Вы находитесь на странице: 1из 2

MIMPI-MIMPI TERAKHIR SEORANG MAHASISWA TUA Pagi itu, ketua jurusan sejarah memanggil saya dan bertanya, bilamana

saya akan menyerahkan skripsi saya. Saya berpikir sebentar, dan akhirnya saya katakan bahwa dalam beberapa minggu lagi saya akan menyerahkan draft skripsi tadi. Saya tinggal mengetiknya. Pembicaraan singkat ini menyadarkan saya, bahwa masa mahasiswa saya akan segera berakhir. Mungkin dalam beberapa bulan ini saya tidak dapat menyebutkan diri saya sebagai seorang mahasiswa lagi. Enam setengah tahun yang lalu saya memasuki gerbang kehidupan kemahasiswaan, sebagai seorang pemuda hijau yang baru berumur belasan tahun. Tanpa terasa jalan yang tadinya terasa amat panjang itu sudah akan segera berakhir. Pada saat langkah-langkah terakhir diayunkan, timbul bermacam-macam perasaan pada diri saya, karena cita-cita saya untuk menjadi seorang sarjana akan terkabul dalam waktu yang tidak lama lagi. Dengan perasaan bangga terhadap almamater saya, saya akan melangkahkan kaki keluar gerbang kampus dengan dibekali ilmu yang saya pelajari. Tetapi dipihak lain timbul perasaan sedih dalam diri saya. Semuanya terasa begitu mesra. Saya ingat kembali masa-masa ujian, masa-masa untuk belajar, masa-masa untuk berdiskusi, menonton film dan cerita-cerita murahan yang saya dapati di kampus. Semuanya telah membuat saya dewasa dalam arti kata bahwa saya telah ditempa dalam suasana ini. Hari ini saya menoleh kebelakang melihat jejak-jejak hidup kemahasiswaan saya. Lalu saya memandang ke depan melihat jalan yang akan ditempuh oleh adik-adik saya. Semuanya ini membuat saya bermimpi, mimpi seorang mahasiwa tua. Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang manusia, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. Pada saat kulaih mereka datang ke kelas-kelas secara serius. Mendengarkan kuliah-kuliah dosen, walaupun kadang-kadang membosankan. Dan pada saat laboratorium, kadang-kadang berdiskusi secara bersungguh-sungguh dengan rekannya tentang suatu masalah. Sebagai manusia, mereka juga memerlukan kegiatan lain. Berolahraga, berorganisasi, membuat acara-acara kesenian, mendaki gunung atau membuat perlombaan sepatu roda. Kadangkadang memutar film-film bermutu berat. Tetapi mereka perlu juga nonton film-film murahan. Menonton adegan yang membirahikan, mahasiswa-mahasiswa itu berteriak-teriak kesenangan sambil bersiul-siul dan tertawa-tawa. Lalu diskusi yang tidak-tidak, misalnya apakah yang akan terjadi, jika mahasiswa-mahasiswa menangkap dekannya, lalu menguncinya di WC fakultas. Dan sekali-kali membuat lelucon-lelucon jorok, sehingga anak-anak mami merah mukanya karena malu. Ya, suatu kehidupan yang tidak serius, disamping studi yang berat. Tetapi pada saat-saat yang menentukan, mereka juga dapat bersikap tegas. Tanpa ragu-ragu. mereka akan berani terjun ke jalan-jalan raya menghadapi panser-panser tentara yang mau menginjak-injak demokrasi. Dan berkata TIDAK terhadap siapa pun juga yang ingin merobekrobek rule of law dan kemerdekaan bangsanya. Manusia-manusia yang berkepribadian, tetapi tidak berlebih-lebihan. *** Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil putusan yang mempunyai arti politis (walau bagaimana pun kecilnya), selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, dan golongan. ***

Saya bermimpi bahwa dimasa depan, universitas-universitas akan medapatkan kebebasan mimbarnya kembali. Dan mahasiswa-mahasiwa merasa bahwa kebebasan mimbar adalah suatu fundamental bagi hidup mereka dalam kampus. *** Beberapa bulan lagi saya kan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkannya dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang purapura suci dan mengatasnama-Tuhan-kan segala-galanya, sampai-sampai dansa dan naik gunung dibawa-bawa pada soal agama. Masih terlalu banyak serigala-serigala berbulu domba. Buayabuaya judi, tukang-tukang nyontek dan bolos yang berteriak-teriak tentang moral generasi muda, dan tanggung jawab mahasiswa terhadap rakyat. Masih terlalu banyak mahasiwa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiwa semacam tadi. Kebebasan mimbar tidak ada. Yang ada hanya slogan dan sejumlah kecil mahasiswa dan dosen, yang bekerja untuk mengubah suasana ini. Barangkali mimpi-mimpi saya tak pernah akan terlaksana. Tetapi dengan kerja keras, mimpi-mimpi tadi mungkin akan terlaksana. (Dikutip dari Stanley & Santoso, Aris. 2005. Soe Hok Gie: Zaman Peralihan. Jakarta: Gagas Media)

Вам также может понравиться