Вы находитесь на странице: 1из 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan multi etnik dan multi sosial budaya serta berbagai perbedaan pandangan politik sempit yang diperberat dengan adanya krisis multi dimensi. Keragaman tersebut berpotensi menimbulkan koflik dengan kekerasan yang berdampak adanya masalah kesehatan. Konflik dengan kekerasan menyebabkan terjadinya kedaruratan kompleks yang merupakan bencana karena ulah manusia termasuk masalah kesehatan yang timbul secara mendadak (akut) yang ditandai dengan jatuhnya korban manusia. Sehingga penanggulangan masalah kesehatan akibat kedaruratan kompleks memerlukan keterpaduan dan kerjasama dengan lintas program dan lintas sektor. Rumah sakit merupakan tempat kerja yang unik dan kompleks untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Semakin luas pelayanan kesehatan dan fungsi rumah sakit tersebut, maka akan semakin komplek peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan. Kerumitan tersebut menyebabkan rumah sakit mempunyai potensi bahaya yang sangat besar, tidak hanya bagi pasien dan tenaga medis, tetapi juga pengunjung rumah sakit. Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Oleh karena itu, sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upayaupaya K3 di RS. Selain itu, agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Maka Rumah Sakit (RS) juga termasuk dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS. Segala hal yang menyangkut penyelenggaraan K3 di rumah sakit diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 432 tentang Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit termasuk pengertian dan ruang lingkup kesehatan dan keselamatan kerja di Rumah Sakit. a. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja 1) Kesehatan Kerja Menurut WHO / ILO (1995) Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya. Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya. 2) Kesehatan dan keselamatan kerja Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan

penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. 3) Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit adalah upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja rumah sakit yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit. b. Ruang Lingkup 1) Prinsip, Kebijakan Pelaksanaan dan Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) a) Prinsip K3RS Agar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) dapat dipahami secara utuh, perlu diketahui pengertian 3 komponen yang saling berinteraksi, yaitu : (1) Kapasitas kerja adalah status kesehtan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. (2) Beban kerja adalah beban fisik dan mental yang harus ditanggung oleh pekerja dalam melaksankan tugasnya. (3) Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang pekerja b) Program K3RS Program K3 di rumah sakit bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas pekerja, melindungi keselamatan pasien, pengunjung, dan masyarakat serta lingkungan sekitar Rumah Sakit. Kinerja setiap petugas petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga komponen yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. Program K3RS yang harus diterapkan adalah : (1) Pengembangan kebijakan K3RS (2) Pembudayaan perilaku K3RS (3) Pengembangan Sumber Daya Manusia K3RS

(4) Pengembangan Pedoman dan Standard Operational Procedure (SOP) K3RS (5) Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja (6) Pelayanan kesehatan kerja (7) Pelayanan keselamatan kerja (8) Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair, gas (9) Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya (10) Pengembangan manajemen tanggap darurat (11) Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan kegiatan K3 (12) Review program tahunan c) Kebijakan pelaksanaan K3 Rumah sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila rumah sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu perlu dilaksanakan kebijakan sebagai berikut : (1) Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit (2) Menyediakan Organisasi K3 di Rumah Sakit sesuai dengan Kepmenkes Nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit (3) Melakukan sosialisasi K3 di rumah sakit pada seluruh jajaran rumah sakit (4) Membudayakan perilaku k3 di rumah sakit (5) Meningkatkan SDM yang professional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di rumah sakit (6) Meningkatkan Sistem Informasi K3 di rumah sakit 2) Standar Pelayanan K3 di Rumah Sakit Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu melibatkan berbagai komponen yang ada di rumah sakit. Pelayanan K3 di rumah sakit sampai saat ini dirasakan belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih

banyak rumah sakit yang belum menerapkan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan kerja (SMK3). a) Standar Pelayanan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit Setiap Rumah Sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan kerja seperti tercantum pada pasal 23 UU kesehatan no.36 tahun 2009 dan peraturan Menteri tenaga kerja dan Transmigrasi RI No.03/men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja. Adapun bentuk pelayanan kesehatan kerja yang perlu dilakukan, sebagai berikut : (1) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebekum kerja bagi pekerja (2) Melakukan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang

kesehatan kerja dan memberikan bantuan kepada pekerja di rumah sakit dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental terhadap pekerjanya. (3) Melakukan pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus sesuai dengan pajanan di rumah sakit (4) Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik pekerja (5) Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi pekerja yang menderita sakit (6) Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah sakit yang akan pension atau pindah kerja (7) Melakukan koordinasi dengan tim Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi mengenai penularan infeksi terhadap pekerja dan pasien (8) Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja (9) Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang berkaitan dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran

terhadap faktor fisik, kimia, biologi, psikososial, dan ergonomi) (10) Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan kesehatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja Rumah Sakit

b) Standar pelayanan Keselamatan kerja di Rumah Sakit Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan sarana, prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan keselamatan kerja yang dilakukan : (1) Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana,

prasarana, dan peralatan kesehatan (2) Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap pekerja (3) Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja (4) Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair (5) Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja (6) Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja (7) Member rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait keselamatan/keamanan (8) Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya (9) Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan Kebakaran (MSPK) (10) Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja kerja Rumah Sakit 3) Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit Sarana didefinisikan sebagai segala sesuatu benda fisik yang dapat tervisualisasi oleh mata maupun teraba panca indera dan dengan mudah dapat dikenali oleh pasien dan umumnya merupakan bagian dari suatu bangunan gedung (pintu, lantai, dinding, tiang, kolong gedung, jendela) ataupun bangunan itu sendiri. Sedangakan prasarana adalah seluruh jaringan/instansi yang membuat suatu sarana bisa berfungsi sesuai dengan tujuan yang diharapkan, antara lain : instalasi air bersih dan air kotor, instalasi listrik, gas medis, komunikasi, dan pengkondisian udara, dan lainlain.

4) Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya Barang Berbahaya dan Beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. a) Kategori B3 Memancarkan radiasi, Mudah meledak, Mudah menyala atau terbakar, Oksidator, Racun, Korosif, Karsinogenik, Mutagenic, Arus listrik. b) Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3 (1) Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk mengenal ciri-ciri dan karakteristiknya. (2) Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi (3) Pengendalian sebagai alternatif berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang dilakukan meliputi pengendalian operasional, pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur dan proses kerja yang aman, pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang. (4) Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya c) Pengadaan Jasa dan Bahan Berbahaya Rumah sakit harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan barang yang diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta memberikan proposal berikut company profile. Informasi yang diperlukan menyangkut spesifikasi lengkap dari material atau produk, kapabilitas rekanan, harga, pelayanan, persyaratan K3 dan lingkungan serta informasi lain yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Setiap unit kerja/instalasi/satker yang menggunakan, menyimpan, mengelola B3 harus menginformasikan kepada instalasi logistic Iritasi, Teratogenik,

sebagai unit pengadaan barang setiap kali mengajukan permintaan bahwa barang yang diminta termasuk jenis B3. Untuk memudahkan melakukan proses seleksi, dibuat form seleksi yang memuat kriteria wajib yang harus dipenuhi oleh rekanan serta sistem penilaian untuk masing-masing criteria yang ditentukan. 5) Standar SDM K3 di Rumah Sakit Kriteria tenaga K3 a) Rumah Sakit Kelas A (1) S3/S2 K3 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (2) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (3) Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran Okupasi minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (4) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (5) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (6) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (7) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 2 orang (8) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang (9) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 2 orang

b) Rumah Sakit Kelas B (1) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS (2) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (3) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (4) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal) yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang (5) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang (6) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang (7) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang c) Rumah Sakit kelas C (1) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (2) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS (3) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang (4) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang

6) Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan a) Pembinaan dan pengawasan Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang. Pembinaan dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Pembinaan dapat dilaksanakan antara lain dengan melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan temu konsultasi. Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan internal, yang dilakukan oleh pimpinan langsung rumah sakit yang bersangkutan, dan pengawasan eksternal, yang dilakukan oleh Menteri kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. b) Pencatatan dan pelaporan Pencatatan dan pelaporan adalah pendokumentasian kegiatan K3 secara tertulis dari masing-masing unit kerja rumah sakit dan kegiatan K3RS secara keseluruhan yang dilakukan oleh organisasi K3RS, yang dikumpulkan dan dilaporkan /diinformasikan oleh organisasi K3RS, ke Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait di wilayah Rumah Sakit. Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah menghimpun dan menyediakan data dan informasi kegiatan K3, mendokumentasikan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan K3; mencatat dan melaporkan setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun dan melaksanakan pelaporan kegiatan K3. Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan tahunan) dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan pelaporan sesaat/insidentil, yaitu pelaporan yang dilakukan sewaktuwaktu pada saat kejadian atau terjadi kasus yang berkaitan dengan K3. Sasaran kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah mencatat dan melaporkan pelaksanaan seluruh kegiatan K3, yang tercakup di dalam : (1) Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan lingkungan rumah sakit.

10

(2) Kejadian/kasus

yang

berkaitan

dengan

K3

serta

upaya

penanggulangan dan tindak lanjutnya.

2.2 Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit a. Pengertian Manajemen K3 RS Manajemen K3 RS merupakan upaya terpadu dari seluruh SDM RS, pasien, serta pengunjung atau pengantar orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja RS yang sehat, aman dan nyaman termasuk pemukiman masyarakat sekitarnya. b. Sistem Manajemen K3 RS SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen yang meliputi: struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, prosedur, sumber daya, dan

tanggungjawab organisasi. Tujuan dari SMK3 RS adalah menciptakan tempat kerja yang aman dan sehat supaya tenaga kerja produktif disamping dalam rangka akreditasi rumah sakit itu sendiri. Prinsip yang digunakan dalam SMK3 adalah AREC (Anticipation, Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan dan lingkungan kerja. c. Langkah manajemen: 1) Komitmen dan Kebijakan Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya program K3 di RS. Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam struktur organisasi RS. Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS, perlu disusun strategi antara lain : a) Advokasi sosialisasi program K3 RS. b) Menetapkan tujuan yang jelas. c) Organisasi dan penugasan yang jelas. d) Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 RS pada setiap unit kerja di lingkungan RS. e) Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak

11

f) Kajian risiko (risk assessment) secara kualitatif dan kuantitatif g) Membuat program kerja K3 RS yang mengutamakan upaya peningkatan dan pencegahan. h) Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala. 2) Perencanaan RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan meliputi: a) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko. Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan penilaian faktor risiko merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan. Pengendalian faktor risiko di RS dilaksanakan melalui 4 tingkatan yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana atau peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah bahkan tidak ada risiko sama sekali, administrasi, dan alat pelindung pribadi (APP). b) Membuat peraturan. Peraturan yang dibuat tersebut merupakan Standar Operasional Prosedur yang harus dilaksanakan, dievaluasi, diperbaharui, serta harus dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada karyawan dan pihak yang terkait. c) Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian) d) Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan

pencapaian SMK3 RS. e) Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan dicatat serta dilaporkan.

12

3) Pengorganisasian Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin. a) Tugas pokok unit pelaksana K3 RS 1) Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3. 2) Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan prosedur. 3) Membuat program K3 RS b) Fungsi unit pelaksana K3 RS 1) Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta permasalahan yang berhubungan dengan K3. 2) Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS. 3) Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3. 4) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif. 5) Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS. 6) Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan. 7) Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan sesuai kegiatannya. 8) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,

pembangunan gedung dan proses.

2.3 Struktur Organisasi K3 di RS Berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 432 tahun 2007 bahwa Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur, bukan kerja rangkap dan merupakan unit organisasi yang bertanggung jawab langsung kepada

13

Direktur RS. Hal ini dikarenakan organisasi K3 RS berkaitan langsung dengan regulasi, kebijakan, biaya, logistik dan SDM di rumah sakit. Nama organisasinya adalah unit pelaksana K3 RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS. Keanggotaan: a. Unit pelaksana K3 RS beranggotakan unsur-unsur dari petugas dan jajaran direksi RS. Akan sangat efektif bila ada yang berlatarbelakang pendidikan K3. b. Unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan anggota. Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris serta anggota. c. Ketua unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu manajemen tertinggi di RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung direktur RS. d. Sedang sekretaris unit pelaksana K3 RS adalah seorang tenaga profesional K3 RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3 (berlatarbelakang pendidikan K3).

14

BAB III ISI DAN PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus a. Kasus 1 Jakarta, bagi para perawat, bekerja di klinik kanker butuh kehati-hatian ekstra. Sedikit saja kesalahan tidak hanya membahayakan pasien, tetapi juga diri sendiri karena kontak langsung dengan obat-obat kemoterapi dapat menyebabkan keracunan. Para peneliti dari University of Michigan mengungkap, kontak langsung dengan kulit atau mata bisa membuat obat-obat kemoterapi atau obat kanker bisa terserap oleh tubuh. Bagi para perawat yang setiap hari menangani obat-obatan tersebut, hal ini bisa berdampak serius. Paparan obat kemoterapi yang tidak disengaja bisa membuat para perawat mengalami gangguan sistem saraf dan reproduksi. Bahkan saat baru terserap dan masuk ke sistem peredaran darah, racun-racun tesebut juga sudah bisa memicu risiko kanker darah. "Kontak apapun di permukaan kulit atau mata sama bahayanya dengan tertusuk jarum suntik. Untuk kecelakaan jarum suntik, perawat biasanya langsung mendapat pemeriksaan namun pada obat-obat kemoterapi jarang diperhatikan," ungkap salah seorang peneliti, Dr Christopher Friese seperti dikutio dari MSN Health, Rabu (24/8/2011). Penelitian yang dilakukan Dr Friese dan timnya menunjukkan, 17 persen perawat yang bekerja di klinik kanker mengaku pernah terlibat kontak langsung dengan obat kemoterapi baik di kulit maupun mata. Data ini diperoleh setelah mensurvei 1.339 perawat di seluruh Amerika. Lembaga keselamatan dan kesehatan kerja di Amerika Serikat sebenarnya sudah punya panduan tentang cara penanganan obat kanker yang aman. Namun karena sifatnya tidak diwajibkan, hanya sebagian saja perawat yang sudah menerapkan panduan tersebut sedangkan sisanya kurang mematuhinya. Salah satu imbauan yang tercantum dalam panduan tersebut adalah, para perawat yang menangani obat-obat kemoterapi harus memakai perlengkapan tertentu untuk melindungi dirinya. Perlengkapan itu terdiri dari sarung tangan dan juga gaun khusus untuk melindungi tubuh dari tumpahan obat.

15

b. Kasus 2 Jakarta, di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa datang dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satu profesi yang rentan mengalami gangguan reproduksi akibat penggunaan bahan-bahan tersebut adalah tenaga kesehatan. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr Astrid W Sulistomo, MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan keselamatan kerja) mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Pada ibu hamil, risikonya adalah kelainan kongenital atau pertumbuhan struktur organ pada janin. Ancaman bagi kehamilan juga bisa datang dari pejanan obat-obat kanker atau antineoplastik dalam waktu yang lama dan terus menerus. Selain memicu kelainan kongenital seperti halnya gas anestesi, obat-obat antineoplastik juga bisa memicu keguguran atau abortus spontan. "Menurut penelitian, pekerja di sektor kesehatan dan manufaktur paling rentan mengalami gangguan reproduksi. Khusus di negara berkembang, yang paling rentan adalah pertanian akibat penggunaan pestisida," ungkap Dr Astrid dalam seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat Kerja di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (1/3/2011). Selain akibat pejanan bahan-bahan kimia, Dr Astrid mengatakan ancaman di tempat kerja bisa datang dari pejanan fisik seperti suhu yang terlalu panas. Pejanan fisik berupa temperatur tinggi antara lain mengancam para pekerja di peleburan baja, tukang las dan koki atau juru masak. Risikonya memang lebih banyak mengancam pria, antara lain memicu ketidaksuburan atau oligospermia serta menurunkan libido atau gairah seks. Namun ada juga pejanan fisik yang mengancam wanita, misalnya getaran mesin yang bisa memicu keguguran atau kelahiran prematur. Meski demikian Dr Astrid mengatakan tidak semua risiko tersebut didukung dengan bukti ilmiah yang kuat, beberapa di antaranya masih berupa dugaan. Misalnya gas anestesi, pengaruhnya terhadap kesehatan reproduksi masih inkonklusif atau belum disimpulkan sementara obat antineoplastik pengaruhnya sudah didukung bukti kuat.

16

c. Kasus 3 Taiwan, sebanyak 5 orang penerima donor organ di 2 rumah sakit terkemuka Taiwan tengah diambang terinfeksi virus HIV (Human

Imunodeficiency Virus) setelah sang pendonor organ belakangan diketahui sebagai penderita HIV positif. Kelima orang tersebut melakukan transplantasi organ (cangkok organ tubuh) di 2 rumah sakit terbaik di Taiwan pada 24 Agustus 2011. Empat orang melakukan transplantasi organ di National Taiwan University Hospital (NTUH) dan 1 orang lagi di National Cheng Kung University Hospital untuk transplantasi jantung. Kasus transplantasi organ dari penderita HIV ini membikin geger Taiwan dan kalangan medis dunia. Departemen kesehatan Taiwan melakukan investigasi khusus untuk mengungkap kasus tersebut dan menyelamatkan 5 orang yang kemungkinan besar terkena HIV tersebut. Hasil penyelidikan sementara Departemen Kesehatan Taiwan, kesalahan fatal tersebut akibat human error (kesalahan manusia). Salah seorang petugas yang ikut dalam proses transplantasi tersebut salah mendengar informasi yang diberikan melalui telpon tentang hasil tes darah si pendonor organ. Petugas tersebut percaya ia mendengar kata dalam bahasa Inggris 'non reaktif' dari hasil tes standar si pendonor organ, padahal yang sebenarnya diberitahukan adalah kata 'reaktif'. Informasi tentang hasil tes yang diberikan melalui telpon itu juga tidak diperiksa lagi seperti yang dipersyaratkan dalam prosedur standar. Kemudian hasil tes tidak dikonfirmasikan lagi dengan tim dokter yang akan melakukan transplantasi. "Kami sangat meminta maaf atas kesalahan itu," bunyi pengumuman rumah sakit itu seperti dilansir dari focustaiwannewschannel, Minggu (4/9/2011). Pejabat departemen kesehatan Taiwan Shih Chung-liang mengatakan akan melihat kesalahan dan memutuskan hukuman kepada rumah sakit tersebut. Jika ditemukan kelalaian yang telah menyebabkan kesalahan fatal itu, rumah sakit mungkin harus menghentikan program transplantasi selama satu tahun di samping denda yang akan diberikan. Si pendonor organ adalah seorang pria berusia 37 tahun yang mengalami koma setelah jatuh dari ketinggian pada 24 Agustus 2011. Si pendonor memang

17

telah mendaftarkan untuk donor organ dengan memberikan jantung, hati, paruparu dan 2 ginjalnya yang oleh rumah sakit ditranplantasikan pada hari yang sama. Kepala departemen kesehatan kota Hsinchu, Ke-wu yao mengecam transplantasi yang dilakukan rumah sakit itu sebagai kelalaian yang mengerikan. Kota Hsinchu adalah tempat tinggal si pendonor tersebut. Ke-wu yao mengatakan rumah sakit bisa menghindari kesalahan tersebut dengan meminta riwayat medis si pendonor di kota asalnya. Ke-wu yao mengatakan ke-5 orang penerima donor organ itu sangat mungkin tertular HIV. Dan pengobatan untuk mereka akan semakin rumit karena selain minum obat-obatan transplantasi untuk menghindari penolakan terhadap organ baru, mereka juga harus minum obat untuk HIV. Kekhawatiran juga terjadi pada petugas medis yang melakukan operasi transplantasi tersebut. Beberapa dokter dan perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan di ambang kepanikan. National Taiwan University Hospital adalah salah satu rumah sakit terbaik dan sangat dipercaya di Taiwan terutama dalam operasi transplantasi organ. Rumah sakit tersebut telah berdiri sejak tahun 1895 dan menjadi pusat riset medis yang sangat disegani.

3.2 Pembahasan Kasus Dari ketiga kasus diatas, jelas terlihat bahwa bahaya potensial di rumah sakit selalu bisa terjadi. Bahaya potensial tersebut dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi warga rumah sakit, yaitu pekerja medis, non medis, pasien bahkan pengunjung dan pengantar pasien. Bahaya potensial di rumah sakit berkaitan dengan : 1. Faktor biologik (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien), 2. Faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun gterus menerus seperti antiseptik pada kulit, gas anestasi pada hati), 3. Faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah), 4. Faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem pemroduksi darah), dan

18

5. Faktor psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien, gawat darurat dan bangsal penyakit jiwa). Dalam kasus pertama dan kedua telah dijelaskan bahwa ada

kecenderungan dari faktor kimia berupa obat kemoterapi, obat antineoplastik dan gas anestesi dapat memberikan dampak kesehatan bagi petugas kesehatan. Efek toksik dari obat kemoterapi adalah berupa keracunan yang dapat memberikan dampak negatif pada sistem saraf bahkan dapat memicu risiko kanker darah apabila obat tersebut telah memasuki sirkulasi darah. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, obat kemoterapi ternyata juga termasuk dalam B3 (Barang Berbahaya dan Beracun) karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat terkena paparan obat kemoterapi melalui kontak langsung dengan kulit dan mata secara terus menerus saat melayani pasiennya. Oleh karena itu, penggunaan APD berupa perlengkapan yang terdiri dari sarung tangan serta gaun dan kacamata khusus sangat dianjurkan untuk melindungi petugas kesehatan yang pekerjaannya sangat terkait dengan pemakaian obat kemoterapi. Efek toksik dari pejanan gas lain, yaitu berupa gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Selain itu, obat antineoplastik juga dijelaskan dapat memicu keguguran maupun abortus spontan pada pekerja wanita yang hamil. Kasus banyak terpaparnya tenaga kesehatan di rumah sakit terhadap obat kemoterapi dan bahan kimia lain yang bersifat karsinogenik tersebut harusnya sudah menjadi sorotan SMK3 di Rumah Sakit (klinik kanker). Hal ini sangat penting terutama apabila tingkat risiko keterpaparan bahan kimia merupakan hal yang memiliki bahaya potensial tinggi. Sehingga kasus yang terkait dengan kecelakaan kerja ini semakin urgent untuk cepat diselesaikan. Kecelakaan kerja di rumah sakit selain disebabkan beberapa faktor diatas, juga dapat terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan kesalahan prosedur dari pekerja itu sendiri, yaitu seperti yang telah dijelaskan dalam kasus 3. Akibat

19

komunikasi yaitu penerimaan informasi tentang hasil tes yang salah, proses transplantasi organ terhadap pasien yang awalnya diperkirakan sukses ternyata terdapat kesalahan yang fatal. Rumah sakit tersebut tidak menjalankan prosedur standar yang telah disyaratkan seperti meminta riwayat medis si pendonor organ. Bahkan kesalahan tersebut dapat menimbulkan pasien mengidap penyakit HIVAIDS yang sebelumnya tidak ia derita. Kekhawatiran (efek psikologis) yang ditimbulkan dari kesalahan kinerja tersebut tidak hanya terjadi pada pasien tetapi juga terjadi pada petugas medis yang melakukan operasi transplantasi pada kasus 3 diatas. Beberapa dokter dan perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan kepanikan. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa virus HIV-AIDS dapat ditularkan melalui cairan tubuh (dalam kasus ini adalah darah) sehingga kemungkinan dokter dan perawat tersebut tertular HIV-AIDS meningkat. Selain contoh-contoh kasus diatas, masalah dalam pelaksanaan K3 di rumah sakit saat ini masih banyak. Masalah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari peran SMK3 di lingkup Rumah Sakit. Maka sudah seharusnya pihak SMK3 di rumah sakit mengetahui akan bahaya potensial yang ada di rumah sakitnya. Selain itu, SMK3 harus mencanangkan dan menjalankan upaya pengendalian bahaya. Pengendalian bahaya dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi setelah identifikasi bahaya potensial di RS untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi. Setelah melakukan evaluasi, pihak SMK3 juga memerlukan upaya pengendalian sebagai alternatif pemecahan masalah berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang dilakukan. Upaya pengendalian meliputi pengendalian operasional, pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur dan proses kerja yang aman, dan pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya. Penyelesaian masalah penyelenggaraan K3 di rumah sakit juga dapat efektif jika SMK3 melakukan risk assesment terlebih dahulu terhadap kasus.

20

Setelah itu, maka kebijakan yang sudah terencana dapat diberlakukan sesuai dengan hasil assesment. Penentuan kebijakan yang baik dan efektif juga harus disertai dengan pembuatan program yang mendukung kebijakan itu sendiri. Hal yang tak kalah penting adalah sosialisasi terhadap target yang bersangkutan seperti tenaga medis dan non medis di rumah sakit. Setelah sosialisasi dilakukan maka proses pembudayaan perilaku K3 sudah mulai dapat diprogramkan, seperti pembiasaan memakai APD (sarung tangan, kacamata pelindung, gaun pelindung, dan lain-lain ) agar tidak terkena paparan bahan atau gas kimia. Pembinaan dan pengawasan terhadap proses K3 juga harus digencarkan untuk mencegah adanya ketidakdisiplinan yang akan mengakibatkan risiko bahaya. Pencatatan dan pelaporan hasil program juga akan sangat berguna untuk mengetahui proses pelaksanaan K3 setelah dibentuk kebijakan dan program baru. Selain itu, pelaksanaan evaluasi terhadap hasil program harus selalu dilakukan agar pihak SMK3 mengetahui apakah diperlukan adanya perbaikan maupun pengembangan dalam rangka untuk meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja terhadap pekerja di Rumah Sakit tersebut.

21

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang

Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit, upaya K3 menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Kinerja setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan dari tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang mempengaruhi pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Dampak kesehatan dari bahaya potensial di rumah sakit salah satunya adalah penyakit akibat kerja (PAK). Penerapan program K3 di Rumah Sakit kenyataannya masih perlu banyak perbaikan hal ini dapat dilihat dari contoh pada kasus bab III. Implementasi tugas, dan fungsi pokok K3RS masih kurang efektif, hal ini dikarenakan tidak dapat mencapai standart-standart yang harusnya terpenuhi ketika ada personel K3 dalam rumah sakit. Salah satunya adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian akan bahaya dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, sosialisasi dan pengawasan mengenai K3 di Rumah Sakit harus lebih ditingkatkan lagi. Harusnya SMK3 juga menerapkan prinsip AREC (Anticipation, Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan dan lingkungan kerja, agar tupoksi K3RS sendiri dapat tercapai.

4.2 Saran 1. Pihak manajemen rumah sakit lebih meningkatkan sosialisasi mengenai fungsi K3 di rumah sakit kepada siapa saja yang berada di rumah sakit termasuk dokter, perawat, pasien serta tenaga medis maupun non medis

22

lainnya. Hal ini diperlukan agar dapat meminimalkan tindakan beresiko bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 2. Pihak rumah sakit mengoptimalkan fungsi K3RS yang ada yaitu dengan cara melakukan pelatihan terkait Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit sehingga pekerja yang kerjanya terkait dengan SMK3 akan lebih berkompeten dalam pekerjaannya. 3. Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. 4. Rumah Sakit secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk menilai apakah kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan perbaikan sistem K3RS yang selanjutnya. Selain itu, rumah sakit harus selalu mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko yang selalu ada di rumah sakit.

23

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit. Viewed 24 october 2011
<http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%20432-

IV%20K3%20RS.pdf>

Detik.com, Perawat di Rumah Sakit Rentan Keracunan Obat Kemoterapi, viewed 24 October 2011 <http://www.detikhealth.com/read/2011/08/24/123759/1710100/763/perawat-dirumah-sakit-rentan-keracunan-obat-kemoterapi>

Detik.com, Pekerja Kesehatan Paling Rentan Alami Gangguan Reproduksi, viewed 24 October 2011 http://www.detikhealth.com/read/2011/03/01/165159/1582368/763/pekerjakesehatan-paling-rentan-alami-gangguan-reproduksi

Detik.com, Orang Terima Donor Organ dari Pasien HIV Akibat Salah Prosedur, viewed 24 October 2011 http://www.detikhealth.com/read/2011/09/04/160801/1715296/763/5-orangterima-donor-organ-dari-pasien-hiv-akibat-salah-prosedur

24

Вам также может понравиться