Вы находитесь на странице: 1из 13

KEPULAUAN INDONESIA KEPULAUAN DI DINDONESIA Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia diri dan

lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik, dalam arti : a. Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa. b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya. 2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, dalam arti : a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air. b. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya. 3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial dan Budaya, dalam arti : a. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa. 4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti : a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara. Diantara 92 pulau terluar ini, ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius dintaranya: 1. Pulau Rondo Pulau Rondo terletak di ujung barat laut Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Disini terdapat Titik dasar TD 177. Pulau ini adalah pulau terluar di sebelah barat wilayah Indonesia yang berbatasan dengan perairan India. 2. Pulau Berhala Pulau Berhala terletak di perairan timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung

dengan Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik Dasar TD 184. Pulau ini menjadi sangat penting karena menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu selat yang sangat ramai karena merupakan jalur pelayaran internasional. 3. Pulau Nipa Pulau Nipa adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Secara Administratif pulau ini masuk kedalam wilayah Kelurahan Pemping Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipa ini tiba tiba menjadi terkenal karena beredarnya isu mengenai hilangnya/ tenggelamnya pulau ini atau hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut. Hal ini memicu anggapan bahwa luas wilayah Indonesia semakin sempit. Pada kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami abrasi serius akibat penambangan pasir laut di sekitarnya. Pasir pasir ini kemudian dijual untuk reklamasi pantai Singapura. Kondisi pulau yang berada di Selat Philip serta berbatasan langsung dengan Singapura disebelah utaranya ini sangat rawan dan memprihatinkan. Pada saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa hanya tediri dari Suar Nipa, beberapa pohon bakau dan tanggul yang menahan terjadinya abrasi. Pulau Nipa merupakan batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak 1973, dimana terdapat Titik Referensi (TR 190) yang menjadi dasar pengukuran dan penentuan media line antara Indonesia dan Singapura. Hilangnya titik referensi ini dikhawatirkan akan menggeser batas wilayah NKRI. Pemerintah melalui DISHIDROS TNI baru-baru ini telah mennam 1000 pohon bakau, melakukan reklamasi dan telah melakukan pemetaan ulang di pulau ini, termasuk pemindahan Suar Nipa (yang dulunya tergenang air) ke tempat yang lebih tinggi. 4. Pulau Sekatung Pulau ini merupakan pulau terluar Propinsi Kepulauan Riau di sebelah utara dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 030 yang menjadi Titik Dasar dalam pengukuran dan penetapan batas Indonesia dengan Vietnam. 5. Pulau Marore Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 055. 6. Pulau Miangas Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 056. 7. Pulau Fani Pulau ini terletak Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 066. 8. Pulau Fanildo Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 072. 9. Pulau Bras Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara Kepualuan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 072A. 10. Pulau Batek Pulau ini terletak di Selat Ombai, Di pantai utara Nusa Tenggara Timur dan Oecussi Timor Leste. Dari Data yang penulis pegang, di pulau ini belum ada Titik Dasar

11. Pulau ini dengan 12. Pulau ini langsung TD 121

Pulau Marampit terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 057. Pulau Dana terletak di bagian selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan dengan Pulau Karang Ashmore Australia. Di pulau ini terdapat Titik Dasar

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. DPR RI akhirnya mensahkan provinsi ke-34 di Indonesia, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) dalam rapat paripurna DPR di gedung DPR Jakarta, Kamis (25/10/2012). Provinsi Kaltara satu dari 5 daerah otonom baru yang disahkan Dewan. Empat lainnya adalah Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Pesisir di Provinsi Lampung, Kabupaten Manokwari Selatan di Provinsi Papua Barat, dan Kabupaten Pegununan Arfak di Provinsi Papua Barat. Beberapa contoh : Sengketa Perbatasan Indonesia-Malaysia : Tegas Saja Belum Cukup ! Beberapa hari terakhir ini, masalah sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia kembali mengemuka. Saat dua kapal nelayan berbendera Malaysia ditangkap oleh petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) yang disertai aksi pencegatan oleh tiga Helikopter petugas keamanan Malaysia. Kali ini, Indonesia, melalui perintah Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad bersikap lebih tegas. Tidak mau dipaksa oleh tentara Diraja Malaysia untuk melepas warganya yang dianggap telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan Indonesia, termasuk pelanggaran nelayan yang menggunakan pukat harimau (trawl). Sebuah sikap dan tindakan dari petugas kita yang patut diapresiasi. Sikap tegas dari pihak Indonesia, memang perlu dilakukan. Namun, tampaknya ketegasan sikap saja dianggap belum cukup. Apalagi, setelah melayangkan protes melalui Kedubes RI di Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri (Menlu) Malaysia telah menyatakan akan membawa sengketa perbatasan ini ke Mahkamah Internasional. Sebuah langkah di era presiden Soeharto yang pernah sangat disesali oleh

Indonesia karena kekalahannya dari Malaysia, sehingga Pulau Sipadan dan Ligitan harus rela terlepas selamanya dari pangkuan ibu pertiwi. Ini harus jadi pembelajaran bagi Indonesia saat ini, dan ke depan dalam menjaga tiap jengkal wilayah negara yang dimilikinya. Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan Alasan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan Indonesia, didasarkan atas gabungan dari pendekatan security approach dan prosperity approach dengan basis pendekatan lingkungan hidup (environment approach. Yakni mengacu pada pertimbangan effectivitee, bahwa pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif yang nyata sebagai wujud kedaulatannya, berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930-an, dan operasi mercusuar yang dilakukan sejak awal tahun 1960-an (Wirayudha, 2002). Sebuah tamparan keras bagi Indonesia, sekaligus menyadarkan bahwa selama ini kita telah menelantarkan wilayahnya sendiri yang berbatasan langsung dengan negara-negara lain. Padahal, sebagai sebuah negara kepulauan yang berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan dua pertiga wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung-tanjung terluar dan di wilayah pantai. Wilayah Perbatasan RI Wilayah daratan RI berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan tersebut berada di pulau Kalimantan, Irian dan Timor. Terdapat empat provinsi perbatasan dan 15 Kabupaten/Kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Australia dan Timor Leste. Kawasankawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai berdasarkan keberadaan pulau-pulau terluar, dimana Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tersebut. Dari 92 pulau terluar yang tersebar di 20 Provinsi dan 36 Kabupaten, ada 12 pulau di antaranya yang terdapat di 7 Provinsi dan 9 Kabupaten yang perlu mendapat perhatian khusus karena memiliki potensi rawan konflik di bidang geografis, ekonomi, dan keamanan . Ke-12 pulau tersebut, antara lain Pulau Rondo yang berbatasan dengan Samudera Hindia, Pulau Berhala yang berbatasan dengan Selat Malaka, dan Pulau Nipah yang berbatasan dengan Singapura.

Khusus, untuk wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia, pengalaman selama ini menunjukkan beberapa fakta yang tak terbantahkan, yang kian memperkuat akan perlunya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pulau terluar dan wilayah perbatasan. Lepasnya pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke tangan Malaysia pada tahun 2002, melalui keputusan Mahkamah Internasional, menunjukkan bukti kuat bahwa Indonesia dianggap telah mengabaikan atau bahkan menelantarkan kedua pulau yang sebelumnya diklaim sebagai wilayah miliknya. Bergesernya sejumlah tapal batas di sepanjang Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur, oleh sejumlah pengusaha perkebunan kelapa sawit Malaysia yang nakal merupakan bukti lain mengenai ancaman serius atas keutuhan wilayah NKRI. Bahkan, meskipun antara pihak pemerintah Indonesia dan Malaysia telah sepakat membentuk General Border Committee (GMB) yang sudah bekerja dengan maksimal, termasuk pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri tahun kemarin (2010) setelah terjadi sengketa perbatasan, yang disertai dengan barter nelayan antar kedua negara, namun tetap saja masih menyisakan sekurangnya sepuluh masalah perbatasan yang berpotensi mengurangi keutuhan wilayah NKRI. Kesepuluh masalah perbatasan tersebut adalah (1) Pulau Sebatik, masuk wilayah Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, dimana terjadi penyimpangan patok pilar perbatasan yang berpotensi mengurangi wilayah Indonesia seluas 120 Ha; (2) Sungai Simantipal (Nunukan, Kaltim), dimana Malaysia menuntut daerah aliran sungai (DAS) sekitar 6.000 Ha; (3) Sungai Sinapad, Kabupaten Nunukan Kaltim; (4) Sungai Buan, berpotensi menyebabkan kehilangan wilayah daratan sekitar 1.500 Ha; (5) Gunung Jagoi Pokok Payung; (6) Gunung Raya; (7) Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu; (8) Batu Aum, Kabupaten Bengkayang; (9) Dangkalan Niger Gosong, Propinsi Kalimantan Barat; (10) dan Kesepakatan batas laut di sekitar Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Langkah yang perlu dilakukan Dalam kaitan ini, maka beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan pembinaan mengenai pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam (SDA), membangun infrastruktur dan sarana perhubungan, serta pembinaan wilayah dan pertahanan. Khusus untuk pulau-pulau atau kawasan yang tidak dapat dihuni, namun sangat rawan sengketa dengan negara tetangga, seperti di kawasan Ambalat, yang diklaim juga oleh Malaysia, pemerintah pusat perlu menetapkannya sebagai wilayah karantina, salah satunya dengan memasang mercusuar. Selain itu, perlu pula dikembangkan kegiatan ekonomi di di kawasan pulaupulau terluar atau wilayah perbatasan, terutama kawasan yang memiliki kandungan sumber daya alam tambang dan minyak. Indonesia harus mengerahkan dana dan upaya secara terpadu untuk mengamankan wilayahnya sendiri, antara lain untuk membangun pos-pos pengamatan dan pembangunan mercusuar, baik di darat maupun di laut, terutama di wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Kehadiran kegiatan ekonomi di wilayah tersebut, menurut Juwono Soedarsono (mantan Menhan), merupakan salah satu bentuk pertahanan yang efektif agar negara lain tidak mudah mengklaim wilayah RI sebagai bagian dari wilayah mereka. Kehadiran kegiatan ekonomi kata Juwono lagi adalah bentuk pematokan perbatasan yang paling bagus dan efektif.

Upaya lain dari pemerintah pusat dalam melindungi pulau-pulau terluar adalah dengan cara melaporkan keberadaan sekitar 3.047 pulau terluar Indonesia kepada UN Working Group of Expert on Geographical Names, sebuah badan khusus milik PBB yang mencatat nama-nama pulau sebuah negara. Sepanjang tahun 2006 saja pemerintah telah berhasil menamai sekurangnya 1.466 pulau kecil terluar di wilayah RI di antara 8.168 pulau terluar yang belum bernama. Penamaan tersebut, tentu saja berdasarkan atas Perpres No. 78 Tahun 2005. Sebuah langkah kecil, namun memiliki makna yang sangat penting dan strategis dalam upaya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Tegas Saja, Belum Cukup ! Masalah wilayah perbatasan memang perlu segera memperoleh pehatian, karena ternyata tidak saja rawan atas sengketa dan pencaplokan wilayah oleh negara lain. Namun, jika tidak diurus dan dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan banyak masalah lainnya. Antara lain, adalah kerawanan pencurian ikan dan pembalakan liar hutan, penyelundupan barang secara ilegal, rawan terjadinya kejahatan, seperti human traficking, penyelundupan narkoba, kegiatan perompakan di lautan, dan kemungkinan adanya kegiatan teroisme. Inilah maknanya bagi kita. Bahwa masalah sengketa perbatasan dengan Malaysia, yang kembali mencuat akhir-akhir ini, masih merupakan pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan oleh Indonesiai. Agar keutuhan wilayah negeri ini tetap terjaga dan lestari. Agar sebuah penyesalan mengenai kehilangan wilayah, tidak lagi terulang lagi. Tidak cukup hanya dengan sikap tegas, unjuk kekuatan, atau bahkan hanya dengan sekedar luapan sikap yang emosional.

Bagaimana Indonesia mengambil sikap tentang ketahanan nasional negaranya Kasus Ketahanan Nasional (Ambalat, Sengketa Indonesia Malaysia) Meskipun peristiwanya sudah berlangsung tiga tahun yang lalu, namun kasus Ambalat nampaknya belum terselesaikan hingga sekarang. Sudah tiga tahun dilakukan negosiasi, namun belum terdengar kabar berita tentang hasilnya. Belajar dari kasus Sipadan Ligitan yang juga dengan Malaysia, Indonesia tidak boleh terlena dengan janji serta upaya hukum dari Malaysia. Indonesia telah kalah telak pada persidangan Mahkamah Internasional di Den Haag serta kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Strategi ulur waktu (buying time) untuk pengumpulan data maupun perolehan dukungan internasional oleh Malaysia seperti dilakukan dalam menggarap kasus Sipadan Ligitan sungguh sangat jitu. Oleh karena itu seyogyanya Indonesia tidak menganggap enteng dalam kasus Ambalat ini. Konsesi minyak oleh Malaysia di wilayah Indonesia Pada 16 Februari 2005 Pemerintah Indonesia telah memprotes pemberian konsesi minyak di Ambalat, Laut Sulawesi (wilayah Indonesia) kepada Shell, perusahaan minyak Belanda oleh Pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas. Berita tersebut diklarifikasi oleh Departemen Luar Negeri RI (Deplu) melalui siaran pers tanggal 25 Februari 2005, yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Suatu kejutan spontanitas kemudian terjadi

di mana-mana. Tanpa menunggu komando, masyarakat di berbagai kota berdemonstrasi dan menghimpun sukarelawan untuk menghadapi Malaysia. Kemarahan tersebut dipicu oleh berbagai perasaan kecewa terhadap sikap Malaysia antara lain dalam masalah TKI dan terlepasnya pulau Sipadan Ligitan dari kekuasaan RI bulan Desember 2002. RI akan selesaikan dengan cara damai Belajar dari pengalaman dan menyimak kejadian yang sebenarnya, makna konflik blok Ambalat bukankah sekedar persoalan benar-salah atau kalah-menang. Namun harus diselesaikan dengan jernih dan proporsional. Langkah Presiden SBY yang pada 8 Maret 2005 melakukan peninjauan langsung ke wilayah Ambalat yang disengketakan itu sangat tepat. Peninjauan tersebut juga melengkapi komunikasi Presiden SBY dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi yang membuahkan kesamaan pendapat bahwa persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi dengan cara damai. Sebaiknya bagaimana pendirian Indonesia? Menghadapi Malaysia, Indonesia tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur selangkahpun. Bersamaan dengan itu harus pula dapat dibuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur adalah wilayah Indonesia. Sengketa di Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau Sipadan Ligitan. Agar tidak terulang nasib kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan Ligitan, maka untuk menetapkan keabsahan status kawasan Ambalat tidak diperlukan dialog basa-basi. Secara substansial, posisi Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada tingkat kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah kecolongan atas lepasnya pulau Sipadan Ligitan sebagai akibat dari suatu kelalaian. Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam sengketa Sipada Ligitan tersebut. Indonesia negara kepulauan Perlu disadari bahwa melalui suatu perjuangan panjang Indonesia telah resmi menjadi salah satu dari sedikit negara kepulauan (archipelagic state) di dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Sebagai perwujudannya, maka dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara lain adalah keharusan Indonesia membuat peta garis batas, yang memuat kordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun dalam UU No.6/1996 tidak memuat peta garis batas Indonesia. Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justru Malaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Ini hanya mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan terbukti, sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan

Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkan Malaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kabarnya Malaysia juga berusaha melakukan hal serupa terhadap Pulau Natuna, dengan cara membangun pulau tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Peta Malaysia tahun 1979 Taktik/strategi coba-coba yang membuat Malaysia berhasil dalam perebutan Sipadan Ligitan sekali lagi sedang dilakukan untuk meraup Blok ND 6 (Y) dan ND 7 (Z) sebagai bagian wilayahnya. Malaysia hanya merubah sebutan tempat tersebut untuk membuat kesan beda dengan wilayah garapan Indonesia, yaitu Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Manuver Malaysia tidak saja dengan memberikan konsesi minyak di blok tersebut kepada Shell, namun juga tindakan provokasi di batas perairan wilayah kedua negara sekaligus mengganggu pembangunan mercu suar di Karang Unarang milik Indonesia. Keberanian Malaysia dalam hal ini berbekal asumsi atas rumus yang dibuatnya sendiri dengan menarik garis pantai dari wilayah teritorial laut pulau Sipadan Ligitan. Padahal berdasarkan UNCLOS Malaysia adalah bukan negara kepulauan dan tidak berhak menarik garis pangkal dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar sebagaimana dimiliki negara kepulauan seperti Indonesia. Ulah Malaysia mengklaim Sipadan Ligitan kemudian Blok Ambalat dan East Ambalat, semata-mata berdasarkan peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak dan sudah diprotes oleh Indonesia serta beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Adanya protes tersebut dan setelah diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, seharusnya Malaysia sudah tidak lagi menggunakan peta tersebut. Namun setelah berhasil merebut pulau Sipadan dan Ligitan maka Malaysia berani mencoba melangkah maju lagi. Target yang dituju adalah kepemilikan Blok ND 6 dan ND 7 yang kaya dengan kandungan minyak tersebut. Spekulasi Malaysia selanjutnya adalah mencari celah-celah agar Indonesia mau diajak berunding dan bilamana perlu hingga ke Mahkamah Internasional. Di Den Haag nanti, Malaysia punya bargaining position atas peran Shell, perusahaan minyak Belanda. Sebagai perusahaan transnasional, pasti dibalik Shell terdapat kekuatan lain yang cukup berbobot dan berpengaruh. Sedangkan Indonesia hanya sendirian dan tidak mempunyai bargaining position yang menjanjikan. Tumpang tindih lahan penjualan Indonesia sebetulnya tidak harus bersusah payah menghadapi kasus Ambalat, seandainya sejak awal secara konsisten tetap mengawasi dan mengikuti perkembangan terhadap konsesi yang telah diberikan kepada beberapa perusahaan minyak asing di Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Di kawasan tersebut sejak tahun 1967 Indonesia telah membuka peluang bisnis kepada perusahaan minyak seperti Total Indonesie PSC, British Petroleum, Hadson Bunyu BV, ENI Bukat Ltd. dan Unocal, yang selama ini tidak ada reaksi apapun dari Malaysia. Jelasnya kegiatan Indonesia telah berlangsung jauh sebelum rekayasa Malaysia yang secara unilateral membuat peta tahun 1979. Ada semacam kejanggalan bahwa pada tahun 1967 Pertamina memberikan konsesi minyak kepada Shell, namun oleh Shell kemudian diberikan lagi kepada perusahaan minyak ENI (Italia). Petunjuk ini perlu untuk diketahui, mengingat ada

nuansa kesamaan dengan pemberian konsesi minyak oleh Petronas kepada Shell yang sekarang sedang diributkan itu. Pada saat ini Blok Ambalat dikelola ENI sejak tahun 1999 dan East Ambalat oleh Unocal (AS) tahun 2004 (Desember). Timbul pertanyaan, mengapa sampai terjadi tumpang tindih bahwa Malaysia dapat menjual asset negara lain yang adalah sebagai pemilik yang sah? Lagipula yang menjadi obyek masih sedang aktif dikelola. Sekali lagi Indonesia telah kecolongan akibat kelalaian juga. Memenangkan perundingan Dari catatan tersebut di atas, inti persoalan timbulnya konflik adalah akibat akalakalan Malaysia yang bersikukuh dengan peta tahun 1979 dan berbuntut perolehan hak atas Sipadan Ligitan. Malaysia juga tidak jujur dalam memaknai secara utuh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 yang juga telah ikut ditandatanganinya. Menanggapi protes Indonesia, Malaysia menjawab (25 Februari 2005) bahwa yang sedang disengketakan itu adalah perairan Malaysia. Meskipun menyatakan ingin menghindarkan konfrontasi dengan Indonesia, namun dalam berbagai kesempatan Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar mengatakan bahwa Malaysia tidak akan berkompromi soal kepentingan teritorial dan kedaulatan. Posisi Malaysia cukup jelas, yaitu tidak konfrontasi dengan Indonesia namun mengajak berunding dan harus melindungi keutuhan teritorial. Sedangkan Indonesia berkewajiban untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tibalah saatnya sekarang kedua negara bertetangga dan serumpun ini saling berhadapan untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Perhitungan Malaysia tentu merujuk pengalaman masa lalunya untuk kembali memenangkan perundingan dengan Indonesia. Mengantisipasi bilamana terjadi perundingan, diperkirakan akan terdapat tiga kemungkinan. Yaitu pertama, Indonesia tetap dapat mempertahankan haknya; kedua, Malaysia berhasil merebut Ambalat; atau ketiga, berunding dengan difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila gagal semuanya, bukan tidak mungkin bisa terjadi perang. Namun yang terakhir ini tentu sulit karena keduaanya terikat kepada kesepakatan Asean. Dalam hal mengundang pihak ketiga, dari pengalaman Sipadan Ligitan kemungkinan Indonesia akan dirugikan. Pertemuan bilateral antara Menlu RI dan Menlu Malaysia pada Mei 2005 hasilnya belum banyak diketahui oleh publik. Indonesia masih harus dapat memilih secara tepat beberapa alternatif apakah perundingan bilateral saja, melalui jasa High Counsel Asean, Tribunal UNCLOS atau ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pemerintah juga harus melengkapinya dengan berbagai peraturan yang memperkuat posisi Indonesia di arena perundingan nanti. Seperti dimaklumi, Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Kordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia juga disiapkan saat menghadapi persidangan kasus Sipadan Ligitan di Mahkamah Internasional, namun kurang manfaat karena kalah berpacu dengan waktu. Sekarang PP tersebut harus segera diubah karena di dalamnya masih ada Sipadan dan Ligitan. Belajar dari kasus

Mengambil pelajaran dari proses perebutan Sipadan Ligitan, maka dalam kasus Ambalat ini Indonesia harus lebih berhati-hati dan menjaga agar tidak terjebak. Dalam kasus Sipadan Ligitan ternyata Mahkamah Internasional di Den Haag tidak mau melihat argumentasi hukum dan sejarah, namun lebih menekankan kepada keseriusan negara pihak dalam mengurus asset. Oleh karena itu dalam adu argumentasi nanti harus lebih diperkuat hingga dapat memerinci saat-saat paling mutakhir. Harus dikaji pula secara lebih mendalam sejauh mana peran dan keterlibatan Shell dalam kasus ini. Sebagai negara yang jauh lebih besar dibandingkan Malaysia, Indonesia harus bersikap tegas dan konsisten. Pada kasus Sipadan Ligitan, awalnya Indonesia terkesan sangat percaya diri. Namun setelah persidangan berlangsung, belakangan diketahui bahwa tim perunding Indonesia ternyata kurang persiapan dan kurang kordinasi. Oleh karenanya untuk ke depan Indonesia harus lebih siap lagi. Tentunya tidak hanya yang substansial, namun juga yang non-substansial termasuk jiwa patriotisme harus juga dikedepankan. Tim perunding Indonesia harus mampu menandingi semangat kebangsaan Malaysia. Sebelum memperoleh penegasan sikap Indonesia yang jelas, Malaysia sudah menyatakan tekadnya untuk mempertahankan teritorial dan kedaulatan. Padahal yang dimaksud teritorial dan kedaulatan tersebut masih dalam status sengketa dan masuk wilayah Indonesia. Dengan kata lain Malaysia bermaksud merebut teritorial negara lain. Sikap tegas Malaysia tersebut dapat diartikan bahwa Malaysia sudah siap untuk menantang Indonesia. Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah strategi Indonesia untuk menghadapi tantangan tersebut. Akhirnya dari semua itu, kemampuan Indonesia dalam berdiplomasi akan diuji kembali. Pekerjaan rumah bagi Deplu untuk mengukir sejarah kebesaran bangsa Indonesia.

REFERENSI :
Endang Sri Susetiawati. Sumber tulisan didasarkan atas Karya Tulis berjudul Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru Dalam Mempertahankan Keutuhan Wilayah NKRI : Pemberdayaan Potensi Pulau Terluar dan Wilayah Perbatasan oleh Sri Endang Susetiawati, tahun 2010).

http://hankam.kompasiana.com/2011/04/13/sengketa-perbatasan-indonesia-malaysiategas-saja-belum-cukup-355178.html http://dickydiezkhy.wordpress.com/2013/04/20/wawasan-nusantara-indonesia/ http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/04/mengapa-indonesia-disebut-nusantara.html http://serbafakta.blogspot.com/2013/01/berapa-jumlah-pulau-indonesiasebenarnya.html#.UY9i-0pj_ME http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Utara http://hankam.kompasiana.com/2013/04/09/bagaimana-indonesia-mengambil-sikaptentang-ketahanan-nasional-negaranya-544650.html

MAKALAH KEWARGANEGARAAN
Sikap Warga Indonesia Terhadap Pulau Terluar Indonesia

KELOMPOK PEMUDA PERUBAHAN Abdul Aziz Defrizal Leswaldi Fadel Al-habsy Satrio Mandala Taufan diantroli

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga tersusunnya tugas makalah ini. Pengembangan pembelajaran dari materi yang ada pada makalah ini , dapat senantiasa di lakukan oleh siswa dengan tetap dalam bimbingan dosen. Upaya ini di harapkan dapat lebih mengoptimalkan penguasaan siswa terhadap kompetensi yang dipersyaratkan. Dalam menyusun makalah ini, masih banyak kekurangannya. Untuk itu, penyusun mengharapkan tegur,sapa,atau kritik demi perbaikan yang akan datang. Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telab membantu penyusunan makalah ini.

Pekanbaru,17 Oktober 2013

PEMUDA PERUBAHAN

Вам также может понравиться