Вы находитесь на странице: 1из 41

LAPORAN

PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN LAPARATOMY

LAPARATOMY Askep kasus Laparatomy klik >>disini

a.

Defenisi Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong, 1997). Ditambahkan pula bahwa laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tenik insisi laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dfan fistuloktomi. Sedangkan tindakan bedah obgyn yang sering dilakukan dengan tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi pada tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi, baik histerektomi total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral.

Tujuan: Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma abdomen. Laparatomy eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila diindikasikan. Ada 4 cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain (Yunichrist, 2008): a. Midline incision Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insis ini adalah terjadinya hernia cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis. b. Paramedian yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5 cm). Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta plenoktomi. Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah c. Transverse upper abdomen incision

yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy. d. Transverse lower abdomen incision yaitu; insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy

b. 1.

Indikasi Trauma abdomen (tumpul atau tajam) Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Dibedakan atas 2 jenis yaitu :

Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.

Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum) yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (sitbelt).

2.

Peritonitis Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan penyebab peritonitis tersier.

3.

Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi) Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila

penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi (salah satu bagian dari usus menyusup

kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus), Volvulus (usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus). 4. Apendisitis mengacu pada radang apendiks Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. c. Tumor abdomen Pancreatitis (inflammation of the pancreas) Abscesses (a localized area of infection) Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery) Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the intestines) Intestinal perforation Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus) Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim) Internal bleeding Post Op Laparatomi

1.

Defenisi Post op atau Post operatif Laparatomi merupakan tahapan setelah proses

pembedahan pada area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter (2005) dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif. Proses pemulihan tersebut membutuhkan perawatan post laparatomi. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang di berikan kepada klien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen. 2.

Tujuan perawatan post laparatomi

Mengurangi komplikasi akibat pembedahan. Mempercepat penyembuhan. Mengembalikan fungsi klien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi. Mempertahankan konsep diri klien. Mempersiapkan klien pulang.

3.

Manifestasi Klinis Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomy diantaranya :

Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan Dapat terjadi peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi. Kelemahan Mual, muntah, anoreksia Konstipasi

4.

Komplikasi Syok

Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan produk metabolisme. Manifestasi Klinis : a. b. c. d. e. f. g. Pucat Kulit dingin dan terasa basah Pernafasan cepat Sianosis pada bibir, gusi dan lidah Nadi cepat, lemah dan bergetar Penurunan tekanan nadi Tekanan darah rendah dan urine pekat. Hemorrhagi a. b. Hemoragi primer : terjadi pada waktu pembedahan Hemoragi intermediari : beberapa jam setelah pembedahan ketika kenaikan tekanan darah ke tingkat normalnya melepaskan bekuan yang tersangkut dengan tidak aman dari pembuluh darah yang tidak terikat c. Hemoragi sekunder : beberapa waktu setelah pembedahan bila ligatur slip karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh selang drainage. Manifestasi Klinis Hemorrhagi : Gelisah, , terus bergerak, merasa haus, kulit dinginbasah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.

5. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Syok

Pencegahan : a. Terapi penggantian cairan b. Menjaga trauma bedah pda tingkat minimum c. Pengatasan nyeri dengan membuat pasien senyaman mungkin dan dengan menggunakan narkotik secara bijaksana d. Pemakaian linen yang ringan dan tidak panas (mencegah vasodilatasi) e. Ruangan tenang untuk mencegah stres f. Posisi supinasi dianjurkan untuk memfasilitasi sirkulasi g. Pemantauan tanda vital Pengobatan : a. Pasien dijaga tetap hangat tapi tidak sampai kepanasan b. Dibaringkan datar di tempat tidur dengan tungkai dinaikkan c. Pemantauan status pernafasan dan CV d. Penentuan gas darah dan terapi oksigen melalui intubasi atau nasal kanul jika diindikasikan e. Penggantian cairan dan darah kristaloid (ex : RL) atau koloid (ex : komponen darah, albumin, plasma atau pengganti plasma) f. Terapi obat : kardiotonik (meningkatkan efisiensi jantung) atau diuretik (mengurangi retensi cairan dan edema) Hemorrhagi Penatalaksanaan : a. Pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok b. Sedatif atau analgetik diberikan sesuai indikasi c. Inspeksi luka bedah

d. Balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasi e. Transfusi darah atau produk darah lainnya f. Observasi Vital Signs. 2.2 Ileustomy a. Pengertian Ileustomi adalah pembedahan dengan memotong ileum dan membentuk stoma. Produk ileustomi biasanya bentuk cair, sehingga akan banyak cairan dan mineral yg hilang terutama sodium (Na) dan Kalium (K).

b.

Indikasi Illeostomi

Infeksi yang menyebabkan patologi usus halus ( kolitis ulseratif,enteritis regional Keganasan pada daerah usus halus. Trauma abdomen ( ruptura yeyunum atau illeum )

c. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen 3 posisi Colonoscopy (CT-Scan untuk melihat usus besar) Foto Follow through (pemeriksaan radiografi untuk melihat usus halus)

d. Komplikasi Komplikasi operasi pada ileostomi dapat berupa hernia atau prolaps dari ileostomi atau terjadinya obstruksi.
Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi.

2. 3.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi

Kriteria NANDA, NOC DAN NIC A. Diagnosa 1 NANDA Domain 12 : Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi. : Acute pain (1996) : Kenyamanan. Perasaan sejahtera atau tenteram. : Perasaan sejahtera atau nyaman dan atau bebas dari rasa

Kelas 1 : Kenyamanan fisik nyeri. Pengertian

: Pengalaman emosional dan sensori tidak menyenangkan yang muncul dari

kerusakan jaringan secara actual atau potensial atau menunjukkan adanya kerusakan (Association for the Study of Pain) : Serangan mendadak atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi durasi nyeri kurang dari 6 bulan. Batasan karakteristik : v Melaporkan nyeri secara verbal atau nonverbal v Menunjukkan kerusakan v Posisi untuk mengurangi nyeri v Gerakan untuk melindungi v Fokus pada diri sendiri

Faktor yang berhubungan :


v Agen cedera (fisik)

Clien outcomes
v Menunjukkan

:
nyeri : efek merusak,dibuktikan dengan indicator 1-

5(ekstrem,berat,sedang,ringan,atau tidak ada).

o Penurunan penampilan peran atau hubungan interpersonal. o Gangguan kerja,kepuasan hidup atau kemampuan untuk mengendalikan. o Penurunan konsentrasi o Tergangganya tidur o Penurunan nafsu makan atau kesulitan menelan v Menunjukkan tingkat nyeri: o Ekpresi lisan atau wajah o Posisi tubuh melindungi o Kegelisahan atau ketegangan otot o Klien dalam kecepatan pernapasan,denyut jantung atau tekanan darah v Klien akan menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan v Klien akan mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (skala 0-10) v Klien melaporkan fisik dan psikologis v Klie mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri v Klien melaporkan nyeri pada penyedia perawatan kesehatan v Klien menggunajan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non analgesic seara tepat

Nursing Out Come (NOC) v Tingkat kenyamanan (2001) Domain Class Scale Definisi

: Perceived-Health (V) : Symtom-Status (V) : None to extensive (i) : Perasaan senang secara fisik dan psikologis.

Indikator

2100 01 : Melaporkan kenyamanan fisik 2100 02 : Melaporkan kepuasan terhadap pengawasan nyeri 2100 03 : Melaporkan kenyamanan psikologis 2100 07 : Melaporkan kepuasan terhadap tingkat kemandirian 2100 08 : Ekspresi puas terhadap pengawasan nyeri v Tingkat nyeri (2102). Domain Class Scale Definisi Indikator : Perceived-Health (V) : Symptom Status (V) : Severe to None (n) : Jumlah nyeri yang dilaporkan atau ditunjukkan. :

2102 01 : Melaporkan nyeri 2102 02 : Bagian tubuh yang diserang 21002 03 : Frekuensi nyeri 21002 04 : Panjangnya episode nyeri 21002 05 : Ekspresi mulut terhadap nyeri 21002 06 : Ekspresi wajah terhadap nyeri 21002 07 : Posisi perlindungan tubuh 21002 08 : Istirahat 21002 09 : Ketahanan otot Nursing Intervention Classification (NIC) Pengaturan nyeri (1400) : :

v Melakukan

pengkajian

yang

komprehensif

dari

nyeri

termasuk

local,

karakteristik,

serangan/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau penyebab dan faktor-faktor pencetus. v Mengobservasi tanda-tanda non verbal dari ketidaknyamanan terutama pada ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif. v Memastikan klien mendapatkan perawatan analgesic. v Menggunakan tehnik komunikasi terapeutik dan mengetahui pengalaman nyeri dan respon klien terhadap nyeri. v Menyediakan informasi tentang nyeri seperti ketidaknyamanan. v Mengontrol faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi respon ketidaknyamanan. v Mengurangi atau menghilangkan factor-faktor pencetus yang dapat meningkatkan nyeri . v Memantau kepuasan klien terhadap management nyeri. : Penyebab, lamanya dan cara mengantisipasi

B.

Diagnosa 2 NANDA Domain 4

: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyaman. : Impaired Physical Mobility (1973, 1998). : Aktivitas/Istirahat. : Pergerakan bagian tubuh (mobilitas), melakukan pekerjaan

Kelas 2 : Aktivitas/Latihan

atau melakukan tindakan yang sering (tidak selalu) melawan resistensi. Pengertian : Keterbatasan dalam pergerakan fisik pada bagian tubuh tertentu atau pada satu

atau lebih ekstremitas. Batasan karakteristik : v Postur tubuh tidak stabil selama melakukan aktivitas rutin. v Keterbatasan kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar. v Keterbatasan kemampuan melakukan ketrampilan motorik halus.

v Sulit berbalik

Clien outcomes :
v Menunjukkan tingkat mobilitas, ditandai dengan indicator 1-5: 1. Ketergantungan/tidak berpartisipasi 2. Membutuhkan bantuan orang lain dan alat 3. Membutuhkan bantuan orang lain 4. Mandiri dengan pertolongan alat bantu 5. Mandiri penuh o Penampilan yang seimbang o Penampilan posisi tubuh o Pergerakan sendi dan otot o Melakukan perpindahan o Ambulasi o Ambulasi : Berjalan : Kursi roda

v Klien akan menunjukkan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan. v Klien akan meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan. v Klien akan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan alat bantu (Sebutkan aktivitas dan alat bantunya) ; v Klien akan menyangga berat badan. v Klien akan berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang benar sejauh (sebutkan jaraknya). v Klien akan berpindah dari dan ke kursi/kursi roda. v Klien akan menggunakan kursi roda secara efektif.

Nursing Outcomes Classification (NOC) : Impaired Physical Mobility. Definisi : Suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih. Suggested Outcomes v Ambulasi v Ambulasi : Berjalan : Kursi roda :

v Penampilan posisi tubuh v Pergerakan sendi v Tingkat mobilitas v Perawatan diri : Aktivitas kehidupan sehari-hari : Aktif

v Pelaksanaan berpindah. Nursing Intervention Classification (NIC) v Terapi aktivitas, ambulasi : :

Meningkatkan dan membantu berjalan untuk mempertahankan atau memperbaiki fungsi tubuh volunteer dan autonom selama perawatan serta pemulihan dari sakit atau cedera. v Terapi aktivitas : Mobilitas sendi :

Penggunaan pergerakan tubuh aktif atau pasif untuk mempertahankan atau memperbaiki fungsi tubuh volunteer dan autonom selama perawatan serta pemulihan dari sakit atau cidera v Perubahan posisi :

Memindahkan klien atau bagian tubuh untuk memberikan kenyamanan, menurunkan resiko kerusakan kulit, mendukung integritas kulit, dan meningkatkan penyembuhan.

C.

Diagnosa 3

: Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi. : Risk For Infection.

1. NANDA

Domain 11

: Keselamatan/Perlindungan :

Bebas dari rasa bahaya, cedera fisik, kerusakan system imun, penjagaan dari kehilangan, perlindungan keselamatan dan keamanan. Kelas 1 : Infeksi : Respon host sehubungan dengan invasi pathogen.

Pengertian : Peningkatan risiko untuk terinvasi oleh organisme pathogen. Batasan karakteristik : v Prosedur invasive v Tidak cukup pengetahuan dalam menghindari paparan pathogen. v Trauma v Destruksi jaringan dan peningkatan paparan lingkungan. v Malnutrisi v Pertahanan primer tak adekuat (kulit tak utuh, trauma jaringan, penurunan gerak silia, cairan statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltic).

Clien outcomes :
v Fakor resiko infeksi akan hilang dengan dibuktikan oleh keadekuatan status imun klien, pengetahuan yang penting : Pengendalian infeksi, dan secara konsisten menunjukkan perilaku deteksi resiko dan pengendalian resiko. v Klien menunjukkan pengendalian resiko dengan indicator 1-5 (Tidak pernah, jarang, kadangkadang, sering, konsisten menunjukkan)

o Mendapatkan imunisasi yang tepat. o Memantau factor resiko lingkungan dan perilaku seseorang. o Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan. o Mengurang gaya hidup untuk mengurangi resiko.
v Terbebas dari tanda atau gejala infeksi.

v Menunjukkan hygiene pribadi yang adekuat. v Mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria dan imun dalam batas normal. v Menggambarkan factor yang menunjang penularan infeksi. v Melaporkan tanda atau gejala infeksi serta mkengikuti prosedur pernapasan dan pemantauan.

2. Nursing Outcomes Classification (NOC) :


Immobility Concequences : Physiological (0204) Domain Class Scale Indikasi 020401 020402 020404 020409 020411 : Functional health (I) : Mobility (C) : Severe to none (n) : Tekanan pada luka Konstipasi Penurunan status nutrisi Demam Penurunan kekuatan otot NOC Domain Class Scale : Nutritional Status (1004) : Physiologic health (II) : Nutrition (K) : Extremely compromised to not

compromised (a) Indikasi 100401 100402 100403 : Pemasukan nutrisi Intake makanan dan minuman Energi

100404 100405

Massa tubuh Berat badan

3. Nursing Intervention Classification (NIC) : Infection Control (6540). Aktivitas :

v Membatasi jumlah pengunjung v Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan v Mengajarkan klien teknik mencuci tangan v Menggunakan sabun anti mikrobakteri bila mencuci tangan v Menggunakan sarung tangan steril v Menginstruksikan kepada pengunjung untuk mencuci tangan saat masuk dan keluar dari ruangan klien v Mempertahankan teknik isolasi v Menyendirikan klien yang terinfeksi
Read more: http://yayannerz.blogspot.com/2013/07/asuhan-keperawatan-kliendengan.html#ixzz2i50Ip7ex

APPENDISITIS

APPENDISITIS

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendisitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan. Diagnosis appendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendiktomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis. Semua kasus appendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang terinflamasi, baik denganlaparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendisitis akuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia.

Gambaran Anatomis Appendix Vermiformis

Anatomi

Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak pada saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu pada bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidensi appendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga taenia coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala appendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, perileal(di depan usus halus) 1% dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%. Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu mengalami atrofi dan menghilang pada usia 60 tahun.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterica superior dari arteriappendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks diperdarahi oleh arteri appendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.

Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks adalah Imunoglobulin A (Ig-A). immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

Definisi Appendisitis

Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feses), hiperplasia jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichura dan Enterobius vermicularis. Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasia aringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

Etiologi

Appendisitis dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus di antaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi membran mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya: 1. Faktor sumbatan (obstruksi) Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya appendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% di antaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut di antaranya: fekalith ditemukan 40% pada kasus appendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus appendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus appendisitis akut dengan rupture.

2.

Faktor bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada appendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen appendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnansi feses dalam lumen appendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara bacteriodes fragilis dan E. coli, lalu Splanchicus, Lactobacillus, Pseudomonas, Bacteroides splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu:

Bakteri Aerob Fakultatif


Basil Gram Negatif Escherichia coli Pseudomonas aeruginosa Klebsiella spesies

Bakteri Anaerob
Basil Gram Negatif Bacteroides fragilis Fusobacterium spesies Bacteroides lainnya

Kokus Gram Positif Streptococcus anginosus

Kokus Gram Positif Peptostreptococcus spesies

Streptococcus spesies lainnya Enterococcus spesies Basil Gram Negatif Clostridium spesies
(dikutip dari Tabel 30-1 Common Organisms Seen in Patients with Acute Appendicitis, Schwartzs Principle of Surgery 9ed)

3.

Kecenderungan familial Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi herediter dari organ appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

4.

Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiaanya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang lebih tinggi.

Epidemiologi

Insidensi appendisitis sekitar 7% dari jumlah penduduk di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Di Asia dan Afrika, insidensi appendisitis akut diperkirakan lebih rendah dikarenakan kebiasaan makan dari penduduknya bergantung daerah geografisnya. Pada beberapa tahun terakhir ini, dilaporkan penurunan frekuensi dari appendisitis di Negara Barat, yang mungkin berhubungan dengan perubahan pola makan kaya serat. Pada kenyataannya, insidensi appendisitis dihubungkan dengan rendahnya pemakaian serat di beberapa negara. Orang yang berkemungkinan terkena appendisitis dengan tingginya insidensi pada dekade kedua dan kedua kehidupannya. Kasus appendisitis pada neonatal dan prenatal jarang dilaporkan.

Appendisitis lebih sering mengenai laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dengan rasio laki-laki dibanding perempuan 1,7:1.

Patofisiologi Appendisitis

Appendisitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendisitis. Obstruksi intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Appendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis propi. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendsisitis akut supuratif. Edema dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami perubahan peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

Klasifikasi Appendisitis Adapun klasifikasi appendisitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut: Appendisitis Akut a. Appendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendisitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa disebabkan oleh obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan. Pada appendisitis lateral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema dan tidak ada eksudat serosa. b. Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada appendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik McBurney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. c. Appendisitis Akut Ganggrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami ganggren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau kebauan atau merah kehitaman. Pada appendisitis akut ganggrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

Appendisitis Infiltrat Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpakan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

Appendisitis Abses Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dan sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.

Appendisitis Perforasi

Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

Appendisitis Kronis Appendisitis kronis merupakan merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi randah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, submukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada submukosa, muskularis propia dan serosa. Pembuluh darah seros tampak dilatasi.

Gambaran Klinis Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendisitis. Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang.

Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendisitis, kecuali pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.

Tabel Gejala Appendicitis Akut

Gejala Appendicitis Akut Nyeri perut Anorexia Mual Muntah Nyeri berpindah Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi) *-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Frekue nsi (%) 100 100 90 75 50 50

Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik Inspeksi: pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Palpasi: pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari appendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

Pemeriksaan colok dubur: pemeriksaan ini dilakukan pada appendisitis, untuk menentukan letak appendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada appendisitis pelvika. Pemeriksaan Uji Psoas dan Uji Obturator: pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada appendisitis pelvika.

Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin umumnya digunakan sebagai sarana untuk menegakkan diagnosis apendisitis akut dengan menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding lainnya. Pada kasus apendisitis biasanya nilai sel darah putih akan meningkat, terlebih pada kasus komplikasi. Namun pada beberapa tertentu dapat dijumpai sel darah putih dengan nilai yang normal. Pada keadaan tertentu diperlukan juga pemeriksaan rutin lainnya seperti: Pertama, analisis urin dengan pemeriksaan mikroskopik, tujuan utama dari pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan kemungkinan batu uretra (hematuria), infeksi saluran kemih (piuria, bakteriuria) sebagai penyebab dari nyeri abdomen bagian bawah, terutama pada pasien lanjut usia yang disertai dengan diabetes. Tidak jarang ditemukan infeksi saluran kemih bagian bawah pada pasien wanita dengan apendisitis. Kedua, pengukuran kadar enzim hati dalam serum dan kadar amylase untuk membantu menyingkirkan diagnosis inflamasi pada hati, kandung empedu dan pancreas, yaitu pada pasien dengan keluhan nyeri yang lebih mengarah pada mid-abdomen atau pada kwadran kanan atas. Ketiga, pengukuran kadar serum -HCG ( human chorionic gonadotropin) pada pasien wanita usia subur untuk menyingkirkan kemungkinan dari kehamilan.

b.

Pemeriksaan Pencitraan Pemeriksaan foto polos abdomen merupakan pemeriksaan yang umum dikerjakan pada pasien dengan nyeri abdomen akut. Temuan yang paling sering dihubungkan dengan kasus apendisitis adalah fekalit. Namun pada kenyataannya fekalit hanya ditemukan pada sekitar 10-40%

dari seluruh pasien apendisitis. Tetapi apabila pada pasien nyeri abdomen akut ditemukan adanya fekalit setelah dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen, maka kemungkinan diagnosis apendisitisnya adalah 90%. Terdapatnya fekalit, usia (orangtua dan anak kecil), keterlambatan diagnosis , merupakan faktor yang berperan terhadap terjadinya perforasi apendiks.

Gambar Foto polos abdomen menunjukan apendicolith

Pada pemeriksaan barium enema dapat dicari kemungkinan terhadap adanya nonfilling apendiks, juga perubahan dinding caecum yang irregular/efek massa. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen merupakan pemeriksaan yang popularitasnya meningkat belakangan ini. Temuan yang penting pada pemeriksaan ini antara lain: Penebalan dinding dan kehilangan lapisan normalnya (Target sign), Peningkatan echogenitas dari jaringan lemak disekitarnya, lokulasi cairan pericaecal, gangguan motilitas.

Gambar Hasil USG pada apendisitis (Target sign)

Pemeriksaan CT-scan dapat dianggap sebagai standar emas dari pemeriksaan imaging non invasive pada pasien dengan apendisitis. Dengan CT-scan dapat ditentukan lokasi inflamasi, massa, maupun abses.

Gambaran CT-Scan dari tiga pasien yang dicurigai menderita apendisitis akut

Skor Diagnostik Dalam rangka meningkatkan tingkat akurasi dari diagnosis apendisitis, maka telah disusun sebuah system penilaian yang dibuat berdasarkan penelitian secara retrospektif oleh Alvarado. Sistem penilaian ini meliputi gejala-gejala (nyeri yang berpindah dari periumbilikal ke perut kanan bawah, mual dan penurunan nafsu makan), tanda-tanda (nyeri tekan pada perut kanan bawah, nyeri lepas, dan demam), dan pemeriksaan laboratorium (leukositosis dan pergeseran ke kiri). Tabel Alvarado Score untuk membantu menegakkan diagnosis

Manifestasi Gejala Adanya migrasi nyeri Anoreksia Mual/muntah Tanda Nyeri RLQ Nyeri lepas Febris Laborato rium Leukositosis Shift to the left Total poin
Keterangan: 0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil

Skor 1 1 1 2 1 1 2 1 10

5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-8 : kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

Diagnosa Banding Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendisitis, diantaranya: Gastroenteritis ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis akut Limfadenitis mesenterika, biasanya didahului oleh entertitis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk rumple lead, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat. Infeksi panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya diserai keputihan dan infeksi urin. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik. Divertikulosis meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan appendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.

Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai appendisitis retrocaecal. Nyeri menajalar ke labia, skrotum, penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.

Penatalaksanaan Indikasi Operasi Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi), kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah dilewati namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus dapat digunakan antibiotic sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses tersebut. Bila massa abses telah terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan sulit untuk ditemukan, selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk dikerjakan.

Persiapan pre-operasi Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan jumlah pengeluaran urine. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob (bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic bukan untuk memberantas apendisitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan komplikasi, antibiotic umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari luka dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap kemungkinan terjadinya bakteremia. Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa pembentukan abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotic ditujukan untuk mengobati komplikasi tersebut. Terdapat beragam pendapat tentang pemberian antibiotic profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa: 1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang dapat timbul oleh karena luka pada kasus non-komplikata Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotic adalah sesaat sebelum pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang optimal pada saat akan dilakukan incise

2.

3.

Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis tunggal. Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan resiko infeksi lebih lanjut.

Pertimbangan Operatif Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan secara tradisional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secara laparoskopik dapat mengurangi nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi pada luka setelah operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih awal.

Tabel Perbandingan Antara Laparotomy dan Laparoskopi

Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko terjadinya apendisitis rekuren. Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren, maka penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya apendisitis rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum peritoneum. Tindakan ini bermanfaat untuk mengalirkan materi fekal maupun pus keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum peritoneum.

Apendektomi Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara operatif mempunyai keuntungan dan kerugian. a. Insisi menurut Mc Burney (grid incision atau muscle splitting incision). Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral (titik Mc Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabuabuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunyai haustrae dan teania koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae atau teania koli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia coli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara tajam. b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision) Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana, dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama. c. Insisi pararektal Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m.rektus abdominis dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10cm. Keuntungannya, teknik ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini tidak langsung mengarah ke apendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang. Setelah peritoneum dibuka dengan retractor, maka basis apendiks dapat dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk membebaskannya dari mesoapendiks ada dua cara yang dapat dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu :

Apendiktomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis apendiks untuk memotong mesoapendiks. Ini dilakukan pada apendiks yang tergantung bebas pada sekum atau bila puncak apendiks mudah ditemukan. Apendiktomi secara retrograde; bila kita memotong mesoapendiks dari basis ke arah puncak. Ini dilakukan pada apendiks yang letaknya sulit, misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai karena tersembunyi, misalnya karena terjadi perlengketan dengan sekitarnya.

Teknik Apendektomi Mc Burney : 1. Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada perut kanan bawah Dibuat sayatan menurut Mc Burney seoanjang kurang lebih 10 cm dan otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menrut arah serabutnya, berturut-turut m rektus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m transversus abdominis, sampai akhirnya tampak peritoneum.

2.

3.

Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi. 4.

Sekum beserta apendiks diluksasi keluar.

5. 6.

Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak ke arah basis. Semua perdarahan dirawat. 7.

Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks, basis apendiks kemudian dijahit dengan catgut.

8.

Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.

9.

Ujung apendiks dioleskan betadin. 10. Jahitan tabac sac disimpulkan dan Mesoapendiks diikat. 11.

Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya, semua perdarahan dirawat.

12. Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.

13.

Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan.

14. Dinding perut ditutup/dijahit lapis demi lapis 15. Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.

Pasca Operasi Kasus-kasus apendisitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam. Pemberian antibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien apendisitis tanpa komplikasi. Pada kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotic diberikan hingga 5-7 hari setelah operasi.

Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus halus.

Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada. Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase. Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

Prognosis Sebagian besar pasien apendisitis sembuh dengan mudah melalui terapi operatif, namun komplikasi dapat muncul apabila terjadi keterlambatan dalam penatalaksanaan atau bila sudah terjadi peritonitis. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan sangat bergantung pada usia, kondisi fisik, komplikasi, dan keadaan-keadaan lainnya, termasuk konsumsi alcohol, namun biasanya untuk penyembuhan memerlukan waktu sekitar 10 dan 28 hari. Pada anak-anak (usia kurang lebih 10 tahun), penyembuhan memerlukan waktu sekitar tiga minggu.

Peritonitis yang mengancam nyawa merupakan alasan mengapa apendisitis akut memerlukan evaluasi dan penatalaksanaan secara cepat. Apendisitis tipikal memberikan respon yang sangat baik dengan apendektomi, dan terkadang dapat sembuh dengan spontan. Apabila apendisitis sembuh dengan spontan, masih merupakan kontroversi mengenai perlu tidaknya tindakan apendektomi elektif untuk mencegah apendisitis rekuren. Apendisitis atipikal (dihubungkan dengan apendisitis supuratif) lebih sulit untuk didiagnosis dan lebih cenderung untuk terjadi komplikasi meskipun telah dilakukan operasi secara dini. Pada kedua keadaan diatas diagnosis secara tepat dan apendektomi memberikan hasil yang baik, dan penyembuhan penuh terjadi antara dua sampai empat minggu. Mortalitas dan komplikasi berat umumnya jarang ditemui, namun dapat terjadi apabila peritonitis berlanjut dan tidak mendapat terapi. Terdapat pula topic pembahasan yang sering mendapat perhatian mengenai massa apendikular, yaitu terbentuknya suatu massa yang terdiri dari omentum dan usus yang saling melekat, hal ini terjadi apabila apendiks tidak segera dipindahkan dengan segera selama terjadinya infeksi. Selama masa ini, tindakan apendektomi akan sangat beresiko kecuali bila didapatkan pembentukan pus yang dibuktikan dengan adanya demam dan toksisitas atau dengan USG. Stump appendicitis, merupakan suatu komplikasi yang jarang ditemui, yaitu terjadinya inflamasi pada sisa apendiks yang tertinggal setelah apendektomi yang tidak komplit.

Kesimpulan

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja

Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs Principles of Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills Katz MS. Appendicitis. Available at : www.emedicine.com . Last update Apr 20th 2010 Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. dan Richard J. Andrassy. 2004. Appendix on Chapter 47 in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New York: Saunders. Sjamsuhidajat R, Jong WD, et al. Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2003

Вам также может понравиться