizing Media to Accommodate Classroom Management at an Muchammadun Abdullah Chafidh
Intercultural and Religious Learning Setting : From Philosophy through Policy
to Practice
Kurangnya Kontrol dan Komitmen Pemerintah terhadap Masalah Merokok Tommy Dharmawan
Mencari Bentuk Kelas Virtual Sebagai Bagian Integral dari Kelas Presensial : Advent Tambun
Sebuah Ide
Mengenal dan Mengembangkan Bioetika Indonesia Aristanto Hari Setiawan

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

Sumber Daya Institusi / Kelembagaan

Judul Makalah Penulis Makalah


Akuntabilitas Publik di Indonesia Gde Yoga Prawita
E-Government : Di manakah kita (kini) ? Syamsul Ibad
Srategi Pembangunan di Wilayah Rawan Tsunami Berdasarkan Perspektif Achmad Adhitya
Ekonomi di Aceh dan Nias
Rethinking Indonesian Governance ; Dari Government ke Governance Rosdiansyah, Ishak Salim, Wiky Witarni
Visi dan Strategi Transformasi Konflik Indonesia Shiskha Prabawaningtyas
Visi dan Strategi Transformasi Politik Pertahanan dan Keamanan Indonesia Najib Azca
The Intricate Tapestry of ASEAN Security Lianita Prawindarti
Tata Pemerintahan Daerah Arif R. Effendy

Sumber Daya Sosial Ekonomi

Judul Makalah Penulis Makalah


MNC dan Akuntabilitas Perusahaan Ari Warokka
Inovasi Inc: Membangun Sistem Inovasi dan Produksi Nasional yang Berly Martawardaya
Berkemanusiaan di Indonesia
Fenomena Urbanisasi Kota Kecil dan Menengah di Indonesia dan Tantangan Fajar Hari Mardiansjah
Pembangunannya
Revitalisasi Industri Peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda Cahyono Susetyo
Apakah Pengentasan Kemiskinan Sudah Tepat Sasaran ? Anwar Sadat Sari Siregar
MNC dan Akuntabilitas Perusahaan Ari Warokka
Inovasi Inc: Membangun Sistem Inovasi dan Produksi Nasional yang Berly Martawardaya
Berkemanusiaan di Indonesia
Fenomena Urbanisasi Kota Kecil dan Menengah di Indonesia dan Tantangan Fajar Hari Mardiansjah
Pembangunannya

www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Bioteknologi Indonesia : Tantangan, Prospek dan Peluang
oleh
1. Audrey Clarissa (ITB/IPSF), au2dee@yahoo.com
2. Hosea Saputro Handoyo (HAN University/GeNeYouS/IBSF/PPI-Arnhem Nijmegen),
hshandoyo@gmail.com / www.hshandoyo.net
3. Kalman Emry Wijaya (ITB/IBSF), kalmanwijaya@yahoo.com

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.500 pulau dan jumlah
penduduk 230 juta jiwa. Indonesia sendiri terletak di wilayah khatulistiwa yang
cenderung memiliki iklim tropis, oleh karena itu Indonesia memiliki potensi agrikultur dan
maritim yang dapat dikembangkan dengan baik. Hal ini merupakan potensi yang
menjanjikan sebagai negara berkembang yang memiliki pangsa pasar yang besar dan
potensi investasi yang cukup menjanjikan khususnya di bidang bioteknologi.

Bioteknologi sendiri merupakan ilmu multidisipliner yang berkembang dalam beberapa


dasawarsa ini. Berbagai negara di dunia berlomba-lomba agar tidak tertinggal dalam
memajukan bioteknologi di negara mereka masing-masing. Di Indonesia sendiri telah
cukup banyak lembaga riset bioteknologi di berbagai bidang, antara lain LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia), Eijkman Molecular Center, dan juga berbagai perusahaan
bio-business swasta juga telah mengembangkan laboratorium riset bioteknologi.

Masyarakat Indonesia sendiri pada dasarnya belum sepenuhnya menyadari akan


pentingnya perkembangan bioteknologi. Hanya kalangan yang berpendidikan tinggi-lah
yang mengerti akan posisi bioteknologi. Indonesia saat ini sudah memiliki berbagai
organisasi profesi yang mendukung di bidang Bioteknologi, antara lain Konsorsium
Bioteknologi Indonesia (KBI) yang terdiri atas peneliti yang berkecimpung di bidang
Bioteknologi, Indonesian Biotechnology Students’ Forum (IBSF) yang merupakan
kumpulan berbagai mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dan memiliki ketertarikan di
bidang bioteknologi.
Terlepas dari hal itu, perkembangan bioteknologi di Indonesia saat ini terbentur dengan
kurangnya koordinasi riset dan teknologi transfer baik dari pemerintah, akademisi,
hingga praktisi bioteknologi sendiri. Hal ini menyulitkan berbagai peneliti di Indonesia
untuk mengembangkan riset mereka, dan membuat berbagai investor enggan dalam
menanamkan modal. Hal ini pula menghambat tersedianya sarana/prasarana
bioteknologi nasional yang rata-rata berasal dari luar negeri.

Karya tulis ini akan mencoba memaparkan beberapa program realistis untuk memajukan
Indonesia lewat bioteknologi secara sistematis dan terencana pada tahap awal
pembangunan.

Kata kunci : bioteknologi Indonesia, prospek bioteknologi Indonesia, pendidikan.

1. ANALISIS KONDISI
1.1 Analisis permasalahan
Perkembangan bioteknologi Indonesia dimulai pada tahun 1985. Departemen Riset dan
teknologi menetapkan bioteknologi sebahai prioritas pengembangan iptek yang
kemudian ditindaklanjuti dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Geliat
bioteknologi kemudian diawali oleh pembentukan Pusat Antar Universitas (PAU) yang
dipusatkan di tiga universitas/institut sebagai centers of excellence yaitu:
1. Bioteknologi kedokteran : Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan
Universitas Indonesia dan Eijkman Molecular Biology Insitute
2. Bioteknologi industri : Institut Teknologi Bandung bekerja sama dengan
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
3. Bioteknologi pertanian : Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan
Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia – Bioteknologi

Pemerintah kemudian menugaskan PAU-PAU tersebut untuk menyusun mata kuliah


bioteknologi hingga jenjang S-3. Usaha-usaha ini terus ditindaklanjuti dengan
menerbitkan jurnal penelitian bioteknologi dengan pusat di UGM dan pembentukan
himpunan-himpunan berbasis bioteknologi. Patut disayangkan karena usaha ini terpuruk
memasuki krisis ekonomi tahun 1997. PAU-PAU membubarkan diri karena tidak ada
tindak lanjut yang berarti. Secara kasar dapat dikatakan perkembangan bioteknologi
menjadi tidak terencana bahkan mentah kembali.

Pada tahun 2000, bioteknologi kembali menjadi prioritas dalam Jakstra Ipteknas yang
kemudian dilanjutkan Renstra Ipteknas. Sayangnya, program ini hanya dianggap
sebagai tindak lanjut program Repelita Orde baru yang sudah mentah.

Regulasi riset di Indonesia sebetulnya sudahlah sangat mantap dengan mengadopsi


aturan-aturan internasional. Namun demikian aturan-aturan yang ada sebenarnya belum
tepat guna untuk diaplikasikan saat ini. Banyak dari aturan tersebut mengikat dan hanya
menyangkut berbagai biaya dan persoalan administrasi internasional yang justru
menghambat pendanaan riset Indonesia.

Disamping hal tersebut, isu-isu negatif dalam masyarakat mengenai produk transgenik
(GMO) menyebabkan berbagai investor agro-bioteknologi semakin ragu untuk
mengembangkan bisnis mereka. Kekurangpahaman masyarakat akan ilmu bioteknologi
ini telah menghambat perkembangan ilmu ini, sehingga penyebaran informasi yang
tepat sangat diperlukan.

Sekalipun bioteknologi ini menjadi isu yang dinilai penting oleh banyak orang, belum ada
tindakan nyata yang diambil oleh pemerintah terutama dengan berbagai konflik dan
permasalahan yang ada di Indonesia, sehingga bioteknologi bukanlah prioritas utama.
Meskipun demikian, sangatlah penting isu ini tidak lantas kita tinggalkan begitu saja
karena bioteknologi akan menjadi kunci berbagai perkembangan di masa depan dan
dapat dikatakan bahwa langkah yang kita lakukan saat ini merupakan investasi jangka
panjang.

Biodiversitas alami yang tinggi di Indonesia merupakan aset tersendiri. Aset ini tentunya
merupakan kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan Indonesia, tetapi di lain
pihak biodiversitas ini pun menjadi suatu ancaman bila tidak kita tangani dengan baik.
Berbagai pihak akan berusaha mendapatkan kekayaan alam Indonesia dan
memanfaatkannya bagi keuntungan mereka pribadi. Hal ini tentunya tidak dapat kita
biarkan begitu saja dan sekali lagi perlu ditekankan penguatan SDM dan regulasi.
Tantangan terbesar adalah penyediaan SDM terampil dan berwawasan bioteknologi
luas. Umumnya bioteknologi di Indonesia berlandaskan bidang keilmuwan pertanian
atau ilmu alam baik biologi atau kimia. Sangat sedikit universitas yang berbasis
kedokteran sepert di UI. Di luar negeri, negara maju seperti Jepang, bioteknologi bisa
saja berbasis keteknikan. Bahkan negara berkembang sekalipun seperti Malaysia,
beberapa universitasnya juga memiliki departemen bioteknologi berbasis pertanian dan
teknik sekaligus. Universitas di Indonesia masih terhambat masalah pendanaan dan
penyediaan fasilitas seperti yang dialami Univeristas Atmajaya. Berdasarkan informasi
yang didapat dari mahasiswa Universitas Atmajaya, program bioteknologi Atmajaya
lebih berbasis teori dan bukan pada praktik seperti yang diusung oleh negara-negara
lainnya.

Di Indonesia, para praktisi bioteknologi Indonesia masih sebagian besar mengenyam


pendidikan bioteknologi di luar negeri. Di satu sisi, hal ini merupakan peluang yang
besar untuk memberikan kontribusi pada negara baik dari sisi pendidikan maupun riset.
Di sisi lain, diperlukan pula praktisi bioteknologi yang mengerti akan kondisi domestik
Indonesia.

1.2 Analisis Peluang


Apabila perkembangan bioteknologi secara keilmuwan di Indonesia kuat khususnya di
bidang pertanian, perkembangan industri/bioindustri Indonesia justru sebaliknya. Seperti
contoh di pendahuluan, bioteknologi pertanian dengan pemanfaatan tanaman transgenik
oleh perusahaan seperti Monsanto/Monagro Kimia, banyak mendapat tantangan.
Sehingga pemanfaatan bioteknologi pertanian kita masih bersandar pada bioteknologi
tingkat tua yaitu pemanfaatan pada tingkat seluler bukan molekuler. Contohnya adalah
industri kultur jaringan yang berkembang baik dalam industri kehutanan dengan
kebutuhan penyediaan bibit tanaman untuk reboisasi maupun untuk estetika seperti
bunga-bunga pajangan seperti anggrek ataupun mawar.

Ditinjau dari sisi farmasi, perusahaan farmasi nasional baik yang BUMN seperti PT
Kimia Farma, Tbk dan PT Kalbe Farma juga mulai melirik kebutuhan produk obat
bioteknologi. PT Kimia Farma menggandeng LIPI dan lembaga riset Jerman, Fraunhofer
untuk mengembangkan teknologi produksi obat-obat berbasis protein yang lebih murah
dengan teknologi molecular farming. PT Kalbe Farma menggandeng lembaga riset Kuba
dan Eropa dengan membentuk anak perusahaan bernama Innogen yang berkantor di
Singapura.

Dengan uraian di atas, prospek perkembangan bioteknologi di Indonesia terlihat


semakin jelas. Pertama, untuk pendidikan S-1, bioteknologi tidak harus berarti memiliki
pengalaman eksperimen rekayasa genetika karena fondasi bioteknologi adalah
pemanfaatan molekul biologi baik DNA, protein, ataupun selular. Pengalaman di tingkat
S-1 bisa ditingkatkan dengan ke tingkat S-2 dan S-3 untuk penguasaan materi
bioteknologi yang lebih dalam dan luas. Penelitian bioteknologi bisa dilakukan pada
umumnya di lembaga penelitian Indonesia sendiri yang sudah mengarah ke bioteknologi
modern seperti LIPI, Eijkman, Balitbiogen, dsb.

Dengan mulai masuknya industri farmasi ke ranah bioteknologi, maka peluang


memasuki lapangan kerja dengan keahlian bioteknologi semakin besar selain yang
sudah ada selama ini untuk industri pangan dan pertanian. Termasuk yang baru adalah
industri kosmetika yang juga maju pesat. Lembaga pemerintah terkait produk obat dan
pangan yaitu Badan POM dalam penerimaan pegawai tahun 2005 juga mulai mencari
alumni bioteknologi yang menunjukkan semakin banyaknya produk obat, termasuk
vaksin dan pangan yang berbasis bioteknologi.

Dari segi regulasi, Indonesia sudah mulai melakukan langkah-langkah proteksi seperti
pengajuan resolusi Bio-Piracy yang disetujui PBB (2007) untuk melindungi biodiversitas
Indonesia.

Dari sisi tenaga ahli, peneliti Indonesia, Arief Indrasumunar mendapatkan paten atas
hasil riset molekuler tanaman kedelai dari perusahaan tempatnya bekerja UniQuest,
Australia (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/16/humaniora/3533979.htm). Ini
menunjukan bahwa SDM Indonesia tidak kalah berkualitas.

2. ANALISIS TREND
2.1 International
Perkembangan bioteknologi setelah lebih dari 50 tahun diawali dengan teknologi
rekayasa genetika dan protein ini menjadi semakin cepat. Rekayasa protein saat ini
menjadi andalan bioteknologi modern karena produk-produk bioteknologi yang beredar
luas di masyarakat umumnya seperti hormon, antibodi hingga kosmetika.

Teknologi sekunder dari bioteknologi adalah kloning. Teknologi ini cukup kontroversial
hingga kini walaupun pada dasarnya sangatlah bermanfaat. Dengan teknologi ini,
manusia mampu memsintesis jaringan/organ baru sebagai ganti yang rusak.
Bioteknologi khususnya kloning kini dipandu oleh code-of-conducts yang dikenal
sebagai bioethics (etika biologi) untuk menghindari usaha-usaha tidak bermoral seperti
menciptakan manusia unggulan/mengkloning manusia.

Bioteknologi kini terus berkembang dan telah “mengawinkan” diri dengan nanoteknologi
hingga menghasilkan nanobioteknologi atau bioteknologi di tingkat nanometer
(molekuler) dengan penekanan pada nanomedicine atau penemuan obat-obat baru dan
peningkatan efektivitas obat melalui “drug delivery system”.

Perusahaan-perusahaan multinasional kini mulai menggandeng pusat-pusat riset dan


universitas untuk meningkatkan kualitas produk dan inovasi terakhir keilmuan di
bioteknologi untuk melakukan transfer teknologi dan juga tentunya keuntungan yang
besar. Sebagai contoh, Phillips yang bergerak di bidang teknologi kelistrikan kini sejak
2004 sudah mulai beralih pada bioteknologi dengan menjual cabang-cabang
perusahaan chips dan mendirikan Biotechnology – Nanotechnology Research and
Development Centers di Eropa.

Dari tingkat pemerintahan, negara-negara maju khususnya Eropa telah menyepakati


Traktat Lisbon 2010 dimana bioteknologi akan secara permanen menjadi salah satu
sumber pendapatan nasional dan alokasi 3% dari GDP Uni Eropa. Mereka mendirikan
organisasi yang mengkoordinir riset dan membangun jembatan dengan dunia industri.
Mereka juga melengkapi para peneliti muda dengan berbagai fasilitas dan dana untuk
mengembangkan diri dan mengikuti perkembangan riset terakhir di dunia bioteknologi
hingga nanoteknologi. Setiap tahunnya regulasi penelitian pun diperbaharui untuk
mengikuti perkembangan zaman.
2.2 Indonesia
Tren bioteknologi Indonesia secara umum sudah menunjukkan progres yang cukup
baik. Sebagian masyarakat Indonesia sudah mulai menerima produk-produk
bioteknologi modern, seperti krim anti-penuaan-dini dari L’Oreal, Yakult, hingga terapi
hormon.

Dari segi bio-business, beberapa produk bioteknologi mulai beredar di pasaran


Indonesia, antara lain bio-fuel (bio-solar, bio-premium, bio-pertamax), serta berbagai
protein terapis lainnya. Berbagai organisasi profesi yang terkait dengan bioteknologi pun
cukup banyak, antara lain Konsorsium Bioteknologi Indonesia (KBI), Indonesian
Biotechnology Students’ Forum (IBSF). Yang kini menjadi tantangan bagi seluruh pihak
yang terkait dengan bioteknologi baik dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga
masyarakat adalah koordinasi dan imej dari bioteknologi nasional.

3. STRATEGI TRANSFORMASI

Memang perlu disadari bahwa prioritas Indonesia kini bukanlah bioteknologi tapi
pertumbuhan ekonomi baik mikro maupun makro. Walaupun demikian, persiapan untuk
menanggulangi perkembangan bioteknologi yang pesat di dunia tetaplah dibutuhkan.
Melakukan perencanaan yang baik adalah salah satu hal yang krusial tetapi
perencanaan hingga 25 ataupun 50 tahun dalam bidang bioteknologi adalah tidak
masuk akal. Sebagai contoh, Belanda melalui Netherlands Genomics Initiatives sendiri
sempat kewalahan melakukan perencanaan 10 tahun di bidang genomic akibat begitu
cepatnya perkembangan ilmu dan industri. Oleh karena itu, beberapa strategi yang
dapat diusulkan dalam 5 tahun adalah:

Tiga tahun pertama:


1. Optimalisasi lembaga ataupun insitutusi yang sudah ada dengan membentuk
kembali PAU-PAU yang dikoordinasikan oleh pemerintah (baik melalui
DepRisTek, BPPT ataupun LIPI dan lembaga independen seperti KBI.
Tahun keempat dan kelima:
1. Melakukan update mengenai pendidikan bioteknologi di pendidikan tingkat
menengah dan mulai membuka program S1 di bidang bioteknologi sebagai
jurusan utama di lebih banyak univeristas, bukan materi tambahan. Untuk
menanggulangi masalah fasilitas, universitas/lembaga pendidikan dapat bekerja
sama dengan luar negeri unutuk mendapatkan peralatan riset “second hand”
ataupun training ilmu/teknik terbaru.
2. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bioteknologi dimulai dari
pelajar tingkat SD hingga SMA melalui festival bioteknologi yang diberdayakan
melalui organisasi kemahasiswaan di bidang bioteknologi misal IBSF.
Memanfaatkan media untuk menginformasikan bioteknologi yang tepat dan
menarik di masyarakat.
3. Mengadakan simposium/kongres nasional tahunan untuk membentuk network
antar peneliti dan industri bioteknologi di Indonesia.

Selain itu secara parallel, pemerintah sepantasnya pengirimkan duta-duta


pelajar/peneliti pada acara-acara internasional yang menyangkut bioteknologi untuk
terus mengikuti perkembangan bioteknologi dan membangun jaringan internasional
yang lebih kokoh.

4. VISI MASA DEPAN

1. mempersiapkan SDM handal di bidang bioteknologi dan bidang-bidang


lainnya yang terkait.
2. mengembangkan pusat-pusat riset bioteknologi yang lengkap dan
bermanfaat, sehingga dapat memfasilitasi ahli-ahli bioteknologi dari
Indonesia untuk bekerja bagi Indonesia
3. Memajukan Indonesia melalui biodiversitas kekayaan alam dengan
pemanfaatan bioteknologi di segala bidang
4. Membangun komunitas bangsa Indonesia yang paham akan bioteknologi
SIMPULAN
Langkah-langkah strategis yang tepat dan terkoordinasi di tingkat nasional
maupun internasional menunjang pengembangan bioteknologi di Indonesia.
Usaha ini akan sangat membuahkan hasil bila masing-masing stakeholders
(pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat) mampu menjalankan
fungsinya dengan baik. Sebagai langkah awal adalah mengaktifkan kembali
konsep program pembangunan yang telah dicanangkan pada tahun 1985
dengan adapatasi saat ini.

REFERENSI
1. Antara, http://www.antara.co.id/arc/2007/5/13/mahasiswa-indonesia-di-australia-
raih-paten-internasional/, akses terakhir: 23 Mei 2007
2. Arief B. Witarto. 2006. Sumbangan Pendapat tentang RUU RPJPN IPTEK,
disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Pansus RUU RPJPN IPTEK, 9
Maret 2006
3. . Harian Kompas, 17 Juni 2005.
4. Arief B. Witarto. 2005. Kloning terapi makin jadi kenyataan. Harian Kompas, 17
Juni 2005.
5. Witarto, Arief Budi. 2005. Bioteknologi, sebuah gelombang ekonomi baru. Harian
Bisnis Indonesia, 14 Juni 2005.

Personal Communication
1. Terry Vrijenhoek, Ketua Genomic Network for Young Scientists (bagian dari
Netherlands Genomic Initiatives untuk peneliti muda Belanda, 31 Mei 2007
2. Arief Budi Witarto, Peneliti Bioteknologi LIPI, 31 Maret 2007
FENOMENA BIOTERORISME DAN ANCAMANNYA TERHADAP
KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Nurul Hidayah
nurul.hidayah@ wur.nl
Warga PPI Wageningen - Belanda

INTISARI

Bioterorisme merupakan suatu ancaman atau kekhawatiran baru di masa


mendatang. Targetnya bisa berupa manusia, hewan ternak, tanaman pertanian dan sistem
lingkungan. Dalam bidang pertanian, bioterorisme ini merupakan ancaman yang dapat
mengganggu ketahanan pangan nasional karena infrastruktur pertanian rentan terhadap
ledakan penyakit yang dihasilkan dari bioterorisme ini.

Bioterorisme merupakan manifestasi dari senjata biologis, yang didefinisikan


sebagai mikroorganisme atau substansi bioaktifnya yang tumbuh atau mempengaruhi
inang target sehingga menyebabkan inangnya menjadi sakit atau mati. Mikroorganisme
ini bisa berupa mikrobia secara alami, strain type liar atau hasil rekayasa genetika.
Ancaman bioterorisme terhadap ketahanan pangan nasional seharusnya menjadi perhatian
semua pihak, baik itu pemerintah, para ilmuwan (khususnya ahli mikrobiologi -
fitopatologi) dan konsumen.

Untuk itu topik-topik tentang keamanan hayati yang perlu dikembangkan


meliputi: kesadaran akan adanya problem ini, keterlibatan diantara para ahli mikrobiologi
- fitopatologi, kerjasama antara pemerintah, sektor komersial, organisasi internasional
dan universitas, serta pendanaan semua aspek penelitian yang mendukung keamanan
hayati, khususnya karakterisasi dan deteksi secara molekuler dan identifikasi patogen.

Kata kunci: bioterorisme, ketahanan pangan.


Live with the slope instability
Many times we have read in the newspaper that one the forces of nature which has turned out to
be the natural disaster is the slope failure. In Indonesia, we have recorded a long list of slope
failure and in many occasion it has cause the lost of property and many lives. One of the
triggering factors of the slope instability is the precipitation and the most up-to date issue is the
climate change that affects the rainfall pattern. And Indonesia is the in the top of the
deforestation issue, and we will have to live with the consequence of our ignorance if we don’t
aware of what is happening in our country.

Keywords: slope failure, rainfall, deforestation

One of the forces of nature that has been a catastrophe in Indonesia is the slope failure. We have
a long list of landslide events that happen in Indonesia every year. The lists of the some of the
landslides events that occurred in Indonesia:
(source:http://gsc.nrcan.gc.ca/landslides/in_the_news_e.php; http://landslides.usgs.gov/recent/archive/)

2007
- Jan. 12: Deadly landslide hits Indonesia in Sangihe island
- Feb. 6: Six dead in landslide in Indonesia's West Java
- Mar. 3: 40 die in Indonesian landslides in Flores
- Apr. 22: Three killed in Indonesian landslide in Sumatra.
- May 1. Five killed in Indonesia landslide in West Sulawesi.

2006 Jan. 4: Indonesian landslide buries village in Central Java.

2005 Sep. 2: Death toll in Indonesia's landslide in West Sumatra climbs to 17.

2004 Mar. 29: Landslides in Indonesia kill four, 32 missing in South Sulawesi.

The term landslide denotes the movement of a mass of rock, debris or earth down slope (Cruden,
1991). There are many types of landslide according to the types of movement and material
(Varnes, 1978) or according to the volume, velocity, etc. of the landslide. Generally, there are
two factors that affect the landslide event:
-conditioning factors (internal factors): e.g. the condition of the slope
-triggering factors (external factors): precipitation and earthquake.

The main issue nowadays:


- landuse (as a conditioning factor) and then the change of the use of the land.
- the climate changing that change the rainfall characteristics.

The fact: Almost all the landslides that happened in Indonesia are triggered by the heavy rainfall.

With the issue of the climate changing and the deforestation, Indonesia is every day become
more susceptible to the slope instability because the climate changing changes the characteristics
of the rainfall and increase the intensity of the rainfall. And the deforestation decrease the shear
strength of the soil since the root of the vegetation adds some value in the soil cohesion.
The simple explanation:
Terzaghi’s theory (1936) of the effective stress of the soil.

- Total stress (s): stress that is acting on the soil which is made up of the weight of soil
vertically above the plane, together with any forces acting on the soil surface (e.g. the
weight of a structure)
- Effective stress (s’= s-u): It is a measure of the stress on the soil skeleton (the collection
of particles in contact with each other), and determines the ability of soil to resist shear
stress.

Pore water pressure (u) : the pressure of the water on that plane in the soil.

(Source: http://environment.uwe.ac.uk/geocal/SoilMech/stresses/stresses.htm)

Later on, the stress is used to calculate the soil strength, the shear strength. It is the maximum
stress that can be applied tangentially on a plane within a soil mass before sliding occurs on that
plane.

s= c’+ s’ tan f’

c’= effective cohesion (interlocking of the soil) (kPa)


s’ = effective stress (kN/m^2)
f’ = effective angle of friction (friction intergranular of the soil) (º)

Since that we cannot control what will happen in the soil, but we do can do something to control
the factor that will cause the landslide, it is recommended that everyone takes his part from now
on.

Unfortunately, soils are made by nature and not by man, and the products of nature are
always complex… As soon as we pass from steel and concrete to earth, the omnipotence of
theory ceases to exist. Natural soil is never uniform. Its properties change from point to point
while our knowledge of its properties are limited to those few spots at which the samples have
been collected. In soil mechanics the accuracy of computed results never exceeds that of a crude
estimate, and the principal function of theory consists in teaching us what and how to observe in
the field.” (Terzaghi)
The ones we can control then are deforestation and the climate change.

Some excerpts to awaken our minds:

Landslides are common in Indonesia because of illegal logging and heavy flooding
during the rainy season. In November, more than 200 people were killed when a flash flood
ravaged the Bukit Lawang resort in North Sumatra.
(http://www.theage.com.au/articles/2004/03/27/1080330986586.html)

The Guinness World Records had approved a proposal by Greenpeace that Indonesia's
forest destruction be included in its 2008 record book …
(http://www.stuff.co.nz/stuff/4047151a7693.html

Indonesia pays for deforestation with landslides, floods, death


(http://www.todayonline.com/articles/93441.asp)

Solution/conclusion:
No solution will be offered through this article. But there is something we can do if we want to.
Even though if we have a great idea or great theory to develop our country, but when the
environment is totally destructed, there aren’t many things we can do. The most important thing
is to save the place where we want to build our future. If we keep thinking of becoming
industrial country without paying attention to the necessity of the environment, we won’t be able
to do what we have been planning.
Government and all of us have to realize that deforestation can be controlled by all of us. And
though we can’t stop the landslide, but we can control it. With the advance of the technology, we
can know the characteristics of the landslide and there are many analyses available to study the
slope stability. But we have to realize that with the advance of science, we still can’t predict very
well the climate and rainfall pattern. So it will be wiser if we take control of the things that we
can do: stop deforestation and respect the nature.
References:
www.usgs.gov
www.livescience.com
www.nationalgeographic.com
Abramson L.W., Lee T.S., Sharma S., & Boyce G.M., 1996, Slope Stability and Stabilization
Methods, John Wiley & Sons, Canada.
Cho S.E. & Lee S.R., Instability of unsaturated soil slopes due to infiltration, 2001, Computers
and Geotechnics 28 (2001) 185-208.
Fredlund D.G & Rahardjo H. , 1993, Soil Mechanics for Unsaturated Soils, John Wiley &Sons,
Inc., Canada.
Krejčí, O.; Baroň, I.; Bíl, M.; Hubatka, F.; Jurová, Z.; & Kirchner, K. (2002). Slope movements
in the Flysch Carpathians of Eastern Czech Republic triggered by extreme rainfalls in 1997:
a case study. Physics and Chemistry of the Earth 27: 1567–1576.
Lim T.T, Rahardjo H., Chang M.F. & Ferdlund D.G., Effect on Rainfall on Matric Suctions in a
Residual Soil Slope, 1996, en Canadian Geotechnical Journal, 33: 618-628.
Rahardjo H. & Fredlund D.G., Mechanics Of Soils With Matric Suction, en Geotropika’92,
International Conference on Geotecnical Engineering and Parallel Short Course on Ground
Improvement and Foundation Engineering. 21-25 abril 1992, Malasia.
Rahardjo H. & Han K. Kwong, Shear Strenght of Saturated Soils As It Applies To Slope
Stability Analysis, en Symposium on Unsaturated Soil Behaviour and Applications, Nairobi,
Kenya, 22-23 agosto 1995.
Rahardjo H., Li X.W., Toll D.G., Leong E.C., The effect of antecedent rainfall on slope stability,
2001, Geotecnical and Geological Engineering 19: 371-399
IMD – SKM 2007

Optimasi Pengelolaan Sumber Energi


Ari Warokka

A. Analisis Situasi:

Sulit untuk diingkari bahwa Indonesia memiliki aneka ragam sumber daya energi dalam
jumlah energi dalam jumlah memadai namun tersebar tidak merata. Permintaan atau
konsumsi energi pun tumbuh pesat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Lebih
dari 60% beban konsumsi berada di Jawa, wilayah yang membutuhkan banyak energi,
namun yang tidak memiliki sumberdayanya sendiri dalam jumlah memadai. Sebaliknya,
banyak sumber energi terdapat di tempat berpenduduk sedikit, seperti Kalimantan dan
Sumatra, yang kegiatan ekonominya belum berkembang serta berjarak cukup jauh dari
Jawa.

Sementara itu, di tengah kekayaan sumberdaya energi yang dimiliki, konsumsi energi
Indonesia masih sangat tergantung pada minyak bumi (Tabel 1). Yaitu jenis sumber
energi mahal bila dibandingkan dengan gas bumi maupun batubara. Sehingga tidaklah
mengherankan bila potensi sumber energi di Indonesia mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
a. cadangan energi primer yang besar dan sangat beragam dan ekspor sumber daya
energinya berperan vital terhadap ekonomi nasional,
b. keterkaitan dengan ekonomi domestik sangat sensitif terhadap fluktuasi harga
energi di pasar dunia, dan
c. permintaan terhadap energi final pun di dalam negeri tumbuh dengan pesat.

1
IMD – SKM 2007

Tabel 1: Komposisi sumber energi di 10 negara terbesar di dunia,


dengan Indonesia sebagai perbandingan
(juta ton setara minyak)

Ranking Negara Minyak Gas Batubara Energi Hydro Total %


Bumi Alam Nuklir Electric
1 Amerika Serikat 937.6 582.0 564.3 187.9 59.8 2331.6 22.80%
2 China 308.6 35.1 956.9 11.3 74.2 1386.2 13.60%
3 Federal Rusia 128.5 361.8 105.9 32.4 40.0 668.6 6.50%
4 Jepang 241.5 64.9 120.8 64.8 22.6 514.6 5%
5 India 119.3 28.9 204.8 3.8 19.0 375.8 3.70%
6 Jerman 123.6 77.3 85.7 37.8 6.1 330.4 3.20%
7 Kanada 99.6 80.5 30.5 20.5 76.4 307.5 3%
8 Perancis 94.0 40.2 12.5 101.4 14.8 262.9 2.60%
9 Inggris 80.8 88.2 38.1 18.1 1.7 226.9 2.20%
10 Korea Selatan 104.8 28.4 53.1 29.6 1.3 217.2 2.10%
20 Indonesia 54.7 30.3 22.2 - 2.5 109.6 1.10%
Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2005

Oleh karena itu dibutuhkan komposisi pemanfaatan energi yang ideal bagi Indonesia
untuk mengoptimumkan sumber-sumber daya energi yang dimilikinya dan
memadukannya dengan aneka ragam kebutuhan energi yang terdapat dalam tempat-
tempat yang berbeda.

Energy mix (bauran sumber energi) merupakan suatu konsep/strategi yang dapat
dipergunakan sebagai alat (tools) untuk mencapai pembangunan energi dan ekonomi
yang berkelanjutan. Kebijakan bauran energi (energy mix) menekankan bahwa
pemanfaatan energi perlu mengoptimumkan sumber energi yang ada. Indonesia tidak
boleh tergantung pada sumber energi tak terbarukan berbasis fosil (minyak, batubara, dan
gas), namun harus juga mengembangkan penggunaan energi terbarukan seperti air, panas
bumi, tenaga surya, dan seterusnya. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu
dikembangkan dengan memperjelas strategi, sasaran penggunaan, jumlah pemanfaatan,
dan pengelolaan energi nasional, dengan mempertimbangkan potensi energi, permintaan
energi, infrastruktur energi serta faktor lainnya seperti harga energi, teknologi, pajak,
investasi, dan sebagainya.

2
IMD – SKM 2007

Gambar 1: Bauran Energi (Energy Mix) Indonesia, 2003

Sumber: Data DESDM, 2003

Beberapa data berikut ini sekiranya dapat menjadi pertimbangan penting dalam
menganalisis strategi pengelolaan sumber energi yang dimiliki Indonesia:
1. Cadangan minyak bumi terbukti saat ini diperkirakan sebesar 9 milyar barel,
dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barrel per tahun, maka cadangan
tersebut dapat habis dalam waktu sekitar 18 tahun.
2. Cadangan yang diperkirakan untuk gas 170 TSCF (trilion standart cubic feed)
sedangkan kapasitas produksi mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed)
yang dibagi untuk ekspor 4,88 BSCF dan untuk domestik 3,47 BSCF.
3. Cadangan batubara di Indonesia diperkirakan ada 57 miliar ton dan merupakan
cadangan yang sudah dieksplorasi sebesar 19,3 miliar ton, dengan kapasitas
produksi sebesar 131,72 juta ton per tahun. Sehingga jika tidak ada penambahan
eksplorasi, cadangan batubara tersebut akan dapat bertahan selama 147 tahun
(Lemhanas 2006).
Bila dilihat dari segi cadangan, Indonesia masih mempunyai persediaan cukup besar,
tetapi permasalahan utama yang kerap kali terjadi di Indonesia adalah kebijaksanaan
yang belum dapat memberikan ketahanan energi secara nasional, yaitu:
1. Masih banyak yang belum mendapatkan pasokan energi seperti listrik,
2. Produksi minyak yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga
perlu impor,

3
IMD – SKM 2007

3. Harga minyak yang disubsidi memberatkan keuangan pemerintah, dan jika


dilakukan penyesuaian dengan harga internasional terjadi gejolak dimasyarakat
karena daya beli yang masih rendah dll.

Saat ini ketersediaan listrik di Indonesia baru mencapai 21,6 GW atau 108 watt per orang,
hal itu hampir sama dengan di India, yang hanya seperenamnya Malaysia (609
watt/orang) dan jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1.874
watt/orang. Padahal potensi sumber energi non fosil bagi ketersediaan energi listrik di
Indonesia sangat besar, yaitu:

Sumber Daya
Panas Bumi 27 GW
Tenaga Air 75 GW
Biomassa 49 GW
Tenaga Matahari (Surya) 48 KWH/m2/hari
Tenaga Angin 9 GW
Uranium 32 GW
Total 230 GW
Sumber: Data ESDM (2003)

Dan baru dimanfaatkan untuk listrik sebesar 10%. Ketersediaan energi yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,467 toe/kapita,
dibanding dengan Jepang yang mencapai 4,14 toe/kapita, tetapi dilain pihak terjadi
pemborosan yang sangat besar, yaitu 470 toe/juta US dolar, sedangkan Jepang hanya 92,3
toe/juta US dólar (Lemhanas, 2006).

Untuk mengatasi permasalahan di bidang energi, telah dibuat berbagai kebijaksanaan


seperti Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) sejak tahun 1981 dan telah dilakukan
perbaikan pada tahun 1987, 1991 dan 1998. Kemudian Kebijakan Energi Nasional (KEN)
dibuat pada tahun 2003. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi
Energi (Energi Hijau) yang dikeluarkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
22 Desember 2003. Seperti tampak berikut ini:

4
IMD – SKM 2007

Gambar 2: Perkembangan Kebijakan Energi

Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025

Kebijaksanaan yang ada tersebut belum dapat menjawab permasalahan secara


menyeluruh, sehingga untuk operasional kebijaksanaan tersebut kemudian dibuat
Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 yang mencanangkan pemakaian
energy mix untuk minyak menjadi 26,2%, gas bumi 30,6%, batubara 32,7%, PLTA 2,4%,
panas bumi 3,8% dan yang lainnya sebesar 4,4% merupakan energi: biofuel, tenaga
surya, tenaga angin, fuelcell, biomasa, tenaga nuklir dll.

5
IMD – SKM 2007

Gambar 2: Sasaran Energy Mix 2025

Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025

B. Analisis Trend (Global):

Pemakaian energi dunia untuk waktu mendatang seperti diperkirakan Energy Information
Administration (EIA) hingga tahun 2025 masih didominasi oleh bahan bakar dari fosil:
minyak, gas alam dan batubara, sementara untuk energi terbarukan masih relatif sedikit.
Dilihat dari segi pemakaian, sumber energi minyak secara global didominasi untuk
transportasi, dan ini sampai 2025 diperkirakan masih terus berlanjut meningkat,
sedangkan untuk daerah komersial dan tempat tinggal dapat dikatakan tidak banyak
perubahan.

Kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275 milyar watt pada
tahun 2002 melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun 2025, dan untuk mendapatkan
energi listrik tersebut sebagian besar adalah dari batubara, yaitu hampir 40%, diikuti
dengan gas yang semakin meningkat.

Sementara di Asia diproyeksikan kebutuhan energi akan meningkat dari 110 quadrilliun
Btu (Qbtu) pada tahun 2002 menjadi 221 QBtu di tahun 2025 atau meningkat dua kali
lipat dalam jangka waktu 23 tahun. Dari peningkatan yang demikian tinggi tersebut,

6
IMD – SKM 2007

China merupakan negara yang peningkatannya sangat tinggi yaitu dari 43 Qbtu pada
tahun 2002 menjadi 109 Qbtu di tahun 2025 (EIA Outlook, 2005).

Dan bila kembali mengamati Tabel 1, sepuluh negara konsumen energi terbesar yang
masih didominasi oleh negara-negara industri maju yang tergabung dalam G8, seperti
juga kecenderungan yang terjadi di dunia, hampir semuanya menjadikan minyak,
batubara dan gas alam sebagai penopang utama kebutuhan energinya, meskipun dengan
komposisi yang berbeda-beda. Dari sepuluh negara konsumen energi terbesar tersebut,
yang jumlah kesemuanya menempati proporsi 64,76% dari total energi dunia, sebagian
besarnya tetap menjadikan minyak sebagai pasokan utama energinya.

Kelima negara yang menjadikan minyak sebagai sumber utama pemenuhan energinya
yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada dan Korea Selatan. Federasi Rusia dan
Inggris menjadikan gas alam sebagai pemasok terbesar kebutuhan energi dalam
negerinya, sementara Cina dan India menggunakan batu bara sebagia penopang utama
pemenuhan kebutuhan energinya.

B. 1. Strategi Pengelolaan Energi yang Ditempuh Negara-negara Maju

Tiga negara maju, yaitu Amerika Serikat bersama dengan Jepang dan Korea Selatan
tergolong negara-negara yang masih sangat tergantung pada minyak mengingat konsumsi
yang sangat tinggi yaitu lebih dari 40% kebutuhan energinya dipasok oleh minyak.
Amerika Serikat di lain sisi sudah mengembangkan berbagai sumber energi lainnya baik
dari gas alam dan batu bara maupun energi nuklir. Bahkan konsumsi energi nuklir
Amerika Serikat merupakan yang terbesar di dunia pada tahun 2004 yaitu setara dengan
187,9 juta ton minyak. Namun demikian, besarnya kebutuhan energi karena industri dan
jumlah penduduk yang besar, membuat Amerika Serikat masih menggunakan minyak
sebagai sumber utama kebutuhan energinya.

Jika kita mencermati pertumbuhan energi-energi non fosil di Amerika Serikat, tampak
negara ini masih tetap akan mengandalkan sumber sumber energi dari fosil sebagai

7
IMD – SKM 2007

pemasok utama kebutuhan energinya. Hal ini dapat dilihat dari tidak terlalu tingginya
tingkat pertumbuhan energi non fosil tahun 2004 seperti nuklir yang hanya tumbuh 3,2%,
jauh lebih lambat dibandingkan dengan Jepang yang tumbuh 24,3%, Kanada sebesar
21,3% atau Cina 14,1% (BP Statistic, 2005).

Sementara Cina dengan pertumbuhan industri baru yang sangat pesat mampu
mengembangkan batu bara sebagai sumber energi alternatif dengan tujuan
ketergantungan pada minyak tidak terlalu besar. Disamping itu dengan harga batubara
yang lebih murah mampu membuat industri Cina dapat bersaing. Meskipun cadangan
batu bara Cina tidak sebesar Amerika Serikat (cadangan Amerika mencapai 27,1% dari
seluruh cadangan batu bara di dunia sedangkan Cina memiliki 12,6%), murahnya harga
energi batu bara membuat Cina begitu gencar mengintensifkan penggunaan batu bara
untuk kebutuhan energinya (EIA Outlook, 2005).

Pendekatan yang menarik dari kebijakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
negerinya juga bisa dilihat pada kasus Rusia atau Prancis. Dengan cadangan gas alam
terbesar di dunia (Rusia menguasai 26,7% cadangan gas alam di dunia) Rusia menjadikan
gas alam sebagai sumber utama pemenuhan energi dalam negerinya yang mencapai
setara 361,8 juta ton minyak atau 54,1% dari total energi yang dikonsumsi negara
tersebut. Produksi gas alam yang melimpah yang dilakukan oleh Rusia yang mencapai
setara 530,2 juta ton minyak (setara dengan 21,9% dari total produksi gas alam di seluruh
dunia yang merupakan produksi gas alam terbesar di dunia), membuat negara ini cukup
stabil dalam pemenuhan kebutuhan energinya.

Sementara itu Prancis memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya.
Berbeda dengan Amerika, Cina atau Rusia yang cukup memiliki kekuatan menguasai
sumber sumber energi fosil seperti minyak, batu bara ataupun gas alam, Prancis memiliki
keterbatasan terhadap sumber sumber energi fosil tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan
energinya yang besar, selain mengembangkan perusahaan-perusahaan minyaknya
menjadi perusahaan berskala besar untuk menjamin suplai minyak dalam negerinya,
Prancis secara serius menggarap sumber energi nuklirnya hingga mampu memproduksi

8
IMD – SKM 2007

setara 101,4 juta ton minyak (jumlah ini merupakan 16,2% dari total energi nuklir di
dunia yang merupakan kedua terbesar setelah Amerika). Di Perancis nuklir menjadi
sumber energi utama dibandingkan dengan minyak, gas ataupun batubara.

Cara yang sama ditempuh oleh Kanada dengan memperbesar konsumsi gas alam dan
sumber energi airnya sehingga jumlah keduanya mencapai 51%, jauh diatas konsumsi
minyaknya yaitu 32,4% (Kanada merupakan negara yang memproduksi energi hydro
terbesar di dunia yang mencapai 12% dari seluruh energi hydro di seluruh dunia).

Bila kita amati kebijakan energi pada negara-negara konsumen energi terbesar tersebut,
terlihat bahwa setiap negara akan mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk
diproduksinya sendiri seperti yang dengan jelas terlihat pada kasus Cina, Rusia, dan
Perancis.

Industri energi yang besar dari negara-negara tersebut dan kedekatan dengan negara-
negara produsen energi, seperti halnya industri industri minyak dunia yang dimiliki
negara-negara konsumen terbesar energi, juga perlu dikelola dengan baik untuk
menjamin ketersediaan pasokannya, seperti yang dilakukan oleh Amerika melalui
pendekatan politik dan militer pada negara-negara timur tengah. Selain itu membuat
perbandingan yang relatif berimbang terhadap sumber sumber energi yang ada membuat
ketergantungan sebuah negara terhadap satu sumber energi bisa berkurang.

Strategi Transformasi:

Pada kasus di Indonesia, sebenarnya produksi yang ada dari tiap-tiap sumber utama
energi yaitu minyak, gas alam, dan batubara, telah melebihi dari konsumsi dalam
negerinya. Produksi minyak Indonesia yang sebenarnya melebihi konsumsi dalam negeri
(produksi sepanjang 2004 berjumlah 55,1 juta ton lebih tinggi dibandingkan konsumsi
yang 54,7 juta ton) terpaksa sebagiannya harus lari ke pihak perusahaan pengelola yang
nota bene dimiliki oleh perusahaan asing (kontraktor Bagi Hasil/ KBH).

9
IMD – SKM 2007

Tabel 2: Potensi Energi Nasional 2004

* Hanya di daerah Kalan - Kalbar


Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025

Data yang sedikit berbeda yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM dalam Blueprint
Pengelolaan Energi Nasional menunjukkan bahwa dengan kondisi produksi minyak saat
ini dan perjanjian bagi hasil yang sedang berlaku, Indonesia harus mengimpor minyak
mentah sebesar 487 ribu barel per hari dan produk olahan minyak sebesar 212 ribu barel
per hari (total 699 ribu barel per hari), melebihi besar ekspor minyak mentahnya sebesar
514 ribu barel perhari.

Kondisi besarnya impor minyak inilah yang membuat kenaikan harga minyak mentah
dunia yang sempat menyentuh level 70 US$ per barel menjadi sangat memberatkan
APBN di tahun 2005 lalu. Melihat ketergantungan yang sangat tinggi dari minyak, sudah
saatnya Indonesia mengikuti pola kebijakan energi seperti yang dilakukan oleh Cina,
Rusia ataupun Perancis yang sumber utama energi didapat dari sumber yang pasokannya
stabil baik ketersediaan di dalam negeri maupun harganya.

10
IMD – SKM 2007

Optimalisasi penggunaan batubara dan gas alam dalam waktu yang tidak terlalu lama
sebagai bagian dari kebijakan energy mix sesungguhnya segera bisa direalisasikan untuk
membuat ketahanan energi di Indonesia bisa lebih stabil. Untuk jangka panjang,
memfokuskan sumber energi non-fosil untuk dikembangkan secara besar-besaran
agaknya perlu dimulai sejak saat ini sebagaimana Jepang yang sangat serius
mengembangkan nuklir dan sel suryanya, atau Kanada yang mengembangkan energi
hidro secara besar-besaran.

Merujuk pada strategi dan program yang disusun dalam Blueprint Pengelolaan Energi
Nasional 2005 – 2025 (baik program utama dan pendukung), maka beberapa hal perlu
dilakukan untuk mengoptimalkan pengelolaan energi nasional:
1. Segera dibuatnya undang undang energi sebagai payung utama dalam hal
energi, kemudian penyesuaian undang-undang yang terkait dengan undang-
undang energi, seperti undang-undang ketenaga nukliran, kelistrikan, panas bumi,
migas dll. Undang-undang tersebut perlu diikuti dengan instrumen-instrumen
untuk memudahkan pelaksanaan baik dipusat maupun di daerah. Juga perlu
ditetapkan program yang jelas, seperti yang tertera dalam blueprint energi yang
perlu dilakukan sinkronisasi dengan kebijaksanaan perumahan, transportasi,
industri maupun daerah komersial. Hasil blueprint tersebut perlu diformalkan
untuk menjadi acuan nasional, sehingga semua kebutuhan yang berkaitan dengan
energi harus disesuaikan dengan blueprint tersebut
2. Perlu adanya perbaikan kebijaksanaan dalam harga, selain untuk menekan
subsidi juga untuk menekan terjadinya penyelundupan BBM keluar negeri,
pencampuran berbagai jenis minyak dll. Dalam hal ini koordinasi secara nasional
diperlukan, terutama dengan penegak hukum baik Polisi maupun TNI serta
perangkat hukum lainnya. Kebijaksanaan didaerah yang saat ini kebanyakan
menunggu kebijaksanaan dari pusat, dengan adanya undang-undang energi dan
programnya yang jelas dapat menentukan arah pembangunan energi yang ada
didaerahnya sesuai dengan potensi yang ada.

11
IMD – SKM 2007

3. Pengembangan instrumen kebijaksanaan dibidang fiskal yang berkaitan dengan


energi, seperti diperlukan adanya berbagai insentif secara adil dan konsisten.
Insentif yang diperlukan, diantaranya adalah:
a. pemberian insentif pajak berupa penangguhan, keringanan dan
pembebasan pajak pertambahan nilai, serta pembebasan pajak bea masuk
kepada perusahaan yang bergerak dibidang energi terbarukan dan
konservasi energi;
b. penghargaan kepada pelaku usaha yang berprestasi dalam menerapkan
prinsip konservasi energi dan pemanfaatan energi terbarukan;
c. penghapusan pajak barang mewah terhadap peralatan energi terbarukan
dan konservasi energi;
d. memberikan dana pinjaman bebas bunga untuk bagian rekayasa teknik
pada investasi pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi.
4. Penelitian dan pengembangan di bidang energi alternatif dan konservasi energi
perlu diarahkan untuk meningkatkan kemampuan nasional di bidang
penguasaan Iptek. Khususnya dalam rangka pengembangan industri yang
berkaitan dengan jasa dan teknologi energi terbarukan dan konservasi energi yang
dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga atau industri penelitian dan
pengembangan unggulan. Selain programnya juga perlu dianggarkan dengan baik
beaya untuk penelitian dan pengembangan yang diambil dari pengurangan
subsidi, maupun anggaran khusus yang dapat mengurangi kerugian social
ekonomi karena permasalahan pemborosan pemakaian energi. Anggaran
pemerintah untuk energi alternatif di usulkan 2,5% dari angaran subsidi, baik
subsidi untuk minyak maupun subsidi untuk listrik dan dari tahun ketahun
diberikan prioritas kenaikan untuk mempercepat penyelesaian permasalahan
energi.
5. Instrumen kebijaksanaan pendidikan perlu ditujukan untuk membuka inisiatif
masyarakat dalam mengimplementasikan energi alternatif dan konservasi
energi. Selain itu diperlukan regulasi keteknikan untuk menjamin penyediaan dan
pemanfaatan energi alternatif dan konservasi energi yang berkualitas tinggi,
aman, andal, akrab lingkungan.

12
IMD – SKM 2007

6. Juga pemberlakukan standar untuk memberikan jaminan akan kualitas produk,


baik produk energi maupun produk peralatan/sistem energi yang diproduksi di
dalam negeri ataupun di luar negeri, yang berhubungan dengan energi terbarukan
dan konservasi energi.
7. Jika di Malaysia ada SCORE (Special Committee on Renewable Energy) dan
Thailand membentuk EPPO (Energy Policy and Planning Office), di Indonesia
selain organisasi di Departemen ESDM, telah dibentuk BP Migas. Untuk
mengelola khusus energi terbarukan dan konservasi energi, sebaiknya dibentuk
badan energi terbarukan dan konservasi energi diluar departemen yang ada.

Referensi:
• EIA, World Energy Outlook, 2005
• Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025, ESDM, 2003
• Kristojo, Hari dan Hanan Nugroho, Menuju Pemanfaatan Energi yang Optimum di
Indonesia: Pengembangan Model Ekonomi-Energi dan Identifikasi Kebutuhan
Infrastruktur Energi, Bappenas, 2003.
• Sugiyono, Agus, Perubahan Paradigman Kebijakan Energi Menuju Pembangunan
yang Berkelanjutan, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pascasarjana FE UI
dan ISEI, 2004.

13
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM:
TANTANGAN BAGI TANGGUNG JAWAB KORPORASI INDONESIA

Michael C. Putrawenas
PPI Rotterdam / PPI Belanda

Kata kunci:
Corporate social responsibility, sumber daya, sumber daya alam, tanggung jawab sosial, tanggung
jawab korporasi.

Hampir tidak akan ada yang menyangkal bahwa kepulauan Nusantara memiliki
sumber daya alam yang berlimpah ruah. Sumber daya mineral, keragaman hayati,
kekayaan hasil bumi dan laut tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jika kekayaan
alam dan jumlah penduduk yang besar ini diasumsikan sebagai input dari suatu proses
ekonomi dan sosial, maka output yang bisa diharapkan sebenarnya cukup besar pula.
Namun, setelah sekian abad kepulauan Nusantara yang kini bernama Indonesia
dikelola oleh berbagai pemerintahan, penduduk yang hidup didalamnya masih jauh
dari menikmati potensi yang dimilikinya. Tingkat kemakmuran ekonomi Indonesia
masih relatif tertinggal dengan negara tetangganya dan indikator kemajuan sosial
tergolong sangat rendah di dunia.

Ketidakseimbangan input dan output ini menunjukkan bahwa proses pengelolaan


input di negara dengan 220 juta jiwa ini bermasalah serius. Proses pengolahan atau
manajemen sumber daya kini perlu dilihat dengan lebih menyeluruh dan disadari
bahwa tiga aktor utama bisa dan perlu berperan (lebih) aktif. Tanggung jawab
manajemen sumber daya tidak bisa hanya dibebankan kepada aktor pemerintah, tetapi
masyarakat sipil dan swasta memiliki tanggung jawab yang setara –namun tidak
sama- untuk mengelola Indonesia.

Makalah ini akan mencoba membahas peran yang bisa dimainkan aktor swasta dalam
mengelola sumber daya nasional dan lokal sebagai wujud tanggung jawab (ekonomi,
sosial, dan lingkungan) perusahaan. Makalah ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi
dan bukan penelitian ilmiah dengan kaidah akademis yang baku. Berbagai penelitian
lanjutan dan pengayaan data masih sangat diperlukan.
1. ANALISA MASALAH

Tiga masalah utama yang dapat dikuantifikasikan dalam makalah ini bermula dari
taraf hidup rakyat yang masih rendah dari berbagai ukuran, pengelolaan sumber daya
alam yang jauh dari efisien, dan rendahnya kesadaran tanggung jawab sosial
perusahaan di Indonesia sebagai salah satu aktor utama pengelolaan sumber daya.

1.1. Taraf hidup yang masih rendah

Gambar 1
Produk Domestik Bruto per kapita
(Purchasing Power Parity) Human Development
Index
35,000

1
30,000
0.9

25,000
0.8
0.7
20,000
0.6
0.5
15,000
0.4
10,000 0.3
0.2
5,000
0.1
0 0
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005

1980 1985 1990 1995 2000 2004

RRC Indonesia Jepang Korea Selatan Malaysia Thailand


RRC Indonesia Jepang Korea Selatan Malaysia Thailand

Sumber: World Bank, 2007; UNDP, 2006.

Indikator kemakmuran ekonomi suatu negara yang paling lazim digunakan adalah
Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) per kapita (PDB per kapita). Data
yang ditampilkan Gambar 1 adalah PDB per kapita yang sudah dikoreksi dengan
perbedaan tingkat harga di setiap negara (purchasing power parity). Perbandingan
dengan Republik Rakyat Cina (RRC), Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand
dimaksudkan untuk melihat perbandingan antara Indonesia dengan negara-negara
maju di Asia (Jepang dan Korea Selatan) serta negara berkembang (RRC) khususnya
negara tetangga yang memilki kemiripan karakteristik (Malaysia dan Thailand).

Untuk lebih mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh dari tingkat taraf hidup
suatu negara, ukuran ekonomi saja tidaklah cukup. Tingkat kesehatan, kualitas hidup,
dan pendidikan adalah komponen-komponen penting yang terukur secara komposit
dalam human development index (HDI). Diukur dari PDB per kapita dan HDI,
performa Indonesia sebagai sebuah negara masih jauh dari potensi yang dimilikinya.
Bahkan HDI Indonesia menempati urutan 108 dari 177 negara.
1.2. Defisit Ekologis

Peri kehidupan masyarakat Indonesia selama ini banyak disokong oleh sumber daya
alam. Tetapi, secara ekologis, Indonesia mengalami defisit ekologis1. Defisit ekologis
berarti dengan pola pengelolaan saat ini, sumber daya alam yang tersedia bagi rakyat
Indonesia tidak mencukupi. Indonesia mengalami defisit ekologis sebesar 0.1 hektar
per kapita sementara Malaysia dengan performa ekonomi yang jauh lebih baik dari
Indonesia justru memiliki surplus ekologis sebesar 1.5 hektar per kapita (WWF,
2006). Disparitas anggaran ekologis dua negara ini mengilustrasikan bahwa jumlah
sumber daya alam yang dimiliki suatu negara hanya akan dapat berkontribusi
terhadap kemajuan ekonomi dan sosial jika pengelolaannya dapat berjalan baik.

1.3. Rendahnya kesadaran tanggung jawab korporasi

Manajemen sumber daya alam bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Pemerintah
memang berkewajiban meletakkan dasar kebijakan yang mengarah kepada
kesinambungan pengelolaan sumber daya alam (e.g. melalui produk hukum,
insentif/dis-insentif, penegakan hukum, penyediaan infrastruktur).

Masyarakat sipil sebagai aktor penting lainnya bertugas memberdayakan masyarakat


baik pada tingkat nasional maupun lebih penting lagi pada tingkat lokal untuk
mengapresiasi sumber daya alam di sekitar mereka. Dengan apresisasi yang kuat,
fungsi kontrol masyarakat terhadap pengggunaan sumber daya alam akan semakin
efektif dan ketat. Kesadaran dan kemauan masyarakat yang berada langsung di dekat
sumber daya alam akan jauh lebih berarti bagi perlindungan alam daripada kesadaran
sekelompok sipil yang berada di Jakarta saja.

Sumber daya alam tidak akan dapat berkontribusi banyak bagi perikehidupan
masyarakat maupun Negara jika tidak diolah untuk menciptakan nilai ekonomi.
Penciptaan atau lebih tepatnya penambahan nilai ekonomi sumber daya alam sebagian
besar merupakan tugas aktor produksi dan pelaku pasar yang lazim berbentuk
perusahaan. Aktor swasta dapat berupa usaha keluarga, perusahaan lokal, perusahaan
nasional, maupun perusahaan multinasional. “Pembagian tugas” seperti ini
menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan,
khususnya dalam mengelola sumber daya alam lokal dan nasional. Masalahnya
adalah, persepsi akan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia
masih rendah, lagi-lagi dibawah Malaysia, Korea Selatan, RRC dan Thailand (World
Economic Forum, 2004: 608).

1
Defisit / surplus ekologis menggunakan satuan hektar per kapita yang
mencerminkan konsumsi sumber daya alam dan limbah dari penduduknya dengan
juga memperhitungkan pengaruh dari ekspor/impor.
2. ANALISA POTENSI

2.1. Sumber daya alam yang tinggi

Kapasitas ekologi2 Indonesia masih berada jauh dibawah Malaysia. Indeks kapasitas
ekologi Indonesia adalah 1 hektar per kapita sementara Malaysia 3.7 hektar per kapita
(WWF, 2006). Padahal luas wilayah Indonesia adalah 1,9 juta kilometer persegi
sedangkan Malaysia hanya 332 ribu kilometer persegi. Fakta ini sekali lagi
menekankan bahwa pola pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sangat belum
produktif. Tetapi di sisi lain menunjukkan betapa besarnya potensi yang dapat dicapai
dengan pola manajemen yang lebih baik.

Meskipun perbandingan luas wilayah dengan populasi antara Indonesia dan Malaysia
tidak sebanding, kekayaan bumi yang dikandung kepulauan Nusantara menambah
potensi alam Indonesia.

Selain kekayaan mineral, kesuburan tanah Indonesia memberikan potensi sebagai


lumbung pangan dunia. Pertumbuhan populasi dunia yang sangat pesat dan akan terus
bertambah membutuhkan pasokan pangan. Pangan adalah sumber daya paling utama
untuk kelangsungan hidup manusia dan juga adalah sumber daya terbarukan!
(Masukan angka-angka statistik yang dapat mengkuantifikasikan kekayaan alam
Indonesia akan sangat berguna di sub-bagian ini).

2.2. Potensi Bahari yang Klasik dan Krusial

Meskipun mungkin terkesan klasik, tetapi kekayaan bahari Nusantara adalah


kekayaan alam yang masih jauh dari optimal pengelolaannya. Populasi Indonesia
belum sanggup menyediakan “pengelola” bahari dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai. Nelayan-nelayan asing bahkan dipersilakan dengan pintu terbuka untuk
beroperasi di lautan Indonesia daripada tidak ada yang beroperasi disana –yang berarti
tidak ada yang mengolah sumber daya alam menjadi sumber daya ekonomi. Padahal,
tingkat pengangguran yang tinggi (9%) mengindikasikan banyaknya populasi yang
membutuhkan pekerjaan dan sisi lain sumber daya bahari yang butuh pekerja untuk
mengolahnya.

Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, sudah sangat layak sebenarnya
jika muncul perusahaan-perusahaan pengelola kelautan tingkat dunia dari Indonesia
seperti perusahaan perikanan, pengelolaan batu karang juga para pakar marine
biologist.

2
Kapasitas ekologi meghitung produktivitas pengelolaan alam dari area yang terdapat
dalam suatu negara.
2.3. Merebaknya sekolah dan sarjana manajemen dalam dan luar negeri

Dalam satu dekade terakhir ini sekolah-sekolah tinggi setingkat universitas yang
menawarkan program manajemen muncul secara sporadis terutama di kota-kota
besar. Program-program manajemen diminati baik oleh generasi muda yang baru
lulus sekolah lanjutan maupun para profesional dan pakar yang kembali ke kampus
menempuh program magister. Pelajar dan profesional Indonesia yang berkesempatan
menempuh pendidikan di luar negeri pun juga banyak yang memilih untuk mendalami
mata kuliah bisnis dan manajemen internasional.

Gejala ini menunjukkan bahwa minat untuk mendalami (demand) dan minat untuk
berinvestasi (supply) dalam pendidikan manajemen tumbuh drastis. Keadaan ini perlu
dioptimalkan dengan menjaga standar kualitas pendidikan manajemen dan
pengembangan kurikulum manajemen yang khas Indonesia.

3. ANALISA TREND

3.1. “Pertarungan” akses sumber daya alam

Akses terhadap sumber daya alam telah menjadi bahan pemicu konflik antar Negara
dan antar bangsa. Semakin lama ketersediaan sumber daya alam tidak bertambah
tetapi justru semakin langka. Kelangkaan sumber daya alam ini dalam masa kini dan
mendatang perlu dikelola dengan baik untuk menghindari konflik (Klare, 2001).
Negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam dalam wilayah mereka akan
terus mencoba mengamankan akses ke sumber daya alam di Negara lain. Perilaku ini
mengharuskan negara-negara pemilik sumber daya alam untuk menguatkan basis
mereka dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya tersebut. Strategi
pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam yang mantap perlu melibatkan
secara aktif pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta. Ini bukan berarti menutup pintu
bagi pengelola asing, tetapi mendahulukan pengelolaan lokal yang kompeten dan
berkesinambungan.

3.2. Trend tentang “sustainability”

Badan-badan dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Trade Organization,


dan lainnya semakin menekankan pentingnya pembangunan yang berkesinambungan
(sustainable development). Dunia korporasi internasional juga memunculkan berbagai
standar, kode etik, dan kesepakatan seputar praktek manajemen dan niaga yang tidak
merusak alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Standar mutu pengelolaan alam yang berkembang terlihat akan semakin menjadi baku
dan sangat mungkin (bahkan sudah mulai dilakukan) untuk dijadikan prasyarat suatu
perusahaan atau negara melakukan perdagangan internasional. Negara atau korporasi
yang tidak memenuhi standar tersebut bisa dikenakan sanksi atau ditolak untuk
berpartisipasi dalam pasar komoditas.
3.3. Otonomi Daerah

Perluasan kekuasaan di tingkat daerah di Indonesia juga berarti perluasan tanggung


jawab pengelolaan sumber daya alam di tingkat daerah. Dalam konteks tersebut,
pengelolaan sumber daya alam seharusnya menjadi semakin efektif akibat jarak
otoritas dengan lokasi sumber daya itu sendiri. Dampak dari manajemen ataupun mis-
manajemen dari sumber daya alam itu pun akan lebih dirasakan pada tingkat lokal.

4. STRATEGI TRANSFORMASI

4.1. Penumbuhan trend pengelolaan alam yang berkesinambungan

Kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan lokal


maupun nasional yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
tampaknya masih kurang dibanding perusahaan manufaktur, perbankan,
telekomunikasi, dan seterusnya. Memang merek-merek konsumen yang setiap hari
kasat mata akan jauh lebih dikenal daripada nama perusahaan penangkap ikan atau
agrobisnis. Tetapi persepsi publik yang baik juga sangat berpengaruh terhadap
perekrutan tenaga-tenaga kerja terbaik dan investor.

4.2. Pemberdayaan perusahaaan lokal untuk mengelola SDA

Sebenarnya sejauh ini sumber daya lokal sudah banyak dilibatkan dalam pengelolaan
sumber daya alam. Tetapi peran mereka masih sangat terbatas dalam bentuk
perusahaan kecil, buruh tani, nelayan tradisional, dan seterusnya. Keterlibatan sumber
daya lokal ini perlu diberdayakan antara lain dengan kemudahan akses (mikro)kredit,
insentif fiskal, capacity building, dan jaminan hukum berusaha. Dengan demikian
tidak hanya pengelolaan alam yang optimal tercapai, tetapi juga penguatan ekonomi
lokal.

4.3. Penyesuaian kurikulum dan pemahaman manajemen

Optimalisasi menjamurnya sekolah manajemen di Indonesia bisa dilakukan antara


lain dengan penekanan dan pengembangan mata kuliah atau kurikulum corporate
social responsibility (CSR) dan “Mengelola Alam Indonesia”.

Dalam pembahasan CSR ditekankan pentingnya perilaku bertanggung jawab secara


ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi perusahaan sebagai bagian dari strategi bisnis –
dan bukan sekedar filantropi perusahaan. Sementara pembahasan “Mengelola Alam
Indonesia” menelusuri potensi alam Indonesia yang sedang dan dapat diolah menjadi
sumber daya ekonomi secara berkesinambungan.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR)
hendaknya tidak dilihat sebagai sebuah tujuan atau tanggung jawab yang lebih atau
kurang penting daripada tanggung jawab ekonomi perusahaan. Sudah seyogyanya
perusahaan sebagai aktor ekonomi memiliki tanggung jawab utama untuk mencetak
keuntungan sesuai koridor yang ada. Keuntungan yang dicetak perusahaan akan
memberikan kontribusi bagi sebuah Negara dan masyarakatnya melalui berbagai cara
dari mulai lapangan kerja, setoran pajak, konsumsi perusahaan, dan seterusnya. CSR
hendaknya dilihat sebagai sebuah cara perusahaan mencetak laba. CSR harus
terintegrasi dalam setiap lini strategi dan operasi perusahaan serta bukan diperlakukan
sebagai sebuah program atau kegiatan amal yang terpisah. Praktek CSR harus
mendukung strategi operasi perusahaan dan tidak menggerogoti neraca.

Jika konsep CSR disinergikan dengan kesempatan bisnis pengelolaan sumber daya
alam Indonesia secara berkesinambungan maka peran aktor swasta dalam penciptaan
kekuatan ekonomi Indonesia yang sehat akan jauh lebih mantap.

5. VISI MASA DEPAN

5.1. Perusahaan-perusahaan Indonesia yang dikenal dunia memiliki core competence


atau kompetensi utama mengelola sumber daya alam secara berkesinambungan.

5.2. 75% sumber daya alam Indonesia dikelola secara bertanggung jawab oleh aktor
lokal dan nasional.

5.3. Masyarakat Indonesia yang sungguh bangga dengan kekayaan alamnya tapi lebih
bangga lagi dengan pengelolaannya yang berkesinambungan dan mengangkat taraf
hidup rakyat.

Referensi

Klare, M. (2001) Resource Wars, Henry Holt Company: New York.

UNDP (2006) Human Development Report 2006, Palgrave Macmillan: New York.

World Bank (2007) World Development Indicator Online, World Bank.

World Economic Forum (2005) The Global Competitiveness Report 2005-2006,


World Ecoomic Forum: Davos.

WWF (2006) Living Planet Report 2006, World Wide Fund for Nature: Gland.
SDA DAN PERKEMBANGAN YANG BERKELANJUTAN
(KONSEP DAN PENERAPAN “DESARROLLO SOSTENIBLE”)

“Ketika pembelajaran mengenai rumah dan administrasi rumah dipadukan, dan ketika
garis-garis etika dapat dikembangkan dari lingkup lingkungan hidup ke nilai-nilai
kemanusiaan, optimisme terhadap masa depan kemanusiaan akan sangatlah mungkin.
Konsekuensinya, pembelajaran masa depan yang holistik akan tercapai dengan
mempertimbangkan perpaduan tiga faktor penting: Ekologi, Ekonomi dan Etika”1.

“Selalu ada hal yang kita lakukan karena kita mencintainya, dan ada lain hal yang kita
lakukan untuk meraih tujuan lain. Salah satu tugas terpenting masyarakar adalah
membedakan antara tujuan-tujuan dan mempertimbangkan segala sesuatu untuk
mencapai tujuan tersebut. Pertanyaannya adalah: Apakah bumi itu sekedar sarana
produksi atau mempunyai arah dalam dirinya sendiri? Ketika saya mengatakan “bumi”,
itu mencakup seluruh ciptaan yang ada di dalamnya”2.

1
EUGENE P. ODUM, , Vedrá, Barcelona, 1992, 271.
E c o l o g í a : b a s e s c i e n t í f i c a s p a r a u n n u e v o p a r a d i g m a

2
E.F. SCHUMACHER, , Blume, Barcelona, 1978, 89.
o p e q u e ñ o e s h e r m o s o

1
PENGANTAR

Sebagai sebuah biosfera, jaringan planet bumi dan mahkluk yang ada di
dalamnya, manusia mempunyai peranan dominan, sebagai anggota, tetapi sekaligus
penguasa yang menggerakan perubahan. Sentuhan kemanusiaan hadir dan membuah
hasil di bumi. Alam sekitar adalah perluasaan dari kemanusiaan. Alam merupakan
eksteriorisasi dari dunia batin manusia., adalah cermin dari hidup dan perilaku
manusia3. POPPER4 mengatakan bahwa manusia merupakan sebuah laboratorium dengan
tiga dunia: material (alam sekitar), pengalaman sadar (indera) dan pengetahuan obyektif
(cultura) yang saling berkaitan satu sama lain. Apa yang terjadi di alam mterial,
merupakan pengaruh dan berpengaruh terhadap pengalaman sadar dan pengetahuan
obyektif; dan kombinasinya. Dan berharapan dengan cara hidup dan perilaku manusia
kita masuk dalam tataran etika dan struktur nilai.

Masa sekarang kita berhadapan dengan situasi planet bumi yang penuh luka,
beberapa bisa dipulihkan dan beberapa tidak bisa dipulihkan. Banyak tokoh lingkungan
hidup mengatakan Bumi dan seisinya sedang lelah dan memerlukan istirahat, atau
sedang sakit dan memerlukan obat, bahkan mungkin sedang sekarat dan memerlukan
obat penenang. Seberapa kritis kondisi ini, ada banyak penafsiran. Masa depan
kemanusiaan menentukan dan ditentukan oleh bagaimana kita berperilaku terhadap
alam. Dan mengingat kondisi yang ada, kita boleh berhipotesis bahwa ada sesuatu yang
tidak benar dalam perilaku kita terhadap alam dan ada yang harus diubah dalam
perilaku kita. Kita bertanggungjawab terhadap generasi kita dan generasi mendatang5.

Dalam pemikiran konteks sekarang, ALVIN TOFFLER6 mengatakan bahwa kita


hidup dalam gelombang ketiga, era informasi dan pemikiran. Gelombang ketiga ini
memunculkan tipe hidup sosial yang berbeda: terutama perubahan material dalam
pembaharuan ekonomi dan sosial7. Dan beberapa pemikir lain mengatakan bahwa kita
berada berada dalam era yang dinamakan globalisasi atau lebih tepat dikatakan gerakan
mendunia (mundialisasi)8 yaitu proses interkoneksi keuangan, ekonomi, politik, sosial,

3
Berkaitan dengan tesis ini, dapat dibaca dalam A.KING - B. SCHNEIDER,
a p r i m e r a r e v o l u c i ó n m u n d i a l ,

, Barcelona, 1992.
P l a z a y J a n é s

4
Dikutip dari J.C ECCLES, : Zygon 8 (1973: 3-4) 283.
u l t i v a t e d E v o l u t i o n v s B i o l o g i c a l E v o l u t i o n

5
Banyak tesis etika lingkungan hidup sebagai contoh: J. ETXEBERRÍA, ,
a é t i c a a n t e l a c r i s i s e c o l ó g i c a

Universidad de Duesto, Bilbao, 1995; H. JONAS,


E l p r i n c i p i o d e r e s p o n s a b i l i d a d . E n s a y o p a r a u n a

, Círculo de lectores, Barcelona, 1994. E. PARTIDGE,


c i v i l i z a c i ó n t e c n o l ó g i c a u t u r e G e n e r a t i o n s : A

: http://www.gadfly.igc.org/papers/futgens.htm; G.PONTARA,
o m p a n i o n t o E n v i r o m e n t a l E t h i c s t i c a y

C É

, Ariel, Barcelona, 1996; M. RUBIO, : Studia Moralia 42


g e n e r a c i o n e s f u t u r a s G l o b a l i z a c i ó n y e c o - é t i c a

(Madrid, 2004) 95-116; M. TOMBOLINA, : Moralía 27 (Madrid,


G e n e r a c i o n e s f u t u r a s : u n r e t o p a r a l a é t i c a

2004) 91-120.
6
ALVIN TOFFLER, , Madrid, 1996. Gelombang pertama adalah revolusi pertanian,
a T e r c e r a O l a

gelombang kedua adalah industria dan gelombang ketiga adalah informasi.


7
BELL, 1973 TOURAINE 1969., CASTELLS, 1995.
8
J. ABAD, : Razón y fe 242 (Madrid, 200)
o s m a l e s d e l a g l o b a l i z a c i ó n s e r e m e d i a n c o n m á s g l o b a l i z a c i ó n

105-108. B. AMOROSO, , La meridiana, Molfeta, Italia, 1996. U. BECK,


e l l a G l o b a l i z a c i ó n u é e s a

D ¿ Q

, Paidós Ibérica, Barcelona, 1998 o


g l o b a l i z a c i ó n ? a l a c i a s d e l g l o b a l i s m o , r e s p u e s t a s d e l a g l o b a l i z a c i ó n

, Suhrkamp, Frankfurt,
W
a s I s t G l o b a l i s i e r u n g ? I r r t ü m e r d e s G l o b a l i s m u s - A n t w o r t e n a u f G l o b a l i s i e r u n g

1997. G DE LA DEHESA, , Alianza, Madrid, 2000; A. GIDDENS,


o m p r e n d e r l a g l o b a l i z a c i ó n n m u n d o

C U

2
budaya yang diramu oleh teknik informasi dan komunikasi yang menghubungkan
beberapa pihak dan organisasi. Dan dalam proses globalisasi, pertumbuhan dan
perkembangan disinyalir sudah mengatasi ambang batasnya9.

Dengan latar belakang pemikiran global itulah, paper ini dibuat. Paper ini
mengangkat tema etika lingkungan hidup dan secara khusus akan membahas salah satu
nilai yaitu etika perkembangan yang berkelanjutan (untuk selanjutkan akan disingkat
DS, desarrollo sostenible)10. Untuk itu, paper akan disajikan dalam 3 bagian besar.
Bagian pertama akan memaparkan secara garis besar situasi perkembangan planet bumi
dan perkembangan manusia secara mendunia (mundial – selanjutnya akan digunakan
istilah ini), dan akan dilengkapi dengan informasi mengenai situasi dan kondisi
lingkungan hidup yang ada di Indonesia. Bagian kedua akan membahas usaha-usaha
yang telah dilakukan dan yang sedang dilakukan untuk menggerakkan DS dalam taraf
mundial maupun nasional, dan bagian ketiga disajikan strategi etika DS dalam beberapa
manifestasinya.

Ada beberapa catatan berkaitan dengan paper ini.


1. Paper ini bukan merupakan laporan análisis lingkungan global, baik mundial
ataupun nasional, terkalkulasi secara matematis dan kuantitatif. Data diambil
seperlunya sebagai titik pijak global etika.
2. Informasi dan pengalaman penulis akan suprastruktur dan infrastrusktur
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia sangat terbatas. Maka proposal etika
DS yang ditawarkan mungkin perlu dikontekskan lebih riil lagi, walaupun etika
lingkungan hidup juga berciri universal dan mundial. Disini dibedakan bukan
substansi etika melainkan exigencia (kebutuhan dan kemendesakannya).
3. Karena merupakan paper etika, paper ini tidak akan menyajikan strategi politik
lingkungan hidup praktis, landasan yuridis ataupun blue print, melainkan
semacam utopia riil yang memacu untuk memikirkan dan melakukan langkah-
langkah strategis masa depan hubungan timbal balik antara alam dan manusia.

, Taurus, Madrid, 2000; D. HELD – A MCGREW,


d e s b i c a d o . o s e f e c t o s d e l a g l o b a l i z a c i ó n e n n u e s t r a s v i d a s

, Paidos, Barcelona, 2003.


G l o b a l i z a c i ó n / a n t i g l o b a l i z a c i ó n

9
D.H. MEADOWS dkk, , El País, Madrid, 1993.
á s a l l á d e l o s l í m i t e s d e l c r e c i m i e n t o

10
Proposal etika: AAVV, . , Trota,
e d i o a m b i e n t e y d e s a r r o l l o s o s t e n i b l e á s a l l á d e l I n f o r m e B r u n d t l a n d

M M

Madrid, 1992; AAVV, , Trota, Madrid, 1995; V. BELLVER,


e l a e c o n o m í a a l a e c o l o g í a E c o l o g í a : d e l a

Ecorama, Granada. H. JONAS, , Barcelona, 1994; E. LEFFE,


r a z o n e s a l o s d e r e c h o s . o . c . E c o l o g í a y c a p i t a l .

, S. XXI, Madrid, 1994; R.


R a c i o n a l i d a d a m b i e n t a l , d e m o c r a c i a p a r t i c i p a t i v a y d e s a r r o l l o s o s t e n i b l e

TAMAMER, , Alianza, Madrid, 1985. C.


E c o l o g í a y d e s a r r o l l o . a p o l é m i c a s o b r e l o s l í m i t e s d e l c r e c i m i e n t o

VELAYOS, Tesis Doctoral, Universidad de


E t i c a d e l m e d i o a m b i e n t e : e c e s i t a m o s u n a n u e v a é t i c a ?

¿ N

Salamanca, Salamanca, 1995 dll.

3
BEBERAPA DEFINISI DASAR

SDA

Adalah segala sesuatu yang diambil manusia dari alam: tumbuh-tumbuhan,


binatang maupun alam.

Berdasarkan pada tingkatannya SDA dibagi menjadi beberapa bagian:


• SDA Absolut: elemen atau faktor yang keberadaannya tidak bergantung pada
kehendak manusia (gunung, air laut, samudera y sungai, sinar matahari dan
iklim).
• SDA yang hanya sebagian (tidak absolut). Manusia ikut campur tangan di
dalamnya (sebuah bendungan, hutan lindung, lahan pertanian).

Berdasarkan pada cirinya, SDA dapat dibedakan dalam 3 bagian:


• SDA yang dapat diperbaharui adalah segala sesuatu yang dengan pemeliharaan
yang memadai dapat dijaga dan juga dilipatgandakan. Contonya adalah
tumbuhan dan binatang. Dalam hal yang sala, tumbuhan dan binatang juga
tergantung pada keberadaan SDA yang lain seperti air dan tanah.
• SDA yang tidak dapat diperbaharui adalah segala sesuatu yang berada dalam
jumlah terbatas dan jika diekploitasi bisa habis. Contohnya: mineral, logam
(metal), migas, air bawah tanah.
• SDA yang tidak akan pernah habis, seperti: sinar matahari, energi matahari,
energi ombak dan angin.

PERKEMBANGAN (DESARROLLO)

Istilah “desarrollo” mempunyai kaitan yang erat dengan ekonomia. Dan


“desarrollo” tidak akan dapat direduksi hanya sekedar perkembangan ekonomi saja.
“Desarrollo” terkait erat dengan pemahaman kemajuan kemanusiaan dilihat dari 3
faktor penting: makna integral dari “desarrollo”; sebuah dialektika dinamis antara “ser”
(to be) y “tener” (to have); dan pribadi manusia menjadi aktor pelaku dan utama
(protagonista) dalam “desarrollo”11.

YANG BERKELANJUTAN (SOSTENIBILIDAD)

Kata “sostenible” dalam “desarrollo sostenible” mempunyai konotasi dengan


kondisi hidup baik secara manusiawi. Kata “sostenibilidad” dalam “desarrollo” mau
mengenalkan kepekaan khusus, pilihan-pilihan baru dan strategi baru dalam
pemahaman dan praksis “desarrollo”. Kepekaan khusus itu terletak pada pemahaman
bahwa 1) “desarrollo” itu tidak tak terbatas, 2) harus dilihat kaitannya dengan
lingkungan hidup, punya enfasis pada keadilan, dan merupakan pengembangan dari
tanggungjawab manusia12.

11
MARCIANO VIDAL,
E l P r i n c i p i o t i c o d e “ s o s t e n i b i l i d a d ” n u e v a s r e s p o n s a b i l i d a d e s y n u e v o s e s t i l o s d e

, Moralia (Madrid, 2004) 164-166.


v i d a

12
168.
I b í d e m ,

4
BAGIAN PERTAMA

ANALISIS SITUASI SDA 2006

Pada tahun 2000, WWF menyajikan sebuah gambaran sekaligus perhitungan


berkaitan dengan situasi dunia masa sekarang dan para tahun 2030. Dikatakan bahwa
manusia sekarang sedang mengalami akumulasi defisit 20 % per tahun dari penggunaan
SDA yang bisa diperbaharui. Dan berdasarkan pada ektrapolasi perhitungan
pertambahan pendidik, perkembangan ekonomi dan perubahaan teknologi, pada tahun
2050 diperhitungkan bahwa manusia akan mengonsumsi antara 180%-220% dari
kapasitas biologi bumi. Dan pada tahun 2030 akan terjadi penurunan kesejateraan
manusia, harapan hidup, taraf pendidikan dan produk ekonomi13.

Dalam cakupan mundial, PBB membahas keprihatian lingkungan hidup ini


dalam beberapa pertemuan: La Conferencia de Estocolmo (1972), La Conferencia de
Río (1992) yang terkenal dengan “agenda 21” y La Cumbre Mundial Sobre el
Desarrollo Sostenible de Johannesburgo (2002). Dan pada tahun 2005, terjadi juga
pertemuan di New York. Dalam kesempatan itu PBB memaparkan 8 permasalahan
mundial14. Secara ringkas diungkapkan sebagai berikut: 1) Kesetaraan Gender; 2)
Lingkungan Hidup; 3) Pendidikan; 4) Perkembangan ekonomi; 5) Kesehatan ibu; 6)
Kemiskinan ekstrim dan kelaparan; 7) Kematian Anak dan 8) AIDS.

Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dikatakan secara umum bahwa masa
depan planet bumi tergantung pada penggunaan SDA secara cermat dan perlindungan
ekosistim. Prinsip DS (desarrollo sostenible) belum bisa diterjemahkan secara
memadai untuk menjaga lingkungan hidup. Dalam 20 tahun, telah hancur permukaan
hutan dunia seluas negara Venezuela. Di bumi terdapat 19 juta m2 daerah dilindungi
(13% dari permukaan bumi), namun spesies tumbuhan dan binatang tetap terus
menurun, masih ditambah dengan perkembangan penduduk dunia pertahun yang
mencapai 100 juta jiwa.

Kondisi SDA dalam taraf dunia dapat dipelajari juga dalam Informe Sobre
Desarrollo 2007 de PNUD y UNEP (United Nation Environment Programme) dalam
Geo years book 2007. Kedua buku itu merupakan rangkuman dari beberapa artikel,
berita dan análisis yang dilakukan oleh beberapa badan penelitian alam. Berikut ini akan
disajikan beberapa inti sarinya hanya sekedar untuk memberikan gambaran.

13
Sumber: www.wwf.com.
14
SANDO POZZI, dalam EL PAIS (Madrid), 13.06.2005,36-37.

5
SEKTOR ENERGI

Intensitas penggunaan energi dalam taraf global menurun secara bertahap. Itu berarti
bahwa energi digunakan semakin efektif dalam produksi ekonomi, meskipun ada
perbedaan jumlah
penggunaannya,
tergantung dari faktor
faktor seperti struktur
ekonomi dan kesediaan
SDA. Hampir 80%
energi yang dikonsumisi
di Uni Eropa berasal
dari bahan bakar fosil.
Meskupun terjadi
penghematan energi
selama 18% dihitung
dari tahun 1990, USA
menggunakan lebih energi per PIB dari wilayah lain (kecuali Afrika)

Sejak pertengahan tahun 90 an, prosentase penggunaan vahan bakar fosil sebagai
sumber energi cenderung stabil dari 86-87% dari seluruh penggunaan sumber energi.
Prosentase penggunaan sumber energi yang dapat diperhabarui berkurang secara tipis
13,0% sampai 13,2% dalam
tahun 2003 (1990:%). Di
antara energi yang dapat
diperbaharui, energi kincir
angin dan matahari pada
awalnya mempunyai
prosentase yang rendah,
tetapi kemudian meningkat
secara cepat seperti nampak
dalam grafik.

Prinsip promosi energi yang


dapat diperbaharui adalah
penurunan harga dan penggabungan sumber energi yang dapat diperbaharui,
penggunaan teknologi tinggi dan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Pada tahun
1980-1995, biaya listrik di Eropa berkurang 88.84 dan 50% untuk energi matahari,
angin dan biomasa (IEA, 2003).
• Di Brasil, diperkirakan bahwa permintaan tebu dan etanol meningkat selama 8
tahun dari 56% sampai 610 juta ton.
• 69% kapasitas energi angin yang ada di dunia berada di Eropa Barat.
• Permintaan energi matahari meningkat sejak 1998, tetapi hanya menopang
sekitar 0.04 % kebutuhan energi dan 0,5% dari energi yang dapat diperbaharui.
• Energi kincir angin adalah yang paling berkembang secara cepat, tetapi
menopang hanya sekitar 0.03% jumlah kebutuhan energi di dunia.

6
PERUBAHAN CUACA

Cuaca di bumi berubah dengan cepat. Pada abad


yang baru berlalu, suhu rata-rata permukaan tanah
di dunia meningkat mendekati 0,6º C.
Diperkirakan akan meningkat 1,4 sampai 5,8 pada
akhir abad ini. (IPCC 2001). Efek dari
peningkatan suhu global itu adalah kenaikan
permukaan air laut, pengikisan glaiser dan es dan
perubahan struktur tumbuhan dan
keanekaragaman biologis. Salah satu penyebab
perubahan alam adalah emisi gas pembakaran
(GEI) dari penggunaan Bahan bakar fosil. Emisi
total C02 semakin meningkat, meskipun di beberapa daerah relatif cukup kecil.
Diperhitungkan bahwa emisi CO2 total dunia mencapai 26 milyar ton dalam tahun 2003
(24,8 dalam tahun 2002). Dalam periode 1990.2004, secara umum, emisi gas seperti
C02, N2O, CH4, HFCs, PFCs dan SF6 di beberapa negara industria menurun sampai
3,3%. Meskipun demikian, penurunan itu pada dasarnya bergantung pada penurunan
36,8% emisi ekonomi di Eropa Timur dan Eropa Tengah.
• Dalam tahun 2003, jumlah emisi DEI di USA meningkat dari 7094 juta ton
menjadi 6768 ton.
• Di tahun yang sama, jumlah emisi DEI seluruh eropa adalah 7218 juta ton. Dan
kemudian menurun pada tahun 1990 sampai 2005 sampai 7,3%. Pada dua tahun
terakhir ini, terjadi indikasi peningkatan.
• Secara keseluruhan, Asia Pasifik mengalami peningkatan tajam dari 760 juta ton
di tahun 2003, meningkat 7,8% di tahun 2004.

7
SITUASI OZON

Penggunaaan HCFC sebagai penganti CFC menurun pada tahun 2000. Pada tahun 2005
mencapai 31700 ton (PAO: potencial agotanmiento ozono) terutama terjadi terutama di
Asia Pasifik. Penggunaan BrCH4 yang dilarang oleh perjanjian Montreal 2005 semakin
berkurang: 12450 ton PAO untuk seluruh dunia. Para tahun 1015 diharapkan BrCH4
tidak akan digunakan lagi.
Konsumsi CFC menurun dalam tahun 2005
mencapai 41000 ton PAO (berkurang 66000
ton PAO dari tahun 2004). Kesulitan yang
dialami badan dunia adalah mengurangi
produksi dan penggunaan CFC, HCFC dan
BrCH4, mengurangi sirkulasinya dan
pedanganan illegalnya.

HUTAN

Peningkatan jumlah permintaan produk dari kayu dapat membahayakan hutan di dunia.
Meskipun tidak ada banyak data
kronologis dan perbandingan antara
jumlah hutan dan produksi kayu,
informasi yang ada menunjukkan
peningkatan angka penebangan hutan di
banyak tempat di dunia, secara khusus di
daerah Afrika, Asia dan Pasifik. Data
dari FAO menujukkan bahwa
penebangan hutan meningkat sampai 3,5
% di tahun 2005. Dalam sepuluh tahun terakhir, telah diminta secara resmi penebangan
sekitar 80 juta hektar di lebih 80 negara
sesuatu dengan Lembaga Administrasi
Hutan (FSC). Permintaan produk yang
bersertifikasi meningkat di USA dan
Eropa dua kali lipat.

8
HASIL TANGKAPAN LAUT

Tangkapan total ikan, udang dan produk laut lainnya tetap sekitar 80 sampai 87 juta ton
sejak 1994. Di tahun 2005, ditangkap sekitar 86 juta ton. Angka yang dinyatakan tidak
selalu tepat, karena penangkapan ilegal sangatlah sulit dievaluasi. Meskipun demikian,
nampak jelas bahwa batas rumpun ikan berkurang setip kali, dan mewajibakan untuk
mengadopsi aturan baru yang lebih keras untuk jumlah dan jenis ikan tangkapan.

Jika benar bahwa tangkapan ikan laut itu stabil, kenyataan menunjukkan bahwa
perikanan laut di daerah Asia dan Pasifik cukup membayakan ekosistem secara
keseluruhan.

BIODIVERSITAS

Tekanan yang terus menerus terhadap alam menimbulkan masalah besar bagi usaha
untuk konservasi ekosistem dan zona penting. Meskipun di banyak tempat di dunia,
perlindungan zona natural diperluas, pengaturannnya diperbaiki dan perlindungannya
dikuatkan dalam politik urbanisasi, kehutanan, pertanian dan perikanan, dampak umum
dari masyarakat terhadap lingkungan hidup dan keanekaragaman biologi tetap menjadi
masalah dasar. Selama beberapa pulun tahun, tidak meningkat jumlah dan luasnya zona
dilindungi yang ada di dunia (UICN). Akhir tahun 2006, zona dilindungi di seluruh
permukaan bumi dan air adalah 13%.

9
Indikator tidak menentukan ukuran kefektifan perlindungan keanekaragaman biologi di
zona dilindungi (UNEP-WCMC 2007)

AIR BERSIH

Air bersih, sehat merupakan kebutuhan dasar kesehatan manusia dan perkembangan
ekonomi. Akses pembagian air dan penyaluran air bersih semakin menaik.

Tahun 2004, penduduk dunia medapatkan akses air bersih sekitar 83% sampai 59%.
Meskipun demikian, dunai belum mempunyai cukup sarana untuk memenuhi apa yang
diminta oleh (ODM: objetivos de desarrollo de milenio).

Kebutuhan air tetap menjadi kebutuhan lux bagi banyak orang miskin di dunia.
Kenyataan menunjukkan bahwa 1100 juta penduduk kekurangan air bersih, sementara
2600 juta kekurangan air sehat. Angka ini meningkat selama beberapa tahun. Migrasi
yang terhadi kota-kota besar menimbulkan masalah besar bagi para pemerintah dan
penduduk kota dan mewajibkan mereka untuk memperluas akses air bersih dan air
sehat. (WHO UNICEF, 2006)

10
KESEPATAKAN PARA PEMIMPIN TINGGI NEGARA

Proses penandatangan persetujuan bagi beberapa negara semakin meningkat di tahun


2006. Terhitung ada 700 persetujuan internacional yang berhubungan dengan
lingkungan hidup (UNEP 2006b).
Banyak konvensi terjadi dan semakin
disepakati oleh semakin banyak negara.
Konvenio yang menunjukkan peningkatan
drastis adalah Konvensi Stockholm,
Kovensi Rotterdam, Konvensi Kyoto. Dan
direncanakan perjanjian kembali di Kyoto
pada tahun 2012.

ANALISIS TREND

PERKEMBANGAN KESADARAN DAN KEKUATAN “DS”

KONSEP DASAR DS

Analisis trend tercermin sebetulnya dalam beberapa kesepakatan lingkungan


hidup baik di tingkat Badan Organisasi Dunia seperti PBB maupun perjanjian antar
beberapa asosiasi negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika dll. Beberapa perjanjian penting
untuk diingat dan diperhitungkan adalah: Perjanjian Stockholm (1972), Konferensi di
Rio De Janiero (1992) dan Pertemuan Puncak DS di Johannesburg (2002). Beberapa
perjanjian lain merupakan pengembangan dan aplikasi dari konsep-konsep yang
dikembangkan dalam pertemuan tersebut di atas. Dari beberapa dokumen itu, dapat
ditangkap sebuah analisis trend (dalam arti moral) yang ada yang sekarang masih terus
dikembangkan dan diperluas adalah konsep mengenai “Desarrollo Sostenible”.

11
Prinsip DS muncul pada pertengahan abad XIX, dan merupakan cabang dari
ilmu alam yang kemudian pada tahun 1866, oleh Ernst Haeckel dijadikan sebuah ilmu
yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan alam sekitarnya15. Sebelumnya,
tahun 1798 Thomas Robert Maltus, seorang ekonom inggris, dalam tesisnya Ensayo
sobre el principio de la población, memperhitungkan ekologi sebagai pertimbangan
untuk pengaturan penduduk: ketidaktersediaan SDA dan kontaminasi. Pada waktu
selanjutkan, “sostenibilidad” dimengerti sebagai kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan antara faktor biotik dan abiotik. Pada tahun 1992, Goldwin
mengungkapkan “sostenibilidad” sebagai konsep yang menghubungkan antara
keterbatasan ekosistem dan pertumbuhan yang takterhingga. “Sostenibilidad” hanya
tercapai jika pertumbuhan kuantitif perubahan material stabil dan diganti oleh
perkembangan kualitatif, dengan mempertahankan SDA, produksi dan konsumsi16.
Salah satu representasi ekonomi ekologis adalah Herman Daly yang menggunakan
konsep “sostenibilidad” untuk menghubungkan dan merumuskan kesetimbangan antara
ekonomi dan ekologi dengan konsepnya: dunia hampa dan dunia penuh berisi.17

Konsep “desarrollo sostenible” diungkap untuk pertama kalinya oleh El Serafy


dalam konsepnya “pertumbuhan harus dijaga supaya tetap berada dalam batas aman
lingkungan hidup” 18. hal yang sama juga diungkap oleh Robert Constanza dalam
definisnya mengenai sostenibilidad sebagai hubungan yang terjadi antara sistem
dinamis ekonomi manusia dan sistem ekologi sehingga a) hidup manusia dapat
berlangsung terus, b) setiap individu dapat menikmati, c) kebudayaan dapat
dikembangkan, d) dampak aktifitas manusia terjaga dalam batas sehingga tidak merusak
keanekaragaman, kekompleksan dan fungsi sistem ekologi yang menopang hidup
manusia19.

Konsep yang selanjutnya berkembang adalah ecodesarrollo. Konsep ini


dikemukakan oleh Ignacy Sahc dan Maurice Strong para tahun 1973 yang mencakup 3
konsep dasar: 1) reorientasi konsumsi. 2) solidaritas diakronika (terhadap masa depan)
dan 3) efisiensi ekonomi. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Dasmann dalam
tiga konsep dasar: kebutuhan dasar, perkembangan yang terkonsentrasi dan kesesuaian
ekologis20.

INFORMASI BRUNDTLAND

Latar belakang Informasi Brundlant adalah Konferensi Stockholm 1972 yang


membahas masalah Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Konferensi ini memacu
terbitnya tiga informasi penting: Los limites de crecimiento (1972), Humanidad en la
encrucijada (1975) dan Informe Barney (1977). Dalam Stockholm Declaration on the
Human Environment dikatakan bahwa: mempertahankan dan memperbaiki lingkungan
hidup untuk generasi sekarang dan yang akan datang harus dipandang sebagai fin
imperativo bagi kemanusiaan.

15
E.U. WEIZSÄCKER, , Sistema, Madrid, 1993, 270.
P o l i t i c a d e l a T i e r r a

16
AAVV, , Trotta, Madrid, 1997,
e d i o a m b i e n t e y d e s a r r o l l o s o s t e n i b l e . á s a l l á d e l I n f o r m e B r u n d t l a n d

M M

32.
17
, 45.
I b i d .

18
47.
I b i d .

19
Ibid. 108.
20
RF. DASMANN, . Landscape Planning, Vol 12, 215.
A c h i e v i n g t h e s u s t a i n a b l e u s e o f s p e c i e s a n d e c o s y s t e m

12
Sementara itu, Gro Harlem Brundtland merumuskan konsep desarrollo
sostenible itu dalam Bab 2:21

DS adalah perkembangan yang memennuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa


menghalangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Brundtland menerjemahkan konsep DS itu dalam program rekomendasi untuk PBB:
• Menerapkan beberapa strategi lingkungan hidup jangka panjang untuk
mencapai DS pada tahun 2000.
• Merekomendasi supaya kecemasan lingkungan hidup dapat diterjemahkan
dalam kerjasama yang semakin baik antara negara-negara dengan
memperhitungkan hubungan timbal balik antara manusia, SDA, Lingkungan
Hidup dan Perkembangan Ekonomi.
• Mengevaluasi apa yang bisa dilakukan oleh negara-negara terhadap lingkungan
hidup
• Meningkatan kepekaan bersama terhadap masalah lingkungan hidup dan
usaha-usaha untuk mengatasinya dalam bentuk program obyektif selama
jangka panjang atau periode waktu tertentu.

Pada tahun 1989 diterbitkanlah Blueprint for a Green Economy oleh Menteri
Lingkungan Hidup Inggris di bawah pemerintahan Margaret Thatcher.

Dalam Pertemuan di Rio de Janiero (1992), dititik beratkan pada masalah


lingkungan hidup. Diungkapkan pada prinsip 1: bahwa manusia merupakan titik dasar
referensi dari DS dan hak DS harus memperhitungkan keselamatan lingkungan hidup,
kedamaian internacional dan pengetasan kemiskinan. Konferensi Rio juga menetaskan
“Agenda 21”, yang terdiri dari rencana global, nasional dan lokal yang diterima oleh
PBB pada pemerintah dan kelompok-kompok pendukung lingkungan hidup

Hasil kesepakatan di Rio de Janaiero kemudian dievaluasi pelaksanaanya dan


dimatangkan lagi dalam Pertemuan Puncak DS di Johannerburg 2002 yang mencakup
rencana kerja, strategi, kesepakatan politik berkaitan dengan kesehatan, perawatan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan pengentarasa kemiskinan. Ada 37 pokok pernyataan
yang menyatakan bahwa martabat manusia adalah pusat dari seluruh proses dari DS.

Salah satu tokoh yang merumuskan baik kesadaran dan ruang lingkup DS adalah
Jorge Riechmann yang berbicara mengenai pertumbuhan berkelanjutan. Ia
mengkategorikan 6 prinsip dari DS22:
1. Prinsip “irreversibilidad cero” berdasarkan pada ketahanan biosfera yang
menerapkan pengurangan samapai titik 0 intervensi akumulasi dan
kerusakan permanen.
2. Prinsip “recolección sostenible”, mengacu pada SDA yang dapat dibaharui
dengan sendirinya, mempertahankan supaya angka pengumpulan SDA yang
dapat diperbaharui itu tetap sama dengan angka regenerasi SDA yang
bersangkutan.
3. Prinsip “vaciado sostenible” berdasarkan pada proses daur ulang dan
konsumo SDA yang tidak dapat diperbaharui, mempertahankan supaya

21
CMMAD, , Alianza, Madrid, 1992, 13, 67.
u e s t r o f u t u r o c o m ú n

22
AAVV, , Trotta, Madrid, 1995, 24;
e l a e c o n o m í a a l a e c o l o g í a E c o l o g i a y d e s a r r o l l o . E s c a l a s y

. Complutense, Madrid, 1996, 73-84.


p r o b l e m a s d e l a d i a l é c t i c a e s a r r o l l o - e d i o A m b i e n t e

D M

13
angka exploitasi SDA yang tidak dapat diperbaharui itu seimbang dengan
angka penciptaan SDA alteratif/pengganti.
4. Prinsip “emisión sostenible”, yang menerapkan kesetaraan antara angka
emisi bahan bakar dan kapasitas asimilasi dan autoregenerasi ekosistim.
5. Prinsip “selección sostenible de tecnologías” berdasarkan pada efisiensi dan
pertumbuhan ekonomi, menerapkan pemberian perhatian khusus (privilege)
pada teknologi yang mempunyai sedikit dampak lingkungan.
6. Prinsip “precautorio” memilih langkah-langkah yang kurang beresiko dalam
situasi sulit yang membawa kepada kerusakan alam.

Prinsip DS selalu dipahami dalam konteks kesejahteraan integral manusia secara


menyeluruh dan mempunyai beberapa karakteristik:

1. “Desarrollo” itu terbatas


2. “Desarrollo” selalu muncul sebagai kesadaran akan bahaya kehancuran.
3. “Desarrollo” mempunyai kesadaran ekologis
4. “Desarrollo” mempunyai tekanan kuat pada prinsip keadilan
5. Dan merupakan peluasan dari prinsip tanggungjawab manusia, terhadap generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang.

BAGIAN KETIGA

LANGKAH STRATEGIS PENGEMBANGAN “DS” KE MASA DEPAN

Aktifitas ekonomi merupakan salah satu aktifitas manusiawi yang pada dasarnya
mempunyai ciri: bebas dan bertanggungjawab. Aktifitas ekonomi, yang paling
mendasar, terletak pada pencarían dan penciptaan sarana untuk memenuhi kebutuhan
manusia berpangkal dari kesediaan SDA. Kegiatan ekonomi terpusat pada tiga sektor
dasar: aktivitas primer (pertanian, perburuan, dan perikanan), aktivitas sekunder
(industri) dan aktifitas tersier (pelayanan jasa)23.

Roda ekonomi dilaksanakan dalam sebuah siklus yang terdiri dari: produksi, distribusi,
sirkulasi dan konsumsi24:
o Produksi. mencakup 4 tindakan-badan ekonomi: SDA, kerja, modal dan
perusahaan.
o Distribusi: mencakup kerja, modal, kepemilikan barang dan ektifitas
perdagangan.
o Sirkulasi: terbentuk dalam 3 perubahan: nilai tukar mata uang, kredit, dan
perdagangan.
o Kosumsi: berkaitan dengan masalah menabung, kebutuhan luz, distribusi
pajak.
Pada kesempatan ini, disajikan beberapa langkah strategis penopang ekononomi
sostenible: Produksi bersih dan konsumsi yang bertanggungjawab.

23
MARCIANO VIDAL , PS Editorial, Madrid, 1979, p. 286.
, o r a l d e A c t i t u d e s I I I

24
P. STEVAN, , edic.2, Madrid 1985, p.206.
o r a l S o c i a l

14
PRODUKSI BERSIH

Produksi bersih mencakup 4 proses: clean process, clean product, close loop
system dan Biosociety. Proses produksi bersih ditopang oleh 3 faktor dasar yaitu:
konsumsi yang bertanggungjawab, Prinsip Kewaspadaan dan Partisipasi Publik. Secara
garis besar dapat dilihat dalam bagan berikut:

Proses bersih

Proses produksi bersih mencakup perawatan bahan baku dan enegeri; penghapusan
bahan baku beracun; pengurangan kuantitas emisi dan limbah selama proses.

Produksi bersih dalam diterapkan dalam proses manufaktur produksi dan pertumbuhan
makanan. Kerap kali disebut sebagai clean technology atau pertanian organik.

Untuk proses manufaktur, proses yang bersih menggunakan:


• Sistem pencegahan polusi
• Rencana pengurangan penggunakan beracun
• Ahli dalam bidang produksi bersih

Untuk makanan, proses yang bersih mencakup:


• Penerapan metode pertanian organik.

Produk bersih

Strategi produksi bersih terpusat pada pengurangan dampak selama seluruh siklus
produksi dari eksploitasi bahan baku sampai pada barang jadi.

Produksi bersih memerlukan sebuah sistim berpikir. Siklus produksi (rantai produksi)
mencakup seluruh sistem materi dan energi yang digunakan dalam sistim produksi.
Produsen harus bertanggungjawab atas siklus produksi, dan masyarakat, para perkeja
dan kelompok masyarakat harus mempunyai akses informasi atas rantai produksi ini.
Pekerja yang terinformasi dan para konsumen yang memahami sistem produksi ini
merupakan prasyarat dari sistim produksi bersih. Mendapatkan informasi merupakan
sebuah tantangan, juga untuk perusahaan masa kini. Masyarakat bisa menuntut akses
siklus produksi dan label produksi. Konsumen dan pemerintah harus menggunakan

15
kekuaran politik untuk penerapan sistim ramah lingkungan dan pembayaran pajak tinggi
atas barang-barang yang mengandung resiko ekologi.

Sistim Pengelolaan Tertutup

Produksi bersih mengedapankan energi yang dapat diperbaharui, bahan-bahan tak


beracun dalam sebuah sistim pengelolaan yang tertutup. Sistim ini berarkat dan
mengambil bagian dalam siklus produksi dan prinsip kewaspadaan. Sistim pengelolaan
tertutup ini mengandaikan bahwa hasil produksi dapat diubah kembali menjadi bahan
produksi.

Masyarakat ramah lingkungan

Apapun filsafat, agama, ikatan social, manusia menyadari bahwa kita hiduo dalam
planet yang sama dan bertanggungjawab atas kelangsungan hidupnya dan hidup kita.
Prinsip biosociety adalah utopia dan tujuan. Masyrakat yang ramah lingkungan
mempunyai beberapa cirri:

• Sistem alam dikendalikan oleh tenaga surya dan energi yang dapat diperbaharui.
• Semua sistem itu dihubungkan satu sama lain; pergantian energi dan material
dalam sebuah sistim biologi yang dinamis.
• Stabilitas didasarkan atas keanekaragaman biologi.

Faktor pendukung dari Clean Production adalah

• Konsumsi yang bertanggungjawab


• Prinsip kewaspadaan
• Akses publik untuk mendapatkan informasi mengenai sistem produksi yang
bersih.

16
PRINSIP KONSUMSI YANG BERTANGGUNGJAWAB25

Konsumsi tidaklah sesuatu yang jelek. Yang kurang bertanggungjawab adalah ideologi
konsumismo. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk membentuk
konsumsi yang bertanggungjawab adalah:
a. Tuntutan mutu
b. Mengkonsumsi dengan prinsip bertanggungjawab.
o Bebas dan membebaskan konsumen (tidak dijadikan obyek konsumsi)
o Adil dalam arti wajar seperti sebagaimana kebanyakan orang.
o Saling bertanggungjawab artinya konsumen mengikutsertakan asosiasi
dan istitusi konsumen untuk menuntut hak dan transparansi.
o Menggembirakan.
c. Bertailan dengan prinsip “sostenibilidad” dengan semangat pengendalian diri
d. Dari perilaku konsumsi yang bertanggungjawab menuju perdagangan yang
seimbang dan produksi yang adil.

25
MARCIANO VIDAL,
E P r i n c i p i o é t i c o d e “ s o s t e n i b i l i d a d ” n u e v a s r e s p o n s a b i l i d a d e s y n u e v o s e s t i l o s d e

: Moralia (2005): pp.188-192.


v i d a

17
Sustainable Economic Development Based on Biodiversity Resources in
Indonesia
M.Djaeni

1. Background

Indonesia is a tropical country that has high potential of biodiversity resources


involving forest, marine (sea), and agricultures crops. In addition, the climate with
enough intensity of sun light, fertile land, and geothermal and mine resources are
additional positive conditions. Conceptually, the potentials give benefits to be used as
foodstuff, clothes, cosmetics, medicines, energy and fuel, and other raw materials for
industries, and to enhance economical growth or to generate income. Moreover, the
population of Indonesia that achieves 250 millions is also potential to be empowered as
strong human resources. In line with the condition, we have 2030’s vision: to establish
strong economic country and be center of sustainable biomass stocks in Asia.

However, the above potentials are not optimally exploited as indicated in the
limitation of competitive commercial products can be generated. For example, from palm
oil, Indonesia produces only cooking oil and does not develop to other added value
products such as glycerol, bio-diesel, polyalcohol compounds, and other fine chemicals.
In addition, palm oil shell that is potential as raw material for carbon molecular sieves or
phenol is not exploited. As a result, this plantation (cultivation) cannot generate more
income. Another examples, is in the case of shrimp and crab or crustacean shell disposed
from restaurant or canned sea food industries. The material is only used as a cattle feed.
With high technology treatment, the wastes can result higher economic product such as
chitin or chitosan. Chitin and chitosan are fine chemicals with high economic value (US $
7500/kg) that are used in medicine and food industries. Those materials can be prepared
from the crustacean shell through demineralization followed by de-acetylation (for
chitosan) with the conversion of 15%. With the 40,000 ton/years shrimp shell disposed, it
should generate income around US $ 45 millions/years. Furthermore, in spite having
many oil, gas, geothermal, coal, and biomass resources, Indonesia still faces problems on
energy and fuel crisis. These mean that we cannot do more to exploit and manage our
resources well.

The above problems are due to the lack of technology and management, low of
human resources quality, unavailability of integrated exploitation systems, and
unavailability of policy based on sustainable clean production with the concept of waste
to product. Even, for many cases, the potentials are only used for short term interest or
business such as illegal logging, mangrove and beach reclamation, poisoning the sea for
getting larger capacity of catching fish, and synthetic fertilizer and pesticide usage to
increase agriculture crops. This is very dangerous since they can threat the existence of
resource itself.
Compared to another countries in the ASEAN such as Malaysia and Thailand, the
economic level of Indonesia is the lowest as indicated in gross national product (GNP (in
US $): Indonesia: 830, Thailand 1995, Malaysia 3400 *). Malaysia and Thailand have
developed human resources, sustainable agriculture system, and industrial and chemical
product based on renewable resources. For example, they have developed fine chemical
from palm oil and its waste, such as poly alcohol, gasoline, phenol, and carbon molecular
sieve. They have collaborated with other industrial country to enhance economical
growth by exploiting renewable resources. This situation should encourage Indonesia to
do something to remedy the micro and macro economic conditions. Industrial country
can be given chance to invest Indonesia with simple bureaucracy and build mutual
collaboration. Many sectors can be offered such as agribusiness development, marine
exploitation, fine chemical based on biomass resources, sustainable and clean agriculture
industry, and energy development.

2. SWOT Analysis

Based on the above description, Indonesia has potentials biomass resources


provided from marine (sea), cattle, agriculture crops, and forestry. However, the
potentials are not empowered yet due to the low of human resources, lack of technology
and management, un-integrated exploitation, and unavailability of policy for sustainable
clean production with the concept of waste to product. As a result, products have low
competitiveness and economic value. Besides, the productivity is low, and the
sustainability of product stock is not ensured. Moreover, environment problem still
appears in production process such as pollution of water, air, soil by chemical emission
from big industries and damage of forest, sea and mountain by illegal exploitation. In a
brief, the conditions of existing industries and enterprises in Indonesia can be analyzed
using SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) as illustrated in figure 1.

* http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/r/rauf-purnama/pertumbuhan.shtml
Strength:
1. availability of forest, sea, cattle and
agriculture land in wide areas
2. existence of various small, medium, Threat:
and big enterprises in the field of 1. Free trade market
agriculture, cattle, sea product, and 2. Global competition
chemical product 3. Un-controlled
3. high capacity of biomass population growth
production
4. high quantity of human resources

Biomass resources Opportunity:


exploitation in Indonesia: 1. Collaboration with
sea, agriculture, forestry, industrial country
and cultivation (plantation) 2. Need on high value product
from biomass in global
market

Weakness:
1. low of income generation (GNP
US $ 830) Root of Problem:
2. low economic value of product 1. low of human resource quality
3. in-efficient of energy and 2. lack of technology usage
material usage 3. lack of management
4. in-efficient of land usage 4. un-availability of sustainable
5. problem on environment (waste integrated exploitation system
pollution) 5. low capital investment (less
6. uncertainty of product stock investor)
sustainability
7. no link between small and big
industries

Figure 1: SWOT analysis of existence biomass exploitation in Indonesia

3. What is the future program?

Many activities are required to remedy the exploitation and production of biomass
in Indonesia to reach 2030’s vision. The activities involve improving human resources,
enhancing technology usage, building link and match (network) among the related
industries, implementing sustainable integrated system in agriculture, implementing the
proper rule to assure sustainability of bio- and non-bio- resources, and building
collaboration and market network with industrial countries. However, due to the broad
scope, this essay focuses on the discussion of technology enhancement to increase
efficiency and productivity of bio-resources exploitation, sustain biomass production, and
to obtain added value product from the biomass waste. The applied technologies consist
of biomass crop enhancement, product diversification, and clean technology
development, and sustainable integrated exploitation system.

3.1. Biomass crop enhancement

Indonesia has a wide fertile land distributed in more than 13000 islands. However,
the land to biomass product ratio is low and biomass crops tend to decrease. This is due
to the decreasing fertility of land by synthetic fertilizer, low quality of cultivated plants,
no good irrigation system (high dependency on climate) and many useless potential
lands. Besides, only main agriculture crops are exploited, whereas the biomass wastes are
not recovered or recycled to get added value. These conditions have to be overcome by
using organic fertilizer from agriculture and cattle waste in order to retain the fertility of
land. The variety of cultivated plants or herbals has to be selected that can generate high
quality and quantity of harvest. In addition, farmers are encouraged and educated to
cultivate industrial plants such as palm, cane, wood for pulp, clove, herbals and the others
that can generate more added value. The waste of agriculture crops has to be also
exploited as biomass fuel resources or as raw material for fine chemical product. For
example, the organic waste of sugar cane industry can be used as raw material of furfural.
Moreover, the useless fertile land has to be used to develop industrial plants such us
wood for pulp, palm, cane, cotton, and the others. However, the proportionality between
conserved and used land should be considered.

3.2. Product diversification

Biomass diversification is important. So, the exploitation of land can optimized


by rotating cultivated plants especially for short term plants such as corn with cane, rice
with vegetable and the others. The method can generate several products and keep the
fertility of land. As a result, farmer can sell not only mono-product but also poly-
products. Beside that, the usage of synthetic fertilizer can be minimized. A lot of kind of
product is also potential to produce various industrial goods, such as textiles, medicines,
food, pulp, and bio fuel. Hopefully, industrial feedstock and foodstuffs demand can be
sustained, and farmer income can be increased.

3.3. Clean Technology Development

Clean technology is technology that uses raw material and energy with high
efficiency, high profit, high sustainability, and less waste. In this technology, the
operational cost and raw material used is minimized, whereas the product and revenue is
maximized. In Indonesia, there are many industries using old technology that is in-
efficient and high pollution. Clean technology is urgently required to enhance the
efficiency, save environment, and get side product from the waste (see figure 2 as
examples).
Canned shrimp

Cattle feed:
Canned Food Conversion: 80%
Shrimps Industries Price: US $ 1/kg

Waste:
Shell and head
Price: Chitin and Chitosan:
US $ 0.05/kg Conversion: 15-20%
Price: US $7500/kg

Flour and bakery

Grains, Hydrolysis to produce


Food Industries glucose
cassava,
corn

Waste:
Solid organic
waste Fermentation to
produce ethanol

Bio-fuel,
Cooking oil Crude Palm Oil
polyalcohol

Palm Oil
Palm Industries
Phenol, carbon molecular
sieve
Solid waste

Pyrolysis
Fuel and energy

Figure 2: Clean Technology development: waste to product

3.4. Sustainable Integrated Exploitation System

In this method, the agriculture crops as biomass resources are linked with the
related industries (see figure 3). The process involve total recycle product that is
sustainable, efficient, feasible and environmentally friendly. By this way, it is expected
that all unit of enterprises can grow simultaneously. Hence, it can accelerate the micro
and macro economics.
Foodstuffs

Raw material
Post harvest
Waste
Product
Sorting, Drying
Product Agriculture crops

Size reducing
Cattle

Processing
Storage
Fishery
Cultivating

Growing
Industries

Fertilizing, Foods & Nutrition


Feeding, Waste:
maintaining Organic waste
Medicine

Textiles

Organic Bio Fuel Fine


Fertilizer Chemical
Chemicals
Energy
Cattle feeds

MARKETS:
Domestics
World

Figure 3: Sustainable Integrated Exploitation System


4. Beneficiary

The advantages of the updated technological implementation are: generating


various bio-products from sea, agriculture crops, forests and other bio resources,
resulting higher value of product (not only for food but also medicines, fine chemical,
and energy), obtaining added value from biomass wastes, increasing productivity and
quality of land, keeping the sustainability of biomass stock, solving the environment
problems by effluent treatment, generating additional income for farmers, small to
medium enterprises, and big companies. In addition, the technology development in
biomass crop also gives positive social effects including: opening new jobs opportunity
as well as producing side product or energy from biomass, increasing the economical
growth in the grass root level (farmer, small to medium enterprises) and big companies,
encouraging other enterprises correspond to this progress such as workshops, consultants,
transportations, insurances, and the others. Hopefully, 2030’s vision can be achieved and
gross national product (GNP) can be increased.
Visi Indonesia 2045: Ekosistem Kepulauan sebagai Basis
Pembangunan Berkelanjutan
Oleh: Dwiko B Permadi1
Abstrak

Bagaimana wajah baru Indonesia di tahun 2045, saat memasuki usianya


yang ke-100 tahun? Di tengah masa depan yang tidak pasti,
permasalahan paling genting yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini
adalah menciptakan visi bersama tentang cara pandang menuju
pembangunan yang berkelanjutan. Visi dan kebijakan yang bersifat
kooperatif dan antisipatif untuk menjaga keseimbangan hubungan manusia dan alam
merupakan pilihan yang paling rasional dan lentur bagi bangsa ini dengan tetap
menjaga optimisme kemampuan teknologi dalam memecahkan problem bangsa ke
depan. Wajah baru Indonesia juga harus mencerminkan keadilan dan keseimbangan
tujuh gugus ekosistem kepulauan yang selama ini timpang dan mengalami degradasi
sebagai akibat strategi pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Tujuh gugus ekosistem kepulauan merupakan instrumen spasial yang bersifat sosial,
ekonomi, dan politis sebagai locus perencanaan strategis jangka panjang pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan. Pembangunan
berkelanjutan bermakna pertumbuhan ekonomi bukan sebagai panglima tetapi sarana
yang ditujukan untuk mendukung perubahan sistem nilai, norma, dan perilaku bangsa
ini dalam kurun waktu yang relatif pendek dan kontemporer. Strategi pembangunan
berkelanjutan jangka panjang hendaklah bersifat fleksibel dan adaptive agar mampu
merespon nilai-nilai normatif yang cenderung berubah lebih cepat. Aspek normatif
hendaknya dijabarkan secara bersama oleh pejabat publik, ilmuwan, swasta, dan
masyarakat sipil dalam kriteria indikator yang jelas sebagai tolok ukur keberhasilan
sistem ketataprajaan yang berjalan dalam siklus politik 5 tahunan.

Kata kunci: Indonesia 2045, visi bersama, 7 gugus ekosistem kepulauan, pembangunan
berkelanjutan, strategis dan normatif.

1
Mahasiswa Master Forest and Nature Conservation, Wageningen University, the Netherlands; dosen
Fakultas Kehutanan UGM
Visi Indonesia 2045: Ekosistem Kepulauan sebagai Basis
Pembangunan Berkelanjutan
Oleh: Dwiko Budi Permadi2

Pendahuluan

Bagaimana wajah Indonesia pada tahun 2045, satu abad setelah kemerdekaan dari
hegemoni fisik, sosial, dan ekonomi bangsa lain? Visi bersama (shared vision) menjadi
titik penting bagi bangsa Indonesia ditengah ketidakpastian masa depan yang sangat
sulit diprediksi. Kekhawatiran masa depan akibat ketiadaan visi bersama ini juga
dirasakan pada tingkat global (Constanza, 2000). Jika visi bersama tidak jelas, bisa
dipastikan bangsa dan bumi ini akan berlabuh pada suatu
‘tempat lain’ yang kita tidak tahu apakah itu paling baik,
lebih baik, lebih buruk atau paling buruk dari kondisi status
quo.
Tahun 2045 merupakan titik temu semua komponen bangsa
karena pada saat itu suasana kejiwaan bangsa berada pada
satu garis lurus dalam penghayatan 100 tahun perjalanan
kemerdekaan Indonesia. Saat itu, era baru globalisasi tanpa
batas telah terlampaui oleh bangsa kita sejak 2030 atau 2020.
Paper singkat ini menggagas pentingnya merumuskan visi bersama, mengusulkan
instrumen spasial ekosistem kepulauan, dan integrasinya dengan aspek strategis dan
normatif pembangunan berkelanjutan sebagai wajah baru Indonesia 2045.

Menciptakan visi bersama

Tantangan paling besar bangsa Indonesia saat ini adalah menciptakan visi bersama
tentang sebuah masyarakat yang berkelanjutan yang menyediakan kesejahteraan secara
permanen. Karena kendala keterbatasan biofisik maka cara-cara yang adil dan
seimbang harus diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang dan generasi
yang akan datang. Terdapat dua cara pandang dunia tentang apa yang saat ini
berkembang untuk mencapai visi tersebut, yaitu : a) technological optimist dan b)
technological sceptic. Ciri kedua pandangan adalah sebagai berikut (Constanza, 2000):

Optimisme Teknologi Skeptisme teknologi


Kemajuan teknologi dapat mengatasi Kemajuan teknologi bersifat terbatas (tidak anti-
setiap permasalahan masa depan teknologi) dan kapasitas lingkungan harus dijaga
Kompetisi Kerjasama
Sistem bergerak linear, tanpa Sistem bersifat komplek, non linear dengan
keterputusan atau berbalik arah keterputusan dan kadang berbalik arah
Manusia mendominasi alam Manusia bagian dari alam
Hidup untuk individualistik Hidup untuk partnersip
Pasar sebagai sebuah panglima Pasar sebagai sarana untuk tujuan yang lebih besar

2
Mahasiswa MSc Forest and Nature Conservation, Wageningen University, dosen Fakultas Kehutanan
UGM
Kita perlu merumuskan pandangan mana yang akan mendominasi arah pembangunan
bangsa kita ke depan. Pandangan pertama merupakan arus kuat globalisasi yang saat ini
menjadi ’default’ peradaban bangsa-bangsa barat, sedangkan pandangan kedua
merupakan arus alternatif yang saat ini juga menjadi harapan bagi masyarakat negara-
negara maju. Bagi bangsa kita saya berpendapat prinsip kerjasama, dan mengantisipasi
masa depan yang cenderung dicirikan dengan keterbatasan sumber daya alam
merupakan pilihan paling rasional dalam menghadapi ketidakpastian sebagai akibat
terbatasnya penguasaan teknologi. Resiko terburuk jika pandangan kedua tak terwujud
masih jauh lebih baik daripada jika pandangan pertama gagal. Hal ini masih perlu diuji
dengan penelitian lebih lanjut apakah memang pandangan kedua merupakan pilihan
bagi bangsa kita. Jika kerjasama dan keserasian yang sinergis dengan alam merupakan
pilihan bersama, maka menjadi penting memetakan permasalahan berdasarkan
instrumen spasial ekosistem kepulauan.

7 Gugus Ekosistem Kepulauan: Instrument Spasial


Prinsip ekosistem mengandung makna keunikan hubungan dan ketergantungan antara
komponen manusia dan sumber daya alamnya berupa flora, fauna, hutan, lahan, air,
udara dan mineral, yang melahirkan keunikan sistem, norma, dan nilai yang bersifat
keruangan dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, ekologi, dan teknologi. Indonesia
mempunyai 17.000 lebih pulau besar dan kecil yang secara geografis dapat
dikelompokan menjadi tujuh gugus ekosistem kepulauan, yaitu:
1. Sumatera,
2. Kalimantan,
3. Sulawaesi,
4. Papua,
5. Jawa,
6. Bali dan Nusa Tenggara, dan
7. Maluku.

Meringkas beribu ekosistem pulau menjadi 7 gugus tidak berarti mengurangi keunikan
setiap pulau, akan tetapi mengikat mereka menjadi satu kesatuan yang sinergis. Pada
setiap gugus, tersusun secara hierarkhis anggota kepulauan yang bisa diklasifikasikan
berdasarkan ukuran: kecil, menengah, dan besar. Indikator-indikator pembangunan
berkelanjutan lebih mudah diterapkan mulai dari ekosistem pulau yang terkecil dan
akan semakin rumit pada ekosistem pulau yang lebih besar.
Mengapa Eksositem Kepulauan
Gagasan pembangunan berbasis ekosistem kepulauan pernah diusulkan oleh Simon
(2004) untuk kepentingan membangun kembali hutan nasional. Dalam kontek
pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, gagasan ini menjadi strategis karena
minimal ada dua latar permasalahan sebagai berikut:
1. Ketimpangan
Ketimpangan perhatian pembangunan dan konservasi terhadap ketujuh gugus
ekosistem kepulauan tersebut merupakan problem yang belum bisa dipecahkan baik
oleh pemerintah orde lama, orde baru, maupun yang sekarang. Ketujuh kepulauan
tersebut merupakan representasi dari Indonesia tetapi dengan kondisi ketimpangan
pembangunan yang mencolok.
Selama ini ketimpangan tersebut direduksi dengan istilah Jawa dan luar Jawa, yang
pertama representasi kemajuan dan yang kedua keterbelakangan. Padahal
permasalahanya berbeda-beda pada ketujuah gugus ekosistem tersebut.
Dibentuknya kementrian percepatan pembangunan kawasan tertinggal bukan
merupakan solusi cerdas untuk memecahkan masalah ketimpangan tersebut.
2. Degradasi
Degradasi dalam arti luas yaitu hilangnya nilai intrinsik sumber daya
manusia dan alam yang menjadi ciri keberadaan ekosistem tersebut,
terpinggirkannya kearifan lokal dan masyarakat asli, hilangnya
biodiversitas, fragmentasi alam, dan efek negatif eksploitasi
tambang tanpa nilai kompensasi lingkungan dan sosial yang
memadai. Lebih jauh lagi degradasi berlanjut pada keutuhan wilayah
NKRI secara politis dan ekonomi, hilangnya pulau-pulau terluar kita
akibat tidak mendapat perhatian yang memadai. Kebijakan yang
reaktif juga tidak akan mampu mencegah kemerosotan kualitas sumber daya alam
kita.

Kedua permasalahan tersebut lahir sebagai akibat kebijakan salah urus yang bertumpu
semata pada pertumbuhan ekonomi, hubungan ketataprajaan yang tidak jelas, dan
lemahnya perencanaan pembangunan berkelanjutan jangka panjang yang sinergis antar
daerah dalam satu kepulauan dan antar sektor untuk mengantisipasi dinamika
perkembangan sosial dan ekonomi. Berkaca pada permasalahan tersebut, refleksi
pembangunan berkelanjutan berbasis ekosistem kepulauan merupakan instrument
spasial yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bangun visi Indonesia 2045.
Gagasan ini menawarkan 7 ekosistem kepulauan sebagai locus integrasi perencanaan,
monitoring dan evaluasi pembangunan berkelanjutan.

2 Paradigma: Strategis dan Normatif


Terdapat dua paradigma yang bisa digunakan untuk menguatkan gagasan ini, yaitu
paradigma strategis dan normatif. Hakel (2002) menggunakan pendekatan dua
paradigma ini untuk memahami relevansi perubahan sosial di bidang lingkungan dan
kehutanan. Pentingnya dua paradigma ini bisa dilihat untuk memahami eksistensi,
kepercayaan dan keberlangsungan suatu entitas, organisasi, atau pun bangsa dalam
menghadapi perubahan sosial pada kurun jangka panjang maupun kontemporer.
Paradigma pertama merangkum sebentuk gagasan yang
dituangkan dalam tujuan jangka panjang tertentu, rencana
dan tindakan untuk memenangkan tujuan tersebut.
Kemampuan identifikasi terhadap perkembangan makro
dan perubahan tuntutan kebutuhan masyarakat dan sumber
daya alam dalam jangka panjang merupakan faktor penting
yang menunjukkan existensi sebuah entitas atau bangsa.
Dalam merancang strategi jangka panjang, ekosistem kepulauan menjadi locus tertinggi
sebagai tempat penilaian indikator makro keberlanjutan pembangunan dan lingkungan
di tingkat regional setelah propinsi, kabupaten dan desa. Sebagai contoh indikator
pertumbuhan dan penyebaran jumlah penduduk, apakah dikontrol, direduksi atau
ditingkatkan berdasarkan kapasitas ekosistem kepulauan. Apakah ekosistem pulau Jawa
masih akan mampu menampung penduduk lebih dari 150 juta jiwa, apakah Kalimantan
masih memerlukan angkatan tenaga kerja untuk perkebunan dan kehutanan dari daerah
lain, dan sebagainya. Kapasitas diukur dalam kontek penguasaan tata ruang kota, desa,
industri, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain.

Pertimbangan paling penting mengapa pembangunan berkelanjutan diukur pada tingkat


ekosistem kepulauan adalah karena untuk mencegah fragmentasi ekosistem yang lebih
luas yang disebabkan pembangunan berdasar batas administrasi yang lebih sering tidak
mengikuti batas ekobioregional. Singkatnya, strategi ini memang mengandung filosofi
hubungan antara manusia dan alam yang saling mempengaruhi satu sama lain dengan
berorientasi pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan masa depan secara optimal.

Paradigma kedua, bersifat normatif, apa yang seharusnya


dilakukan dalam kontek yang relatif aktual agar baik buruknya,
diterima ditolaknya suatu pilihan kebijakan didasarkan pada sistem
nilai, norma, dan kebiasaan yang sedang berkembang.
Pembangunan berkelanjutan yang diusulkan oleh Otto Soemarwoto
(2007) memenuhi kaidah normatif relevan dengan situasi bangsa Indonesia saat ini,
yaitu pertumbuhan ekonomi sebagai sarana (means) bukan tujuan (end). Oleh karena
itu, pertumbuhan ekonomi diarahkan pada enam norma yang menjadi landasan etik
setiap pejabat publik baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keenam norma
tersebut adalah :
1. Pro-negara hukum
2. Pro-NKRI
3. Pro-lingkungan hidup
4. Pro-rakyat miskin
5. Pro-kesetaraan gender
6. Pro-penciptaan lapangan pekerjaan
Publik menilai kredibilitas dan kepercayaan presiden dan kabinetnya, gubernur, bupati,
dan anggota legislatif pusat dan daerah dalam siklus politik 5 tahunan berdasarkan
tolok ukur norma tersebut. Peran strategis keenam norma tersebut sepenuhnya hanya
akan berjalan sinergis dan efektif jika lokus peniliaian tolok ukur kinerja didasarkan
pada eksositem kepulauan. Jika semakin banyak pulau yang lepas, hilang, tenggelam,
maka mudah untuk memberi rapot merah pada pemerintahan berjalan. Juga jika tingkat
pelanggaran hukum, korupsi, dan kejahatan meningkat, indikator tingkat pengagguran,
kemiskinan dan ketidakadilan sosial semakin melambung, maka ekosistem kepulauan
tersebut berarti dalam keadaan sakit dan perlu penanganan segera
jika kredibilitas dan kepercayaan ingin dicapai. Keberhasilan
pemerintahan merespon permasalahan yang berhubungan dengan
norma dalam masyarakat dalam jangka pendek dan regional akan
meningkatkan keberlangsungan pemerintahan berjalan,
memberikan peluang berkembangnya siklus politik berikutnya,
dan seterusnya. Memperhatikan norma sosial yang berubah dalam jangka relative lebih
pendek merupakan esensi dari paradigma pembangunan normatif berkelanjutan.

Penutup
Untuk mendesain wajah baru Indonesia 2045, di tengah ketidakpastian masa depan,
diperlukan integrasi visi bersama tentang cara pandang menuju pembangunan yang
berkelanjutan. Visi dan kebijakan yang bersifat kooperatif dan antisipatif untuk
menjaga keseimbangan hubungan manusia dan alam merupakan pilihan yang rasional
dan lentur bagi bangsa ini dengan tetap menjaga optimisme kemampuan teknologi
dalam memecahkan problem bangsa ke depan.

Wajah baru Indonesia juga harus mencerminkan keadilan dan keseimbangan ketujuh
gugus ekosistem kepulauan sebagai instrumen spasial untuk mengukur dan menilai
keberhasilan strategis jangka panjang dengan analisis yang tepat, dan juga inovasi
kebijakan untuk merespon permasalahan normatif kontemporer. Strategi pembangunan
berkelanjutan jangka panjang hendaklah bersifat fleksibel dan adaptive agar mampu
merespon nilai-nilai normatif yang cenderung berubah lebih cepat. Aspek normatif
hendaknya dijabarkan secara bersama oleh pejabat publik, ilmuwan, swasta, dan
masyarakat sipil dalam kriteria indikator yang jelas sebagai tolok ukur keberhasilan
sistem ketataprajaan yang berjalan dalam siklus politik 5 tahunan.

Bahan bacaan

Constanza, R. 2000. Perspective Visions of Alternative (Unpredictable) Futures and


Their Use in Policy Analysis. Conservation Ecology 4(1):5. (online)
URL:http://www.consecol.org/vol4/iss1/art5

Simon, H. 2004. Membangun Kembali Hutan Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar.


Yogyakarta

Soemarwoto, O. 2007. Pembangunan Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam


diskusi nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup: Refleksi dan Visi ke Depan.
Diselenggarakan oleh PPI Wageningen di Wageningen. Belanda.
Akuntabilitas Publik
Di Indonesia
Gde Yoga Prawita
PPI Rotterdam

Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda 2007


Draft Akuntabilitas Publik

________________________________________________________________________

Abstrak

Maraknya praktek KKN dalam perusahaan-perusahaan BUMN dan departemen-


departemen negara pada tingkat daerah maupun pusat menunjukan lemahnya sistem
regulasi keuangan di Indonesia. Fakta mengindikasikan lemahnya sistem regulasi
keuangan di Indonesia berimplikasi pada rendahnya tingkat akuntanbilitas dan
tranparensi dalam laporan keuangan dalam tubuh perusahaan-perusahaan nasional
maupun swasta, serta dalam kinerja badan-badan independent keuangan di Indonesia.
Makalah ini akan membahas sistem regulasi keuangan, standar akuntansi di Indonesia
dan memberikan rekomendasi sesuai dengan trend dan masalah yang ada.

________________________________________________________________________

Kerangka dan Pokok-Pokok Pikiran


Analisa Kondisi

Analisa Masalah
- Standar akuntansi nasional yang tidak dapat disesuaikan dengan standar akuntansi
international
- Kinerja badan-badan indepedent keuangan yang tidak optimal
- Lemahnya struktur regulasi keuangan di Indonesia
- (dalam pembahasan)

Analisa Potensi
- Sumber daya manusia
Akuntan publik dari dalam maupun luar negri
Sarjana, master dan PhD dari dalam dan luar negri
- Program sarjana, pasca sarjana dan doktoral dalam bidang akuntansi & keuangan
yang sangat memadai dalam universitas-universitas nasional dan berkembang
seiring dengan perkembangan standarisasi akuntansi international
- (dalam pembahasan)
Analisa Trend
- Tingginya kebutuhan penerapan metode Good Governance atau Tertib
Administrasi Keuangan dalam perusahaan-perusahaan BUMN & swasta dan
departemen-departemen negara untuk meningkatakan tingkat akuntabilitas &
transparansi dan memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Metode ini juga akan
mengingkatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada kinerja pajabat-pejabat
negara apabila metode ini diaplikasikan secara disiplin dan optimal.
- Meningkatnya tingkat kompleksitas bisnis proces dalam perusahaan-perusahaan
nasional dan swasta mengharuskan pemerintah Indonesia untuk meningkat
standar akuntansi untuk setiap industri dan membenahi sistem regulasi keuangan
di Indonesia seiring dengan meningkatnya standar international.
- (dalam pembahasan)

Strategi Transformasi
- Menetapkan standar akuntasi yang dapat di sesusaikan dengan standar
international.
- Membenahi sistem regulasi keuangan di Indonesia. contoh; pembentukan badan
independent yang beranggotakan birokrat, profesional dan akademisi.
- Penyediaan program pelatihan yang diadakan secara rutin dan disiplin sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan standar akuntansi nasional dan
international.
- (dalam pembahasan)

Visi Masa Depan


- Sistem regulasi keuangan nasional yang dapat meningkatkan tingkat akuntabilitas
dan transparansi (dalam pembahasan)
- Sistem regulasi keuangan yang dapat menciptakan iklim investasi yang bersih dan
adil (dalam pembahasan)
E-Government: Di manakah kita (kini)?
oleh: Syamsul Ibad S.E, B.Ba

Abstraksi

Kemajuan teknologi, khususnya di bidang telematika, telah menandai abad 21


sebagai era strategi –era di mana berbagai macam displin ilmu berkelindan
dan berinterpolasi demi lahirnya strategi dan inovasi baru (Porter, 2001).
Demikian pula, teknologi informasi yang dicangkokkan ke dalam sistem
pemerintahan pun telah memberikan peluang terhadap transformasi atau
perubahan ke arah penerapan pemerintahan yang lebih transparan,
akuntabel, demokratis, dan efektif. E-government, dalam sudut pandang ini,
memiliki keunggulan kompetitif untuk mendukung strategi pemerintahan
nasional demi perbaikan di bidang pelayanan publik, finansial, politik,
pendidikan, dan bidang-bidang lain.

Pendahuluan
Akhir-akhir ini, pembicaraan mengenai utilisasi teknologi informasi di sektor
pemerintahan melalui apa yang disebut dengan e-government semakin
hangat dibicarakan. Ada pandangan skeptis, pesimis, positif, bahkan apatis
dari banyak analis. Kebanyakan berangkat dari sudut pandang ketidaksiapan
negara kita dari sisi sumber daya manusia dan infrastruktur telekomunikasi.
Benarkah demikian? Padahal, tren yang sedang terjadi saat ini adalah
semakin diujinya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan suatu negara.
Pemerintah, jika ingin diakui legitimasinya, mau tidak mau akan dihadapkan
pada persoalan transparansi ini.
Era perdagangan bebas sudah di depan mata. Di level regional, hampir
seluruh negara anggota AFTA (Asean Free Trade Agreement) telah berbenah
diri untuk semakin meningkatkan Country Specific Advantage-nya, khususnya
di bidang pelayanan publik. Malaysia, misalnya, pada awal Februari 2005
telah menguji coba konsep e-village berjuluk “Kampung Cyber Jaya”. Di
“kampung” ini, KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidaklah cuma berupa selembar
kartu yang dilaminasi, melainkan sebuah “kartu pintar” (smart card) yang
memiliki chip semikonduktor yang dapat menampung seluruh data historis si
pemilik, di antaranya data-data mengenai identitas pemilik, rekam medik
(medical record), rekening bank, asuransi, dan masih banyak lagi (PC
Magazine, Januari 2004). Lewat layanan e-government semacam ini, niscaya,
kualitas pelayanan publik akan semakin meningkat, seiring dengan
tumbuhnya tingkat kepercayaan diri suatu negara untuk berkiprah di pasar
bebas. Investor yang ingin menanamkan modalnya, misalnya, cukup
menggunakan koneksi internet untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan
sebagai bahan analisis kelayakan investasi di suatu negara. Pada saatnya
nanti, tidak akan ada kepala negara yang bisa jalan-jalan ke luar negeri
dengan dalih menarik investor. Internetlah yang akan melakukannya.
Paper ini akan mengupas beberapa sisi dari e-government: definisinya,
tujuan dan manfaatnya, tahapan-tahapannya, faktor-faktor yang mendorong
kesuksesannya, dan tentu saja, beberapa contoh aktual dan faktual dari
penerapan e-government di negara lain.

Definisi dan Keuntungan dari Penerapan E-


Government
Secara singkat, tidak ada rumusan baku mengenai e-government, karena
penerapannya sendiri amat tergantung kepada lingkup, struktur
pemerintahan, anggaran, sumber daya, dan visi pemerintah pusat terhadap e-
government itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi yang setidaknya dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai e-government:
Persatuan Bangsa-bangsa (PBB): “E-government is defined as utilizing the
Internet and the world-wide-web for delivering government information and
services to citizens” (www.unpan.org)

Bank Dunia: “E-Government refers to the use by government agencies of


information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and
mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens,
businesses, and other arms of government. These technologies can serve a
variety of different ends: better delivery of government services to citizens,
improved interactions with business and industry, citizen empowerment
through access to information, or more efficient government management.
The resulting benefits can be less corruption, increased transparency, greater
convenience, revenue growth, and/or cost reduction”. (www.worldbank.org).

Global Business Dialogue on Electronic Commerce (GBDe): Electronic


government (hereafter e-Government) refers to a situation in which
administrative, legislative and judicial agencies (including both central and
local governments) digitize their internal and external operations and utilize
networked systems efficiently to realize better quality in the provision of public
services. (www.gbde.org)

Jadi, apakah sebenarnya e-government itu? Dalam bentuk dan lingkup yang
paling sederhana, e-government adalah penggunaan teknologi internet dan
web sebagai media untuk menyampaikan informasi dan layanan lainnya bagi
rakyat di suatu negara. Mengambil definisi ini, maka kehadiran Departemen-
departemen pemerintah (ambil misalnya www.depdiknas.go.id)., situs-situs
resmi Pemerintah Pusat (misal www.ri.go.id., www.lin.go.id), maupun
Pemerintah Daerah sudah merupakan bentuk implementasi dari e-
government. Itu baru dalam hal penyediaan informasi kepada masyarakat.
Lalu bagaimana dengan layanan publik lainnya seperti pengurusan identitas,
paspor, surat izin mengemudi (SIM), Izin Membangun Bangunan (IMB),
Tanda Daftar Umum Perusahaan (TDUP), atau bahkan pelayanan dan
pembayaran pajak? Nah, layanan-layanan publik inilah yang disebut sebagai
e-government yang terintegrasi secara penuh. Sejauh mana integrasi yang
dilakukan akan sepenuhnya tergantung kepada visi pemerintah sendiri
terhadap e-government. Pemerintah Australia, misalnya, sejak tahun 2001
telah mempunyai layanan e-government yang terintegrasi. Menggunakan
Closed-circuit Television atau CCTV (kamera pengintai) di tiap-tiap ruas jalan,
Polisi Australia dapat dengan mudah menangkap gambar para pelanggar
peraturan lalu lintas. Keesokan harinya, datang surat penagihan denda,
beserta foto hasil jepretan CCTV kepada si pelanggar yang bisa dia bayar di
ATM manapun. Jika si pelanggar tidak membayar denda pada tenggat waktu
yang telah diberikan, catatan pajak kendaraannya pada server pusat akan
dicabut, yang mana artinya, STNK kendaraan si pelanggar dibekukan.
Pemerintah negara bagian Baden-Wuttenberg, Jerman, misalnya lagi,
telah meluncurkan satu situs layanan publik yang terintegrasi. Hanya dengan
mengunjungi situs tersebut (http://www.service-bw.de) masyarakat dapat
memperoleh layanan publik seperti pembuatan dan perpanjangan paspor,
akte kelahiran atau pernikahan, pelayanan pajak, dan lain-lain.
Di dalam negeri, Departemen Perpajakan Indonesia sendiri
(www.pajak.go.id) telah meluncurkan layanan pembayaran pajak secara on-
line, baik menggunakan e-banking maupun ATM. Berhasil tidaknya layanan
ini akan kita ketahui di kemudian hari. Setidaknya, Dirjen Pajak telah
mempunyai visi untuk semakin meningkatkan kualitas layanannya kepada
masyarakat luas. Toh, Pemerintah Indonesia sendiri, telah mempunyai
infrastruktur dan landasan hukum yang cukup memadai. Ini dibuktikan dengan
diberlakukannya Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Setidaknya, kita telah
mempunyai kerangka hukum yang memadai. Apalagi dalam lampirannya,
Presiden juga mengarahkan tahapan-tahapan dan strategi yang harus
dilakukan. Bisa dikatakan, inilah cetak biru pengembangan e-government di
negara kita tercinta ini.
Di lain pihak, Rahardjo (2001), mengemukakan beberapa manfaat dari
e-government, antara lain:
• Peningkatan aksesbilitas terhadap sumber informasi dan layanan
pemerintah yang dapat diakses kapanpun dan di manapun,
sepanjang terhubung dengan jaringan internet.
• Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan
masyarakat umum. Adanya keterbukaan (transparansi) maka
diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik.
Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan salah paham
yang mungkin timbul.
• Pemberdayaan masyarakat melalui informasi ya ng mudah
diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat
akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh,
data-data tentang sekolahan (jumlah kelas, daya tampung murid,
passing grade, dan sebagainya) dapat ditampilkan secara online
dan digunakan oleh orang tua untuk memilihkan sekolah yang tepat
untuk anaknya.
• Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien. Sebagai contoh,
koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui email atau bahkan
video conferencing. Bagi Indonesia yang luas areanya sangat
besar, hal ini sangat membantu. Tanya jawab, koordinasi, diskusi
antara pimpinan daerah dapat dilakukan tanpa kesemuanya harus
berada pada lokasi fisik yang sama. Tidak lagi semua harus
terbang ke Jakarta untuk pertemuan yang hanya berlangsung satu
atau dua jam, misalnya.

Di lain pihak, West (2004), lewat penelitiannya di Amerika Serikat


menyimpulkan bahwa e-government berpotensi untuk (1) memperbaiki
kualitas pelayanan terhadap masyarakat, (2) menggalang respon atau umpan
balik yang lebih demokratis, (3) meningkatkan aksesbilitas public, dan (4)
menumbuhkan keyakinan pada masyarakat bahwa pemerintahannya berjalan
dengan efektif.

Tujuan Penerapan E-Government di Indonesia


E-government secara umum bertujuan untuk:
• Memberikan akses yang lebih luas pada informasi-informasi
pemerintahan
• Mempromosikan keterlibatan masyarakat dengan memudahkan
masyarakat untuk berinteraksi dengan pemerintah
• Membuat pemerintahan semakin accountable lewat pemerintahan
yang lebih transparan yang mana akan mengurangi kecenderungan
untuk melakukan korupsi.
• Memudahkan pemerataan pembangunan dan akses layanan
pemerintah, khususnya pada masyarakat urban dan pedesaan.

Hal-hal tersebut di atas senada dengan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003,
yang mana pengembangan e-government di Indonesia bertujuan untuk:
• Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik
yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan
masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah
Indonesia pada setiap saat tidak dibatasi oleh sekat waktu dan
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
• Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk
meningkatkan perkembangan perekonomian nasional dan
memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan
perdagangan internasional.
• Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan
lembaga-lembaga negara serta penyediaan fasilitas dialog publik
bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan
kebijakan negara.
• Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan
dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar
lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.

Dilihat dari semua tujuan di atas, kiranya cukup jelaslah bahwa e-government
dapat menjadi mediator bagi terciptanya transparansi, yang lebih jauh lagi,
dapat mentransformasi pemerintahan kita menjadi pemerintahan yang lebih
efisien dan membumi. Mestinya, jika proses transformasi ini berjalan dengan
mulus, masyarakat dapat dengan mudah melakukan kontrol dan audit atas
mismanajemen pemerintahan yang (mungkin) terjadi di lapangan. Pemerintah
pun akan mampu menuai kepercayaan publik yang pada akhirnya akan
meningkatkan legitimasi dan wibawa pemerintah.

Tahapan-tahapan Pengembangan E-Government.


United Nations Online Network in Public Administration and Finance
(www.unpan.org), yang merupakan organ PBB yang menjembatani studi di
bidang administrasi publik dan keuangan, menjabarkan rekomendasi
tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh suatu negara dalam pengembangan
e-government. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Emerging: yaitu, tahapan di mana negara melakukan komitmen
awal untuk menjadi pelaku e-government. Beberapa situs internet
dibuat untuk menyediakan informasi poliltik dan organisasional
pemerintahan. Situs-situs ini menyediakan informasi kontak
(contact information) bagi penggunanya, namun pada banyak kasus
tidak terdapat fitur FAQ (Frequently Asked Questions) dalam situs
tersebut. Situs inipun jarang di-update.
2. Enhanced: yaitu tahapan di mana kehadiran suatu negara di
Internet semakin diperkukuh dengan bertambahnya situs-situs
departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan. Isinyapun
semakin kaya dengan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
dan up-to-date. Publikasi pemerintah, legislasi, dan bulettin digital
(newsletter) mulai tersedia, lengkap dengan fitur pencarian
dokumen, alamat e-mail, dan lain-lain.
3. Interactive: Pada tahapan ini, terbukalah akses yang luas terhadap
bermacam-macam situs institusi dan pelayanan pemerintah. Situs-
situs ini mulai menawarkan interaksi kepada penggunanya yang
sedang online lewat e-mail maupun ruang untuk memberikan
komentar (chat box). Kapasitas data yang tersedia semakin banyak,
dan data-data ini diperbaharui (update) secara teratur.
4. Transactional: pada tahapan ini, telah tersedia layanan yang
menyeluruh dan aman untuk digunakan sebagai media transaksi.
Masyarakat, misalnya, dapat mengurus paspor, visa, berbagai surat
izin, dan dapat melakukan pembayaran pajak dan bukan pajak
secara on-line. Tahapan ini membutuhkan infrastruktur internet
yang “kebal” terhadap serangan cyber crime yang dilakukan oleh
para cracker atau black hackers.
5. Fully Integrated: pada tahapan akhir ini, telah tercapai kapasitas
atau kemampuan untuk mendapatkan seluruh aspek-aspek
pelayanan pemerintah. Di sini, tidak ada garis pemisah antara
departemen pemerintah yang satu dengan yang lainnya.
Pembayaran pajak, misalnya, dapat juga dilakukan pada situs
Kepolisian. Layanan akan di-cluster-kan ke dalam kebutuhan
masyarakat yang paling umum.

Tahapan yang relatif sama tercantum dalam lampiran Instruksi Presiden No. 3
Tahun 2003 yang menyatakan 4 tingkatan dalam pengembangan e-
government, antara lain:
I. Tingkat 1 - Persiapan yang meliputi :
i. Pembuatan situs informasi disetiap lembaga;
ii. Penyiapan SDM;
iii. Penyiapan sarana akses yang mudah misalnya menyediakan
sarana Multipurpose Community Center, Warnet, SME-Center, dll;
iv. Sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk
publik.
II. Tingkat 2 - Pematangan yang meliputi:
i. Pembuatan situs informasi publik interaktif;
ii. Pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga lain;
III. Tingkat 3 - Pemantapan yang meliputi:
i. Pembuatan situs transaksi pelayanan publik;
ii. Pembuatan interoperabilitas aplikasi maupun data dengan
lembaga lain.
IV. Tingkat 4 - Pemanfaatan yang meliputi:
i. Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat G2G, G2B dan
G2C yang terintegrasi.

Kiranya, cukup mudah untuk menyimpulkan bahwa pemerintah kita telah


mempunyai tujuan dan strategi yang cukup jelas dan terarah dalam proses
pengembangan e-government. Hal ini terbukti dari lengkapnya Instruksi
Presiden No. 3 tahun 2003 yang juga mencantumkan arah kebijakan, strategi,
tujuan, bahkan kerangka arsitektur baku yang akan digunakan oleh masing-
masing instansi maupun lembaga pemerintahan.

Lalu, di Manakah Kita (kini)?


Meskipun implementasi e-government memiliki banyak peluang sebagaimana
disebut pada bagian-bagian awal paper ini, Swartz (2004) secara skeptis
menyebutkan kondisi e-government saat ini yang secara umum sedang
berada “di persimpangan jalan” dengan mengungkapkan fakta bahwa
meskipun kebanyakan negara telah memiliki situs resmi pemerintahannya,
pada kenyataannya, pengguna situs e-government di dunia, jika dirata-rata,
tidak lebih dari 20 persen rakyatnya. Parahnya lagi, 60 persen dari seluruh
proyek e-government yang dilakukan oleh pemerintah pada negara-negara
berkembang mengalami kegagalan total. Walaupun tidak menjelaskan secara
gamblang penyebab kegagalan tersebut, tak pelak, di balik ingar bingar
diskusi mengenai e-government, temuan ini cukup mengejutkan.
Swartz (2003) juga telah mengemukakan lambatnya pengembangan e-
government di Inggris. Dikembangkan pertama kalinya pada awal 2001
dengan pengguna awal sebesar 15% dari populasi pengguna internet, pada
tahun 2003, Inggris Raya hanya mencatat 70% dari seluruh layanan
pemerintah yang dapat diakses lewat internet. Inipun hanya diakses oleh
sekitar 49% dari total populasi.
Di lain pihak, Holliday (2002) melaporkan bahwa dari 190 anggota PBB
saat itu, 11% tidak memiliki e-government sama sekali, 17 persennya berada
pada tahapan emerging, 34% pada tahapan enhanced, 29% pada fase
interaktif, dan selebihnya (9%) telah memasuki pada fase transaksional. Saat
itu, belum ada negara yang telah mengintegrasikan e-government secara
penuh, termasuk Amerika sendiri sebagai “pemimpin” di bidang e-
government. Pada akhir tulisannya, Holliday (2002) juga mengklasifikasikan
tingkat aktifitas berinternet di Asia, yaitu kelompok negara yang aktifitas
internet rakyatnya tinggi (Jepang Hongkong, Singapura dan Taiwan), sedang
(Brunei Darussalam, Philipina, Korea Selatan, dan Thailand), rendah
(Kamboja, Indonesia, Malaysia, China), dan amat rendah (Laos, Myanmar,
Korea Utara, dan Vietnam).
Memang, berbicara mengenai e-government tidak akan lepas dari
aktifitas penggunaan internet oleh rakyat negara bersangkutan. Sesempurna
apapun sistem e-government yang dimiliki pemerintah suatu negara tidak
akan banyak membantu jika tidak ada orang yang menggunakan atau
mengaksesnya. Indonesia sendiri memiliki catatan yang lumayan parah dalam
pengembangan internet. Dirjen Postel (www.postel.go.id) sendiri pada tahun
2001 mencatat rendahnya penetrasi jaringan telepon di Indonesia (3 dari 100
orang), minimnya infrastruktur telekomunikasi yang sialnya juga hanya
terkonsentrasi di perkotaan, serta nasib rakyat pedesaan yang masih belum
terjamah sambungan telepon. Hanya 4 juta orang yang memiliki akses
terhadap internet. Meskipun demikian, ada 61 juta pengguna potensial dan
jumlah ini terus meningkat secara dramatis. Namun, jumlah sebesar ini hanya
mencakup 28% dari total populasi rakyat yang 215 juta. Yang cukup
melegakan adalah laporan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia
(www.apjii.go.id) bahwa jika pada tahun 1995 hanya terdapat 85 situs yang
memiliki domain .id (kode top-level domain untuk situs web Indonesia), maka
pada tahun 2001, telah terdapat 4270 situs. Ini berarti telah terjadi lonjakan
situs berdomain .id sebesar 50 kali lipat dalam kurun waktu 6 tahun. Tak lupa,
Dirjen Postel juga mencatat eksistensi aplikasi e-government di 86 lokasi, dan
aplikasi e-government yang sifatnya kaya informasi pada 95 unit “Desa Maju”.
Dengan demikan, menilik pada kriteria PBB, Indonesia masih berada
pada tahapan kedua pengembangan e-government, yaitu fase enhanced.
Yang patut disayangkan adalah banyaknya situs-situs pemerintah yang sudah
terlalu lama tidak di perbaharui (up-date).
Di laih pihak, jika diukur lewat kriteria Inpres No. 3 Tahun 2003 sendiri,
e-government kita kiranya masih berada pada tahapan kedua, yaitu
pematangan. Djoko Agung, asisten Deputi Bidang Pengembangan E-
Government pada Kementrian Komunikasi dan Informasi, seperti dilansir oleh
The Jakarta Post (15 Januari 2003) mengkonfirmasi rendahnya kesiapan kita
untuk mengadopsi e-government. Meskipun demikian, program e-government
toh telah dicanangkan pada tahun itu juga. Selanjutnya, tinggal kitalah yang
akan menyumbangkan kontribusi terhadap eksistensi e-government tersebut,
demi mendukung transformasi pemerintahan ke era e-government.

Penutup
Teknologi informasi yang dicangkokkan ke dalam sistem pemerintahan telah
memberikan peluang terhadap transformasi atau perubahan ke arah
penerapan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, demokratis, dan
efektif. Indonesia, dengan segala keterbatasan infrastruktur, sumber daya,
dan budayanya, sedang menuju ke arah itu. Dengan landasan Instruksi
Presiden No. 3 Tahun 2003, tahapan-tahapan menuju e-government dimulai
sudah. Ke mana pendulum mengarah, baik itu menuju kesuksesan maupun
kegagalan implementasi e-government kiranya bukan melulu tanggung jawab
pemerintah.
Di balik itu, masyarakat juga dituntut untuk tidak abai terhadap
transformasi, karena pada dasarnya, transformasi pemerintahan juga
merupakan transformasi citizenship. Pertanyaan selanjutnya adalah: sejauh
mana Anda mau menyumbangkan kontribusi terhadap pengembangan e-
government kita? Lalu, sejauh manakah Anda mampu memanfaatkan layanan
e-government tersebut? Hanya kitalah yang mampu mewujudkannya.

/00/
Referensi

Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia.


URL: http://www.apjii.or.id/news/index.php?ID=2002052301855&lang=ind
Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Dirjen Pos dan Telekomunikasi Indonesia (2001). Internet Development in


Indonesia. URL: www.postel.go.id. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Deputi Sekretaris Bidang Hukum dan Perundang-undangan (2003). Instruksi


Presiden No. 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-Government. Jakarta.

Global Business Dialogue on Electronic Commerce (GBDe)


URL: www.gbde.org. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Holliday, Ian (2002). Building E-Government in East and South East Asia:
Regional Rhetoric and National (In)Action. Public Administration and
Development. Vol. 22 (4)

Porter, M. E. (2001). Strategy and the Internet. Harvard Business Review,


79(2), 63-78.

Rahardjo, Budi (2001).Membangun E-Government. Makalah yang


disampaikan
pada Seminar Nasional Jaringan Komputer II, di Makassar. URL:
http://www.geocities.com/seminartsc. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Swartz, Nikki (2004). E-Government Around the World. Information


Management Journal. Vol 38 (1).

Swartz, Nikki (2003). British Slow to Use e-Government Services. Information


Management Journal. Vol. 37 (2).
The Jakarta Post.
URL:
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20030115.B01.
Dikunjungi pada 30 Mei 2004

The World Bank Group, “E-Government Definition”.


URL: http://www1.worldbank.org/publicsector/egov/definition.htm
Dikunjungi pada 30 Mei 2004.

United Nations Online Network in Public Administration and Finance.


URL: www.unpan.org. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

West, D.M (2004). E-Government and the Transformation of Service Delivery


and Citizen Attitudes. Public Administration Review. Vol. 64 (1). Washington.
‘Rethinking Indonesian Governance’:
Dari Government ke Governance

Oleh:
Rosdiansyah, Ishak Salim dan Wiky Witarni
(PPI Kota Den Haag)

Pasca reformasi 1998 dan pengesahan UU Pemerintahan Daerah 1999, yang direvisi
dengan UU Pemerintahan Daerah 2004, maka Indonesia kini sudah memasuki era de-
sentralisasi kekuasaan dan kewenangan dalam struktur birokrasi pusat-daerah. De-
sentralisasi ini berjalan ditengah pergulatan para aktor di pusat dan daerah, untuk mencari
format yang tepat, efektif dan partisipatif, yang kelak bisa menghasilkan produk-produk
kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat luas.

Namun demikian, reformasi kebijakan, de-sentralisasi kewenangan dan transfer


kekuasaan dari pusat ke daerah acapkali terhambat oleh beberapa hal :

1. Struktur mentalitas birokrasi yang belum sepenuhnya menerima kenyataan baru,


yakni de-sentralisasi sebagai keniscayaan. Bentuk nyata dari struktur mentalitas
ini adalah masih adanya pemikiran, pemahaman dan keyakinan para aktor
pemerintah pusat, bahwa kendali pusat masih harus dipertahankan walau sudah
terjadi otonomi daerah.

2. De-sentralisasi sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah 2004, pada


kenyataannya berjalan di tempat, karena tahap implementasinya belum
melibatkan para aktor diluar negara. Para aktor ini masih dianggap sebagai
‘people’ (rakyat biasa), dan bukan sebagai ‘citizen’ (warga yang punya hak).

3. Pemerintah Daerah masih menerapkan model kebijakan ‘top-down’ melalui


rencana strategis (renstra), yang semuanya diukur dari perspektif birokrasi daerah.
Pelibatan para aktor non-birokrasi hanya bersifat konsultatif, tapi belum pada
substantif renstra.

4. Disparitas menyolok antara laju pertumbuhan dan perkembangan pusat dibanding


daerah, pada gilirannya menghasilkan kecemburuan sosial dan meningkatnya
sentimen kedaerahan. Ditambah lagi, belum adanya konvergensi terhadap
pengelolaan keuangan pusat-daerah, maka disparitas ini semakin terbuka lebar.

5. Pemerintah Daerah saat ini justru sibuk dengan upaya pembenahan internal, yang
kadang tidak terkait dengan keterlibatan stakeholder non-negara. Ironinya,
pembenahan internal itu acapkali diklaim sebagai upaya peningkatan pelayanan
kepada masyarakat luas.

1
6. Pemerintah Daerah belum sepenuhnya otonom dalam menentukan model
interaksi antar-stakeholder, karena seringkali terjadi intervensi Depdagri selaku
promotor de-sentralisasi. Ironinya, aktor-aktor Depdagri sering berada di
persimpangan jalan dalam memahami dan mengimplementasikan de-sentralisasi.
Muncul fenomena ‘otonomi setengah hati’.

Berangkat dari kenyataan itu, maka selayaknya kini para aktor tata pemerintahan
(governance) di Indonesia :

1. Memahami, bahwa tata pemerintahan bersifat luas, melibatkan aktor-aktor non-


negara, dalam konteks ‘Governance’.

2. Era ‘government’ yang sangat elitis, kaku dan seolah berada di menara gading,
kini sudah berakhir dengan adanya UU Pemerintahan Daerah 2004. Pemerintah
daerah harus mereformasi mentalitas diri agar memberi ruang bagi akto-akto
non-negara dalam pembangunan di tingkat lokal.

3. Pemahaman terhadap filosofi ‘governance’ harus diupayakan secara


menyeluruh, tidak lagi parsial, sekadar mendesak kepada pemerintah daerah,
harus akuntabel, transparan dan responsif.

4. Saat ini, belum ada konvergensi pemahaman yang utuh dan komprehensif
terhadap konsep ‘governance’ di Indonesia. Para aktor non-negara mendasarkan
pemahamannya atas ‘governance’ pada rujukan dari organisasi internasional
seperti World Bank dan UNDP, sebaliknya, para aktor negara justru menggali
perspektif ‘governance’ dari model peningkatan pelayanan satu arah, belum
menunjukkan itikad mengembangkan feed-back mechanism.

5. Pemerintah Daerah perlu pula mengembangkan pemahaman baru di berbagai


sektor terkait dengan penerapan ‘governance’, sebagaimana pernah diusung
oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan konsepnya ‘Ocean
Governance’ yang tertuju kepada model pemberdayaan masyarakat pesisir dan
masyarakat di pulau-pulau kecil. Dalam model ini, kebutuhan masyarakat
setempat menjadi prioritas dalam perumusan kebijakan daerah. Sebagaimana
diketahui, de-sentralisasi di Indonesia adalah de-sentralisasi daratan, bukan
lautan.

6. Pengembangan diskursus ‘governance’ di Indonesia harus dilakukan secara


merata, tidak lagi semata monopoli para aktor negara atau aktor non-negara.
De-sentralisasi dan otonomi akan mencapai hasil maksimal, apabila
institusional building yang bertumpu pada ‘path-dependent’ dalam konteks
‘governance’ bisa berjalan baik.

(Draft)

2
Strategi Pembangunan di Wilayah Rawan Tsunami
Berdasarkan Perspektif Ekonomi di
Aceh dan Nias
Oleh : Achmad Adhitya

Abstraksi
Strategi penangan bencana di Indonesi yang selama ini memfokuskan pada proses pembangunan
kembali wilayah pasca bencana, paradigma baru penanganan bencana adalah pada proses mitigasi
untuk mencoba mengurangi dampak bencana dan menekan biaya pembangunan kembali suatu
wilayah, dalam hal ini instrumen – instrumen pembiayaan yang didasrkan pada mekanisme pasar
harus dioptimalkan.

Pendahuluan
Indonesia terletak di 3 lempeng tektonik besar, yakni : Eurasia, Indo – Australia dan
Lempeng Pacific. Letak tektoni ini menyebabkan banyak terjadi gempa setiap tahunnya
Kebanyakan Gempa bumi berpotensi menyebabkan kehancuran.

Indonesian tectonic setting


Cincin api adalah wilayah paling rawan gempa di dunia, 90% dari gempa bumi yang
terjadi di dunia dan 81 % gempa bumi terbesar terjadi disekitar area ini. Wilayah yang rawan
gempa berikutnya (56 % terjadi gempa bumi dan 17 % adalah gempa bumi dahsyat yang
terjadi) adalah Alpide belt yang terbentang dari Jawa sampai ke Sumatra lalu ke Himalaya,
Mediterania dan keluar ke Atlantic.

Indonesia terbentang antara Cincin Api sepanjang kepulauan utara yang berdekatan dan
termasuk New Guinea dan Alpide Belt sepanjang selatan dan barat dari Sumatra, Jawa, Bali,
Flores dan Timor.

Dikarenakan letak tektonik ini, tercatat di Indonesia terjadi 19 kali gempa bumi dengan
kekuatan 4 skala richter dalam periode 1990 – 2006.

Sejauh ini, tsunami yang merusak disebabkan oleh gempa bumi yang luas dan dangkal
dengan epicenter atau garis lupatan dekat atau diatas dasar laut. Hal ini biasanya terjadi di
wilayah yang dikarakteristikan oleh terusan kedalam sepanjang batas lempeng tektonik.

Tsunami yang paling merusak terjadi pada 26 Desember 2004, ini disebabkan oleh
masuknya lempeng tektonik India ke Lempeng Birma, proses ini disebabkan gaya keatas dan
menggerakan tsunami. Korban manusia yang disebabkan oleh tsunami ini tercata 300.000
orang meninggal dan menghilang.

Tsunami yang lain terjadi pada 28 maret 2005, epicenter ini berada di dekat Pulau Nias
tidak terlalu jauh dari epicenter pertama dimana tsunami sebelumnya terjadi. Tsunami ini
disebabkan transfer tegangan dari tsunami sebelumnya. Walaupun tsunami pertama tidak
sebesar tsunami sebelumnya tapi rentang waktu tsunami pertama dan kedua yang terjadi
menunjukkan bahwa daerah tersebut rawan terkena tsunami.

Tsunami terakhir terjadi pada tanggal 17 juli 2006, epicenter nya berada didekat daerah
pantai Pangandraan. Kekuatan dari gempa bumi tersebut mencapai 7,7 skala richter. Korban
jiwa tercatat pada tsunami tersebut 600 orang meninggal, 431 orang luka – luka dan 230
orang hilang. Penyebab dari tsunami ini adalah proses berlanjutnya masuknya lempeng India
terus kearah selatan dan timur sepanjang parit Sunda.
Sejak SUnami 26 December 2004, banyak pihak menaruh perhatian mendalam pada
permasalahan tsunami, Perserikatan bangsa bangsa, UNESCO, menyatakan bahwa Juni 2006
sistim peringantan dini tsunami telah mulai bekerja. Peringatan akan memantau Samudera
India dari pusat monitoring tsunami yang telah ada di Hawaii dan Jepang.

System peringatan tsunami memang bekerja, 17 menit setelah terjadi gempa bumi yang
menyerang pulau jawa, ilmuwan di pusat peringatan tsunami di pacfic di Hawaii menangkap
data seismologic dan mengirimkan kabar ke para ilmuwan di Jakarta, namun tetap saja
banyak korban jiwa yang terjadi. Hal ini disebabkan tidak ada guidelines untuk masyarakat
untuk menyelamatkan diri mereka dari terjadinya tsunami, lemahnya kewaspadaan publik dan
minimunnya perlengkapan semacam sirine untuk mengingatkan masyarakat.

Ada paradigma baru dalam hal manajemen resiko., yang pertama adalah program
kontrol resiko dan yang kedua adalah prorgam pembiayaan resiko (Risk Assesment and
Management in Local Government Emergency Planning, James A. Gordon, Institute for
catastrophic loss reduction) Program pengontrolan resiko berhubungan dengan hal pra
bencana dan beragam metode mengurangi resiko yang dapat terjadi disatu wilayah.

Simulasi tsunami adalah bagian dari proses mitigasi yang merupakan bagian dari
strategi penangan resiko. Melakukan simulasi tsunami dapat digunakan sebagai titik awal
untuk menganalisa dampak dan kerusakan di satu wilayah. Simulasi tsunami juga dapat
digunakan untuk membangun struktur perlindungan pesisir.

Korban jiwa dapat dikurangi atau bahkan dihindarkan sama sekali, tapi kerusakan fisik
pasti terjadi jika satu wilayah tidak dilindungi dengan baik dari tsunami, bahkan ketika sudah
dilindungi dengan baik pun kerusakan fisik masih mungkin terjadi. Masalah utama pasca
tsunami yang terjadi disuatu wilayah adalah pembangunan kembali infrastruktur yang terjadi.
Pemerintah harus membangun kembali rumah, merelokasi pengungsi dan mengembalikan
fasilitas publik untuk memperbaiki ekonomi di satu wilayah.
Ada 3 kemungkinan instrumen yang digunakan untuk melakukan pembiayaan resiko
yang dapat digunakan untuk membangun kembali suatu wilayah pasca tsunami, instrumen –
instrumen tersebut adalah Pendanaan pemerintah (Pendapatan Bruto), pinjaman internasional
dan asuransi. Tiap instrumen memiliki keuntungan dan kekurangan yang berbeda.

Paradigma baru untuk menangani permasalahan bencana adalah dengan memfokuskan


diri pada pra bencana sehingga memiliki persiapan lebih baik sebelum bencana, hal ini
diharapkan dengan strategi manajemen resiko tidak hanya menghindari dan mengurangi
bencana tapi menekan biaya restrukturisasi kembali di satu wilayah.

Asuransi bukan satu satunya instrumen untuk memecahkan masalah, asuransi adalah
bagian dari framework nasional untuk menangani tsunami. Disamping asuransi juga harus ada
kebijakan yang mendorong dan memberikan pondasi daasr untuk mengikuti strategi lanjutan,
semacam pembangunan SDM, kewaspadaan publik. Disamping permasalahan pembiayaan
resiko juga harus ada program kontrol resiko yang berhubungan dengan kampanye
kewaspadaan tsunami..

Organisasi Pemerintah dan Kebijakan Penanganan Bencana Alam di


Indonesia
Ada beberapa kebijakan dan hukum yang dikeluarkan untuk memperbaiki manajemen
penangan resiko bencana alam di Indonesia, beberapa organisasi dan badan pemerintahan
dibentuk dari tahun 1979 sampai 2002, isu yang ditangani oleh organisasi ini pun tidak hanya
berkisar pada penanganan bencana alam namun juga pada konflik masyarakat, namun
dikarenakan fokus strategi pada setelah terjadinya bencana tidak pada sebelum terjadinya
bencana.

Dikarenakan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 desember 2004, President


mengeluarkan Perpu nomer 2 tahun 2005 tentang pembentukan BRR (Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh dan Nias) melalui Keputusan Presiden no 34 tahun 2005 dijelaskan lebih
detil tentang struktur organisasi ini.

Tujuan dari BRR adalah untuk mengembalikan kehidupan sehari – hari dan memperkuat
komunitas di Aceh dan Nias dengan mendesain dan meninjau secara menyeluruh
rekonstruksi dan pembangunan kembali yang berdasarkan kemandirian komunitas.
Satu tahun setelah tsunami US$ 4.4 billion sudah dialokasikan untuk proyek – proyek
tertentu. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan US$ 1.1 billion dan NGOs US$ 1.5
billion and Lembaga Donor US$ 1.8 billion ini adalah kebutuhan minimum untuk
rekonstruksi Aceh dan Nias, US$ 775 million sampai akhir November 2005 sudah dihabiskan
oleh pemerintah.

Untuk membangun kembali Aceh dan Nias diperlukan US$ 9 billion dan rekonstruksi
direncanakan dari tahun 2005 sampai 2009, dikarenakan master plan ini, jadi baik
Pemerintah, NGO dan Negara – negara donor diharapkan memberikan kontribusi US$ 2.5 –
3.5 billion, jika komitmen ini bisa dipenuhi maka Proses rekonstruki ini akan selesai pada
tahun 2009.

Bencana Alam dan Manajemen Resiko


Sebuah bencana alam dapat didefinisikan sebagai akibat dari kejadian alam yang luar
biasa pada masyarakat yang rentan (ADPC 2000a:1). Jika dampat ini meluas ke wilayah yang
lain sehingga dibutuhkan bantuan inter wilayah dan internasional, dapat dikatakan bencana
besar telah terjadi ( Munich Re 2002:15).

Faktor – faktor yang mempengaruhi bencana alam adalah : Bahaya, Elemen yang
beresiko dan kerawanan. Ketiga faktor ini dapat di formulasikan :
Resiko = kemungkinan (bahaya) * kehilangan (kerawanan, elemen yang beresiko)

Manajemen resiko didefinisikan sebagai aplikasi sitematis dari kebijakan – kebijakan


manajemen .

Ada 4 prosedur yang harus dilakukan untuk menangani permasalahan manajemen


resiko. Pertama adalah melakukan penilaian dan pengukuran pada kemungkinan resiko
tertentu di suatu wilayah, mencoba untuk mensurvey kemungkinan bencana, e.g. kondisi
geologi atau geomorphologi pada suatu area tertentu. Kedua, harus ada analisa pada potensi
dampak pasca terjadinya bencana . Ketiga harus ada perencanaan dan alternati rencana untuk
menyelesaikan kemungkinan resiko yang efektif. Keempat adalah analisa ekonomi pada
rencana yang dibuat.
Potential
Risk

Potential impact
assesment

Designing Mitigation
contingency plan

Economic analysis on designed


risk management plan Risk Financing

Pembiayaan Resiko
Ada dua kategori berdasarkan instrumen pembiayaan resiko, transfer resiko dan
penyebaran resiko sementara. Ada dua instrumen yakni pasar dan non pasar dan pengaturan
untuk transfer resiko
Instrumen transfer resiko pasar , contohnya adalah asuransi, adalah instrumen pra
bencana yang mengatur perusahaan asuransi untuk membayar sejumlah uang setelah
terjadinya bencana. Pengaturan ini juga dapat diatur oleh pemerintah secara hukum atau
informal, untuk mewajibkan pemerintah untuk memberikan dana setelah terjadinya bencana.
Ada pula penyebaran resiko intertemporal, hal ini berarti seseorang atau pemerintah
menyimpan dana sebagai cadangan dana jika terjadi bencana. Instrumen ini dapat digunakan
dalam waktu yang lama selama belum terjadinya bencana.

Asuransi
Asuransi dapat didefinisikan sebagai institusi ekonomi yang mengijinkan adanya
transfer pembiayaan resiko pada kelompok tertentu dalam artian kontrak hukum (Kunreuther
1998a:23)

Kelompok yang diasuransikan menerima pengembalian dana jika terjadi kehilangan dari
pihak pengasuransi sebagai ganti rugi pembayaran premi. Biasanya pengembalian ini
ditetapkan melalui rasio tertentu. Pengembalian kehilangan didasarkan pada kontrak asuransi
yang dinamakan klaim. (Kunreuther 1998a:23-24)
Solusi penanganan bencana di wilayah tsunami
Pemerintah Indonesia telah merubah kebijakan penanganan bencana alam sebanyak 5
kali, yang pertama adalah melalu Keputusan Presiden no. 28 tahun 1979 dan membentuk
organisasi yang dinamakan BAKORNAS PBA sampai organisasi terakhir yakni
BAKORNAS PBP melalu PD nomer 111 tahun 2001, walaupun secara umum
mempromosikan manajemen sebelum bencana namun pada kenyataannya tidak ada program
yang dijalankan dalam rentang waktu itu.

Hal ini dapat dilihat bahwa pada tsunami terjadi tanggal 26 desember 2004 daripada
mengoptimalkan BAKORNAS PBP, pemerintah membentuk kembali BRR (Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi) melalui Perpu no 2 tahun 2005.

Pada paradigma penanganan bencana yang baru lebih ditekankan pada proses
pengontrolan resiko dan proses pembiayaan resiko. Pada tahun – tahun sebelumnya
pemerintah tidak mengoptimalkan instrumen pra bencana alam ini. Asuransi harusnya
memainkan peran lebih dalam hal ini.

Pada kasus asuransi di perancis, terdapat pencampuran sistem antara negara dan
perusahaan asuransi. Asuransi (e. g tingkat premi dan kehilangan) distandarkan melalu
peraturan dan seragam di seluruh wilayah. Seluruh perusahaan asuransi properti di suatu
wilayah tertentu diwajibkan mengikutsertakan asuransi atas bencana alam.

Dana penanggulangan bencana adalah metode efektif untuk menyelesaikan masalah


pembiayaan resiko untuk menangani bencana alam. Pada kasus Tsunami 26 desember 2004,
pemerintah Indonesia harus merevisi kembali APBN dan memasukan program
penanggulangan tsunami pada 27 oktober 2005. Hal ini menyebabkan mesti direlokasinya
dana belanja negara untuk menanggulangi bencana.
Insurance

Disaster Relief Recovery and


Funds Disaster Relief Reconstruction

Risk Control
Programs

Pre disaster Disaster Post Disaster

Integrative Natural Disaster Risk Management Proposal

Referensi

Kanda, J. & Nishijima, K. (2005) Scope of Insurance Premium for residential house
against seismic risk in Japan: University of Tokyo, Japan.
Kaistrenko, V.,Klyachko, M., Nudner, I., & Pelinovsky, E., (2001) A new paradigm of
tsunami safety solution: Institute of Marine and Geophysics, Yuzhno-Sakhalinsk, Russia, p.
303 – 313.
Jametti, M. & Von Ungern-Sternberg, T. (2004) Disastrous insurance-natural disaster
insurance in France: Departement of economics, Mc Master University.
Insurance Information Institute (III) (2005) Asian earthquake and Tsunami An insurance
perspective
Mechler R. & International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) (2005)
Financing disaster risks in developing and emerging economy countries: Verlag
Versicherungwirtschaft GmbH, Karlsruhe, p. 105 – 148.
Bugl, W. (2005) Earthquake risk management policy in Indonesia: Asuransi Maipark,
Indonesia, p. 399 – 408.
(Draft 1). Indonesia Masa Depan; Suara Kaum Muda
Bidang Tata Pemerintahan Daerah

Arif R. Effendy

1. Pendahuluan

Seiring dengan Reformasi yang intinya menolak segala bentuk KKN dan desentralisasi yang
memberikan kewenangan kepada warga daerah (bukan hanya eksekutif dan legislatif saja)
untuk mengelola berbagai kewenangan yang dimilikinya, maka tuntutan akan adanya
perubahan dalam peran pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan semakin besar. Dari
sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana pemerintah
menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana
masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang
tersebut dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan beberapa prasyarat multi-dimensi berikut.
Pertama, untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang besar seperti
Indonesia dibutuhkan adanya otonomi yang demokratis ditingkat pemerintah daerah yang
memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara
langsung dan intensif di lingkup yang kecil. Kedua, masyarakat dapat memperoleh akses
kepada informasi (transparansi). Tanpa informasi yang simetris, state menguasai
data/informasi sementara society tidak memiliknya, peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan dan menjalankan fungsi kontrolnya tidaklah mungkin dijalankan
dengan baik. Selain itu, ketertutupan pemerintah inilah yang seringkali dianggap sumber dari
berbagai bentuk penyelewengan. Ketiga, terbukanya ruang untuk menyatakan pendapat dan
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Terjaminnya hak masyarakat untuk
menyatakan pendapatnya dan pers yang bebas merupakan prasyarat awal bagi terciptanya
masyarakat yang demokratis. Keempat, penegakan hukum. Tanpa adanya sistem peradilan
yang kuat dan independen, segala proses kontrol yang dilakukan masyarakat tidaklah berarti.
Berbagai hal yang diuraikan di atas pada intinya adalah otonomi daerah yang sesungguhnya,
yaitu wewenang berada pada rakyat yang tinggal di daerah tersebut, bukan otonomi pemda,
dan juga bukan otonomi bagi "daerah" dalam pengertian suatu wilayah/teritori tertentu di
tingkat lokal.

Dikarenakan rakyat yang memiliki kedaulatan sesungguhnya dalam implementasi otonomi


daerah, maka sudah tentu pemerintah daerah harus dapat membuka ruang bagi seluruh
komponen masyarakat untuk dapat terlibat dalam seluruh proses pembangunan. Pelibatan
tersebut membutuhkan beberapa prasyarat awal yang harus diimplementasikan oleh
pemerintah daerah sendiri, yang khususnya adalah dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan
responsif terhadap masalah dan masukan masyarakat.
2. Kondisi kekinian tata pemerintahan daerah

2.1. Pemekaran Wilayah

Desentralisasi merupakan suatu proses pelimpahan sebagian kewenangan dan


pengelolaan administrasi pemerintahan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan utama
meningkatkan efisiensi dalam penyediaan permintaan pelayanan barang dan jasa publik,
mengurangi biaya dan efektif dalam penggunaan sumberdaya manusia; dan secara politik
dapat meningkatkan akuntabilitas, menciptakan pelayanan yang lebih dekat dengan “klien”,
merupakan arena untuk dapat melatih proses partisipasi masyarakat, dan mengembangkan
kepemimpinan elit politik.

Dalam proses perjalanannya, persoalan dan tantangan desentralisasi di Indonesia dapat


dilihat dari dua perspektif besar yaitu perspektif pemerintah pusat dan perspektif pemerintah
daerah.
Di Indonesia, beberapa persoalan seolah muncul secara tidak diduga akibat kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah adalah: (a) respon berlebihan terhadap batasan dan lingkup
kewenangan tugas yang diserahkan ke daerah otonom tanpa diimbangi dengan kapasitas yang
memadai, (b) dampak negatif dari luasnya kekuasaan DPRD dalam pengawasan, pemilihan
dan pengangkatan kepala daerah, pengesahan anggaran dan belanja daerah, (c) tidak adanya
hirarki antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan kerja vertikal, (d) ketidakjelasan pemahaman terhadap
transparansi dan akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan publik sehingga timbul gerakan masa yang bekelebihan, (e) penyempitan wawasan
kebangsaan dan pembatasan proses asimilasi budaya dan interaksi sosial sehingga timbul
arogansi kedaerahan.

Disamping itu kebijakan desentralisasi mengandung risiko “separatisme”, yang jika


tidak disadari akan menggangu kesatuan teritorial negara, memperkuat gejala penyempitan
wawasan kebangsaan, dan memperkuat penyalahgunaan kekuasaan di tingkat bawah.
Semenjak diberlakukannya undang-undang pemerintahan daerah no. 22/1999 yang lalu
kemudian di amandemen dengan UU 32/2004, pemekaran wilayah mulai dari tingkat desa
sampai dengan tingkat propinsi menjadi salah satu isu yang cukup dominant disamping
persoalan tentang alokasi anggaran dan sharing pembiayaan pembangunan.

Persoalan yang lalu kemudian muncul adalah bahwa pemekaran wilayah dilihat sebagai
sesuatu yang cenderung berlawanan dengan visi penyelenggaraan pemerintahan yang
terdesentralisasi. Sarena salah satu esensi desentralisasi adalah terbangunnya kerjasama yang
erat antar daerah untuk penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan tugas-tugas
pembangunan dan pemerintahan daerah. Daerah melihat system penyelenggaraan
pemerintahan yang terdesentralisasi adalah sebagai sebuah peluang yang lebih dari sekedar
sebuah upaya untuk mendekatkan mekanisme pengambilan keputusan publik sampai ke
tingkat akar rumput atau dalam rangka pemulihan iklim pelayanan publik dan
penanggulangan kemiskinan secara efektif, efisien dan tepat sasaran. Daerah cenderung
melihat system desentralisasi identik dengan “Ada uang yang akan dikelola langsung di
daerah”.
Mungkin saja pemekaran memang akan lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya
dalam gerbong pembangunan daerah, tapi sejauh ini belum ada satupun pihak yang berani
mengklaim atau menunjukan bahwa pemekaran telah secara significant meningkatkan
kualitas pelayanan publik, malah justru meningkatkan inefisiensi administrasi keuangan. Ini
merupakan salah satu akibat dari adanya celah-celah yang “sengaja” diciptakan seiring
diterapkannya otonomi daerah.

2.2. Fungsi dan Kewenangan

Restrukturisasi fungsi dan kewenangan pemerintah daerah adalah salah satu poin yang paling
mendesak. Baik dalam undang-undang nomor 22/1999 maupun undang-undang 34/2004
hanya memberikan positive list sejumlah kewenangan untuk popinsi maupun kabupaten/kota
yang selanjutnya akan dipertajam oleh pemerintah daerah sendiri dalam bentuk perda.

Ini sebuah ironi sebenarnya dalam konsep desentralisasi. Betapa tidak, Pemerintah Daerah
harus mengidentifikasi sendiri jenis kewenangan yang dapat mereka kerjakan dalam kerangka
otonomi daerah selain kewenangan yang sudah menjadi milik pemerintah dan propinsi.
Kondisi ini menjadi lebih sedemikian kompleks ketika tugas pembantuan dan tugas
dekonsentrasi-pun tidak didukung oleh infrastruktur yang jelas. Peran propinsi dalam
memfasilitasi dan mendistribusikan fungsi ini pun tidak optimal bahkan cenderung
menjadikan proses yang tidak transparan bagi pemerintah daerah kabupaten dan kota.

Dalam konstelasi pembangunan sekarang, nampak bahwa pada dasarnya fungsi-fungsi teknis
pembangunan dan pembiayaannya masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hal ini
dapat diindikasikan dengan kenyataan bahwa begitu banyaknya “anggaran sektoral” yang
harus dikejar oleh pemerintah daerah dengan ‘pendekatan-pendekatan khusus” untuk
mendapatkan anggaran tambahan bagi pembangunan ditengah2 tahun anggaran berjalan.
Dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sebenarnya tidak lebih dari biaya administasi
dan operasioanal pembangunan, bukan sebagai biaya konstruksi pembangunan.

2.3. Pembiayaan Pembangunan

Pendapatan Asli Daerah

PAD akan merupakan sumber pendapatan utama bagi pembangunan daerah untuk masa yang
dating yang diperoleh dari pajakm retribusi, keuntungan dari pengelolaan asset dan sumber
pendapatan yang sah lainnya. Sekarang kontribusi PAD kurang dari 10% dari total
pendapatan pendapatan daerah setiap tahunnya (DRSP, 2006). Artinya sampai sejauh ini
bahwa alokasi anggaran dari pemerintah pusat masih menjadi tumpuan utama, meskipun juga
sebagaian dari pembiayaan yang dimiliki pemerintah pusat juga berasal dari daerah seperti
bagi hasil pajak. Karena objek dan besaran pajak ditentukan oleh pemerintah pusat.
Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum (DAU) adalah sumber utama bagi pendapatan daerah dalam rangka
keseimbangan secara vertical dan horizontal. DAU berkontribusi rata2 80% bagi penerimaan
daerah kabupaten/kota dan 30% bagi penerimaan propinsi setiap tahunnya. Porsi DAU untuk
masing-masing daerah akan secara bertahap akan berkurang seiring dengan tuntutan untuk
semakin meningkatkan kemandirian daerah. Tentu hal ini bukan merupakan perkara yang
mudah, tapi menjadi tantangan yang besar bagi daerah, sebab jangan sampai demi
desentralisasi dan otonomi daerah justru akan menjadi beban baru bagi kaum miskin. Karena
bisa dipastikan bahwa ketika pemerintah pusat mengurangi porsi bagi daerah, maka dengan
dengan sendirinya pemerintah daerah akan menyiapkan berbagai regulasi yang bias
meningkatkan pendapatan daerahnya termasuk dari pajak dan retribusi.

Dana Dekonsentrasi

Mekanisme pengelolaan dana dekonsentrasi yang terlalu besar oleh propinsi pada
kenyataannya menimbulkan inefisiensi dan disalokasi anggaran. Praktek pengalokasian yang
tidak transparan memberikan berbagai indikasi kolusi dan korupsi pada level daerah.
Mekanisme pengelolaan dan hubungan antara propinsi dengan kabupaten/kota sangat tidak
jelas, yang ditunjukan oleh tidak adanya informasi yang cukup di tingkat kabupaten/kota
tentang proyek-proyek yang bersumber dari dana dekonsentrasi. Pada sisi lain, mekanisme
penetapan dan jumlah alokasi yang diberikan kepada daerah kabupaten/kota yang
memperolehnya juga tidak dipahami secara baik oleh berbagai pihak. Belum lagi pola
pertanggungjawabannya juga menjadi hal yang sangat tidak jelas bagi daerah sementara dana
dekonsentrasi diperuntukan bagi daerah dalam kerangka pelaksanaan kewenangan pusat.

2.4. Penyediaan Pelayanan Publik

Standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini merupakan suatu
loncatan baru untuk memperbaiki kinerja pemberian layanan publik yang prima. Namun
sejalan dengan itu, standar pelayanan yang ada tersebut secara berlebihan menitik-beratkan
pada standar-standar fisik dan infrastruktur pelayanan. Sementara kapasitas kelembagaan dan
sistem dari penyedia layanan maupun interaksi mereka dengan pengguna jasa layanan tersebut
(dalam hal ini citizens) adalah masih sangat minim sekali. Sebagai contoh dalam hal ini
adalah standar pelayanan minimum bidang kesehatan, lebih banyak mengatur standar ruang
perawatan tanpa diikuti oleh pengaturan yang cukup tentang standar peningkatan disiplin
kerja dan keahlian tenaga medis dan apoteker.
3. Permasalahan dan Kecenderungan

Ada beberapa permasalahan dan kecenderungan yang menyebabkan situasi seperti yang ada
sekarang yaitu :
- Distribusi kewenangan yang tidak jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten
dan kota, bahkan dengan desa sebagai esensi dari otonomi asli. Contoh pertanian
diurus mulai dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, sampai dengan desa.
Pengklasifikasian kewenangan tidak dilakukan secara tegas sehingga ketika ada
permasalahan yang muncul pada sektor pertanian saling melempar tanggungjawab
antara level pemerintahan tersebut menjadi hal yang utama sementara persoalan di
tingkat petani menjadi tidak kunjung selesai. Secara konkrit dapat di sebutkan disini
adalah ketika terjadi persoalan hama belalang di Sumba atau gagal panen yang terjadi
diberbagai daerah yang menyebabkan semua pihak harus mencari solusi alternatif
untuk membantu petani. Yang ada adalah saling lempar tanggung jawab, atau
demikian juga yang terjadi di sektor kesehatan ketika penanganan flu burung sampai
sekarang belum juga beres.
- Peran propinsi yang mendua sebagai wakil pemerintah pusat dan sekaligus sebagai
daerah otonom tidak memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi masyarakat
daerah maupun bagi pemerintah pusat. Justru hanya menyebabkan pemborosan
pembiayaan oleh negara.
- Perumusan peraturan perundangan-undangan yang hanya berorientasi pada
kepentingan kelompok tertentu dan bersifat jangka pendek tanpa memikirkan
kepentingan semua komponen bangsa dan tantangan masa depan, menyebabkan
terjadinya tambal-sulam bahkan bongkar pasang substansi pengaturan.
- Tidak adanya saling percaya diantara lembaga-lembaga pemerintah maupun antara
lembaga pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat, terlebih lagi antara lembaga
politik dan partai politik dengan masyarakat sipil dan konstituennya.

5. Tujuan umum

Mewujudkan otonomi daerah yang transparan dan akuntabel pada tahun 2030.

6. Strategi Umum

Untuk mewujudkan tujuan umum tersebut, maka ada beberapa langkah strategis yang harus
dilakukan yaitu antara lain :
1. Melakukan kaji ulang dan perubahan undang-undang pemerintah daerah dan berbagai
peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan
desentralisasi yang didahului oleh amandemen UUD 1945 tentang struktur pemerintah
khususnya mengenai eksistensi pemerintah propinsi dan pemerintah desa.
2. Reposisi peran propinsi dengan dua alternatif pilihan yaitu sebagai wakil pemerintah
pusat saja tanpa ada DPRD dan Dinas teknis. Dalam hal ini propinsi hanya berfungsi
sebagai pusat koordinasi wilayah, dan alternatif kedua adalah propinsi dihilangkan,
sementara level pemerintahan menjadi hanya terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah
kabupaten/kota dan pemerintah desa/kelurahan. Sementara kecamatan berfungsi untuk
melakukan pembinaan dan koordinasi tingkat desa dan kelurahan sebagai wakil
pemerintah kabupaten/ kota.
3. Pembagian kewenangan secara jelas dan tegas, tidak ada kewenangan yang bersifat
”abu-abu” antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa.
Asia
VIEWS

The Intricate
Tapestry of
ASEAN Security
By Lianita Prawindarti tries unaffected by the crisis, such as Bru-
nei, economic security became a concern,
Ph.D. candidate at the albeit their focuswas more on how to cre-
School of International Studies, ate social harmony by minimizing eco-
University of Trento, Italy. nomic disparity among indigenous Bru-
neians, and how to promote the country's
economic diversity, since Brunei cannot
always rely on the oil industry.
In addition, the crisis taught ASEAN
HREE years after the a significant lesson in regionalism: that
ASEAN heads of govern- boundaries between domestic and re-
ment laid down the foun- gional domains had become blurred,
dations for its existence in creating a more complex and intricate
Bali, the ASEAN Security Communi- security environment that could only
ty (ASe) remains a mixed bag of uncer- attained by economic interdependen-
tainties amid optimism. In Kuala Lum- cy in other fields. In the case of South-
pur last May, the ASEAN defense min- east Asia, non-traditional security issues giving more space for civil society to get
isters met for the first time to reinforce arising from domestic instability has involved in the process of regional inte-
the shared objective that peace and sta- proven to be the foremost source of re- gration, ASEAN is addressing the public
bilityin the region could be achieved on gional instability. Thus, countries in this interest at the regional level, which will
the basis of common interests in the eco- region must shift their perspective on re- boost the creation of an epistemic com-
nomic, social and cultural fields, or in gionalism and develop a willingness to munity, promote participatory region-
other words, 'achieving security through discuss security issues more openly at alism in the region, and strengthen the
non-security roads.' the regional level. sense of "community" within the ASC.
The principle of comprehensive se- In spite of the increasing role of civ-
curity was adopted, not only because it Security and Democracy: a Double- il society in the field of security, howev-
brings together a wide range of securi- Edged Sword er, most ASEAN countries are still ob-
ty issues but also because it establish- The political impact of the Asian eco- sessed with the problem of internal se-
es interlinked relations between secu- nomic crisis can be described as a dou- curity, in which they highlight the threat
rity and other sectors. After 40 years ble-edged sword. The crisis provoked against the regime survival and nation-
of development, ASEAN has arrived at conflict between the roles of the state al unity as a continuous post-coloniza-
a point where its member states need versus civil society in the area of secu- tion challenge. This has led some coun-
to talk more openly about security and rity. In Indonesia, the crisis on the one tries to apply tight internal political con-
shift its framework of security onto a hand put pressure on the political re- trols with limited room for political dis-
higher plane. As globalizafloh~becomes gime which ultimately led to political sent in order to guarantee the internal
more critical, security can no longer be unrest but, on the other hand, it pro- stability necessary for economic devel-
perceived solely as a single country's do- vided new opportunities for civil so- opment. In the aftermath of September
main, but a collective, regional issue. ciety. This phenomenon related to the 11,it is also argued that this kind of poli-
process of building good governance as cy is chosen in response to the increasing
The Asian Economic Crisis: A Point of well as to the process of re-conceptual- threat of terrorism and fundamentalist
No Return for Regional Security izing domestic and regional security in movements. Malaysia and Singapore are
The 1997 Asian Economic Crisis had the wake of the crisis. As human secu- two countries, which apply Internal Se-
significant implications for a number of rity comprises the idea of individual se- curity Act. Brunei modeled its strong in-
ASEAN's member states, mainly the ex- curity, the role of civil society becomes ternal security apparatus after Singa-
posure to critical problems in human se- eminent, demonstrating the new linkage pore's Internal Security Department as
curity. The sharp economic downturn between security and democracy. This it also considers terrorism as an imme-
caused by the crisis created uncertainties new linkage explains two things. First- diate threat to the country.
in the region because it undermined the ly, that the active role of civil society can
states' capability in maintaining their in- help ASEAN and its members deal with Environmental Security and the Prob-
dividual national security. Even for coun- the human security issues. Secondly, by lem of Natural Catastrophes

8 I AsiaViews JULY-AUGUST 2006


~

• Asia Focus
When Health Problems are tance given to other forms of transna-
Going Regional tional crime. Although terrorism is clas-
Trans-border diseas- sified as a non-conventional threat, how
es in the region, such as we respond to this threat is directed by
.. Severe Acute Respirato- conventional configurations of states. It
,
4 • ry Syndrome (SARS) and blurs the distinction between national
bird flu, are new and dan- security and regime security, as nation-
gerous security threats. In al governments tend to employ the idea
the case of bird flu, Indo- of the war on terrorism as an opportuni-
nesian authorities recently ty to triumph over their political oppo-
confirmed their country's nents rather than to protect the society
40th death from bird flu. per se. The war on terrorism has given
Vietnam is still the coun- states the opportunity to reassert them-
try worst affected by bird selves against societal forces. The Amer-
flu, with 42 human deaths ican model of "homeland security" has
since 2003. But Vietnam been adopted by Singapore and Malay-
has been disease-free sia and has taken precedence over civil
since December 2005 and liberties in the Western society and the
has been praised interna- principle of self-determination in the de-
tionally for its quick and veloping world.
comprehensive response. Indeed, the war on terrorism affects
Learning from Vietnam's human security issues both directly and
case, the key lesson is the indirectly. It has stirred anti-American
importance of high-level passions across Southeast Asia. In ad-
government commitment. dition, US pressure on Southeast Asian
Both cases cannot be con- governments to tackle terrorist activ-
sidered simply as an health ities within their borders may lead to
problem as it has wid- the radicalization of the Muslim popula-
er implications, especial- tions within these countries. This could
ly in the economic sector impair governments' ability to func-
of countries suffered from tion, which in the end may leave a vacu-
the diseases. um in which terrorism and internal con-
Indonesian Navy warship, KRI Patimura flicts can flourish. Furthermore, the in-
371, patrolling the Malacca Straits. Maritime and Energy Security direct effect of the war on terrorism, for
These two issues also pose crucial instance, will be the diversion of govern-
challenges to ASEAN's archipelag- ments' attention and resources from hu-
Indonesia's problem of environmen- ic countries. Southeast Asia's strategic man security issues.
tal degradation has also made a regional position makes it particularly prone to Is There ASingle Formula forASEAN's
impact. Her long history of massive for- maritime piracy. This region is the hub Multiple Security Threats?
est fires in Kalimantan and Sumatra has of international trade and energy traffic. Many hope that the ASC will be the an-
become a regional concern as it impacts Oil from the Middle East is transport- swer for some contentious security prob-
its closest neighbors, Singapore and Ma- ed by many multinational firms via the lems, because the concept of a securi-
laysia. It forced the ASEAN environmen- Indian Ocean and the Malacca Straits, ty community envisions a fabric of insti-
tal ministers to meet and draft a Region- to be refined in Southeast Asia, before tutional, social, economic and political
al Haze Action Plan because the Asso- being moved to support industries in linkages among actors within the region.
ciation did not have an institutionalized Northeast Asia. The Malacca and Sin- At the end of the day, these linkag-
scheme to mount a regional response. gapore ~<!it;~ carryover 30% of the es are expected to strengthen a com-
The outbreak of some devastating world's"total commerce and about half mon identity among its members, which
natural disasters in the region, name- of the world's oil supply. Disruption of would make the use of force unlike-
ly the tsunami and the series of earth- these vital sea lanes would have imme- ly. This is the reason why the "commu-
quakes in Indonesia can be classified as diate economic and strategic repercus- nity" element of this concept becomes
a new security challenge to countries in sions not only in Southeast Asia, but also very important. The idea of "communi-
the region, especially affecting human in Asia-Pacific. At this point, once again, ty" within the ASC project is in parallel
security. This humanitarian crisis sig- security and economic well-being is in- with the emergence of human security
g naled the need for a regional mechanism creasingly tied to factors far beyond the issues across the region. The inclusion of
to overcome the impact of such catas- state border. the community aspect is a new approach
trophes. Once again, it was proven that in enhancing regional cooperation. Un-
there is no single country who can re- The Many-Faceted Terrorism in South- til recently, ASEAN was an elite-driven
solve the crisis on its own. One could ar- east Asia organization with a top-down approach
gue that this now is a good starting point Discussion about September 11 and to regional cooperation. However, as hu-
for ASEAN to set up a regional mecha- the series of bombings in the region since man security becomes increasingly more
nism to respond to humanitarian crisis 2002is not merely a discussion on terror- important and concerns the security of
without being influenced by the classic ism. September 11 brought back the is- individuals, ASEAN has to provide more
debate of whether it may undermine the sue oftransnational crimes into the main space to society to become actively in-
principle of non-intervention within the agenda of ASEAN, but the fear of terror- volved in the process of building regional
Association. ism in S.E. Asia has lessened the impor- security cooperation .•

JULY-AUGUST 2006 AsiaViews I9


DRAFT

VISI & STRATEGI TRANSFORMASI


POLITIK PERTAHANAN & KEAMANAN
INDONESIA

Muhammad Najib Azca1


PPI Amsterdam

Disusun dalam rangka Pertemuan Pelajar Indonesia:


“Indonesia Masa Depan – Peran Kaum Muda” di DenHaag, Juni 2007

Abstrak

Indonesia pasca Orde Baru menyisakan problem sistemik di bidang politik pertahanan
dan keamanan, terutama karena warisan perang kemerdekaan dan watak otoritarian
pada rezim-rezim sebelumnya, baik “Demokrasi Terpimpin” pada era Sukarno dan
“Birokratik-Otoriter” pada era Suharto. Bidang pertahanan & keamanan yang
dimaksud disini adalah bidang politik tata-pemerintahan yang terkait dengan fungsi-
fungsi keamanan dan pertahanan, khususnya menyangkut lembaga kepolisian dan
angkatan bersenjata. Tulisan ini berisi gagasan tentang visi dan strategi transformasi
di bidang politik pertahanan dan keamanan dalam rangka membangun masa depan
Indonesia yang lebih baik.

Kata kunci: keamanan, pertahanan, politik, pemerintahan, militer, polisi

KERANGKA DAN POKOK PIKIRAN2

Analisa Kondisi

Analisa Masalah

1. Residu besar sumber daya politik militer (khususnya Angkatan Darat)


dalam bidang-bidang non-pertahanan

Sebagai warisan dari keterlibatan dan peran besar militer dalam perjuangan
kemerdekaan RI melalui perang gerilya, militer (khususnya Angkatan Darat, AD)
memiliki peran dan sumber daya politik dan ekonomi besar di bidang-bidang non
pertahanan (defense section). Peran dan sumber daya yang besar ini diteruskan
selama kekuasaan Soekarno (’Demokrasi Terpimpin’) dan semakin meluas dan
dilembagakan selama rezim Suharto (’Oder Baru’). Peran dan sumber daya politik
besar itu antara lain tercermin dalam hal-hal berikut: (1) terlembaganya lembaga
dan struktur komando teritorial AD; (2) dominasi militer di lembaga-lembaga
intelijen sipil negara; (3) jejaring luas yang dimiliki dan dibangun oleh militer di
ranah bisnis (ICG 2002).

1
Penulis adalah anggota PPI Amsterdam, peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM) dan dosen pasca sarjana Sosiologi UGM yang sedang
menempuh program doktoral di Amsterdam School for Social science Research (ASSR), Universitiet
van Amsterdam (UvA). Kontak email: najib.azca@uva.nl, najib.azca@gadjahmada.edu,
najibazca2002@yahoo.com.au
2
Disusun berdasarkan Bagan Dialektika Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda 2007.
DRAFT

2. Rendahnya profesionalisme dan ketersediaan sarana bagi pelaksanaan


fungsi-fungsi pertahanan bagi militer
Sebagai akibat dari luas dan besarnya peran-peran non-pertahanan yang dilakukan
oleh militer dalam kurun yang panjang, lembaga militer tidak sempat membangun
kultur profesional sebagai angkatan bersenjata. Sebagian besar energi dan
kapasitas yang dimiliki oleh lembaga militer justru dicurahkan ke dalam bidang-
bidang non-kemiliteran. Hal ini diperburuk oleh strategi pengembangan peralatan
pertahanan yang hanya bertumpu di sektor darat semata, yang mengakibarkan
sektor laut dan udara mengalami kemandegan.

3. Struktur dan budaya lembaga kepolisian yang berwatak sentralistik dan


militeristik

Sebagai akibat dari posisi kelembagaan untuk kurun yang panjang berada di
bawah angkatan bersenjata dan sistem pemerintahan yang sentralistis, maka
lembaga kepolisian RI memiliki struktur dan budaya lembaga yang berwatak
sentralistik dan militeristik. Struktur dan budaya lembaga semacam itu tentu saja
tidak kompatibel dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik Indonesia
kontemporer yang mengalami perubahan menjadi lebih demokratis dan bercorak
desentralistis.

4. Profil dan kinerja lembaga kepolisian yang buruk, korup dan tidak
profesional

Sebagai akibat turunan dari struktur dan budaya lembaga kepolisian yang
berwatak sentralistik dan militeristik, profil dan kinerja lembaga kepolisian RI
tergolong buruk, korup dan tidak profesional. Hal ini tercermin pada rendahnya
tingkat pelayanan kepada masyarakat, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap aparat kepolisian serta tingginya pelanggaran HAM dan hukum yang
dilakukan oleh aparat keamanan (PSKP-UGM 1999).
DRAFT

Analisa Potensi

1. Perubahan sistem politik pasca Order Baru yang berorientasi demokratis

Sebagai hasil dari dinamika internal maupun eksternal yang tinggi dan panjang,
maka telah terjadi perubahan sistem politik di Indonesia dari yang bersifat otoriter
dan sentralistik menjadi lebih demokratis dan desentralistis. Perubahan sistem
politik ini membuat terbukanya peluang dan ruang partisipasi dan kontrol yang
lebih besar dari warga negara dalam proses politik, baik melalui mekanisme
kelembagaan politik maupun melalui peran-peran media massa dan masyarakat
warga (civil society).

2. Munculnya generasi baru di lembaga militer dan kepolisian yang


berorientasi professional dan berwatak demokratis

Sebagai hasil dari proses interaksi sosial dan politik yang semakin luas dan
intensif dengan perkembangan lingkungan di sekitarnya, muncul generasi baru di
lembaga milter dan kepolisian yang berorientasi profesional dan berwatak
demokratis. Generasi baru ini bisa menjadi modal dan sumberdaya dalam proses
reformasi dan transformasi kelembagaan di lembaga-lembaga tersebut, khususnya
melalui proses kerjasama dan kemitraan (partnership) dengan elemen-elemen
progresif dari masyarakat warga (civilsociety).

3. Menguatnya kapasitas dan kompetensi dalam kalangan masyarakat


warga (civil society) untuk berpartisipasi dalam masalah pertahanan dan
keamanan

Sebagai hasil proses sosial politik yang panjang, kalangan masyarakat warga (civil
society) telah mengalami perkembangan secara cukup signifikan khususnya dalam
penguatan kapasitas dan kompetensi pengetahuan dan keahlian dalam bidang
pertahanan dan keamanan. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengetahuan
dan keahlian dalam bidang keamanan dan pertahanan ini akan menjadi
sumberdaya yang penting dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi kontrol dan
pengawasan (oversight) yang dilakukan oleh warga negara, baik dalam melalui
kelembagaan politik maupun melalui kelembagaan kemasyarakatan.
DRAFT

Analisa Trend

1. Gelombang demokratisasi global

Muncul gelombang demokratisasi berskala masif di aras global telah membuat


proses penyebaran dan pengembangan nilai-nilai dan lembaga-lembaga
demokratis menjadi semakin kuat dan kondusif (Huntington 1999). Sementara itu,
di sisi lain, penyebaran dan pengembangan nilai-nilai dan lembaga-lembaga
otoritarian menjadi semakin mengalami kesulitan dan mendapatkan banyak
kendala dan hamabatan. Situasi dan konteks makro ini menjadi arus dan
kecenderunan global yang mempengaruhi dan mewarnai perkembangan di bidang
keamanan dan pertahanan.

2. Berkembangnya bentuk-bentuk baru gangguan keamanan non-


tradisional

Salah satu bentuk kecenderungan baru di tingkat global di bidang kemanan dan
pertahanan adalah berkembangnya bentuk-bentuk baru ancaman keamanan non-
tradisional (non-traditional security threat). Bentuk-bentuk ancaman keamanan
non-tradisional ini, baik dalam bentuk terorisme, kejahatan terorganisir (organised
crime), pembajakan (piracy) hingga penyebaran virus HIV dan flu burung,
membuat pembauran batas-batas teritori negara-bangsa serta pemisahan urusan
pertahanan dan keamanan. Sebagai akibatnya perlu dilakukan redefinisi dan
reformulasi pemisahan sektor pertahanan dan keamanan serta peningkatan
kerjasama dan kolaborasi melintasi batas-batas negara-bangsa.

3. Meningkatnya kerjasama pertahanan dan keamanan regional

Salah satu trend global lain di bidang pertahanan dan keamanan adalah
meningkatknya peran kerjasama pertahanan dan keamanan dalam skala regional.
Sebagai akibat dari berubahnya konstelasi dan konfigurasi politik internasional
pasca Perang Dingin, dari Bi-Polar menjadi Uni-Polar dan/atau Multi-Polar, maka
terjadi pula penyusunan keseimbangan politik global yang baru, yaitu menguatnya
kerjasama keamanan dan pertahanan di aras regional (regional bloc). Trend
penguatan kerjasama pertahanan dan keamanan di aras regional ini diperkirakan
akan menjadi konteks makro yang penting dalam perkembangan internasional
mendatang.

4. Meningkatnya fungsi intelijen pertahanan di bidang ekonomi

Sebagai akibat dari meningkatnya peran sektor ekonomi sebagai determinan


dalam perkembangan sosial politik dan proses pengambilam kebijakan, maka
fungsi dan kegiatan intelijen yang secara tradisional diperuntukkan bagi tujuan-
tujuan pertahanan dan keamanan pun semakin dilibatkan dalam pencapaian
tujuan-tujuan ekonomi. Dengan demikian salah satu trend makro global
mendatang adalah terjadinya kolaborasi dan integrasi antara fungsi-fungsi
intelijen di bidang pertahanan dan di bidang ekonomi.
DRAFT

5. Antariksa menjadi domain kontestasi politik-militer dan ekonomi yang


makin penting

Selain matra darat, laut dan udara, ranah antariksa telah dan sedang menjadi
domain kontestasi yang makin penting baik secara militer maupun ekonomi.
Superioritas penguasaan informasi, yang menjadi elemen kunci dalam strategi
militer maupun ekonomi, semakin tergantung pada penguasaan di ranah antariksa.
Karena itulah dalam Visi 2020 NASA tercantum agenda untuk menguasai ranah
antariksa dari operasi militer dalam rangka melindungi kepentingan dan invetasi
nasional Amerika Serikat.

Strategi Transformasi

1. Pengembangan strategi dan kebijakan pertahanan yang berorientasi


maritim dan dirgantara sesuai posisi dan konstelasi geo-strategis
Indonesia

Periode Masyarakat warga Penyelenggara Negara Sektor Bisnis


2007- 1. Melakukan 1. Reformasi 1. Peningkatan
2017 advokasi bagi kelembagaan dan kegiatan bisnis di
dilakukannya perundang-undagan yg sektor kelautan-
reformasi menempatkan TNI di perkapalan&
kelembagaan dan bawah Dephan dan dirgantara
perundang-undangan Polri di bawah 2. Peningkatan
menyangkut TNI & Depdagri/Depkeh kersama dan aliansi
Polri 2. Penyusunan ’Buku bisnis di bidang
2. Peningkatan Putih’ strategi dan kelautan-perkapalan
kapasitas dan kebijakan pertahanan & dirgantara di tk
kompetensi MW utk dan keamanan RI yg regional
melakukan mengubah titik berat 3.
pengawasan dan pada sektor
kontrol thd TNI & maritim/udara
Polri 3. Peningkatan
3. Peningkatan kerjasama internasional
kerjasama di bidang pertahananan
internasional MW di di tk regional
bidang pemantauan 4. peningkatan budget
pertahananan & pertahanan secara
keamanan di tk gradual sesuai
regional kemampuan APBN
DRAFT

2. Pengembangan strategi pertahanan yang diintegrasikan dengan strategi


pengembangan ekonomi dan bisnis

Periode Masyarakat warga Penyelenggara Negara Sektor Bisnis


2007- 1. Melakukan kajian 1. Mengintensifkan 1. Menyokong scr
2017 & advokasi bagi kajian2 interdispliner finansial maupun
perubahan kebijakan dlm bidang ’integrasi teknis upaya2 kajian
strategi pertahanan ekonomi-pertahanan’, pengintegrasian
yang diintegrasikan khususnya di bidang strategi pertahanan
dengan strategi intelijen ekonomi- dg strategi
pengembangan pertahanan pengembangan
ekonomi dan 2. Merumuskan ekonomi-bisnis.
peningkatan kebijakan baru yang 2. Membentuk gugus
kesejahteraan sosial lebih mengintegrasikan strategis intelijen
2. Melakukan strategi pertahanan ekonomi di masing-
pengawasan dan dengan strategi masing lembaga
pemantauan scr kritis pengembangan bisnis yg selanjutnya
& sistematis thd pola ekonomi nasional melakukan fungsi2
integrasi strategi 3. Meningkatan sinergis
pertahanan dan kerjasama internasional 3. Meningkatan
pengembangan di bidang ekonomi- kersama dan aliansi
ekonomi pertahananan di tk strategis di bidang
3. Meningkatan regional bisnis dlm
kerjasama 4. Meningkatan budget pengintegrasian
internasional MW di kajian& implementasi strategi pertahanan
bidang pemantauan ekonomi-pertahanan dan pengembangan
ekonomi- secara gradual sesuai ekonomi
pertahananan di tk kemampuan APBN .
regional
DRAFT

3. Pengembangan lembaga kepolisian yang profesional, akuntabel dan


bercorak dan berorientasi lokal (desentralistik)

Periode Masyarakat warga Penyelenggara Negara Sektor Bisnis


2007- 1. Melakukan kajian 1. Pengembangan 1. Menyokong
2017 & advokasi bagi lembaga kepolisian upaya2 peningkatan
pengembangan melalui reformasi UU, profesionalisme &
lembaga kepolisian struktur kelembagaan akuntabilitas
yg profesional, maupun budaya lembaga kepolisian
akuntabel & bercorak organisasi yg lebih yg berorientasi &
& berorientasi lokal sesuai dg tuntutan bercorak lokal.
2. Melakukan fungsi2 profesionalisme, 2. Bekerjasama dg
pengawasan & akuntabilitas & MW melakukan
pemantauan terhadap desentralisme advokasi bagi
kinerja lembaga 2. Reformulasi pengembangan
kepolisian, baik di kebijakan keamanan lembaga kepolisian
aras nasional mauoun dlm negeri yg profesional,
lokal. menyesuaikan dg akuntabel & bercorak
3. Peningkatan sistem politik & & berorientasi lokal
kerjasama MW baik pemerintahan yg 3. Bekerjasama dg
di aras lokal, nasional bersifat desentralistik. MW melakukan
maupun internasional 3. Peningkatan fungsi2 pengawasan
dlm bidang kerjasama internasinal & pemantauan
pengawasan & dlm peningkatan terhadap kinerja
pemantauan lembaga profesionalisme, lembaga kepolisian,
kepolisian akuntabilitas serta baik di aras nasional
penyesuaian dg sistem mauoun lokal.
politik-pemerintahan yg .
desentralistis
DRAFT

Visi Masa Depan

1. Indonesia memiliki system dan lembaga pertahanan yang kuat


dalam menjaga kedaulatan negara dan sekaligus menopang
pengembangan ekonomi nasional
Indikator:
(1) Terumuskannya strategi dan kebijakan pertahanan nasional yang
berorientasi maritim
(2) Tersedianya sarana dan prasarana kemiliteran secara memadai sebagai
penunjang pelaksanaan fungsi-fungsi keamanan dan pertahanan nasional
(3) Terumuskannya kebijakan strategis pengintegrasian fungsi pertahanan
dan fungsi pengembangan ekonomi
(4) Terjalinnya kerjasama yang baik antara elemen penyelenggara negara,
masyarakat warga dan sektor bisnis dalam penyelenggaraan fungsi-
fungsi pertahanan yang bersinergi dengan pengembangan ekonomi
secara akuntabel dan bertanggung jawab

2. Indonesia memiliki system dan lembaga keamanan (kepolisian)


yang professional, akuntabel dan bercorak desentralistik

Indikator:
(1) Terbangunnya sistem dan lembaga kepolisian yang profesional, akutabel
dan bercorak desentralistik
(2) Meningkatnya profil dan kinerja lembaga kepolisian yang baik,
profesional, akuntabel dan bercorak desentralistik
(3) Terbangunnya dan terlembaganya peran pemantauan dan kontrol
terhadap lembaga kepolisian dari masyarakat warga dan sektor bisnis
DRAFT

Literatur

Azca, Muhammad Najib. (2004) Security Sector Reform, Democratic Transition, and
Social Violence: The Case of Ambon, Indonesia. Bonn: Berghof Research Center for
Constructive Conflict Management; available at http://www.berghof-handbook.net

Huntington, Samuel, P. (1999). The Third Wave, Democratization in the Late


Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press.

International Crisis Group (2000b). Indonesia: Keeping The Military Under Control.
Available:
http://www.crisisweb.org/projects/asia/indonesia/reports/A400054_05092000.pdf [19
April 2001]

International Crisis Group (2001). Indonesia: National Police Reform. Available:


http://www.crisisweb.org/projects/asia/indonesia/reports/A400054_05092001.pdf [19
April 2001]

Kadi, Saurip (2000). TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.

Tim Pokja Propatria (2004) Rekomendasi Arah Kebijakan Keamanan Dalam Negeri
2004-2009. Jakarta

Propatria Institute (2004) Arah Kebijakan Pertahanan Negara 2004-2009. Jakarta

Propatria Institute (2004) Rekomendasi Arah Kebijakan Keamanan dan Ketertiban


Umum 2004-2009. Jakarta

Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada dan Dinas
Penelitian dan Pengembangan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. (1999).
Profil Profesionalisme dan Kinerja Polri: Sebuah Riset Eksploratif. Yogyakarta,
Jakarta: Author.

Sukma, Rizal & Prasetyono, Edy. (2003). Security Sector Reform in Indonesia: The
military and the Police. Working Paper 9. The Hague: Neterherlands Institute of
International Relations ‘Clingendael’.

United States Space Command (1997) Vision for 2020


Available at: http://www.spacecom.af.mil/usspace
VISI DAN STRATEGI TRANSFORMASI KONFLIK
INDONESIA

“Peran Pihak Ketiga dalam Membangun Perdamaian”

Shiskha Prabawaningtyas
PPI Leiden

Disusun dalam rangka Pertemuan Pelajar Indonesia:


“Indonesia Masa Depan – Peran Kaum Muda” di DenHaag, Juni 2007

Latar Belakang

Konflik komunal dan gerakan separatis dianggap sebagai ancaman utama bagi keamanan
dan integritas Indonesia. Sebelum reformasi 1998, negara adalah aktor utama dalam
menentukan konsepsi keamanan atas nama kepentingan nasional. Namun kini, konsepsi
keamanan bukan lagi menjadi monopoli negara, namun telah bergeser pada konsep
keamanan manusia. Kondisi ini memberi ruang yang besar bagi peran masyarakat sipil.
Kegagalan negara dalam menjamin keamanan individu bagi setiap warga negaranya telah
melegitimasi peran pihak ketiga dalam membangun perdamaian. Penegakan hukum dan
jaminan pemenuhan terhadap hak asasi manusia menjadi sentral isu dalam membangun
perdamaian.

Kata kunci : konflik, keamanan manusia, manajemen konflik, membangun kepercayaan

Analisa Kondisi

Masalah

1. Meningkatnya konflik kekerasan komunal di masyarakat pasca reformasi, baik


konflik vertikal maupun horizontal yang meliputi isu tanah, lingkungan hidup,
agama, hubungan karyawan dan perusahaan. Periode transisi menuju negara
demokratis diwarnai oleh melunturnya kepercayaan masyarakat terhadap negara
yang berdampak pada lemahnya upaya penegakan hukum. Hilangnya repressi
negara seakan membuka keran kebebasan untuk berekspressi. Proses
desentralisasi seakan
2. Masih berlanjutnya konflik separatisme di Papua
3. Isu terorisme meningkatkan strategi offensive dari militer, polisi, dan intelijen
4. Ketegangan hubungan pusat dan daerah paska desentralisasi
Potensi
1. Meningkatnya kesadaran atas hak asasi manusia di masyarakat
2. Bergulirnya reformasi sektor keamanan
3. Menguatnya peranan masyarakat sipil: kelas menengah
4. Komitmen negara dalam pemberantasan kemiskinan
5. Meningkatnya arus informasi yang mempermudah upaya pendidikan

Analisa Trend
1. Menguatnya arus demokratisasi dan liberalisasi pasar
2. Komitmen dunia (red:UN) dalam pengentasan kemiskanan dunia
3. Munculnya kembali pola-pola keamanan atas dasar referensi negara teruatam
untuk mengatas masalah terorism
4. Tumbuhnya kekuatan ekonomi baru: Uni Eropa, China dan Rusia yang akan
menantang dominasi Amerika Serikat

Strategi Transformasi

1. Peningkatan pendidikan tentang perdamaian


2. Penguatan kapasitas institusi dan pembangunan ekonomi
3. Penguatan simpul-simpul institusi yang berperan sebagai arbiter dalam
penyelesaian masalah

Visi Masa Depan


1. Kepastian hukum
2. Institusi yang syarat atas kesadaran hak asasi manusia
3. Instutisi keamanan -- militer, polisi dan intelijen yang professional dan akuntable

Shiskha Prabawaningtyas
Apakah pengentasan kemiskinan sudah tepat sasaran ?
Oleh :
Anwar Sadat Sari Siregar

Pendahuluan
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam alinea keempat
Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini
juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada
dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi
masalah yang berkepanjangan.

Perhatian pemerintah pasca reformasi terhadap pengentasan kemiskinan terlihat lebih


besar , apalagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Namun
demikian solusi pengentasan kemiskinan yang di terapkan pemerintah masih saja tidak dapat
mengurangi angka porsentase penduduk miskin di Indonesia. Mengacu pada data yang
dikeluarkan BPS ( badan pusat statistik) pada 1 September 2006 , porsentase angka penduduk
miskin pasca kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) di Indonesia pada bulan Maret 2006
sebanyak 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk. Dibandingkan dengan
kondisi Februari 2005, berarti jumlah penduduk miskin bertambah 3,95 juta orang, dengan
catatan 2,06 juta di perdesaan dan 1,89 juta di perkotaan.

Berangkat dari data data tersebut saya melihat bahwa masih banyak pekerjaan
pekerjaan rumah yang masih harus diperbaiki agar program-program pengentasan kemiskinan
dapat memenuhi target.

Rumpun masalahan
• Tingginya angka masyarakat miskin dari tahun ke tahun
• Solusi yang ditawarkan ternyata selama in itidak menyelesaikan masalah
• Tidak adanya defenisi atau kriteria masyarakat yang seperti apa yang di sebut
miskin
Analisa permasalahan
Permasalahan kemiskinan , seharusnya di mulai dari pertanyaaan Siapakah yang
dimaksud masyarakat miskin tersebut ?

Program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada


upaya penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Hal itu, antara lain, berupa
bantuan beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang
miskin dan juga pemberian kompensasi BBM . Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan
persoalan kemiskinan yang ada, karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan
dapat menimbulkan ketergantungan.

Seharusnya program pengentasan kemiskinan tersebut lebih diarahkan kepada


penciptaan budaya mandiri sehingga dapat mengurangi ketergantungan akan bantuan
pemerintah secara terus menerus . Hal ini tercermin pada slogan : „ Memberi kail lebih baik
daripada memberi ikan“.

Melihat salah satu program kelanjutan yang telah dan akan dilaksanakan oleh
Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) bersama lintas sektoral mulai Juli 2007 akan
meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) berupa pemberian bantuan langsung tunai
kepada 500.000 ibu rumah tangga miskin (RTM) yang sedang hamil, memiliki balita atau
anak usia sekolah SD-SMP. Hal ini mencerminkan bahwa program pengentasan kemiskinan
yang di formulasikan masih menyebabkan ketergantungan yang berkelanjutan.

Menurut Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik,


Badan Pusat Statistik , „faktor lain yang dapat mengakibatkan gagalnya program
penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab
kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pengentasan yang ada tidak didasarkan
pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya tentu saja berbeda beda secara lokal“.

Hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor penting dikarenakan kondisi NKRI (
Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang sangat bhinneka. Kebhinnekaan ini terlihat dari
beragamnya
Usulan solusi permasalahan
Melihat permasalan yang ada di sesuaikan dengan kondisi saat ini dan tentunya
jangka panjang maka diperlukan satu rumusan penyelesain yang tepat sasaran. Dengan
melibatkan komponen pemerintah dan swasta . Usulan strategi penyelesain masalah adalah :

Pemerintah Swasta

Dialog dua-arah

Hasil Dialog

Lapangan Kerja

Masyarakat Miskin

Bagan usulan strategi

1. pemberdayaaan masyarakat miskin yang difokuskan pada perluasan kesempatan


berusaha melalui peningkatan industri swasta
2. adanya kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya lapangn kerja yang
bekerjasama dengan pihak swasta , seperti : pengurangan pajak, bantuan modal usaha
dan memberikan kemudahan ijin usaha
Kesimpulan
Penyelesaian permasalahan kemiskinan tentunya perlu melibatakn element terkait ,
dalam hal ini pihak industri atau swasta adalah satu pilihan yang baik untuk penciptaaan
lapangan kerja . Sehingga dengan terserapnya tenaga kerja yang notabene adalah rakyat
miskin, maka diharapkan prosentase angka kemiskinannpun akan menurun secara paralel.
Dan juga ketergantungan masyarakat miskin terhadapa pemerintah tidak lagi terjadi.
Kerjasama yang dibangun antara pemerintah dan swasta memungkinkan untuk
menekan porsentase angka kemiskinan menjadi lebih positif.

Referensi
http://kompas.com/kompas-cetak/0609/14/opini/2953305.htm
http://www.menkokesra.go.id/content/view/4162/39/
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 54 tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan
Fenomena Urbanisasi Kota Kecil dan Menengah di Indonesia
dan Tantangan Pembangunannya
Oleh : Fadjar Hari Mardiansjah12

Pengantar

Pada akhir dasawarsa ini, lebih dari 50% dari seluruh penduduk Indonesia bermukim
di wilayah perkotaan. Sementara itu, hampir 70% di antaranya tinggal di kota-kota kecil dan
menengah yang masing-masing kota tersebut berpenduduk kurang dari 500.000 jiwa.
Walaupun estimasi tetap memperkirakan bahwa proporsi penduduk kota-kota kecil dan
menengah tersebut tetap berada pada sedikit di bawah angka 70%, namun dengan jumlah dan
pertambahan jumlah penduduk wilayah perkotaan Indonesia yang cukup tinggi maka, jumlah
penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota kecil dan menengah tersebut mencapai angka
yang cukup tinggi, yaitu sekitar 60,2 juta jiwa di tahun 2000, yang akan menjadi sekitar 86,5
juta jiwa di tahun 2010 dan kemudian menjadi 98,6 juta jiwa di tahun 2015. Diperkirakan
angka ini akan terus membesar dengan terus berkembangnya jumlah penduduk perkotaan di
Indonesia. Dengan demikian, kota-kota kecil dan menengah Indonesia akan memiliki peran
penting dalam membangun masa depan dari bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa menjadi suatu hal yang sangat penting
untuk dapat mengidentifikasi tantangan pembangunan kota-kota kecil dan menengah
Indonesia, agar kota-kota tersebut dan hubungan keterkaitan di antaranya serta hubungannya
dengan kota-kota lainnya dapat berfungsi sinergis sebagai media peningkatan kualitas hidup
dari penduduk perkotaan Indonesia. Selain itu, dalam suatu pandangan yang berbasis pada
pendekatan sistem integratif dalam pembangunan, identifikasi terhadap tantangan tersebut
juga sangat penting untuk dapat meningkatkan peran kota-kota kecil dan menengah Indonesia
untuk mampu berperan sebagai ‘interface’ atau penghubung antara kegiatan di sektor
pedesaan dengan kegiatan-kegiatan lainnya di sektor perkotaan, baik yang berada di wilayah
kota-kota kecil dan menengah tadi maupun yang berada di wilayah kota-kota lain yang lebih
besar. Dengan demikian, peningkatan aktivitas dan pembangunan di wilayah kota-kota kecil
juga dapat meningkatkan aktivitas dan pembangunan di wilayah pedesaan di sekitarnya
sehongga peningkatan kualitas hidup juga akan terjadi di wilayah pedesaan di sekitar kota-
kota kecil dan menengah tadi.

1
Staf Pengajar pada Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang
Indonesia – Pelajar pada Institut Français d’Urbanisme, Université Paris 8, Perancis.
2
Disampaikan pada Konferensi Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda, yang diselenggarakan bersama
oleh Jejaring Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Eropa (PPI Belanda, Jerman, Itali, Perancis dan Spanyol), di Den
Haag – Belanda, 22-24 Juni 2007.

1
Untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang tantangan
pembangunan kota-kota kecil dan menengah Indonesia, makalah ini pertama-tama akan
menguraikan fenomena pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia dengan memberi
perhatian pada penduduk kota-kota kecil dan menengah, yang diindikasikan oleh jumlah
penduduk perkotaan pada kota-kota dengan jumlah penduduk di bawah 500.000 jiwa untuk
setiap kotanya. Kemudian, makalah ini dilanjutkan dengan pembahasan tentang peran kota
dalam pembangunan dan pengembangan wilayah serta kebutuhan untuk mampu memenuhi
peran sambil menjawab tantangan tersebut. Selanjutnya, makalah ini akan diakhiri dengan
perumusan beberapa dimensi tantangan dalam pembangunan kota-kota kecil dan menengah di
Indonesia.

Prospek Urbanisasi Indonesia: Pertumbuhan Penduduk Kota-kota Kecil dan Menengah


Dari sudut pandang demografis, Indonesia telah memasuki suatu babak baru dalam
pembangunan nasionalnya. Sejak pertengahan paruh kedua dekade 2000-2010, untuk pertama
kalinya, lebih dari 50% penduduk Indonesia telah tinggal dan bermukim di wilayah-wilayah
perkotaan Indonesia yang terdiri dari kota-kota besar, kecil dan menengah. Berdasarkan
catatan statistik dari Divisi Kependudukan PBB, diperkirakan bahwa 126,6 juta (53,7%) dari
236 juta jiwa penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan di tahun 2010 (UN
Population Division, 2007). Angka tersebut merupakan suatu peningkatan dari 87,9 juta jiwa
(42%) dari 209,2 juta jiwa penduduk Indonesia di tahun 2000. Dengan demikian, penduduk
perkotaan Indonesia telah berkembang dengan laju pertumbuhan sekitar 3,5% per tahun
dengan pertambahan sebesar 38,7 juta jiwa di antara tahun 2000-2010. Sementara itu,
penduduk pedesaannya berkurang dari sekitar 121,3 juta jiwa di tahun 2000 menjadi sekitar
109,2 juta jiwa di tahun 2010.

Gambar 1. Pertumbuhan Penduduk Indonesia serta Perbandingannya dengan


Penduduk Perkotaan dan Pedesaan antara tahun 1950-2030 (dalam juta jiwa)

300

250

200

150

100

50

0
1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2020 2030

Total Perkotaan Pedesaan

Sumber : UN Population Division, 2007.


Keterangan : angka setelah tahun 2000 merupakan angka hasil prediksi.

2
Pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut diakibatkan oleh tiga buah faktor. Faktor
pertama adalah faktor pertumbuhan alami yang merupakan selisih dari jumlah kelahiran
dengan jumlah kematian. Kedua adalah faktor pertumbuhan migrasional, sebagai hasil selisih
dari migrasi masuk dengan migrasi keluar wilayah perkotaan. Sementara faktor ketiga adalah
faktor reklasifikasi yang dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan status kawasan akibat
perubahan kondisi kawasan dari kawasan non-perkotaan menjadi suatu kawasan perkotaan di
waktu berikutnya sebagai hasil dari kegiatan pembangunan yang dilakukan pada kawasan
tersebut. Berdasarkan karakteristik lokasinya, faktor terakhir dapat dibedakan menjadi dua
buah kategori, yaitu reklasifikasi akibat perluasan/aneksasi suatu kota yang terjadi pada
wilayah pinggiran dari sebuah kota utamanya, dan reklasifikasi yang terjadi sebagai akibat
pemunculan suatu kota kecil sebagai akibat dari pertumbuhan dari suatu kawasan pedesaan
dan/atau pusat desa menjadi sebuah kawasan perkotaan yang memiliki aktivitas yang semakin
intensif dan beragam.

Menurut Tommy Firman (2004), seorang perencana gegrafis di ITB, hanya sekitar
35,2% pertumbuhan penduduk perkotaan di antara tahun 1980 ke 1985 yang diakibatkan oleh
pertumbuhan alami. Estimasi lainnya untuk antara tahun 1990-1995, memperlihatkan bahwa
pertumbuhan alami memberi kontribusi sebesar 37% kepada pertumbuhan penduduk
perkotaan Indonesia (Firman, 2004). Sementara itu, sisanya, yaitu sebesar 64,8% di antara
tahun 1980-1985 dan 63% di antara tahun 1990-1995, diakibatkan oleh pertumbuhan akibat
migrasi dan reklasifikasi (Firman, 2004). Sayangnya tidak terdapat data yang memperlihatkan
masing-masing kontribusi dari kedua faktor tadi, yang diakibatkan oleh adanya kesulitan
perolehan data yang diperlukan untuk memperhitungkan berapa besar kontribusi dari masing-
masing dari kedua faktor terakhir. Juga sayangnya belum terdapat informasi lain yang
memperlihatkan kontribusi pertumbuhan penduduk alami kepada pertumbuhan penduduk
perkotaan Indonesia untuk waktu terakhir. Namun gambaran tersebut, memperlihatkan bahwa
kontribusi pertumbuhan alami pada pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia hanya sekitar
35%. Simpulan ini dapat disampaikan karena pada penelitiannya yang lain Tommy Firman
(2003) mengemukakan terdapatnya penurunan tingkat kesuburan (fertility rate) penduduk
Indonesia dari 5,7 di tahun 1967-69 menjadi 2,9 di tahun 1994, dan kemudian turun lagi
menjadi 2,6 di tahun 2002, dimana apabila dibedakan antara penduduk perkotaan dan
penduduk pedesaan, biasanya tingkat kesuburan penduduk perkotaan lebih rendah daripada
tingkat kesuburan pada penduduk pedesaan sebagai hasil perbedaan gaya hirup dan
pandangan-pandangan sosial yang dianut oleh kedua kelompok masyarakat tersebut.

3
Gambar 2. Pertumbuhan Penduduk Perkotaan Indonesia untuk Setiap Jenis Kota
Berdasarkan Jumlah Penduduk yang Ditampung per Kota,
Tahun 1980, 2000, 2010 dan 2015 (dalam juta jiwa)

160
140
120
100
80
60
40
20
0
1980 2000 2010 2015

kurang dari 500 ribu 500 ribu - 1 juta 1 - 5 juta 5 - 10 juta 10 juta lebih

Sumber data: UN Population Division, 2007.


Keterangan: angka setelah tahun 2000 merupakan angka hasil prediksi.

Apabila ditinjau secara lebih detail untuk jumlah penduduk perkotaan Indonesia untuk
tiap jenis kota berdasarkan jumlah penduduknya (lihat Gambar 2), dimana jumlah penduduk
kota-kota kecil dan menengah ditunjukkan oleh jumlah penduduk perkotaan untuk kota-kota
dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu jiwa untuk setiap kotanya, maka walaupun
proporsinya relatif tetap berada di sekitar angka 68% setelah meningkat dari 58% di tahun
1980 (lihat Tabel 1), namun jumlah absolutnya selalu meningkat dengan pesat. Jumlah
penduduk kota-kota kecil dan menengah Indonesia meningkat dengan sangat pesat dari
kurang dari 20juta di tahun 1980 menjadi lebih 60 juta di tahun 2000, berarti menjadi lebih
dari tiga kali lipatnya hanya dalam waktu 20 tahun. Kemudian, walaupun akan memiliki
perlambatan bila dibandingkan dengan pertumbuhan di periode sebelumnya, penduduk
perkotaan kecil dan menengah Indonesia akan meningkat menjadi sekitar 68,5 juta di tahun
2010 dan hampir mencapai 100 juta jiwa di tahun 2015. Sayangnya belum terdapat informasi
mengenai jumlah kota (aglomerasi perkotaan) untuk kota-kota kecil dan menengah ini.
Namun apabila diasumsikan bahwa setiap kota tersebut memiliki jumlah penduduk 500 ribu
jiwa maka akan terdapat sekitar 200 buah kota kecil dan menengah. Padahal, jumlah
penduduk dari kota kecil dan menengah Indonesia berkisar di antara puluhan ribu jiwa hingga
ratusan ribu jiwa penduduk, sehingga dengan demikian maka akan terdapat ratusan buah kota
kecil, yang didefinisikan sebagai kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu jiwa, dan
kota menengah yang didefinisikan sebagai kota dengan jumlah penduduk antara 250-500 ribu
jiwa.

4
Tabel 1. Jumlah dan Proporsi Penduduk Perkotaan Indonesia
per Tiap Jenis Kota Tahun 1980, 2000, 2010 dan 2015 (dalam juta jiwa)
Jumlah penduduk 1980 2000 2010 2015
per jenis kota (juta jiwa) (%) (juta jiwa) (%) (juta jiwa) (%) (juta jiwa) (%)
kurang dari 500 ribu 19,191 57.9 60,194 68.5 86,483 68.3 98,607 68.3
500 ribu - 1 juta 3,255 9.8 6,171 7.0 6,051 4.8 5,810 4.0
1 - 5 juta 4,742 14.3 10,431 11.9 18,830 14.9 17,839 12.4
5 - 10 juta 5,984 18.0 0 0.0 0 0.0 5,338 3.7
lebih dari 10 juta 0 0.0 11,065 12.6 15,206 12.0 16,822 11.6
Total 33,172 100.0 87,861 100.0 126,570 100.0 144,416 100.0
Sumber data : UN Population Division, 2007.

Untuk antara tahun 1980-1990, khusus untuk kasusnya di Pulau Jawa, secara spasial,
Tommy Firman (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia
terutama terjadi di dua buah kelompok lokasi, yaitu wilayah-wilayah kabupaten yang berada
di sekitar kota besar, dan kabupaten-kabupaten yang berlokasi di sekitar jaringan jalan
regional utama, atau gabungan dari kedua karakteristik lokasi tersebut. Karakteristik lokasi
pertama diperlihatkan oleh Kabupaten Kerawang, Bekasi dan Depok di sekitar Kota Jakarta,
Kabupaten Bandung di sekitar Kota Bandung, Kabupaten Semarang di sekitar Kota
Semarang, Kabupaten Bantul, Sleman dan Klaten di sekitar Kota Yagyakarta, Kabupaten
Gresik dan Sidoarjo di sekitar Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang di sekitar Kota Malang.
Karakteristik lokasi kedua diperlihatkan oleh Kabuaten Indramayu, Cirebon, Tegal, Pemalang
dan Pekalongan yang berlokasi di jaringan jalan utama pantai utara Jawa yang
menghubungkan antara Jakarta dan Semarang ; Kabupaten Semarang, Boyolali, Klaten
Sukoharjo, dan Sleman yang berada di sekitar jaringan jalan regonal utama yang
menghubungkan Kota Semarang, Yogyakarta dan Surakarta ; serta Kabupaten Mojokerto,
Jombang dan Kediri yang terletak di antara segitiga jaringan jalan regional utama yang
menghubungkan Surabaya-Malang-Kediri. Namun demikian juga terdapat beberapa
kabupaten yang tidak berada di antara kedua karakterik lokasi di atas seperti Kabupaten
Jepara dan Situbondo. Diperkirakan bahwa kasus urbanisasi di Kabupaten Jepara sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan ‘local genius’ yaitu industri mebel dan perlengkapan rumah
tangga lain yang didukung oleh keterampilan dan seni ukirnya yang khas. Aktivitas tersebut
yang diperkirakan menjadi pendorong proses urbanisasi dan peningkatan penduduk perkotaan
di kabupaten ini. Namun, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti
faktor-faktor yang mendorong terjadinya pertumbuhan penduduk perkotaan di wilayah-
wilayah tersebut, yang dipandang dari dimensi yang lebih luas daripada sekedar dimensi
demografis namun juga termasuk dimensi ekonomi, sosial, fisik dan kebijakan.

Selanjutnya, dalam analisisnya yang serupa namun untuk tahun yang berbeda yaitu
untuk tahun 1990-2000, Tommy Firman (2003) memperlihatkan bahwa fenomena tersebut di
atas terus menguat dan mendapat penguatan sehingga proses urbanisasi yang terjadi kemudian
juga mengikutsertakan beberapa kabupaten lain di sekitar pusat-pusat konsentrasi urbanisasi
wilayah tadi. Beberapa kota yang kemudian terpengaruhi sehingga meningkat laju
pertumbuhan penduduknya adalah Kota Bogor yang meningkat pertumbuhan penduduknya
dari 0,94% per tahun antara 1980-1990 menjadi 10,98% per tahun antara 1990-2000 sehingga
meningkatkan jumlah penduduknya dari 271.341 jiwa di tahun 1990 menjadi 743.086 jiwa di
tahun 2000, Kota Sukabumi dari 0,87% menjadi 7,98% dengan penduduk dari 119.938
menjadi 252.025 jiwa, Kota Salatiga dari 1,34% menjadi 4,54% dengan penduduk dari 98.012

5
jiwa menjadi 150.494 jiwa. Sementara kabupaten-kabupaten yang meningkat pertumbuhan
penduduk perkotaannya di antara tahun 1990-2000 namun belum mengalami proses
urbanisasi pesat di periode sebelumnya adalah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Sumedang di Propinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Demak dan Kabupaten Sragen di Propinsi
Jawa Tengah.

Dalam demikian, dengan mempelajari kasus yang terjadi di Pulau Jawa, pertumbuhan
penduduk kota-kota kecil dan menengah di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh
keberadaan kota-kota besar, ketersediaan jaringan jalan rgional dan infrastruktur penunjang
kegiatan perkotaan, serta ketersediaan sumber daya aktivitas ekonomi yang ada di
wilayahnya. Selanjutnya, dengan berkembangnya proses urbanisasi dan kegiatan ekonomi
perkotaan pada kota-kota kecil dan menengah, proses urbanisasi tersebut kemudian
menghasilkan suatu percampuran aktivitas perkotaan dan aktivitas pedesaan, seperti
tercampurnya kegiatan pertanian tanaman pangan, terutama padi, dengan aktivitas industri,
perdagangan dan transportasi. Terry McGee (1990) mengemukakan proses urbanisasi kota-
kota kecil tersebut sebagai suatu proses yang meliputi pertumbuhan wilayah aktivitas
pertanian dan non-pertanian yang dicirikan oleh adanya interaksi intensif dari aliran
komoditas dan orang. Dalam artikelnya tersebut, Terry McGee kembali menegaskan
pendapatnya sebelumnya yang mengemukakan bahwa urbanisasi kota-kota kecil dan
menengah di Asia didorong oleh beberapa karakteristik : pertama, adanya kepadatan
penduduk yang sangat tinggi ; kedua, umumnya berupa wilayah pertanian pangan dengan
tingkat kepemilikan lahan petani yang relatif sempit ; ketiga, adanya kota-kota besar sebagai
pendorong urbanisasi ; keempat, adanya pertumbuhan aktivitas ekonomi yang terampur antara
aktivitas pertanian dengan kegiatan non-pertanian yang meliputi industri, perdagangan dan
transportasi ; kelima, adanya interaksi antara desa dan kota yang cukup baik ; dan terakhir,
adanya percampuran penggunaan lahan yang cukup intensif di dalam lingkungan
permukimannya yang meliputi penggunaan lahan pertanian, industri-industri kecil, kawasan
industri dan penggunaan lahan permukiman yang berdampingan antara satu dengan lainnya
(McGee, 1987). Selain itu, pertumbuhan penduduk dan urbanisasi kota-kota kecil dan
menengah tersebut juga didukung oleh perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama
teknologi dalam bidang transportasi, informasi dan komunikasi.

Dalam konteksnya di Propinsi Jawa Tengah, pertumbuhan penduduk perkotaan di


kota-kota kecil yang terdapat di kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah terjadi jauh lebih pesat
daripada yang terjadi di kota-kota utamanya. Walaupun rerata laju pertumbuhan penduduk
perkotaannya telah berkurang dari 6,15% manjadi 5,76% per tahun dari periode 1980-1990 ke
periode 1990-2000 (Mardiansjah, 2005b), namun beberapa kabupaten mengalami loncatan
laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Kabupaten Sragen mengalami loncatan dari 2,17%
menjadi 12,7%, sementara Kabupaten Pekalongan mengalami loncatan dari 3,22% menjadi
6,47% dan Kabupaten Pemalang dari 4,21% menjadi 7,01%, pada periode yang sama
(Mardiansjah, 2005b). Semantara itu, rerata laju penduduk perkotaan Kota Semarang, ibukota
propinsinya, hanya meningkat dari 1,96% menjadi 2,36% untuk perioda waktu yang sama.
Selain itu, dari 29 buah kabupaten yang ada di Propinsi Jawa Tengah, dua buah kabupaten
yaitu Kabupaten Sragen (12,7%) dan Demak (11,2%) memiliki laju pertumbuhan penduduk
perkotaan lebih dari 10% per tahun pada periode 1990-2000, dan 16 kabupaten lainnya
memiliki laju pertumbuhan penduduk perkotaan antara 5-10% per tahun (Mardiansjah,
2005b). Hanya satu buah kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo, yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk perkotaan di bawah 2,5% per tahun. Sisanya, yaitu 10 kabupaten

6
lainnya, memiliki laju pertumbuhan penduduk perkotaan antara 2,5-5% per tahun di antara
tahun tersebut. Walaupun jumlah penduduk perkotaan absolutnya raltif kecil bila
dibandingkan dengan jumlah penduduk perkotaan di kota-kota utamanya, namun fenomena
ini mengindikasikan bahwa proses urbanisasi yang terjadi di kota-kota kecil dan menengah di
Jawa Tengah telah terjadi dengan pesat. Akibatnya, jumlah penduduk perkotaan yang terdapat
di wilayah Propinsi Jawa Tengah telah menjadi semakin tersebar pada kawasan kota-kota
kecil, dan walaupun aktivitas perekonomian perkotaan di propinsi ini pun telah mulai tersebar
keluar dari kota-kota utamanya, namun berbagai ‘persoalan perkotaan’ seperti
berkembangnya permukiman kumuh, polusi dan penurunan/degradasi lingkungan, dan
kurangnya sediaan infrastruktur, juga telah menjadi permasalahan bagi banyak kota-kota kecil
di Jawa Tengah.

Namun, di sisi lain, kesiapan institusi dari banyak kabupaten di wilayah Jawa Tengah
dan juga di wilayah lainnya di Indonesia dalam menghadapi proses urbanisasi kota-kota kecil
dan menengahnya perlu mendapat perhatian serius. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Tegal memperlihatkan bahwa Pemerintah Kabupaten Tegal belum menempatkan ancaman
dan tantangan proses urbanisasi kota-kota kecil tersebut ke dalam prioritas utama
(Mardiansjah dan Waluyo,2005). Penduduk perkotaan di wilayah Kabupaten Tegal yang
meningkat dari 262.375 jiwa di tahun 1980 (23,8% dari total penduduknya di tahun 1980),
menjadi hampir dua kali lipatnya yaitu 494.077 jiwa di tahun 1990 (40% dari total
penduduknya di tahun 1990), dan kembali meningkat menjadi 755.651 jiwa di tahun 2000
(55% dari total penduduknya di tahun 2000) telah menjadikan kabupaten ini menjadi salah
satu dari lima kabupaten Jawa Tengah yang penduduk perkotaannya lebih banyak daripada
penduduk pedesaannya sejak sebelum tahun 2000, yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kudus,
Klaten, Tegal dan Jepara (Mardiansjah, 2005b), belum menjadikan kabupaten ini berorientasi
untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan perkotaan yang akan dihadapi. Hal ini
diindikasikan dari semakin berkembangnya permasalahan-permasalahan perkotaan yang
semakin tidak tertangani seperti kemacetan, kurangnya penyediaan sarana dan prasarana
lingkungan permukiman, pengkumuhan dan penurunan/degradasi kualitas lingkungan
perkotaan, serta polusi linngkungan yang diakibatkan oleh kualitas pengelolaan sampah yang
kurang baik. Persoalan-persoalan tersebut semakin diperparah dengan adanya fenomena tidak
terkontrolnya konversi lahan pertanian manjadi lahan untuk aktivitas perkotaan dan non-
pertanian lainnya. Tanpa suatu upaya pengelolaan pembangunan kota yang lebih baik untuk
menghadapi implikasi fenomena urbanisasi di kota-kota kecilnya tersebut, maka
dikhawatirkan bahwa permasalahan-permasalahan urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar
termasuk bencana-bencana lingkungan dan bencana-bencana kesehatan juga akan terjadi di
wilayah kabupaten ini. Apabila hal itu terjadi, maka dalam jangka dekat persoalan-persoalan
tersebut akan sangat berpengaruh kepada kualitas hidup warganya, dan dalam jangka panjang
akan menjadi salah satu hambatan dalam pembangunan wilayahnya.

7
Peran Kota Kecil dan Menengah dalam Pembangunan Wilayah
Kota merupakan tempat yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia di
bumi. Sejak awal perkembangannya, kota merupakan tempat yang menawarkan peluang-
peluang pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Dalam hal ini, kota menjadi titik sentral
bagi pengembangan banyak kegiatan seperti pertumbuhan ekonomi, pengembangan ilmu
pengetahuan dan budaya, peningkatan inovasi, penciptaan peluang kerja, dan lain sebagainya.
Selain itu, kota juga merupakan pusat-pusat kehidupan modern bagi lingkungan di sekitarnya
yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pertukaran budaya dari masyarakat
suatu daerah dengan masyarakat daerah lainnya, sehingga selain menjadi pusat
pengembangan aktivitas ekonomi, kota juga merupakan pusat penting bagi pengembangan
kehidupan sosial dan budaya. Dalam konteks ini, kota merupakan suatu tempat penting yang
berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan warganya. Selain itu, dengan memandang
keterkaitan dan interaksi antar-kota serta antara kota dengan wilayah di sekitarnya, maka kota
juga berfungsi sebagai penguat jejaring aktivitas sosial, ekonomi dan budaya sehingga dengan
demikian maka kota juga berfungsi sebagai tempat penyebaran kesejahteraan bagi kelompok
masyarakat lain yang tidak tinggal di dalam wilayah kota tersebut.

Pemusatan kegiatan pada suatu wilayah kota serta kepadatannya yang tinggi, mungkin
merupakan suatu hal yang bagus apabila ditinjau dari sudut pandang upaya peminimalan
dampak aktivitas manusia kepada lingkungan ekosistem setempat (Cohen, 2006). Hal ini
disebabkan karena dengan pemadatan aktivitas tersebut maka upaya mitigasi/penanggulangan
dampaknya bisa dilakukan secara lebih efektif dan lebih efisien pada suatu skala ekonomi
yang mencukupi. Namun, semakin berkembangnya sebuah kota, maka upaya pengelolaan
aktivitas dan pembangunannya akan menjadi semakin kompleks. Barney Cohen (2006)
mengemukakan bahwa pertumbuhan perkotaan yang cepat banyak membawa persoalan pelik
pada sebagian besar kota di negara berkembang sebagai akibat terbatasnya kemampuan setiap
kota dalam memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan warganya yang jumlahnya
berkembang dengan pesat. Beberapa hal yang menjadi perlu mendapat perhatian penting di
dalamnya adalah penyediaan sarana dan prasarana dasar perkotaan bagi warga kota seperti
perumahan, air bersih, sanitasi, listrik, dan lain-lain, serta perhatian terhadap pencegahan
bencana perkotaan baik merupakan bencana lingkungan seperti banjir, longsor dan sebagainya
maupun bencana kesehatan yang diakibatkan oleh penyebaran penyakit menular seperti
demam berdarah, muntaber, flu burung dan lain sebagainya. Persoalan lain yang juga perlu
mendapat perhatian adalah kemampuan kota dalam menciptakan kesempatan kerja yang
mampu mendukung kehidupan warga kota untuk hidup secara layak, perlindungan terhadap
kondisi dan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam perkotaan, dan penciptaan
kohesi sosial di antara masyarakat perkotaan. Rendahnya kemampuan teknik dan otoritas dari
institusi pengelolaan pembangunan kota, serta kemampuan finansial dan sumber daya
manusia bila dibandingkan dengan kebutuhannya, banyak membuat kota-kota di negara
berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi banyak persoalan penting seperti
pengangguran, kemiskinan, berkembangnya permukiman kumuh, kemacetan dan tidak
terkendalinya pertumbuhan kota serta degradasi lingkungan hidup perkotaan, yang banyak
dipengaruhi oleh ketidak-mampuan penyediaan infrastruktur dan fasilitas pelayanan kota lain
untuk memenuhi kebutuhan seluruh warganya yang tumbuh dengan pesat.

8
Dalam analisisnya terhadap kebijakan pembangunan perkotaan di Asia, Dennis A.
Rondinelli (1991) melaporkan bahwa lebih dari 60% penduduk Kolkata bermukim pada
permukiman kumuh yang sebagian besar di antaranya dilakukan secara ilegal. Selain itu, lebih
dari 40% penduduk Bombay dan lebih dari sepertiga dari mereka yang tinggal di New Delhi,
Dhaka dan Manila juga tinggal di dalam lingkungan permukiman yang jauh di bawah standar
yang layak (Rondinelli, 1991). Di bagian lain, Rondinelli (1991) juga mengatakan bahwa
sebagai akibat dari rendahnya kemampuan penyediaan air bersih di Jakarta, Bangkok dan
Seoul, maka kota-kota tersebut menghadapi permasalahan besar pada kemiskinan dan
kesehatan masyarakat. Dalam artikel lainnya, Werlin (1999) mengemukakan bahwa
rendahnya penyediaan pelayanan perkotaan di banyak kota negara berkembang telah
mengakibatkan kota-kota tersebut memiliki ancaman-ancaman lingkungan yang sangat besar.
Kondisi Kota Jakarta yang hanya mampu menyediakan jaringan air bersih kepada kurang dari
20% warganya telah memaksa 45% warga Jakarta untuk bergantung kepada air tanah dangkal
dalam pemenuhan air bersihnya (Werlin, 1999), dan lebih dari 11% lainnya bergantung
kepada penjaja air (Hendrojogi, 1993). Padahal dengan kondisi pengelolaan limbah tinja
rumah tangga di jakarta yang bergantung kepada sistem septik-tank, laporan World Bank
(1994) seperti yang dikutip oleh Werlin (1999), mengemukakan bahwa 93% sumur dan
pompa air yang mengakses pada kandungan air tanah di Jakarta telah tercemar oleh polusi dan
limbah tinja sehingga mengandung bakteri colli dalam tingkat yang melebihi ambang batas
yang sehat. Di samping itu, warga yang harus membeli air dari penjaja air juga harus
membayar harga air yang antara 5 – 20 kali lebih mahal daripada harga air yang diterapkan
oleh PDAM Jakarta (Cosgrove and Rijsberman, 2000). Karena sebagian besar mereka yang
tidak terlayani oleh jaringan air bersih PDAM merupakan bagian dari masyarakat miskin kota,
hal-hal ini, selain menurunkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup dari sebagian besar
warga Jakarta, juga menjadi salah satu penghalang warga miskin kota untuk melepaskan diri
dari jeratan kemiskinannya.

Di samping peran kota untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup


warganya seperti yang didiskusikan di atas, peran lain yang juga dimiliki oleh kota, terutama
kota-kota kecil dan menengah, adalah fungsinya dalam meningkatkan kualitas pembangunan
pedesaan dan pembangunan wilayah di sekitarnya (Rondinelli, 1986). Dari sudut pandang
pengembangan kegiatan ekonomi, kota-kota kecil dan menengah berperan dalam melakukan
penyediaan dan dukungan penyediaan pelayanan, fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan
pendukung aktivitas produktif bagi wilayah di sekitarnya. Dalam konteks pengembangan
kegiatan pertanian yang merupakan kegiatan penting di negara-negara Asia, kota-kota kecil
dan menengah dapat berperan dalam mengembangkan kegiatan industri kecil dan menengah
yang mengolah hsail-hasil pertanian di pedesaan dan wilayah sekitarnya, serta memberikan
pelayanan pendukung kegiatan pertanian di wilayah sekitarnya, dan menyediakan akses pasar
bagi barang-barang hasil pertanian (Rondinelli, 1986). Dari sudut pandang pembangunan
sosial dan budaya, kota-kota kecil dan menengah dapat berfungsi sebagai pusat-pusat
pelayanan pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kapasitas teknik vokasional dari tenaga
kerja yang ada di wilayahnya dan wilayah sekitarnya, serta fasilitas-fasilitas pengembangan
dan pembangunan ilmu pengetahuan dan budaya lainnya. Apabila dapat diperkuat secara
efektif, maka dari sudut pandang demografis, kota-kota kecil dan menengah dapat berperan
sebagai penyangga dari kota-kota motropolitan dan kota-kota besar lainnya, dalam bentuk
menyerap penduduk sehingga tidak bermigrasi ke kota-kota besar (Cohen, 2006). Untuk
mampu memenuhi peran-peran tersebut, maka kota-kota kecil dan menegah tidak hanya perlu
dikembangkan agar memiliki jaringan jalan regional yang menghubungkannya kepada kota-
kota besar yang berfungsi sebagai pasar dari produk-produk wilayah sekitarnya, namun juga

9
perlu memiliki jaringan jalan dan jaringan infrastruktur komunikasi lain yang mampu
membangun suatu keterkaitan dan hubungan yang kuat di antara kota-kota kecil tersebut
dengan wilayah-wilayah pedesaan di sekitarnya. Selain itu, juga perlu dikembangkan jaringan
infrastruktur fisik dan layanan-layanan lain yang mampu mendukung pengembangan industri
pengolahan kecil dan menengah, fungsi-fungsi pendukungan kegiatan pertanian dan aktivitas
produksi lain di wilayah sekitarnya, fasilitas-fasilitas pemasaran produk pertanian, serta
fasilitas pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan informasi. Dengan demikian,
maka dalam konteks ini, diharapkan bahwa kota-kota kecil dan menengah di Indonesia dapat
memainkan peranan penting dalam mendukung pengembangan kegiatan pertanian,
pembangunan pedesaan dan pengembangan wilayah, serta melakukan penyediaan akses pasar
dan pengembangan kegiatan industri kecil dan menengah pengolahan hasil pertanian, dan
pengembangan kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya serta di
wilayah sekitarnya.

Selain itu, perkembangan tekad dunia untuk mengubah cara pembangunan dan
pemanfaatan sumber-sumber daya alam untuk menuju kepada cara-cara yang lebih
berkelanjutan, setelah dideklarasikannya Deklarasi Rio tentang Pembangunan Berkelanjutan
dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, atau yang dikenal juga
sebagai Pertemuan Bumi II di Rio de Janeiro pada tahun1992, juga telah memberi peran baru
kepada seluruh kota di dunia, termasuk kota-kota kecil dan menengah di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development), yang didefinisikan sebagai suatu cara pembangunan yang mampu
menjamin “pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dari generasi saat ini tanpa mengkompromikan
kemampuan dari generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya” (WCED, 1987), telah
memicu pengembangan konsep pembangunan kota berkelanjutan (sustainable urban
development). Da Cunha (2005) mengemukakan bahwa konsep pembangunan kota
berkelanjutan melakukan kritik kepada masyarakat perkotaan tentang cara-caranya dalam
pengorganisasian dan pemanfaatan ruang kota, cara-cara penduduk kota beraktivitas dan
melakukan aktivitas transportasi, cara-caranya mengelola sumber-sumber daya alam dan
kondisi-kondisi lingkungan yang wujud, dan dalam cara-cara pencapaian kualitas hidup
seluruh warga kota dimana termasuk di dalamnya adalah cara-cara dan pemanfaatan teknologi
dalam berproduksi, konsumsi dan bertransportasi. Secara lebih spesifik, Da Cunha (2005)
mengemukakan bahwa konsep pembangunan kota berkelanjutan menghendaki dilakukannya
pereduksian dalam konsumsi lahan/ruang kota, pembatasan kegiatan transportasi yang
berlebihan, dan memperbaiki pola-pola pengkonsumsian energi dan penanggulangan polusi,
serta peningkatan kualitas hidup perkotaan.

Namun, sebagai suatu ‘organisme’ yang memiliki banyak kebutuhan input serta bahan
baku yang juga salah satunya meliputi sumber-sumber alam bagi kelangsungan hidup dan
aktivitas warganya, serta sebagai suatu ‘organisme’ yang juga menghasilkan produk serta
buangan yang berpotensi untuk mencemari dan menurunkan kualitas lingkungan, dimana
ruang wilayahnya relatif terbatas, setiap kota sangat bergantung kepada sejumlah luasan
wilayah tertentu yang berada di luar wilayah kotanya, baik sebagai tempat penghasil sumber-
sumber pemenuhan kebutuhannya maupun sebagai tempat pengelolaan buangan-buangan
yang dikeluarkannya. Dari sudut pandang ini, Da Cunha (2005) menyepakati pendapat
Satterthwaite (1997) yang menyatakan bahwa pada dasarnya kota bukanlah merupakan suatu
‘organisme’ yang berkelanjutan (sustainable), tetapi kota memiliki peluang untuk
berkontribusi kepada keberlanjutan (sustainability). Oleh karena itu, peran tambahan yang

10
dimiliki oleh setiap kota, termasuk di dalamnya kota-kota kecil dan menengah, dari
perkembangan tekad dunia untuk menyelenggarakan suatu cara dan paradigma pembangunan
berkelanjutan adalah peran untuk mampu berkontribusi kepada keberlanjutan, baik
keberlanjutan di dalam skala lingkungan dan masyarakat di dalamnya, dalam skala lokal,
regional, nasional dan juga dalam skala global.

Tantangan Pembangunan Kota-kota Kecil dan Menengah Indonesia


Dari pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki suatu
babak baru di dalam proses urbanisasi yang terjadi di dalamnya, dimana proses urbanisasi
tersebut tidak hanya lagi terjadi di wilayah kota-kota besar namun juga terjadi di wilayah
kota-kota kecil yang terdapat di banyak kabupaten di Indonesia. Walaupun kondisi ini dapat
menghasilkan sesuatu yang positif, namun fenomena tersebut juga mengandung beberapa
tantangan dan ancaman. Tantangan tersebut semakin besar dengan semakin meningkatnya
peran dari kota-kota kecil dan menengah tersebut. Setidaknya terdapat tiga buah peran penting
dari kota-kota kecil dan menengah Indonesia di masa yang akan datang. Peran pertama adalah
untuk menjadi tempat yang mampu membangkitkan dan mendukung pengembangan potensi
dan kemampuan seluruh warga kotanya untuk dapat berproduksi secara efektif sehingga
mampu memperoleh kualitas kehidupan yang layak. Kedua adalah sebagai tempat yang
mampu mendorong, membangkitkan dan mengakomodasi kebutuhan aktivitas dari wilayah-
wilayah pedesaan di sekitarnya sehingga mampu berkontribusi kepada pengembangan
wilayah yang lebih luas. Dan ketiga adalah mampu berkontribusi kepada keberlanjutan, baik
keberlanjutan pada level lokal, regional, nasional maupun global.

Untuk dapat memenuhi peran-peran tersebut, maka kota-kota kecil dan mengengah di
Indonesia tidak hanya dituntut untuk mampu mencukupi pemenuhan kebutuhan sarana dan
prasaran dasar penjamin kualitas sanitasi dan kesehatan serta aktivitas ekonomi warga
kotanya. Dalam konteks ini, tantangan pengentasan kemiskinan dan penciptaan peluang dan
kesempatan kerja serta penyediaan kebutuhan permukiman perkotaan dan infrastruktur
lingkungan seperti penyediaan air bersih dan prasarana sanitasi lainnya, dan pemeliharaan
kualitas lingkungan hidup perkotaan merupakan tantangan dasar bagi kota-kota tersebut.
Lebih daripada itu, kota-kota kecil dan menengah tersebut juga perlu dikembangkan dengan
sarana dan prasarana regional serta fasilitas pendukung pengembangan kegiatan pertanian dan
pembangunan pedesaan di wilayah sekitarnya. Dimana dalam konteks ini, tantangan
peningkatan kemampuan kota-kota tersebut dalam penguatan integrasi wilayah yang lebih
besar, baik secara ekonomi maupun sosial, merupakan tantangan berikut bagi kota-kota kecil
dan menengah ini. Namun, penyediaan dan pengembangan sarana, prasarana dan fasilitas
tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang mampu mengurangi penghamburan
pemanfaatan sumber-sumber daya alam dan energi, termasuk dalam pemanfaatan sumber-
sumber daya lahan yang efektif dan tidak mendorong terjadinya kegiatan transportasi yang
berlebihan, sehingga cara-cara pengembangan ini dan kemampuan dari setiap kota kecil untuk
berkontribusi kepada keberlanjutan (sustainability) menjadi tantangan lain bagi kota-kota
kecil dan menegah di Indonesia.

11
Salah satu permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum
berkembangnya dan/atau rendahnya kemampuan institusi pengelolaan pembangunan kota,
baik pada level kota-kota kecil tersebut maupun pada level kabupaten yang menaunginya.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilancarkan dengan diberlakukannya UU
No. 22/1999 yang kemudian direvisi oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yang memberi kewenangan dan otonomi yang lebih besar kepada otoritas pemerintahan di
level kabupaten dan kota, tidak secara serta merta meningkatkan kemampuan dan kapasitas
institusi, keuangan, teknik dan sumber daya manusia yang ada pada level kabupaten. Padahal
banyak kota-kota kecil dan menengah yang terdapat di banyak kabupaten di Indonesia ini
yang berupa kecamatan, bagian dari suatu kecamatan, atau gabungan dari bagian dari
beberapa kecamatan. Tanpa upaya penguatan desentralisasi dan otonomi yang berupa suatu
upaya redesentralisasi beberapa urusan dan kewenangan pembangunan tertentu dari level
kabupaten kepada level kota-kota kecil terssebut, dikhawatirkan bahwa persoalan-persoalan
perkotaan yang terdapat di kawasan kota-kota kecil tersebut tidak dapat tertangani. Hal ini
disebabkan karena institusi pada level kabupaten akan menjadi institusi yang bertanggung
jawab dan mengawasi seluruh wilayah kabupaten, yang memiliki beberapa kota kecil yang
berkembang dengan pesat, sehingga perhatiannya terhadap permasalahan yang terjadi di
setiap kota kecil yang ada belum tentu dapat dilakukan secara intensif. Terlebih bila terjadi
suatu bias perhatian pembangunan di dalam institusi pengelolaan pembangunan kota yang
tidak menempatkan permasalahan pembangunan perkotaan di kabupatennya ke dalam
prioritas perhatian yang memadai, atau bias perhatian yang lebih menempatkan perhatian
kepada permasalahan-permasalahan pembangunan perkotaan di wilayah ibukota kabupaten
lebih tinggi daripada permasalahan-permasalahan lainnya, seperti yang sering terjadi di
banyak pengalaman pengelolaan pembangunan kabupaten di Indonesia. Oleh karena itu,
tantangan pengembangan dan penguatan kewenangan dan kemapuan dari institusi di setiap
kota kecil di bawah level kabupaten ini menjadi suatu tantangan institusional dalam
pembangunan kota-kota kecil ini.
Selanjutnya, iklim demokrasi dan kesadaran bahwa aktor-aktor kunci dari pelaksanaan
pembangunan di setiap kota kecil tadi bukan hanya berasal dari lingkungan wilayah kotanya
saja melainkan juga berasal dari wilayah-wilayah lain dari level pedesaan di sekitar kota kecil
tersebut, wilayah lain pada level kota-kota kecil lainnya, level kabupaten atau kabupaten
lainnya, hingga pada level nasional atau bahkan internasional, dan kesadaran bahwa potensi
dan sumber-sumber daya pembangunan yang tidak hanya terletak pada institusi pemerintah,
melainkan lebih banyak terdapat pada institusi swasta dan organisasi non-pemerintah (LSM
dan KSM), maka tantangan pengembangan institusi dan pengelolaan pembangunan yang
partisipatif (participatory governance) menjadi tantangan lain dalam pengembangan institusi
pengelolaan pembangunan perkotaan di kota-kota kecil dan menengah tersebut. Tanpa
memperhatikan seluruh tantangan ini, dikhawatirkan bahwa pengalaman-pengalaman buruk
yang terjadi pada urbanisasi di wilayah kota-kota besar dapat terreplikasi di wilayah kota-kota
kecil ini walau dalam ukuran dan intensitas yang lebih rendah.

12
Daftar Pustaka
Badshah, Akhtar A., 1996, Our Urban Future: New Paradigms for Equity and Sustainability,
Zed Books Ltd., London & New Jersey.
Bai, X. (2007), Integrating Global Environmental Concerns into Urban Management: the
scale and readiness arguments, in Journal of Industrial Ecology, Vol. 11, No. 2, pp.
15-29.
Colvile, R.N., et al. (2001), The Transport Sector as a Source of Air Pollution, in Atmospheric
Environment, Vol. 35, pp. 1537-1565.
Cosgrove, William J and Rijsberman Frank R., 2000, World Water Vision: Making Water
Everybody’s Business, a report for World Water Council, Earthscan Publication Ltd.,
London.
Finco, A. & Nijkamp, P. (2001), Pathways to Urban Sustainability, in Journal of
Environmental Policy & Planning, Vol. 3, pp. 289-302.
Firman, T. (2003), The Spatial Pattern of Population Growth in Java, 1990-2000: continuity
and change in extended metropolitan region formation, in International Development
Planning Review, Vol 25, No 1, pp.53-66.
Firman, T. (2004), Demographic and Spatial Pattern of Indonesia’s recent urbanisation, in
Population, Space and Place, Vol 10, pp.421-434.
Ford, T. (1999), Understanding Population Growth in the Peri-Urban Region, in International
Journal of Population Geography, Vol. 5, pp. 297-311.
Laganier, R., Villalba, B., & Zuindeau, B. (2002), Le Développement Durable Face au
Territoire: Eléments pour une Recherche Pluridisciplinaire, in Revue Développement
Durable et Territoire, www.revue-ddt.org.
Mardiansjah, Fadjar Hari and Setyo Adhi Waluyo, 2005, Urbanisation in District of
(Kabupaten) Tegal and Their Challenges from the Perspective of Local Government
Apparatus, (in Bahasa Indonesia) in Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol. 2,
June 2005.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2003, Analysis on Kampung Improvement Program for Jabotabek
Urban Development, in Jurnal Tata Loka, Vol. 5, No. 4, November 2003.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2003, Community Participation in Urban Poverty Alleviation (in
Bahasa Indonesia), in Jurnal Tata Loka, Vol. 5, No. 3.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2005a, Rurbanisation: the other challege of urban development that
should be awared (in Bahasa Indonesia) in Buleting URDI.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2005b, The Characteristics of Urbanisation in Small and Medium
Cities in Central Java (in Bahasa Indonesia) in Jurnal Pembangunan Wilayah dan
Kota, Vol. 4, December 2005.
McGee, T. & Yao-Lin, W. (1992), La Formation des Mégapoles en Asie, in Mappe Monde,
Vol. 4, pp. 2-3.
Murphy, P. (2000), Urban Governance for More Sustainable Cities, in European
Environment, Vol. 10., pp. 239-246.
Rondinelli, D.A. (1986), Metropolitan Growth and Secondary Cities Development Policy, in
Habitat International, Vol. 10, No. 12, pp. 263-271.
Rondinelli, D.A. (1991), Asian Urban Development Policies in the 1990s: from growth
control to urban diffusion, in World Development, Vol. 19, No. 7, pp. 791-803.

13
Rotmans, J., & van Asselt, M.B.A. (2000), Towards an Integrated Approach for Sustainable
City Planning, in Journal of Multi-criteria Decision Analysis, Vol 9, pp. 110-124.
Satterthwaite, D. (1997), Sustainable Cities or Cities that Contribute to Sustainable
Development?, in Urban Studies, Vol. 34, No. 10, pp. 1667-1691.
UN Population Division (2005), World urbanization prospects: the 2005 revision population
database, pada http://esa.un.org/unup/p2k0data.arp, diakses pada Januari 2007.
Werlin, H, 1999, The Slum Upgrading Myth, in Urban Studies, Vol. 36, No. 9, pp. 1523-
1534.
Wilbanks, T.J. (1994), Presidential Address: “Sustainable Development” in Geographic
Perspective, in Annals of the Association of American Geographers, Vol. 84, No. 4,
pp. 541-556.

14
Inovasi Inc:
Membangun Sistem Inovasi & Produksi Nasional yg Berkemanusiaan di
Indonesia.

Berly Martawardaya, S.E, M.Sc


Fakultas Ekonomi- Universitas Indonesia dan Department of Economics- Universita’ di
Siena, Italy

Pada era knowledge-base-economy dan outsourcing sekarang ini, kekayaan sumber daya
alam tidak lagi merupakan komoditas yang mendatangkan kemakmuran secara
berkesinambungan. Bahkan dampak ekonomi dan sosial dari SDA seringkali mendatangkan
kerugian yang dikenal dengan resource curse. Pengamatan pada Newly Industrialized
Countries (NIC) di Asia menunjukkan minimnya SDA sebagai karakter yang umum ditemui.
Namun sebaliknya mereka memiliki angkatan kerja dengan pendidikan dan produktivitas
tinggi.

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji sistem inovasi dan produksi nasional yang diterapkan
di negara-negara Eropa, khususnya Italia dan Jerman, pada masa awal industrialisasi dan
tranfer teknologi. Langkah berikutnya adalah memberikan tawaran kerangka, yang telah
disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, untuk meningkat inovasi dan produksi dengan
tetap memperhatikan sisi humanisme dan kemanusiaan. Perhatian khusus diberikan pada
aplikasi di sektor pertanian dan kerajinan/fashion.

Sistem inovasi dan produksi nasional adalah konsep yang digagas oleh List (1841) yang
melingkupi relasi antara riset dalam perusahaan, organisasi sains dan teknologi, termasuk
universitas, dan kebijakan publik. Karakter utama sistem ini adalah ko-evolusi antara
peranan negara dan kapabilitas individu serta perusahaan dalam negara tersebut.

Hambatan utama penerapan sistem inovasi dan nasional adalah stagnasi merintah serta
kurangnya tenaga ahli. Hambatan pertama perlu diatasi dengan mengubah sistem insentif di
pemerintah, khususnya mekanisme perpajakan dan hubungan ekonomi pusat-daerah.
Adapun hambatan kedua memerlukan perencanaan sumber daya manusia secara jangka
panjang dengan pendidikan dan beasiswa secara spesifik dan targeted. Masa transisi
penerapan sistem ini memerlukan edukasi publik yang intensif demi mendapatkan dukungan
yang luas.

Ketertinggalan yang dihadapai dari negara tetangga adalah kelalainan kita selama ini dan
dapat dikejar dengan pengorganisasian sumber daya dan institusi secara komprehensif.
Indonesia 2030 yang inovatif dan produktif siap untuk bersaing dengan negara-negara
unggul di dunia.
Inovation Inc:
Developing National System of Innovation and Production with a Human
Face in Indonesia

Berly Martawardaya, S.E, M.Sc


Fakultas Ekonomi- Universitas Indonesia dan Department of Economics- Universita’ di
Siena, Italy

1. Introduction

The quest to exlain why some countries are so rich (and keep getting richer) while some
others are so poor (and persistenly so) has been a strong and persistent drive in economics
research. The first step often attributed to Solow (1956) in his formalization of economic
growth in neoclassical production function and decreasing return of capital. The emphasise
on capital later supplemented, but ignore for a long time, by pioneering work of Becker
(1962) that extend the analysis to include human capital.

The celebrated theorem by Stolper and Samuelson (1941) stated that under assumptions of
constant returns, perfect competition, equal technology and complete information, a rise in
the relative price of a good will lead to a rise in the return to that factor which is used most
intensively in the production of the good, and conversely, to a fall in the return to the other
factor.

The theorem lead to theory of absolute convergence that predicts poorer country’s
economies will grow faster than richer economies. Thus, all economies will eventually
converge in terms of per capita income. The deviation of real life situatin lead to conditional
convergence where some other conditions are necessary to lead to convergence and not all
convergence are equal.

Avalability of cross-country data series over long period and seminal paper by Barro (1989),
lead to explosion of empirical study of economic growth in the literature. Abreu, de Groot and
Florax (2005) conducted a meta analysis over 600 estimates from a random sample of
empirical growth studies published in peer reviewed journals and found that it is misleading
to speak of a natural convergence rate since estimates of different growth regressions come
from different populations. Durlauf, Johnston and Temple (2003) listed 44 categories, almost
all with multple sub-catagories, of factors that known to affect growth and convergence.

If there are so many factors that could affect development, some economists think that
several factors may work together and complement better than separetely.. North (1990)
deliver a narrative where economic growth and institution co-evolve over time and events
where they do not. He defined institution as the humanly devised constraint that structure
political , economic and social interactions consisting of informal constrainsts and formal
rules.

How institution affect development? Nicolini (2006) catagorized goods according to the
number of intermediaries needed to produce, he found a robust relationship between the
number of intermediare goods and of level of contractual enforcement and institutional
quality. Thus, institution provide a comparative advantage in complex goods production.

1
Amable (2000) found that education complement trade specialization and reinforcing the
positive effect on growth caused by export of electronics.

Section 2 present theoritical foundation of relationship between development and institutional


complementarities. Section 3 linked the theory with circumstances and chalange in Indonesia
while section 4 conclude the analysis.

2. An Inquiry into Wealth of Nations

North (1995) start with a demarcation between real world and pefect world as projected by
neoclassical canonical model. He posited that in a world of instrumental rationality institutions
are unncecessary; ideas and idelogies don’t matter, and efficient markets – both economic
and political – characterize economies. He continue by citing recent findings from cognitive
science where there is no single mental mode and perception of the world that is share
equally by all people in the world. Since people view things differently, then idea and
ideologies matter. Thus, we observe inefficient market in economics and politics.

There are also many other violation from standard assumption from neoclassical canonical
model. North focus on incomplete/asymetric/costly information, limited mental capacity to
process informatin and enforcement cost that made up transaction costs. Coase (1927;
1960) stated that neoclassical and efficient result could be reached if transaction cost is
zero. The notion tend to be over-emphasize while the strict conditions are put aside. North
called for research into explanation of inefficient insitution, network externalities, economices
of scope and complementarities as explanation of institutinal path dependence. He also
pointed the treatment of state in development analysis should be altered from outsider,
exogenous and benign actor in development process to distinctive agent with of its own with
analysis of incentives and constraints.

Sen (2001) analyzed the success of capitalism in East Asia by pointing it is not just due to
market mechanism alone, but also on the development of an instititional combinatino of
which the market economy is only one part. Before there could be investment, expansion,
exchange and capitalism, there should exist sufficient decrese in corruption, trust in other
party’s plan, business morality and acceptance of private property right. Even the availability
factors of production require some pre-existing conditions; capital and financing need credit
institution and sufficient regularity of loan payment, skilled labour neeed provision of
education and productivity require virtue of punctuality and work responsibility when
contracts are incomplete.

Sen proceed to analyzed human capital as institution. The secret of China economy lies in its
success in providing wide coverage of basic healthcare, conduct massive land reforms and
broad expansion of education. In comparison to India, China make better use of the
internaional market and economic globalization when it start to open up in 1979. Social
opportunities complement market economy in a surprisingly similar manner to developed
countries.

He posited that Asian crisis occurred not because of existance of those institutions, but
precisely because Asia did not go far enough. There is a need for institutions that provide
economic and social security as well as financial and business transparancy. The impacts of
crisis are so massive because the shock is share unequally with the poor burdened the
biggest portion. If only protective security in the form of social security and unemployment
insurance exist, the story will be very different and the rebounce would take shorter period.
He goes on to state that protective security is an important instrumental fredom and social
arrangement of safety nets are an integral part of a good economy. He round up by focusing

2
on freedom and democracy as reason of lack of transparancy and public scrutiny in fniancial
and business arrangements. Thus, a well functioning market economy need institutions that
provide protective security and political freedom.

Johnson, Edquist and Lundvall (2003) build their analysis on national system of innovation
from List’s catching up strategy for Germany in 1841. They question the ability of laissez-
faire economy’s economy to fullfilled the required institutional complementarity and
accumulation of mental capital and use it to spur economic development. Education and
training need to go together with physical infrastructure and the focus is on development of
productive force rather than only on allocation. They stressed the need to pay more attention
to Veblen and Myrdal’s concept of positive and negative feedbacks, cumulative caussation,
of virtous and vicious cycles and of the importance of institutions.

They catagorized the system by spatial, sectoral and breadh of activity. The spatial approach
is suitable for area with higher degree of coherence or inward orientation and the sectoral
approach for limited technology or products. They reserve the last category for intermediete
case where spatial and sectoral aspects are both present, thus require a coordination in the
form of nasional system of innovation. They defined it as systemic relationship between R&D
effort in firms, science and technological organization, including Universities, and public
policy. The main characteristics are co-evolution between what countries do and what
people and firms in countries know how to do well, assuming tacit knowledge and focus on
interactional relationship. They call for employment historical and evolutionary perspective as
well as put emphasis on interdependence and non-linearity. The future tendencies according
to them are focus on capabilites rather than endowment, focus on knowledge as driving
factor and primary importance of institutions.

Amable (2000) is an encyclopedic article documenting diversity of social system of


innovation and production. He defined institutional complementary as multilateral
reinforcement mechanism between institutinal arrangement where each one by its existance
permit or facilitas the existance of other. There are three types of insitutional approaches:
general purpose, local and intermediete. The SSIP is located in the last catagory. He
analyzed post WWII prosperity as result of institutional complementarity between mass
consumption and mass production together with wage-labour nexus, oligopolistic
competition, stable international relations and welfare state.

The main drive of his subsequent argument is internationalization of research and diffusion of
technology cause a tranformation to social system of innovation of production (SSIP). The
resulting SSIP can be catagorize as market base, social democrat, meso-corporatist and
public. The market base’s main actor is private lab and the main action is the race for patents
by private firms. It requried strict definition of property right and their enforcement,
sophisticated financial market, flexible labour markets, and little skill accumulation. Since firm
hold tacit knowledge, it can adjust quickly to enviromental change and uncertainty. It has a
stronghold in UK and US. The social democrat characterise by compromise and negoitation
between parties with relatively underdeveloped financial market. Social justice and welfare
are its main goals. The meso-corporatist is rather similar to market base, it differ with regard
to important role of big banks in coordinating direction of industrial firms and putting interest
of permanent workers before property right. The real world application of this type is Japan.
The last category, mainly practiced by EU, is a system where public institution play
determinig role and public regulation affect credit allocation. Public SSIP has a goal to
reduce social conflict between groups and legitimizing public authorities related to growth.

3
3. A Innovative and Productive Indonesia

North (1995) is on strong ground when he mentioned costly information, rationality and
implementation as factors that need to be recognize properly in economic analysis. Together
with heterogeneity of analytical mode, they dramatically reduce the robustness of
neoclassical analysis. The fact that trade and market is possible must be attributed to
institutions, that could differ, between palaces and economies. He did not elabore on the
reasons of existance of different institutional arrangement though. There are more than one
institutions in one economy, so in order to work and produce development they need to
complement each others.

Sen (2001) came up with interesting proposition by stating protective security of human
capital as institution. We could extend it by stating that the factors that enable provision of
factor of production also need to be regarded as institution. Since it is human made then it is
covered by North’s definition of institution. He pointed out the secret of East Asia’s economic
miracle. Sadly Sen did not applying North’s direction and explain why some governments
choose to provide protective security to human capital while some others do not. The same
could be said to the institutions that enable the flowering of capitalism that he listed without
adequate justification of existance and evolution. He give too little credit to types of regime of
capital mobility that play significant role in the spreading of the crisis, thus imcomplete in
prescription on what need to be done to prevent another crisis.

Johnson, Edquist and Lundvall (2003) put high importance to the role of the state in
providing physical and human capital that enabled development and innovation. He came up
with novel concept of mental capital, with no method of measurement, that I would interpret
as leadership, motivation and can-do attitute that some leader of the state manage to inspire
from their citizens (Malaysia and Singapore come first into mind). Their piece is more
complete and applied, even though still not toucing on the state motivation, than the first two
articles. However, he did not discuss the role of international market and globalization which
is crucial to understand the success of failure of a particular system.

Amable (2001) begin with a promising start and his institutional approaches is rather similar
to Johnson, Edquist and Lundvall (2003). But his catagorization is flawed in many ways. It
seem like an effort to put existing countries into different blocks without really explaining the
differences. The biggest drawback would be the failure to differentiate between basic
reasarch and applied research. In US and UK, the government play a big role in financing
basic research and most of the results are in public domain. Conversely, in France and the
rest of Europe there are a lot of applied research that conducted by private firms and strongly
copy righted. Somehow it seem like a thinly disguised to praise France’s system, his country,
compare to other systems.

Base on the papers above I tried to contruct a schematic where the complementarities of
institution from government policy provide constraints and likely result of development:

4
open economy  Industrialization & export economy

high provision NISP

close economy  temporary protectionism/import substitution


Gov

open economy  specialization in primary sector & inequality

low provision of NISP

close economy  autarky & inequality

To be precise, it is not a binary division and continuum of policy should be acknowledge. The
sequence and timing of institutional arrangement is as almost as important as the policy
itself. Opening the economy to globalization before adequate provision of system of
innovation in place is not recommendable as shown in most of African and oil-exporting
countries as it will corner them into production in primary goods, unless they managed to set
aside some profit to support investment in human capital and innovation system in time.

Due to current limitancies of resources in Indonesia its more optimal not to focused effort on
space exploration or theoritical physics, at least not yet. Two potential and still underrated
sectors that can used the NSIP with appropriate technology (teknologi tepat guna) are
agriculture, tourism and handicraft/fashion.

Agriculture could be more intensive in bottling and packing of processed food like Italian and
Thai to some extend has done to their products. Indonesia has vast array of local delicasies
and many kind of sauces that with high quality control and proper advertisement could
become significant export. The food with spice content could be adjusted to suit the taste of
sub-tropic consumers. The increasing international demand for organic product is a chance
to reduce usage of fertilizer and pesticide while adding extra income to farmer.

The handicraft village that produce silk in Thailand and handstitch leather/cloth in Italy is a
potential to be realized in Indonesia. Those two countries have a tight partnership between
modern sector that provide logistic mangement and creative design with traditional method of
production that managed to produce and export significant amount. The tradition is still alive
in some places in Indonesia like ulos and songket production and it doesn’t take much to cut
through the middle man and set up a modern system.

A World Bank (2006) survey on doing business showed that it took about five months to set
up new business in Indonesia with cost more than one year of average income. No wonder
there is few entrepreneur and most people prefer to be employee. Furthermore it take about
a month to export and import from and to Indonesia with seven and ten documents
respectively, we only rank forty ninth on ease of international trading. To get the comparison,
it took only 6 days with cost of 1 % of income to set up new business in Singapore. To
export and import? Just about a week with five and six documents. That’s why they rank
number six on ese of trading world wide.

On the bright side, since those problems are government made then it can be solved by
government. Simplification and one stop service will release the choke from entrepreneurial
spirit in Indonesian people.

5
The problem of structural gap in skill and education require more complex solution. Getting
the needed skill mean long term planning in human resource with emphasis on engineering.
Selected scholarship for short course and degree program with bonds for certain period is
the tried and proven method (in all countries at Asean 5 countries except Indonesia) to lure
the best and birightest to align their future and society’s. in order to instill sense of encome
security, forced saving and insurance for health emergencies, unemployment and retirement
is an important underlying arrangement. Teacher’s salary need be sufficient for decent living
and inflation adjusted automatically.

In the era of decentralization this paper will not be complete without suggestion on central-
periphery relation. The fault so far is compartementalization between region’s need for
income to nation’s need for growth. Let’s cancel all region’s imposed fee and replace it with a
share of corporate income tax to shift region’s attention on how to attract companies to invest
in their region.

4. Conclusion

Development can and should be seen as a process of changing set of institutional


complementarities. Acknowledgment and active government policies of this have been the
key behind western and East Asian country’s stellar economic performance. Even though
more research is needed in the precise relationship but the neglect of neoclassical
economics is a major weakness that deny massive by historical record and recent economics
realities. Some countries ignore, or force to ignore it, at their own perils.

Indonesia can still thrive to reach high level of national system of innovation and productiion
if resources are used wisely and efficiently. Two sector, agriculture and handicraft in
particular hs been single out due to large number of people working in those sectors and its
potentials but the list is byno means exhaustive. Other sectors such us education and tax
policy has important implication to succes, or failure, to implement it.

Let us begin.

6
References
Abreu, Maria, Henri L. F. de Groot and R. J. G. M. Florax,“A Meta Analysis of β Convergence: the
Legendary 2%,” Journal of Economic Surveys, Volume 19, Issue 3, (2005), pp 389-420.

Amable, Bruno, “Institutional complementarity and diversity of social systems of innovation and
production;” Review of International Political Economy, Volume 7, Number 4 (December
2000), pp 645–687.

_______, “International Specialisation and Growth,” Structural Change and Economic Dynamics,
Volume 11, No 4, December 2000, pp. 413-431

Barro, Robert J., Economic Growth in a Cross Section of Countries,” NBER Working Paper 3120,
Septermber 1989.

Becker, Gary S., “Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis,” The Journal of Political
Economy, Vol 70 No 5, (962), pp 9-49.

Belloc, Marianna, “Institutions And International Trade: A Reconsideration Of Comparative


Advantage,” Journal of Economic Surveys, Vol. 20, No. 1, (2006), pp 3-26.

Boyer, Robert,” New Growth Regimes, but Still Institutional Diversity,” Socio-Economic Review,
(2004), Vol 2, No 1, p. 1-32.

Durlauf, S. N., P. A. Johnson and J. R. W. Temple (2004), ``Growth Econometrics'', in S.N. Durlauf
and P. Aghion (Eds.), Handbook of Economic Growth, Elsevier.

Johnson, Bjorn, Charles Edquist, and Bengt-Åke Lundvall, ”Economic Development and the National
System of Innovation Approach, Proceedings of the I GLOBELICS conference, 2003.

Lucas, Robert E., “On the Mechanics of Economics Development,” Journal of Monetary Economics,
Vol 22 (1988). pp 3-42.

Nicolini, Marcella, “Institutional Quality and Comparative Advantage: an Empirical Assessment, “.


Mimeo, University of Milan, (2006), unpublished.

North , D C, Institutions, Institutional Change and Economic Performance, Cambridge:Cambridge


University Press, 1990.

____, Institutions, Journal of Economic Perspectives, Vol &, No 1 (winter 1991), pp 97-112

_______., “The New Institutional Economics and Development” in John Harris (ed) The New
Institutional Economics and Third World Development, (1995), Routledge pp 17-26.

Sen, Amartya, Development as Freedom, New York: Alfred Knopf Inc. 1999.

_______, “Economic development and capability expansion in historical perspective, “Pacific


Economic Review. Vol 6 No 2 (June 2001). pp 179-191 - June 2001

Solow, Robert M., “ A Contribution to the Theory of Economic Growth,” Quarterly Journal of
Economic, Vol 70 (1956), pp 65-94.

Stolper, Samuelson (1941). "Protection and Real Wages." Review of Economic Studies, 9: 58-
73.

7
IMD – SKM 2007

MNC dan Akuntabilitas Perusahaan

Pendahuluan

Maraknya kasus Buyat – PT Newmont Minahasa Raya (NMR), hancurnya


ekosistem/lingkungan hayati di wilayah sekitar pertambangan PT Freeport Indonesia,
atau 259 pekerja PT Securicor Indonesia yang dipecat tanpa pesangon, adalah sebagian
kecil dari beragam dampak negatif pengaturan perusahaan multinasional di Indonesia
yang lemah dan cenderung bersifat koruptif.

Laporan media massa atau LSM-LSM pemerhati lingkungan dan perburuhan


tentang pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan operasional MNC di
Indonesia, menambah daftar panjang kebutuhan akan perangkat hukum dan tata kelola
(governance) yang lebih ketat dan bersih dari KKN. Dengan tidak mengesampingkan
bahwa keberadaan perusahaan multinasional (MNC) juga telah memberikan banyak
manfaat atau sumbangan terhadap pembangunan Indonesia. Namun kita pun dapat segera
mengetahui bahwa manfaat atau sumbangan yang diterima tersebut lebih banyak “tidak
adil” dalam sebuah hubungan kemitraan.

Makalah singkat ini berusaha menyoroti pertanyaan mendasar yang menjadi


perbincangan hangat dalam Earth Summit 2002, yaitu “How can multi-national
companies be influenced to adopt corporate citizenship and accountability for
sustainable development?” Suatu tema yang menuntut pembahasan lanjutan tentang
siapa-siapa saja aktor kunci dan kendala-kendala utama yang dihadapi.

1
IMD – SKM 2007

Analisis Situasi:

Pernyataan Direktur Ekekutif Wahana Lingkunan Hidup Indonesia (WALHI)


Emma Hafild (Kompas, 23 November 2001) tentang perusahaan multinasional atau
transnasional bisa menjadi bencana nasional karena rawan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) dan bisa menjadi kekuatan penghambat proses demokratisasi di negara-negara
sedang berkembang, dapat memberikan gambaran bagaimana polah MNC di dua dekade
terakhir ini, khususnya di Indonesia.

Terdapatnya kecenderungan kuat para pemimpin pemerintahan atau negara di


negara-negara berkembang tunduk pada kekuatan modal preusan-perusahaan
transnasional, seperti banyak kebijakan pemerintahan soal perburuhan yang lebih
berpihak pada kepentingan perusahaan multinasional atau transnasional. Dan fakta
menunjukkan pula bahwa perusahaan-perusahaan multinasional selalu berusaha
menggunakan celah untuk mendikte norma internasional atau bahkan mampu untuk tidak
tunduk pada hukum nasional. Contohnya PT Securicor Indonesia menolak keputusan
yang sudah dikeluarkan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4P) dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) untuk membayar pesangon pada para karyawannya.

Banyak pihak, khususnya para ekonom, yang masih lekat memandang atau
berasumsi bahwa investor asing adalah tamu-tamu yang ramah dan memiliki tatakrama
yang baik. Suatu asumsi yang bila dilihat kenyataannya saat ini jelas jauh dari kebenaran.
Kita patut bersyukur bahwa Multilateral Agreement on Investment (MAI) akhirnya tidak
jadi disetujui, yang bila hal tersebut disetujui maka akan membuat kelompok kapitalis
global (lewat MNC dan TNC) akan makin merajalela, menundukkan semua institusi
apapun yang ada, baik itu lokal maupun global. MAI yang disusun oleh International
Chamber of Commerce, sebuah asosiasi pebisnis raksasa tingkat dunia, dan akan
dimasukkan dalam WTO, merancang suatu perjanjian yang memungkinkan perusahaan
swasta diberi status legal seperti negara, yang dapat mengadakan perundingan setara
dengan negara (yang menurut sistem WTO, perjanjian hanya terjadi oleh dan antar
negara, tidak antar perusahaan). MNC akan diberi hak untuk membela kepentingannya
terhadap keberatan yang diajukan oleh negara.

2
IMD – SKM 2007

Hal mengerikan yang ada dalam rancangan pengaturan MAI tersebut adalah MNC
dapat menuntut sebuah negara jika negara mengesahkan undang-undang yang dapat
mengurangi keuntungan (profit) yang bakal diperoleh. Peraturan MAI juga mengizinkan
investor asing untuk menuntut negara jika negara menyediakan dana bagi program sosial
yang mereka anggap dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar bebas (atau kepentingan
MNC). Atau bila sebuah pemerintahan ingin mengadakan privatisasi perusahaan milik
negara (BUMN), maka negara tidak boleh memberi preferensi pada pembeli domestik.
Negara juga dilarang untuk menuntut investor asing (MNC) mendahulukan kandungan
domestik, mengangkat staf/pekerja lokal, menetapkan tindakan afirmatif, transfer
teknologi, dan sebagainya. Bahkan negara tidak boleh membatasi jumlah keuntungan
yang boleh dibawa pulang ke negara asal.

Sementara itu laporan dari Urban Secretariat of UNCHS (2002) menyebutkan


bahwa banyak pemerintah saat ini tidak lagi berada dalam posisi menetapkan peraturan
yang dibutuhkan untuk mengelola investor asing (MNC). Banyak kepentingan
kelompok/tertentu (vested interest) yang menyebabkan kepentingan ekonomi nasional
terabaikan. Serta politik kebijakan ekonomi yang bersifat populis, praktis dan jangka
pendek makin menegaskan bahwa tata kelola terhadap MNC ini tidak dapat sepenuhnya
bergantung pada peraturan pemerintah sebagai suatu solusi.

3
IMD – SKM 2007

Strategi Transformasi:

Sampai dengan saat ini dunia telah memiliki OECD Guidelines for Multinational
Enterprise dan UN Global Impact yang berusaha mengatur aktivitas MNC sesuai prinsip-
prinsip akuntabilitas perusahaan yang baik. OECD Guidelines for Multinational
Enterprise yang direvisi pada tahun 2001, telah berusaha mencakup pengaturan yang
memberikan perlindungan maksimal pada hak asasi manusia, hak pekerja, dan
lingkungan. Pedoman ini secara langsung memberikan kesempatan bagi pemerintah
untuk berpartisipasi langsung dalam hal-hal yang terkait dengan perilaku perusahaan
multinasional melalui Titik Temu Nasional (National Contact Point) yang dibentuk di
negara tersebut. Badan ini akan menentukan apakah sebuah MNC telah mengadopsi kode
etik perilaku yang berlaku dan ditetapkan. Hal yang sama juga tampak dalam UN Global
Impact yang berisi sembilan prinsip dasar yang meliputi hak asasi manusia, hak pekerja
dan perlindungan lingkungan.

Ironisnya, dalam reorganisasi PBB, Pusat Perusahaan Transnasional (Centre on


Transnational Corporation) telah ditutup dan Tata Perilaku (Code of Conduct) yang telah
disiapkan oleh PBB untuk mengatur TNC telah hilang dari peredaran. Sementara Dewan
Bisnis untuk Pembangunan Berkelanjutan (Business Council for Sustainable
Development) yang mengadvokasi bisnis yang berkelanjutan tidak beroperasi seperti
yang diharapkan (Mohan Matthews, Earth Summit 2002).

Menghadapi semua situasi di atas, nampaknya diperlukan sebuah “Global Deal”


yang dapat berupa undang-undang atau legislasi pembangunan berkelanjutan, yang di
dalamnya para aktor dari MNC, organisasi kemasyarakatan (civil society organization)
dan pemerintah akan duduk bersama membahas sebuah konvensi international yang
mengikat atas beberapa isu penting (Pieter van der Gaag – ANPED, Earth Summit 2002).
Global Deal akan membuka kesempatan untuk memulai sebuah proses penting yang akan
meningkatkan kinerja proyek yang telah dimulai oleh Global Impact, yaitu
memperkenalkan keterlibatan pemegang kepentingan yang terkait (stakeholders) dalam
desain tata kelola MNC dan memasukkan mekanisme-mekanisme yang berbasis
akuntabilitas.

4
IMD – SKM 2007

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Siapa-siapa saja yang harus segera


berperan dan bertindak dalam mengatur tata kelola MNC dan akuntabilitas perusahaan
ini? Paling tidak ada dua kelompok besar yang mesti terlibat aktif di dalamnya.
Kelompok pertama adalah para investor asing alias MNC. Mereka telah memiliki
tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk itu MNC haruslah:
a. mematuhi dan menghargai konvensi ILO yang mencakup hak-hak dasar buruh,
selaras dengan Deklarasi HAM PBB (UN Human Rights Declaration) dan
Konvensi Internasional akan Lingkungan (International Environmental
Convention). Bila MNC tidak mematuhi hal-hal ini, maka mereka pun tidak akan
mengakui atau menghargai aturan dan perundang-undangan yang mengatur
pengelolaan hutan, air dan sumber daya hayati lainnya.
b. menginvestasikan lebih banyak sumber daya (baik teknis dan finansial) untuk
memastikan bahwa implementasi proyek berjalan sesuai dengan penilaian
lingkungan (AMDAL) dan dampak sosial yang akan ditimbulkan.
c. menunjukkan secara transparan rencana dan niat untuk menginvestasikan kembali
(reinvest) keuntungan yang diperoleh, dan
d. menghargai hukum nasional. Merupakan kebutuhan mendesak untuk membentuk
lembaga pengawas internasional yang menangani hal ini.

Kelompok kedua yang berperan penting dalam hal ini adalah para pelanggan
(consumers), pemerintah dan lembaga pembuat kebijakan/perundang-undangan,
organisasi kemasyarakatan (LSM), karyawan dan para eksekutif perusahaan di tempat
MNC beroperasi. Sebuah perubahan mendasar akan cara berpikir dan alam sadar
diperlukan terjadi pada kelompok ini. Pada bagian pemerintah, institusi-institusi baru
yang mengawasi proses globalisasi dan tata kelola perusahaan (corporate governance)
mestilah segera dibentuk. Sementara di bagian LSM atau organisasi non pemerintah,
haruslah belajar bagaimana bermain dalam sebuah “multi-dimensional game”, khususnya
ketika menekan perusahaan-perusahaan MNC yang berkinerja buruk, yang pada saat
yang sama, secara simultan mampu bekerja dan bermitra dengan perusahaan-perusahaan
yang memiliki komitmen untuk melakukan perubahan nyata.

5
IMD – SKM 2007

Anggota lain kelompok kedua ini yang tidak kalah pentingnya adalah peran kunci
media yang akan menjadi simpul penting semua upaya perubahan yang dilakukan. Jika
media dapat menghukum cepat kegagalan yang dilakukan MNC, namun gagal
menghargai secara layak setiap kesuksesan sebuah usaha awal, maka proses perubahan
dipastikan akan berjalan lambat atau bahkan mandeg di tengah jalan. Dengan kata lain
diperlukan keseimbangan perhatian media atas kegagalan dan kesuksesan usaha
perubahan yang dilakukan. Peran media ini tergantung pada kelompok lain non-media
seperti kalangan ilmiah, pemerintah dan masyarakat (civil society), untuk belajar
bagaimana mereka dapat memanfaatkan media secara positif dan mencapai hasil akhir
yang konstruktif. Yaitu bagaimana memahami kompleksitas dan keunikan media serta
menggunakan pengetahuan tersebut untuk membantu sampai pada tujuan yang
diinginkan.

Kembali pada ide “Global Deal”, Indonesia membutuhkan dengan segera model
komprehensif yang mengatur tanggung jawab sosial, baik perusahaan domestik dan
khususnya MNC. Model yang dapat dikembangkan dapat berupa sebuah “simbiosis
antara entitas bertujuan mencari keuntungan (for profit), nirlaba (non-profit) dan
pemerintah”. Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan yang profitable adalah organisasi
kesejahteraan sosial yang paling efektif (the most effective social welfare organization).
Perusahaan adalah mesin utama bagi penciptaan dan distribusi kesejahteraan. Penerima
kesejahteraan ini adalah pelanggan, pekerja dan juga masyarakat secara keseluruhan
melalui kontribusi perusahaan pada pembayaran pajak. Pemerintah tidaklah menciptakan
kesejahteraan, namun berperan penting dalam mendistribusikan ulang (redistribusi) pajak
tersebut dalam cara-cara yang tepat dan benar (in socially desirable ways). Dan sebagai
pendukung model komprehensif ini, adalah perlu dibuat sebuat “sustainability ranking
list of MNC” seperti halnya daftar peringkat yang dikenal dalam bidang lain (seperti
country risk ranking).

6
REVITALISASI INDUSTRI PENINGGALAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Oleh : Cahyono Susetyo*

I. LATAR BELAKANG

Bangsa Indonesia menghadapi permasalahan ketenagakerjaan yang sangat besar karena


pertumbuhan ekonomi tidak mampu menyerap pertumbuhan angkatan kerja. Pada tahun
2006, angka pengangguran di Indonesia adalah sebesar 10,9 juta jiwa atau 10,3 persen dari
total angkatan kerja (BAPPENAS). Angka pengangguran ini dikhawatirkan akan semakin
meningkat jika tidak ada upaya yang efektif untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.

Sektor ekonomi yang mampu memainkan peranan penting untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian Indonesia adalah Sektor Industri, karena sektor ini memiliki nilai tambah yang
relatif besar dan menyerap tenaga dalam jumlah besar jika dibandingkan dengan sektor-
sektor lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sektor industri di Indonesia
sangat sulit untuk berkembang, bahkan ada cenderung menunjukkan penurunan aktifitas.
Demonstrasi yang banyak dilakukan oleh buruh dan ketidakpastian hukum mengakibatkan
banyak pemilik modal cenderung untuk mengalihkan modalnya ke negara lain yang memiliki
stabilitas politik dan kepastian hukum yang lebih baik.

Berbagai upaya untuk menarik investasi asing yang dilakukan oleh pemerintah belum dapat
menghasilkan dampak yang signifikan terhadap penanaman modal di Indonesia. Bahkan
salah satu upaya tersebut, yaitu Indonesia Investment Year, berakhir tragis dengan
dipidananya pimpinan kegiatan tersebut karena terbukti melakukan korupsi. Tanpa adanya
upaya yang jitu dalam menarik investasi asing, Indonesia akan menjadi pecundang dalam
persaingan investasi global.

Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan menarik investasi asing ke
Indonesia dan meningkatkan kinerja sektor perindustrian adalah dengan merevitalisasi
industri-industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yang banyak tersebar di penjuru
Indonesia, dan saat ini masih berproduksi meskipun berada dalam kondisi yang
memprihatinkan. Keberadaan industri-industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia merupakan potensi untuk menarik investasi asing, terutama dari pemilik modal dari
Belanda maupun negara Eropa lainnya. Adanya ikatan sejarah dan emosional antara Belanda
dengan Indonesia diharapkan dapat menjadi katalisator untuk meningkatkan arus investasi
dari Belanda.

Untuk menarik investasi asing dalam rangka revitalisasi industri peninggalan pemerintah
kolonial Belanda, data dan informasi mengenai industri-industri tersebut harus dapat diakses
secara mudah, terutama oleh pemilik modal di Belanda. Warga Negara Indonesia yang
berada di Belanda, baik untuk bekerja maupun sebagai pelajar, dapat berperan sebagai
jembatan antara pengelola industri peninggalan Belanda dengan pemilik modal.

Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai permasalahan
investasi di Indonesia, potensi dan manfaat revitalisasi industri peninggalan pemerintah
kolonial Belanda, dan membahas strategi yang dapat ditempuh untuk merevitalisasi industri
peninggalan Belanda di Indonesia. Diharapkan makalah ini dapat menjadi masukan dalam

*
Staff pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya

1
rangka upaya peningkatan perekonomian di Indonesia, terutama mewujudkan suatu aktifitas
nyata untuk menarik investasi asing.

II. PERMASALAHAN INVESTASI DI INDONESIA

Seperti telah diuraikan sebelumnya, rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia antara


lain disebabkan oleh rendahnya nilai Penanamam Modal Asing (PMA) yang masuk ke
Indonesia. Rumitnya birokrasi, ketidakpastian politik dan hukum, serta kurangnya promosi
potensi Sumberdaya Alam di Indonesia menyebabkan investor asing merasa enggan untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Adapun permasalahan-permasalahan investasi di
Indonesia antara lain (Zainuddin, 2007);

1. Rendahnya peringkat daya saing Indonesia di dunia internasional.


2. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat tidak kondusif untuk investasi.
3. Gejolak ketenagakerjaan.
4. Pelaksanaan otonomi daerah yang memperpanjang rantai birokrasi.
5. Birokrasi yang sangat tidak mendukung iklim investasi.

Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari beragam permasalahan investasi di
Indonesia adalah panjangnya rantai antara pemilik modal dengan aktifitas riil industri.
Meskipun pemilik modal memiliki minat untuk berinvestasi di indonesia, rumitnya birokrasi
dapat menjadi penghambat realisasi investasi asing.

Permasalahan lain yang dapat menyebabkan rendahnya investasi asing di Indonesia adalah
tidak adanya komunikasi yang baik antara pelaku industri di Indonesia dengan pemilik modal
di luar negeri. Pemilik modal pada dasarnya adalah pelaku ekonomi yang selalu berusaha
untuk menempatkan investasinya untuk mendapatkan keuntungan paling besar. Di sisi lain,
pelaku industri memerlukan investasi untuk mempertahankan ataupun meningkatkan
produksinya. Mekanisme ini berlaku secara global, dimana pelaku industri di seluruh dunia
pada dasarnya bersaing untuk memperoleh investasi dari pemilik modal.

Informasi mengenai industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda pada umumnya sulit
diakses oleh pemilik modal di Belanda. Meskipun informasi mengenai industri-industri tersebut
dapat diakses melalui internet, akan tetapi informasi tersebut kurang mendetail dan tidak
diolah sedemikian rupa untuk dapat menimbulkan minat investasi. Informasi dalam bahasa
Belanda juga sangat sedikit, sehingga dapat dikatakan tidak ada upaya khusus untuk menarik
pemilik modal di Belanda untuk menginvestasikan dananya pada industri-industri peninggalan
kolonial Belanda.

III. INDUSTRI PENINGGALAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA

Pada saat pemerintahan kolonial Belanda, banyak sekali industri yang didirikan di Indonesia.
Sayangnya, industri-industri peninggalan Belanda tersebut terkesan dibaikan oleh pemerintah,
sehingga pada saat ini, hanya sedikit yang bisa beroperasi secara effisien. Komoditas yang
dihasilkan oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda umumnya berupa barang
yang dapat diserap secara langsung oleh masyarakat, seperti gula dan kertas. Meskipun telah
memiliki permintaan pasar yang jelas, industri-industri tersebut menghadapi berbagai
permasalahan yang menghambat aktifitasnya.

2
Contoh permasalahan yang dihadapi pabrik peninggalan pemerintah kolonial Belanda dapat
dilihat pada pabrik kertas tertua di Indonesia, PT. Kertas Leces yang dahulu bernama NV
Letjes. Pada awal bulan Mei tahun 2007, produksi pabrik ini terhenti total karena 2.000
karyawannya melakukan mogok kerja. Menurut Kepala Satuan Internal PT Kertas Leces,
Abdullah Kamal, meski sudah mendapatkan bantuan modal dari anggaran negara sebesar Rp
100 miliar (Rp 75 miliar untuk modal kerja dan Rp 25 miliar untuk restrukturisasi sumber daya
manusia), PT Kertas Leces masih merugi. Kerugian yang ditanggung PT Kertas Leces dalam
19 bulan terakhir rata-rata Rp 7-8 miliar per bulan. Solusi yang sudah diajukan oleh pihak
manajemen adalah PT Kertas Leces akan mengajukan permohonan mendapatkan modal kerja
dari negara Rp 10 triliun. Uang sebanyak itu akan digunakan untuk penyediaan bahan baku
dan mengkonversi penggunaan gas ke batu bara (Koran Tempo, 10 Mei 2007).

Permasalahan lain yang dihadapi oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda
dialami oleh Pabrik Gula Rendeng, yang didirikan maskapai Mirandolie Voute & Co pada tahun
1839. Minimnya pasokan air dan sering rusaknya ketel uap, menurut Administratur Pabrik
Gula Rendeng Herry Krismanu, merupakan penyebab utama tidak tercapainya target giling
2002 dan membengkaknya kerugian yang lebih dari Rp 4 miliar (Kompas, 27 April 2003).
Meskipun tidak ada jaminan bahwa masuknya investasi akan memperbaiki kinerja pabrik,
namun pihak pengelola dapat menggunakan dana tersebut untuk meremajakan dan
memperbaiki infrastruktur industri, sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lebih
efisien.

Indonesia merupakan negara pengimpor kertas dalam jumlah yang sangat besar. Menurut
ketua umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) M Mansur, dalam tahun 2002 terjadi
peningkatan impor kertas yang mencapai 1.000 persen. Impor kertas lapis dari Korea Selatan
tahun 2002 sudah mencapai 2.962 metrik ton (MT), dan impor kertas lapis dari Finlandia
mencapai 4.378 MT. Tahun 2001, impor kertas lapis dari Korsel baru sebesar 770,7 MT dan
dari Finlandia sebesar 173 MT. Sedangkan impor kertas HVS non lapis dari Korsel, Finlandia,
India, dan Malaysia tahun 2002 mencapai 14.786 MT (Kompas, 21 Januari 2003).

Komoditas gula menunjukkan data yang lebih memprihatinkan. Indonesia mengalami


kehancuran industri gula sejak jaman penjajahan Jepang. Tercatat sejak menjadi eksportir
nomor dua terbesar di dunia di tahun 1930-an, sekarang Indonesia merupakan importir
terbesar ke-dua di dunia. Kelemahan mendasar adalah rendahnya tingkat produksi, yang
mengakibatkan pasokan gula untuk pasar domestik hanya dapat dipenuhi setengahnya saja.
Rendahnya produksi ini, bukan hanya diakibatkan dari tuanya mesin produksi pada hampir
90% pabrik-pabrik gula yang ada di Indonesia, tetapi juga karena berkurangnya produksi
tebu baik dari segi lahan yang tersedia maupun dari produktivitas atau budi daya (Indonesian
National Sugar Conference, 2004).

Data di atas menunjukkan bahwa industri kertas dan gula di Indonesia tidak mampu
memenuhi permintaan domestik. Hal ini sangat ironis, karena Indonesia memiliki tanah yang
subur, sehingga bahan baku untuk kedua komoditas tersebut mudah untuk didapat.
Revitalisasi industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda diharapkan meningkatkan
produktifitas pabrik gula dan pabrik kertas peninggalan pemerintah kolonial Belanda sehingga
dapat memenuhi permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan Bangsa Indonesia
terhadap impor kertas dan gula.

Dari sudut pandang ekonomi, kepastian akan ketersediaan bahan baku dan permintaan pasar
untuk komoditas kertas dan gula merupakan daya tarik yang sangat tinggi untuk berinvestasi.
Industri peninggalan Belanda telah memiliki dua komponen tersebut, sehingga dapat
dikatakan industri-industri tersebut dapat dikatakan sangat potensial untuk menarik investasi,

3
terutama bagi pemilik modal dari negeri Belanda yang kemungkinan memiliki ikatan
emosional dengan industri yang didirikan oleh generasi pendahulunya. Meskipun demikian,
tanpa adanya jejaring komunikasi yang baik antara pelaku industri dengan pemilik modal,
daya tarik yang dimiliki oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda tidak akan ada
artinya sama sekali.

Kelebihan lain yang dimiliki oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda adalah
pemilihan lokasi pada saat pendirian industri oleh pemerintah Kolonial Belanda tentu tidak
dilakukan secara asal-asalan, akan tetapi memperhitungkan berbagai aspek yang terkait,
seperti bahan baku, pemasaran, tenaga kerja, dan transportasi. Ciri khas pemilihan lokasi ini
adalah industri-industri cenderung tersebar mendekati bahan baku, sehingga banyak industri
peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang terletak di perdesaan.

Dari sudut pandang pengembangan wilayah, revitalisasi industri peninggalan pemerintah


kolonial Belanda akan dapat mengurangi kesenjangan antara wilayah perkotaan dengan
perdesaan, karena seperti telah diuraikan sebelumnya, mayoritas industri tersebut berada di
wilayah perdesaan. Revitalisasi ini juga akan mengurangi arus tenaga kerja dari kawasan
perdesaan ke perkotaan, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan perekonomian di
sekitarnya.

IV. NETWORK BUILDING ANTARA PEMILIK MODAL DENGAN PELAKU INDUSTRI

Dari uraian di atas, industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda memiliki potensi yang
sangat tinggi untuk menarik investasi asing, terutama dari negeri Belanda. Revitalisasi
industri-industri tersebut akan sangat menguntungkan bagi Bangsa Indonesia, baik dari sudut
pandang ekonomi maupun dari sudut pandang pengembangan wilayah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan suatu upaya yang nyata untuk menarik investasi dari pemilik modal di Belanda
dengan memanfaatkan daya tarik industri peninggalan generasi pendahulu mereka.

Seperti telah disebutkan di atas, potensi dan daya tarik investasi yang dimiliki oleh industri
peninggalan pemerintah kolonial Belanda tidak akan bermanfaat tanpa adanya jejaring
informasi yang kondusif. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk menarik investasi
asing sebagaimana diuraikan di atas adalah dengan mengembangan jejaring informasi dan
komunikasi antara pemilik modal di asing dengan pelaku industri di Indonesia, khususnya
pengelola industri peninggalan Belanda. Dengan adanya jejaring ini, jarak antara kedua pihak
diatas dapat dipersingkat, dan bahkan diharapkan hambatan birokrasi yang selama ini
menghambat investasi asing di Indonesia akan dapat diatasi.

Teknologi internet merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan untuk membangun
jejaring informasi dan komunikasi antara pemilik modal dengan pelaku industri. Dengan
memanfaatkan internet, pengelola industri peninggalan Belanda dapat menampilkan informasi
yang telah diolah sedemikian rupa sehingga dapat menarik minat investasi dari pemilik modal
di Belanda, baik secara ekonomi maupun secara emosional. Dengan memanfaatkan jejaring
yang sama, pemilik modal dapat langsung berkomunikasi dengan pelaku industri untuk lebih
jauh menjajaki kemungkinan investasi.

Pengembangkan dan pengelolaan jejaring komunikasi antara pemilik modal dan pelaku
industri dapat memanfaatkan komunitas Indonesia yang ada di Belanda ataupun negara
Eropa. Dengan berperan sebagai mediator yang bersikap pro-aktif terhadap kedua belah
pihak, pemilik modal dan pelaku industri, diharapkan komunitas Indonesia yang ada di
Belanda dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan perekonomian
Republik Indonesia.

4
REFERENSI

Serikat Buruh Gula, “Deklarasi oleh Serikat-Serikat Buruh Gula: Menuju Satu”, Indonesian National
Sugar Conference, Malang, 2004.

“APKI Ajukan Petisi Antidumping kepada KADI”, www.kompas.com, 21 Januari 2003.

“Pabrik Gula Tua Itu Masih Sangat Dibutuhkan”, www.kompas.com, 27 April 2003

“Produksi Pabrik Kertas Leces Lumpuh”,Koran Tempo, 10 Mei 2007.

Muhammad Zaenuddin, “SEZ dan Problematika Investasi “, batampos.co.id, 2007.

5
Indonesia berangkat menuju Industrialisasi Pendidikan,
Kenapa tidak ?
Oleh : Achmad Adhitya, Anwar Sadat Sari SIregar

Abstraksi
Pembangunan harus dipahami sebagai kerja bersama seluruh elemen bangsa, tidak terlepas sektor
pendidikan, sektor yang digunakan untuk menciptakan tenaga kerja professional sebagai tulang
punggung bangsa sudah selayaknya menjadi sorotan kita bersama. Peran pemerintah untuk
menjembatani dan memfasilitasi elemen – elemen lain untuk terlibat dan memberikan payung
hukumnya adalah titik awal pembangunan reformasi sektor pendidikan yang berkualitas.

Pendahuluan
Pendidikan adalah faktor penting dalam menggerakan roda pembangunan bangsa,
pendidikan yang kuat dan berkualitas akan mampu mendorong menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas pula. Penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas dengan
kompetensi keilmuan tinggi ini tentu adalah salah satu potensi besar yang akan mampu
meningkatkan target – target pembangunan bangsa.
Hal ini seperti termaktub dalam UU No. 2 tahun 1989, Bab II tentang Dasar, Fungsi dan
Tujuan, pasal 3 yakni :

“Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan


mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan
nasional.”
Berangkat dari pendidikan inilah maka kita bisa mulai memproyeksikan masa depan suatu
bangsa, oleh karena itu pendidikan yang baik dan berkualitas adalah hak semua masyarakat.

Indonesia adalah negara besar, dengan potensi 200 juta orang penduduk, 200 juta
orang sumber daya manusia, 200 juta orang tenaga kerja atau calon tenaga kerja, harus mulai
melihat kembali dimana kita memprioritaskan peran pendidikan dalam agenda – agenda
pembangunan bangsa. Sudah cukup kah kita memaksimalkan agenda pendidikan ?
Jumlah penduduk yang besar memang selalu seperti pedang bermata dua, dia bisa jadi sangat
positif ketika kita bisa memanfaatkan hal ini semaksimal mungkin dalam kacamata tenaga
terdidik dan professional atau bisa menjadi sangat negatif bahkan menjadi beban negara
ketika jumlah penduduk yang besar ini tidak mampu diberdayakan secara maksimal sebagai
tenaga kerja dan roda penggerak pembangunan bangsa.

Dalam kacamata ini sekali lagi pendidikan adalah titik tolak darimana kita akan mulai
menggerakan penduduk yang besar ini, apakah jumlah penduduk ini akan menjadi roda
penggerak bangsa atau beban negara yang harus diseret – seret dalam pembangunan.
Pendidikan memang bukan satu - satunya hal yang menjadi tulang punggung pembangunan
bangsa, pendidikan tidak bisa berdiri sendiri sebagai kekuatan penggerak bangsa, tapi
pendidikan adalah salah satu pondasi pokok pembangunan bangsa, masyarakat yang cerdas,
mandiri dan berdikari baru dapat terbentuk ketika rakyat mendapat pendidikan yang cukup
dan memberikan wacana bersama, “Kemana Indonesia akan bergerak ? Dan dimana saya
memposisikan diri dalam gerak pembangunan bangsa ini ?” Pertanyaan yang akan mampu
dijawab oleh rakyat yang memiliki pencerahan pemikiran melalui pendidikan.

Identifikasi Permasalahan
Permasalahan pendidikan harus dimulai dari sebuah pertanyaan “Dimanakah kita
sekarang memposisikan peran pendidikan kita dalam pembangunan bangsa ?”
Perencanaan anggaran pendidikan 20 persen dalam UUD UUD 45 pasal 31 ayat 4, yang
mengatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen
dari APBN serta APBD adalah komitmen kuat pemerintah dan bangsa Indonesia untuk
menempatkan peran pendidikan dalam pembangunan bangsa. Ini tentu adalah suatu hal positif
yang patut kita syukuri bersama. Mungkin pemenuhan target anggaran 20 persen ini berarti
memotong pendanaan APBN untuk sektor riil, mengurangi pemberian kredit untuk
masyarakat kecil, mengurangi dana pembangunan faslitas publik seperti rumah sakit, jalan
raya, jembatan atau mungkin mengurangi anggaran dana militer untuk kepentingan pembelian
pesawat - pesawat terbang.

Kita harus sadar bahwa ada harga mahal yang harus dibayar bersama sebagai sebuah
bangsa, betapa sulitnya memenuhi pemenuhan anggaran 20 persen ini, betapa banyak sektor –
sektor pembangunan negara yang lain yang harus dikurangi.
Walaupun pada prakteknya selama dua tahun terakhir ini jumlah anggaran dana 20 persen
masih belum bisa dipenuhi oleh pemerintah yakni pada tahun 2006 pemerintah hanya
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7 persen dan pada APBN 2007 sebesar 11,8
persen. Namun komitmen dan arahan ke target pemenuhan anggaran tersebut ada, walaupun
memang masih secara bertahap.

Tentu hal ini membuat kita menjadi berfikir, “ Jangan – jangan pemenuhan anggaran
20 persen ini belum tepat”. Kita memang perlu masyarakat yang cerdas dan terdidik, tapi
tentu saja kita juga perlu rumah sakit dengan fasilitas yang baik, kita perlu sumbangan beras
untuk masyarakat miskin, kita perlu subsidi bahan bakar minyak untuk mengontrol laju harga
kebutuhan bahan pokok.

Sangat baik tentunya jika kita melihat kembali permasalahan pemenuhan anggaran
pendidikan sebanyak 20 persen ini secara lebih obyektif dan proporsional. Bagaimana
kemudian anggaran dana 20 persen ini justru tidak menjadi sarana untuk menciptakan tenaga
– tenaga kerja yang menganggur.
Supply dan demand dari tenaga kerja ini harus berimbang, karena jika supply lebih besar
daripada demand, maka kita patut mengoreksi kembali letak kesalahannya dan meninjau
kembali solusi – solusi yang mungkin.
Hal ini mengantarkan kita semua pada sebuah pertanyaan :
„ Apakah pemberian anggaran dana 20 persen untuk sektor pendidikan justru menciptakan
sebuah permasalahan baru, yakni pengangguran ?“
Jumlah tingkat pengangguran yang telah mencapai 10 juta jiwa dengan lapangan kerja yang
terbatas, membuat kita harus perlu mengoreksi, pendidikan yang bagaimana yang perlu kita
bangun untuk mengefektikan anggaran negara yang terbatas.
Analisa Permasalahan
Dalam Identifikasi permasalahan diatas, kita coba menilik bersama betapa ambigunya
perencanaan anggaran 20 persen yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 dengan praktek di
lapangan. Sangat mungkin bahkan pemberian anggaran dana 20 persen akan menjadi
bumerang buat bangsa dan menciptakan permasalahan baru, yakni pengangguran.

Harus disadari secara bersama bahwa pembangunan di bidang pendidikan adalah


investasi bangsa jangka panjang, ketika kita berkomitmen membangun sumber daya manusia
bangsa, maka kita sedang menanam buah yang hasilnya akan dilihat dalam 10 sampai 20
tahun kedepan. Pembangunan sumber daya manusia tentu tidak seperti membangun jembatan,
jalan dan rumah sakit yang bisa terlihat secara instan, tapi melalui proses yang bertahap.

Kita harus menyepakati bersama bahwa Sumber Daya Manusia yang terdidik dan
cerdas adalah hal paling krusial dalam mendorong pembangunan bangsa. Tentu sangat miris
kalau kemudian kita memiliki mesin produksi yang modern dan canggih, namun kita meminta
bangsa asing mengelola mesin – mesin produksi tersebut. Kita memiliki Sumber Daya Alam
yang melimpah ruah namun kita mengijinkan pihak asing masuk ke Indonesia mengeruk
hasilnya dan melarikan hasil bumi tersebut ke negara asing.

Kita harus berkomitmen bahwa ini harus dihentikan dan kita harus menyerukan bahwa
pembangunan sumber daya manusia dimulai dari sekarang. Kita hanya harus berifikir sangat
keras bagaimana menciptakan sistim pendidkan yang baik itu.
Permasalahannya terletak pada supply tenaga kerja yang berlebihan oleh sektor pendidikan ,
sedang sektor ekonomi riil tidak mampu menampung limpahan tenaga kerja ini, dimana letak
salahnya?

Ada sebuah kesalahan paling mendasar yang selama ini kita buat, kita merasa bahwa
proessionalitas sektor adalah hal yang sangat penting, tanpa sadar ternyata hal ini malah
mengotakkan kita dalam peran – peran individual dan profesionalitas bangsa.
Sektor swasta artinya bertugas mendorong roda perekonomian bangsa, sehingga hal yang
berkaitan dengan permasalahan ekonomi menjadi tugas elemen bangsa yang lain.
Sektor pemerintah artinya bertugas menjalankan peran birokrasi demi kelancaran administrasi
negara.
Sektor pendidikan artinya membuat tenaga kerja terdidik dengan kualitas baik
sehingga bisa memasuki lahan – lahan kerja secara lebih profesional dengan kompetensi
keilmuan yang tinggi.

Hal tersebut tidak salah namun jangan dilupakan kerja – kerja lintas sektor memegang
peranan penting dalam pembangunan bidang pendidikan.
Proses penerapan kebijakan BHMN (Badan Hukum Milik Negara) adalah bentuk
kemandirian perguruan tinggi yang sedang didorong pemerintah untuk mengurangi beban
APBN, yang jadi masalah adalah penerapan kebijakan BHMN pada perguruan tinggi ini tidak
dibarengi dengan persiapan yang kuat oleh banyak perguruan tinggi, sehingga salah satu cara
untuk memenuhi pengurangan subsidi pendidikan oleh pemerintah adalah menaikan uang
SPP, uang praktik di Laboratorium, uang buku dll sebagai sarana untuk meningkatkan
anggaran tiap universitas.

Pada titik inilah sebenarnya pendidikan harusnya menjadi bentuk kolaborasi bersama
antara, institusi pendidikan, swasta dan pemerintah.
Memang ada beberapa universitas yang telah mampu dengan baik menjalankan kerja sama
dengan pihak swasta ataupun institusi pemerintah, namun tanpa kebijakan pemerintah yang
mendorong sektor pendidikan dengan kerja sama industri untuk mendapat kesempatan yang
sama di setiap institusi pendidikan tentu sangatlah sulit.

Usulan Solusi Permasalahan


Melihat permasalahan dan analisa masalah diatas, maka diperlukan adanya formulasi
strategi yang terpadu dengan melibatkan tiga elemen penting untuk mendorong sektor
pendidikan di Indonesia, yakni : Pemerintah (policy maker), Industri (Commerce) dan Institusi
pendidikan.
Usulan strategi tersebut adalah :
1. Kebijakan Pemerintah yang mendorong pihak industri dan swasta untuk membangun
kerja sama terpadu dengan institusi pendidikan
2. Pembatasan jumlah industri dan swasta yang bekerja sama dengan institusi pendidikan
tertentu, sehingga ada proses pemerataan kerja sama antara industri dan institusi
pendidikan.
3. Praktik kerja (internship) terpadu dan berkesinambungan antara institusi pendidikan
dan industri yang lebih merata.
4. Investasi alat dan tenaga kerja oleh pihak industri di setiap institusi pendidikan.
5. Kebijakan pemerintah yang memudahkan pihak industri untuk berusaha dengan
mengurangi beban pajak, sebagai bentuk komitmen industri untuk membantu sektor
pendidikan.

Praktik kerja sama industri dan institusi pendidikan ini adalah bentuk simbiosi
mutualisme yang sangat baik, karena Institusi pendidikan mampu memperoleh calon – calon
tenaga kerja yang professional yang dibutuhkan oleh pihak industri tersebut, kemudahan iklim
berusaha dengan kebijakan pemerintah sebagai bentuk kompensasi pemerintah terhadap pihak
industri. Institusi pendidikan diuntungkan dengan adanya prasarana modern sehingga mampu
mengembangkan iklim penelitian di lingkungan akademisnya, pemenuhan anggaran institusi
pendidikan tidak bergantung penuh oleh pemerintah, untuk pemerintah sendiri ini mengurangi
beban APBN yang dibantu oleh kolaborasi swasta.

Pemerintah sebagai mediator dan pembuat kebijakan berperan memfasilitasi terjadinya


dialog antara pihak industri dan institusi pendidikan sehingga kedua pihak ini mampu saling
support untuk mengembangkan sektor pendidikan di Indonesia.

Pemerintah (policy maker) Industri (commerce) Institusi Pendidikan

Dialog tripartid dalam rangka merumuskan kerja sama

1. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang memberikan


jaminan hukum

2. Supply prasarana dan kesempatan pelaksanaan internship


oleh pihak industri

3. Supply tenaga kerja terdidik dan profesional dari pihak


institusi pendidikan dalam konteks internship

Gambar rangkaian kerja sama tripartid di sektor pendidikan


Kesimpulan
Perlunya kerja sama menyeluruh dari berbagai pihak untuk menyelenggarakan sektor
pendidikan secara maksimal, hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi beban negara yang
terlalu berlebihan untuk meningkatkan sektor pendidikan saja sedang masih banyak sektor
lain yang juga memerlukan pemaksimalan anggaran belanja negara kita.
Kerja sama yang dibangun antara industri dan institusi pendidikan yang terpadu dengan
dimoedrasi oleh pihak pemerintah memungkinkan pemenuhan anggaran 20 persen untuk
sektor pendidikan tanpa terlalu membebani anggaran belanja negara.

Referensi

UU RI No.20 Thn.2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Febrian, Jack. 2000. Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia. Informatika, pp. 117

Pembangunan Sumber Manusia. 1994. T. Subahan Mohd. Meerah, Rohaty Majzub


& Ahmad Jaffni Hassan (sunt.). ISBN 967-942- 294-3 156 hlm. RM25.00

.http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/31/prn,20040331-09,id.html
Kurangnya Kontrol dan Komitmen Pemerintah terhadap Masalah Merokok

Oleh Tommy Dharmawan


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /
Sedang menjalani penelitian di Leiden Universiteit Medische Centrum, Leiden, Netherland

Pada Mei 2003, negara-negara anggota organisasi kesehatan dunia, World Health
Organization (WHO) mengadopsi perjanjian bersejarah mengenai kontrol terhadap
tembakau dan merokok yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC memiliki efek yang potensial untuk mengurangi dampak merugikan akibat
merokok. Walau WHO telah memuat FCTC sejak 2003 tapi sampai 2007, Indonesia yang
termasuk lima besar negara konsumen rokok di dunia masih belum menandatangani dan
meratifikasi FCTC. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih belum memiliki itikad
dan peraturan yang jelas dan tegas mengenai kontrol terhadap tembakau dan masalah
merokok. Hal ini sangat mengecewakan karena berarti pemerintah sangat lamban dalam
menyelamatkan rakyatnya dari bahaya merokok. Hampir semua negara berkembang di
Asia sudah membuat peraturan yang tegas tentang rokok tapi Indonesia masih belum
memiliki peraturan yang tegas mengenai kontrol terhadap masalah merokok dan malahan
menjadi surga bagi pasar industri rokok.

Mengapa Indonesia belum meratifikasi FCTC?


Ada beberapa analisis mengapa pemerintah Indonesia masih belum meratifikasi
FCTC. Pertama karena pemerintah takut jika mereka membuat regulasi yang tegas
tentang rokok maka pemerintah akan kehilangan sumber pendapatan dari cukai rokok.
Kedua, akan banyak buruh industri rokok yang kehilangan pekerjaan jika pemerintah
membuat kebijakan besar tentang masalah merokok. Ketiga, kebijakan tentang rokok
akan membawa dampak juga pada petani tembakau yang sangat bergantung pada industri
rokok. Industri rokok adalah tempat para petani tembakau menjual sebagian besar hasil
panen tembakaunya. Apakah analisis tersebut benar?
Memang benar bahwa industri rokok memainkan peranan penting pada ekonomi
sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Hampir lebih dari 600 ribu buruh bekerja
secara langsung pada 3000 industri rokok di seluruh Indonesia dan hampir 10 juta orang
bekerja secara tidak langsung untuk industri rokok. Tapi ternyata dari sisi kesejahteraan
buruh, industri rokok hanya berkontribusi sedikit pada pekerjanya. Tetap tidak ada
peningkatan kesejahteraan dari buruh walau industri rokok terus mendapatkan
keuntungan berlimpah dari penjualan yang semakin meningkat tiap tahunnya. Mayoritas
buruh industri rokok bekerja hanya secara kontrak walaupun mereka telah bekerja selama
lebih dari 10 tahun. Kondisi yang sama dialami juga oleh para petani tembakau. Survei
dari sebuah lembaga swadaya masyarakat di Jawa Timur menunjukkan bahwa mayoritas
dari petani tembakau hidup dibawah garis kemiskinan.

Merokok versus kerugian kesehatan dan ekonomi


Mengapa pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan yang mengatur masalah
merokok? Apakah merokok sangat merugikan baik dari segi kesehatan dan ekonomi
sebuah negara? Pada sektor kesehatan, jelas terlihat bahwa berdasarkan data dari WHO,
rokok membunuh hampir lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut, maka
bisa dipastikan bahwa 10 juta orang akan meninggal karena rokok per tahunnya pada
tahun 2020, dengan 70% kasus terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Merokok
juga merupakan jalur yang sangat berbahaya menuju hilangnya produktivitas dan
hilangnya kesehatan. Menurut Tobacco Atlas yang diterbitkan oleh WHO, merokok
adalah etiologi bagi hampir 90 persen kanker paru, 75 persen penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK), dan juga menjadi 25 persen etiologi dari serangan jantung.

Saat ini, perokok tidak hanya kaum pria. Makin banyak kaum hawa yang menjadi
perokok aktif. Peningkatan yang signifikan membuat insidensi kanker yang terkait
kebiasaan merokok pada kaum wanita meningkat drastis. Tidak hanya kanker paru tapi
juga banyak kanker akhir-akhir ini yang ternyata terkait dengan kebiasaan merokok.
Bahkan kanker ginekologi saat ini dikaitkan dengan kebiasan merokok. Kebiasaan
merokok dapat meningkatkan insidensi terkena kanker ginekologi sampai lima kali lipat.
Pada sektor ekonomi, data Bank Dunia tahun 1990 menunjukkan bahwa anggaran
pemerintah untuk memberikan pengobatan kuratif bagi penderita penyakit terkait
kebiasaan merokok mencapai enam kali lipat lebih besar dari pemasukan yang didapat
pemerintah dari cukai rokok. Masih dari data Bank Dunia, cukai rokok yang didapat
pemerintah Indonesia mencapai 2,6 triliun rupiah per tahun. Tetapi di sisi lain, kerugian
ekonomi terkait masalah merokok mencapai 14,5 triliun rupiah. Pemerintah hanya
menghabiskan 1,7 triliun rupiah untuk sektor kesehatan jadi bisa dibayangkan bahwa sisa
dana untuk kerugian kesehatan tersebut diambil dari dana pribadi masyarakat sendiri.

Dari ratusan milyar rokok yang diproduksi tiap tahunnya, kira-kira lebih dari 220
miliar batang rokok dikonsumsi oleh rakyat ekonomi lemah. Data dari Badan Pusat
Statistik tahun 2001 menyatakan bahwa masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan cenderung untuk mengorbankan anggaran keluarga mereka untuk membeli
rokok. Fakta ini menunjukkan rendahnya kualitas kesehatan rakyat Indonesia. Mereka
lebih memilih membeli rokok daripada kebutuhan pokok keluarga mereka. Fenomena
tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga terjadi di negara berkembang lainnya.

31 Mei, hari tanpa tembakau sedunia


Tanggal 31 Mei dikenal sebagai hari tanpa tembakau sedunia. Tiap tahunnya kita
memperingati tanggal tersebut dengan kampanye anti rokok dan banyak artikel di koran
dan pendapat di televisi. Tapi, tetap masih tidak ada sikap dan peraturan yang tegas dari
pemerintah mengenai masalah merokok. 31Mei tahun ini harus menjadi permulaan baru
bagi pemerintah Indonesia untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka peduli pada
kesehatan rakyatnya sendiri. Pemerintah tidak bisa tinggal diam. Pemerintah dapat
memulainya dengan meratifikasi FCTC dan membuat peraturan yang tegas mengenai
masalah merokok. Perokok adalah beban bagi bangsa ini di saat Indonesia masih harus
berjuang melawan penyakit infeksi. Jadi jika beban tersebut bertambah dengan
meningkatnya penyakit terkait masalah merokok maka Indonesia berada pada masalah
besar.
Solusi untuk kontrol terhadap masalah merokok
Pemerintah harus membuat langkah nyata untuk meminimalkan dampak
merokok. Pemerintah dapat memulainya dengan meratifikasi dan mengimplementasikan
FCTC serta membuat peraturan yang mengatur konsumsi tembakau dan masalah
merokok. Pemerintah dan DPR dapat membuat undang-undang tentang kontrol terhadap
konsumsi tembakau dan masalah merokok. Di sektor ekonomi, pemerintah dapat
membuat cukai yang progresif untuk rokok. Cukai rokok dapat ditingkatkan sampai 50-
70 persen seperti yang diterapkan negara maju sehingga pemasukan pemerintah dari
cukai rokok tetap tinggi tetapi konsumen rokok akan menurun karena cukai rokok yang
tinggi akan meningkatkan harga jual rokok sehingga diperkirakan golongan ekonomi
lemah yang menjadi mayoritas perokok akan tidak sanggup membeli rokok. Peraturan
yang lebih tegas di semua bentuk media promosi dari rokok adalah salah satu cara dalam
kampanye anti rokok di Indonesia. Pemerintah dapat membuat peraturan yang tegas
tentang periklanan rokok di media dan dengan bantuan masyarakat maka pemerintah
harus bekerja keras menyampaikan pesan bahwa kepada masyarakat tentang dampak
berbahaya dari merokok pada aspek kesehatan dan ekonomi rakyat sebuah negara seperti
Indonesia.

Tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat harus memahami dampak


berbahaya dari merokok. Masih perlu waktu untuk melihat peraturan mengenai rokok
dapat berjalan dan kita tidak bisa tinggal diam. Tidak ada cara lain kecuali melindungi
diri dan keluarga kita dari bahaya merokok. Terakhir, Mengapa kita tidak membuat
Indonesia bebas dari asap rokok? Bukankah itu lebih baik?

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sedang


menjalani program penelitian di Leiden University. Penelitian dalam rangka usaha
pencegahan dan tatalaksana kanker leher rahim di negara berkembang dengan fokus
Indonesia. Program ini disponsori oleh Asia-Link Female Cancer Program Foundation
yang mendapat dana dari Pemerintah Belanda dan Europeaid Cooperation office.
MENCARI BENTUK KELAS VIRTUAL
SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI
KELAS PRESENSIAL:
SEBUAH IDE

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Apakah kita bisa mengahadiri kelas tanpa harus hadir dalam ruang kelas?
Jawabannya sangat singkat dan jelas, BISA. Apakah ada sekolah tanpa ruangan kelas?
ADA! Apakah ada kurrikulum pengajaran tanpa kehadiran presencial? SEBUAH
TANTANGAN.

Kehadiran jaringan internet yang memadai adalah syarat utama menciptakan


sebuah pengajaran virtual yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas dengan biaya yang
jauh lebih murah dan peralatan yang jauh lebih sederhana. “ANDA PUNYA INTERNET
ANDA SEKOLAH DI MANA SAJA DAN APA SAJA”

MENGAPA INTERNET

Internet sudah menjadi bagian integral dalam hidup kita saat ini, sesuatu yang
tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Internet menawarkan sumber
informasi, memberikan ruang bagi hidup komunitas virtual, juga sekolah virtual. Ini
adalah kesempatan baik guru maupun siswa untuk membuka peluang sistem pendidikan
virtual sebagai bagian dari pendidikan alternatif.

Dari program yang awam, seperti yahoo massager, netmeeting dan youtube
menjadi alternatif bagi pengambangan pendidikan alternatif. Yang menarik adalah
bagaimana mengabungkan program-program yang ada menjadi satu kesatuan yang
integral.

NILAI LEBIHNYA

Pemanfaatan program-program yang ada di internet meniadakan jarak dan


tempat, hal ini tentu sangat membatu bagi Indonesia yang adalah negara kepulauan.
Seorang siswa dari dataran tinggi Karo, contohnya, bisa mengikuti kelas Prof. X yang
sedang mengajar di Surabaya, karena pengajaran tersebut terkoneksi dengan jaringan
internet. Menariknya bahwa sang siswa tersebut sedang menjaga adiknya di rumah.
(Bagaimana kalau sedang mengembalakan sapi? Ketika masih SMP kami mendengarkan
radio saat mengembalakan sapi)
Jika acara pengajaran sang dosen tersebut direkam dengan handycam yang
sederhana, lalu dimasukkan ke youtube...maka tidak ada lagi kata terlambat untuk datang
ke kelas, bukan? Dan selama ia ada di internet, ia tetap abadi. Jika suatu saat si siswa lupa
akan pengajaran tersebut, tinggal klik, dan kembali ke point yang ia ingin dengar dan
lihat.

Selanjutnya kalau ada pertanyaan yang tidak jelas, si siswa mengirimkan email
kepada si dosen.

Kontak antara guru dan murid adalah kontak virtual yang tentu saja tidak bisa
dibandingkan dengan kontak lansung dalam ruang kelas. Point ini tentunya perlu
diperhatikan karena, kelas virtual tidak bisa mengantikan kelas presencial, tetapi harus
saling mendukung.

Sistem ini secara langsung menjadi tantangan bagi guru dan pemerhati
pendidikan untuk mengantisipasi keinginan siswa dan kebebasan siswa. Perbandingannya
adalah, sebuah pengajaran yang bagus ibarat sebuah program televisi yang menarik, jika
tidak, maka program tersebut akan ditinggalkan dan diganti dengan program yang lain.
Dan tidak menutup kemungkinan bahwa satu mata pelajaran (mata kuliah) akan diajarkan
oleh satu atau dua dosen saja bagi semua universitas. Bagi guru atau dosen, menguasai
bahan tidak lagi cukup, tetapi harus mampu membawanya dengan menarik dan dinamis.
MENGAJAR ITU GAMPANG, MEMBUATNYA MENARIK ADALAH SENI.

MENCARI KURRIKULUM BERBASISKAN KELAS VIRTUAL


Ini adalah tugas bagi semua pemerhati pendidikan.

BEBERAPA CONTOH YANG SEDANG DIBUAT


Berikut ini saya paparkan beberapa contoh yang sudah saya buat sebagai experiment.
Bahan yang saya jadikan dasar experiment adalah bahasa spanyol dan kebudayaannya, karena
memang itulah bidang saya.

http://www.youtube.com/watch?v=Mfc4XQ9FIXE
http://www.youtube.com/watch?v=VMAipsMStW0
http://www.youtube.com/watch?v=iC4j5Ghbgg8
Contoh lain:
http://www.youtube.com/watch?v=c-GPkPfxO0I&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=YDTfz1V9AJI&mode=related&search=

Advent Tambun
Studi Master
Ensenaza de Espanol como Lengua Extranjera
Universidad de Alcala
Spain
MENGENAL DAN MENGEMBANGKAN

BIOETIKA DI INDONESIA
Pengantar
Presentasi ini dimaksudkan sebagai gapura untuk mengenal dan menceburkan
diri lebih lanjut dalam perkembangan Bioetika di tingkat dunia maupun di tingkat
nasional. Ada 3 hal yang akan digarap dalam paper ini. Bagian pertama membahas
analisis situasi bioetika baik di tingkat dunia maupun di tingkat nasional. Bagian kedua
akan membahas análisis tren, yang memperkenalkan sedikit arah baru perkembangan
bioetika di tingkat dunia dan di Indonesia. Dan bagian terkahir, ketiga, akan membahas
beberapa prospek pemikiran dan gagasan yang bisa digarap bersama-sama. Masing-
masing bagian sebetulnya memerlukan penelitian yang detail dan pendalaman yang
tekun. Dan mengingat terbatasnya informasi dan partisipasi penyaji berkaitan dengan
pengembangan bioetika di Indonesia, maka paper ini mungkin juga berfungsi sebagai
pintu perkenalan dan perjumpaan akademis.

Sejarah Bioetika: Pengertian dan Bidang Kajian


Istilah “Bioetika” pertama kali muncul pada tahun 1974, dan diperkenalkan oleh
Van Rensselaer Potter dalam bukunya Bioethics: Bridge to the Future (1971). Ia
mendifinisikan bioetika sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkombinasikan
pengetahuan biologi dengan pengetahuan sistim nilai manusiawi1. Namun demikian,
perlu diperhatikan bahwa istilah ini berasal dari praktek masa lampau, seperti etika
kedokteran2. Jauh sebelum lahir bioetika, di kebudayaan barat, dikenal Sumpah
Hipocrates (abad III dan IV SM) yang berisi implikasi etika kedokteran: kewajiban etika
dokter berhadapan dengan guru dan keluarga serta hubungan antara dokter dengan
pasien3. Sumpah ini merupakan bagian dari Corpus Hippocraticum, kumpulan tulisan
yang dikalifikasikan para Bapak Kedokteran. Di lain budaya, dapat ditemukan juga
Sumpah Inisiasi, Caraka Samhita dari India abad I, Sumpah Asaph abad III-IV dan
Nasihat kepada seorang dokter abad X yang datang dari dunia arab. Ada juga Lima
perintah dan sepuluh tuntutan dari Chen Shih Kung, tabib cina pada abad XVII4.
Sintesis dari pedoman etika itu dirangkum dalam konsep latin primum non nocere yang
artinya “dari semua, tidak membuat sakit”. Menjelang pada abad XIX, Thomas
Percival, Bapak Etika Kedokteran membuat semacam etika dasar untuk praktek

1 V . R . P O T T E R , B i o e t h i c s : B r i d g e t o t h e F u t u r e , E n g l e w o o d C l i f f s ( N . J ) 1 9 7 1 .

2
C . E . , T A Y L O R , E t h i c s f o r a n i n t e r n t i o n a l h e a l t h p r o f e s s i o n : S c i e n c e 1 5 3 ( 1 9 9 6 ) 7 1 6 .

3
C f . J . G A F O , L o s C ó d i g o s m é d i c o s , e n J . G A F O ( e d . ) , D i l e m a s é t i c o s d e l a M e d i c i n a a c t u a l , M a d r i d , 1 9 8 6 ,

1 7 - 1 9 . S u m p a h H i p o c r a t e s d a p a t d i l i h a t a n a l i s i s n y a d a l a m t u l i s a n P H I L I P F R A N K L I N W A G L E Y , T h e H i p p o c r a t i c

a t h : H u m a n M e d i c i n e , v o l . 3 , n o . 2 n o v . 1 9 8 7 ) .

J . G a f o , o . c . , 1 9 .
4

1
kedokteran5. Pada abad XIX bermunculan di berbagai negara banyak Asosiasi o
Perserikatan Para Dokter. Dan setelah perang dunia ke II, muncul Hukum Keperawatan6
dan Hukum Nuremburg (1946), Deklarasi Genewa (1948) dalam 2 pertemuan
pentingnya th. 1948 dan 1949 dengan mengembangkan Hukum Internasional Etika
Kedokteran7.

Dengan pengetahuannya Potter menggunakan istilah bioetika untuk pertama


kalinya. Tokoh lain yang menggunakan istilah ini adalah André Helleger, bidan belanda
yang bekerja di Universitas Georgetown. Enam bulan setelah Potter, Helleger
memberikan nama sebuah pusat studi bioetika pertama di USA: Joseph and Rose
Kennedy Institute for Human Study of Human Reproduction and Bioethics di
Universitas Washington DC pada 1 juli 1971. W.T Reich menegaskan bahwa bioetika
lahir di dua tempat, di Madison Wisconsin dan Universitas Georgetown8. Istilah
bioetika menunjuk pada 2 hal: ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai
kemanusiaan. Selain WT Reich, secara khusus, bioetika di USA mempunyai ¨sejarah”
tersendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Alberth R. Jonsen9. Ia memberikan beberapa
tahap perkembangan bioetika: Adminission and Policy th 1962 di Pusat Kedokteran
Universitas Seattle, New England Journal of Medicine (1966), Komisi Nasional
Alabama, Informe Belmont, Havard Medical School, Kasus Karen A Quinlan 1975, dan
yang paling berpengaruh kemudian adalah Hasting Center (1969). Dalam sejarah awal
ini, bioetika berkutat hanya pada masalah kesehatan dan kedokteran.

Sejarah kedua bioetika disebut sebagai sejarah konsolodasi. Itu tercermin dari
difinisi yang diberikan. Ensiklopedi Bioetika10 menerjemahkan bioetika sebagai studi
sistimatis perilaku dan tindakan yang berhubungan dengan biologi dan kesehatan yang
memikirkan nilai-nilai dan prinsip moral. Asosiasi internacional Bioetika
mengungkapkan bahwa bioetika adalah studi etika, sosial, hukum, filsafat dll yang
berkaitan dengan perawatan kesehatan dan ilmu biologi. L. Feito11 mengatakan bahwa
bioetika adalah ilmu baru yang mempelajari tindakan manusia dan ilmu yang berkaitan
dengan hidup. Bidang bioetika yang dipikirkan pada tahap ini adalah: Etika Biomedika,
Etika Gen Manusia, Etika Binatang dan etika lingkungan hidup.

d a 4 t e m a y a n g d i u n g k a p k a n o l e h T h o m a s P e r c i v a l : 1 ) k e r a m a h t a m a n a n ; 2 ) p r a k t e k p r i v a t a t a u p u n
5 A

u m u m ; 3 ) r e l a s i a n t a r a d o k t e r d e n g a n a p o t e k e r ; 4 ) b e b e r a p a k a s u s y a n g m e m e r l u k a n p e r t i m b a n g a n

h u k u m .

6 J . G A F O , E t i c a y E n f e r m e r i a d a l a m E t i c a y L e g i s l a c i ó n , 2 7 - 4 4 . R u m u s a n H u k u m K e p e r a w a t a n i t u d a l a m

d i l i h a t d i h a l . 4 0 7 - 4 4 7 .

n f o r m a s i s i n g k a t t e n t a n g p e r k e m b a n g a n p r i n s i p - p r i n s i p b i o e t i k a d a l a m k o n t e k s K o m i s i B i o e t i k a d a p a t
7 I

d i l i h a t F R A N C E S C E L , C o m i t é s d e B i o é t i c a : F o l a H u m a n i s t i c a N o , 3 3 4 ( 1 9 9 3 ) 3 8 9 - 4 1 8 .
A B

8 T . W R E I C H , T h e W o r d “ B i o e t h i c s ” : I t s B i r t h a n d t h e L e g a c i e s o f t h o s e W h o S h a p e d I t , K e n n e d y n s t i t u t e
I

o f E t h i c s J o u r n a l 4 ( 1 9 9 4 ) 3 1 9 - 3 3 5 , 3 2 6 - 3 2 8 .

9 . R . J O N S O N , G l o b a l B i o e t h i c s : B u i l d i n g o n t h e L e o p a r d L e g a c y , E a s t L a n s i n g , 1 9 8 8 .
A

1 0

W . T . R E I C H ( e d . ) , E n c y c l o p e d i a o f B i o e t h i c s I , T h e F r e e P r e s s , N e w Y o r k 1 9 7 8

1 1 L . F E I T O G R A N D E , P a n o r a m a h i s t ó r i c o d e l a B i o é t i c a : M o r a l i a 2 0 ( M a d r i d , 1 9 9 7 ) 4 6 5 d s t .

2
Yang terakhir adalah Francesc Abel yang memahami bioetika sebagai studi
interdisipliner, yang berorientasi pada pengambilan keputusan etika berdasarkan dari
berbagai sistem etika atas kemajuan ilmu kesehatan dan biologi, dalam skala mikro dan
makrososial, mikro dan makro ekonomi dan pengaruhnya dalam masyakarat dan sistim
nilai, baik untuk masa kini maupun masa mendatang12. Bioetika dimenerti secara lebih
luas dan tidak diphami hanya sekedar bioteknologi saja13. Dan definisi ini berkisar
secara kuat kepada pengertian dan isi dari “martabat manusia”14. Tema-tema yang
dibahas oleh bioetika menjadi sangat beragam. Beberapa di antaranya adalah: asistensi
kesehatan, aborsi, teknologi prokreasi, cloning, eutanasia, bunuh diri, hukuman mati,
studi klinis manusia, transplantasi organ, manipulasi gen manusia, AIDS, obat-obatan
terlarang dan ekologi. Dari masing-masing bidang ini, masih ada beberapa kajian
khusus seperti pengawetan sperma dan ovum serta embrio. Keluasan tema ini15.

Dari sejarah singkat kelahiran bioetika ini, ada dua perubahan besar dalam etika:
yang pertama, etika dibahas dalam kerangka secular bukan dalam kerangka agama;
yang kedua, yang menjadi pemeran utama adalah pasien bukan dokter. Kecenderungan
ini kemudian menempatkan etika dalam tataran martabat, autonomi dan kebebasan
dasarnya atau menyempitkan pengertian etika dalam kerangka hokum, berkaitan dengan
masalah hak, kewajiban dan kebebasan pasien.

Pertimbangan etika dasar


Pada dasarnya ada beberapa proposal dasar prinsip-prinsip bioetika yang
diterima untuk seluruh dunia bioetika.

Prinsip pertama muncul beawal dari pembetukan Komisi Bioetika Nasional USA
1974 yang berfungsi meneliti kriteria kriteria yang seharusnya diterapkan dalam
penyelidikan tentang manusia dalam bidang ilmu etika dan biomedika. Prinsip etika ini

2
1 F . E L I F A R E , B i o é t i c a : o r í g e n e s , p r e s e n t e y f u t u r o , n s t i t u t B o r j a d e B i o é t i c a - F u n d a c i ó n M a p f r e ,
A B B I

M a d r i d 2 0 0 1 , 5 - 6 .

3
1 R . n d o r n o , B i o é t i c a y d i g n i d a d d e l a p e r s o n a , T e c n o s , M a d r i d 1 9 9 8 , 3 4
A

1 4 P e g e r t i a n m e n g e n a i m a r t a b a t m a n u s i a d a p a t d i p e l a j a r i s e c a r a l e b i h m e n d a l a m : N . M A R T Í N E Z M O R Á N ,

P e r s o n a , d i g n i d a d h u m a n a e n i n v e s t i g a c i o n e s m é d i c a s , e n : N . M A R T Í N E Z M O R Á N ( c o o r d . ) B i o t e c n o l o g í a ,

D e r e c h o y D i g n i d a d H u m a n a , C o m a r e s , G r a n a d a 2 0 0 3 , 3 - 4 3 ; d a n L a d i g n i d a d h u m a n a e n l a s

i n v e s t i g a c i o n e s b i o m é d i c a s , d a l a m : . M . M A R C O S D E L C A N O ( c o o r d . ) , B i o é t i c a , F i l o s o f í a y D e r e c h o , U N E D -
A

M e l i l l a , M e l i l l a 2 0 0 4 , 1 6 5 - 2 0 5 . D a l a m k o n t e k s y a n g l e b i h l u a s d a p a t d i l i h a t d a l a m : R . J U N Q U E R A D E

E S T É F A N I , D i g n i d a d h u m a n a y G e n é t i c a , e n : J . B L Á Z Q U E Z - R U I Z ( c o o r d . ) , 1 0 p a l a b r a s c l a v e e n l a N u e v a

G e n é t i c a , V e r b o D i v i n o , E s t e l l a ( e n p r e n s a ) . M a r t a b a t M a n u s i a d a l a m k a i t a n n y a d e n g a n p a s i e n d a l a m

k o n d i s i t e r m i n a l . M . M A R C O S D E L C A N O , D i g n i d a d H u m a n a e n e l f i n a l d e l a v i d a y c u i d a d o s p a l i a t i v o s , e n
A

N . M A R T Í N E Z M O R Á N ( c o o r d . ) , B i o t e c n o l o g í a . . . , l . c . , 2 3 7 - 2 5 7 ; y C u i d a d o s p a l i a t i v o s y e u t a n a s i a : e s p e c i a l

r e f e r e n c i a a l a l e g i s l a c i ó n b e l g a , e n . M . M A R C O S D E L C A N O ( c o o r d . ) , B i o é t i c a , F i l o s o f í a y . . . , l . c . , 2 0 7 - 2 2 0 .
A

1 5 P a p e r i n i t i d a k a k a n m e m b a h a s s e m u a t e m a i t u , m e l a i n k a n a k a n m e m i l i h t e m a y a n g b e r k i a t a n d e n g a n

k e h i d u p a n d i n d o n e s i a d a l a m k o n t e s k k e r a g a m a n b u d a y a d a n a g a m a .
I

3
dikenal dengan nama Informe Belmont 197816. Dalam Informe Belmont ini dipaparkan
tiga prinsip etika dasar:

1. Penghormatan kepada pribadi: individu harus diperlakukan sebagai pribadi dan


pribadi yang mempunyai autonomi terbatas harus dilindungi.
2. Kebaikan: mencari yang baik bagi pasien menurut kemampuan dan pengetahuan
besar dokter. Tidak membuat sakit-merusak.
3. Keadilan: Distribusi. Ada beberapa kriteria mengenai keadilan
o berpartisipasi secara sama
o sesuai dengan kebutuhan individu
o sesuai dengan konstribusi sosial
o sesuai dengan kemampunannya
o sesuai dengan hukum timbal balik yang bebas.

Informe Beltmon dicoba pada tahun 1978 dan disahkan secara publik pada tahun 1979.
Prinsip itu memberikan tekanan tekanan yang penting bagi beberapa tema: otonomi
pasien dan persetujuan pasien, evaluasi resiko dan keuntungan, dan kesediaan personal
untuk menjadi subyek dari investigasi.

Prinsip bioetika yang lain muncul dari seorang filsuf dan teolog, Beauchamp dan
Childress, yang mempublikasikan Principles of Biomedical Ethics 197917. Mereka
mengemukakan empat prinsip dasar bioetika yang dipikirkan dari beberapa dasar etika
Sumpah Hipocrates, Surat hak Pasien, Deklarasi Geneva (1948) yaitu:

1. Otonomi: Dasar dari prinsip otonomi adalah bahwa setiap individu mampu
bebas dari obyek personal dan bertindak seturut kebebasannya. Otonomi ini
mempunyai 3 syarat dasar:
a. mempunyai maksud/intense
b. paham akan arti tindakannya
c. tidak berada dalam pengaruh luar.
2. Tidak merugikan: “primum non nocere” artinya bahwa tidak diperbolehkan
membuat rusak dan kejelekan. Diterjemahkan dalam kata lain: tidak
menyebabkan sakit.

6
1 D . G A R C I A , P r i n c i p i o s y m e t o d o l o g í a d e l a B i o e t i c a , d a l a m Q u a d e r n o s C a p s n o 1 9 ( 1 9 9 1 ) 9 ; N A T I O N A L

C O M M I S S I O N F O R T H E P R O T E C T I O N O F H U M A N S U E C T S O F B I O M E D I C A L A N D B E H A V I O R A L R E S E A R C H , W a s h i n g t o n D C ,
B J

U S G o v e r n m e n t P r i n t i n g O f f i c e , 1 9 7 9 : R J O N S O N , T h e B i r t h o f B i o e t h i c s , O x f o r d , N e w s Y o r k , 1 9 9 8 .
A

T L B e a u c a m p d a n J F C h i l d r e s s , P r i n c i p l e s o f B i o m e d i c a l E t h i c s , O x f o r d , N e w Y o r k , 1 9 9 4 .
1 7

4
3. Menguntungkan: harus berbuat baik. Yang diungkapkan dalam:
a. Melindungi dan membela hak asasi orang lain
b. Mengantisipasi supaya tidak ada yang merugikan orang lain
c. Menghilangkan kondisi-kondisi yang dapat memancing prasangka
terhadap orang lain
d. Membantu orang-orang cacat
e. Menyelamatkan orang yang berada dalam bahaya .
4. Keadilan: keadilan distributif: kasus yang sama seharusnya diperlakukan dengan
cara sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda.
Dalam bahasa latin disebut: Justitia est constans et perpetua voluntas ius suum
cuique tibuens.

Kedua prinsip dasar bioetika itu kemudian berkembang secara meluas dan
dimodifikasi. Beberapa pendasaran etika yang sampai sekarang masih terus
diperkembangankan adalah:

1. Kasuismo: muncul di kalangan pemikiran teologi katolik pada abad XVI yang
meletakkan dasar etika pada “perhatian pada kasus khusus dan situasi
kongret”18. Pertanyaan yang digunakan: siapa, apa, mengapa, dimana dan kapan.
Toulmin dan Jonsen adalah pengembang etika kasuista. Menurut L Feito, etika
ini berkembang di daerah anglosaxon19.

2. Teoria mengenai keutamaan (virtues). Etika ini berdasarkan pada nilai-nilai yang
secara habitual diungkapkan dalam tindakan. Prinsip: Dengan berbuat baik
membentuk pribadi yang baik. Etika ini secara modern diangkat lagi oleh
Edmunt Pellegrino dari Universitas Georgetown dan David C Thomasma dari
Universitas Loyola Chicago20.

8
1 T e o r i k a s u i s m o i n i d i k e m u k a k a n o l e h R J O N S E N d a n S . T O U L M I N , T h e A b u s e o f C a s u i s t r y . A H i s t o r y o f
A

M o r a l R e a s o n i n g , B e r k e l e y , 1 9 8 8 ; J C , F L E T C H E R , F G M I L L E R d a n E . M S P E N C E R , A C a s e M e t h o d I n P l a n n i n g f o r

t h e C a r e o f P a t i e n t s d a l a m J C . F L E T C H E r ( e d ) , I n t r o d u c t i o n t o C l i n i c a l E t h i c s , F r e d e r i c k ( M d ) , 1 9 9 5 . R
A

J O N S E N , A l t e r n a t i v e o r C o m p l e m e n t t o P r i n c i p l e s ? D a l a m K e n n e d y n s t i t u t e o f E t h i c s J o u r n a l 5 ( 1 9 9 5 ) 2 3 7 -
I

2 5 1 . J F . K E E N A N , T h e R e t u r n o f C a s u i s t r y , d a l a m T h e o l o g i c a l S t u d i e s 5 7 ( 1 9 9 6 ) 1 2 3 - 1 3 9 .

9
1 L . F E I T O , P a n o r a m a h i s t ó r i c o d e l a B i o é t i c a , d a l a m M o r a l i a 2 0 ( 1 9 9 7 ) 4 7 8 - 4 7 9 .

2 0
E D P E L L E G R I N O d a n D C T H O M A S M A , T h e V i r t u e s i n M e d i c a l P r a c t i c e , O x f o r d , N e w Y o r k , 1 9 9 3 . E . D

P E L L E G R I N O , T o w a r d a V i r t u e - B a s e d N o r m a t i v e E t h i c s f o r H e a l t h P r o f e s s i o n s , d i K e n n e d y n s t i t u t e o f E t h i c s
I

J o u r n a l 5 ( 1 9 9 5 ) 2 5 3 - 2 7 7 ; E D P E L L E G R I N O d a n D C T H O M A S M A , A P h i l o s o p h i c a l B a s i s o f M e d i c a l P r a c t i c e :

T o w a r d a P h i l o s o p h y o f t h e H e a l i n g P r o f e s s i o n , N e w Y o r k , 1 9 8 1 .

5
3. Etika Keperawatan. Etika mempunyai awal referensi ke Kohberg21 yang melihat
etika perawat untuk wanita dan etika keadilan untuk pria. Secara modern, etika
ini dikembangkan oleh Carol Gilligan22, asisten dari Kohlberg dan juga secara
kristis dikembangkan oleh Helga Kuhse23 dalam bidang perawatan medis.

4. Etika Tanggungjawab. Etika ini dikembangkan secara baru oleh seorang


spanyol, D. Garcia24. Etika ini mempunyai 3 karakteristik: mempunyai aturan
normativa, deontologis dan disertai dengan análisis situasi dan konsekuensi.
Darii tu bioetika mempunyai beberapa karaktek: harus menjadi etika sekular
(bukan langsung etika agama), harus menjadi etika plural, harus menjadi etika
yang otonom dan bukan heteronom, harus rasional, mempunyai aspirasi
universal dan yang terakhir harus mempunyai sikap kritis terhadap kenyataan
plurar.

5. Etika utilitarista. Salah satu etika yang dalam bioetika menjadi semakin semarak
dan menjadi vahan kontroversi adalah etika utilitarista dari Peter Singer25, etika
yang didasarkan pada antropologi manusia pada bertumpu pada kesadaran dan
kemampuan untuk membentuk proyek hidup.

Dari sedikit penjelasan di atas, sebetulnya dapat dilihat konteks bioetika, análisis
tren bioetika dan yang perlu yaitu analisis strategi etika. Ini sekedar perkenalan, jika
suatu saat perlu menggarap bioetika lebih dari segi etika berdasarkan konteks
antropologi dan budaya Indonesia yang lebih mendalam dan detail. Mungkin ini adalah
Pekerjaan Rumah bagi mereka yang berkecimpung di dunia biologi, kedokteran dan
moral untuk mempelajari kembali perdebatan etika modern di tingkat dunia dan
membuat semacam proyek bioetika indonesia berdasarkan pada keanekaragaman agama
suku dan budaya serta situasi sosial ekonomi penduduk setempat dan kemudian
merumuskan garis-garis besar etika yang bisa dikuatkan secara umum dalam undang-
undang yang flexible dalam bidang biomedis.

2
1 L . K o h l b e r g , P s i c o l o g i a d e l d e s a r r o l l o m o r a l , B i l b a o , 1 9 9 9 .

2 2
C . G I L L I G A N , I n a d i f f e r e n t V o i c e : P s y c h o l o g i c a l T h e o r y a n d W o m e n ´ s D e v e l o p m e n t , C a m b r i d g e , M a s s ,

1 9 8 2 .

2 3
H - K U H S E , C a r i n g : N u r s e s , W o m e n a n d E t h i c s , O x f o r d , 1 9 9 7 .

2
4 D . G A R C I A , F u n d a m e n t o s d e B i o é t i c a , M a d r i d , 1 9 8 9 ; P r o c e d i m i e n t o s d e d e c i s i ó n e n É t i c a C l í n i c a ,

M a d r i d , 1 9 9 ; F u n d a m e n t o s d e l a É t i c a C l í n i c a , d a l a m L a b o r H o s p i t a l a r i a 2 9 ( 1 9 9 7 ) n o 2 2 4 1 1 9 - 1 2 7 .

2
5 É t i c a p r á c t i c a , r i e l , B a r c e l o n a 1 9 8 4 . L i b e r a c i ó n a n i m a l : u n a n u e v a é t i c a p a r a n u e s t r o t r a t o h a c i a l o s
A

a n i m a l e s , E d i t o r a C u z a m i l , M é x i c o 1 9 8 5 . T r o t t a , M a d r i d 1 9 9 9 ; D e m o c r a c i a y d e s o b e d i e n c i a , r i e l ,
A

B a r c e l o n a 1 9 8 5 , C o m p e n d i o d e É t i c a , l i a n z a , M a d r i d 1 9 9 5 , É t i c a p r á c t i c a ( 2 ª e d ) , C a m b r i d g e U n i v e r s i t y
A

P r e s s , 1 9 9 5 ; É t i c a p a r a v i v i r m e j o r , r i e l , B a r c e l o n a 1 9 9 5 , R e p e n s a r l a v i d a y l a m u e r t e : e l d e r r u m b e d e
A

n u e s t r a é t i c a t r a d i c i o n a l , P a i d ó s , B a r c e l o n a 1 9 9 7 ; E l « P r o y e c t o G r a n S i m i o » , T r o t t a , M a d r i d 1 9 9 8 ; U n a

i z q u i e r d a d a r w i n i a n a , C r í t i c a , B a r c e l o n a 2 0 0 0 ; U n a v i d a é t i c a : e s c r i t o s , T a u r u s , M a d r i d 2 0 0 0 y

D e s a c r a l i z a r l a v i d a h u m a n a , C á t e d r a , M a d r i d 2 0 0 3

6
Analisis Situasi

Situasi Pengembangan Bioetika di lingkup Dunia


Perkembangan bioetika di lingkup dunia sangatlah cepat, luas dan mencakup
banyak tema. Jumlah pusat pengkajian bioetika bekembang di Amerika maupun Eropa
dengan cepat. Pada tahun 1984 saja di Pusat Bioetika Institut Kennedy diregistrasi
sekitar 40.000 judul (10.000 buku dan 30.000 artikel). Bioetika juga muncul dalam
kongres, kursus etika untuk untuk formasi dokter, diskusi-diskusi mengenasi legislasi
sanitaria, penelitian kedokteran dll. Ketertarikan bioetika nampak semakin nyata dalam
pembentukan komisi etika atau bioetika, Komisi etika asesor untuk Dewan Kongres dan
beberapa komite etika untuk rumah sakit.

Beberapa Pusat pengkajian bioetika: Universitas Goergetown (1971), Hasting


Center, Pusat Bioetika di Montreal (1976), Pusat Bioetika di Barcelona San Curgat del
Vallés, Universitas Pontificial Comillas Madrid, Universitas Katolik di Lovaina
(Belgia), dan beberapa Universitas seperti Düsseldorf (Jerman), Sacro Coure Roma
(Italia), Maastrich (Belanda), Institut Katolik Lille (Perancis) yang mengajakan mata
kuliah etika kesehatan-kedokteran. Tahun sekarang, jumlah universitas dan pengkajian
bioetika semakin bertambah dengan cepat.

Beberapa publikasi tentang bioetika juga melimpah dengan cepat sekitar tahun
80-90 an. Dapat disebut beberapa: Anime e Corpi (Italia), Artz un Christ (Jerman,
Austria dan Swis), Cahiers de bioéthique (Canada), Catholic Medical Quarterly
(Inggris), Ethics in Science and Medicine, Hasting Center Report (USA), Journal of
Medical Ethics (London), Journal of Religion and Health, Labor Hospitalaria
(Barcelona), Laennec, Linacre Quartely, Man and Medicine, Médicine de l´Homme,
Medicina e morale, Res medicae, saint Luc medical-Saint-Lucas Tijdchrift dll.

Dalam tingkat internasional, juga dibentuk Komite Bioetika Internasional tahun


1993 oleh 36 tokoh dan mulai tahun 1998 bekerjasama dengan UNESCO. Komisi ini
bekerjasama dengan UNESCO untuk mengembangkan etika dalam kesehatan dan
penelitian medis. Tahun 1997, PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Mengenai Gen
Manusia dan HAM (11 november 1997) yang di satu sisi menjaga martabat dan
kebebasan manusia, tetapi di lain sisi memberikan ruang gerak bagi penelitian gen
manusia. Sebelumnya ada Deklarasi mengenai prinsip-prinsip mengenai praktek
investigasi genetika (disah oleh Komisi HUGO di Heidelberg, 21 maret 1996). Pada 16
Oktober 2003 juga dikeluarkan Deklarasi Universal Mengenai Data Genetik Manusia.
Dan pada 19 oktober 2005 dikeluarkan Deklarasi Universal Mengenai Bioetika dan
HAM. Dibeberapa negara uni-eropa dan Amerika semakin berkutat dengan legalisasi
menenegai aborsi, eutanasia, kloning, prokreasi antifisial, penelitian dengan embrion
dsb. Dan setiap negara berbeda dalam penanganan etika walaupun tetap memegang
prinsip-prinsip etika yang sama.

Situasi Pengembangan Bioetika di lingkup Asean


7
Ditingkat ASEAN juga terdapat beberapa pertemuan tingkat asean, kongres dan
diskusi. Salah satu universitas yang cukup berkecimpung dalam pembahasan bioetika
adalah Chulalongkorn University, Thailand, Universitas Nasional Vietnam, Universitas
Filipina yang dalam proyek Asean-EU Lemlife. Kajian bioetika di tingkat banyak
diwarnai oleh pedebatan dan diskusi mengenai pendasaran etika sekular dan agama atas
praktek bioetika. Di tingkat Asia dikenal juga Asosiasi Bioetika Asian (ABA) yang
berpusat di Thailand, sudah melaksanakan 8 kali konferensi, dan konferensi yang
kesembilan nantinya akan diadakan di Yogyakarta pada 3-7 november 2008. Bahan-
bahan konferensi ini dapat dilihat secara lebih jelas dalam websitenya.

Situasi Pengembangan Bioetika di Indonesia


Bioetika di Indonesia belumlah banyak dikenal secara di kalangan akadamis sebagai
sebuah disiplin ilmu26. Seminar pertama bioetika terjadi di Universitas Atmajaya pada
tahun 1988 dalam kerjasama dengan beberapa ahli bioetika di Nederland, Begia dan
USA. Pada tahun 2000, diadakan seminar nasional pertama yang dikelola oleh
Koneferensi Nasional Kerjasama Bioetika dan Humanidades di Universitas Gadjah
Mada, dan dilanjutkan dengan konferensi ke II tahun 2002 dan ketiga tahun 2004. Pada
tahun 2003, juga diadakan beberapa seminar tentang bioetika dengan beberapa tema
aktual: Seminar tentang Genetic Engineering from Islamic Persepctive di Pusat
Penelitian Bioetika, Universitas Muhamadiyah, Malang, Seminar mengenai Stem Cells
di Sekolah Kedokteran Universitas Indonesia, Seminar mengenai Cloning dan
Kesehatan Sosial di Universitas Indonesia, Pernyataan Posisi Indonesia atas Konvensi
Ban mengenai Cloning Manusia oleh Kementrian Luar Negeri pada tanggal 4-5
September 2003, dan Seminar mengenai prospek bioetika nasional oleh kementrian
Riset dan Teknologi.

Selain itu, tidak dilupakan juga kerjasama Kementrian Riset dan Teknologi,
yang diwakili oleh LIPI, mengadakan kegiatan-kegiatan dalam kerangka pelaksanaan
Deklarasi Universal tentang gen manusia dan HAM. Kementerian Kesehatan dan WHO
juga telah mengadakan kerjasama mengenai Riset Komisi Etik di Indonesia dan dari
kerjasama itu telah dibentuk 26 sub komite bioetika di 11 propinsi dan pada 29 oktober
2002 dibentuk Komisi Etika Penelitian Kesehatan Nasional. Dan pada 12 oktober 2004
dibentukkan Komisi Bioetika Nasional Indonesia yang merupakan buah kerjasama dari
tiga kementrian: Kementrian Riset dan Teknologi, Kementrian Kesehatan dan
Kementrian Pertanian dengan misi dan fungsinya.

2 6
n f o r m a s i i n i d i a m b i l d a r i p r e s e n t a s i s r o i l S a m i h a r d j o d a r i D e p a r t e m e n P e r t a h a n a n d a l a m p e r t e m u a n
I I

n e g a r a - n e g a r a p e n a n d a t a n g a n k o n v e n s i p e l a r a n g a n s e n j a t a b i o l o g i s d i G e n e v a 5 - 9 d e s e m b e r 2 0 0 5 .

8
Analisis Trend
Situasi bioetika pada masa kini sangatlah beragam, tergantung pada tingkat
perkembangan bioeteknologi dan praktek-praktek perawatan kesehatan di berbagai
negara. Secara umum kita dapat melihat gejolak-gejolak perdebatan itu berdasarkan
diskusi hangat yang terjadi di beberapa sekitar tema: konsep awal hidup manusia,
intervensi selama kehamilan, tekno-reproduksi (inseminisasi buatan dan FIV (bayi
tambung), penyimpanan gamet dan embrión, investigasi dengan embrio, kloning,
eutanasia dll. Pada kesempatan ini hanya akan diberikan beberapa garis besar
perkembangan trend bioetika masa kini berdasarkan tema.

Analisis trend bioetika di tingkat dunia

Etika mengenai inseminasi artifisial dan FIV atas pengembangan teknologi mengatasi
sterilitas dan infertilitas.
Masalah sterilitiras dan infertilitas di kalangan pasangan subur dan minimnya
angka kelahiran semakin di Eropa Barat dan USA semakin menjadi pusat perhatian
banyak kalangan medis untuk meningkatkan teknologi yang inseminasi antifisial dan
FIV (Fecundation in Vitro). Dari penelitian tahun 1999, angka sterilitas dan infertilitas
mencapai 10% dari jumlah pasangan. Dari 10% itu, 40% dialami oleh pria dan 40%
dilamai oleh wanita, dan 20% disebabkan oleh alasan yang sampai sekarang tidak
dikentahui27. Tuntutan pasangan muda untuk mengadopsi anak dari Cina ataupun Eropa
Timur semakin menurun, diganti dengan usaha untuk mendapatkan anak dengan
teknologi. Mengatasi persoalan sterilitas, dapat diusahakan dengan Inseminasi Buatan
sementara untuk sterilitas dan infertilitas dapat diusahakan dengan FIV.

Inseminasi menggunakan teknik yang sangat muda yaitu memasukkan sperma,


yang diusahakan melalui masturbasi, ke leher rahim menuju saluran falopi untuk
mendapatkan pembuahan. Inseminasi artificial dapat dibagi menjadi dua bagian:
inseminasi dari gamet pasangan atau dari donante. Keberhasilan inseminasi cukup
tinggi sekitar 60 % dari pasangan sendiri dan 79% dari pasangan lain. Sebelum
menjalani proses dan selama dalam proses, pasangan mendapat bimbingan psikologi
dan perlindungan hukum atas pilihan gamet dan kerahasiaan identitas donatur.
Persoalan etika yang muncul adalah: masturbasi untuk mendapatkan semen, interfensi
medis atas intimitas fekundasi, gamet dari luar pasangan, permintaan untuk janda dan
wanita single. Secara etika, terjadi penerimaan luas atas inseminasi dari pasangan.
Secara hukum, inseminasi baik dari pasangan ataupun pasangan diterima, dan secara
khusus wanita (berpasangan atau tidak) mendapat perlindungan untuk melakukan
inseminasi.

2
7 . L A S S , I n v e s t i g a t i o n o f t h e i n f e r t i l e c o u p l e f o r a s s i t e d c o n c e p t i o n , d i P R . B R I N D S E N , A t e x t b o o k o f I n
A

V i t r o F e r t i l i z a t i o n a n d A s s i s t e d R e p r o d u c t i o n , N e w Y o r k , 1 9 9 9 . J . G A F O , ¿ H A C I A U N M U N D O F E L I Z ? P R O L E M A S
B

É T I C O S D E L A S N U E V A S T É C N I C A S R E P R O D U C T O R A S H U M A N A S , M a d r i d , 1 9 8 7 ; N u e v a s T é c m o c a s d e R e p r o d u c c i ó n

H u m a n a , M a d r i d , 1 9 8 6 .

9
Fecundation in Vitro (VIP) yang dikenal di Indonesia sebagai bayi tabung
merupakan sarana untuk mengatasi infertilitas. Pembuahan terjadi di luar lahir, dalam
sebuah tabung percobaan laboratorium. Proses FIV lebih rumit dari Inseminasi Buatan,
karena wanita harus menjalani tiga proses: perawatan hormonal, pengambilan ovum,
fekundasi, dan pemindahan embrio ke rahim. FIV dibagi menjadi 2 bagian dari donatur
atau dari pasangan baik gamet maupun embrionnya. Keberhasilan FIV mencapai 20-
25%. Persoalan etika FIV adalah: pembuahan di luar rahim atas intervensi manusia,
asal usul gamet dan embrión, apa yang akan dilakukan embrión sisa (karena biasanya
diambil 3 embrion). Secara hukum, FIV diterima dengan syarat memasukkan 3 embrion
dan pembekuan embrión.

Kasus-kasus yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan adalah sampai


kapan embrión itu bisa disimpan, dibuang atau dipakai untuk investigasi. Kasus
selanjutnya adalah munculnya ibu sewaan, pembuatan “embrio” (clonatos) dari kloning:
clonatos itu embrión atau bukan?

Biotecnologia genetika28

Penelitian genetika muncul ke permukaan pada abad XX 1866 oleh H de Vires,


C Correns dan E. Tschermak berdasarkan penemuan Hukum Mendel. Penelitian
embrión dan teknologi gen mencapai kemajuan yang pesat sehingga dari embrio dan
struktur genpun dapat dideteksi kemungkinan karakter dan penyakit-penyakit yang bisa
muncul. Secara hukum, penelitian dengan embrio hanya bisa dilakukan kepada embrio
yang cacat dengan maksud penyempurnaan sifat dan embrio yang tidak baik yang
diperkiraan akan mati. Manipulasi gen ini lebih berdasarkan pada alasan kesehatan
embrión sehingga penting untuk menjaga-menyimpan sel induk dari tali pusat dan
ketuban yang pada suatu saat bisa digunakan untuk membentuk jaringan sel yang rusak
ketika dalam perkembangan individu ini mengalami penyakit.

Secara etika, bioteknologi merupakan sarana yang bisa digunakan untuk


penyembuhan dan bukan untuk penelitian dalam dirinya sendiri. Persoalan etis dasar
adalah apakah diperbolehkan mengadakan penelitian embrio setelah embrio mencapai
usia 14 hari. Sampai sekarang hukumpun menginjinkan penelitian embrio yang kurang
dari 14 hari dengan tujuan terapis. Persoalan lain yang muncul adalah apakah akan
kehamilan akan dilanjutkan jika embrión diketahui mempunyai penyakit dan kelainan
otak, cacat fisik dan mental bawaan yang jika dipaksanakan bayi yang akan lahir hanya

2 8
V V , I n g e n e r i a g e n é t i c a a l s e r v i c i o d e l a p e r s o n a , d l m L a b o r H o s p i t a l a r i a 2 1 ( 1 9 8 9 ) n o 2 1 4 ; V V , E l
A A A A

P r o y e c t o G e n o m a H u m a n o , V a l e n c i a , 1 9 9 0 ; V V d l m S I N G E R , K U H S E , B U C K L E , D A W S O N D A N K A S I M A , ( e d . ) ,
A A B

E m b r i o e x p e r i m e n t a t i o n . E t h i c a l , l e g a l a n d s o c i a l i s s u e s , C a m b r i d g e , N e w Y o r k , 1 9 9 0 . ; D . G R A C I A ,

P r o b l e m a s f i l o s i f i c a s d e l a I n g e n e r i a G e n e t i c a d a l a m V V , M a n i p u l a c i o n G e n e t i c a y M o r a l C r i s t i a n a ,
A A

M a d r i d , 1 9 9 2 , 7 3 - 9 8 ; R J O N S E N , S p l i c i n g l i f e : G e n e t i c s a n d E t h i c s , d l m , T h e B i r t h o f B i o e t h i c s , O n x f o r d ,
A

N e w Y o r k , 1 9 9 9 ; P R E S I D E N T ´ S C O M M I S S I O N F O R T H E S T U D Y O F E T H I C A L P R O L E M S O N M E D I C I N E A N D B I O M E D I C A L A N D
B

B E H A V I O R A L R E S E A R C H , S p l i c i n g L i f e : T h e S o c i a l a n d E t h i c a l I s s u e s o g G e n e t i c E n g i n e e r i n g w i t h H u m a n

B e i n g s , W a s h i n g t i o n D C , 1 9 8 2 , d l l .

1 0
akan bertahan beberapa minggu atau cacat seumur hidup. Apakah tidak baik jika
diadakan aborsi sebelum 14 hari (Eugenica)?

Eutanasia29

Persoalan eutanasia adalah persoalan yang sudah ada sejak pada masa yunani.
Eutanasia dipahami sebagai tindakan medis kepada pasien terminal untuk mengurangi
rasa sakit dan mengakhiri hidup sesuai permintaan pasien. Eutanasia dibedakan dengan
distanasia (usaha medis untuk memperlama kematian), cacotanasia (usaha medis untuk
mengakhiri hidup pasien di luar kehendaknya) dan ortotasia (pengurangan sakit dan
penghentian terapi yang tidak memungkinkan atas permintaan pasien atau pertimbangan
keluarga jika pasien dalam keadaan tidak sadar) dan juga istilah lain yang muncul
adalah assited suicide.

Masalah dasar eutanasia adalah pemahaman antropologi dan sosial budaya


mengenai kematian. Secara umum diterima bahwa kematian dan mati bukanlah kasus
alamiah melainkan merupakan sebuah expresi kebudayaan. Pertanyaannya adalah apa
yang dipahami orang yang berada dalam kontek hidup tertentu tentang meninggal
secara manusiawi.

Secara etika, diterima secara umum, bahwa ortotanasia. Persoalan etika yang
sampai sekarang masih diperdebatkan adalah permintaan eutanasia dari pasien yang
mengalami kelumpuhan permanen dengan kesadaran penuh, orang-orang tua yang
meminta eutanasia, anak-anak bayi yang mengalami cacat dan penyakit terminal atau
pasien yang berada dalam keadaan koma (vegetatif). Permasalahan yang tidak kurang
perdebatan adalah perlu dan tidaknya UU eutanasia dan legal atau tidaknya eutanasia.

Autonomi pasien dalam bidang Kesehatan


Trend yang terjadi setelah perang dunia dan berkat Hukum Nuremberg 1946 yang
memberi tekanan kuat pada pertimbangan otonom pasien sebagai hal yang sangat
mendasar dalam perawatan kesehatan. Untuk sampai pada tataran ini, memang
dibutuhkan relasi yang sehat dan dewasa secara psikologis antara pasien dan dokter.
Pasien adalah mereka yang berhak tahu tentang situasi dan kondisi sakit dan apa yang
perlu diputuskan berkaitan dengan kesehatan dan sakit yang mereka derita. Persoalan
mendasar dari pertimbangan otonom pasien adalah rasa tabu dan perasaan untuk tidak
menyakiti pasien. Diperkirakan dengan demikian kegagalan operasi dan kematian
pasien diharapkan sebagai kematian yang tidak menakutkan bagi diri pasien. Kode
Nuremberg merupakan hal yang semakin diterima secara internasional, baik dalam
menjalani operasi, menerima efek samping obat-obatan dan kehendak untuk melakukan

2 9
J . G A F O , L a e u t a n a s i a . E l d e r e c h o a l a m u e r t e h u m a n a , M a d r i d , 1 9 8 9 ; R H A M E L ( e d . ) , A c t i v e E u t h a n a s i a ,

R e l i g i o n a n d t h e P u b l i c D e b a t e , C h i c a g o , 1 9 9 1 ; M J H E N K T E N H A V E D A N J M V W E L I E , E U T H A N A S I E : N o r m a l
A

M e d i c a l P r a c t i c e ? D l m H a s t i n g s C e n t e r R e p o r t 2 2 n o 2 , ( 1 9 9 2 ) 3 4 - 3 8 . M M D E W A C H T E R , E u t h a n a s i a i n
A

t h e N e t h e r l a n d s , d l m H a s t i n g s C e n t e r R e p o r t n o 2 ( 1 9 9 2 ) , 2 3 - 3 0 d l l .

1 1
perawatan kesehatan atau tidak bahkan sampai keputusan untuk membuat testimonio
vital dalam kasus eutanasia.

Secara etika, otonomi pasien merupakan hal yang paling mendasar. Pasien
mempunyai hak atas informasi kesehatan dan perawatan yang dijalaninya. Dan berhak
untuk meneruskan perawatan atau menghentikan perawatan. Etika juga memikirkan
perlindungan pasien terhadap perlakuan medis yang tidak proporsional dan
pendampingan psikologis pasien untuk menerima sakit dan kematian sebagai suatu
kenyataan manusiawi.

Persoalan lain adalah berkaitan dengan jaminan kesehatan masyarakat.


Pertanyaaan dasar bagi negara-negara berkembangan adalah apakah ada jaminan
kesehatan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai akses yang cukup untuk
menerima perawatan medis dasar. Faktor socio ekonomi merupakan batas bagi sebuah
perawatan kesehatan.

Analisis Trend Bioetika di Indonesia


Trend di Indonesia dalam bioetika dalam dibagi menjadi 2 bagian: bagian
pertama berkaitan dengan jenis tema bioetika yang berkembang di Indonesia dan kedua,
berkaitan dengan perkembangan teknobiologi. Dalam hal ini penyaji hanya bisa
memberikan garis besar saja, mengingat kurangnya informasi berkaitan dengan kiprah
lapangan Komisi Bioetika Nasional dan Kementrian Kesehatan konteks Indonesia.

Tema bioetika
Salah satu persoalan yang mendasar dialami oleh masyarakat Indonesia
berkaitan dengan bioetika adalah isu mal praktek dokter, produksi dan pengedaran obat-
obat daftar G secara umum di masyarakat dengan efek samping dan etika medis
berkaitan dengan aborsi.

Relasi antara pasien dan dokter yang terjadi di Indonesia semakin lama semakin
positif, artinya dokter memberikan informasi berkaitan dengan sakit dan apa yang harus
dilakukan pasien untuk mendapatkan kembali kesehatannya. Tidak jarang muncul
ketidakpuasan di kalangan pasien atas perlakuan dokter dan rekomendasi obat-obat
yang harus digunakan oleh pasien. Tidak jarang pula muncul beberapa kasus dimana
pasien berkorban banyak secara ekonomi dan meninggal karena salah diagnosa atau
salah obat30. Beberapa rumah sakit membuat kebijaksanaan berkaitan dengan
penggunaan obat-obatan dan revisi perawatan kesehatan yang mau dirangkum dalam

3 0
C o n t o h k a s u s y a n g d i m u a t d i t e m p o n t e r a k t i f a t a s k a s u s 3 r u m a h s a k i t d i n d o n e s i a : R u m a h S a k i t
I I

U m u m P u s a t C i p t o M a n g u n k u s u m o ( R S C M ) , R u m a h S a k i t P e l n i P e t a m b u r a n d a n R u m a h S a k i t P a l a n g

M e r a h n d o n e s i a ( P M ) B o g o r h t t p : / / w w w . t e m p o i n t e r a k t i f . c o m / h g / j a k a r t a / 2 0 0 4 / 0 9 / 1 7 / b r k , 2 0 0 4 0 9 1 7 -
I I

1 3 , i d . h t m l

1 2
Rencana Undang Undang Praktek Kedokteran31 yang kemudian disahkan menjadi UU
29/2004. Pendampingan psikologis pasien juga menjadi pertimbangan khusus di rumah
sakit di Indonesia.

Masalah yang sampai sekarang masih cukup gelap adalah peredaran secara
umum obat-obatan daftar G dan obat-obat palsu dan beresiko di kalangan masyarakat.
Kementrian kesehatan dalam hal ini BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)
dengan rutin mengadakan revisi dan penarikan obat-obat tersebut sebagai konsumsi
masyarakat. Tantangan yang dihadapi oleh Kementrian Kesehatan adalah semaraknya
pengobatan tradicional dan alternatif yang di sisi medis tidak mempunyai jaminan yang
pasti. Sampai sekarang sudah ada langkah-langkah konkret berkaitan dengan labelisasi
dan garansi dari Dinas Kesehatan.

Tema bieotika yang masih menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat adalah


tema aborsi. Dari informasi tahun 2000 diketahui bahwa di Indonesia terjadi lebih dari 2
juta aborsi pertahun. Itu masih belum dihitung aborsi yang tidak diregistrasi.
Perundangan Aborsi yang sampai sekarang masih berlaku: Undang-Undang RI No. 1
Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) - dengan alasan
apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum, Undang-Undang RI No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan - dalam kondisi
tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Banyak alasan untuk merevisi
kembali undang-undang mengenai aborsi mengingat bahwa KUHP ini dibuat
berdasarkan konteks tradicional dan belum mengakomodasi pertimbangan etika dan
kesehatan pada masa kini.

Pengembangan teknologi biologi


Pengembangan teknologibiologi di Indonesia berkisar pada tanaman dan
perawatan kesehatan, penemuan terapi dan obat-obat baru untuk menangkal penyangkit
terutama yang berasal dari daerah tropis. Mungkin keterbatasan sarana dan teknologi di
Indonesia membatasi penelitian kepada manusia.

Persoalan kependudukan membuat tema seperti inseminasi buatan dan FIV


menjadi tidak ada artinya. Sebalinya, peran penting bagaimana mengatur kehamilan dan
angka kelahiran anak secara medis dan etika bertanggungjawab. Dalam hal ini, terbuka
kerjasama yang luas antara BKKBN dan KBN untuk kembali memikirkan etika
mengenai metode pengaturan kelahiran (kesehatan reproduksi): pemahaman yang benar
mengenai sarana dan metode pengaturan kelahiran, kontraseptif atau abortif, sterilisasi,
keuntungan dan efek samping.

3
1 d a p o l e m i k a n t a r a D D P R d a n L B H d a n d i k a l a n g a n f a k u l t a s d a l a m s o a l R a n c a n g a n U n d a n g - U n d a n g
A I I

P r a k t i k K e d o k t e r a n p a d a t a h u n 2 0 0 4 b e k a i t a n d e n g a n t e m a K o n s i l ( K o m i t e ) K e d o k t e r a n n d o n e s i a ( K K )
I I

d a n P e r a d i l a n D i s i p l i n P r o f e s i T e n a g a M e d i s ( P D P T M )

.
1 3
Penelitian dan investigasi genetika sampai sekarang masih dilakukan terhadap
tumbuh-tumbuhan tanaman produksi dan peternakan, belum dilakukan kepada manusia
baik untuk kepentingan kesehatan maupun kepentingan hukum.

Strategi Transformasi
Ada beberapa stategi transformatif yang bisa dipikirkan dan direcanakan untuk
masa depan Indonesia. Secara lebih bertanggungjawab, aspek-aspek strategis ini masih
harus digodok lagi secara cermat dan berdasarkan

1. Menempatkan dasar bioetika pada etika sekular dalam cakrawala dialog antar
etika agama. Sudah saatnya melihat hidup dan kematian sebagai hal yang tabu
dan teknologi sebagai ancaman hidup manusia. Dialog antara etika sekular dan
etika agama di Indonesia hendaknya semakin berkembang dan terbuka terhadap
argumentasi dan bebas dari pemikiran sempit dan a priori dan berdasarkan
kekuasaan. Untuk itu, studi mengenai bieotika secara internasional, partisipasi
aktif dalam studi banding yang serius dan pemikiran yang terbuka terhadap
kemanusiaan merupakan pintu gerbang bagi perkembangan bieotika di
Indonesia. Dalam pertemuan-pertemuan bioetika di tingkat Asean dapat
ditemukan beberapa dialog-paper yang berbicara mengenai pemikiran kembali
etika Islam, Hindu, Katolik, Kristen dan Budha menganai bioetika. Ini
merupakan langkah awal yang mungkin bisa terjadi dilingkup Indonesia.

2. Peningkatan Studi dan kerjasama studi antar Universitas di Indonesia dengan


beberapa Pusat Penelitian Bioetika dan Bioteknologia di beberapa negara, baik
dalam lingkup Asean maupun dunia dijembatani oleh KBN dan Kementrian
Kesehatan untuk melihat dan berpartisipasi secara aktif dalam awal, proses dan
final dari penelitian-penelitian bioteknologi dan kesehatan masyarakat. Studi ini
tentunya dilanjutkan dengan pemberian informasi masyarakat yang proporsional
mengenai bioetika dan bioteknologia baik melalui media masa maupun melalui
buletin penelitian ilmiah, dan diskusi-diskusi teknobioteika dan permasalahan
etika hukum perawatan kesehatan.

3. Begerakknya Komite Medis Nasional yang bertaraf nasional yang memfasilitasi


pertemuan-pertemuan tahunan untuk membahas persoalan-persoanaln biomedis,
perawatan kesehatan dan etika medis. Dan sebagai langkah lanjut adalah
pembentukan Komisi Asistensi Kesehatan di rumah sakit sebagai control
penelitian dan perawatan kesehatan serta pengambilan keputusan dalam kasus-
kasus kesehatan yang terjadi di rumah sakit yang bersangkutan. Salah satu
terobosan adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKAI) yang menjadi proyek menteri
kesehatan tahun 2004.

1 4
4. Pembaharuan Perundang undangan dalam cakrawala etika baru.

Ada banyak contoh undang-undang yang dapat dijadikan studi perbandingan


aspek yuridis dari bioetika. Dalam hal ini harus dibedakan dengan jelas antara status
etika dan yuridis. Aspek yuridis tidak akan pernah bisa mengatur etika melainkan justru
sebaliknya pertimbangan etika menetukkan beberapa aspek yuridis walaupun tidak
identik dan secara langsung. Beberapa tema bioetika yang perlu mendapat perhatian
hukum yaitu:
-

Jaminan hukum hak masyarakat atas pelayanan kesehatan dari Negara yang
merupakan realisasi dari beberapa pasal Undang-Undang Kesehatan, UU
23/1992 dalam Bab III dan IV dan UU 29/2004.
-

Undang-undang perlindungan pasien dan pidana terhadap kesalahan praktek


perawatan kesehatan sebagaimana digariskan secara umum dalam UU
23/1992 bab IX dan X dan UU 29/2004.
-

Revisi undang-undang mengenai aborsi: baik KHUP maupun UU dalam


konteks kehidupan yang baru.
-

Memikirkan beberapa aturan praktis berkaitan dengan kasus-kasus


kedokteran dan jaminan hukum pelaksanaannya. Dalam hal ini adalah sangat
baik memikirkan kembali peran dan fungsi tim medis dan etika yang
tergabung dalam Komite Etika Rumah Sakit untuk menata prinsip prinsip
tindakan medis, otonomi pasien dan tanggungjawab medis dengan
memperhitungkan kemampuan dan kondisi pasien serta dokter yang
bersangkutan. Ide ini digagas dalam pertemuan bioetika nasional yang ke III
di FKUI 2004 dan diterbitkan dalam sebuah buku Bioetika dan Humaniora
Kesehatan.

Demikian sumbang pikiran yang saya dapat berikan dalam pertemuan ini.
Semoga bermanfaat dan menjadi awal bagi kita semua untuk aktif berkiprah dalam
pembangunan etika dan teknobiologi bagi pelayanan kesehatan masyarakat. Bagi rekan-
rekan yang mempunyai informasi, dimohon dilengkapi análisis situasi, trend dan
strategi dalam konteks Indonesia.

Aristanto: Mahasiwa UPCM

aristanto@gmail.com

1 5
Organizing Media to Accommodate Classroom Management at an Intercultural and
religious Learning Setting.
From Philosophy through Policy to Practice.

By: Muchammadun Abdullah Chafidh


Abstract

Primary education aims at building sustained foundations for learners to know


procedures of answering an inquiry. This is done by encouraging them to apply thinking
skills, refer to references, make decisions, and express their ideas in the process of
teaching and learning.On the other hand, each individual is unique. Therefore, learners
can not be treated in the same way. In a more complex situation like a multicultural and
religious setting of learning, the learners’ needs are even more varied. To reach the aim, it
raises a problem of organizing media of teaching and learning to accommodate good
classroom management practice.

Teachers must have been able to play and share roles when carrying out their
instructional activities. To do so, dynamics of professionalism is the key. A set of
strategies including internationalism philosophy, the policy and its techniques will be
discussed. At operational level, some recommendations like professional development for
teachers, a need of close cooperation among school stakeholders are put forward.

Keywords: Internationalism philosophy, methods, techniques, classroom


management, learners’ diverse needs, demand driven.
Background

Primary education aims at building sustained foundations for learners to know


procedures of answering an inquiry. This is done by encouraging them to apply thinking
skills, refer to references, make decisions, and express their ideas in the process of
teaching and learning.On the other hand, each individual is unique. Therefore, learners
can not be treated in the same way. In a more complex situation like a multicultural and
religious setting of learning, the learners’ needs are even more varied. To reach the aim, it
raises a problem of organizing media of teaching and learning to accommodate good
classroom management practice.
This paper tries to unravel the philosopy of ideal primary education and its challenges to
be practised in diverse circumstances of primary schools throughout Indonesia.

A need of internationalism

Learning is continuous. Human depends on lifelong learning to adjust with


changing circumstances. Therefore, the essence of education for young learners, in this
case, primary education students, are meant to encourage them to enjoy the process of
learning. Apart from uniqueness of each region where schools are located, there must be
some standard of primary education, where ISCP-International School Curriculum
Project, refers it as internationalism-as it passes across borders. From ISCP point of view,
it is a belief, regardless of schools’ location, size, or constitution, strives towards
developing a well-balanced person-somebody who can cope with the importance of
pgysical and mental balance and personal well being. The outcomes of internationalism
are as follows.

Students expected Learning Outcomes Development


to be of
P A
Inquirers Students are nurtured to follow their curiousity. √
They are prepared with necessary skills to answer
an inquiry in an enjoyful learning expected to be
sustained throughout their lives.
Thinkers Students are triggered to apply thinking skills √
critically and creatively to make logical decisions
and problem solving.
Communicators Students have adequate exercise to express ideas √
confidently in more than one language.
Knowledgeable Students spend time to acquire a critical mass of √
significant knowledge.
Caring Students develop sensitivity towards needs and √
feeling of others and have a personal commitment
to act and serve.
Open Minded Students respect other individuals’ views, values, √
and traditions and are accustomed to seeking and
considering a range of point of view
Reflective Students give thoughtful consdieration to their √
own learning and analyse their personal strength
and weaknesses in a constructive manner.
Source: modified from ISCP volume two.
Note: P refers to psychological and mental development, whilst A refers to academical
develoment.

It is, therefore, clear that curriculum should not bound teacher’s creativity out to
make those outcome achievements successful. Even better, teachers are free to modify
the prescribed curriculum and not to depend on one curriculum.

The how to Philosophy

Of course, it is merely unfair to set up the above learners’ outcomes without


equipping the learners’ with a triggering learning atmosphere. Ideal Learning is to
construct meaning. And to construct meaning, modelling is a necessity for young
learners.

Therefore, these factors need considering.

The school atmosphere An extent, to which the school offers a safe,


secure, and stimulating environment to its
learners, accommodates the represented cultures.
The adults and learners An extent, to which the school can actively
model the learning outmcomes advocated and
take advantages of the diversity within the
student body.
The curriculum An extent, to which the school can develop
essential skills for students to conduct
research,communiate effectively, function inn
different social contexts, think critically and
creatively, and manage their own health and life.

In summary, the approach applied at school really determines the school,


atmosphere, culture and operation. It is therefore needed to adopt philospgy which look
everywhere reflecting the presence of sensitivity to the special nature of learning.
Method: The Policy level

A number of teachers at public school sometimes complained about handling too


many students in a class, but their colleagues at international/ national plus schools are
also challenged with multiple level classes and more varied background of cultures and
learning needs, regarless of less number of students they handle in the class unit.
Therefore, the above philosophy is just needed to be jotted down into a method which
suits the class circumstance. One way introduced to enable the philosophy is student
centered learning.

At student centered learning, students’ autonomy is the key. However, as teachers


believe in the philosophy of modelling, those who deal with young learners are in a
necessity of preparing more concrete planning and make sure learners get clear
visualization and instruction. The main objective is to get learners take some significant
responsibility for their own learning over and abive responding to responsibility.

Seen from pedagogical perspective, learners’ learning autonomy is also


suggested. Candy (1988) states that learners demonstrably learn more, and more
effectively, when they are consulted about dimensions such as pace, sequence, mode of
instruction, and even the content of what they are studying.

A very practical argument for promoting it is that a teacher is not always available
to assist. Learners will become more efficient to their learning if they do not spend time
eaiting for their teacher to solve their problems or to provide information and resources.
Further, this practice is also important to prepare learners to rapidly changing
circumstances. Knowles (1975) has pointed out that autonomy in learning will be vital for
effective functioning in a society. Classes are micro society-sort of laboratories, where
learners learn life skills to function at societies. Knowles adds that helping learners
become more autonomous in their learning is a way of maximizing their life choices.
How it is fostered?

Then we talk about techniques. Once student centered learning and learning
autonomy have been a shared belief, the next question is how they are fostered into
practise. Some teachers claim to believe them, yet they still regularly subvert the learning
by excluding the learners from contributing to decisions of planning, pacing, and
evaluating classroom tasks.

Here are some components of how theories are put into practices. These
illustrations are taken from what happens in instructional management of classes at
Sekolah Nusa Alam, Lombok, West Nusa Tenggara, one of founding school of ANPS1,
and the first private school in Lombok getting “A” accreditation from the accreditation
body of National Education Department of Republic Indonesia.

1. Learners/ Teachers dialogue:


As the planning has been settled by teachers before the school days commence,
the plan is discussed with learners to accommodate their interest. Input may be
put forward and noticed. This dialogue aims at establishing personal relationship
among teachers and learners, setting and clarifying learing objectives.
2. Inquiry based.
Learning delivered in an integrated way. All subjects are interlinked one another.
When learners study Sicence for instance, it has a link with texts studied at
Indonesian Studies. There are some key themes enabling students to explore them
in an in-depth way rather than learning so many themes of learning at the surface
level.
3. Classroom tasks and materials.
This technique involves the design of tasks to make learners engaged and know
what to do when teachers are busy. The tasks are designed to replicate those
which learners confront in real world situation. The teaching of Mathematics is
always connected to practical Maths, for instance. Students are encouraged to
bring relevant materials from home and share with other learners. There are
sometime set up for sharing where students can express their ideas and others can
respond and criticize what the presenter presents.
4. Students’ and teachers’ record.
These add elements of monitoring to the process of teaching and learning.
Students can use some tools like rubrics, benchmarks and port folio to assess
themselves and to carry out peer assessment. Port folio encourages learners to
develop their ability to judge their perfomance, and help them monitor their
competence. In line with them, teacher can use observation, ethnographic diaries,
teaching logs and cummulative records to monitor students’ progress.

1
ANPS stands for The Association of Indonesian National Plus School. It is established to accommodate
the need of adopting international education for learners. ANPS has been established since 2000 in Jakarta.
5. Self access centre.
The suggestopedia2 is the underlying this technique. The learning centre provides
a selection of self study materials as well as displays of relevant sources. Learners
are encouraged to discuss ways of using the centre with the class teacher to get
accostumed to doing things independently and to ensure coherence in class
dialogue. The centre provides for learners who have identified needs which they
wish to address at an atmosphere they feel most comfortable.3

Conclusion

Learning setting is dynamic. To cope with it-as other professionals do, teachers
need to progressively develop. Learning philosophy, methods of carrying out the teaching
process, and techniques of teaching and learning delivery are issues that need
concerns.Therefore, all teachers should have been entitled reguler professional
development where they can share their expertise, experiences, and even problems of
tackling their tasks. The promotion of student centered learning where teacher asks
learners to search, write, present, criticize, and celebrate requires teachers’ expertise, and
sharing expertises is one professional developent activity.

Along with the learners’ demand driven, it is necessary to facilitate them with need
analysis learning programme adjusted with learners’ need. Prior preparation and centres
of learning is a necessity to enable students to be independent.

Bibliography:

Candy, P. 1988. “On the attainment of subject matter autonomy” in D. Boud, D. (ed.)
1988. Developing Student Autonomy in Learning (2nd edition). New York: Kogan Page

1996. Making it Happen in the Classroom: Inquiry Based Curriculum for Students aged
3-12 years. ISCP volume two.

Knowles, M.1975. Self Directed Learning: A guide for Learners and Teachers.New
York: Association Press.
.

Techniques:

Students are triggered to apply thinking skills critically and creatively to make logical
decisions and problem solving: ask ss to … buku biru

Autonoomy: discussion time, reflection time, carpet time: inform what to be done, ask
input from ss.

Access centre: ask nat plus s to coop. wages of info to be forwarded. Give something in
return

2
Suggestopedia refers to provision of learning information in anywhere including peripheral class area like
display wall. This aims at facilitating learners to read and accessing information easily.
3
At an operational level, teachers’ association can contact parents, stakeholders, and the nearest national
plus school to donate (used) reading materials. Close cooperation and direct communication among the two
streams of schools are the key.
Penghambat Perkembangan Pendidikan Sekolah Dasar,
Menengah Pertama dan Menengah Atas di Indonesia
Oleh : Juliansyah Shariati Pratomo

LATAR BELAKANG

Setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, semakin banyak kita lihat
pemerintah Indonesia mencoba untuk melakukan perubahan sistem hampir di semua
bidang seperti pada contohnya ekonomi, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu.

Disini kita akan lebih memfokuskan pada perkembangan sistem pendidikan di


Indonesia. Negara kita Indonesia apabila kita analisa lebih rinci sebenarnya
mempunyai banyak sekali tantangan terhadap perkembangan pendidikan, salah
satunya yang sangat penting adalah minat siswa yang kurang dan berbagai kebijakan-
kebijakan baru dan selalu berubah seakan-akan menjadikan siswa sebagai kelinci
percobaan, dan juga korupsi yang bukanlah hanya dapat mencuri anggaran negara
untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi dimasa yang akan datang yang dapat
mengurangi anggaran negara untuk memfasilitasi perkembangan pendidikan yang
sedang berjalan.

Di tanah air kita Indonesia ini, yang terdiri dari 17,000 pulau lebih, memang
harus kita akui bahwa jalur komunikasi yang efektif dan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pendidikan masih sangatlah sulit. Pengembangannya pun tidak bisa
kita pungkiri bahwa masih belum dapat dikatakan adil dan merata, contohnya adalah
kota-kota besar biasanya mendapatkan dana yang jauh lebih banyak dan perhatian
yang lebih dari pemerintah ketimbang daerah-daerah pedalaman yang seharusnya
mendapatkan “special attentions” dari pemerintah tetapi masih belum juga dapat
terlaksana.

Kualitas pendidikan di Indonesia pun akan dapat ditingkatkan dengan cepat


dan secara signifikan bilamana sumber daya manusia (guru yang berkualitas dan
memliki profesionalisme yang tinggi) dan sumber daya lainnya yang sudah terdapat di

Page 1 of 7
Indonesia dapat dimanfaatkan merata. Akan tetapi, semua ini hanya bisa efektif jika
suara masyarakat pendidikan secara luas didengarkan dan kemandirian ataupun
kepercayaan masyarakat secara luas dapat dicapai.

IDENTIFIKASI & ANALISA PERMASALAHAN

Lalu apa yang sebenarnya menjadi penghambat perkembangan pendidikan


saat ini? Dan apakah yang harus dihadapi bukan hanya oleh pemerintah saja tetapi
juga oleh seluruh lapisan masyarakat didalam perkembangan pendidikan di negara
kita tercinta ini

Ada beberapa hal yang sangat penting yang menjadi pokok permasalahan dari
penghambat perkembangan pendidikan terlepas dari masalah alokasi dana pendidikan
dari APBN/APBN 20% yang sampai saat ini masih belum jelas sistematika
pembagian kewenangannya dan upaya peningkatan sumber daya manusia para
pengajar yang merupakan hal penting yang harus diperhatikan dan harus ditindak
lanjuti, tetapi akan saya lebih fokuskan kepada 2 hal berikut;

1. Pendidikan di Indonesia belum maksimal mengajak semua pelajar berusaha


untuk berfikir mandiri dan kurangnya penerapan ilmu menganalisa sesuatu.
Memang pemerintah sudah menerapkan solusi yang masih terbilang baru yaitu
sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pengganti kurikulum 1994
yang menerapkan ilmu menganalisa dan menanamkan kemandirian di setiap
pelajar tetapi apakah semua itu berjalan dengan lancar? Sedangkan menurut
Drs.Yusuf Rianto, Dinas Pendidikan Kulon Progo, selama ini memang belum
ada SK Menteri yang menetapkan pemberlakuan KBK. Jadi selama ini
kebijakan KBK tersebut secara yuridis formal memang tidak ada dasar
hukumnya. Beliau merasa sekarang ini hanya menjadi kelinci percobaan saja.
Kurikulum yang selalu berubah-ubah pada setiap pergantian menteri
pendidikan menajamkan pandangan masyarakat bahwa ada unsure politik
didalamnya dan membuat masyarakat berasumsi bahwa pemerintah tidak ada
mempunya konsistensi terhadap sebuah keputusan yang telah diambil. Pada
akhirnya pihak siswalah yang paling dirugikan, pelajar yang dipaksa
menerima perubahan yang begitu cepat, tanpa alasan yang memadai. Beliau

Page 2 of 7
juga menegaskan bahwa ini menunjukkan bahwa sikap pemerintah yang
sangat ragu-ragu dan mengambil langkah cepat tanpa memikirkan dampak-
dampak yang akan terjadi, menunjukkan pemerintah dalam hal ini Depdiknas
dinilai selalu tergesa-gesa, reaktif, tidak transparan dan partisipatif.

2. Kebijakan Nilai UAN (Ujian Akhir Nasional) / Ujian Akhir Semester atau
sejenisnya yang terbilang sangat memaksakan para pelajar. Didalam artikelnya
Bapak Achmad Sentosa, seorang advisor untuk Partnership for Governance
Reform in Indonesia menyatakan kekhatirannya bahwa UAN hanya akan
mememperpanjang deret masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia. UAN
mempunyai dampak negatif yang sangat besar terhadap perkembangan mental
pelajar Indonesia. Kita dapat mengambil satu contoh nyata, dikutip dari
kompas cyber media edisi Juni 2006 seorang siswa SMK di Pontianak
memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya lantaran tidak lulus didalam
UAN, ini sudah jelas bahwa kebijakan tersebut telah menurunkan selera serta
mentalitas pelajar untuk saling berkompetensi dalam menuntut ilmu. Pasal 60
UU No. 39 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecedasannya. Apabila sistem pendidikan
kita melalui kebijakan konversi nilai tidak mampu menghargai siswa sesuai
dengan bakat dan tingkat kecedasannya, maka perbuatan ini dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

William Chang juga menyebutkan dalam artikel yang pernah di muat di media
yang sama kompas bahwa, penerapan instrument multiple choice pada UAN
juga tidaklah terlalu cukup untuk merepresentasikan kemampuan kognitif,
afektif, maupun psikomotorik siswa secara komprehensif dan objektif. Lama
kelamaan secara tidak langsung, dari satu sisi, sistem ini akan lebih condong
untuk menghargai pelajar yang mempunyai intelektualitas yang tinggi
daripada anak-anak yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan
rendah. Dengan begitu pelajar yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang
dan rendah akan mengalami suatu perang batin apakah mereka cukup
kompeten atau tidak. Dan apabila ini terus berlanjut tidak dapat dipungkiri
bahwa akan banyak pelajar Indonesia pada masa mendatang yang akan

Page 3 of 7
mengalami penurunan mental yang selanjutnya akan menjadi salah satu
pengambat dalam perkembangan pendidikan itu sendiri dan masalah ini sudah
bisa digolongkan pada diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.

USULAN SOLUSI PERMASALAHAN

Melihat 2 jenis permasalahan dan setelah bersama-sama kita analisa masalah


diatas, saya mempunyai beberapa usulan mengenai solusi dari setiap permasalahan
diatas, berurutan dari nomor identifikasi permasalahan, yaitu;

1. Memotivasi minat pelajar Indonesia untuk mencintai sekolah. Dengan cara,


pelajar dituntun untuk mengikut sertakan dirinya berperan aktif dalam belajar
dan mengembangkan kreatifitas pelajar. Sebagai salah satu sample pendidikan
negara maju dan saya akan mencoba memberikan sebuah perbandingan dari
pendidikan di Finlandia yang menjadi negara dengan sistem sekolah terbaik di
dunia, menurut Alex Steffan seorang Direktur Eksekutif World Changing
Weblog.
Didalam artikel yang dimuat di Website Negara Finlandia penulis Virual
Finland yaitu Sarra Korpela, setiap sekolah di Finlandia dianjurkan untuk
memiliki ruang tersendiri untuk pembuatan majalah, musik, drama, ilmu
pengetahuan seperti laboratorium, pendidikan lingkungan, ruang olahraga dan
perpustakaan. Dan kebanyakan memiliki taman yang diisi dengan tempat
duduk santai untuk membaca. Kembali ke jam pelajaran, mereka lebih banyak
memilih pekerjaan kelompok daripada bekerja secara individu, agar tidak
hanya menerima pelajaran tetapi juga bisa mengimplementasikannya.
Di web yang sama Alex Steffan mengatakan, “maybe the secret is what they
don't do: Finnish students spend less time in class than students in any other
industrialized nation”.
Dari contoh-contoh diatas kita bisa mengambil gagasan baru bahwa untuk
mencapai pendidikan yang aktif dan kreatif sekolah tidak boleh hanya
dijadikan tempat untuk sekedar belajar tetapi juga untuk bermain dan tempat
yang bisa menunjang pengekspresian minat dan bakat terpendam siswa.
Untuk masalah kurikulum yang sedang terjadi menurut saya, pergantian
kurikulum yang terus menerus akan merusak tatanan pendidikan yang

Page 4 of 7
telahada, dan pada akhirnya akan bingung dimana kurikulum kita sebenarnya
berada dana akan dibawa kemana kurikulum kita. Seharusnya pemerintah
melakukan reevaluasi dari kurikulum yang ada untuk menghilangkan hal-hal
yang tidak relevan dan menambah hal yang masih harus diisi dalam kurikulum
tersebut. Sehingga pemerintah tidak lagi melakukan pergantian yang berulang-
ulang.

2. UAN dapat terus dilaksanakan apabila dalam konteks untuk dapat mengetahui
pencapaian target pendidikan nasional, dengan begitu pemerintah dapat
mengetahui daerah mana yang sudah mencapai target dan daerah mana yang
belum agar dapat ditindaklanjuti kemudian. Tetapi, UAN tidaklah perlu
dilaksanakan apabila hanya bertujuan untuk standarisasi kelulusan. Saya
berikan dua contoh ilustrasi dampak yang akan terjadi apabila UAN menjadi
stardarisasi kelulusan. Ada seorang pelajar yang rajin dan pintar, tidak pernah
bolos, selalu juara, berkepribadian positif akan tetapi, tetapi karena pada
malam sebelum ujian, salah satu keluarganya sakit, sehingga harus masuk
rumah sakit dan harus menemani, ketika pagi harinya ujian berlangsung dia
mengerjakan soal diliputi dengan perasaan was-was, tidak dapat
berkonsentrasi penuh dan akhirnya hasil ujiannya dinyatakan gagal. Dan
sebaliknya seorang siswa lainnya yang sering bolos, nilainya kurang
memuaskan, tetapi pada saat ujian, kebetulan duduk berdekatan dengan anak
yang pintar, sehingga dapat mencontek, akhirnya ujiannya dinyatakan lulus.
Kita bisa melihat dari dua contoh diatas bahwa sungguh tidak adil apabila
Ujian Akhir Nasional harus dijadikan standarisasi kelulusan siswa. Apakah
pendidikan seperti ini yang diharapkan pemerintah kita?? Apakah pemerintah
terlalu mementingkan sebuah nilai?? Apakah di Indonesia ilmu sudah bisa
dibayar dengan sebuah nilai ujian???? Seharusnya pemerintah memberi
kesempatan dan otonomi kepada sekolah dalam hal ini adalah guru untuk
menentukan kelulusan karena gurulah yang paling mengetahui proses
perkembangan siswa selama di sekolah.
Menanggapi pendapat dari William Chang, saya mengusulkan agar penerapan
instrument ujian untuk Multiple Choice diganti atau ditambahkan dengan
penerapan studi kasus dalam ujian dan pembelajaran dan essay untuk
meningkatkan ilmu menganalisa siswa. Didalam buku yang ditulis oleh

Page 5 of 7
Fredrick G.Brown disebutkan bahwa dengan essay para pelajar dan pengajar
dapat mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa atau sebagai dasar untuk
mengambil keputusan. Terdapat beberapa alasan mengapa mengukur
pencapaian siswa. Sebelum itu kita menuju alasan tersebut mari kita ulas
bersama apa yang dimaksud dengan pencapaian siswa. Implikasi kemampuan
mengekspresikan pengetahuan ini ke berbagai cara, melihat hubungan dengan
pengetahuan lain, dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan
masalah. Ketrampilan kita artikan mengetahui bagaimana mengerjakan
sesuatu.

Dua statement solusi tersebut ternyata memiliki hubungan yang kuat dan
hubungan timbal balik demi mencapai pendidikan Indonesia yang didambakan oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang didukung dengan kurikulum yang
transparan. Yang dimaksudkan dengan transparan disini adalah kejelasan proses
kurikulum dan memiliki simbiosis mutualisme antara pemerintah dan anggota sekolah
(guru dan pelajar).

KURIKULUM YANG
TRANSPARAN

Memotivasi Essay, studi


Siswa untuk kasus dan ilmu
aktif dan kreatif menganalisa

Pengembangan Menciptakan siswa yang memiliki


kreatifitas siswa kemampuan yang kognitif, afektif,
dan peran aktif komprehensif dan objektif. Yang
siswa disekolah pada akhirnya akan menciptakan
untuk pemerintahan yang mempunyai
mengankat moral dan kepribadian tinggi
mentalitas serta untuk memimpin bangsa
moralitas Indonesia di masa yang akan
pelajar datang.

Pendidikan Indonesia yang


didambakan oleh seluruh
lapisan
Pagemasyarakat
6 of 7
REFERENSI

Amriel,Reza Indragiri,2006.“Sekolah dan Kejahatan Kerah Putih“, http://www.kompas.com


Kutipan dari sebuah wacana, http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2002-
December/000518.html
Kutipan dari Kompas Cyber Media, http://www.kompas.com/utama/news/0606/21/122602_.htm
Chang,William,2004.”Uang dalam bingkai Pendidikan Holistik”, http://www.kompas.com
http://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpres
s/&view=6/Narasi%20Bab%207%2011072001.pdf
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/08/13/brk,20060813-81781,id.html
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/29/1103.htm
http://re-searchengines.com/0906afdhee.html
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/15/jogja/20986.htm
http://kompas.com/kompas-cetak/0312/18/dikbud/754064.htm
http://www.worldchanging.com/archives/001779.html
http://www.finland.fi/netcomm/news/showarticle.asp?intNWSAID=30625
Fredrick,G.Brown,”Measuring Classroom Achievement”.ISBN-13:978-0030524219.
Publisher:Hardcourt School.

Page 7 of 7
Solusi untuk Program Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia
Oleh Tommy Dharmawan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Sedang menjalani penelitian di Leiden Universiteit Medische Centrum, Leiden, Netherland

Bayangkan di seluruh dunia, setiap dua menit satu perempuan meninggal karena
kanker leher rahim. Menurut penelitian dari Ferlay, hampir 500.000 kasus baru kanker
leher rahim terdiagnosis tiap tahunnya. Delapan puluh persen kasus tersebut terutama
terjadi di negara berkembang. Sedikitnya 200.000 perempuan di negara berkembang
meninggal tiap tahun karena kanker ini. Fakta-fakta tersebut membuat kanker leher rahim
menempati posisi kedua kanker terbanyak pada perempuan di dunia.

Saat ini, kanker leher rahim menjadi kanker terbanyak pada wanita Indonesia
yaitu sekitar 34% dari seluruh kanker pada perempuan dan sekarang 48 juta perempuan
Indonesia dalam risiko mendapat kanker leher rahim. Dari data rumah sakit
Ciptomangunkusumo di tahun 1998, kanker leher rahim menduduki posisi teratas dari
sepuluh kanker primer terbanyak pada perempuan. Menurut penelitian dari Asia-Link
Female Cancer Program Foundation, sebuah organisasi non pemerintah yang dibiayai
oleh Pemerintah Belanda dan Europeaid cooperation office, pada Agustus 2006 jumlah
prevalensi kanker leher rahim di Indonesia diperkirakan sekitar 100 pasien per 100.000
penduduk dan ini adalah masalah besar. Jika dibandingkan dengan negara lain semisal
Belanda, prevalensinya hanya 9 per 100.000 penduduk. Jadi, Indonesia menghadapi era
lain penyakit. Pada satu sisi, Indonesia masih menghadapi era penyakit infeksi seperti
tuberkulosis dan flu burung, tetapi di sisi lain Indonesia sudah harus menghadapi era
penyakit degeneratif dan keganasan seperti kanker leher rahim.

Alasan utama mengapa kanker leher rahim memiliki mortalitas yang besar adalah
karena pasien baru datang memeriksakan diri ke dokter pada stadium lanjut. Sekitar 65%
pasien terdiagnosis pada stadium lanjut (lebih dari stadium II B). Apa yang menyebabkan
hal tersebut terjadi? Salah satu alasannya adalah karena 90% dari kasus kanker leher
rahim pada stadium dini tidak memiliki gejala khas sehingga penderita tidak mengetahui
adanya kanker di tubuhnya ditambah lagi kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang
hanya memeriksakan dirinya ke dokter hanya ketika sudah mengalami gejala berat seperti
mengalami perdarahan spontan per vaginam. Jika itu terjadi, maka kanker leher rahim
sudah berada pada stadium lanjut.

Masalah lain yang menghadang dalam penanggulangan kanker leher rahim di


Indonesia adalah masih rendahnya angka cakupan tes deteksi dini atau skrining kanker
ini. Skrining adalah salah satu cara untuk menemukan lesi pre kanker dan kanker pada
stadium dini. Faktanya, angka skrining kanker leher rahim di Indonesia hanya berkisar
kurang dari 5% (idealnya sekitar 80%). Karena rendahnya angka skrining itulah, maka
pantas saja 70% pasien kanker leher rahim di Indonesia terdiagnosis pada stadium lanjut.
Kondisi ini membuat rendahnya angka kesintasan dan tingginya angka kematian pada
pasien kanker leher rahim di Indonesia. Masalahnya berlanjut karena pemerintah tidak
mempunyai program nasional resmi untuk skrining kanker leher rahim. Ini adalah sebuah
ironi. Mengapa? Karena tes untuk mengetahui kanker leher rahim pada stadium dini
mudah dilakukan dan hal tersebut dapat secara drastis menurunkan angka kematian
akibat kanker ini.

Kanker leher rahim muncul dari zone transformasi di leher rahim. Zone ini lebih
mudah untuk mengalami perubahan ke arah tidak normal dan dapat tumbuh menjadi
kanker jika ada infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan jika terdapat faktor risiko
lain. Kanker leher rahim dapat berkembang sampai 10 tahun setelah infeksi HPV.
Beberapa faktor risiko antara lain memiliki pasangan seksual lebih dari satu, multi paritas
(melahirkan lebih dari empat anak), melakukan hubungan seksual pada usia dini,
penggunaan obat imunosupresan, infeksi genital (alat kelamin), ketidakseimbangan
radikal bebas dan antioksidan, merokok, dan sosial ekonomi lemah. Infeksi HIV juga
dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HPV sampai sepuluh kali karena menurunnya
imunitas pada pasien HIV.
Manifestasi klinis dari kanker leher rahim antara lain perdarahan pasca senggama,
sekret vagina, perdarahan antara dua siklus menstruasi, perdarahan pasca menopause,
perdarahan spontan per vaginam, perdarahan per vaginam saat buang air besar, dan juga
nyeri ketika bersenggama.

Solusi untuk pencegahan dan tatalaksana

Sekarang, mari membahas tentang strategi untuk menurunkan angka kejadian


kanker leher rahim. Metode pertama adalah usaha preventif primer. Hal ini mencakup
edukasi untuk mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi seperti berhubungan seksual
dengan banyak pasangan, menghindari atau meminimalkan adanya faktor risiko lain
seperti menikah di usia dini, melahirkan anak di usia muda, dan merokok. Vaksin HPV
juga termasuk usaha pencegahan primer. Mengapa? Karena salah satu faktor risiko dari
kanker leher rahim adalah infeksi HPV. Menurut penelitian dari De Boer di tahun 2006,
virus HPV terdeteksi pada 95% kasus kanker leher rahim terutama adalah HPV tipe 16
dan 18. Juga menurut penelitian yang sama, HPV tipe 18 adalah tipe HPV yang lebih
dominan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan tipe HPV di negara Asia lainnya seperti
India dan Korea yang lebih dominan adalah HPV tipe 16. Ini memiliki implikasi pada isi
dari vaksin HPV. Vaksinasi HPV adalah salah satu solusi untuk pencegahan kanker leher
rahim. Semua tipe vaksin HPV yang beredar seperti vaksin quadrivalen dan bivalen dapat
digunakan untuk vaksinasi HPV tipe 16 dan 18. Tapi tentu saja biaya yang diperlukan
untuk vaksinasi massal tidaklah murah. Jadi, kita memerlukan strategi lain untuk
menghadapi kanker leher rahim. Salah satunya adalah dengan pencegahan sekunder.

Pencegahan sekunder mencakup deteksi dini dan tatalaksana lesi prekanker yang
sangat sederhana, mudah, dan efektif. Kata kuncinya adalah cakupan skrining massal
untuk mendeteksi lesi pre kanker. Indonesia memerlukan tes skrining yang efektif, aman,
praktis, mudah didapat dan mudah tersedia. Ada beberapa metode deteksi dini kanker
leher rahim seperti Pap smear dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Tes Pap
smear tetap menjadi standard utama. Perempuan sebelum awitan aktivitas seksual sampai
usia 65 tahun harus mendapatkan tes skrining tersebut. Tes tersebut dilakukan tiap tahun
dan jika hasil 2-3 tes berurutan negatif maka tes Pap smear dilakukan dengan interval
antara 3 sampai 5 tahun. Tes Pap smear digunakan secara luas sebagai tes skrining untuk
kanker leher rahim tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasannya antara lain
karena Indonesia tidak banyak memiliki sumber daya yang dapat menginterpretasi
hasilnya. Tetapi ada metode skrining lain yaitu IVA. Walau tes skrining ini bukanlah hal
baru yaitu sudah ditemukan oleh Hinselman di tahun 1925, teknik ini sangat tepat untuk
diterapkan secara massal di Indonesia. IVA dapat membedakan antara leher rahim yang
normal dan tidak normal dengan cara yang murah, mudah tersedia, dan cepat (PATH
2000). Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah salah satu tes untuk
mengidentifikasi lesi pre kanker. Caranya adalah dengan memberikan usapan pada leher
rahim dengan asam asetat 3-5% lalu hasilnya diamati dengan mata telanjang selama 20-
30 detik. Pada IVA, Setelah pengusapan dengan asam asetat 3-5% menggunakan
aplikator kapas lesi pre kanker di leher rahim akan terlihat secara temporer berwarna
lebih putih dari sekitarnya setelah diusap dengan asam asetat. IVA tidak memerlukan
pemeriksaan laboratorium, hasilnya cepat didapatkan, dan tatalaksana dapat dilakukan
setelah pemeriksaan. Salah satu hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah
pelatihan tentang IVA pada tenaga kesehatan terutama untuk daerah terpencil.

Terakhir, adalah pencegahan tersier seperti tatalaksana untuk kanker seperti terapi
bedah dan radiasi. Pemilihannya tergantung pada stadium kanker.

Pendekatan strategis pencegahan kanker leher rahim di Indonesia harus


dikembangkan secepatnya. Pendekatan tersebut harus memperhatikan tiga aspek antara
perempuan, pelayanan kesehatan, dan teknologi. Menurut langkah pendekatan kebijakan
pencegahan oleh WHO tahun 2002, langkah awal untuk pencegahan penyakit adalah
mendapatkan komitmen politik, mengikat semua elemen yang terkait, melakukan analisis
situasi dan kondisi yang sesuai dengan kondisi daerah, mengembangkan kebijakan yang
tepat, dan memaksimalkan akses ke penyedia layanan kesehatan. Fokus dari program
adalah untuk memaksimalkan cakupan skrining dan pelayanan kesehatan. Angka
kematian akan menurun jika lebih banyak pasien terdiagnosis saat stadium dini. Ini
adalah kesempatan untuk menemukan kanker pada stadium dini dan untuk melindungi
wanita dari penyakit yang mematikan ini. Pencegahan tetap menjadi langkah yang lebih
tepat dari pengobatan. Jadi, kalau kita bisa menghentikan angka pertumbuhan yang cepat
dari kanker leher rahim dengan memaksimalkan cakupan tes skrining. Mengapa kita tidak
melakukannya? Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati?

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sedang


menjalani program penelitian di Leiden University. Penelitian dalam rangka usaha
pencegahan dan tatalaksana kanker leher rahim di negara berkembang dengan fokus
Indonesia. Program ini disponsori oleh Asia-Link Female Cancer Program Foundation
yang mendapat dana dari Pemerintah Belanda dan Europeaid Cooperation office.
Transformasi Nilai Kepemudaan Menuju ke Sumpah Pemuda
Indonesia III
Oleh : Achmad Adhitya, Fahmi Rizanul Amrullah

Abstraksi
Pemuda adalah tenaga kerja produktif bangsa, pemuda memiliki peran penting dalam pembangunan
karena dia akan menggerakan arah pembangunan bangsa dan menentukan masa depan bangsa.
Kegamangan pemuda dalam menghadapi permasalah bangsa dapat mengurangi agresivitas
pembangunan bangsa. Pemuda harus kembali mengambil peran peran monumental sehingga menjadi
pijakan kokoh untuk langkah pembangunan selanjutnya.

Latar belakang
Pasca turunnya Suharto pada bulan mei 1998, Bangsa Indonesia mengalami masa
transisi demokrasi yang begitu hebat, setelah selama 32 tahun masyarakat mengalami represi
dan ditutupnya suara – suara kritis yang memberi masukan berbeda pada pemerintah. Hal ini
menyebabkan terkekangnya banyak potensi masyarakat yang justru sebenernya bisa dijadikan
alat kontrol sekaligus pemberi masukan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Salah satu kelompok masyarakat ini adalah kelompok pemuda, suara kritis kaum
muda kadang dinilai sebagai sebuah problematika pembangunan, hal ini menyebabkan
berkurangnya tingkat kekritisan kaum muda, yang menyebabkan adanya disorientasi peran
kepemudaan selama rentang waktu pemerintahan orde baru. Tak ada ruang untuk perbedaan
cara pandang.

Suara kaum muda menjadi benar kalau kemudian ia menyuarakan kepentingan


pemerintah dan melancarkan agenda - agenda pemerintah, sedang diluar itu dia menjadi
sebuah “masalah” buat pemerintah.

Krisis moneter pada tahun 1997 seolah menyadarkan kaum muda bahwa mereka
harus kembali mengambil peran dalam perubahan, pemuda harus kembali mendorong
perubahan itu sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat, proses penjembatanan suara
aspirasi masyarakat dan “telinga” pemerintah yang tersumbat ini menyebabkan kaum muda
kembali memenuhi jalan dan bergerak menuntut perubahan.
Perubahan adalah kata kunci dimana peran pemuda menjadi penting, seolah setiap
terjadi kekacauan dalam berbangsa maka disaat genting itulah pemuda hadir dan mendorong
proses perubahan.

Kemudian rezim Suharto jatuh dan setelah beberapa kali terjadi pergantian rezim ,
pemuda kembali merasa tertantang untuk ikut mendorong proses pembangunan, tidak dalam
posisi berlawanan tapi dalam posisi berdampingan dengan pemerintah mencari solusi terbaik
untuk sekelumit permasalahan bangsa.

Kelompok kaum muda menjadi partner pemerintah untuk bergerak bersama,


menyusun strategi bersama untuk menyelesaikan banyak permasalahan bangsa.

Identifikasi Permasalahan
Dimana posisi pemuda sekarang ? ini adalah pertanyaan kunci yang kadang dipenuhi
jawaban gamang dan penuh retorika. Secara filosofis pemuda bisa dikatakan tenaga produktif
dari pembangunan, pemuda adalah “mesin” bangsa yang memutar negara ini sesuai dengan
kompetensi keilmuannya masing - masing.

Tapi terkadang kita seperti bergerak masing – masing, tanpa tau harus kemana
“roda” bangsa ini diarahkan, hal ini membuat akhirnya setiap pemuda yang memiliki
semangat nasionalisme tinggi dan ide tentang pembangunan bangsa merasa sendirian dan
tidak berada dalam gerbong yang sama atau terkadang ketika berada dalam gerbong yang
sama pun ada kesalah pahaman ide yang menyebabkan friksi padahal ada tujuan bersama
(common goal) namun hanya strategi dan pembahasaan ide yang berbeda. Salah pengertian
dan tidak adanya statement bersama ini yang terkadang memecah belah potensi bersama yang
dimiliki.

Selain itu ada semacam kegamangan identitas pemuda, sebagian merasa modernisasi
berarti sama dengan diserapnya budaya asing secara mentah sehingga sesuatu yang berasal
dari luar adalah suatu nilai yang pasti baik dan diserap mentah mentah, ini berpengaruh
terhadap gaya hidup dan pola konsumerisme yang berlebihan, akhirnya Indonesia menjadi
tempat transit budaya internasional yang dapat mengikis keberadaan budaya lokal.
Tidak adanya bentuk sinergi dan kerja sama yang jelas, antara pemuda dan
pemerintah, konsep “one event one group” seolah menegaskan bahwa peran pemuda selama
ini memang selalu dalam jangka pendek (short term), tidak pernah ada sebuah konsep strategi
jangka panjang yang jelas dari pemerintah untuk bekerja sama dengan kaum muda. Pemuda
hanya dibutuhkan untuk event – event tertentu kemudian selesai tanpa ada proses
keberlanjutannya.

Analisa Permasalahan
Melihat beberapa permasalahan diatas maka seharusnya kita mulai mendudukan diri
kita secara bersama, seluruh pemuda Indonesia untuk merenungkan kembali dimana kita
harusnya meletakkan posisi kita dalam roda gerak pembangunan ini.

Pemuda harusnya bisa berperan lebih dari sekedar motor pembangunan namun juga
terlibat aktif bersama pemerintah untuk bersama sama mencari solusi atas permasalahan
bangsa.

Langkah pertama yang diperlukan adalah sebuah komitmen dan statement bersama
bahwa para pemuda Indonesia memang bersatu dan ingin bersatu dalam gerbong
pembangunan Indonesia. Statement ini memiliki nilai penting karena memberikan penegasan
kepada seluruh elemen bangsa bahwa pemuda Indonesia memang bersatu.

Sumpah Pemuda Indonesia satu dan dua yang pernah dilakukan di masa lampau
seolah mengingatkan kita kembali tentang perlunya arti komitmen yang diharapkan dapat
meminimalisir atau bahkan menghilangkan sama sekali pengkotak-kotakan ide atau
pemikiran tentang pembangunan bangsa.

Khususnya buat para pemuda Indonesia yang ada di luar negeri sebenernya kalau
kemudian potensi para kaum muda ini dikumpulkan dan disinergiskan dengan agenda agenda
kerja pembangunan bangsa maka kita bisa mengakselerasi proses percepatan pemulihan
ekonomi bangsa. Menempatkan peran mereka sebagai duta kita di luar negeri untuk
memberikan informasi yang benar tentang Indonesia, tentang kondisi sosial masyarakatnya,
tentang budaya ataupun tentang isu isu hangat yang sedang beredar di Indonesia.
Selain sebagai duta di luar negeri para pemuda ini juga mampu mencari potensi
kerja sama antara berbagai institusi di luar negeri dengan institusi di dalam negeri yang hal
strategis semacam ini bisa dilakukan tentunya dengan berjalan bersama pemerintah.

Nilai strategis apa yang akan dibangun tentu disesuaikan dengan nilai potensi kerja
samanya dan juga agenda pemerintah yang dapat dibuat oleh para kaum muda.

Statement bersama Konferensi para pemuda Pemuda bersama


(Sumpah Pemuda) dan Pelajar Indonesia unsur pemerintah
dan swasta bertemu

Proses monitoring Memorandum of


thd jalannya ide understanding

Isu – Isu Krusial pada Pembahasan Pertemuan PPI se-dunia


Ada beberapa isu krusial yang saya rasa perlu untuk diangkat pada pembahasan
pertemuan PPI se Dunia sesuai dengan analisa permasalahan empirik pada topik-topik yang
lebih khusus :
1. Permasalahan pendidikan
Isu pendidikan pada sebuah bangsa menjadi penting karena tingkat
pendidikan akan memberikan parameter seberapa besar kualitas sumber daya
manusia suatu bangsa.
Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang besar tentu akan sangat
memerlukan potensi sumber daya manusia yang mampu mengolah potensi SDA
(Sumber Daya Alam) tersebut.
Ketergantungan kita pada asing dalam mengelola sumber daya alam
seolah membuat kita tidak independen, tidak bisa berdiri diatas kaki kita sendiri,
perlu adanya batasan buat asing untuk mengelola SDA yang kita miliki.
Pendidikan adalah langkah awal dalam membentuk SDM yang potensial
sehingga kita benar benar mampu berdiri diatas kaki kita sendiri oleh karena itu
peran pendidikan dalam pembangunan bangsa sangat penting.
2. Hukum
Lemahnya proses penegakan hukum jelas menyulitkan proses
pembangunan, sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya pada pengurangan
tingkat kriminalitas dalam negara kita, tapi yang paling penting itu adalah “sense
of justice” karena hal ini berimbas pada dukungan dan kepercayaan masyarakat
pada pemerintah.
Kalau rasa keberpemilikan terhadap bangsa dan kepercayaan terhadap
pemerintah turun maka rasa antipati dan tak ada dukungan buat pemerintah
dalam menjalankan agendanya. Membaiknya proses perbaikan hukum dengan
mulai tampaknya proses penegakan hukum memang sudah baik namun harus
dimaksimalkan, menyelesaikan urusan mafia peradilan tentu tidak mudah namun
dengan pemberian upah yang sesuai sehingga mendorong mereka tidak mudah
disogok, tetap perlu proses pemantauan dari beberapa elemen lain : baik pers,
mahasiswa ataupun LSM sehingga kita sama sama menjaga proses penegakan
hukum dan ini akan berjalan maksimal ketika rasa keadilan itu menyentuh semua
golongan.

3. Ekonomi
Perlu adanya insentif pada masyarakat bawah dalam melakukan kegiatan
ekonomi, pemberian kredit lunak dan bunga yang kecil, pemaksimalan
kerjasama industri besar dan industri kecil melalui kebijakan pemerintah yang
memfasilitasi dan mendorong hal tersebut.
Penggunaan model ekonomi model neo developmentarisme yang pernah
diperkenalkan oleh Presiden Suharto waktu itu terbukti membuat kita sangat
kesulitan dalam melakukan proses perbaikan ekonomi pasca krisis.
Ini harusnya membuat kita mulai sadar bahwa model ekonomi top down
memang tidak cocok namun harus bottom up yang berarti penguatan sektor
industri kecil dan riil.
Kesimpulan
Pertemuan PPI se dunia adalah pertemuan para pelajar cerdas dari seluruh dunia,
proses pematangan ide dan pencarian bentuk kerja sama riil adalah hal yang sangat mungkin
dilakukan. Efektifitas pertemuan besar dengan level dunia akan sangat bergantung pada
proses pembahasan ide sebelum pertemuan itu sendiri, sehingga pertemuan itu sendiri adalah
proses finalisasi dari kerja sama yang mungkin dapat dibangun untuk kepentingan bangsa.

Maju terus bangsaku Indonesia !!

Referensi

Ilmu Budaya Dasar, Kum. Essay M.Habib Mustopo, Penerbit : Usaha Nasional-SBY-1988
Konsep Dsr. Pddk. Luar Sekolah Pengarang : Soelaiman Joesoef Penerbit : Bumi Aksara -
JKT - 1992
Catatan Pinggir , Goenawan Moehamad

Вам также может понравиться