Вы находитесь на странице: 1из 8

Alat Musik dalam Pandangan Ulama Syafii

17 September Kategori: Umum Dilihat: 21479

Sebagian orang mengira alat musik itu haram karena klaim sebagian kalangan saja. Padahal sejak masa silam, ulama madzhab telah menyatakan haramnya. Musik yang dihasilkan haram didengar bahkan harus dijauhi. Alat musiknya pun haram dimanfaatkan. Jual beli dari alat musik itu pun tidak halal. Kali ini kami akan buktikan dari madzhab Syafii secara khusus karena hal ini jarang disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Padahal sudah ada di kitab-kitab pegangan mereka. Terlebih dahulu kita lihat bahwa nyanyian yang dihasilkan dari alat musik itu haram. Al Bakriy Ad Dimyathi berkata dalam Ianatuth Tholibin (2: 280),

- - .
Berbeda halnya dengan suara yang dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram seperti watr, nyanyian seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj karya Ibnu Hajar Al Haitami disebutkan ,

( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( )
Thunbur dan alat musik semacamnya, begitu pula setiap alat maksiat seperti salib dan kitab (maksiat), tidak boleh diambil manfaatnya. Jika dikatakan demikian, berarti alat musik tidak boleh dijualbelikan. Jual belinya berarti jual beli yang tidak halal.

Dalam kitab karya Al Khotib Asy Syarbini yaitu Mughni Al Muhtaj disebutkan,

( ( ( ( ( ( ( ( ) ( ( ( )
Berbagai alat musik seperti at thunbuur tidak wajib ada ganti rugi ketika barang tersebut dirusak. Karena barang yang diharamkan pemanfaatannya tidak ada kompensasi sama sekali ketika rusak. Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa alat musik adalah alat yang haram. Konsekuensinya tentu haram diperjualbelikan.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja) halaman 330 karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Al Hushniy Ad Dimasyqi Asy Syafii ketika menjelaskan perkataan Abu Syuja bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin memaparkan bahwa jika seseorang mengambil harta dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:


Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syari. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahlu maksiat.

Ini perkataan ulama Syafiiyah yang bukan kami buat-buat. Namun mereka menyatakan sendiri dalam kitab-kitab mereka. Intinya, musik itu haram. Alat musik juga adalah alat yang haram. Pemanfaatannya termasuk diperjualbelikan adalah haram. Artinya, upah yang dihasilkan adalah upah yang haram. Penjelasan ini pun dapat menjawab bagaimana hukum shalawatan dan nasyid dengan menggunakan alat musik. Silakan direnungkan!

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Artikel menarik sebagian bahan kajian lebih jauh tentang musik: Saatnya Meninggalkan Musik.

Hukum Menyanyi dan Musik dalam Islam


17.10 SKI FISIP UNAIR No comments Tidak dapat dipungkiri, musik sangat dekat dengan kehidupan kita, apalagi kita sebagai anak muda. Hampir semua remaja menyukai musik, tidak terkecuali kita. Namun, kita sering mendengar orang bilang "musik itu haram" atau "nyanyi itu haram". Lho, terus gimana, dong? Kita kan suka banget dengerin musik, tapi kita juga nggak mau melanggar larangan agama. Nah, bagaimana sebenarnya hukum musik dan bernyanyi dalam Islam?

1. Melantunkan Nyanyian (al-Ghina / at-Taghanni) Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mumin al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathii lin-Niza bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina wa Tahrim Istima Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97101):

A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian: a. Berdasarkan firman Allah: Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan. (Qs. Luqmn [31]: 6) Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Masud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isr [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-Ilam bi Anna al-Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22). b. Hadits Abu Malik Al-Asyari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-maazif). [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590]. c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya. Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih]. d. Hadits dari Ibnu Masud ra, Rasulullah Saw bersabda: Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang. [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].

e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda: Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti. [HR. Ibnu Abid Dunya.]. f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).

B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian: a. Firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas. (Qs. al-Midah [5]: 87). b. Hadits dari Nafi ra, katanya: Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu? sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw. [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi]. c. Rubai Binti Muawwidz Bin Afra berkata: Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Maka Nabi Saw bersabda: Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi. [HR. Bukhari, dalam Fth al-Br, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra]. d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda: Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan. [HR. Bukhari]. e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syiir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: Aku pernah bersyiir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw) [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

Hukum Mendengarkan Nyanyian a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama al-Ghina) Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina) dengan mendengar lagu (sama al-ghina). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-l (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara (at-taqayyud bi al-hukm asy-syari). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-l jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-l jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat,

membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-l jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan: Al-ashlu fi al-afl aljibiliyah al-ibahah Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah. (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, AlKhalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96). Maka dari itu, melihat sebagai perbuatan jibiliyyah hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram. Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar maruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, Saya akan membunuh si Fulan! Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar maruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya. Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar maruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda: Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman. [HR. Imam Muslim, anNasai, Abu Dawud dan Ibnu Majah].

b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima al-Ghina) Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama al-ghina). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima li al-ghina). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama) dengan mendengar-interaktif (istima). Mendengar nyanyian (sama al-ghina) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima li al-ghina, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama al-ghina) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima al-ghina) bukan perbuatan jibiliyyah. Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut. Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima al-ghina) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman: Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya. (Qs. an-Nis [4]: 140).

Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan. (Qs. al-Anm [6]: 68).

2. Hukum Memainkan Alat Musik Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw: Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal). [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-Ilam bi Anna al-Azif wa alGhina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24). Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dhaif. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan: Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak. (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57). Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

3. Hukum Mendengarkan Musik a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live) Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram. Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).

b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asySyuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut. Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-y) dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya yaitu mubah.

Kaidah syariyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan: Al-ashlu fi al-asy-y al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76). Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syariyah menetapkan: Al-wasilah ila al-haram haram Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga. (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah adDustur, hal. 86).

4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami Setelah berbagai hukum dijabarkan seperti di atas, maka didapat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami): 1). Musisi/Penyanyi a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / maruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler. b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya. c) Tidak menyalahi ketentuan syara, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2). Instrumen/Alat Musik Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah: a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat. b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim. Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 3). Syair Berisi:

Amar maruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya. Berisi ibrah dan menggugah kesadaran manusia. Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama. Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Tidak berisi:

Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi maruf (mencela jilbab,dsb). Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Quran. Berisi bius yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah. Ungkapan yang tercela menurut syara (porno, tak tahu malu, dan sebagainya). Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. 4). Waktu Dan Tempat

Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya. Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib). Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat). Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur). Demikian, semoga bermanfaat... Re-post dari konsultasi.wordpress.com

Вам также может понравиться