Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
SALINAN
”Suara Bersama Den Haag 2007”
Pertemuan Pelajar Indonesia:
Indonesia Masa Depan—Suara dan Peran Kaum Muda
Den Haag, 22 - 24 Juni 2007
Kami, kaum muda Indonesia yang hadir dalam Pertemuan Pelajar Indonesia: Indonesia Masa
Depan—Suara dan Peran Kaum Muda (PPI: IMD-SPKM) di Den Haag, 22-24 Juni 2007,
bersama ini menyatakan:
Kami bertemu dan berkumpul di sini dilandasi oleh semangat dan kehendak bersama untuk
turut memberikan sumbangan kolektif, dalam bentuk apapun terhadap proses perbaikan
kehidupan bersama sebagai negara dan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang.
Kami bertemu dan berkumpul di sini dipicu oleh kerisauan kolektif. Berakhirnya rezim dan
sistem politik Orde Baru pada 1998 telah membawa perjalanan Republik Indonesia tercinta
memasuki babak baru kesejarahannya sejak itulah dimulai proses “reformasi”. Namun
hingga kini arah dan pijakan baru yang nyata dan kokoh untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh warga bangsa belum dirumuskan.
Tidak dipungkiri bahwa telah dicapai sejumlah hasil penting dan strategis sebagai buah dari
proses ”reformasi” yang dihela bersama oleh segenap anak bangsa, di antaranya: kebebasan
pers dan kebebasan berorganisasi dan berpolitik, pemilihan umum yang relatif jujur dan adil,
otonomi daerah, juga pemilihan pejabat pucuk pemerintahan secara langsung oleh rakyat,
baik di tingkat nasional maupun lokal.
Kami tidak bisa menutup mata bahwa segenap capaian penting dan strategis tersebut tidak
dengan serta merta mengatasi berbagai masalah, terutamaangka kemiskinan massal yang
masih cukup tinggi, tingkat kesejahteraan rakyat secara umum juga belum meningkat secara
bermakna. Sejumlah warisan buruk rezim lama belum sirna, seperti birokrasi yang korup,
kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat, serta sistem kepartaian yang elitis.
Kerisauan itu makin bertambah ketika kami berpikir dalam konteks strategisdimana
kompetisi dengan negara-negara lain dalam tata-dunia global yang tidak adil akan membuat
posisi Indonesia semakin terpuruk dalam pergaulan antar bangsa dan negara.
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
Rangkaian kegiatan PPI: IMD-SPKM ini adalah salah satu wujud tanggung jawab moral dan
intelektual kaum muda Indonesia terhadap masa depan bangsa dan negara, khususnya
terhadap lebih dari 230 juta jiwa manusia Indonesia. Tanggung jawab tersebut perlu disadari
sebagai tanggung jawab kolektif yang hanya akan optimal dengan kolaborasi sehat berbagai
pihak secara sinergis. Oleh karena itu, PPI: IMD-SPKM menjadikan usaha-usaha serupa
sebelumnya sebagai bahan kajian dan masukan yang berharga. Dengan demikian, kegiatan ini
merupakan bagian dari mata rantai upaya membangun Indonesia masa depan yang lebih baik.
Hasil dari PPI: IMD-SPKM merupakan pokok-pokok pikiran yang terutama akan kami
jadikan bahan rujukan bagi upaya kolektif untuk membangun masa depan Indonesia yang
lebih baik; meskipun bisa menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan maupun
institusi dan organisasi lain terkait. Jiwa yang dikandung dalam kegiatan ini adalah tanggung
jawab pelajar dan kaum muda sebagai individu maupun kolektivitas yang ingin memberikan
kontribusi bagi bangsa dan negaranya, bukan sekadar mengajukan tuntutan kepada pihak lain.
Setelah mengalami proses dialektika gagasan secara kolektif sejak sekitar 6 bulan lalu dan
berpuncak pada pertemuan di Den Haag pada 22-24 Juni 2007, maka dengan ini kami
merumuskan pokok-pokok pikiran bersama dalam ”Suara Bersama Den Haag 2007” yang
mencakup
PPI Jerman
Achmad Aditya
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
RANGKUMAN PEMBAHASAN
Pemberdayaan SDA Indonesia tidak terlepas dari tren perkembangan teknologi dunia.
Diawali oleh tantangan pengembangan energi alternatif dan terbarukan, pemanasan global,
dan kekurangan pangan, aplikasi bioteknologi dan teknologi hijau yang berkelanjutan
dipercaya mampu menjadi salah satu jalan keluar.
Selain tantangan global yang Indonesia hadapi, Indonesia masih memiliki beberapa
permasalahan dasar yang masih harus ditangani. Ketidakseimbangan antara input sumber
daya alam yang besar dengan output sosial ekonomi yang minim menjadi persoalan yang
mendasar. Hal ini disertai kurangnya kesadaran stakeholders (aktor-aktor kunci; seperti peneliti,
pemerintah, dan industri) akan pentingnya isu-isu yang berhubungan dengan hak paten,
publikasi, biopiracy, regulasi (yang belum menjalankan mandat rakyat), dan koordinasi riset
dan transfer teknologi. Selain itu, masyarakat Indonesia khususnya generasi muda masih
kurang memahami potensi SDA bangsanya dan aktualisasi iptek nasional. Hal ini membuat
tindakan semena-mena terhadap bumi Indonesia misalnya penggundulan hutan secara liar
dan pencemaran limbah yang mengancam sumber daya bahari.
Dalam menjawab segala tantangan yang ada, Indonesia pada dasarnya memiliki banyak sekali
potensi yang dapat dimanfaatkan secara strategis, yaitu keanekaragaman hayati dan sumber
daya energi alternatif (misal: panas bumi, gelombang laut, angin, dan matahari). Tidak
berhenti sampai di sana, potensi ini bila diikuti oleh pengembangan sumber daya manusia
seperti peneliti-peneliti kelas kakap dan sarjana manajemen Indonesia diyakini dapat
mengkatalisasi hasil riset bangsa yang belum teraplikasikan.
Peningkatan kesadaran publik terhadap alam menjadi salah satu kunci strategi realisasi
potensi yang dimiliki Indonesia. Dalam strategi ini, koordinasi antara pemerintah, swasta dan
sipil (termasuk akademisi di dalamnya) menjadi hal yang krusial.
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
Bagi akademisi dan masyarakat pada umumnya, kerja sama untuk mendukung pemerintah
dan swasta serta:
1. Perlunya sosialisasi dan jaringan dalam mengembangkan potensi sumber daya alam
Indonesia secara lintas profesi baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Pengembangan SDM yang disesuaikan dengan potensi alam dan kebutuhan di daerah
masing-masing
3. Pengenalan sedini mungkin kesadaran lingkungan kepada anak-anak
4. Pola konsumsi yang bertanggungjawab dan berkesinambungan
Khusus bagi para akademisi untuk mulai mengkomunikasikan hasil riset mereka kepada
masyarakat sebagai langkah awal transfer ilmu dan teknologi bagi bangsa dan negara.
Sebagai tindak lanjut dan tindak nyata dari hasil diskusi IMD 2007, pelajar Indonesia tidak
akan tinggal diam dan memulai realisasi dari strategi yang diusulkan dengan:
1. pembentukan seranai surat (mailing list) guna pertukaran informasi tentang sumber
daya alam lintas sektoral dan pemantapan jejaring serta komitmen
2. alih pengetahuan dan teknologi, antara lain dengan: pelatihan, temu ilmiah,
penulisan/distribusi artikel
3. kontribusi pemikiran tentang pengembangan pengelolaan sumber daya alam ke
instansi dan komunitas terkait
4. memberikan teladan dan mengajak masyarakat sejak dini untuk mengenal lingkungan
Menyongsong globalisasi yang tidak terelakkan, Indonesia ditantang untuk siap memberi
respon akan lintas barann, jasa, dan teknologi. Di sinilah tenaga kerja Indonesia
diperhadapkan kepada tingkat yang lebih kompetitif – bersaing dengan negara-negara
berkembang dan industri lainnya.
Secara umum, SDM bangsa Indonesia dalam pengembangannya memiliki beberapa kendala,
yaitu keterbatasan sistem dan pendanaan pendidikan, kurangnya akses kepemudaan serta
yang tidak kalah pentingnya adalah mental bangsa Indonesia yang masih lemah. Reformasi
mental ini difokuskan dan diharapkan dapat dicapai dengan langkah-langkah strategis yang
secara sinergis dalam bidang pendidikan dan kepemudaan.
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
Sedangkan kepemudaan memiliki tantangannya tersendiri yang dapat dikatakan tidak lepas
dari bidang pendidikan:
1. Pudarnya identitas bangsa dan maraknya budaya konsumerisme menyebabkan
bangsa Indonesia menjadi bangsa mangsa globalisasi tanpa memiliki produktivitas
yang seimbang. Hal ini juga membiaskan identitas
2. Perlunya netralisasi dan konsistensi dari kegerakan pemuda yang membangun,
umumnya kegerakan pemuda bersifat jangka pendek dan sebatas monumental
3. Kecilnya jejaring yang dimiliki pemuda untuk mengembangkan diri khususnya dalam
dunia internasional, hal ini memperkecil kesempatan memperoleh ilmu ataupun
pengalaman di luar negeri
Beberapa rekomendasi yang dapat diusulkan dalam bidang pendidikan dan kepemudaan
sekaligus adalah:
1. Melakukan dialog tri-partit antara pemerintah (policy makers), industri (commerce) dan
institusi pendidikan dalam menyusun kebijakan yang menyelaraskan pendidikan yang
aplikatif untuk industri misalnya dalam program magang (internship)
2. Pemberian jaminan akan apresiasi dan kesejahteraan tenaga pendidik dalam kebijakan
pemerintah
3. Adanya advokasi publik bagi insitusi pendidikan khususnya sekolah umum dalam
mengontrol pungutan dan kurikulum yang ditawarkan
4. Meningkatkan kompetensi (professional development) dan quality control bagi
tenaga pendidik yang objektif dan transparan disertai oleh infrastruktur/fasilitas yang
memadai
5. Optimalisasi komunikasi sosial antar sekolah untuk memperkecil kesenjangan yang
ada, misal pertukaran/pelatihan guru dan pakar antara sekolah khususnya dari kota
ke daerah terpencil
6. Mengintegrasikan materi pendidikan moral khususnya anti-korupsi dan anti-
konsumerisme yang praktis sedini mungkin
7. Peningkatan kerja sama dengan dengan pelajar Indonesia di luar negeri untuk turut
melibatkan mereka dalam menyelesaikan isu-isu krusial nasional serta penyebaran
informasi mengenai beasiswa dan magang di luar negeri
8. Program CNN (Care, Nation, Networking) sebagai salah satu ide untuk menjaga
semangat dan konsistensi kegerakan pemuda bekerja sama dengan LSM, institusi
riset, dan berbagai lembaga lainnya
9. Pembuatan basis data akan disertasi, thesis, artikel ilmiah dan informasi pendidikan
dari dan untuk pelajar Indonesia
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
Masalah pembangunan kelembagaan yang teraktual dan masih akan relevan sampai beberapa
periode ke depan adalah bagaimana proses desentralisasi dapat berkontribusi pada
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, seiring dengan meningkatnya potensi
konflik sosial, manajemen konflik dan keamanan yang komprehensif menjadi sangat krusial
untuk memastikan proses kelembagaan ini berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Dari
rumpun-rumpun masalah tersebut, akan dirumuskan visi transformasi dan agenda aksi bagi
segenap elemen bangsa yang ada.
Sedangkan identifikasi masalah untuk area manajemen konflik dan keamanan adalah:
1. tingginya potensi konflik sosial di Indonesia, baik yang disebabkan oleh kesenjangan
sosial-ekonomi maupun rapuhnya integrasi sosial
2. tingginya keterlibatan militer dalam bidang-bidang non-kemiliteran dan rendahnya
tingkat profesionalisme militer yang disebabkan oleh strategi dan kebijakan militer
yang lebih berorientasi kepada Angkatan Darat
3. struktur, budaya, dan kinerja lembaga kepolisian yang berwatak sentralistik,
militeristik korup serta tidak profesional.
Dari sisi tersebut, dirumuskan visi transformasi yang meliputi pengurangan kesenjangan
sosial-ekonomi yang menjadi penyebab konflik serta pengembangan budaya perdamaian dan
pencegahan konflik, penghilangan peran-peran non-militer oleh lembaga militer serta
peningkatan profesionalisme militer melalui pengembangan strategi dan kebijakan
pertahanan yang berorientasi maritim dan dirgantara sesuai posisi dan konstelasi geo-strategis
Indonesia, pengembangan struktur dan lembaga kepolisian yang berwatak desentralistik serta
non-militeristik (sipil), dan pengembangan lembaga kepolisian yang profesional dan
akuntabel.
Untuk mencapai hal tersebut, dirumuskan agenda aksi bagi setiap komponen bangsa yang
ada, sebagai berikut:
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
A. Pembangunan daerah/desentralisasi:
1. Masyarakat madani :
a) Meningkatkan partisipasi publik dalam rangka mengawasi kinerja pemerintah untuk
meningkatkan akuntabilitas publik pemerintah daerah.
b) Melakukan keterlibatan aktif dalam proses penentuan arah pembangunan daerah.
2. Penyelenggara negara:
a) Merevisi dan melengkapi perangkat hukum penyelenggaraan otonomi daerah
Meningkatkan kualitas institusi pemerintah dalam pelayanan publik melalui perbaikan
menyeluruh di bidang struktur, proses, SDM dan relasi pemerintah dan masyarakat
b) Mengevaluasi kinerja aparatur pemerintah berdasarkan indikator - indikator yang
terukur.
c) Meningkatkan penerapan E-government dalam proses penyediaan layanan publik
dalam pembangunan daerah.
d) Memperbaiki hubungan kerja sama fungsional antara pusat dan daerah dalam rangka
menciptakan pembangunan yang sinergis.
e) Mengembangkan perangkat yang mampu mendekatkan proses interaksi dan
penyediaan layanan publik dari institusi pemerintah kepada masyarakat
f) Memperbaiki sistim penerimaan pegawai negeri dalam rangka meningkatkan kualitas
birokrasi pemerintahan Indonesia dengan mendasarkan pada kebutuhan ruang
lingkup kerja / analisis jabatan (job analysis)
3. Swasta :
a) Meningkatkan kemitraan swasta dengan pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan daerah.
b) Berkolaborasi dengan masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja
pembangunan daerah.
1. Penyelenggara Negara
a) Melakukan pengurangan tingkat kesenjangan sosial-ekonomi.
b) Menjadikan pendidikan perdamaian menjadi bagian dari program di lembaga-
lembaga pendidikan.
c) Reformasi kelembagaan dan perundang-undagan yg menempatkan TNI di bawah
Dephan dan Polri di bawah Depdagri/Depkeh; Penyusunan ’Buku Putih’ strategi
dan kebijakan pertahanan dan keamanan RI yg mengubah titik berat pada sektor
maritim/udara.
d) Pengembangan lembaga kepolisian melalui reformasi UU, struktur kelembagaan
maupun budaya organisasi yg lebih sesuai dengan tuntutan profesionalisme,
akuntabilitas dan desentralisme; Reformulasi kebijakan keamanan dalam negeri
menyesuaikan dg sistem politik dan pemerintahan yg bersifat desentralistik.
2. Masyarakat Madani
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
3. Swasta
a) Meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dan pendidikan perdamaian menjadi bagian
dari program Corporate Social Responsibility.
b) Meningkatan kegiatan bisnis di sektor kelautan-perkapalan dan dirgantara.
c) Bekerjasama dengan masyarakat madani melakukan advokasi bagi pengembangan
lembaga kepolisian yang profesional, akuntabel dan berorientasi lokal.
Sumber daya ekonomi dan sosial Indonesia masih memiliki beberapa masalah struktural
namun namun tetap memiliki banyak potensi untuk diberdayakan. Dengan memanfaatkan
potensi-potensi tersebut, pada tahun 2045 diharapkan dapat terwujud suatu masyarakat
Indonesia yang maju, berkeadilan, sejahtera, bermartabat dan mandiri. Tidak menutup
kemungkinan, di masa depan Indonesia mampu menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi
dunia.
Masalah-masalah ini begitu kompleks dan saling terkait satu sama lain. Untuk itu, dibutuhkan
suatu terobosan kebijakan dan strategi transformasi yang sistematis serta menyentuh titik-
titik krusial permasalahan. Basis dari terobosan ini adalah penguatan kelembagaan,
demokratisasi ekonomi dengan titik berat pada masalah kesenjangan dan kemiskinan,
revitalisasi sektor pertanian dan kelautan, pembangunan struktur industri yang tangguh dan
terkait satu sama lain, serta sistem inovasi yang berbasiskan sumber daya dan kebutuhan
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
lokal. Kata kunci berikutnya adalah pendidikan, yang sangat penting dalam proses
pemberdayaan sumber daya ekonomi.
Segenap hal di atas membutuhkan agenda-agenda aksi yang dijalankan secara sinergis tidak
hanya dari pemerintah, tapi juga dari elemen-elemen swasta dan masyarakat.
Di samping itu, peran pendidikan sangat penting dalam optimalisasi sumber daya ekonomi
dan sosial. Dalam hal ini, agenda aksi pemerintah dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Meningkatkan anggaran untuk infrastruktur pendidikan dengan cara yang efektif dan
transparan
2. Mengakui keberagaman lokal dan mengadopsinya dalam sistem pendidikan
3. Melakukan diversifikasi sekolah yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal
dengan titik berat pada berbagai variasi sekolah kejuruan dan politeknik
4. Membangun skema pembiayaan yang tepat guna untuk pendidikan tinggi, dengan
cara: penerapan sistem subsidi silang, mendukung pemberdayaan Badan Usaha Milik
Kampus, dan peningkatan kerjasama dengan swasta/industri.
5. Menciptakan ”link and match” antara dunia pendidikan pada berbagai strata dengan
dunia ekonomi/sektor industri, melalui: riset universitas yang aplikatif, insentif fiskal
bagi dunia industri yang terlibat sektor pendidikan/riset, dan kurikulum yang
menekankan faktor kewirausahaan.
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
6. Membangun sistem pinjaman (student’s loan) yang komprehensif dan dikelola dengan
baik guna meningkatkan akses pendidikan pada semua kalangan.
7. Membangun sistem insentif untuk tetap sekolah guna mensukseskan program wajib
belajar 12 tahun
Kemudian selanjutnya agenda aksi elemen swasta dan masyarakat madani adalah:
1. Merangkul universitas dan dunia pendidikan pada umumnya untuk pengembangan
teknologi tepat guna guna membangun ekonomi yang berbasis pengetahuan
2. Mengoptimalkan potensi pelajar Indonesia di luar negeri untuk membangun jaringan,
menarik dana penelitian, dan membuka akses bagi pendidikan dan penelitian nasional
pada dunia industri global.
LANGKAH KE DEPAN
Dokumen ini maupun rangkaian kegiatan PPI: IMD-SPKM 2007 bukanlah sebuah akhir,
melainkan sebuah kontinuum yang berusaha melanjutkan apa yang sudah dimulai
sebelumnya untuk semakin dimantapkan –yaitu usaha untuk mewujudkan Indonesia masa
depan yang lebih baik.
PPI: IMD-SPKM berusaha memperkuat tiga pilar utama dalam usaha tersebut, yaitu:
semangat, materi, dan jaringan. Ketiga pilar itulah yang berusaha dirangkum dalam dokumen
ini. Suara Bersama Den Haag 2007 merupakan pernyataan semangat kolektif yang menjiwai
keseluruhan proses PPI: IMD-SPKM dan proses-proses lain yang saling berkolaborasi.
Rangkuman Pembahasan menyiratkan alur materi yang diperkaya dengan makalah-makalah
yang masuk. Sementara jaringan yang terbentuk paling tidak mencakup para peserta PPI:
IMD-SPKM yang juga terafiliasi dengan organisasi / kelompok pelajar Indonesia di berbagai
negara.
Langkah ke depan yang perlu ditapaki bersama adalah memperluas dan memperkaya ketiga
pilar itu. Semangat membangun Indonesia yang lebih baik tidak akan pernah bisa terlalu kuat.
Demikian pula materi konseptual dan intelektual akan selalu terus berkembang. Jaringan
individu-individu dan kelompok-kelompok yang siap berkontribusi dan berkolaborasi juga
akan selalu butuh diperluas. Satu pilar tanpa pilar-pilar yang lain niscaya akan percuma.
Semangat yang tidak diimbangi dengan materi yang kuat dan jaringan yang luas hanya akan
tinggal semangat, dan seterusnya. Tapi jika ketiga pilar tersebut semakin kokoh dan sinkron,
maka Indonesia Masa Depan yang lebih baik akan semakin dekat menjadi sebuah realita.
Bentuk nyata usaha-usaha tersebut bisa berbentuk kajian-kajian lanjutan maupun kritik
terhadap produk PPI: IMD-SPKM 2007. Bisa pula dengan menjaga kontak dan mengundang
rekan-rekan lain untuk bergabung dengan jaringan Indonesia Masa Depan. Namun yang
terpenting adalah dengan mengejewantahkan semangat bersama dalam karya nyata di bidang
kompetensi masing-masing.
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
Akhir kata, kami mengundang siapa saja – lintas generasi, lintas wilayah, lintas sektoral, dan
lintas waktu – untuk turut berkontribusi dengan cara dan kompetensinya masing-maisng.
Indonesia Masa Depan yang lebih baik akan terus menjadi mimpi dan khayalan jika kita
sendiri tidak menggerakkan diri untuk mewujudkannya.
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
DAFTAR MAKALAH
Data dan kontak para penulis makalah dapat diperoleh dengan menghubungi Sekretariat
IMD estela mendapatkan izan tertulis dari yang bersangkutan.
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Indonesia masa depan
pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007
www.indonesiamasadepan.org
PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom
Bioteknologi Indonesia : Tantangan, Prospek dan Peluang
oleh
1. Audrey Clarissa (ITB/IPSF), au2dee@yahoo.com
2. Hosea Saputro Handoyo (HAN University/GeNeYouS/IBSF/PPI-Arnhem Nijmegen),
hshandoyo@gmail.com / www.hshandoyo.net
3. Kalman Emry Wijaya (ITB/IBSF), kalmanwijaya@yahoo.com
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.500 pulau dan jumlah
penduduk 230 juta jiwa. Indonesia sendiri terletak di wilayah khatulistiwa yang
cenderung memiliki iklim tropis, oleh karena itu Indonesia memiliki potensi agrikultur dan
maritim yang dapat dikembangkan dengan baik. Hal ini merupakan potensi yang
menjanjikan sebagai negara berkembang yang memiliki pangsa pasar yang besar dan
potensi investasi yang cukup menjanjikan khususnya di bidang bioteknologi.
Karya tulis ini akan mencoba memaparkan beberapa program realistis untuk memajukan
Indonesia lewat bioteknologi secara sistematis dan terencana pada tahap awal
pembangunan.
1. ANALISIS KONDISI
1.1 Analisis permasalahan
Perkembangan bioteknologi Indonesia dimulai pada tahun 1985. Departemen Riset dan
teknologi menetapkan bioteknologi sebahai prioritas pengembangan iptek yang
kemudian ditindaklanjuti dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Geliat
bioteknologi kemudian diawali oleh pembentukan Pusat Antar Universitas (PAU) yang
dipusatkan di tiga universitas/institut sebagai centers of excellence yaitu:
1. Bioteknologi kedokteran : Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan
Universitas Indonesia dan Eijkman Molecular Biology Insitute
2. Bioteknologi industri : Institut Teknologi Bandung bekerja sama dengan
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
3. Bioteknologi pertanian : Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan
Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia – Bioteknologi
Pada tahun 2000, bioteknologi kembali menjadi prioritas dalam Jakstra Ipteknas yang
kemudian dilanjutkan Renstra Ipteknas. Sayangnya, program ini hanya dianggap
sebagai tindak lanjut program Repelita Orde baru yang sudah mentah.
Disamping hal tersebut, isu-isu negatif dalam masyarakat mengenai produk transgenik
(GMO) menyebabkan berbagai investor agro-bioteknologi semakin ragu untuk
mengembangkan bisnis mereka. Kekurangpahaman masyarakat akan ilmu bioteknologi
ini telah menghambat perkembangan ilmu ini, sehingga penyebaran informasi yang
tepat sangat diperlukan.
Sekalipun bioteknologi ini menjadi isu yang dinilai penting oleh banyak orang, belum ada
tindakan nyata yang diambil oleh pemerintah terutama dengan berbagai konflik dan
permasalahan yang ada di Indonesia, sehingga bioteknologi bukanlah prioritas utama.
Meskipun demikian, sangatlah penting isu ini tidak lantas kita tinggalkan begitu saja
karena bioteknologi akan menjadi kunci berbagai perkembangan di masa depan dan
dapat dikatakan bahwa langkah yang kita lakukan saat ini merupakan investasi jangka
panjang.
Biodiversitas alami yang tinggi di Indonesia merupakan aset tersendiri. Aset ini tentunya
merupakan kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan Indonesia, tetapi di lain
pihak biodiversitas ini pun menjadi suatu ancaman bila tidak kita tangani dengan baik.
Berbagai pihak akan berusaha mendapatkan kekayaan alam Indonesia dan
memanfaatkannya bagi keuntungan mereka pribadi. Hal ini tentunya tidak dapat kita
biarkan begitu saja dan sekali lagi perlu ditekankan penguatan SDM dan regulasi.
Tantangan terbesar adalah penyediaan SDM terampil dan berwawasan bioteknologi
luas. Umumnya bioteknologi di Indonesia berlandaskan bidang keilmuwan pertanian
atau ilmu alam baik biologi atau kimia. Sangat sedikit universitas yang berbasis
kedokteran sepert di UI. Di luar negeri, negara maju seperti Jepang, bioteknologi bisa
saja berbasis keteknikan. Bahkan negara berkembang sekalipun seperti Malaysia,
beberapa universitasnya juga memiliki departemen bioteknologi berbasis pertanian dan
teknik sekaligus. Universitas di Indonesia masih terhambat masalah pendanaan dan
penyediaan fasilitas seperti yang dialami Univeristas Atmajaya. Berdasarkan informasi
yang didapat dari mahasiswa Universitas Atmajaya, program bioteknologi Atmajaya
lebih berbasis teori dan bukan pada praktik seperti yang diusung oleh negara-negara
lainnya.
Ditinjau dari sisi farmasi, perusahaan farmasi nasional baik yang BUMN seperti PT
Kimia Farma, Tbk dan PT Kalbe Farma juga mulai melirik kebutuhan produk obat
bioteknologi. PT Kimia Farma menggandeng LIPI dan lembaga riset Jerman, Fraunhofer
untuk mengembangkan teknologi produksi obat-obat berbasis protein yang lebih murah
dengan teknologi molecular farming. PT Kalbe Farma menggandeng lembaga riset Kuba
dan Eropa dengan membentuk anak perusahaan bernama Innogen yang berkantor di
Singapura.
Dari segi regulasi, Indonesia sudah mulai melakukan langkah-langkah proteksi seperti
pengajuan resolusi Bio-Piracy yang disetujui PBB (2007) untuk melindungi biodiversitas
Indonesia.
Dari sisi tenaga ahli, peneliti Indonesia, Arief Indrasumunar mendapatkan paten atas
hasil riset molekuler tanaman kedelai dari perusahaan tempatnya bekerja UniQuest,
Australia (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/16/humaniora/3533979.htm). Ini
menunjukan bahwa SDM Indonesia tidak kalah berkualitas.
2. ANALISIS TREND
2.1 International
Perkembangan bioteknologi setelah lebih dari 50 tahun diawali dengan teknologi
rekayasa genetika dan protein ini menjadi semakin cepat. Rekayasa protein saat ini
menjadi andalan bioteknologi modern karena produk-produk bioteknologi yang beredar
luas di masyarakat umumnya seperti hormon, antibodi hingga kosmetika.
Teknologi sekunder dari bioteknologi adalah kloning. Teknologi ini cukup kontroversial
hingga kini walaupun pada dasarnya sangatlah bermanfaat. Dengan teknologi ini,
manusia mampu memsintesis jaringan/organ baru sebagai ganti yang rusak.
Bioteknologi khususnya kloning kini dipandu oleh code-of-conducts yang dikenal
sebagai bioethics (etika biologi) untuk menghindari usaha-usaha tidak bermoral seperti
menciptakan manusia unggulan/mengkloning manusia.
Bioteknologi kini terus berkembang dan telah “mengawinkan” diri dengan nanoteknologi
hingga menghasilkan nanobioteknologi atau bioteknologi di tingkat nanometer
(molekuler) dengan penekanan pada nanomedicine atau penemuan obat-obat baru dan
peningkatan efektivitas obat melalui “drug delivery system”.
3. STRATEGI TRANSFORMASI
Memang perlu disadari bahwa prioritas Indonesia kini bukanlah bioteknologi tapi
pertumbuhan ekonomi baik mikro maupun makro. Walaupun demikian, persiapan untuk
menanggulangi perkembangan bioteknologi yang pesat di dunia tetaplah dibutuhkan.
Melakukan perencanaan yang baik adalah salah satu hal yang krusial tetapi
perencanaan hingga 25 ataupun 50 tahun dalam bidang bioteknologi adalah tidak
masuk akal. Sebagai contoh, Belanda melalui Netherlands Genomics Initiatives sendiri
sempat kewalahan melakukan perencanaan 10 tahun di bidang genomic akibat begitu
cepatnya perkembangan ilmu dan industri. Oleh karena itu, beberapa strategi yang
dapat diusulkan dalam 5 tahun adalah:
REFERENSI
1. Antara, http://www.antara.co.id/arc/2007/5/13/mahasiswa-indonesia-di-australia-
raih-paten-internasional/, akses terakhir: 23 Mei 2007
2. Arief B. Witarto. 2006. Sumbangan Pendapat tentang RUU RPJPN IPTEK,
disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Pansus RUU RPJPN IPTEK, 9
Maret 2006
3. . Harian Kompas, 17 Juni 2005.
4. Arief B. Witarto. 2005. Kloning terapi makin jadi kenyataan. Harian Kompas, 17
Juni 2005.
5. Witarto, Arief Budi. 2005. Bioteknologi, sebuah gelombang ekonomi baru. Harian
Bisnis Indonesia, 14 Juni 2005.
Personal Communication
1. Terry Vrijenhoek, Ketua Genomic Network for Young Scientists (bagian dari
Netherlands Genomic Initiatives untuk peneliti muda Belanda, 31 Mei 2007
2. Arief Budi Witarto, Peneliti Bioteknologi LIPI, 31 Maret 2007
FENOMENA BIOTERORISME DAN ANCAMANNYA TERHADAP
KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Nurul Hidayah
nurul.hidayah@ wur.nl
Warga PPI Wageningen - Belanda
INTISARI
One of the forces of nature that has been a catastrophe in Indonesia is the slope failure. We have
a long list of landslide events that happen in Indonesia every year. The lists of the some of the
landslides events that occurred in Indonesia:
(source:http://gsc.nrcan.gc.ca/landslides/in_the_news_e.php; http://landslides.usgs.gov/recent/archive/)
2007
- Jan. 12: Deadly landslide hits Indonesia in Sangihe island
- Feb. 6: Six dead in landslide in Indonesia's West Java
- Mar. 3: 40 die in Indonesian landslides in Flores
- Apr. 22: Three killed in Indonesian landslide in Sumatra.
- May 1. Five killed in Indonesia landslide in West Sulawesi.
2005 Sep. 2: Death toll in Indonesia's landslide in West Sumatra climbs to 17.
2004 Mar. 29: Landslides in Indonesia kill four, 32 missing in South Sulawesi.
The term landslide denotes the movement of a mass of rock, debris or earth down slope (Cruden,
1991). There are many types of landslide according to the types of movement and material
(Varnes, 1978) or according to the volume, velocity, etc. of the landslide. Generally, there are
two factors that affect the landslide event:
-conditioning factors (internal factors): e.g. the condition of the slope
-triggering factors (external factors): precipitation and earthquake.
The fact: Almost all the landslides that happened in Indonesia are triggered by the heavy rainfall.
With the issue of the climate changing and the deforestation, Indonesia is every day become
more susceptible to the slope instability because the climate changing changes the characteristics
of the rainfall and increase the intensity of the rainfall. And the deforestation decrease the shear
strength of the soil since the root of the vegetation adds some value in the soil cohesion.
The simple explanation:
Terzaghi’s theory (1936) of the effective stress of the soil.
- Total stress (s): stress that is acting on the soil which is made up of the weight of soil
vertically above the plane, together with any forces acting on the soil surface (e.g. the
weight of a structure)
- Effective stress (s’= s-u): It is a measure of the stress on the soil skeleton (the collection
of particles in contact with each other), and determines the ability of soil to resist shear
stress.
Pore water pressure (u) : the pressure of the water on that plane in the soil.
(Source: http://environment.uwe.ac.uk/geocal/SoilMech/stresses/stresses.htm)
Later on, the stress is used to calculate the soil strength, the shear strength. It is the maximum
stress that can be applied tangentially on a plane within a soil mass before sliding occurs on that
plane.
s= c’+ s’ tan f’
Since that we cannot control what will happen in the soil, but we do can do something to control
the factor that will cause the landslide, it is recommended that everyone takes his part from now
on.
Unfortunately, soils are made by nature and not by man, and the products of nature are
always complex… As soon as we pass from steel and concrete to earth, the omnipotence of
theory ceases to exist. Natural soil is never uniform. Its properties change from point to point
while our knowledge of its properties are limited to those few spots at which the samples have
been collected. In soil mechanics the accuracy of computed results never exceeds that of a crude
estimate, and the principal function of theory consists in teaching us what and how to observe in
the field.” (Terzaghi)
The ones we can control then are deforestation and the climate change.
Landslides are common in Indonesia because of illegal logging and heavy flooding
during the rainy season. In November, more than 200 people were killed when a flash flood
ravaged the Bukit Lawang resort in North Sumatra.
(http://www.theage.com.au/articles/2004/03/27/1080330986586.html)
The Guinness World Records had approved a proposal by Greenpeace that Indonesia's
forest destruction be included in its 2008 record book …
(http://www.stuff.co.nz/stuff/4047151a7693.html
Solution/conclusion:
No solution will be offered through this article. But there is something we can do if we want to.
Even though if we have a great idea or great theory to develop our country, but when the
environment is totally destructed, there aren’t many things we can do. The most important thing
is to save the place where we want to build our future. If we keep thinking of becoming
industrial country without paying attention to the necessity of the environment, we won’t be able
to do what we have been planning.
Government and all of us have to realize that deforestation can be controlled by all of us. And
though we can’t stop the landslide, but we can control it. With the advance of the technology, we
can know the characteristics of the landslide and there are many analyses available to study the
slope stability. But we have to realize that with the advance of science, we still can’t predict very
well the climate and rainfall pattern. So it will be wiser if we take control of the things that we
can do: stop deforestation and respect the nature.
References:
www.usgs.gov
www.livescience.com
www.nationalgeographic.com
Abramson L.W., Lee T.S., Sharma S., & Boyce G.M., 1996, Slope Stability and Stabilization
Methods, John Wiley & Sons, Canada.
Cho S.E. & Lee S.R., Instability of unsaturated soil slopes due to infiltration, 2001, Computers
and Geotechnics 28 (2001) 185-208.
Fredlund D.G & Rahardjo H. , 1993, Soil Mechanics for Unsaturated Soils, John Wiley &Sons,
Inc., Canada.
Krejčí, O.; Baroň, I.; Bíl, M.; Hubatka, F.; Jurová, Z.; & Kirchner, K. (2002). Slope movements
in the Flysch Carpathians of Eastern Czech Republic triggered by extreme rainfalls in 1997:
a case study. Physics and Chemistry of the Earth 27: 1567–1576.
Lim T.T, Rahardjo H., Chang M.F. & Ferdlund D.G., Effect on Rainfall on Matric Suctions in a
Residual Soil Slope, 1996, en Canadian Geotechnical Journal, 33: 618-628.
Rahardjo H. & Fredlund D.G., Mechanics Of Soils With Matric Suction, en Geotropika’92,
International Conference on Geotecnical Engineering and Parallel Short Course on Ground
Improvement and Foundation Engineering. 21-25 abril 1992, Malasia.
Rahardjo H. & Han K. Kwong, Shear Strenght of Saturated Soils As It Applies To Slope
Stability Analysis, en Symposium on Unsaturated Soil Behaviour and Applications, Nairobi,
Kenya, 22-23 agosto 1995.
Rahardjo H., Li X.W., Toll D.G., Leong E.C., The effect of antecedent rainfall on slope stability,
2001, Geotecnical and Geological Engineering 19: 371-399
IMD – SKM 2007
A. Analisis Situasi:
Sulit untuk diingkari bahwa Indonesia memiliki aneka ragam sumber daya energi dalam
jumlah energi dalam jumlah memadai namun tersebar tidak merata. Permintaan atau
konsumsi energi pun tumbuh pesat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Lebih
dari 60% beban konsumsi berada di Jawa, wilayah yang membutuhkan banyak energi,
namun yang tidak memiliki sumberdayanya sendiri dalam jumlah memadai. Sebaliknya,
banyak sumber energi terdapat di tempat berpenduduk sedikit, seperti Kalimantan dan
Sumatra, yang kegiatan ekonominya belum berkembang serta berjarak cukup jauh dari
Jawa.
Sementara itu, di tengah kekayaan sumberdaya energi yang dimiliki, konsumsi energi
Indonesia masih sangat tergantung pada minyak bumi (Tabel 1). Yaitu jenis sumber
energi mahal bila dibandingkan dengan gas bumi maupun batubara. Sehingga tidaklah
mengherankan bila potensi sumber energi di Indonesia mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
a. cadangan energi primer yang besar dan sangat beragam dan ekspor sumber daya
energinya berperan vital terhadap ekonomi nasional,
b. keterkaitan dengan ekonomi domestik sangat sensitif terhadap fluktuasi harga
energi di pasar dunia, dan
c. permintaan terhadap energi final pun di dalam negeri tumbuh dengan pesat.
1
IMD – SKM 2007
Oleh karena itu dibutuhkan komposisi pemanfaatan energi yang ideal bagi Indonesia
untuk mengoptimumkan sumber-sumber daya energi yang dimilikinya dan
memadukannya dengan aneka ragam kebutuhan energi yang terdapat dalam tempat-
tempat yang berbeda.
Energy mix (bauran sumber energi) merupakan suatu konsep/strategi yang dapat
dipergunakan sebagai alat (tools) untuk mencapai pembangunan energi dan ekonomi
yang berkelanjutan. Kebijakan bauran energi (energy mix) menekankan bahwa
pemanfaatan energi perlu mengoptimumkan sumber energi yang ada. Indonesia tidak
boleh tergantung pada sumber energi tak terbarukan berbasis fosil (minyak, batubara, dan
gas), namun harus juga mengembangkan penggunaan energi terbarukan seperti air, panas
bumi, tenaga surya, dan seterusnya. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu
dikembangkan dengan memperjelas strategi, sasaran penggunaan, jumlah pemanfaatan,
dan pengelolaan energi nasional, dengan mempertimbangkan potensi energi, permintaan
energi, infrastruktur energi serta faktor lainnya seperti harga energi, teknologi, pajak,
investasi, dan sebagainya.
2
IMD – SKM 2007
Beberapa data berikut ini sekiranya dapat menjadi pertimbangan penting dalam
menganalisis strategi pengelolaan sumber energi yang dimiliki Indonesia:
1. Cadangan minyak bumi terbukti saat ini diperkirakan sebesar 9 milyar barel,
dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barrel per tahun, maka cadangan
tersebut dapat habis dalam waktu sekitar 18 tahun.
2. Cadangan yang diperkirakan untuk gas 170 TSCF (trilion standart cubic feed)
sedangkan kapasitas produksi mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed)
yang dibagi untuk ekspor 4,88 BSCF dan untuk domestik 3,47 BSCF.
3. Cadangan batubara di Indonesia diperkirakan ada 57 miliar ton dan merupakan
cadangan yang sudah dieksplorasi sebesar 19,3 miliar ton, dengan kapasitas
produksi sebesar 131,72 juta ton per tahun. Sehingga jika tidak ada penambahan
eksplorasi, cadangan batubara tersebut akan dapat bertahan selama 147 tahun
(Lemhanas 2006).
Bila dilihat dari segi cadangan, Indonesia masih mempunyai persediaan cukup besar,
tetapi permasalahan utama yang kerap kali terjadi di Indonesia adalah kebijaksanaan
yang belum dapat memberikan ketahanan energi secara nasional, yaitu:
1. Masih banyak yang belum mendapatkan pasokan energi seperti listrik,
2. Produksi minyak yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga
perlu impor,
3
IMD – SKM 2007
Saat ini ketersediaan listrik di Indonesia baru mencapai 21,6 GW atau 108 watt per orang,
hal itu hampir sama dengan di India, yang hanya seperenamnya Malaysia (609
watt/orang) dan jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1.874
watt/orang. Padahal potensi sumber energi non fosil bagi ketersediaan energi listrik di
Indonesia sangat besar, yaitu:
Sumber Daya
Panas Bumi 27 GW
Tenaga Air 75 GW
Biomassa 49 GW
Tenaga Matahari (Surya) 48 KWH/m2/hari
Tenaga Angin 9 GW
Uranium 32 GW
Total 230 GW
Sumber: Data ESDM (2003)
Dan baru dimanfaatkan untuk listrik sebesar 10%. Ketersediaan energi yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,467 toe/kapita,
dibanding dengan Jepang yang mencapai 4,14 toe/kapita, tetapi dilain pihak terjadi
pemborosan yang sangat besar, yaitu 470 toe/juta US dolar, sedangkan Jepang hanya 92,3
toe/juta US dólar (Lemhanas, 2006).
4
IMD – SKM 2007
5
IMD – SKM 2007
Pemakaian energi dunia untuk waktu mendatang seperti diperkirakan Energy Information
Administration (EIA) hingga tahun 2025 masih didominasi oleh bahan bakar dari fosil:
minyak, gas alam dan batubara, sementara untuk energi terbarukan masih relatif sedikit.
Dilihat dari segi pemakaian, sumber energi minyak secara global didominasi untuk
transportasi, dan ini sampai 2025 diperkirakan masih terus berlanjut meningkat,
sedangkan untuk daerah komersial dan tempat tinggal dapat dikatakan tidak banyak
perubahan.
Kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275 milyar watt pada
tahun 2002 melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun 2025, dan untuk mendapatkan
energi listrik tersebut sebagian besar adalah dari batubara, yaitu hampir 40%, diikuti
dengan gas yang semakin meningkat.
Sementara di Asia diproyeksikan kebutuhan energi akan meningkat dari 110 quadrilliun
Btu (Qbtu) pada tahun 2002 menjadi 221 QBtu di tahun 2025 atau meningkat dua kali
lipat dalam jangka waktu 23 tahun. Dari peningkatan yang demikian tinggi tersebut,
6
IMD – SKM 2007
China merupakan negara yang peningkatannya sangat tinggi yaitu dari 43 Qbtu pada
tahun 2002 menjadi 109 Qbtu di tahun 2025 (EIA Outlook, 2005).
Dan bila kembali mengamati Tabel 1, sepuluh negara konsumen energi terbesar yang
masih didominasi oleh negara-negara industri maju yang tergabung dalam G8, seperti
juga kecenderungan yang terjadi di dunia, hampir semuanya menjadikan minyak,
batubara dan gas alam sebagai penopang utama kebutuhan energinya, meskipun dengan
komposisi yang berbeda-beda. Dari sepuluh negara konsumen energi terbesar tersebut,
yang jumlah kesemuanya menempati proporsi 64,76% dari total energi dunia, sebagian
besarnya tetap menjadikan minyak sebagai pasokan utama energinya.
Kelima negara yang menjadikan minyak sebagai sumber utama pemenuhan energinya
yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada dan Korea Selatan. Federasi Rusia dan
Inggris menjadikan gas alam sebagai pemasok terbesar kebutuhan energi dalam
negerinya, sementara Cina dan India menggunakan batu bara sebagia penopang utama
pemenuhan kebutuhan energinya.
Tiga negara maju, yaitu Amerika Serikat bersama dengan Jepang dan Korea Selatan
tergolong negara-negara yang masih sangat tergantung pada minyak mengingat konsumsi
yang sangat tinggi yaitu lebih dari 40% kebutuhan energinya dipasok oleh minyak.
Amerika Serikat di lain sisi sudah mengembangkan berbagai sumber energi lainnya baik
dari gas alam dan batu bara maupun energi nuklir. Bahkan konsumsi energi nuklir
Amerika Serikat merupakan yang terbesar di dunia pada tahun 2004 yaitu setara dengan
187,9 juta ton minyak. Namun demikian, besarnya kebutuhan energi karena industri dan
jumlah penduduk yang besar, membuat Amerika Serikat masih menggunakan minyak
sebagai sumber utama kebutuhan energinya.
Jika kita mencermati pertumbuhan energi-energi non fosil di Amerika Serikat, tampak
negara ini masih tetap akan mengandalkan sumber sumber energi dari fosil sebagai
7
IMD – SKM 2007
pemasok utama kebutuhan energinya. Hal ini dapat dilihat dari tidak terlalu tingginya
tingkat pertumbuhan energi non fosil tahun 2004 seperti nuklir yang hanya tumbuh 3,2%,
jauh lebih lambat dibandingkan dengan Jepang yang tumbuh 24,3%, Kanada sebesar
21,3% atau Cina 14,1% (BP Statistic, 2005).
Sementara Cina dengan pertumbuhan industri baru yang sangat pesat mampu
mengembangkan batu bara sebagai sumber energi alternatif dengan tujuan
ketergantungan pada minyak tidak terlalu besar. Disamping itu dengan harga batubara
yang lebih murah mampu membuat industri Cina dapat bersaing. Meskipun cadangan
batu bara Cina tidak sebesar Amerika Serikat (cadangan Amerika mencapai 27,1% dari
seluruh cadangan batu bara di dunia sedangkan Cina memiliki 12,6%), murahnya harga
energi batu bara membuat Cina begitu gencar mengintensifkan penggunaan batu bara
untuk kebutuhan energinya (EIA Outlook, 2005).
Pendekatan yang menarik dari kebijakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
negerinya juga bisa dilihat pada kasus Rusia atau Prancis. Dengan cadangan gas alam
terbesar di dunia (Rusia menguasai 26,7% cadangan gas alam di dunia) Rusia menjadikan
gas alam sebagai sumber utama pemenuhan energi dalam negerinya yang mencapai
setara 361,8 juta ton minyak atau 54,1% dari total energi yang dikonsumsi negara
tersebut. Produksi gas alam yang melimpah yang dilakukan oleh Rusia yang mencapai
setara 530,2 juta ton minyak (setara dengan 21,9% dari total produksi gas alam di seluruh
dunia yang merupakan produksi gas alam terbesar di dunia), membuat negara ini cukup
stabil dalam pemenuhan kebutuhan energinya.
Sementara itu Prancis memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya.
Berbeda dengan Amerika, Cina atau Rusia yang cukup memiliki kekuatan menguasai
sumber sumber energi fosil seperti minyak, batu bara ataupun gas alam, Prancis memiliki
keterbatasan terhadap sumber sumber energi fosil tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan
energinya yang besar, selain mengembangkan perusahaan-perusahaan minyaknya
menjadi perusahaan berskala besar untuk menjamin suplai minyak dalam negerinya,
Prancis secara serius menggarap sumber energi nuklirnya hingga mampu memproduksi
8
IMD – SKM 2007
setara 101,4 juta ton minyak (jumlah ini merupakan 16,2% dari total energi nuklir di
dunia yang merupakan kedua terbesar setelah Amerika). Di Perancis nuklir menjadi
sumber energi utama dibandingkan dengan minyak, gas ataupun batubara.
Cara yang sama ditempuh oleh Kanada dengan memperbesar konsumsi gas alam dan
sumber energi airnya sehingga jumlah keduanya mencapai 51%, jauh diatas konsumsi
minyaknya yaitu 32,4% (Kanada merupakan negara yang memproduksi energi hydro
terbesar di dunia yang mencapai 12% dari seluruh energi hydro di seluruh dunia).
Bila kita amati kebijakan energi pada negara-negara konsumen energi terbesar tersebut,
terlihat bahwa setiap negara akan mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk
diproduksinya sendiri seperti yang dengan jelas terlihat pada kasus Cina, Rusia, dan
Perancis.
Industri energi yang besar dari negara-negara tersebut dan kedekatan dengan negara-
negara produsen energi, seperti halnya industri industri minyak dunia yang dimiliki
negara-negara konsumen terbesar energi, juga perlu dikelola dengan baik untuk
menjamin ketersediaan pasokannya, seperti yang dilakukan oleh Amerika melalui
pendekatan politik dan militer pada negara-negara timur tengah. Selain itu membuat
perbandingan yang relatif berimbang terhadap sumber sumber energi yang ada membuat
ketergantungan sebuah negara terhadap satu sumber energi bisa berkurang.
Strategi Transformasi:
Pada kasus di Indonesia, sebenarnya produksi yang ada dari tiap-tiap sumber utama
energi yaitu minyak, gas alam, dan batubara, telah melebihi dari konsumsi dalam
negerinya. Produksi minyak Indonesia yang sebenarnya melebihi konsumsi dalam negeri
(produksi sepanjang 2004 berjumlah 55,1 juta ton lebih tinggi dibandingkan konsumsi
yang 54,7 juta ton) terpaksa sebagiannya harus lari ke pihak perusahaan pengelola yang
nota bene dimiliki oleh perusahaan asing (kontraktor Bagi Hasil/ KBH).
9
IMD – SKM 2007
Data yang sedikit berbeda yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM dalam Blueprint
Pengelolaan Energi Nasional menunjukkan bahwa dengan kondisi produksi minyak saat
ini dan perjanjian bagi hasil yang sedang berlaku, Indonesia harus mengimpor minyak
mentah sebesar 487 ribu barel per hari dan produk olahan minyak sebesar 212 ribu barel
per hari (total 699 ribu barel per hari), melebihi besar ekspor minyak mentahnya sebesar
514 ribu barel perhari.
Kondisi besarnya impor minyak inilah yang membuat kenaikan harga minyak mentah
dunia yang sempat menyentuh level 70 US$ per barel menjadi sangat memberatkan
APBN di tahun 2005 lalu. Melihat ketergantungan yang sangat tinggi dari minyak, sudah
saatnya Indonesia mengikuti pola kebijakan energi seperti yang dilakukan oleh Cina,
Rusia ataupun Perancis yang sumber utama energi didapat dari sumber yang pasokannya
stabil baik ketersediaan di dalam negeri maupun harganya.
10
IMD – SKM 2007
Optimalisasi penggunaan batubara dan gas alam dalam waktu yang tidak terlalu lama
sebagai bagian dari kebijakan energy mix sesungguhnya segera bisa direalisasikan untuk
membuat ketahanan energi di Indonesia bisa lebih stabil. Untuk jangka panjang,
memfokuskan sumber energi non-fosil untuk dikembangkan secara besar-besaran
agaknya perlu dimulai sejak saat ini sebagaimana Jepang yang sangat serius
mengembangkan nuklir dan sel suryanya, atau Kanada yang mengembangkan energi
hidro secara besar-besaran.
Merujuk pada strategi dan program yang disusun dalam Blueprint Pengelolaan Energi
Nasional 2005 – 2025 (baik program utama dan pendukung), maka beberapa hal perlu
dilakukan untuk mengoptimalkan pengelolaan energi nasional:
1. Segera dibuatnya undang undang energi sebagai payung utama dalam hal
energi, kemudian penyesuaian undang-undang yang terkait dengan undang-
undang energi, seperti undang-undang ketenaga nukliran, kelistrikan, panas bumi,
migas dll. Undang-undang tersebut perlu diikuti dengan instrumen-instrumen
untuk memudahkan pelaksanaan baik dipusat maupun di daerah. Juga perlu
ditetapkan program yang jelas, seperti yang tertera dalam blueprint energi yang
perlu dilakukan sinkronisasi dengan kebijaksanaan perumahan, transportasi,
industri maupun daerah komersial. Hasil blueprint tersebut perlu diformalkan
untuk menjadi acuan nasional, sehingga semua kebutuhan yang berkaitan dengan
energi harus disesuaikan dengan blueprint tersebut
2. Perlu adanya perbaikan kebijaksanaan dalam harga, selain untuk menekan
subsidi juga untuk menekan terjadinya penyelundupan BBM keluar negeri,
pencampuran berbagai jenis minyak dll. Dalam hal ini koordinasi secara nasional
diperlukan, terutama dengan penegak hukum baik Polisi maupun TNI serta
perangkat hukum lainnya. Kebijaksanaan didaerah yang saat ini kebanyakan
menunggu kebijaksanaan dari pusat, dengan adanya undang-undang energi dan
programnya yang jelas dapat menentukan arah pembangunan energi yang ada
didaerahnya sesuai dengan potensi yang ada.
11
IMD – SKM 2007
12
IMD – SKM 2007
Referensi:
• EIA, World Energy Outlook, 2005
• Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025, ESDM, 2003
• Kristojo, Hari dan Hanan Nugroho, Menuju Pemanfaatan Energi yang Optimum di
Indonesia: Pengembangan Model Ekonomi-Energi dan Identifikasi Kebutuhan
Infrastruktur Energi, Bappenas, 2003.
• Sugiyono, Agus, Perubahan Paradigman Kebijakan Energi Menuju Pembangunan
yang Berkelanjutan, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pascasarjana FE UI
dan ISEI, 2004.
13
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM:
TANTANGAN BAGI TANGGUNG JAWAB KORPORASI INDONESIA
Michael C. Putrawenas
PPI Rotterdam / PPI Belanda
Kata kunci:
Corporate social responsibility, sumber daya, sumber daya alam, tanggung jawab sosial, tanggung
jawab korporasi.
Hampir tidak akan ada yang menyangkal bahwa kepulauan Nusantara memiliki
sumber daya alam yang berlimpah ruah. Sumber daya mineral, keragaman hayati,
kekayaan hasil bumi dan laut tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jika kekayaan
alam dan jumlah penduduk yang besar ini diasumsikan sebagai input dari suatu proses
ekonomi dan sosial, maka output yang bisa diharapkan sebenarnya cukup besar pula.
Namun, setelah sekian abad kepulauan Nusantara yang kini bernama Indonesia
dikelola oleh berbagai pemerintahan, penduduk yang hidup didalamnya masih jauh
dari menikmati potensi yang dimilikinya. Tingkat kemakmuran ekonomi Indonesia
masih relatif tertinggal dengan negara tetangganya dan indikator kemajuan sosial
tergolong sangat rendah di dunia.
Makalah ini akan mencoba membahas peran yang bisa dimainkan aktor swasta dalam
mengelola sumber daya nasional dan lokal sebagai wujud tanggung jawab (ekonomi,
sosial, dan lingkungan) perusahaan. Makalah ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi
dan bukan penelitian ilmiah dengan kaidah akademis yang baku. Berbagai penelitian
lanjutan dan pengayaan data masih sangat diperlukan.
1. ANALISA MASALAH
Tiga masalah utama yang dapat dikuantifikasikan dalam makalah ini bermula dari
taraf hidup rakyat yang masih rendah dari berbagai ukuran, pengelolaan sumber daya
alam yang jauh dari efisien, dan rendahnya kesadaran tanggung jawab sosial
perusahaan di Indonesia sebagai salah satu aktor utama pengelolaan sumber daya.
Gambar 1
Produk Domestik Bruto per kapita
(Purchasing Power Parity) Human Development
Index
35,000
1
30,000
0.9
25,000
0.8
0.7
20,000
0.6
0.5
15,000
0.4
10,000 0.3
0.2
5,000
0.1
0 0
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Indikator kemakmuran ekonomi suatu negara yang paling lazim digunakan adalah
Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) per kapita (PDB per kapita). Data
yang ditampilkan Gambar 1 adalah PDB per kapita yang sudah dikoreksi dengan
perbedaan tingkat harga di setiap negara (purchasing power parity). Perbandingan
dengan Republik Rakyat Cina (RRC), Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand
dimaksudkan untuk melihat perbandingan antara Indonesia dengan negara-negara
maju di Asia (Jepang dan Korea Selatan) serta negara berkembang (RRC) khususnya
negara tetangga yang memilki kemiripan karakteristik (Malaysia dan Thailand).
Untuk lebih mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh dari tingkat taraf hidup
suatu negara, ukuran ekonomi saja tidaklah cukup. Tingkat kesehatan, kualitas hidup,
dan pendidikan adalah komponen-komponen penting yang terukur secara komposit
dalam human development index (HDI). Diukur dari PDB per kapita dan HDI,
performa Indonesia sebagai sebuah negara masih jauh dari potensi yang dimilikinya.
Bahkan HDI Indonesia menempati urutan 108 dari 177 negara.
1.2. Defisit Ekologis
Peri kehidupan masyarakat Indonesia selama ini banyak disokong oleh sumber daya
alam. Tetapi, secara ekologis, Indonesia mengalami defisit ekologis1. Defisit ekologis
berarti dengan pola pengelolaan saat ini, sumber daya alam yang tersedia bagi rakyat
Indonesia tidak mencukupi. Indonesia mengalami defisit ekologis sebesar 0.1 hektar
per kapita sementara Malaysia dengan performa ekonomi yang jauh lebih baik dari
Indonesia justru memiliki surplus ekologis sebesar 1.5 hektar per kapita (WWF,
2006). Disparitas anggaran ekologis dua negara ini mengilustrasikan bahwa jumlah
sumber daya alam yang dimiliki suatu negara hanya akan dapat berkontribusi
terhadap kemajuan ekonomi dan sosial jika pengelolaannya dapat berjalan baik.
Manajemen sumber daya alam bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Pemerintah
memang berkewajiban meletakkan dasar kebijakan yang mengarah kepada
kesinambungan pengelolaan sumber daya alam (e.g. melalui produk hukum,
insentif/dis-insentif, penegakan hukum, penyediaan infrastruktur).
Sumber daya alam tidak akan dapat berkontribusi banyak bagi perikehidupan
masyarakat maupun Negara jika tidak diolah untuk menciptakan nilai ekonomi.
Penciptaan atau lebih tepatnya penambahan nilai ekonomi sumber daya alam sebagian
besar merupakan tugas aktor produksi dan pelaku pasar yang lazim berbentuk
perusahaan. Aktor swasta dapat berupa usaha keluarga, perusahaan lokal, perusahaan
nasional, maupun perusahaan multinasional. “Pembagian tugas” seperti ini
menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan,
khususnya dalam mengelola sumber daya alam lokal dan nasional. Masalahnya
adalah, persepsi akan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia
masih rendah, lagi-lagi dibawah Malaysia, Korea Selatan, RRC dan Thailand (World
Economic Forum, 2004: 608).
1
Defisit / surplus ekologis menggunakan satuan hektar per kapita yang
mencerminkan konsumsi sumber daya alam dan limbah dari penduduknya dengan
juga memperhitungkan pengaruh dari ekspor/impor.
2. ANALISA POTENSI
Kapasitas ekologi2 Indonesia masih berada jauh dibawah Malaysia. Indeks kapasitas
ekologi Indonesia adalah 1 hektar per kapita sementara Malaysia 3.7 hektar per kapita
(WWF, 2006). Padahal luas wilayah Indonesia adalah 1,9 juta kilometer persegi
sedangkan Malaysia hanya 332 ribu kilometer persegi. Fakta ini sekali lagi
menekankan bahwa pola pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sangat belum
produktif. Tetapi di sisi lain menunjukkan betapa besarnya potensi yang dapat dicapai
dengan pola manajemen yang lebih baik.
Meskipun perbandingan luas wilayah dengan populasi antara Indonesia dan Malaysia
tidak sebanding, kekayaan bumi yang dikandung kepulauan Nusantara menambah
potensi alam Indonesia.
Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, sudah sangat layak sebenarnya
jika muncul perusahaan-perusahaan pengelola kelautan tingkat dunia dari Indonesia
seperti perusahaan perikanan, pengelolaan batu karang juga para pakar marine
biologist.
2
Kapasitas ekologi meghitung produktivitas pengelolaan alam dari area yang terdapat
dalam suatu negara.
2.3. Merebaknya sekolah dan sarjana manajemen dalam dan luar negeri
Dalam satu dekade terakhir ini sekolah-sekolah tinggi setingkat universitas yang
menawarkan program manajemen muncul secara sporadis terutama di kota-kota
besar. Program-program manajemen diminati baik oleh generasi muda yang baru
lulus sekolah lanjutan maupun para profesional dan pakar yang kembali ke kampus
menempuh program magister. Pelajar dan profesional Indonesia yang berkesempatan
menempuh pendidikan di luar negeri pun juga banyak yang memilih untuk mendalami
mata kuliah bisnis dan manajemen internasional.
Gejala ini menunjukkan bahwa minat untuk mendalami (demand) dan minat untuk
berinvestasi (supply) dalam pendidikan manajemen tumbuh drastis. Keadaan ini perlu
dioptimalkan dengan menjaga standar kualitas pendidikan manajemen dan
pengembangan kurikulum manajemen yang khas Indonesia.
3. ANALISA TREND
Akses terhadap sumber daya alam telah menjadi bahan pemicu konflik antar Negara
dan antar bangsa. Semakin lama ketersediaan sumber daya alam tidak bertambah
tetapi justru semakin langka. Kelangkaan sumber daya alam ini dalam masa kini dan
mendatang perlu dikelola dengan baik untuk menghindari konflik (Klare, 2001).
Negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam dalam wilayah mereka akan
terus mencoba mengamankan akses ke sumber daya alam di Negara lain. Perilaku ini
mengharuskan negara-negara pemilik sumber daya alam untuk menguatkan basis
mereka dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya tersebut. Strategi
pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam yang mantap perlu melibatkan
secara aktif pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta. Ini bukan berarti menutup pintu
bagi pengelola asing, tetapi mendahulukan pengelolaan lokal yang kompeten dan
berkesinambungan.
Standar mutu pengelolaan alam yang berkembang terlihat akan semakin menjadi baku
dan sangat mungkin (bahkan sudah mulai dilakukan) untuk dijadikan prasyarat suatu
perusahaan atau negara melakukan perdagangan internasional. Negara atau korporasi
yang tidak memenuhi standar tersebut bisa dikenakan sanksi atau ditolak untuk
berpartisipasi dalam pasar komoditas.
3.3. Otonomi Daerah
4. STRATEGI TRANSFORMASI
Sebenarnya sejauh ini sumber daya lokal sudah banyak dilibatkan dalam pengelolaan
sumber daya alam. Tetapi peran mereka masih sangat terbatas dalam bentuk
perusahaan kecil, buruh tani, nelayan tradisional, dan seterusnya. Keterlibatan sumber
daya lokal ini perlu diberdayakan antara lain dengan kemudahan akses (mikro)kredit,
insentif fiskal, capacity building, dan jaminan hukum berusaha. Dengan demikian
tidak hanya pengelolaan alam yang optimal tercapai, tetapi juga penguatan ekonomi
lokal.
Jika konsep CSR disinergikan dengan kesempatan bisnis pengelolaan sumber daya
alam Indonesia secara berkesinambungan maka peran aktor swasta dalam penciptaan
kekuatan ekonomi Indonesia yang sehat akan jauh lebih mantap.
5.2. 75% sumber daya alam Indonesia dikelola secara bertanggung jawab oleh aktor
lokal dan nasional.
5.3. Masyarakat Indonesia yang sungguh bangga dengan kekayaan alamnya tapi lebih
bangga lagi dengan pengelolaannya yang berkesinambungan dan mengangkat taraf
hidup rakyat.
Referensi
UNDP (2006) Human Development Report 2006, Palgrave Macmillan: New York.
WWF (2006) Living Planet Report 2006, World Wide Fund for Nature: Gland.
SDA DAN PERKEMBANGAN YANG BERKELANJUTAN
(KONSEP DAN PENERAPAN “DESARROLLO SOSTENIBLE”)
“Ketika pembelajaran mengenai rumah dan administrasi rumah dipadukan, dan ketika
garis-garis etika dapat dikembangkan dari lingkup lingkungan hidup ke nilai-nilai
kemanusiaan, optimisme terhadap masa depan kemanusiaan akan sangatlah mungkin.
Konsekuensinya, pembelajaran masa depan yang holistik akan tercapai dengan
mempertimbangkan perpaduan tiga faktor penting: Ekologi, Ekonomi dan Etika”1.
“Selalu ada hal yang kita lakukan karena kita mencintainya, dan ada lain hal yang kita
lakukan untuk meraih tujuan lain. Salah satu tugas terpenting masyarakar adalah
membedakan antara tujuan-tujuan dan mempertimbangkan segala sesuatu untuk
mencapai tujuan tersebut. Pertanyaannya adalah: Apakah bumi itu sekedar sarana
produksi atau mempunyai arah dalam dirinya sendiri? Ketika saya mengatakan “bumi”,
itu mencakup seluruh ciptaan yang ada di dalamnya”2.
1
EUGENE P. ODUM, , Vedrá, Barcelona, 1992, 271.
E c o l o g í a : b a s e s c i e n t í f i c a s p a r a u n n u e v o p a r a d i g m a
2
E.F. SCHUMACHER, , Blume, Barcelona, 1978, 89.
o p e q u e ñ o e s h e r m o s o
1
PENGANTAR
Sebagai sebuah biosfera, jaringan planet bumi dan mahkluk yang ada di
dalamnya, manusia mempunyai peranan dominan, sebagai anggota, tetapi sekaligus
penguasa yang menggerakan perubahan. Sentuhan kemanusiaan hadir dan membuah
hasil di bumi. Alam sekitar adalah perluasaan dari kemanusiaan. Alam merupakan
eksteriorisasi dari dunia batin manusia., adalah cermin dari hidup dan perilaku
manusia3. POPPER4 mengatakan bahwa manusia merupakan sebuah laboratorium dengan
tiga dunia: material (alam sekitar), pengalaman sadar (indera) dan pengetahuan obyektif
(cultura) yang saling berkaitan satu sama lain. Apa yang terjadi di alam mterial,
merupakan pengaruh dan berpengaruh terhadap pengalaman sadar dan pengetahuan
obyektif; dan kombinasinya. Dan berharapan dengan cara hidup dan perilaku manusia
kita masuk dalam tataran etika dan struktur nilai.
Masa sekarang kita berhadapan dengan situasi planet bumi yang penuh luka,
beberapa bisa dipulihkan dan beberapa tidak bisa dipulihkan. Banyak tokoh lingkungan
hidup mengatakan Bumi dan seisinya sedang lelah dan memerlukan istirahat, atau
sedang sakit dan memerlukan obat, bahkan mungkin sedang sekarat dan memerlukan
obat penenang. Seberapa kritis kondisi ini, ada banyak penafsiran. Masa depan
kemanusiaan menentukan dan ditentukan oleh bagaimana kita berperilaku terhadap
alam. Dan mengingat kondisi yang ada, kita boleh berhipotesis bahwa ada sesuatu yang
tidak benar dalam perilaku kita terhadap alam dan ada yang harus diubah dalam
perilaku kita. Kita bertanggungjawab terhadap generasi kita dan generasi mendatang5.
3
Berkaitan dengan tesis ini, dapat dibaca dalam A.KING - B. SCHNEIDER,
a p r i m e r a r e v o l u c i ó n m u n d i a l ,
, Barcelona, 1992.
P l a z a y J a n é s
4
Dikutip dari J.C ECCLES, : Zygon 8 (1973: 3-4) 283.
u l t i v a t e d E v o l u t i o n v s B i o l o g i c a l E v o l u t i o n
5
Banyak tesis etika lingkungan hidup sebagai contoh: J. ETXEBERRÍA, ,
a é t i c a a n t e l a c r i s i s e c o l ó g i c a
: http://www.gadfly.igc.org/papers/futgens.htm; G.PONTARA,
o m p a n i o n t o E n v i r o m e n t a l E t h i c s t i c a y
C É
2004) 91-120.
6
ALVIN TOFFLER, , Madrid, 1996. Gelombang pertama adalah revolusi pertanian,
a T e r c e r a O l a
D ¿ Q
, Suhrkamp, Frankfurt,
W
a s I s t G l o b a l i s i e r u n g ? I r r t ü m e r d e s G l o b a l i s m u s - A n t w o r t e n a u f G l o b a l i s i e r u n g
C U
2
budaya yang diramu oleh teknik informasi dan komunikasi yang menghubungkan
beberapa pihak dan organisasi. Dan dalam proses globalisasi, pertumbuhan dan
perkembangan disinyalir sudah mengatasi ambang batasnya9.
Dengan latar belakang pemikiran global itulah, paper ini dibuat. Paper ini
mengangkat tema etika lingkungan hidup dan secara khusus akan membahas salah satu
nilai yaitu etika perkembangan yang berkelanjutan (untuk selanjutkan akan disingkat
DS, desarrollo sostenible)10. Untuk itu, paper akan disajikan dalam 3 bagian besar.
Bagian pertama akan memaparkan secara garis besar situasi perkembangan planet bumi
dan perkembangan manusia secara mendunia (mundial – selanjutnya akan digunakan
istilah ini), dan akan dilengkapi dengan informasi mengenai situasi dan kondisi
lingkungan hidup yang ada di Indonesia. Bagian kedua akan membahas usaha-usaha
yang telah dilakukan dan yang sedang dilakukan untuk menggerakkan DS dalam taraf
mundial maupun nasional, dan bagian ketiga disajikan strategi etika DS dalam beberapa
manifestasinya.
9
D.H. MEADOWS dkk, , El País, Madrid, 1993.
á s a l l á d e l o s l í m i t e s d e l c r e c i m i e n t o
10
Proposal etika: AAVV, . , Trota,
e d i o a m b i e n t e y d e s a r r o l l o s o s t e n i b l e á s a l l á d e l I n f o r m e B r u n d t l a n d
M M
¿ N
3
BEBERAPA DEFINISI DASAR
SDA
PERKEMBANGAN (DESARROLLO)
11
MARCIANO VIDAL,
E l P r i n c i p i o t i c o d e “ s o s t e n i b i l i d a d ” n u e v a s r e s p o n s a b i l i d a d e s y n u e v o s e s t i l o s d e
12
168.
I b í d e m ,
4
BAGIAN PERTAMA
Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dikatakan secara umum bahwa masa
depan planet bumi tergantung pada penggunaan SDA secara cermat dan perlindungan
ekosistim. Prinsip DS (desarrollo sostenible) belum bisa diterjemahkan secara
memadai untuk menjaga lingkungan hidup. Dalam 20 tahun, telah hancur permukaan
hutan dunia seluas negara Venezuela. Di bumi terdapat 19 juta m2 daerah dilindungi
(13% dari permukaan bumi), namun spesies tumbuhan dan binatang tetap terus
menurun, masih ditambah dengan perkembangan penduduk dunia pertahun yang
mencapai 100 juta jiwa.
Kondisi SDA dalam taraf dunia dapat dipelajari juga dalam Informe Sobre
Desarrollo 2007 de PNUD y UNEP (United Nation Environment Programme) dalam
Geo years book 2007. Kedua buku itu merupakan rangkuman dari beberapa artikel,
berita dan análisis yang dilakukan oleh beberapa badan penelitian alam. Berikut ini akan
disajikan beberapa inti sarinya hanya sekedar untuk memberikan gambaran.
13
Sumber: www.wwf.com.
14
SANDO POZZI, dalam EL PAIS (Madrid), 13.06.2005,36-37.
5
SEKTOR ENERGI
Intensitas penggunaan energi dalam taraf global menurun secara bertahap. Itu berarti
bahwa energi digunakan semakin efektif dalam produksi ekonomi, meskipun ada
perbedaan jumlah
penggunaannya,
tergantung dari faktor
faktor seperti struktur
ekonomi dan kesediaan
SDA. Hampir 80%
energi yang dikonsumisi
di Uni Eropa berasal
dari bahan bakar fosil.
Meskupun terjadi
penghematan energi
selama 18% dihitung
dari tahun 1990, USA
menggunakan lebih energi per PIB dari wilayah lain (kecuali Afrika)
Sejak pertengahan tahun 90 an, prosentase penggunaan vahan bakar fosil sebagai
sumber energi cenderung stabil dari 86-87% dari seluruh penggunaan sumber energi.
Prosentase penggunaan sumber energi yang dapat diperhabarui berkurang secara tipis
13,0% sampai 13,2% dalam
tahun 2003 (1990:%). Di
antara energi yang dapat
diperbaharui, energi kincir
angin dan matahari pada
awalnya mempunyai
prosentase yang rendah,
tetapi kemudian meningkat
secara cepat seperti nampak
dalam grafik.
6
PERUBAHAN CUACA
7
SITUASI OZON
Penggunaaan HCFC sebagai penganti CFC menurun pada tahun 2000. Pada tahun 2005
mencapai 31700 ton (PAO: potencial agotanmiento ozono) terutama terjadi terutama di
Asia Pasifik. Penggunaan BrCH4 yang dilarang oleh perjanjian Montreal 2005 semakin
berkurang: 12450 ton PAO untuk seluruh dunia. Para tahun 1015 diharapkan BrCH4
tidak akan digunakan lagi.
Konsumsi CFC menurun dalam tahun 2005
mencapai 41000 ton PAO (berkurang 66000
ton PAO dari tahun 2004). Kesulitan yang
dialami badan dunia adalah mengurangi
produksi dan penggunaan CFC, HCFC dan
BrCH4, mengurangi sirkulasinya dan
pedanganan illegalnya.
HUTAN
Peningkatan jumlah permintaan produk dari kayu dapat membahayakan hutan di dunia.
Meskipun tidak ada banyak data
kronologis dan perbandingan antara
jumlah hutan dan produksi kayu,
informasi yang ada menunjukkan
peningkatan angka penebangan hutan di
banyak tempat di dunia, secara khusus di
daerah Afrika, Asia dan Pasifik. Data
dari FAO menujukkan bahwa
penebangan hutan meningkat sampai 3,5
% di tahun 2005. Dalam sepuluh tahun terakhir, telah diminta secara resmi penebangan
sekitar 80 juta hektar di lebih 80 negara
sesuatu dengan Lembaga Administrasi
Hutan (FSC). Permintaan produk yang
bersertifikasi meningkat di USA dan
Eropa dua kali lipat.
8
HASIL TANGKAPAN LAUT
Tangkapan total ikan, udang dan produk laut lainnya tetap sekitar 80 sampai 87 juta ton
sejak 1994. Di tahun 2005, ditangkap sekitar 86 juta ton. Angka yang dinyatakan tidak
selalu tepat, karena penangkapan ilegal sangatlah sulit dievaluasi. Meskipun demikian,
nampak jelas bahwa batas rumpun ikan berkurang setip kali, dan mewajibakan untuk
mengadopsi aturan baru yang lebih keras untuk jumlah dan jenis ikan tangkapan.
Jika benar bahwa tangkapan ikan laut itu stabil, kenyataan menunjukkan bahwa
perikanan laut di daerah Asia dan Pasifik cukup membayakan ekosistem secara
keseluruhan.
BIODIVERSITAS
Tekanan yang terus menerus terhadap alam menimbulkan masalah besar bagi usaha
untuk konservasi ekosistem dan zona penting. Meskipun di banyak tempat di dunia,
perlindungan zona natural diperluas, pengaturannnya diperbaiki dan perlindungannya
dikuatkan dalam politik urbanisasi, kehutanan, pertanian dan perikanan, dampak umum
dari masyarakat terhadap lingkungan hidup dan keanekaragaman biologi tetap menjadi
masalah dasar. Selama beberapa pulun tahun, tidak meningkat jumlah dan luasnya zona
dilindungi yang ada di dunia (UICN). Akhir tahun 2006, zona dilindungi di seluruh
permukaan bumi dan air adalah 13%.
9
Indikator tidak menentukan ukuran kefektifan perlindungan keanekaragaman biologi di
zona dilindungi (UNEP-WCMC 2007)
AIR BERSIH
Air bersih, sehat merupakan kebutuhan dasar kesehatan manusia dan perkembangan
ekonomi. Akses pembagian air dan penyaluran air bersih semakin menaik.
Tahun 2004, penduduk dunia medapatkan akses air bersih sekitar 83% sampai 59%.
Meskipun demikian, dunai belum mempunyai cukup sarana untuk memenuhi apa yang
diminta oleh (ODM: objetivos de desarrollo de milenio).
Kebutuhan air tetap menjadi kebutuhan lux bagi banyak orang miskin di dunia.
Kenyataan menunjukkan bahwa 1100 juta penduduk kekurangan air bersih, sementara
2600 juta kekurangan air sehat. Angka ini meningkat selama beberapa tahun. Migrasi
yang terhadi kota-kota besar menimbulkan masalah besar bagi para pemerintah dan
penduduk kota dan mewajibkan mereka untuk memperluas akses air bersih dan air
sehat. (WHO UNICEF, 2006)
10
KESEPATAKAN PARA PEMIMPIN TINGGI NEGARA
ANALISIS TREND
KONSEP DASAR DS
11
Prinsip DS muncul pada pertengahan abad XIX, dan merupakan cabang dari
ilmu alam yang kemudian pada tahun 1866, oleh Ernst Haeckel dijadikan sebuah ilmu
yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan alam sekitarnya15. Sebelumnya,
tahun 1798 Thomas Robert Maltus, seorang ekonom inggris, dalam tesisnya Ensayo
sobre el principio de la población, memperhitungkan ekologi sebagai pertimbangan
untuk pengaturan penduduk: ketidaktersediaan SDA dan kontaminasi. Pada waktu
selanjutkan, “sostenibilidad” dimengerti sebagai kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan antara faktor biotik dan abiotik. Pada tahun 1992, Goldwin
mengungkapkan “sostenibilidad” sebagai konsep yang menghubungkan antara
keterbatasan ekosistem dan pertumbuhan yang takterhingga. “Sostenibilidad” hanya
tercapai jika pertumbuhan kuantitif perubahan material stabil dan diganti oleh
perkembangan kualitatif, dengan mempertahankan SDA, produksi dan konsumsi16.
Salah satu representasi ekonomi ekologis adalah Herman Daly yang menggunakan
konsep “sostenibilidad” untuk menghubungkan dan merumuskan kesetimbangan antara
ekonomi dan ekologi dengan konsepnya: dunia hampa dan dunia penuh berisi.17
INFORMASI BRUNDTLAND
15
E.U. WEIZSÄCKER, , Sistema, Madrid, 1993, 270.
P o l i t i c a d e l a T i e r r a
16
AAVV, , Trotta, Madrid, 1997,
e d i o a m b i e n t e y d e s a r r o l l o s o s t e n i b l e . á s a l l á d e l I n f o r m e B r u n d t l a n d
M M
32.
17
, 45.
I b i d .
18
47.
I b i d .
19
Ibid. 108.
20
RF. DASMANN, . Landscape Planning, Vol 12, 215.
A c h i e v i n g t h e s u s t a i n a b l e u s e o f s p e c i e s a n d e c o s y s t e m
12
Sementara itu, Gro Harlem Brundtland merumuskan konsep desarrollo
sostenible itu dalam Bab 2:21
Pada tahun 1989 diterbitkanlah Blueprint for a Green Economy oleh Menteri
Lingkungan Hidup Inggris di bawah pemerintahan Margaret Thatcher.
Salah satu tokoh yang merumuskan baik kesadaran dan ruang lingkup DS adalah
Jorge Riechmann yang berbicara mengenai pertumbuhan berkelanjutan. Ia
mengkategorikan 6 prinsip dari DS22:
1. Prinsip “irreversibilidad cero” berdasarkan pada ketahanan biosfera yang
menerapkan pengurangan samapai titik 0 intervensi akumulasi dan
kerusakan permanen.
2. Prinsip “recolección sostenible”, mengacu pada SDA yang dapat dibaharui
dengan sendirinya, mempertahankan supaya angka pengumpulan SDA yang
dapat diperbaharui itu tetap sama dengan angka regenerasi SDA yang
bersangkutan.
3. Prinsip “vaciado sostenible” berdasarkan pada proses daur ulang dan
konsumo SDA yang tidak dapat diperbaharui, mempertahankan supaya
21
CMMAD, , Alianza, Madrid, 1992, 13, 67.
u e s t r o f u t u r o c o m ú n
22
AAVV, , Trotta, Madrid, 1995, 24;
e l a e c o n o m í a a l a e c o l o g í a E c o l o g i a y d e s a r r o l l o . E s c a l a s y
D M
13
angka exploitasi SDA yang tidak dapat diperbaharui itu seimbang dengan
angka penciptaan SDA alteratif/pengganti.
4. Prinsip “emisión sostenible”, yang menerapkan kesetaraan antara angka
emisi bahan bakar dan kapasitas asimilasi dan autoregenerasi ekosistim.
5. Prinsip “selección sostenible de tecnologías” berdasarkan pada efisiensi dan
pertumbuhan ekonomi, menerapkan pemberian perhatian khusus (privilege)
pada teknologi yang mempunyai sedikit dampak lingkungan.
6. Prinsip “precautorio” memilih langkah-langkah yang kurang beresiko dalam
situasi sulit yang membawa kepada kerusakan alam.
BAGIAN KETIGA
Aktifitas ekonomi merupakan salah satu aktifitas manusiawi yang pada dasarnya
mempunyai ciri: bebas dan bertanggungjawab. Aktifitas ekonomi, yang paling
mendasar, terletak pada pencarían dan penciptaan sarana untuk memenuhi kebutuhan
manusia berpangkal dari kesediaan SDA. Kegiatan ekonomi terpusat pada tiga sektor
dasar: aktivitas primer (pertanian, perburuan, dan perikanan), aktivitas sekunder
(industri) dan aktifitas tersier (pelayanan jasa)23.
Roda ekonomi dilaksanakan dalam sebuah siklus yang terdiri dari: produksi, distribusi,
sirkulasi dan konsumsi24:
o Produksi. mencakup 4 tindakan-badan ekonomi: SDA, kerja, modal dan
perusahaan.
o Distribusi: mencakup kerja, modal, kepemilikan barang dan ektifitas
perdagangan.
o Sirkulasi: terbentuk dalam 3 perubahan: nilai tukar mata uang, kredit, dan
perdagangan.
o Kosumsi: berkaitan dengan masalah menabung, kebutuhan luz, distribusi
pajak.
Pada kesempatan ini, disajikan beberapa langkah strategis penopang ekononomi
sostenible: Produksi bersih dan konsumsi yang bertanggungjawab.
23
MARCIANO VIDAL , PS Editorial, Madrid, 1979, p. 286.
, o r a l d e A c t i t u d e s I I I
24
P. STEVAN, , edic.2, Madrid 1985, p.206.
o r a l S o c i a l
14
PRODUKSI BERSIH
Produksi bersih mencakup 4 proses: clean process, clean product, close loop
system dan Biosociety. Proses produksi bersih ditopang oleh 3 faktor dasar yaitu:
konsumsi yang bertanggungjawab, Prinsip Kewaspadaan dan Partisipasi Publik. Secara
garis besar dapat dilihat dalam bagan berikut:
Proses bersih
Proses produksi bersih mencakup perawatan bahan baku dan enegeri; penghapusan
bahan baku beracun; pengurangan kuantitas emisi dan limbah selama proses.
Produksi bersih dalam diterapkan dalam proses manufaktur produksi dan pertumbuhan
makanan. Kerap kali disebut sebagai clean technology atau pertanian organik.
Produk bersih
Strategi produksi bersih terpusat pada pengurangan dampak selama seluruh siklus
produksi dari eksploitasi bahan baku sampai pada barang jadi.
Produksi bersih memerlukan sebuah sistim berpikir. Siklus produksi (rantai produksi)
mencakup seluruh sistem materi dan energi yang digunakan dalam sistim produksi.
Produsen harus bertanggungjawab atas siklus produksi, dan masyarakat, para perkeja
dan kelompok masyarakat harus mempunyai akses informasi atas rantai produksi ini.
Pekerja yang terinformasi dan para konsumen yang memahami sistem produksi ini
merupakan prasyarat dari sistim produksi bersih. Mendapatkan informasi merupakan
sebuah tantangan, juga untuk perusahaan masa kini. Masyarakat bisa menuntut akses
siklus produksi dan label produksi. Konsumen dan pemerintah harus menggunakan
15
kekuaran politik untuk penerapan sistim ramah lingkungan dan pembayaran pajak tinggi
atas barang-barang yang mengandung resiko ekologi.
Apapun filsafat, agama, ikatan social, manusia menyadari bahwa kita hiduo dalam
planet yang sama dan bertanggungjawab atas kelangsungan hidupnya dan hidup kita.
Prinsip biosociety adalah utopia dan tujuan. Masyrakat yang ramah lingkungan
mempunyai beberapa cirri:
• Sistem alam dikendalikan oleh tenaga surya dan energi yang dapat diperbaharui.
• Semua sistem itu dihubungkan satu sama lain; pergantian energi dan material
dalam sebuah sistim biologi yang dinamis.
• Stabilitas didasarkan atas keanekaragaman biologi.
16
PRINSIP KONSUMSI YANG BERTANGGUNGJAWAB25
Konsumsi tidaklah sesuatu yang jelek. Yang kurang bertanggungjawab adalah ideologi
konsumismo. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk membentuk
konsumsi yang bertanggungjawab adalah:
a. Tuntutan mutu
b. Mengkonsumsi dengan prinsip bertanggungjawab.
o Bebas dan membebaskan konsumen (tidak dijadikan obyek konsumsi)
o Adil dalam arti wajar seperti sebagaimana kebanyakan orang.
o Saling bertanggungjawab artinya konsumen mengikutsertakan asosiasi
dan istitusi konsumen untuk menuntut hak dan transparansi.
o Menggembirakan.
c. Bertailan dengan prinsip “sostenibilidad” dengan semangat pengendalian diri
d. Dari perilaku konsumsi yang bertanggungjawab menuju perdagangan yang
seimbang dan produksi yang adil.
25
MARCIANO VIDAL,
E P r i n c i p i o é t i c o d e “ s o s t e n i b i l i d a d ” n u e v a s r e s p o n s a b i l i d a d e s y n u e v o s e s t i l o s d e
17
Sustainable Economic Development Based on Biodiversity Resources in
Indonesia
M.Djaeni
1. Background
However, the above potentials are not optimally exploited as indicated in the
limitation of competitive commercial products can be generated. For example, from palm
oil, Indonesia produces only cooking oil and does not develop to other added value
products such as glycerol, bio-diesel, polyalcohol compounds, and other fine chemicals.
In addition, palm oil shell that is potential as raw material for carbon molecular sieves or
phenol is not exploited. As a result, this plantation (cultivation) cannot generate more
income. Another examples, is in the case of shrimp and crab or crustacean shell disposed
from restaurant or canned sea food industries. The material is only used as a cattle feed.
With high technology treatment, the wastes can result higher economic product such as
chitin or chitosan. Chitin and chitosan are fine chemicals with high economic value (US $
7500/kg) that are used in medicine and food industries. Those materials can be prepared
from the crustacean shell through demineralization followed by de-acetylation (for
chitosan) with the conversion of 15%. With the 40,000 ton/years shrimp shell disposed, it
should generate income around US $ 45 millions/years. Furthermore, in spite having
many oil, gas, geothermal, coal, and biomass resources, Indonesia still faces problems on
energy and fuel crisis. These mean that we cannot do more to exploit and manage our
resources well.
The above problems are due to the lack of technology and management, low of
human resources quality, unavailability of integrated exploitation systems, and
unavailability of policy based on sustainable clean production with the concept of waste
to product. Even, for many cases, the potentials are only used for short term interest or
business such as illegal logging, mangrove and beach reclamation, poisoning the sea for
getting larger capacity of catching fish, and synthetic fertilizer and pesticide usage to
increase agriculture crops. This is very dangerous since they can threat the existence of
resource itself.
Compared to another countries in the ASEAN such as Malaysia and Thailand, the
economic level of Indonesia is the lowest as indicated in gross national product (GNP (in
US $): Indonesia: 830, Thailand 1995, Malaysia 3400 *). Malaysia and Thailand have
developed human resources, sustainable agriculture system, and industrial and chemical
product based on renewable resources. For example, they have developed fine chemical
from palm oil and its waste, such as poly alcohol, gasoline, phenol, and carbon molecular
sieve. They have collaborated with other industrial country to enhance economical
growth by exploiting renewable resources. This situation should encourage Indonesia to
do something to remedy the micro and macro economic conditions. Industrial country
can be given chance to invest Indonesia with simple bureaucracy and build mutual
collaboration. Many sectors can be offered such as agribusiness development, marine
exploitation, fine chemical based on biomass resources, sustainable and clean agriculture
industry, and energy development.
2. SWOT Analysis
* http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/r/rauf-purnama/pertumbuhan.shtml
Strength:
1. availability of forest, sea, cattle and
agriculture land in wide areas
2. existence of various small, medium, Threat:
and big enterprises in the field of 1. Free trade market
agriculture, cattle, sea product, and 2. Global competition
chemical product 3. Un-controlled
3. high capacity of biomass population growth
production
4. high quantity of human resources
Weakness:
1. low of income generation (GNP
US $ 830) Root of Problem:
2. low economic value of product 1. low of human resource quality
3. in-efficient of energy and 2. lack of technology usage
material usage 3. lack of management
4. in-efficient of land usage 4. un-availability of sustainable
5. problem on environment (waste integrated exploitation system
pollution) 5. low capital investment (less
6. uncertainty of product stock investor)
sustainability
7. no link between small and big
industries
Many activities are required to remedy the exploitation and production of biomass
in Indonesia to reach 2030’s vision. The activities involve improving human resources,
enhancing technology usage, building link and match (network) among the related
industries, implementing sustainable integrated system in agriculture, implementing the
proper rule to assure sustainability of bio- and non-bio- resources, and building
collaboration and market network with industrial countries. However, due to the broad
scope, this essay focuses on the discussion of technology enhancement to increase
efficiency and productivity of bio-resources exploitation, sustain biomass production, and
to obtain added value product from the biomass waste. The applied technologies consist
of biomass crop enhancement, product diversification, and clean technology
development, and sustainable integrated exploitation system.
Indonesia has a wide fertile land distributed in more than 13000 islands. However,
the land to biomass product ratio is low and biomass crops tend to decrease. This is due
to the decreasing fertility of land by synthetic fertilizer, low quality of cultivated plants,
no good irrigation system (high dependency on climate) and many useless potential
lands. Besides, only main agriculture crops are exploited, whereas the biomass wastes are
not recovered or recycled to get added value. These conditions have to be overcome by
using organic fertilizer from agriculture and cattle waste in order to retain the fertility of
land. The variety of cultivated plants or herbals has to be selected that can generate high
quality and quantity of harvest. In addition, farmers are encouraged and educated to
cultivate industrial plants such as palm, cane, wood for pulp, clove, herbals and the others
that can generate more added value. The waste of agriculture crops has to be also
exploited as biomass fuel resources or as raw material for fine chemical product. For
example, the organic waste of sugar cane industry can be used as raw material of furfural.
Moreover, the useless fertile land has to be used to develop industrial plants such us
wood for pulp, palm, cane, cotton, and the others. However, the proportionality between
conserved and used land should be considered.
Clean technology is technology that uses raw material and energy with high
efficiency, high profit, high sustainability, and less waste. In this technology, the
operational cost and raw material used is minimized, whereas the product and revenue is
maximized. In Indonesia, there are many industries using old technology that is in-
efficient and high pollution. Clean technology is urgently required to enhance the
efficiency, save environment, and get side product from the waste (see figure 2 as
examples).
Canned shrimp
Cattle feed:
Canned Food Conversion: 80%
Shrimps Industries Price: US $ 1/kg
Waste:
Shell and head
Price: Chitin and Chitosan:
US $ 0.05/kg Conversion: 15-20%
Price: US $7500/kg
Waste:
Solid organic
waste Fermentation to
produce ethanol
Bio-fuel,
Cooking oil Crude Palm Oil
polyalcohol
Palm Oil
Palm Industries
Phenol, carbon molecular
sieve
Solid waste
Pyrolysis
Fuel and energy
In this method, the agriculture crops as biomass resources are linked with the
related industries (see figure 3). The process involve total recycle product that is
sustainable, efficient, feasible and environmentally friendly. By this way, it is expected
that all unit of enterprises can grow simultaneously. Hence, it can accelerate the micro
and macro economics.
Foodstuffs
Raw material
Post harvest
Waste
Product
Sorting, Drying
Product Agriculture crops
Size reducing
Cattle
Processing
Storage
Fishery
Cultivating
Growing
Industries
Textiles
MARKETS:
Domestics
World
Tujuh gugus ekosistem kepulauan merupakan instrumen spasial yang bersifat sosial,
ekonomi, dan politis sebagai locus perencanaan strategis jangka panjang pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan. Pembangunan
berkelanjutan bermakna pertumbuhan ekonomi bukan sebagai panglima tetapi sarana
yang ditujukan untuk mendukung perubahan sistem nilai, norma, dan perilaku bangsa
ini dalam kurun waktu yang relatif pendek dan kontemporer. Strategi pembangunan
berkelanjutan jangka panjang hendaklah bersifat fleksibel dan adaptive agar mampu
merespon nilai-nilai normatif yang cenderung berubah lebih cepat. Aspek normatif
hendaknya dijabarkan secara bersama oleh pejabat publik, ilmuwan, swasta, dan
masyarakat sipil dalam kriteria indikator yang jelas sebagai tolok ukur keberhasilan
sistem ketataprajaan yang berjalan dalam siklus politik 5 tahunan.
Kata kunci: Indonesia 2045, visi bersama, 7 gugus ekosistem kepulauan, pembangunan
berkelanjutan, strategis dan normatif.
1
Mahasiswa Master Forest and Nature Conservation, Wageningen University, the Netherlands; dosen
Fakultas Kehutanan UGM
Visi Indonesia 2045: Ekosistem Kepulauan sebagai Basis
Pembangunan Berkelanjutan
Oleh: Dwiko Budi Permadi2
Pendahuluan
Bagaimana wajah Indonesia pada tahun 2045, satu abad setelah kemerdekaan dari
hegemoni fisik, sosial, dan ekonomi bangsa lain? Visi bersama (shared vision) menjadi
titik penting bagi bangsa Indonesia ditengah ketidakpastian masa depan yang sangat
sulit diprediksi. Kekhawatiran masa depan akibat ketiadaan visi bersama ini juga
dirasakan pada tingkat global (Constanza, 2000). Jika visi bersama tidak jelas, bisa
dipastikan bangsa dan bumi ini akan berlabuh pada suatu
‘tempat lain’ yang kita tidak tahu apakah itu paling baik,
lebih baik, lebih buruk atau paling buruk dari kondisi status
quo.
Tahun 2045 merupakan titik temu semua komponen bangsa
karena pada saat itu suasana kejiwaan bangsa berada pada
satu garis lurus dalam penghayatan 100 tahun perjalanan
kemerdekaan Indonesia. Saat itu, era baru globalisasi tanpa
batas telah terlampaui oleh bangsa kita sejak 2030 atau 2020.
Paper singkat ini menggagas pentingnya merumuskan visi bersama, mengusulkan
instrumen spasial ekosistem kepulauan, dan integrasinya dengan aspek strategis dan
normatif pembangunan berkelanjutan sebagai wajah baru Indonesia 2045.
Tantangan paling besar bangsa Indonesia saat ini adalah menciptakan visi bersama
tentang sebuah masyarakat yang berkelanjutan yang menyediakan kesejahteraan secara
permanen. Karena kendala keterbatasan biofisik maka cara-cara yang adil dan
seimbang harus diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang dan generasi
yang akan datang. Terdapat dua cara pandang dunia tentang apa yang saat ini
berkembang untuk mencapai visi tersebut, yaitu : a) technological optimist dan b)
technological sceptic. Ciri kedua pandangan adalah sebagai berikut (Constanza, 2000):
2
Mahasiswa MSc Forest and Nature Conservation, Wageningen University, dosen Fakultas Kehutanan
UGM
Kita perlu merumuskan pandangan mana yang akan mendominasi arah pembangunan
bangsa kita ke depan. Pandangan pertama merupakan arus kuat globalisasi yang saat ini
menjadi ’default’ peradaban bangsa-bangsa barat, sedangkan pandangan kedua
merupakan arus alternatif yang saat ini juga menjadi harapan bagi masyarakat negara-
negara maju. Bagi bangsa kita saya berpendapat prinsip kerjasama, dan mengantisipasi
masa depan yang cenderung dicirikan dengan keterbatasan sumber daya alam
merupakan pilihan paling rasional dalam menghadapi ketidakpastian sebagai akibat
terbatasnya penguasaan teknologi. Resiko terburuk jika pandangan kedua tak terwujud
masih jauh lebih baik daripada jika pandangan pertama gagal. Hal ini masih perlu diuji
dengan penelitian lebih lanjut apakah memang pandangan kedua merupakan pilihan
bagi bangsa kita. Jika kerjasama dan keserasian yang sinergis dengan alam merupakan
pilihan bersama, maka menjadi penting memetakan permasalahan berdasarkan
instrumen spasial ekosistem kepulauan.
Meringkas beribu ekosistem pulau menjadi 7 gugus tidak berarti mengurangi keunikan
setiap pulau, akan tetapi mengikat mereka menjadi satu kesatuan yang sinergis. Pada
setiap gugus, tersusun secara hierarkhis anggota kepulauan yang bisa diklasifikasikan
berdasarkan ukuran: kecil, menengah, dan besar. Indikator-indikator pembangunan
berkelanjutan lebih mudah diterapkan mulai dari ekosistem pulau yang terkecil dan
akan semakin rumit pada ekosistem pulau yang lebih besar.
Mengapa Eksositem Kepulauan
Gagasan pembangunan berbasis ekosistem kepulauan pernah diusulkan oleh Simon
(2004) untuk kepentingan membangun kembali hutan nasional. Dalam kontek
pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, gagasan ini menjadi strategis karena
minimal ada dua latar permasalahan sebagai berikut:
1. Ketimpangan
Ketimpangan perhatian pembangunan dan konservasi terhadap ketujuh gugus
ekosistem kepulauan tersebut merupakan problem yang belum bisa dipecahkan baik
oleh pemerintah orde lama, orde baru, maupun yang sekarang. Ketujuh kepulauan
tersebut merupakan representasi dari Indonesia tetapi dengan kondisi ketimpangan
pembangunan yang mencolok.
Selama ini ketimpangan tersebut direduksi dengan istilah Jawa dan luar Jawa, yang
pertama representasi kemajuan dan yang kedua keterbelakangan. Padahal
permasalahanya berbeda-beda pada ketujuah gugus ekosistem tersebut.
Dibentuknya kementrian percepatan pembangunan kawasan tertinggal bukan
merupakan solusi cerdas untuk memecahkan masalah ketimpangan tersebut.
2. Degradasi
Degradasi dalam arti luas yaitu hilangnya nilai intrinsik sumber daya
manusia dan alam yang menjadi ciri keberadaan ekosistem tersebut,
terpinggirkannya kearifan lokal dan masyarakat asli, hilangnya
biodiversitas, fragmentasi alam, dan efek negatif eksploitasi
tambang tanpa nilai kompensasi lingkungan dan sosial yang
memadai. Lebih jauh lagi degradasi berlanjut pada keutuhan wilayah
NKRI secara politis dan ekonomi, hilangnya pulau-pulau terluar kita
akibat tidak mendapat perhatian yang memadai. Kebijakan yang
reaktif juga tidak akan mampu mencegah kemerosotan kualitas sumber daya alam
kita.
Kedua permasalahan tersebut lahir sebagai akibat kebijakan salah urus yang bertumpu
semata pada pertumbuhan ekonomi, hubungan ketataprajaan yang tidak jelas, dan
lemahnya perencanaan pembangunan berkelanjutan jangka panjang yang sinergis antar
daerah dalam satu kepulauan dan antar sektor untuk mengantisipasi dinamika
perkembangan sosial dan ekonomi. Berkaca pada permasalahan tersebut, refleksi
pembangunan berkelanjutan berbasis ekosistem kepulauan merupakan instrument
spasial yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bangun visi Indonesia 2045.
Gagasan ini menawarkan 7 ekosistem kepulauan sebagai locus integrasi perencanaan,
monitoring dan evaluasi pembangunan berkelanjutan.
Penutup
Untuk mendesain wajah baru Indonesia 2045, di tengah ketidakpastian masa depan,
diperlukan integrasi visi bersama tentang cara pandang menuju pembangunan yang
berkelanjutan. Visi dan kebijakan yang bersifat kooperatif dan antisipatif untuk
menjaga keseimbangan hubungan manusia dan alam merupakan pilihan yang rasional
dan lentur bagi bangsa ini dengan tetap menjaga optimisme kemampuan teknologi
dalam memecahkan problem bangsa ke depan.
Wajah baru Indonesia juga harus mencerminkan keadilan dan keseimbangan ketujuh
gugus ekosistem kepulauan sebagai instrumen spasial untuk mengukur dan menilai
keberhasilan strategis jangka panjang dengan analisis yang tepat, dan juga inovasi
kebijakan untuk merespon permasalahan normatif kontemporer. Strategi pembangunan
berkelanjutan jangka panjang hendaklah bersifat fleksibel dan adaptive agar mampu
merespon nilai-nilai normatif yang cenderung berubah lebih cepat. Aspek normatif
hendaknya dijabarkan secara bersama oleh pejabat publik, ilmuwan, swasta, dan
masyarakat sipil dalam kriteria indikator yang jelas sebagai tolok ukur keberhasilan
sistem ketataprajaan yang berjalan dalam siklus politik 5 tahunan.
Bahan bacaan
________________________________________________________________________
Abstrak
________________________________________________________________________
Analisa Masalah
- Standar akuntansi nasional yang tidak dapat disesuaikan dengan standar akuntansi
international
- Kinerja badan-badan indepedent keuangan yang tidak optimal
- Lemahnya struktur regulasi keuangan di Indonesia
- (dalam pembahasan)
Analisa Potensi
- Sumber daya manusia
Akuntan publik dari dalam maupun luar negri
Sarjana, master dan PhD dari dalam dan luar negri
- Program sarjana, pasca sarjana dan doktoral dalam bidang akuntansi & keuangan
yang sangat memadai dalam universitas-universitas nasional dan berkembang
seiring dengan perkembangan standarisasi akuntansi international
- (dalam pembahasan)
Analisa Trend
- Tingginya kebutuhan penerapan metode Good Governance atau Tertib
Administrasi Keuangan dalam perusahaan-perusahaan BUMN & swasta dan
departemen-departemen negara untuk meningkatakan tingkat akuntabilitas &
transparansi dan memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Metode ini juga akan
mengingkatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada kinerja pajabat-pejabat
negara apabila metode ini diaplikasikan secara disiplin dan optimal.
- Meningkatnya tingkat kompleksitas bisnis proces dalam perusahaan-perusahaan
nasional dan swasta mengharuskan pemerintah Indonesia untuk meningkat
standar akuntansi untuk setiap industri dan membenahi sistem regulasi keuangan
di Indonesia seiring dengan meningkatnya standar international.
- (dalam pembahasan)
Strategi Transformasi
- Menetapkan standar akuntasi yang dapat di sesusaikan dengan standar
international.
- Membenahi sistem regulasi keuangan di Indonesia. contoh; pembentukan badan
independent yang beranggotakan birokrat, profesional dan akademisi.
- Penyediaan program pelatihan yang diadakan secara rutin dan disiplin sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan standar akuntansi nasional dan
international.
- (dalam pembahasan)
Abstraksi
Pendahuluan
Akhir-akhir ini, pembicaraan mengenai utilisasi teknologi informasi di sektor
pemerintahan melalui apa yang disebut dengan e-government semakin
hangat dibicarakan. Ada pandangan skeptis, pesimis, positif, bahkan apatis
dari banyak analis. Kebanyakan berangkat dari sudut pandang ketidaksiapan
negara kita dari sisi sumber daya manusia dan infrastruktur telekomunikasi.
Benarkah demikian? Padahal, tren yang sedang terjadi saat ini adalah
semakin diujinya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan suatu negara.
Pemerintah, jika ingin diakui legitimasinya, mau tidak mau akan dihadapkan
pada persoalan transparansi ini.
Era perdagangan bebas sudah di depan mata. Di level regional, hampir
seluruh negara anggota AFTA (Asean Free Trade Agreement) telah berbenah
diri untuk semakin meningkatkan Country Specific Advantage-nya, khususnya
di bidang pelayanan publik. Malaysia, misalnya, pada awal Februari 2005
telah menguji coba konsep e-village berjuluk “Kampung Cyber Jaya”. Di
“kampung” ini, KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidaklah cuma berupa selembar
kartu yang dilaminasi, melainkan sebuah “kartu pintar” (smart card) yang
memiliki chip semikonduktor yang dapat menampung seluruh data historis si
pemilik, di antaranya data-data mengenai identitas pemilik, rekam medik
(medical record), rekening bank, asuransi, dan masih banyak lagi (PC
Magazine, Januari 2004). Lewat layanan e-government semacam ini, niscaya,
kualitas pelayanan publik akan semakin meningkat, seiring dengan
tumbuhnya tingkat kepercayaan diri suatu negara untuk berkiprah di pasar
bebas. Investor yang ingin menanamkan modalnya, misalnya, cukup
menggunakan koneksi internet untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan
sebagai bahan analisis kelayakan investasi di suatu negara. Pada saatnya
nanti, tidak akan ada kepala negara yang bisa jalan-jalan ke luar negeri
dengan dalih menarik investor. Internetlah yang akan melakukannya.
Paper ini akan mengupas beberapa sisi dari e-government: definisinya,
tujuan dan manfaatnya, tahapan-tahapannya, faktor-faktor yang mendorong
kesuksesannya, dan tentu saja, beberapa contoh aktual dan faktual dari
penerapan e-government di negara lain.
Jadi, apakah sebenarnya e-government itu? Dalam bentuk dan lingkup yang
paling sederhana, e-government adalah penggunaan teknologi internet dan
web sebagai media untuk menyampaikan informasi dan layanan lainnya bagi
rakyat di suatu negara. Mengambil definisi ini, maka kehadiran Departemen-
departemen pemerintah (ambil misalnya www.depdiknas.go.id)., situs-situs
resmi Pemerintah Pusat (misal www.ri.go.id., www.lin.go.id), maupun
Pemerintah Daerah sudah merupakan bentuk implementasi dari e-
government. Itu baru dalam hal penyediaan informasi kepada masyarakat.
Lalu bagaimana dengan layanan publik lainnya seperti pengurusan identitas,
paspor, surat izin mengemudi (SIM), Izin Membangun Bangunan (IMB),
Tanda Daftar Umum Perusahaan (TDUP), atau bahkan pelayanan dan
pembayaran pajak? Nah, layanan-layanan publik inilah yang disebut sebagai
e-government yang terintegrasi secara penuh. Sejauh mana integrasi yang
dilakukan akan sepenuhnya tergantung kepada visi pemerintah sendiri
terhadap e-government. Pemerintah Australia, misalnya, sejak tahun 2001
telah mempunyai layanan e-government yang terintegrasi. Menggunakan
Closed-circuit Television atau CCTV (kamera pengintai) di tiap-tiap ruas jalan,
Polisi Australia dapat dengan mudah menangkap gambar para pelanggar
peraturan lalu lintas. Keesokan harinya, datang surat penagihan denda,
beserta foto hasil jepretan CCTV kepada si pelanggar yang bisa dia bayar di
ATM manapun. Jika si pelanggar tidak membayar denda pada tenggat waktu
yang telah diberikan, catatan pajak kendaraannya pada server pusat akan
dicabut, yang mana artinya, STNK kendaraan si pelanggar dibekukan.
Pemerintah negara bagian Baden-Wuttenberg, Jerman, misalnya lagi,
telah meluncurkan satu situs layanan publik yang terintegrasi. Hanya dengan
mengunjungi situs tersebut (http://www.service-bw.de) masyarakat dapat
memperoleh layanan publik seperti pembuatan dan perpanjangan paspor,
akte kelahiran atau pernikahan, pelayanan pajak, dan lain-lain.
Di dalam negeri, Departemen Perpajakan Indonesia sendiri
(www.pajak.go.id) telah meluncurkan layanan pembayaran pajak secara on-
line, baik menggunakan e-banking maupun ATM. Berhasil tidaknya layanan
ini akan kita ketahui di kemudian hari. Setidaknya, Dirjen Pajak telah
mempunyai visi untuk semakin meningkatkan kualitas layanannya kepada
masyarakat luas. Toh, Pemerintah Indonesia sendiri, telah mempunyai
infrastruktur dan landasan hukum yang cukup memadai. Ini dibuktikan dengan
diberlakukannya Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Setidaknya, kita telah
mempunyai kerangka hukum yang memadai. Apalagi dalam lampirannya,
Presiden juga mengarahkan tahapan-tahapan dan strategi yang harus
dilakukan. Bisa dikatakan, inilah cetak biru pengembangan e-government di
negara kita tercinta ini.
Di lain pihak, Rahardjo (2001), mengemukakan beberapa manfaat dari
e-government, antara lain:
• Peningkatan aksesbilitas terhadap sumber informasi dan layanan
pemerintah yang dapat diakses kapanpun dan di manapun,
sepanjang terhubung dengan jaringan internet.
• Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan
masyarakat umum. Adanya keterbukaan (transparansi) maka
diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik.
Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan salah paham
yang mungkin timbul.
• Pemberdayaan masyarakat melalui informasi ya ng mudah
diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat
akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh,
data-data tentang sekolahan (jumlah kelas, daya tampung murid,
passing grade, dan sebagainya) dapat ditampilkan secara online
dan digunakan oleh orang tua untuk memilihkan sekolah yang tepat
untuk anaknya.
• Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien. Sebagai contoh,
koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui email atau bahkan
video conferencing. Bagi Indonesia yang luas areanya sangat
besar, hal ini sangat membantu. Tanya jawab, koordinasi, diskusi
antara pimpinan daerah dapat dilakukan tanpa kesemuanya harus
berada pada lokasi fisik yang sama. Tidak lagi semua harus
terbang ke Jakarta untuk pertemuan yang hanya berlangsung satu
atau dua jam, misalnya.
Hal-hal tersebut di atas senada dengan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003,
yang mana pengembangan e-government di Indonesia bertujuan untuk:
• Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik
yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan
masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah
Indonesia pada setiap saat tidak dibatasi oleh sekat waktu dan
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
• Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk
meningkatkan perkembangan perekonomian nasional dan
memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan
perdagangan internasional.
• Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan
lembaga-lembaga negara serta penyediaan fasilitas dialog publik
bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan
kebijakan negara.
• Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan
dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar
lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.
Dilihat dari semua tujuan di atas, kiranya cukup jelaslah bahwa e-government
dapat menjadi mediator bagi terciptanya transparansi, yang lebih jauh lagi,
dapat mentransformasi pemerintahan kita menjadi pemerintahan yang lebih
efisien dan membumi. Mestinya, jika proses transformasi ini berjalan dengan
mulus, masyarakat dapat dengan mudah melakukan kontrol dan audit atas
mismanajemen pemerintahan yang (mungkin) terjadi di lapangan. Pemerintah
pun akan mampu menuai kepercayaan publik yang pada akhirnya akan
meningkatkan legitimasi dan wibawa pemerintah.
Tahapan yang relatif sama tercantum dalam lampiran Instruksi Presiden No. 3
Tahun 2003 yang menyatakan 4 tingkatan dalam pengembangan e-
government, antara lain:
I. Tingkat 1 - Persiapan yang meliputi :
i. Pembuatan situs informasi disetiap lembaga;
ii. Penyiapan SDM;
iii. Penyiapan sarana akses yang mudah misalnya menyediakan
sarana Multipurpose Community Center, Warnet, SME-Center, dll;
iv. Sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk
publik.
II. Tingkat 2 - Pematangan yang meliputi:
i. Pembuatan situs informasi publik interaktif;
ii. Pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga lain;
III. Tingkat 3 - Pemantapan yang meliputi:
i. Pembuatan situs transaksi pelayanan publik;
ii. Pembuatan interoperabilitas aplikasi maupun data dengan
lembaga lain.
IV. Tingkat 4 - Pemanfaatan yang meliputi:
i. Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat G2G, G2B dan
G2C yang terintegrasi.
Penutup
Teknologi informasi yang dicangkokkan ke dalam sistem pemerintahan telah
memberikan peluang terhadap transformasi atau perubahan ke arah
penerapan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, demokratis, dan
efektif. Indonesia, dengan segala keterbatasan infrastruktur, sumber daya,
dan budayanya, sedang menuju ke arah itu. Dengan landasan Instruksi
Presiden No. 3 Tahun 2003, tahapan-tahapan menuju e-government dimulai
sudah. Ke mana pendulum mengarah, baik itu menuju kesuksesan maupun
kegagalan implementasi e-government kiranya bukan melulu tanggung jawab
pemerintah.
Di balik itu, masyarakat juga dituntut untuk tidak abai terhadap
transformasi, karena pada dasarnya, transformasi pemerintahan juga
merupakan transformasi citizenship. Pertanyaan selanjutnya adalah: sejauh
mana Anda mau menyumbangkan kontribusi terhadap pengembangan e-
government kita? Lalu, sejauh manakah Anda mampu memanfaatkan layanan
e-government tersebut? Hanya kitalah yang mampu mewujudkannya.
/00/
Referensi
Holliday, Ian (2002). Building E-Government in East and South East Asia:
Regional Rhetoric and National (In)Action. Public Administration and
Development. Vol. 22 (4)
Oleh:
Rosdiansyah, Ishak Salim dan Wiky Witarni
(PPI Kota Den Haag)
Pasca reformasi 1998 dan pengesahan UU Pemerintahan Daerah 1999, yang direvisi
dengan UU Pemerintahan Daerah 2004, maka Indonesia kini sudah memasuki era de-
sentralisasi kekuasaan dan kewenangan dalam struktur birokrasi pusat-daerah. De-
sentralisasi ini berjalan ditengah pergulatan para aktor di pusat dan daerah, untuk mencari
format yang tepat, efektif dan partisipatif, yang kelak bisa menghasilkan produk-produk
kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat luas.
5. Pemerintah Daerah saat ini justru sibuk dengan upaya pembenahan internal, yang
kadang tidak terkait dengan keterlibatan stakeholder non-negara. Ironinya,
pembenahan internal itu acapkali diklaim sebagai upaya peningkatan pelayanan
kepada masyarakat luas.
1
6. Pemerintah Daerah belum sepenuhnya otonom dalam menentukan model
interaksi antar-stakeholder, karena seringkali terjadi intervensi Depdagri selaku
promotor de-sentralisasi. Ironinya, aktor-aktor Depdagri sering berada di
persimpangan jalan dalam memahami dan mengimplementasikan de-sentralisasi.
Muncul fenomena ‘otonomi setengah hati’.
Berangkat dari kenyataan itu, maka selayaknya kini para aktor tata pemerintahan
(governance) di Indonesia :
2. Era ‘government’ yang sangat elitis, kaku dan seolah berada di menara gading,
kini sudah berakhir dengan adanya UU Pemerintahan Daerah 2004. Pemerintah
daerah harus mereformasi mentalitas diri agar memberi ruang bagi akto-akto
non-negara dalam pembangunan di tingkat lokal.
4. Saat ini, belum ada konvergensi pemahaman yang utuh dan komprehensif
terhadap konsep ‘governance’ di Indonesia. Para aktor non-negara mendasarkan
pemahamannya atas ‘governance’ pada rujukan dari organisasi internasional
seperti World Bank dan UNDP, sebaliknya, para aktor negara justru menggali
perspektif ‘governance’ dari model peningkatan pelayanan satu arah, belum
menunjukkan itikad mengembangkan feed-back mechanism.
(Draft)
2
Strategi Pembangunan di Wilayah Rawan Tsunami
Berdasarkan Perspektif Ekonomi di
Aceh dan Nias
Oleh : Achmad Adhitya
Abstraksi
Strategi penangan bencana di Indonesi yang selama ini memfokuskan pada proses pembangunan
kembali wilayah pasca bencana, paradigma baru penanganan bencana adalah pada proses mitigasi
untuk mencoba mengurangi dampak bencana dan menekan biaya pembangunan kembali suatu
wilayah, dalam hal ini instrumen – instrumen pembiayaan yang didasrkan pada mekanisme pasar
harus dioptimalkan.
Pendahuluan
Indonesia terletak di 3 lempeng tektonik besar, yakni : Eurasia, Indo – Australia dan
Lempeng Pacific. Letak tektoni ini menyebabkan banyak terjadi gempa setiap tahunnya
Kebanyakan Gempa bumi berpotensi menyebabkan kehancuran.
Indonesia terbentang antara Cincin Api sepanjang kepulauan utara yang berdekatan dan
termasuk New Guinea dan Alpide Belt sepanjang selatan dan barat dari Sumatra, Jawa, Bali,
Flores dan Timor.
Dikarenakan letak tektonik ini, tercatat di Indonesia terjadi 19 kali gempa bumi dengan
kekuatan 4 skala richter dalam periode 1990 – 2006.
Sejauh ini, tsunami yang merusak disebabkan oleh gempa bumi yang luas dan dangkal
dengan epicenter atau garis lupatan dekat atau diatas dasar laut. Hal ini biasanya terjadi di
wilayah yang dikarakteristikan oleh terusan kedalam sepanjang batas lempeng tektonik.
Tsunami yang paling merusak terjadi pada 26 Desember 2004, ini disebabkan oleh
masuknya lempeng tektonik India ke Lempeng Birma, proses ini disebabkan gaya keatas dan
menggerakan tsunami. Korban manusia yang disebabkan oleh tsunami ini tercata 300.000
orang meninggal dan menghilang.
Tsunami yang lain terjadi pada 28 maret 2005, epicenter ini berada di dekat Pulau Nias
tidak terlalu jauh dari epicenter pertama dimana tsunami sebelumnya terjadi. Tsunami ini
disebabkan transfer tegangan dari tsunami sebelumnya. Walaupun tsunami pertama tidak
sebesar tsunami sebelumnya tapi rentang waktu tsunami pertama dan kedua yang terjadi
menunjukkan bahwa daerah tersebut rawan terkena tsunami.
Tsunami terakhir terjadi pada tanggal 17 juli 2006, epicenter nya berada didekat daerah
pantai Pangandraan. Kekuatan dari gempa bumi tersebut mencapai 7,7 skala richter. Korban
jiwa tercatat pada tsunami tersebut 600 orang meninggal, 431 orang luka – luka dan 230
orang hilang. Penyebab dari tsunami ini adalah proses berlanjutnya masuknya lempeng India
terus kearah selatan dan timur sepanjang parit Sunda.
Sejak SUnami 26 December 2004, banyak pihak menaruh perhatian mendalam pada
permasalahan tsunami, Perserikatan bangsa bangsa, UNESCO, menyatakan bahwa Juni 2006
sistim peringantan dini tsunami telah mulai bekerja. Peringatan akan memantau Samudera
India dari pusat monitoring tsunami yang telah ada di Hawaii dan Jepang.
System peringatan tsunami memang bekerja, 17 menit setelah terjadi gempa bumi yang
menyerang pulau jawa, ilmuwan di pusat peringatan tsunami di pacfic di Hawaii menangkap
data seismologic dan mengirimkan kabar ke para ilmuwan di Jakarta, namun tetap saja
banyak korban jiwa yang terjadi. Hal ini disebabkan tidak ada guidelines untuk masyarakat
untuk menyelamatkan diri mereka dari terjadinya tsunami, lemahnya kewaspadaan publik dan
minimunnya perlengkapan semacam sirine untuk mengingatkan masyarakat.
Ada paradigma baru dalam hal manajemen resiko., yang pertama adalah program
kontrol resiko dan yang kedua adalah prorgam pembiayaan resiko (Risk Assesment and
Management in Local Government Emergency Planning, James A. Gordon, Institute for
catastrophic loss reduction) Program pengontrolan resiko berhubungan dengan hal pra
bencana dan beragam metode mengurangi resiko yang dapat terjadi disatu wilayah.
Simulasi tsunami adalah bagian dari proses mitigasi yang merupakan bagian dari
strategi penangan resiko. Melakukan simulasi tsunami dapat digunakan sebagai titik awal
untuk menganalisa dampak dan kerusakan di satu wilayah. Simulasi tsunami juga dapat
digunakan untuk membangun struktur perlindungan pesisir.
Korban jiwa dapat dikurangi atau bahkan dihindarkan sama sekali, tapi kerusakan fisik
pasti terjadi jika satu wilayah tidak dilindungi dengan baik dari tsunami, bahkan ketika sudah
dilindungi dengan baik pun kerusakan fisik masih mungkin terjadi. Masalah utama pasca
tsunami yang terjadi disuatu wilayah adalah pembangunan kembali infrastruktur yang terjadi.
Pemerintah harus membangun kembali rumah, merelokasi pengungsi dan mengembalikan
fasilitas publik untuk memperbaiki ekonomi di satu wilayah.
Ada 3 kemungkinan instrumen yang digunakan untuk melakukan pembiayaan resiko
yang dapat digunakan untuk membangun kembali suatu wilayah pasca tsunami, instrumen –
instrumen tersebut adalah Pendanaan pemerintah (Pendapatan Bruto), pinjaman internasional
dan asuransi. Tiap instrumen memiliki keuntungan dan kekurangan yang berbeda.
Asuransi bukan satu satunya instrumen untuk memecahkan masalah, asuransi adalah
bagian dari framework nasional untuk menangani tsunami. Disamping asuransi juga harus ada
kebijakan yang mendorong dan memberikan pondasi daasr untuk mengikuti strategi lanjutan,
semacam pembangunan SDM, kewaspadaan publik. Disamping permasalahan pembiayaan
resiko juga harus ada program kontrol resiko yang berhubungan dengan kampanye
kewaspadaan tsunami..
Tujuan dari BRR adalah untuk mengembalikan kehidupan sehari – hari dan memperkuat
komunitas di Aceh dan Nias dengan mendesain dan meninjau secara menyeluruh
rekonstruksi dan pembangunan kembali yang berdasarkan kemandirian komunitas.
Satu tahun setelah tsunami US$ 4.4 billion sudah dialokasikan untuk proyek – proyek
tertentu. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan US$ 1.1 billion dan NGOs US$ 1.5
billion and Lembaga Donor US$ 1.8 billion ini adalah kebutuhan minimum untuk
rekonstruksi Aceh dan Nias, US$ 775 million sampai akhir November 2005 sudah dihabiskan
oleh pemerintah.
Untuk membangun kembali Aceh dan Nias diperlukan US$ 9 billion dan rekonstruksi
direncanakan dari tahun 2005 sampai 2009, dikarenakan master plan ini, jadi baik
Pemerintah, NGO dan Negara – negara donor diharapkan memberikan kontribusi US$ 2.5 –
3.5 billion, jika komitmen ini bisa dipenuhi maka Proses rekonstruki ini akan selesai pada
tahun 2009.
Faktor – faktor yang mempengaruhi bencana alam adalah : Bahaya, Elemen yang
beresiko dan kerawanan. Ketiga faktor ini dapat di formulasikan :
Resiko = kemungkinan (bahaya) * kehilangan (kerawanan, elemen yang beresiko)
Potential impact
assesment
Designing Mitigation
contingency plan
Pembiayaan Resiko
Ada dua kategori berdasarkan instrumen pembiayaan resiko, transfer resiko dan
penyebaran resiko sementara. Ada dua instrumen yakni pasar dan non pasar dan pengaturan
untuk transfer resiko
Instrumen transfer resiko pasar , contohnya adalah asuransi, adalah instrumen pra
bencana yang mengatur perusahaan asuransi untuk membayar sejumlah uang setelah
terjadinya bencana. Pengaturan ini juga dapat diatur oleh pemerintah secara hukum atau
informal, untuk mewajibkan pemerintah untuk memberikan dana setelah terjadinya bencana.
Ada pula penyebaran resiko intertemporal, hal ini berarti seseorang atau pemerintah
menyimpan dana sebagai cadangan dana jika terjadi bencana. Instrumen ini dapat digunakan
dalam waktu yang lama selama belum terjadinya bencana.
Asuransi
Asuransi dapat didefinisikan sebagai institusi ekonomi yang mengijinkan adanya
transfer pembiayaan resiko pada kelompok tertentu dalam artian kontrak hukum (Kunreuther
1998a:23)
Kelompok yang diasuransikan menerima pengembalian dana jika terjadi kehilangan dari
pihak pengasuransi sebagai ganti rugi pembayaran premi. Biasanya pengembalian ini
ditetapkan melalui rasio tertentu. Pengembalian kehilangan didasarkan pada kontrak asuransi
yang dinamakan klaim. (Kunreuther 1998a:23-24)
Solusi penanganan bencana di wilayah tsunami
Pemerintah Indonesia telah merubah kebijakan penanganan bencana alam sebanyak 5
kali, yang pertama adalah melalu Keputusan Presiden no. 28 tahun 1979 dan membentuk
organisasi yang dinamakan BAKORNAS PBA sampai organisasi terakhir yakni
BAKORNAS PBP melalu PD nomer 111 tahun 2001, walaupun secara umum
mempromosikan manajemen sebelum bencana namun pada kenyataannya tidak ada program
yang dijalankan dalam rentang waktu itu.
Hal ini dapat dilihat bahwa pada tsunami terjadi tanggal 26 desember 2004 daripada
mengoptimalkan BAKORNAS PBP, pemerintah membentuk kembali BRR (Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi) melalui Perpu no 2 tahun 2005.
Pada paradigma penanganan bencana yang baru lebih ditekankan pada proses
pengontrolan resiko dan proses pembiayaan resiko. Pada tahun – tahun sebelumnya
pemerintah tidak mengoptimalkan instrumen pra bencana alam ini. Asuransi harusnya
memainkan peran lebih dalam hal ini.
Pada kasus asuransi di perancis, terdapat pencampuran sistem antara negara dan
perusahaan asuransi. Asuransi (e. g tingkat premi dan kehilangan) distandarkan melalu
peraturan dan seragam di seluruh wilayah. Seluruh perusahaan asuransi properti di suatu
wilayah tertentu diwajibkan mengikutsertakan asuransi atas bencana alam.
Risk Control
Programs
Referensi
Kanda, J. & Nishijima, K. (2005) Scope of Insurance Premium for residential house
against seismic risk in Japan: University of Tokyo, Japan.
Kaistrenko, V.,Klyachko, M., Nudner, I., & Pelinovsky, E., (2001) A new paradigm of
tsunami safety solution: Institute of Marine and Geophysics, Yuzhno-Sakhalinsk, Russia, p.
303 – 313.
Jametti, M. & Von Ungern-Sternberg, T. (2004) Disastrous insurance-natural disaster
insurance in France: Departement of economics, Mc Master University.
Insurance Information Institute (III) (2005) Asian earthquake and Tsunami An insurance
perspective
Mechler R. & International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) (2005)
Financing disaster risks in developing and emerging economy countries: Verlag
Versicherungwirtschaft GmbH, Karlsruhe, p. 105 – 148.
Bugl, W. (2005) Earthquake risk management policy in Indonesia: Asuransi Maipark,
Indonesia, p. 399 – 408.
(Draft 1). Indonesia Masa Depan; Suara Kaum Muda
Bidang Tata Pemerintahan Daerah
Arif R. Effendy
1. Pendahuluan
Seiring dengan Reformasi yang intinya menolak segala bentuk KKN dan desentralisasi yang
memberikan kewenangan kepada warga daerah (bukan hanya eksekutif dan legislatif saja)
untuk mengelola berbagai kewenangan yang dimilikinya, maka tuntutan akan adanya
perubahan dalam peran pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan semakin besar. Dari
sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana pemerintah
menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana
masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang
tersebut dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan beberapa prasyarat multi-dimensi berikut.
Pertama, untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang besar seperti
Indonesia dibutuhkan adanya otonomi yang demokratis ditingkat pemerintah daerah yang
memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara
langsung dan intensif di lingkup yang kecil. Kedua, masyarakat dapat memperoleh akses
kepada informasi (transparansi). Tanpa informasi yang simetris, state menguasai
data/informasi sementara society tidak memiliknya, peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan dan menjalankan fungsi kontrolnya tidaklah mungkin dijalankan
dengan baik. Selain itu, ketertutupan pemerintah inilah yang seringkali dianggap sumber dari
berbagai bentuk penyelewengan. Ketiga, terbukanya ruang untuk menyatakan pendapat dan
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Terjaminnya hak masyarakat untuk
menyatakan pendapatnya dan pers yang bebas merupakan prasyarat awal bagi terciptanya
masyarakat yang demokratis. Keempat, penegakan hukum. Tanpa adanya sistem peradilan
yang kuat dan independen, segala proses kontrol yang dilakukan masyarakat tidaklah berarti.
Berbagai hal yang diuraikan di atas pada intinya adalah otonomi daerah yang sesungguhnya,
yaitu wewenang berada pada rakyat yang tinggal di daerah tersebut, bukan otonomi pemda,
dan juga bukan otonomi bagi "daerah" dalam pengertian suatu wilayah/teritori tertentu di
tingkat lokal.
Persoalan yang lalu kemudian muncul adalah bahwa pemekaran wilayah dilihat sebagai
sesuatu yang cenderung berlawanan dengan visi penyelenggaraan pemerintahan yang
terdesentralisasi. Sarena salah satu esensi desentralisasi adalah terbangunnya kerjasama yang
erat antar daerah untuk penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan tugas-tugas
pembangunan dan pemerintahan daerah. Daerah melihat system penyelenggaraan
pemerintahan yang terdesentralisasi adalah sebagai sebuah peluang yang lebih dari sekedar
sebuah upaya untuk mendekatkan mekanisme pengambilan keputusan publik sampai ke
tingkat akar rumput atau dalam rangka pemulihan iklim pelayanan publik dan
penanggulangan kemiskinan secara efektif, efisien dan tepat sasaran. Daerah cenderung
melihat system desentralisasi identik dengan “Ada uang yang akan dikelola langsung di
daerah”.
Mungkin saja pemekaran memang akan lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya
dalam gerbong pembangunan daerah, tapi sejauh ini belum ada satupun pihak yang berani
mengklaim atau menunjukan bahwa pemekaran telah secara significant meningkatkan
kualitas pelayanan publik, malah justru meningkatkan inefisiensi administrasi keuangan. Ini
merupakan salah satu akibat dari adanya celah-celah yang “sengaja” diciptakan seiring
diterapkannya otonomi daerah.
Restrukturisasi fungsi dan kewenangan pemerintah daerah adalah salah satu poin yang paling
mendesak. Baik dalam undang-undang nomor 22/1999 maupun undang-undang 34/2004
hanya memberikan positive list sejumlah kewenangan untuk popinsi maupun kabupaten/kota
yang selanjutnya akan dipertajam oleh pemerintah daerah sendiri dalam bentuk perda.
Ini sebuah ironi sebenarnya dalam konsep desentralisasi. Betapa tidak, Pemerintah Daerah
harus mengidentifikasi sendiri jenis kewenangan yang dapat mereka kerjakan dalam kerangka
otonomi daerah selain kewenangan yang sudah menjadi milik pemerintah dan propinsi.
Kondisi ini menjadi lebih sedemikian kompleks ketika tugas pembantuan dan tugas
dekonsentrasi-pun tidak didukung oleh infrastruktur yang jelas. Peran propinsi dalam
memfasilitasi dan mendistribusikan fungsi ini pun tidak optimal bahkan cenderung
menjadikan proses yang tidak transparan bagi pemerintah daerah kabupaten dan kota.
Dalam konstelasi pembangunan sekarang, nampak bahwa pada dasarnya fungsi-fungsi teknis
pembangunan dan pembiayaannya masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hal ini
dapat diindikasikan dengan kenyataan bahwa begitu banyaknya “anggaran sektoral” yang
harus dikejar oleh pemerintah daerah dengan ‘pendekatan-pendekatan khusus” untuk
mendapatkan anggaran tambahan bagi pembangunan ditengah2 tahun anggaran berjalan.
Dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sebenarnya tidak lebih dari biaya administasi
dan operasioanal pembangunan, bukan sebagai biaya konstruksi pembangunan.
PAD akan merupakan sumber pendapatan utama bagi pembangunan daerah untuk masa yang
dating yang diperoleh dari pajakm retribusi, keuntungan dari pengelolaan asset dan sumber
pendapatan yang sah lainnya. Sekarang kontribusi PAD kurang dari 10% dari total
pendapatan pendapatan daerah setiap tahunnya (DRSP, 2006). Artinya sampai sejauh ini
bahwa alokasi anggaran dari pemerintah pusat masih menjadi tumpuan utama, meskipun juga
sebagaian dari pembiayaan yang dimiliki pemerintah pusat juga berasal dari daerah seperti
bagi hasil pajak. Karena objek dan besaran pajak ditentukan oleh pemerintah pusat.
Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum (DAU) adalah sumber utama bagi pendapatan daerah dalam rangka
keseimbangan secara vertical dan horizontal. DAU berkontribusi rata2 80% bagi penerimaan
daerah kabupaten/kota dan 30% bagi penerimaan propinsi setiap tahunnya. Porsi DAU untuk
masing-masing daerah akan secara bertahap akan berkurang seiring dengan tuntutan untuk
semakin meningkatkan kemandirian daerah. Tentu hal ini bukan merupakan perkara yang
mudah, tapi menjadi tantangan yang besar bagi daerah, sebab jangan sampai demi
desentralisasi dan otonomi daerah justru akan menjadi beban baru bagi kaum miskin. Karena
bisa dipastikan bahwa ketika pemerintah pusat mengurangi porsi bagi daerah, maka dengan
dengan sendirinya pemerintah daerah akan menyiapkan berbagai regulasi yang bias
meningkatkan pendapatan daerahnya termasuk dari pajak dan retribusi.
Dana Dekonsentrasi
Mekanisme pengelolaan dana dekonsentrasi yang terlalu besar oleh propinsi pada
kenyataannya menimbulkan inefisiensi dan disalokasi anggaran. Praktek pengalokasian yang
tidak transparan memberikan berbagai indikasi kolusi dan korupsi pada level daerah.
Mekanisme pengelolaan dan hubungan antara propinsi dengan kabupaten/kota sangat tidak
jelas, yang ditunjukan oleh tidak adanya informasi yang cukup di tingkat kabupaten/kota
tentang proyek-proyek yang bersumber dari dana dekonsentrasi. Pada sisi lain, mekanisme
penetapan dan jumlah alokasi yang diberikan kepada daerah kabupaten/kota yang
memperolehnya juga tidak dipahami secara baik oleh berbagai pihak. Belum lagi pola
pertanggungjawabannya juga menjadi hal yang sangat tidak jelas bagi daerah sementara dana
dekonsentrasi diperuntukan bagi daerah dalam kerangka pelaksanaan kewenangan pusat.
Standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini merupakan suatu
loncatan baru untuk memperbaiki kinerja pemberian layanan publik yang prima. Namun
sejalan dengan itu, standar pelayanan yang ada tersebut secara berlebihan menitik-beratkan
pada standar-standar fisik dan infrastruktur pelayanan. Sementara kapasitas kelembagaan dan
sistem dari penyedia layanan maupun interaksi mereka dengan pengguna jasa layanan tersebut
(dalam hal ini citizens) adalah masih sangat minim sekali. Sebagai contoh dalam hal ini
adalah standar pelayanan minimum bidang kesehatan, lebih banyak mengatur standar ruang
perawatan tanpa diikuti oleh pengaturan yang cukup tentang standar peningkatan disiplin
kerja dan keahlian tenaga medis dan apoteker.
3. Permasalahan dan Kecenderungan
Ada beberapa permasalahan dan kecenderungan yang menyebabkan situasi seperti yang ada
sekarang yaitu :
- Distribusi kewenangan yang tidak jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten
dan kota, bahkan dengan desa sebagai esensi dari otonomi asli. Contoh pertanian
diurus mulai dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, sampai dengan desa.
Pengklasifikasian kewenangan tidak dilakukan secara tegas sehingga ketika ada
permasalahan yang muncul pada sektor pertanian saling melempar tanggungjawab
antara level pemerintahan tersebut menjadi hal yang utama sementara persoalan di
tingkat petani menjadi tidak kunjung selesai. Secara konkrit dapat di sebutkan disini
adalah ketika terjadi persoalan hama belalang di Sumba atau gagal panen yang terjadi
diberbagai daerah yang menyebabkan semua pihak harus mencari solusi alternatif
untuk membantu petani. Yang ada adalah saling lempar tanggung jawab, atau
demikian juga yang terjadi di sektor kesehatan ketika penanganan flu burung sampai
sekarang belum juga beres.
- Peran propinsi yang mendua sebagai wakil pemerintah pusat dan sekaligus sebagai
daerah otonom tidak memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi masyarakat
daerah maupun bagi pemerintah pusat. Justru hanya menyebabkan pemborosan
pembiayaan oleh negara.
- Perumusan peraturan perundangan-undangan yang hanya berorientasi pada
kepentingan kelompok tertentu dan bersifat jangka pendek tanpa memikirkan
kepentingan semua komponen bangsa dan tantangan masa depan, menyebabkan
terjadinya tambal-sulam bahkan bongkar pasang substansi pengaturan.
- Tidak adanya saling percaya diantara lembaga-lembaga pemerintah maupun antara
lembaga pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat, terlebih lagi antara lembaga
politik dan partai politik dengan masyarakat sipil dan konstituennya.
5. Tujuan umum
Mewujudkan otonomi daerah yang transparan dan akuntabel pada tahun 2030.
6. Strategi Umum
Untuk mewujudkan tujuan umum tersebut, maka ada beberapa langkah strategis yang harus
dilakukan yaitu antara lain :
1. Melakukan kaji ulang dan perubahan undang-undang pemerintah daerah dan berbagai
peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan
desentralisasi yang didahului oleh amandemen UUD 1945 tentang struktur pemerintah
khususnya mengenai eksistensi pemerintah propinsi dan pemerintah desa.
2. Reposisi peran propinsi dengan dua alternatif pilihan yaitu sebagai wakil pemerintah
pusat saja tanpa ada DPRD dan Dinas teknis. Dalam hal ini propinsi hanya berfungsi
sebagai pusat koordinasi wilayah, dan alternatif kedua adalah propinsi dihilangkan,
sementara level pemerintahan menjadi hanya terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah
kabupaten/kota dan pemerintah desa/kelurahan. Sementara kecamatan berfungsi untuk
melakukan pembinaan dan koordinasi tingkat desa dan kelurahan sebagai wakil
pemerintah kabupaten/ kota.
3. Pembagian kewenangan secara jelas dan tegas, tidak ada kewenangan yang bersifat
”abu-abu” antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa.
Asia
VIEWS
The Intricate
Tapestry of
ASEAN Security
By Lianita Prawindarti tries unaffected by the crisis, such as Bru-
nei, economic security became a concern,
Ph.D. candidate at the albeit their focuswas more on how to cre-
School of International Studies, ate social harmony by minimizing eco-
University of Trento, Italy. nomic disparity among indigenous Bru-
neians, and how to promote the country's
economic diversity, since Brunei cannot
always rely on the oil industry.
In addition, the crisis taught ASEAN
HREE years after the a significant lesson in regionalism: that
ASEAN heads of govern- boundaries between domestic and re-
ment laid down the foun- gional domains had become blurred,
dations for its existence in creating a more complex and intricate
Bali, the ASEAN Security Communi- security environment that could only
ty (ASe) remains a mixed bag of uncer- attained by economic interdependen-
tainties amid optimism. In Kuala Lum- cy in other fields. In the case of South-
pur last May, the ASEAN defense min- east Asia, non-traditional security issues giving more space for civil society to get
isters met for the first time to reinforce arising from domestic instability has involved in the process of regional inte-
the shared objective that peace and sta- proven to be the foremost source of re- gration, ASEAN is addressing the public
bilityin the region could be achieved on gional instability. Thus, countries in this interest at the regional level, which will
the basis of common interests in the eco- region must shift their perspective on re- boost the creation of an epistemic com-
nomic, social and cultural fields, or in gionalism and develop a willingness to munity, promote participatory region-
other words, 'achieving security through discuss security issues more openly at alism in the region, and strengthen the
non-security roads.' the regional level. sense of "community" within the ASC.
The principle of comprehensive se- In spite of the increasing role of civ-
curity was adopted, not only because it Security and Democracy: a Double- il society in the field of security, howev-
brings together a wide range of securi- Edged Sword er, most ASEAN countries are still ob-
ty issues but also because it establish- The political impact of the Asian eco- sessed with the problem of internal se-
es interlinked relations between secu- nomic crisis can be described as a dou- curity, in which they highlight the threat
rity and other sectors. After 40 years ble-edged sword. The crisis provoked against the regime survival and nation-
of development, ASEAN has arrived at conflict between the roles of the state al unity as a continuous post-coloniza-
a point where its member states need versus civil society in the area of secu- tion challenge. This has led some coun-
to talk more openly about security and rity. In Indonesia, the crisis on the one tries to apply tight internal political con-
shift its framework of security onto a hand put pressure on the political re- trols with limited room for political dis-
higher plane. As globalizafloh~becomes gime which ultimately led to political sent in order to guarantee the internal
more critical, security can no longer be unrest but, on the other hand, it pro- stability necessary for economic devel-
perceived solely as a single country's do- vided new opportunities for civil so- opment. In the aftermath of September
main, but a collective, regional issue. ciety. This phenomenon related to the 11,it is also argued that this kind of poli-
process of building good governance as cy is chosen in response to the increasing
The Asian Economic Crisis: A Point of well as to the process of re-conceptual- threat of terrorism and fundamentalist
No Return for Regional Security izing domestic and regional security in movements. Malaysia and Singapore are
The 1997 Asian Economic Crisis had the wake of the crisis. As human secu- two countries, which apply Internal Se-
significant implications for a number of rity comprises the idea of individual se- curity Act. Brunei modeled its strong in-
ASEAN's member states, mainly the ex- curity, the role of civil society becomes ternal security apparatus after Singa-
posure to critical problems in human se- eminent, demonstrating the new linkage pore's Internal Security Department as
curity. The sharp economic downturn between security and democracy. This it also considers terrorism as an imme-
caused by the crisis created uncertainties new linkage explains two things. First- diate threat to the country.
in the region because it undermined the ly, that the active role of civil society can
states' capability in maintaining their in- help ASEAN and its members deal with Environmental Security and the Prob-
dividual national security. Even for coun- the human security issues. Secondly, by lem of Natural Catastrophes
• Asia Focus
When Health Problems are tance given to other forms of transna-
Going Regional tional crime. Although terrorism is clas-
Trans-border diseas- sified as a non-conventional threat, how
es in the region, such as we respond to this threat is directed by
.. Severe Acute Respirato- conventional configurations of states. It
,
4 • ry Syndrome (SARS) and blurs the distinction between national
bird flu, are new and dan- security and regime security, as nation-
gerous security threats. In al governments tend to employ the idea
the case of bird flu, Indo- of the war on terrorism as an opportuni-
nesian authorities recently ty to triumph over their political oppo-
confirmed their country's nents rather than to protect the society
40th death from bird flu. per se. The war on terrorism has given
Vietnam is still the coun- states the opportunity to reassert them-
try worst affected by bird selves against societal forces. The Amer-
flu, with 42 human deaths ican model of "homeland security" has
since 2003. But Vietnam been adopted by Singapore and Malay-
has been disease-free sia and has taken precedence over civil
since December 2005 and liberties in the Western society and the
has been praised interna- principle of self-determination in the de-
tionally for its quick and veloping world.
comprehensive response. Indeed, the war on terrorism affects
Learning from Vietnam's human security issues both directly and
case, the key lesson is the indirectly. It has stirred anti-American
importance of high-level passions across Southeast Asia. In ad-
government commitment. dition, US pressure on Southeast Asian
Both cases cannot be con- governments to tackle terrorist activ-
sidered simply as an health ities within their borders may lead to
problem as it has wid- the radicalization of the Muslim popula-
er implications, especial- tions within these countries. This could
ly in the economic sector impair governments' ability to func-
of countries suffered from tion, which in the end may leave a vacu-
the diseases. um in which terrorism and internal con-
Indonesian Navy warship, KRI Patimura flicts can flourish. Furthermore, the in-
371, patrolling the Malacca Straits. Maritime and Energy Security direct effect of the war on terrorism, for
These two issues also pose crucial instance, will be the diversion of govern-
challenges to ASEAN's archipelag- ments' attention and resources from hu-
Indonesia's problem of environmen- ic countries. Southeast Asia's strategic man security issues.
tal degradation has also made a regional position makes it particularly prone to Is There ASingle Formula forASEAN's
impact. Her long history of massive for- maritime piracy. This region is the hub Multiple Security Threats?
est fires in Kalimantan and Sumatra has of international trade and energy traffic. Many hope that the ASC will be the an-
become a regional concern as it impacts Oil from the Middle East is transport- swer for some contentious security prob-
its closest neighbors, Singapore and Ma- ed by many multinational firms via the lems, because the concept of a securi-
laysia. It forced the ASEAN environmen- Indian Ocean and the Malacca Straits, ty community envisions a fabric of insti-
tal ministers to meet and draft a Region- to be refined in Southeast Asia, before tutional, social, economic and political
al Haze Action Plan because the Asso- being moved to support industries in linkages among actors within the region.
ciation did not have an institutionalized Northeast Asia. The Malacca and Sin- At the end of the day, these linkag-
scheme to mount a regional response. gapore ~<!it;~ carryover 30% of the es are expected to strengthen a com-
The outbreak of some devastating world's"total commerce and about half mon identity among its members, which
natural disasters in the region, name- of the world's oil supply. Disruption of would make the use of force unlike-
ly the tsunami and the series of earth- these vital sea lanes would have imme- ly. This is the reason why the "commu-
quakes in Indonesia can be classified as diate economic and strategic repercus- nity" element of this concept becomes
a new security challenge to countries in sions not only in Southeast Asia, but also very important. The idea of "communi-
the region, especially affecting human in Asia-Pacific. At this point, once again, ty" within the ASC project is in parallel
security. This humanitarian crisis sig- security and economic well-being is in- with the emergence of human security
g naled the need for a regional mechanism creasingly tied to factors far beyond the issues across the region. The inclusion of
to overcome the impact of such catas- state border. the community aspect is a new approach
trophes. Once again, it was proven that in enhancing regional cooperation. Un-
there is no single country who can re- The Many-Faceted Terrorism in South- til recently, ASEAN was an elite-driven
solve the crisis on its own. One could ar- east Asia organization with a top-down approach
gue that this now is a good starting point Discussion about September 11 and to regional cooperation. However, as hu-
for ASEAN to set up a regional mecha- the series of bombings in the region since man security becomes increasingly more
nism to respond to humanitarian crisis 2002is not merely a discussion on terror- important and concerns the security of
without being influenced by the classic ism. September 11 brought back the is- individuals, ASEAN has to provide more
debate of whether it may undermine the sue oftransnational crimes into the main space to society to become actively in-
principle of non-intervention within the agenda of ASEAN, but the fear of terror- volved in the process of building regional
Association. ism in S.E. Asia has lessened the impor- security cooperation .•
Abstrak
Indonesia pasca Orde Baru menyisakan problem sistemik di bidang politik pertahanan
dan keamanan, terutama karena warisan perang kemerdekaan dan watak otoritarian
pada rezim-rezim sebelumnya, baik “Demokrasi Terpimpin” pada era Sukarno dan
“Birokratik-Otoriter” pada era Suharto. Bidang pertahanan & keamanan yang
dimaksud disini adalah bidang politik tata-pemerintahan yang terkait dengan fungsi-
fungsi keamanan dan pertahanan, khususnya menyangkut lembaga kepolisian dan
angkatan bersenjata. Tulisan ini berisi gagasan tentang visi dan strategi transformasi
di bidang politik pertahanan dan keamanan dalam rangka membangun masa depan
Indonesia yang lebih baik.
Analisa Kondisi
Analisa Masalah
Sebagai warisan dari keterlibatan dan peran besar militer dalam perjuangan
kemerdekaan RI melalui perang gerilya, militer (khususnya Angkatan Darat, AD)
memiliki peran dan sumber daya politik dan ekonomi besar di bidang-bidang non
pertahanan (defense section). Peran dan sumber daya yang besar ini diteruskan
selama kekuasaan Soekarno (’Demokrasi Terpimpin’) dan semakin meluas dan
dilembagakan selama rezim Suharto (’Oder Baru’). Peran dan sumber daya politik
besar itu antara lain tercermin dalam hal-hal berikut: (1) terlembaganya lembaga
dan struktur komando teritorial AD; (2) dominasi militer di lembaga-lembaga
intelijen sipil negara; (3) jejaring luas yang dimiliki dan dibangun oleh militer di
ranah bisnis (ICG 2002).
1
Penulis adalah anggota PPI Amsterdam, peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM) dan dosen pasca sarjana Sosiologi UGM yang sedang
menempuh program doktoral di Amsterdam School for Social science Research (ASSR), Universitiet
van Amsterdam (UvA). Kontak email: najib.azca@uva.nl, najib.azca@gadjahmada.edu,
najibazca2002@yahoo.com.au
2
Disusun berdasarkan Bagan Dialektika Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda 2007.
DRAFT
Sebagai akibat dari posisi kelembagaan untuk kurun yang panjang berada di
bawah angkatan bersenjata dan sistem pemerintahan yang sentralistis, maka
lembaga kepolisian RI memiliki struktur dan budaya lembaga yang berwatak
sentralistik dan militeristik. Struktur dan budaya lembaga semacam itu tentu saja
tidak kompatibel dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik Indonesia
kontemporer yang mengalami perubahan menjadi lebih demokratis dan bercorak
desentralistis.
4. Profil dan kinerja lembaga kepolisian yang buruk, korup dan tidak
profesional
Sebagai akibat turunan dari struktur dan budaya lembaga kepolisian yang
berwatak sentralistik dan militeristik, profil dan kinerja lembaga kepolisian RI
tergolong buruk, korup dan tidak profesional. Hal ini tercermin pada rendahnya
tingkat pelayanan kepada masyarakat, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap aparat kepolisian serta tingginya pelanggaran HAM dan hukum yang
dilakukan oleh aparat keamanan (PSKP-UGM 1999).
DRAFT
Analisa Potensi
Sebagai hasil dari dinamika internal maupun eksternal yang tinggi dan panjang,
maka telah terjadi perubahan sistem politik di Indonesia dari yang bersifat otoriter
dan sentralistik menjadi lebih demokratis dan desentralistis. Perubahan sistem
politik ini membuat terbukanya peluang dan ruang partisipasi dan kontrol yang
lebih besar dari warga negara dalam proses politik, baik melalui mekanisme
kelembagaan politik maupun melalui peran-peran media massa dan masyarakat
warga (civil society).
Sebagai hasil dari proses interaksi sosial dan politik yang semakin luas dan
intensif dengan perkembangan lingkungan di sekitarnya, muncul generasi baru di
lembaga milter dan kepolisian yang berorientasi profesional dan berwatak
demokratis. Generasi baru ini bisa menjadi modal dan sumberdaya dalam proses
reformasi dan transformasi kelembagaan di lembaga-lembaga tersebut, khususnya
melalui proses kerjasama dan kemitraan (partnership) dengan elemen-elemen
progresif dari masyarakat warga (civilsociety).
Sebagai hasil proses sosial politik yang panjang, kalangan masyarakat warga (civil
society) telah mengalami perkembangan secara cukup signifikan khususnya dalam
penguatan kapasitas dan kompetensi pengetahuan dan keahlian dalam bidang
pertahanan dan keamanan. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengetahuan
dan keahlian dalam bidang keamanan dan pertahanan ini akan menjadi
sumberdaya yang penting dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi kontrol dan
pengawasan (oversight) yang dilakukan oleh warga negara, baik dalam melalui
kelembagaan politik maupun melalui kelembagaan kemasyarakatan.
DRAFT
Analisa Trend
Salah satu bentuk kecenderungan baru di tingkat global di bidang kemanan dan
pertahanan adalah berkembangnya bentuk-bentuk baru ancaman keamanan non-
tradisional (non-traditional security threat). Bentuk-bentuk ancaman keamanan
non-tradisional ini, baik dalam bentuk terorisme, kejahatan terorganisir (organised
crime), pembajakan (piracy) hingga penyebaran virus HIV dan flu burung,
membuat pembauran batas-batas teritori negara-bangsa serta pemisahan urusan
pertahanan dan keamanan. Sebagai akibatnya perlu dilakukan redefinisi dan
reformulasi pemisahan sektor pertahanan dan keamanan serta peningkatan
kerjasama dan kolaborasi melintasi batas-batas negara-bangsa.
Salah satu trend global lain di bidang pertahanan dan keamanan adalah
meningkatknya peran kerjasama pertahanan dan keamanan dalam skala regional.
Sebagai akibat dari berubahnya konstelasi dan konfigurasi politik internasional
pasca Perang Dingin, dari Bi-Polar menjadi Uni-Polar dan/atau Multi-Polar, maka
terjadi pula penyusunan keseimbangan politik global yang baru, yaitu menguatnya
kerjasama keamanan dan pertahanan di aras regional (regional bloc). Trend
penguatan kerjasama pertahanan dan keamanan di aras regional ini diperkirakan
akan menjadi konteks makro yang penting dalam perkembangan internasional
mendatang.
Selain matra darat, laut dan udara, ranah antariksa telah dan sedang menjadi
domain kontestasi yang makin penting baik secara militer maupun ekonomi.
Superioritas penguasaan informasi, yang menjadi elemen kunci dalam strategi
militer maupun ekonomi, semakin tergantung pada penguasaan di ranah antariksa.
Karena itulah dalam Visi 2020 NASA tercantum agenda untuk menguasai ranah
antariksa dari operasi militer dalam rangka melindungi kepentingan dan invetasi
nasional Amerika Serikat.
Strategi Transformasi
Indikator:
(1) Terbangunnya sistem dan lembaga kepolisian yang profesional, akutabel
dan bercorak desentralistik
(2) Meningkatnya profil dan kinerja lembaga kepolisian yang baik,
profesional, akuntabel dan bercorak desentralistik
(3) Terbangunnya dan terlembaganya peran pemantauan dan kontrol
terhadap lembaga kepolisian dari masyarakat warga dan sektor bisnis
DRAFT
Literatur
Azca, Muhammad Najib. (2004) Security Sector Reform, Democratic Transition, and
Social Violence: The Case of Ambon, Indonesia. Bonn: Berghof Research Center for
Constructive Conflict Management; available at http://www.berghof-handbook.net
International Crisis Group (2000b). Indonesia: Keeping The Military Under Control.
Available:
http://www.crisisweb.org/projects/asia/indonesia/reports/A400054_05092000.pdf [19
April 2001]
Kadi, Saurip (2000). TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Tim Pokja Propatria (2004) Rekomendasi Arah Kebijakan Keamanan Dalam Negeri
2004-2009. Jakarta
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada dan Dinas
Penelitian dan Pengembangan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. (1999).
Profil Profesionalisme dan Kinerja Polri: Sebuah Riset Eksploratif. Yogyakarta,
Jakarta: Author.
Sukma, Rizal & Prasetyono, Edy. (2003). Security Sector Reform in Indonesia: The
military and the Police. Working Paper 9. The Hague: Neterherlands Institute of
International Relations ‘Clingendael’.
Shiskha Prabawaningtyas
PPI Leiden
Latar Belakang
Konflik komunal dan gerakan separatis dianggap sebagai ancaman utama bagi keamanan
dan integritas Indonesia. Sebelum reformasi 1998, negara adalah aktor utama dalam
menentukan konsepsi keamanan atas nama kepentingan nasional. Namun kini, konsepsi
keamanan bukan lagi menjadi monopoli negara, namun telah bergeser pada konsep
keamanan manusia. Kondisi ini memberi ruang yang besar bagi peran masyarakat sipil.
Kegagalan negara dalam menjamin keamanan individu bagi setiap warga negaranya telah
melegitimasi peran pihak ketiga dalam membangun perdamaian. Penegakan hukum dan
jaminan pemenuhan terhadap hak asasi manusia menjadi sentral isu dalam membangun
perdamaian.
Analisa Kondisi
Masalah
Analisa Trend
1. Menguatnya arus demokratisasi dan liberalisasi pasar
2. Komitmen dunia (red:UN) dalam pengentasan kemiskanan dunia
3. Munculnya kembali pola-pola keamanan atas dasar referensi negara teruatam
untuk mengatas masalah terorism
4. Tumbuhnya kekuatan ekonomi baru: Uni Eropa, China dan Rusia yang akan
menantang dominasi Amerika Serikat
Strategi Transformasi
Shiskha Prabawaningtyas
Apakah pengentasan kemiskinan sudah tepat sasaran ?
Oleh :
Anwar Sadat Sari Siregar
Pendahuluan
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam alinea keempat
Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini
juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada
dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi
masalah yang berkepanjangan.
Berangkat dari data data tersebut saya melihat bahwa masih banyak pekerjaan
pekerjaan rumah yang masih harus diperbaiki agar program-program pengentasan kemiskinan
dapat memenuhi target.
Rumpun masalahan
• Tingginya angka masyarakat miskin dari tahun ke tahun
• Solusi yang ditawarkan ternyata selama in itidak menyelesaikan masalah
• Tidak adanya defenisi atau kriteria masyarakat yang seperti apa yang di sebut
miskin
Analisa permasalahan
Permasalahan kemiskinan , seharusnya di mulai dari pertanyaaan Siapakah yang
dimaksud masyarakat miskin tersebut ?
Melihat salah satu program kelanjutan yang telah dan akan dilaksanakan oleh
Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) bersama lintas sektoral mulai Juli 2007 akan
meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) berupa pemberian bantuan langsung tunai
kepada 500.000 ibu rumah tangga miskin (RTM) yang sedang hamil, memiliki balita atau
anak usia sekolah SD-SMP. Hal ini mencerminkan bahwa program pengentasan kemiskinan
yang di formulasikan masih menyebabkan ketergantungan yang berkelanjutan.
Hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor penting dikarenakan kondisi NKRI (
Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang sangat bhinneka. Kebhinnekaan ini terlihat dari
beragamnya
Usulan solusi permasalahan
Melihat permasalan yang ada di sesuaikan dengan kondisi saat ini dan tentunya
jangka panjang maka diperlukan satu rumusan penyelesain yang tepat sasaran. Dengan
melibatkan komponen pemerintah dan swasta . Usulan strategi penyelesain masalah adalah :
Pemerintah Swasta
Dialog dua-arah
Hasil Dialog
Lapangan Kerja
Masyarakat Miskin
Referensi
http://kompas.com/kompas-cetak/0609/14/opini/2953305.htm
http://www.menkokesra.go.id/content/view/4162/39/
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 54 tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan
Fenomena Urbanisasi Kota Kecil dan Menengah di Indonesia
dan Tantangan Pembangunannya
Oleh : Fadjar Hari Mardiansjah12
Pengantar
Pada akhir dasawarsa ini, lebih dari 50% dari seluruh penduduk Indonesia bermukim
di wilayah perkotaan. Sementara itu, hampir 70% di antaranya tinggal di kota-kota kecil dan
menengah yang masing-masing kota tersebut berpenduduk kurang dari 500.000 jiwa.
Walaupun estimasi tetap memperkirakan bahwa proporsi penduduk kota-kota kecil dan
menengah tersebut tetap berada pada sedikit di bawah angka 70%, namun dengan jumlah dan
pertambahan jumlah penduduk wilayah perkotaan Indonesia yang cukup tinggi maka, jumlah
penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota kecil dan menengah tersebut mencapai angka
yang cukup tinggi, yaitu sekitar 60,2 juta jiwa di tahun 2000, yang akan menjadi sekitar 86,5
juta jiwa di tahun 2010 dan kemudian menjadi 98,6 juta jiwa di tahun 2015. Diperkirakan
angka ini akan terus membesar dengan terus berkembangnya jumlah penduduk perkotaan di
Indonesia. Dengan demikian, kota-kota kecil dan menengah Indonesia akan memiliki peran
penting dalam membangun masa depan dari bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa menjadi suatu hal yang sangat penting
untuk dapat mengidentifikasi tantangan pembangunan kota-kota kecil dan menengah
Indonesia, agar kota-kota tersebut dan hubungan keterkaitan di antaranya serta hubungannya
dengan kota-kota lainnya dapat berfungsi sinergis sebagai media peningkatan kualitas hidup
dari penduduk perkotaan Indonesia. Selain itu, dalam suatu pandangan yang berbasis pada
pendekatan sistem integratif dalam pembangunan, identifikasi terhadap tantangan tersebut
juga sangat penting untuk dapat meningkatkan peran kota-kota kecil dan menengah Indonesia
untuk mampu berperan sebagai ‘interface’ atau penghubung antara kegiatan di sektor
pedesaan dengan kegiatan-kegiatan lainnya di sektor perkotaan, baik yang berada di wilayah
kota-kota kecil dan menengah tadi maupun yang berada di wilayah kota-kota lain yang lebih
besar. Dengan demikian, peningkatan aktivitas dan pembangunan di wilayah kota-kota kecil
juga dapat meningkatkan aktivitas dan pembangunan di wilayah pedesaan di sekitarnya
sehongga peningkatan kualitas hidup juga akan terjadi di wilayah pedesaan di sekitar kota-
kota kecil dan menengah tadi.
1
Staf Pengajar pada Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang
Indonesia – Pelajar pada Institut Français d’Urbanisme, Université Paris 8, Perancis.
2
Disampaikan pada Konferensi Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda, yang diselenggarakan bersama
oleh Jejaring Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Eropa (PPI Belanda, Jerman, Itali, Perancis dan Spanyol), di Den
Haag – Belanda, 22-24 Juni 2007.
1
Untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang tantangan
pembangunan kota-kota kecil dan menengah Indonesia, makalah ini pertama-tama akan
menguraikan fenomena pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia dengan memberi
perhatian pada penduduk kota-kota kecil dan menengah, yang diindikasikan oleh jumlah
penduduk perkotaan pada kota-kota dengan jumlah penduduk di bawah 500.000 jiwa untuk
setiap kotanya. Kemudian, makalah ini dilanjutkan dengan pembahasan tentang peran kota
dalam pembangunan dan pengembangan wilayah serta kebutuhan untuk mampu memenuhi
peran sambil menjawab tantangan tersebut. Selanjutnya, makalah ini akan diakhiri dengan
perumusan beberapa dimensi tantangan dalam pembangunan kota-kota kecil dan menengah di
Indonesia.
300
250
200
150
100
50
0
1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2020 2030
2
Pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut diakibatkan oleh tiga buah faktor. Faktor
pertama adalah faktor pertumbuhan alami yang merupakan selisih dari jumlah kelahiran
dengan jumlah kematian. Kedua adalah faktor pertumbuhan migrasional, sebagai hasil selisih
dari migrasi masuk dengan migrasi keluar wilayah perkotaan. Sementara faktor ketiga adalah
faktor reklasifikasi yang dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan status kawasan akibat
perubahan kondisi kawasan dari kawasan non-perkotaan menjadi suatu kawasan perkotaan di
waktu berikutnya sebagai hasil dari kegiatan pembangunan yang dilakukan pada kawasan
tersebut. Berdasarkan karakteristik lokasinya, faktor terakhir dapat dibedakan menjadi dua
buah kategori, yaitu reklasifikasi akibat perluasan/aneksasi suatu kota yang terjadi pada
wilayah pinggiran dari sebuah kota utamanya, dan reklasifikasi yang terjadi sebagai akibat
pemunculan suatu kota kecil sebagai akibat dari pertumbuhan dari suatu kawasan pedesaan
dan/atau pusat desa menjadi sebuah kawasan perkotaan yang memiliki aktivitas yang semakin
intensif dan beragam.
Menurut Tommy Firman (2004), seorang perencana gegrafis di ITB, hanya sekitar
35,2% pertumbuhan penduduk perkotaan di antara tahun 1980 ke 1985 yang diakibatkan oleh
pertumbuhan alami. Estimasi lainnya untuk antara tahun 1990-1995, memperlihatkan bahwa
pertumbuhan alami memberi kontribusi sebesar 37% kepada pertumbuhan penduduk
perkotaan Indonesia (Firman, 2004). Sementara itu, sisanya, yaitu sebesar 64,8% di antara
tahun 1980-1985 dan 63% di antara tahun 1990-1995, diakibatkan oleh pertumbuhan akibat
migrasi dan reklasifikasi (Firman, 2004). Sayangnya tidak terdapat data yang memperlihatkan
masing-masing kontribusi dari kedua faktor tadi, yang diakibatkan oleh adanya kesulitan
perolehan data yang diperlukan untuk memperhitungkan berapa besar kontribusi dari masing-
masing dari kedua faktor terakhir. Juga sayangnya belum terdapat informasi lain yang
memperlihatkan kontribusi pertumbuhan penduduk alami kepada pertumbuhan penduduk
perkotaan Indonesia untuk waktu terakhir. Namun gambaran tersebut, memperlihatkan bahwa
kontribusi pertumbuhan alami pada pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia hanya sekitar
35%. Simpulan ini dapat disampaikan karena pada penelitiannya yang lain Tommy Firman
(2003) mengemukakan terdapatnya penurunan tingkat kesuburan (fertility rate) penduduk
Indonesia dari 5,7 di tahun 1967-69 menjadi 2,9 di tahun 1994, dan kemudian turun lagi
menjadi 2,6 di tahun 2002, dimana apabila dibedakan antara penduduk perkotaan dan
penduduk pedesaan, biasanya tingkat kesuburan penduduk perkotaan lebih rendah daripada
tingkat kesuburan pada penduduk pedesaan sebagai hasil perbedaan gaya hirup dan
pandangan-pandangan sosial yang dianut oleh kedua kelompok masyarakat tersebut.
3
Gambar 2. Pertumbuhan Penduduk Perkotaan Indonesia untuk Setiap Jenis Kota
Berdasarkan Jumlah Penduduk yang Ditampung per Kota,
Tahun 1980, 2000, 2010 dan 2015 (dalam juta jiwa)
160
140
120
100
80
60
40
20
0
1980 2000 2010 2015
kurang dari 500 ribu 500 ribu - 1 juta 1 - 5 juta 5 - 10 juta 10 juta lebih
Apabila ditinjau secara lebih detail untuk jumlah penduduk perkotaan Indonesia untuk
tiap jenis kota berdasarkan jumlah penduduknya (lihat Gambar 2), dimana jumlah penduduk
kota-kota kecil dan menengah ditunjukkan oleh jumlah penduduk perkotaan untuk kota-kota
dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu jiwa untuk setiap kotanya, maka walaupun
proporsinya relatif tetap berada di sekitar angka 68% setelah meningkat dari 58% di tahun
1980 (lihat Tabel 1), namun jumlah absolutnya selalu meningkat dengan pesat. Jumlah
penduduk kota-kota kecil dan menengah Indonesia meningkat dengan sangat pesat dari
kurang dari 20juta di tahun 1980 menjadi lebih 60 juta di tahun 2000, berarti menjadi lebih
dari tiga kali lipatnya hanya dalam waktu 20 tahun. Kemudian, walaupun akan memiliki
perlambatan bila dibandingkan dengan pertumbuhan di periode sebelumnya, penduduk
perkotaan kecil dan menengah Indonesia akan meningkat menjadi sekitar 68,5 juta di tahun
2010 dan hampir mencapai 100 juta jiwa di tahun 2015. Sayangnya belum terdapat informasi
mengenai jumlah kota (aglomerasi perkotaan) untuk kota-kota kecil dan menengah ini.
Namun apabila diasumsikan bahwa setiap kota tersebut memiliki jumlah penduduk 500 ribu
jiwa maka akan terdapat sekitar 200 buah kota kecil dan menengah. Padahal, jumlah
penduduk dari kota kecil dan menengah Indonesia berkisar di antara puluhan ribu jiwa hingga
ratusan ribu jiwa penduduk, sehingga dengan demikian maka akan terdapat ratusan buah kota
kecil, yang didefinisikan sebagai kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu jiwa, dan
kota menengah yang didefinisikan sebagai kota dengan jumlah penduduk antara 250-500 ribu
jiwa.
4
Tabel 1. Jumlah dan Proporsi Penduduk Perkotaan Indonesia
per Tiap Jenis Kota Tahun 1980, 2000, 2010 dan 2015 (dalam juta jiwa)
Jumlah penduduk 1980 2000 2010 2015
per jenis kota (juta jiwa) (%) (juta jiwa) (%) (juta jiwa) (%) (juta jiwa) (%)
kurang dari 500 ribu 19,191 57.9 60,194 68.5 86,483 68.3 98,607 68.3
500 ribu - 1 juta 3,255 9.8 6,171 7.0 6,051 4.8 5,810 4.0
1 - 5 juta 4,742 14.3 10,431 11.9 18,830 14.9 17,839 12.4
5 - 10 juta 5,984 18.0 0 0.0 0 0.0 5,338 3.7
lebih dari 10 juta 0 0.0 11,065 12.6 15,206 12.0 16,822 11.6
Total 33,172 100.0 87,861 100.0 126,570 100.0 144,416 100.0
Sumber data : UN Population Division, 2007.
Untuk antara tahun 1980-1990, khusus untuk kasusnya di Pulau Jawa, secara spasial,
Tommy Firman (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia
terutama terjadi di dua buah kelompok lokasi, yaitu wilayah-wilayah kabupaten yang berada
di sekitar kota besar, dan kabupaten-kabupaten yang berlokasi di sekitar jaringan jalan
regional utama, atau gabungan dari kedua karakteristik lokasi tersebut. Karakteristik lokasi
pertama diperlihatkan oleh Kabupaten Kerawang, Bekasi dan Depok di sekitar Kota Jakarta,
Kabupaten Bandung di sekitar Kota Bandung, Kabupaten Semarang di sekitar Kota
Semarang, Kabupaten Bantul, Sleman dan Klaten di sekitar Kota Yagyakarta, Kabupaten
Gresik dan Sidoarjo di sekitar Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang di sekitar Kota Malang.
Karakteristik lokasi kedua diperlihatkan oleh Kabuaten Indramayu, Cirebon, Tegal, Pemalang
dan Pekalongan yang berlokasi di jaringan jalan utama pantai utara Jawa yang
menghubungkan antara Jakarta dan Semarang ; Kabupaten Semarang, Boyolali, Klaten
Sukoharjo, dan Sleman yang berada di sekitar jaringan jalan regonal utama yang
menghubungkan Kota Semarang, Yogyakarta dan Surakarta ; serta Kabupaten Mojokerto,
Jombang dan Kediri yang terletak di antara segitiga jaringan jalan regional utama yang
menghubungkan Surabaya-Malang-Kediri. Namun demikian juga terdapat beberapa
kabupaten yang tidak berada di antara kedua karakterik lokasi di atas seperti Kabupaten
Jepara dan Situbondo. Diperkirakan bahwa kasus urbanisasi di Kabupaten Jepara sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan ‘local genius’ yaitu industri mebel dan perlengkapan rumah
tangga lain yang didukung oleh keterampilan dan seni ukirnya yang khas. Aktivitas tersebut
yang diperkirakan menjadi pendorong proses urbanisasi dan peningkatan penduduk perkotaan
di kabupaten ini. Namun, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti
faktor-faktor yang mendorong terjadinya pertumbuhan penduduk perkotaan di wilayah-
wilayah tersebut, yang dipandang dari dimensi yang lebih luas daripada sekedar dimensi
demografis namun juga termasuk dimensi ekonomi, sosial, fisik dan kebijakan.
Selanjutnya, dalam analisisnya yang serupa namun untuk tahun yang berbeda yaitu
untuk tahun 1990-2000, Tommy Firman (2003) memperlihatkan bahwa fenomena tersebut di
atas terus menguat dan mendapat penguatan sehingga proses urbanisasi yang terjadi kemudian
juga mengikutsertakan beberapa kabupaten lain di sekitar pusat-pusat konsentrasi urbanisasi
wilayah tadi. Beberapa kota yang kemudian terpengaruhi sehingga meningkat laju
pertumbuhan penduduknya adalah Kota Bogor yang meningkat pertumbuhan penduduknya
dari 0,94% per tahun antara 1980-1990 menjadi 10,98% per tahun antara 1990-2000 sehingga
meningkatkan jumlah penduduknya dari 271.341 jiwa di tahun 1990 menjadi 743.086 jiwa di
tahun 2000, Kota Sukabumi dari 0,87% menjadi 7,98% dengan penduduk dari 119.938
menjadi 252.025 jiwa, Kota Salatiga dari 1,34% menjadi 4,54% dengan penduduk dari 98.012
5
jiwa menjadi 150.494 jiwa. Sementara kabupaten-kabupaten yang meningkat pertumbuhan
penduduk perkotaannya di antara tahun 1990-2000 namun belum mengalami proses
urbanisasi pesat di periode sebelumnya adalah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Sumedang di Propinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Demak dan Kabupaten Sragen di Propinsi
Jawa Tengah.
Dalam demikian, dengan mempelajari kasus yang terjadi di Pulau Jawa, pertumbuhan
penduduk kota-kota kecil dan menengah di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh
keberadaan kota-kota besar, ketersediaan jaringan jalan rgional dan infrastruktur penunjang
kegiatan perkotaan, serta ketersediaan sumber daya aktivitas ekonomi yang ada di
wilayahnya. Selanjutnya, dengan berkembangnya proses urbanisasi dan kegiatan ekonomi
perkotaan pada kota-kota kecil dan menengah, proses urbanisasi tersebut kemudian
menghasilkan suatu percampuran aktivitas perkotaan dan aktivitas pedesaan, seperti
tercampurnya kegiatan pertanian tanaman pangan, terutama padi, dengan aktivitas industri,
perdagangan dan transportasi. Terry McGee (1990) mengemukakan proses urbanisasi kota-
kota kecil tersebut sebagai suatu proses yang meliputi pertumbuhan wilayah aktivitas
pertanian dan non-pertanian yang dicirikan oleh adanya interaksi intensif dari aliran
komoditas dan orang. Dalam artikelnya tersebut, Terry McGee kembali menegaskan
pendapatnya sebelumnya yang mengemukakan bahwa urbanisasi kota-kota kecil dan
menengah di Asia didorong oleh beberapa karakteristik : pertama, adanya kepadatan
penduduk yang sangat tinggi ; kedua, umumnya berupa wilayah pertanian pangan dengan
tingkat kepemilikan lahan petani yang relatif sempit ; ketiga, adanya kota-kota besar sebagai
pendorong urbanisasi ; keempat, adanya pertumbuhan aktivitas ekonomi yang terampur antara
aktivitas pertanian dengan kegiatan non-pertanian yang meliputi industri, perdagangan dan
transportasi ; kelima, adanya interaksi antara desa dan kota yang cukup baik ; dan terakhir,
adanya percampuran penggunaan lahan yang cukup intensif di dalam lingkungan
permukimannya yang meliputi penggunaan lahan pertanian, industri-industri kecil, kawasan
industri dan penggunaan lahan permukiman yang berdampingan antara satu dengan lainnya
(McGee, 1987). Selain itu, pertumbuhan penduduk dan urbanisasi kota-kota kecil dan
menengah tersebut juga didukung oleh perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama
teknologi dalam bidang transportasi, informasi dan komunikasi.
6
lainnya, memiliki laju pertumbuhan penduduk perkotaan antara 2,5-5% per tahun di antara
tahun tersebut. Walaupun jumlah penduduk perkotaan absolutnya raltif kecil bila
dibandingkan dengan jumlah penduduk perkotaan di kota-kota utamanya, namun fenomena
ini mengindikasikan bahwa proses urbanisasi yang terjadi di kota-kota kecil dan menengah di
Jawa Tengah telah terjadi dengan pesat. Akibatnya, jumlah penduduk perkotaan yang terdapat
di wilayah Propinsi Jawa Tengah telah menjadi semakin tersebar pada kawasan kota-kota
kecil, dan walaupun aktivitas perekonomian perkotaan di propinsi ini pun telah mulai tersebar
keluar dari kota-kota utamanya, namun berbagai ‘persoalan perkotaan’ seperti
berkembangnya permukiman kumuh, polusi dan penurunan/degradasi lingkungan, dan
kurangnya sediaan infrastruktur, juga telah menjadi permasalahan bagi banyak kota-kota kecil
di Jawa Tengah.
Namun, di sisi lain, kesiapan institusi dari banyak kabupaten di wilayah Jawa Tengah
dan juga di wilayah lainnya di Indonesia dalam menghadapi proses urbanisasi kota-kota kecil
dan menengahnya perlu mendapat perhatian serius. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Tegal memperlihatkan bahwa Pemerintah Kabupaten Tegal belum menempatkan ancaman
dan tantangan proses urbanisasi kota-kota kecil tersebut ke dalam prioritas utama
(Mardiansjah dan Waluyo,2005). Penduduk perkotaan di wilayah Kabupaten Tegal yang
meningkat dari 262.375 jiwa di tahun 1980 (23,8% dari total penduduknya di tahun 1980),
menjadi hampir dua kali lipatnya yaitu 494.077 jiwa di tahun 1990 (40% dari total
penduduknya di tahun 1990), dan kembali meningkat menjadi 755.651 jiwa di tahun 2000
(55% dari total penduduknya di tahun 2000) telah menjadikan kabupaten ini menjadi salah
satu dari lima kabupaten Jawa Tengah yang penduduk perkotaannya lebih banyak daripada
penduduk pedesaannya sejak sebelum tahun 2000, yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kudus,
Klaten, Tegal dan Jepara (Mardiansjah, 2005b), belum menjadikan kabupaten ini berorientasi
untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan perkotaan yang akan dihadapi. Hal ini
diindikasikan dari semakin berkembangnya permasalahan-permasalahan perkotaan yang
semakin tidak tertangani seperti kemacetan, kurangnya penyediaan sarana dan prasarana
lingkungan permukiman, pengkumuhan dan penurunan/degradasi kualitas lingkungan
perkotaan, serta polusi linngkungan yang diakibatkan oleh kualitas pengelolaan sampah yang
kurang baik. Persoalan-persoalan tersebut semakin diperparah dengan adanya fenomena tidak
terkontrolnya konversi lahan pertanian manjadi lahan untuk aktivitas perkotaan dan non-
pertanian lainnya. Tanpa suatu upaya pengelolaan pembangunan kota yang lebih baik untuk
menghadapi implikasi fenomena urbanisasi di kota-kota kecilnya tersebut, maka
dikhawatirkan bahwa permasalahan-permasalahan urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar
termasuk bencana-bencana lingkungan dan bencana-bencana kesehatan juga akan terjadi di
wilayah kabupaten ini. Apabila hal itu terjadi, maka dalam jangka dekat persoalan-persoalan
tersebut akan sangat berpengaruh kepada kualitas hidup warganya, dan dalam jangka panjang
akan menjadi salah satu hambatan dalam pembangunan wilayahnya.
7
Peran Kota Kecil dan Menengah dalam Pembangunan Wilayah
Kota merupakan tempat yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia di
bumi. Sejak awal perkembangannya, kota merupakan tempat yang menawarkan peluang-
peluang pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Dalam hal ini, kota menjadi titik sentral
bagi pengembangan banyak kegiatan seperti pertumbuhan ekonomi, pengembangan ilmu
pengetahuan dan budaya, peningkatan inovasi, penciptaan peluang kerja, dan lain sebagainya.
Selain itu, kota juga merupakan pusat-pusat kehidupan modern bagi lingkungan di sekitarnya
yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pertukaran budaya dari masyarakat
suatu daerah dengan masyarakat daerah lainnya, sehingga selain menjadi pusat
pengembangan aktivitas ekonomi, kota juga merupakan pusat penting bagi pengembangan
kehidupan sosial dan budaya. Dalam konteks ini, kota merupakan suatu tempat penting yang
berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan warganya. Selain itu, dengan memandang
keterkaitan dan interaksi antar-kota serta antara kota dengan wilayah di sekitarnya, maka kota
juga berfungsi sebagai penguat jejaring aktivitas sosial, ekonomi dan budaya sehingga dengan
demikian maka kota juga berfungsi sebagai tempat penyebaran kesejahteraan bagi kelompok
masyarakat lain yang tidak tinggal di dalam wilayah kota tersebut.
Pemusatan kegiatan pada suatu wilayah kota serta kepadatannya yang tinggi, mungkin
merupakan suatu hal yang bagus apabila ditinjau dari sudut pandang upaya peminimalan
dampak aktivitas manusia kepada lingkungan ekosistem setempat (Cohen, 2006). Hal ini
disebabkan karena dengan pemadatan aktivitas tersebut maka upaya mitigasi/penanggulangan
dampaknya bisa dilakukan secara lebih efektif dan lebih efisien pada suatu skala ekonomi
yang mencukupi. Namun, semakin berkembangnya sebuah kota, maka upaya pengelolaan
aktivitas dan pembangunannya akan menjadi semakin kompleks. Barney Cohen (2006)
mengemukakan bahwa pertumbuhan perkotaan yang cepat banyak membawa persoalan pelik
pada sebagian besar kota di negara berkembang sebagai akibat terbatasnya kemampuan setiap
kota dalam memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan warganya yang jumlahnya
berkembang dengan pesat. Beberapa hal yang menjadi perlu mendapat perhatian penting di
dalamnya adalah penyediaan sarana dan prasarana dasar perkotaan bagi warga kota seperti
perumahan, air bersih, sanitasi, listrik, dan lain-lain, serta perhatian terhadap pencegahan
bencana perkotaan baik merupakan bencana lingkungan seperti banjir, longsor dan sebagainya
maupun bencana kesehatan yang diakibatkan oleh penyebaran penyakit menular seperti
demam berdarah, muntaber, flu burung dan lain sebagainya. Persoalan lain yang juga perlu
mendapat perhatian adalah kemampuan kota dalam menciptakan kesempatan kerja yang
mampu mendukung kehidupan warga kota untuk hidup secara layak, perlindungan terhadap
kondisi dan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam perkotaan, dan penciptaan
kohesi sosial di antara masyarakat perkotaan. Rendahnya kemampuan teknik dan otoritas dari
institusi pengelolaan pembangunan kota, serta kemampuan finansial dan sumber daya
manusia bila dibandingkan dengan kebutuhannya, banyak membuat kota-kota di negara
berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi banyak persoalan penting seperti
pengangguran, kemiskinan, berkembangnya permukiman kumuh, kemacetan dan tidak
terkendalinya pertumbuhan kota serta degradasi lingkungan hidup perkotaan, yang banyak
dipengaruhi oleh ketidak-mampuan penyediaan infrastruktur dan fasilitas pelayanan kota lain
untuk memenuhi kebutuhan seluruh warganya yang tumbuh dengan pesat.
8
Dalam analisisnya terhadap kebijakan pembangunan perkotaan di Asia, Dennis A.
Rondinelli (1991) melaporkan bahwa lebih dari 60% penduduk Kolkata bermukim pada
permukiman kumuh yang sebagian besar di antaranya dilakukan secara ilegal. Selain itu, lebih
dari 40% penduduk Bombay dan lebih dari sepertiga dari mereka yang tinggal di New Delhi,
Dhaka dan Manila juga tinggal di dalam lingkungan permukiman yang jauh di bawah standar
yang layak (Rondinelli, 1991). Di bagian lain, Rondinelli (1991) juga mengatakan bahwa
sebagai akibat dari rendahnya kemampuan penyediaan air bersih di Jakarta, Bangkok dan
Seoul, maka kota-kota tersebut menghadapi permasalahan besar pada kemiskinan dan
kesehatan masyarakat. Dalam artikel lainnya, Werlin (1999) mengemukakan bahwa
rendahnya penyediaan pelayanan perkotaan di banyak kota negara berkembang telah
mengakibatkan kota-kota tersebut memiliki ancaman-ancaman lingkungan yang sangat besar.
Kondisi Kota Jakarta yang hanya mampu menyediakan jaringan air bersih kepada kurang dari
20% warganya telah memaksa 45% warga Jakarta untuk bergantung kepada air tanah dangkal
dalam pemenuhan air bersihnya (Werlin, 1999), dan lebih dari 11% lainnya bergantung
kepada penjaja air (Hendrojogi, 1993). Padahal dengan kondisi pengelolaan limbah tinja
rumah tangga di jakarta yang bergantung kepada sistem septik-tank, laporan World Bank
(1994) seperti yang dikutip oleh Werlin (1999), mengemukakan bahwa 93% sumur dan
pompa air yang mengakses pada kandungan air tanah di Jakarta telah tercemar oleh polusi dan
limbah tinja sehingga mengandung bakteri colli dalam tingkat yang melebihi ambang batas
yang sehat. Di samping itu, warga yang harus membeli air dari penjaja air juga harus
membayar harga air yang antara 5 – 20 kali lebih mahal daripada harga air yang diterapkan
oleh PDAM Jakarta (Cosgrove and Rijsberman, 2000). Karena sebagian besar mereka yang
tidak terlayani oleh jaringan air bersih PDAM merupakan bagian dari masyarakat miskin kota,
hal-hal ini, selain menurunkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup dari sebagian besar
warga Jakarta, juga menjadi salah satu penghalang warga miskin kota untuk melepaskan diri
dari jeratan kemiskinannya.
9
perlu memiliki jaringan jalan dan jaringan infrastruktur komunikasi lain yang mampu
membangun suatu keterkaitan dan hubungan yang kuat di antara kota-kota kecil tersebut
dengan wilayah-wilayah pedesaan di sekitarnya. Selain itu, juga perlu dikembangkan jaringan
infrastruktur fisik dan layanan-layanan lain yang mampu mendukung pengembangan industri
pengolahan kecil dan menengah, fungsi-fungsi pendukungan kegiatan pertanian dan aktivitas
produksi lain di wilayah sekitarnya, fasilitas-fasilitas pemasaran produk pertanian, serta
fasilitas pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan informasi. Dengan demikian,
maka dalam konteks ini, diharapkan bahwa kota-kota kecil dan menengah di Indonesia dapat
memainkan peranan penting dalam mendukung pengembangan kegiatan pertanian,
pembangunan pedesaan dan pengembangan wilayah, serta melakukan penyediaan akses pasar
dan pengembangan kegiatan industri kecil dan menengah pengolahan hasil pertanian, dan
pengembangan kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya serta di
wilayah sekitarnya.
Selain itu, perkembangan tekad dunia untuk mengubah cara pembangunan dan
pemanfaatan sumber-sumber daya alam untuk menuju kepada cara-cara yang lebih
berkelanjutan, setelah dideklarasikannya Deklarasi Rio tentang Pembangunan Berkelanjutan
dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, atau yang dikenal juga
sebagai Pertemuan Bumi II di Rio de Janeiro pada tahun1992, juga telah memberi peran baru
kepada seluruh kota di dunia, termasuk kota-kota kecil dan menengah di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development), yang didefinisikan sebagai suatu cara pembangunan yang mampu
menjamin “pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dari generasi saat ini tanpa mengkompromikan
kemampuan dari generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya” (WCED, 1987), telah
memicu pengembangan konsep pembangunan kota berkelanjutan (sustainable urban
development). Da Cunha (2005) mengemukakan bahwa konsep pembangunan kota
berkelanjutan melakukan kritik kepada masyarakat perkotaan tentang cara-caranya dalam
pengorganisasian dan pemanfaatan ruang kota, cara-cara penduduk kota beraktivitas dan
melakukan aktivitas transportasi, cara-caranya mengelola sumber-sumber daya alam dan
kondisi-kondisi lingkungan yang wujud, dan dalam cara-cara pencapaian kualitas hidup
seluruh warga kota dimana termasuk di dalamnya adalah cara-cara dan pemanfaatan teknologi
dalam berproduksi, konsumsi dan bertransportasi. Secara lebih spesifik, Da Cunha (2005)
mengemukakan bahwa konsep pembangunan kota berkelanjutan menghendaki dilakukannya
pereduksian dalam konsumsi lahan/ruang kota, pembatasan kegiatan transportasi yang
berlebihan, dan memperbaiki pola-pola pengkonsumsian energi dan penanggulangan polusi,
serta peningkatan kualitas hidup perkotaan.
Namun, sebagai suatu ‘organisme’ yang memiliki banyak kebutuhan input serta bahan
baku yang juga salah satunya meliputi sumber-sumber alam bagi kelangsungan hidup dan
aktivitas warganya, serta sebagai suatu ‘organisme’ yang juga menghasilkan produk serta
buangan yang berpotensi untuk mencemari dan menurunkan kualitas lingkungan, dimana
ruang wilayahnya relatif terbatas, setiap kota sangat bergantung kepada sejumlah luasan
wilayah tertentu yang berada di luar wilayah kotanya, baik sebagai tempat penghasil sumber-
sumber pemenuhan kebutuhannya maupun sebagai tempat pengelolaan buangan-buangan
yang dikeluarkannya. Dari sudut pandang ini, Da Cunha (2005) menyepakati pendapat
Satterthwaite (1997) yang menyatakan bahwa pada dasarnya kota bukanlah merupakan suatu
‘organisme’ yang berkelanjutan (sustainable), tetapi kota memiliki peluang untuk
berkontribusi kepada keberlanjutan (sustainability). Oleh karena itu, peran tambahan yang
10
dimiliki oleh setiap kota, termasuk di dalamnya kota-kota kecil dan menengah, dari
perkembangan tekad dunia untuk menyelenggarakan suatu cara dan paradigma pembangunan
berkelanjutan adalah peran untuk mampu berkontribusi kepada keberlanjutan, baik
keberlanjutan di dalam skala lingkungan dan masyarakat di dalamnya, dalam skala lokal,
regional, nasional dan juga dalam skala global.
Untuk dapat memenuhi peran-peran tersebut, maka kota-kota kecil dan mengengah di
Indonesia tidak hanya dituntut untuk mampu mencukupi pemenuhan kebutuhan sarana dan
prasaran dasar penjamin kualitas sanitasi dan kesehatan serta aktivitas ekonomi warga
kotanya. Dalam konteks ini, tantangan pengentasan kemiskinan dan penciptaan peluang dan
kesempatan kerja serta penyediaan kebutuhan permukiman perkotaan dan infrastruktur
lingkungan seperti penyediaan air bersih dan prasarana sanitasi lainnya, dan pemeliharaan
kualitas lingkungan hidup perkotaan merupakan tantangan dasar bagi kota-kota tersebut.
Lebih daripada itu, kota-kota kecil dan menengah tersebut juga perlu dikembangkan dengan
sarana dan prasarana regional serta fasilitas pendukung pengembangan kegiatan pertanian dan
pembangunan pedesaan di wilayah sekitarnya. Dimana dalam konteks ini, tantangan
peningkatan kemampuan kota-kota tersebut dalam penguatan integrasi wilayah yang lebih
besar, baik secara ekonomi maupun sosial, merupakan tantangan berikut bagi kota-kota kecil
dan menengah ini. Namun, penyediaan dan pengembangan sarana, prasarana dan fasilitas
tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang mampu mengurangi penghamburan
pemanfaatan sumber-sumber daya alam dan energi, termasuk dalam pemanfaatan sumber-
sumber daya lahan yang efektif dan tidak mendorong terjadinya kegiatan transportasi yang
berlebihan, sehingga cara-cara pengembangan ini dan kemampuan dari setiap kota kecil untuk
berkontribusi kepada keberlanjutan (sustainability) menjadi tantangan lain bagi kota-kota
kecil dan menegah di Indonesia.
11
Salah satu permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum
berkembangnya dan/atau rendahnya kemampuan institusi pengelolaan pembangunan kota,
baik pada level kota-kota kecil tersebut maupun pada level kabupaten yang menaunginya.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilancarkan dengan diberlakukannya UU
No. 22/1999 yang kemudian direvisi oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yang memberi kewenangan dan otonomi yang lebih besar kepada otoritas pemerintahan di
level kabupaten dan kota, tidak secara serta merta meningkatkan kemampuan dan kapasitas
institusi, keuangan, teknik dan sumber daya manusia yang ada pada level kabupaten. Padahal
banyak kota-kota kecil dan menengah yang terdapat di banyak kabupaten di Indonesia ini
yang berupa kecamatan, bagian dari suatu kecamatan, atau gabungan dari bagian dari
beberapa kecamatan. Tanpa upaya penguatan desentralisasi dan otonomi yang berupa suatu
upaya redesentralisasi beberapa urusan dan kewenangan pembangunan tertentu dari level
kabupaten kepada level kota-kota kecil terssebut, dikhawatirkan bahwa persoalan-persoalan
perkotaan yang terdapat di kawasan kota-kota kecil tersebut tidak dapat tertangani. Hal ini
disebabkan karena institusi pada level kabupaten akan menjadi institusi yang bertanggung
jawab dan mengawasi seluruh wilayah kabupaten, yang memiliki beberapa kota kecil yang
berkembang dengan pesat, sehingga perhatiannya terhadap permasalahan yang terjadi di
setiap kota kecil yang ada belum tentu dapat dilakukan secara intensif. Terlebih bila terjadi
suatu bias perhatian pembangunan di dalam institusi pengelolaan pembangunan kota yang
tidak menempatkan permasalahan pembangunan perkotaan di kabupatennya ke dalam
prioritas perhatian yang memadai, atau bias perhatian yang lebih menempatkan perhatian
kepada permasalahan-permasalahan pembangunan perkotaan di wilayah ibukota kabupaten
lebih tinggi daripada permasalahan-permasalahan lainnya, seperti yang sering terjadi di
banyak pengalaman pengelolaan pembangunan kabupaten di Indonesia. Oleh karena itu,
tantangan pengembangan dan penguatan kewenangan dan kemapuan dari institusi di setiap
kota kecil di bawah level kabupaten ini menjadi suatu tantangan institusional dalam
pembangunan kota-kota kecil ini.
Selanjutnya, iklim demokrasi dan kesadaran bahwa aktor-aktor kunci dari pelaksanaan
pembangunan di setiap kota kecil tadi bukan hanya berasal dari lingkungan wilayah kotanya
saja melainkan juga berasal dari wilayah-wilayah lain dari level pedesaan di sekitar kota kecil
tersebut, wilayah lain pada level kota-kota kecil lainnya, level kabupaten atau kabupaten
lainnya, hingga pada level nasional atau bahkan internasional, dan kesadaran bahwa potensi
dan sumber-sumber daya pembangunan yang tidak hanya terletak pada institusi pemerintah,
melainkan lebih banyak terdapat pada institusi swasta dan organisasi non-pemerintah (LSM
dan KSM), maka tantangan pengembangan institusi dan pengelolaan pembangunan yang
partisipatif (participatory governance) menjadi tantangan lain dalam pengembangan institusi
pengelolaan pembangunan perkotaan di kota-kota kecil dan menengah tersebut. Tanpa
memperhatikan seluruh tantangan ini, dikhawatirkan bahwa pengalaman-pengalaman buruk
yang terjadi pada urbanisasi di wilayah kota-kota besar dapat terreplikasi di wilayah kota-kota
kecil ini walau dalam ukuran dan intensitas yang lebih rendah.
12
Daftar Pustaka
Badshah, Akhtar A., 1996, Our Urban Future: New Paradigms for Equity and Sustainability,
Zed Books Ltd., London & New Jersey.
Bai, X. (2007), Integrating Global Environmental Concerns into Urban Management: the
scale and readiness arguments, in Journal of Industrial Ecology, Vol. 11, No. 2, pp.
15-29.
Colvile, R.N., et al. (2001), The Transport Sector as a Source of Air Pollution, in Atmospheric
Environment, Vol. 35, pp. 1537-1565.
Cosgrove, William J and Rijsberman Frank R., 2000, World Water Vision: Making Water
Everybody’s Business, a report for World Water Council, Earthscan Publication Ltd.,
London.
Finco, A. & Nijkamp, P. (2001), Pathways to Urban Sustainability, in Journal of
Environmental Policy & Planning, Vol. 3, pp. 289-302.
Firman, T. (2003), The Spatial Pattern of Population Growth in Java, 1990-2000: continuity
and change in extended metropolitan region formation, in International Development
Planning Review, Vol 25, No 1, pp.53-66.
Firman, T. (2004), Demographic and Spatial Pattern of Indonesia’s recent urbanisation, in
Population, Space and Place, Vol 10, pp.421-434.
Ford, T. (1999), Understanding Population Growth in the Peri-Urban Region, in International
Journal of Population Geography, Vol. 5, pp. 297-311.
Laganier, R., Villalba, B., & Zuindeau, B. (2002), Le Développement Durable Face au
Territoire: Eléments pour une Recherche Pluridisciplinaire, in Revue Développement
Durable et Territoire, www.revue-ddt.org.
Mardiansjah, Fadjar Hari and Setyo Adhi Waluyo, 2005, Urbanisation in District of
(Kabupaten) Tegal and Their Challenges from the Perspective of Local Government
Apparatus, (in Bahasa Indonesia) in Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol. 2,
June 2005.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2003, Analysis on Kampung Improvement Program for Jabotabek
Urban Development, in Jurnal Tata Loka, Vol. 5, No. 4, November 2003.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2003, Community Participation in Urban Poverty Alleviation (in
Bahasa Indonesia), in Jurnal Tata Loka, Vol. 5, No. 3.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2005a, Rurbanisation: the other challege of urban development that
should be awared (in Bahasa Indonesia) in Buleting URDI.
Mardiansjah, Fadjar Hari, 2005b, The Characteristics of Urbanisation in Small and Medium
Cities in Central Java (in Bahasa Indonesia) in Jurnal Pembangunan Wilayah dan
Kota, Vol. 4, December 2005.
McGee, T. & Yao-Lin, W. (1992), La Formation des Mégapoles en Asie, in Mappe Monde,
Vol. 4, pp. 2-3.
Murphy, P. (2000), Urban Governance for More Sustainable Cities, in European
Environment, Vol. 10., pp. 239-246.
Rondinelli, D.A. (1986), Metropolitan Growth and Secondary Cities Development Policy, in
Habitat International, Vol. 10, No. 12, pp. 263-271.
Rondinelli, D.A. (1991), Asian Urban Development Policies in the 1990s: from growth
control to urban diffusion, in World Development, Vol. 19, No. 7, pp. 791-803.
13
Rotmans, J., & van Asselt, M.B.A. (2000), Towards an Integrated Approach for Sustainable
City Planning, in Journal of Multi-criteria Decision Analysis, Vol 9, pp. 110-124.
Satterthwaite, D. (1997), Sustainable Cities or Cities that Contribute to Sustainable
Development?, in Urban Studies, Vol. 34, No. 10, pp. 1667-1691.
UN Population Division (2005), World urbanization prospects: the 2005 revision population
database, pada http://esa.un.org/unup/p2k0data.arp, diakses pada Januari 2007.
Werlin, H, 1999, The Slum Upgrading Myth, in Urban Studies, Vol. 36, No. 9, pp. 1523-
1534.
Wilbanks, T.J. (1994), Presidential Address: “Sustainable Development” in Geographic
Perspective, in Annals of the Association of American Geographers, Vol. 84, No. 4,
pp. 541-556.
14
Inovasi Inc:
Membangun Sistem Inovasi & Produksi Nasional yg Berkemanusiaan di
Indonesia.
Pada era knowledge-base-economy dan outsourcing sekarang ini, kekayaan sumber daya
alam tidak lagi merupakan komoditas yang mendatangkan kemakmuran secara
berkesinambungan. Bahkan dampak ekonomi dan sosial dari SDA seringkali mendatangkan
kerugian yang dikenal dengan resource curse. Pengamatan pada Newly Industrialized
Countries (NIC) di Asia menunjukkan minimnya SDA sebagai karakter yang umum ditemui.
Namun sebaliknya mereka memiliki angkatan kerja dengan pendidikan dan produktivitas
tinggi.
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji sistem inovasi dan produksi nasional yang diterapkan
di negara-negara Eropa, khususnya Italia dan Jerman, pada masa awal industrialisasi dan
tranfer teknologi. Langkah berikutnya adalah memberikan tawaran kerangka, yang telah
disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, untuk meningkat inovasi dan produksi dengan
tetap memperhatikan sisi humanisme dan kemanusiaan. Perhatian khusus diberikan pada
aplikasi di sektor pertanian dan kerajinan/fashion.
Sistem inovasi dan produksi nasional adalah konsep yang digagas oleh List (1841) yang
melingkupi relasi antara riset dalam perusahaan, organisasi sains dan teknologi, termasuk
universitas, dan kebijakan publik. Karakter utama sistem ini adalah ko-evolusi antara
peranan negara dan kapabilitas individu serta perusahaan dalam negara tersebut.
Hambatan utama penerapan sistem inovasi dan nasional adalah stagnasi merintah serta
kurangnya tenaga ahli. Hambatan pertama perlu diatasi dengan mengubah sistem insentif di
pemerintah, khususnya mekanisme perpajakan dan hubungan ekonomi pusat-daerah.
Adapun hambatan kedua memerlukan perencanaan sumber daya manusia secara jangka
panjang dengan pendidikan dan beasiswa secara spesifik dan targeted. Masa transisi
penerapan sistem ini memerlukan edukasi publik yang intensif demi mendapatkan dukungan
yang luas.
Ketertinggalan yang dihadapai dari negara tetangga adalah kelalainan kita selama ini dan
dapat dikejar dengan pengorganisasian sumber daya dan institusi secara komprehensif.
Indonesia 2030 yang inovatif dan produktif siap untuk bersaing dengan negara-negara
unggul di dunia.
Inovation Inc:
Developing National System of Innovation and Production with a Human
Face in Indonesia
1. Introduction
The quest to exlain why some countries are so rich (and keep getting richer) while some
others are so poor (and persistenly so) has been a strong and persistent drive in economics
research. The first step often attributed to Solow (1956) in his formalization of economic
growth in neoclassical production function and decreasing return of capital. The emphasise
on capital later supplemented, but ignore for a long time, by pioneering work of Becker
(1962) that extend the analysis to include human capital.
The celebrated theorem by Stolper and Samuelson (1941) stated that under assumptions of
constant returns, perfect competition, equal technology and complete information, a rise in
the relative price of a good will lead to a rise in the return to that factor which is used most
intensively in the production of the good, and conversely, to a fall in the return to the other
factor.
The theorem lead to theory of absolute convergence that predicts poorer country’s
economies will grow faster than richer economies. Thus, all economies will eventually
converge in terms of per capita income. The deviation of real life situatin lead to conditional
convergence where some other conditions are necessary to lead to convergence and not all
convergence are equal.
Avalability of cross-country data series over long period and seminal paper by Barro (1989),
lead to explosion of empirical study of economic growth in the literature. Abreu, de Groot and
Florax (2005) conducted a meta analysis over 600 estimates from a random sample of
empirical growth studies published in peer reviewed journals and found that it is misleading
to speak of a natural convergence rate since estimates of different growth regressions come
from different populations. Durlauf, Johnston and Temple (2003) listed 44 categories, almost
all with multple sub-catagories, of factors that known to affect growth and convergence.
If there are so many factors that could affect development, some economists think that
several factors may work together and complement better than separetely.. North (1990)
deliver a narrative where economic growth and institution co-evolve over time and events
where they do not. He defined institution as the humanly devised constraint that structure
political , economic and social interactions consisting of informal constrainsts and formal
rules.
How institution affect development? Nicolini (2006) catagorized goods according to the
number of intermediaries needed to produce, he found a robust relationship between the
number of intermediare goods and of level of contractual enforcement and institutional
quality. Thus, institution provide a comparative advantage in complex goods production.
1
Amable (2000) found that education complement trade specialization and reinforcing the
positive effect on growth caused by export of electronics.
North (1995) start with a demarcation between real world and pefect world as projected by
neoclassical canonical model. He posited that in a world of instrumental rationality institutions
are unncecessary; ideas and idelogies don’t matter, and efficient markets – both economic
and political – characterize economies. He continue by citing recent findings from cognitive
science where there is no single mental mode and perception of the world that is share
equally by all people in the world. Since people view things differently, then idea and
ideologies matter. Thus, we observe inefficient market in economics and politics.
There are also many other violation from standard assumption from neoclassical canonical
model. North focus on incomplete/asymetric/costly information, limited mental capacity to
process informatin and enforcement cost that made up transaction costs. Coase (1927;
1960) stated that neoclassical and efficient result could be reached if transaction cost is
zero. The notion tend to be over-emphasize while the strict conditions are put aside. North
called for research into explanation of inefficient insitution, network externalities, economices
of scope and complementarities as explanation of institutinal path dependence. He also
pointed the treatment of state in development analysis should be altered from outsider,
exogenous and benign actor in development process to distinctive agent with of its own with
analysis of incentives and constraints.
Sen (2001) analyzed the success of capitalism in East Asia by pointing it is not just due to
market mechanism alone, but also on the development of an instititional combinatino of
which the market economy is only one part. Before there could be investment, expansion,
exchange and capitalism, there should exist sufficient decrese in corruption, trust in other
party’s plan, business morality and acceptance of private property right. Even the availability
factors of production require some pre-existing conditions; capital and financing need credit
institution and sufficient regularity of loan payment, skilled labour neeed provision of
education and productivity require virtue of punctuality and work responsibility when
contracts are incomplete.
Sen proceed to analyzed human capital as institution. The secret of China economy lies in its
success in providing wide coverage of basic healthcare, conduct massive land reforms and
broad expansion of education. In comparison to India, China make better use of the
internaional market and economic globalization when it start to open up in 1979. Social
opportunities complement market economy in a surprisingly similar manner to developed
countries.
He posited that Asian crisis occurred not because of existance of those institutions, but
precisely because Asia did not go far enough. There is a need for institutions that provide
economic and social security as well as financial and business transparancy. The impacts of
crisis are so massive because the shock is share unequally with the poor burdened the
biggest portion. If only protective security in the form of social security and unemployment
insurance exist, the story will be very different and the rebounce would take shorter period.
He goes on to state that protective security is an important instrumental fredom and social
arrangement of safety nets are an integral part of a good economy. He round up by focusing
2
on freedom and democracy as reason of lack of transparancy and public scrutiny in fniancial
and business arrangements. Thus, a well functioning market economy need institutions that
provide protective security and political freedom.
Johnson, Edquist and Lundvall (2003) build their analysis on national system of innovation
from List’s catching up strategy for Germany in 1841. They question the ability of laissez-
faire economy’s economy to fullfilled the required institutional complementarity and
accumulation of mental capital and use it to spur economic development. Education and
training need to go together with physical infrastructure and the focus is on development of
productive force rather than only on allocation. They stressed the need to pay more attention
to Veblen and Myrdal’s concept of positive and negative feedbacks, cumulative caussation,
of virtous and vicious cycles and of the importance of institutions.
They catagorized the system by spatial, sectoral and breadh of activity. The spatial approach
is suitable for area with higher degree of coherence or inward orientation and the sectoral
approach for limited technology or products. They reserve the last category for intermediete
case where spatial and sectoral aspects are both present, thus require a coordination in the
form of nasional system of innovation. They defined it as systemic relationship between R&D
effort in firms, science and technological organization, including Universities, and public
policy. The main characteristics are co-evolution between what countries do and what
people and firms in countries know how to do well, assuming tacit knowledge and focus on
interactional relationship. They call for employment historical and evolutionary perspective as
well as put emphasis on interdependence and non-linearity. The future tendencies according
to them are focus on capabilites rather than endowment, focus on knowledge as driving
factor and primary importance of institutions.
The main drive of his subsequent argument is internationalization of research and diffusion of
technology cause a tranformation to social system of innovation of production (SSIP). The
resulting SSIP can be catagorize as market base, social democrat, meso-corporatist and
public. The market base’s main actor is private lab and the main action is the race for patents
by private firms. It requried strict definition of property right and their enforcement,
sophisticated financial market, flexible labour markets, and little skill accumulation. Since firm
hold tacit knowledge, it can adjust quickly to enviromental change and uncertainty. It has a
stronghold in UK and US. The social democrat characterise by compromise and negoitation
between parties with relatively underdeveloped financial market. Social justice and welfare
are its main goals. The meso-corporatist is rather similar to market base, it differ with regard
to important role of big banks in coordinating direction of industrial firms and putting interest
of permanent workers before property right. The real world application of this type is Japan.
The last category, mainly practiced by EU, is a system where public institution play
determinig role and public regulation affect credit allocation. Public SSIP has a goal to
reduce social conflict between groups and legitimizing public authorities related to growth.
3
3. A Innovative and Productive Indonesia
North (1995) is on strong ground when he mentioned costly information, rationality and
implementation as factors that need to be recognize properly in economic analysis. Together
with heterogeneity of analytical mode, they dramatically reduce the robustness of
neoclassical analysis. The fact that trade and market is possible must be attributed to
institutions, that could differ, between palaces and economies. He did not elabore on the
reasons of existance of different institutional arrangement though. There are more than one
institutions in one economy, so in order to work and produce development they need to
complement each others.
Sen (2001) came up with interesting proposition by stating protective security of human
capital as institution. We could extend it by stating that the factors that enable provision of
factor of production also need to be regarded as institution. Since it is human made then it is
covered by North’s definition of institution. He pointed out the secret of East Asia’s economic
miracle. Sadly Sen did not applying North’s direction and explain why some governments
choose to provide protective security to human capital while some others do not. The same
could be said to the institutions that enable the flowering of capitalism that he listed without
adequate justification of existance and evolution. He give too little credit to types of regime of
capital mobility that play significant role in the spreading of the crisis, thus imcomplete in
prescription on what need to be done to prevent another crisis.
Johnson, Edquist and Lundvall (2003) put high importance to the role of the state in
providing physical and human capital that enabled development and innovation. He came up
with novel concept of mental capital, with no method of measurement, that I would interpret
as leadership, motivation and can-do attitute that some leader of the state manage to inspire
from their citizens (Malaysia and Singapore come first into mind). Their piece is more
complete and applied, even though still not toucing on the state motivation, than the first two
articles. However, he did not discuss the role of international market and globalization which
is crucial to understand the success of failure of a particular system.
Amable (2001) begin with a promising start and his institutional approaches is rather similar
to Johnson, Edquist and Lundvall (2003). But his catagorization is flawed in many ways. It
seem like an effort to put existing countries into different blocks without really explaining the
differences. The biggest drawback would be the failure to differentiate between basic
reasarch and applied research. In US and UK, the government play a big role in financing
basic research and most of the results are in public domain. Conversely, in France and the
rest of Europe there are a lot of applied research that conducted by private firms and strongly
copy righted. Somehow it seem like a thinly disguised to praise France’s system, his country,
compare to other systems.
Base on the papers above I tried to contruct a schematic where the complementarities of
institution from government policy provide constraints and likely result of development:
4
open economy Industrialization & export economy
To be precise, it is not a binary division and continuum of policy should be acknowledge. The
sequence and timing of institutional arrangement is as almost as important as the policy
itself. Opening the economy to globalization before adequate provision of system of
innovation in place is not recommendable as shown in most of African and oil-exporting
countries as it will corner them into production in primary goods, unless they managed to set
aside some profit to support investment in human capital and innovation system in time.
Due to current limitancies of resources in Indonesia its more optimal not to focused effort on
space exploration or theoritical physics, at least not yet. Two potential and still underrated
sectors that can used the NSIP with appropriate technology (teknologi tepat guna) are
agriculture, tourism and handicraft/fashion.
Agriculture could be more intensive in bottling and packing of processed food like Italian and
Thai to some extend has done to their products. Indonesia has vast array of local delicasies
and many kind of sauces that with high quality control and proper advertisement could
become significant export. The food with spice content could be adjusted to suit the taste of
sub-tropic consumers. The increasing international demand for organic product is a chance
to reduce usage of fertilizer and pesticide while adding extra income to farmer.
The handicraft village that produce silk in Thailand and handstitch leather/cloth in Italy is a
potential to be realized in Indonesia. Those two countries have a tight partnership between
modern sector that provide logistic mangement and creative design with traditional method of
production that managed to produce and export significant amount. The tradition is still alive
in some places in Indonesia like ulos and songket production and it doesn’t take much to cut
through the middle man and set up a modern system.
A World Bank (2006) survey on doing business showed that it took about five months to set
up new business in Indonesia with cost more than one year of average income. No wonder
there is few entrepreneur and most people prefer to be employee. Furthermore it take about
a month to export and import from and to Indonesia with seven and ten documents
respectively, we only rank forty ninth on ease of international trading. To get the comparison,
it took only 6 days with cost of 1 % of income to set up new business in Singapore. To
export and import? Just about a week with five and six documents. That’s why they rank
number six on ese of trading world wide.
On the bright side, since those problems are government made then it can be solved by
government. Simplification and one stop service will release the choke from entrepreneurial
spirit in Indonesian people.
5
The problem of structural gap in skill and education require more complex solution. Getting
the needed skill mean long term planning in human resource with emphasis on engineering.
Selected scholarship for short course and degree program with bonds for certain period is
the tried and proven method (in all countries at Asean 5 countries except Indonesia) to lure
the best and birightest to align their future and society’s. in order to instill sense of encome
security, forced saving and insurance for health emergencies, unemployment and retirement
is an important underlying arrangement. Teacher’s salary need be sufficient for decent living
and inflation adjusted automatically.
In the era of decentralization this paper will not be complete without suggestion on central-
periphery relation. The fault so far is compartementalization between region’s need for
income to nation’s need for growth. Let’s cancel all region’s imposed fee and replace it with a
share of corporate income tax to shift region’s attention on how to attract companies to invest
in their region.
4. Conclusion
Indonesia can still thrive to reach high level of national system of innovation and productiion
if resources are used wisely and efficiently. Two sector, agriculture and handicraft in
particular hs been single out due to large number of people working in those sectors and its
potentials but the list is byno means exhaustive. Other sectors such us education and tax
policy has important implication to succes, or failure, to implement it.
Let us begin.
6
References
Abreu, Maria, Henri L. F. de Groot and R. J. G. M. Florax,“A Meta Analysis of β Convergence: the
Legendary 2%,” Journal of Economic Surveys, Volume 19, Issue 3, (2005), pp 389-420.
Amable, Bruno, “Institutional complementarity and diversity of social systems of innovation and
production;” Review of International Political Economy, Volume 7, Number 4 (December
2000), pp 645–687.
_______, “International Specialisation and Growth,” Structural Change and Economic Dynamics,
Volume 11, No 4, December 2000, pp. 413-431
Barro, Robert J., Economic Growth in a Cross Section of Countries,” NBER Working Paper 3120,
Septermber 1989.
Becker, Gary S., “Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis,” The Journal of Political
Economy, Vol 70 No 5, (962), pp 9-49.
Boyer, Robert,” New Growth Regimes, but Still Institutional Diversity,” Socio-Economic Review,
(2004), Vol 2, No 1, p. 1-32.
Durlauf, S. N., P. A. Johnson and J. R. W. Temple (2004), ``Growth Econometrics'', in S.N. Durlauf
and P. Aghion (Eds.), Handbook of Economic Growth, Elsevier.
Johnson, Bjorn, Charles Edquist, and Bengt-Åke Lundvall, ”Economic Development and the National
System of Innovation Approach, Proceedings of the I GLOBELICS conference, 2003.
Lucas, Robert E., “On the Mechanics of Economics Development,” Journal of Monetary Economics,
Vol 22 (1988). pp 3-42.
____, Institutions, Journal of Economic Perspectives, Vol &, No 1 (winter 1991), pp 97-112
_______., “The New Institutional Economics and Development” in John Harris (ed) The New
Institutional Economics and Third World Development, (1995), Routledge pp 17-26.
Sen, Amartya, Development as Freedom, New York: Alfred Knopf Inc. 1999.
Solow, Robert M., “ A Contribution to the Theory of Economic Growth,” Quarterly Journal of
Economic, Vol 70 (1956), pp 65-94.
Stolper, Samuelson (1941). "Protection and Real Wages." Review of Economic Studies, 9: 58-
73.
7
IMD – SKM 2007
Pendahuluan
1
IMD – SKM 2007
Analisis Situasi:
Banyak pihak, khususnya para ekonom, yang masih lekat memandang atau
berasumsi bahwa investor asing adalah tamu-tamu yang ramah dan memiliki tatakrama
yang baik. Suatu asumsi yang bila dilihat kenyataannya saat ini jelas jauh dari kebenaran.
Kita patut bersyukur bahwa Multilateral Agreement on Investment (MAI) akhirnya tidak
jadi disetujui, yang bila hal tersebut disetujui maka akan membuat kelompok kapitalis
global (lewat MNC dan TNC) akan makin merajalela, menundukkan semua institusi
apapun yang ada, baik itu lokal maupun global. MAI yang disusun oleh International
Chamber of Commerce, sebuah asosiasi pebisnis raksasa tingkat dunia, dan akan
dimasukkan dalam WTO, merancang suatu perjanjian yang memungkinkan perusahaan
swasta diberi status legal seperti negara, yang dapat mengadakan perundingan setara
dengan negara (yang menurut sistem WTO, perjanjian hanya terjadi oleh dan antar
negara, tidak antar perusahaan). MNC akan diberi hak untuk membela kepentingannya
terhadap keberatan yang diajukan oleh negara.
2
IMD – SKM 2007
Hal mengerikan yang ada dalam rancangan pengaturan MAI tersebut adalah MNC
dapat menuntut sebuah negara jika negara mengesahkan undang-undang yang dapat
mengurangi keuntungan (profit) yang bakal diperoleh. Peraturan MAI juga mengizinkan
investor asing untuk menuntut negara jika negara menyediakan dana bagi program sosial
yang mereka anggap dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar bebas (atau kepentingan
MNC). Atau bila sebuah pemerintahan ingin mengadakan privatisasi perusahaan milik
negara (BUMN), maka negara tidak boleh memberi preferensi pada pembeli domestik.
Negara juga dilarang untuk menuntut investor asing (MNC) mendahulukan kandungan
domestik, mengangkat staf/pekerja lokal, menetapkan tindakan afirmatif, transfer
teknologi, dan sebagainya. Bahkan negara tidak boleh membatasi jumlah keuntungan
yang boleh dibawa pulang ke negara asal.
3
IMD – SKM 2007
Strategi Transformasi:
Sampai dengan saat ini dunia telah memiliki OECD Guidelines for Multinational
Enterprise dan UN Global Impact yang berusaha mengatur aktivitas MNC sesuai prinsip-
prinsip akuntabilitas perusahaan yang baik. OECD Guidelines for Multinational
Enterprise yang direvisi pada tahun 2001, telah berusaha mencakup pengaturan yang
memberikan perlindungan maksimal pada hak asasi manusia, hak pekerja, dan
lingkungan. Pedoman ini secara langsung memberikan kesempatan bagi pemerintah
untuk berpartisipasi langsung dalam hal-hal yang terkait dengan perilaku perusahaan
multinasional melalui Titik Temu Nasional (National Contact Point) yang dibentuk di
negara tersebut. Badan ini akan menentukan apakah sebuah MNC telah mengadopsi kode
etik perilaku yang berlaku dan ditetapkan. Hal yang sama juga tampak dalam UN Global
Impact yang berisi sembilan prinsip dasar yang meliputi hak asasi manusia, hak pekerja
dan perlindungan lingkungan.
4
IMD – SKM 2007
Kelompok kedua yang berperan penting dalam hal ini adalah para pelanggan
(consumers), pemerintah dan lembaga pembuat kebijakan/perundang-undangan,
organisasi kemasyarakatan (LSM), karyawan dan para eksekutif perusahaan di tempat
MNC beroperasi. Sebuah perubahan mendasar akan cara berpikir dan alam sadar
diperlukan terjadi pada kelompok ini. Pada bagian pemerintah, institusi-institusi baru
yang mengawasi proses globalisasi dan tata kelola perusahaan (corporate governance)
mestilah segera dibentuk. Sementara di bagian LSM atau organisasi non pemerintah,
haruslah belajar bagaimana bermain dalam sebuah “multi-dimensional game”, khususnya
ketika menekan perusahaan-perusahaan MNC yang berkinerja buruk, yang pada saat
yang sama, secara simultan mampu bekerja dan bermitra dengan perusahaan-perusahaan
yang memiliki komitmen untuk melakukan perubahan nyata.
5
IMD – SKM 2007
Anggota lain kelompok kedua ini yang tidak kalah pentingnya adalah peran kunci
media yang akan menjadi simpul penting semua upaya perubahan yang dilakukan. Jika
media dapat menghukum cepat kegagalan yang dilakukan MNC, namun gagal
menghargai secara layak setiap kesuksesan sebuah usaha awal, maka proses perubahan
dipastikan akan berjalan lambat atau bahkan mandeg di tengah jalan. Dengan kata lain
diperlukan keseimbangan perhatian media atas kegagalan dan kesuksesan usaha
perubahan yang dilakukan. Peran media ini tergantung pada kelompok lain non-media
seperti kalangan ilmiah, pemerintah dan masyarakat (civil society), untuk belajar
bagaimana mereka dapat memanfaatkan media secara positif dan mencapai hasil akhir
yang konstruktif. Yaitu bagaimana memahami kompleksitas dan keunikan media serta
menggunakan pengetahuan tersebut untuk membantu sampai pada tujuan yang
diinginkan.
Kembali pada ide “Global Deal”, Indonesia membutuhkan dengan segera model
komprehensif yang mengatur tanggung jawab sosial, baik perusahaan domestik dan
khususnya MNC. Model yang dapat dikembangkan dapat berupa sebuah “simbiosis
antara entitas bertujuan mencari keuntungan (for profit), nirlaba (non-profit) dan
pemerintah”. Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan yang profitable adalah organisasi
kesejahteraan sosial yang paling efektif (the most effective social welfare organization).
Perusahaan adalah mesin utama bagi penciptaan dan distribusi kesejahteraan. Penerima
kesejahteraan ini adalah pelanggan, pekerja dan juga masyarakat secara keseluruhan
melalui kontribusi perusahaan pada pembayaran pajak. Pemerintah tidaklah menciptakan
kesejahteraan, namun berperan penting dalam mendistribusikan ulang (redistribusi) pajak
tersebut dalam cara-cara yang tepat dan benar (in socially desirable ways). Dan sebagai
pendukung model komprehensif ini, adalah perlu dibuat sebuat “sustainability ranking
list of MNC” seperti halnya daftar peringkat yang dikenal dalam bidang lain (seperti
country risk ranking).
6
REVITALISASI INDUSTRI PENINGGALAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA
I. LATAR BELAKANG
Sektor ekonomi yang mampu memainkan peranan penting untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian Indonesia adalah Sektor Industri, karena sektor ini memiliki nilai tambah yang
relatif besar dan menyerap tenaga dalam jumlah besar jika dibandingkan dengan sektor-
sektor lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sektor industri di Indonesia
sangat sulit untuk berkembang, bahkan ada cenderung menunjukkan penurunan aktifitas.
Demonstrasi yang banyak dilakukan oleh buruh dan ketidakpastian hukum mengakibatkan
banyak pemilik modal cenderung untuk mengalihkan modalnya ke negara lain yang memiliki
stabilitas politik dan kepastian hukum yang lebih baik.
Berbagai upaya untuk menarik investasi asing yang dilakukan oleh pemerintah belum dapat
menghasilkan dampak yang signifikan terhadap penanaman modal di Indonesia. Bahkan
salah satu upaya tersebut, yaitu Indonesia Investment Year, berakhir tragis dengan
dipidananya pimpinan kegiatan tersebut karena terbukti melakukan korupsi. Tanpa adanya
upaya yang jitu dalam menarik investasi asing, Indonesia akan menjadi pecundang dalam
persaingan investasi global.
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan menarik investasi asing ke
Indonesia dan meningkatkan kinerja sektor perindustrian adalah dengan merevitalisasi
industri-industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yang banyak tersebar di penjuru
Indonesia, dan saat ini masih berproduksi meskipun berada dalam kondisi yang
memprihatinkan. Keberadaan industri-industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia merupakan potensi untuk menarik investasi asing, terutama dari pemilik modal dari
Belanda maupun negara Eropa lainnya. Adanya ikatan sejarah dan emosional antara Belanda
dengan Indonesia diharapkan dapat menjadi katalisator untuk meningkatkan arus investasi
dari Belanda.
Untuk menarik investasi asing dalam rangka revitalisasi industri peninggalan pemerintah
kolonial Belanda, data dan informasi mengenai industri-industri tersebut harus dapat diakses
secara mudah, terutama oleh pemilik modal di Belanda. Warga Negara Indonesia yang
berada di Belanda, baik untuk bekerja maupun sebagai pelajar, dapat berperan sebagai
jembatan antara pengelola industri peninggalan Belanda dengan pemilik modal.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai permasalahan
investasi di Indonesia, potensi dan manfaat revitalisasi industri peninggalan pemerintah
kolonial Belanda, dan membahas strategi yang dapat ditempuh untuk merevitalisasi industri
peninggalan Belanda di Indonesia. Diharapkan makalah ini dapat menjadi masukan dalam
*
Staff pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya
1
rangka upaya peningkatan perekonomian di Indonesia, terutama mewujudkan suatu aktifitas
nyata untuk menarik investasi asing.
Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari beragam permasalahan investasi di
Indonesia adalah panjangnya rantai antara pemilik modal dengan aktifitas riil industri.
Meskipun pemilik modal memiliki minat untuk berinvestasi di indonesia, rumitnya birokrasi
dapat menjadi penghambat realisasi investasi asing.
Permasalahan lain yang dapat menyebabkan rendahnya investasi asing di Indonesia adalah
tidak adanya komunikasi yang baik antara pelaku industri di Indonesia dengan pemilik modal
di luar negeri. Pemilik modal pada dasarnya adalah pelaku ekonomi yang selalu berusaha
untuk menempatkan investasinya untuk mendapatkan keuntungan paling besar. Di sisi lain,
pelaku industri memerlukan investasi untuk mempertahankan ataupun meningkatkan
produksinya. Mekanisme ini berlaku secara global, dimana pelaku industri di seluruh dunia
pada dasarnya bersaing untuk memperoleh investasi dari pemilik modal.
Informasi mengenai industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda pada umumnya sulit
diakses oleh pemilik modal di Belanda. Meskipun informasi mengenai industri-industri tersebut
dapat diakses melalui internet, akan tetapi informasi tersebut kurang mendetail dan tidak
diolah sedemikian rupa untuk dapat menimbulkan minat investasi. Informasi dalam bahasa
Belanda juga sangat sedikit, sehingga dapat dikatakan tidak ada upaya khusus untuk menarik
pemilik modal di Belanda untuk menginvestasikan dananya pada industri-industri peninggalan
kolonial Belanda.
Pada saat pemerintahan kolonial Belanda, banyak sekali industri yang didirikan di Indonesia.
Sayangnya, industri-industri peninggalan Belanda tersebut terkesan dibaikan oleh pemerintah,
sehingga pada saat ini, hanya sedikit yang bisa beroperasi secara effisien. Komoditas yang
dihasilkan oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda umumnya berupa barang
yang dapat diserap secara langsung oleh masyarakat, seperti gula dan kertas. Meskipun telah
memiliki permintaan pasar yang jelas, industri-industri tersebut menghadapi berbagai
permasalahan yang menghambat aktifitasnya.
2
Contoh permasalahan yang dihadapi pabrik peninggalan pemerintah kolonial Belanda dapat
dilihat pada pabrik kertas tertua di Indonesia, PT. Kertas Leces yang dahulu bernama NV
Letjes. Pada awal bulan Mei tahun 2007, produksi pabrik ini terhenti total karena 2.000
karyawannya melakukan mogok kerja. Menurut Kepala Satuan Internal PT Kertas Leces,
Abdullah Kamal, meski sudah mendapatkan bantuan modal dari anggaran negara sebesar Rp
100 miliar (Rp 75 miliar untuk modal kerja dan Rp 25 miliar untuk restrukturisasi sumber daya
manusia), PT Kertas Leces masih merugi. Kerugian yang ditanggung PT Kertas Leces dalam
19 bulan terakhir rata-rata Rp 7-8 miliar per bulan. Solusi yang sudah diajukan oleh pihak
manajemen adalah PT Kertas Leces akan mengajukan permohonan mendapatkan modal kerja
dari negara Rp 10 triliun. Uang sebanyak itu akan digunakan untuk penyediaan bahan baku
dan mengkonversi penggunaan gas ke batu bara (Koran Tempo, 10 Mei 2007).
Permasalahan lain yang dihadapi oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda
dialami oleh Pabrik Gula Rendeng, yang didirikan maskapai Mirandolie Voute & Co pada tahun
1839. Minimnya pasokan air dan sering rusaknya ketel uap, menurut Administratur Pabrik
Gula Rendeng Herry Krismanu, merupakan penyebab utama tidak tercapainya target giling
2002 dan membengkaknya kerugian yang lebih dari Rp 4 miliar (Kompas, 27 April 2003).
Meskipun tidak ada jaminan bahwa masuknya investasi akan memperbaiki kinerja pabrik,
namun pihak pengelola dapat menggunakan dana tersebut untuk meremajakan dan
memperbaiki infrastruktur industri, sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lebih
efisien.
Indonesia merupakan negara pengimpor kertas dalam jumlah yang sangat besar. Menurut
ketua umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) M Mansur, dalam tahun 2002 terjadi
peningkatan impor kertas yang mencapai 1.000 persen. Impor kertas lapis dari Korea Selatan
tahun 2002 sudah mencapai 2.962 metrik ton (MT), dan impor kertas lapis dari Finlandia
mencapai 4.378 MT. Tahun 2001, impor kertas lapis dari Korsel baru sebesar 770,7 MT dan
dari Finlandia sebesar 173 MT. Sedangkan impor kertas HVS non lapis dari Korsel, Finlandia,
India, dan Malaysia tahun 2002 mencapai 14.786 MT (Kompas, 21 Januari 2003).
Data di atas menunjukkan bahwa industri kertas dan gula di Indonesia tidak mampu
memenuhi permintaan domestik. Hal ini sangat ironis, karena Indonesia memiliki tanah yang
subur, sehingga bahan baku untuk kedua komoditas tersebut mudah untuk didapat.
Revitalisasi industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda diharapkan meningkatkan
produktifitas pabrik gula dan pabrik kertas peninggalan pemerintah kolonial Belanda sehingga
dapat memenuhi permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan Bangsa Indonesia
terhadap impor kertas dan gula.
Dari sudut pandang ekonomi, kepastian akan ketersediaan bahan baku dan permintaan pasar
untuk komoditas kertas dan gula merupakan daya tarik yang sangat tinggi untuk berinvestasi.
Industri peninggalan Belanda telah memiliki dua komponen tersebut, sehingga dapat
dikatakan industri-industri tersebut dapat dikatakan sangat potensial untuk menarik investasi,
3
terutama bagi pemilik modal dari negeri Belanda yang kemungkinan memiliki ikatan
emosional dengan industri yang didirikan oleh generasi pendahulunya. Meskipun demikian,
tanpa adanya jejaring komunikasi yang baik antara pelaku industri dengan pemilik modal,
daya tarik yang dimiliki oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda tidak akan ada
artinya sama sekali.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda adalah
pemilihan lokasi pada saat pendirian industri oleh pemerintah Kolonial Belanda tentu tidak
dilakukan secara asal-asalan, akan tetapi memperhitungkan berbagai aspek yang terkait,
seperti bahan baku, pemasaran, tenaga kerja, dan transportasi. Ciri khas pemilihan lokasi ini
adalah industri-industri cenderung tersebar mendekati bahan baku, sehingga banyak industri
peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang terletak di perdesaan.
Dari uraian di atas, industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda memiliki potensi yang
sangat tinggi untuk menarik investasi asing, terutama dari negeri Belanda. Revitalisasi
industri-industri tersebut akan sangat menguntungkan bagi Bangsa Indonesia, baik dari sudut
pandang ekonomi maupun dari sudut pandang pengembangan wilayah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan suatu upaya yang nyata untuk menarik investasi dari pemilik modal di Belanda
dengan memanfaatkan daya tarik industri peninggalan generasi pendahulu mereka.
Seperti telah disebutkan di atas, potensi dan daya tarik investasi yang dimiliki oleh industri
peninggalan pemerintah kolonial Belanda tidak akan bermanfaat tanpa adanya jejaring
informasi yang kondusif. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk menarik investasi
asing sebagaimana diuraikan di atas adalah dengan mengembangan jejaring informasi dan
komunikasi antara pemilik modal di asing dengan pelaku industri di Indonesia, khususnya
pengelola industri peninggalan Belanda. Dengan adanya jejaring ini, jarak antara kedua pihak
diatas dapat dipersingkat, dan bahkan diharapkan hambatan birokrasi yang selama ini
menghambat investasi asing di Indonesia akan dapat diatasi.
Teknologi internet merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan untuk membangun
jejaring informasi dan komunikasi antara pemilik modal dengan pelaku industri. Dengan
memanfaatkan internet, pengelola industri peninggalan Belanda dapat menampilkan informasi
yang telah diolah sedemikian rupa sehingga dapat menarik minat investasi dari pemilik modal
di Belanda, baik secara ekonomi maupun secara emosional. Dengan memanfaatkan jejaring
yang sama, pemilik modal dapat langsung berkomunikasi dengan pelaku industri untuk lebih
jauh menjajaki kemungkinan investasi.
Pengembangkan dan pengelolaan jejaring komunikasi antara pemilik modal dan pelaku
industri dapat memanfaatkan komunitas Indonesia yang ada di Belanda ataupun negara
Eropa. Dengan berperan sebagai mediator yang bersikap pro-aktif terhadap kedua belah
pihak, pemilik modal dan pelaku industri, diharapkan komunitas Indonesia yang ada di
Belanda dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan perekonomian
Republik Indonesia.
4
REFERENSI
Serikat Buruh Gula, “Deklarasi oleh Serikat-Serikat Buruh Gula: Menuju Satu”, Indonesian National
Sugar Conference, Malang, 2004.
“Pabrik Gula Tua Itu Masih Sangat Dibutuhkan”, www.kompas.com, 27 April 2003
5
Indonesia berangkat menuju Industrialisasi Pendidikan,
Kenapa tidak ?
Oleh : Achmad Adhitya, Anwar Sadat Sari SIregar
Abstraksi
Pembangunan harus dipahami sebagai kerja bersama seluruh elemen bangsa, tidak terlepas sektor
pendidikan, sektor yang digunakan untuk menciptakan tenaga kerja professional sebagai tulang
punggung bangsa sudah selayaknya menjadi sorotan kita bersama. Peran pemerintah untuk
menjembatani dan memfasilitasi elemen – elemen lain untuk terlibat dan memberikan payung
hukumnya adalah titik awal pembangunan reformasi sektor pendidikan yang berkualitas.
Pendahuluan
Pendidikan adalah faktor penting dalam menggerakan roda pembangunan bangsa,
pendidikan yang kuat dan berkualitas akan mampu mendorong menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas pula. Penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas dengan
kompetensi keilmuan tinggi ini tentu adalah salah satu potensi besar yang akan mampu
meningkatkan target – target pembangunan bangsa.
Hal ini seperti termaktub dalam UU No. 2 tahun 1989, Bab II tentang Dasar, Fungsi dan
Tujuan, pasal 3 yakni :
Indonesia adalah negara besar, dengan potensi 200 juta orang penduduk, 200 juta
orang sumber daya manusia, 200 juta orang tenaga kerja atau calon tenaga kerja, harus mulai
melihat kembali dimana kita memprioritaskan peran pendidikan dalam agenda – agenda
pembangunan bangsa. Sudah cukup kah kita memaksimalkan agenda pendidikan ?
Jumlah penduduk yang besar memang selalu seperti pedang bermata dua, dia bisa jadi sangat
positif ketika kita bisa memanfaatkan hal ini semaksimal mungkin dalam kacamata tenaga
terdidik dan professional atau bisa menjadi sangat negatif bahkan menjadi beban negara
ketika jumlah penduduk yang besar ini tidak mampu diberdayakan secara maksimal sebagai
tenaga kerja dan roda penggerak pembangunan bangsa.
Dalam kacamata ini sekali lagi pendidikan adalah titik tolak darimana kita akan mulai
menggerakan penduduk yang besar ini, apakah jumlah penduduk ini akan menjadi roda
penggerak bangsa atau beban negara yang harus diseret – seret dalam pembangunan.
Pendidikan memang bukan satu - satunya hal yang menjadi tulang punggung pembangunan
bangsa, pendidikan tidak bisa berdiri sendiri sebagai kekuatan penggerak bangsa, tapi
pendidikan adalah salah satu pondasi pokok pembangunan bangsa, masyarakat yang cerdas,
mandiri dan berdikari baru dapat terbentuk ketika rakyat mendapat pendidikan yang cukup
dan memberikan wacana bersama, “Kemana Indonesia akan bergerak ? Dan dimana saya
memposisikan diri dalam gerak pembangunan bangsa ini ?” Pertanyaan yang akan mampu
dijawab oleh rakyat yang memiliki pencerahan pemikiran melalui pendidikan.
Identifikasi Permasalahan
Permasalahan pendidikan harus dimulai dari sebuah pertanyaan “Dimanakah kita
sekarang memposisikan peran pendidikan kita dalam pembangunan bangsa ?”
Perencanaan anggaran pendidikan 20 persen dalam UUD UUD 45 pasal 31 ayat 4, yang
mengatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen
dari APBN serta APBD adalah komitmen kuat pemerintah dan bangsa Indonesia untuk
menempatkan peran pendidikan dalam pembangunan bangsa. Ini tentu adalah suatu hal positif
yang patut kita syukuri bersama. Mungkin pemenuhan target anggaran 20 persen ini berarti
memotong pendanaan APBN untuk sektor riil, mengurangi pemberian kredit untuk
masyarakat kecil, mengurangi dana pembangunan faslitas publik seperti rumah sakit, jalan
raya, jembatan atau mungkin mengurangi anggaran dana militer untuk kepentingan pembelian
pesawat - pesawat terbang.
Kita harus sadar bahwa ada harga mahal yang harus dibayar bersama sebagai sebuah
bangsa, betapa sulitnya memenuhi pemenuhan anggaran 20 persen ini, betapa banyak sektor –
sektor pembangunan negara yang lain yang harus dikurangi.
Walaupun pada prakteknya selama dua tahun terakhir ini jumlah anggaran dana 20 persen
masih belum bisa dipenuhi oleh pemerintah yakni pada tahun 2006 pemerintah hanya
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7 persen dan pada APBN 2007 sebesar 11,8
persen. Namun komitmen dan arahan ke target pemenuhan anggaran tersebut ada, walaupun
memang masih secara bertahap.
Tentu hal ini membuat kita menjadi berfikir, “ Jangan – jangan pemenuhan anggaran
20 persen ini belum tepat”. Kita memang perlu masyarakat yang cerdas dan terdidik, tapi
tentu saja kita juga perlu rumah sakit dengan fasilitas yang baik, kita perlu sumbangan beras
untuk masyarakat miskin, kita perlu subsidi bahan bakar minyak untuk mengontrol laju harga
kebutuhan bahan pokok.
Sangat baik tentunya jika kita melihat kembali permasalahan pemenuhan anggaran
pendidikan sebanyak 20 persen ini secara lebih obyektif dan proporsional. Bagaimana
kemudian anggaran dana 20 persen ini justru tidak menjadi sarana untuk menciptakan tenaga
– tenaga kerja yang menganggur.
Supply dan demand dari tenaga kerja ini harus berimbang, karena jika supply lebih besar
daripada demand, maka kita patut mengoreksi kembali letak kesalahannya dan meninjau
kembali solusi – solusi yang mungkin.
Hal ini mengantarkan kita semua pada sebuah pertanyaan :
„ Apakah pemberian anggaran dana 20 persen untuk sektor pendidikan justru menciptakan
sebuah permasalahan baru, yakni pengangguran ?“
Jumlah tingkat pengangguran yang telah mencapai 10 juta jiwa dengan lapangan kerja yang
terbatas, membuat kita harus perlu mengoreksi, pendidikan yang bagaimana yang perlu kita
bangun untuk mengefektikan anggaran negara yang terbatas.
Analisa Permasalahan
Dalam Identifikasi permasalahan diatas, kita coba menilik bersama betapa ambigunya
perencanaan anggaran 20 persen yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 dengan praktek di
lapangan. Sangat mungkin bahkan pemberian anggaran dana 20 persen akan menjadi
bumerang buat bangsa dan menciptakan permasalahan baru, yakni pengangguran.
Kita harus menyepakati bersama bahwa Sumber Daya Manusia yang terdidik dan
cerdas adalah hal paling krusial dalam mendorong pembangunan bangsa. Tentu sangat miris
kalau kemudian kita memiliki mesin produksi yang modern dan canggih, namun kita meminta
bangsa asing mengelola mesin – mesin produksi tersebut. Kita memiliki Sumber Daya Alam
yang melimpah ruah namun kita mengijinkan pihak asing masuk ke Indonesia mengeruk
hasilnya dan melarikan hasil bumi tersebut ke negara asing.
Kita harus berkomitmen bahwa ini harus dihentikan dan kita harus menyerukan bahwa
pembangunan sumber daya manusia dimulai dari sekarang. Kita hanya harus berifikir sangat
keras bagaimana menciptakan sistim pendidkan yang baik itu.
Permasalahannya terletak pada supply tenaga kerja yang berlebihan oleh sektor pendidikan ,
sedang sektor ekonomi riil tidak mampu menampung limpahan tenaga kerja ini, dimana letak
salahnya?
Ada sebuah kesalahan paling mendasar yang selama ini kita buat, kita merasa bahwa
proessionalitas sektor adalah hal yang sangat penting, tanpa sadar ternyata hal ini malah
mengotakkan kita dalam peran – peran individual dan profesionalitas bangsa.
Sektor swasta artinya bertugas mendorong roda perekonomian bangsa, sehingga hal yang
berkaitan dengan permasalahan ekonomi menjadi tugas elemen bangsa yang lain.
Sektor pemerintah artinya bertugas menjalankan peran birokrasi demi kelancaran administrasi
negara.
Sektor pendidikan artinya membuat tenaga kerja terdidik dengan kualitas baik
sehingga bisa memasuki lahan – lahan kerja secara lebih profesional dengan kompetensi
keilmuan yang tinggi.
Hal tersebut tidak salah namun jangan dilupakan kerja – kerja lintas sektor memegang
peranan penting dalam pembangunan bidang pendidikan.
Proses penerapan kebijakan BHMN (Badan Hukum Milik Negara) adalah bentuk
kemandirian perguruan tinggi yang sedang didorong pemerintah untuk mengurangi beban
APBN, yang jadi masalah adalah penerapan kebijakan BHMN pada perguruan tinggi ini tidak
dibarengi dengan persiapan yang kuat oleh banyak perguruan tinggi, sehingga salah satu cara
untuk memenuhi pengurangan subsidi pendidikan oleh pemerintah adalah menaikan uang
SPP, uang praktik di Laboratorium, uang buku dll sebagai sarana untuk meningkatkan
anggaran tiap universitas.
Pada titik inilah sebenarnya pendidikan harusnya menjadi bentuk kolaborasi bersama
antara, institusi pendidikan, swasta dan pemerintah.
Memang ada beberapa universitas yang telah mampu dengan baik menjalankan kerja sama
dengan pihak swasta ataupun institusi pemerintah, namun tanpa kebijakan pemerintah yang
mendorong sektor pendidikan dengan kerja sama industri untuk mendapat kesempatan yang
sama di setiap institusi pendidikan tentu sangatlah sulit.
Praktik kerja sama industri dan institusi pendidikan ini adalah bentuk simbiosi
mutualisme yang sangat baik, karena Institusi pendidikan mampu memperoleh calon – calon
tenaga kerja yang professional yang dibutuhkan oleh pihak industri tersebut, kemudahan iklim
berusaha dengan kebijakan pemerintah sebagai bentuk kompensasi pemerintah terhadap pihak
industri. Institusi pendidikan diuntungkan dengan adanya prasarana modern sehingga mampu
mengembangkan iklim penelitian di lingkungan akademisnya, pemenuhan anggaran institusi
pendidikan tidak bergantung penuh oleh pemerintah, untuk pemerintah sendiri ini mengurangi
beban APBN yang dibantu oleh kolaborasi swasta.
Referensi
Febrian, Jack. 2000. Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia. Informatika, pp. 117
.http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/31/prn,20040331-09,id.html
Kurangnya Kontrol dan Komitmen Pemerintah terhadap Masalah Merokok
Pada Mei 2003, negara-negara anggota organisasi kesehatan dunia, World Health
Organization (WHO) mengadopsi perjanjian bersejarah mengenai kontrol terhadap
tembakau dan merokok yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC memiliki efek yang potensial untuk mengurangi dampak merugikan akibat
merokok. Walau WHO telah memuat FCTC sejak 2003 tapi sampai 2007, Indonesia yang
termasuk lima besar negara konsumen rokok di dunia masih belum menandatangani dan
meratifikasi FCTC. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih belum memiliki itikad
dan peraturan yang jelas dan tegas mengenai kontrol terhadap tembakau dan masalah
merokok. Hal ini sangat mengecewakan karena berarti pemerintah sangat lamban dalam
menyelamatkan rakyatnya dari bahaya merokok. Hampir semua negara berkembang di
Asia sudah membuat peraturan yang tegas tentang rokok tapi Indonesia masih belum
memiliki peraturan yang tegas mengenai kontrol terhadap masalah merokok dan malahan
menjadi surga bagi pasar industri rokok.
Saat ini, perokok tidak hanya kaum pria. Makin banyak kaum hawa yang menjadi
perokok aktif. Peningkatan yang signifikan membuat insidensi kanker yang terkait
kebiasaan merokok pada kaum wanita meningkat drastis. Tidak hanya kanker paru tapi
juga banyak kanker akhir-akhir ini yang ternyata terkait dengan kebiasaan merokok.
Bahkan kanker ginekologi saat ini dikaitkan dengan kebiasan merokok. Kebiasaan
merokok dapat meningkatkan insidensi terkena kanker ginekologi sampai lima kali lipat.
Pada sektor ekonomi, data Bank Dunia tahun 1990 menunjukkan bahwa anggaran
pemerintah untuk memberikan pengobatan kuratif bagi penderita penyakit terkait
kebiasaan merokok mencapai enam kali lipat lebih besar dari pemasukan yang didapat
pemerintah dari cukai rokok. Masih dari data Bank Dunia, cukai rokok yang didapat
pemerintah Indonesia mencapai 2,6 triliun rupiah per tahun. Tetapi di sisi lain, kerugian
ekonomi terkait masalah merokok mencapai 14,5 triliun rupiah. Pemerintah hanya
menghabiskan 1,7 triliun rupiah untuk sektor kesehatan jadi bisa dibayangkan bahwa sisa
dana untuk kerugian kesehatan tersebut diambil dari dana pribadi masyarakat sendiri.
Dari ratusan milyar rokok yang diproduksi tiap tahunnya, kira-kira lebih dari 220
miliar batang rokok dikonsumsi oleh rakyat ekonomi lemah. Data dari Badan Pusat
Statistik tahun 2001 menyatakan bahwa masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan cenderung untuk mengorbankan anggaran keluarga mereka untuk membeli
rokok. Fakta ini menunjukkan rendahnya kualitas kesehatan rakyat Indonesia. Mereka
lebih memilih membeli rokok daripada kebutuhan pokok keluarga mereka. Fenomena
tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga terjadi di negara berkembang lainnya.
Apakah kita bisa mengahadiri kelas tanpa harus hadir dalam ruang kelas?
Jawabannya sangat singkat dan jelas, BISA. Apakah ada sekolah tanpa ruangan kelas?
ADA! Apakah ada kurrikulum pengajaran tanpa kehadiran presencial? SEBUAH
TANTANGAN.
MENGAPA INTERNET
Internet sudah menjadi bagian integral dalam hidup kita saat ini, sesuatu yang
tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Internet menawarkan sumber
informasi, memberikan ruang bagi hidup komunitas virtual, juga sekolah virtual. Ini
adalah kesempatan baik guru maupun siswa untuk membuka peluang sistem pendidikan
virtual sebagai bagian dari pendidikan alternatif.
Dari program yang awam, seperti yahoo massager, netmeeting dan youtube
menjadi alternatif bagi pengambangan pendidikan alternatif. Yang menarik adalah
bagaimana mengabungkan program-program yang ada menjadi satu kesatuan yang
integral.
NILAI LEBIHNYA
Selanjutnya kalau ada pertanyaan yang tidak jelas, si siswa mengirimkan email
kepada si dosen.
Kontak antara guru dan murid adalah kontak virtual yang tentu saja tidak bisa
dibandingkan dengan kontak lansung dalam ruang kelas. Point ini tentunya perlu
diperhatikan karena, kelas virtual tidak bisa mengantikan kelas presencial, tetapi harus
saling mendukung.
Sistem ini secara langsung menjadi tantangan bagi guru dan pemerhati
pendidikan untuk mengantisipasi keinginan siswa dan kebebasan siswa. Perbandingannya
adalah, sebuah pengajaran yang bagus ibarat sebuah program televisi yang menarik, jika
tidak, maka program tersebut akan ditinggalkan dan diganti dengan program yang lain.
Dan tidak menutup kemungkinan bahwa satu mata pelajaran (mata kuliah) akan diajarkan
oleh satu atau dua dosen saja bagi semua universitas. Bagi guru atau dosen, menguasai
bahan tidak lagi cukup, tetapi harus mampu membawanya dengan menarik dan dinamis.
MENGAJAR ITU GAMPANG, MEMBUATNYA MENARIK ADALAH SENI.
http://www.youtube.com/watch?v=Mfc4XQ9FIXE
http://www.youtube.com/watch?v=VMAipsMStW0
http://www.youtube.com/watch?v=iC4j5Ghbgg8
Contoh lain:
http://www.youtube.com/watch?v=c-GPkPfxO0I&mode=related&search=
http://www.youtube.com/watch?v=YDTfz1V9AJI&mode=related&search=
Advent Tambun
Studi Master
Ensenaza de Espanol como Lengua Extranjera
Universidad de Alcala
Spain
MENGENAL DAN MENGEMBANGKAN
BIOETIKA DI INDONESIA
Pengantar
Presentasi ini dimaksudkan sebagai gapura untuk mengenal dan menceburkan
diri lebih lanjut dalam perkembangan Bioetika di tingkat dunia maupun di tingkat
nasional. Ada 3 hal yang akan digarap dalam paper ini. Bagian pertama membahas
analisis situasi bioetika baik di tingkat dunia maupun di tingkat nasional. Bagian kedua
akan membahas análisis tren, yang memperkenalkan sedikit arah baru perkembangan
bioetika di tingkat dunia dan di Indonesia. Dan bagian terkahir, ketiga, akan membahas
beberapa prospek pemikiran dan gagasan yang bisa digarap bersama-sama. Masing-
masing bagian sebetulnya memerlukan penelitian yang detail dan pendalaman yang
tekun. Dan mengingat terbatasnya informasi dan partisipasi penyaji berkaitan dengan
pengembangan bioetika di Indonesia, maka paper ini mungkin juga berfungsi sebagai
pintu perkenalan dan perjumpaan akademis.
1 V . R . P O T T E R , B i o e t h i c s : B r i d g e t o t h e F u t u r e , E n g l e w o o d C l i f f s ( N . J ) 1 9 7 1 .
2
C . E . , T A Y L O R , E t h i c s f o r a n i n t e r n t i o n a l h e a l t h p r o f e s s i o n : S c i e n c e 1 5 3 ( 1 9 9 6 ) 7 1 6 .
3
C f . J . G A F O , L o s C ó d i g o s m é d i c o s , e n J . G A F O ( e d . ) , D i l e m a s é t i c o s d e l a M e d i c i n a a c t u a l , M a d r i d , 1 9 8 6 ,
1 7 - 1 9 . S u m p a h H i p o c r a t e s d a p a t d i l i h a t a n a l i s i s n y a d a l a m t u l i s a n P H I L I P F R A N K L I N W A G L E Y , T h e H i p p o c r a t i c
a t h : H u m a n M e d i c i n e , v o l . 3 , n o . 2 n o v . 1 9 8 7 ) .
J . G a f o , o . c . , 1 9 .
4
1
kedokteran5. Pada abad XIX bermunculan di berbagai negara banyak Asosiasi o
Perserikatan Para Dokter. Dan setelah perang dunia ke II, muncul Hukum Keperawatan6
dan Hukum Nuremburg (1946), Deklarasi Genewa (1948) dalam 2 pertemuan
pentingnya th. 1948 dan 1949 dengan mengembangkan Hukum Internasional Etika
Kedokteran7.
Sejarah kedua bioetika disebut sebagai sejarah konsolodasi. Itu tercermin dari
difinisi yang diberikan. Ensiklopedi Bioetika10 menerjemahkan bioetika sebagai studi
sistimatis perilaku dan tindakan yang berhubungan dengan biologi dan kesehatan yang
memikirkan nilai-nilai dan prinsip moral. Asosiasi internacional Bioetika
mengungkapkan bahwa bioetika adalah studi etika, sosial, hukum, filsafat dll yang
berkaitan dengan perawatan kesehatan dan ilmu biologi. L. Feito11 mengatakan bahwa
bioetika adalah ilmu baru yang mempelajari tindakan manusia dan ilmu yang berkaitan
dengan hidup. Bidang bioetika yang dipikirkan pada tahap ini adalah: Etika Biomedika,
Etika Gen Manusia, Etika Binatang dan etika lingkungan hidup.
d a 4 t e m a y a n g d i u n g k a p k a n o l e h T h o m a s P e r c i v a l : 1 ) k e r a m a h t a m a n a n ; 2 ) p r a k t e k p r i v a t a t a u p u n
5 A
u m u m ; 3 ) r e l a s i a n t a r a d o k t e r d e n g a n a p o t e k e r ; 4 ) b e b e r a p a k a s u s y a n g m e m e r l u k a n p e r t i m b a n g a n
h u k u m .
6 J . G A F O , E t i c a y E n f e r m e r i a d a l a m E t i c a y L e g i s l a c i ó n , 2 7 - 4 4 . R u m u s a n H u k u m K e p e r a w a t a n i t u d a l a m
d i l i h a t d i h a l . 4 0 7 - 4 4 7 .
n f o r m a s i s i n g k a t t e n t a n g p e r k e m b a n g a n p r i n s i p - p r i n s i p b i o e t i k a d a l a m k o n t e k s K o m i s i B i o e t i k a d a p a t
7 I
d i l i h a t F R A N C E S C E L , C o m i t é s d e B i o é t i c a : F o l a H u m a n i s t i c a N o , 3 3 4 ( 1 9 9 3 ) 3 8 9 - 4 1 8 .
A B
8 T . W R E I C H , T h e W o r d “ B i o e t h i c s ” : I t s B i r t h a n d t h e L e g a c i e s o f t h o s e W h o S h a p e d I t , K e n n e d y n s t i t u t e
I
o f E t h i c s J o u r n a l 4 ( 1 9 9 4 ) 3 1 9 - 3 3 5 , 3 2 6 - 3 2 8 .
9 . R . J O N S O N , G l o b a l B i o e t h i c s : B u i l d i n g o n t h e L e o p a r d L e g a c y , E a s t L a n s i n g , 1 9 8 8 .
A
1 0
W . T . R E I C H ( e d . ) , E n c y c l o p e d i a o f B i o e t h i c s I , T h e F r e e P r e s s , N e w Y o r k 1 9 7 8
1 1 L . F E I T O G R A N D E , P a n o r a m a h i s t ó r i c o d e l a B i o é t i c a : M o r a l i a 2 0 ( M a d r i d , 1 9 9 7 ) 4 6 5 d s t .
2
Yang terakhir adalah Francesc Abel yang memahami bioetika sebagai studi
interdisipliner, yang berorientasi pada pengambilan keputusan etika berdasarkan dari
berbagai sistem etika atas kemajuan ilmu kesehatan dan biologi, dalam skala mikro dan
makrososial, mikro dan makro ekonomi dan pengaruhnya dalam masyakarat dan sistim
nilai, baik untuk masa kini maupun masa mendatang12. Bioetika dimenerti secara lebih
luas dan tidak diphami hanya sekedar bioteknologi saja13. Dan definisi ini berkisar
secara kuat kepada pengertian dan isi dari “martabat manusia”14. Tema-tema yang
dibahas oleh bioetika menjadi sangat beragam. Beberapa di antaranya adalah: asistensi
kesehatan, aborsi, teknologi prokreasi, cloning, eutanasia, bunuh diri, hukuman mati,
studi klinis manusia, transplantasi organ, manipulasi gen manusia, AIDS, obat-obatan
terlarang dan ekologi. Dari masing-masing bidang ini, masih ada beberapa kajian
khusus seperti pengawetan sperma dan ovum serta embrio. Keluasan tema ini15.
Dari sejarah singkat kelahiran bioetika ini, ada dua perubahan besar dalam etika:
yang pertama, etika dibahas dalam kerangka secular bukan dalam kerangka agama;
yang kedua, yang menjadi pemeran utama adalah pasien bukan dokter. Kecenderungan
ini kemudian menempatkan etika dalam tataran martabat, autonomi dan kebebasan
dasarnya atau menyempitkan pengertian etika dalam kerangka hokum, berkaitan dengan
masalah hak, kewajiban dan kebebasan pasien.
Prinsip pertama muncul beawal dari pembetukan Komisi Bioetika Nasional USA
1974 yang berfungsi meneliti kriteria kriteria yang seharusnya diterapkan dalam
penyelidikan tentang manusia dalam bidang ilmu etika dan biomedika. Prinsip etika ini
2
1 F . E L I F A R E , B i o é t i c a : o r í g e n e s , p r e s e n t e y f u t u r o , n s t i t u t B o r j a d e B i o é t i c a - F u n d a c i ó n M a p f r e ,
A B B I
M a d r i d 2 0 0 1 , 5 - 6 .
3
1 R . n d o r n o , B i o é t i c a y d i g n i d a d d e l a p e r s o n a , T e c n o s , M a d r i d 1 9 9 8 , 3 4
A
1 4 P e g e r t i a n m e n g e n a i m a r t a b a t m a n u s i a d a p a t d i p e l a j a r i s e c a r a l e b i h m e n d a l a m : N . M A R T Í N E Z M O R Á N ,
P e r s o n a , d i g n i d a d h u m a n a e n i n v e s t i g a c i o n e s m é d i c a s , e n : N . M A R T Í N E Z M O R Á N ( c o o r d . ) B i o t e c n o l o g í a ,
D e r e c h o y D i g n i d a d H u m a n a , C o m a r e s , G r a n a d a 2 0 0 3 , 3 - 4 3 ; d a n L a d i g n i d a d h u m a n a e n l a s
i n v e s t i g a c i o n e s b i o m é d i c a s , d a l a m : . M . M A R C O S D E L C A N O ( c o o r d . ) , B i o é t i c a , F i l o s o f í a y D e r e c h o , U N E D -
A
M e l i l l a , M e l i l l a 2 0 0 4 , 1 6 5 - 2 0 5 . D a l a m k o n t e k s y a n g l e b i h l u a s d a p a t d i l i h a t d a l a m : R . J U N Q U E R A D E
E S T É F A N I , D i g n i d a d h u m a n a y G e n é t i c a , e n : J . B L Á Z Q U E Z - R U I Z ( c o o r d . ) , 1 0 p a l a b r a s c l a v e e n l a N u e v a
G e n é t i c a , V e r b o D i v i n o , E s t e l l a ( e n p r e n s a ) . M a r t a b a t M a n u s i a d a l a m k a i t a n n y a d e n g a n p a s i e n d a l a m
k o n d i s i t e r m i n a l . M . M A R C O S D E L C A N O , D i g n i d a d H u m a n a e n e l f i n a l d e l a v i d a y c u i d a d o s p a l i a t i v o s , e n
A
N . M A R T Í N E Z M O R Á N ( c o o r d . ) , B i o t e c n o l o g í a . . . , l . c . , 2 3 7 - 2 5 7 ; y C u i d a d o s p a l i a t i v o s y e u t a n a s i a : e s p e c i a l
r e f e r e n c i a a l a l e g i s l a c i ó n b e l g a , e n . M . M A R C O S D E L C A N O ( c o o r d . ) , B i o é t i c a , F i l o s o f í a y . . . , l . c . , 2 0 7 - 2 2 0 .
A
1 5 P a p e r i n i t i d a k a k a n m e m b a h a s s e m u a t e m a i t u , m e l a i n k a n a k a n m e m i l i h t e m a y a n g b e r k i a t a n d e n g a n
k e h i d u p a n d i n d o n e s i a d a l a m k o n t e s k k e r a g a m a n b u d a y a d a n a g a m a .
I
3
dikenal dengan nama Informe Belmont 197816. Dalam Informe Belmont ini dipaparkan
tiga prinsip etika dasar:
Informe Beltmon dicoba pada tahun 1978 dan disahkan secara publik pada tahun 1979.
Prinsip itu memberikan tekanan tekanan yang penting bagi beberapa tema: otonomi
pasien dan persetujuan pasien, evaluasi resiko dan keuntungan, dan kesediaan personal
untuk menjadi subyek dari investigasi.
Prinsip bioetika yang lain muncul dari seorang filsuf dan teolog, Beauchamp dan
Childress, yang mempublikasikan Principles of Biomedical Ethics 197917. Mereka
mengemukakan empat prinsip dasar bioetika yang dipikirkan dari beberapa dasar etika
Sumpah Hipocrates, Surat hak Pasien, Deklarasi Geneva (1948) yaitu:
1. Otonomi: Dasar dari prinsip otonomi adalah bahwa setiap individu mampu
bebas dari obyek personal dan bertindak seturut kebebasannya. Otonomi ini
mempunyai 3 syarat dasar:
a. mempunyai maksud/intense
b. paham akan arti tindakannya
c. tidak berada dalam pengaruh luar.
2. Tidak merugikan: “primum non nocere” artinya bahwa tidak diperbolehkan
membuat rusak dan kejelekan. Diterjemahkan dalam kata lain: tidak
menyebabkan sakit.
6
1 D . G A R C I A , P r i n c i p i o s y m e t o d o l o g í a d e l a B i o e t i c a , d a l a m Q u a d e r n o s C a p s n o 1 9 ( 1 9 9 1 ) 9 ; N A T I O N A L
C O M M I S S I O N F O R T H E P R O T E C T I O N O F H U M A N S U E C T S O F B I O M E D I C A L A N D B E H A V I O R A L R E S E A R C H , W a s h i n g t o n D C ,
B J
U S G o v e r n m e n t P r i n t i n g O f f i c e , 1 9 7 9 : R J O N S O N , T h e B i r t h o f B i o e t h i c s , O x f o r d , N e w s Y o r k , 1 9 9 8 .
A
T L B e a u c a m p d a n J F C h i l d r e s s , P r i n c i p l e s o f B i o m e d i c a l E t h i c s , O x f o r d , N e w Y o r k , 1 9 9 4 .
1 7
4
3. Menguntungkan: harus berbuat baik. Yang diungkapkan dalam:
a. Melindungi dan membela hak asasi orang lain
b. Mengantisipasi supaya tidak ada yang merugikan orang lain
c. Menghilangkan kondisi-kondisi yang dapat memancing prasangka
terhadap orang lain
d. Membantu orang-orang cacat
e. Menyelamatkan orang yang berada dalam bahaya .
4. Keadilan: keadilan distributif: kasus yang sama seharusnya diperlakukan dengan
cara sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda.
Dalam bahasa latin disebut: Justitia est constans et perpetua voluntas ius suum
cuique tibuens.
Kedua prinsip dasar bioetika itu kemudian berkembang secara meluas dan
dimodifikasi. Beberapa pendasaran etika yang sampai sekarang masih terus
diperkembangankan adalah:
1. Kasuismo: muncul di kalangan pemikiran teologi katolik pada abad XVI yang
meletakkan dasar etika pada “perhatian pada kasus khusus dan situasi
kongret”18. Pertanyaan yang digunakan: siapa, apa, mengapa, dimana dan kapan.
Toulmin dan Jonsen adalah pengembang etika kasuista. Menurut L Feito, etika
ini berkembang di daerah anglosaxon19.
2. Teoria mengenai keutamaan (virtues). Etika ini berdasarkan pada nilai-nilai yang
secara habitual diungkapkan dalam tindakan. Prinsip: Dengan berbuat baik
membentuk pribadi yang baik. Etika ini secara modern diangkat lagi oleh
Edmunt Pellegrino dari Universitas Georgetown dan David C Thomasma dari
Universitas Loyola Chicago20.
8
1 T e o r i k a s u i s m o i n i d i k e m u k a k a n o l e h R J O N S E N d a n S . T O U L M I N , T h e A b u s e o f C a s u i s t r y . A H i s t o r y o f
A
M o r a l R e a s o n i n g , B e r k e l e y , 1 9 8 8 ; J C , F L E T C H E R , F G M I L L E R d a n E . M S P E N C E R , A C a s e M e t h o d I n P l a n n i n g f o r
t h e C a r e o f P a t i e n t s d a l a m J C . F L E T C H E r ( e d ) , I n t r o d u c t i o n t o C l i n i c a l E t h i c s , F r e d e r i c k ( M d ) , 1 9 9 5 . R
A
J O N S E N , A l t e r n a t i v e o r C o m p l e m e n t t o P r i n c i p l e s ? D a l a m K e n n e d y n s t i t u t e o f E t h i c s J o u r n a l 5 ( 1 9 9 5 ) 2 3 7 -
I
2 5 1 . J F . K E E N A N , T h e R e t u r n o f C a s u i s t r y , d a l a m T h e o l o g i c a l S t u d i e s 5 7 ( 1 9 9 6 ) 1 2 3 - 1 3 9 .
9
1 L . F E I T O , P a n o r a m a h i s t ó r i c o d e l a B i o é t i c a , d a l a m M o r a l i a 2 0 ( 1 9 9 7 ) 4 7 8 - 4 7 9 .
2 0
E D P E L L E G R I N O d a n D C T H O M A S M A , T h e V i r t u e s i n M e d i c a l P r a c t i c e , O x f o r d , N e w Y o r k , 1 9 9 3 . E . D
P E L L E G R I N O , T o w a r d a V i r t u e - B a s e d N o r m a t i v e E t h i c s f o r H e a l t h P r o f e s s i o n s , d i K e n n e d y n s t i t u t e o f E t h i c s
I
J o u r n a l 5 ( 1 9 9 5 ) 2 5 3 - 2 7 7 ; E D P E L L E G R I N O d a n D C T H O M A S M A , A P h i l o s o p h i c a l B a s i s o f M e d i c a l P r a c t i c e :
T o w a r d a P h i l o s o p h y o f t h e H e a l i n g P r o f e s s i o n , N e w Y o r k , 1 9 8 1 .
5
3. Etika Keperawatan. Etika mempunyai awal referensi ke Kohberg21 yang melihat
etika perawat untuk wanita dan etika keadilan untuk pria. Secara modern, etika
ini dikembangkan oleh Carol Gilligan22, asisten dari Kohlberg dan juga secara
kristis dikembangkan oleh Helga Kuhse23 dalam bidang perawatan medis.
5. Etika utilitarista. Salah satu etika yang dalam bioetika menjadi semakin semarak
dan menjadi vahan kontroversi adalah etika utilitarista dari Peter Singer25, etika
yang didasarkan pada antropologi manusia pada bertumpu pada kesadaran dan
kemampuan untuk membentuk proyek hidup.
Dari sedikit penjelasan di atas, sebetulnya dapat dilihat konteks bioetika, análisis
tren bioetika dan yang perlu yaitu analisis strategi etika. Ini sekedar perkenalan, jika
suatu saat perlu menggarap bioetika lebih dari segi etika berdasarkan konteks
antropologi dan budaya Indonesia yang lebih mendalam dan detail. Mungkin ini adalah
Pekerjaan Rumah bagi mereka yang berkecimpung di dunia biologi, kedokteran dan
moral untuk mempelajari kembali perdebatan etika modern di tingkat dunia dan
membuat semacam proyek bioetika indonesia berdasarkan pada keanekaragaman agama
suku dan budaya serta situasi sosial ekonomi penduduk setempat dan kemudian
merumuskan garis-garis besar etika yang bisa dikuatkan secara umum dalam undang-
undang yang flexible dalam bidang biomedis.
2
1 L . K o h l b e r g , P s i c o l o g i a d e l d e s a r r o l l o m o r a l , B i l b a o , 1 9 9 9 .
2 2
C . G I L L I G A N , I n a d i f f e r e n t V o i c e : P s y c h o l o g i c a l T h e o r y a n d W o m e n ´ s D e v e l o p m e n t , C a m b r i d g e , M a s s ,
1 9 8 2 .
2 3
H - K U H S E , C a r i n g : N u r s e s , W o m e n a n d E t h i c s , O x f o r d , 1 9 9 7 .
2
4 D . G A R C I A , F u n d a m e n t o s d e B i o é t i c a , M a d r i d , 1 9 8 9 ; P r o c e d i m i e n t o s d e d e c i s i ó n e n É t i c a C l í n i c a ,
M a d r i d , 1 9 9 ; F u n d a m e n t o s d e l a É t i c a C l í n i c a , d a l a m L a b o r H o s p i t a l a r i a 2 9 ( 1 9 9 7 ) n o 2 2 4 1 1 9 - 1 2 7 .
2
5 É t i c a p r á c t i c a , r i e l , B a r c e l o n a 1 9 8 4 . L i b e r a c i ó n a n i m a l : u n a n u e v a é t i c a p a r a n u e s t r o t r a t o h a c i a l o s
A
a n i m a l e s , E d i t o r a C u z a m i l , M é x i c o 1 9 8 5 . T r o t t a , M a d r i d 1 9 9 9 ; D e m o c r a c i a y d e s o b e d i e n c i a , r i e l ,
A
B a r c e l o n a 1 9 8 5 , C o m p e n d i o d e É t i c a , l i a n z a , M a d r i d 1 9 9 5 , É t i c a p r á c t i c a ( 2 ª e d ) , C a m b r i d g e U n i v e r s i t y
A
P r e s s , 1 9 9 5 ; É t i c a p a r a v i v i r m e j o r , r i e l , B a r c e l o n a 1 9 9 5 , R e p e n s a r l a v i d a y l a m u e r t e : e l d e r r u m b e d e
A
n u e s t r a é t i c a t r a d i c i o n a l , P a i d ó s , B a r c e l o n a 1 9 9 7 ; E l « P r o y e c t o G r a n S i m i o » , T r o t t a , M a d r i d 1 9 9 8 ; U n a
i z q u i e r d a d a r w i n i a n a , C r í t i c a , B a r c e l o n a 2 0 0 0 ; U n a v i d a é t i c a : e s c r i t o s , T a u r u s , M a d r i d 2 0 0 0 y
D e s a c r a l i z a r l a v i d a h u m a n a , C á t e d r a , M a d r i d 2 0 0 3
6
Analisis Situasi
Beberapa publikasi tentang bioetika juga melimpah dengan cepat sekitar tahun
80-90 an. Dapat disebut beberapa: Anime e Corpi (Italia), Artz un Christ (Jerman,
Austria dan Swis), Cahiers de bioéthique (Canada), Catholic Medical Quarterly
(Inggris), Ethics in Science and Medicine, Hasting Center Report (USA), Journal of
Medical Ethics (London), Journal of Religion and Health, Labor Hospitalaria
(Barcelona), Laennec, Linacre Quartely, Man and Medicine, Médicine de l´Homme,
Medicina e morale, Res medicae, saint Luc medical-Saint-Lucas Tijdchrift dll.
Selain itu, tidak dilupakan juga kerjasama Kementrian Riset dan Teknologi,
yang diwakili oleh LIPI, mengadakan kegiatan-kegiatan dalam kerangka pelaksanaan
Deklarasi Universal tentang gen manusia dan HAM. Kementerian Kesehatan dan WHO
juga telah mengadakan kerjasama mengenai Riset Komisi Etik di Indonesia dan dari
kerjasama itu telah dibentuk 26 sub komite bioetika di 11 propinsi dan pada 29 oktober
2002 dibentuk Komisi Etika Penelitian Kesehatan Nasional. Dan pada 12 oktober 2004
dibentukkan Komisi Bioetika Nasional Indonesia yang merupakan buah kerjasama dari
tiga kementrian: Kementrian Riset dan Teknologi, Kementrian Kesehatan dan
Kementrian Pertanian dengan misi dan fungsinya.
2 6
n f o r m a s i i n i d i a m b i l d a r i p r e s e n t a s i s r o i l S a m i h a r d j o d a r i D e p a r t e m e n P e r t a h a n a n d a l a m p e r t e m u a n
I I
n e g a r a - n e g a r a p e n a n d a t a n g a n k o n v e n s i p e l a r a n g a n s e n j a t a b i o l o g i s d i G e n e v a 5 - 9 d e s e m b e r 2 0 0 5 .
8
Analisis Trend
Situasi bioetika pada masa kini sangatlah beragam, tergantung pada tingkat
perkembangan bioeteknologi dan praktek-praktek perawatan kesehatan di berbagai
negara. Secara umum kita dapat melihat gejolak-gejolak perdebatan itu berdasarkan
diskusi hangat yang terjadi di beberapa sekitar tema: konsep awal hidup manusia,
intervensi selama kehamilan, tekno-reproduksi (inseminisasi buatan dan FIV (bayi
tambung), penyimpanan gamet dan embrión, investigasi dengan embrio, kloning,
eutanasia dll. Pada kesempatan ini hanya akan diberikan beberapa garis besar
perkembangan trend bioetika masa kini berdasarkan tema.
Etika mengenai inseminasi artifisial dan FIV atas pengembangan teknologi mengatasi
sterilitas dan infertilitas.
Masalah sterilitiras dan infertilitas di kalangan pasangan subur dan minimnya
angka kelahiran semakin di Eropa Barat dan USA semakin menjadi pusat perhatian
banyak kalangan medis untuk meningkatkan teknologi yang inseminasi antifisial dan
FIV (Fecundation in Vitro). Dari penelitian tahun 1999, angka sterilitas dan infertilitas
mencapai 10% dari jumlah pasangan. Dari 10% itu, 40% dialami oleh pria dan 40%
dilamai oleh wanita, dan 20% disebabkan oleh alasan yang sampai sekarang tidak
dikentahui27. Tuntutan pasangan muda untuk mengadopsi anak dari Cina ataupun Eropa
Timur semakin menurun, diganti dengan usaha untuk mendapatkan anak dengan
teknologi. Mengatasi persoalan sterilitas, dapat diusahakan dengan Inseminasi Buatan
sementara untuk sterilitas dan infertilitas dapat diusahakan dengan FIV.
2
7 . L A S S , I n v e s t i g a t i o n o f t h e i n f e r t i l e c o u p l e f o r a s s i t e d c o n c e p t i o n , d i P R . B R I N D S E N , A t e x t b o o k o f I n
A
V i t r o F e r t i l i z a t i o n a n d A s s i s t e d R e p r o d u c t i o n , N e w Y o r k , 1 9 9 9 . J . G A F O , ¿ H A C I A U N M U N D O F E L I Z ? P R O L E M A S
B
É T I C O S D E L A S N U E V A S T É C N I C A S R E P R O D U C T O R A S H U M A N A S , M a d r i d , 1 9 8 7 ; N u e v a s T é c m o c a s d e R e p r o d u c c i ó n
H u m a n a , M a d r i d , 1 9 8 6 .
9
Fecundation in Vitro (VIP) yang dikenal di Indonesia sebagai bayi tabung
merupakan sarana untuk mengatasi infertilitas. Pembuahan terjadi di luar lahir, dalam
sebuah tabung percobaan laboratorium. Proses FIV lebih rumit dari Inseminasi Buatan,
karena wanita harus menjalani tiga proses: perawatan hormonal, pengambilan ovum,
fekundasi, dan pemindahan embrio ke rahim. FIV dibagi menjadi 2 bagian dari donatur
atau dari pasangan baik gamet maupun embrionnya. Keberhasilan FIV mencapai 20-
25%. Persoalan etika FIV adalah: pembuahan di luar rahim atas intervensi manusia,
asal usul gamet dan embrión, apa yang akan dilakukan embrión sisa (karena biasanya
diambil 3 embrion). Secara hukum, FIV diterima dengan syarat memasukkan 3 embrion
dan pembekuan embrión.
Biotecnologia genetika28
2 8
V V , I n g e n e r i a g e n é t i c a a l s e r v i c i o d e l a p e r s o n a , d l m L a b o r H o s p i t a l a r i a 2 1 ( 1 9 8 9 ) n o 2 1 4 ; V V , E l
A A A A
P r o y e c t o G e n o m a H u m a n o , V a l e n c i a , 1 9 9 0 ; V V d l m S I N G E R , K U H S E , B U C K L E , D A W S O N D A N K A S I M A , ( e d . ) ,
A A B
E m b r i o e x p e r i m e n t a t i o n . E t h i c a l , l e g a l a n d s o c i a l i s s u e s , C a m b r i d g e , N e w Y o r k , 1 9 9 0 . ; D . G R A C I A ,
P r o b l e m a s f i l o s i f i c a s d e l a I n g e n e r i a G e n e t i c a d a l a m V V , M a n i p u l a c i o n G e n e t i c a y M o r a l C r i s t i a n a ,
A A
M a d r i d , 1 9 9 2 , 7 3 - 9 8 ; R J O N S E N , S p l i c i n g l i f e : G e n e t i c s a n d E t h i c s , d l m , T h e B i r t h o f B i o e t h i c s , O n x f o r d ,
A
N e w Y o r k , 1 9 9 9 ; P R E S I D E N T ´ S C O M M I S S I O N F O R T H E S T U D Y O F E T H I C A L P R O L E M S O N M E D I C I N E A N D B I O M E D I C A L A N D
B
B E H A V I O R A L R E S E A R C H , S p l i c i n g L i f e : T h e S o c i a l a n d E t h i c a l I s s u e s o g G e n e t i c E n g i n e e r i n g w i t h H u m a n
B e i n g s , W a s h i n g t i o n D C , 1 9 8 2 , d l l .
1 0
akan bertahan beberapa minggu atau cacat seumur hidup. Apakah tidak baik jika
diadakan aborsi sebelum 14 hari (Eugenica)?
Eutanasia29
Persoalan eutanasia adalah persoalan yang sudah ada sejak pada masa yunani.
Eutanasia dipahami sebagai tindakan medis kepada pasien terminal untuk mengurangi
rasa sakit dan mengakhiri hidup sesuai permintaan pasien. Eutanasia dibedakan dengan
distanasia (usaha medis untuk memperlama kematian), cacotanasia (usaha medis untuk
mengakhiri hidup pasien di luar kehendaknya) dan ortotasia (pengurangan sakit dan
penghentian terapi yang tidak memungkinkan atas permintaan pasien atau pertimbangan
keluarga jika pasien dalam keadaan tidak sadar) dan juga istilah lain yang muncul
adalah assited suicide.
Secara etika, diterima secara umum, bahwa ortotanasia. Persoalan etika yang
sampai sekarang masih diperdebatkan adalah permintaan eutanasia dari pasien yang
mengalami kelumpuhan permanen dengan kesadaran penuh, orang-orang tua yang
meminta eutanasia, anak-anak bayi yang mengalami cacat dan penyakit terminal atau
pasien yang berada dalam keadaan koma (vegetatif). Permasalahan yang tidak kurang
perdebatan adalah perlu dan tidaknya UU eutanasia dan legal atau tidaknya eutanasia.
2 9
J . G A F O , L a e u t a n a s i a . E l d e r e c h o a l a m u e r t e h u m a n a , M a d r i d , 1 9 8 9 ; R H A M E L ( e d . ) , A c t i v e E u t h a n a s i a ,
R e l i g i o n a n d t h e P u b l i c D e b a t e , C h i c a g o , 1 9 9 1 ; M J H E N K T E N H A V E D A N J M V W E L I E , E U T H A N A S I E : N o r m a l
A
M e d i c a l P r a c t i c e ? D l m H a s t i n g s C e n t e r R e p o r t 2 2 n o 2 , ( 1 9 9 2 ) 3 4 - 3 8 . M M D E W A C H T E R , E u t h a n a s i a i n
A
t h e N e t h e r l a n d s , d l m H a s t i n g s C e n t e r R e p o r t n o 2 ( 1 9 9 2 ) , 2 3 - 3 0 d l l .
1 1
perawatan kesehatan atau tidak bahkan sampai keputusan untuk membuat testimonio
vital dalam kasus eutanasia.
Secara etika, otonomi pasien merupakan hal yang paling mendasar. Pasien
mempunyai hak atas informasi kesehatan dan perawatan yang dijalaninya. Dan berhak
untuk meneruskan perawatan atau menghentikan perawatan. Etika juga memikirkan
perlindungan pasien terhadap perlakuan medis yang tidak proporsional dan
pendampingan psikologis pasien untuk menerima sakit dan kematian sebagai suatu
kenyataan manusiawi.
Tema bioetika
Salah satu persoalan yang mendasar dialami oleh masyarakat Indonesia
berkaitan dengan bioetika adalah isu mal praktek dokter, produksi dan pengedaran obat-
obat daftar G secara umum di masyarakat dengan efek samping dan etika medis
berkaitan dengan aborsi.
Relasi antara pasien dan dokter yang terjadi di Indonesia semakin lama semakin
positif, artinya dokter memberikan informasi berkaitan dengan sakit dan apa yang harus
dilakukan pasien untuk mendapatkan kembali kesehatannya. Tidak jarang muncul
ketidakpuasan di kalangan pasien atas perlakuan dokter dan rekomendasi obat-obat
yang harus digunakan oleh pasien. Tidak jarang pula muncul beberapa kasus dimana
pasien berkorban banyak secara ekonomi dan meninggal karena salah diagnosa atau
salah obat30. Beberapa rumah sakit membuat kebijaksanaan berkaitan dengan
penggunaan obat-obatan dan revisi perawatan kesehatan yang mau dirangkum dalam
3 0
C o n t o h k a s u s y a n g d i m u a t d i t e m p o n t e r a k t i f a t a s k a s u s 3 r u m a h s a k i t d i n d o n e s i a : R u m a h S a k i t
I I
U m u m P u s a t C i p t o M a n g u n k u s u m o ( R S C M ) , R u m a h S a k i t P e l n i P e t a m b u r a n d a n R u m a h S a k i t P a l a n g
M e r a h n d o n e s i a ( P M ) B o g o r h t t p : / / w w w . t e m p o i n t e r a k t i f . c o m / h g / j a k a r t a / 2 0 0 4 / 0 9 / 1 7 / b r k , 2 0 0 4 0 9 1 7 -
I I
1 3 , i d . h t m l
1 2
Rencana Undang Undang Praktek Kedokteran31 yang kemudian disahkan menjadi UU
29/2004. Pendampingan psikologis pasien juga menjadi pertimbangan khusus di rumah
sakit di Indonesia.
Masalah yang sampai sekarang masih cukup gelap adalah peredaran secara
umum obat-obatan daftar G dan obat-obat palsu dan beresiko di kalangan masyarakat.
Kementrian kesehatan dalam hal ini BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)
dengan rutin mengadakan revisi dan penarikan obat-obat tersebut sebagai konsumsi
masyarakat. Tantangan yang dihadapi oleh Kementrian Kesehatan adalah semaraknya
pengobatan tradicional dan alternatif yang di sisi medis tidak mempunyai jaminan yang
pasti. Sampai sekarang sudah ada langkah-langkah konkret berkaitan dengan labelisasi
dan garansi dari Dinas Kesehatan.
3
1 d a p o l e m i k a n t a r a D D P R d a n L B H d a n d i k a l a n g a n f a k u l t a s d a l a m s o a l R a n c a n g a n U n d a n g - U n d a n g
A I I
P r a k t i k K e d o k t e r a n p a d a t a h u n 2 0 0 4 b e k a i t a n d e n g a n t e m a K o n s i l ( K o m i t e ) K e d o k t e r a n n d o n e s i a ( K K )
I I
d a n P e r a d i l a n D i s i p l i n P r o f e s i T e n a g a M e d i s ( P D P T M )
.
1 3
Penelitian dan investigasi genetika sampai sekarang masih dilakukan terhadap
tumbuh-tumbuhan tanaman produksi dan peternakan, belum dilakukan kepada manusia
baik untuk kepentingan kesehatan maupun kepentingan hukum.
Strategi Transformasi
Ada beberapa stategi transformatif yang bisa dipikirkan dan direcanakan untuk
masa depan Indonesia. Secara lebih bertanggungjawab, aspek-aspek strategis ini masih
harus digodok lagi secara cermat dan berdasarkan
1. Menempatkan dasar bioetika pada etika sekular dalam cakrawala dialog antar
etika agama. Sudah saatnya melihat hidup dan kematian sebagai hal yang tabu
dan teknologi sebagai ancaman hidup manusia. Dialog antara etika sekular dan
etika agama di Indonesia hendaknya semakin berkembang dan terbuka terhadap
argumentasi dan bebas dari pemikiran sempit dan a priori dan berdasarkan
kekuasaan. Untuk itu, studi mengenai bieotika secara internasional, partisipasi
aktif dalam studi banding yang serius dan pemikiran yang terbuka terhadap
kemanusiaan merupakan pintu gerbang bagi perkembangan bieotika di
Indonesia. Dalam pertemuan-pertemuan bioetika di tingkat Asean dapat
ditemukan beberapa dialog-paper yang berbicara mengenai pemikiran kembali
etika Islam, Hindu, Katolik, Kristen dan Budha menganai bioetika. Ini
merupakan langkah awal yang mungkin bisa terjadi dilingkup Indonesia.
1 4
4. Pembaharuan Perundang undangan dalam cakrawala etika baru.
Jaminan hukum hak masyarakat atas pelayanan kesehatan dari Negara yang
merupakan realisasi dari beberapa pasal Undang-Undang Kesehatan, UU
23/1992 dalam Bab III dan IV dan UU 29/2004.
-
Demikian sumbang pikiran yang saya dapat berikan dalam pertemuan ini.
Semoga bermanfaat dan menjadi awal bagi kita semua untuk aktif berkiprah dalam
pembangunan etika dan teknobiologi bagi pelayanan kesehatan masyarakat. Bagi rekan-
rekan yang mempunyai informasi, dimohon dilengkapi análisis situasi, trend dan
strategi dalam konteks Indonesia.
aristanto@gmail.com
1 5
Organizing Media to Accommodate Classroom Management at an Intercultural and
religious Learning Setting.
From Philosophy through Policy to Practice.
Teachers must have been able to play and share roles when carrying out their
instructional activities. To do so, dynamics of professionalism is the key. A set of
strategies including internationalism philosophy, the policy and its techniques will be
discussed. At operational level, some recommendations like professional development for
teachers, a need of close cooperation among school stakeholders are put forward.
A need of internationalism
It is, therefore, clear that curriculum should not bound teacher’s creativity out to
make those outcome achievements successful. Even better, teachers are free to modify
the prescribed curriculum and not to depend on one curriculum.
A very practical argument for promoting it is that a teacher is not always available
to assist. Learners will become more efficient to their learning if they do not spend time
eaiting for their teacher to solve their problems or to provide information and resources.
Further, this practice is also important to prepare learners to rapidly changing
circumstances. Knowles (1975) has pointed out that autonomy in learning will be vital for
effective functioning in a society. Classes are micro society-sort of laboratories, where
learners learn life skills to function at societies. Knowles adds that helping learners
become more autonomous in their learning is a way of maximizing their life choices.
How it is fostered?
Then we talk about techniques. Once student centered learning and learning
autonomy have been a shared belief, the next question is how they are fostered into
practise. Some teachers claim to believe them, yet they still regularly subvert the learning
by excluding the learners from contributing to decisions of planning, pacing, and
evaluating classroom tasks.
Here are some components of how theories are put into practices. These
illustrations are taken from what happens in instructional management of classes at
Sekolah Nusa Alam, Lombok, West Nusa Tenggara, one of founding school of ANPS1,
and the first private school in Lombok getting “A” accreditation from the accreditation
body of National Education Department of Republic Indonesia.
1
ANPS stands for The Association of Indonesian National Plus School. It is established to accommodate
the need of adopting international education for learners. ANPS has been established since 2000 in Jakarta.
5. Self access centre.
The suggestopedia2 is the underlying this technique. The learning centre provides
a selection of self study materials as well as displays of relevant sources. Learners
are encouraged to discuss ways of using the centre with the class teacher to get
accostumed to doing things independently and to ensure coherence in class
dialogue. The centre provides for learners who have identified needs which they
wish to address at an atmosphere they feel most comfortable.3
Conclusion
Learning setting is dynamic. To cope with it-as other professionals do, teachers
need to progressively develop. Learning philosophy, methods of carrying out the teaching
process, and techniques of teaching and learning delivery are issues that need
concerns.Therefore, all teachers should have been entitled reguler professional
development where they can share their expertise, experiences, and even problems of
tackling their tasks. The promotion of student centered learning where teacher asks
learners to search, write, present, criticize, and celebrate requires teachers’ expertise, and
sharing expertises is one professional developent activity.
Along with the learners’ demand driven, it is necessary to facilitate them with need
analysis learning programme adjusted with learners’ need. Prior preparation and centres
of learning is a necessity to enable students to be independent.
Bibliography:
Candy, P. 1988. “On the attainment of subject matter autonomy” in D. Boud, D. (ed.)
1988. Developing Student Autonomy in Learning (2nd edition). New York: Kogan Page
1996. Making it Happen in the Classroom: Inquiry Based Curriculum for Students aged
3-12 years. ISCP volume two.
Knowles, M.1975. Self Directed Learning: A guide for Learners and Teachers.New
York: Association Press.
.
Techniques:
Students are triggered to apply thinking skills critically and creatively to make logical
decisions and problem solving: ask ss to … buku biru
Autonoomy: discussion time, reflection time, carpet time: inform what to be done, ask
input from ss.
Access centre: ask nat plus s to coop. wages of info to be forwarded. Give something in
return
2
Suggestopedia refers to provision of learning information in anywhere including peripheral class area like
display wall. This aims at facilitating learners to read and accessing information easily.
3
At an operational level, teachers’ association can contact parents, stakeholders, and the nearest national
plus school to donate (used) reading materials. Close cooperation and direct communication among the two
streams of schools are the key.
Penghambat Perkembangan Pendidikan Sekolah Dasar,
Menengah Pertama dan Menengah Atas di Indonesia
Oleh : Juliansyah Shariati Pratomo
LATAR BELAKANG
Setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, semakin banyak kita lihat
pemerintah Indonesia mencoba untuk melakukan perubahan sistem hampir di semua
bidang seperti pada contohnya ekonomi, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu.
Di tanah air kita Indonesia ini, yang terdiri dari 17,000 pulau lebih, memang
harus kita akui bahwa jalur komunikasi yang efektif dan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pendidikan masih sangatlah sulit. Pengembangannya pun tidak bisa
kita pungkiri bahwa masih belum dapat dikatakan adil dan merata, contohnya adalah
kota-kota besar biasanya mendapatkan dana yang jauh lebih banyak dan perhatian
yang lebih dari pemerintah ketimbang daerah-daerah pedalaman yang seharusnya
mendapatkan “special attentions” dari pemerintah tetapi masih belum juga dapat
terlaksana.
Page 1 of 7
Indonesia dapat dimanfaatkan merata. Akan tetapi, semua ini hanya bisa efektif jika
suara masyarakat pendidikan secara luas didengarkan dan kemandirian ataupun
kepercayaan masyarakat secara luas dapat dicapai.
Ada beberapa hal yang sangat penting yang menjadi pokok permasalahan dari
penghambat perkembangan pendidikan terlepas dari masalah alokasi dana pendidikan
dari APBN/APBN 20% yang sampai saat ini masih belum jelas sistematika
pembagian kewenangannya dan upaya peningkatan sumber daya manusia para
pengajar yang merupakan hal penting yang harus diperhatikan dan harus ditindak
lanjuti, tetapi akan saya lebih fokuskan kepada 2 hal berikut;
Page 2 of 7
juga menegaskan bahwa ini menunjukkan bahwa sikap pemerintah yang
sangat ragu-ragu dan mengambil langkah cepat tanpa memikirkan dampak-
dampak yang akan terjadi, menunjukkan pemerintah dalam hal ini Depdiknas
dinilai selalu tergesa-gesa, reaktif, tidak transparan dan partisipatif.
2. Kebijakan Nilai UAN (Ujian Akhir Nasional) / Ujian Akhir Semester atau
sejenisnya yang terbilang sangat memaksakan para pelajar. Didalam artikelnya
Bapak Achmad Sentosa, seorang advisor untuk Partnership for Governance
Reform in Indonesia menyatakan kekhatirannya bahwa UAN hanya akan
mememperpanjang deret masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia. UAN
mempunyai dampak negatif yang sangat besar terhadap perkembangan mental
pelajar Indonesia. Kita dapat mengambil satu contoh nyata, dikutip dari
kompas cyber media edisi Juni 2006 seorang siswa SMK di Pontianak
memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya lantaran tidak lulus didalam
UAN, ini sudah jelas bahwa kebijakan tersebut telah menurunkan selera serta
mentalitas pelajar untuk saling berkompetensi dalam menuntut ilmu. Pasal 60
UU No. 39 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecedasannya. Apabila sistem pendidikan
kita melalui kebijakan konversi nilai tidak mampu menghargai siswa sesuai
dengan bakat dan tingkat kecedasannya, maka perbuatan ini dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
William Chang juga menyebutkan dalam artikel yang pernah di muat di media
yang sama kompas bahwa, penerapan instrument multiple choice pada UAN
juga tidaklah terlalu cukup untuk merepresentasikan kemampuan kognitif,
afektif, maupun psikomotorik siswa secara komprehensif dan objektif. Lama
kelamaan secara tidak langsung, dari satu sisi, sistem ini akan lebih condong
untuk menghargai pelajar yang mempunyai intelektualitas yang tinggi
daripada anak-anak yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan
rendah. Dengan begitu pelajar yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang
dan rendah akan mengalami suatu perang batin apakah mereka cukup
kompeten atau tidak. Dan apabila ini terus berlanjut tidak dapat dipungkiri
bahwa akan banyak pelajar Indonesia pada masa mendatang yang akan
Page 3 of 7
mengalami penurunan mental yang selanjutnya akan menjadi salah satu
pengambat dalam perkembangan pendidikan itu sendiri dan masalah ini sudah
bisa digolongkan pada diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.
Page 4 of 7
telahada, dan pada akhirnya akan bingung dimana kurikulum kita sebenarnya
berada dana akan dibawa kemana kurikulum kita. Seharusnya pemerintah
melakukan reevaluasi dari kurikulum yang ada untuk menghilangkan hal-hal
yang tidak relevan dan menambah hal yang masih harus diisi dalam kurikulum
tersebut. Sehingga pemerintah tidak lagi melakukan pergantian yang berulang-
ulang.
2. UAN dapat terus dilaksanakan apabila dalam konteks untuk dapat mengetahui
pencapaian target pendidikan nasional, dengan begitu pemerintah dapat
mengetahui daerah mana yang sudah mencapai target dan daerah mana yang
belum agar dapat ditindaklanjuti kemudian. Tetapi, UAN tidaklah perlu
dilaksanakan apabila hanya bertujuan untuk standarisasi kelulusan. Saya
berikan dua contoh ilustrasi dampak yang akan terjadi apabila UAN menjadi
stardarisasi kelulusan. Ada seorang pelajar yang rajin dan pintar, tidak pernah
bolos, selalu juara, berkepribadian positif akan tetapi, tetapi karena pada
malam sebelum ujian, salah satu keluarganya sakit, sehingga harus masuk
rumah sakit dan harus menemani, ketika pagi harinya ujian berlangsung dia
mengerjakan soal diliputi dengan perasaan was-was, tidak dapat
berkonsentrasi penuh dan akhirnya hasil ujiannya dinyatakan gagal. Dan
sebaliknya seorang siswa lainnya yang sering bolos, nilainya kurang
memuaskan, tetapi pada saat ujian, kebetulan duduk berdekatan dengan anak
yang pintar, sehingga dapat mencontek, akhirnya ujiannya dinyatakan lulus.
Kita bisa melihat dari dua contoh diatas bahwa sungguh tidak adil apabila
Ujian Akhir Nasional harus dijadikan standarisasi kelulusan siswa. Apakah
pendidikan seperti ini yang diharapkan pemerintah kita?? Apakah pemerintah
terlalu mementingkan sebuah nilai?? Apakah di Indonesia ilmu sudah bisa
dibayar dengan sebuah nilai ujian???? Seharusnya pemerintah memberi
kesempatan dan otonomi kepada sekolah dalam hal ini adalah guru untuk
menentukan kelulusan karena gurulah yang paling mengetahui proses
perkembangan siswa selama di sekolah.
Menanggapi pendapat dari William Chang, saya mengusulkan agar penerapan
instrument ujian untuk Multiple Choice diganti atau ditambahkan dengan
penerapan studi kasus dalam ujian dan pembelajaran dan essay untuk
meningkatkan ilmu menganalisa siswa. Didalam buku yang ditulis oleh
Page 5 of 7
Fredrick G.Brown disebutkan bahwa dengan essay para pelajar dan pengajar
dapat mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa atau sebagai dasar untuk
mengambil keputusan. Terdapat beberapa alasan mengapa mengukur
pencapaian siswa. Sebelum itu kita menuju alasan tersebut mari kita ulas
bersama apa yang dimaksud dengan pencapaian siswa. Implikasi kemampuan
mengekspresikan pengetahuan ini ke berbagai cara, melihat hubungan dengan
pengetahuan lain, dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan
masalah. Ketrampilan kita artikan mengetahui bagaimana mengerjakan
sesuatu.
Dua statement solusi tersebut ternyata memiliki hubungan yang kuat dan
hubungan timbal balik demi mencapai pendidikan Indonesia yang didambakan oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang didukung dengan kurikulum yang
transparan. Yang dimaksudkan dengan transparan disini adalah kejelasan proses
kurikulum dan memiliki simbiosis mutualisme antara pemerintah dan anggota sekolah
(guru dan pelajar).
KURIKULUM YANG
TRANSPARAN
Page 7 of 7
Solusi untuk Program Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia
Oleh Tommy Dharmawan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Sedang menjalani penelitian di Leiden Universiteit Medische Centrum, Leiden, Netherland
Bayangkan di seluruh dunia, setiap dua menit satu perempuan meninggal karena
kanker leher rahim. Menurut penelitian dari Ferlay, hampir 500.000 kasus baru kanker
leher rahim terdiagnosis tiap tahunnya. Delapan puluh persen kasus tersebut terutama
terjadi di negara berkembang. Sedikitnya 200.000 perempuan di negara berkembang
meninggal tiap tahun karena kanker ini. Fakta-fakta tersebut membuat kanker leher rahim
menempati posisi kedua kanker terbanyak pada perempuan di dunia.
Saat ini, kanker leher rahim menjadi kanker terbanyak pada wanita Indonesia
yaitu sekitar 34% dari seluruh kanker pada perempuan dan sekarang 48 juta perempuan
Indonesia dalam risiko mendapat kanker leher rahim. Dari data rumah sakit
Ciptomangunkusumo di tahun 1998, kanker leher rahim menduduki posisi teratas dari
sepuluh kanker primer terbanyak pada perempuan. Menurut penelitian dari Asia-Link
Female Cancer Program Foundation, sebuah organisasi non pemerintah yang dibiayai
oleh Pemerintah Belanda dan Europeaid cooperation office, pada Agustus 2006 jumlah
prevalensi kanker leher rahim di Indonesia diperkirakan sekitar 100 pasien per 100.000
penduduk dan ini adalah masalah besar. Jika dibandingkan dengan negara lain semisal
Belanda, prevalensinya hanya 9 per 100.000 penduduk. Jadi, Indonesia menghadapi era
lain penyakit. Pada satu sisi, Indonesia masih menghadapi era penyakit infeksi seperti
tuberkulosis dan flu burung, tetapi di sisi lain Indonesia sudah harus menghadapi era
penyakit degeneratif dan keganasan seperti kanker leher rahim.
Alasan utama mengapa kanker leher rahim memiliki mortalitas yang besar adalah
karena pasien baru datang memeriksakan diri ke dokter pada stadium lanjut. Sekitar 65%
pasien terdiagnosis pada stadium lanjut (lebih dari stadium II B). Apa yang menyebabkan
hal tersebut terjadi? Salah satu alasannya adalah karena 90% dari kasus kanker leher
rahim pada stadium dini tidak memiliki gejala khas sehingga penderita tidak mengetahui
adanya kanker di tubuhnya ditambah lagi kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang
hanya memeriksakan dirinya ke dokter hanya ketika sudah mengalami gejala berat seperti
mengalami perdarahan spontan per vaginam. Jika itu terjadi, maka kanker leher rahim
sudah berada pada stadium lanjut.
Kanker leher rahim muncul dari zone transformasi di leher rahim. Zone ini lebih
mudah untuk mengalami perubahan ke arah tidak normal dan dapat tumbuh menjadi
kanker jika ada infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan jika terdapat faktor risiko
lain. Kanker leher rahim dapat berkembang sampai 10 tahun setelah infeksi HPV.
Beberapa faktor risiko antara lain memiliki pasangan seksual lebih dari satu, multi paritas
(melahirkan lebih dari empat anak), melakukan hubungan seksual pada usia dini,
penggunaan obat imunosupresan, infeksi genital (alat kelamin), ketidakseimbangan
radikal bebas dan antioksidan, merokok, dan sosial ekonomi lemah. Infeksi HIV juga
dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HPV sampai sepuluh kali karena menurunnya
imunitas pada pasien HIV.
Manifestasi klinis dari kanker leher rahim antara lain perdarahan pasca senggama,
sekret vagina, perdarahan antara dua siklus menstruasi, perdarahan pasca menopause,
perdarahan spontan per vaginam, perdarahan per vaginam saat buang air besar, dan juga
nyeri ketika bersenggama.
Pencegahan sekunder mencakup deteksi dini dan tatalaksana lesi prekanker yang
sangat sederhana, mudah, dan efektif. Kata kuncinya adalah cakupan skrining massal
untuk mendeteksi lesi pre kanker. Indonesia memerlukan tes skrining yang efektif, aman,
praktis, mudah didapat dan mudah tersedia. Ada beberapa metode deteksi dini kanker
leher rahim seperti Pap smear dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Tes Pap
smear tetap menjadi standard utama. Perempuan sebelum awitan aktivitas seksual sampai
usia 65 tahun harus mendapatkan tes skrining tersebut. Tes tersebut dilakukan tiap tahun
dan jika hasil 2-3 tes berurutan negatif maka tes Pap smear dilakukan dengan interval
antara 3 sampai 5 tahun. Tes Pap smear digunakan secara luas sebagai tes skrining untuk
kanker leher rahim tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasannya antara lain
karena Indonesia tidak banyak memiliki sumber daya yang dapat menginterpretasi
hasilnya. Tetapi ada metode skrining lain yaitu IVA. Walau tes skrining ini bukanlah hal
baru yaitu sudah ditemukan oleh Hinselman di tahun 1925, teknik ini sangat tepat untuk
diterapkan secara massal di Indonesia. IVA dapat membedakan antara leher rahim yang
normal dan tidak normal dengan cara yang murah, mudah tersedia, dan cepat (PATH
2000). Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah salah satu tes untuk
mengidentifikasi lesi pre kanker. Caranya adalah dengan memberikan usapan pada leher
rahim dengan asam asetat 3-5% lalu hasilnya diamati dengan mata telanjang selama 20-
30 detik. Pada IVA, Setelah pengusapan dengan asam asetat 3-5% menggunakan
aplikator kapas lesi pre kanker di leher rahim akan terlihat secara temporer berwarna
lebih putih dari sekitarnya setelah diusap dengan asam asetat. IVA tidak memerlukan
pemeriksaan laboratorium, hasilnya cepat didapatkan, dan tatalaksana dapat dilakukan
setelah pemeriksaan. Salah satu hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah
pelatihan tentang IVA pada tenaga kesehatan terutama untuk daerah terpencil.
Terakhir, adalah pencegahan tersier seperti tatalaksana untuk kanker seperti terapi
bedah dan radiasi. Pemilihannya tergantung pada stadium kanker.
Abstraksi
Pemuda adalah tenaga kerja produktif bangsa, pemuda memiliki peran penting dalam pembangunan
karena dia akan menggerakan arah pembangunan bangsa dan menentukan masa depan bangsa.
Kegamangan pemuda dalam menghadapi permasalah bangsa dapat mengurangi agresivitas
pembangunan bangsa. Pemuda harus kembali mengambil peran peran monumental sehingga menjadi
pijakan kokoh untuk langkah pembangunan selanjutnya.
Latar belakang
Pasca turunnya Suharto pada bulan mei 1998, Bangsa Indonesia mengalami masa
transisi demokrasi yang begitu hebat, setelah selama 32 tahun masyarakat mengalami represi
dan ditutupnya suara – suara kritis yang memberi masukan berbeda pada pemerintah. Hal ini
menyebabkan terkekangnya banyak potensi masyarakat yang justru sebenernya bisa dijadikan
alat kontrol sekaligus pemberi masukan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Salah satu kelompok masyarakat ini adalah kelompok pemuda, suara kritis kaum
muda kadang dinilai sebagai sebuah problematika pembangunan, hal ini menyebabkan
berkurangnya tingkat kekritisan kaum muda, yang menyebabkan adanya disorientasi peran
kepemudaan selama rentang waktu pemerintahan orde baru. Tak ada ruang untuk perbedaan
cara pandang.
Krisis moneter pada tahun 1997 seolah menyadarkan kaum muda bahwa mereka
harus kembali mengambil peran dalam perubahan, pemuda harus kembali mendorong
perubahan itu sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat, proses penjembatanan suara
aspirasi masyarakat dan “telinga” pemerintah yang tersumbat ini menyebabkan kaum muda
kembali memenuhi jalan dan bergerak menuntut perubahan.
Perubahan adalah kata kunci dimana peran pemuda menjadi penting, seolah setiap
terjadi kekacauan dalam berbangsa maka disaat genting itulah pemuda hadir dan mendorong
proses perubahan.
Kemudian rezim Suharto jatuh dan setelah beberapa kali terjadi pergantian rezim ,
pemuda kembali merasa tertantang untuk ikut mendorong proses pembangunan, tidak dalam
posisi berlawanan tapi dalam posisi berdampingan dengan pemerintah mencari solusi terbaik
untuk sekelumit permasalahan bangsa.
Identifikasi Permasalahan
Dimana posisi pemuda sekarang ? ini adalah pertanyaan kunci yang kadang dipenuhi
jawaban gamang dan penuh retorika. Secara filosofis pemuda bisa dikatakan tenaga produktif
dari pembangunan, pemuda adalah “mesin” bangsa yang memutar negara ini sesuai dengan
kompetensi keilmuannya masing - masing.
Tapi terkadang kita seperti bergerak masing – masing, tanpa tau harus kemana
“roda” bangsa ini diarahkan, hal ini membuat akhirnya setiap pemuda yang memiliki
semangat nasionalisme tinggi dan ide tentang pembangunan bangsa merasa sendirian dan
tidak berada dalam gerbong yang sama atau terkadang ketika berada dalam gerbong yang
sama pun ada kesalah pahaman ide yang menyebabkan friksi padahal ada tujuan bersama
(common goal) namun hanya strategi dan pembahasaan ide yang berbeda. Salah pengertian
dan tidak adanya statement bersama ini yang terkadang memecah belah potensi bersama yang
dimiliki.
Selain itu ada semacam kegamangan identitas pemuda, sebagian merasa modernisasi
berarti sama dengan diserapnya budaya asing secara mentah sehingga sesuatu yang berasal
dari luar adalah suatu nilai yang pasti baik dan diserap mentah mentah, ini berpengaruh
terhadap gaya hidup dan pola konsumerisme yang berlebihan, akhirnya Indonesia menjadi
tempat transit budaya internasional yang dapat mengikis keberadaan budaya lokal.
Tidak adanya bentuk sinergi dan kerja sama yang jelas, antara pemuda dan
pemerintah, konsep “one event one group” seolah menegaskan bahwa peran pemuda selama
ini memang selalu dalam jangka pendek (short term), tidak pernah ada sebuah konsep strategi
jangka panjang yang jelas dari pemerintah untuk bekerja sama dengan kaum muda. Pemuda
hanya dibutuhkan untuk event – event tertentu kemudian selesai tanpa ada proses
keberlanjutannya.
Analisa Permasalahan
Melihat beberapa permasalahan diatas maka seharusnya kita mulai mendudukan diri
kita secara bersama, seluruh pemuda Indonesia untuk merenungkan kembali dimana kita
harusnya meletakkan posisi kita dalam roda gerak pembangunan ini.
Pemuda harusnya bisa berperan lebih dari sekedar motor pembangunan namun juga
terlibat aktif bersama pemerintah untuk bersama sama mencari solusi atas permasalahan
bangsa.
Langkah pertama yang diperlukan adalah sebuah komitmen dan statement bersama
bahwa para pemuda Indonesia memang bersatu dan ingin bersatu dalam gerbong
pembangunan Indonesia. Statement ini memiliki nilai penting karena memberikan penegasan
kepada seluruh elemen bangsa bahwa pemuda Indonesia memang bersatu.
Sumpah Pemuda Indonesia satu dan dua yang pernah dilakukan di masa lampau
seolah mengingatkan kita kembali tentang perlunya arti komitmen yang diharapkan dapat
meminimalisir atau bahkan menghilangkan sama sekali pengkotak-kotakan ide atau
pemikiran tentang pembangunan bangsa.
Khususnya buat para pemuda Indonesia yang ada di luar negeri sebenernya kalau
kemudian potensi para kaum muda ini dikumpulkan dan disinergiskan dengan agenda agenda
kerja pembangunan bangsa maka kita bisa mengakselerasi proses percepatan pemulihan
ekonomi bangsa. Menempatkan peran mereka sebagai duta kita di luar negeri untuk
memberikan informasi yang benar tentang Indonesia, tentang kondisi sosial masyarakatnya,
tentang budaya ataupun tentang isu isu hangat yang sedang beredar di Indonesia.
Selain sebagai duta di luar negeri para pemuda ini juga mampu mencari potensi
kerja sama antara berbagai institusi di luar negeri dengan institusi di dalam negeri yang hal
strategis semacam ini bisa dilakukan tentunya dengan berjalan bersama pemerintah.
Nilai strategis apa yang akan dibangun tentu disesuaikan dengan nilai potensi kerja
samanya dan juga agenda pemerintah yang dapat dibuat oleh para kaum muda.
3. Ekonomi
Perlu adanya insentif pada masyarakat bawah dalam melakukan kegiatan
ekonomi, pemberian kredit lunak dan bunga yang kecil, pemaksimalan
kerjasama industri besar dan industri kecil melalui kebijakan pemerintah yang
memfasilitasi dan mendorong hal tersebut.
Penggunaan model ekonomi model neo developmentarisme yang pernah
diperkenalkan oleh Presiden Suharto waktu itu terbukti membuat kita sangat
kesulitan dalam melakukan proses perbaikan ekonomi pasca krisis.
Ini harusnya membuat kita mulai sadar bahwa model ekonomi top down
memang tidak cocok namun harus bottom up yang berarti penguatan sektor
industri kecil dan riil.
Kesimpulan
Pertemuan PPI se dunia adalah pertemuan para pelajar cerdas dari seluruh dunia,
proses pematangan ide dan pencarian bentuk kerja sama riil adalah hal yang sangat mungkin
dilakukan. Efektifitas pertemuan besar dengan level dunia akan sangat bergantung pada
proses pembahasan ide sebelum pertemuan itu sendiri, sehingga pertemuan itu sendiri adalah
proses finalisasi dari kerja sama yang mungkin dapat dibangun untuk kepentingan bangsa.
Referensi
Ilmu Budaya Dasar, Kum. Essay M.Habib Mustopo, Penerbit : Usaha Nasional-SBY-1988
Konsep Dsr. Pddk. Luar Sekolah Pengarang : Soelaiman Joesoef Penerbit : Bumi Aksara -
JKT - 1992
Catatan Pinggir , Goenawan Moehamad