Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Arsip
Tentang JIL
Program
Kontak
Donasi
Beranda Agenda Buku Reportase Editorial Gagasan Klipping Kolom Pernyataan Pers Suara Mahasiswa Tokoh Wawancara
Gagasan
Agenda
Diskusi Bulanan JIL : Muslim Liberal Memandang Quran Narasumber: Prof. M. Dawam Rahardjo & Ulil Abshar-Abdalla. Moderator: Abdul Moqsith Ghazali. Selasa, 24 September 2013, jam 19.00-21.30 WIB di Teater Utan Kayu Jakarta. Mengaji Pemikiran Syiah Jadwal Tadarus Ramadan JIL 1. Mengaji Kitab al-Kafi Nara Sumber : Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat dan Novriantoni Kahar Moderator : ...
www.islamlib.com/?site=1&aid=1539&cat=content&cid=6&title=tatkala-tuhan-memerintah
1/7
13/10/13
www.islamlib.com/?site=1&aid=1539&cat=content&cid=6&title=tatkala-tuhan-memerintah
2/7
13/10/13
www.islamlib.com/?site=1&aid=1539&cat=content&cid=6&title=tatkala-tuhan-memerintah
3/7
13/10/13
www.islamlib.com/?site=1&aid=1539&cat=content&cid=6&title=tatkala-tuhan-memerintah
4/7
13/10/13
Fondasi utama dalam hukum Islam, sekali lagi, adalah tuntutan, baik secara positif dalam bentuk perintah, atau negatif dalam bentuk larangan. Entah perintah atau larangan hanya bisa diketahui melalui petanda kebahasaan (signifier) yang disebut perintah. Tetapi di sini, muncul pertanyaan: jika suatu ujaran Minumlah! diucapkan oleh seseorang yang derajatnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, apakah ia dengan sendirinya bermakna perintah yang mengharuskan? Ataukah ada makna-makan lain yang dikandungnya? Menurut Al-Razi, sekurang-kurangnya tiga pendapat utama: pendapat pertama, ujaran Lakukanlah atau semacamnya, jika dilepaskan dari konteks apapun, maka ia mengandung makna keharusan (wujub); kedua, ia mengandung makna anjuran saja (nadb); ketiga, kandungan maknanya tak jelas, dan karena itu kita tak bisa memastikannya.Yang paling banyak diikuti oleh para sarjana ushul fiqh adalah pendapat yang pertama. Pandangan yang ketiga memang nampak nihilistis, karena tak memberikan isyarat yang jelas tentang kandungan semantis dari ujaran perintah. Tetapi, kelompok ketiga ini tentu tak hanya berhenti pada sikap nihil yang total. Mereka berpendapat bahwa kandungan semantis suatu perintah hanya bisa diketahui melalui konteksnya. Ia bisa mengandung makna keharusan, atau sekedar anjuran saja, tergantung konteks yang spesifik. Dengan kata lain, perintah Tuhan tidaklah sesuatu yang sederhana. Di dalamnya ada dimensi-dimensi semantis dan kebahasaan yang rumit. Kenapa hal ini terjadi? Saya kira alasannya adalah karena perintah Tuhan disampaikan melalui medium bahasa manusia yang mengandung elemen ambiguitas di dalamnya. Saat Tuhan memakai bahasa manusia, tidak dengan sendirinya watak bahasa itu berubah total hanya gara-gara Dia telah memakainya. Bahasa manusia tetaplah bahasa manusia seperti apa adanya. Pesan Tuhan, dalam bentuk bayan seperti dikatakan Al-Shafii, terpaksa harus tunduk pada hukum-hukum kebahasaan yang terkandung dalam bahasa manusia itu. Usaha para sarjana ushul fiqh untuk memahami firman Tuhan dalam bentuk perintah seperti saya sebutkan di atas, hanyalah cerminan dari usaha manusia untuk menjadikan firman itu bisa masuk akal, dapat dipahami, dalam konteks konvensi kebahasaan yang sudah ada pada bahasa manusia itu sendiri. Di sini berlangsung apa yang pernah disebut oleh Prof. Hamid Abu Zayd sebagai dialektika antara teks dan konteks (jadaliyyat al-nass wa al-waqi). Atau, kita bisa mengatakan: dialektika antara kehendak Tuhan dan realitas empiris dalam sejarah manusia; dialektika antara yang transenden dan immanen. Saya hanya mengambil sampel kecil saja dari sejumlah tema yang dibahas dalam ushul fiqh, yaitu tema tentang perintah. Sebab inilah fondasi hukum agama sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam selama ini. Sampel kecil ini memperlihatkan suatu watak penting dalam teks Kitab Suci. Kaum fundamentalis agama, pada umumnya, memandang teks agama sebagai sesuatu yang transparan, tembus pandang, tanpa mengandung ambiguitas dan keremang-remangan sedikitpun. Prinsip yang kerap dipakai oleh kelompok fundamentalis dalam agama apapun adalah apa yang disebut perspicuitas: bahwa Kitab Suci sudah terang-benderang maknanya. Prinsip ini pertama kali dikenalkan oleh para kaum reformis Protestan pada abad ke-16. Prinsip ini, meskipun dikemukakan pertama-partama oleh kalangan Protestan, tetapi ia ada sebagai tendensi yang dominan dalam hampir semua gejalan keagamaan yang fundamentalistis dalam agama manapun. Asumsi yang terkandung di balik prinsip perspikuitas ialah bahwa teks agama tak bisa ditafsirkan dengan cara yang beragam. Makna teks agama sudah jelas, seperti kaca tembus pandang, hanya satu saja. Keragaman pemahaman harus diusir jauh-jauh. Kesatuan makna dalam sebuah teks dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk menjamin kesatuan sosiologisempiris, yakni kesatuan umat Islam. Keragaman pemahaman akan mengancam kesatuan semacam itu. Sebagaimana kita lihat dalam pembahasan mengenai tema perintah dalam ushul fiqh, kita melihat sautu petualangan hermeneutis yang dilakukan oleh sarjana ushul fiqh untuk memahami kandungan semantis dari ujaran yang sederhana, Lakukanlah!, ujaran yang mengandung pengertian perintah atau tuntutan (thalab). Hasil petualangan mereka ini menghasilkan khazanah intelektual yang sangat menarik sekali, serta membawa pesan yang sangat sederhana: betapa tak sederhananya perkara perintah Tuhan itu. Ini terjadi karena perintah Tuhan terperangkap dalam formula kebahasaan yang bersumber dari konvensi masyarakat manusia, dengan seluruh kerumitan di dalamnya, juga evolusi di dalamnya yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, Tuhan memerintah manusia, melalui medium bahasa, dengan cara yang ternyata tak sederhana. Manusia harus merumuskan skema tertentu agar perintah itu bisa dipahami dengan masuk akal. Apa yang berasal dari Tuhan kemudian juga harus dioleh melalui suatu medium
www.islamlib.com/?site=1&aid=1539&cat=content&cid=6&title=tatkala-tuhan-memerintah
5/7
13/10/13
Tulis Komentar
mempelajari dan mengotak-atik bahasa dari kalam ilahi boleh-boleh saja, karena hal tersebut adalah khasanah keilmuan yang Allah turunkan ke sebagian orang untuk saling tukar pemikiran. tapi jangan melupakan dan menyimpangkan dari tujuan kalam ilahi yaitu menjadikan diri kita semakin taqwa dan beribadah kepada-Nya. #1. ahmad at 2012-03-11 19:31:23 saya memahami betapa sulitnya menyederhanakan tulisan diatas dlm bahasa yg lbh mudah dipahami, sehingga tdk terjadi komen2 yg tdk nyambung :) #2. zz at 2011-12-28 18:37:21 Khitob ataupun kalam Tuhan tidak dengan huruf dan tidak pula dengan suara. #3. Fadhiel at 2011-12-11 13:44:33 aduh saya bingung, ikut aja ajaran syekh siti jenar aja #4. paijanmoko at 2011-10-10 14:14:19 Sesungguhnya firman Allah SWT itu tidaklah rumit atau sulit seperti saudara Ulil Abshar-Abdalla katakan, yang mempersulit sesungguhnya adalah penafsiran manusia itu sendiri, karena dalam menafsirkan sesuatu, manusia lebih didasari atas egoisitasnya, yaitu demi kepentingan bersama manusia itu sendiri atau demi kepentingan individu manusia itu. Mungkin saudara Ulil Abshar-Abdalla perlu lebih memperluas wawasannya, khususnya dalam menafsirkan firman2 atau perintah2 Allah SWT. Karena hasil dari suatu penafsiran akan menimbulkan persepsi dan dengan persepsi tersebut menimbulkan suatu sugesti. Sebagai contoh, seorang kapala suku yang kanibal menafsirkan bahwa dengan memakan daging musuhnya akan menambah kekuatannya ataupun akan mendapatkan pengakuan keangkeran dari perbuatannya sehingga dia lebih disegani atau ditakuti, tentu para petarung lainnya yang melihat hal itu benar terjadi ditengah masyarakat, akan melakukan tindakan yang sama, agar mendapatkan pengakuan yang serupa, dalam proses ini timbullah suatu persepsi, bahwa mengalahkan seorang musuh itu adalah wajar, namun dengan memakan daging musuhnya adalah hal yang dianggap lebih hebat, sementara ditengah masyarakat timbul suatu segesti bahwa dengan ikut mamakan daging musuh petarung akan bertambah pula kekuatan atau kehebatan orang itu. Banyak contoh yang diperlihatkan Allah SWT kepada kita, diatas bumi ciptaan-Nya ini, mulai kisah anak Nabi Adam as hingga kisah2 disekitar kita. Terakhir saya berharap kepada saudara Ulil Abshar-Abdalla sebagai saudara seaqidah, bahwa janganlah dengan ketinggian ilmu pengetahuan yang saudara miliki, justru mengakibatkan kedangkalan keimanan diri kita. Saya banyak mendengar dan melihat orang yang selalu berucap syukur, namun selalu diikuti dengan kata "tapi" yang condong pada kalimat keluhan yang melunturkan hakikat kata syukur itu. C ontoh "Alhamdulillah, hari ini saya dapat upah Rp 20.000,-, tapi kalau begini terus kapan saya bisa beli motor atau yang lainnya", menurut saya yang terbaik adalah dengan mengatakan "Alhamdulillah, hari ini saya mendapatkan rezeki dari Allah SWT, rp 20.000,-, Insya Allah esok dengan ikhtiar yang lebih kuat lagi saya akan mampu menabung untuk beli motor". Untuk memperjelas, Hakikat yang terkandung dalam uraian saya diatas adalah, Janganlah kita mempolitisir firman atau perintah Allah SWT dengan membuat argumentasi2 yang justru akan menyesatkan umat akibat argument kita. Yang harus kita pikirkan adalah dampak dari argumant kita bagi umat. Dari suadara seaqidahmu yang terus belajar hingga akhir hayatnya. Wassalam #5. Andi Asrul at 2011-10-07 09:26:36 Lihat Komentar Lainnya
www.islamlib.com/?site=1&aid=1539&cat=content&cid=6&title=tatkala-tuhan-memerintah
6/7
13/10/13
www.islamlib.com/?site=1&aid=1539&cat=content&cid=6&title=tatkala-tuhan-memerintah
7/7