Вы находитесь на странице: 1из 49

PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.

Oleh: Sulistyani Pancaningtyas A34402044

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Skripsi sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Sulistyani Pancaningtyas A34402044

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN

SULISTYANI PANCANINGTYAS. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terha dap Viabilitas Benih Buncis ( Phaseolus vulgaris L.). (Dibawah bimbingan ENY WIDAJATI) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui waktu pemanenan benih buncis (Phaseolus vulgaris L.) yang tepat dan pengaruh penundaan pengeringan terhadap viabilitas benih. Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Unit Processing Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih-Leuwikopo, IPB, Darmaga. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah waktu panen yang terdiri dari dua taraf yaitu 32 dan 35 hari setelah berbunga (HSB). Faktor kedua adalah penundaan pengeringan yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0 hari (tanpa penundaan pengeringan), penundaan pengeringan 1 hari dan penundaan pengeringan 2 hari. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih buncis varietas Lebat. Pengeringan polong dengan menggunakan sinar matahari selama dua hari. Polong yang telah kering digesek dengan tangan untuk proses peronto kan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu panen berpengaruh terhadap Kadar Air benih sebelum dan setelah pengeringan polong, bobot 1000 butir dan penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan. Penundaan pengeringan berpengaruh nyata terhadap KA benih sebelum pengeringan polong, berpengaruh sangat nyata terhadap penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan Kecepatan Tumbuh (K CT ). Interaksi kedua faktor berpengaruh sangat nyata untuk KA sebelum pengeringan, penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan KCT . Penundaan pengeringan sampai dengan 2 hari baik pada panenan 32 HSB

maupun 35 HSB tidak menurunkan vigor benih dengan tolok ukur KCT dan viabilitas potensial dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB) dan Berat Kering Kecambah Normal (BKKN). Penurunan KA benih sebelum pengeringan polong pada 35 HSB disebabkan oleh kondisi cuaca lapang yang panas. Kondisi lingkungan pada saat penundaan pengeringan

yang hujan terus menerus menyebabkan peningkatan KA benih pada panenan 35 HSB yang nyata pada penundaan pengeringan 1 dan 2 hari. Bobot 1000 butir panenan 32 HSB dan 35 HSB menunjukkan nilai yang sama, perbedaan yang terjadi pada data penimbangan disebabkan oleh KA benih estela pengeringan polong yang berbeda sangat nyata.

Judul

:PENGARUH WAKTU PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN TERHADAP VIABILITAS BENIH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

Nama NRP

: Sulistyani Pancaningtyas : A34402044

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr Ir Eny Widajati, MS. NIP. 131 471 835

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr. NIP. 130 422 698

Tanggal Kelulusan : 23 Mei 2006

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Probolinggo, Jawa Timur pada tanggal 26 April 1984. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara yang merupakan anak dari pasangan Bapak Hariyanto alm dan Ibu Subaedah. Penulis menempuh studi di TK. ABA I Probolinggo (1988-1990), SD/MI Muhammadiyah I Probolinggo (1990-1996), SLTPN 5 Probolinggo (1996-1999), dan SMUN I Probolinggo (1999-2002). Pada tahun 2002 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan Penulis terlibat di organisasi-organisasi kemahasiswaan yaitu Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB, Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON), UKM Tae Kwon Do dan organisasi daerah yaitu Forum Mahasiswa Probolinggo (FMP). Penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar Ilmu dan Teknologi Benih pada tahun 2005/2006.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, dengan segala kerendahan hati Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, yang selalu melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah bagi Muhammad SAW, Rasulullah mulia, teladan umat, utusan yang benar dalam janjinya serta terpercaya. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan keselamatan serta keberkahan

kepadanya, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang senantiasa istiqomah di jalan-Nya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, Penulis menghaturkan terimakasih kepada : a. Dr Ir Eny Widajati, MS sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, arahan serta motivasi yang diberikan selama penyusunan skripsi ini. b. Dr Ir Endang Murniati, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada Penulis. c. Dr Ir Faiza C. Suwarno, MS selaku dosen penguji yang telah membe rikan masukan kepada Penulis. d. Keluarga dan sahabat-sahabatku atas doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya yang menguatkan langkah perjalanan ini. Segala sesuatu tidak ada yang sempurna, semoga hasil yang sederhana ini dapat menjadi pembelajaran untuk menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2006

Penulis

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i ii iii v

PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................ 1 Hipotesis ................................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi buncis ....................................................................................... 4 Pengeringan benih .................................................................................... 5 Tingkat kemasakan benih......................................................................... 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ................................................................................... 12 Bahan dan Alat......................................................................................... 12 Metode penelitian..................................................................................... 12 Pelaksanaan penelitian............................................................................. 13 Pengujian di Laboratorium................................................................ 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum ..................................................................................... 16 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih ....................................................................................... 18 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Benih Rusak ......................................................................... 21 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Bobot 1000 Butir...................................................................................... 22 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan.................... 23 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Daya Berkecambah (DB) ........................................................................ 24 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap persentase Serangan Cendawan .............................................................. 26 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (KCT ) ................................................................ 27 Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) .............................................. 29 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32 LAMPIRAN 34

DAFTAR TABEL

Nomor Teks 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Waktu Panen (WP), Penundaan Pengeringan (PP) dan Interaksinya

Halaman

terhadap Viabilitas Benih Buncis ( Phaseolus vulgaris L.) ............................. 17 2. Rata-rata pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan Polong......................................................................................... 18 3. Pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan Polong................................................................................................20 4. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan

terhadap Persentase Benih Rusak................................................................ 21 5. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan

terhadap Bobot 6.

1000 Butir ................................................................ 22

Nilai Berat Kering Benih Terhadap Kadar Air Benih Sesudah Pengeringan....................................................................................... 23

7.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan................................ 24

8.

Pengaruh

Waktu

Panen dan

Penundaan

Pengeringan

terhadap Daya Berkecambah (DB) ................................................................ 25 9. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Serangan Cendawan ....................................................... 26 10. Pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................ 27 11. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)................................ 29

Nomor Lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan

Halaman

Pengeringan terhadap Persentase Benih Rusak................................ 35 2. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Bobot 1000 Butir ......................................................... 35 3. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Selama Penundaan Pengeringan................................................................................................ 35 4. Uji Lanjut Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan

Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Sela ma Penundaan Pengeringan................................................................................................ 35 5. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Daya Berkecambah (DB) ................................ 36 6. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Serangan Cendawan ................................ 36 7. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................ 36 8. Uji Lanjut Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )................................ 36 9. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Berat Kering Kecamb ah Normal (BKKN)................................................................................................ 37 10. Analisis Ragam Interaksi Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan Polong......................................................................................... 37 11. Uji Lanjut Interaksi Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan Polong................................................................................................37 12. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan Polong................................................................................................37

DAFTAR GAMBAR

Nomor Lampiran 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Halaman

Bunga buncis pada 5 MST ................................................................38 Polong buncis pada 6 MST ................................................................ 38 Polong buncis pada 7 MST ................................................................ 38 Polong buncis pada 9 MST ................................................................ 38 Panenan 32 HSB.............................................................................................. 39 Panenan 35 HSB.............................................................................................. 39 Pengeringan polong ......................................................................................... 39 Pemipilan polong............................................................................................. 39 Polong rusak ................................................................................................ 39

PENDAHULUAN

Latar Belakang Buncis bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari Amerika. Saat ini, buncis telah dibudidayakan di seluruh dunia, baik di wilayah yang beriklim subtropis maupun tropis, termasuk Indonesia. Bud idaya buncis di Indonesia mula- mula di daerah Bogor, kemudian menyebar ke daerah-daerah yang sekarang menjadi sentra penghasil sayuran. Kini buncis banyak dibudidayakan di pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Pitojo, 2004). Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 1999 tentang Gerakan Nasional

Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi mengisyaratkan perlunya penanganan pangan secara terpadu oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, buncis berperan sebagai sayuran karena memiliki kandungan gizi dan vitamin yang bermanfaat bagi kesehatan jasmani (Pitojo, 2004). Menurut catatan Departemen Kesehatan RI, setiap 100 g buncis mengandung 35 g kalori, 2,4 g protein, 0,2 g lemak, 7,7 g karbohidrat, 65 mg kalsium, 44 mg fosfor, 1,1 mg besi, 630 SI vitamin, 0,08 mg vitamin B1, 19 mg vitamin C dan 88,9 g air. Ekstensifikasi hortikultura, termasuk tanaman buncis, ditempuh dengan cara menumbuhkan sentra produksi baru serta mengembangkan dan memantapkan sentra produksi yang sudah ada. Peran benih unggul sangat menentukan keberhasilan program ekstensifikasi dan intensifikasi. Benih bermutu adalah benih yang terjamin mutu genetis, fisiologis dan fisik yang tinggi, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, benih harus diproduksi secara benar oleh penangkar. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kondisi lingkungan dan iklim yang cukup fluktuatif, hal ini dapat mempengaruhi mutu benih yang diproduksi. Buncis termasuk tanaman palawija yang tidak banyak membutuhkan air, oleh karena itu budidaya buncis dapat dilakukan pada akhir musim hujan atau pada musim kemarau dengan jaminan pengairan yang memadai. Pada masa perkecambahan, pertumbuhan, awal pembungaan, dan pengisian polong buncis memerlukan cukup air, tetapi curah hujan yang tinggi harus dihindari, karena menyebabkan berjangkitnya penyakit dan

perkembangan hama tertentu. Selain itu, kondisi-kondisi lingkungan yang ada juga mempengaruhi waktu pemanenan benih. Pemanenan benih dilakukan setelah benih tersebut masak secara fisiologis dimana berat kering benih mencapai maksimum (Sadjad, 1980a dan Delouche, 1983). Apabila terjadi hujan secara terus- menerus atau terjadi serangan hama dan penyakit di lapang, maka perlu dilakukan perencanaan pemanenan yang tepat setelah masak fisiologis agar mutu benih tersebut masih bisa dipertahankan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan benih yang bermutu tinggi adalah penanganan pasca panen, diantaranya pengolahan benih yang didahului oleh proses pengeringan benih. Pengeringan benih bertujuan untuk menurunkan kadar air benih sesudah dipanen sampai benih aman disimpan (Agrawal, 1980). Namun demikian, banyak kendala yang dihadapi para penangkar/produsen be nih khususnya produsen skala kecil (petani) dalam melakukan proses pengeringan. Diantaranya adalah kendala alat pengering apabila dilakukan pengeringan secara tidak langsung dengan menggunakan alat pengeringan yaitu kapasitas alat pengering yang kurang memadai, khususnya jika terjadi pemanenan dalam skala yang besar. Kendala lain yang dihadapi apabila dilakukan pengeringan secara langsung dengan bantuan sinar matahari adalah kondisi lingkungan yang berfluktuasi. Dalam hal ini, produsen benih juga harus melakukan perencanaan yang tepat agar mutu benih tidak mengalami penurunan. Adanya kendala di atas, memungkinkan dilakukannya penundaan pengeringan benih, tetapi sampai batas waktu berapa lama benih tersebut dapat ditunda pengeringannya, tanpa terjadi penuruna n viabilitas benih, hal tersebut yang diharapkan dapat terjawab melalui penelitian ini.

Tujuan Tujuan dari penelitian adalah mengetahui waktu pemanenan benih buncis yang tepat dan pengaruh penundaan pengeringan terhadap viabilitas benih.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1. Waktu panen akan berpengaruh terhadap viabilitas benih, pada buncis panenan 32 HSB memiliki viabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan panenan 35 HSB. 2. Viabilitas benih akan mengalami penurunan, apabila dilakukan penundaan pengeringan. 3. Pemanenan yang lebih dini akan kurang tahan dalam penundaan pengeringan sehingga viabilitas benih akan lebih rendah.

TINJAUAN PUSTAKA Diskripsi Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Buncis adalah tanaman hortikultura atau kelompok sayuran buah. Dalam taksonomi (sistematika) tumbuhan, buncis diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio Sibdivisio Kelas Subkelas Ordo Famili Subfamili Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Calyciflorae : Leguminales : Leguminosae : Papilionoidae : Phaseolus : Phaseolus vulgaris L. Kacang buncis dikenal dengan nama latin Phaseolus vulgaris L. atau biasa disebut Phaseolus esculentus salis B. Tanaman buncis memiliki jumlah kromosom 2n=22 dan termasuk tanaman berhari pendek (untuk berbunga memerlukan jumlah penyinaran matahari kurang dari dua belas jam setiap hari). Oleh karena itu, tanaman buncis mudah berkembang di Indonesia. Namun, buncis yang dikembangkan di daerah sedang (temperate zone) termasuk tanaman berhari netral (Pitojo, 2004). Buncis dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu tipe merambat dan tipe tegak (Debouck, 1991). Buncis tipe merambat antara lain pole bean , french bean, dan snap bean , sedangkan untuk buncis tipe tegak adalah bush bean. Buncis merupakan sayuran buah berpolong. Polong pendek berisi 2-6 butir biji dan polong yang panjang dapat berisi lebih dari 12 butir. Biji dari buncis yang bersari bebas dapat dijadikan benih, sedangkan biji buncis hibrida tidak dianjurkan untuk dijadikan benih karena akan menyebabkan terjadinya segregasi. Warna biji buncis yang telah tua sangat beragam : putih, cokelat, atau hitam; tergantung pada varietasnya. Bunga buncis mekar pada pagi hari sekitar jam 07.00 08.00. hasil dari proses penyerbukan bunga berupa buah yang disebut Polong. Saat biji telah masak fisiologi adalah saat terbaik untuk memungut buah untuk dijadikan benih. Biji yang telah masak fisiologi ditandai dengan kulit polong yang mengering dan biji mengeras (Pitojo, 2004).

Pengeringan Benih Dalam mendapatkan benih yang bermutu tinggi untuk keperluan produksi benih maka harus memperhitungkan waktu pemanenan benih, dimana benih tersebut harus dipanen dalam keadaan masak fisiologi, karena pada saat itu benih memiliki kualitas maksimal (Kuswanto, 2003). Menurut Sadjad (1980a) masak fisiologi merupakan periode dimana daya berkecambah dan vigor benih maksimum. Selain itu pada saat masak fisiologi benih tersebut memiliki berat kering yang maksimum, tetapi kadar air benih masih terlalu tinggi apabila langsung dilakukan pemanenan, sehingga dapat menimbulkan kerawanan-kerawanan, misalnya benih mudah rusak dan lebih mudah terserang hama serta penyakit. Disamping itu, pada kadar air yang terlalu tinggi laju respirasi benih juga tinggi (Kuswanto, 2003). Oleh karena itu, benih dibiarkan tetap bersama tanaman di lapang sampai kadar airnya turun dan dapat dipanen yaitu pada fase matang. Selama periode ini kualitas benih sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Curah hujan, suhu tinggi dan kelembaban tinggi menunjang kemunduran dan rendahnya kualitas benih (Delouche, 1983). Selama perkembangan, pemasakan dan pematangan, kadar air benih menurun perlahan- lahan hingga benih yang dipanen akhirnya mengering sampai batas yang tidak terjadi lagi penurunan kadar air, karena kadar airnya telah mencapai keseimbangan dengan kelembaban nisbi lingkungan sekitarnya. Bila terjadi perubahan selanjutnya pada kadar air, hal tersebut disebabkan perubahan pada kelembaban nisbi, suhu lingkungan, atau keduanya (Justice dan Bass, 2002). Pengeringan benih dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air benih sampai pada taraf yang aman untuk penyimpanan. Selain itu juga untuk mempertahankan persentase viabilitas benih terutama yang berada di daerah bersuhu dan kelembaban tinggi. Menurut Priyatna (1984) tujuan pengeringan benih adalah memperlambat pernafasan benih, mencegah serangan jamur, memperlambat kemunduran viabilitas benih dan meningkatkan daya simpan. Pengeringan yang baik akan menghasilkan benih dengan kadar air yang aman untuk dilakukannya pengolahan lebih lanjut menggunakan mesin pengolah benih, sehingga dapat mengurangi kerusakan mekanis akibat mesin pengolah. Pengeringan benih bisa terjadi sebelum benih tersebut dipanen. Hal tersebut terjadi apabila kemasakan benih terjadi pada saat cuaca panas/musim kemarau. Dengan

demikian, berarti bahwa panen tidak dilakukan pada saat benih masak fisiologi atau sama halnya dengan menyimpan benih di lahan dengan kondisi yang tidak sesuai dengan kondisi untuk penyimpanan benih. Panen yang dilakukan pada saat benih belum masak fisiologi akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas benih, dan pada kondisi lingkungan yang kurang sesuai tanaman dapat rebah sehingga dapat mengurangi jumlah benih yang dapat dipanen, atau terjad i shaterring terutama pada famili Leguminosae sehingga sebagian benih hilang serta dapat pula benih terserang hama dan penyakit (Kuswanto, 2003). Pengeringan benih merupakan proses perpindahan air dari dalam benih ke permukaan benih, dan kemudian air yang berada di permukaan tersebut akan diuapkan jika RH ruangan lebih rendah. Proses ini akan terjadi hingga keseimbangan kadar air benih dengan RH lingkungannya tercapai (Kuswanto, 2003). Prinsip pengeringan benih adalah memberikan lingkungan pada benih sedemikian sehingga tekanan uap disekeliling benih lebih rendah daripada tekanan uap di dalam benih. Mekanisme pengeringan dijelaskan melalui teori tekanan uap air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas merupakan air yang terdapat pada permukaan benih, sedangkan air terikat yaitu air yang terdapat dalam benih dan biasanya lebih sukar dikeluarkan. Hermawan (1999) menyatakan bahwa pengeringan dapat terjadi apabila ada perpindahan uap air benih menuju udara sekitar dan dari bahan menuju permukaan benih itu sendiri. Dengan memanaskan udara sekitar maka tekanan uap di dalam udara menurun dan suhu benih meningkat. Akibatnya terjadi perpindahan uap air dari tekanan tinggi (benih) ke tekanan yang lebih rendah (udara sekitar). Pengeringan benih dapat dilakukan dengan cara menjemur benih secara langsung di bawah sinar matahari (sun drying). Namun, cara ini kondisi ventilasi (aliran udara) harus benar-benar diperhatikan dan harus dicegah terjadinya pemanasan yang berlebih (over heating) karena jumlah panas yang diterima tidak dapat diatur. Sehingga, perlu diperhatikan ketebalan lapisan benih dan ventilasi (aliran udara) tempat pengeringan. Selama proses pengeringan, benih harus dibolak balik agar tidak terjadi pemanasan yang berlebihan di lapisan sebelah atas, dan untuk memudahkan penguapan air dari lapisan sebelah bawah (Kuswanto, 2003). Untuk pengeringan biji yang akan digunakan sebagai benih harus diperhatikan temperatur udara dan sebaiknya antara 32 0 -430C (900-1100 F).

Bila pada pengeringan benih digunakan temperatur udara tinggi maka pengeringan akan berlangsung cepat. Tetapi mengakibatkan retak-retak atau sun cracking karena suhu di bawah sinar matahari langsung di daerah tropis dapat mencapai di atas 710 C (1600 F). Keuntungan dari cara pengeringa n ini adalah energi yang didapat dari sinar matahari murah dan melimpah, terutama di daerah tropis. Namun kerugiannya adalah penjemuran tergantung cuaca (Sutopo, 1998). Jika jumlah benih yang harus dikeringkan banyak dan lantai jemur terbatas luasnya atau karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan, maka benih harus dikeringkan dengan pengeringan buatan (artificial), misalnya dengan pemanasan atau hembusan udara kering. Pengeringan buatan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan, untuk mencegah terjadinya kerusakan benih karena kehilangan air dalam waktu yang singkat, yang dapat menyebabkan pecahnya benih atau stres, terutama pada benih famili Leguminosae. Oleh karena itu, suhu yang digunakan untuk mengeringkan benih harus dijaga dalam kisaran 38 0 C-430 C. Keuntungan dengan cara buatan ini adalah suhu dapat diatur, kadar air benih dapat merata, tidak tergantung iklim, waktu pengeringan benih lebih pendek dan mudah diawasi dalam pelaksanaannya (Soedarsono, 1980). Menurut Sutopo (1998) lama pengeringan atau waktu yang dipergunakan untuk pengeringaan benih ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: kondisi benih yang akan dikeringkan, tebal timbunan benih, temperatur udara, kelembaban nisbi dan aliran udara. Dalam pengeringan benih, lama pengeringan dan suhu perlu diperhatikan karena sangat berperan dalam mempertahankan daya hidup benih. Pengeringan benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit berkerut bahkan retak (Soedarsono, 1980). Suseno (1974) menyatakan bahwa perubahan suhu secara cepat ketika pengeringan benih akan menyebabkan kerusakan hipokotil, sehingga jika benih dikecambahkan akan menghasilkan kecambah abnormal yang merupakan pencerminan kerusakan yng terjadi pada kromosom di dalam sel. Metode pengeringan alami umumnya menunjukkan nilai viabilitas, vigor dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pengeringan buatan, akan tetapi pengeringan buatan adalah salah satu alternatif yang paling praktis di dalam penerapan industri benih, dengan syarat waktu pengeringan ya ng diperlukan tidak terlalu cepat (Balitsa, 1998a).

Pengeringan benih membutuhkan perpindahan panas, karena benih hanya dapat dikeringkan dengan mengevaporasikan uap air dari permukaannya. Jika evaporasi dari permukaan benih berlangsung terlalu cepat, maka tekanan kelembaban yang terjadi berlebihan akan merusak embrio benih dan menyebabkan kehilangan viabilitasnya. Tekanan uap air udara sekitarnya juga penting untuk tidak dibiarkan meningkat. Jika tekanan uap air udaranya menjadi lebih besar dari tekanan uap air pada permukaan benihnya, maka kemungkinan benih akan menyerap uap air ketimbang kehilangan uap air (Justice dan Bass, 2002). Benih bersifat higroskopis, sehingga jika benih diletakkan di dalam ruangan dengan RH rendah, maka benih akan kehilangan air. Namun sebaliknya, jika benih diletakkan dalam ruangan dengan RH tinggi, maka kadar air benih akan bertambah atau meningkat. Selain benih bersifat higroskopis, benih juga selalu ingin berada dalam kondisi equilibrium (keseimbangan) dengan kondisi sekitarnya (Kuswanto, 2003). Penundaan pengeringan setelah panen akan menurunkan mutu benih (Delouche, 1983). Menurut Nugroho (1989), benih yang tidak mengalami penundaan pengeringan mempunyai viabilitas yang lebih baik dibandingkan benih yang mengalami penundaan. Keterlambatan pengeringan dapat mengakibatkan benih terperam sehingga membusuk dan daya berkecambah menurun (Sumarno dan Widiarti, 1985). Penelitian membuktikan bahwa penundaan pengeringan 2 hari pada biji kedelai mengakibatkan kerusakan biji hampir sebanyak 32%, sedangkan penundaan 5 hari hampir separuhnya yaitu 48.6% terutama panen dimusim penghujan. Penumpukan hasil panen sebelum pengeringan pada brangkasan kedelai akan menurunkan kuantitas dan kualitas hasil karena bahan masih memiliki kadar air yang tinggi.

Tingkat Kemasakan Benih Kemasakan benih menurut Delouche (1983), mencakup perubahan-perubahan morfologi dan fisiologi yang berlangsung sejak fertilisasi sampai bakal benih masak menjadi benih yang siap panen. Menurut Pitojo (2004), polong buncis yang dipanen untuk benih harus telah matang fisiologi. Adapun tanda-tanda visual polong buncis yang telah siap dipanen sebagai calon benih yaitu: warna kulit polong mulai mengering, berwarna kuning, dan kulit polong mulai keriput. Selama proses pemasakan benih terjadi

perubahan-perubahan tertentu dalam bakal benih yang meliputi perubahan kadar air, berat kering, perkecambahan dan vigor benih. Didalam penerapan agronomis yang kurang baik, terutama didalam penyiraman tanaman (irigasi) yang seharusnya dilakukan setiap hari, akan tetapi dimusim kemarau dilakukan setiap 3 hari sekali, maka akibatnya pada umur tanaman kurang dari 30 hari tanaman sudah menghasilkan bunga. Sehingga pada umur 37-38 HST panen polong tua sudah dapat dilakukan (Balitsa, 1998a). Hidalgo (1991) menyatakan bahwa secara umum, perilaku pembungaan, waktu untuk berbunga dan jangka waktu pembungaan merupakan komponen penting dalam penentuan waktu kematangan. Delouche (1983) secara umum menggambarkan daya berkecambah dan ukuran benih telah maksimum sebelum tercapai masak fisiologi. Berat kering dan vigor benih maksimum pada saat masak fisiologi. Berat kering, ukuran dan vigor benih setelah lewat fase masak fisiologi akan menurun secara perlahan-lahan, tetapi kadar air benih menurun dengan cepat hingga tercapai keseimbangan dengan kondisi di lingkungan pertanaman. Pada saat mencapai masak fisiologi, benih mempunyai berat kering dan vigor maksimum dan pada saat itu pula penghimpunan makanan di endosperm berakhir (Sadjad, 1980a). Vigor benih yang mencapai tingkatan maksimum waktu mencapai masak fisiologi harus dipertahankan selama proses pemanenan dan proses pengolahan selanjutnya. Vigor itu harus dikonservasi dalam periode yang disebut Periode Konservasi (PK) sebelum benih siap disimpan (PKS) (Sadjad et al., 1999). Sadjad et al. (1999) mengemukakan bahwa viabilitas optimum menunjukkan daya hidup benih dalam kondisi serba optimum, baik di lapang maupun di penyimpanan, sehingga benih dapat tumbuh secara maksimal. Sedangkan vigor benih adalah kemampuan benih mengatasi kondisi yang sub optimum. Sedangkan rendahnya vigor pada benih dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu genetik, fisiologi, morfologi, sitologi, mekanis dan mikroba (Heydecker, 1972). Faktor lingkungan juga mempengaruhi rendahnya vigor benih, diantaranya deraan cuaca lapang apabila terjadi penundaan pemanenan setelah masak fisiologi atau pemanenan sebelum masak fisiologi. Selain itu, hal yang mempengaruhi rendahnya vigor benih adalah pengolahan pasca panen yang didahului oleh proses pengeringan benih yang kurang tepat dan terencana seperti terjadinya penundaan pengeringan akibat kurangnya kapasitas alat

atau masih tingginya kadar air benih untuk pengolahan. Sementara itu, benih yang memiliki vigor yang rendah akan berakibat terjadinya kemunduran benih yang cepat selama penyimpanan, kecepatan kecambah menurun, peka serangan hama dan penyakit, peningkatan jumlah kecambah abnormal dan produksi menurun (Sutopo, 1998). Penentuan masak fisiologi sangat penting dalam pemasakan benih, karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu benih (Copeland dan McDonald , 1995). Benih yang dihasilkan dari suatu pertanaman akan bermutu tinggi bila pemanenannya dilakukan pada saat masak fisiologi. Pada momen periode viabilitas masak fisiologi ada kalanya benih belum tepat untuk dipanen, karena kadar air benih masih terlalu tinggi yang bisa mengakibatkan kerusakan fisik apabila dipanen (Sadjad, 1993). Panen yang terlalu dini akan menghasilkan benih dengan vigor dan daya

berkecambah yang rendah (Delouche, 1983). Demikian pula benih yang terlambat dipanen akan menurun vigornya akibat penyimpanan di lapang. Untuk mendapatkan benih yang berviabilitas tinggi, sangat dipengaruhi oleh tingkat kemasakan benihnya. Benih kacang jogo yang dipanen pada umur 36 HSB, saat tercapainya masak fisiologis kemudian diikuti pengeringan matahari atau buatan, memiliki vigor benih maksimum (Kartika dan Ilyas, 1994). Varietas buncis rambat yang dipanen kering pohon dapat menghasilkan benih yang baik dengan persentase kadar air 9%, daya berkecambah 100%, dan vigor 94%. Pada umur 10 minggu sejak bunga mekar, kacang buncis rambat sudah dapat dipanen dan hasil benihnya cukup baik (kadar air 9%, daya berkecambah 85%, vigor 45%). Varietas buncis tegak dipanen kering pohon dapat menghasilkan benih yang baik dengan persentase kadar air 9%, daya berkecambah 100% dan vigor 94%. Pada umur 8 minggu sejak bunga mekar (50% kuning) kacang buncis tegak sudah dapat dipanen dan hasil benihnya cukup baik (kadar air 10%, daya berkecambah 83%, vigor 52%). Dari evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa tahapan waktu panen pada masak fisiologi lebih baik daripada panen kering pohon, yang ditunjukkan dalam nilai persen viabilitas, vigor benih dan morfologi pertumbuhannya (Balitsa, 1998b). Tingkat kemunduran benih, rendahnya kemampuan berkecambah dan vigor benih ditentukan oleh periode antara masak fisiologi dan waktu panen (Boyd dan Delouche, 1983). Penundaan saat panen harus tetap memperhatikan jumlah dan mutu benih yang akan dihasilkan (Mugnisjah dan Setiawan, 1990). Proses pemasakan benih dimulai saat

anthesis sampai benih mencapai masak fisiologi, sedangkan pematangan benih dimulai dari saat masak fisiologi sampai masak panen. Menurut Delouche (1983), antara tingkat masak masak fisiologi dan tingkat matang (panen) merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas benih terutama bila kondisi cuaca saat panen tidak menunjang. Panen yang dilakukan sebelum benih masak dapat menyebabkan perkecambahan atau vigor benih jelek, karena struktur dan komponen benih belum berkembang atau disintesis dengan sempurna. Penangguhan panen setelah pemasakan sama saja dengan menyimpan benih di lapang di bawah kondisi kelembaban dan suhu yang tidak layak (Mugnisjah dan Setiawan, 1990).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2005-Maret 2006 di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Unit Processing Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Leuwikopo Darmaga, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih buncis (Phaseolus vulgaris L.) varietas Lebat. Bahan lain yang digunakan adalah kertas merang, plastik, dan kertas label. Alat yang digunakan adalah desikator, oven dengan suhu 1350 C, timbangan, alat pengepres IPB 75-1, alat pengecambah benih tipe IPB 72-1, pinset dan termometer.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial yang disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor, yaitu : 1 Faktor waktu panen 2 Faktor penundaan pengeringan : 32 dan 35 hari setelah berbunga (HSB). : 0, 1 dan 2 hari.

Sehingga didapatkan jumlah kombinasi percobaan 3X2X3 = 18 satuan percobaan. Model rancangan disusun sebagai berikut :

Yijk = + a i + j + (a)ij + ? ij
Keterangan : Yij = Hasil pengamatan pengaruh waktu panen ke-32 dan 35 HSB (i) dan penundaan pengeringan ke-0, 1 dan 2 hari (j). ai j (a)ij = Rataan umum hasil pengamatan = Pengaruh waktu panen ke-i = Pengaruh penundaan pengeringan ke-j = Pengaruh interaksi antara waktu panen ke- i dan penundaan pengeringan ke-j.

Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati dilakukan uji F dan bila uji F nyata maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian Benih yang digunakan adalah benih buncis varietas Lebat yang ditanam di Kebun Percobaan Leuwikopo, Dramaga Bogor pada bulan Desember 2005-Maret 2006.
2 Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 70X40 cm diatas lahan seluas 300 m . Pada

awal penanaman dilakukan pemupukan SP-36 dengan dosis 6 g per tanaman, pemupukan lanjutan dengan pupuk majemuk Mutiara dengan dosis 6 kg per 300 m2 yang diaplikasikan pada 12 Hari Setelah Tanam (HST) dan 8 Minggu Setelah Tanam (MST). Benih dipanen saat masak fisiologis yaitu 32 HSB dan 35 HS B. Setelah dipanen kemudian dilakukan pengeringan dengan menggunakan matahari (dijemur) selama 2 hari dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 12.00 siang menurut perlakuan masing- masing yaitu langsung dijemur atau tanpa penundaan pengeringan dan penundaan penge ringan 1 dan 2 hari. Polong yang sudah dikeringkan dirontokkan dan dipisahkan antara benih baik dan benih rusaknya. Yang dimaksud benih rusak adalah benih yang terkena serangan cendawan, benih berlubang karena serangan hama dan benih yang tidak utuh. Selain itu, benih yang sudah dirontokkan diukur kadar airnya. Pengujian viabilitas meliputi Daya Berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (KCT ), Berat Kering Kecambah Normal (BKKN), persentase serangan cendawan, persentase benih rusak, bobot 1000 butir dan penyusutan bobot selama penundaan pengeringan. Percobaan ini memerlukan sekitar 54 kg polong.

Pengujian di Laboratorium 1. Kadar air (KA) Benih buncis sebanyak 10 butir untuk masing- masing perlakuan waktu panen dan penundaan pengeringan, ditimbang bobot basahnya kemudian dioven pada suhu 1350C selama 1 jam, kemudian ditimbang bobot keringnya. Pengukuran kadar air dilakukan sebanyak 3 ulangan. Kadar air benih diperoleh dengan rumus:
KA (%) = bobot basah - bobot kering X 100% bobot basah

2. Daya berkecambah (DB) Daya berkecambah diukur dengan cara menanam 25 butir benih buncis pada substrat kertas merang dengan metode UKDdp. Kemudian diletakkan di APB tipe IPB 72-1. Pengamatan dilakukan pada hitungan pertama (hari ke-5) dan hitungan kedua (hari ke-7) setelah tanam. Daya berkecambah (DB) adalah persentase kecambah normal dalam keadaan lingkungan yang optimum, perhitungan daya berkecambah dilakukan sebanyak 3 ulangan dan persentasenya dapat dihitung berdasarkan kecambah normal (KN) yang tumbuh dengan rumus:

DB (% ) =
3. Kecepatan tumbuh (KCT )

KN1 + KN 2 X 100% benih yang ditanam

Benih buncis sebanyak 25 butir ditanam pada substrat kertas merang dengan metode UKDdp, kemudian dikecambahkan dengan alat pengecambah benih (APB) tipe IPB 72-1. Pengamatan dilakukan setiap hari. Kecepatan tumbuh diukur dengan menghitung kecambah normal. Setiap pengamatan jumlah kecambah normal dibagi etmal (24jam). Nilai etmal kumulatif dihitung mulai saat benih ditanam sampai saat pengamatan terakhir dengan rumus:
tn =7 i =1

KCT (%) = Keterangan: Ni Wi

Ni Wi

= % kecambah yang telah normal pada etmal ke-i. = waktu pengamatan dalam etmal.

4. Berat kering kecambah normal (BKKN) Pengamatan dilakukan pada hari ke 7 setelah pengecambahan (7 HSP), dengan mengeringkan kecambah normal yang telah dibuang kotiledonnya dengan oven suhu 600C selama 3X24 jam. Setelah pengeringan, dimasukkan ke dalam desikator selama + 30 menit dan selanjutnya ditimbang bobot keringnya.

5. Persentase serangan cendawan Benih dikecambahkan sebanyak 25 butir sebanyak 3 ulangan. Kemudian dihitung persentase benih yang terserang cendawan dengan rumus: Serangan cendawan (%) =

benih ters erang cendawan X 100% benih yang ditanam

6. Persentase benih rusak Pengamatan dilakukan setelah pengeringan. Benih yang dihasilkan dipisahkan antara yang rusak dan yang baik. Kemudian dihitung persentase benih yang rusak dengan rumus:
Benih rusak (%) =

benih rusak X 100% calon benih

Benih rusak yang dimaksudkan dalam pengamatan penelitian ini antara lain adalah benih yang terserang cendawan, benih berlubang karena serangan hama, benih keriput dan benih-benih yang telah berubah warna serta bentuknya.

7. Bobot 1000 butir benih Pengamatan dilakukan untuk mengetahui mutu fisik dari benih. Metode penetapannya menggunakan cara penghitungan dalam ulangan sebagai berikut : a) Membuat 4 ulangan, dengan masing- masing ulangan terdiri dari 100 butir benih. b) Masing- masing ulangan yang telah diperoleh, kemudian ditimbang dengan timbangan analitik. c) Bobot yang telah diperoleh dari penimbangan 4 ulangan, kemudian dijumlahkan. d) Bobot 1000 butir benih = jumlah bobot 4 ulangan x 2,5.

8. Bobot polong sebelum dan sesudah penundaan pengeringan. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui penyusutan dari bobot polo ng yang dipanen dengan bobot polong setelah penundaan pengeringan dan bobot polong setelah dikeringkan., banyaknya sampel yang digunakan adalah 300 gram polong untuk tiap ulangan dari setiap perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Benih buncis ya ng digunakan dalam penelitian ini ditanam di Kebun Percobaan
2 Leuwikopo pada bulan Desember 2005 di atas lahan seluas 300 m dengan populasi

sebanyak 1.323 tanaman. Pada masa penanaman dan fase vegetatif khususnya curah hujan cukup tinggi sehingga banyak tanaman yang mati busuk yaitu sekitar 18,01%. Meskipun demikian serangan hama dan penyakit tidak berdampak buruk terhadap pertumbuhan secara keseluruhan, kecuali pertumbuhan gulma yang cukup subur. Hujan yang terus menerus menyebabkan masa pembungaan atau fase generatif dari tanaman ini lebih cepat, yaitu sekitar 5 MST tanaman sudah berbunga lebih dari 50%. Pada 6 MST bunga dari tanaman buncis sudah membentuk polong dengan ukuran rata-rata 10 cm, dan pada 7 MST (11 HSB) ukuran polong bertambah menjadi rata-rata 20 cm dengan jumlah benih per polong sekitar 6 10 butir, secara morfologi polong seperti ini cocok untuk dipanen dan dijual di supermarket untuk konsumsi. Curah hujan yang masih cukup tinggi menyebabkan banyak tanaman yang mati busuk dan polong terserang ulat meskipun tingkat serangannya tidak terlalu tinggi. Pemanenan buncis untuk konsumsi masih layak sampai 8 MST (22 HSB) tetapi kondisi polong pada masa ini sudah mengalami perubahan warna dan struktur polong yaitu kulit polong sudah cukup lunak, biasanya untuk polong yang seperti ini layak dijual pada pasar-pasar tradisional. Pada 9 MST (27 HSB) kondisi polong sudah mulai menguning tetapi belum cukup kering untuk dilakukan pemanenan benih karena kadar air polong masih cukup tinggi. Panen polong untuk konsumsi tidak dapat dilakukan bersama-sama dengan panen benih, sebab polong untuk konsumsi umumnya masih muda sehingga benih yang terbentuk di dalamnya juga masih muda. Panen dilakukan pada saat masak fisiologi yaitu pada saat berat kering dan vigor benih maksimum (Delouche , 1983). Pemanenan pertama untuk benih buncis dilakukan pada 10 MST (32 HSB) dimana kondisi polong memiliki tanda-tanda visual polong buncis yang telah siap dipanen sebagai calon benih yaitu: warna kulit polong mulai mengering, berwarna kuning, dan kulit polong mulai keriput (Pitojo, 2004), pada panen pertama ini kondisi polong 100% terserang cendawan, hal ini disebabkan hujan yang

terus menerus sehingga selain terdapat bercak-bercak cendawan juga banyak polong yang berguguran, produksi polong menjadi rendah karena hal tersebut. Hasil panen yang diperoleh (1,8 kg untuk tiap panen) dikeringkan dengan menggunakan matahari dan sebagian lagi dilakukan penundaan pengeringan. Pada panen kedua (35 HSB) serangan cendawan semakin hebat dan banyak tanaman yang mati, hasil dari panen kedua dikeringkan dengan menggunakan matahari dan sebagian lagi dilakukan penundaan pengeringan. Hasil panen pertama dan kedua setelah dikeringkan dilakukan pengujian terhadap parameter viabilitas di Laboratorium dengan tolok ukur Kadar Air (KA), persentase benih rusak, bobot 1000 butir, penyusutan bobot polong sebelum dan sesudah dikeringkan selama masa pengeringan dan penundaan pengeringan, Daya Berkecambah (DB), persentase serangan cendawan, Kecepatan Tumbuh (K CT ) dan Bobot Kering Kecambah Normal (BKKN). Sidik ragam untuk masing- masing tolok ukur dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1 sampai dengan 12, dan rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Waktu Panen (WP), Penundaan Pengeringan (PP) dan Interaksinya terhadap Viabilitas Benih Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Tolok Ukur KA Sblm Pengeringan Stlh Pengeringan % Benih Rusak Bobot 1000 butir Penyusutan bobot Daya Berkecambah % Serangan cndwn Kecepatan Tumbuh BKKN ** ** tn ** ** tn tn tn tn * tn tn tn ** tn tn ** tn ** tn tn tn ** tn tn ** tn WP PP WP*PP

Keterangan : tn = tidak nyata, * = nyata pada taraf 5%, ** = sangat nyata pada taraf 1%

Berdasarkan rekapitulasi hasil sidik ragam pada Tabel 1 dapat diketa hui bahwa pengaruh faktor tunggal waktu panen berpengaruh sangat nyata terhadap parameter viabilitas dengan tolok ukur Kadar Air (KA) benih sebelum dan setelah pengeringan, bobot 1000 butir dan penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan, untuk pengaruh faktor tunggal penundaan pengeringan berpengaruh nyata terhadap tolok ukur KA benih sebelum pengeringan, berpengaruh sangat nyata terhadap penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan K CT , sedangkan untuk interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur KA sebelum pengeringan, penyusutan bobot selama penundaan pengeringan dan KCT . Tolok ukur bobot 1000 butir ternyata hanya dipengaruhi oleh waktu panen, dan tolok ukur penyusutan bobot hanya dipengaruhi oleh pengeringannya, sedangkan untuk parameter vigor benih yang diukur dengan tolok ukur KCT dipengaruhi oleh pengeringan dan interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan. Dan untuk tolok ukur kadar air ternyata dipengaruhi oleh semua perlakuan yaitu waktu panen, penundaan pengeringan dan interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Kadar Air (KA) dipengaruhi oleh interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan. Pengaruh interaksi antara penundaan pengeringan dan waktu panen terhadap KA sebelum pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan Polong Waktu Panen (HSB) 32 35 0 35.81 d 15.88 a Penundaan Pengeringan (Hari) 1 ............%............. 21.21bc 21.69bc 2 18.76ab 23.84c

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air benih panenan 32 HSB mengalami penurunan kadar air selama dilakukan penundaan pengeringan. Penurunan kadar air dengan penundaan pengeringan 1 dan 2 hari menunjukkan nilai penurunan secara nyata.

Sebaliknya, untuk panenan 35 HSB menunjukkan nilai peningkatan kadar air pada penundaan pengeringan 1 dan 2 hari secara nyata. Pada panen pertama (32 HSB) kadar air benih berkisar 35.81%, tetapi pada panen kedua (35 HSB) kadar air benih mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lapang, dimana pada periode panen kedua (35 HSB) matahari bersinar cerah (terik). Secara teoritis, kadar air benih akan mengalami penurunan setelah periode masak fisiologi, nilai kadar air pada waktu panen diatas menunjukkan kadar air benih untuk panen pertama (32 HSB) lebih tinggi daripada panen kedua (35 HSB), tetapi penurunan nilai kadar air yang terlalu jauh yaitu dari 35.81% ke 15.88% dapat disebabkan karena pengaruh intensitas penyinaran matahari yang tinggi pada pengeringan untuk panen 32 HSB. Seperti yang dikemukakan oleh Justice dan Bass (2002), selama perkembangan, pemasakan dan pematangan, kadar air benih menurun perlahan- lahan hingga benih yang dipanen akhirnya mengering sampai batas yang tidak ada lagi penurunan ke lembaban, karena kadar airnya telah mencapai keseimbangan dengan kelembaban nisbi lingkungan sekitarnya. Bila terjadi perubahan selanjutnya pada kadar air, hal tersebut disebabkan perubahan pada kelembaban nisbi, suhu lingkungan, atau keduanya. Benih bersifat higroskopis, sehingga jika benih diletakkan di dalam ruangan dengan RH rendah, maka benih akan kehilangan air. Namun sebaliknya, jika benih diletakkan dalam ruangan dengan RH tinggi, maka kadar air benih akan bertambah atau meningkat. Selain benih bersifat higroskopis, benih juga selalu ingin berada dalam kondisi equilibrium (keseimbangan) dengan kondisi sekitarnya (Kuswanto, 2003). Hal ini serupa dengan yang terjadi pada kombinasi perlakuan pertama yaitu kadar air benih selama penundaan pengeringan mengalami penurunan, karena suhu udara yang terlalu tinggi atau kelembabannya rendah, sebaliknya pada kombinasi perlakuan kedua yaitu terjadi peningkatan kadar air benih karena suhu udara yang rendah atau kelembaban yang tinggi, kondisi tersebut dikarenakan polong adalah organ yang hidup dan melakukan keseimbangan dengan lingkungannya. Waktu panen ternyata berpengaruh terhadap Kadar Air (KA) setelah pengeringan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan Polong Waktu Panen (HSB) 32 35 0 Penundaan Pengeringan (Hari) 1 2 (%) 9.84 15.53 Rataan 10.47a 14.99b

11.61 14.90

9.97 14.53

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Data dari KA benih setelah pengeringan polong pada Tabel 3 sangat dipengaruhi oleh intensitas penyinaran matahari yang tidak sama pada tiap perlakuan. Sehingga, menyebabkan penurunan nilai KA yang berbeda cukup besar. Kadar air maksimum yang diperoleh setelah pengeringan pada perlakuan panen kedua (35 HSB) yaitu 14.99% dan kadar air pada panen pertama (32 HSB) yaitu 10.47% masih merupakan kadar air yang cukup aman bagi benih. Pengeringan yang tepa t diperlukan untuk memperoleh benih dengan tingkat kadar air yang optimum, yaitu cukup kering untuk menghindari kerusakan sel, kehancuran atau memar dan tidak terlalu kering untuk menghindari kerusakan (Hermawan, 1999). Peningkatan kadar air pada panen kedua dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama pengeringan dengan menggunakan matahari, dimana pada periode pengeringan untuk panen kedua kondisi suhu udaranya menurun dan kelembabannya udaranya meningkat (mendung). Dalam rangka pengeringan benih, perlu diperhatikan kondisi udara disekitarnya, karena air yang diuapkan oleh benih akan diabsorbsi oleh udara atau bahkan sebaliknya benih akan mengabsorbsi air dari udara jika kandungan uap air udara untuk pengeringan terlalu tinggi (Kuswanto, 2003). Proses kese imbangan ini akan berjalan secara otomatis, karena sifat ini sangat penting dalam proses pengeringan benih.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Benih Rusak Persentase benih rusak tidak dipengaruhi oleh perlakuan waktu panen dan penundaan pengeringan maupun interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan. Persentase benih rusak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Benih Rusak Waktu Panen (HSB) 32 35 0 25.86 30.53 Penundaan Pengeringan (Hari) 1 (%) 33.59 34.12 2 32.49 20.28

Penundaan pengeringan setelah panen akan menurunkan mutu benih (Delouche, 1983). Menurut Nugroho (1989), benih yang tidak mengalami penundaan pengeringan mempunyai viabilitas yang lebih baik dibandingkan benih yang mengalami penundaan. Keterlambatan pengeringan dapat mengakibatkan benih terperam sehingga membusuk dan daya berkecambah menurun. Penelitian membuktikan bahwa penundaan pengeringan 2 hari pada biji kedelai mengakibatkan kerusakan biji hampir sebanyak 32%, sedangkan penundaan 5 hari hampir separuhnya yaitu 48.6% terutama panen dimusim penghujan (Sumarno dan Widiarti, 1985). Dari data yang diperoleh pada panen pertama (32 HSB) dan kedua (35 HSB) terlihat peningkatan persentase benih rusak setelah dilakukan penundaan pengeringan, hal ini sesuai dengan pernyataan Sadjad (1980) bahwa benih yang dipanen pada musim hujan akan lebih mengalami kerusakan apabila harus diturunkan Kadar Airnya (KA) secara alami dengan sarana panas matahari. Namun, terjadi penurunan persentase benih rusak pada panen kedua setelah ditunda pengeringannya dua hari, hal ini dapat disebabkan oleh karena benih yang dipanen memang memiliki vigor awal yang baik meskipun polongnya 100% terserang cendawan sehingga kurang berpengaruh terhadap masing-masing perlakuan, meskipun demikian nilai uji statistiknya menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor selama benih masih di lapang, dimana telah dijelaskan di depan bahwa polong benih sudah 100% terserang cendawan, jadi kemungkinan untuk terjadinya kerusakan selama proses pengolahan tinggi. Benih rusak yang dimaksudkan dalam pengamatan penelitian ini antara lain adalah benih yang terserang cendawan, benih berlubang karena s erangan hama, benih keriput dan benih-benih yang telah berubah warna serta bentuknya. Menurut Soedarsono (1980), pengeringan benih yang terlalu cepat menyebabkan penguapan yang cepat sehingga kulit berkerut bahkan retak.

Berdasarkan banyaknya benih baik yang diperoleh, kita dapat menghitung efisiensi pengeringan yang menggambarkan efisien tidaknya suatu perlakuan untuk dilakukan. Menurut Copeland dan McDonald (1995), efisiensi pengeringan diperoleh dengan mengalikan persentase benih baik dengan persentase viabilitas, dari perhitungan tersebut diperoleh hasil bahwa perlakuan waktu panen 32 HSB dengan langsung pengeringan menunjukkan nilai efisiensi yang lebih tinggi yaitu 62.63% dibandingkan perlakuan yang lain. Sehingga, perlakuan ini efisien dalam menghasilkan benih baik dengan viabilitas yang tinggi. Terkait dengan hal tersebut, berarti benih rusak yang dihasilkan pada perlakuan panen 32 HSB dan langsung dikeringkan akan semakin kecil meskipun nilai uji statistiknya tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Bobot 1000 Butir Bobot 1000 butir dipengaruhi oleh waktu panen dengan sangat nyata. Perlakuan penundaan pengeringan dan interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan tidak berpengaruh pada tolok ukur bobot 1000 butir (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Bobot 1000 Butir Waktu Panen (HSB) 32 35 Penundaan Pengeringan (Hari) 1 2 (g) 171.75 181.08 182.75 186.50 185.75 191.08 0 Rataan 178.53a 187.78b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Bobot 1000 butir panen kedua (35 HSB) menunjukkan nilai yang lebih tinggi yaitu 187.78 g dibandingkan denga n panen pertama (32 HSB) yaitu 178.53 g. Hal ini berkaitan dengan rata-rata kadar air benih setelah pengeringan, dimana rata-rata kadar air benih setelah pengeringan pada panen kedua (35 HSB) menunjukkan nilai yang lebih tinggi (14.99%) dibandingkan dengan rata-rata kadar air benih setelah pengeringan pada panen pertama (32 HSB) yaitu 10.47%. Kadar air yang tinggi pada panenan 35 HSB menunjukkan nilai yang berbeda nyata, sehingga dilakukan penghitungan terhadap berat kering benih (Tabel 6).

Tabel 6. Nilai Berat Kering Benih terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan Waktu Panen (HSB) 32 35 Penundaan Pengeringan (Hari) 0 1 2 (g) 151.75 163.13 164.50 158.68 158.91 163.34 Rataan 159.79 160.31

Kadar air yang tinggi (14.99%) pada panenan 35 HSB tidak mempengaruhi bera t kering benih secara nyata, sehingga tingginya nilai bobot 1000 butir dapat disebabkan oleh nilai kadar air benihnya. Pengeringan yang kurang sempurna menyebabkan kadar air dalam benih masih tinggi, sehingga mempengaruhi bobot persatuan benih. Selain pengaruh kadar air, besarnya nilai bobot 1000 butir dapat disebabkan oleh kandungan cadangan makanan (timbunan makanan hasil fotosintesis) yang terdapat di dalam benih, dimana pada saat masak fisiologi kemampuan penggunaan cadangan makanan akan maksimum.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan Interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan berpengaruh nyata pada tolok ukur penyusutan bobot polong selama penundaa n pengeringan. Uji lanjutnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan Waktu Panen (HSB) 32 35 0 0a 0a Penundaan Pengeringan (Hari) 1 (%) 16.67b 13.89b 2 25.56c 16.67b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Dari Tabel 7 dapat terlihat bahwa selama dilakukannya penundaan pengeringan, penyusutan bobot polong benih dari bobot awalnya semakin meningkat. Pada panen pertama (32 HSB) penyusutan bobot benih lebih tinggi dibandingkan dengan penyusutan pada waktu panen kedua (35 HSB). Penyusutan tertinggi terdapat pada perlakuan waktu panen pertama dengan penundaan pengeringan 2 hari yaitu 76.67 g.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Daya Berkecambah (DB) Daya Berkecambah (DB) tidak dipengaruhi oleh waktu panen dan penundaan pengeringan maupun interaksi keduanya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Dari Tabel 8 terlihat bahwa parameter viabilitas yang diukur dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB) menunjukkan penurunan ketika dilakukan penundaan, hal ini berlaku untuk perlakuan waktu panen pertama (32 HSB) dan panen kedua (35 HSB) meskipun tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Selain itu nilai DB pada panen pertama (32 HSB) menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan panen kedua (35 HSB). Persentase DB tertinggi terdapat pada perlakuan waktu panen pertama tanpa penundaan pengeringan yaitu 81.33%, meskipun nilai uji secara statistiknya tidak menunjukkan nilai yang berbeda secara nyata. Sehingga pengaruh waktu panen (32 dan 35 HSB) dan penundaan sampai dengan 2 hari masih dapat dilakukan untuk menghasilkan benih yang baik. Tabel 8. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Daya Berkecambah (DB) Waktu Panen (HSB) 32 35 0 81.33 72.00 Penundaan Pengeringan (Hari) 1 (%) 76.00 69.33 2 78.67 76.00

Nilai viabilitas benih yang diukur dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB) pada semua perlakuan menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Untuk mendapatkan benih yang berviabilitas tinggi, sangat dipengaruhi oleh tingkat kemasakan benihnya. Benih kacang jogo yang dipanen pada umur 36 hsb, saat tercapainya masak fisiologis kemudian diikuti pengeringan matahari atau buatan, memiliki vigor benih maksimum (Kartika dan Ilyas, 1994). Meskipun terjadi penurunan persentase DB tetapi nilai sidik ragamnya menunjukkan nilai tidak berbeda nyata. Penundaan pengeringan setelah panen akan menurunkan mutu benih (Delouche, 1983). Menurut Nugroho (1989), benih yang tidak mengalami penundaan pengeringan mempunyai viabilitas yang lebih baik dibandingkan benih yang mengalami penundaan.

Keterlambatan pengeringan dapat mengakibatkan benih terperam sehingga membusuk dan daya berkecambah menurun (Sumarno dan Widiarti, 1985). Tingkat kemunduran benih, rendahnya kemampuan berkecambah dan vigor benih ditentukan oleh periode antara masak fisiologi dan waktu panen (Boyd dan Delouche, 1983). Penundaan saat panen harus tetap memperhatikan jumlah dan mutu benih yang akan dihasilkan (Mugnisjah dan Setiawan, 1990). Panen yang dilakukan sebelum benih masak dapat menyebabkan perkecambahan atau vigor benih jelek, karena struktur dan komponen benih belum berkembang atau disintesis dengan sempurna. Penangguhan panen setelah pemasakan sama saja dengan menyimpan benih di lapang di bawah kondisi kelembaban dan suhu yang tidak layak (Mugnisjah dan Setiawan, 1990). Di negara beriklim tropis, suhu udara biasanya cuk up tinggi untuk digunakan dalam proses pengeringan benih, jika dipanen pada musim panas/akhir musim hujan. Namun, di daerah tropis ini selain memiliki suhu udara yang tinggi, ternyata juga memiliki kelembaban udara yang tinggi pula, sehingga jumlah air yang dapat diserap oleh udara pada waktu proses pengeringan benih relatif menjadi rendah/sedikit sebelum udara menjadi jenuh, apalagi pemanenan pada penelitian ini dilakukan pada waktu musim hujan. Hal ini akan menyebabkan proses pengeringan berjalan lambat (dibutuhkan waktu relatif lama) dan akan berdampak terhadap kualitas benih yang dikeringkan, mengingat adanya kemungkinan dapat terjadi heating (pemanasan setempat) pada benih.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Serangan Cendawan Persentase serangan cendawan tidak dipengaruhi oleh perlakuan maupun interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Serangan Cendawan Waktu Panen (HSB) 32 35 0 16.00 25.33 Penundaan Pengeringan (Hari) 1 (%) 20.00 30.67 2 22.67 22.67

Pengeringan benih di Lapang dapat terjadi sebelum benih tersebut dipanen. Hal ini terjadi pada saat cuaca panas/musim kemarau. Dengan demik ian, berarti bahwa panen tidak dilakukan pada saat benih masak fisiologi atau sama halnya dengan menyimpan benih di lahan dengan kondisi yang tidak sesuai dengan kondisi untuk penyimpanan benih. Pemanenan sebelum masak fisiologi dapat menyebabkan penurunan kualitas benih. Sehingga akan berpengaruh pada pertanaman selanjutnya. Dari Tabel 9 terlihat bahwa persentase serangan cendawan mengalami peningkatan ketika dilakukan penundaan pengeringan dan waktu panen yang lebih lama, tetapi nilai sidik ragamnya tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada semua perlakuan. Nilai persentase serangan cendawan tertinggi terdapat pada perlakuan waktu panen kedua (35 HSB) dengan penundaan pengeringan 1 hari. Secara umum serangan cendawan yang lebih tinggi terdapat pada perlakuan waktu panen kedua (35 HSB). Hal ini dapat disebabkan oleh kadar air benih setelah pengeringan yang terlalu tinggi yaitu 14.99%. Menurut standar pengujian laboratoris di Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yaitu kadar air maksimum sebesar 13.0%. Sehingga, kadar air yang terlalu tinggi dapat meningkatkan persentase serangan cendawan, meskipun nilai peningkatannya tidak signifikan atau secara statistik tidak berbeda nyata. Namun, pada penelitian ini serangan cendawan tidak menyebabkan penurunan viabilitas benih secara nyata, tingkat serangan cendawan pada penelitian ini sejalan dengan nilai tolok ukur Daya Berkecambah (DB) yaitu semakin rendah tingkat serangannya maka semakin baik nilai Daya

Berkecambahnya (DB)nya begitupun sebaliknya.

Pengaruh Wa ktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (KC T) Pengamatan nilai Kecepatan Tumbuh (KCT ) dijadikan tolok ukur untuk parameter vigor benih. KCT tidak dipengaruhi oleh waktu panen tetapi dipengaruhi oleh perlakuan penundaan pengeringan dan interaksi antara waktu panen dan penundaan pengeringan. Pengaruh interaksi antara penundaan pengeringan dan waktu panen dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaruh Interaksi antara Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (KCT ) Waktu Panen (HSB) 32 35 0 9.77a 13.74bc Penundaan Pengeringan (Hari) 1 (%/etmal) 15.55c 12.03ab 2 16.59c 15.37c

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Pada uji viabilitas benih, baik uji daya kecambah atau uji kekuatan tumbuh benih, penilaian dilakukan dengan membandingkan kecambah satu dengan yang lain dalam satu substrat. Pada pengujian yang penilaiannya harus dilakukan dengan membandingkan hasil perkecambahan dari berbagai substrat dapat digunakan parameter seperti laju perkecambahan, berat kering/basah dari kecambah atau kotiledon, berat epikotil atau plumula. Umumnya sebagai parameter untuk viabilitas benih digunakan persentase perkecambahan. Dimana perkecambahan harus cepat dan pertumbuhan kecambahnya kuat, dan ini mencerminkan kekuatan tumbuhnya, yang dapat dinyatakan dengan laju perkecambahan (Sutopo, 1998). Dari Tabel 10 menunjukkan bahwa vigor benih mengalami peningkatan selama dilakukannya penundaan pengeringan. Selain itu, vigor benih juga mengalami peningkatan pada perlakuan waktu panen. Pada perlakuan panen pertama (32 HSB) menunjukkan nilai vigor yang paling tinggi untuk penundaan pengeringan 2 hari yaitu 16,59 %/etmal dibandingkan dengan tanpa penundaan pengeringan dengan penundaan pengeringan 1 hari. Namun, untuk panen kedua (35 HSB) perlakuan penundaan pengeringan 1 hari menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan tanpa penundaan pengeringan ataupun pengeringan 2 hari. Vigor benih terendah diperoleh pada perlakuan waktu panen pertama tanpa penundaan pengeringan yaitu 9,77 %/etmal, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan waktu panen pertama dengan penundaan pengeringan 2 hari yaitu 16.59 %/etmal. Tingginya nilai vigor benih ini dapat disebabkan oleh Kadar Air (KA) benih yang tidak terlalu tinggi, sehingga aman untuk benih. Vigor benih pada panen pertama (32 HSB) menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan vigor benih pada panen kedua (35 HSB).

Hasil pengujian vigor benih ini agak berbeda dengan nilai persentase Daya Berkecambah (DB), tetapi pengujian Kecepatan Tumbuh (K CT ) benih lebih tajam dalam menunjukkan penurunan maupun peningkatan viabilitas dibandingkan dengan Daya Berkecambah (DB). Kecepatan Tumbuh (K CT ) benih merupakan tolok ukur yang mengindikasikan vigor kekuatan tumbuh benih. Untuk menilai viabilitas benih, tolok ukur K CT akan memperlihatkan hasil yang lebih dapat membedakan antar perlakuan daripada DB. Hal ini disebabkan tolok ukur KCT merupakan tolok ukur untuk menilai kemampuan benih berkecambah pada kondisi yang sub optimum, sedangkan DB diuji pada kondisi yang optimum. Sadjad et al. (1999) mengemukakan bahwa viabilitas optimum menunjukkan daya hidup benih dalam kondisi serba optimum, baik di lapang maupun di penyimpanan, sehingga benih dapat tumbuh secara maksimal. Sedangkan vigor benih adalah kemampuan benih mengatasi kondisi yang sub optimum.

Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) Perlakuan penundaan pengeringan dan waktu panen serta interaksi antara keduanya menunjukkan nilai sidik ragam yang tidak nyata pada tolok ukur Berat Kering Kecambah Normal (BKKN). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) Waktu Panen (HSB) 32 35 0 1.18 1.06 Penundaan Pengeringan (Hari) 1 (g) 1.26 1.10 2 1.36 1.91

Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) merupakan tolok ukur dari parameter viabilitas potensial yang menggambarkan kemampuan benih dalam menggunakan cadangan makanannya untuk tumbuh menjadi kecambah normal. Dengan demikian BKKN juga dipengaruhi oleh banyaknya cadangan makanan yang tersedia dan aktivitas metabolisme di dalam benih. Pada Tabel 11 terlihat bahwa peningkatan BKKN menggambarkan bahwa benih menggunakan cadangan makanannya secara optimum untuk dapat tumbuh menjadi

kecambah normal. Menurut Sadjad et al. (1999), pada saat awal stadium pertumbuhannya melalui fase transisi, kecambah mulai memproduksi makanannya sendiri walaupun masih tergantung pada cadangan makanan yang tersisa di endosperma. Jika dilihat secara keseluruhan, nilai BKKN tertinggi terdapat pada perlakuan waktu panen kedua (35 HSB) dengan penundaan pengeringan selama dua hari yaitu 1,91 g, sedangkan nilai BKKN terkecil terdapat pada perlakuan waktu panen kedua (35 HSB) tanpa penundaan pengeringan sebesar 1,06 g. Rendahnya nilai BKKN pada panen kedua dapat disebabkan oleh heating (pemanasan setempat) yang terjadi pada proses pengeringan. Heating yang telah dijelaskan prosesnya di awal ini menyebabkan laju respirasi dan proses perombakan cadangan makanan dalam benih menjadi besar, sehingga memungkinkan benih mengalami kekurangan zat cadangan makanan pada waktu dikecambahkan. Benih yang dipanen pada 32 HSB dan 35 HSB diduga adalah benih yang telah mencapai masak fisiologi sehingga cadangan makanannya maksimum, karena menunjukkan nilai BKKN yang tinggi. Menurut Kartika dan Ilyas (1994), untuk mendapatkan benih yang berviabilitas tinggi, sangat dipengaruhi oleh tingkat kemasakan benihnya. Benih kacang jogo yang dipanen pada umur 36 HSB, saat tercapainya masak fisiologis kemudian diikuti pengeringan matahari atau buatan, memiliki vigor benih maksimum. Hal ini juga sejalan dengan vigor benih yang dipanen pada kedua masak fisiologi memiliki nilai K CT yang tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Waktu panen berpengaruh terhadap parameter viabilitas dengan tolok ukur kadar air benih sebelum dan sesudah pengeringan polong, bobot 1000 butir dan penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan. Penundaan pengeringan berpengaruh nyata pada KA benih sebelum pengeringan polong, berpengaruh sangat nyata pada penyusutan bobot polong selama penundaan pengeringan dan Kecepatan Tumbuh (K CT ). Sedangkan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap KA benih sebelum pengeringan polong, penyus utan bobot polong selama penundaan pengeringan dan K CT. Penundaan pengeringan sampai dengan 2 hari baik pada panenan 32 HSB

maupun 35 HSB tidak menurunkan vigor benih dengan tolok ukur KCT dan viabilitas potensial dengan tolok ukur Daya Berkecambah (DB) dan Berat Kering Kecambah Normal (BKKN). Saran Benih buncis varietas Lebat dapat dipanen pada 32 dan 35 HSB, kemudian diturunkan kadar airnya sampai 10-12%. Pemanenan benih sebaiknya dilakukan pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau untuk menjaga viabilitas dan vigor benih. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang waktu panen benih dan penundaan pengeringan yang masih dapat ditoleransi untuk mendapatkan benih yang berviabilitas tinggi serta penelitian lebih lanjut dengan jumlah polong (sample) yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA Agrawal, R. C. 1980. Seed Technology. Oxford. And IBH Publishing. New Delhi. 685 p. Boyd and J. C. Delouche. 1983. Seed Drying. References on seed operation for workshop on secondary food crop seed. Missisippi. 162 p. [Balitsa] Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 1998a. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Teknologi Produksi Kacang Panjang. Bandung. hal 48-49. [Balitsa] Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 1998b. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Laporan Tahunan Balitsa Tahun 1997/1998. Bandung. Copeland, L. O. and M.B. McDonald. 1995. Principles of Seed Science and Technology. Chapman and Hall, New York. Third Edition. 409 p. Debouck, D. 1991. Systematics and morfology, p: 75-76. In: A. van Schoonhover and O. Voysest ( Eds.). Common Bean Research for Crop Improvement. C. A. B International, U. K. Delouche, J. C. 1983. Seed Maturation. References on seed operation for workshop on secondary food crop seed. Missisippi. 162 p. Hermawan, E. 1999. Pemanfaatan energi surya dalam pengeringan benih mentimun (Cucumis sativum .L). Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 48 hal. Heydecker, W. 1972. Vigour, p: 209-252. In : E. H. Robert (Eds .). Chapman and Hill Ltd. London. Hidalgo, R. 1991. Flowering and maturity, p: 217-219. In: A. van Schoo nhover and O. Voysest ( Eds.). Common Bean Research for Crop Improvement. C. A. B International, U. K. Justice, O. L dan L. N. Bass. 2002. Prinsip Praktek Penyimpanan Benih. Edisi 4. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 446 hal. Kartika, E. dan S. Ilyas. 1994. Pengaruh tingkat kemasakan benih dan metode konservasi terhadap vigor benih dan vigor kacang jogo (Phaseolus vulgaris L.). Buletin Agronomi 22(2):44-59 Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan dan Penyimpanan Benih. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Cetakan Pertama. 127 hal.

Mugnisjah, W. Q dan A. Setiawan. 1990. Pengantar Produksi Benih. Edisi 1. Rajawali Persada. Jakarta. 129 hal. Nugroho, A. 1989. Pengaruh Penundaan Pengeringan Benih Kedelai Varietas Orba. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 42 hal. Pitojo, S. 2004. Benih Buncis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Cetakan Pertama. 80 hal. Priyatna, A. S. 1984. Pengeringan dan pengolahan benih padi, jagung dan kacangkacangan. Kumpulan Makalah Latihan Staf Teknik Proyek Benih II. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Bogor. Sadjad, S. 1980a. Seed Technology Training for Researchers. Central Research Institute for Food Crop. ? ? ? ? ? ? . 1980b. Panduan Pembinaan Mutu Benih Tanaman Kehutanan di Indonesia. Lembaga Afiliasi IPB Bogor. ? ? ? ? ? ? . 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT Grasindo, Jakarta. 144 hal. ? ? ? ? ? ? , E. Murniati dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih. PT Grasindo, Jakarta. 185 hal. Soedarsono. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. The AVI Publication Co. Westport, Connecticut. 381 p. Sumarno dan Widiarti. 1985. Produksi dan Teknologi Benih Kedelai. Hal 407-428. Dalam S. Somaatmadja (ed). Pusat Penelitian Tanaman Pangan dan Kacangkacangan, IPB. Bogor. Suryawati dalam Evalina. 2001. Pengaruh Penundaan Pengeringan dan Tebal Hamparan Terhadap Viabilitas Benih Kacang Panjang. Skripsi. Faperta, IPB. Bogor. Suseno, H. 1974. Fisiologi Tumbuhan. Departemen Botani, Faperta, IPB. Bogor. 232 hal. Sutopo, L. 1998. Teknologi Benih. Edisi 4. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 223 hal.

LAMPIRAN

Tabel lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Benih Rusak
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 24.45 182.31 232.50 1532.46 17610.27 1971.72 db 1 2 2 12 18 17 KT 24.45 91.16 116.25 127.70 F Hitung 0.19 0.71 0.91 P 0.67 0.51 0.43

Tabel lampiran 2. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Bobot 1000 Butir
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 385.03 182.76 78.15 394.33 604849.19 1040.27 db 1 2 2 12 18 17 KT 385.03 91.38 39.07 32.86 F Hitung 11.72 2.78 1.19 P 0.01 0.10 0.34

Tabel lampiran 3. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 612.50 12836.11 558.33 433.33 38275.00 14440.28 db 1 2 2 12 18 17 KT 612.50 6418.06 279.17 36.11 F Hitung 16.96 177.73 7.73 P 0.00 0.00 0.01

Tabel lampiran 4. Uji Lanjut Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Penyusutan Bobot Polong Selama Penundaan Pengeringan
Rata-rata Perlakuan n 1 2 3 a A1B1 3 0.00 a A2B1 3 0.00 b A2B2 3 41.67 b A1B2 3 50.00 A2B3 3 50.00 b c A1B3 3 76.67 P 1.00 0.13 1.00 Nilai rata-rata yang ditulis dengan huruf yang sama tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata.

Tabel lampiran 5. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Daya Berkecambah (DB)
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 174.22 23.11 87.11 1312.00 104352.00 1596.44 db 1 2 2 12 18 17 KT 174.22 11.56 43.56 109.33 F Hitung 1.59 0.11 0.40 P 0.23 0.90 0.68

Tabel lampiran 6. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Persentase Serangan Cendawan
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 200.00 65.78 101.33 1002.67 10800.00 1369.78 db 1 2 2 12 18 17 KT 200.00 32.89 50.67 83.56 F Hitung 2.39 0.39 0.61 P 0.15 0.68 0.56

Tabel lampiran 7. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 0.30 53.66 44.22 32.25 3578.81 130.43 db 1 2 2 12 18 17 KT 0.30 26.83 22.11 2.69 F Hitung 0.11 9.98 8.23 P 0.74 0.00 0.01

Tabel lampiran 8. Uji Lanjut Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kecepatan Tumbuh (K CT )
Rata-rata Perlakuan n

1 2 3 a A1B1 3 9.77 a b A2B2 3 12.03 12.03 b c A2B1 3 13.74 13.74 A2B3 3 15.37c c A1B2 3 15.55 A1B3 3 16.59c Sig. 0.12 0.23 0.07 Nilai rata-rata yang ditulis dengan huruf yang sama tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata.

Tabel lampiran 9. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 0.04 0.15 0.12 3.87 35.07 4.18 db 1 2 2 12 18 17 KT 0.04 0.08 0.06 0.32 F Hitung 0.12 0.24 0.19 P 0.74 0.79 0.83

Tabel lampiran 10. Analisis Ragam Interaksi Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan Polong
Sumber Keragaman Interaksi Error Total Corrected Total JK 715.02 79.89 10205.46 794.92 db 5 12 18 17 KT 143.00 6.66 F Hitung 21.48 P 0.00

Tabel lampiran 11. Uji Lanjut Ragam Interaksi Kadar Air Benih Sebelum Pengeringan Polong
Rata-rata Perlakuan n 1 2 3 4 a A2B1 3 15.88 a b A1B3 3 18.76 18.76 b c A1B2 3 21.21 21.21 b c A2B2 3 21.69 21.69 c A2B3 3 23.84 d A1B1 3 35.81 Sig. 0.20 0.21 0.26 1.00 Nilai rata-rata yang ditulis dengan huruf yang sama tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata.

Tabel lampiran 12. Analisis Ragam Pengaruh Waktu Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Kadar Air Benih Setelah Pengeringan Polong
Sumber Keragaman MP Drier MP * Drier Error Total Corrected Total JK 91.62 3.07 4.30 41.83 3057.52 140.82 db 1 2 2 12 18 17 KT 91.62 1.53 2.15 3.49 F Hitung 26.28 0.44 0.62 P 0.00 0.65 0.56

Gambar 1. Bunga buncis pada 5 MST

Gambar 2. Polong buncis pada 6 MST

Gambar 3. Polong buncis pada 7 MST

Gambar 4. Polong buncis pada 9 MST

Gambar 5. Panenan 32 HSB

Gambar 6. Panenan 35 HSB

Gambar 7. Pengeringan polong Gambar 8. Pemipilan polong

Gambar 9. Polong rusak

Вам также может понравиться