Вы находитесь на странице: 1из 26

TUGAS SGD BLOK MUSKULOSKELETAL FRAKTUR SERVIKAL

OLEH: ELTANINA ULFAMEYTALIA DEWI 1103010

PRODI S 1 KEPERAWATAN PROGRAM B SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA 2012

BAB I KONSEP DASAR MEDIS

A. PENGERTIAN Fraktur adalah rusaknya keutuhan struktur tulang (Brooker, 2008).

Fraktur menurut Dorland (2012), adalah pemecahan suatu bagian, khususnya tulang ; pecah atau rupture pada tulang.

Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Doengoes (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.

Sehingga fraktur servikal adalah terpisahnya kontinuitas tulang pada vertebra servikalis.

Fraktur servikal pang sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher.

B. KLASIFIKASI TRAUMA SERVIKAL 1. Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma a. Trauma hiperfleksi 1) Subluksasi anterior Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher; ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasu ke posterios (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tandatanda lainnya: jarak yang melebar antara prosesus spinosus, dan subluksasi sendi apofiseal. 2) Bilateral interfacetal dislocation Terjadi robekan pada ligament longitudinal anterios dan kumpulan ligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak dislokasi anterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal. 3) Flexion tear drop fracture dislocation Tenaga fleksi murni ditambah komponen kkompresi menyebabkan robekan pada ligament longitudinal anterior dan kumoulan ligament posterior disertai fraktur avulse pada bagian anteroinferior konspur vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal dalam fleksi: fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-inferior korpus vertebrae, pembengkakan jaringan lunak pravertebral. 4) Wedge fracture Vertebra terjept sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal anterior dan kumoulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil. 5) Clay shovelers fracture Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus; biasanya pada C4-C7 atau Th1.

b. Trauma fleksi rotasi Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun terjadinya kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang bersangkutan dan vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan distalnya tetap dalam posisi lateral.

c. Trauma hiperkstensi 1) Fraktur dislokasi hiperekstensi Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan prosesu spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian posteroinferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan. 2) Hangmans fracture Terjadi fraktur arkus bilateral dan silokasi anterior C2 terhadap C3.

d. Ekstensi rotasi Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi.

e. Kompresi vertical Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui kepala, kondilus oksipitalis, ke tulang leher.

2. Klasifikasi berdasar derajat kestabilan a. Stabil b. Tidak stabil

Stabilitas dalam hal trauma tulang servikal dimaksudkan tetap utuhnya kkomponen ligament-skeletal pada saat terjadinya pergeseran satu segmen tulang leher terhadap lainnya.

Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligament posterior tidak rudak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligament posteriornya rusak atau robek, fraktur medulla spinalis disebut fraktur tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligament posterior.

Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu

anteroposterior, lateral, oblik kanan dan akiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yang harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior).

C. JENIS FRAKTUR SERVIKAL Jenis fraktur daerah servikal, sebagai berikut: 1. Fraktur atlas C1 Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi kepala menopang badan dan daerah servical mendapat tekanan hebat. Condylus occipitalis pada basis crani dapat menghancurlan cincin tulang atlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan rotasi maka pergeseran tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut cedera. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah posisi anteroposterior dengan mulut pasien dalam keadaan terbuka.

Terapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalah immobilisasi servical dengan collar plaster selama 3 bulan.

2. Pergeseran C1 C2 (Sendi Atlantoaxial) Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari atlas yang menyilang di belakang prosesus odontoid pada axis. Dislokasi sendi atlantoaxial dapat mengakibatkan arthritis rheumatoid karena adanya perlunakan kemudian aka nada penekanan ligamentum tranversalis.

Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid. Umunya ligamentum tranversalis masih utuh dan prosesus odontoid pindah dengan atlas dan dapat menekan medulla spinalis. Terapi utnuk fraktur tidak bergeser yaitu imobilisasi vertebra cervical. Terapi utnuk fraktur geser atlantoaxial adalah reduksi dengan traksi continues.

3. Fraktur kompresi corpus vertebral Tipe kompresu lebih sering tanpa kerusakan ligamentum spinal namun dapt mengakibatkan kompresi corpus vertebralis. Sifat rafktur ini adalah tipe tidak stabil. Terapi untuk fraktur tipe ini adalah reduksi dengan plastic collar selama 3 minggu (masa penyembuhan tulang).

4. Flexi subluksasi vertebral cervical Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-tiba sehingga terjadi deselerasi kepala karena tubrukan atau dorongan pada kepala bagian belakang, terjadi vertebra yang miring ke depan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament posterior dapat rusak dan fraktur ini singkat disebut subluksasi, medulla spinalis mengalami kontusio dalam waktu singkat.

Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi cervical dilanjutkan dengan imobilisasi leher terkekstensi dengan collar selama 2 bulan.

5. Flexi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical Cedera ini lebih berat disbanding fleksi subluksasi. Mekanisme terjadinya fraktur hamper sama dengan fleksi subluksasi, posterior ligament robek dan posterior facet pada satu atau kedua sisi kehilangan kestabilannya dengan bangunan sekitar. Jikla dislokasi atau fraktur dislokasi pada C7 Th1 maka posisi ini sulit dilihat dari posisi foto lateral maka posisi yang terbaik untuk radiografi adalah swimmer projection

Tindakan yang dilakukan adalah reduksi fleksi dislokasi ataupun fraktur dislokasi dari fraktur cervical termasuk sulit namun traksi skull continu dapat dipakai sementara.

6. Ekstensi sprain (kesleo) cervical (Whiplash injury) Mekanisme cedera pada jaringan lunak yang terjadu bila leher tiba-tiba tersentakl ke dalam hiperekstensi. Biasanya cedera ini terjadi setelah tertabrak dari belakang; badan terlempar ke depan dan kepala tersebtak ke belakang. Terdapat ketidaksesuaian mengenai patologi yang tepat tetapi kemungkinan ligament longitudinal anterior meregang atau robek dan diskus mungkin juga rusak.

Pasien mengelih nyeri dan kekakuan pada leher, yang refrakter dan bertahan selam asetahun atau lebih lama. Keadaan ini sering disertai dengan gejala lain yang lebih tidak jelas, misalnya nyeri kepala, pusing, depresi, penglihatan kabur dan rasa baal atau parestesia pada lengan. Biasanya tidak terdapat tanda-tanda fisik, dan pemeriksaan dengan sinar-X hanya memperlihatkan perubahan kecil pada postur. Tidak ada bentuk terapi yang telah terbukti bermanfaat, pasien diberikan analgetik dan fisioterapi.

7. Fraktur pada cervical ke-7 (Processus Spinosus) Prosesus spinosus C7 lebih panjang dan prosesus ini melekat pada otot. Adanya kontraksi otot akibat kekerasan yang sifatnya tiba-tiba akan menyebabkan avulse prosesus spinosus yang disebut clay shovelers fracture. Fraktur ini nyeri tapi tak berbahaya.

D. ANATOMI FISIOLOGI Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.

Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut: 1. Vertebrata servikalis Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang. Berjumlah 7 buah.

2. Vetebrata Thoracalis (atlas) Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax. 3. Vertebrata Lumbalis Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi. 4. Os. Sacrum Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi. 5. Os. Coccygis Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung anteropesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak

mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.

Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga (Evelyn. C. Pearch, 1997).

Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula oblongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.

Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.

Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut : 1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit 2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju selsel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.

3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis. 4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik. 5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik. 6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.

E. EPIDEMIOLOGI Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker dan stroke, tercatat 50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3 % penyebab kematian ini karena trauma langsung medula spinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3.

F. ETIOLOGI Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), dan kecelakaan kerja.

Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relative rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang daoat oatah pada temoat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur llunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh. c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

G. PATOFISIOLOGI

FENOMENA SEKUNDER

KERUSAKAN MEDULA SPINALIS (KETIDAKSTABILAN KOLUMNAR SPINALIS)

PERDARAHAN PERKAPILER BERGABUNG DAN MEMBESAR TERUTAMA DALAM SUBSTANSIA GRISEA

INFARK PADA SUBTANSIA GRISEA DAN OEDEMA SUBTANSIA ALBA DINI (WAKTU 4 JAM)

(8 JAM) INFARK GLOBAL PADA TINGKAT CIDERA DAN TERJADI NEKROSIS SUBSTANSIA ALBA DAN PARALISIS DI BAWAH TINGKAT LESI MJD IRREVERSIBLE

NEKROSIS & PERDARAHAN SENTRAL YANG MEMBESAR MENJADI 1-2 TINGKAT DIATAS DAN DIBAWAH TITIK TIMBUKAN PRIMER

TERJADI GLIOSIS DALAM REGIO, MUNCUL AREA NEKROTIK. DLM BBRAPA BULAN MENJADI KAVITAS, MUNCUL SINDROM SIRINGO MIELIA PROGRESIF

H. TANDA DAN GEJALA 1. Nyeri pada leher atau tulang belakang . 2. Nyeri tekan ketika dilakukan palpasi disepanjang tulang belakang. 3. Paralisis atau hasil pemeriksaan fungsi motorik abnormal. 4. Parestesia. 5. Priapisme. 6. Pernafasan diafragma. 7. Renjatan neurogenik.

Hal yang perlu di observasi adalah tekanan darah, status pernapasan, dan cidera sistemik. 1. Trauma kaudal servikalis dan torakalis tinggi, menyebabkan hipotensi ringan dan bradikardi (simpatektomi fungsional yang berespon terhadap infuse kritaloid atau koloid). 2. Pemeriksaan neurologik pada pasien sadar di pusatkan pada nyeri leher atau punggung, hilangnya tenaga ekstermitas, tingkat sensoris dari tubuh, reflek tendon dalam (biasanya tidak ada dibawah tingkat cedera kode akut). 3. Cedera di atas servikalis 5, menyebabkan quadriplegi dan gagal pernapasan. 4. Pada C 5 dan C 6 bisep lemah, C4 dan C5 deltoideus dan supra serta infraspinatus lemah. 5. Cedera C 7, menyebabkan kelemahan trisep, ekstensor pergelangan tangan dan pronator lengan bawah. 6. Cedera T 1 dan dibawahnya menyebabkan paraplegi dan hilang sensoris. 7. Kompresi pada region torak bawah dan lumbalis menyebabkan konus medularis atau sindrom kauda equina. 8. Dislokasi hiperrefleksi dari vertebra servikalis menyebabkan kuadriplegia traumatik.

9. Fraktur kompresi tunggal dari vertebra torakis biasanya stabil tapi dapat berkaitan dengan kompresi kauda anterior dan membutuhkan dekrompesi dan stabilisasi dengan pemasangan batang metal. 10. Kompresi singkat dari kauda servikasli dan rusaknya substansia grisea sentralis terjadi kelemahan lengan, sering dengan hilangnya sensasi tusukan tajam pada lengan dan bahu, tenaga dan sensasi pada tubuh dan tungkai berkurang. Abnormalitas fungsi kandung kemih bervariasi. Dan prognosis kesembuhannya baik.

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi. 2. CT SCAN Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural 3. MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi 4. Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi). 5. Foto rontgen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis) 6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal). 7. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi (Marilyn E. Doengoes, 2000)

J. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pertama trauma medula spinalis adalah imobilisasi eksternal untuk stabilisasi sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment yang baik, dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder. Setelah transportasi dan evaluasi awal telah lengkap, extendedexternal fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan. Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat direhabilitasi. 1. Imobilisasi dan traksi. Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina servikal. Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J collar bersifat mirip tetapi lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran.

Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur spina servikal adalah thermoplastic Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan halo vest sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi rotasi dibandingkan TMBJ.

(a) Gambar 3. Philadelphia collar (a) dan Miami-J collar (b)

(b)

2. Farmakoterapi a. Farmakoterapi standar pada trauma medula spinalis berupa

metilprednisolon 30 mg/kgBB secara bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut dilanjutkan dengan

metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari metilprednisolon ini kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi terhadap peroksidasi lipid dibandingkan efek glukokortikoid. b. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus lambung.

Menurut Harrison (2000), setiap pasien dengan cedera kepala berat, secara potensial berhubungan dengan ketidakstabilan kolumnar spinalis. Perawatan pasien dimulai pada tempat kecelakaan. Leher harus diimobilasasi untuk mencegah kerusakan medulla spinalis, harus diperhatikan selama pemindahan, pemeriksaan fisik, dan radiologi, untuk mencegah ekstensi leher atau rotasi dan mencegah torsi rotasi dari vertebra torakalis.

K. PROGNOSIS Dari riwayatnya, banyak diantara korban trauma medula spinalis meninggal akibat komplikasi respirasi. Perbaikan pada sistem penanganan trauma, telah menurunkan angka komplikasi dan meningkatkan angka keberhasilan. Keberhasilan dan kualitas hidup pasien bergantung pada perawatan kedaruratan yang didapatkan. Pengenalan dan perawatan awal akan mempertahankan rehabilitasi yang optimal.

L. KOMPLIKASI Pasien dengan trauma medula spinalis sering mengalami cedera multipel. Perlu untuk mempertahankan volume intravaskular dengan aliran darah yang optimal yang ditunjukkan oleh nilai hematokrit antara 30-34%. Hiperpireksia perlu dikontrol secara agresif untuk mencegah cedera spinal lebih lanjut. Terjadinya demam berdasarkan studi berhubungan dengan saluran kencing atau infeksi jaringan ikat.

BAB II KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN 1. Aktifitas /Istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf). 2. Sirkulasi Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat. 3. Eliminasi Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis. 4. Integritas Ego Takut, cemas, gelisah, menarik diri. 5. Makanan /cairan Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik) 6. Higiene Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi). 7. Neurosensori a. Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal). b. Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh). c. Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal. 8. Nyeri /kenyamanan Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral. 9. Pernapasan Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.

10. Keamanan Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar). 11. Seksualitas Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur. (Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan. 2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera. 3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sensorik. 4. Resiko kerusakana integritas kulit berhubungan dengan kerusakan neuromuscular. 5. Konstipasi berhubungan dengan adanya kelemahan neuromuscular. 6. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN NO DIAGNOSA KEPERAWA TAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL (NOC) 1 Ketidak Setelah 1. Kaji kemampuan batuk dan 1. Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk. INTERVENSI (NIC) RASIONAL

efektifan pola dilakukan nafas berhubungan dengan kelemahan. tindakan keperawtan selama x24jam masalah teratasi dengan criteria: 1. Batuk

reproduksi secret.

efektif. 2. Mampu mengel uarkan dahak. 3. AGD dalam batas normal.

2. Pertahankan jalan (hindari fleksi leher, nafas

2. Menutup jalan nafas.

brsihkan sekret) 3. Monitor warna, jumlah dan

3. Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulka n pnemonia.

konsistensi sekret, lakukan kultur. 4. Mendeteksi adanya sekret dalam paruparu. 4. Auskultasi bunyi napas. 5. Meninghkatk an 5. Berikan oksigen dan monitor analisa darah. gas suplai

oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.

6. Mendeteksi adanya 6. Monitor tanda vital infeksi status respirasi. dan

setiap 2 jam dan status

neurologi.

Nyeri berhubungan dengan cedera.

Setelah dilakukan

1. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifi x kasi dan

1. Pasien biasanya melaporkan nyeri tingkat cedera misalnya dada / diatas

agen tindakan keperawatn selama

24jam masalah teratasi dengan criteria: 1. Pasien melapo rkan nyeri berkura ng sampai dengan bias ditolerir . 2. Ekspres i wajah rileks. 3. Kooper atif. 4. Tanda vital dalam batas normal.

menghitung nyeri, misalnya lokasi, nyeri, intensitas pada skala 0 1. 2. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / 2. tipe

punggung atau kemungkinan sakit kepala dari stabilizer. Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak alat

dingin sesuai indikasi. 3. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi

diinginkan pada fungsi

pernafasan 3. Memfokuska

visualisasi, latihan nafas dalam. . 4. kolaborasi pemberian obat sesuai

kembali

perhatian, meningkatka n rasa

kontrol, dan dapat meningkatka n kemampuan koping. 4. Dibutuhkan untuk menghilangk an /nyeri untuk menghilangk an-ansietas dan meningkatka n istrirahat spasme otot,

indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik; antiansietis. misalnya diazepam (valium)

D. ASPEK LEGAL ETIK DAN ADVOKASI Perawat memiliki peran sebagai advokat klien dalam menjalankan tugas keperawatannya, salah satunya yaitu terkait dengan pasien yang memiliki masalah penyakit fraktur servikal. Dalam hal ini perawat bertanggung jawab untuk memberikan informasi menyeluruh terkait dengan penyakit tersebut termasuk alternative tindakan.

Dari segi legal keperawatan, apabila akan dilakukan tindakan keperawatan maupun medis maka harus memintakan inform consent sebelumnya. Dari segi etik keperawatan sebenarnya prinsip etika dapat diterapkan semua dalam setiap kasus, namun disini yang terkait dengan kasus tersebut yaitu : 1. Memberikan kebebasan kepada pasien/keluarga untuk memilih dan memutuskan tindakan yang akan dilakukan. 2. Kejujuran memberikan informasi tentang penyakit dan faktor yang terkait misalnya menyangkut ekonomi keluarga.

E. SATUAN ACARA PENYULUHAN Tema : fraktur servikal

Sub Tema : perawatan dirumah Waktu Sasaran : 30 menit : klien

Tujuan umum: setelah dilakukan penyuluhan selama 30 menit diharapkan klien dapat memahami dan mengerti tentang perawatan dirumah Tujuan khusus: setelah mengikuti penyuluhan diharapkan klien mampu: 1. Menjelaskan perawatan dirumah 2. Menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan Metode Media Evaluasi : ceramah dan demonstrasi : leaflet :

Kegiatan penyuluhan
Kegiatan Pendahuluan

:
Audience - Menjawab salam - Menyimak - Mendengarkan dgn penuh perhatian - Menanyakan hal-hal yang belum jelas - Memperhatikan jawaban dr penyuluh - Tanya jawab - Mendengarkan - Menerima pesan - Menjawab salam 15 menit Waktu 5 menit

Isi

Penyuluh - Salam pembuka, perkenalan - Menjelaskan tujuan penyuluhan - Menyampaikan garis besar materi - Member kesempatan untuk bertanya - Menjawab pertanyaan Evaluasi Menyimpulkan Pesan Penutup

Penutup

10 menit

F. JURNAL Terlampir.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marillyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. (1999). Kapita Selekta Kedokteran (edisi 1). Jakarta: Media Aesculapius

Muscari, Mary E. (2005). Panduan belajar: keperawatan pediatric. Edisi 3. Jakarta: EGC

Purnomo, Basuki B. (2011). Dasar-dasar urologi. Jakarta: CV Sagung Seto

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2001). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner & Suddarth. Volume 2. Edisi 8. Jakarta: EGC

Syaifuddin. (2011). Anatomi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan. Edisi kedua. Jakarta: EGC.

Вам также может понравиться