Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Kelompok usia lanjut (usila) di negara berkembang dikategorikan untuk mereka yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas (WHO, 2011). Sementara di negara maju, seperti Amerika Serikat, Prancis, Jepang, dan Belanda, mereka yang berusia lebih dari 65 tahun dikategorikan sebagai usila. Di seluruh dunia penduduk usila (usia 60 ke atas) tumbuh dengan sangat cepat bahkan tercepat dibanding kelompok usia lainnya. Diperkirakan mulai tahun 2010 akan terjadi ledakan jumlah penduduk usila. Dalam kurun tahun 1990 2025 diperkirakan ada peningkatan populasi usila sekitar 4,14% di dunia. Penduduk usila di Indonesia dua tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2007, jumlah penduduk usila sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi 20.547.541 pada tahun 2009 (U.S. Census Bureau, 2011). Jumlah ini termasuk terbesar keempat setelah China, India, dan Jepang. Karena usia harapan hidup perempuan lebih panjang dibandingkan laki-laki, maka jumlah penduduk usila perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (11,29 juta jiwa berbanding 9,26 juta jiwa). Oleh karena itu, permasalahan usila secara umum sebenarnya tidak lain adalah permasalahan yang lebih didominasi oleh perempuan. Pembangunan di Indonesia memberi dampak adanya perbaikan

lingkungan hidup, derajat kesehatan, higiene, dan gizi. Keadaan ini selanjutnya menyebabkan bertambahnya umur harapan hidup, menurunnya angka fertilitas dan mortalitas yang kemudian memberi dampak pada bertambahnya jumlah usila. Peningkatan jumlah usila ini berpotensi menimbulkan beberapa masalah pokok yang berhubungan dengan kualitas hidup usila seperti meningkatnya beban keluarga, masyarakat, dan pemerintah, khususnya berhubungan dengan kebutuhan layanan khusus, penyediaan dan perluasan lapangan kerja, pelayanan konsultatif sosial psikologis, bantuan sosial ekonomi, upaya pelestarian sosial budaya, dan pelayanan rekreatif (G. da Cunha, 2007). Salah satu contoh permasalahan yang

ditimbulkan dari peningkatan jumlah penduduk usila adalah peningkatan rasio ketergantungan usila (old age dependency ratio). Setiap penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usila (Komnaslansia, 2010). Menurut BPS Susenas 2007, kualitas hidup penduduk usila umumnya masih rendah. Kondisi ini dapat terlihat dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan angka buta huruf usila. Sebagian besar penduduk usila tidak/belum pernah sekolah dan tidak tamat SD. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, pendidikan tertinggi yang ditamatkan usila perempuan secara umum lebih rendah dibandingkan usila laki-laki. Angka buta huruf penduduk usila masih tinggi, sekitar 30,62% pada tahun 2007. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, angka buta huruf usila perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 42,07% berbanding 17,32%. Tidak berbeda dengan angka buta huruf penduduk secara keseluruhan, angka buta huruf usila juga lebih besar di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Masalah peningkatan jumlah usila perlu diimbangi dengan peningkatan pelayanan usila. Usila memiliki berbagai kebutuhan dalam kaitannya dengan kualitas hidup. Kebutuhan hidup orang usila antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman, serta kebutuhan-kebutuhan sosial seperti bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia, sehingga mereka mempunyai banyak teman yang dapat diajak berkomunikasi, membagi pengalaman, dan memberikan pengarahan untuk kehidupan yang baik. Kebutuhan tersebut diperlukan oleh usila agar dapat mandiri (Koswara, 1991). Provinsi dengan usia harapan hidup yang lebih tinggi juga mempunyai jumlah penduduk usila yang lebih banyak. Suatu wilayah disebut berstruktur tua jika persentase usilanya lebih dari 7%. Dari seluruh provinsi di Indonesia, ada 11 provinsi yang penduduk usilanya sudah lebih dari 7 persen, dan provinsi Bali termasuk dalam salah satu dari 11 provinsi tersebut (BPS, 2007). Berdasarkan BPS RI Susenas 2009, prevalensi usila di Bali mencapai 10,79%. Angka tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi usila di Indonesia yaitu 8,37% (Komnaslansia, 2010). Berdasarkan laporan tahunan puskesmas

Sukasada II kabupaten Buleleng, jumlah usila di daerah tersebut juga termasuk tinggi. Didapatkan jumlah total penduduk usila pada tahun 2010 adalah 2291 jiwa dari total penduduk 22.288 jiwa, dengan persentasenya mencapai 10,2%. Selain itu, angka kesakitan pada usia lanjut juga cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data kematian 2010 puskesmas Sukasada II, di mana angka kematian tertinggi adalah pada usila yaitu 29 kasus dari total 42 kasus. Dari angka usila tersebut, angka kematian akibat usia lanjut hanya 13 kasus sementara sisa 16 kasus mengalami kematian akibat penyakit tertentu (Anonim, 2011). Hal ini menunjukkan tingginya angka kesakitan pada usila dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup usila. Faktor apa saja yang mempengaruhi permasalahan tingginya jumlah usila dengan usia harapan hidup 60 tahun ke atas dikaitkan dengan kualitas hidupnya di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II? 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran faktor-faktor usia harapan hidup dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II bulan Agustus September 2011?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran tentang faktor-faktor usia harapan hidup dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II bulan Agustus September 2011. 1.3.2 Tujuan khusus a. Untuk mengetahui gambaran pola makan pada kelompok usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. b. Untuk mengetahui gambaran pola tidur pada kelompok usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. c. Untuk mengetahui gambaran jenis pekerjaan di masa usia produktif pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. d. Untuk mengetahui gambaran jenis pekerjaan di masa usila pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. 3

e. Untuk mengetahui gambaran lingkungan tempat tinggal pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. f. Untuk mengetahui gambaran aktivitas sosial pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. g. Untuk mengetahui gambaran status pernikahan pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. h. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II. i. Untuk mengetahui gambaran aktivitas olahraga pada usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran faktor-faktor usia harapan hidup usila di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II, sehingga dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program puskesmas, khususnya upaya kesehatan usia lanjut, upaya untuk meningkatkan kualitas hidup usila, deteksi dini adanya penyakit pada usia lanjut, dan sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usia Harapan Hidup Laju populasi usila di Indonesia dipastikan berkaitan dengan meningkatnya usia harapan hidup (UHH). Menurut laporan Menkokesra.go.id, UHH di Indonesia pada tahun 1980 adalah 52,2 tahun, kemudian 59,8 tahun pada tahun 1990, 64,5 tahun pada tahun 2000, 66,2 tahun pada tahun 2006, dan pada tahun 2010 menjadi 67,4 tahun. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2020 mencapai 71,1 tahun (Anggraini, 2008). 2.2 Usia Lanjut Usia lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk usia lanjut menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial (Suhartini, 2004). 1. Secara biologis penduduk usila adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. 2. Secara ekonomi, penduduk usila lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat 3. Dari aspek sosial, penduduk usila merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk usila menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan, serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi, penduduk usila di Indonesia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda

Menurut James C. Chalhoun (1999) masa tua adalah suatu masa di mana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Di samping itu, untuk mendefinisikan usila dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek pengelompokan usila, yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan dan informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (middle age) 45 59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

2.3 Masalah Kesehatan Usila Meningkatnya jumlah usila akan menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks bagi usila itu sendiri maupun bagi keluarga dan masyarakat. Secara alami proses menjadi tua mengakibatkan para usila mengalami perubahan fisik dan mental, yang mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosialnya. Transisi demografi ke arah menua akan diikuti oleh transisi epidemiologi ke arah penyakit degeneratif seperti rematik, diabetes, hipertensi, jantung koroner, dan neoplasma. Angka kesakitan penduduk usila tahun 2009 sebesar 30,46% artinya bahwa setiap 100 orang usila, sekitar 30 orang di antaranya mengalami sakit. Angka kesakitan penduduk usila perkotaan 27,20% lebih rendah dibandingkan usila pedesaan 32,96%. Hal ini menunjukkan bahwa derajat kesehatan usila daerah pedesaan lebih rendah. Bila dilihat perkembangannya, derajat kesehatan penduduk usila relatif tidak berbeda. Angka kesakitan penduduk usila pada tahun 2005 sebesar 29,98%, tahun 2007 sebesar 31,11%, dan tahun 2009 sebesar 30,46 %. Pola yang serupa terjadi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kebiasaan berobat serta cara berobat yang dilakukan seseorang, merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi apakah orang yang bersangkutan telah memiliki perilaku hidup sehat. Berdasarkan Profil Penduduk Lanjut Usia 2009, ternyata 32,24% lanjut usia mencari pengobatan di puskesmas, namun masih ada yang mengobati

sendiri dengan menggunakan obat modern 60,47%, dan obat tradisional 10,87% (Komnaslansia, 2010). Menurut Setiati dkk (2009), gangguan yang sering menjadi masalah terhadap kemandirian lanjut usia dikenal dengan istilah 14 i, yaitu immobilisasi (berkurangnya kemampuan gerak), instabilitas postural (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), intellectual impairment (gangguan intelektual), isolation (depresi), insomnia (susah tidur), inkontinensia urine (mengompol), impotence (impotensi), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), infection (infeksi), inanition (kurang gizi), irritable colon (gangguan saluran cerna), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), impaction (konstipasi), impairment of vision, hearing, taste, smell, communication, convalenscence, and skin integrity (gangguan panca indera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), serta impecunity (berkurangnya kemampuan keuangan). Kemunduran fungsi tubuh dan kemunduran peran akan sangat berpengaruh pada kemandirian lanjut usia.

2.4 Kebutuhan Hidup Usila Setiap orang memiliki kebutuhan hidup, usila juga memiliki kebutuhan hidup yang sama agar dapat hidup sejahtera. Kebutuhan hidup orang usila antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman, serta kebutuhan-kebutuhan sosial seperti bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia, sehingga mereka mempunyai banyak teman yang dapat diajak berkomunikasi, membagi pengalaman, dan memberikan pengarahan untuk kehidupan yang baik. Kebutuhan tersebut diperlukan oleh usila agar dapat mandiri. Kebutuhan tersebut sejalan dengan pendapat Maslow dalam Koswara (1991) yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia meliputi: a. Kebutuhan fisik (physiological needs) adalah kebutuhan fisik atau biologis seperti pangan, sandang, papan, seks, dan sebagainya. b. Kebutuhan ketentraman (safety needs) adalah kebutuhan akan rasa keamanan dan ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah seperti kebutuhan akan jaminan hari tua, kebebasan, kemandirian, dan sebagainya.

c. Kebutuhan sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkomunikasi dengan manusia lain melalui paguyuban, organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobi, dan sebagainya. d. Kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan harga diri untuk diakui akan keberadaannya. e. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik, rohani, maupun daya pikir berdasar pengalamannya masing-masing, bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan.

2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Usia Harapan Hidup Berdasarkan kebutuhannya, usia harapan hidup pada usila sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis kelamin, pola makan, aktivitas/pekerjaan, istirahat yang cukup, lingkungan tempat tinggal, status pernikahan, kebiasaan merokok dan berolahraga.

2.5.1 Jenis Kelamin Perempuan memiliki usia harapan hidup yang lebih lama daripada laki-laki, hal ini dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup pada perempuan yang lebih mendominasi yakni 52% dibandingkan usila laki-laki sebanyak 48%. Peningkatan UHH berdasarkan jenis kelamin dari tahun ke tahun dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1 Peningkatan UHH berdasarkan jenis kelamin Periode (tahun) 1971 1976 1976 1981 1981 1986 1991 1999 1996 2001 2001 2006 Jenis Kelamin UHH Laki-laki UHH Perempuan 45 tahun 47 tahun 49 tahun 54 tahun 56 tahun 69 tahun 47 tahun 50 tahun 52 tahun 57 tahun 60 tahun 72 tahun

Diperkirakan pada periode 2006 2010 UHH perempuan Indonesia bisa mencapai 74 tahun dan laki-lakinya mencapai 71 tahun (BPS, 2006).

2.5.2 Status Pernikahan Menurunnya kondisi fisik dan psikis pada usila menyebabkan kelompok ini menjadi pribadi yang mudah bergantung pada keluarga dan masyarakat. Keharmonisan rumah tangga dan keluarga memberikan pengaruh tersendiri bagi kelompok ini. Menurut penelitian Nyoman Dayuh Rimbawan, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar mengenai profil usila di Bali, menunjukkan bahwa status perkawinan usila baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan polanya relatif sama. Lebih dari 65% usila masih berstatus kawin, kemudian proporsi besar kedua yaitu sekitar 27% berstatus cerai mati, kemudian disusul oleh yang belum kawin (sedikit di atas 4%), dan cerai hidup (hampir 2%). Padahal secara umum dalam satu rumah tangga yang bertindak sebagai kepala keluarga dan sekaligus juga sebagai penopang ekonomi keluarga adalah pihak suami. Kondisi seperti ini dapat mempercepat munculnya masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa khususnya bagi usila perempuan cerai mati. Meninggalnya orang terdekat khususnya pasangan hidup pada usila juga menurunkan gairah hidup bagi pasangan yang ditinggalkan, dimana pasangan yang hidup ini akan menjadi merana apalagi jika terus terbawa arus kedukaan (Rimbawan,2007).

2.5.3 Aktivitas Atau Pekerjaan Bekerja adalah suatu kegiatan jasmani atau rohani yang menghasilkan sesuatu. Bekerja sering dikaitkan dengan penghasilan dan penghasilan sering dikaitkan dengan kebutuhan manusia. Untuk itu agar dapat tetap hidup manusia harus bekerja. Dengan bekerja orang akan dapat memberi makan dirinya dan keluarganya, dapat membeli sesuatu, dan dapat memenuhi kebutuhannya yang lain. Saat ini ternyata di antara kelompok usila banyak yang tidak bekerja. Tingkat pengangguran usila relatif tinggi di daerah perkotaan, yaitu 2,2%. Dengan makin sempitnya kesempatan kerja maka kecenderungan pengangguran kelompok usila akan semakin banyak. Partisipasi angkatan kerja makin tinggi di pedesaan

daripada di kota. Usila yang masih bekerja sebagian besar terserap dalam bidang pertanian. Di perkotaan lebih banyak yang bekerja di sektor perdagangan yaitu 38,4% sedangkan yang bekerja di sektor pertanian 27,0%, sisanya berada di sektor jasa 17,3%, industri 9,3%, angkutan 3,3%, bangunan 2,8%, dan sektor lainnya relatif kecil 1% (Komnaslansia, 2010). Seringkali mereka menemukan kenyataan bahwa sangat sedikit kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka, walaupun mereka ingin bekerja dan sanggup untuk melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini dikarenakan pendidikan yang dimiliki usila tidak lagi terarah pada pasar tenaga kerja dan tidak dimasukkan dalam kebijakankebijakan pendidikan yang berkelanjutan. Pembinaan ketrampilan dan pelatihan yang dilakukan terusmenerus hanya berlaku bagi orang-orang muda. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya usila bersaing di pasaran kerja, sehingga banyak usila yang tidak bekerja meskipun tenaganya masih kuat dan mereka masih berkeinginan untuk bekerja. Ada beberapa kondisi yang membatasi kesempatan kerja bagi usila (Hurlock, 1994): a. Wajib pensiun, pemerintah dan sebagian besar industri/perusahaan

mewajibkan pekerja pada usia tertentu untuk pensiun. Mereka tidak mau lagi merekrut pekerja yang mendekati usia wajib pensiun, karena waktu, tenaga, dan biaya untuk melatih mereka sebelum bekerja relatif mahal. b. Jika personalia perusahaan dijabat orang yang lebih muda, maka para usila sulit mendapatkan pekerjaan. c. Sikap sosial, kepercayaan bahwa pekerja yang sudah tua mudah kena kecelakaan, karena kerja lamban, perlu dilatih agar menggunakan teknikteknik modern merupakan penghalang utama bagi perusahaan untuk mempekerjakan usila. d. Fluktuasi dalam daur usaha, jika kondisi usaha suram maka kelompok usila yang pertama kali harus diberhentikan dan kemudian digantikan orang yang lebih muda apabila kondisi usaha sudah membaik.

2.5.4 Pola Makan dan Minum Bagi usila pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-

10

perubahan yang dialaminya. Selain itu, hal ini dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia. Pola makan yang teratur 3 kali sehari disarankan pada kelompok ini. Kebutuhan kalori pada usila berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya: untuk jantung, usus, pernafasan dan ginjal (Boedhi-Darmojo, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada usila (Rin Rin, 2011): a. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau ompong. b. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan pahit. c. Esofagus atau kerongkongan mengalami pelebaran. d. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun. e. Gerakan usus atau gerak peristaltik lemah dan biasanya menimbulkan konstipasi. f. Penyerapan makanan di usus menurun. Untuk mereka yang memasuki usila, semboyan 4 sehat 5 sempurna masih dapat dipakai sebagai pegangan dalam mengonsumsi makanan. Selain makanan pokok, protein (daging dan sejenisnya), sayur, dan buah, usila memerlukan susu karena mengandung banyak kalsium. Bahan itu diperlukan untuk mencegah osteoporosis. Selain itu, usila harus memperhatikan dasar gizi seimbang. Keanekaragaman jenis makanan dan pola makan yang teratur juga perlu diperhatikan pada kelompok ini. Maksudnya, hidangan sehari-hari harus mengandung sumber zat tenaga, zat pembangun (lauk-pauk hewani), serta zat pengatur (sayur dan buah). Pada usila disarankan memilih sumber karbohidrat kompleks, misalnya padi-padian, umbi-umbian, dan tepung-tepungan. Kemudian batasi penggunaan minyak dan lemak, cukup sekitar satu sendok makan sehari. Selain itu, dianjurkan juga menggunakan minyak nabati, contohnya minyak kacang kedelai, minyak jagung, dan minyak sawit (Rin Rin, 2011).

11

Secara umum perencanaan makan pada usila sebagai berikut (Depkes, 1999): a. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang terdiri dari: zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. b. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil. Contoh menu: 1) Pagi: Bubur ayam. 2) Jam 10.00: Roti. 3) Siang: Nasi, pindang telur, sup, pepaya. 4) Jam 16.00: Nagasari. 5) Malam: Nasi, sayur bayam, tempe goreng, pepes ikan, pisang. c. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah kemungkinan terjadinya darah tinggi. d. Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang berlemak seperti santan, mentega, dan lain-lain. e. Bagi pasien usila yang proses penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Makanlah makanan yang mudah dicerna. 2) Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goreng-gorengan. 3) Bila kesulitan mengunyah karena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus lunak/lembek, atau dicincang. 4) Makan dalam porsi kecil tetapi sering. 5) Makanan selingan atau snack, susu, buah, dan sari buah sebaiknya diberikan. f. Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan sebab berguna pula untuk merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan. g. Makanan mengandung zat besi seperti kacang-kacangan, hati, telur, daging rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.

12

h. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus, direbus, atau dipanggang, kurangi makanan yang digoreng. Pola makan dengan menggunakan garam beryodium dan makan makanan yang aman (bersih dan tidak mengandung bahan pengawet atau pewarna buatan), serta tetap mengkonsumsi air minum sekurang-kurangnya dua liter per hari, juga sangat dianjurkan pada populasi usila. Minuman seperti kopi, teh kental, softdrink, alkohol, es, maupun sirup bahkan tidak baik untuk kesehatan dan harus dihindari terutama bagi para usila yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu seperti kencing manis, darah tinggi, obesitas, dan jantung (Boedhi-Darmojo, 1999).

2.5.5 Pola Tidur Pola tidur akan berubah saat mulai tua. Bila biasanya membutuhkan 6 jam untuk tidur malam, maka dengan penambahan usia waktu tidur yang dibutuhkan akan menjadi lebih lama. Biasanya pola tidur usila hanya beberapa jam saja, kemudian terbangun lagi dan memerlukan waktu untuk dapat tidur kembali, sehingga agar tercapai kesegaran jasmani dan pikiran maka pola istirahat dan tidur harus dilakukan berulang-ulang setiap hari. Ada baiknya menyediakan kursi malas yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan jika para usila merasa lelah atau mengantuk. Kamar tidur hendaknya punya ventilasi yang baik, khususnya yang menderita penyakit paru menahun. Selain itu, perlu disediakan makanan selingan dan air hangat di samping tempat tidur, karena usila sering terbangun tengah malam serta merasa lapar dan haus. Untuk menghindari kelelahan yang berlebihan, hendaknya menghadiri pesta atau pertemuan di malam hari cukup 1 2 jam saja (Gallow, 1998).

2.5.6 Lingkungan Tempat Tinggal Secara umum usila cenderung tinggal bersama dengan anaknya yang telah menikah (Suhartini, 2004). Tingginya kelompok usila yang tinggal dengan anaknya menunjukkan masih kuatnya norma bahwa kehidupan orang tua merupakan tanggung jawab anak-anaknya. Survey yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia terhadap 400 penduduk usia

13

60 69 tahun, yang terdiri dari 329 pria dan 71 wanita, menunjukkan bahwa hanya sedikit penduduk lanjut usia yang tinggal sendiri (1,5%), diikuti oleh yang tinggal dengan anak (3,3%), tinggal dengan menantu (5,0%), tinggal dengan suami/istri dan anak (29,8%), tinggal dengan suami,istri dan menantu (19,5%), dan penduduk lanjut usia yang tinggal dengan pasangannya (18,8%). Berdasarkan data Komnaslansia tahun 2010, jumlah penduduk usila di daerah perkotaan pada tahun 2009 sebesar 8,36 juta orang atau 7,49% dari seluruh penduduk perkotaan. Sedangkan di daerah pedesaan sebesar 10,96 juta orang atau 9,19% dari seluruh penduduk pedesaan. Penduduk usila yang hidup sendiri secara umum memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dibanding dengan usila yang tinggal dengan keluarganya. Tingkat kesejahteraan ini mempengaruhi tinggi rendahnya usia harapan hidup.

2.5.7

Olahraga

Olah raga merupakan salah satu cara untuk mencegah atau menunda penyakit yang berkaitan dengan faktor usia, seperti penyakit jantung, kanker, dan Alzheimer. Olahraga meningkatkan pertahanan tubuh dalam menghadapi beberapa penyakit yang disebabkan oleh faktor usia. Pernyataan itu didasarkan pada hasil penelitian dalam Biological Research for Nursing Journal. Metode anti penuaan tersebut diteliti pada 59 pria dan wanita berusia antara 60 dan 70 tahun yang tidak melakukan olah raga secara teratur. Setengah dari mereka meneruskan kebiasaan mereka yang hanya duduk-duduk saja, sedangkan setengah yang lainnya mulai olah raga selama 60 menit, dua kali seminggu. Dari dua kelompok tersebut, kelompok usila yang tidak melakukan olahraga secara teratur ternyata mengalami penurunan terhadap zat berbahaya yang dikenal sebagai radikal bebas, yaitu molekul tidak stabil yang dapat merusak sel dan diyakini menyebabkan berbagai penyakit. Olah raga memberikan perlindungan tersendiri, yaitu meningkatkan zat antioksidan yang dapat menyerang radikal bebas tersebut. Olah raga juga mengurangi faktor risiko obesitas, hipertensi, dan diabetes yang memperburuk kerusakan sel akibat radikal bebas (Saki, 2009). Disarankan, olahraga bagi kelompok usila adalah olahraga yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Olahraga yang murah dan praktis adalah jalan pagi

14

dan santai, sedangkan pada mereka yang lumpuh dapat dilakukan olahraga di tempat tidur dengan cara membantu menggerakkan anggota tubuhnya serta membolak-balikkan tubuh penderita sekali 2 jam untuk mencegah borok, infeksi, dan bekuan-bekuan darah terutama pada tungkai bawah dan lain-lain, yang dapat berakibat fatal (Kuntjoro, 2008).

2.5.8

Kebiasaan Merokok

Merokok sudah menjadi kebiasaan yang sangat umum dan meluas di masyarakat. Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah diteliti dan dibuktikan banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker osefagus, bronkitis, tekanan darah tinggi, impotensi, serta gangguan kehamilan dan cacat pada janin. Pada kenyataannya, kebiasaan merokok ini sulit dihilangkan dan jarang diakui orang sebagai suatu kebiasaan buruk. Apalagi orang yang merokok untuk mengalihkan diri dari stres dan tekanan emosi, lebih sulit melepaskan diri dari kebiasaan ini dibandingkan perokok yang tidak memiliki latar belakang depresi (PDGI, 2011). Rokok mengandung zat-zat beracun yang dapat mengiritasi dan menimbulkan kanker (karsinogen). Nikotin merupakan salah satu zat yang terkandung di dalam rokok, yang sudah diteliti dapat meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi, serta menyebabkan ketagihan dan ketergantungan pada pemakainya. Kadar nikotin 4 6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Selain nikotin, rokok juga mengandung zat-zat berbahaya berikut ini (PDGI, 2011): a. Timah hitam (Pb) yang dihasilkan sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis dihisap dalam satu hari menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari. Bisa dibayangkan bila seorang perokok

15

berat menghisap rata-rata 2 bungkus rokok per hari, berapa banyak zat berbahaya ini masuk ke dalam tubuh. b. Gas karbonmonoksida (CO) memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Seharusnya hemoglobin ini berikatan dengan oksigen yang sangat penting untuk pernapasan sel-sel tubuh, tapi karena gas CO lebih kuat daripada oksigen maka gas CO ini merebut tempatnya di sisi hemoglobin. Jadilah hemoglobin bergandengan dengan gas CO. Kadar gas CO dalam darah bukan perokok adalah kurang dari 1%. Sementara dalam darah perokok mencapai 4 15%. c. Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogen. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan, dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3 40mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24 45 mg. Merokok pada usia lanjut dapat mempercepat terjadinya proses penuaan dan penurunan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit. Keparahan penyakit yang timbul dari tingkat sedang hingga lanjut berhubungan langsung dengan banyaknya rokok yang dihisap setiap hari, berapa lama atau berapa tahun seseorang menjadi perokok, dan status merokok itu sendiri, apakah masih merokok hingga sekarang atau sudah berhenti (PDGI, 2011)

16

BAB 3 KERANGKA PIKIR

Tingginya usia harapan hidup pada usila dipengaruhi berbagai faktor. Jenis kelamin, pola makan, aktivitas atau pekerjaan sehari-hari maupun pekerjaan sebelumnya, istirahat yang cukup, lingkungan tempat tinggal, status pernikahan, serta kebiasaan merokok dan berolahraga.

Jenis Kelamin Usila Pola Makan Usila Aktivitas / Pekerjaan Usila Pola Tidur Usila Lingkungan Tempat Tinggal Usila Status Pernikahan Usila Kebiasaan Merokok Usila Kebiasaan Berolahraga Usila

Tingkat Usia Harapan Hidup

17

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di satu desa di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II bulan Agustus September 2011.

4.2 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi deskriprif cross-sectional.

4.3 Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh usila 60 tahun yang tinggal wilayah kerja Puskesmas Sukasada II.

4.4 Besar dan Cara Pengambilan Sampel 4.4.1 Besar sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Z pq 1 n 2 1 f d
2

(1)

Keterangan: n : besar sampel. Z : 1,96 ( = 0,05). p : 10,2% (prevalensi usila berdasarkan buku laporan tahunan Puskesmas Sukasada II). d f : 10% (penyimpangan absolut). : 10% (perkiraan drop out).

Jadi : n =

(1,96) 2 0,1020,898 1 x 1 10% 10% 2

= 39,5

18

Dari hasil perhitungan berdasarkan angka-angka tersebut di atas, diperoleh hasil sebesar 40 orang. Karena jumlah populasi terbatas (< 10.000) maka jumlah sampel yang didapat dari perhitungan tersebut dikoreksi. Koreksi jumlah sampel bila jumlah populasi terbatas (<10.000) : n nk = 1+n/N = 35,71 (2)

Keterangan :

nk = Jumlah sampel setelah koreksi n = Jumlah sampel tanpa koreksi N = Jumlah populasi.

Dari hasil perhitungan berdasarkan angka-angka tersebut di atas, diperoleh sampel sebesar 36 usila 60 tahun untuk wilayah kerja Puskesmas Sukasada II.

4.4.2

Cara Pengambilan Sampel Dari 6 desa di

Sampel dipilih dengan metode multistage random sampling.

wilayah kerja puskesmas Sukasada II, dipilih 1 desa secara acak menggunakan dadu dan didapatkan desa Wanagiri. Dari data usila yang didapatkan dari desa tersebut diurut dan kemudian dipilih secara acak sampai memenuhi sampel.

4.5 Responden penelitian Sampel usila yang terpilih selanjutnya ditetapkan sebagai responden untuk memperoleh informasi tentang jenis kelamin, pola makan, aktivitas/pekerjaan sehari-hari maupun pekerjaan sebelumnya, pola tidur usila, lingkungan tempat tinggal, status pernikahan, serta kebiasaan merokok dan berolahraga pada kelompok usila yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sukasada bulan Agustus September 2011.

19

4.6 Variabel Penelitian 1. Jenis kelamin. 2. Pola makan. 3. Aktivitas sehari-hari/pekerjaan. 4. Pola tidur. 5. Lingkungan tempat tinggal. 6. Status penikahan. 7. Kebiasaan merokok. 8. Kebiasaan berolahraga.

4.7 Definisi operasional variable 1. Jenis kelamin: laki-laki atau perempuan. 2. Pola makan: keteraturan waktu makan dan apa saja yang dikonsumsi terdiri dari jenis makanan, jenis lauk yang sering dikonsumsi, jenis sayur yang sering dikonsumsi, minuman yang dikonsumsi, dan frekuensinya. 3. Aktivitas sehari-hari/pekerjaan: aktivitas sehari-hari atau pekerjaan sekarang dan sebelumnya, serta waktu yang dibutuhkan untuk bekerja. 4. Pola tidur: keteraturan waktu tidur dalam sehari. 5. Lingkungan tempat tinggal: lingkungan tempat tinggal usila, tinggal sendiri atau dengan keluarga. 6. Status penikahan: usila masih menikah dan hidup bersama, atau sudah cerai dan ditinggal mati oleh pasangannya. 7. Kebiasaan merokok: kualitas dan intensitas merokok pada usila. 8. Kebiasaan berolahraga: kualitas dan intensitas berolahraga pada kelompok usila.

4.8 Cara dan alat pengumpulan data Jenis kelamin, pola makan, aktivitas/pekerjaan sehari-hari maupun pekerjaan sebelumnya, pola tidur usila, lingkungan tempat tinggal, status pernikahan, serta kebiasaan merokok dan berolahraga pada kelompok usila diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner.

20

4.9 Rencana Analisa Data Setelah data terkumpul, data akan diolah dengan bantuan perangkat lunak SPSS for Windows 16.0 dan data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif.

21

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini F. Hubungan Gaya Hidup dengan Status Kesehatan Usila Binaan Puskesmas Pekayon Jaya Kota Bekasi Tahun 2008, [Skripsi]. Depok: Program Studi Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2008. Anonim. Data Tahunan Puskesmas Sukasada II, 2010. Buleleng: Puskesmas Sukasada II; 2011. Badan Pusat Statistik. Penduduk Provinsi Bali, Hasil Survei Antar Sensus 2005. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2006. Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia, 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2007. Boedhi-Darmojo R. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999. Calhoun, JC. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press; 1999. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: DitJen BinKesmas dan Puslitbang Pelayanan Kesehatan; 1999. G. da Cunha M. Usia Lanjut di Indonesia: Potensi, Masalah, dan Kebutuhan (Suatu Kajian Literatur). Universitas Katolik Atma Jaya 2007. [cited: 2011, August 21st]. Available from: http://www.atmajaya.ac.id/content. asp? f=13&id=3571. Gallow, J. Buku Saku Gerontologi. Jakarta: EGC; 1998. Hurlock E. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga; 1994. Komisi Nasional Lanjut Usia. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta: Komisi Nasional Lanjut Usia; 2010. Koswara. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco; 1991.

22

Kuntjoro HZS. Memahami Mitos & Realita tentang Lansia. Blogspot 2008. [cited: 2011, August 21st]. Available from: http://artikel-kesehatanku .blogspot.com/2008/03/lansia.html. PDGI. Bahaya Merokok. PDGI Online 2011. [cited: 2011, August 21st]. Available from: http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_ content&task=view&id=310&Itemid=1. Rimbawan, ND. Profil Usila di Bali dan Kaitannya dengan Pembangunan. Denpasar: Fakultas Ekonomi Universitas Udayana; 2007. Rin Rin A. Gizi untuk Lansia. Blogspot 2011. [cited: 2011, August 21st]. Available from: http://ameliarina.blogspot.com/2011/03/gizi-untuk-lansia. html. Saki Y. Lansia Sehat dengan Vitamin E dan Olah Raga. Blogspot 2009. [cited: 2011, August 21st]. Available from: http://yumisaki889.blogspot.com /2009/01/lansia-sehat-dengan-vitamin-e-dan-olah.html. Setiati S, Harimurti K, Govinda A. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. Suhartini R. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Orang Lanjut Usia (Studi Kasus di Kelurahan Jambangan), [Tesis]. Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga; 2004. Supardjo. Pandangan Masyarakat Trhadap Usia Lanjut disampaikan pada Simposium Psikologi Usia Lanjut. Semarang: Ikatan Sarjana Psikologi; 1982. U.S. Census Bureau. International Data Base. U.S. Census Bureau / International Programs 2011. [cited: 2011, August 21st] Available from:

http://www.census.gov/population/international/data/idb/country.php. WHO. Definition of an older or elderly person. WHO 2011. [cited: 2011, August 21st]. Available from: http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefn older/en/index.html.

23

Вам также может понравиться