Вы находитесь на странице: 1из 148

ISBN No.

978-979-96964-3-9

Prosiding
Seminar Nasional Teknoin 2012
Pengembangan Teknologi Manufaktur untuk Menunjang Penguatan Daya Saing Bangsa

Yogyakarta, 10 November 2012

Bidang Teknik Kimia

diselenggarakan oleh:

Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN: 979-978-96964-9-8

Diterbitkan oleh: Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Jl. Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta 55584 T. 0274-895287, 0274-895007 Ext 110/200 F. 0274-895007 E. seminarteknoin@yahoo.com, teknoin@uii.ac.id W. seminarteknoin.fit.uii.ac.id

Hak Cipta 2012 ada pada penulis Artikel pada prosiding ini dapat digunakan, dimodifikasi, dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersil (non profit), dengan syarat tidak menghapus atau mengubah atribut penulis. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang kecuali mendapatkan izin terlebih dahulu dari penulis.

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Organisasi Penyelenggara
Penanggung Jawab Pengarah : Ir. Gumbolo Hadi Susanto, M.Sc. : Wahyudi Budi Pramono, ST., M.Eng Dr. Sri Kusumadewi, S.Si., MT. Dra. Kamariah, MS. Drs. Mohammad mastur, MSIE Yudi Prayudi, S.Si, M.Kom Tito Yuwono, ST., M.Sc Agung Nugroho Adi, ST., MT. : Risdiyono, ST., M.Eng., D.Eng. : 1. Yustiasih Purwaningrum, ST., MT. 2. Erawati Lestari, A.Md. : 1. Prof. Dr. Ir. Mauridhi Hery Purnomo, M.Eng. 2. Dr. Ir. Rila Mandala, M.Eng. 3. Ir. Muhammad Waziz Wildan, M.Sc., Ph.D. 4. Risdiyono, ST., M.Eng., D.Eng. 5. Dr. Ir. Paryana Puspaputra, M.Eng. 6. Ir. Erlangga Fausa, M.Cis 7. Ridwan Andi Purnomo, ST., M.Sc., Ph.D. 8. Asmanto Subagyo, M.Sc. 9. Izzati Muhaimmah, ST., M.Sc. Ph.D. 10. Hendra Setiawan, ST., MT. D.Eng. 11. Muhammad Ridlwan, ST., MT. Dekan Wakil Dekan Direktur Pascasarjana MTI Ketua Jurusan Teknik Kimia Ketua Jurusan Teknik Industri Ketua Jurusan Teknik Informatika Ketua Jurusan Teknik Elektro Ketua Jurusan Teknik Mesin

Ketua Pelaksana Bendahara

Reviewer

Makalah & Prosiding: Koordinator

Purtojo, ST., M.Sc. 1. Khamdan Cahyari, ST., M.Sc. 2. Firdaus, ST., MT. 3. Hanson Prihantoro, ST., MT. 4. Jerri Irgo, SE., MM. 5. Heri Suryantoro, A.Md. 6. Bagus Prabawa Aji, ST. 7. Adi Swandono, A.Md. M. Faizun, ST., M.Sc. 1. Indah Kurniasari, SP 2. Muhammad Susilo Atmodjo 3. Pangesti Rahman, SE.

Sekretariat: Koordinator

Sie. Acara dan Publikasi: Koordinator

Arif Hidayat, ST., MT. 1. Dyah Retno Sawitri, ST. 2. Agus Sumarjana, ST. 3. Suwati, S.Sos.

ii

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kata Pengantar
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Seminar Nasional Teknoin 2012 dapat terselenggara. Seminar Nasional Teknoin merupakan seminar tahunan yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Yogyakarta bekerja sama dengan Jurnal Teknologi Industri (TEKNOIN). Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004, seminar ini telah menjadi sarana terjalinnya kerjasama, transfer pengalaman dan pengetahuan di antara berbagai pihak dari kalangan akademisi, peneliti, pelaku industri dan elemen masyarakat lainnya baik dari unsur pemerintah maupun swasta. Sejalan dengan visi Universitas Islam Indonesia yang berkomitmen pada kesempurnaan (keunggulan) serta risalah Islamiyah di bidang pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat dan dakwah, seminar ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Di usianya yang ke 9, Seminar Nasional Teknoin 2012 kali ini mengambil tema : Pengembangan Teknologi Manufaktur untuk Menunjang Penguatan Daya Saing Bangsa. Tema ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa peningkatan daya saing bangsa merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan dalam menghadapi era globalisasi. Usaha ini akan berhasil jika seluruh elemen masyarakat memberikan kontribusi yang optimal sesuai bidangnya masing-masing. Di sektor industri, parameter-parameter yang sering dipakai dalam mengukur daya saing bangsa biasanya lebih ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) daripada kualitas sumber daya alam (SDA) sebuah negara. Kerjasama multidisiplin yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta mutlak diperlukan. Untuk itu, Seminar Nasional Teknoin dikemas menjadi forum diseminasi berbagai disiplin ilmu diantaranya bidang ilmu Teknik Kimia, Teknik Industri, Teknik Informatika, Teknik Elektro dan Teknik Mesin. Dalam seminar ini, alhamdulillah terdapat 143 buah makalah (dari 260 abstrak yang diterima) dan yang telah direview oleh tim serta layak untuk masuk ke dalam Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 (ISBN No. 978-97996964-3-9) dan dipresentasikan. Adapun tiap bidang ilmu terdiri atas : 21 makalah bidang Teknik Kimia dan Tekstil, 35 makalah bidang Teknik Industri, 29 makalah bidang Teknik Informatika, 20 makalah bidang Teknik Elektro, serta 38 makalah bidang Teknik Mesin. Pada kesempatan ini, kami selaku ketua pelaksana menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Pimpinan Fakultas Teknologi Industri UII, segenap Pimpinan Jurusan dan Pimpinan Program Pascasarjana di lingkungan FTI UII, tim reviewer, dan seluruh panitia pelaksana yang telah berusaha maksimal dan bekerjasama dengan baik hingga terlaksananya acara ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada Assoc. Prof. Dr. Pisut Komsaap yang telah berkenan menjadi keynote speaker dalam seminar ini. Kepada seluruh peserta dan pemakalah serta semua pihak yang telah berpartisipasi, kami sampaikan terima kasih dan permohonan maaf atas kekurangsempurnaan kami. Semoga dengan seminar ini, bisa lebih membuka wacana dan ide-ide baru untuk melakukan berbagai inovasi bisnis dalam rangka mengolah potensi yang ada menjadi keunggulan bisnis dalam persaingan global. Selamat berseminar dan kami tunggu partisipasinya pada Seminar Nasional Teknoin selanjutnya di tahun 2012. Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Yogyakarta, 10 November 2012 Ketua Panitia,

Risdiyono, ST, M.Eng, D.Eng

iii

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

iv

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Sambutan Dekan Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Rendahnya daya saing bangsa Indonesia akibat belum kondusifnya kinerja perekonomian nasional merupakan salah satu persoalan yang perlu dicermati bersama. Di sektor industri, berbagai hal yang berkaitan dengan sistem produksi, pemanfaatan tenaga kerja, akses ke sumber daya keuangan, manajerial, infrastruktur, teknologi, standarisasi, perlindungan konsumen dan analisa pasar merupakan contoh faktor yang mempengaruhi daya saing suatu bangsa. Tidak bisa dipungkiri bahwa peningkatan daya saing merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan dalam menghadapi era globalisasi. Usaha ini akan berhasil jika seluruh elemen masyarakat memberikan kontribusi yang optimal sesuai bidangnya masing-masing. Daya saing bangsa biasanya lebih ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) daripada kualitas sumber daya alam (SDA) sebuah negara. Kerjasama multidisiplin yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta mutlak diperlukan. Berkenaan dengan hal itu, Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menyelenggarakan Seminar Nasional Teknoin yang pada kesempatan ini telah menginjak usia yang ke 9. Di seminar ini kami mengundang para akademisi, peneliti, pelaku industri dan seluruh elemen masyarakat untuk berperan serta baik sebagai pemakalah maupun peserta. Beragam konsep, hasil pemikiran, dan hasil riset tentang teknologi akan disajikan dan dibahas pada Seminar Nasional ini. Sebagai sebuah forum ilmiah, seminar ini diharapkan menjadi media diseminasi informasi hasil penelitian dan perkembangan mutakhir antar pihak dengan berbagai latar belakang, mulai dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, pemerintah/pengambil kebijakan, dan pihak industri. Diskusi antarpihak dengan berbagai perspektif ini diharapkan dapat memperluas social networking dan menghadirkan visualisasi yang lebih lengkap atas berbagai perkembangan penelitian di bidang teknologi industri, dan pada gilirannya diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan teknologi dan pemanfaatannya di Indonesia. Atas nama Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas terselenggaranya Seminar Nasional Teknoin 2012 ini. Seminar ini dapat berlangsung karena usaha terbaik dari panitia pelaksana. Akhir kata, selamat berseminar. Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Dekan,

Ir. Gumbolo Hadi Susanto, M.Sc.

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

vi

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Executive Summary of Keynote Speech


Manufacturing Technology Development for Customer Involvement in Value Creation
Assoc. Prof. Dr. Pisut Koomsap A-Cube Research Group, Industrial and Manufacturing Engineering, School of Engineering and Technology, Asian Institute of Technology, Km. 42 Paholyothin Rd. Klong Luang, Pathumthani 12120, Thailand, Tel: (662) 524-5678; Fax: (662) 524-5697; Email: pisut@ait.ac.th

Advancement of technology has opened up a competitive market that led to the change of product development fundamental from manufacturer-oriented to customer-oriented. The competitive environment has powered customers to demand for better responsiveness, and has forced manufacturers to timely deliver quality products and service to satisfy customer expectations. Design of manufacturer in the early days has been replaced by design for customer at the present time. However, customer involvement has been limited to expressing their voices until the debut of mass customization concept which each product is aimed to be made to meet a specific customers need. Customers can take a proactive role in their needs and negotiate to meet their requirements. Manufacturers allow them to involve reconfiguring products during assembly stage. They can mix and match parts to form their own products. Nevertheless, the concept has some limitations when it comes down to implementation. To serve individual needs that quite vary from one person to another, exponential increase of variety will occur and lead to high cost and long lead time. With rigid manufacturing system, manufacturers are required to build up the inventory of variety of components to be ready. As a result, mass customization, in practice, remains at a group of customers with similar preference, not yet reached to individual customer. Recently, we have proposed design by customer concept to satisfy individual customers by letting them to flexibly involve in defining product of their personal requirements at any stages of value chain, and framework has been established to assist manufacturers on realizing the concept. To encourage customer involvement, maximum possible channels in the value chain should be opened for ease of access, but the level of involvement that can vary from design from scratch to select available items is depended upon customers interests as well as manufacturers readiness. Therefore, product attribute analysis that takes key customer needs, manufacturers capability and constraints has been developed as a tool for determining the level of involvement, and crowd screening process has also been introduced to manage product variety. Presented in this talk is our ongoing research on manufacturing technology development to support customer involvement in design by customer concept. The research includes the development of hardware, software, algorithm, and their integration to form an intelligent manufacturing system that allows manufacturers to respond rapidly to individual customers. The system is customer-oriented. It has been developed to accommodate customer interest which maybe expressed in various formats such as CAD model, drawing, physical object, sketch or photograph. The system composes of three parts: input transformation, toolpath generation and fabrication technology, and can serve both 2D and 3D applications. It transforms these inputs to be a general form of contour images for 2D product or a stack of contour images for 3D product. Topological hierarchy contour tracing algorithm has been developed for automatic toolpath generation. This algorithm can trace a set of one-pixel wide closed contours that may appear as nested contours, interconnected contours or their combination. It is applied on the images to obtain coordinates on all contours. The ordered sequences of coordinates are then used to generate commands for fabrication a product. Contour cutting and screen printing are examples of 2D application. Zero G-code two axes servo table has been developed for abrasive waterjet machining. It allows inexperience users to complete cutting any complicated contours in very short period of time without writing a single G-code. Its integration with contour tracing algorithm makes it possible for rapid contour cutting from a contour image. Multi-color screen printing system has also been developed to illustrate design by customer concept. The system is capable of creating screen quickly from customer design and used on a flat screen printing machine that is capable of adjusting screen automatically for multi-color printing.

vii

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Additive manufacturing has been our focus on 3D application. A few rapid prototyping techniques have been developed in house. Direct slicing approach has been researched for transforming 3D CAD model to be a stack of contours. However, it is quite often that customers do not come with 3D CAD models; instead they may bring physical objects, or rough sketches. Therefore, interfacing between rapid prototyping (RP) with reverse engineering (RE), geometric reconstruction (GR), and 3D sketch-based modeling have been researched also to transform rapidly those inputs to be physical prototypes. For RE-RP interface, unlike all existing interface approaches which acquire entire surface data from an object and perform data reduction, our adaptive reverse engineering acquires data selectively and locally layer by layer according to the complexity of the object. Structure light system has been applied to induce feature on the object surface to appear explicitly for selective data acquisition algorithm that applies image processing to analyze the complexity of the object before recommending the scanning positions. The output is a stack of contours that can be used directly for toolpath generation. Similarly, GR-RP interface has been developed for direct fabrication of a physical prototype from an orthographic views drawing without reconstruction of its 3D CAD model. This success has led us to another development on direct fabrication of a prototype from a paper-based freehand sketch which is a natural communication channel used for expressing idea. In conclusion, several manufacturing technologies have been being developed to support customer involvement in our design by customer concept but the development has not been completed yet. There is still big room for improvement to make these technologies more robust. Also, full implementation of design by customer is still waiting to be explored.

viii

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Daftar Isi
Organisasi Penyelenggara .. Kata Pengantar Sambutan Dekan FTI UII Keynote Speaker: Judul: Daftar Isi Makalah Bidang Teknik Kimia 01 Kajian Awal Kinetika Reaksi Seri Biogas menjadi Biogasoline Berbasis Katalis Silika dan Alumina
Achmad Chumaidi, Dwina Meontamaria, Profiyanti Hermien Suharti

i iii v vii ix A-1

A-3

02

Perencanaan Unit Pengolahan Air Limbah Industri Kecil Skala Rumah Tangga (IKRT) Penghasil Tahu A-9
Anugrah Dwi Permana, Alfan Purnomo, Welly Herumurti, Eddy Setiadi Soedjono

03

Kajian Elektrokimia Mortar sebagai Anoda pada Sistem Proteksi Katodik Arus Tanding Beton Bertulang A-15
Ari Yustisia Akbar, Gilang Ramadhan, Septian Adi Chandra, Yulinda Lestari

04

Optimasi Hidrolisis Tepung Sorgum (Sorghum Bicolor, L Moench) sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol A-21
Dianty Rosirda Dewi Kurnia, Endang Kusumawati

05

Evaluasi Keberadaan Senyawa Etanol dan Metanol dalam Proses Fermentasi Tongkol Jagung dengan Saccharomyces cerevisiae
Ery Susiany Retnoningtyas, Antaresti, Aylianawati

A-27

06 Redesain Motif Batik Tradisional Berorientasi Pasar


Irfaina Rohana Salma, Edi Eskak

A-31

07

Penanggulangan Pencemaran Akibat Proses Biokorosi pada Pipa Distribusi Crude Oil
M. Syahri

A-37

08

Pembuatan Gasohol untuk Memperbaiki Kualitas Emisi Gas Buang Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
M.Syahri, Gogot Haryono, Resty M. dan Vina W.P.

A-43

09

Pengurangan Kadar Air dalam Limbah Cair yang Mengandung Lignin Menggunakan Falling Film Evaporator (FFE)
Mukhtar Ghozali, Ahmad Hafidz dan Yusup Anwar

A-49

10

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Alpukat (Persea gratissima) Menggunakan Katalis CaO A-57
Nancy Siti Djenar, Bintang IM, Ayu W, Eka PI

ix

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

11

Bioplastik Poly Lactic Acid (PLA) dari Kulit Singkong dengan Variasi Jenis Bakteri Lactobacillus
Neni Damajanti, Abdul Haris Mulyadi dan Listianingrum

A-65

12

Penentuan Harga Pokok Produksi Kunyit Dan Produk Olahan Di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar
Nisa Rukma Toga, Fakhrina Fahma, Murman Budijanto

A-73

13

Penentuan Kadar Lignin dan Natrium Bisulfit Terpakai dalam Pembuatan Sodium Lignosulfonat (SLS) dengan Metode Sulfonasi
Nur Prasetyo Ponco Nugroho

A-81

14 Analisa Pembuatan dan Karakteristik Biodiesel Nyamplung


Seno Darmanto, Senen, Windu Sediono, Zainal Abidin, Sarwoko, Sunarso Sugeng

A-87

15

Kinerja IPAL Biofilter untuk Pengolahan Air Limbah Domestik di UPT Puskesmas Janti Kota Malang
Siti Muhimatul Ifadah, Sugito

A-93

16

Kajian Pemanfaatan Limbah Nanas (Ananas comosus L (Merr)) menjadi Berbagai Produk
Sriharti

A-101

17

Implementasi Pembuatan Kompos dari Limbah Nanas di UKM Alam Sari Kabupaten Subang
Sriharti

A-107

18 Produksi Hidrogen dari Limbah Biomasa dengan Gasifikasi Hidrotermal


Sutarno

A-113

19 Esterifikasi Terpentin dengan Asam Asetat Menggunakan Katalis Asam Sulfat


Diana, Septian Arief NR, Arief Budiman

A-121

20 Kulit Tiruan Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa dan Perekat Alami


Tuasikal M. Amin

A-127

21

Proses Perengkahan Berkatalis (Catalytic cracking) Minyak Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) menjadi Fraksi Bahan Bakar
Heny Dewajani dan Arief Budiman

A-131

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Makalah Bidang Teknik Kimia


Seminar Nasional Teknoin 2012 Pengembangan Teknologi Manufaktur untuk Menunjang Penguatan Daya Saing Bangsa Yogyakarta, 10 November 2012

A-1

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-2

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kajian Awal Kinetika Reaksi Seri Biogas menjadi Biogasoline Berbasis Katalis Silika dan Alumina
Achmad Chumaidi*, Dwina Meontamaria, Profiyanti Hermien Suharti Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Malang Jalan Sukarno Hatta Po Box 09 Malang *Korespondensi: Abstrak Biogas memiliki kandungan energi tinggi yang tidak kalah dari kandungan energi dalam bahan bakar fosil. Kandungan dalam jumlah yang cukup besar adalah gas metana. Gas metana dalam biogas bisa terbakar sempurna. Sebaliknya, gas metana dalam bahan bakar fosil tidak bisa terbakar sempurna dan akan membahayakan lingkunga gas metana tersebut termasuk dalam gas-gas rumah kaca yang bisa menyebabkan pemanasan global (global warming) sehingga penggunaan biogas bisa mencegah resiko terjadinya global warming. Biogas merupakan sumber alam terbaharukan memiliki kandungan gas metana sebesar 54,45%, yang mampu bereaksi melalui oksidasi parsial membentuk metanol. Dalam penelitian ini digunakan katalis CuO dengan penyangga SiO2 terimpregnasi pada suhu 350oC dikombinasikan dengan Al2O3 dengan SiO2 dengan perbandingan Si/Al = 15.1 Preparasi katalis dilakukan dengan metode impregnasi. Hasil identifikasi dengan XRD menunjukkan bahwa komponen katalis terdiri dari senyawa CuO,Al2O3 dan SiO2. Uji kinerja katalis dilangsungkan dalam reactor pipa lurus berunggun tetap pada suhu 350oC. Kedua katalis tersebut dimasukkan kedalam reactor alir pipa sebagai unggun tetap untuk mengkonversi metana menjadi methanol selanjutnya secara simultan mengalami perengkahan berubah menjadi biogasoline. Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa reaksi seri ini mengikuti reaksi orde satu irreversible (searah) dengan intermediate maksimum 80 % dan konversi akhir 70 %. Luas permukaan masing masing katalis 38 m2/g dan 65 m2/g Kata Kunci : Biogas, methanol, biogasoline, impregnasi. Pendahuluan Penggunaan biomassa tradisional dan bahan bakar fosil yang telah menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, kesehatan, dan kehidupan sosial telah meningkatkan minat masysrakat untuk mencari sumber energi alternatif global yang bersih dan ramah lingkungan. Kebutuhan akan energi alternatif semakin meningkat seiring dengan semakin langka dan tingginya harga energi bersumber bahan bakar minyak. Biogas sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2), dan beberapa kandungan yang jumlahnya kecil diantaranya hydrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) serta hydrogen dan (H2), nitrogen yang kandungannya relatif kecil. Beberapa peneliti telah berhasil membuat sebuah sel bahan bakar yang bisa merubah metana (komponen utama gas alam) menjadi metanol (bahan bakar yang lebih bermanfaat) pada temperatur sedang. Meskipun telah lama digunakan sebagai bahan bakar pada kenderaan bermotor, namun penggunaan metanol secara lebih luas terhambat oleh mahalnya biaya untuk memproduksinya dari metana walaupun metana yang relatif murah banyak tersedia dari gas alam dan sebagai produk limbah dari tempat-tempat pembuangan sampah dan kawasan ternak. Perbedaan metanol dengan metana sangat kecil, yakni ada kelebihan satu atom oksigen pada metanol, tetapi untuk mendapatkan atom oksigen ini tanpa menghasilkan karbon dioksida cukup sulit dan biasanya memerlukan temperatur dan tekanan yang tinggi. Perkembangan yang lain telah berhasil menemukan sebuah metode baru untuk mengubah metana menjadi metanol, yang bisa dilangsungkan pada temperatur sedang (80oC) dan tekanan udara. Mereka menggunakan sebuah material baru, timah posfat yang didoping dengan sedikit indium, sebagai material penghantar (elektrolit) pada sebuah sel bahan bakar hidogen/udara. Sel bahan bakar tersebut normalnya mengubah hidrogen dan oksigen menjadi listrik dan air tetapi radikal-radikal oksigen juga terbentuk dalam proses tersebut.

A-3

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 1 mekanisme pembatan methanol Hibino menemukan bahwa dengan menambahkan metana ke dalam bahan bakar hidrogen, mereka dapat menggunakan radikal-radikal oksigen teraktivasi tersebut untuk mengoksidasi metana menjadi metanol pada temperatur yang jauh lebih rendah dibanding temperatur yang digunakan pada proses konvensional. Meksipun alat ini menggunakan hidrogen dan metana, energi dari reaksi hidrogen bisa dikumpulkan sebagai energi listrik, seperti pada sel bahan bakar biasa. 'Sel bahan bakar kami ini secara simultan menghasilkan listrik dan juga metanol,' ungkap Hibino kepada Chemistry World. 'Akan tetapi, aktivitas reaksi untuk metana masih lambat, sehingga metana yang tidak bereaksi harus disirkulasi beberapa kali pada pengaplikasian sebenarnya. Meski begitu, Hibino optimis tentang potensi untuk mengembangkan proses ini menjadi skala industri. 'Yang menjadi target kami adalah sel bahan bakar ini digunakan sebagai sebuah reaktor untuk produksi metanol pada pabrik-pabrik kimia konvensional. Yongchun Tang, sebelumnya telah melakukan beberapa upaya untuk merubah metana menjadi metanol. penemuan ini sangat menarik untuk efisiensi energi pemanfaatan gas alam,' ungkapnya ke Chemistry World. 'Metanol dengan biaya rendah merupakan bahan-baku yang sangat fleksibel yang bisa digunakan untuk produksi bensin dan solar atau digunakan secara langsung sebagai bahan bakar. Disamping itu, kelebihan teknologi ini adalah dapat dijadikan metode alternatif untuk penanganan remote gas atau gas terkait dalam jumlah kecil. Teknologi yang diusulkan ini bisa menghentikan pembakaran gas alami yang tidak bisa diolah lagi dan mengurangi emisi dari produksi minyak. Reaksi yang terjadi di dalam suatu reaktor jarang sekali hanya satu buah reaksi (reaksi tunggal/ single reaction) tetapi kebanyakan yang akan terjadi adalah jenis reaksi ganda (multiple reaction) yang akan dihasilkan produk yang diinginkan dan produk yang tidak diinginkan. Salah satu kunci keberhasilan dari aspek ekonomi suatu industri kimia`adalah terjadinya produk yang tidak diinginkan diminimalkan sekecil mungkin selama produk yang diinginkan terjadi.. Reaksi seri atau reaksi konsekutif yaitu dari reaktan terbentuk produk antara yang aktif kemudian lebih lanjut berubah menjadi produk lain yang stabil. Frost dan Pearson (1961) mengatakan bahwa secara umum ada dua jenis reaksi kompleks untuk reaksi tingkat satu yaitu reaksi paralel dan reaksi konsekutif.

A-4

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Rochmadi (2009) menemukan model kinetika reaksi konsekutif alkoholisis minyak jagung dan esteifikasi maleic anhydride menjadi alkyd resin. Alkyd resin banyak digunakan dalam industri cat dan coating. Proses pembuatan alkyd resin adalah mereaksikan antara polyhydric alcohol, fatty acid monobasic dan polybasic acid. mempelajari kinetika reaksi antara minyak jagung, gliserol dan maleic anhydride menjadi alkyd resin berdasarkan sistem larutan ideal. Model kinetika reaki konsekutif ini mengikuti reaksi orde satu. Metz (2009) menerangkan jenis kation logam transisi dapat mengkonversi metana menjadi methanol pada fase gas. Aktivitas dan mekanisme reaksi dibahas dari segi termodinamika, energi potensial, efisiensi dan selektivitas. Dari segi termodinamika didapat pana reaksi sebesar 126 kJ/mol berlangsung secara endotermis sedangkan 249 kJ/mol secara eksotermis. Katalis yang digunakan Platinum oksida. Dari energi potensial secara umum katalis logam transisi mampu mengkonversi methanol dan sebagain logam transisi mengalami oksidasi dan reduksi akibat pengaruh disosiasi induksi efek potensail coolosion jones. Dari segi efisiensi semua logam transisi mampu mengkonversi metana menjadi methanol diatas 97 %. Dari segi selektivitas produksi methanol tidak banyak terjadi reaksi samping serta pathway reaction hanya terjadi pada gugus methyl radikal yang tergantung pada energi collosion, perubahan energi tidak mempengaruhi efisiensi methanol. Park and Hahm (2001) menerangkan oksidasi patsial metana menjadi methanol diteliti dengan menggunakan katalis logam oksida. Reaksi berlangsung dalam kondisi pirolisis. Konversi dan selektivias metana menjadi methanol akan bertambah secara linier dengan bertambahnya temperatur sedangkan konversi dan selektivitas akan turun dengan bertambahnya oksigen. Kecepatan alir tidak berpengarug secara signifikan terhadap konversi dan selektivitas. Zaidi and Pant (2009) menjelaskan model kinatika koversi metanol menjadi gasoline dilakukan dalam reaktor unggun tetap dengan katalis HZM5 diipregnasi dengan Ca(OH)2 dan Zn(OH)2 membentuk CuO/HZSM5 dan ZnO/HZSM5 menghasilkan gasoline dengan range hidrokarbon gaoline. Validasi model kinetik untuk methanol menjadi gasoline menggunakan simulasi. Parameter berbagai variasi model dihitung dengan menggunakan persamaan konservasi massa dalam reaktor. Model kinetik hasil eksperimen dan simulasi tidak jauh berbeda dengan orde satu semu pada suhu 675 K dengan konstanta kecepatan reaksi 0,96 Metodologi Secara keseluruhan penelitian dibagi menjadi 3 tahapan yaitu : (1) Mendesain dan membangun model topologi reaksi seri biogas menjadi biogasoline. (2) Penelitian experimental dengan mencari parameterparameter reaksi seri biogas menjadi biogasoline yang akan dilaksanakan pada reaktor pipa alir. (3) Analisa katalis dan produk. Hasil dan pembahasan Pada penelitian ini telah ditemukan reaksi seri biogas menjadi biogasoline mengikuti reaksi orde satu. Dengan model sbb :

A-5

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 2 Model reaksi orde satu reaksi seri biogas menjadi biogasoline Pada gambar 2 Penentuan orde reaksi berbasis katalis CuO untuk reaksi biogas menjadi biometanol mengikuti reaksi orde satu dengan konstanta kecepatan reaksi (k1) 0.1935 per menit, sedangkan orde rreaksi untuk reaksi biometanol menjadi biogasoline berbasis Cuo terimpregnasi dalam SiO2 mengikuti reaksi orde satu dengan harga konstanta kecepatan reaksi (k2) 0,1403 per menir Kedua orde reaksi mengindikasikan arah reaksi berjalan satu arah karena harga k1 lebih besar dari pada k2 berarti mekanisme reaksi ini terhadap senyawa intermidiate tergolong cepat tidak tergantung konsentrasi reaktan waktu tinggal dalam raektor, akibat dari mekanisme tersebut secara linier produk biogasoline berkecenderungan mengikuti senyawa intermidiatenya Menurut Price and Paul (2011) kandungan senyawa metana dalam biogas dengan rentang 50 54% cukup stabil jika untuk reaki reaksi isotermal dan tidak berdampak pada polutan yang tidak diinginkan.

Gambar 3 profil reaksi seri biogas menjadi biogasoline Pada gambar 3 Pemodelan reaksi seri biogas menjadi bigasoline berbasis CuO dan CuO/SiO2 menjelaskan perbandingan model percobaan secara eksperimental di laboratorium dalam simulasi. Reaksi seri ini berlangsung satu arah dari inisiasi (biogas) kemudian intermidiate (biometanol) sampai terminasi (biogasoline) Perbedaan harga dalam pemodelan akan berpengaruh terh adap profil konsentrasi ketiga senyawa tersebut. Untuk model ini harga k1 > k2 berarti harga kecepatan reaksi biogas menjadi biometanol lebih besar dibandingkan dengan kecepatan reaksi biometanol menjadi biogasoline, kasus ini menginkasikan bahwa pada saat t = 0 konsentrasi biogas akan cenderung berkurang secara ekstrim karena senyawa ini akan dikendalikan oleh keaktifan katalis secara permanen oleh energi aktifasinya sangat besar sehingga pola reaksi ini tidak melalui pola proses absorbsi tetapi perengkahan pada suhu tinggi. Sedangkan pada reaksi biometanol menjadi biogasoline pola reaksinya melalui absorbsi diikuti oleh perengkahan pada suhu tinggi. Pada saat t > 0 pola reaksi reaksinya cendenung uniform karena peran intermidiate sudah dikendalikan oleh katalis CuO/SiO2 yang berperan sebagai katalis pengarah terminasi. Sebagai pembanding ditampilkan bentuk pemodelan reaksi seri biogas menjadi biogasoline, data pada pemodelan lebih teratur dan mengikuti kaidah kinetika reaksi seri karena ada beberapa yang diasumsikan nihil diantaranya produk inert ditiadakan, hasil analisa berlangsung sempurna, suhu dan tekanan relatif tidak berubah, tidak terjadi kehilngan senyawa.

A-6

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 4 XRD silika alumina Menurut Planck and Schuth (2009, katalis oksida logam mengubah biogas (metana) menjadi biometanol dalam suatu proses yang sederhana dan efisien dengan menggunakan konsep katalis padat yang memiliki aktifitas dan selektifitas yang tinggi, sekaligus memiliki tingkat kestabilan yang tinggi Kesimpulan 1. Reaksi biogas (metana) menjadi biogasoline orde satu 2. Konversi maksimum terhadap biogas 80 % 3. Konversi metanol menjadi biogasoline mencapai 92 %. Daftar Pustaka [1] Buren (2009) , Catalytic conversion of Methanol to Gasoline Range Hydrocarbons, Catalysis Today. 96 (2004) 155-160. [2] Dube and Carlson (2011) , Transformation of Methanol to Gasoline Range Hydrocarbons using copper oxide impregnated HZSM-5 Catalysts. Korean J. Chem. Engg. 22 (3) (2005) 353-357. [3] Gayubo, And Aguayo (2004) , Catalytic Activity of Copper Oxide impregnated HZSM-5 in Methanol Conversion of Liquid Hydrocarbons, Canadian Journal of Chemical Engineering, 83(2005) 970-977. [4] Gupta and Sadhukhan (2009) , Activity of Oxalic acid Treated ZnO/CuO/HZSM-5 Catalyst for the Transformation of Methanol to Gasoline Range Hydrocarbons, Industrial Engineering and Chemistry Research, American Chemical Society Journal,47 (2008) 2970-2975. [5] Hutchings and Hunter (2008) , Combined Experimental and Kinetic Modeling Studies for the Conversion of Gasoline Range Hydrocarbons from Methanol over Modified HZSM-5 Catalyst, Korean J. Chem. Engg [6] Husni and Husin (2007) , Catalytic Conversion of Methanol to Hydrocarbons, Proceedings of Chemcon 2003.Bhunashwer,India. [7] Javier and Arandes (2010) Catalytic conversion of Methanol to Gasoline Range Hydrocarbons, Proceedings for International Conference on Materials for Advanced Technologies Singapore, Dec 712, 2003. [8] Joseph and Shah (2009) , Conversion of Methanol to Aromatics Hydrocarbons over CuO-ZSM-5 catalyst, 53rd Canadian Chemical Engineering conference, Ontario Canada 26-29 October 2003. [9] Kovac and Davorain ( 2010) , Catalytic Applications of CuO/HZSM-5 in Methanol Conversion to Gasoline Range Hydrocarbons, Proceedings of 4th international symposium on fuel and lube 2004. New Delhi, India. [10] Kralj dan Davorin (2010) , Deactivation Studies on Catalytic Conversion of Methanol to Hydrocarbons, Chemcon 2004.Bombay , India. [11] Metz (2009) , Catalytic Kinetics and deactivation studies on conversion of Methanol to hydrocarbons, Petrotech 2005. New Delhi, India . [12] Morteza and Leila (2009) , Catalytic Kinetics of Methanol Conversion on ZnO/CuO/HZSM-5 in a Fixed Bed Reactor, Proceedings for International Conference on Materials for Advanced Technologies, Singapore, 3-8 July 2005. [13] Planck and Schuth (2009), , Dynamics of Heat Transfer in a Vertical Tube of Natural Circulation Loop, Proceeding of third International conference on Fluid Mechanics and Heat Transfer (ICFHMT-99) held at Dhaka, Bangladesh during 15-16 December 1999.

A-7

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012


[14] Park and Hahm (2001) , Methanol Conversion to Hydrocarbons over Modified HZSM-5 Catalyst, 5th international symposium on fuel and lube 2006. New Delhi, India. [15] Price and Paul (2011) , Catalytic Kinetics of Methanol Conversion to Hydrocarbons on ZnO/CuO/HZSM-5 in a Fixed Bed Reactor, Proceedings of Chemcon conference, Delhi,India, December 2005. [16] Reshetnikov, Stepanov and Ione (2005) . Alam , Dynamics of a Single Tube Vertical Thermosiphon Reboiler, Proceedings of 4th ISHMT/ASME and 15th National Heat and Mass Transfer Conference, Pune, India, Jan. 12-14,2000. [17] Simard and jean (2009) ZnO/CuO/HZSM-5 Catalyst for Methanol Conversion to Gasoline Range Hydrocarbons: Influence of Process Variables Petrotech 2007 Conference at Delhi, India. [18] Sohraby and Fattahi (2009) Effect of Metal Impregnation on the Activity and Deactivation of a HZSM5 Catalyst when Converting Methanol to Hydrocarbons TechSUNR 2007,Feb 2007,Orissa,India. [19] Zhang (2008) The Characteristics of ZnO/CuO/HZSM-5 catalyst which influence the Conversion of Methanol to Hydrocarbons of Gasoline Range Hydrocarbons 18th National Symposium on Catalysts, catalysts for Future Fuel at IIP Dehradun on 16-18 April,2007. [20] Zaidi and K.K.Pant Production of Gasoline Range Hydrocarbons from Catalytic Reaction of Methanol over Oxalic Acid Treated ZnO/CuO/HZSM-5 Catalyst International Conference on Materials for Advanced Technologies, Singapore. [21] Zaidi and K.K.Pant Kinetic Studies for the synthesis of Gasoline Range Hydrocarbons from Methanol over Modified HZSM-5 KZA International work shop 2008,Sogang University,Seoul ,Korea July 19,2008. [22] Zaidi and K.K.Pant, Catalytic Applications of ZnO/CuO/HZSM-5 in Methanol Conversion to Hydrocarbons,Ist International conference on new frontiers in Biofuels will be held in held in India Habitat Centre New Delhi between January 18-19, 2010. [23] Zaidi, Kinetic Modeling Studies for the Conversion of Gasoline Range Hydrocarbons from Methanol over ZnO/ HZSM-5 Catalyst PetroTech 2010

A-8

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Perencanaan Unit Pengolahan Air Limbah Industri Kecil Skala Rumah Tangga (IKRT) Penghasil Tahu
Anugrah Dwi Permana1),*Alfan Purnomo2)Welly Herumurti3), Eddy Setiadi Soedjono4) Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Sukolilo- Keputih Surabaya Telepon 085649539817 *E-mail : anugrah_08@enviro.its.ac.id Abstrak Jumlah industri tahu di Indonesia menurut Kementrian Riset dan Teknologi (KNRT) sekitar 84.000 unit usaha dan sebagian besar merupakan industri kecil dan industri rumah tangga. Keseluruhan industri tahu tersebut menghasilkan limbah cair sebanyak 20 juta m 3 dan sebagian besar yang tidak memiliki unit pengolahan air limbah adalah Industri Kecil Skala Rumah Tangga (IKRT). Perencanaan ini dilakukan untuk memberikan alternatif pengolahan yang dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat air limbah IKRT penghasil tahu. Teknologi yang dipilih adalah Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan Anaerobic Biofilter (AF) di mana teknologi ini mudah dioperasikan dan tepat untuk mengolah air limbah tahu. Unit pengolahan air limbah didesain dengan kapasitas yang rendah karena IKRT tidak menghasilkan air limbah yang besar menurut Direktorat Pengelolaan Hasil Pertanian tahun 2009. Unit ini didesain untuk kapasitas pengolahan 500-1500 L/hari dengan waktu tinggal air limbah 24 jam. Hasil uji prototipe skala laboratorium menyatakan bahwa efisiensi unit pengolahan ini berkisar COD 38,09% dan TSS 51%. Berdasarkan hasil uji laboratorium dan perhitungan, didapatkan dimensi dari unit pengolahan air limbah tahu adalah panjang 1 m, lebar 0,5 mdan tinggi 1 m. Kata kunci: air limbah tahu, unit pengolahan air limbah, , industri kecil skala rumah tangga, Anaerobic Baffled Reactor dan Anaerobic Biofilter Abstract The number of tofus industry in Indonesia by the Ministry of Research and Technology (KNRT) approximately 84,000 units and most of the industry is a small industry and households. The whole tofus industry produced wastewater about 20 million m3 and most who do not have a wastewater treatment unit is a Small Industry Household Scale (IKRT). Planning is do to provide an alternative treatment that can reduce environmental pollution caused by waste water IKRT who produce tofu. The technology chosen is the Anaerobic Baffled Reactor (ABR) and Anaerobic BioFilter (AF) where the technology is easy to operate and right to treat tofus wastewater. Wastewater treatment unit is designed with a low capacity for IKRT not generate large waste water according to the Directorate of Agriculture in 2009. This unit is designed for capacitys processing about 500-1500 L/day with detention time 24-hour. Laboratory scale prototype test results states that the efficiency of the processing unit is around 38.09% COD and TSS 51%. Based on the results of laboratory tests and calculations, the dimensions obtained from the wastewater treatment unit to know is the length of 1 m, width 0.5 m and height of 1 m. Keywords: tofus wastewater, waste water treatment unit,small industry households scale , Anaerobic Baffled Reactor dan Anaerobic Biofilter

A-9

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Pendahuluan
Perkembangan Industri Kecil Skala Rumah Tangga (IKRT) semakin meningkat searah meningkatnya kebutuhan penduduk. Perkembangan IKRTtidak lepas dengan permasalahan limbah cair yang dihasilkan dalam proses produksi. Sebagian besar IKRT tidak melakukan pengelolaan limbah cair yang dihasilkan sehingga limbah cair yang dihasilkan langsung dibuang ke lingkungan setempat.Hal ini mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan serta mengganggu kenyamanan penduduk di sekitar lokasi pembuangan limbah cair tersebut. Salah satu Industri Kecil Skala Rumah Tangga (IKRT) yang memerlukan perhatian adalah IKRT penghasil tahu. Hampir seluruh rakyat Indonesia gemar mengkonsumsi tahu. Jumlah industri tahu di Indonesia menurut Kementrian Riset dan Teknologi (KNRT) sekitar 84.000 unit usaha dan sebagian besar merupakan industri kecil dan industri rumah tangga. Keseluruhan industri tahu tersebut menghasilkan limbah cair sebanyak 20 juta m 3 dan sebagian besar yang tidak memiliki unit pengolahan air limbah adalah Industri Kecil Skala Rumah Tangga (IKRT). Dari hasil penelitian, perajin tahu putih dengan kapasitas produksi di bawah 100 kg/hari menghasilkan limbah cair sebanyak 150-430 liter dengan nilai BOD 2.800-4.300 mg/L, TSS 615-629 mg/L [1]. Ditinjau dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri, air limbah tahu belum memenuhi baku mutu sehingga diperlukan pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan. Sebagian besar IKRT penghasil tahu belum memiliki pengolahan dikarenakan rendahnya pengetahuan akan teknologi pengolahan air limbah. Pemilihan alternatif pengolahan yang digunakan dengan pertimbangan kemudahan operasi serta penggunaan bahan bekas adalah dengan menggunakan Modifikasi Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan Anaerobic Biofilter (AF). Anaerobic Baffle Reactor (ABR) adalah reaktor anaerobik generasi ketiga yang diteliti oleh McCarty,merupakan salah satu jenis pengolahan suspended growth yang memanfaatkan sekat (baffle) dalam pengadukan yang bertujuan memungkinkan terjadinya kontak antara air limbah dan biomass.. ABR dapat dideskripsikan dari beberapaUp Flow Sludge Blanket(UASB) yang dibagi menjadi beberapa kompatemen. ABR mempunyai desain yang lebih sederhana dengan HRT yang rendah, dapat menghasilkan biogas, tidak menimbulkan bau dan lain-lain[2].Pengolahan ini adalah pengolahan yang murah dari segi operasional, sebab tidak diperlukan penggunaan energi listrik, dan memiliki efisiensi removal organik yang cukup baik. Namun, ABR memilik efisiensi removal suspended solid yang kurang baik, yaitu berkisar antara 40-70%. Zat padat dengan densitas yang mendekati densitas air dapat terbawa keluar dari kompartemen pertama dan terbawa keluar reaktor bersama dengan efluen. [3] Anaerobic Biofilter (AF) adalah suatu bioreaktor dengan biokatalis berada pada posisi menempel (tidak bergerak), baik pada suatu media tetap ataupun menempel satu sama lain [4]. AF merupakan pengolahan yang baik untuk mengolah limbah low strength sehingga diperlukan pengolahan awal sebelum dilakukan pengolahan AF. Biofilter dapat lebih meningkatkan efisiensi proses pengolahan limbah tahu dan tempe secara nyata dibandingkan pengolahan tanpa mempergunakan biofilter untuk setiap waktu tinggal. Efisiensi penurunan nilai BOD5 pada reaktor yang memakai media biofilter berkisar 53,33-91,36% dan nilai COD berkisar 61,15- 85,83% dengan waktu tinggal berkisar 1-7 hari. [5] Tujuan perencanaan ini adalah memberikan alternatif pengolahan air limbah IKRT penghasil tahu yang dapat mengurangi pencemaran lingkungan, yang mudah dioperasikan dengan menggunakan sistem ABR dan AF menggunakan reaktor drum dan media botol bekas.

Metodologi penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Lingkungan, FTSP-ITS mulai Februari 2012 Juni 2012. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data berupa pengambilan sampel air limbah industri tahu, yang diambil dari salah satu industri tahu kecil di Surabaya. Air limbah tahu industri kecil dengan industri kecil skala rumah tangga diasumsikan memiliki karakteristik limbah yang sama. Air limbah diambil selama 4 hari dengan waktu pengambilan antara pukul 08.20 11.30 WIB, di mana pada jam tersebut debit air limbah yang dihasilkan cukup banyak. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini perencanaan unit pengolahan air limbah industri kecil skala rumah tangga menggunakan sistem ABR dan AF dengan reaktor menggunakan drum polymer dan media botol plastik bekas. Pengujian efisiensi unit pengolahan dilakukan dengan running prototipe skala laboratorium menggunakan debit 10 L/hari dengan waktu detensi 24 jam.Pilot tank menggunakan teko plastik berukuran 2 L, karena sesuai dengan bentuk dan ukuran drum polymer, untuk botol plastik digunakan botol plastik ukuran 600 mL yang telah dipotong-potong agar dapat masuk dalam reaktor. A-10

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Jumlah kompartemen didapatkan dari jumlah teko yang digunakan, semakin banyak teko yang digunakan semakin banyak kompartemen. Kompartemen terakhir pada ABR akan digunakan sebagai AF. Kriteria desain [6] yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: Efisiensi : 5 - 99 % HRT : ABR : 1,5 jam - 10 hari AF : 1,5 jam - 74 hari OLR : 1 20 kg/m3.hari Perhitungan menggunakan persamaan-persamaan yang terdapat dalam literatur [7] dapat dilihat sebagai berikut: Volume Reaktor ABR:

V = Q.td

(1)

V = 10 L hari . V = 10 L

1hari .24 jam 24 jam

Jumlah kompartemen yang dibutuhkan:

n=

V V .Kompartemen

(2)

10 L 1,8 L n = 5,6 6kompartemen n=


HRT ABR:

HRT = V/Q HRT = 10,8 L/10 L/hari 24jam = 25,92 jam


HRT AF:

(3)

HRT = (2.1,8L)/10 L/hari 24jam = 8,64 jam


Pelaksanaan Penelitian Reaktor ABR dan AF dalam penelitian ini diasumsikan sebagai primary treatment sehingga limbah yang masuk dalam reaktor tidak mendapatkan perlakuan apapun. Sebelum dioperasikan dilakukan aklimatisasi pada ABR dan media AF selama 1 bulan. Untuk mencegah ttumbuhnya algae dan menyesuaikan kondisi ABR dan AF sebenarnya, reaktor ditutup menggunakan polybag sehingga tidak terkena cahaya matahari. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan setelah dilakukan aklimatiasi selesai. Sampel diambil pada influen dan effluen reaktor. Pengambilan data dilakukan setiap pukul10.00 WIBselama 6 hari. Air limbah yang digunakan sama berasal dari air limbah indsutri kecil di Surabaya.

Hasil dan perancangan


Karakteristik Air Limbah Industri Tahu Pada pengambilan sampel, air limbah industri tahu sudah tertampung pada bak pengumpul. Air limbah tahu berwarna putih keruh dan berbau menyengat. Hasil uji karakteristik air limbah industri tahu yang diambil dari salah satu indsutri kecil di Surabaya tidak memenuhi baku mutu yang berlaku. Karakteristik air limbah industri tahu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Industri Tahu Parameter Keterangan COD (mg/L) TSS (mg/L) 3200 440 Data Laboratorium 1800 708 Data Laboratorium 4160 494 Data Laboratorium 4960 626 Data Laboratorium

A-11

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil Running Pilot Tank Hasil uji pilot tank menyatakan bahwa effluen dari running masih belum memenuhi baku mutu yang berlaku, sehingga diperlukan pengkajian lebih lanjut untuk mendapatkan effluen yang memenuhi baku mutu yang berlaku. Unit pengolahan ABR dan AF sebagai primary treatment sudah cukup baik dalam mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah cair IKRT penghasil tahu. Efisiensi removal COD dan TSS berfluktuasi, efisiensi bergantung pada influen yang masuk, semakin rendah influen yang masuk akan semakin kecil efisiensi removal. Efisiensi pengolahan rata-rata untuk COD sebesar 38,09% dan TSS sebesar 51%. Efisiensi removal tertinggi pada COD terjadi pada hari ke-5 mencapai 50% dengan influen sebesar 5360 mg/L, sedangkan TSS terjadi pada hari ke-3 mencapai 79% dengan influen sebesar 2580 mg/L. Efisiensi removal terendah pada COD terjadi pada hari ke-2 mencapai 17%, dan TSS terjadi pada hari ke-5 mencapai 34%. Hasil uji laboratorium untuk parameter COD dan TSS dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Effisiensi Removal COD COD (mg/L) Efisiensi Hari Influen Effluen 1 5120 3200 38% 2 2880 2400 17% 3 4560 2640 42% 4 4720 2880 39% 5 5360 2680 50% 6 4160 2360 43% Rata-rata 4466,67 2693,3 38,09% Tabel 3. Effisiensi Removal TSS TSS (mg/L) Effisiensi Hari Influen Effluen 1 1020 596 42% 2 1132 586 48% 3 2580 536 79% 4 1070 534 50% 5 1036 688 34% 6 1260 573 55% Rata-rata 1349,67 585,5 51, 21% Perencanaan Unit ABR dan AF Skala Lapangan Pada perencanaan unit ABR dan AF skala lapangan digunakan drum sebagai reakor ABR-AF, dan botol plastik sebagai media AF. Drum yang digunakan mempunyai volume total 200 L tetapi yang akan digunakan kurang lebih 180 L. Perencanaan direncakan dapat mengolah air limbah dengan kapasitas 500 L, 1000 L dan 1500 L dengan waktu detensi 24 jam. Perencanaan ini digunakan untuk IKRT penghasil tahu mandiri, bukan merupakan sentra industri. Perhitungan untuk kapasitas pengolahan 500 L dapat dilihat sebagai berikut: Perhitungan dapat dilihat sebagai berikut: Volume Reaktor ABR:

V = Q.td

V = 500 L hari . V = 500 L

1hari .24 jam 24 jam

Jumlah kompartemen yang dibutuhkan:

V V .Kompartemen 500 L n= 180 L n = 2,86 3kompartemen n=


A-12

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

HRT ABR:

HRT = V/Q HRT = 540 L/500 L/hari 24jam = 25,92 jam


Organic Loading Rate (OLR):

OLR = (Q S0)/V

(4)

OLR = 0,5 m3/hari 4466,67 mg/L/540 L OLR = 4135,81mgCOD / L.hari OLR = 4,14kgCOD / L.hari
HRT AF:

HRT = (2.180L)/500 L/hari 24jam = 1,93 jam


Tabel 4. Hasil Perhitungan ABR dan AF ABR Parameter Satuan Unit 500 L Unit 1000 L V L 500 1000 D m 0,4 0,58 h m 0,68 0,68 Jumlah Drum/Kompartemen buah 2,8 5,6 buah 3 6 Volume Total Drum L 540 1080 m3 0,54 1,08 HRT jam 25,92 25,92 OLR mg COD/L.hari 4135,81 4135,81 kg COD/m3.hari 4,14 4,14 AF HRT jam 1,93 1,93 Dari hasil perhitungan kriteria utama telah memenuhi kriteria desain, tetapi ada.

Unit 1500 L 1500 0,58 0,68 8,3 9 1620 1,62 25,92 4135,81 4,14 1,93

Kesimpulan
Dari hasil running prototipe skala laboratorium penggunaan drum sebagai reaktor ABR dan botol plastik sebagai media AF dengan debit 10 L/hari dan waktu detensi 24 jam, memiliki effisiensi removal COD sebesar 17 - 50 % dan effisiensi removal TSS sebesar 34 -79 %. Effisiensi removal tertinggi pada COD terjadi pada hari ke-5 dengan COD influen sebesar 5360 mg/L, sedangkan TSS pada hari ke-3 dengan TSS influen sebesar 2580 mg/L. Hasil effluen unit pengolahan ABR dan AF sebagai primary treatment masih belum memenuhi baku mutu yang berlaku, sehingga masih memerlukan pengkajian lebih lanjut. Unit pengolahan ABR dan AF dapat digunakan untuk mengurangi pencemaran lingkungan.

Ucapan Terima Kasih


Dalam penelitian ini, penelitian menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak khususnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat ITS (LPPM-ITS) dan juga dosen-dosen bersangkutan yang telah mendukung penelitian ini, serta teman-teman yang telah memberikan saran.

Daftar Pustaka
[1] Rachman, Chairul, Draft Pedoman Desain Teknik IPAL Agroindustri., Jakarta: Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2009. [2] John F Kennedy, Parmjit S Panesar, dan Rajesh Grover,Continous Methanogenesis of Black Liquor of Pulp and Paper Mills in an Anaerobic Baffled Reactor Using an Immobilized Cell System,Chemical Technology Biotechnology,vol. 81, no. 7, pp. 1277-1281, 2006.

A-13

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

[3] Purwanto, E., Studi Anaerobic Baffled Reactor (ABR) untuk Mengolah Air Limbah Domestik dari Rumah Susun, Surabaya: Tugas Akhir, Teknik Lingkungan ITS, 2008. [4] Savaran, V. dan Sreekrishnan, T.R., Modelling Anaerobic Biofilm Reactor: A Review, Journal of Environmental Management, vol. 81, pp. 1-18, 2008. [5] Herlambang, A., Pengaruh Pemakaian Biofilter Struktur Sarang Tawon Pada Pengolah Limbah Organik Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob,Jurnal Teknologi Lingkunganvol. 2, no. 1, pp. 28-36, 2008 [6] Fatma Yasemin Cakir dan Michael K. Stentsrom, Anaerobic Treatment of Low Streghth Wastewater, Departemen of Civil and Environmental Engineering, UCLA, Los Angeles 90095-1593. [7] Metcalf dan Eddy,Wastewater Engineering Treatment and Reuse 4th Edition, McGrawHill, 2003

A-14

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kajian Elektrokimia Mortar sebagai Anoda pada Sistem Proteksi Katodik Arus Tanding Beton Bertulang
Ari Yustisia Akbar*, Gilang Ramadhan, Septian Adi Chandra, Yulinda Lestari Pusat Penelitian Metalurgi Kawasan PUSPIPTEK Serpong Gedung 470, Tangerang, 15314 *E-mail: ariy003@lipi.go.id Abstrak Telah dilakukan kajian elektrokimia pada mortar konduktif yang dibuat dengan penambahan serat karbon pada campuran semen, pasir, fly ash dan silica fume. Kajian elektrokimia mortar dilakukan secara galvanostatik dan potensiodinamikdi dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh dan Ca(OH) 2 jenuh +NaCl3%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar serat karbon dan komposisi larutan mempengaruhi sifat elektrokimia mortar. Semakin besar kadar serat karbon, anoda mortar semakin baik dan mencapai optimum pada kadar 0,7%. Selain itu, ion klorida di dalam larutan uji mempunyai pengaruh negatif terhadap anoda dengan merusak kestabilan potensialnya. Kata-kata Kunci:mortar konduktif, serat karbon, anoda arus tanding, beton bertulang, galvanostatik, potensiodinamik Pendahuluan
Sekarang ini beton bertulang banyak digunakan sebagai material konstruksi seperti pada jalan raya, jembatan dan bangunan karena kekuatannya yang sangat tinggi. Kekuatan beton bertulang berasal dari gabungan sifat beton yang memiliki kuat tekan tinggi dan sifat baja tulangan yang ditanam di dalam beton yang mempunyai kuat tarik tinggi. Selain kekuatan tinggi, beton juga mempunyai usia pakai yang lama karena tahan terhadap korosi. Sifat alkalinitas yang sangat tinggi di dalam beton menyebabkan baja tulangan membentuk lapisan pasif sehingga terhindar dari serangan korosi. Namun pada kondisi tertentu, lapisan pasif pada baja tulangan dapat rusak sehingga terjadi kegagalan prematur pada beton. Rusaknya lapisan pasif menyebabkan terbentuknya produk karat yang mempunyai volume yang lebih besar sehingga dapat mendesak beton. Akibatnya terjadi delaminasi dan retakan pada struktur beton. Kerusakan lapisan pasif terjadi karena dua faktor utama. Pertama adalah karena adanya penetrasi karbon dioksida dari atmosfer atau biasa disebut karbonasi. Karbon dioksida akan bereaksi dengan kalsium hidroksida di dalam beton sehingga dapat menurunkan pH. Faktor kedua adalah karena adanya difusi ion klorida. Ion klorida dapat melarutkan lapisan pasif dan mengkatalisi reaksi korosi baja tulangan. Serangan ini terjadi terutama di daerah dengan kadar garam tinggi seperti di daerah pantai. Pada jalan atau jembatan di lingkungan laut yang terpapar oleh atmosfer berkadar garam tinggi, kestabilan lapisan pasif pada baja tulangan dipengaruhi oleh keberadaan ion klorida, penurunan pH di dalam larutan pori atau kombinasi keduanya[1]. Karena proses korosi baja tulangan merupakan reaksi elektrokimia di dalam beton, maka proteksi katodik merupakan teknik yang efektif dalam mengontrol serangan korosi pada baja tulangan beton. Sama seperti penggunaannya di dalam tanah dan air laut, proteksi katodik pada tulangan beton dapat menggunakan metoda anoda korban maupun arus tanding. Penelitian mengenai metode proteksi katodik arus tanding pada beton bertulang semakin meningkat karena menghasilkan proteksi yang cukup lama [2]. Pada metode ini, arus katodik sebesar 5-20 mA/cm2 dialirkan ke tulangan beton menggunakan catu daya arus searah. Arus katodik ini akan menurunkan potensial baja tulangan dan meningkatkan pH sehingga akan menurunkan laju korosi. Sebagai anoda pada perlindungan katodik arus tanding digunakan material inert yang dihubungkan dengan kutup positif catu daya. Cara pemasangan anoda yang paling umum adalah pada permukaan beton dan kemudian dilapisi dengan lapisan tipis beton [3].Berbagai anoda telah digunakan untuk perlindungan arus tanding seperti titanium mesh yang teraktivasi oleh oksida atau logam lain (terutama ruthenim dan iridium), logam seng, aspal, dan cat organik konduktif. Anoda titanium teraktivasi merupakan anoda yang paling baik karena mempunyai usia pakai yang lama dan dapat menyuplai arus hingga 100 mA/m2[4]. Namun harga logam titanium cukup mahal. Coating konduktif yang dibuat dari penambahan grafit ke dalam matriks polimer sebagai anoda telah dipelajari oleh Orlikowski[5]. Cara ini mempunyai beberapa keuntungan: permukaan anodik menjadi besar sehingga distribusi arus proteksi menjadi lebih rata serta mudah dalam pemasangan tanpa membuka dan menghilangkan lapisan beton luar [6]. Walaupun coating konduktif lebih murah daripada titanium, namun coating ini tidak dapat dilewati arus lebih dari 20 mA/cm2.

A-15

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Penggunaan mortar konduktif sebagai anoda arus tanding menarik untuk dipelajari. Selain bersifat inert dan mempunyai kekuatan yang hampir sama dengan beton struktur, mortar ini memiliki sifat konduktif yang baik karena adanya penambahan serat karbon. Komposit sistem anoda yang terbuat dari lapisan mortar konduktif dapat diaplikasikan dengan mudah dengan cara menyemprot 10 hingga 20 mm lapisan mortar termodifikasi serat karbon. Pada penelitian ini dikaji sifat elektrokimia mortar yang ditambahkan serat karbon dengan kadar hingga 0,8%. Kajian elektrokimia ini merupakan pengujian awal untuk mengetahui potensi mortar konduktif untuk digunakan sebagai anoda pada sistem proteksi katodik arus tanding pada baja tulangan.

Metodologi Penelitian
Serat karbon yang digunakan adalah serat sintetis polimer dari prekursor polyacrylonitrile (PAN) dengan diameter 6 m dan panjang 3-6 mm yang didapatkan dari Shenyang Yuheng Carbon Fiber Co.Ltd. Semen yang digunakan merupakan Portland Cement Composites (PCC) yang didapatkan dari PT. Indocement Tunggal Perkasa.Silica fume dan fly ash digunakan sebagai substitusi semen (filler mortar). Aditif lainnya yang digunakan adalah superplasticizer based polycarboxylate yang berfungsi sebagai water reduceryang didapatkan dari PT. SIKA. Semua bahan dicampur dengan komposisi seperti pada Tabel 1. Serat karbon yang ditambahkan bervariasi, yaitu 0; 0,5; 0,6; 0,7; dan 0,8%. Tabel 1. Komposisi sampel mortar untuk pembuatan anoda arus tanding semen pasir air Silika fume Fly ash Water reducing Bahan 4,08 g Massa 204,05 g 930,5 g 122,4 g 27,2074 g 40,81 g Untuk pengukuran kuat tekan, dibuat sampel mortar berukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm. Untuk pengukuran elektrokimia dibuat sampel mortar berbentuk silinder dengan diameter 2,54 cm dan tinggi 2,54 cm. Bagian bawah dan atas silinder sampel ditutup dengan resin.Pengujian elektrokimia mortar dilakukan secara galvanostatik dan potensiodinamik menggunakan Gamry Instrument model G750 di dalam dua jenis larutan, yaitu larutan jenuh Ca(OH) 2 dan larutan jenuh Ca(OH) 2 + NaCl3%. Penambahan NaCl pada larutan kedua untuk mensimulasikan adanya pengaruh kontaminan klorida di dalam mortar.

Hasil dan Pembahasan


Sebagai bagian dari struktur yang akan diaplikasikan pada permukaan beton, sifat mekanik dari anoda merupakan hal yang penting. Kekuatan kompresi sebagai fungsi fraksi volumetrik serat karbon disajikan pada Gambar 1. Kuat tekan mortar (kg/cm2) 250 200 150 100 50 0 0

0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 Penambahan serat karbon (%) Gambar 1. Pengaruh kadar serat karbon terhadap kuat tekan anoda mortar Pada Gambar 1 terlihat bahwa penambahan serat karbon justru menurunkan kuat tekan mortar. Semakin besar kadar serat karbon, kuat tekan mortar semakin menurun. Hal ini bisa disebabkan oleh sifat serat karbon yang sangat hidrofobik. Akibatnya terjadi bleeding saat mortar dicetak dan terdapat bagian semen yang tidak mengalami reaksi hidrasi. Sesudah bleeding selesai dan mortar mengeras, terdapat kantong-kantong yang menjadi kering. Apabila ada tekanan, kantong-kantong tersebut menjadi penyebab mudahnya retak pada beton, karena kantong-kantong hanya berisi udara dan bahan lembut semacam debu halus. Gambar 2 dan 3 menunjukkan perubahan potensial mortar yang diimersikan ke dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh dan Ca(OH) 2 jenuh + NaCl 3% yang dialirkan arus listrik konstan sebesar 500 mA/m2.Pada kedua gambar tersebut terlihat adanya sedikit kenaikan potensial anoda saat waktu immersi kurang dari 72 jam dan terjadi kenaikan potensial yang cukup besar saat waktu immersi lebih dari 72 jam. Pada Gambar 2 terlihat bahwa mortar dengan penambahan serat karbon 0,8% mengalami peningkatan potensial yang lebih besar seiring dengan bertambahnya waktu apabila dibandingkan dengan mortar lainnya. Kurva potensial mortar dengan serat karbon kurang dari 0,8% terlihat saling berhimpit.

A-16

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

16,00 Potensial (V vs SCE) 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 0 50 100 150 200 0% 0,50% 0,60% 0,70% 0,80%

Waktu immersi (jam) Gambar 2. Perubahan potensial anoda mortar dengan variasi kadar serat karbon terhadap waktu di dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 0 50 100 150 200 waktu immersi (jam) Gambar 3. Perubahan potensial anoda mortar dengan variasi kadar serat karbon terhadap waktu di dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh dan NaCl 3% Gambar 3 memperlihatkan adanya kemiripan kurva potensial pada awal waktu immersi baik untuk mortar tanpa serat karbon maupun mortar dengan serat karbon. Namun dengan bertambahnya waktu, peningkatan potensial mortar tanpa serat karbon lebih besar disusul oleh mortar dengan kadar serat karbon 0,5 dan 0,6%. Untuk mortar dengan kadar serat karbon 0,7 dan 0,8% menunjukkan kemiripan kurva. Hal ini menunjukkan bahwa mortar dengan kadar serat karbon 0,7% sudah menunjukkan hasil yang optimum.Selain itu potensial yang lebih stabil untuk mortar 0,7% baik di dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh maupun Ca(OH) 2 jenuh + NaCl 3% menunjukkan mortar ini cocok untuk digunakan baik di lingkungan biasa maupun lingkungan dengan kadar garam tinggi. Apabila Gambar 2 dan Gambar 3 dibandingkan pada waktu immersi di atas 100 jam, adanya ion klorida pada larutan menyebabkan peningkatan potensial mortar yang lebih tinggi kecuali pada mortar dengan kadar serat karbon 0,8%. Hal ini menunjukkan bahwa ion klorida mempunyai pengaruh negatif terhadap kestabilan anoda mortar. Kurva polarisasi anodik anoda mortar yang mengandung variasi kadar serat karbon disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Pada Gambar 4, sampel diekspos pada lingkungan dimana evolusi oksigen merupakan reaksi utama sedangkan pada Gambar 5, sampel diekspose pada lingkungan dimana selain evolusi oksigen juga terjadi oksidasi ion klorida. Kedua gambar menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu kurva mortar dengan kadar serat karbon 0,5% berhimpit dengan mortar dengan kadar serat karbon 0,6% dan kurva mortar dengan kadar serat karbon 0,7% berhimpit dengan mortar dengan kadar serat karbon 0,8%.

Potensial (V vs SCE)

0% 0,50% 0,60% 0,70% 0,80%

A-17

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 4. Kurva polarisasi anodik anoda mortar dengan variasi kadar serat karbon ( = 0%; = 0,5%; = 0,6%; =0,7%; = 0,8%) di dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh

Gambar 5. Kurva polarisasi anodik anoda mortar dengan variasi kadar serat karbon ( = 0%; = 0,5%; = 0,6%; =0,7%; = 0,8%) di dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh dan NaCl 3% Kemudahan reaksi oksidasi pada permukaan anoda arus tanding dapat dilihat dari nilai Io nya. Apabila nilai Io semakin besar maka anoda dapat digunakan pada rapat arus yang lebih tinggi. Perhitungan Ioanoda mortar pada larutan Ca(OH) 2 jenuh dan larutan Ca(OH) 2 jenuh + NaCl 3%disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Perhitungan rapat arus (Io) anoda mortar pada berbagai variasi kadar serat karbon di dalam larutan Ca(OH) 2 jenuh dan larutan Ca(OH) 2 jenuh + NaCl 3%
No. 1. 2. 3. 4. 5. Mortar (% serat karbon) 0% 0,5% 0,6% 0,7% 0,8% Io Ca(OH) 2 530,0 nA 864,0 nA 3,020 A 10,00 A 6,230 A Ca(OH) 2 + NaCl 5,850 A 1,600 A 2,970 A 9,300 A 8,050 A

Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai Io dipengaruhi oleh kadar serat karbon dan kondisi larutan. Di dalam kedua larutan terlihat bahwa nilai Io semakin besar dengan bertambahnya kadar serat karbon. Namun pada kadar serat karbon 0,8% justru terjadi penurunan. Nilai Io anoda mortar pada larutan Ca(OH) 2 + NaCl lebih besar dibandingkan pada larutan Ca(OH) 2 . Hal ini terjadi karena selain reaksi oksidasi yang melepaskan oksigen, ion klorida juga dapat mengalami teroksidasi.

Kesimpulan
Sifat mekanik dan elektrokimia mortar konduktif tergantung pada kadar serat karbon yang ditambahkan. Penambahan serat karbon ke dalam mortar menyebabkan peningkatan stabilitas potensial dan rapat arus namun dapat penurunan kuat tekan. Selain itu komposisi larutan uji juga menentukan sifat elektrokimia anoda mortar. Adanya ion klorida menyebabkan penurunan kestabilan potensialnya.

A-18

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program SINas Kementerian Ristek yang telah mendanai penelitian ini serta kepada PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk atas dukungan yang diberikan.

Daftar Pustaka
[1] Oladis TR, Yolanda HL, Angelica VM, Andres AT, Freddy B, Pablo M, et al. Environmental influence on point anodes performance in reinforced concrete.Constr Build Mater, 2008, 22(4):494503. [2] Pedeferri P. Cathodic protection and cathodic prevention. Constr Build Mater, 1996, 10(5):391402. [3] R.B. Polder, T. Nijland, W. Peelen, L. Bertolini, Acid formation inthe anode/concrete interface of activated titanium cathodic protectionsystems for reinforced concrete and the implications for servicelife, 15th International Corrosion Congress, Granada E (2002September 22 27). [4] Page CL, Sergi G. Developments in cathodic protection applied toreinforced concrete. J Mater Civil Eng2000, 12(1):815. [5] J. Orlikowski, S. Cebulski, K. Darowicki, Electrochemical investigations of conductive coatings applied as anodes in cathodic protection of reinforced concrete,Cement & Concrete Composites 26, 2004: 721728 [6] Darowicki K, Orlikowski J, Cebulski S, Krakowiak S. Conducting coatings as anodes in cathodic protection. Prog Org Coat, 2003, 46(3):191196.

A-19

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-20

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Optimasi Hidrolisis Tepung Sorgum (Sorghum Bicolor, L Moench) sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Dianty Rosirda Dewi Kurnia1),Endang Kusumawati2) Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung Terusan Gegerkalong Hilir, Ds.Ciwaruga,Kabupaten Bandung Barat Telp./Fax. (022) 2016403 1 e-mail: diantyrosirda@gmail.com, 2e-mail: kusumawati_uk@yahoo.co.uk Abstrak Penurunan produksi Bahan Bakar Minyak (BBM) akibat menurunnya sumur-sumur produksi secara alamiah, menjadi faktor pendorong untuk menemukan sumber energi alternatif pengganti BBM. Bioetanol merupakan salah satu Bahan Bakar Nabati (BBN) yang dapat menggantikan BBM. Tepung sorgum memiliki kandungan pati cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol. Konversi tepung sorgum menjadi bioetanol dpat dilakukan melalui teknologi hidrolisis dan fermentasi. Pada penelitian ini dilakukan optimasi hidrolisis asam sehingga diperoleh konversi yang sesuai sebelum memasuki tahap fermentasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu hidrolisis, konsentrasi tepung sorgum berbasis %Dry Substrat (DS), jenis katalis yaitu HCl 1% dan H 2 SO 4 1%, dan volume katalis terhadap kadar gula dan glukosa yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum hidrolisis diperoleh pada waktu 100 menit, konsentrasi tepung sorgum 30% DS dengan katalis asam klorida (HCl) 1% sebanyak 15 mL dengan kadar gula dan glukosa sebesar 160,08 g/L dan 135,66 g/L. Katakunci :Tepung sorgum, Bioetanol, Hidrolisis Pendahuluan Bahan bakar memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Krisis energi yang terjadi di dunia dan peningkatan populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan energi bagi kelangsungan hidup manusia beserta aktivitas ekonomi dan sosialnya (Assegaf, 2009). Hal ini mengakibatkan harga bahan bakar minyak (BBM) meningkat, sehingga kondisi ini akan memicu kenaikan biaya produksi yang berdampak pada kenaikan biaya hidup. Bahan bakar berbasis nabati diharapkan dapat mengurangi terjadinya kelangkaan BBM sehingga kebutuhan bahan bakar dapat terpenuhi. Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang dapat dijadikan alternatif pengganti BBM. Bioetanol diproduksi dengan teknologi biokimia melalui fermentasi bahan baku kemudian hasilnya berupa etanol yang dipisahkan dari air melalui destilasi dan dehidrasi. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor, L Moench) sangat berpotensi sebagai bahan baku bioetanol. Sorgum merupakan tanaman yang multifungsi karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Umumnya produksi bioetanol memanfaatkan nira sorgum manis sebagai bahan baku.Biji sorgum berpotensi pula untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol karena mempunyai kandungan pati cukup tinggi, yaitu 86,56% (Rahmi E. Dan Tri P,2009). Melalui hidrolisis yang efisien diharapkan tanaman ini optimal. Hidrolisis bertujuan untuk memecah molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa. Hidrolisis pada biji sorgum sangat lambat sehingga diperlukan katalisator asam untuk mempercepat reaksi. Asam-asam yang biasa digunakan adalah asam klorida, asam asetat, asam fosfat, dan asam sulfat (Machbubatul, 2008). Diharapkan hasil penelitian ini akan membawa dampak yang luas untuk mendukung jaminan ketersediaan bahan bakar nabati dan terciptanya peluang kerja bagi masyarakat pedesaan (petani) sebagai penyedia bahan baku produksi bioetanol. Metodologi penelitian Persiapan Bahan Baku Biji sorgum diperoleh dari daerah Banjaran Kabupaten Bandung. Tahap persiapan yaitu, pelepasan kulit biji dengan alat penyosoh biji yang dimiliki petani sorgum, kemudian dihaluskan menjadi tepung, dan dilakukan

A-21

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

penyeragaman ukuran hingga 100 mesh (Rahmi E, S. & Tri P, A, 2009) menggunakan ayakan getar. Tepung sorgum yang memenuhi kriteria kemudian dianalisis kadar air dan kadar patinya. Penentuan Kondisi Optimum Hidrolisis Penentuan kondisi optimum hidrolisis meliputi waktu, konsentrasi tepung sorgum, jenis katalis dan volume katalis. Hidrolisis dilakukan secara batch menggunakan serangkaian alat pada suhu 100 0C (Endah, R, Phiong, S & Berta, 2007). Sampel kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan larutan Benedict dan kuantitatif menggunakan metode Refraktometri dan Spektofotometri. Hasil analisis kuantitatif berupa konsentrasi guladan glukosa(g/L). Kondisi optimum hidrolisis ditentukan berdasarkan hasil analisis kuantitatif berupa konsentrasi gula dan glukosa (g/L) tertinggi yang masih sesuai dengan rentang kadar gula dan glukosa untuk fermentasi. a. Penentuan Waktu Hidrolisis Optimum Penentuan waktu hidrolisis optimum dilakukan pada suhu 1000C (Endah, R, Phiong, S & Berta, 2007) dengan penambahan katalis asam klorida1 % sebanyak 0,8 mL/g tepung sorgum kering pada konsentrasi 10%DS. Pengambilan sampel dilakukan pada menit ke 80, 100, dan 120. b. Penentuan Konsentrasi Tepung Sorgum Optimum Penentuan konsentrasi tepung sorgum optimum dilakukan pada suhu 100 0C (Endah, R, Phiong, S & Berta, 2007) menggunakan waktu hidrolisis optimum dengan penambahan katalis asam klorida 1% sebanyak 0,8 mL/gtepung sorgum kering. Konsentrasi tepung sorgum divariasikan pada 10, 15, 20, 25, 30, dan 35 % DS menggunakan persamaan : % = 100% +

c. Penentuan Jenis Katalis Asam Optimum Penentuan katalis asam optimum dilakukan pada suhu 1000C (Endah, R, Phiong, S & Berta, 2007) menggunakan waktu hidrolisis dan konsentrasi tepung sorgum optimum. Katalis asam yang digunakan adalah asam klorida1% dan asam sulfat1% masing-masing sebanyak 0,8 mL/g tepung sorgum kering. d. Penentuan Volume Katalis Optimum Penentuan volume katalis asam optimum dilakukan pada temperatur 1000C (Endah, R, Phiong, S & Berta, 2007) pada waktu hidrolisis, konsentrasi tepung sorgum, dan katalis asam optimum. Volume katalis divariasikan pada 0,4, 0,6,dan 0,8 mL/g tepung sorgum kering. Hasil dan pembahasan Biji sorgum yang diperoleh disiapkan dengan melakukan menghilangkan kulitnya, penggilingan dan penyeragaman ukuran menggunakan ayakan getar berukuran 100 mesh. Hasil analisis kadar air dan pati tepung sorgum yang telah dikeringkan adalah 10,21% dan 79,37%. Proses utama yang dilakukan adalah hidrolisis asam yang bertujuan untuk mengkonversi pati menjadi gula/glukosa. Waktu merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya reaksi hidrolisis. Semakin lama waktu hidrolisis maka kadar gula dan glukosa akan semakin meningkat tetapi waktu yang terlalu lama akan menurunkan hasil dan mempergelap warna produk (Wazir, 2011). Profil pengaruh waktu reaksi terhadap konsentrasi gula dan glukosa dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

A-22

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

85
Gula (g/L)

80 75 70 65 = 60 0 0 20 40 60 80 100 120 140 Waktu (menit)

Gambar 1. Kurva Pengaruh Waktu Hidrolisis Terhadap Konsentrasi Gula (g/L)

Gambar 2. Kurva Pengaruh Waktu Hidrolisis Terhadap Konsentrasi Glukosa (g/L)

Berdasarkan Gambar 1 dan 2 dapat diketahui bahwa konsentrasi gula dan glukosa meningkat hingga menit ke-100 kemudian mengalami penurunan. Fairus dkk. (2010) menyatakan bahwa penurunan konsentrasi glukosa selama hidrolisis diakibatkan adanya pemanasan yang tinggi dilingkungan asam dan menyebabkan terjadinya dekomposisi sirup glukosa menjadi senyawa HMF(Hidroksi Metil Furfural). Selain itu Parmadi Waktya Jati (2006), juga berpendapat bahwa semakin lama proses hidrolisis, glukosa yang terbentuk dari hidrolisis polimer pati akan mengalami reaksi karamelisasi menjadi HMF. Berdasarkan pembuatan bubur sorgum dengan basis dry substrat (% DS) dapat diketahui bahwa semakin banyak pelarut air yang digunakan maka perolehan gula maupun glukosa akan semakin sedikit, Namun demikian pada dasarnya jumlah pereaksi atau pelarut air yang berlebih akan membuat reaksi hidrolisis menjadi lebih sempurna. Perolehan gula dan glukosa untuk setiap variasi konsentrasi tepung sorgum dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Pada tepung sorgum 10% DS, pelarut air yang digunakan terlalu banyak sehingga sirup glukosa yang terbentuk menjadi encer dan konsentrasinya rendah. Penurunankonsentrasi mulai dari 15% DS hingga 35% DS akan meningkatkan konsentrasi glukosa, selain itu menyebabkan bubur sorgum berupa sirup glukosa menjadi lebih kental.

Gambar 3. Kurva Pengaruh Konsentrasi Tepung Sorgum (% DS) Terhadap Konsentrasi Gula (g/L)

A-23

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 4. Kurva Pengaruh Konsentrasi Tepung Sorgum (% DS) Terhadap Konsentrasi Glukosa (g/L)

Tepung sorgum 35%DS menghasilkan kadargula dan glukosa tertinggi, namun bubur menjadi sangat kental terutama pada suhu gelatinasi pati sorgum yaitu 68-780C. Bubur menjadi sulit untuk diaduk dan meninggalkan kerak berwarna coklat di dinding reaktor. Perolehan gula maupun glukosa hasil hidrolisis tepung sorgum 30% DS dan 35% DS menjadi tidak signifikan, sehingga konsentrasi tepung sorgum yang digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah 30% DS. Tepung sorgum 30%DS juga memenuhi rentang optimum konsentrasi gula dan glukosa yang baik untukfermentasi yaitu masing-masing sebesar 12-18% (Alamsyah, 2007) dan 10-18% (Eka, 2008). Tahap penelitian selanjutnya adalah membandingkan efektivitas jenis katalis asam terhadap hidrolisis.Dari kedua jenis katalis asam tersebut, diperoleh bahwa katalis asam klorida1% merupakan katalis yang menghasilkan konsentrasi gula dan glukosa lebih tinggi yaitu sebesar 142,55 g/L dan 125,23 g/L, pada konsentrasi, suhu, dan waktu yang sama. Hal ini terjadi karena sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan H 2 SO 4 (Yuliana, 2011). Menurut Machbubatul (2008) dibandingkan denganH 2 SO 4 , penggunaan HCl lebih baik karena meningkatkan waktu hidrolisis dan tingginya nilai hidrolisat. Selain Pengaruh penggunaan kedua jenis asam terhadap konsentrasi gula dan glukosa hasil hidrolisis pati sorgum diperlihatkan pada Gambar 5 dan 6.

142.55 119.92

HCl 1%

H2SO4 1%

Gambar 5.Kurva Pengaruh Variasi Jenis KatalisAsam (%) Terhadap Konsentrasi Gula( g/L)

A-24

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

125.2 3

107.8 3

HCl 1% Gambar 6.Kurva Pengaruh Variasi Jenis KatalisAsam (%) Terhadap Konsentrasi Glukosa (g/L)

Penggunaan katalis akan mempercepat reaksi hidrolisis. Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka kadar glukosa yang diperoleh juga semakin besar (Mastuti, Endang. Dkk., 2010). Namun penggunaan volume katalis yang terlalu banyak dikhawatirkan akan menghasilkan produk samping berupa senyawa HMF yang dapat menghambat fermentasi. Perolehan gula dan glukosa untuk setiap variasi volume katalis asam disajikan pada Gambar 7dan 8.
145 140 135 130 125 120 115 110 105 100 95 = 90 0 0

Gula (g/L)

0.2 0.4 0.6 0.8 1 Rasio volume katalis asam terhadap berat tepung sorgum kering

Gambar 7 Kurva Pengaruh Volume Katalis Asam (mL) Terhadap Konsentrasi Gula (g/L)
130 125
Glukosa (g/L)

120 115 110 105 100 95 90 0 = 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Rasio volume katalis asam terhadap berat tepung sorgum kering

Gambar 8.Kurva Pengaruh Volume Katalis Asam (mL) Terhadap Konsentrasi Glukosa (g/L)

Perolehan gula dan glukosa dengan penggunaan katalis asam sebanyak 0,8 mL/g tepung sorgum kering lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan katalis asam sebanyak 0,6 mL/g tepung sorgum kering dan 0,4 mL/g tepung sorgum kering. Tetapi perbedaan perolehan gula dan glukosa pada penggunaan katalis asam klorida 0,8 dan 0,6 mL/g tepung sorgum kering tidak terlalu signifikan dan masih memenuhi rentang optimum gula dan glukosa yang baik untukfermentasi yaitu masing-masing sebesar 12-18% (Alamsyah, 2007) dan 10-18% (Eka, 2008). Berdasarkan hal tersebut maka digunakan volume katalis sebanyak 0,6

A-25

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

mL/gtepung sorgum kering, karena biaya produksi yang dibutuhkan akan lebih sedikit dan kemungkinan terbentuknya produk samping akibat suasana asam berupa senyawa HMF dapat diminimalkan. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hasil, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi optimum hidrolisis tepung sorgum untuk menghasilkan konsentrasi gula dan glukosa tertinggi diperoleh pada waktu 100 menit, konsentrasi tepung sorgum 30% DS, dengan katalis asam asam klorida 1% sebanyak 0,6 mL/gtepung sorgum kering. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada sdri Retni Astrini, dan Debby Nur Adrianti mahasiswi Jurusan Teknik Kimia Polban angkatan 2009 yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. DaftarPustaka [1] Alamsyah.2007.Produksi Bioetanol Dari Biji Sorgum (Sorghum biocolor, L Moech) Secara Fermentasi Sebagai Bahan Bakar Alternatif.Makassar:Politeknik Negeri Ujung Pandang. [2] Assegraf, Faisal.2009.Prospek Produksi Bioetanol Bonggol Pisang (Musa paradisiacal) Menggunakan Metode Hidrolisis Asam dan Enzimatis.Semarang : Universitas Jenderal Soedirman (online). http://hierofredy.files.wordpress.com(13 Maret 2012). [3] Endah,R dkk.2007.Kinetika Reaksi Tepung Sorgum dengan Katalis Asam Klorida (HCl).Surakarta:Universitas Sebelas Maret. [4] Fairus,Sirin.2010.Pengaruh Konsentrasi HCL dan Waktu Hidrolisis Terhadap Perolehan Glukosa yang Dihasilkan dari Pati Biji Nangka.Yogyakarta:Institut Teknologi Nasional. [5] Machbubatul.2008.Pembuatan Kaldu dari Kepala Ikan Tuna dengan Cara Hidrolisis Asam (Kajian Penambahan Air dan pH).Malang:Universitas Brawijaya. [6] Mastuti,Endang.2010.Pengaruh Temperatur dan Konsentrasi Katalis Pada Reaksi Hidrolisis Tepung Kulit Ketela Pohon.Surakarta:Universitas Negeri Sebelas Maret. [7] Rahmi E, Silvia dan Tri P, A.2009.Pembuatan Etanol Dari Sorgum (Shorghum Bicolor l. Moench) Melalui Hidrolisis Enzimatik Diikuti Fermentasi Menggunakan Saccharomyces Cerevisiae.Surabaya:Laboratorium Teknologi Biokimia Institut Teknologi Sepeluh November. [8] Wazir,Ibnu.2011.Laporan Resmi Praktikum Kimia Organik Analisis Pati. (online). file:///D:/KULIAH/semester%206/TA/bioetanol/ref%20oke/Tinjauan%20pustaka/ibnu%20wzir%20201 1.html. (9 Juni 2012) [9] Widyastuti,Endang dan Dianty Rosirda.2010. Pembuatan Glukosa dari Pati (Starch) Secara Hidrolisis Kimiawi (online). http://matekim.blogspot.com/2010/05/hidrlisa-pati.html.( 9 Juni 2012). [10] Yuliana,Eka.2011.Produksi Bioetanol dari Empulur Sagu Menggunakan Enzin dan Khamir dari Isolat Lokal.Bogor:Institut Pertanian Bogor.

A-26

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Evaluasi Keberadaan Senyawa Etanol dan Metanol dalam Proses Fermentasi Tongkol Jagung dengan Saccharomyces cerevisiae
Ery Susiany Retnoningtyas*, Antaresti, Aylianawati Laboratorium Teknologi Bioproses, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Jl. Kalijudan 37 Surabaya 60114, Telp. 031-3893933, Fax. 031-3891267 *E-mail : ery.srt@gmail.com Abstrak Indonesia adalah salah satu negara pertanian yang menghasilkan jagung tiap tahunnya dalam bentuk pipilan kering. Produksi jagung dalam bentuk pipilan kering ini menyisakan limbah berupa tongkol jagung. Kandungan nutrisi dari limbah tongkol jagung yang melimpah ini, berpotensi untuk dikonversi menjadi produk lain melalui proses fermentasi dengan dibantu mikroba. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keberadaan senyawa etanol dan metanol dalam proses fermentasi tongkol jagung oleh Saccharomyces cerevisiae. Penelitian ini terbagi dalam 3 tahap yaitu : pretreatment tongkol jagung, (2) fermentasi, dan (3) pemurnian dengan distilasi. Tongkol jagung yang sudah dikeringkan, digrinder hingga menjadi serbuk dengan ukuran 12 mesh, dan diberi perlakuan steam explosion selama 60 menit. Selanjutnya serbuk tongkol jagung siap difermentasi, setelah ditambahkan nutrisi, crude enzim selulase dan biakan Saccharomyces cerevisiae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan pektin dalam tongkol jagung memicu terbentuknya metanol selain etanol sebagai hasil fermentasi dari Saccharomyces cerevisiae. Kata-kata Kunci : etanol, metanol fermentasi, saccharomyces cerevisiae, tongkol jagung Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara pertanian yang menghasilkan jagung dalam bentuk pipilan kering. Produksi jagung tahun 2011 sebesar 923 ton pipilan kering (BPS, 2012). Produksi jagung pipilan yang melimpah ini menyisakan tongkol jagung sebagai limbah pertanian. Komposisi dari tongkol jagung dapat dilihat pada tabel 1. Kandungan nutrisi yang masih tinggi seperti selulosa memungkinkan untuk dikonversi menjadi senyawa lain yang lebih bernilai seperti etanol. Etanol dapat diproduksi dari proses fermentasi dengan dibantu mikroba. Salah satu mikroba yang mempunyai peran penting dalam proses ini adalah Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae adalah golongan yeast yang secara alamiah di alam tidak mempunyai enzim selulase. Agar dapat memanfaatkan substrat yang mengandung selulosa seperti tongkol jagung ini, maka sebelum Saccharomyces cerevisiae melakukan perannya, tongkol jagung harus dihidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menambahkan larutan asam, basa maupun enzim. Pemanfaatan enzim yaitu enzim selulase untuk menghidrolisa selulosa dalam tongkol jagung ini lebih dipilih karena dapat dilakukan secara simultan dengan proses fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae. Tabel 1. Komposisi tongkol jagung Komposisi % Air 9,6 Abu 1,5 Hemiselulosa 36,0 Selulosa 41,0 Lignin 6,0 Pektin 3,0 Pati 0,014 Sumber : Lorenz & Kulp (1991) Pada fermentasi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae ternyata juga akan dihasilkan produk sekunder seperti aldehid, asam, ester dan metanol (Dato et. Al, 2005). Terbentuknya komponen-komponen tersebut tergantung dari komposisi bahan bakunya. Tongkol jagung yang mempunyai kandungan pektin 3% dapat memicu disekresinya enzim pectinesterase oleh Saccharomyces cerevisiae. Enzim ini akan menghidrolisis pektin menjadi metanol dan pectic acid (Pieper et al. 1980). Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu yeast yang menghasilkan enzim pectinolytic seperti : pectin lyase, polygalacturonase dan pectinesterase (Rashad et.al, 2011). Metanol ini toksik bagi manusia sehingga A-27

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

keberadaannya berusaha diminimalkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keberadaan senyawa etanol dan metanol dalam proses fermentasi tongkol jagung oleh Saccharomyces cerevisiae.

Metodologi Penelitian
Tongkol jagung diperoleh dari limbah pasar Gubeng Surabaya. Bahan kimia seperti KH2 PO 4 , MgSO 4 .7H2 O, (NH 4 ) 2 SO 4, (NH4 ) 2 PO 4 , glukosa, Potato Dextrose Agar dari Merck sedangkan yeast extract dari Difco. Mikroba Saccharomyces cerevisiae diperoleh dari Jurusan Biologi Universitas Airlangga Surabaya. Enzim selulase yang digunakan adalah crude enzim selulase dari fermentasi tongkol jagung oleh Trichoderma ressei. Penelitian ini terbagi dalam 3 tahap yaitu (1) pretreatment tongkol jagung, (2) fermentasi dan (3) pemurnian dengan distilasi. Pada tahap pretreatment, mula-mula tongkol jagung yang sudah dipotong + 1 cm3 dikeringkan, lalu digrinder dan diayak hingga berukuran 12 mesh. Selanjutnya serbuk tongkol jagung diberi perlakuan steam explosion dengan cara dimasukkan ke dalam autoclave suhu 121oC tekanan 15 psi selama 60 menit. Proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan Simultaneous Sacharification and Fermentation (SSF). Mula-mula 1 gram tongkol jagung berukuran 12 mesh yang sudah dicampur dengan 10 mL nutrisi disterilisasi, selanjutnya ditambahkan 10 mL crude enzim selulase dan 10 mL inokulum yeast S.accharomyces cerevisiae. Komposisi nutrisi adalah (NH4 ) 2 PO 4 1 g/L, MgSO 4 .7H2 O 0,05 g/L dan yeast extract 2 g/L sedangkan komposisi di inokulum yeast adalah glukosa 10 g/L, KH2 PO 4 0,1 g/L, MgSO 4 .7H2 O 0,1 g/L, (NH4 ) 2 SO 4 0,1 g/L dan yeast extract 1 g/L (Samsuri dkk, 2007). Fermentasi dilakukan pada suhu 30oC selama 120 jam. Tiap 24 jam dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisa gula reduksi, etanol dan metanol. Analisa gula reduksi dilakukan dengan metode DNS menggunakan spektrofotometer UV Vis sedangkan etanol dan metanol dengan gas chromatography.

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis terhadap tongkol jagung yang sudah diberi perlakuan steam explosion sebagai berikut : kandungan air 8,55 %, abu 2,41 %, selulosa berkisar 34,41 %, pektin berkisar 3,9 % dan protein sebesar 2,25 %. Tongkol jagung yang sudah mengalami perlakuan steam explosion memberikan pengaruh yang baik bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae karena selulosa menjadi lebih mudah dihidrolisis oleh enzim selulase menjadi selobiosa dan dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa. Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dapat diidentifikasi dari berkurangnya glukosa (gula reduksi) dan terbentuknya produk seperti etanol dan metanol. Pada gambar 1, dapat diketahui bahwa saat waktu fermentasi 24 hingga 72 jam terjadi penurunan konsentrasi gula reduksi yang signifikan yaitu sebesar 0,9468 g/L. Hal ini menunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae mampu memanfaatkan nutrisi yang ada untuk pertumbuhan dan pembentukan produk yaitu etanol. Dari gambar 1 juga dapat dilihat bahwa saat terjadi penurunan konsentrasi gula reduksi yang signifikan ternyata diikuti dengan peningkatan kadar etanol yang signifikan pula yaitu sebesar 0,0866 %.
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

2.5 2 1.5 1 0.5 0 24 48 72 96 120 Waktu fermentasi (jam) gula reduksi (g/L) etanol (%)

0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0

Gambar 1 Konsentrasi gula reduksi terhadap pembentukan etanol pada fermentasi tongkol jagung

A-28

Kadar etanol (%)

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Konsentrasi gula reduksi (g/L)

2.5 2 1.5 1 0.5 0 24 48 72 96 120 Waktu fermentasi (jam) gula reduksi (g/L) metanol (%)

2.5

1.5 1 0.5 0

Gambar 2 Konsentrasi gula reduksi terhadap pembentukan metanol pada fermentasi tongkol jagung Pada gambar 2, juga menunjukkan bahwa pada penurunan konsentrasi gula reduksi yang signifikan (0,9468 g/L) yaitu saat waktu fermentasi 24 hingga 72 jam, juga diikuti dengan terbentuknya senyawa metanol yang signifikan pula (0,7691%). Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan pektin yang ada di dalam tongkol jagung dihidrolisa oleh enzim pectinesterase yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi metanol. Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu yeast yang menghasilkan enzim pectinolytic seperti : pectin lyase, polygalacturonase dan pectinesterase (Rashad et.al, 2011). Menurut Pieper et.al (1980), terbentuknya metanol dapat direduksi dengan cara penambahan suatu pectinesterase inhibitor, sehingga terbentuknya enzim pectinesterase dapat dihambat. Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa pembentukan produk etanol dan metanol terjadi pada saat pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae yang berarti termasuk growth-associated products (Shuler and Kargi, 1992)

Kesimpulan
Kandungan selulosa dalam tongkol jagung, setelah dihidrolisa oleh enzim selulase dapat difermentasi menjadi etanol dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae tetapi kandungan pektin dalam tongkol jagung memicu disekresinya enzim pectinesterase yang akan menghidrolisa pektin menjadi metanol.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kepada DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui hibah penelitian desentralisasi tahun 2012.

Daftar Pustaka
[1] BPS, "Berita Resmi Statistik : Produksi Padi, Jagung dan Kedelai", No.47/07/21/Th.VI, 02 Juli 2012 [2] Dato, MCH., JMP. Junior, MJR. Mutton, "Analysis of The Secondary Compounds Produced by Saccharomyces cerevisiae and Wild Yeast Strains During The Production of Cachaca", Brazilian Journal of Microbiology, Vol. 36: 70-74, 2005. [3] Lorenz, KJ., and K. Kulp, "Handbook of Cereal Science and Technology", New York : Marcel Dekker, 1991 [4] Pieper, HJ., E. Oplustil dan G. Barth, "Reduction of Methanol Formation During Alcoholic Fermentation", Biotechnology Letters, Vol.2 No.9, 391-396, 1980 [5] Rashad,MM., HM. Abdou, WGH. Shousha, MM. Ali dan NN. El-Sayed, "Purification and Characterization of the Pectin Lyase Produced by Pleurotus ostreatus Grown on Lemon Pulp Waste", Australian Journal of Basic and Applied Sciences, Vol.5(8): 1377-1384, 2011 [6] Samsuri, M., R. Mardias, A. Wijarnako, M. Gozan, "Produksi Bioetanol dari Bagas dengan Enzim Selulase", Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses, Semarang, 2007, pp.D71-D77 [7] Shuler, ML., and F. Kargi, "Bioprocess Engineering : Basic Concepts", Printice-Hall, New Jersey, pp. 159-161, 1992

A-29

Kadar metanol (%)

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-30

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Redesain Motif Batik Tradisional Berorientasi Pasar


Irfaina Rohana Salma1), Edi Eskak2) Balai Besar Kerajinan dan Batik, Kementerian Perindustrian 1,2) Jl. Kusumanegara 7 Yogyakarta Telepon (0274) 546111 Fax. (0274) 543582 *E-mail :irfasalma@gmail.com Abstrak Batik sebagai produk budaya Indonesia berwujud lembaran mori bermotif unik yang proses pewarnaanya dengan teknik halang rintang mengunakan lilin/malam. Motif batik terbentuk dari kontras elemen rupa akibat terserap dan tertolaknya zat warna pada mori saat proses pencelupan. Motif sebagai pangkal tolak dari pola yang menghiasi lembaran mori memiliki peran penting dan menjadi penentu kualitas estetik hasil akhir sebuah karya batik. Motif dan pola batik mengalami perubahan sejalan perkembangan zaman. Perubahan zaman itu mendorong terjadinya pergeseran selera estetik, ada perubahan bentuk dan fungsi produk, berikut nilai dan makna yang dikandung di dalamnya.Perubahan tersebut perlu diantisipasi dengan penciptaan desain-desain baru yang menjawab tuntutan zaman, salah satunya yaitu dengan redesain bersumber pada kekayaan motif hias tradisional. Dalam tulisan ini akan dipaparkan proses penciptaan motif batik baru dengan konsep redesain, disertai dengan hasil-hasil visual (gambar)-nya. Hasil redesain yang dibuat dengan berorientasi pasar ini diharapkan dapat diaplikasikan sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan industri kreatif (bernilai ekonomi). Kata-kata kunci : batik, redesain, motif hias tradisional, pasar.

Abstract Batikas a Indonesian intangiblecultural products has a uniquepattern, existed in mori made by color resisttechniqueusingwax. Its decorationformed ofcontrastingelementsand resisted dye asabsorbedon themoriduring the dyeing process. The motifas abase ofthe patternsheetsthat adornmorihas an important roleandbe a determinant ofthe aestheticquality ofthe final resultof awork ofbatik. Batikmotifs andpatterns ofchangein linewith the times.Changing timesprompteda shift inaesthetictaste, there arechanges inform andfunction ofproducts, the followingvalues and meaningscontainedtherein.These changesshould be anticipatedwith the creationof new designsthatanswer the demands ofthe times,one of whichis toredesigncomeson thewealthof traditionaldecorativemotifs. Inthis paperwill be presented inthe process ofcreation ofnewbatikmotifswiththe concept ofredesigning, accompanied bythe results ofvisualization(image). Results-oriented redesigncreated withthis marketis expected to beappliedso that we have our benefits forthe growth ofcreativeindustries (economic value). Keywords:batik, redesigning, traditionaldecorativemotifs, market. Pendahuluan
Batik merupakan produk tekstil yang mempunyai nilai hias dan filosofi tinggi yang dihasilkan dengan teknik perintangan malam pada proses pewarnaan. Sebagai kesenian warisan budaya leluhur, batik tradisional kini mendapat tantangan berat dari produk-produk tekstil modern dan perubahan gaya hidup serta selera masyarakat. Tekstil tradisional yang indah ini cenderung mulai ditinggalkan karena dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Kondisi ini bila dibiarkan bisa membuat punah warisan leluhur yang adiluhung ini, sementara karya-karya bernilai seni tinggi ini justru dikagumi bangsa-bangsa lain dengan memberi apresiasi yang tinggi, bahkan ada yang sampai dengan mengklaim kepemilikan hasil budaya tersebut. Batik sebagai seni tradisional lainnya mengalami stagnasi pada pengulangan-pengulangan produksi, dalam hal ini motif batik tradisional, sementara dinamika kehidupan masyarakat telah banyak mengalami perubahan. Perubahan zaman mendorong pergeseran selera, tren dan sosiokultural. Terjadinya perubahan bentuk dan fungsi produk, termasuk nilai dan filosofi yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu penciptaan karya ini bertujuan untuk menciptakan motif batik A-31

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

baru dengan mengembangkannya dari motif tradisional. Inovasi kreatif ini diharapkan menghasilkan motif batik yang berkembang selaras dengan selera konsumen sehingga produk yang dihasilkan bisa mendapatkan konsumen yang lebih luas. Pengembangan motif batik telah banyak dilakukan oleh seniman, desainer, maupun perajin. Amri Yahya pada tahun 1980-an telah mengembangkan motif batik dengan visualisasi mirip gaya lukisan kanvasnya, namun desain motif yang dihasilkan terlalu modern sehingga ikon (citra yang mirip) batik tradisional tidak terlihat lagi.Sederet nama yang bisa disebut berikut ini telah berkarya dengan mengembangkan desain motif batik yang masih mempertahankan ikon batik tradisional antara lain: Kuswadji, Bambang Utoro, Sumihardjo, Iwan Tirta, Ardiyanto, juga yang lebih muda antara lain Zuriyah, Irfaina Rohana Salma, dan Edi Eskak. Namun karena perkembangan zaman yang senantiasa dinamis berubah maka perlu terus diciptakan karya-karya baru sesuai jiwa zamannya, penciptaan karya ini diharapkan dapat diaplikasikan di IKM Batik masa kini, juga menginspirasi penciptaan-penciptaan berikutnya. METODOLOGI PENCIPTAAN Metode penciptaan karya seni ini mengacu pada pendapat Gustami (2007: 33) yang menyatakan bahwa proses penciptaan seni dalam konteks metodologi ada tiga tahap yaitu: eksplorasi, perancangan, dan perwujudan. 1. Eksplorasi Tahap eksplorasi meliputi aktivitas penjelajahan menggali sumber ide dengan langkah identifikasi dan perumusan masalah; penelusuran, penggalian, pengumpulan data dan referensi, berikut pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan simpul penting konsep pemecahan masalah secara teoritis, yang hasilnya akan dipakai sebagai dasar perancangan. 2. Perancangan Perancangan merupakan tahap yang dibangun berdasarkan ide yang timbul dari hasil analisis yang dirumuskan, diteruskan visualisasi ide dalam bentuk sketsa-sketsa yang akan disempurnakan menjadi desain dengan menambahkan unsur-unsur seni rupa secara lengkap yaitu garis, bidang, warna, dan tekstur. 3. Perwujudan Tahap perwujudan adalah memindahkan hasil perancangan pada mori dengan proses batik, berupa pembuatan model dalam ukuran mori kecil, namun motif tetap dibuat dengan pola gambar 1:1. Setelah hasilnya sesuai dengan apa yang dikehendaki, baru kemudian model itu bisa dibuat dalam ukuran mori yang lebih besar. Dalam perwujudan ini bisa dilakukan penyempurnaan desain dengan kesesuaian teknis batik. HASIL DAN PEMBAHASAN Batik tidak sekedar tekstil seperti umumnya, namun tekstik hasil seni adiluhung warisan leluhur yang mencerminkan budaya bangsa, sehingga redesain yang dihasilkan masih mencerminkan ikon-ikon visual motif batik tradisional. Merupakan kewajiban generasi muda masa kini untuk mengantisipasi perubahan zaman dengan berkreasi agar menciptakan karya sesuai jiwa zaman tetapi tetap mencerminkan budaya bangsa. Dengan demikian aktivitas penciptaan yang dilakukan desainer masa kini tidak hanya sekedar membuat ulang produk-produk seni tradisional masa lampau, tetapi juga berkreasi membuat karya baru dengan mengacu pada kearifan dan keunggulan seni tradisional yang selaras dengan dinamika perubahan zaman. Redesain motif dibuat dengan logika hasil pewarnaan tutup celup dengan garis-garis motif yang terbuat dari torehan lilin batik.Sebagaimana definisi batik menurut SNI No 08-0239-1989, yaitu bahan tekstil hasil pewarnaan menurut corak khas batik Indonesia, dengan menggunakan lilin batik sebagai zat perintang. Motif batik tradisional secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu motif geometris dan non geometris (Soesanto, 1980: 214). Motif geometris antara lain motif Banji, motif Ganggong, motif Ceplokan, motif Parang dan motif Lereng. Sedangkan motif non geometris biasanya merupakan komposisi unsur-unsur alam dan benda disekitar kita yang distilasi yang tergambarkan secara menyebar memenuhi bidang kain. Motif ini biasa disebut motif semen. Semendari kata Jawasemi yang berarti tumbuhan bersemi yang berupa untaian daun dan kuncup yang tersusun memenuhi bidang gambar. Kreasi redesain juga pernah dilakukan kaum saudagar pada masa lalu karena adanya batik larangan dari pihak istana, sehingga timbulah istilah batik Sudagaran. Dengan kreativitas yang tinggi serta wawasan pasar dan pengetahuan selera konsumen, mereka mengubah motif larangan sehingga motif tersebut dapat dipakai masyarakat umum. Orientasi Pasar Pasar produk batik dapat dipilah menjadi 3 yaitu: pasar lokal, nasional dan internasional. Di bidang ekonomi kreatif peran desainer dituntut memiliki pengetahuan, kepekaan estetik, ketajaman analisa, dan tanggap terhadap perubahan dan perkembangan selera konsumen yang mengikuti perkembangan zaman. Kejelian penciptaan motif batik sangat dipengaruhi oleh hasil kajian tentang minat atau keperluan konsumen modern, selera konsumen dan arah tren gaya hidup. Desainer batik juga dituntut mampu menyajikan motif-motif pengembangan baru yang kreatif atas penghayatan rasa estetik, sehingga hasil ciptaannya mampu menarik minat konsumen. Timbul Raharjo (2011: 37) praktisi dan akademisi industri kreatif dalam bukunya Seni Kriya dan Seni Kerajinan menjelaskan bahwa kerajinan yang unik produk Indonesia menarik buyer untuk dipasarkan dalam pasar internasional. Seni kerajinan harus senantiasa

A-32

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

menampilkan produk inovatif, unik, dan up to datesehinnga dapat beriringan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengtahuan. Kebaruan ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan sebuah usaha produksi seni kerajinan.

Gambar 2. Motif kawung, biasa dipakai raja dan keluarganya sebagai lambang keperkasaan dan keadilan (Prasetyo,2010: 50).

Gambar 2. Redesain motif kawung agar bisa dipakai masyarakat umum.

A-33

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 3. Motif parang barong, menggambarkan senjata, kekuasaan. Ksatria yang memakai batik ini bisa berlipat kekuatannya (Prasetyo, 2010: 54).

Gambar 4. Redesain motif parang agar bisa dipakai masyarakat umum.

A-34

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 5. Redesai motif Sekar Jagad yang dikomposisi ulang dalam objek salak pondoh dengan judul Semarak Salak, desain batik karya Irfaina Rohana Salma ini terpilih sebagai juara II dan favorit dalam Lomba Desain Batik Sleman 2012. (Foto: Edi Eskak, 2012) KESIMPULAN Batik sebagai usaha industri kreatif yang bergayut dengan dunia fashion, dipastikan tidak bisa lepas dari pengembangan motif hias yang sesuai dengan jiwa zaman. Redesain motif tradisional salah satu tindakan kreatif agar kehadirannya tidak stagnan dengan memberi penyegaran visual sesuai selera konsumen masa kini, sehingga dapat menjangkau konsumen yang lebih luas. Pengembangan penerapan redesain motif tradisional sebaiknya juga merambah pada penciptaan batik di bidang yang lain, misalnya: souvenir dan elemen interior. Pengembangan kreatif yang tepat sasaran dan fungsi diyakini dapat merebut selera konsumen dan diterima oleh pasar, baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. DAFTAR PUSTAKA [1] Gustami, SP.,Butir-butir Mutiara Estetika Timur, Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia.Yogyakarta: Prapista, 2007. [2] Prasetyo, Anindito. Batik Karya Agung Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010. [3] Raharjo, Timbul, SeniKriya dan Seni Kerajinan. Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, 2011. [4] Soesanto, S. K. Sewan, Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian, 1980. [5] SNI No 08-0239-1989

A-35

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-36

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Penanggulangan Pencemaran Akibat Proses Biokorosi pada Pipa Distribusi Crude Oil
M. Syahri Prodi Teknik Kimia UPN Veteran Yogyakarta Jl.SWK 104 (Lingkar Utara) Condongcatur 55283, Telp.(0274)486733, Fax. 486400 Korespondensi: syahri@upnyk.co.id Abstrak Bio-korosi dapat didefinisikan sebagai proses serangan yang tidak diinginkan pada logam oleh aktivitas bakteri aerobic dan anaerobic. Jenis mikroorganisme yang berbahaya sebagai perusak berpotensial dari korosi yang dipengaruhi oleh microorganism adalah bakteri pereduksi sulphat (SRB). Jika kebocoran fluida (minyak bakar) diakibatkan oleh serangan korosi yang terjadi melalui sistim pipa yang terkorosi dalam lingkungan tanah, maka lingkungan akan tercemar. Penurunan efisiensi dapat terjadi karena terhambatnya laju alir atau perpindahan panas melalui timbunan produk korosi, atau disebabkan oleh penyumbatan pipa adanya kerak, sehingga diperlukan kapasitas pompa yang besar. Jelas sekali, kerugian tersebut merupakan penambahan biaya tidak langsung yang diakibatkan oleh Bio-korosi. Salah satu cara untuk mengurangi serangan korosi pada jaringan pipa dalam tanah yaitu proteksi gabungan antara proteksi katodik dengan lapis lindung senyawa organik. Kata-kata Kunci : Bio-korosi, Bakteri Pereduksi Sulphat (SRB), proteksi katodik

Abstract Bio-corrosion may be defined as the processes of unwanted attack on a metal by aerobic and anaerobic bacteria activities. The dangerous microorganism as the potential culprit of Microbiologically Influenced Corrosion (MIC) are Sulfate Reducing Bacteria (SRB). Since the leakage of fluid caused by corrosion attack, loses of fluid (fuel oil) occur through a corroded-pipe system in the soil environments. Therefore, the environment will be polluted. Loss of efficiency, this may occur because of diminished flow rate or heat transfer through accumulated corrosion products, or because of the clogging of pipes with rust necessitating increased pumping capacity. Obviously, indirect losses are substantial part of the economic tax imposed by Bio-corrosion. One of methods of mitigating buried pipelines of corrosion at attack from soils are protected by a combination of cathodic protection and an organic coating. Keywords: Bio-corrosion, Sulfat Pereduction Bacteri (SRB), Cathodic Protection

PENDAHULUAN
Penyediaan bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta orang yang tinggal dalam gugusan kepulauaan Indonesia, terdiri dari 17.500 pulau besar dan kecil serta membentang lebih dari 5.000 kilometer sepanjang khatulistiwa, sungguh merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Jumlah BBM yang harus didistribusikan mencapai 53 juta kilo liter pertahun yang diproyeksikan akan terus bertambah. Sebelum sampai ke tangan masyarakat, BBM itu harus diangkut dari kilang-kilang dalam negeri, dan bila keadaan mendesak dilakukan impor BBM, kemudian didistribusikan ke depot-depot penimbun yang tersebar di seluruh tanah air dengan menggunakan kapal-kapal tanker, terkadang melalui jaringan pipa pemyalur [1]. Salah satu permasalahan di sektor pendistribusian BBM menggunakan pipa penyalur di bawah tanah adalah terjadinya penyumbatan dan kebocoran yang diakibatkan oleh adanya aktivitas microba [2]. Minyak bumi sebagian besar terdiri atas senyawa hidrokarbon dan sisanya adalah garam dan air. Komposisi kimia semacam itu merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan microba [3]. Di dalam BBM dapat tumbuh bermacam-macam mikroba yang dapat merusak mutu BBM maupun logam dinding pipa penyalur. Adanya mikroba sejenis jamur Cladosporium resinae yang sering ditemukan dalam BBM mempunyai peran sangat penting pada proses bio-korosi logam. Disamping itu, iklim Indonesia dan lingkungan jaringan pipa dalam tanah yang bersifat korosif akan membantu proses bio-korosi tersebut [4]. Pengaruh kondisi tanah besar peranannya terhadap laju korosi jaringan pipa yang ada di dalamnya. Telah diketahui bersama bahwa secara fisik tanah tersusun dari

A-37

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

beberapa mineral dan bahan organik, air tanah dan gas yang larut di dalamnya. Para ahli tanah sepakat bahwa susunan yang optimal dari semua fase tersebut adalah 50% bagian padat (45% mineral; 5% zat organik) dan 50% bagian berongga (25% air tanah; 25% gas yang terperangkap). Dengan demikian tanah bukan merupakan benda padat yang pejal, tetapi benda berongga atau porous. Tanah yang porous dapat menahan air dalam waktu yang cukup lama, sehingga laju korosi untuk pertama kalinya akan cenderung meningkat. Suatu logam mungkin mampu menahan serangan korosi di suatu daerah, tetapi belum tentu di daerah lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi tanah, pH, air yang terserap, dll. Korosivitas tanah dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya adalah (1).porositas, (2).resistiviti, (3).garam terlarut, (4).air dan (5).keasaman atau kebasaan tanah. Masing-masing faktor tersebut akan memperngaruhi karakteristik polarisasi anodik dan katodik dari suatu logam dalam tanah [5]. Studi yang dilakukan oleh National Physical Laboratory di Inggirs [6], diperoleh bahwa korosivitas tanah terhadap logam besi didasarkan atas tahanan (resistivity) dari tanah tersebut, elektroda yang digunakam adalah Platina dan Kalomel jenuh sebagai elektroda pembanding, seperti yang ditunjukkan pada table 1. Dan disamping itu juga pengukuran total keasaman merupakan indikator korosivitas dari tanah. Tabel 1 : Hubungan tekstur tanah terhadap tahanan dan tingkat korosivitasnya Tekstur Tanah Tingkat Korosivitas Tahanan, (-Cm) Pasir dan kerikil > 10.000 Korosif sangat ringan Pasir halus dan silt 5000 - 10.000 Korosif ringan Lempung berpasir 2000 - 5000 Korosif sedang Tanah hitam dengan silt 2000 - 5000 Korosif sedang Lempung sungai 2000 - 5000 Korosif sedang Lempung 1000 - 2000 Korosif Sampah-sampah industri 100 - 1000 Sangat korosif Efek aerasi telah diteliti oleh Romanoff [7] bahwa pada mulanya laju korosi sumuran cukup tinggi, tetapi lama kelamaan akan turun karena adanya oksigen yang berlebihan, oksidasi dan pengendapan besi sebagai Feri hidroksida terjadi di permukaan logam yang berfungsi sebagai membrane protektif, sehingga laju korosi sumuran akan menurun. Di lain pihak, aerasi yang tidak cukup dalam tanah akan mengakibatkan laju korosi sumuran akan turun pelahan-lahan sejalan dengan waktu. Pada umumnya terjadinya aerasi dalam tanah tidak cukup baik, hal ini akan menimbulkan bentuk korosi sumuran (pitting). Jenis korosi lokal tersebut sangat berbahaya bila dibandingkan jenis korosi merata, walaupun laju korosinya lebih besar. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah adanya sulphat dan bakteri pereduksi sulphat (SRB) dalam tanah yang tidak cukup aerasinya. Bakteri tersebut akan menghasilkan laju korosi yang cukup tinggi dan apabila adanya oksigen terlarut yang cukup dalam tanah, korosi akibat adanya SRB akan terhenti. Untuk mencegah terjadinya bio-korosi perlu dilakukan beberapa pertimbangan diantaranya adalah pemilihan bahan, pemberian bahan pembunuh bakteri (biosida), mengubah lingkungan, lapis pelindung dan proteksi katodik. Dengan dapat mengatasi kemungkinan terjadinya korosi pada peralatan yang digunakan akan dapat memperpanjang waktu penggunaan peralatan tersebut, disamping itu juga akan menurunkan biaya perawatan dan perbaikan suatu peralatan.

BAKTERI PENYEBAB KOROSI


Bila kita amati pada pola transportasi BBM mulai dari unit pengolahan sampai ke tanki penimbun, terlihat banyak kemungkinan masuknya mikroba tersebut ke dalam BBM dan akan tumbuh dengan baik pada bagian sambungan berbentuk T dan Y flange, dll. Mikroba yang sangat berbahaya adalah bakteri, karena pada lingkungan yang sesuai akan sangat cepat berkembang biak dan sangat mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan kondisi fisis, kimiawi dan biologis dari lingkungannya. Sedangkan berdasarkan lingkungan hidupnya, bakteri dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu : 1. Bakteri anaerobik, adalah bakteri yang dalam kehidupannya tidak membutuhkan oksigen 2. Bakteri aerobik, adalah bakteri yang dalam kehidupannya membutuhkan oksigen. Senyawa oksigen yang diperlukan tersebut digunakan oleh bakteri untuk mengoksidasi hydrogen, unsur organik ataupun anorganik. Kenyataannya, bakteri jenis anaerobik dan aerobik dapat hidup saling membantu, karena itu bakteri tersebut berpengaruh pada proses bio-korosi secara bersama-sama. Bakteri yang berperan pada proses korosi biasanya bakteri pereduksi sulfat (SRB), bakteri belerang, bakteri besi, dan bakteri mangan. Jenis logam yang dapat diserang oleh bakteri pada kondisi tertentu dapat ditunjukkan oleh Tabel 2 sebagai berikut [8] :

A-38

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tabel 2 : Hubungan kondisi lingkungan terhadap jenis logam yang diseran oleh spesies bakteri Species pH Suhu Kebutuhan Jenis logam yang diserang oksigen (C) Desulfovibrio 4-8 10 - 40 Anaerobic Besi dan baja, stainless steel, desulfuricans Al, Zn, dan paduan tembaga Desulfotomaculum 68 10 - 40 Anaerobic Besi dan baja, stainless steel nigrificans atau Clostridium Desulfomonas 10 - 40 Anaerobic Besi dan baja Thiobacillus 0,5 -8 10 - 40 Aerobic Besi dan baja, paduan thioxidans tembaga, beton Thiobacillus 17 10 - 40 Aerobic Besi dan baja ferrooxidans Gallionela 7 10 20 - 40 Aerobic Besi dan baja, stainless steel Sphaerotilus 7 10 20 - 40 Aerobic Besi dan baja, stainless steel Pseudomonas 49 20 - 40 Aerobic Besi dan baja, stainless steel P.aeruginosa 4-8 20 - 40 Aerobic Paduan aluminium

MEKANISME PROSES BIO-KOROSI


Proses pengkaratan yang terjadi dapat dipengaruhi kedua macam bakteri tersebut, mekanisme pengkaratannya dapat diuraikan sebagai berikut : Bio-korosi oleh bakteri aerobik Bakteri aerobik ini membutuhkan oksigen untuk kehidupannya, jadi bio-korosi yang disebabkan oleh jeis bakteri ini tejadi pada dinding luar pipa, baik berada dalam tanah yang porous maupun di lingkungan atmosperis. Bakteri yang berpengaruh pada proses pengkaratan tersebut diantaranya adalah bakteri besi, bakteri pengoksida belerang (SOB) ataupun sulfo bacteria. Bakteri besi akan mengoksidasi ion ferro menjadi ferri dan mengendapkannya sebagai Fe(OH) 3 seperti ditunjukan pada reaksi (1), selain itu dapat membentuk lender di permukaan pipa bagian dalam yang mana kondisi tersebut baik untuk berkembang biaknya bakteria anaerobik [9]. Reaksi pengkaratannya dapat ditunjukkan pada reaksi berikut : 4 Fe++ + O 2 + 2 H2 O + 8 OH- 4 Fe(OH) 3 (1)

Bakteri besi ini akan ikut mengendap dalam Fe(OH) 3 yang berwarna merah coklat atau dalam bentuk lender. Apabila kondisi ini dibiarkan, lama kelamaan endapan tersebut menjadi banyak dan pada akhirnya akan mengakibatkan penyumbatan (clogging) pada jaringan pipa distribusi. Jenis bakteri yang masuk dalam kelompok bakteri besi adalah Spaerotulis sp, Clonothrix sp, Chrenothrix sp, dan Gallionella sp. Bakteri pengoksidasi belerang (SOB), bakteri jenis ini merubah belerang (S) ataupun hydrogen sulfide (H2 S) menjadi asam sulfat (H2 SO4). Proses oksidasi oleh bakteri-bakteri ini berlangsung dalam lingkungan aerob, asam sulfat yang terbentuk akan menyerang logam (besi, baja, tembaga, atau seng) dengan reaksi seperti (2) dan (3) sbb : 4 FeSO 4 + 4 H2 O 4 H2 SO 4 + 4 Fe + O 2 4 FeSO 4 + O 2 + 6 H2 O 4 FeOOH + 4 H2 SO 4 (2) (3)

Bio-korosi oleh bakteri anaerobik Ada beberapa jenis bakteri anaerobik yang menyebabkan bio-korosi, tapi di dalam jaringan pipa BBM sering hanya ditemukan jenis bakteri pereduksi sulfat. Menurut teroi C.A.H. Von Wolzogen Kuhr, bahwa reaksi kimia yang terjadi pada proses bio-korosi dapat berlangsung terutama pada daerah lembab atau berair, seperti pada permukaan bagian dalam jaringan pipa distribusi BBM [10]. Dari berbagai jenis bakteri anaerob yang dianggap paling banyak menimbulkan korosi adalah Sulphate Reducing Bacteria (SRB). Bakteri SRB dapat hidup di bawah deposit, lendir dan lain-lain. Spesies terpenting dari SRB adalah Desulfovibrio desulfuricans [11, 14]. Bakteri ini dapat merubah atau mereduksi senyawa sulfat (SO 4 ), protein-protein yang mengandung sulfur dan lain-lainnya menjadi hydrogen sulfide (H2 S). Senyawa hydrogen sulfide ini bersifat korosif, karena dapat bereaksi dengan logam (Fe) menjadi Ferro sulfide (FeS) seperti pada reaksi (7) yang berwarna hitam dalam bentuk karat. Hal ini dapat ditunjukkan oleh reaksi sebagai berikut [12] :

A-39

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Pelarutan besi di anoda : 4 Fe 4 Fe++ + 8 e8 H2 O 8 H+ + OHDepolarisasi katoda oleh bakteri SRB : 8 H + H2 SO 4 4 H2 O + H2 S Produk korosi : FeS + 2 H+ Fe++ + H2 S ++ 3 Fe + 6 OH 3 Fe(OH) 2 Reaksi keseluruhan : 4 Fe++ + SO 4 = + 4 H2 O FeS + 3 Fe(OH) 2 + 2 OH-

(4) (5) (6) (7) (8) (9)

Bakteri Desulfovibrio dapat tumbuh dengan baik pada kondisi anaerob, kondisi lain yang juga berpengaruh adalah temperature dan pH lingkungan yang sesuai. Pada umumnya bakteri genus ini tidak memiliki bentuk yang tahan terhadap panas dan sangat sensitif terhadap pemanasan selama 5 menit pada suhu 100C. Temperatur optimum utuk pertumbuhan Desulfovibrio berkiasar antara 25-35C, tetapi masih dapat bertahan sampai temperatur antara 55-60C, sedangkan pH optimum antara 5,5 sampai 8,5. Biasanya korosi yang disebabkan oleh aktivitas bakteri pereduksi sulfat berbentuk lobang-lobang halus yang dalam (pitting corrosion), dan lama kelamaan akan mengakibatkan kebocoran pada jaringan pipa distribusi.

PENANGGULANGAN BIO-KOROSI
Usaha untuk mencegah terjadinya bio-korosi telah banyak dilakukan, tetapi semua usaha tersebut hanya bersifat pencegahan ataupun mengurasi laju bio-korosi. Kerugian pada jaringan pipa distribusi BBM akibat adanya aktivitas bakteri yang berupa penyumbatan dan kebocoran, dapat diperkecil dengan berbagai cara, yaitu : Pemilihan bahan Salah satu cara pengendalian korosi yang paling mudah yaitu dengan membaca dari table yang berisi hubungan antara jenis bahan versus laju korosi untuk lingkungan tertentu. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah sifat-sifat bahan, seperti : kekuatan, ketahanan, dan lain sebagainya. Disamping itu tentunya juga harus diperhatikan pula faktor biaya, faktor mobilisasi, dll. Logam yang tahan korosi harganya cukup mahal, atau dipilih bahan yang harganya murah, tetapi diperlukan beberapa tambahan perlakuan, sehingga dapat memenuhi syarat untuk jangka waktu pemakaian tertentu. Mengubah kondisi lingkungan Bila jaringan pipa distribusi yang tertanam dalam tanah yang banyak mengandung belerang dan kehidupan bakteri pereduksi sulfat. Tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan cara aerasi, biasanya dilakukan dengan pemberian kerikil pada dasar jaringan pipa distribusi tersebut. Hunter (1948), Morgan (1949), dan Anderson (1947) telah melakukan pencegahan bio-korosi dengan memodifikasi tanah basa/asam. Ternyata cara ini cukup efektif. Biosida Menambahkan bahan pembunuh mikroba (biosida) yang tepat ke dalam bahan bakar minyak (BBM). Apabila pemberian senyawa biosida tersebut tidak pada batas-batas maksimum, maka dimungkinkan dapat mengakibatkan penurunan kualitas BBM. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah jenis biosida, konsentrasi, dan frekuensi [13]. Proteksi katodik Pengendalian korosi dengan cara ini banyak dilakukan khususnya pada jaringan pipa yang terbuat dari baja karbon. Prinsip kerja pengendaliannya ialah menurunkan potensial logam terhadap lingkungannya sampai pada potensial proteksi. Penurunan potensial ini dapat dilakukan dengan metoda Anoda korban (Sacrifical anode) atau metoda arus yang dipaksakan (Impressed current). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu sitem katodik adalah (a). Kriteria proteksi yaitu potensial tertinggi logam setelah diproteksi dan (b). Keperluan arus proteksi yaitu besarnya arus yang diperlukan untuk mempolarisasi logam agar potensialnya menjadi sama atau di bawah kriteria proteksi. Keperluan arus proteksi untuk baja telanjang dalam tanah yang mengandung bakteri pereduksi sulfat ( 450 mA/m2) lebih besar dari tanah yang bersifat asam (50-160 mA/m2), sedangkan baja dengan lapis pelindung polyethylene 4 mm membutuhkan arus proteksi sebesar 0,001 0,01 mA/m2 [15]. Proteksi katodik berfungsi sebagai pelengkap yang sifatnya wajib, karena tanpa adanya proteksi ini bahaya korosi sumuran akan sangat berbahaya. Lapisan pelindung (coating) Pada umumnya lapis pelindung dapat berupa cat yang merupakan campuran antara pigmen dengan media pengikat (binder), dan proses pengeringannya secara oksidasi, polimerisasi ataupun penguapan. Untuk memperoleh sifat perlindungan sempurna, perlu diperhatikan teknik pengecatannya. Bagian yang terpenting dari sistim pengecatan adalah kualiatas kebersihan dari permukaan. Lapis pelindung yang biasa dipakai untuk keperluan pipa yang ditanam dalam tanah adalah Bituminous coal tar enamels (AWWA C-203). Biasanya setelah pemberian lapis pelindung dilanjutkan A-40

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

dengan pembalut plastik (plastic wrapping) seperti polyester, polyethylene, polyvinyl chloride (PVC), Epoxies dan Phenolicsm hal tersebut dimaksutkan agar pipa dapat terhindar dari serangan korosi yang diakibatkan oleh bakteri maupun air dan oksigen yang ada di dalam tanah. Atas dasar pertimbangan perbandingan biaya dan keuntungan, kemudian aplikasi dan efektivitas pengendalian korosi, maka penanggulangan bio-korosi untuk pipa-pipa yang ditanam di dalam tanah adalah cara (5). Dari pengalaman yang ada, untuk jaringan pipa distribusi BBM cara (5) ditambah dengan cara (4) adalah cara yang paling tepat. Kesimpulan 1. Bila dilihat dari keadaan lingkungan di Indonesia, dimana suhu kelembaban udara dan curah hujan cukup tinggi, maka dapat diperkirakan bahwa laju korosi jaringan pipa dalam tanah cukup tinggi, hal ini akan lebih parah apabila pipa tersebut tidak diberikan suaru proteksi. 2. Korosi yang terjadi pada pipa distribusi BBM dalam tanah dapat disebabkan oleh adanya air, oksigen dan bakteri yang ada dalam BBM, juga korosivitas tanah dan adanya bakteri dalam tanah. Khususnya bakteri pereduksi sulphat dengan spesies Desulfovibrio desulfuricans. 3. Kombinasi antara metoda proteksi katodik dengan lapis pelindung zat organik akan memberikan proteksi yang optimal untuk jaringan pipa distribusi BBM.

Daftar Rujukan
[1] ., 200 juta rakyat terus mengkonsumsi BBM, Warta Pertamina, ISSN.0125-9377, No.12 Thn. XXXIII/Mei, 19, 1998. [2]. Indyah Nurdyastuti, Pemanfaatan dan Peranan Mikroba Ditinjau dari Berbabgai Segi, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), ISSN.0126-6569, No.XXXIX, 52, 1990. [3]. Noegroho Hadi Hs, Pengamatan Biokorosi pada Tanki Penimbun BBM, Lembaran Publikasi Lemigas, No.4, 35, 1984. [4]. R.James Ladrum, Fundamentals of Designing for Corrosion Control, 210, National Association of Corrosion Engineers (NACE), Houston, Texas, 1992. [5]. N.D.Tomashov and Y.N.Mikhailovsky, Corrosion, 15, 77t, 1959. [6]. G.H.Booth, Microbiological Corrosion, 46-49, M&B Monographs CE/1, Mills & Bon, London, 1971. [7]. M.Romanoff, Underground Corrosion, Circ.579, U.S.National Bureau of Standart. [8]. Jones, Denny A, Principles and Prevention of Corrosion, 373-374, Macmillan Publishing Company, New York, 1991. [9]. C.Von Wolzogen Kuhr, Corrosion, 17, 293 t, 1961. [10]. Herbert H.Uhlig and R.Winston Revie, Corriosion and Corrosion Control, 93, John Wiley & Sons, New York, 1991. [11]. A.K.Tiller, Biologically Induced Corrosion, 8, S.C, Dexter, NACE, Houston, 1986. [12]. Jastrzebski, Zbigniew D, Nature and Properties of Engineering Materials, 5th ed, John Wiley & Sons, New York, 1966. [13]. Ronald M.Silversten and Spencer D.Curtis, Cooling Water, Chem.Eng., 92, August 9, 1971. [14]. D. Supriyatman, Sulfate Reducing Bacteria-A Potential Culprit of Microbiologically Influenced Corrosion : Total Indonesian Mitigation Experience, The 10th Asia Pasific Corrosion Control Conference Bali, 1, 1997. [15]. .., Korosi dan Perlindungannya, Materi Pelatihan, Pusdiklat PT. Krakatau Steel Jurusan Teknik Mesin ITB, 26, Cilegon, 1993.

A-41

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-42

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pembuatan Gasohol untuk Memperbaiki Kualitas Emisi Gas Buang Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
M.Syahri*, Gogot Haryono, Resty M. dan Vina W.P Prodi Teknik Kimia UPN Veteran Yogyakarta Jl.SWK 104 (Lingkar Utara) Condongcatur 55283, Telp.(0274)486733, Fax. 486400 *korespondensi: syahri@upnyk.co.id Abstrak Bahan bakar premium (bensin) yang umumnya dipakai kendaraan bermotor menimbulkan berbagai macam polusi yang menyebabkan dampak negatif bagi kesehatan maupun lingkungan masyarakat. Bahkan dapat mmenyebabkan pemanasan global yang salah satunya disebabkan adanya peningkatan jumlah emisi gas buang. Fenomena ini menunjukan bahwa pemakaian bahan bakar premium memberikan dampak yang negatif terhadap kualitas lingkungan. Alternatif penggunaan bahan bakar premium dicampur dengan zat aditif yang bisa mengurangi emisi gas buang perlu dikembangkan. Etanol dengan kemurnian tinggi (99,6%) merupakan zat aditif potensial yang dapat dicampur dengan premium menjadi gasohol (BE). Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pembuatan gasohol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan sekaligus menurunkan kandungan emisi gas buang. Pada penelitian ini dilakukan dengan metode proses distilasi vakum dan diikuti adsorpsi zeolit untuk meningkatkan kadar etanol dari 96% menjadi 99.6%. Hasil yang diperoleh pada tekanan vakum 660 mmHg, temperature 53 C dan indeks bias larutan etanol 1,3611 (98% etanol) dan setelah proses adsorsi dengan zeolit memberikan indeks biasnya 1,3598 (99,6 % etanol). Variabel yang digunakan adalah penambahan volume etanol 99.6%-v sebanyak (5%v; 10%v; 15%v) terhadap volume premium yang selanjutnya diberi notasi berturut-turut BE5; BE10 dan BE15. Hasil uji emisi dengan BE5 (9.42% CO2 ; 1.37% CO ; 938 ppm HC), BE10 (9.08% CO2; 0.91% CO; 865 ppm HC), dan BE15 (8.87% CO2; 0.88% CO ; 860 ppm HC). Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa penambahan konsentrasi etanol 99.6%v sebanyak 15%v dan premium ( BE15) merupakan hasil yang memberikan kualitas emisi gas buang kendaraan bermotor lebih baik dari pada ketentuan yang berlaku. Kata-kata kunci: PENDAHULUAN Bahan bakar fosil yang umum dipakai kendaraan bermotor adalah bahan bakar cair, seperti premium (bensin). Penggunaan premium telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pemanasan global juga disebabkan karena peningkatan jumlah emisi gas buang. Semula, bensin ditingkatkan angka oktannya dengan menambahkan TEL (Tetra Ethyl Lead) dan TML (Tetra Methyl Lead). Kelemahan TEL dan TML yaitu dapat menimbulkan emisi gas buang yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Kemudian dilakukan beberapa penelitian untuk pengganti TEL dan TML yaitu MTBE (Methyl Tertery Buthyl Ether). Tetapi, kelarutan MTBE dalam air tinggi, sehingga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia yang bersifat karsinogenik (zat penyebab penyakit kanker). Beberapa penelitian tentang bahan aditif bahan bakar yaitu metanol dan etanol. Metanol dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan etanol dalam hal peningkatan angka oktan, namun metanol tidak dapat dipakai karena sifatnya yang korosif yang berbahaya bagi mesin. Sedangkan etanol adalah bahan yang ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan emisi gas racun, sehingga campuran bensin-etanol (BE) atau gasohol secara langsung akan mengurangi emisi gas berbahaya (Ward,O.P, 2002). Etanol sebagai aditif bahan bakar, kemurniannya harus mencapai minimal 99.6%-v. Sedangkan etanol yang ada dipasaran terbanyak berkadar 96%-v. Untuk meningkatkan kadar etanol tersebut dapat dilakukan dengan proses destilasi (destilasi vakum), molecular sieves, membrane. Dalam penelitian ini dilakukan metode destilasi vakum dan proses adsorbsi hasil distilat menggunakan adsorben zeolit. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembuatan gasohol sebagai bahan bakar untuk peningkatan kualitas gas buang kendaraan bermotor dengan variabel penambahan etanol 99.6%-v (5%v; 10%v ; 15%v). METODOLOGI PENELITIAN Bahan Baku dan Bahan Pembantu Bensin (Premium) diperoleh dari SPBU dijalan Babarsari Yogyakarta sebagai bahan baku dengan jumlah yang tetap untuk seluruh percobaan. Bahan pembantunya adalah : Etanol 96% ; Zeolit Alam dan Asam Sulfat 0,1 N ( pengaktifan zeolit)

A-43

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Peralatan Penelitian Alat-alat yang digunakan adalah alat distilasi-adsorpsi, alat motor pembakar dan alat-alat uji emisi gas buang.

3 11 1 2

5 4 6 7

Keterangan : 1. Waterbath 2. Labu leher tiga 3. Manometer 4. Termometer 5. Pendingin balik 6. Kran 7. Erlenmeyer 8. Pompa vakum 8

Gambar 1. Rangkaian alat penelitian

PROSEDUR PENELITIAN Pengaktifan zeolit Dalam tahap ini memilih zeolit dengan luas pori-pori 3A (amstrong). Kemudian mengayak zeolit alam dengan ukuran 60 mesh dan ukuran 80 mesh. Untuk memperlancar proses penyerapan air, zeolit dikalsinasi atau dibakar. Zeolit mengandung karbon organik. Karbon perlu dihilangkan untuk meningkatkan porositas zeolit alam. Untuk menghilangkan karbon perlu pembakaran pada suhu 300oC selama 1-2 jam. Pembakaran bertujuan menghilangkan karbon organik. Zeolit alam yang semula kehijauan berubah warna menjadi cokelat muda, kemudian mengaktivasi zeolit alam, Caranya dengan merendam zeolit alam dalam larutan asam sulfat selama 3 jam. Aktivasi itu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan zeolit alam menarik air. Asam sulfat digunakan dengan konsentrasi sangat rendah. Zeolit alam kemudian direndam dalam air selama 2 jam untuk membersihkan asam sulfat. Zeolit di keringkan pada suhu 200oC hingga siap digunakan. Tahap Proses Destilasi Vakum Dalam proses ini hal pertama yang dilakukan yaitu menera ketinggian pada manometer setelah dinyalakannya pompa vakum, beda ketinggian pada pompa vakum tersebut dicatat dan dihitung berapa tekanan yang dipakai pada proses destilasi vakum tersebut dengan memperhatikan tetesan pada erlenmeyer pada suhu berapa dan dicatat sampai etanol didalam labu leher tiga tersebut habis lalu menghitung volum distilatnya. Hasil distilat tersebut dicampurkan dengan zeolit 100 gram lalu diaduk sampai 5 menit kemudian menyaring campuran zeolit tersebut, diusahakan meminimalkan berkontak dengan udara. Hasil etanol tersebut diukur direfraktometer untuk mengetahui kadar etanolnya. Melakukan hal yang sama dengan tekanan yang berbeda sampai kadar etanolnya mencapai 99,6%. Tahap Mixing (Pencampuran) / Blending Dalam tahap ini, etanol yang sudah berkadar 99.6% dicampur dengan bensin (premium) dengan perbandingan persen volume etanol sebanyak 5%, 10%, 15% . Tahap Uji Emisi Gas Buang Pengujian emisi gas buang ini dilakukan bertempat di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta. Hasil yang diuji meliputi kadar CO, CO 2 , HC dan O 2 . Pengujian emisi gas buang diukur menggunakan alat autologic gas analyzer. Pengujian ini dilakukan terlebih dahulu dengan pengujian unjuk kerja motor bensin dengan bahan bakar bensin premium murni kemudian dilanjutkan dengan pengujian unjuk kerja motor bensin dengan bahan bakar bensin dan etanol 99,6% (gasohol) dengan variabel persen volum 5% ; 10% ; 15% dimana gas buang yang dihasilkan dari mesin uji diukur untuk mengetahui kadar emisi dalam gas buang.

A-44

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Zeolit Alam

Pengayak 60 mesh

Pemanasa n 300C Pengaktifan 3 jam

Asam Sulfat 0,1

Etanol 96% Pencucian Aquades

Distilasi

Pengeringa n 200C

Adsorbsi

Zeolit aktif

Analisa 1 Uji etanol

Bensin

MIXING

Motor Pembakar Analisa 2 (Uji Emisi gas buang)

Gambar 2. Diagram alir proses penelitian HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh tekanan distilasi vakum terhadap kadar etanol pada distilasi vakum etanol. Temperatur Lingkungan : 30C Zeolit : 100 gram Volume etanol : 300 ml Tabel 1. Hasil analisis variasi tekanan destilasi vakum dengan kadar etanol Indeks Bias Kadar Volume Tekanan Temperatur Etanol (%) Distilat No. Sebelum Sesudah (mmHg) (C) (ml) dicampur dicampur 1. 760 78 148 1.3615 1.3607 97 2. 710 68 193 1.3613 1.3600 99 3. 660 53 235 1.3611 1.3598 99.6 Maka didapatkan grafik hubungan antara tekanan destilasi vakum dengan kadar etanol sebagai berikut :

A-45

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 3. Hubungan antara tekanan distilasi vakum dengan kadar etanol Dari hasil percobaan seperti terlihat pada tabel 1 dan gambar 3, untuk rentang tekanan dari 760 mmHg sampai dengan 660 mmHg menunjukan bahwa semakin kecil tekanan didapat hasil kemurnian etanol yang semakin besar. Dipilih tekanan distilasi vakum optimal 660 mmHg dengan kadar etanol naik dari 96 % menjadi sebesar 99.6 % . Hal ini disebabkan karena pada tekanan dibawah 1 atm akan memecah azeotrop campuran etanol-air sehingga dengan metode distilasi vakum dapat menurunkan tekanan atmosfir dan menghasilkan kemurnian kadar etanol yang tinggi. Tekanan dan temperatur pada distilasi vakum berbanding lurus sehingga jika tekanan diturunkan dibawah 1 atm (760 mmHg) maka temperatur juga akan semakin rendah, karena dapat menurunkan titik didih etanol. 2. Pengaruh konsentrasi volum etanol dengan kualitas emisi gas buang Temperatur Lingkungan : 30C Volume bahan bakar : 300 ml kendaraan bermotor

No. 1. 2. 3. 4.

Gasohol BE-0 BE-5 BE-10 BE-15

Tabel 2. Hasil analisis variasi konsentrasi volum etanol terhadap kualitas emisi gas buang kendaraan bermotor Konsentrasi Etanol Kadar emisi gas buang kendaraan bermotor Premium (ml) Etanol (ml) CO 2 (%) CO (%) HC (ppm) O 2 (%) 300 0 9.42 1.87 697 6.39 285 15 8.18 1.37 938 8.49 270 30 9.08 0.91 865 7.64 255 45 8.87 0.88 860 8.05

Maka didapatkan grafik hubungan konsentrasi volum etanol dengan emisi gas buang kendaraan bermotor

Gambar 4. Hubungan antara emisi gas buang kendaraan bermotor dengan konsentrasi volum etanol Dari data percobaan pada tabel 2 dan gambar 4 dapat dilihat bahwa kadar emisi CO 2 cenderung turun dari emisi CO 2 yang dihasilkan premium, dikarenakan semakin tinggi kadar etanol dalam campuran semakin rendah efisiensi yang dihasilkan. Rendahnya efisiensi ini merupakan akibat dari rendahnya nilai kalor bakar pada bahan bakar etanol, sehingga menyebabkan titik nyala pada mesin pembakaran dalam agak terhambat. Akibatnya pembakaran tidak

A-46

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

sempurna, sehingga kadar CO 2 menurun. Akan tetapi pada penambahan konsentrasi etanol 10 % volum mengalami kenaikan, dikarenakan mengalami pembakaran yang sempurna sehingga bahan bakar yang terbakar relatif lebih banyak dan emisi CO 2 yang dihasilkan cenderung bertambah besar. Dan dapat dilihat kadar emisi CO menurun seiring dengan meningkatnya kadar etanol dalam bensin. Dengan meningkatnya kadar etanol dalam bensin maka proses pembakaran menjadi lebih sempurna karena nilai kalor etanol lebih kecil daripada nilai kalor bensin seperti yang terdapat pada tabel 2 diatas menyebabkan kadar emisi CO menurun. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa kadar O 2 dari etanol lebih besar dari pada premium dikarenakan pada proses pembakaran pada motor bensin berlangsung pada campuran udara bahan bakar yang kaya atau adanya udara (oksigen) lebihan yang bertujuan untuk menjamin kelangsungan proses pembakaran, sehingga dalam gas buang hasil pembakaran masih mengandung O 2. Sisa O 2 gas buang dari pembakaran gasohol BE-5, BE-10, dan BE-15 lebih besar dari pada premium, hal ini karena kandungan oksigen yang terikat langsung pada senyawa bahan bakar etanol.

Gambar 5. Hubungan antara emisi HC dengan konsentrasi etanol Dari gambar 5 dapat dilihat bahwa jumlah emisi HC yang lebih besar pada premium jika dibandingkan terhadap etanol disebabkan karena premium mempunyai senyawa berat yang jumlah ikatan rantai karbon yang lebih panjang jika dibandingkan dengan etanol. Hal ini juga disebabkan karena pembakaran yang tidak sempurna didalam silinder. Etanol yang memiliki ikatan OH didalam susunan molekulnya membuat pembakaran bahan bakar semakin sempurna. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dipilih hasil optimal dengan penambahan konsentrasi etanol 99.6%-v sebanyak BE15. Dengan uji emisi parameter CO 2 , CO, HC, dan O 2 yaitu B15 (8.87% ; 0.88% ; 860ppm ; 8.05%). Karena semakin banyak penambahan konsentrasi etanol terhadap premium maka semakin turun emisi gas buangnya. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses pemurnian etanol dapat dilakukan melalui proses destilasi vakum dan pengadukan dengan zeolit, dari etanol 96% menjadi 99,6%. 2. Kadar etanol meningkat dengan tekanan optimal 660 mmHg dengan suhu 53 C dan volume distilat yang dihasilkan 235 ml. 3. Kadar etanol meningkat dengan indeks bias optimal dari 1.3611 sebelum pengadukan dengan zeolit menjadi 1.3598 setelah pengadukan. 4. Berdasarkan hasil uji emisi gas buang motor bakar bensin, bahan bakar gasohol BE5 ; BE10 dan BE15 menghasilkan emisi gas buang yang lebih baik dari pada premium. Dimana kadar CO 2 dan CO yang dihasilkan oleh mesin berbahan bakar gasohol rendah serta kadar HC dan O 2 tinggi. 5. Berdasarkan hasil uji emisi tersebut dapat terlihat semakin banyak etanol yang ditambahkan maka semakin berkurang emisi gas buangnya. 6. Penggunaan bahan bakar campuran premium-etanol (gasohol BE5 ; BE10 ; BE15) dapat berdampak pada pengurangan emisi gas buang, sehingga mendorong terciptanya pemanfaatan energi yang ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
[1]. Anonim,2007. Bioethanol. http://www.energi.lipi.go.id/bioetanol. [2]. Bhaskara Rao,B.K., Modern Petroleum Refinery Processes.Oxford and Lbh Publishing Co. New Delhi, Bombay, Calcuta [3]. Hardjono,1987, Diktat Teknologi Minyak Bumi I Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta

A-47

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

[4]. Sulistia, D. 2009. Pemurnian Etanol Untuk Bahan Bakar.Pusat Penelitian Kimia-LIPI ,Tangerang [6]. http://www.scribd.com/doc/7801112/Destilasi-Uap (Diakses pada hari selasa tanggal 19/04/2011 pukul 02.10) [7]. http://www.fuadbachsin.wordpress.com/Emisi gas buang (Diakses pada hari sabtu tanggal 09/06/2011 pukul 00.24) [8]. http://id.wikipedia.org/wiki/Adsorpsi (Diakses pada hari sabtu tanggal 09/06/2011 pukul 00.50) [9]. http://www.scribd.com/doc/13743587/Destilasi. (Diakses pada 6 maret 2012 pukul 22.00) [10]. http://www.acehforum.or.id/showthread.php?t=12478&page=1. (Diakses 6 maret 2012 pukul 22.30) [11]. Indartono,Y. 2003. Bioetanol Alternatif Energi Terbarukan : Kajian Prestasi Mesin dan Implementasi di Lapangan. http://www.energi.lipi.go.id. [12]. Nurhasmawaty, P. 2004. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. [13]. Rahman, A.1992. Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta. [14]. Siemmen, M.J et al. in "Natural Zeolite, occurence,properties and uses", Pergamon Press, Oxford, (1978) Breck, D.W., "Zeolite Molecular Sieves", John Willey Interscience, New York, (1974) [15]. Ward, O. P. & Singh, A. 2002. Bioethanol Technology : Development and Perspectives, Advanles in Applied Microbiology.

A-48

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengurangan Kadar Air dalam Limbah Cair yang Mengandung Lignin Menggunakan Falling Film Evaporator (FFE)
Mukhtar Ghozali*, Ahmad Hafidz dan Yusup Anwar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung (Polban) Jl. Gegerkalong Hilir, Ciwaruga Bandung, Telp./Fax. : 022.2016403 *E-mail : muhtar_2008@yahoo.com Abstrak Industri pulp dan kertas umumnya menghasilkan limbah cair yang disebut lindi hitam . Limbah cair ini mengandung senyawa lignin. Kadar lignin dalam lindi hitam mencapai 5 % pada proses soda, 13 % pada proses soda antrakinon, dan 15 % pada proses sulfat. Lignin dalam limbah tersebut cukup berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar boiler. Untuk itu perlu dilakukan pengurangan kadar air pada lignin dari limbah lindi hitam tersebut. Salah satu caranya adalah dengan melakukan evaporasi menggunakan falling film evaporator. Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan evaporasi menggunakan satu kolom falling film evaporator, tetapi hasil yang diperoleh belum maksimal, maka digunakanlah dua kolom falling film evaporator. Proses evaporasi ini dilakukan dengan memvariasikan beberapa kondisi operasi, yaitu temperatur pemanas masuk 100, 105, 110, 115, dan 120oC, laju alir umpan masuk 600, 480, 300 ml/ jam, dan tekanan vakum 900, 800, 700, 600 mBar. Dari berbagai variasi tersebut, diperoleh kondisi operasi terbaik dari peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu pada temperatur pemanas 120oC, laju alir umpan 300 ml/ jam, dan tekanan vakum 700 mBar. Penentuan tersebut berdasarkan kondisi operasi yang menghasilkan produk dengan densitas dan viskositas paling tinggi, serta kadar air yang paling rendah. Produk lignin pekat yang dihasilkan pada kondisi terbaik ini memiliki kadar air 73,9 %, densitas 1,228 g/mL, dan viskositas 8 cP. Nilai koefisien perpindahan panas total untuk alat yang digunakan dalam penelitian berkisar antara 104,21 128,90 W/m2.K dan nilai kalor lignin pekat yang diperoleh adalah sekitar 1141 kJ/kg. Kata-kata kunci : pulp, lindi hitam, lignin, evaporasi/FFE, kadar air, kalor. Abstract Pulp and paper industry produce wastewater that was known as black liquor. This wastewater contains many compounds most of which is lignin. Lignin concentration in the black liquor reached 5% in the process of soda, 13% in the process of soda antraquinon, and 15% in the process of sulphate. Lignin in this wastewater is potential to be used as the boiler fuel mixture. Therefore, water concentration of the black liquor needs to be reduced. One of the methods is by evaporation using falling film evaporator. In the previous research, evaporation was carried out in single column falling film evaporator, but the results was not maximal yet, then was used two-column falling film evaporator. The process of this evaporation was carried out by carrying several operation conditions that is temperature of heater of 100o, 115 o and 120oC, feed flow rate of 600, 480, and 300 mL/hour, and the vacuum pressure of 900, 800, 700, and 600 mBar. The best operation condition of the equipment used in this research was temperature of heater of 120 oC, feed flow rate of 300 ml/hour, and the vacum pressure of 700 mBar. This determination was based on the operation condition that produced the thick lignin that was produced in this best condition had water concentration of 73,9 %, the density of 1,228 g/mL, and the viscosity of 8 cP. The overall heat-transfer coefficient of the equipment that was used in this research was between 104,21 128,90 of W/m2K. In this research the heating value lignin was 1141 kJ/kg. Keywords: pulp, lindi hitam, lignin, evaporasi/FFE, kadar air, kalor.

A-49

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

PENDAHULUAN
Air buangan/limbah cair dari proses pembuatan bubur kertas (pulp) umumnya mengandung beberapa senyawa anorganik (garam) dan organik (lignin) yang dikenal lindi hitam (black liquour). Lignin merupakan polimer alam yang mempunyai struktur amorph dari fenil propan (propil benzen) dan memiliki rumus kimia C 9 H12 (Hawley, 1981). Kadar lignin dalam limbah cair tergantung dari proses yang diterapkan. Pada proses soda, kadarlignin dalam limbah cair sekitar 5 % (Manurung dan Winner,1991). Lindi hitam yang dihasilkan oleh industri pulp di Indonesia (tahun 2004) diperkirakan mencapai lebih dari 2,3 juta ton/tahun (Santoso, 2004), sehingga perlu difikirkan untuk pengambilan kembali (recovery) senyawa lignin tersebut. Lignin berupa larutan pekat berwarna coklat mengandung senyawa karbon (50-67 %) yang dapat dimanfaatkan salah satunya adalah sebagai sumber energi (Ariandipraja dan Sumarno,1997), yaitu sebagai salah satu alternatif campuran bahan bakar boiler. Nilai kalor relatif cukup besar, yaitu sekitar 26.900 kJ/kg (Grace, 1987). Manfaat lain lignin adalah sebagai bahan dispersan dan deflokulan, drilling fluid additive, bahan batteray expander, stabilisasi emulsi aspal, sumber fenol dan vanilin lainnya. Lindi hitam diumpankan melalui bagian atas evaporator, kemudian mengalir ke bawah melalui dinding kolom, diperoleh larutan pekat di bagian bawah yang mengandung lignin dan cairan kondensat di bagian atas. Metode evaporasi yang digunakan adalah jenis Falling Film Evaporator (FFE).Kelebihan penerapan metode FFE ini adalah waktu tinggal yang relatif singkat, beban penguapannya tinggi, penggunaan temperatur relatif rendah dan cocok untuk memekatkan cairan yang viskos (Mc Cabe, 1991). Dalam penelitian sebelumnya, Risya dan Ronny (2003) menggunakan 1 (satu) kolom evaporator dengan kondisi optimum temperatur pemanas 100 oC, tekanan vakum 70 mBar dan laju alir umpan 503 ml/jam serta densitas lignin sekitar antara 1,099 g/mL. Untuk memperolah lignin dengan kadar air yang lebih rendah, dilakukan upaya pengurangan kadar air dengan menggunakan 2 (dua) kolom evaporator. METODOLODI Tahap persiapan Tahap persiapan meliputi perangkaian alat evaporasi jenis FFE yang dilengkapi dengan unit pemanas (heater), cooler dan unit vacuum, kemudian dilanjutkan dengan analisis awal terhadap umpan (densitas , kadar air, viskositas dan kadar lignin).

Gambar 1. Rangkaian Peralatan Falling Film Evaporator (FFE). Tahap Penelitian Penelitian utama ini terdiri dari tahapan penentuan kondisi terbaik pada tekanan 1 atm dan pengambilan lignin pada kondisi terbaik dengan tekanan vakum. a. Penentuan Kondisi Terbaik pada Tekanan Atmosfer Di tahap ini, proses evaporasi dilakukan pada temperatur pemanas masuk yang divariasikan 100, 105, 110, 115, dan 120 oC dan laju alir umpan yang divariasikan 600, 480 dan 300 ml/jam. Kemudian diperoleh kondisi temperatur pemanas masuk dan laju alir umpan yang menghasilkan produk/larutan pekat (di aliran bawah) dengan densitas dan viskositas paling tinggiserta kadar air paling rendah. Beberapa data yang diambil pada tahap ini meliputi laju alir umpan masuk (mL/jam), temperatur pemanas masuk dan keluar (oC), temperatur umpan masuk dan keluar (oC), volume kondensat (mL) dan volume produk bawah (mL).

A-50

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

b.

Pemekatan Kadar Lignin pada Tekanan Vakum Setelah didapat kondisi temperatur pemanas masuk dan laju alir umpan masuk terbaik pada tekanan atmosfer, selanjutnya pada kondisi tersebut dilakukan kembali evaporasi dengan memvariasikan tekanan vakum 900, 800, 700, dan 600 mBar.

Tahap Analisa Pada tahap analisa ini dilakukan penentuan sifat fisik dari hasil produk bawah yang berupa larutan pekat (warna coklat) yang mengandung sejumlah tertentu senyawa lignin.
Perangkaian Alat Persiapan
Analisis Awal Kadar Air Densitas Viskositas

Percobaan (Proses FFE) Cooler

Kalibrasi Laju Umpan Belum Pekat

Alir

Variasi P )

(Temperatur Alir

Kondensat

Hasil Pekat

Variasi (Laju U )

Proses utama Prosessamping

Analisis

recycle

Kondisi Temperatur dan Laju Alir Terbaik

Kadar air Densitas Viskositas Kalor

Gambar 2. Diagram alir proses pemekatan lignin dengan FFE pada tekanan atmosfer.
Umpan

Proses
Cooler

Variasi

Tekanan

Kondensat

Hasil Pekat

Proses utama Prosessamping Recycle

Analisis

Kadar air Densitas Viskositas Kalor

Gambar 3. Skema aliran proses pemekatan lignin dengan FFE pada tekanan vakum.

A-51

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Temperatur Terhadap Kondensat


Semakin tinggi temperatur pemanas, jumlah kondensat yang dihasilkan semakin bertambah, peningkatan temperatur menyebabkan nilai laju perpindahan panas semakin besar, sehingga jumlah air yang teruapkan juga semakin banyak. Hal ini terlihat bahwa dari temperatur 100 oC sampai 120 oC, kondensat (dalam persen) semakin bertambah. Untuk laju alir umpan 300 mL/jam dan temperatur 120 oC, kondensat yang dihasilkan paling besar dibanding laju alir 480 mL/jam dan 600 mL/jam.

Gambar 4. Kurva pengaruh temperatur terhadap kondensat.

B. Pengaruh Temperatur Terhadap Kadar Air


Pada temperatur pemanas yang sama, laju alir umpan berbeda, kadar air dalam produk cenderung semakin berkurang untuk laju alir umpan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin rendah laju alir, maka kontak antara pemanas dan umpan semakin lama, waktu tinggal umpan dalam kolom semakin lama, sehingga jumlah air yang teruapkan semakin banyak. Proses evaporasi pada temperatur pemanas 100o, 105o, 110odan 115 oC dan laju alir 300 mL/jam, penurunan kadar air dalam produk bawah. Pada temperatur 120 oC dan laju alir 300 mL/jam terjadi penurunan kadar air dari kondisi awal (umpan) 98,2 % menjadi 85,7 % (produk). Hal ini dikarenakan pada temperatur 120 oC dan laju alir 300 mL/jam panas yang diserap oleh umpan lebih besar.

C. Pengaruh Temperatur Terhadap Densitas Produk


1,08 1,07 1,06 1,05 1,04 1,03 1,02 1,01 1 0,99 0 50 100 Temperatur Pemanas (oC) 150

Densitas (gr/ml)

600 ml/jam 480 ml/jam 300 ml/jam

Gambar 5. Kurva pengaruh temperatur terhadap densitas produk. Semakin tinggi temperatur pemanas, densitas produk bawah juga semakin meningkat. Kenaikan densitas ini berkaitan dengan kandungan air pada produk yang semakin rendah dengan semakin tingginya temperatur pemanas. Laju alir umpan juga mempengaruhi densitas produk. Pada temperatur yang sama tetapi laju alir umpan berbeda, densitas produk akan cenderung meningkat pada laju alir umpan yang lebih rendah. Hasil densitas paling tinggi diperoleh pada kondisi temperatur pemanas masuk 120 oC dan laju alir umpan 300 mL/jam.

D. Pengaruh Temperatur Terhadap Viskositas Produk


Dari hasil pengamatan tersebut, dapat diketahui bahwa pada tahap penentuan kondisi temperatur pemanas dan laju alir umpan terbaik didapat pada kondisi temperatur pemanas 120 oC, dan laju alir umpan 300 mL/jam, yang menghasilkan produk bawah atalu larutan pekat yang mengandung lignin dengan densitas 1,068 g/mL atau kadar air sekitar 85,7 % dan viskositas sekitar 3,3 cP. A-52

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

4 Viscositas (cP) 3 2 1 0 0 50 100 150 Temperatur (oC) Gambar 6. Kurva pengaruh temperatur terhadap viskositas produk. 600 ml/jam 480 ml/jam 300 ml/jam

E. Pengaruh Tekanan Operasi Terhadap Kadar Air


90 85 80 75 70 0 500 1000 1500 Tekanan operasi (mBar) Gambar 7. Kurva pengaruh tekanan operasi terhadap kadar air. Semakin rendah tekanan operasi (tekanan semakin vakum), maka kadar air produk (bawah) semakin rendah. Kadar air paling rendah diperoleh pada tekanan operasi 700 mBar dengan nilai kadar air sebesar 73,9 %. Kadar air (%)

Series1 Poly. (Series1)

F. Pengaruh Tekanan Operasi Teradap Densitas dan Viskositas


Dengan meningkatnya kadar air, nilai densitas produk cenderung menurun dengan semakin tingginya tekanan operasi. Nilai densitas paling tinggi diperoleh pada tekanan operasi 700 mBar, yaitu sebesar 1,228 g/mL. Begitu juga dengan nilai viskositas, yang berbanding lurus dengan nilai densitas, semakin besar tekanan operasi, viskositas produk semakin menurun. Viskositas paling tinggi diperoleh pada tekanan operasi 700 mBar, yaitu sebesar 8 cP (di bagian G berikut). 1,25 1,2 1,15 1,1 1,05 0 500 1000 1500 Tekanan Operasi (mBar) 10 8 6 4 2 0 0 500 1000 1500 Tekanan Operasi (mbar)

Densitas (mg/l)

Series1 Poly. (Series1)

Viskositas (cp)

Series1 Poly. (Series1)

Gambar 8. Kurva pengaruh tekanan operasi terhadap Gambar 9. Kurva pengaruh tekanan operasi densitas. terhadap viskositas. Dari pengamatan dan analisis yang telah dilakukan, proses pengurangan kadar air dalam campuran air dan lignin yang menggunakan falling film evaporator(FFE),kondisi operasi paling baik pada temperatur 120 oC, laju alir umpan 300 mL/jam dan tekanan operasi 700 mBar.

A-53

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

G. Nilai Kalor Lignin

Gambar 10. Kurva pengaruh tekananan operasi terhadap nilai kalor. Dari grafik terlihat bahwa nilai kalor lignin yang paling besar dihasilkan pada saat tekanan operasi 700 mBar, yaitu sebesar 1.141 kJ/kg. Pada tekanan operasi 1000 mBar dan 900 mBar, lignin yang dihasilkan tidak memiliki nilai kalor, karena proses penguapan pada tekanan ini kurang maksimal, menyebabkan kandungan air pada produk masih cukup banyak. Pada tekanan 600 mBar, nilai kalor lignin 1070 kJ/kg,kadar air bertambah besar, nilai densitas, viskositas dan kalor lignin juga turun. Hal ini terjadi karena pada tekanan 600 mBar tersebut, tekanan dalam kolom terlalu vakum, sedangkan temperatur pemanas tetap, mengakibatkan pemanasan dalam kolom terlalu besar, sehingga kadar padatan mengerak dan tertinggal di sekitar dinding kolom. Kerak ini akan menghambat perpindahan panas dari pemanas ke lignin, menyebabkan terjadinya penurunan penguapan, sehingga kadar air dalam produk bawah meningkat kembali dan nilai densitas, viskositas, serta kalor lignin menjadi berkurang/turun.

H. Koefisien Perpindahan Panas Total

Dari hasil perhitungan, nilai koefisien perpindahan panas total (U) berkisar antara 104,21-128,90 W/m2.K. Nilai koefisien yang bervariasi menunjukkan perbedaan perpindahan panas pada setiap run yang berpengaruh terhadap proses penguapan. Nilai koefisien perpindahan panas yang besar menunjukkan daya hantar panas besar menyebabkan proses penguapan berlangsung lebih maksimal. Sebaliknya, koefisien perpindahan panas total relative kecil menunjukkan bahwa daya hantar panasnya relatif kurang menyebabkan proses penguapan berjalan kurang maksimal.

I. Luas Permukaan Kontak (A)


Luas pemukaan kontak yang dihitung merupakan luas permukaan kontak yang dibutuhkan untuk mentransfer energi yang berasal dari pemanas kelarutan umpan. Luas permukaan kontak bervariasi antara 0,064-0,292 m2. Bila dibandingkan dengan nilai luas permukaan kontak alat yang sebesar 0,1256 m2, luas permukaan kontak hasil perhitungan sekitar 1-3 kali lebih besar. Adanya perbedaan ini menunjukkan bahwa selama proses evaporasi relatif banyak energi (panas) yang hilang ke lingkungan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa luas permukaan kontak untuk FFE tersebut relatif kurang besar untuk menghasilkan perpindahan panas yang maksimal, sehingga kondensat yang dihasilkan kurang maksimal. Dengan luas permukaan alat 0,1256 m2 , pada kondisi operasi terbaik temperatur pemanas 120 oC, laju alir umpan 300 mL/ jam, dan tekanan operasi 700 mBar, selama selama 1 (satu) jam hanya diperoleh kondensat sekitar 268 mL. KESIMPULAN 1. Kondisi operasi terbaik untuk pengurangan kadar air dalam limbah industri kertas yang mengandung lignin adalah pada temperatur pemanas 120 oC, laju alir umpan 300 mL/jam dan tekanan operasi 700 mBar. 2. Dengan menggunakan falling film evaporator, kadar air dalam limbah cair yang mengandung lignin berkurang sekitar 25 % (awal sebesar 98,4 % berkurang menjadi 73,9 %). 3. Densitas dan viskositas produk meningkat masing-masing dari 0,9988 g/mL menjadi 1,228 g/mL dan dari 1,1 cP menjadi 8 cP. 4. Koefisien perpindahan panas keseluruhan (Uo ) padafalling film evaporatorberkisar antara 104,2-128,9 W/m2.K 5. Produk larutan pekat (8 cP) yang dihasilkan mempunyai nilai kalor sebesar 1.141 kJ/kg. SARAN 1. Untuk menghindari terjadinya kehilangan panas yang cukup besar maka pada bagian luar kolom falling film evaporator penggunaan isolasi perlu dipertebal atau dengan penggunaan isolator yang lebih baik 2. Untuk mendapatkan kondensat yang lebih besar, maka perlu penambahan kipas (wiper) agar penguapan dapat berlangsung lebih maksimal. 3. Untuk mengetahui kondisi penguapan dalam kolom perlu adanya kurva kesetimbangan lignin. A-54

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

4.

Perlu pengkajian lebih lanjut mengenai susunan evaporator apabila menggunakan lebih dari satu kolom evaporator serta spesifikasi alat falling film evaporator agar proses pemisahannya berlangsung lebih baik.

UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Jurusan Teknik Kimia Polban yang telah menyediakan beberapa fasilitas terutama laboratorium Pilot Plant dan laboratorium Instrumen Analisa, para teknisi/analis, pihak industri kertas yang telah menyediakan sampel air limbah (yang mengandung lignin) dan berbagai pihak yang telah membantu atau berkontribusi dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Ariandipraja, Dondi dan Sumarno. 1997. Penggunaan Kembali Lindi Hitam pada Pemasakan Proses Kraft Proses (tidak diterbitkan). Akademi Teknologi Pulp dan Kertas Bandung. [2] Falling Film Evaporator.www.google.com/image/fallingfilmevaporatior.html [3] Geankoplis, Christi J. 1993. Transport Processes and Unit Operations,Third Edition. New Jersy: Prentice-Hall, Inc. [4] Grace, TM. 1987. Black Liqour Evaporator, Pulp and Paper Manufacture Vol.5 Alkalied Pulping Edisi 3.John Text Communite. [5] Hawley, G.G. 1981. The Condensed Chemical Dictionary. United State: Van Nostrand Reinhold Company. [6] Isroi. 2008. Karakteristik Lignin (Online).www.wordpress.com/isroi/karakteristik lignin.html [7] Lignin. www.wikipediaindonesia.com [8] McCabe, Warren L, dkk. 1991. Operasi Teknik Kimia Jilid 1. Jakarta : Erlangga [9] Prastiyo, Yudo dan Daiswan. 1996. Tinjauan Masalah Proses Evaporasi Lindi Hitam Dan Alternatif Sistem Pengendalian (tidak diterbitkan). Akademi Teknologi Pulp dan Kertas Bandung. [10] Risya, Bilqis Hanifah dan Ronny Yulianto. 2003. Pengambilan Kembali Lignin dari Limbah Cair dengan Metode Falling Film Evaporator Tunggal (tidak diterbitkan). Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung. [11] Santoso, Adi. 2005. Pemanfaatan Lignin dari Lindi Hitam untuk Pembuatan Kopolimer Lignin Resorsinol Formaldehida sebagai Perekat Kayu Lamina. Jurnal Penelitian Hasil hutan Vol. 22(3) 2004: 143-154: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. [12] Taufiq, Manurung dan Winner. 1991. Ultrafiltarsi Lindi Hitam Kayu Albisia Falcataria dari Proses SodaAntrakinon (tidak diterbitkan). Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani.

A-55

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-56

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Alpukat (Persea gratissima) Menggunakan Katalis CaO
Nancy Siti Djenar*, Bintang IM, Ayu W, Eka PI Politeknik Negeri Bandung Jln. Gegerkalong-Ds. Ciwaruga Kotak Pos 6468 BDCB Bandung Telp/Fax: 022-2016403 *Email : nancysitidjenar@yahoo.com Abstrak Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif terbarukan yang dibuat dari minyak nabati. Dalam penelitian ini, minyak nabati yang digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah minyak biji alpukat (Persea gratissima) yang diperoleh dari hasil ekstraksi menggunakan pelarut nHeksana pada suhu 65C. Tujuan dari penelitian ini adalah uji coba produksi biodiesel dari minyak biji alpukat (Persea gratissima) melalui transesterifikasi secara batch menggunakan katalis heterogen kalsium oksida (CaO). Transesterifikasi dilakukan pada suhu 60C dengan waktu proses selama 1 jam dengan perbandingan molar minyak dan metanol 1:6 serta variasi konsentrasi katalis CaO yaitu 2 dan 6%/b-minyak. Berdasarkan hasil analisis fisika dan kimianya kondisi optimum transesterifikasi adalah pada suhu 60C dengan rasio molar antara minyak dengan metanol 1:6 selama 1 jam dengan katalis CaO 6%/b-minyak. Sifat fisika dan kimia biodiesel yang diperoleh memiliki pH 7, massa jenis (40C) 0,863 g/cm3, viskositas kinematik (40C) 2,405 cSt, heating value 34,674 J/kg, %FFA 1,03%, angka asam 2,04 mg KOH/g, kandungan metil ester 48,02%, dan angka yang tidak tersabunkan 21,99% dengan yield 0,2953 g biodiesel/g minyak. Berdasarkan perolehan di atas maka biodiesel yang dihasilkan dari kondisi optimumnya mendekati Syarat Mutu Biodiesel Indonesia. Kata-kata kunci : Transesterifikasi, minyak biji alpukat, katalis heterogen,kalsium oksida (CaO) Abstract Biodiesel is a renewable alternative fuel, which is promising to be developed, one of which was made from vegetable oil. In this research, the biodiesel was made from avocado seed (Persea gratissima) oil extracted from the seed using n-Hexane as solvent, at temperature of 65C. The research aims to do preliminary study on biodiesel production from avocado seed oil (Persea gratissima) by batch transesterification using heterogeneous catalyst of calcium oxide (CaO). Transesterification process was carried out at 60C and reaction time 1 hour, the molar ratio of oil to methanol of 1:6, CaO concentration varied by 2 and 6%/w-oil. Based on its physical and chemical analysis, the optimum condition of transesterification at 60C resulted from the molar ratio of oil to methanol of 1:6 of reaction time 1 hour with CaO catalyst concentration of 6%/w oil. Physical and chemical properties of biodiesel resulted from the optimum condition was pH of 7, density on 40C of 0.8630 g/cm3, kinematic viscocity (40C) of 2.405cSt, heating value of 34.674 J/kg, %FFA (free fatty acid) of 1.03 %, acid value of 2.04 mg KOH/g, methyl ester content of 48.02%, unsaponifiable number of 21.99% and yield of 0,2953 g biodiesel/g oil. By considering those data, the biodiesel produced almost reached the quality Standard of Biodiesel in Indonesia. Keywords : Transesterification ,avocado seed oil , heterogeneous catalyst, calcium oxide (CaO) PENDAHULUAN
Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang mempunyai beberapa keunggulan diantaranya mudah digunakan, ramah lingkungan (biodegradable), tidak beracun, bebas dari logam berat seperti sulfur dan senyawa aromatik serta mempunyai titik nyala yang lebih tinggi daripada petroleum diesel sehingga lebih aman jika disimpan dan digunakan. Biodiesel yang berasal dari minyak nabati dikenal sebagai VOME (Vegetable Oil Metil Ester) dan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui karena umumnya dapat diekstrak dari berbagai hasil produk pertanian dan perkebunan (Kreatif Energi Indonesia, 2006). Di Amerika Serikat dan Eropa, biodiesel dapat berasal dari lemak A-57

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

minyak nabati. Tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber minyak nabati untuk dijadikan bioenergi diantaranya tanaman alpukat dalam hal ini biji Alpukat (Persea gratissima). Pemilihan biji alpukat sebagai salah satu sumber minyak nabati karena kandungan minyaknya relatif tinggi dibandingkan tanaman lain yaitu sekitar 2638 liter/ha dalam 2217 kg/ha. Sedangkan tanaman seperti jarak adalah 1590 kg/ha : 1892 liter/ha dan bunga matahari 800 kg/ha : 925 liter/ha. Selain itu bahan bakar ini lebih ekonomis dan ramah lingkungan karena kadar belerang dalam minyak tersebut kurang dari 15 ppm, sehingga pembakaran berlangsung sempurna dengan dampak emisi CO, CO 2 serta polusi udara yang rendah (Sofia, 2006). Terdapat beberapa penelitian yang mendukung penggunaan minyak biji alpukat sebagai bahan baku biodiesel. Diantaranya adalah The National Biodiesel Foundation (NBF)(1994) yang menyebutkan bahwa alpukat mengandung lemak nabati yang tersusun dari senyawa alkil ester dengan komposisi yang sama dengan bahan bakar diesel. Selain itu angka setananya lebih baik dibandingkan dengan solar sehingga gas buangnya lebih ramah lingkungan (Sofia, 2006). Pembuatan biodiesel dari biji alpukat telah dilakukan pula oleh Widioko. (2009) dan Rachimoellah, dkk. (2009) yang menghasilkan perbandingan mol optimum antara minyak dengan metanol adalah 1:6 pada suhu 60 oC. Selain itu menghasilkan yield biodiesel yang cukup tinggi yaitu bila proses pemurniannya menggunakan pencucian basah (wet washing) menghasilkan 82,71%, sedangkan dengan pencucian kering (dry washing) sebesar 84,56%. Bila dilihat dari sifat fisik dan kimianya biodiesel dari minyak biji alpukat telah memenuhi syarat mutu biodiesel Indonesia. Selain itu minyak biji alpukat memiliki kandungan asam lemak bebas (FFA) yang rendah yaitu sekitar 0,367% sehingga sebelum transesterifikasi tidak perlu dilakukan esterifikasi terlebih dahulu. (Rachimoellah, dkk. 2009) Pada umumnya produksi biodiesel dilakukan menggunakan katalis homogen yaitu KOH atau NaOH yang memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat digunakan kembali. Selain itu dapat menghasilkan reaksi samping yang tidak diharapkan (saponifikasi), pemisahan antara katalis dan produk harus melalui berbagai tahapan sehingga meningkatkan biaya produksi. Pada katalis heterogen, seperti CaO, MgO dan CaCO 3 kelemahan diatas dapat dicegah karena kataliskatalis ini berbentuk padat, sehingga mudah dipisahkan dan dapat diperoleh kembali (recovery) melalui dekantasi dan filtrasi menggunakan alat yang sederhana (Mittelbach and Koncar, 2004:55). Dengan demikian dapat menghemat biaya produksi dan diharapkan yield yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan menggunakan katalis homogen. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menggunakan katalis CaO pada reaksi antara minyak kacang kedelai dengan metanol, dihasilkan biodiesel dengan konversi 97% selama 3 jam. CaO yang telah dipakai dapat digunakan kembali (reused) untuk 20 kali reaksi (Liu dkk, 2007 dalam Citra dan Lidya, 2008). Selain itu pada pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit dengan katalis CaO menghasilkan biodiesel dengan konversi 100% (Citra dan Lidya, 2008). Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka dilakukan penelitian dengan judul Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Biji Alpukat (Persea gratissima) Menggunakan Katalis Kalsium Oksida (CaO).

BAHAN DAN METODE


Bahan baku berupa biji alpukat dikeringkan pada suhu 110C selama 60 menit. Kemudian diekstraksi menggunakan pelarut n-heksana pada suhu 65C sebanyak 5 siklus. Selanjutnya larutan ekstrak dievaporasi pada suhu 40C dalam keadaan vakum. Pemurnian minyak dilakukan dengan cara degumming menggunakan H3 PO 4 0,8%, sedangkan pemisahan gum menggunakan sentrifuga 2500 rpm. Transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan antara minyak dengan metanol pada perbandingan mol 1:6 dan variasi CaO yaitu 2 dan 6% /b-minyak pada suhu 60C selama 1 jam. Pemurnian metil ester (biodiesel) dari metanol dengan cara distilasi pada suhu 65C. Untuk memisahkan CaO dari metil ester dan gliserol dilakukan dekantasi selama 8 jam. Sedangkan pemisahan antara metil ester dengan gliserol dilakukan dengan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 15 menit. Metil ester dimurnikan dengan pencucian kering menggunakan Na 2 SO 4 anhidrat (0,5% b/b metil ester) dan dikeringkan pada suhu 100 C. Selanjutnya ditentukan persen yield dan analisis sifat fisika dan kimia biodiesel (pH, viskositas kinematik, heating value, %FFA, angka asam, massa jenis). Skema Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Alpukat (Persea gratissima) dapat dilihat pada Gambar 1.

A-58

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar.1 Skema Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Alpukat (Persea gratissima)

A-59

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ekstraksi Minyak Biji Alpukat Ekstraksi ini dilakukan menggunakan sokhlet dengan suhu operasi 65C. Untuk memisahkan minyak dari pelarutnya dilakukan evaporasi secara vakum pada suhu 40C. Perolehan minyak biji alpukat (% bobot) hasil evaporasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perolehan Minyak Biji Alpukat (% bobot) Hasil Evaporasi Parameter Bobot biji alpukat Bobot minyak alpukat Bobot ampas Perolehan minyak alpukat kasar Satuan g g g Nilai 2750,00 106,40 2618,00 Keterangan Sebelum pemurnian Kering 3,86%

Berdasarkan Tabel 1 perolehan minyak sebesar 3,86%, dalam peneiltian ini ekstraksi hanya melalui 1 tahap tanpa menggunakan pelarut heksana yang baru. Pelarut mengalami kejenuhan, sehingga minyak dalam biji alpukat tidak dapat terekstrak seluruhnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widioko (2009) serta Setiawan (2010) menyatakan bahwa biji alpukat mengandung minyak masing-masing sebesar 18,68% dan 84%. Pengambilan minyak tersebut masingmasing dilakukan dengan cara ekstraksi kontinyu lawan arah dengan batch tiga tahap dan pengepresan. Pada ekstraksi tersebut dilakukan dalam 3 tahap masing-masing menggunakan pelarut yang baru sehingga tidak mengalami kejenuhan dan daya ekstraksi tinggi. Lama penyimpanan, umur biji alpukat dan pengotor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi warna dan persen perolehan minyak biji alpukat , hal ini berlaku umum pada minyak-minyak nabati. (Mittelbach, 2004).

Pemurnian Minyak Biji Alpukat


Pemurnian yang dilakukan adalah metode degumming. Metode ini bertujuan untuk menghilangkan pengotor seperti getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, dan air tetapi tidak menghilangkan asam lemak bebas (FFA) yang terdapat pada minyak biji alpukat (Mittlebach, 2004). Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan antara getah (gum) dengan minyak. Perolehan minyak biji alpukat hasil pemurnian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perolehan Minyak Alpukat (% bobot) Hasil Pemurnian Parameter Satuan Nilai Keterangan Bobot biji alpukat g 2750,00 Bobot minyak biji alpukat g 106,48 3,86% Bobot minyak biji alpukat hasil g 103,20 3,75% pemurnian Gum + pengotor g 3,01 Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa perolehan minyak biji alpukat hasil pemurnian 103,20 g dengan persen penurunannya sebesar 2,84 %. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa sebelum proses pemurnian, minyak masih mengandung pengotor. Minyak hasil pemurnian secara visual menjadi lebih bening yang merupakan salah satu syarat minyak dapat diolah menjadi biodiesel. Sifat fisika dan kimia minyak biji alpukat yang telah dimurnikan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik Minyak Biji Alpukat Hasil Pemurnian Nilai Parameter Satuan Hasil Penelitian penelitian Rachimoellah Massa Jenis ( suhu ruang) g/cm3 0,915 0,915-0,916 o Massa jenis (40 C) mm2/s 0,901 Viskositas 60cidophil ( suhu ruang poise 0,771 0,375 ) mm2/s 8,38 o Viskositas 60cidophil (40 C ) 1,455 1,462 Indeks bias (suhu ruang) % 0,65 0,367-0,82 % FFA mg KOH/g 1,293 5,200 Angka asam mg KOH/g minyak 131,727 246,840 Angka penyabunan

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa karakteristik minyak biji alpukat pada penelitian Rachimoellah (2009) hampir sama dengan A-60

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

penelitian yang sedang dilakukan. Perbedaannya terdapat pada viskositas kinematik (suhu ruang), angka asam dan angka penyabunan. Hal ini disebabkan pengaruh umur dan waktu penyimpanan biji alpukat yang berbeda. Pada penelitian ini biji alpukat yang telah kering disimpan selama 9 hari. Waktu penyimpanan ini akan menyebabkan reaksi enzimatis, sehingga akan meningkatkan viskositas yang cukup tinggi (Mittelbach, 2004).

Penelitian Utama
Tahap berikutnya adalah penelitian utama, yaitu pembuatan metil ester (biodiesel) dari minyak biji alpukat melalui transesterifikasi pada suhu 60C selama 1 jam (Rachimoellah, 2009). Dalam percobaan ini kalsium metoksida direaksikan dengan minyak biji alpukat murni. Kalsium metoksida dibuat dengan cara mereaksikan antara metanol dengan kalsium oksida (CaO). Jumlah CaO yang digunakan adalah 2% dan 6%/b-minyak, sedangkan perbandingan mol antara minyak dengan metanol yang digunakan adalah 1:6 (Rachimoellah,2009). Perolehan biodiesel dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Hasil Transesterifikasi Pada Perbandingan Mol 1:6 Selama 1 jam, Suhu 60oC, Dengan Variasi Katalis CaO (%-b minyak) Parameter Minyak yang digunakan (g) Metanol yang digunakan (g) CaO yang digunakan (g) Biodiesel yang dihasilkan (g) Yield biodiesel (g biodiesel/g minyak) Gliserol yang dihasilkan (g) CaO (2%-b) 39,08 27,09 0,64 9,6 0,2401 5,06 CaO (6%-b) 39,08 27,09 2,34 11,81 0,2953 2,01

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa minyak yang direaksikan dengan metanol pada jumlah yang sama, diperoleh yield biodiesel tertinggi 0,2953 gram biodiesel/gram minyak menggunakan katalis CaO 6%/b-minyak. Yield yang dihasilkan cukup rendah, hal ini dapat disebabkan adanya kandungan air yang cukup tinggi pada minyak biji alpukat. Dalam penelitian ini sebelum transesterifikasi, tidak dilakukan pengukuran kandungan air pada minyak. Pada transesterifikasi terjadi reaksi antara gugus karbonil pada molekul trigliserida (minyak) dengan gugus metoksida. Dengan adanya kandungan air pada proses tersebut, maka pembentukan metoksida tidak akan sempurna. Ketidaksempurnaan pembentukan metoksida dapat ditunjukkan saat recovery metanol yang cukup tinggi, hal ini menunjukkan metanol yang tidak bereaksi dengan CaO cukup besar. Dalam literatur disebutkan bahwa kandungan air yang kurang dari 2,8%/b-minyak akan meningkatkan aktivitas katalitik dari CaO. Sebaliknya bila lebih akan mendeaktivasi CaO (Refaat,2011). Kelebihan penggunaan katalis heterogen dibandingkan dengan katalis homogennya ialah bahwa pemisahan katalis heterogen lebih mudah dan dapat digunakan kembali. Dalam penelitian ini hal tersebut di atas sudah tercapai dengan terbentuknya tiga fasa yaitu lapisan atas adalah biodiesel, tengah gliserol dan bawah CaO. Dengan demikian CaO dapat digunakan kembali (recovery CaO). Hasil analisis sifat fisika dan kimia biodiesel menggunakan variasi konsentrasi katalis CaO (%-b) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sifat Fisika dan Kimia Biodiesel, Perbandingan Mol 1:6 Selama 1 Jam dengan Variasi Konsentrasi Katalis CaO (%-b) Parameter SNI Biodiesel CaO CaO (2%-b) (6%-b) 7 7 Netral pH 2,3 2,04 Maksimal 0,8 Angka asam (mg KOH/g) 2,868 2,405 2,3-6 Viskositas kinematik (cSt) 0,877 0,863 0,850-0,890 Massa jenis (40C) (g/cm3) 1,16 1,03 % FFA (%) Bila dilihat dari nilai angka asam dan %FFA, CaO 6% b-minyak memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan CaO 2% b-minyak. Sehingga pada penggunaan CaO 6% b-minyak menghasilkan biodiesel yang memiliki karakteristik mendekati SNI.

A-61

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Penentuan sifat fisika dan kimia biodiesel yang tertulis pada Tabel 5 tidak seluruhnya dilakukan sesuai dengan penentuan yang tertera pada Syarat Mutu Biodiesel. Dalam penelitian ini yang diuji hanya sifat fisika dan kimia biodiesel yang mewakili (representatif) penggunaannya di mesin yaitu viskositas, massa jenis, pH, kadar air, %FFA, dan angka asam. Analisis Biodiesel Karakteristik biodiesel hasil penelitian dapat dilihat berdasarkan sifat kimia dan fisika yang tercantum pada Tabel 6 dan 7. Tabel 6 Sifat Fisika dan Kimia Biodiesel menggunakan katalis CaO 6%-minyak Parameter Satuan Hasil penelitian Syarat Mutu Biodiesel 7 Netral pH mg KOH/g 2,04 Maksimal 0,8 Angka asam % 1,03 %FFA J/kg 34,674 37,100 Heating Value cSt 2,405 2,3-6 Viskositas kinematik (40C) g/cm3 0,863 0,850-0,890 Massa jenis (40C) Tabel 7 Pembandingan Sifat Fisika dan Kimia Biodiesel Berdasarkan Perbedaan Jenis Katalisnya Parameter Satuan Hasil penelitian Penelitian Syarat Mutu (katalis Rachimoellah Biodiesel heterogen) (katalis homogen) 7 7 Netral pH mg KOH/g 2,04 Maksimal 0,8 Angka asam % 1,03 Tidak tersedia %FFA J/kg 34,674 41,330 37,100 Heating Value cSt 2,405 4,9581 2,3-6 Viskositas kinematik (40C) g/cm3 0,863 0,877 0,850-0,890 Massa jenis (40C) Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa penggunaan jenis katalis yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sifat fisika dan kimia dari biodiesel yang dihasilkan. Sedangkan adanya perbedaan nilai heating value dan viskositas disebabkan oleh jumlah ikatan rangkap yang terdapat pada senyawa metil ester. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap maka heating value dan viskositasnya akan menurun. Dengan nilai viskositas yang lebih rendah maka selanjutnya akan memudahkan pemompaan pada penggunaan di mesin (Mittelbach, 2004). Kedua perbedaan tersebut ditunjukkan pada kandungan metil ester terbesar dari hasil penelitian ini yaitu metil linoleat (C19:2), sedangkan pada penelitian Rachimoellah adalah metil oleat (C19:1).

Analisis Fisika

Massa jenis biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 0,863 g/cm3 dan sudah memenuhi syarat mutu biodiesel. Nilai massa jenis menunjukkan kemurnian dari biodiesel yang dihasilkan dan dapat dilihat dari hasil analisis GC-MS yang menunjukkan kandungan metil ester sebesar 48,02% (Tabel 8). Viskositas dari biodiesel yang dihasilkan sebesar 2,405 cSt dan sudah memenuhi syarat mutu biodiesel yang berkisar antara 2,3-6,0 cSt. Perolehan nilai viskositas tersebut akan memudahkan pemompaan pemasukan bahan bakar dari tangki ke ruang bahan bakar mesin, menyebabkan atomisasi lebih mudah terjadi, dan pembakaran sempurna. Viskositas berhubungan erat dengan komposisi asam lemak. Nilainya akan meningkat dengan bertambahnya panjang rantai asam lemak dan gugus alkohol dalam biodiesel (Mittelbach, 2004) . Heating value untuk biodiesel yang dihasilkan adalah 34,6749 J/kg, mendekati syarat mutu biodiesel sebesar 37,100 J/kg. Jika dibandingkan dengan solar yang memiliki heating value 43,294 J/kg. Biodiesel yang diperoleh dari minyak

A-62

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

biji alpukat memiliki nilai yang lebih kecil. Hal ini disebabkan biodiesel masih mengandung metanol dan sejumlah ester asam lemak tak jenuh. Menurut Mittelbach (2004) panas pembakaran akan berkurang dengan meningkatnya derajat ketidakjenuhan ester-ester asam lemak dengan panjang rantai yang sama.

Analisis Kimia
Angka asam maupun %FFA merupakan indikator suatu minyak yang masih mengandung asam lemak bebas. %FFA biodiesel dari hasil perhitungan sebesar 1,03%. Hal ini berkaitan erat dengan nilai angka asamnya yaitu sebesar 2,04 mgKOH/g. Bila dibandingkan dengan standar mutu biodiesel, angka asam maksimal 0,8 mgKOH/g (Forum Biodiesel Indonesia, 2006) maka biodiesel yang dihasilkan belum memenuhi syarat mutu biodiesel. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingginya angka asam diantaranya jenis bahan baku, tingkat pemurnian minyak, pengaruh jenis katalis dan terjadinya hidrolisis pada ikatan ester ketika minyak disimpan dalam waktu yang cukup lama (Mittelbach, 2004). Angka asam atau asam lemak bebas yang terlalu tinggi menunjukkan minyak bersifat korosif dan dapat menimbulkan jelaga atau kerak di injektor mesin diesel (Dwi & Rizky, 2011). Hasil analisis komposisi kimia biodiesel dengan katalis CaO 6%-b minyak menggunakan GC-MS dapat ditunjukkan pada Gambar 2 dan Tabel 8.

Gambar 2 Kromatogram Biodiesel Menggunakan GC-MS

Tabel 8 Komposisi Kimia Biodiesel Berdasarkan Hasil Analisis GC-MS Nomor Nama Senyawa Rumus Komposisi (%) Jenis Asam Kromatogram Molekul Lemak 9 Metil palmitat C 17 H34 O 2 9,15 Jenuh 12 Metil linoleat C 19 H34 O 2 2,29 Tidak Jenuh 14 Metil linoleat C 19 H34 O 2 20,87 Tidak Jenuh 15 Metil oleat C 19 H36 O 2 14,60 Tidak Jenuh 16 Metil oleat C 19 H36 O 2 1,11 Tidak Jenuh 48,02 Jumlah 63cido ester 21,99 Jumlah bilangan yang tak tersabunkan 29,99 pengotor

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa biodiesel mengandung metil ester sebesar 48,02%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua minyak biji alpukat dapat dikonversi menjadi metil ester. Penyebab rendahnya jumlah metil ester masih adanya kandungan air dalam minyak saat transesterifikasi, sehingga pembentukan senyawa metoksida belum sempurna. Bila ditinjau dari komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuhnya, biodiesel hasil penelitian mengandung 38,87% asam lemak tak jenuh dan 9,15% asam lemak jenuh. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa minyak nabati yang dapat diolah menjadi biodiesel harus memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi karena dapat mencegah terbentuknya padatan yang akan menghambat kinerja mesin ( Hambali dan Erliza, 2007). Berdasarkan hasil analisis fisika dan kimia (Tabel 6) menunjukkan bahwa minyak biji alpukat layak digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, namun belum mencapai perolehan yang optimum. A-63

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

SIMPULAN
Penggunaan katalis heterogen kalsium oksida (CaO) dalam transesterifikasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap karakteristik biodiesel yang dihasilkan, sedangkan kelebihannya dapat digunakan kembali karena pemisahannya lebih mudah. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya minyak biji alpukat (Persea gratissima) dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Dwi & Rizky Amaliasari.2011. Kajian awal transesterifikasi minyak kemiri sunan (Aleurites trisperma) dengan menggunakan katalis herogen kalsium oksida (CaO) . Bandung: Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung. [2] Hambali, Erliza dkk.2007. Jarak pagar tanaman penghasil penghasil biodiesel. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. [3] Mittelbach, M.,Remschmidt, Claudia. 2004. Biodiesel the comprehensive handbook. Vienna: Boersedruck Ges.m.bH. [4] Rachimoellah dkk.2009. Production of biodiesel through transesterification of avocado (Persea gratissima) seed oil using base catalyst. Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh November. [5] Refaat, A. A. 2011. Biodiesel production using solid metal oxide catalyst.international Journal of Chemical Engineering. [6] Sofia.2006.sumber biodiesel di pekarangan . (online). http//www.indobiofuel.com/gratis15.php (6 Januari 2012). [7] Widioko, Septian Ardi dan Wawan rustyawan.2009. proses ekstraksi kontinyu lawan arah dengan simulasi batch tiga tahap: Pengambilan minyak biji alpukat. Semarang.Universitas Diponegoro.

A-64

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Bioplastik Poly Lactic Acid (PLA) dari Kulit Singkong dengan Variasi Jenis Bakteri Lactobacillus
Neni Damajanti*, Abdul Haris Mulyadi dan Listianingrum Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh PO Box 202 Purwokerto 53182 *Email: neni_de2000@yahoo.com Abstrak Plastik merupakan salah satu material yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun penggunaan plastik yang berasal dari minyak bumi menimbulkan dampak lingkungan yang cukup berarti, yang disebabkan oleh sifatnya yang tidak biodegradabel. Banyak penelitian dilakukan untuk mencari formula terbaik dalam pembuatan plastik biodegradabel, yang penggunaannya tidak menyebabkan polusi air, tanah dan udara. Penelitian tersebut juga berusaha mencari cara yang tepat untuk menekan harga plastik biodegradabel yang masih cukup mahal.Salah satu jenis plastik biodegradabel yang sedang dikembangkan adalah poly(lactic) acid (PLA), yang berasal dari fermentasi glukosa menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat (BAL). Penggunaan kulit singkong sebagai bahan baku diharapkan dapat menekan harga plastik biodegradabel. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan BAL yang paling banyak menghasilkan asam laktat pada kondisi fermentasi yang sama, menentukan waktu fermentasi dan konsentrasi bakteri terbaik dilihat dari kadar asam laktat yang diperoleh.Hasil penelitian menemukan bahwa Lactobacillus delbrueckii adalah BAL terbaik dalam pembentukan asam laktat dibandingkan dengan Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei. Waktu fermentasi dan konsentrasi bakteri terhadap volume media fermentasi yang menghasilkan asam laktat lebih banyak adalah 3 hari (72 jam) dan 50% (v/v). Kata-kata Kunci: bakteri Lactobacillus, asam laktat, PLA, plastik biodegradabel

PENDAHULUAN
Kulit singkong merupakan limbah hasil pengupasan pengolahan produk pangan berbahan dasar umbi singkong, jadi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh eksistensi tanaman singkong yang ada di Indonesia. Kulit singkong terkandung dalam setiap umbi singkong dan keberadaannya mencapai 16% dari berat umbi singkong tersebut (Supriyadi, 1995). Berdasarkan data BPS 2008, diketahui produksi umbi singkong pada tahun 2008 adalah sebanyak 20.8 juta ton, artinya potensi kulit singkong di Indonesia mencapai angka 3,3 juta ton/tahun. Bakteri asam laktat (BAL) terdiri dari beberapa genus bakteri gram-positif: Carnobacterium, Enterococus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weisella. BAL termasuk bakteri jenis coccus, kecuali Lactobacillus dan carnobacteria yang berupa rod, tidak dapat membentuk ATP melalui respirasi, dan mendapatkan asam laktat sebagai produk akhir utama dari konservasi energi fermentasi gula (Karin Hofvendahl, 2000:1).Sebagian besar BAL berupa bakteri anaerobic fakultatif, catalase negative, nonmotile, dan tidak membentuk spora. BAL memiliki toleransi asam tinggi dan bertahan hidup pada pH 5 atau lebih rendah. Hal ini membuat BAL memiliki kelebihan kompetitif dibanding dengan bakteri lain. Temperatur optimal untuk pertumbuhan genus-genus BAL adalah 20 hingga 450C (Karin Hofvendahl, 2000:1). Lactobacillus adalah salah satu tipe dari BAL. Terdapat banyak jenis spesies dari Lactobacillus. Lactobacillus merupakan bakteri ramah yang secara normal hidup dalam pencernaan, urinary, dan system genital kita tanpa menyebabkan penyakit. Lactobacillus juga ditemukan pada beberapa makanan fermentasi seperti yogurt dan pada suplemen diet.Dilihat dari metabolismenya, spesies Lactobacillus dapat dibagi menjadi tiga kelompok: a. Homofermentatif obligat (Kelompok I) Contoh: L. Acidophilus, L. Delbrueckii, L. Helveticus, L. Salivarius b. Heterofermentatif fakultatif (Kelompok II) Contoh: L. Casei, L. Curvatus, L. Plantarum, L. Sakei c. Heterofermentatif obligat (Kelompok III) Contoh: L. Brevis, L. Buchneri, L. Fermentum, L. Reuteri A-65

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Asam laktat merupakan asam organik multifungsi yang potensial diproduksi dalam skala besar. Pertama kali ditemukan pada 1780 oleh kimiawan berkebangsaan Swedia, Scheele (Rathin Datta et.al, 1995: 1). Pertama kali diproduksi secara komersial oleh Charles E. Avery di Littleton, Massachusett, USA pada tahun 1881. Rathin Datta et.al pada tahun 1995 mencatat produksi global asam laktat mencapai 40.000 ton/tahun. Sementara itu, perdagangan global asam laktat dan lactate (termasuk polimer) telah mencapai 100.000 ton per tahun pada 2005 dan menunjukkan tingkat pertumbuhan hampir 15%. Tujuhpuluhpersen (70 %) dari total asam laktat yang diperdagangkan digunakan dalam makanan dan pengolahan makanan sebagai pengatur pH, bahan pengawet dan agent buffer (Jin Bo, et al., 2005 dalam Rintis, 2010: 81). Gambar 1 memperlihatkan berbagai produk dari asam laktat melalui berbagai proses.

Gambar 1. Produk turunan asam laktat Asam laktat selain digunakan sebagai bahan pengawet makanan juga merupakan bahan baku (feedstock) industri polimer biodegradable, oxygenated chemicals, pengatur pertumbuhan tanaman, dan pelarut yang ramah lingkungan (Rathin Datta et.al, 1995: 1). Salah satu terapan yang paling menjanjikan dari asam laktat adalah sebagai bahan baku pembuatan PLA (poly lactic acid) yang bersifat biodegradable dan biocompatible sebagai alternatif pengganti plastik non-biodegradable yang dihasilkan dari minyak bumi, batu bara atau gas alam (Jin Bo et al., 2005; J. M Dominguez et al., 1999; Efremenko E et al., 2006 dalam Rintis, 2010: 81). Asam laktat diproduksi dengan dua cara, yaitu sintesa kimia dan fermentasi karbohidrat. Bahan baku untuk proses produksi asam laktat adalah Lactonitrile yang dapat dihasilkan dari Hidrogen Sianida yang direaksikan dengan Asetaldehid (Rintis, 2010). Sintesis kimia dari bahan petrokimia selalu menghasilkan senyawa rasemik/campuran DLasam laktat, senyawa murni D(-) atau L(+) asam laktat dapat dihasilkan melalui fermentasi microbial dari sumber daya terbarukan jika dipilih mikroorganisme tepat yang mampu menghasilkan satu jenis isomer saja (Young-Jung Wee et.al, 2006: 1). Fermentasi asam laktat telah banyak dipelajari oleh peneliti terdahulu dengan menggunakan berbagai jenis mikroorganisme, sumber karbon, sumber nitrogen, dan kondisi operasi berupa pH, suhu, serta volume dan konsentrasi inokulum. Rintis (2010) menyatakan bahwa jenis mikroorganisme yang dapat menghasilkan asam laktat adalah bakteri dan jamur. Jenis bakteri asam laktat dapat digolongkan sebagai homofermentative lactid acid bacteria karena mampu menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar, sel, dan sedikit produk samping melalui Embden-Meyerhof pathway. PLAmerupakan polyester alifatik serbaguna yang tersusun dari monomer asam laktat. PLA telah dikenal sejak thun 1932. PLA pertama kali disintesis oleh Wallace Carothers, peneliti Dupont, dengan memanaskan asam laktat pada kondisi vacuum. PLA merupakan polyester termoplastik linear yang mengandung ikatan ester dan diproduksi dari sumber yang dapat diperbaharui. Ikatan ester tersebut menyebabkan PLA dapat terdegradasi secara hidrolisis baik melalui reaksi kimia maupun secara enzimatik (Endang Warsiki, 2007: 1). Degradasi PLA dapat terjadi secara alami baik oleh panas, cahaya, dan bakteri. PLA dapat terdegradasi dalam tubuh tanpa menimbulkan efek berbahaya.Penggunaan PLA disarankan baik sebagai biodegradable (contohnya sebagai pengemas singkat) dan sebagai biokompatibel yang kontak dengan sel hidup (digunakan untuk aplikasi biomedis seperti implant, benang jahit, salut obat). PLA dapat terdegradasi melalui degradasi abiotik yang merupakan hidrolisis sederhana dari ikatan ester tanpa membutuhkan enzim atau katalis. Selama proses biodegradasi biotik, dan hanya pada tahap kedua, enzim mendegradasi residu oligomer sampai mineralisasi akhir (L. Averous, 2008: 2). PLA telah digunakan diberbagai bidang seperti jas pelindung, pengemas makanan, kantong sampah, mulch film,shrink wrap,dan rak (Young-Jung Wee et al, 2006:7). Sintesis PLA merupakan proses multi tahap yang diawali dengan produksi asam laktat sampai proses polimerisasi. Tahap intermediate seringkali berupa pembentukan laktit.Rute pertama, polimerisasi asam laktat merupakan

A-66

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

polimerisasi kondensasi untuk menghasilkan molekul dengan berat molekul rendah, plomer yang rapuh, yang pada banyak bagian adalah tidak terpakai, kecuali jika ditambahkan agen untuk meningkatkan panjang rantai polimer (L. Averous, 2008: 2). Rute kedua, merupakan kondensasi azeotropik dehidrasi asam laktat, yang menghasilkan PLA dengan berat molekul tinggi tanpa menggunakan agen. Rute ketiga, merupakan polimerisasi bukaan rantai (ringopening polymerization) dari asam laktat untuk menghasilkan PLA dengan berat molekul tinggi, dipatenkan oleh Cargill (US) pada 1992 (L. Averous, 2008: 2). Nilai berbagai parameter PLA dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai berbagai parameter PLA Parameter Berat Molekul (Daltons) Suhu Transisi Gelas (Tg, C) Titik Leleh (C) Kristalinitas (%) Yield Strength (Mpa) Elongasi (%) Kekuatan Akhir (Mpa) Kekuatan Fleksur (Mpa)
o

Nilai 100.000 300.000 55 70 130 215 10 40 49 2,5 53 88

Plastik merupakan suatu komoditi yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua peralatan atau produk yang digunakan terbuat dari plastik dan sering digunakan sebagai pengemas bahan baku. Namun, jumlah konsumsi plastik yang meningkat membuat limbah yang berbahan baku plastik meningkat pula.Hal ini dapat memberikan dampak yang tidak baik bagi kelestarian lingkungan karena plastik tidak mudah mengalami peruraian oleh mikroorganisme. Plastik konvensional, yang berasal dari turunan minyak bumi, sangat sulit diuraikan oleh mikroorganisme. Selain itu, minyak bumi juga semakin berkurang karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan plastik. Bahan petrokimia yang digunakan untuk memproduksi plastik konvensional diantaranya polietilen dan polipropilen, yang merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan sehingga memerlukan bahan alternatif penggantinya. Tabel 2 adalah perkiraan waktu daur ulang berbagai jenis sampah. Tabel 2. Waktu daur ulang berbagai jenis sampah Jenis Sampah Kaleng Alumanium Botol Plastik Popok Bayi Baterai Cangkir plastic Puntung rokok Minyak oli Kulit Jeruk Kertas Waktu daur ulang 300 tahun > 100 tahun 100 tahun 100 tahun 50 80 tahun 10 40 tahun 10 tahun 6 bulan 2 5 bulan

Beberapa jenis 67cidoph biodegradable (bioplastik/biopoliester) merupakan 67cidophil yang masih berbasis minyak bumi, seperti polycaprolactone (PCL), polyesteramide (PEA) dan poly(butylene succinate adipate) (PSBA) dari keluarga 67cidophil alifatik. Ada pula bioplastik yang murni berbasis agro (pertanian), yaitu poly(lactic acid) (PLA) dan poly (hydroxybutyrate-co-hydroxyvalerate) dari keluarga polyhydroxyalkanoate (PHA). Tabel 3menunjukkan perbandingan sifat-sifat bioplastik yang sudah diproduksi oleh beberapa 67cidop

A-67

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Tabel 3. Perbandingan sifat beberapa jenis bioplastik Properties


PLA Dow-Cargill (NatureWorks) 1.25 152 58 0-1 2050 9 100 172 50 37 13 PHBV Monsanto (Biopol D400G) HV=7 mol% 1.25 153 5 51 900 15 100 21 PCL Solway (CAPA 680) 1.11 65 -61 67 190 >500 14 100 177 51 41 11 PEA Bayer (BAK 1095) 1.07 112 -29 33 262 420 17 100 680 59 37 22 PBSA Showa (Bionolle 3000) 1.23 114 -45 41 249 >500 19 90 330 56 43 14

Density. Melting point, in C (DSC) Glass transition, in C (DSC) Cristallinity (in %) Modulus, in Mpa (NFT 51-035) Elongation at break, in % (NFT 51-035) Tensile stress at break or max., in Mpa (NFT 51-035) Biodegradation Mineralization in % Water permeability WVTR at 25 C (g/m2/day) Surface tension (g) in mN/m. gd (Dispersive component) gp (Polar component)

Plastik biodegradable atau 68cidophilu yaitu 68cidoph yang terbuat dari senyawa-senyawa yang dapat ditemui di alam. Plastik 68cidophilus68e berasal dari jenis polisakarida, misalnya pati, selulosa, agar-agar, dan karagenan serta polisakarida yang berasal dari hewan contohnya kitin dan kitosan. Pengembangan bahan 68cidoph biodegradable merupakan salah satu 68cidophilus untuk mengatasi masalah tersebut. Pengembangan bahan 68cidoph biodegradable (bioplastik) menggunakan bahan alam terbaharui (renewable resources) sangat diharapkan. Gambar 2 menunjukkan klasifikasi polimer 68cidophilus68e.

Gambar 2. Klasifikasi polimer biodegradabel A-68

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian.Penelitian ini dirancang dalam dua tahapan, fermentasi asam laktat dan pembuatan bioplastik PLA. Tahap fermentasi dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis bakteri Lactobacillus, dan pada berbagai waktu fermentasi. Hasil fermentasi dianalisis kadar asam laktatnya menggunakan cara titrasi dan bioplastik PLA diujikarakteristiknya. Bahan dan Alat.Bahan: Kulitsingkong, Lactobacillus casei, Lactobacillus 69cidophilus, Lactobacillus delbrueckii(seluruhnya merupakan kultur campuran dalam berbagai merk yoghurt, bukan kultur murni), tepungtapioca,H2 SO 4 , NaOH,indikator Phenolphtalein, dangliserol. Alat: bakpenampung, pisaupemotong, neraca, magnetic stirrer hot plate, oven, pipet volume, labuukur 500 mL dan 1000 mL, gelasukur, beaker glass,erlenmeyer,alattitrasi, danrefraktometer. Variabel.Variabel penelian terdiri dari jenis bakteri asam laktat (L. Acidophilus, L. Casei, L. Delbrueckii), waktu fermentasi (48 jam, 72 jam), dan konsentrasi bakteri terhadap media fermentasi (20%, 30%, 40%, 50%, 60%). Langkah Penelitian. a. Perlakuan bahan baku b. Hidrolisis bahan baku c. Fermentasi hidrolisat menjadi asam laktat d. Polimerisasi asam laktat e. Pembuatan plastik biodegradabel

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hidrolisa kulit singkong, didapatkan hasil berupa kadar glukosa sebesar 28 30%. Hidrolisat ini kemudian difermentasikan menggunakan bakteri Lactobacillus dengan berbagai variabel, dengan hasil sebagai berikut: Jenis Bakteri Lactobacillus Hasil dari percobaan I menunjukkan bahwa jenis bakteri Lactobacillus yang menghasilkan asam laktat terbanyak adalah Lactobacillus delbrueckii. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 3.Lactobacillus delbrueckii menghasilkan asam laktat sebesar 36%, diikuti oleh Lactobacillus acidophilus sebesar 18% dan Lactobacillus casei sebesar 13%. Seperti telah diketahui, Lactobacillus casei merupakan bakteri heterofermentatif, dimana hasil fermentasi dari bakteri ini tidak hanya menghasilkan asam laktat. Jadi, perolehan kadar asam laktat diatas sebesar 13% sesungguhnya bukan hanya terdiri atas asam laktat, karena analisisnya menggunakan cara titrasi asam basa.

40 30 20 10 0 Gambar 3. Pengaruh jenis bakteri Lactobacillus terhadap kadar asam laktat Waktu Fermentasi Hasil dari percobaan II menunjukkan bahwa waktu fermentasi terbaik Lactobacillus delbrueckii dalam menghasilkan asam laktat adalah 3 hari (72 jam). Gambar4 memperlihatkan hasil tersebut.Pada setiap konsentrasi bakteri yang dijadikan variabel, terlihat waktu fermentasi yang menghasilkan asam laktat lebih banyak adalah 3 hari (72 jam). Namun kadar asam laktat yang dihasilkan pada kedua waktu fermentasi tersebut belum menunjukkan angka yang signifikan, yaitu 45% dibandingkan 49,5% pada konsentrasi bakteri 10%, 54% dibandingkan 58,5% pada konsentrasi bakteri 15%, dan 63% dibandingkan 67,5% pada konsentrasi bakteri 20%. L. delbrueckii L. Casei L. acidophilus

A-69

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Pengaruh Waktu Fermentasi


70 60 kadar asam laktat 50 40 30 20 10 0 0% 10% 20% 30% y = 180x + 27 R = 1 y = 162x + 24,3 R = 1 fermentasi 72 jam fermentasi 48 jam Linear (fermentasi 72 jam) Linear (fermentasi 48 jam)

Gambar 4. Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar asam laktat Konsentrasi Bakteri Hasil dari percobaan III menunjukkan bahwa konsentrasi bakteri yang menghasilkan asam laktat terbanyak adalah 50% dari volume media fermentasinya (hidrolisat). Hasil ini dapat dilihat pada Gambar5.Dari gambar tersebut diketahui, bahwa konsentrasi 50% (v/v) merupakan konsentrasi bakteri kultur campuran yang menghasilkan asam laktat terbanyak, yaitu 81%. Kadar asam laktat ini terlihat signifikan perbedaannya dibandingkan dengan konsentrasi bakteri lainnya, yaitu 45% asam laktat untuk konsentrasi 20%, 40,5% asam laktat untuk konsentrasi 30%, 63% asam laktat untuk konsentrasi 40%, dan 67,5% asam laktat untuk konsentrasi 60%. Hal ini dapat dipahami, karena semakin banyak bakteri yang melakukan fermentasi tentunya akan menghasilkan kadar asam laktat yang semakin tinggi pula. Namun dari percobaan ini dapat diketahui, bahwa jika konsentrasi bakteri terus dinaikkan akan ada titik dimana bakteri mengalami kekurangan bahan makanan (tergantung dari kadar glukosanya), sehingga penambahan jumlah bakteri tidak lagi signifikan dengan kenaikan kadar asam laktat, atau bahkan mengalami penurunan.

pengaruh konsentrasi bakteri terhadap hasil fermentasi


kadar asam laktat 100 80 60 40 20 0 0% 10% 20% 30% 40% konsentrasi bakteri Gambar 5. Pengaruh konsentrasi bakteri terhadap kadar asam laktat Pembuatan Plastik Biodegradabel Pada percobaan ini, pembuatan plastik biodegradabel menemui kendala peralatan pada saat polimerisasi asam laktat. Pemanasan pada suhu 120oC disertai dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer hot plate sulit dilakukan, karena suhu tidak dapat dipertahankan stabil untuk waktu yang cukup lama (60 menit). Hasil akhir yang didapatkan masih serupa lem kering, yang kondisinya sangat rapuh dan sulit dilepaskan dari cetakannya. Hal ini menyebabkan uji biodegradabilitas tidak dapat dilaksanakan. Pada akhirnya, penelitian ini hanya dapat menjadikan pembentukan asam laktat sebagai karakter dari plastik biodegradabel PLA, dengan asumsi bahwa semakin banyak asam laktat yang terbentuk akan menjadikan plastik biodegradabel PLA memiliki kemampuan terbiodegradasi semakin baik.

y = 85,5x + 25,2 R = 0,658 50% 60% 70%

A-70

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari ketiga jenis bakteri Lactobacillus (acidophilus, casei, delbrueckii), Lactobacillus delbrueckii merupakan bakteri penghasil asam laktat terbanyak pada kondisi fermentasi 40oC dan pH 4,5 5,5. 2. Waktu fermentasi terbaik dari Lactobacillus delbrueckii untuk menghasilkan asam laktat adalah 3 hari (72 jam), namun hasil ini belum memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan waktu fermentasi 2 hari (48 jam). 3. Konsentrasi bakteri terhadap volume media fermentasi (hidrolisat) yang menghasilkan asam laktat terbanyak adalah pada 50% (v/v). Yang perlu diperhatikan adalah bakteri yang digunakan pada penelitian ini bukan merupakan kultur murni, sehingga konsentrasi bakteri yang dibutuhkan cukup besar. Hasil berbeda akan diperoleh jika fermentasi asam laktat menggunakan bakteri asam laktat (BAL) kultur murni. Saran 1. Untuk penelitian selanjutnya, perlu sekali diusahakan menggunakan bakteri kultur murni agar hasil yang diperoleh semakin baik dan memang spesifik untuk jenis bakteri tersebut. Perlu juga dipertimbangkan untuk memberikan tambahan nutrisi/vitamin bagi bakteri, agar tumbuh semakin baik. 2. Analisis asam laktat sebaiknya menggunakan high pressure liquid chromatograph (HPLC), karena metode titrasi asam basa hanya memberikan hasil kadar asam, yang belum jelas jenis asamnya. HPLC juga sebaiknya digunakan dalam menganalisis glukosa sebagai sumber makanan BAL. Namun memang analisis dengan HPLC membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Daftar Pustaka [1] Averous, L. 2008. Polylactid Acid: Synthesis, Properties, and Aplication. [2] Datta, Rathin, et al. 1995. Technological and Economic Potential of Poly(lactic acid) and Lactic Acid Derivatives. [3] Hofvendahl, Karin dan Hagerdal, Barbel Hahn. 2009. Factors Affecting the Fermentative Lactic Acid Production from Renewable Resources. Elsevier: Enzyme and Microbial Technology. [4] http://en.wikipedia.org/wiki/Lactobacillus_delbrueckii_subsp._bulgaricus. Diakses pada 8 Juni 2012 [5] http://id.wikipedia.org/wiki/Lactobacillus. Diakses pada 8 Juni 2012 [6] http://id.wikipedia.org/wiki/Lactobacillus_acidophilus. Diakses 8 Juni 2012 [7] http://iheartfoods.wordpress.com/2010/06/23/lactobacillus-casei/. Diakses 8 Juni 2012 [8] Jung Wee, Young. Nam Kim, Jin. Dan Won Ryu, Hwa. 2006. Biotechnological Production of Lactic Acid and Its Recent Applications. [9] Manfaati, Rintis. 2010. Kinetika dan Variabel Optimum Fermentasi Asam Laktat dengan Media Campuran Tepung Tapioka dan Limbah Cair Tahu oleh Rhyzopus Oryzae. Tesis. Universitas Diponegoro: Semarang. [10] Warsiki, Endang dan Farobie, Obie. Review Pembuatan Asam Polilaktat (PLA) dari Gliserol sebagai Hasil Samping Industri Biodiesel. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi LPPM IPB. Konnferensi Nasional. Jakarta: 2007.

A-71

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-72

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Penentuan Harga Pokok Produksi Kunyit Dan Produk Olahan Di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar
Nisa Rukma Toga1, Fakhrina Fahma2, Murman Budijanto3 Jurusan Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126, Indonesia Email:nicapoohan@yahoo.com1, Fakhrina09@gmail.com2, murmanbudijanto@gmail.com3 Abstract This research was conducted at the biofarmaka cluster karanganyar. This cluster produce various products i.e. Rhizome, simplisia and turmeric powder. Problems in the cluster that is still the low price of the rhizome from cluster to farmers, it is caused by cluster didnt count the cost in detail that incurred during the cultivation of turmeric period and production process. Therefore cluster needs to determine the cost of goods production for turmeric Rhizome, turmeric powder and simplicia. This research will provide a method of calculating the production goods cost by implementing full costing method. Each processes will be identified what costs are incurred. Next incurred costs are classified as the cost of raw materials, cost of labor, and factory overhead costs. Production goods cost is obtained from the summation of raw material cost, labor cost and factory overhead costs, compound interest. Pricing strategies by selling cluster can be done in various ways. Keywords:production goods cost, full costing, biofarmaka

PENDAHULUAN
Salah satu sektor usaha pertanian yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Kabupaten Karanganyar adalah tanaman obat-obatan (biofarmaka). Ada banyak jenis tanaman obat di Kabupaten Karanganyar yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan berpotensi untuk meningkatkan nilai perdagangan tanaman biofarmaka. Potensi yang tinggi ini tidak sekedar sebagai jamu, tetapi juga menjadi bahan makanan dan kosmetika. Pengembangan produk biofarmaka ini dapat meningkatkan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak). Pengolahan rimpang menjadi simplisia mempunyai nilai tambah sebesar 715 kali (Departemen Pertanian, 2007). Untuk membantu pengembangan produk biofarmaka, pemerintah Kabupaten Karanganyar membentuk Klaster biofarmaka yang terletak di desa Sambirejo Kecamatan Jumantono.Klaster ini bertujuan untuk menghimpun kelompok-kelompok tani tanaman obat agar bersatu, guyub dan akhirnya mempunyai nilai tawar dan nilai tambah dalam usahanya.Dengan adanya klaster sebagai lembaga usaha yang mewakili para petani untuk memotong rantai birokrasi penyaluran distribusi yang sebelumnya harus melalui beberapa tahapan pedagang perantara (tengkulak) yang dinilai tidak efektif dan berpotensi mengurangi pendapatan petani.Melalui klaster petani dapat langsung berbisinis dengan industri-industri jamu. Untuk saat ini klaster memberikan harga yang lebih murah dari pada harga yang diberikan oleh tengkulak.Rendahnya harga yang diberikan oleh klaster ini dapat mengurangi pendapatan panen para petani. Dengan kondisi seperti ini baik petani maupun klaster dapat menghitung dengan detail biaya-biaya yang dikeluarkan saat proses budidaya dan proses produksi. Selain itu, petani dan klaster mempunyai dasar perhitungan bagi harga produksinya.Petani dan klaster mengetahui tahapan ataupun komponen biaya produksi yang secara signifikan mempengaruhi harga pokok produksi. Sehingga klaster dan petani dapat mewujudkan tujuan dari klaster agar bersatu, guyub dan akhirnya mempunyai nilai tawar dan nilai tambah dalam usahanya, dan petani mengetahui produk apa yang potensial dalam pasar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengakajian tentang penentuan harga pokok produksi untuk rimpang kunyit, simplisia kunyit dan serbuk kunyit. Penentuan harga pokok produksi ini perlu dilakukan bagi klaster agar klaster mengetahui biaya-biaya yang dikeluarkan selama budidaya dan proses produksi. Sehingga klaster dapat memberikan harga yang sesuai kepada petani. Harga pokok produksi merupakan keseluruhan biaya produksi yang terserap ke dalam setiap unit produk yang dihasilkan perusahaan. Secara umum biaya produksi dibagi menjadi tiga elemen yaitu biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya produksi lainnya (biaya overhead pabrik). Untuk itu pengumpulan biaya produksi ditentukan oleh karakteristik proses produksi yang dihasilkan perusahaan (Wahyuningsih, 2009). Harga pokok produksi (cost of good manufactured) adalah semua biaya yang digunakan untuk membuat satu unit barang jadi yang meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik. Dalam penentuan harga pokok produksi terdapat beberapa metode yang dapat digunakan seperti activity based costing, variable costing dan full costing. Full costing memperlakukan semua biaya produksi sebagai harga pokok (product cost) tanpa memperhatikan apakah biaya tersebut variabel atau tetap. Harga pokok produksi dengan metode full costing terdiri dari A-73

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

bahan langsung, tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik tetap dan variabel.Karena full costing meliputi seluruh biaya produksi sebagai harga pokok, metode ini juga disebut metodeabsorption costing (Garrison, 2000). Menurut Rayburn (1999) dalam metode full costing, biaya overhead pabrik, baik yang berperilaku tetap maupun variabel, dibebankan kepada produk yang diproduksi atas dasar tarif yang ditentukan di muka pada kapasitas normal atau atas dasar biaya overhead pabrik sesungguhnya. Metode ini menunda pembebanan biaya overhead pabrik tetap sebagai biaya sampai saat produk yang bersangkutan dijual. Jadi biaya overhead pabrik yang terjadi, baik yang berperilaku tetap maupun yang variabel, masih dianggap sebagai aktiva (karena melekat pada persedian) sebelum persediaan tersebut dijual. Absorption costing (full costing) Biaya bahan baku Biaya tenaga kerja langsung Biaya overhead pabrik variabel Total biaya produksi variabel Biaya overhead tetap Harga produk per unit METODOLOGI PENELITIAN Tahap awal pada penelitian dimulai dengan observasi awal di klaster biofarmaka karanganyar, identifikasi masalah, pemilihan produk dan perumusan masalah. Langkah berikutnya yaitu pengumpulan dan pengolahan data yang meliputi identifikasi budidaya kunyit dan proses produksi produk olahan kunyit, identifikasi biaya yang digunakan, menghitung biaya bahan, menghitung biaya tenaga kerja, menghitung biaya overhead pabrik dan menghitung harga pokok produksi dengan metode full costing. Tahap akhir adalah analisis terhadap perhitungan harga pokok produksi dan penarikan kesimpulan.Alur metodologi penelitian ditunjukkan pada gambar 1.
Tahap Awal Mulai Observasi awal Identifikasi Biaya Identifikasi Masalah Pemilihan Produk Perumusan Masalah Menghitung Biaya Bahan Selesai Pengumpulan dan Pengolahan Data Tahap Analisis dan Kesimpulan Analisis dan Interpretasi hasil Kesimpulan

xxx xxx xxx + xxx xxx + xxx

Identifikasi budidaya kunyit dan proses produksi produk olahan kunyit

Menghitung Biaya Tenaga Kerja

Menghitung Biaya Overhead Pabrik

Menghitung Harga Pokok Produksi dengan Metode Full Costing

Gambar 1.Alur penentuan harga pokok produksi di klaster biofarmaka Karanganyar

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini tahap awal yang dilakukan yaitu mengetahui proses budidaya kunyit dan proses produksi dari simplisia kunyit dan serbuk kunyit. Dari proses budidaya dan proses produksi kemudian dilakukan identifikasi biayabiaya yang digunakan, yang selanjutnya akan dilakukan perhitungan harga pokok produksi dengan metode full costing. Proses budidaya kunyit, proses produksi simplisia dan serbuk dapat dilihat pada gambar 2.

A-74

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Mulai Persiapan Lahan Penanaman Pemeliharaan Panen Penyortiran Penyimpanan

Mulai

Persiapan Bahan baku (kunyit)

Mulai
Pencucian Pengirisan Pengeringan Pengemasan Penyimpanan

Persiapan Bahan baku (simplisia) Penggilingan Pengemasan Penyimpanan Selesai

Selesai

Selesai

(a) (b) (c) Gambar 2. (a)Proses Budidaya Kunyit (b).Proses Pembuatan Simplisia Kunyit (c). Proses Pembuatan Serbuk Kunyit a. Identifikasi Biaya Bahan baku Identifikasi biaya bahan baku meliputi penentuan bahan apa saja yang digunakan dalam budidaya kunyit dan proses produksi kunyit yang mengeluarkan biaya. Tabel 1. Biaya Bahan Baku
Produk Rimpang kunyit Biaya Bahan Baku Bibit Kunyit Pupuk Organik Simplisia Kunyit Serbuk Kunyit Rimpang Kunyit Simplisia Kunyit

b.

Identifikasi Biaya Tenaga Kerja Identifikasi biaya tenaga kerja meliputi penentuan tenaga kerja apa yang dibutuhkan dalam budidaya kunyit dan proses produksi kunyit yang mengeluarkan biaya. Tabel 2.Biaya Tenaga Kerja
Produk Rimpang kunyit Biaya Tenaga Kerja (BTK) BTK Persiapan lahan BTK Penanaman BTK Pemupukan BTK Pemeliharaan BTK Panen BTK Penyortiran Simplisia Kunyit BTK Pencucian BTK Pengirisan BTK Pengeringan BTK Pengemasan Serbuk Kunyit BTK Penggilingan BTK Pengemasan

A-75

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

c.

Identifikasi Biaya Overhead Pabrik Identifikasi biaya overhead pabrik meliputi penentuan biaya apa saja yang dibutuhkan selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja dalam budidaya dan proses produksi. Identifikasi biaya overhead pabrik dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. BiayaOverhead Pabrik
Produk Rimpang kunyit Biaya Overhead Pabrik (BOP) BOP sewa lahan BOP depresiasi keranjang BOP depresiasi karung BOP sewa gudang penyimpanan Simplisia Kunyit BOP air BOP depresiasi ember BOP depresiasi keranjang BOP depresiasi mesin perajang BOP widik BOP plastik kemasan BOP depresiasi sealer BOP depresiasi pompa air BOP listrik BOP sewa gudang penyimpanan Serbuk Kunyit BOP listrik BOP depresiasi mesin penggiling BOP depresiasi ember BOP plastik kemasan BOP sewa gudang penyimpanan BOP depresiasi sealer

d. Penentuan Harga Pokok Produksi Penentuan harga pokok pada penelitian ini berdasarkan pada metode Full Costing. Metode full costing ini memperlakukan semua biaya produksi sebagai harga pokok (product cost) tanpa memperhatikan apakah biaya tersebut variabel atau tetap. Harga pokok produksi dengan metode ini terdiri dari bahan langsung, tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik tetap dan variabel. Pada perhitungan harga pokok produksi ini total biaya ditambah dengan bunga majemuk. Tabel 4.Harga Pokok Produksi untuk Rimpang Kunyit
Biaya yang dikeluarkan Proses Persiapan lahan Penanaman Pemupukan Pemeliharaan Panen Penyortiran Penyimpanan Total biaya Bunga Majemuk Total biaya+Bunga majemuk ( a ) Biaya bahan baku Biaya tenaga Biaya Overhead kerja Lahan Rp 300,000 Rp 1,500,000 Rp 240,000 80,000 160,000 170,000 Rp 170,000 Rp Rp 195,000 205 54,889 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Jumlah 1,800,000 740,000 630,000 710,000 365,000 170,205 54,889 4,470,094 656,209.85 5,126,304.16 3,417.54

Rp 500,000 Rp Rp 550,000 Rp Rp 550,000 Rp Rp Rp

Harga Pokok Produksi per Kg (a/jumlah hasil panen) Rp

Tabel 5.Harga Pokok Produksi untuk Simplisia Kunyit

A-76

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Biaya yang dikeluarkan Proses Persiapan bahan baku Pencucian Pengirisan Pengeringan Pengemasan Penyimpanan Total biaya Bunga Majemuk Total biaya+Bunga majemuk ( a ) Biaya bahan baku Rp 341,754 Rp Rp Rp Rp 25,000 Rp 10,000 Rp 60,000 Rp 10,000 Rp Rp 524 3,146 805 7,286 Biaya tenaga kerja Biaya Overhead Pabrik Rp Rp Rp Rp Rp Jumlah 341,754 25,524 13,146 60,805 17,286 66,667 525,182 77,096.67 37,642.40

66,667 Rp Rp Rp

Rp 602,278.35

Harga Pokok Produksi per Kg (a/jumlah yang dihasilkan) Rp

Tabel 6.Harga Pokok Produksi untuk Serbuk Kunyit


Biaya yang dikeluarkan Proses Persiapan bahan baku Penggilingan Pengemasan Penyimpanan Total biaya Biaya bahan baku Rp 3,764,240 Rp Rp 135,000 Rp 15,000 Rp Rp 13 3,135 13,889 Biaya tenaga kerja Biaya Overhead Pabrik Rp Rp Rp Rp Rp Jumlah 3,764,240 135,013 18,135 13,889 3,931,276 78,625.53

Harga Pokok Produksi per Kg (a/jumlah hasil produksi) Rp

Metode full costing menentukan harga pokok produksi dengan biaya dibebankan atau dikeluarkan sejak bahan baku mulai diproses sampai produk jadi. Hasil perhitungan dengan metode full costing, harga pokok produksi untuk rimpang kunyit sebesar Rp. 3.417,54, simplisia kunyit sebesar Rp. 37.642,47, dan serbuk kunyit sebesar Rp. 78.647,60. Dari perhitungan harga pokok produksi dapat diketahui komponen biaya pada harga pokok produksi rimpang kunyit. Dari hasil perhitungan, kontribusi biaya bahan baku sebesar 31%, biaya tenaga kerja sebesar 22% dan biaya overhead lahan sebesar 34%. Pada komponen biaya-biaya tersebut, biaya yang paling berpengaruh yaitu biaya overhead lahan yakni sebesar 34% dari total biaya. Dari biaya overhead lahan, biaya yang paling besar yakni biaya sewa lahan sebesar 29% dari total biaya atau sebesar Rp. 1.500.000,-. Besarnya biaya sewa lahan ini yang paling mempengaruhi pada perhitungan harga pokok produksi kunyit. Perhitungan harga pokok produksi untuk proses produksi simplisia kunyit prosentase biaya bahan baku sebesar 56,7%, biaya tenaga kerja sebesar 17,5% dan biaya overhead lahan sebesar 13%. Perhitungan harga pokok produksi untuk proses produksi serbuk kunyit kontribusi biaya bahan baku sebesar 96 %, biaya tenaga kerja sebesar 3,81 % dan biaya overhead lahan sebesar 0,46 %. Dari komponen biaya-biaya, biaya yang paling berpengaruh yaitu biaya bahan baku yakni sebesar 96 % dari total biaya. Biaya-biaya yang digunakan dalam perhitungan harga pokok produksi ini diperoleh dari wawancara dengan pengurus dan anggota klaster dan juga berdasarkan harga pasar.Namun harga yang ada di pasar tidak selalu konstan dan selalu ada kemungkinan berubah.Oleh karena itu digunakan analisis sensitivitas untuk mengetahui seberapa jauh perubahan harga pokok produksi terhadap peningkatan atau penurunan pada biaya-biaya yang digunakan pada penentuan harga pokok produksi. Pada analisis sensitivitas ini, perubahan harga yang dilakukan yaitu peningkatan harga bahan baku sebesar 50%, 30%, dan 10% serta penurunan harga bahan baku sebesar 10%, 30% dan 50%. Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa peningkatan biaya overhead pabrik lebih berpengaruh signifikan dari pada peningkatan biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja. Biaya overhead pabrik ini lebih berpengaruh signifikan karena pada prosentase harga pokok, biaya overhead pabrik memberikan kontribusi sebesar 34 % dari total biaya. Sehingga jika terjadi kenaikan atau penurunan biaya overhead pabrik sangat mempengaruhi harga pokok produksi dari rimpang kunyit.

A-77

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Perubahan Biaya terhadap Harga Pokok Produksi Rimpang Kunyit


4500
Harga Pokok Produksi

4000 3500 3000 2500 -50% -30% -10% 0% Perubahan Biaya 10% 30% 50% BB BTK BOP

Gambar 3.Perubahan Biaya terhadap Harga Pokok Produksi Rimpang Kunyit Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa komponen biaya yang paling sensitif yakni biaya bahan baku. Peningkatan dan penurunan harga bahan baku sangat berpengaruh pada harga pokok produksi simplisia kunyit. Peningkatan dan penurunan biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik berpengaruh kecil pada harga pokok produksi. Ini dapat dilihat pada peningkatan bahan baku sebesar 50% maka harga pokok produksi menjadi Rp. 49.890,-. Sedangkan peningkatan biaya tenaga kerja 50% harga pokok produksi menjadi Rp. 41.405,- dan peningkatan biaya overhead pabrik 50% harga pokok produksi menjadi Rp. 40.453,-.
Perubahan Biaya terhadap Harga Pokok Produksi Simplisia Kunyit
60000 55000

Harga Pokok Produksi

50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 -50% -30% -10% 0% 10% 30% 50% BB BTK BOP

Perubahan Biaya

Gambar 4.Perubahan Biaya terhadap Harga Pokok Produksi Simplisia Kunyit Komponen biaya yang sensitif dari gambar 4 yaitu biaya bahan baku. Biaya bahan baku ini sangat berpengaruh pada peningkatan dan penurunan harga pokok produksi. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan bahan baku sebesar 50% maka harga pokok produksi menjadi Rp. 116.290,08. Sedangkan peningkatan biaya tenaga kerja 50% harga pokok produksi menjadi Rp. 80.147,60 dan peningkatan biaya overhead pabrik 50% harga pokok produksi menjadi Rp. 78.828,93.
Perubahan Biaya terhadap Harga Pokok Produksi Serbuk Kunyit
120000 110000 100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 -50% -30% -10% 0% 10% 30% 50%
Harga Pokok Produksi

BB BTK BOP

Perubahan Biaya

Gambar 5.Perubahan Biaya terhadap Harga Pokok Produksi Simplisia Kunyit Pada analisis proporsi biaya dan analisis sensitivitas, untuk rimpang kunyit biaya yang berpengaruh signifikan yaitu biaya overhead lahan dimana biaya sewa lahan sangat mempengaruhi harga pokok produksi. Untuk simplisia kunyit biaya yang paling berpengaruh yaitu biaya bahan baku, dan untuk serbuk kunyit biaya yang paling berpengaruh yaitu A-78

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

biaya bahan baku. Dengan tidak memperhitungjan biaya-biaya yang paling sensitive seperti biaya biaya sewa lahan, biaya sewa gudang, dan bunga majemuk. Maka harga pokok produksi jugaakan mengalami perubahan. Perubahan harga pokok produksi dapat dilihat pada tabel 7 . Tabel 7.Harga Pokok Produksi tanpa Bunga Majemuk, Biaya Sewa Lahan dan Biaya Sewa Gudang
Produk Rimpang Kunyit Simplisia Kunyit Serbuk Kunyit Harga Pokok Produksi Rp Rp Rp 1,954.14 23,677.61 50,695.96

KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan yaitu penentuan harga pokok produksi dengan menggunakan metode full costing untuk rimpang kunyit sebesar Rp. 3417,54, untuk simplisia kunyit sebesar Rp. 37.642,40 dan untuk serbuk kunyit sebesar Rp. 78.647,45. Strategi penetapan harga jual oleh klaster dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dengan tidak memperhitungkan biaya sewa, biaya sewa gudang dan bunga majemuk maka harga pokok produksi juga berubah. Selain itu, klaster dapat mengurangi biaya-biaya pada proses budidaya dan proses produksi dengan cara bekerja sama dengan litbang, pemerintah dan industri-industri jamu dalam hal modal dan fasilitasfasilitas produksi. Sehingga dalam jangka panjang klaster mampu membangun gudang dan mengakomodasi biaya sewa lahan.Sehingga pendapatan klaster meningkat, dan mampu selaras dengan harga yang ada dalam perhitungan full costing.Namun klaster dapat memilih perhitungan mana yang sesuai dengan klaster dan sesuai pada kondisi pasar saat ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Departemen Pertanian, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat Edisi Kedua. [2] Garrison, Ray H and Eric W. Noreen. 2000. Akuntansi Manajerial. Terjemahan A. [3] Totok Budisantoso, SE., Akt. Jakarta: Salemba Empat. [4] Rayburn, Letricia Gayle. 1999. Akuntansi Biaya. Jakarta : Erlangga [5] Wahyuningsih, Wiwin. 2009. Evaluasi Penentuan Harga Pokok Produksi Pada Pembuatan TahuFajar Di Jumantono. Skripsi S1. Program Sarjana. Universitas Sebelas Maret.

A-79

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-80

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Penentuan Kadar Lignin dan Natrium Bisulfit Terpakai dalam Pembuatan Sodium Lignosulfonat (SLS) dengan Metode Sulfonasi
Nur Prasetyo Ponco Nugroho Program Studi DIII Teknik Perminyakan dan Gas Bumi UNIPA Jalan Gunung Salju Amban Manokwari 98314 Papua Barat Email : nurprasetyoponconugroho@yahoo.co.id Abstrak Sodium Lignosulfonat (SLS) dibuat dengan mereaksikan lignin yang berasal dari batang tanaman dan suatu senyawa kimia, Natrium Bisulfit (NaHSO 3 ) dengan perbandingan tertentu yang tetap. Dengan mengetahui berat molekul Lignin 231 gram/mol dan berat molekul Natrium Bisulfit 104 gram/mol maka dapat diprediksikan kebutuhan Natrium Bisulfit tersedia terhadap jumlah lignin yang siap direaksikan. Data pertama yang dibutuhkan adalah kadar lignin dalam batang tanaman. Berdasarkan data kadar kandungan lignin dalam tanaman, maka dapat diprediksikan jumlah berat lignin dalam berat sampel batang tanaman tersedia. Jika berat lignin tersedia dapat diketahui, maka kebutuhan Natrium Bisulfit sebagai reaktan bisa dihitung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari perbandingan tetap jumlah reaktan yang diperlukan dalam pembuatan Sodium Lignosulfonat (SLS) sehingga pada akhirnya dapat dipastikan perbandingan tetap itu dapat dipakai dalam skala produksi untuk mendapatkan jumlah kebutuhan sesuai dengan yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan perbandingan jumlah lignin dan natrium bisulfit adalah untuk setiap 10 gram lignin akan diperlukan 4,5 gram Natrium Bisulfit dan akan menghasilkan 13,77 gram Ligninsulfonat yang dengan sedikit pemurnian maka akan dihasilkan SLS. Dengan perbandingan tetap maka akan dapat dihitung kebutuhan jumlah berat reaktan yang diperlukan untuk mendapatkan sejumlah SLS yang akan dibuat. Kata kunci : Lignin, sulfonasi, Surfaktan, Sodium Ligno Sulfonat, Enhanced Oil Recovery (EOR) Abstract Sodium lignosulfonate (SLS) is made by reacting lignin derived from the stem of the plant and Natrium Bisulfite (NaHSO 3 ) with certain fixed ratio. Knowing the molecular weight of Lignin is 231 g/mol and molecular weight of Natrium bisulfite is 104 gram/mol, therefore the need for sodium bisulfite is available on the amount of lignin that is ready to be reacted can be predicted. The first data that is required is the lignin content in plants. Based on the lignin content data in plants, thus, total weight of lignin in the available total weight stems of plants can be predicted. If the weight of lignin available can be known, then the need for sodium bisulfite as reactant can be calculated. The purpose of this study was to study the fixed ratio of reactants amounts required in the making of Sodium Lignosulfonate (SLS) which in turn can be ensured that comparisons can still be used in the production scale to obtain the necessary requirements in accordance with the needs.Based on the researchs result showed that the comparison of lignin and sodium bisulfite amount is for every 10 grams of lignin will need 4.5 grams of Nodium Bisulfite and will produce 13.77 grams Ligninsulfonat that with a bit of refining it will produce SLS. Therefore, with fixed ratio, it can be calculated the total weight need of reactants that required to obtain an amount of SLS to be made. Keywords: Lignin sulfonation, Surfactan, Sodium Ligno Sulfonat, Enhanced Oil Recovery (EOR)

Pendahuluan
Dalam dunia Perminyakan kita mengenal Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) yaitu suatu metode pengurasan minyak bumi lanjutan apabila metode pengangkatan buatan sudah tidak dapat menghasilkan fluida hidrokarbon sesuai dengan yang diharapkan. Proses EOR ini dilakukan dengan menginjeksikan sesuatu materi / bahan ke dalam formasi A-81

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

hidrokarbon dalam reservoir untuk menurunkan tegangan permukaan antar batuan reservoir yang ada. Minyak bumi yang terjebak dan tidak dapat menembus pori-pori batuan karena ada tegangan permukaan batuan yang besar akhirnya dapat melaluinya setelah pori-pori batuan itu berinteraksi dengan materi yang diinjeksikan dan tegangan permukaannya menjadi turun. Pada penelitian ini peneliti menggunakan surfaktan sebagai materi injeksi, dan surfaktan yang digunakan adalah SLS. Sodium Ligno Sulfonat (SLS) Sodium Ligno Sulfonat (SLS), pada penelitian ini merupakan surfaktan yang dibuat dengan mereaksikan lignin dan natrium bisulfit (NaHSO 3 ) dalam suatu proses sulfonasi pada sebuah autoklaf berpengaduk dan menggunakan mantel pemanas [6]. Gambar 1 di bawah ini merupakan gambar struktur kimia sodium ligosulfonat.
CH2OH H O CH SO3Na OCH3 OH

Gambar 1. Struktur Sodium Lignosulfonat [1] Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang dapat menurunkan tegangan antar muka dua fase. Surfaktan merupakan bahan kimia yang terdiri dari dua bagian yang mempunyai karakter yang berbeda. Satu bagian adalah polar dan sangat mudah larut dalam air (hidrofil) yang disebut kepala (head) dan bagian lain adalah non polar dan tidak larut dalam air (hidrofob) tetapi larut dalam minyak yang berupa rantai hidrokarbon yang panjang yang disebut ekor (tail) [6]. Hal ini yang menyebabkan dalam suatu sistem air-minyak, surfaktan akan mengikat fase air atau fase cair polar pada bagian kepala dan fase minyak atau fase cair non polar pada bagian ekor. Struktur molekul ini biasanya di sebut dengan struktur amphiphatic [4] Lignin Lignin adalah zat yang terdapat dalam kayu selain selulosa dan hemi selulosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan [9] yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda [8]. Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Pada gambar 2 ditunjukkan gambaran umum struktur penyusun lignin, gambaran ini tidak membakukan struktur lignin, karena lignin dan turunannya merupakan senyawa yang kompleks.

(1)

(2)

(3)

Gambar 2. Struktur penyusun lignin.[(1) p-kumaril 82lcohol (unit p-hidroksifenil), (2) Koniferil 82lcohol (unit guaiasil), (3) sinapil 82lcohol (unit siringil)] [3]. Komposisi Lignin dalam tanaman adalah berkisar antara 12-24,4% [5]. Tetapi berdasarkan penelitian lain, komposisi kimia beberapa tanaman yang mengandung lignin adalah seperti dalam Tabel 1. Natrium Bisulfit (NaHSO 3 ) Natrium bisulfit adalah suatau senyawa kimia yang biasanya di gunakan sebagai zat additive pada makanan pada konsentrasi yang telah di tentukan. Natrium Bisulfit, direaksikan dengan lignin yang berasal dari tanaman akan menghasilkan Lignin sulfonat melalui proses sulfonasi. Natrium bisulfit murni (100%) tidak dapat di reaksikan secara langsung dengan lignin sehingga natrium bisulfit perlu di encerkan sampai konsentrasi tertentu yang di inginkan dengan bantuan air (H2 O). [6]

A-82

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tabel 1. Komposisi kimia beberapa tanaman yang mengandung lignin Bahan Lignin (%) Kulit Kacang 30-40 Tongkol Jagung 15 Jerami Padi 18 Serat Kapas 0 Serat Kapok 13 Tandan Kosong Sawit 21,97 Kertas 0-15 Kertas Koran 18-30 Rumput 12 Sumber [2]

Proses Sulfonasi
Proses sulfonasi adalah masuknya gugus sulfonat ke dalam lignin, sehingga mampu merubah sifat hidrofilitas lignin yang kurang polar (tidak larut air) menjadi natrium lignosulfonat (SLS) yang lebih polar (larut air) [6]. Prinsip inilah yang menggambarkan natrium lignosulfonat (SLS) berperan sebagai surface active agent (surfaktan) yang berfungsi sebagai bahan aditiv dalam berbagai industri. Proses sulfonasi seperti pada gambar 3 di bawah ini.
Q
Q

+ NaHSO 3
HO

NaSO3 Q

Q OH

Q OH

Gambar 3. Proses sulfonasi, masuknya gugus sulfonat kedalam lignin [6] Landasan Teori Reaksi pembentukan sodium lignosulfonat (SLS) pada proses sulfonasi dapat didekatkan dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
CH2OH

HC

CH2OH
CH 1 6 5 4 OH 2 3 OCH3

+ NaHSO3

CH SO3Na OCH3

OH

Gambar 4. Lignin + Natrim Bisulfit

SLS

[6]

Metode Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Serat tandan kelapa sawit b) Aquadest c) Larutan natrium bisulfit 15% d) Ca(OH) 2 p.a. e) Kation exchanger f) Larutan NaOH. Sedangkan alat penelitian yang digunakan adalah autoklaf berpengaduk, motor pengaduk, pengatur kecepatan putaran pengaduk, pengukur tekanan, thermocouple, pemanas, trafometer, oven vacuum, picnometer, pH meter, spektrofotometer UV-Vis, spektro- fotometer FTIR, pompa vacum. Pembuatan SLS adalah sebagai berikut, serat tandan kelapa sawit dengan berat kering 10 gram dimasukkan ke dalam autoklaf, kemudian dimasukkan pula 100 mL larutan natrium bisulfit sesuai konsentrasi yang di tentukan (15%) ke dalam autoklaf. Selanjutnya autoklaf ditutup rapat kemudian motor pengaduk dihidupkan sambil dipanasi dengan

A-83

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

pemanas listrik. Setelah campuran mencapai suhu yang ditetapkan, suhu dipertahankan hingga variasi waktu yang diinginkan. Pada akhir proses motor pengaduk dan pemanas listrik dimatikan. Setelah dingin, hasil dipindahkan ke dalam suatu wadah, kemudian disaring dengan menggunakan pompa vakum Hasil dan Pembahasan Perhitungan Penentuan Masa Reaktan dan Masa Produk Lignin NaHSO3 + Lignin sulfonat

Bahan baku 10 gram Lignin hasil Lignifikasi. (A) (BM=231 g/mol) 100ml NaHSO 3 15%, jumlah ini 15 gram NaHSO3 (B) (BM=104 g/mol) Produck SLS, (C), (BM=318) A + 1mol B 1mol = C 1mol

Lignin sebagai pembatas A M BM Mol Neraca Keterangan Tersedia Dibutuhkan Sisa Dihasilkan 10 gram 231 g/mol 0.0433mol Lignin 10 gram 10 gram 0 + B 4.5 gram 104 g/mol 0.0433 mol NaHSO 3 15 gram 4.5 gram 10.5 gram SLS 13.77 gram = C 13.77 gram 318 g/mol 0,0433

NaHSO 3 sebagai pembatas A M BM Mol Neraca Keterangan Tersedia Dibutuhkan Sisa Dihasilkan 33,264gram 231 g/mol 0.144 mol Lignin 10 gram 33,264 gram -23,264 gram + B 15 gram 104 g/mol 0,144 mol NaHSO 3 15 gram 15 gram SLS 45,792 gram = C 45.792 gram 318 g/mol 0,144 mol

Pembahasan
Lignin sebagai pembatas Pada Penentuan jumlah reaktan dengan lignin sebagai pembatas, diasumsikan 10 gram lignin yang tersedia hasil ligninisasi (Berat molekul 231) = 0,0433 mol, maka berdasarkan persamaan reaksi : Lignin + NaHSO3 + B 1mol = Lignin sulfonat C 1mol

A 1mol

Maka akan diperlukan 0,0433 mol NaHSO 3 (BM 104) = 4,5 gram NaHSO 3 dan akan di hasilkan SLS 0,0433 mol (BM 318) sebesar 13,77 gram.

A-84

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

NaHSO 3 sebagai pembatas Pada Penentuan jumlah reaktan dengan NaHSO 3 sebagai pembatas, diasumsikan 15 gram NaHSO 3 yang tersedia sebagai reaktan (Berat molekul 104) = 0,144 mol, maka berdasarkan persamaan reaksi sama seperti di atas, maka akan diperlukan 0,144 mol Lignin (BM 231) = 33,264 gram Lignin dan akan di hasilkan SLS 0,144 mol (BM 318) sebesar 45,792 gram. Dari pembahasan dapat dipelajari Bahwa Lignin sebagai pembatas bisa direalisasikan mengingat ketersediaan lignin sebagai reaktan harus ditunjang dengan NaHSO 3 yang berlebih untuk mewujudkan reaksi heterogen ini (padatan dan cairan) dapat terjadi sebagai reaksi ireversibel (searah). Jika reaksi ini dilaksanakan dengan perbandingan yang pas (jumlah Lignin dan NaHSO 3 sesuai dengan persamaan reaksinya) maka reaksi antara kedua reaktan ini akan menjadi reaksi bolak balik (reversible reaction). Jikalau terjadi reaksi bolak balik, maka SLS yang terbentuk akan dapat terurai lagi menjadi reaktannya kembali sehingga keberadaan produk tidak akan terjadi optimal. Sedangkan jika NaHSO 3 yang dipakai sebagai pembatas maka akan diperlukan lignin dalam jumlah yang sangat banyak untuk menjadikan reaksi ini sebagai reaksi ireversibel (tidak bolak balik) karena keberadaan NaHSO 3 yang berlimpah sedangkan lignin yang jumlahnya tersedia sedikit. Reaksi antara lignin dan NaHSO 3 ini merupakan reaksi heterogen (2 fase, padat dan cairan). Reaksi heterogen merupakan reaksi yang sangat rumit dan sulit dalam penentuan kinetika reaksinya (kecepatan reaksinya), tetapi reaksi ini dapat dianggab sebagai reaksi homogen karena reaksi ini berlangsung dalam waktu yang singkat. [7]

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan


1. 2. Reaksi antara lignin dan NaHSO 3 dapat dianggab sebagai reaksi homogen karena berlangsung dalam waktu yang singkat , Untuk setiap 10 gram lignin tersedia, diperlukan 4,5 gram NaHSO 3 untuk menghasilkan 13,77 gram SLS. Sedangkan untuk setiap peningkatan jumlah produk SLS dapat dibuat dari lignin dan NaHSO 3 dengan perbandingan tetap, Dalam setiap reaksi pembentukan SLS selalu diperlukan NaHSO 3 yang berlebih dibanding jumlah kebutuhan teoritisnya, hal ini diperlukan untuk menjaga keberlangsungan reaksi agar tetap terjadi dalam kondisi reaksi searah (ireversibel reaction).

3.

Saran
Perbandingan tetap yang terjadi antara lignin, NaHSO 3 dan juga produk SLS seperti terjadi pada point 4.1.2 merupakan perbandingan reaktan dan produk dalam kondisi sebelum mengalami pemurnian. Untuk mendapatkan SLS murni masih memerlukan beberapa perlakuan lagi.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Collepardi, 2005, Chemical Admixtures Today. Proceedings of Second International Symposium on Concrete Tecnology for Sustainable February Development with EmpHasis on Infrastructure, Ponzano Veneto (Italy), 27 February-3 March 2005. Hlm 527-541 [2] Darnoko, K. Pamin dan E.G. Said., 1994, Pengaruh Perlakuan Pendahuluan terhadap Struktur Ultra Tandan Kosong Sawit, Buletin Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2(4):229-233 [3] Davin LB, Lewis NG, 2005,Lignin primary structures and dirigent sites, Curent Opinion in Biotechnology, halaman 407-415. [4] Kirk, R.E. and Othmer, D.F., 1981, Encyclopedia of Chemical Technology, Fourth edition, volume 14, 15 and 22, John Wiley & Sons., Inc., New York [5] Norakma Bt Mohd Nor, 2008, The Effects of Hydrothermal Treatment on The Physico-Chemical Properties of Oil palm Frond (OPF) Derived Hemicellulose Thesis submitted in fulfillment of the requirements for the degree of Master of Science, Kualalumpur, Malaysia. [6] Nur Prasetyo Ponco Nugroho, 2011, Pengaruh Kandungan Lignin dalam Bahan Baku dan Lamanya Waktu Reaksi dalam Pembuatan Sodium Lignosulfonat. Jurnal Istech, Vol 3, No. 2, halaman 85-90. [7] Octave Levenspiel, 1972, Chemical Reaction Engineering Second Edition, Tabel I pp-4, Wiley Eastern Private Limited, New Delhi, India. [8] Perez et al. 2002, Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview, Springer Berlin / Heidelberg, Germany. [9] Sjberg, G., 2003, Lignin degradation: Long-term effects of nitrogen addition on decomposition of forest soil organic matter. [disertasi]. Uppsala: Dep. Soil Sci. Swedish University of Agricultural Sciences.

A-85

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-86

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Analisa Pembuatan dan Karakteristik Biodiesel Nyamplung


Seno Darmanto1*, Senen1, Windu Sediono1, Zainal Abidin2, Sarwoko3, Sunarso Sugeng3 Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro1 Program Diploma III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro2 Program Diploma III Teknik Perkapalan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro3 Jln. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang 024 7471379 *Email: darmantosen@undip.ac.id ; HP: 081392488644 Abstract Production of callophylum inophylum biodiesel is done by alkaly esterification methode. The methode use methanol and NaOH as catalyst. The parameter of result is determined by level of conversion from callophylum inophylum oil to callophylum inophylum biodiesel and quality of properties of biodiesel. The research is done in laboratory where the steps of esterification process consist of selection of callophylum inophylum, treatment and determination of methanol and catalyst, temperature of operation, time, speed of mixer. And based on analyzing data show that the conversion from callophylum inophylum oil to callophylum inophylum biodiesel can reach 95%. Then testing of properties show result near qualitiy of diesel fuel where they are 5,317 mm2/s of viscosity, 54,5oC of flash point dan 8.969 calorie per gram of value of calorie. Keywords: callophylum inophylum, composition, biodiesel, property, esterification. Pendahuluan
Tanaman nyamplung (callophylum inophylum) mulai mendapat perhatian kembali secara khusus oleh pemerintah dan lembaga swadaya internasional sehubungan dengan permasalahan bahan bakar minyak yang berfluktuasi dan lingkungan (pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut). Kebijakan energi biofuel yang bersumber dari minyak nabati non pangan telah mendorong pemerintah dan lembaga internasional untuk segera mengimplementasikan penanaman kembali tanaman penghasil minyak non pangan seperti jarak pagar (jatropha curcas), kapuk randu, nimba, nyamplung, randu alas dan lain-lain (Prakoso, 2005). Tanaman nyamplung telah ditanam di lahan seluas hampir 400 ribu hektar yang tersebar di pesisir pantai Ciamis, Cilacap dan Papua. Indonesia memiliki potensi 800 ribu hektar lahan yang bisa ditanami nyamplung di wilayah dengan ketinggian 0-200 meter (Kaban, 2008). Ide awal penanaman nyamplung sebenarnya difungsikan untuk pencegahan erosi pantai di daerah ring 3 (ring 1 adalah bakau, ring 2 adalah ketapang laut) (Witjahjono, 2008) dan mendukung solusi isu pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut. Namun seiring dengan kajian dan penelitian lebih lanjut, potensi tanaman nyamplung (batang, biji dan daun) ternyata juga memberikan peluang cukup besar untuk aplikasi di industri. Potensi tanaman nyamplung cukup besar namun belum tergarap secara maksimal. Potensi manfaat tanamam nyamplung dapat digali dari batang, getah, biji, bunga dan daun. Batang tanaman nyamplung dapat digunakan untuk bahan pembuatan perahu, balok, tiang, papan lantai, papan pada bangunan perumahan dan bahan konstruksi ringan. Getah yang disadap dari batang nyamplung mengandung minyak dan mempunyai indikasi berkhasiat untuk menekan pertumbuhan virus HIV. Daun nyamplung mengandung senyawa costatolidea, saponin dan acid-acid hydrocyanic yang berkhasiat sebagai obat oles untuk sakit encok, bahan kosmetik untuk perawatan kulit, penyembuhan luka (luka bakar dan luka potong). Biji nyamplung diolah menjadi minyak dan telah dimanfaatkan untuk plitur, minyak rambut, minyak urut, obat urus-urus dan rematik. Bunganya dapat digunakan sebagai campuran untuk mengharumkan minyak rambut. Dengan berbagai potensi keunggulannya, nyampung dapat menjadi tanaman yang memberikan multifungsi dan manfaat meliputi tanaman rehabilitasi hutan dan lahan, alternatif biofuel dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat (www.mojokerto.go.id, 2008). Dan minyak nyamplung sebagai bahan bakar biofuel alternatif akan menjadi salah satu solusi mengatasi krisis bahan bakar diesel. Analisa minyak biji nyamplung untuk minyak biodiesel menunjukkan hasil relatif baik. Proses pengolahan biodiesel dari nyamplung pada prinsipnya hampir sama dengan pengolahan minyak sawit, kelapa, kapuk randu dan jarak pagar. Tahapan pengolahan biodiesel nyamplung seacara umum meliputi penghilangan kulit buah dan tempurung, pengukusan, pemisahan getah (deguming) dengan asam fosfat, esterifikasi dengan metanol (perbandingan molar metanol dengan asam lemak bebas) dan transesterifikasi. Di samping sebagai bahan baku biodiesel, biji nyamplung juga dapat diolah menjadi bio-karosen dengan proses yang lebih sederhana, sebagai alternatif pengganti minyak tanah

A-87

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

(Masyhud, 2008). Pembuatan minyak nyamplung mentah dapat dilakukan dengan mengambil biji nyamplung yang dikeluarkan dari cangkangnya (dengan bantuan palu/pisau/mesin potong), pengeringan (alami atau oven), pengilingan/penghancuran dan pengepresan (Fathur, 2008). Biji nyamplung mengandung zat ekstraktif relatif tinggi sehingga akan membutuhkan waktu proses pengukusan lebih lama. Pemisahan getah (deguming) juga dilakukan dengan konsentrasi tinggi. Beberapa kajian minyak nyamplung menunjukkan bahwa 1 kg biji nyamplung kering dengan kulit dapat menghasilkan 0,7 kg biji nyamplung tanpa kulit. Selanjutnya biji nyamplung tanpa kulit tersebut apabila diolah/ diproses akan menghasilkan rendemen 50 % -70% (Murti, 2008; Fathur, 2008). Kemudian uji pembakaran minyak nyamplung secara sederhana (pembakaran secara terbuka) menunjukkan bahwa waktu pembakaran relatif lebih lama. Waktu pembakaran bahan bakar minyak nyamplung hampir mendekati 2x (kali) waktu pembakaran minyak tanah untuk volume bahan bakar yang sama (Murti, 2008; Fathur, 2008). Pengalihan bahan bakar bersumber minyak bumi ke minyak biofuel tidak dapat secara otomatis diaplikasikan pada mesin diesel. Perbedaan sifat (properties) kedua minyak bahan bakar tersebut mempengaruhi konstruksi sistem saluran bahan bakar dan pengaturan saat pembakaran (injection timing). Kekentalan minyak biofuel lebih besar dari pada minyak diesel sehingga akan mempengaruhi laju aliran di sistem saluran bahan bakar dan formasi pengabutan bahan bakar oleh injektor. Fash point dan pour point kedua bahan bakar berbeda sehingga mempengaruhi pengaturan (setting) injeksi bahan bakar (injection dan ignation timing). Kedua bahan bakar mengandung pengotor (impurities) yang berlainan di mana bahan bakar biodiesel mengandung dan cenderung membentuk lilin (paraffin) pada temperatur rendah (kamar) sehingga perlu treatment tertentu terhadap bahan bakar biofuel untuk mencegah terbentuknya lilin di lapisan permukaan (Tyson, 2004). Bahan bakar biodisel mudah mengeras (aging) dan mengalami oksidasi (oxidation) sehingga korosi di saluran bahan bakar mudah terjadi (Stombaugh at. all., 2006; Strawn, 1995). Bahan bakar biofuel mempunyai masalah kestabilan (stability). Kestabilan bahan bakar merujuk pada 2 dua istilah yakni kestabilan dalam jangka panjang (long-term stability or aging) yang berhubungan erat dengan sifat oksidasi dan kestabilan yang berhubungan dengan temperatur/tekanan elevasi (stability at elevated temperatures and/or pressures) biasa dinamakan kestabilan termal (thermal stability) yang berhubungan dengan penurunan kualitas bahan bakar (fuel degradation) di sistem saluran terutama komponen injektor di mana efek lebih lanjut menyebabkan coking injeksi (injector coking) (Tyson, 2004). Selanjutnya pengujian bahan bakar biodiesel pada mesin diesel menunjukkan indikasi yang baik pada waktu-waktu awal namun unjuk kerja akan mengalami penurunan setelah waktu berjalan agak lama. Durability test menunjukkan bahwa mesin akan gagal operasi secara awal ketika beroperasi dengan bahan bakar campuran yang mengandung minyak tumbuhan. Apliksi bahan bakar petroleum yang dicampur dengan biodiesel di mana sifat bahan bakar petroleum cenderung membentuk endapan (deposit) dan sifat bahan bakar tumbuhan yang bisa melumasi (lubricantion ability) menyebabkan endapan bisa lepas dan bergerak/berpindah dan efek lebih lanjut dapat menyumbat saluran bahan bakar dan saringan Penelitian diarahkan pada peningkatan kuantitas produksi (konversi) dan kualitas properties bahan bakar biodiesel dengan perlakuan fisik dan kimia. Perlakuan fisik bahan bakar biodiesel diarahkan pada peningkatan kualitas properties meliputi kekentalan, titik nyala (flash point) dan titik tuang (pour point). Dalam beberapa kajian dan analisa menunjukkan bahwa proses pemanasan dapat menurunkan kekentalan, titik tuang dan titik nyala. Dan sifat properties ini berhubungan dengan dengan peningkatan temperatur. Sumber kalor tersedia cukup dan salah satunya dapat memanfaatkan kalor gas buang.

Metode Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian meliputi Minyak Nyamplung (callophylum inophylum oil), metanol, dan NaOH. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi bekker glass, gelas ukur,termometer, pipet mata, labu takar, stirer pemanas dan magnet, statip dan klem, neraca ohaus (digital), stopwacth, pengaduk dan corong pemisah Mekanisme pembuatan biodiesel nyamplung terdiri dari penyaringan, menyiapkan sodium metoksit, pemanasan dan pencampuran serta pengendapan dan pemisahan. Minyak nyamplung yang masih kotor perlu disaring terlebih dahulu agar bersih dari kotoran. Kotoran biasanya berupa serpihan nyamplung hasil pemarutan yang ikut masuk kedalam minyak nyamplung. Penyaringan yang dilakukan disini menggunakan alat yang cukup sederhana yaitu kain yang agak rapat dan bersih. Pembuatan sodium metoksit dilakukan dengan menyiapkan methanol dengan menggunakan gelas ukur yang selanjutnya dituang ke dalam labu takar yang sudah ada NaOH. Setelah NaOH dan methanol menjadi satu kemudian dikocok sampai bercampur rata. Pertama kali minyak nyamplung dituang kedalam bakker glass kemudian ditaruh di atas stirer untuk dipanaskan sampai mencapai suhu 50o C untuk pemanasan awal dan untuk menguapkan uap air. Pemanasan tersebut kira-kira selama 5-10 menit tergantung dari penyetelan pemanasnya. Setelah suhu tersebut tercapai maka larutan sodium metoksid dituangkan ke dalam minyak nyamplung sambil diaduk sampai kedua larutan tersebut menyatu sahingga secara kasab mata tidak terjadi pemisahan larutan antara minyak nyamplung dengan sodium A-88

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

metoksid. Pemanasan dan pengadukan secara merata dilakukan pada suhu 50oC (45-55o C) selama satu jam. (Handayani dkk, 2008; Darmanto, 2007; Pelly, 2005). Setelah proses pemanasan dan pencampuran selesai kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong pemisah. Di dalam corong pemisah, campuran tersebut didiamkan selama 24 jam, lebih lama lebih baik. Setelah terjadi endapan kemudian proses pemisahan dimulai yaitu dengan mengambil endapannya terlebih dahulu, di mana cairan yang di atas berupa minyak biodisel.

Hasil dan Pembahasan


Biodiesel nyamplung secara prinsip diperoleh dari reaksi transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi merupakan rekasi yang melibatkan methanol dan katalis asam dan basa. Pembuatan biodiesel nyamplung dalam penelitian ini dengan menggunakan katalis NaOH. Pembuatan biodiesel nyamplung dengan beberapa komposisi memberikan hasil atau konversi minyak nyamplung ke biodiesel nyamplung yang berbeda. Kondisi perlakuan selama pembuatan biodiesel diatur sama yakni temperatur 50oC 55oC, level kecepatan 5 dan waktu total 75 menit. Pengaturan temperatur menjadi perhatian serius mengingat minyak nyamplung lama pemanasan dan setelah kondisi panas, temperatur sulit untuk dikontrol. Kemudian waktu pembuatan terbagi 15 menit pemanasan awal dan 60 menit proses reaksi transesterifikasi. Dan pembuatan 4 (empat) komposisi biodiesel nyamplung skala laboratorium ditunjukkan di tabel 1. Tabel 1 Hasil pembuatan biodiesel nyamplung Komposisi 1 Komposisi 2 Komposisi 3 400 412,5 425 100 87,5 75 2 2 2 50-55 50-55 50-55 5 5 5 75 75 75 430 435 450 sangat sedikit sangat sedikit sedikit 86 87 90

Kondisi Minyak Nabati (ml) Methanol (ml) NaOH (gram) Temperatur Kecepatan aduk Waktu (menit) Metylester (ml) Gliserin (ml) Prosentase metylester(%)

Komposisi 4 450 50 2 50-55 5 75 475 sedikit 95

Pembuatan biodiesel nyamplung dengan komposisi 450 minyak nyamplung, 50 methanol dan 2 gram NaOH (B(450,50,2)) memberikan hasil atau konversi minyak nyamplung ke biodiesel nyamplung paling tinggi. Komposisi B(450,50,2) menghasilkan konversi biodiesel nyamplung mencapai mendekati 95%. Ukuran prosentase ini didasarkan pada volume metylester yang dihasilkan terhadap volume total (volume campuran). Volume total merupakan penjumlahan volume minyak nyamplung dan volume methanol. Dan pembuatan biodiesel nyamplung diatur bahwa penjumlahan volume minyak nyamplung dan volume methanol sebesar 500 ml. Pengamatan visual lebih lanjut terhadap biodiesel dengan komposisi B(450,50,2) menunjukkan pembentukan endapan lilin (cristal wax) lebih tinggi dari pada B(400,100,2) saat pagi hari. Pembentukan lapisan lilin juga terjadi pada biodiesel dengan komposisi B(400,100,2). Lapisan lilin pada biodiesel ini terbentuk pada malam hari dan akan menghilang pada saat siang sampai sore hari. Adanya lapisan lilin akan kurang bagus untuk proses pembakaran di mesin toral dan akan mengalami kesulitan saat pembakaran awal (starting). Pembuatan biodiesel nyamplung dengan komposisi 400 minyak nyamplung, 100 methanol dan 2 gram NaOH (B(400,100,2)) memberikan hasil atau konversi minyak nyamplung ke biodiesel nyamplung relatif lebih rendah dan stabil. Kestabilan biodiesel didasarkan pada kondisi fisik bahan bakar yang relatif konstan pada berbagai kondisi cuaca. Komposisi B(400,100,2) memberikan kondisi relatif stabil dibanding dengan biodiesel nyamplung dengan komposisi lain. Komposisi B(400,100,2) juga menghasilkan konversi biodiesel nyamplung relatif tinggi yakni mencapai 86%. Dan untuk langkah kajian dan analisa lebih lanjut, biodiesel nyamplung dengan komposisi B(400,100,2) dibuat lebih banyak untuk uji properties dan unjuk kerja di mesin diesel.

A-89

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Tabel 2.Hasil pengujian karakteristik bahan bakar biodiesel nyamplung No. Jenis Hasil pemeriksaan biodisel: Pemeri ksaan 1. Specific Gravity at 60/60 oF 2. 3. 4. Calorific value, kal/gr Flash Point PMcc, oC Viscosity Kinematic at 40 oC mm/s Metode Pemeriksaan BM 0.9398 8969 54.5 5.317 B5 44.5 3.688 B 10 0.8562 40.5 4.151 B 15 36.5

ASTM D 1298 Bom calorimetry ASTM D 93-00

4.628 ASTM D 445-07

Kajian literatur untuk sifat fisik dan kimia (properties) menunjukkan bahwa solar mempunyai nilai kalor 10.891 kal/gram, flash point 48oC dan kekentalan 3,694 mm2/s. Kekentalan bahan bakar biodiesel nyamplung cenderung lebih kental. Biodiesel nyamplung murni mempunyai kekentalan 5,317 mm2/s. Pencampuran bahan bakar biodiesel nyamplung dengan solar pada berbagai komposisi menghasilkan penurunan nilai kekentalan terhadap kekentalan bahan bakar biodiesel. Bahan bakar dengan komposisi B10 menghasilkan kekentalan 4,151 mm2/s. Nilai kekentalan bahan bakar biodiesel dengan berbagai komposisi secara lengkap ditunjukkan di tabel 5.2. Titik nyala (flash point) bahan bakar biodiesel nyamplung cenderung lebih tinggi dari pada solar. Biodiesel nyamplung murni mempunyai titik nyala (flash point) 54,5oC. Pencampuran bahan bakar biodiesel nyamplung dengan solar pada komposisi menghasilkan penurunan nilai titik flash point terhadap flash point bahan bakar biodiesel nyamplung murni. Bahan bakar dengan komposisi B10 menghasilkan fash point 40,5oC. Nilai kalor (calorific value) bahan bakar biodiesel nyamplung cenderung lebih rendah dari pada solar. Kajian literatur solar menunjukkan nilai kalor 10.891 kalori per gram. Sedangkan pengujian bahan bakar biodiesel nyamplung murni menghasilkan 8.969 kalori per gram.

Kesimpulan
Penelitian biodiesel nyamplung dengan metode transesterifikasi alkali dapat menghasilkan konversi biodiesel nyamplung mencapai 95% untuk komposisi 80% minyak nyamplung, 20% methanol dan 4 gram NaOH. Ada indikasi bahwa kestabilan biodiesel nyamplung cenderung berubah yang ditandai dengan terbentuknya deposit di bagian dasar dan lapisan film di bagaian permukaan. Selanjutnya uji karakteristik biodiesel nyamplung menunjukkan hasil yang mendekati karakteristik bahan bakar solar yakni 5,317 mm2/s untuk kekentalan, 54,5oC untuk titik nyala dan 8.969 kalori per gram untuk nilai kalor

Ucapan Terima Kasih


Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini Skim Penelitian Hibah Strategis Nasional.. Kami juga memberikan apresiasi yang sedalam-dalamnya kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik dan Program Diploma III Teknik Mesin Universitas Diponegoro yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian ini. Dan semua pihak yang telah terlibat langsung dan tidak langsung dalam penelitian ini terutama mahasiswa, teknisi dan dosen di Program Studi Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Daftar Pustaka
[1] Darmanto, S., Analisis Unjuk Kerja Mesin Diesel Dengan Bahan Bakar Biodiesel Minyak Kelapa, Vol. 3, No. 1, ISSN : 0216 8685, 2007 [2] Fathur,Energi Alternatif Dari Biji Nyamplung, Republika (05/02/2008, Indonesian Biotechnology Information Centre Jl. Raya Tajur Km. 6, PO BOX 116 Bogor-Indonesia indobic@biotrop.org, 2008. [3] Handayani, S., Darmanto, S. dan Susanti, M,Produksi Biodiesel Kapuk randu dan Uji unjuk Kerja di Mesin Diesel, laporan Penelitian Riset Unggulan Daerah Propinsi Jawa Tengah, ., 2008 [4] Humas@litbang.deptan.go.id, Prospek dan Arah Pengembangan Agrobisnis: Kelapa, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development), Jl. Ragunan 29 Pasarminggu Jakarta Selatan 12540, Indonesia, 2005 [5] Kaban, M.S,Ekonomi dan Bisnis , , ,

A-90

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

[6] Departemen Kehutanan Kembangkan nyamplung untuk Biofuel, Tempo.com Edisi 24 September 2008. [7] Murti, B.K., Dephut Tingkatkan Riset Bahan Baku Biofuel, Kamis 25 September 2008 [8] Masyhud , 2008,Biji Nyamplung Jadi Biofuel, Rabu, 26 November 2008 sumut cyber media @ all right reserved [9] Prakoso, T.,Perguruan Tinggi Minati Biodiesel, Info Penelitian, Cakrawala, Kamis 21 Juli 2005 [10] Pelly, M,Mike Pelly's biodiesel method., 2005 [11] Stombough, T., Czarena Crofchek dan Mike Montross, Biodiesel FAQ, UK Cooperative Extention Service, Universitas of Kentucky, www.ca.uky.edu, hal 1-2, 2006. [12] Strawn, N. dan Norm Hinman, Biodiesel, Bio Facts, National Renewable Energy Laboratory, US Deparment of Energy, hal 1-2, , 1995 [13] Tyson, S., K, Biodiesel Handling and use Guidelines, National Renewable Energy Laboratory, U.S. Department of Commerce, 2004. [14] Witjahjono, D,Nyamplung, Primadona Sumber Energi Hijau, Suara Pembaruan Daily., 2008 [15] www.mojokerto.go.id, Mengenal Tanaman Nyamplung, Rr-Humas, dari berbagai sumber www.mojokerto.go.id. Senin, 15 Desember 2008

A-91

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-92

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kinerja IPAL Biofilter untuk Pengolahan Air Limbah Domestik di UPT Puskesmas Janti Kota Malang
Siti Muhimatul Ifadah1), Sugito2),* Prodi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Adi Buana Surabaya1,2) Jl. Dukuh Menanggal XII/4 Surabaya Telepon (031) 8281181 *E-mail : sugitostmt@yahoo.com Abstrak
Rumah Sakit atau Puskesmas menghasilkan air limbah domestik yang dapat mencemari lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena air limbah domestik mengandung pencemar organik dan anorganik yang cukup tinggi serta mikroorganisme patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia. Oleh karena itu harus dilakukan pengolahan terhadap air limbah domestik agar memenuhi baku mutu lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biofilter. Teknologi Biofilter adalah proses pengolahan air limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme yang hidup menempel pada suatu media membentuk suatu lapisan biofilm.UPT Puskesmas Janti Kota Malang merupakan salah satu puskesmas yang mengaplikasikan teknologi IPAL Biofilter untuk mengolah semua air limbah domestik dan klinis berasal dari ruangan poli, dapur, laborat, dan kamar mandi. Berdasarkan perhitungan desain untuk lima tahun yang akan datang maka dibangun IPAL Biofilter untuk mengolah air limbah dengan debit 6 m3 per hari. Unit-unit IPAL Biofilter terdiri dari bak Sedimentasi, bak Reaktor Anaerobik, bak Reaktor Aerobik, bak Clarifier, dan bak Desinfeksi. Air limbah yang mengandung bahan organik (BOD dan COD) merupakan substrat yang akan didegradasi oleh mikroorganisme menghasilkan bimassa, karbondioksida, metana, dan air olahan yang memenuhi standar baku mutu. Teknologi ini memiliki keuntungan beaya murah, operasinya mudah, dan lumpur yang dihasilkan sangat sedikit.Kinerja IPAL Biofilter Puskesmas Janti Kota Malang menghasilkan air olahan yang sangat baik. Secara visibel menghasilkan air olahan yang sangat jernih. Hasil analisis laboratorium terhadap efluen yang dihasilkan diperoleh konsentrasi BOD 5 mg/l; COD 8 mg/l; dan TSS 7 mg/l. Kinerja IPAL Biofilter dengan membandingkan konsentrasi influen dan efluen mampu mereduksi konsentrasi BOD 98%; COD 98%, dan TSS 93%. Produk air olahan sangat memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh peraturan untuk limbah cair domestik dimana konsentrasi yang diijinkan untuk BOD 30 mg/l; COD 80 mg/l; dan TSS 30 mg/l. Hasil air olahan dapat digunakan untuk memperoleh kembali air bersih (hydrocycle) untuk menekan beaya operasional. Kata-kata Kunci : Air limbah domestik, Puskesmas, IPAL Biofilter, Efisiensi, Bahan Organik

Pendahuluan
Air limbah yang berasal dari rumah sakit atau puskesmas merupakan salah satu sumber pencemaran air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan karena air limbah puskesmas mengandung senyawa organik dan anorganik yang cukup tinggi serta mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit terhadap masyarakat di sekitarnya. Air limbah puskesmas berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, oleh karena itu maka setiap puskesmas diharuskan mengolah air limbahnya sampai memenuhi persyaratan standar yang berlaku. Puskesmas Janti Kota Malang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesehatan memberikan pelayanan kesehatan dasar setrata pertama kepada masyarakat secara langsung di wilayah Kecamatan Sukun dan sekitarnya yang terdiri atas 3 kelurahan. Sesuai tugas pokok dan fungsinya, puskesmas merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk menunjang upaya peningkatan kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit, serta pemulihan kesehatan. Pada saat ini kegiatan yang dilaksanakan meliputi kegiatan pelayanan rawat jalan, serta penunjang seperti laboratorium. Karakteristik air limbah puskesmas dengan rawat inap atau rawat jalan hampir secara keseluruhan memiliki kesamaan parameter dengan air limbah rumah sakit. Air limbah puskesmas termasuk air limbah domestik yang berasal dari buangan kamar mandi, dapur, air bekas cucian pakaian ; limbah cair klinis yakni limbah dari kegiatan klinis misalnya air bekas cuci luka, cucian darah ; air limbah laboratorium, dan lainnya. Kapasitas air limbah puskesmas relatif kecil sehingga perlu dikembangkan teknologi pengolahan air limbah puskesmas yang murah, mudah operasinya serta harganya terjangkau [1].

A-93

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Teknologi pengolahan air limbah sederhana yang telah dikembangkan saat ini adalah dengan biofilter karena memiliki beberapa keunggulan antara lain pengoperasiannya mudah, lumpur yang dihasilkan sedikit, tahan terhadap fluktuasi jumlah air limbah maupun fluktuasi konsentrasi serta dapat menghilangkan padatan tersuspensi dengan baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung debit air limbah untuk 5 tahun mendatang ,merencanakan dimensi utama bangunan bangunan IPAL biofilter, merencanakan anggaran biaya pembangunan , mengetahui proses pembuatan IPAL Biofilter. Sedangkan tujuan khusus adalah untuk mengkaji kinerja IPAL Biofilter dalam mengolah limbah cair di UPTD Puskesmas Janti Kota Malang. Manfaat hasil penelitian ini untuk sumbangan masukan bagi UPTD Puskesmas Janti Kota Malang dalam memperbaikai instalasi pengolahan air limbah dan menambah wawasan referensi proses pengolahan air limbah bagi sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, laboratorium, puskesmas, atau balai pengobatan swasta maupun domestik yang belum mengolah limbahnya dengan benar. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan air bersih dapat dilakukan dengan memanfaatkan kembali seperti air limbah bekas cucian rumah tangga atau limbah domestik [2]. Air Limbah Rumah Sakit Air limbah rumah sakit adalah limbah kompleks dan mempunyai potensi bahaya serius baik jangka pendek maupun jangka panjang [3]. Menurut Keputusan Gubernur JawaTimur Nomor 61 tahun 1999 limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yag dihasilkan oleh semua kegiatan rumah sakit yang dibuang ke lingkungan,dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Air limbah rumah sakit adalah seluruh buangan cair yang berasal dari proses seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi : limbah domestik cair yakni buangan kamar mandi,dapur , air bekas cuci pakaian ;air limbah klinis yakni air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit misalnya air bekas cuci luka, cucian darah, cucian peralatan bekas pakai air limbah laboratorium, kamar bersalin dan lainnya [1]. Secara umum proses pengolahan air limbah di bagi menjadi 4 kelompok yaitu: 1. Pengolahan pendahuluan (Pre treatment) 2. Pengolahan tahap pertama (Primary treatment) 3. Pengolahan tahap kedua (Secondary treatment) 4. Pengolahan tahap ketiga atau pengolahan lanjutan (Tertiary treatment) Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilm (Film Mikrobiologis) Menurut Metcalf &Eddy (2004) bahwa Biofilter (Submerged Filter) adalah suatu istilah dari reaktor yang dikembangkan dengan prinsip mikroba tumbuh dan berkembang pada suatu media filter dan membentuk lapisan biofilm (attached growth) [4]. Biofilm merupakan salah satu pengolahan limbah cair secara biologis, proses kerjanya memanfaatkan kehidupan mikroorganisme untuk menguraikan polutan.Di dalam proses pengolahan air limbah dengan proses biakan melekat (attached growth), prinsip dasarnya adalah mengalirkan air limbah ke dalam suatu biakan mikroorganisme yang melekat dipermukaan unggun media sehingga polutan yang ada di dalam air limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme tersebut menjadi senyawa yang tidak mencemari lingkungan. Proses penguraiannya dapat berlangsung secara aerob dan anaerob atau kombinasi aerob dan anaerob. Pertumbuhan biomassa tersuspensi pada proses biofilm sangat tergantung pada luas permukaan media penyangga filter karena media filter menyediakan tempat bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan melekat. Jenis media filter yang berbeda memberikan luas permukaan spesifik yang berbeda pula yang akan berpengaruh pada volumenya. Semakin besar luas permukaan, maka semakin banyak pula mikroorganisme yang dapat ditampungnya. Sebagai contoh, kerikil/batu pecah memiliki luas permukaan sekitar 100 200 m2. Media biofilter yang digunakan secara umum dapat berupa material organik atau bahan material anorganik. Media biofilter dari bahan anorganik misalnya plastik dalam bentuk tali,bentuk jaring, bentuk butiran tak teratur (random packing), bentuk papan (plate), bentuk sarang tawon dan lain-lain,sedangkan untuk media dari bahan anorganik misalnya batu pecah (split), kerikil, batu marmer, batu tembikar,batu bara dan lainnya. Prinsip Kerja IPAL Biofilter Proses di dalam unit IPAL tersebut adalah pertama air limbah dialirkan masuk ke bak pengendap awal, untuk mengendapkkan partikel lumpur, pasir dan kotoran organik tersuspensi. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengurai senyawa organik yang terbentuk padatan, pengurai lumpur (sludge digestion) dan penampung lumpur.Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak kontraktor anaerob (biofilter anaerob) dengan arah aliran dari atas ke bawah. Bak kontraktor anaerob tersebut dapat diisi dengan media filtrasi seperti kerikil, batu kali, marmer, pecahan genteng atau media dari PVC tipe sarang tawon. Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikroorganisme [1]. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat anorganik yang belum sempat terurai pada bak pengendapan.

A-94

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Air limbah dari bak kontraktor (biofilter) anaerob dialirkan ke bak kontraktor aerob yang diisi dengan media filtrasi (pasir), sambil diaerasi dengan menggunakan blower sehingga mikroorganisme yang akan menggunakan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuhan dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikroorganisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering dinamakan aerasi kontak (contact aeration). Air limpasan dari bak aerasi, dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak pengendap awal dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke bak klorinasi. Air limbah di dalam bak kontraktor khlor ini di kontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh kuman atau bakteri patogen. Sehingga air olahan, yakni air keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Keunggulan Proses Pengolahan Biofilter Anaerob-Aerob Menurut Said (2006) ada beberapa keunggulan proses pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob aerob antara lain [1]: 1. Pengoperasianya mudah 2. Biaya operasi rendah 3. Lumpur yang dihasilkan sedikit 4. Dapat menghilangkan nitrogen dan posfor yang menyebabkan eutropikasi. 5. Suplai udara untuk aerasi relatif kecil. 6. Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup tinggi 7. Pengaruh penurunan suhu terhadap efisiensi pengolahan kecil. 8. Dapat menghilangkan padatan tersuspensi (SS) dengan baik. Percobaan biofilter aerobik dengan menggunakan media pecahan batu kali diameter 1-2 cm diperoleh efisiensi penyisihan BOD terlarut sebesar 92% dicapai pada beban hidrolik 0,70 m3/m2. hari dan beban organik 0,093 kg/m3.hari [5]. Kinerja IPAL Biofilter untuk mengolah air limbah di Rumah Sakit Makna Ciledug-Tangerang, dengan proses Kombinasi Biofilter Anaerob Aerob dapat menurunkan kandungan zat organik (BOD) dari 419 mg/l turun menjadi 16,6 mg/l (efisiensi penyisihan BOD 96%), konsentrasi COD dari 729 mg/l turun menjadi 52 mg/l (efisiensi COD 92,8 %) dan padatan tersuspensi dari 825 mg/l menjadi 10 mg/l (efisiensi penurunan SS 98,7 %), sehingga air olahan yang dihasilkan sudah sangat jernih. Konsentrasi deterjen (MBAS) di dalam air limbah dapat diturunkan dari 12 mg/l menjadi 2,5 mg/l (efisiensi penurunan deterjen 79%). Kebutuhan energi untuk suplai udara sangat rendah, untuk proses pengolahan air limbah dengan kapasitas 10 15 m3 per hari hanya membutuhkan listrik 65 watt, yakni untuk blower udara 40 watt dan pompa sirkulasi 25 watt, sehingga biaya operasi sangat efisien / rendah [1]. Menurut Slamet dan Masduqi (2000) kinerja proses biofilter dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Temperature 2. Oksigen terlarut 3. Derajat keasaman larutan (pH) 4. Beban hidrolik 5. Beban organik [6] Unit IPAL biofilter anaerob aerob ini tidak memerlukan perawatan yang khusus,tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain : a. Sedapat mungkin tidak ada sampah padat (plastik, kain, batu, softex, dll) yang masuk kedalam sistem IPAL. b. Diusahakan sedapat mungkin untuk mencegah masuknya sampah padat ke dalam sistem IPAL. c. Bak kontrol harus dibersihkan secara rutin minimal satu minggu sekali atau segera jika terjadi penyumbatan oleh sampah padat. d. Menghindari masuknya zat zat kimia beracun yang dapat menggangu pertumbuhan mikroba yang ada di dalam biofilter misalnya cairan limbah perak, nitrat, merkuriatau logam berat lainnya. e. Perlu pengurasan lumpur di dalam bak equalisasi dan bak pengendapan awal secara periodik untuk menguras lumpur yang tidak dapat terurai secara biologis. Biasanya dilakukan minimal 6 bulan sekali atau disesuaikan dengan kebutuhan. f. Perlu perawatan rutin terhadap pompa pengumpul, pompa air limbah, pompa sirkulasi serta blower yang dilakukan 3-4 bulan sekali, [1]. Metodologi Penelitian IPAL Biofilter yang dikembangkan dan dibangun dalam penelitian ini adalah sistem biofilter kombinasi antara biofilter anaerob dan biofilter aerob. Lokasi penelitian adalah di UPTD Puskesmas Janti yang terletak di Jl.Janti Barat No. 88 A-95

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Kecamatan Sukun, Kota Malang. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan mulai Oktober 2011 sampai dengan Pebruari 2012. Tahap tahap metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Survei lapangan untuk mengetahui keadaan di lapangan mengenai kondisi jaringan air limbah, pengolahan limbah sebelumnya dan ketersediaan lahan yang ada. 2. Metode dokumentasi untuk memperoleh data skunder tentang profil UPTD Puskesmas Janti Kota Malang yang meliputi jumlah karyawan, jumlah pasien kunjungan rawat jalan per hari, dan rencana pembangunan puskesmas 5 tahun kedepan . 3. Analisis Laboratorium awal untuk mengetahui karakteristik atau kualitas air limbah awal yang akan digunakan sebagai dasar dalam perencanaan dan pembangunan IPAL. 4. Perhitungan desain IPAL dan pelaksanaan pembangunannya 5. Operasional IPAL Biofilter untuk mengolah limbah. 6. Pengambilan sampel air limbah dari influen dan efluen. 7. Analisis parameter air limbah diperiksa di laboratorium Jasa Tirta Kota Malang . Hasil tes laboratorium air limbah awal UPTD Puskesmas Janti diperoleh konsentrasi BOD = 210,7 mg/l; COD = 860 mg/l; pH = 7,9. Berdasarkan hasil pengujian tersebut ternyata air limbah Puskesmas Janti tidak memenuhi persyaratan baku mutu air limbah rumah sakit yang ditetapkan sesuai Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 61 tahun 1999. Hal ini mendorong Puskesmas janti untuk membangun sistem pengolahan air limbah dengan baik dan benar agar memenuhi persyaratan baku mutu air limbah yang diharapkan. Perhitungan debit air limbah yang dihasilkan oleh Puskesmas Janti dalam perencanaan untuk 5 tahun yang akan datang adalah 6 m3/hr 0,071 l/hr. Prediksi parameter BOD setelah peningkatan jumlah kunjungan pasien dan pengembangan pelayanan kesehatan untuk 5 tahun mendatang akan mengalami kenaikan BOD 25 %, sehingga besarnya BOD = 210,7 mg/l + (0,25 x 210,7) mg/l = 263 mg/l. Hasil dan Perancangan Berdasarkan kriteria karakteristik air limbah menurut Metcalf & Eddy (2004), maka air limbah puskesmas Janti dengan konsentrasi BOD 263 mg/l adalah termasuk kategori kualitas medium [4]. Data parameter ini selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam perhitungan perencanaan dimensi IPAL yang dibuat. Tahap-tahap perhitungan dan hasil perencanaan IPAL Biofilter adalah sebagai berikut : 1. Bak Equalisasi / Bak Pengumpul Debit air limbah perencanaan (Q) = 6 m3/hr 3 Asumsi debit puncak (Q Peak) 200 % = 12 m /hr Waktu tinggal = 1 jam Volume bak pengumpul = 12 m3/hr x 1/24 hr 0,5 m3 Direncanakan dimensi bak berbentuk persegi panjang dengan ukuran : bila lebar = 1 m, maka panjang = 0,75 m, kedalaman = 0,75 m dan tinggi ruang bebas = 0,25 m. Bak Equalisasi dilengkapi dengan bar screen untuk menyaring sampah padat yang kemungkinan masuk ke IPAL. Bak Sedimentasi Awal Debit air limbah perencanaan (Q) = 6 m3/ hr BOD masuk = 263 mg/l Efisiensi yang diharapkan = 25 % BOD keluar = 197 mg/l Bila waktu tinggal rata rata (td) = 4 jam, maka Volume bak sedimentasi awal = 6 m3/hr x 4/24 hr 1 m3 Direncanakan dimensi bak berbentuk persegi panjang dengan ukuran : bila lebar = 1m, panjang = 0,75 m, kedalaman = 1 m, tinggi ruang bebas = 0,25 m. Untuk memperpanjang lintasan aliran air limbah agar tidak terjadi aliran singkat maka dibuat aliran zigzag dengan menambahkan sekat pada permukaan air limbah. Bak Biofilter Anaerob Debit air limbah perencanaan (Q) = 6 m3/ hr BOD masuk = 197 mg/l Efisiensi yang diharapkan = 70 % BOD keluar = 59 mg/l Ditetapkan Beban BOD per volume media = 0,75 kg BOD/m3/hr maka : 3 3 Beban BOD dalam air limbah =6m /hr x 197 g/m = 1.182 g/hr = 1,18 kg/hr = 1,57 m3 Volume media yang diperlukan =1,18 kg/hr A-96

2.

3.

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9


0,75 kg/m3/hr = 60% x total volume reaktor maka = 100/60 x 1,57 = 2,5 m3

Bila volume media yang diperlukan volume total reaktor yang diperlukan Waktu tinggal air limbah dalam reaktor

= 2,5 m3 x 24 jam/hr = 10 jam 6 m3 /hr Sehingga diperoleh reaktor biofilter anaerob dengan dimensi : Bila lebar = 1 m, maka panjang = 2,20 m, kedalaman = 1 m, tinggi ruang bebas = 0,25 m, jumlah ruang biofilter = dibagi 2 ruangan. Dimensi media biofilter anaerob direncanakan sebagai berikut : Tinggi bed media pembiakan mikroba Tinggi ruang lumpur Tinggi air diatas media Jadi total media yang diperlukan = 0,6 m = 0,2 m = 0,2 m = 0,6 m x 1 m x 2,20 m = 1,32 m3

Hasil perhitungan porositas media kerikil sebesar 43%. Dalam perencanaan ini media yang dapat digunakan adalah material kerikil atau batu pecah (split) ukuran diameter 2-3 cm dengan alasan memiliki luas permukaan spesifik 100 200 m2/m3, harganya murah, mudah didapat di wilayah setempat dan telah teruji pada aplikasi pengolahan limbah dengan trickling filter [4]. Media ini telah diuji pada penelitianny sebelumnya oleh Sugito (2007) menghasilkan kinerja yang sangat baik, [5] 4. Bak Biofilter Aerob Debit air limbah (Q) = 6 m3/ hr BOD masuk = 59 mg/l Efisiensi yang diharapkan = 60 % BOD out = 23,6 mg/l Beban BOD dalam air limbah = 6 m3/hr x 59 g/m3354 g/hr = 0,36 kg/hr BOD removal = 60% x 0,36 kg/hr 0,21 kg/hr Jika ditetapkan beban BOD per volume media =0,4 kg BOD/m3/hr maka volume media yang diperlukan = 0,21 kg/hr : 0,4 kg/m3/hr = 0,525 m3 Volume media 40% x volume reaktor, sehingga volume reaktor aerob diperlukan 100/40 x 0,525 m3 = 1,31 m3 Dalam perencanaan ini reaktor aerob terdiri dari 2 bagian yaitu bak untuk aerasi dan bak untuk media filter, sehingga diperoleh dimensi bak sebagai berikut : 1. Bak untuk aerasi berdimensi : Lebar = 1 m, kedalaman = 1 m, panjang = 0,4 m, tinggi ruang bebas = 0,25 m. 2. Bak untuk media biofilter berdimensi : Lebar = 1 m, kedalaman = 1 m, panjang = 0,70 m, tinggi ruang bebas = 0,25 m. Tinggi bed media pembiakan mikrob = 0,6 m Tinggi ruang lumpur = 0,2 m Tinggi air diatas media = 0,2 m Volume total efektif media biofilter =1m x 0,70 m x 0,6 m 0,42 m3 Total volume reactor biofilter aerob =1m x 1 m x 1,1 m 1,1 m Perhitungan kebutuhan oksigen dalam perencanaan biofilter ini adalah sebanding dengan jumlah BOD yangdihilangkan, yaitu: 0,21 kg/hr Bila faktor keamanan ditetapkan = 2,0, maka Kebutuhan oksigen teoritis = 2 x 0,21 kg/hr 0,42 kg/hr Berat udara pada suhu 28 C = 1,1725 kg/m3 Diasumsikan jumlah oksigen di dalam udara = 23,2 % Jumlah kebutuhan udara teoritis : 0,42 kg/hr = 1,1725 kg/m3 x 0,232 gO 2 /g udara = 1,54 m3/hr Dengan efisiensi diffuser = 5 %. Maka kebutuhan udara actual = 1,54 m3/hr = 21,38 l/mnt. Blower udara yang digunakan untuk mensuplai udara ke dalam air limbah dengan kapasitas 22 l/menit adalah tipe HIBLOW 50 l/mnt (tipe kecil).

A-97

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

5. Bak Sedimentasi Akhir Debit air limbah = 6m3/hr Waktu tinggal rata-rata = 4 jam BOD = 23,6 mg/l Volume bak sedimentasi akhir = 6 m3/hr x 4/24 hr 1 m3 Dibangun dimensi bak direncanakan berbentuk persegi panjang : Bila lebar = 1 m, kedalaman = 1 m, panjang = 1 m, tinggi ruang bebas = 0,25 m. Berdasarkan hasil perhitungan desain, maka diperoleh dimensi IPAL Biofilter seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar1. Denah Bak IPAL Biofilter Berdasarkan gambar 1 tentang dimensi IPAL selanjutnya disusun Rencana Anggaran Biaya disesuaikan dengan anggaran yang ada. Hasil perhitungan beaya yang dibutuhkan untuk membangun IPAL adalah Rp.16.500.000,-(Enam belas juta rupiah). Pembangunan ini dibiayai oleh Dinas Kesehatan Kota Malang[7] Operasional IPAL Pengoperasian IPAL biofilter anaerob aerob di UPTD Puskesmas Janti Kota Malang setelah berjalan selama 3 bulan . Adapun proses operasional IPAL adalah sebagai berikut: a. Air limbah yang berasal dari kegiatan Puskesmas, yakni yang berasal dari limbah domestik maupun air limbah yang berasal dari kegiatan klinis puskesmas disalurkan melalui pipa PVC selanjutnya dialirkan ke bak kontrol. Aliran air limbah dilakukan secara grafitasi, air limpasan dari bak kontrol dialirkan ke bak penampung aliran limbah atau bak equalisasi yang dilengkapi dengan Bar screen berupa kawat yang terbuat dari stainlies yang berfungsi untuk mencegah sampah padat misalnya plastik, kaleng, kayu agar tidak masuk ke dalam unit pengolahan limbah. b. Proses di dalam unit IPAL tersebut adalah pertama air limbah air limbah dialirkan masuk ke bak pengendap awal, untuk memperpanjang lintasan aliran air limbah agar tidak terjadi aliran singkat maka dibuat aliran zigzag dengan menambahkan sekat pada permukaan air limbah. Bak pengendapan awal ini berfungsi untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran organik tersuspensi dan sebagai bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, pengurai lumpur (sludge digestion) dan penampung lumpur. Waktu tinggal pada bak pengendap awal adalah 4 jam dengan efisiensi penurunan BOD 25 %. c. Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak anaerob (biofilter anaerob) dengan arah aliran dari atas ke bawah (up flow) dan dari bawah ke atas (down flow). Jumlah bak terdiri dari dua ruangan yang diisi dengan media filtrasi kerikil dengan ukuran 2-3 cm. Penguraian zat zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik setelah 4-8 minggu beroperasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap awal. Waktu tinggal pada bak anaerob 10 jam dengan efisiensi penurunan BOD 70 %. d. Air limpasan dari bak anaerob dialirkan ke bak aerob. Di dalam bak aerob ini terdiri dari dua ruang yaitu ruang untuk aerasi yang disalurkan menggunakan pipa PVC dan ruang untuk media. Pada ruang media diisi dengan media kerikil ukuran 2-3cm sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikroorganisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga penghilangan amoniak menjadi lebih besar dan ini sering dinamakan aerasi kontak (contact aeration). Pembiakan mikroorganisme akan tumbuh dan berkembang setelah 2-4 minggu IPAL beroperasi, waktu tinggal 4 jam dengan efisiensi penurunan 60 %[8]

A-98

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

e. Dari bak aerob limbah dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung mikroorganisme diendapkan. Waktu tinggal pada bak pengendapan akhir rata rata 4 jam. f. Air limpasan dari bak pengendapan akhir masuk ke bak Klorinasi. Didalam bak klorinasi ini air limbah dikontakkan dengan senyawa klor untuk membunuh mikroorganisme patogen, air limpasan dari bak klorinasi langsung dibuang ke badan air atau selokan. Pembahasan Hasil Penelitian Air limbah puskesmas Janti adalah seluruh buangan cair yang berasal dari hasil proses seluruh kegiatan puskesmas yang meliputi limbah domestik buangan kamar mandi, limbah cair klinis yang berasal dari kegiatan klinis puskesmas misalnya air bekas cucian luka, dan lainnya. Air limbah Puskesmas Janti yang berasal dari buangan domestik maupun buangan limbah cair klinis umumnya mengandung senyawa polutan organik yang cukup tinggi, sehingga dapat diolah dengan proses pengolahan secara biologis. Hasil analisis laboratorium terhadap inlet dan outlet air limbah puskesmas Janti dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Jasa Tirta I Malang , dan didapatkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Influen dan Efluen Terhadap Kandungan BOD,COD,TSS Efluen Standar Baku Influe (Pengulangan sampel air limbah) Satuan Metode Analisis Mutu *) n I II III IV V mg/L mg/L mg/L APHA. 5210 B-1998 QI/LKA/10 (Spektrofotometri) APHA. 2540 D-2005 30.00 80.00 30.00 248.35 513.78 99.70 8.1 14.6 5.7 2.65 3.64 6.7 7.4 12.93 5.7 2.70 5.03 9.6 2.45 3.75 8.80

No 1 2 3

Para meter BOD COD TSS

*) Standar Baku Mutu sesuai dengan Kep. Gubernur No. 61 Tahun 1999 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan rumah sakit sejenisnya [9]

Berdasarkan tabel 1, maka hasil analisis laboratorium pada Influen terlihat bahwa air limbah Puskesmas Janti apabila tidak diolah sangat berpotensi untuk mencemari lingkungan. Hal ini dikarenakan dari 3 (tiga) parameter kimia yaitu BOD, COD dan TSS, semuanya melebihi nilai standar baku mutu limbah cair sesuai dengan Kep. Gubernur No. 61 Tahun 1999 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan rumah sakit sejenisnya. Efisiensi penurunan konsentrasi BOD, COD, dan TSS dengan membandingkan antara rata-rata konsentrasi efluen dengan konsentrasi influen diperoleh seperti pada gambar.2. Kinerja IPAL Biofilter menunjukan hasil yang signifikan dengan rata-rata efisiensi untuk removal BOD sebesar 98%, COD 98%, dan TSS 93%. Hal ini menunjukan bahwa proses pertumbuhan mikroorganisme sangat optimal dalam mendegradasi bahan organik [4]

Efisiensi Removal

Gambar 2. Efisiensi Penurunan BOD, COD dan TSS IPAL Biofilter kombinasi anaerob-aerob di UPT Puskesmas Janti terbukti dapat menurunkan zat organik BOD 98 %, COD 98 %, dan TSS 93 %. Hal ini disebabkan karena IPAL Biofilter kombinasi anaerob-aerob reaktor yang dikembangkan dengan prinsip biakan melekat (attached growth), mikroba tumbuh dan berkembang pada suatu media filter dan membentuk lapisan biofilm secara optimal Biofilm inilah merupakan salah satu pengolah limbah cair secara biologis yang proses kerjanya memanfaatkan kehidupan mikroorganisme untuk menguraikan polutan. Gambar 3 menunjukan grafik konsentrasi efluen untuk parameter penelitian yang diambil secara periodik.

A-99

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

16 14 12

Konsentrasi 10 8 (mg/l)
6 4 2 0 I II III IV V

BOD COD TSS

Pengulangan pengambilan sampel Gambar 3. Grafik Konsentrasi Parameter BOD, COD, dan TSS

Berdasarkan gambar 3, terlihat bahwa konsentrasi BOD, COD, dan TSS pada efluen mengalami fluktuasi. Secara umum hasil pengolahan berada pada kondisi kualitas yang sangat aman bila dibandingkan dengan baku mutu lingkungan untuk air limbah domestik yang ditetapkan oleh gubernur. Fluktuasi dapat terjadi diakibatkan oleh kondisi limbah awal yang masuk, pertumbuhan mikroorganisme, dan kondisi lingkungan. Semakin tebal pertumbuhan mikroorganisme, maka penetrasi oksigen tidak dapat masuk sehingga terjadi kondisi anaerob pada bagian dalam yang akhirnya menyebabkan kematian mikroorganisme. Kondisi efluen yang sangat baik sangat memungkinkan untuk diolah lebih lanjut sebagai bahan baku air bersih. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Debit air limbah UPT Puskesmas Janti Kota Malang berdasarkan prediksi peningkatan kunjungan puskesmas untuk 5 tahun mendatang adalah sebesar 6 m3/hari, 2. Berdasarkan dimensi IPAL yang ada disusun Rencana Anggaran Biaya disesuaikan dengan anggaran yang ada maka biaya yang dibutuhkan untuk membangun IPAL adalah sebesar Rp.16.500.000,- (Enam belas juta rupiah), 3. Kinerja IPAL Biofilter menunjukkan hasil yang sangat baik, dengan kualitas air olahan yang sangat jernih. IPAL puskesmas Janti dapat menurunkan kandungan zat organik BOD sebesar 98%, sedangkan COD dapat diturunkan sebesar 98%, dan menurunkan TSS sebesar 93% , sehingga memenuhi/sesuai dengan baku mutu limbah cair yang diijinkan. Daftar Pustaka [1] Said, Nusa Idaman, Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit. Kelompok Tehnologi Pengolahan Air Bersih dan Air Limbah, Pusat Pengkajian dan Penerapan Lingkungan, Jakarta: BPPT, 2006. [2] Erikkson et al, Phytotoxicity of Grey Wastewater Evaluated by toxicity test, Urban Water Journal, Vol. 3, No 3, pp 13-20, 2006. [3] Ahmadi, Fahmi Umar, Konsep Penanggulangan Air Limbah Rumah Sakit. Jakarta, 1995. [4] Metcalf & Eddy, Wastewater Engineering Treatment and Reuse, Fourth Edition, New York, Mc Graw Hill Inc., 2004. [5] Siti Komariyah dan Sugito, Perencanaan IPAL Biofilter di UPTD Kesehatan Puskesmas Gondangwetan Kabupaten Pasuruan, Jurnal Teknik WAKTU ISSN :1412-1867, Volume 9 No. 2 , Juli 2011. [6] Slamet, A. dan Masduqi, A, Satuan Proses. Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS, Surabaya, 2000. [7] Zaenal, A.Z, Analisis Bangunan: Menghitung Anggaran Biaya Bangunan. Jakarta: . Gramedia PustakaUtama, 2005. [8] Said, Nusa Idaman, Paket Tehnologi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit dengan Sistem Biofilter Anaerobaerob, http://ejurnal.bppt.go.id, tanggal mengunduh 30 Januari 2012. [9] Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I jawa Timur Nomor : 61 tahun 1999 tertanggal 19 juli 1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Rumah Sakit di Propinsi daerah Tingkat I jawa Timur.

A-100

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kajian Pemanfaatan Limbah Nanas (Ananas comosus L (Merr)) menjadi Berbagai Produk
Sriharti Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Jl. KS. Tubun No. 5 Subang Telp. 0260411478, Fax. 0260411239 E-mail : sriharti2002@yahoo.com Abstract Utilization of pineaple solid waste (Ananas comosus L. (Merr)) in program of Eksperimen of Researcher and Engineer Competence : Implementation of screw press fruit processing at Alam Sari small-midlle industry at Tambak Mekar village, Jalancagak subdistric, Subang district have been done at 2012. Alam Sari small-midlle industry processing pineapple to dodol, wajit, crackers, syrup and juice. Raw material of pineapple to be used 3 kwintals per day and yield skins (outer peels), crown, core approximately 42,5 % or 127,5 kgs per day. The pineapple solid waste are being thrown away and not utilized yet, that can caused to occur environment pollution. The aim of eksperiment are to study utilization of solid waste pineapple to useful product have economic value. Result of this study showed that pineapple waste as skins, crowns and cores consist of crude protein, reduction sugar, sacharosa, crude fibre and A provitamin, potential to be processed to raw materials nata de pina, bioethanol, shampoo, goat feed, citric acids and tempeh processing. Keywords : utilization of pineapple solid waste, nata de pina, bioethanol, shampoo, goat feed, feed, citric acids, tempeh processing. Pendahuluan
Nanas atau ananas (Ananas comosus (L) Merr) merupakan salah satu komoditi yang banyak ditanam di Indonesia, meliputi jenis Cayenne (nanas Subang) atau Queen (nanas Bogor, nanas Palembang). Prospek agrobisnis nanas cenderung meningkat baik untuk kebutuhan buah segar maupun sebagai bahan olahan. Bagian utama yang bernilai ekonomi penting dari tanaman nanas adalah buahnya, yang berasa manis sampai agak masam menyegarkan, sehingga disukai oleh masyarakat luas. Nanas adalah buah tropis dengan daging buah berwarna kuning, memiliki kandungan air 87,24 % dan kaya akan Kalium, Kalsium, Khlor, Biotin, Vitamin B12, vitamin E dan Enzim Bromelin. Nanas termasuk buah yang banyak digunakan pada beberapa industri olahan pangan seperti sirup, sari buah, selai, dodol, keripik, buah kaleng. Kabupaten Subang, merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai areal tanaman nanas terluas di Jawa Barat. Pada tahun 2009, populasi tanaman nanas sekitar 53.352.150 rumpun atau sekitar 1.778,41 ha, jumlah tanaman menghasilkan 198.260.576 rumpun dan produksi sebesar 396.521,15 ton buah nanas (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2011). Nanas termasuk komoditas buah yang mudah rusak, susut dan cepat busuk, oleh karena itu seusai panen memerlukan penangan pasca panen, salah satunya dengan pengolahan yang akan diperoleh banyak keuntungan antara lain menyelamatkan hasil panen, memperpanjang umur simpan, diversifikasi pangan dan meningkatkan kualitas maupun nilai ekonomis buah tersebut. Produk olahan nanas dapat berupa makanan dan minuman, seperti selai, cocktail, sirup, sari buah, dodol, keripik. Dari pengolahan buah tersebut menghasilkan limbah nanas yang cukup besar yaitu sekitar 50 - 65 % (Wardhanu, A.P., 2009). Bagian kulit buah nanas masih mengandung daging buah nanas. Kulit buah nanas mengandung sukrosa, riboflavin, thiamin, beragam mineral , senyawa ester yang membentuk aroma (Hulme, 1971, dalam Misgiyarta, 2012). Limbah buah nanas tersebut terdiri dari mahkota, limbah kulit, limbah mata dan limbah hati. Limbah nanas pada umumnya dibuang begitu saja . Mengingat limbah nanas belum banyak dimanfaatkan dan dapat menimbulkan masalah lingkungan, maka perlu diupayakan pemanfaatan dari limbah nanas tersebut. Alternatif pemanfaatan limbah nanas yang dapat dilakukan antara lain untuk pembuatan nata de pina, bioethanol, shampo, pakan kambing. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyawati, H. dan Rahman, N.A. (2012), menunjukkan bahwa kulit nanas dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol dan menghasilkan kadar bioetanol 3,965 % pada penambahan 30 gram Saccaromyces cerevisae dan waktu fermentasi 10 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Hasney, Sumartini dan Dewi (1997) pembuatan nata dari limbah kulit nanas dengan penambahan Sacharomyces cerevisae dengan Amonium Phosphat pada konsentrasi yang bervariasi memberikan hasil yang optimum untuk ketebalan, berat rendemen dan volume pada penambahan Sacharomyces cerevisae 0,1 % dan Amonium Phophat 0,125 %.

A-101

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji berbagai pemanfaatan dari limbah nanas yang berupa kulit dan mahkota menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomi.

Metoda Penelitian
Metoda yang digunakan adalah tinjauan (review) terhadap pemanfaatan limbah nanas dan kandungan nutrisinya , sehingga dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk. Tinjauan diambil dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan para peneliti di dalam negeri maupun dari negara lain. Pengkajian dilakukan pada aspek teknis. Untuk kajian aspek ekonominya belum dilakukan dalam studi ini, mengingat penelitian ini pada umumnya masih dilakukan dalam skala laboratorium.

Hasil dan Pembahasan


Limbah nanas. Pada umumnya buah nanas memiliki bagian-bagian yang bersifat buangan, bagian-bagian tersebut yaitu tunas daun, kulit luar mata dan hati. Pada bagian kulit yang merupakan bagian terluar, memiliki tekstur yang tidak rata dan banyak terdapat duri-duri kecil pada permukaan luarnya. Biasanya pada bagian ini merupakan bagian yang pertama dibuang oleh masyarakat, karena bagian ini tergolong bagian yang tidak dapat dikonsumsi langsung sebagai buah segar. Bagian mata merupakan bagian kedua setelah kulit yang dibuang oleh masyarakat. Bagian mata merupakan bagian ke dua setelah kulit, mata memilki bentuk yang agak rata dan banyak terdapat lubang-lubang kecil menyerupai mata Hati merupakan bagian tengah dari buah nanas, memiliki bentuk memanjang dan rasanya agak manis. Tabel 1 : Hasil analisis komponen limbah nanas (persentase nilai yang tercantum dinyatakan dalam berat kering) Parameter Nilai Kadar air 87,50 % Carbon-organik 38,90 % Karbohidrat 35,0 % Protein kasar 5,18 % Gula pereduksi 20,93 % Glukosa 8,24 % Fruktosa 12,17 % Sukrosa 0% Serat kasar 10,57 % Selulosa 19,80 Hemiselulosa 11,70 % Lemak 0,15 % Vitamin C (mg asam askorbat / 100 gram contoh) 16,9 mg Vitamin B6 0,106 mg Vitamin A 52 IU Vitamin K 0,7 mcg pH 4 -5 Nitrogen total 0,83 % Fosfor 0,14 % Fe 0,20 % Ca 0,26 % Mn 0,01 % Mg 0,40 % Zn 0,02 % Cu 0,03 % Na 0,30 % K 3,00 % -2 0,23 % SO4 0,06 % NO3 5 0,0 % PO4-3 0,38 % Cl-1
Sumber : Abdullah dan Mat, H. (2008), Bardiya (1996)

A-102

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pemanfaatan limbah nanas untuk Nata de pina. Limbah nanas dapat dimanfaatkan untuk pembuatan nata, karena ekstraknya mengandung gula invert 3,60 %, sukrosa 8,87 %, zat padat 16,43 %, asam sitrat 0,615 %, vitamin A 29,0 SI, vitamin C 22,0 mg/100 gram, Vitamin B 0,08 mg/100 gram, kadar mineral Nitrogen 0,115 % dan Eter 0,20 % (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1981, Muljohardjo, 1984). Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari sellulosa, berbentuk agar dan berwarna putih seperti gel. Massa ini berasal dari pertumbuah bakteri Acetobecter xylinum pada permukaan media cair yang asam dan mengandung gula . Gula berfungsi sebagai sumber energi dan sebagai bahan inducer yang berperan dalam pembentukan koenzim ekstraseluler polimerase yang bekerja menyusun benang-benang nata, sehingga pembentukan nata dapat maksimal (Pambayun, 2002). Mineral dan asam organik dibutuhkan sebagai komponen metabolisme dalam pembentukan kofaktor enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh Acetobecter xylinum. Di dalam 100 gram nata terkandung nutrisi antara lain kalori 146 kal, lemak 20 g, karbohidrat 36,1 mg, Calsium 12 mg, Fosfor 2 mg dan Fe 0,5 mg, air 80 %. Nata de pina merupakan hasil fermentasi dengan bantuan mikroba Acetobacter xylinum pada substrat yang mengandung gula dan nitrogen pada pH 4 4,5 (Pambayun, 2002). Gula pada limbah nanas diubah menjadi asam asetat dan benang-benang selulosa. ini berasal dari pertumbuahan Acetobacter xylinum pada permukaan media cair yang asam dan mengandung gula. Lama kelamaan akan terbentuk suatu massa yang kokoh dan mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Nata de pina dapat dianggap sebagai selulosa bakteri yang berbentuk padat, berwarna putih, transparant, berasa manis, bertekstur kenyal dan umumnya dikonsumsi sebagai makanan ringan. Hasil nata de pina yang diperoleh mempunyai warna agak kekuningan dibandingkan dengan nata dari air kelapa. Kekenyalannya hampir sama dengan nata de coco. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Misgiyarta dari limbah nanas dihasilkan nata de pina dengan tebal 4 mm hari ke 3, 7,5 mm hari ke 6, 15 ml hari ke 9, 17,5 mm hari ke 12 dan pada hari ke 15 mencapai 24 mm. Pemanfaatan limbah nanas untuk bioetanol Kulit nanas dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bioetanol, karena kandungan karbohidrat dan gula yang cukup tinggi. Pembuatan etanol dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara sintetik melalui reaksi kimia dan secara fermentasi melalui aktifitas mikroorganisme yaitu bakteri dan ragi. Penggunaan ragi sebagai biokatalis lebih sering dilakukan, karena ragi lebih mudah dikembangkan dan lebih mudah dikontrol pertumbuhannya. Ragi yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisae. Saccharomyces cerevisae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakharida (glukosa dan fruktosa). Enzim invertase selanjutnya mengubah glukosa menjadi bioetanol (Judoamidjojo, dkk, 1992 dalam Setyawati, H. dan rahman, N.A., 2012). Proses produksi etanol : kulit nanas diekstrak, kemudian ditambah sumber nutrisi yaitu NPK dan Amonium sulfat, dipasteurisasi pada suhu 30 oC selama 30 menit, kemudian diinokulasi dengan Saccharomyces cerevisae, lalu difermentasi selama 2 hari pada suhu 25 30 oC, dipasteurisasi pada suhu 70 oC selama 30 menit, untuk mematikan sel yang masih aktif pada substrat. Hasil fermentasi didestilasi untuk mendapatkan etanol murni. Berdasarkan kadar alkoholnya, etano terbagi menjadi tiga grade sebagai berikut : Grade industri dengan kadar akohol 90 94 %. Netral dengan kadar alkohol 96 99,5 %, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi. Grade bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99,5 %. Sebagai bahan pensubstitusi bensin bioetanol dapat diaplikasikan dengan bensin, misalnya 10 % etanol dicampur dengan 90 % bensin (gasohol 10 %). Reaksi dalam proses pembuatan etanol dengan fermentasi adalah sebagai berikut : C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 Bila digunakan disakarida seperti sukrosa, reaksinya adalah sebagai berikut : Invertase C12H22O11 + H2O 2 C6H12O6

(1)

(2)

Etanol pada proses fermentasi alkohol terbentuk melalui beberapa jalur metabolisme tergantung jenis mikroorganisme yang terlibat. Untuk saccharomyces serta sejumlah khanmir lainnya, etanol terbentuk melalui jalur Embden Meyernof Parnas (EMP), reaksinya sebagai berikut : 1. 1.Glukosa difosforilasi oleh ATP mula-mula menjadi D-glukosa-6 fosfat, kemudian mengalami isomerasi berubah menjadi D-fruktoda-6 fosfat dan difosforilasi lagi oleh ATP menjadi D-fruktosa-1, 6 di fosfat. 2. D-fruktosa1,6 difosfat dipecah menjadi satu molekul D-gliseraldehid-3 fosfat dan satu molekul aseton fosfatt. 3. Dihidroksi aseton fosfat disederhanakan menjadi L-gliserol-3 fosfat oleh NADH2. 4. ATP melepaskan satu molekul fosfat yang diterima oleh gliseraldehid-3 fosfat yang kemudian menjadi D-1, 3 difosfogliserat dan ADP. 5. D-1, 3 difosfogliserat melepaskan energi fosfat yang tinggi ke Adp untuk membentuk D-3 fosfogliserat dan ATP. A-103

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

6. 7. 8. 9. 10.

D-3 fosfogliserat berada dalam keseimbangan dengan D-2 fosfogliserat, D-2 fosfogliserat membebaskan air untuk menghasilkan fosfoenol piruvat. ATP menggeser rantai fosfat yang kaya energi dari fosfoenolpiruvat untuk menghasilkan piruvat dan ATP. Piruvat didekarboksilasi menghasilkan asetaldehid dan CO2. Akhirnya asetaldehid menerima hidrogen dari NADH2 menghasilkan etanol.

Sifat fisik bioetanol menurut Rizani (2000) adalah sebagai berikut : massa molekul relatif 46,07 g/mol, titik beku 114,1 oC, titik didih norma 78,32 oC, densitas pada suhu 20 oC - 0,7893 g/ml, kelarutan dalam air 20 oC sangat larut, viskositas pada suhu 20 oC 1,17 cP, kalor spesifik 20 oC - 0,579 kal/goC, kalor pembakaran 25 oC 7092,1 kal/g, kalor penguapan 78,32 oC 200,6 kal/g. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyawati, H. dan Rahman, N.A. (2012) pembuatan etanol dengan proses fermentasi larutan sari kulit buah nanas diperoleh konsentrasi ragi yang optimum tercapai pada 0,015 g/mL dengan etanol yang diperoleh sebesar 35,37%, sedangkan lama fermentasi yang optimum tercapai selama 6 hari dengan etanol yang diperoleh sebesar 35,21%. Pemanfaatan limbah nanas untuk pembuatan asam sitrat. Asam sitrat merupakan asam yang tersebar luas sebagai bahan penyusun rasa buah-buahan diantaranya buh jeruk, nanas, pear dll. Asam sitrat termasuk salah satu asam organik dengan nama kimia 2-hydroxyl-1,2,3propanetricarboxylic acid, memiliki rumus bangun sebagai berikut : HOOC ----- CH2 ----- C(OH) --- CH2 ---- COOH (3)

|
COOH Asam sitrat bersifat tidak beracun, dapat mengikat logam-logam berat (besi maupun bukan besi), dapat menimbulkan rasa asam. Asam sitrat banyak dimanfaatkan dalam industri makanan dan minuman, kosmetika, farmasi dan dalam industri pengolahan alkyd resin. Asam sitrat digunakan dalam industri untuk mengikat ion, menetralkan basa dan berperan sebagai buffer. Dalam kosmetika, asam sitrat digunakan sebagai buffer untuk pengatur pH produk. Ester dari asam sitrat dipakai secara komersial sebagai plasticizer dalam penyiapan komposisi polimer, coating dan adhesive. Dipasaran, asam sitrat dijumpai dalam tiga jenis yaitu asam sitrat anhidrat, monohidrat dan larutan teknis 50 %. Spesifikasi asam sitrat berdasarkan USP adalah : prosetase asam sitrat dengan basis anhidrat, min. 99,5 %, kadar air maks 0,5 %, logam berat 0,05 %, kadar abu, maks. 0,001 %, arsenic maks. 0,0003 % (Kirk Othmer, 1984). Sedangkan spesifikasi asam sitrat menurut ukuran partikelnya adalah sebagai berikut : granular : anhidrat maks. 2 % di atas 16 mesh, maks. 10 % melalui 50 mesh; hidrat, maks. 10 % di atas 16 mesh, maks. 10 % melalui 50 mesh, granular halus : anhidrat maks 3 % di atas 30 mesh, maks. 5 % melalui 100 mesh, hidrat maks. 30 5 di atas 30 mesh, maks 10 % di atas 100 mesh, bubuk (powder) maks 2 % di atas 60 mesh, min 50 % melalui 200 mesh, hidrat maks 20 % di atas 60 mesh, maks 20 % melalui 100 mesh (Kirk Othmer, 1984). Kegunaan asam sitrat dalam industri minuman untuk memberikan rasa asam pada minuman dan sebagai komplemen pada rasa berry pada minuman, pada minuman yang tidak berkarbonisasi asam sitrat dapat memberikan pH yang beragam, pada minuman jus buah merupakan komponen alami yang tercampur secara baik dengan aroma minuman tersebut, untuk minuman berkarbonisasi asam sitrat digunakan sebagai penguat rasa. Pada farmasi, asam sitrat digunakan sebagai bahan dasar tablet effervescence, dimana bila bereaksi dengan zat yang mengandung bikarbonat atau karbonat dalam air akan membentuk gas karbondioksida dan garam dari asam tersebut. Selain itu asam sitrat digunakan sebagai buffering agent dan pemberi rasa pada obat-obatan. Asam sitrat digunakan untuk industri detergen, agrikultur, fotografi, teksti, kertas. Dalam industri asam sitrat dapat digunakan sebagai pembersih metal dan pengabsorbsi sulfur dioxide dan dapat digunakan pula dalam proses treatment pada limbah. Komposisi penggunaan asam sitrat secara umum ; industri makanan dan minuman 75 %, farmasi 10 %, industri lainnya 15 %. Jenis mikroba yang dapat digunakan dalam pembuatan asam sitrat diantaranya adalah Aspergillus niger, Aspergillus wentii, Aspergillus ciavatus, Penicillum luteum. Sifat fisik asam sitrat : Rumus molekul anhydrat C6H8O7, monohidrat C6H8O7.H2O, Berat molekul anhydrat 192,12, monohydrat 210,14, bentuk anhydrat kristal tak berwarna, monohydrat kristal tak berwarna, density anhydrat 1,67 gr/cc, monohydrat 1,542 gr/cc, melting point anhydrat 153 oC, monohydrat kehilangan air, boilling point anhydrat terdekomposisi pada 175 oC, monohydrat terdekomposisi pada 175 oC. Proses pembentukan anhydrat kristalisasi dari larutan panas (.36,6 oC), monohydrat kristalisasi dari larutan dingin (<36,6 oC), kelarutan (g/100 gr air pada 25 oC), anhydrat 161,8, monohydrat 208,6, kelarutandi air pada 30 oC anhydrat 64,3 %, monohydrat 64,3 %, kelarutan di air

A-104

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

pada 70 oC anhydrat 76,2 %, monohydrat 76,2 %. Struktur kristal anhydrat orthorombic, monohydrat orthorombic, panas pembakaran anhydrat 468,5 kcal/mol, monohydrat 466,6 kcal/mol (Othmer, K., 1984). Asam sitrat yang diproduksi dari bahan baku kulit nanas melalui fermentasi metode surface dengan bantuan Aspergillus niger, produksi asam sitrat yang terbaik terdapat pada temperatur 30 oC, pH 3 dan ketebalan 1,5 cm. Untuk konsentrasi substrat 1200 g/l, 1440 g/l, 1600 g/l , 1800 g/l, 2000 g/l dan 2200 g/l konsentarsi asam sitrat yang dihasilkan masingmasing adalah 36,796 g/l, 43,218 g/l,44,689 g/l, 46,447 g/l, 49,423 gr/l dan 51,063 g/l ( Sesunan, N.R., Heristika, W., Nugrahini, P., 2012). Pemanfaatan Limbah Nanas untuk Pakan kambing. Limbah nanas dapat diproses dengan menggunakan teknologi fermentasi untuk menghasilkan produk silase limbah nanas. Proses pengolahan limbah nanas nmenjadi pakan kambing adalah sebagai berikut : limbah nanas (kulit nanas) dikeringkan, kemudian digiling dengan menggunakan disk mill, hasil gilingan ditimbang dan ditambah urea dan gula, kemudian disterilisasi, lalu diinokuasi dengan Saccharomyces cerevisae 3 %, kemudian difermentasi selama 5 hari. Silase nanas tersebut ditambah urea 0,5 %, sulfur 8 % dan minyak kedelai 6 %, sebagai campuran konsentrat. Silase nanas tersebut mengandung serat yang relatif tinggi yaitu 57,3 %, kandungan proteinnya rendah yaitu 3,5 %. Berdasarkan hasil penelitian pada ternak kambing yang diberi pakan fermentasi limbah nanas sebagai pengganti rumput konsumsi pakan sekitar 564 584 gram/hari atau setara dengan 3,4 % bobot badan, menghasilkan pertambahan bobot badan sedang berkisar antara 62 66 gram dengan konversi pakan 8,6 12,2. Hasil penelitian menurut BP4K (2012) adalah sebagai berikut respon pertumbuhan kambing yang diberi pakan menggunakan bahan kulit buah nanas tergolong baik. Penggunaan bahan tersebut dapat menghasilkan pertambahan bobot harian antara 60 70 gram dengan konversi pakan antara 10 14. Komposisi nutrisi pakan adalah sebagai berikut bahan kering 54,2 %, bahan organik 91,9 %, abu 8,1 %, protein kasar 3,6 %, NDF 57,3 %, ADF 31,1 %, energi kasar 4481 kkal/kg, energi cerna 2120 kkal/kg Pemanfaatan limbah untuk pembuatan shampo. Limbah nanas yaitu kulitnya mengandung enzim bromelin yang dapat mengangkat jaringan kulit yang mati atau disebut ketombe (kulit mati pada kepala). Juga mengandung enzim peroksidase yang dapat meredakan sakit kepala, apabila dioleskan di bagian kepala yang terasa sakit, enzim ini dapat menstabilkan pembuluh darah dan saraf manusia. Niasin atau vitamin B3 memiliki manfaat besar untuk rambut, dapat meningkatkan sirkulasi darah di kulit kepala, yang menyebabkan produksi minyak alami rambut. Dalam memproduksi enzim bromelin senyawa yang dapat digunakan untuk presipitasi (pengendapan) adalah ammonium sulfat dan alkohol. Bromelin diisolasi dengan metoda ekstraksi. Hasil isolasi merupakan ekstrak kasar enzim dengan aktifitas spesifik 0,521 U/mg. Suhu efektif 40 60 oC, suhu optimal 50 60 oC, suhu deaktivasi di atas 65 o. PH efektif 4,0 8,0, pH optimal 4,5 5,5. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mutiara Duri (2012) menunjukkan bahwa penggunaan shampo nanas pada hari ke 3 terlihat adanya perubahan pengurangan ketombe sekitar 5 %, dan setelah pemakan selama 6 hari pengurangan ketombe sekitar 20 %, setelah pemakaian selama 12 hari pengurangan ketombe sekitar 50 % dan pada hari ke 20 pengurangan ketombe sekitar 90 %. Pemanfaatan limbah nanas untuk pembuatan tempe. Limbah nanas yang berupa kulit dan bonggol bermanfaat untuk membantu fermentasi tempe. Kulit dan bonggol nanas membuat suasana asam bagi pertumbuhan jamur tempe, nilai pH ekstrak bonggol 4,2 dan ekstrak kulit 3,2. Kondisi pH yang optimal bagi pertumbuhan jamur tempe berkisar antara 4 sampai 5. Limbah nanas tersebut digunakan pada waktu perendaman sebanyak 150 gram ekstrak kulit untuk setiap 450 gram air, atau perbandingan 1 : 3, diperoleh nilai pH 4. Sedangkan untuk bonggol diperoleh nilai pH sebeasar 5. Dengan penambahan ekstrak kulit atau bonggol nanas, fermentasi tempe berlangsung lebih singkat. Pada penambahan ekstrak kulit dengan perbandingan 1 : 3, pengurangan waktu fermentasi 45 jam, sedangkan pada penambahan ekstrak bonggol dengan perbandingan 1 : 3, pengurangan waktu fermentasi 37 jam, waktu fermentasi tampa penambahan limbah nanas sekitar 72 jam. Rasa yang dihasilkan tempe yang kedelainya direndam dengan ekstrak kulit atau bonggol tidak memberikan perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tempe tidak banyak terpengaruh oleh penambahan limbah nanas, selain itu tidak ada perubahan pada warna tempe, tetap berwarna putih bersih, tetapi bila memakai ekstrak kulit warna tempe lebih kusam.

Kesimpulan
4. Hasil kajian menunjukkan bahwa Nata de pina hasil fermentasi dengan bantuan mikroba Acetobacter xylinum menghasilkan tebal 24 mm pada hari ke 15. 5. Pembuatan etanol dengan proses fermentasi larutan sari kulit buah nanas diperoleh konsentrasi ragi yang optimum tercapai pada 0,015 g/mL dengan etanol yang diperoleh sebesar 35,37%, sedangkan lama fermentasi yang optimum tercapai selama 6 hari dengan etanol yang diperoleh sebesar 35,21%.

A-105

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

6.

Asam sitrat yang diproduksi dari bahan baku kulit nanas melalui fermentasi metode surface dengan bantuan Aspergillus niger, produksi tertinggi terdapat pada suhu 30 oC, pH 3 dan ketebalan 1,5 cm, pada konsentrasi substrat

2200 g/l menghasilkan asam sitrat 51,063 g/l. 7. Penggunaan shampo nanas pada hari ke 20 dapat mngengurangi ketombe sekitar 90 %. 8. Ternak kambing yang diberi pakan fermentasi limbah nanas sebagai pengganti rumput konsumsi pakan sekitar 564 584 gram/hari atau setara dengan 3,4 % bobot badan, menghasilkan pertambahan bobot badan sedang berkisar antara 62 66 gram dengan konversi pakan 8,6 12,2. 9. Pada pembuatan tempe dengan penambahan ekstrak kulit perbandingan 1 : 3, pengurangan waktu fermentasi 45 jam, sedangkan pada penambahan ekstrak bonggol dengan perbandingan 1 : 3, pengurangan waktu fermentasi 37 jam, waktu fermentasi tampa penambahan limbah nanas sekitar 72 jam

Daftar Pustaka
[1] Abdullah dan Mat, H., Characteisation of Solid and Liquid Pineapple Waste, in Reaktor, vol. 12, no. 1, pp. 48 52, Juni 2008,. [2] Ashar, N., Pemanfaatan Limbah Nanas untuk Pakan Kambing, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, diakses dari http://cybex.deptan.go.id [3] Bardiya, N., Somayaji, D., and Khanna, N., Biomethanation of Banana Peel and Peneapple Waste, Bioresource Technology, 58, pp. 73-76, 1996. [4] BP4K (Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan ) Kabupaten Sukabumi, Kulit nenas sebagai pakan alternatif, 2012, diakses dari www.bp4kkabsukabumi.net/index.php/Peternakan/Kulit-nenassebagai-pakan-Alternatif.html. [5] Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI., Daftar Komposisi Bahan Makanan, Jakarta, 1981. [6] Elisabet, S., Patty, R.H., Setiabudi, P., Purba, S.A., Pengaruh kadar bioetanol dari limbah nanas (Ananas comosus) terhadap lama fermentasi dan penambahan ragi (Saccharomyces cerevisae) dengan starter yang berbeda, 2012, diakses dari http://siskaelisabet.blogspot.com/2012/06/bioetanol-dari-kulit-nanas.html. [7] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Potensi Sumber daya dan komoditas, 2011, diakses dari www.diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1431. [8] Hasnelly, Sumartini dan Dewi, Mempelajari Pengaruh Penambahan Konsentrasi Sacharomyces cereviceae dan Amonium Phosphat pada pembuatan Nata Kulit Nanas, 1997, diakses dari www.repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/Seminar_Nasional_Pangan.pdf?squence=1. [9] Misgiyarta, Fermentasi Nata dengan Substrat Limbah Buah Nanas dan Air Kelapa, 2012, diakses dari www.pascapanen.litbang.deptan.go.id/assets/media/berita/misgiyarta-natadePina.pdf [10] Muljohardjo, M., Nanas dan Teknologi Pengolahannya, Liberty, Yogyakarta, 1984. [11] Mutiara Duri, Pemanfaatan kulit nanas sebagai bahan alternatif membersihkan rambut dan kulit kepala, Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, 2012 diakses dari www.slideshare.net/BagusGunawanUsyan/shampo-dari-kulit-nanas. [12] Natalis, Y. Dan Nugrahini, P., Pengaruh variasi temperatur dan konsentrasi substrat pada fermentasi asam laktat dari limbah cair kulit nanas menggunakan Lactobacillus plantarum, dalam Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011. [13] Pambayun, Teknologi Pengolahan Nata de Coco, Kanisius, Yogyakarta, 2002. [14] Pembuatan Nata dari Mata Buah Nanas, Engineering System, Monday, May 3, 2010, diakses dari http://engineering-system.blogspot.com/2010/pembuatan-nata-dari-mata-buah-nanas.html [15] Sesunan, N.R., heristika, W., Nugrahini, P., Pengaruh Variasi Konsentrasi Substrat, pH dan temperatur pada fermentasi Asam Sitrat dari Kulit Nenas menggunakan Aspergilus niger, 2012, diakses dari www.nandhariveri.blogspot.com/2012/05/pengaruh-variasi-konsentrasi-substrat.html. [16] Setyawati, H. dan Rahman, N.A., Bioetanol dari Kulit dengan Variasi Massa Saccharomyces cerevisae dan Waktu Fermentasi, 2012, diakses dari www. ejournal.upnajatim.ac.id/index.php/tekkim/.../60 [17] Wardhanu, A.P., Potensi Pemanfaatan Limbah Nanas sebagai Bahan Baku dalam Pembuatan Nata de Pina, 2009, diakses dari www.apwardhanu.wordpress.com/2009/07/11/potensi-pemanfaatan-limbah-nanas-sebagai-bahanbaku-pembuatan-nata [18] Manfaat limbah nanas dalam pembuatan tempe, 2009, diakses dari www.biophysic07.blogsome/2009/07/28/manfaat-limbah-nanas/

A-106

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Implementasi Pembuatan Kompos dari Limbah Nanas di UKM Alam Sari Kabupaten Subang
Sriharti Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Jl. KS. Tubun No. 5 Subang 41211 Telp. (0260) 411478, Fax. (0260) 411239 E-mail : srih012@lipi.go.id Abstract The composting from pineaple solid waste have been implemented. The utilization of compost are to fertilize , improve structures and characteristic of soil. The implementation have been conducted in Alam Sari small-middle industry at located in Tambak Mekar vilage, Jalancagak subdistric, Subang district. Alam Sari is small-middle industry processing of pineapple to dodol, wajit, crackers, syrup and juice. Raw material of pineapple was used approximately 3 kwintals per day, and yields waste consist of skins (outer peels), crowns, bud ends and cores approximately 37 51 %. The pineapple solid waste to live in heap of trash and not utilize yet, that can caused to occur environment pollution. One of alternative, to utilize as compost raw material. The pineaple solid waste consist of materials organics can be decomposed with pH of 4,5 5. In composting, parameter of this experiment were temperature, chemical and physical quality of compost product and depreciation compost was done at final composting, water content, pH, total Nitrogen, C-organic, C/N ratio, P2O5, K2O, CaO, MgO, S, Na, Cl, Fe, Mn, Zn, Cu, B and Al content. Result of this research showed that most of compost quality meets the quality standar of the Indonesian Nasional Standard No. 19-7-30-2004. Key words : implemented, compost, utilization of pineapple solid waste, small industry, Subang distric Pendahuluan
Buah nanas berasal dari negara Brazil yang tumbuh di daerah tropis, terutama di sekitar khatulistiwa. Indonesia tercatat sebagai Negara eksportir nanas nomor tiga setelah Philipina dan Thailand. Salah satu daerah penghasil nanas terbaik di Indonesia adalah Subang. Nanas Subang diminati pasar luar negeri, karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan nanas yang ada di daerah lain. Nanas Subang biasa disebut nanas madu karena rasanya yang manis seperti madu, memiliki daging buah yang empuk dan seratnya halus, memiliki kadar air yang tinggi, serta mmiliki ukuran buah yang lebih besar dari pada nanas biasa, berat satu buah nanas Subang berkisar 1 kg sampai 2,5 kg. Pada tahun 2009 produksi nanas di kabupaten Subang sebesar 396.521,15 ton per tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2011). Nanas adalah buah tropis dengan daging buah berwarna kuning memiiki kandungan nutrisi sebagai berikut air 87,24 %, energy 45 kcal, protein 0,55 %, lemak 0,13 %, abu 0,27 %, karbohidrat 11,82 %, gula total 8,29 %, sukrosa 4,58 %, glukosa 1,76 %, fruktosa 1,94 %, laktosa 0 %, mineral Fe 0,25 mg, Magnesium 12 mg, Fosfor 9 mg, Kalium 125 mg, Natrium 1 mg, Zinc 0,08 mg, Copper 0,081 mg, Mangan 1,593 mg, Vitamin C 16,9 mg, Thiamin 0,078 mg,Riboflavin 0,029 mg, Nicin 0,470 mg, Panthothenic acid 0,193 mg, Vitamin B6 0,106 mg, Vitamin A 52 IU, Vitamin K 0,7 mcg (USDA National Nutrient Database for Standard, 2001). Nanas termasuk buah yang banyak digunakan pada beberapa industri olahan pangan diantaranya dodol, wajit, keripik, kerupuk, sirup, saribuah. Dari hasil olahan ini menghasilkan limbah berupa kulit, hati, mahkota. Limbah nanas tersebut dibuang begitu saja, tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan lingkungan, sehingga diperlukan upaya pemanfaatan limbah nanas. Limbah nanas masih mengandung bagian yang mirip dengan bagian daging buah, hanya saja bercampur dengan bagian yang tidak diinginkan, sehingga masih dapat dimanfaatkan , antara lain untuk pembuatan kompos, sehingga dapat memberikan nilai tambah, yaitu memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari bahan asalnya, mengurangi volume limbah Dari aspek lingkungan kompos dapat mengurangi lahan untuk penimbunan, mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan pelepasan gas metan yang membusuk akibat bakteri metan di tempat pembuangan limbah. Dari aspek tanah / tanaman dapat meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur dan karakteristik tanah, meningkatkan kualitas hasil panen, menekan pertumbuhan / serangan penyakit tanaman, menyediakan hara di dalam tanah. Pengomposan merupakan proses perombakan / dekomposisi dan stabilitas bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan terkendali atau terkontrol dengan hasil akhir berupa humus atau kompos. Proses ini melibatkan sejumlah mikroorganisme tanah termasuk bakteri, jamur, protozoa, actynomicetes, nematoda, cacing tanah dan A-107

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

serangga (Simamora dan Salundik, 2006). Sedangkan kompos adalah hasil penguraian partial / tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondosi lingkungan yang hangat, lembab dan aerobik atau anaerobik (Crawford, J.H., 2003). Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi dan penambahan activator pengomposan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengomposan limbah nanas dengan menggunakan komposter rotary drum menghasilkan waktu yang lebih singkat yaitu 7 hari dan mengalami penyusutan sebesar 30,83 % (Sriharti dan Salim, T., 2007). Pengomposan limbah nanas dengan menggunakan berbagai bahan aktivator (EM4, Agrisimba dan bioaktivator) tidak berpengaruh nyata terhadap suhu, waktu pengomposan dan penyusutan bahan,pengomposan berlangsung selama 9 hari dan penyusutan sebesar 59,44 61,25 % (Sriharti dan Salim, T., 2006). Penambahan dosis innoculant limbah nanas dengan aktivator Azotobacter chrococcum dengan dosiss 140 gram/kg, lama waktu terjadinya kompos 23 hari , pada dosis 120 gr/kg lama waktu pengomposan 29 hari dan pada dosis 100 gram/kg pengomposan berlangsung selama 37 hari (Rani, 2010). Penelitian bertujuan untuk memanfaatkan limbah nanas yang tersedia berlimpah untuk menyediakan pupuk organik yang murah dan ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan sekitarnya.

Metodologi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah nanas. Teknologi pembuatan kompos dilakukan secara aerobik dengan sistem windrow. Pada sistem windrow kontak oksigen dengan tumpukan kompos berlangsung secara konveksi alami dengan pembalikan. Implementasi pembuatan kompos dilakukan di UKM pengolahan nanas Alam Sari di desa Tambak Mekar kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang. Proses pembuatan kompos adalah sebagai berikut : limbah nanas pencacahan (untuk memperkecil ukuran partikel agar pengomposan berlangsung lebih cepat) pengepresan (untuk mengurangi kadar air, dilakukan dengan alat press) pencampuran dengan bahan lain yaitu kotoran kambing (untuk meningkatkan C/N ratio), dedak (untuk menggemburkan) inokulasi dengan EM4 (untuk mempercepat proses pengomposan) fermentasi (pembalikan untuk pengendalian suhu, aerasi dan kelembaban) pengeringan (dengan cara diangin-angin). Pengujian produk kompos meliputi nilai pH, kadar air, Nitrogen total, C-organik, P2O5, K2O, MgO, S, Fe, Mn, Zn dan Al. Nilai pH diukur dengan pH meter, kadar air dianalisa dengan metoda gravimetri dengan menggunakan oven pada suhu 105 oC, kadar Nitrogen total dianalisa dengan metoda kjedahl, kadar P2O5, K2O, MgO, S, Fe, Mn, Zn dan Al dengan metoda AAS. Analisa dilakukan di Balai Penelitian Sayuran Lembang. Pengukuran suhu dilakukan selama pengamatan, diukur dengan termometer alkohol, penyusutan diukur pada akhir pengomposan. Hasil pengujian kualitas kompos dibandingkan dengan standar kualitas kompos menurut Standar Nasional Indonesia nomor 19-7-30-2004 (Badan Standardisasi Nasional, 2004).

Hasil dan Pembahasan


Tabel 1 menunjukkan persentase komposisi limbah nanas yang terdiri dari kulit 21,73 %, mata 11,09 % dan hati atau bonggol 16,43 %, jumlah limbah keseluruhan sebanyak 49,25 %. Tabel 1 : Persentase komposisi limbah nanas Komponen Jumlah 21,73 % Kulit 11,09 % Mata 16,43 % Mahkota 49,25 % Jumlah limbah

A-108

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

60 50

Suhu (oC)

40 30
Sh udara

20 10 0 0 4 8 12 15 19 22 Hari ke 26 28

Sh kompos

31

35

Gambar 1 : Suhu udara dan suhu pengomposan selama pengamatan Gambar 1 menunjukkan suhu selama pengomposan, pada awal pengomposan suhu 30 oC. Pada hari ke 4 suhu proses dekomposisi limbah nanas meningkat menjadi 38,8 oC yang menunjukkan proses dekomposisi sudah berjalan. Pada tahap awal proses suhu kompos meningkat dengan cepat yang menunjukkan bahwa oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah menguap terdegradasi dan dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik (mikroorganisme yang hidup pada suhu di bawah 45 oC). Pada hari ke 15 suhu meningkat hingga 51,6 oC, mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik (mikroorganisme yang hidup pada suhu diatas 45 oC), yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi, pada saat ini terjadi dekomposisi bahan organik yang sangat aktif. Mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Pencapaian suhu yang tinggi dalam proses pengomposan sangat penting untuk menjamin produk kompos yang dihasilkan agar bebas dari bibit gulma dan bakteri pathogen (seperti Escheria coli dan Salmonela). Pada fase selanjutnya, senyawa-senyawa kimia tahap demi tahap diuraikan menjadi berbagai senyawa yang lebih sederhana lagi, sampai akhirnya senyawa kimia yang menjadi makanan mirkrob berangsur-angsur menjadi terbatas. Pada hari ke 22 suhu kompos mengalami penurunan menjadi 49 oC , pada saai ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Untuk pengontrolan suhu supaya memenuhi syarat optimum penguraian pada timbunan kompos dilakukan pengudaraan langsung ke timbunan kompos dengan cara pembalikan. Penelitian dari Robinzon et al (2000) menyatakan bahwa penurunan suhu sebanyak 5 oC disebabkan proses pembalikan. Sedangkan dalam penelitian ini setelah pembalikan terjadi penurunan suhu sebesar 3,4 oC. Pada hari ke 28 suhu mengalami penurunan sampai 42 oC, hal ini menunjukkan terjadinya penurunan perkembangbiakan mikroorganisme, pada fase ini didominasi oleh mikroba mesofilik. Pada minggu ke 35 suhu menurun menuju suhu udara 33 oC, pada saat ini dekomposisi limbah akhirnya menjadi materi yang stabil yang disebut kompos. Menurut Miller (1991), suhu merupakan penentu dalam aktivitas pengomposan. Pengontrolan suhu dalam timbunan kompos penting untuk mengoptimumkan penguraian bahan organik dan mematikan mikroorganisme pathogen (Polprasert, 1989). Pengomposan merupakan proses penguraian bahan organik secara biologis menjadi material seperti humus dalam kondisi aerobik yang terkendali. Dalam penelitian ini menggunakan EM4 (Effective Microorganism) yang terdiri dari bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomycestes sp, ragi, Actinomycetes, yang bekerja secara efektif memfermentasikan bahan organik. Fungsi EM4 untuk mengaktifkan bakteri pelarut, meningkatkan kandungan humus tanah. Bakteri fotosintetik membentuk zat-zat bermanfaat yang menghasilkan asam amino, asam nukleat dan zat-zat bioaktif berasal dari gas berbahaya dan berfungsi untuk mengikat nitrogen dari udara. Bakteri asam laktat berfungsi untuk fermentasi bahan organik jadi asam laktat, mempercepat perombakan bahan organik, lignin dan selulosa serta menekan pathogen dengan asam laktat yang dihasilkan. Actinomicetes menghasilkan zat anti mikroba dari asam amino yang dihasilkan bakteri fotosintetik. Ragi menghasilkan zat anti biotik menghasilkan enzim dan hormon, sekresi ragi menjadi substrat untuk mikroorganisme efektif bakteri asam laktat actinomicetes. Dari hasil pengukuran pH menggunakan kertas lakmus, perubahan pH selama pengamatan terlihat dalam gambar 2.

A-109

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Tabel 1. Hasil pengujian kualitas kimia kompos Parameter Parameter EM4 Minimal pH Kadar air (%) C-organik (%) N total (%) Nisba C/N P2O5 (%) K2O (%) CaO (%) MgO (%) S (%) Na (%) Fe (%) Mn (%) Zn (mg/kg) Al (%) 7,48 25,99 18,56 1,56 12 2,1 2,5 2,29 1,14* 0,36 0,09 1,033 0,0777 255 2,07 ** ** ** ** 2,00 0,10 500 2,20 27 0,40 10 0,10 0,20 ** ** 0,01*) 25,5 0,60 0,02**) 20 6,80 SNI Maksimal 7,49 50 58

Keterangan : * Tidak memenuhi satandar kualitas kompos menurut SNI ** Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum *) Nilai yang dipersyaratkan berdasarkan kriteria kompos Internasional Kadar air kompos sebesar 25,99 %, nilai yang dihasilkan memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar maksimum yang diperbolehkan 50 %. Kandungan air berkaitan dengan ketersediaan oksigen untuk aktivitas mikroorganisme aerobik, bila kadar air bahan berada pada kisaran 40 % 60,5 %, maka mikroorganisme pengurai akan bekerja optimal (Sudrajat, 2002). Kadar C organik kompos sebesar 18,56 %, memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar minimum 27 % dan maksimum yang diperbolehkan 58 %. Carbon dibutuhkan mikroorganisme untuk proses pengomposan. Kadar C di dalam kompos menunjukkan kemampuannya untuk memperbaiki sifat tanah (Haught, R.T., 1995). Kadar Nitrogen total kompos sebesar 1,56 %. Kadar Nitrogen total memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar minimal 0,40 %. Kadar Nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk pemeliharaan dan pembentukan sel tubuh. Makin banyak kandungan nitrogen, makin cepat bahan organik terurai, karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk perkembangannya. Nilai C/N rasio kompos sebesar 12. Nisba C/N memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana nilai yang dipersyaratkan 10 dan maksimal 20, menurut Sofian (2007) nilai Nisba C/N yang dihasilkan aman bagi tanaman. Nilai Nisba C/N menunjukkan tingkat kematangan kompos. Nilai C/N kurang dari 30 menujukkan proses pengomposan telah selesai yang ditandai dengan warna kompos cokelat kehitaman, tidak berbau menyengat, seperti terlihat dalam tabel 2. Kadar P2O5 kompos sebesar 2,1 memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan minimal 0,10 %. Pada proses pengomposan terjadi pengikatan unsur hara dalam mikroorganisme, diantaranya fosfor (P), nitrogen (N)) dan kalium (K). Unsur-unsur tersebut akan terlepas kembali bila mikroorganisme tersebut mati. Kadar K2O kompos sebesar 2,5 % memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan minimal 0,20 %. Dalam proses pengomposan, sebagian besar kalium dalam bentuk yang mudah larut, sehingga mudah diserap tanaman. Kadar CaO kompos sebesar 2,29 %, memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan maksimal 25,5 %. Fungsi kalsium dalam tanaman untuk membentuk dinding sel yang sangat diperlukan

A-110

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

dalam proses pembentukan sel baru, mendorong terbentuknya buah dan biji, sedangkan dalam tanah berfungsi untuk menetralisir pH (Simamora dan Salundik, 2006). Kadar MgO kompos sebesar 1,14 %. Kadar MgO tidak memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan maksimal 0,60 %, hal ini menunjukkan bahwa kompos aman digunakan untuk pupuk tanaman dan tidak akan membahayakan manusia apabila tanaman tersebut dikonsumsi. Unsur Mg berperan sangat penting dalam proses fotosintesis dan pembentukan klorofil bersama besi. Kadar S kompos sebesar 0,36 %. Kadar S memenuhi standar kualitas kompos menurut Pasar khusus dan Pusri dimana nilai yang dipersyaratkan Pasar khusus 0,01 % dan Pusri 0,02 %. Unsur S dalam tanaman berperan dalam proses pembentukan protein, pembentukan klorofil, meningkatkan ketahanan dalam tanaman (Novizan, 1999). Kadar Na kompos sebesar 0,09 %. Natrium mempunyai sifat higroskopis, artinya bahwa unsur Na mudah menyerap air dan menahan air cukup kuat, sehingga tanaman tahan akan kekeringan. Unsur Na membantu proses transportasi dalam tubuh tanama, sehingga hasil-hasil fotosintesis dapat dibawa dan diakumuasi pada tempat-tempat penyimpanan (Anwar, S, 2012). Kadar Fe kompos sebesar 1,033 %, memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan maksimal 2,20 %. Fe merupakan unsur mikro yang dibutuhkan tanaman untuk membentuk klorofil, beberapa enzim dan sebagai aktifator dalam proses biokimia seperti fotosintesa dan respirasi (Novizan, 1999). Kadar Mn kompos EM4 0,0777 % memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan maksimal 0,10 %, hal ini menunjukkan bahwa kompos aman bagi tanaman. Unsur Mn dalam tanaman berfungsi sebagai aktifator berbagai enzim yang berperan dalam proses perombakan karbohidrat dan metabolisme nitrogen, membantu terbentuknya sel-sel klorofil, dan berperan dalam sistesis berbagai vitamin (Novizan, 1999). Kadar Zn kompos sebesar 255 mg/kg, memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan maksimal 500 mg/kg. Unsur Fe, Zn dan Cu termasuk unsur mikro esensial yang diperlukan tanaman. Dengan kadar yang memenuhi standar berarti kompos yang digunakan akan menjamin kesehatan tanaman dan manusia yang mengkonsumsinya. Kadar Al kompos sebesar 2,07 %. Kadar Al memenuhi standar kualitas kompos menurut SNI, dimana kadar yang dipersyaratkan maksimal 2,20. Alumunium sebenarnya merupakan unsur beracun bagi tanaman. Dalam keadaan tertentu tanaman dapat membatasi serapan Al, sehingga terhindar dari keracunan. Tanaman dapat membentuk dinding tebal pada akr rambut, dengan ujung akar yang membengkak meyerupai kail. Keracunan Al merupakan salah satu faktor utama yang membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah masam. Pengaruh yang penting diperhatikan dari Al adalah menghambat pertumbuhan pada genotip yang peka terhadap Al dengan mempengaruhi pengambilan hara da air. Terhambatnya akar oleh keracunan Al dapat mengurangi kemampuan akar dalam menyerap hara dan air, sehingga dapat menginduksi zat hara dan kepekaan terhadap kekeringan (Handiri, 2012). Tabel 2 : Hasil pengujian kualitas fisik kompos dibandingkan dengan kriteria kualitas fisik kompos menurut SNI Parameter Parameter Hasil uji SNI Suhu o Suhu air tanah 33 C Warna Bau Coklat kehitaman Berbau tanah Coklat kehitaman Berbau tanah

Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian kualitas kompos selama pengamatan dan dibandingkan dengan standar SNI nomor 19-7-30-2004 (Badan Standarisasi Nasional, 2004), suhu kompos 33 oC memenuhi standar SNI yaitu sesuai dengan suhu air tanah. Warna kompos yang telah matang memenuhi standar SNI yang menunjukkan warna coklat kehitaman. Bau yang dihasilkan kompos memenuhi SNI yaitu berbau tanah. Kualitas fisik kompos menurut Djuarnani, dkk. (2005) adalah kompos yang telah terdekomposisi dengan sempurna dan tidak menimbulkan efek merugikan bagi tanaman. Kompos yang kualitasnya baik memiliki beberapa ciri sebagai berikut, berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah, tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi. Sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirifosfat, atau larutan amonium oksalat dengan menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih lanjut menjadi zat humic, fulfic dan humin. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah dan pertumbuhan tanaman, suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, tidak mengandung asam lemak yang menguap dan tidak berbau. Pada akhir pengomposan terjadi penyusutan sebesar 58,6 %, terjadinya penyusutan ini disebabkan adanya proses pencernaan, dimana bahan organik diurai menjadi unsur-unsur yang dapat diserap oleh mikroorganisme, sehingga ukuran bahan organik berubah menjadi partikel-partikel kecil, yang menyebabkan volume kompos menyusut. Selain itu proses pencernaan menghasilkan panas yang menguapkan kandungan air dan CO2 dalam limbah nanas dan menyebabkan berat kompos menyusut. Keuntungan dalam impementasi pembuatan kompos di UKM Alam Sari di desa Tambak Mekar Kecamatan Jalan Cagak Kabupaten Subang antara lain : melakukan pengolahan limbah nanas untuk diolah menjadi produk yang A-111

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

mempunyai nilai jual, mengurangi sampah / limbah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), mengurangi beban Pemda dalam penanggulangan sampah, menciptakan lapangan kerja untuk usaha pengolahan limbah dalam industri kecil daur ulang dan kompos, mengatasi permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah. Kendala yang dihadapi kurang populernya kompos di masyarakat menyebabkan kompos sebagai produk utama merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam tujuan komersial.

Kesimpulan
Pengomposan limbah nanas di UKM pengolahan nanas dengan teknologi sederhana dapat diimplemntasikan, dengan inokulasi EM4 mengahasilkan kompos dalam waktu 35 hari, dengan kuaitas kompos yang memenuhi standar SNI nomor 19-7030-2004 untuk parameter kadar air, nilai pH, C-organik, Nitrogen total, nisba C/N, P2O5, K2O, CaO, S, Fe, Mn, Zn, Al. Hasil produksi kompos mengalami penyusutan sebesar 58,6 %. Daftar Pustaka [1] Anwar, S., Fungsi Unsur Hara Makro dan Mikro, 2012, diakses dari www.semutuyet.blogspot.com/2012/05/fungsi-unsur-hara-makro-dan-mikro.html. [2] Badan Standarisasi Nasional SNI Standar Nasional Indonesia, 19-7030-2004, Panitia Teknis Konstruksi dan Bangunan (21S), Bandung. [3] Buletin Teknopro Hortikultura, Manfaat Nanas bagi Kesehatan, edisi 71, Juli 2004, diakses dari www.wistara.wordpress.com/2009/04/03/kandungan-gizi-nanas. [4] Crawford, J.H., Composting of Agricultural Waste, In Biotechnology Application and Research, Paul N., Cheremisinoff and R.P. Oulette, 2003. [5] Djuarnani, N., Kristian, Setiawan, B.S., Cara Cepat Membuat Kompos, Jakarta, Agromedia Pustaka, 2005. [6] Miller, F., 1991, Biodegradation of solid waste by composting. Dalam Martin, A.M. Biological degradation of waste, Elsevier, London. [7] Handiri, Kimia Tanah, 2012, diakses dari www.wordpress.com/kimia-tanah/ [8] Novizan. Pemupukan yang Efektif, Jakarta, Pustaka Media, 1999. [9] Polpasert, C., 1989, Organic Waste Recycling, Chilchester, John Wiley & Sons. [10] Rani, Pengaruh Pemanfaatan Azotobacter chrococcum Dalam Limbah Nanas Sebagai Inocculant terhadap Waktu Terjadinya Kompos Sampah Organik, 2010, diakses dari www.raniabcd-rani.blogspot.com/2010/03/pengaruhpemanfaatan-azotobacter.html [11] Robinson, R.E., Kimmel and Avnimelech, Energy and mass Balance of Windrow Composting System Transaction of ASAE, vol. 43, pp, 1253 1259, 2000. [12] Sriharti dan Salim, T., Pembuatan Kompos Limbah Nanas dengan Menggunakan Berbagai Bahan Aktivator, Jurnal Purifikasi, vol. 7, no. 2, pp. 163-168, Desember 2006. [13] Sriharti dan Salim, T., Pemanfaatan Limbah Nanas untuk Pembuatan Kompos menggunakan Komposter Rotary Drum, Jurnal Purifikasi, vol. 8, no. 1, pp. 19 24, Juni 2007. [14] Simamora, S. dan Salundik, Meningkatkan Kualitas Kompos, Depok, AgroMedia Pustaka, 2006. [15] Sudrajat, Mengelola Sampah Kota, Solusi mengatasi sampah kota dengan manajemen terpadu dan mengolahnya menjadi energi listrik dan kompos, Depok, Penebar Swadaya, 2002.

A-112

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Produksi Hidrogen dari Limbah Biomasa dengan Gasifikasi Hidrotermal


Sutarno Prodi Teknik Kimia/Tekstil FTI Universitas Islam Indonesia Jl. Kali Urang Km 14,5 Sleman, Yogyakarta Telepon (0274) 895287 Email: sutarno_uii@yahoo.com Abstract Biomass is material useful sop to chemical energy source. Hydrothermal gasification of waste biomass has been identified as a system that allows for producing hydrogen. Supercritical and subcritical water has attracted much attention as a reactant and reaction medium is environmentally friendly. The main objective of this study was to assess and introduce the hydrothermal gasification of waste biomass that contains a number of model compounds in biomass. Decomposition of biomass, as the basis of hydrothermal treatment of organic waste can eliminate the character formation of tar to produce hydrogen is higher. Kata kunci: limbah biomassa, hidrogen, gasifikasi hidrotermal, air subkritis dan superkritis.

Pendahuluan
Biomassa adalah zat yang terbuat dari senyawa organik yang awalnya diproduksi dengan menyerap karbon dioksida di atmosfer selama proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan. Selama species biomassa asli direproduksi, dalam siklesnya terdapat karbon dioksida dan bentuk lain dari karbon atau material di atmosfer dapat kita gunakan sebagai energi. Karena konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dalam siklus ini secara teoritis tetap konstan, maka biomassa diharapkan menjadi salah satu sumber energi utama yang terbarukan untuk masyarakat secara berkelanjutan di masa depan. Dalam dekade terakhir, minat untuk menggunakan biomassa sebagai energi dan diproduksi sebagai sumber daya energi telah meningkat. Sumber daya Energi biomassa dapat berkontribusi dan tumbuh dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan sumber daya energi dimasa datang (Matsumura et al., 2006). Penggunaan biomassa sebagai sumber daya energi alternatif dapat menghindari peningkatan karbon dioksida di atmosfer dan akan membantu untuk memenuhi kewajiban Protokol Kyoto dalam rangka mengurangi pelepasan karbon dioksida. Di masa lalu, biomassa kering, seperti kayu dan jerami, dapat diterapkan proses gasifikasi termokimia secara konvensional. Pada saat yang sama, pembakaran limbah pertanian adalah metode yang paling penting untuk pemanasan di pedesaan Cina. Biomassa dalam bentuk basah seperti limbah lumpur, kotoran ternak, limbah industri makanan dan metanisasi bio telah menjadi satu-satunya metode yang di pergunakan. Metanisasi bio adalah reaksi lambat yang memerlukan waktu hampir 2-4 minggu, dengan cara fermentasi lumpur. Tetapi air limbah dari reaktor sekarang menjadi masalah besar di Cina. Akhir-akhir ini, sejumlah besar gas hidrogen digunakan dalam industri petrokimia dan industri kimia lainnya. Perkembangan fuel cells di masa depan juga akan merangsang kebutuhan gas hidroen. Namun, hidrogen adalah gas yang tidak dapat langsung tersedia di alam, dan karena itu harus dihasilkan dari zat lain. Kebanyakan proses industri hidrogen dalam memproduksi hidrogen menggunakan teknik reforming, yang membutuhkan hidrokarbon, dan berasal dari industri minyak. Dengan demikian, hidrogen diproduksi dengan cara yang tidak bisa lagi dianggap sebagai "gas bersih," terutama karena rantainya dengan produksi minyak, yang dibatasi oleh pembentukan karbon dioksida dan oleh aspek geopolitik. Dalam upaya pengurangan efek rumah kaca dan ketergantungan ekonomi pada bahan bakar fosil sangat tergantung pada pengurangan bahan bakar dari minyak dan gas bumi, maka cara-cara baru produksi gas hidrogen telah dipelajari di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu proses itu adalah gasifikasi biomassa, yang memiliki keuntungan memulihkan limbah. Proses ini tidak hanya dapat digunakan untuk mensintesis bahan bakar hidrogen tetapi juga bahan bakar dan sejumlah besar senyawa kimia yang berbeda. Dengan demikian, gasifikasi menawarkan fleksibilitas, baik terhadap bahan baku maupun produk akhir. Namun, proses dipelajari dengan baik, yang biasanya menggunakan uap suhu tinggi (> 973 K) di bawah tekanan atmosfer, namun tidak hanya menghasilkan hidrogen tetapi juga karbon monoksida. Dalam upaya untuk mengatasi masalah ini, peneliti bioenergi berfokus pada teknologi yang disebut gasifikasi hidrotermal.

A-113

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk menilai kemajuan dekomposisi limbah biomassa dan senyawa model dalam kondisi hidrotermal. Pada saat yang sama, dikaji juga kemajuan terbaru dari gasifikasi biomassa di bawah kondisi hidrotermal. Perkembangan pemanfaatan hidrotermal limbah biomassa juga ditinjau. Karakter Perlakuan hidrotermal Yang menarik dari perlakuan hidrotermal, yaitu, air dengan suhu dan tekanan dekat di atas titik kritis (T > 374 oC dan P >22 MPa), berfungsi sebagai media reaktif karena sifat pengangkutan yang spesifik dan pernyenyawaan yang dapat larut (solubilization). Memang, dalam kondisi seperti itu, air mengalami variasi sifat fisik yang signifikan, seperti penurunan konstanta dielektrik, konduktivitas termal, produk ion, dan viskositas, sedangkan densitas hanya berkurang perlahan-lahan. Dengan demikian, air bertindak sebagai pelarut non-polar homogen difusivitas tinggi dan bersifat pengangkut yang tinggi, mampu melarutkan setiap senyawa organik dan gas (Masaru et al, 2004;. Petrus dan Eckhard, 2001; Phillip, 1999;. Marc et al, 2004). Dalam proses tersebut, hidrogen dapat diproduksi pada kesetimbangan termodinamika karena kondisi operasi. Reaksi kimia dengan efisiensi tinggi dapat diperoleh dalam kasus campuran air organik tanpa keterbatasan pengangkutan antarmuka. Oleh karena itu, hasil konversi menjadi signifikan (> 99%) dengan persentase yang agak tinggi (hingga setidaknya 50%) hidrogen dalam gas terbentuk ketika limbah contoh diperlakukan. Selanjutnya, hidrogen diproduksi pada tekanan tinggi secara langsung, yang berarti volume reaktor lebih kecil dan energi lebih rendah untuk menekan gas dalam tangki penyimpanan. Sebagian besar limbah biomassa, misalnya, dari industri pertanian dan makanan, adalah biomassa basah yang mengandung air sampai 95%. Biomassa basah ini menyebabkan biaya pengeringan tinggi jika digunakan gasifikasi fase gas klasik atau proses pencaira. Hal ini dapat menguntungkan dengan menghindari penggunaan gasifikasi atau pencairan dalam air mendekati-kritis dan superkritis. Penggunaan air dalam kondisi hidrotermal, bukan steam tekanan atmosfir, bisa menguntungkan untuk mengkonversi biomassa menjadi hidrogen murni. Memang, dalam kondisi tekanan dan suhu tinggi tersebut, memungkinkan untuk mendapatkan tingkat konversi yang tinggi berkat biomassa mendapatkan sifat tertentu air superkritis dan subkritis. Baru-baru ini, para peneliti fokus pada pemanfaatan limbah biomassa dalam air subkritis dan superkritis. Melalui perlakuan hidrotermal, mereka memperoleh bahan baku kimia yang berguna, seperti asam asetat dan asam laktat. Jin et al. (2001, 2003, 2005) melakukan serangkaian percobaan untuk meneliti konversi hidrotermal air biomassa dan jalur kontrol reaksi hidrotermal untuk meningkatkan hasil asam asetat. Sebuah kemajuan telah dibahas dua langkah hidrotermal untuk meningkatkan hasil asam asetat. Langkah pertama adalah untuk mempercepat pembentukan HMF, 2FA, dan asam laktat, dan langkah kedua adalah untuk lebih mengubah furan (HMF, 2-FA) dan asam laktat dihasilkan pada langkah pertama, untuk asam asetat oleh oksidasi dengan memasok oksigen baru. Asam asetat yang diperoleh dengan proses dua langkah tidak hanya memiliki hasil yang tinggi tetapi juga kemurnian yang lebih baik. Kontribusi dua jalur melalui furan dan asam laktat dalam proses dua-langkah untuk mengubah karbohidrat menjadi asam asetat kasar diperkirakan 85-90%. Pada saat yang sama, asam laktat, glukosa, dan asam asetat juga diproduksi oleh kelompok peneliti lain (Armando et al, 2002;. Motonobu et al, 1998, 2004,. Lourdes dan David, 2002; Shanableh, 2000).

Dekomposisi Limbah Biomassa Mekanisme katalis proton, mekanisme pemecahan langsung nukleofilik, mekanisme katalis ion hidroksida, dan mekanisme radikal memainkan peran penting dalam hidrolisis limbah biomassa. Sumber yang paling mungkin dari ion hidroksida dan hidroksida adalah suhu air tinggi itu sendiri, karena air subkritis dan superkritis memiliki kecenderungan kuat untuk mengionisasi kecuali air ambient, yang mana membuat air asam basa Brnsted dan bertindak sebagai katalis yang efektif (Jin et al., 2005 ). Dekomposisi limbah biomassa di bawah kondisi hidrotermal termasuk hidrolisis, peleburan, pirolisis, dan semuanya itu mendukung dekomposisi dan gasifikasi. Pada saat yang sama, proses di bawah kondisi hidrotermal menunjukkan kesamaan dengan metode lainnya serta perbedaan yang signifikan karena adanya air sebagai reaktan, media reaksi, dan katalis (Peter, 2004, Noam dan Ronald, 2003; Oka et al. , 2002). Biasanya, jalur reaksi kimia dirinci dengan didefinisikan dengan baik tahap reaksi tunggal tidak bisa menggambarkan degradasi biomassa dalam air superkritis dan subkritis. Salah satu alasannya adalah bahwa biomassa adalah kombinasi dari selulosa, dan hemiselulosa lignin. Komponen-komponen ini berinteraksi satu sama lain, yang mengarah ke mekanisme kimia yang sangat kompleks. Mekanisme kimia menginduksi pembentukan hidrogen dari biomassa mentah dan dekomposisi yang sangat kompleks dan tidak dapat dengan mudah diringkas (Minowa et al., 1998, 1999). Adalah mungkin untuk mengatakan bahwa pirolisis, hidrolisis, steam reforming, pergeseran gas- air, methanasi, dan reaksi lainnya berperan dalam kimia gasifikasi. Alasan lain adalah bahwa hal ini terutama proses heterogen, melanjutkan dibagian dalam, dan khususnya, pada permukaan partikel biomassa. Reaksi heterogen tidak dapat langsung dibandingkan dengan reaksi homogen senyawa organik lainnya. Di sini, studi dari "komponen murni" seperti selulosa kristal menyebabkan informasi yang lebih rinci. Limbah biomassa dapat diurai melalui perlakuan hidrotermal dalam fase air, minyak, gas, dan residu. Prosedur dekomposisi biomassa ditunjukkan pada Gambar 1 (Minowa et al., 1999).

A-114

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 1. Prosedur dekomposisi biomassa. (Minowa et al., 1999). Pada daerah suhu rendah, oligomer adalah produk pencairan utama biomassa, adalah bagian senyawa organik yang paling rendah. Pada saat yang sama, tingkat konversi oligomer jauh lebih cepat daripada laju hidrolisis limbah biomassa. Jadi, jika hidrolisis produk seperti oligomer atau glukosa yang terbentukpun, dekomposisi lebih lanjut mereka cepat berlangsung, sehingga hasil yang tinggi dari produk hidrolisis tidak dapat diperoleh. Namun, di sekitar titik kritis, tingkat hidrolisis melompat ke urutan tingkat yang lebih tinggi dan menjadi lebih cepat daripada tingkat dekomposisi oligomer. Bila suhu lebih tinggi dari 400 oC, rusaknya interior dan terjadi rantai antarmolekul H-H bersama-sama mempermudah menghasilkan sejumlah besar H2, CO, CH4, dan tar (Mitsuru. et al, 2000, 2003, Kim et al, 2004).. Untuk membahas kimia secara sepintas lalu, di sini senyawa kunci seperti kristal, selulosa, glukosa, dan asam organik diidentifikasi dan diukur dalam studi konversi biomassa dalam air. Senyawa ini dibentuk oleh jalur reaksi khas yang berbeda, dan oleh karena itu diperlukan sarana untuk membandingkan proses kimia yang kompleks. Kuncinya Senyawa memungkinkan untuk membandingkan hasil dari reaksi senyawa dengan Model reaksi biomassa. Perbandingan perubahan konsentrasi senyawa utama untuk berbagai jenis biomassa harus memberikan petunjuk tentang pengaruh komposisi biomassa mengenai kimia. Misalnya, melalui studi dasar model senyawa selulosa (kristal, selulosa, glukosa) dan produk dekomposisinya dan dibandingkan dengan data literatur, jalur reaksi utama seperti yang telah dijelaskan. Gambar 2 menunjukkan hasil dekomposisi selulosa (Mitsuru et al, 1998;. Jin et al, 2004;. Bicker et al, 2005.).

Gambar 2. Jalur utama reaksi dekomposisi selulosa.( Bicker et al, 2005.). Hidrolisis selulosa menghasilkan oligomer dan glukosa. Perubahan glukosa epimerizes menjadi fruktosa oleh the Lobry de Bruyn-Alberda van Ekenstein (LBAE) atau terurai menjadi erythrose glikolaldehida plus atau glyceraldehydes ditambah dihidroksiaseton. Fruktosa yang diproduksi juga terurai menjadi erythrose glyceraldehydes plus atau gliseraldehida ditambah dihydroxyacetone. Gliseraldehida terkonversi menjadi dihidroksiaseton dan keduanya (gliseraldehida dan dihydroxyacetone) di dehidrasi dalam pyruvaldehyde. Pyruvaldehyde, erythrose, dan glikolaldehida terurai lanjut menjadi spesies yang lebih kecil, terutama asam, aldenydes, dan alkohol dari karbon 1-3.

A-115

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Gasifikasi Biomassa Biomassa dapat sangat efektif digunakan bila dikonversi menjadi bahan bakar gas, terutama gas hidrogen (Knoef, 2005). Untuk menghasilkan hidrogen dari air menggunakan biomassa, biomassa yang pertama benar gasifikasi, dan kemudian gas produk direformasi menjadi hidrogen melalui reaksi dengan air. Biomassa teknologi gasifikasi dirangkum dalam Gambar 3.

Gambar 3. Metode utama gasifikasi biomassa. (Knoef, 2005). Sebagian besar penelitian didorong oleh kepentingan ekonomi dan kemajuan teknologi di alam ini, berdasarkan data kinerja gasifier yang diperoleh selama uji pembuktian konsepsional system adalah kurangnya penekanan yang diberikan terhadap penyelidikan eksperimental produksi hidrogen melalui gasifikasi biomassa. Sampai saat ini, semua peralatan proses yang diperlukan untuk menghasilkan hidrogen telah mapan dalam penggunaan komersial, kecuali untuk membandingka gasifier. dengan gasifikasi termokimia biomassa lainnya seperti gasifikasi udara atau gasifikasi uap, gasifikasi hidrotermal langsung bisa menguraikan biomassa basah tanpa pengeringan dan memiliki efisiensi gasifikasi tinggi pada suhu yang lebih rendah. Pembaruan energi dari biomassa secara uap sebagai sumber hidrogen yang layak diusulkan oleh Antal et al. (1994) di Hawaii Natural Energy Institute (HNEI). Ppenelitian selanjutnya mengungkapkan bahwa pirolisis uap hasil biomassa dalam pembentukan gas banyak menghasilkan arang tahan panas. Hasil hidrogen tidak tinggi. Akibatnya, perhatian terhadap pirolisis biomassa sebagai sumber hidrogen menurun. Setelah satu dekade ketidaktertarikan, bekerja dengan pembaruan steam biomassa dalam air sebagai sumber hidrogen dimulai lagi, berfokus pada gasifikasi hidrotermal. Penelitian eksperimental sistematis dengan konversi dan gasifikasi biomassa dengan perlakuan hidrotermal dilakukan oleh Elliott dan Sealock (1996) di Pacific Northwest Laboratory (PNL) Amereka serikat, Minowa di National Institute for Resources and Environment (NIRE) dari Jepang (Usui et al, 2000.), dan Schmieder et al. (2000) di Forschungszentrum Karlsruhe Institut fr Technische Chemie (FKITC) dari Jerman. Bersamaan dengan itu, kelompok lain juga mengangkat banyak penelitian tentang gasifikasi limbah biomassa dan senyawa model mereka.

Kemajuan Gasifikasi Kruse dan Gawlik (2003), Kruse dan Henningsen (2003), Kruse et al. (2005), dan Sinag et al, (2004). mempelajari degradasi biomassa dalam kisaran suhu 330 oC 410 oC dan tekanan 30-50 MPa dan dengan waktu reaksi 15 menit. Membandingkan dengan hasil studi senyawa model sebelumnya, misalnya, glukosa atau selulosa, dengan degradasi biomassa adalah untuk mengidentifikasi jalur reaksi kimia. Penyerderhanaan mekanisme reaksi degradasi selulosa selama gasifikasi hidrotermal ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Representasi skematik dari gasifikasi selulosa. (Kruse dan Gawlik, 2003),

A-116

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Hasil menunjukkan bahwa senyawa utama adalah fenol (fenol dan Kresol), furfural, asam (asam asetat, asam format, asam laktat, dan asam levulinic), dan aldehida (aldehida asetat dan aldehida formiat). Melalui gasifikasi biomassa dalam reaktor tangki berpengaduk secara kontinyu (continuously stirred tank reactor/CSTR), mereka mengidentifikasi bahwa hasil tentang ketergantungan kandungan material kering pada pembentukan gas, total kadar karbon organik, dan konsentrasi fenol sangat berbeda. Dalam CSTR peningkatan kandungan material kering cenderung hasil gasnya meningkat, khususnya CH4, tidak ada arang/kokas dan tidak ada peningkatan pembentukan arang dengan meningkatnya kandungan bahan kering, dan fenol hasilnya juga meningkat. Alasannya mungkin karena pemanasan sangat cepat dan kembali terjadi pencampuran, yang mana mengarah pada adanya hidrogen reaktif selama langkah degradasi biomassa. Disini pembentukan fenol adalah rintangan terakhir selama menyelesaikan konversi. Ini tidak ditemukan dalam reaktor batch. Biomassa adalah jauh lebih kompleks karena biomassa mengandung banyak zat yang berbeda. Terutama, pengaruh garam yang sangat signifikan dan, di samping itu, agak rumit. Pada saat yang sama, pengaruh sifat air dari kondisi subkritis ke kondisi superkritis dalam degradasi biomassa juga jelas.

Senyawa Model dan Gasifikasi Biomassa sebenarnya Beberapa peneliti memilih glukosa sebagai representasi senyawa model biomassa untuk gasifikasi dalam kondisi hidrotermal. Gas utama yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukan Paul dan Jude (2005) adalah karbon dioksida, karbon monoksida, metana, dan hidrogen, dan disitu ada adalah produksi minyak dan arang sangat signifikan. Ketika suhu dan konsentrasi oksidan, hidrogen peroksida, meningkat, ada peningkatan hasil gas. Peningkatan konsentrasi oksidan dan hidrogen peroksida, akan mengurangi jumlah produk arang, minyak, dan larut dalam air. Hasil produk dan komposisi tidak secara signifikan berubah dengan temperatur (dan tekanan) dan waktu tinggal. Kenaikan glukosa dalam sistem reaktor menyebabkan penurunan dalam gasifikasi glukosa dan hasil pembentukan arang dan minyak secara signifikan . Lee et al. (2002) melaporkan gasifikasi glukosa menggunakan tabung-aliran reaktor pada suhu 480 oC-750 oC dengan tekanan 28 MPa. Yield hidrogen meningkat tajam dengan meningkatnya suhu lebih 660 oC. Hal ini diyakini karena pergeseran air-gas. Reaksi terjadi secara signifikan pada suhu lebih 660 oC. Metana diidentifikasi sebagai sangat stabil senyawa dalam air superkritis pada temperatur setinggi 700 oC.. Efisiensi gasifikasi karbon tetap 100% pada suhu 700 oC untuk berbagai tempat waktu tinggal reaktor antara 10-50 detik. Hao et al. (2003) menggunakan glukosa sebagai senyawa model biomassa untuk membentuk produk gas yang terdiri dari H2, CO, CH4 CO2, dan sejumlah kecil C2H4 dan C2H6. Glukosa pada konsentrasi rendah (ca. 0,1 M) dapat benar-benar tergasifikasi pada suhu 923,15 K, dengan tekanan 25 MPa, dan waktu tinggal 3,6 menit serta tidak ada arang atau ter yang diamati. Bahan baku biomassa dari bahan serbuk gergaji dengan beberapa CMC juga digasifikasi dalam sistem ini dan efisiensi gasifikasi mencapai lebih dari 95%. Ayhan (2004) menyelidiki hasil produk ekstraksi total dari ekstraksi air superkritis, yang mana meningkat dengan meningkatkan suhu selama semua dijalankan. yield hidrogen meningkat dengan meningkatnya temperatur dan tekanan selama semua dijankan, dan peningkatan yield hidrogen karena tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu. Takuya dan Yukihiko (2001) meneliti gasifikasi selulosa, xilan, dan lignin campuran dalam air superkritis pada 623 K dengan tekanan 25 MPa. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa penurunan produksi gas diamati untuk campuran yang mengandung lignin. Dengan demikian, mereka menduga bahwa selulosa atau xilan kemungkinan berfungsi sebagai donor hydrogen dengan lignin. Reaksi intermediet selulosa dan xilan dengan hasil lignin menurunkan produksi H2. Satu set persamaan dikembangkan untuk memperkirakan jumlah dan komposisi gas produk untuk secara akurat memprediksi hasil aktual hanya menggunakan fraksi lignin sebagai parameter. Ini menegaskan pentingnya efek fraksi lignin pada karakteristik gasifikasi hidrotermal. Katalis Gasifikasi Namun, dalam kenyataan, semua biomassa tidak bereaksi dengan air pada kondisi superkritis dan subkritis, meskipun reaktivitasnya lebih tinggi dalam media tertentu daripada tekanan uap di atmosfer. Setiap molekul organik tidak berubah menjadi hidrogen atau gas karbon dioksida secara signifikan. Jumlah ter atau aspal dan karakter dapat terbentuk selama reaksi. Pergeseran dari termodinamika ini memilki harapan, bagaimanapun, telah berkurang dengan penggunaan katalis. Katalis yang digunakan dalam percobaan dirangkum pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan kepada kita bahwa katalis basa adalah katalis yang paling penting, dan melalui katalis basa kita dapat meningkatkan laju yield hidrogen dalam gas. Sebuah mekanisme konversi disarankan yang terdiri dari dekomposisi molekul besar hingga molekul kecil di permukaan logam. Gasifikasi uap molekul kecil untuk menghasilkan CO dan H2, diikuti dengan methanisasi CO dan pergeseran reaksi CO untuk menghasilkan CH4 dan CO2. Katalis ditemukan menjadi sangat aktif dan stabil tanpa sintering (Tang dan Kuniyuki, 2005;. Osada et al, 2006).

A-117

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Katalis Logam. Takuya et al. (2004) melakukan gasifikasi lignin, selulosa, dan dicampur dengan katalis nikel dalam kondisi hidrotermal pada suhu 673 K dan tekanan 25 Mpa. Ketika lignin kayu lunak termasuk dalam bahan baku, efisiensi gasifikasi rendah tetapi jumlah katalisnya meningkat. Jumlah katalis yang cukup mencapai efisiensi gasifikasi tinggi bahkan untuk campuran selulosa dan mekanisme yang memungkinkan untuk kayu lunak lignin. Satu kemungkinan mekanisme adalah katalis yang dinonaktifkan oleh produk berlama-lama dari reaksi antara selulosa dan kayu lunak lignin. Namun gasifikasi lignin kayu dan rumput jauh lebih mudah. Takafumi et al. (2003) melakukan gasifikasi alkilfenol di hadapan berbagai katalis logam didukung suhu 673 K. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas katalis adalah dalam urutan Ru/calumina > Ru/karbon, Rh/karbon > Pt/c-alumina, P /karbon, dan P /c-alumina. Produk gas utama adalah metana, karbon dioksida, dan hidrogen. Analisis produk cairan itu menunjukkan bahwa dehydroxilasi terjadi lebih mudah daripada dealkilasi untuk mendukung rutenium dan rodium katalis. Jumlah dari hasil gas dan rasio metana dari 4-propylphenol dengan katalis alumina Ru/c meningkat dengan meningkatnya densitas air, sementara hasil produk cair menunjukkan maksimum pada 0,1 g/cm3. Gasifikasi berbagai alkil-fenol itu diselidiki melalui katalis Ru/c-alumina pada suhu 673 K dan tekanan 0,3 g/cm3 densitas air selama 15 menit. Hasil gas di atas 10% dan di urutan 4-isopropylphenol > 2isopropylphenol, 2-propylphenol > 4-propylphenol > 3-isopropylphenol. Komposisi gas metana 50-60%,% karbon dioksida 30-40, dan 10% hidrogen. Takuya dan Yoshito (2004) mengembangkan sistem aliran reaktor yang melancarkan gasifikasi glukosa dan larutan campuran glukosa-lignin pada suhu 673 K, dan tekanan 25,7 MPa. Sistem reaktor terdiri dari tiga reaktor kontinyu, yang merupakan reaktor pirolisis, sebuah reaktor oksidasi, dan reaktor katalitik dengan katalis nikel. Reaksi terjadi pada masing-masing reaktor sebagai berikut. Dalam reaktor pirolisis, terutama ada dua jenis reaksi: dekomposisi dan polimerisasi. Dekomposisi ini berlangsung pada tahap awal reaksi. Namun, lama tinggal dalam reaktor ini menyebabkan polimerisasi yang tidak diinginkan yaitu berupa sempalan biomassa. Akibatnya, waktu tinggal moderat dalam reaktor pirolisis yang menguntungkan dalam sistem reaktor. Dalam reaktor oksidasi, arang dan/atau produk arang yang efektif terurai melalui reaksi radikal yang dipimpin oleh oksidan ke produk berat molekul rendah dapat diurai dalam reaktor katalitik. Dengan waktu tinggal dalam reaktor oksidasi yang terlalu pendek, senyawa dengan berat molekul tinggi sebagaimana produk berlama-lama kurang terurai. Dalam reaktor katalitik, CO dikonversi menjadi H2 dan CO2 melalui pergeseran reaksi air-gas, dan senyawa berat molekul rendah cairan juga terurai menjadi gas. Namun, senyawa molekul berat sebagaimana berlama-lama dan / atau produk arang tidak mudah terurai melalui reaksi katalitik. Mereka mengungkapkan bahwa kondisi superkritis cocok untuk gasifikasi biomassa karena ter dan / atau produk arang terurai dengan mudah. Dengan menggunakan sebuah reaktor oksidasi bahkan pada suhu rendah (sekitar 673 K), mereka menyelesaikan masalah penyumbatan arang dan meningkatkan rasio gasifikasi dan kandungan gas hidrogen dalam gas produksinya. Mereka telah berhasil mencapai efisiensi gasifikasi tinggi berdasarkan karbon hingga 96% pada suhu 673 K, dan tekanan 25,7 MPa, dengan waktu tinggal total sekitar 1 menit. Produk utamanya adalah gas H2 dan CO2. Tabel 1: Kondisi gasifikasi biomassa hidrotermal katalitik Feedstock Glukosa Ni, Katalis K2CO3 Ni/carbon Ni Ru/carbon, Rh/carbon, Pd/carbon, Ru/c-alumina Pt/c-alumina, Pd/c-alumina Ni Kondisi Reaksi Produk utama gas o Hidrogen 500 C 360oC, 20 MPa 400oC, 25 MPa 400 oC metana, hidrogen metana, hidrogen Reaktor Tumbling batch autoclave Microreactor Reaktor tabung bom Rujukan Tang and Kuniyuki, 2005 Osada et al., 2006 Takuya et al., 2004 Takafumi et al., 2003

Air limbah Organik Selulosa, kayu lunak, kayu, dan lignin rumput Serbuk gergaji, jerami padi, alkilfenol

D- lignin Glukosa

400oC, 25.7 MPa 650oC, 22 MPa

Hidrogen

Reaktor aliran terus menerus Reaktor aliran tubular

Jagung dan pati kentanggel,

Carbon

Hidrogen

Takuya and Yoshito, 2004 Michael et al., 2000

A-118

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

serbuk gergaji, gel tepung jagung,limbah kentang Gliserol, glukosa, selobiosa, ampas tebu, limbah lumpur,limbah DoD N-hexadecane Organosolv-lignin Glukosa, katekol Karbon arang aktif 600oC, 34.5 MPa Reaktor aliran superkritis Xu et al., 1996

NaOH ZrO2 KOH K2CO3 KOH

400oC 30, 40 MPa 600oC, 25 MPa 600oC700oC

Hidrogen Hidrogen

Reaktor Batch

Vanili, glisin jerami, limbah, serbuk gergaji, lumpur, lignin pyrocatecho Kesimpulan

Hidrogen

Reaktor Batch autoclave, Reaktor aliran tubular Reaktor Batch dan Andrea et al., Reaktor aliran 2000 tubular

Masaru et al., 2003 Sharma et al., 2006

Gasifikasi hidrotermal limbah biomassa memberikan perspektif baru untuk memperlekukan dan pemanfaatan sampah organik. Hidrogen dapat diperoleh sebagai produksi utama di bawah kondisi hidrotermal ketika air berfungsi sebagai media yang ramah lingkungan dan potensial sebagai reaktan untuk industri yang melibatkan reaksi kimia. Dibandingkan dengan biomassa lainnya proses termokimia seperti pirolisis, gasifikasi, gasifikasi udara, atau gasifikasi uap, dan gasifikasi air superkritis, secara langsung dapat menangani biomassa basah tanpa pengeringan, dan memiliki efisiensi gasifikasi tinggi pada suhu yang lebih rendah. Katalisis harus menjadi solusi untuk memperoleh hasil hidrogen yang lebih tinggi dan untuk mengurangi jumlah karakter dan ter. Karbon dan katalis basa memainkan peran penting dalam peningkatan hasil dan rasio gas yang dihasilkan. Proses hidrotermal juga merupakan salah satu proses yang paling menjanjikan untuk konversi limbah biomassa menjadi material berguna di antara beberapa proses konversi biomassa. Melalui melaksanakan penelitian dasar dan pengembangan katalis, industrialisasi gasifikasi hidrotermal limbah biomassa akan terwujud. Daftar Pustaka [1] Andrea, K., Danny, M., Pia, R., et al. 2000. Gasification of pyrocatechol in supercritical water in the presence of potassium hydroxide. Ind. Eng. Chem. Res. 39:48424848. [2] Antal, Jr., M. J., Manarungson, S., and Mok, W. S.-L. 1994. Hydrogen production by steam reforming glucose in supercritical water. In: Advances in Thermochemical Biomass Conversion,Bridyewater A.V. (Ed.). London: Blackie Academic and Professional, pp. 13671377. [3] Armando, T. Q., Muhammad, F., Kilyoon, K., et al. 2002. Low molecular weight carboxylic acids produced from hydrothermal treatment of organic wastes. J. Hazard. Mater. B93:209220. [4] Ayhan, D. 2004. Hydrogen-rich gas from fruit shells via supercritical water extraction. Int. J. Hydrogen Energy 29:12371243. [5] Bicker, M., Endres, S., Ott, L., et al. 2005. Catalytical conversion of carbohydrates in sub-critical water: A new chemical process for lactic acid production. J. Mol. Catal. A: Chem. 239:151157. [6] Elliott, D. C., and Sealock, Jr., L. J. 1996. Chemical processing in high-pressure aqueous environments: Lowtemperature catalytic gasification. Trans. IchemE. 74:563566. [7] Jin, F. M., Zhou, Z. Y., and Enomoto, H. 2004. Conversion mechanism of cellulosic biomass to actic acid in subcritical water and acid-base catalytic effect of subcritical water. Chem. Lett.33:126127. [8] Jin, F. M., Zhou, Z. Y., and Takehiko, M. 2005. Controlling hydrothermal reaction pathways to improve acetic acid production from carbohydrate biomass. Environ. Sci. Technol. 39:18931902. [9] Kim, I. C., Park, S. D., and Kim, S. 2004. Effects of sulfates on the decomposition of cellobiose in supercritical water. Chem. Eng. Process. 43:9971005. [10] Knoef, H. 2005. Handbook Biomass Gasification. Netherlands: Biomass Technology Group Press, 2223. [11] Kruse, A., and Gawlik, A. 2003. Biomass conversion in water at 330C410C and 3050 MPa. Identification of key compounds for indicating different chemical reaction pathways. Ind. Eng. Chem. Res. 42:267279. [12] Kruse, A., and Henningsen, T. 2003. Biomass gasification in supercritical water: influence of the dry matter content and the formation of phenols. Ind. Eng. Chem. Res. 42:37113717. A-119

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

[13] Kruse, A., Krupka, A., and Schwarzkopf, V. 2005. Influence of proteins on the hydrothermal gasification and liquefaction of biomass. 1. Comparison of different feedstocks. Ind. Eng. Chem. Res. 44:30133020. [14] Lee, I. G., Kim, M. S., and Ihm, S. K. 2002. Gasification of glucose in supercritical water. Ind. Eng. Chem. Res. 41:11821188. [15] Lourdes, C., and David, V. 2002. Formation of organic acids during the hydrolysis and oxidation of several wastes in sub- and supercritical water. Ind. Eng. Chem. Res. 41:65036509. [16] Masaru, W., Takafumi, S., Hiroshi, I., et al. 2004. Chemical reactions of C1 compounds in nearcritical and supercritical water. Chem. Rev. 104:58035820. [17] Matsumura, Y., Sasaki, M., Okuda, K., et al. 2006. Supercritical water treatment of biomass for energy and material recovery. Combust. Sci. Technol. 178:509536. [18] Michael, Jr., J. A., Stephen, G. A., et al. 2000. Biomass gasification in supercritical water. Ind. Eng. Chem. Res. 39:40404053. [19] Mitsuru, S., Bernard, K., Roberto, M., et al. 1998. Cellulose hydrolysis in sub-critical and supercritical water. J. Supercrit. Fluids 13:261268. [20] Mitsuru, S., Tadafumi, A., and Kunio, A. 2003. Fractionation of sugarcane bagasse by hydrotherm treatment. Bioresour. Technol. 86:301304. [21] Motonobu, G., Ryusaku, O., Tsutomu, H., et al. 2004. Hydrothermal conversion of municipal organic waste into resources. Bioresour. Technol. 93:279284. [22] Noam, E., and Ronald, M. L. 2003. Review of materials issues in supercritical water oxidation systems and the need for corrosion control. Trans. Indian Inst. Met. 56:110. [23] Oka, H., Yamago, S., Yoshida, J., et al. 2002. Evidence for a hydroxide ion catalyzed pathway in ester hydrolysis in supercritical water. Angew. Chem. Int. Ed. 41:623625. [24] Osada,M., Sato, T., Watanabe,M., et al. 2006. Catalytic gasification of wood biomass in subcritical and supercritical water. Combust. Sci. Technol. 178:537552. [25] Peter, K. 2004. Corrosion in high-temperature and supercritical water and aqueous solutions: A review. J. Supercrit. Fluids 29:129. [26] Peter, K., and Eckhard, D. 2001. An assessment of supercritical water oxidation (SCWO): Existing problems, possible solutions and new reactor concepts. Chem. Eng. J. 83:207214. [27] Phillip, E. S. 1999. Organic chemical reactions in supercritical water. Chem. Rev. 99:603621. [28] Schmieder, H., Abeln, J., Boukis, N., et al. 2000. Hydrothermal gasification of biomass and organic wastes. J. Supercrit. Fluids 17:145153. [29] Shanableh,A. 2000. Production of useful organic matter from sludge using hydrothermal treatment. Water Res. 34:945951. [30] Sharma, A., Nakagawa, H., and Miura, K. 2006. A novel nickel/carbon catalyst for CH4 and H2 production from

organic compounds dissolved in wastewater by catalytic hydrothermal gasification. Fuel 85:179184. [31] Sinag, A., Kruse, A., Rathert, J. 2004. Influence of the heating rate and the type of catalyst on the formation of key intermediates and on the generation of gases during hydropyrolysis of glucose in supercritical water in a batch reactor. Ind. Eng. Chem. Res. 43:502508. [32] Takafumi, S., Mitsumasa, O., Masaru, W., et al. 2003. Gasification of alkylphenols with supported noble metal catalysts in supercritical water. Ind. Eng. Chem. Res. 42:42774282. [33] Takuya, Y., Yoshito, O., and Yukihiko M. 2004. Gasification of biomass model compounds and real biomass in supercritical water. Biomass Bioenergy 26:7178. [34] Tang, H. Q., and Kuniyuki, K. 2005. Supercritical water gasification of biomass: thermodynamic analysis with direct Gibbs free energy minimization. Chem. Eng. J. 106:261267. [35] Usui, Y., Minowa, T., Inoue, S., and Ogi, T. 2000. Selective hydrogen production from cellulose at low temperature catalyzed by supported group 10 metal. Chem. Lett. 346:11661167. [36] Xu, X. D., Yukihiko, M., Jonny, S., et al. 1996. Carbon-catalyzed gasification of organic feedstocks in supercritical water. Ind. Eng. Chem. Res. 35:25222530.

A-120

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Esterifikasi Terpentin dengan Asam Asetat Menggunakan Katalis Asam Sulfat


Diana1, 2), Septian Arief NR 2), Arief Budiman2, *) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia1) Jl. Kaliurang km. 14 Sleman Yogyakarta Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada2) Jl. Grafika no 2 Yogyakarta E-mail: abudiman@ugm.ac.id*)

Abstrak Indonesia adalah penghasil terpentin terbesar ke 3 di dunia. Terpentin merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang komponen utamanya adalah alpha pinene. Jikaalpha pinenedireaksikan dengan asam asetat menggunakan katalis asam sulfat akan dihasilkan ester. Dari hasil GCMS terdeteksi beberapa senyawa ester yang terbentuk seperti bornyl acetate, fenchyl acetate dan terpinyl acetate.Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari proses reaksi esterifikasi terpentin dengan asam asetat menggunakan katalis asam sulfat pekat. Reaksi esterifikasi dijalankan selama 180 menit pada berbagai suhu. Sampel diambil setiap 30 menit untuk dianalisis menggunakan gas chromatography (GC). Dari hasil analisis diperoleh pada menit ke 30 sampai menit ke 180memberikan konversi alpha pinene yang cenderung konstan untuk setiap kondisi isotermal. Percobaan dilakukan pada rentang suhu 45oC 75oC. Konversi alpha pinene akan meningkat dengan naiknya suhu reaksi dan bertambahnya jumlah katalis. Konversi maksimum yang dicapai adalah sebesar 61% yang terjadi pada suhu reaksi 75oC dan rasio alpha pinene:asam asetat:asam sulfat sebesar 1:1:0.06. Kata-kata kunci : terpentin, alpha pinene, esterifikasi. Pendahuluan
Tusam atau pinus adalah sebutan bagi sekelompok tumbuhan yang tergabung dalam marga pinus. Hasil hutan non kayuinisangat berpotensi untuk dikembangkan. Di Indonesia, getah pinus dihasilkan dari jenis pinus merkusii. Dari distilasi atau penyulingan getah pinus akan dihasilkan terpentin sebagai hasil atas dan gondorukem sebagai hasil bawahnya. Gondorukem berupa padatan berwarna kuning jernih sampai kuning tua. Sedangkan terpentin berbentuk cair berwarna jernih serta merupakan pelarut yang kuat.Produk gondorukem dapat diolah lebih lanjut untuk bahan baku industri kosmetik, antiseptik, perekat, cat, dll. Sedangkan terpentin dapat digunakan untuk bahan baku industri minyak cat, bahan pelarut, isolasi, dan farmasi. Indonesia merupakan negara produsen terpentin terbesar ketiga setelah China dan Brasil.Pengelolaan hutan pinus yang merupakan bahan baku pembuatan terpentin, saat ini ditangani oleh PT Perhutani yang merupakan BUMN dengan tugas menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan hutan. Dari tiga wilayah kerjanya yaitu Jateng (unit I), Jatim (unit II) dan Jabar-Banten (unit III) dihasilkan terpentin sebanyak 12.000 ton/tahun (Perum Perhutani, 2010). Produk terpentin sebagian kecil diolah oleh PT Perhutani Anugerah Kimia (anak perusahaan PT Perhutani) dan sisanya diekspor langsung dalam bentuk minyak terpentin. Tabel 1. Komposisi Terpentin Kandungan 65%-85% <1% 1%-3% 10%-18% 1%-3%

Alpha pinene Champhene Beta pinene 3-carene Limonene (ntp.niehs.nih.gov)

Terpentin dapat diolah menjadi berbagai produk turunannya sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Kandungan utama dari minyak terpentin adalah -pinene (Tabel 1) yang menjadi bahan baku utama dalam industri A-121

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012


parfum. Selain itu, -pinene juga merupakan bahan baku penting pembuatan fine chemicals yang mempunyai nilai jual tinggi seperti minyak pinus (pine oil), camphor, dan terpineol. Bahan kimia lain yang bisa disintesis dari -pinene adalah borneol yang digunakan secara luas di industri parfum dan farmasi. Potensi pasar borneol cukup besar dengan kebutuhan dunia sebanyak 75.000 ton/tahun dan sekitar 2300 ton/tahun diantaranya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lokal (Perhutani, 2011). Harga terpentin dipasaran sekitar Rp 25.000,00 /kg sedangkan jika berupa borneol harganya mencapai Rp 760.000,00 /kg. Secara alami, borneol terdapat di dalam berbagai tanaman seperti kayu manis (cinnamonum tree) dan sembung (blumea balsamifera). Borneol murni didapatkan dengan cara mengisolasinya. Peningkatan kebutuhan borneol mengharuskan pembuatan borneol secara sintesis. Salah satu rute proses yang dapat digunakan pada skala industri adalah esterifikasi pinene menjadi bornyl ester dan dilanjutkan dengan saponifikasi untuk mendapatkan borneol. Dari penelusuran pustaka didapatkan bahwa reaksi esterifikasi -pinene dapat dilakukan dengan mereaksikannya dengan asam klorida atau berbagai asam karboksilat, seperti asam asetat dan asam oksalat. Reaksi ini membutuhkan asam sebagai katalisator homogen maupun heterogen. Menurut Roman-Aguirre dkk, jika hidrasi -pinene dilakukan dengan katalis asam chlorida (HCl), konversi -pinene mampu mendekati 100% pada menit pertama reaksi, namun produksi -terpineolnya minimum. Bornyl chloride menjadi produk utama reaksi ini, diikuti dengan isomer-isomer -pinene, yang paling utama adalah -terpinene dan limonene. Hal tersebut dikarenakan HCl merupakan asam yang kuat sehingga sejak awal pembentukan karbokation, halogen bersaing dengan air untuk membagi pasangan elektronnya dan ikatan Cl- menjadi karbokation[1]. Penggunaan katalis cair baik homogen maupun heterogen, berupa acidic ionic liquid, untuk esterifikasi -pinene dan asam asetat pada suhu rendah dilaporkan oleh Shiwei Liu dkk. Katalis homogen yang digunakan adalah H2 SO 4 dan H 3 PO 4 . Asam sulfat mampu memberikan konversi -pinene yang sangat tinggi (99,2 %) namun selektivitasnya rendah. Penggunaan katalis acidic ionic liquid pada esterifikasi-pinene mampu mencapai konversi 97.6% dengan selektivitas sebesar 42.1%. Penambahan trichloro acetic acid terbukti mampu mengarahkan reaksi pada pembentukan bornyl acetate. Reaksi dijalankan selama 10 jam pada suhu 30oC[2]. Penelitian lain menyatakan bahwa pada reaksi asam asetat dengan -pinene, kenaikan suhu dan rasio asam asetat : -pinene akan meningkatkan hasil esterifikasi dan menurunkan produk isomerisasi [3]. Kajian mengenai aktivitas berbagai jenis katalis padat juga banyak dilakukan. Esterifikasi -pinene dan asam oksalat menggunakan katalis GIC-90 menunjukkan selektivitas tinggi dengan hanya 8-10% produk dimerisasi. Sedangkan crude borneol (campuran borneol dan isoborneol) dalam hasil saponifikasi adalah 49-55% [4]. Menurut Li Ning dan Yong Mei, kondisi optimum reaksi -pinene dengan asam kloroasetat dengan katalis BPO adalah pada suhu 60oC, waktu reaksi 3 jam dan perbandingan -pinene : asam kloroasetat : BPO = 5 (mL) : 1 (g) : 0.75 (g)[5]. Penggunaan zeolit beta tipe H dapat mengkonversi -pinene menjadi bornyl acetate dengan selektivitas mencapai 20.3%. Suhu reaksi relatif rendah yaitu 50oC namun waktu reaksinya 24 jam [6]. Yadav dkk mencoba berbagai tipe zeolit beta sebagai katalis pada reaksi dengan asam asetat dengan kondisi reaksi serupa. Penggunaan asam asetat glasial akan menghasilkan limonene dan bornyl acetate sebagai produk utama, sedangkan limonene dan -terpineol menjadi produk utama jika digunakan larutan asam asetat[7]. Sintesis borneol menggunakan berbagai katalis padat super asam juga telah dikaji. Katalis SO 2 -4/ZrO 2 CeO 2 dapat mengkonversi -pinene hingga 68.7% dengan rasio antara borneol dan isoborneol mencapai 5:1. Sedangkan pada pinene menghasilkan konversi 56.1% dan rasio antara borneol dan isoborneol adalah 2:1[8]. Sedangkan katalis padat super asam SO 2 -4/Al 2 O 3 dan mendapatkan yield 67% dengan selektivitas borneol mencapai 85.43%[9]. Pada kedua penelitian di atas, reaksi dijalankan selama 6 jam dengan suhu terprogram antara 65 90oC.Dengan katalis komposit, reaksi terpentin dengan asam oksalat pada tekanan normal menghasilkan konversi 62% [10]. Dari penelusuran pustaka terlihat bahwa kajian mengenai konversi alpha pinene menjadi produk turunannya telah banyak dilakukan. Proses pemurnian alpha pinene dari terpentin biasanya dilakukan dengan distilasi vakum. Langkah ini merupakan sebuah proses yang boros energi. Penelitian ini mempelajari penggunaan terpentin sebagai bahan baku. Keberhasilan penelitian ini akan berguna untuk menyederhanakan tahapan proses dan mengurangi kebutuhan energi.

Metodologi Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah terpentin yang diperoleh dari PT Perhutani Anugerah Kimia. Terpentin digunakan secara langsung tanpa pemurnian awal. Bahan lainnya adalah asam asetat glasial dan asam sulfat pekat(98%).Eksperimen dilakukan menggunakan rangkaian peralatan seperti terlihat pada Gambar 1. Peralatan eksperimen berupa labu leher tiga yang dilengkapi dengan pemanas, pengaduk dan pendingin balik. Untuk A-122

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

mempertahankan suhu tertentu digunakan water bath, sedangkan pemanasan dan pengadukan dilakukan dengan hot plate magnetic stirrer.

Keterangan : 1. Pendingin balik 2. Labu leher tiga 3. Hot plate 4. Magnetic stirrer 5. Termometer

Gambar 1. Skema rangkaian alat penelitian Terpentin dan asam asetat dengan perbandingan mol 1:1 dimasukkan dalam labu leher tiga dan dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu. Selanjutnyakatalis berupa asam sulfat pekat ditambahkan ke dalam labu. Reaksi dijalankan selama 180 menit terhitung mulai dari masuknya katalis. Sampel diambil setiap 30 menit untuk dianalisis. Eksperimen dilakukan pada berbagai suhu yaitu 45oC, 55oC, 65oC dan 75oC. Selain itu juga dilakukan eksperimen dengan memvariasikan jumlah katalis. Percobaan ini dilakukan pada suhu 75oC selama 120 menit.Selanjutnya sampel dianalisis menggunakan GC untuk mengetahui jumlah alpha pinene yang bereaksi.

Hasil dan Pembahasan


Gambar 2amerupakan hasil analisis GC untuk terpentin. Alpha pineneterdeteksi padaretention time 5.172 menit dan memiliki peak paling tinggi karena merupakan komponen utama dalam terpentin. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar alpha pinene dalam terpentin adalah 75,92%. a.

b.

Gambar 2. Hasil analisa dengan GC a. Terpentin b. Produk Reaksi

A-123

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012


Gambar 2b merupakan salah satu sampel percobaan yang dijalankan pada suhu 45oC dan waktu reaksi 30 menit. Di dalam sampel reaksi terlihat masih ada alpha pinene yang belum bereaksi. Hal ini bisa ditunjukkan dengan membandingkan nilai retention time alpha pinene pada Gambar 2a dan 2b. Pada Gambar 2b juga menunjukkan bertambahnya jumlah peak dengan nilai retention time tertentu, hal ini menunjukkan adanya senyawa-senyawa hasil reaksi yang telah terbentuk. Dari hasil GC/MS terdeteksi beberapa senyawa ester yang terbentuk antara lainbornyl acetate, fenchyl acetate, terpinyl acetate. Relative area alpha pinene pada analisis GC hasil reaksi bisa dianalogikan jumlah alpha pinene yang tersisa dalam produk atau sampel reaksi. Gambar 3 menunjukkan relative area alpha pinene pada berbagai suhu reaksi. Selama 180 menit reaksi, jumlah alpha pinene sisa dalam sampel reaksi cenderung konstan. Selain itu, pola hasil GC relatif serupa. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi telah mencapai kesetimbangan. 45 40 35 relative area, % 30 25 20 15 10 5 0 0 50 100 waktu, menit Gambar 3. Relative Area Alpha Pinene Pada suhu 45oC nilai % relative area pada waktu ke 30 menit sampai waktu ke 180 tidak mengalami perubahan berarti, yaitu diantara nilai 39.3% 40.3%. Kecenderungan yang sama terlihat juga pada suhu 55oC, 65oC dan 75oC.Hal ini juga mengindikasikan terjadinya reaksi dapat balik (reversible) yaitu disaat alpha pinene bereaksi dengan asam asetat, disaat itu pula ada alpha pinene yang terbentuk. 70 60 50 Konversi, % 40 30 20 10 0 30 40 50 suhu, C Gambar 4. Pengaruh suhu terhadap konversi alpha pinene 60 70 80 150 200 T=45 C T=55 C T=65 C T=75 C

A-124

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh suhu terhadap konversi alpha pinene dapat dilihat pada Gambar 4. Terlihat bahwa konversi akan meningkat dengan kenaikan suhu. Semakin tinggi suhu reaksi pergerakan molekul-molekul dari komponen tersebut akan meningkat dan menyebabkan frekuensi tumbukan antar molekul menjadi lebih sering, sehingga akan lebih mudah bereaksi. Pada penelitian ini konversi tertinggi didapatkan pada suhu reaksi 75oC yaitu sebesar 61%. Dari pola yang ditunjukkan oleh Gambar 4, konversi yang lebih tinggi masih dapat dicapai dengan menaikkan suhu reaksi. Hasil yang diperoleh Liu dkk (2008) menyatakan konversi dapat mencapai 99.2% jika digunakan asam sulfat sebagai katalis. Jika dibandingkan dengan penelitian ini, terlihat perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan dalam penelitian ini tidak menggunakan senyawa murni alpha pinene namun menggunakan terpentin secara langsung tanpa pemurnian. Keberadaan bahan lain dalam reaktan akan menghambat terjadinya reaksi antara alpha pinene dengan asam asetat. Selain itu, terdapat kemungkinan terjadinya reaksi lain seperti isomerisasi. Hal ini berarti alpha pinene tidak bereaksi dengan asam asetat membentuk ester, tetapi membentuk isomernya seperti limonene, camphene dan fenchene. 70 60 50 Konversi, % 40 30 20 10 0 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 Rasio katalis Gambar 5. Pengaruh rasio katalis terhadap konversi alpha pinene Untuk mengetahui rasio katalis yang optimal maka dilakukan penelitian dengan memvariasikan jumlah katalis yang digunakan dalam reaksi. Gambar5 memperlihatkan pengaruh rasio katalis terhadap konversi pinene, yaitu semakin besar rasio katalis maka nilai % relative area pinene semakin menurun yang berarti konversi semakin meningkat.Ini terjadi karena katalis berfungsi untuk menurunkan energi aktivasi dari reaksi pinene, sehingga dengan semakin banyaknya katalis maka akan semakin mudah pinene bereaksi dengan asam asetat.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Asam sulfat pekat 98% dapat digunakan untuk reaksi esterifikasi alpha pinene dalam terpentin dengan asam asetat. Ester yang dihasilkan antara lain bornyl acetate, fenchyl acetate, dan terpinyl acetate. 2. Reaksi pada rentang waktu 30 180 menit memberikan konversi alpha pinene yang cenderung konstan pada kondisi isotermal. 3. Semakin tinggi suhu reaksi yang digunakan maka konversi alpha pinene juga akan meningkat. 4. Konversi alpha pinene akan naik dengan bertambahnya jumlah katalis asam sulfat. 5. Konversi maksimum dapat dicapai pada penelitian ini adalah 61% yang terjadi pada suhu 75oC dan rasio alpha pinene:asam asetat:asam sulfat = 1:1:0.06.

Daftar Pustaka
[1] M Roman Aguirre, L De la Torre Saenz, WA Flores, A Robau-Sanchez, and AA Elguezabal, "Synthesis of Terpineol from Alpha Pinene by Homogeneous Acid Catalysis," Catalysis Today, vol. 107, pp. 310 - 314, 2005. [2] Shiwei Liu, Congxia Xie, Shitao Yu, Fusheng Liu, and Kaihui ji, "Esterification of Alpha Pinene and Acetic Acid Using Acidic Ionic Liquids as Catalyst," Catalysis Communications, vol. 9, pp. 1634 - 1638, 2008. [3] Karl AD Swift, "Catalytic Transformations of The Major Terpene Feedstocks," Topics in Catalysis, vol. 27, pp.

A-125

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

[4]

[5] [6] [7] [8] [9] [10]

143-155, 2004. Yu Jiquan, Feng Aiqun, Tan Xiefeng, and Zhou Ping, "Study on Synthesis of Borneol via Esterification of Alpha Pinene over Solid Acid Catalyst Followed by Saponification," Chemistry and Industry of Forest Product, vol. 01, 1995. Li Ning and Wang Yong Mei, "The Method of Synthesizing Borneol with BPO Catalyst," Journal of Guilin Institute of Technology, vol. 03, 2001. GJ Gainsford, CF Hosie, and RJ Weston, "Conversion of Alpha Pinene to Terpinyl Acetate over H-beta Zeolites," Applied Catalysis A: General, vol. 209, pp. 269 - 277, 2001. MK Yadav, MV Patil, and RV Jasra, "Acetoxylation and Hydration of Limonene and Alpha Pinene Using Cation Exchanged Zeolite Beta," Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, vol. 297, pp. 101 - 109, 2009. Wu Liang, Li Hai-xia Liu Yong Gen, "Synthesis of Borneol Catalyzed by Rare Earth Composite Solid Superacid," 2009. Yang Yiwen, Chen Huizong, and Li Leil, "Synthesis of Borneol from Alpha Pinene Catalyzed by Solid Super Acid SO4/Al2O3," Chemical Reagents, vol. 05, 2009. Chen Shanghe, Jiang Meyu, and Huang Xing, "Application of B/Ti Based Composite Catalyst in Synthetic Borneol Production," Biomass Chemical Engineering, vol. 03, 2010.

A-126

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kulit Tiruan Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa dan Perekat Alami


Tuasikal M. Amin Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Yogyakarata Email: 925210101@staf.uii.ac.id Abstrak Indonesia kaya akan tanaman kelapa.Tanaman ini ada mulai dari Aceh sampai Papua. Selama ini buah kelapa diambil dan hanya dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan konsumsi atau diperas dan dimasak untuk dijadikan minyak goreng.serabut (serat) kulit kelapa dimanfaatkan sebagai alat bahan pengisi kursi dan jok, sedangkan serbuk serabutnya terbuang sebagai sampah. Serbuk serabut kelapa dapat dimanfaatkan dengan cara dicampur perekat alamikemudian direkatkan pada kain dan dipres menjadi kulit tiruan yang memiliki sifat mekanik yang baik. Kata-kata kunci: Serbuk Sabut Kelapa, Perekat Alami, Kain Kasa, Kulit Tiruan.

Pendahuluan.
Program pemberdayaan ekonomi rakyat harus mampu menggerakkan dinamika ekonomi rakyat yang berbasis di pedesaan. Program tersebut harus terencana dengan baik, serta jelas sasaran dan targetnya, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan dinamika ekonomi pedesaan, terutama ekonomi lapisan masyarakat bawah. Pada era pasca pemerintahan reformasi pembanggunan, ekonomi Indonesia masih harus diarahkan pada upaya-upaya perbaikan ekonomi dengan beberapa sasaran utama pada sector riil yang harus segera dicapai. Salah satu komoditas yang diidentifikasi memiliki potensi yang sangat besar untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut adalah agroindustri pengolahan sabut kelapa. Menurut data Coconut Statistic Yearbook (1997), Indonesia memiliki luas areal kebun kelapa terbesar di dunia, yakni seluas 3,76 juta hektar (31,4%). Disusul secara berturut-turut oleh Filipina yang memiliki luas areal 3,314 juta hektar (27,7%), India yang memiliki luas areal 1,886 juta hektar (15,8%), Srilanka yang memiliki luas areal 0,442 juta hektar (3,7%), Thailand memiliki luas areal 0.377 juta hektar (3,1%). Produksi kelapa Indonesia per tahun menempati urutan kedua , yakni sebanyak 12,915 milyar butir (24,4%). Posisi pertama ditempati oleh India dengan jumlah produksi 12,988 milyar butir per tahun (24,5%). Filipina di urautan ketiga dengan jumlah produksi sebesar 12,853 milyar butir per tahun (24,3%), Srilanka di urutan keempat dengan produksi 2,63 milyar butir per tahun (5%), dan Thailand di urutan kelima dengan produksi 1,143 milyar butir per tahun (2,2%). Dengan demikian, potensi bahan baku sabut kelapa Indonesia sangat besar, yakni sebanding dengan jumlah produksi kelapa Indonesia per tahun, tetapi pemanfaatannya sangat kurang. Ekspor serat sabut kelapa (coir fibre) Indonesia menurut data Coconut Statistic Yearbook (1997), hanya mampu meraih pangsa pasar dunia sebesar 0,6%. Di pihak lain, Srilanka menempati urutan pertama dengan pangsa pasar ekspor sebesar 50,3%, India di urutan kedua dengan meraih pangsa pasar sebesar 44,7%, dan sisanya sekitar 4,5% diraih oleh Negara-negara produsen kelapa lainnya. Pada tahun 1997, Indonesia yang memiliki 31,4% luas areal kebun kelapa dunia dengan produksi nasional sebanyak 24,4% produksi kelapa dunia yang tersebar di 26 propinsi hanya mampu mengekspor serat serabut kelapa sebanyak 0,6% ekspor serat sabut kelapa dunia atau sekitar 595 ton yang setara dengan 77.475 juta butir atau sekitar 0,06% dari produksi kelapa nasional. Dengan demikian masih terdapat lebih dari 99% sabut kelapa yang ada di Indonesia belum dimanfaatkan dan hanya terbuang sebagai limbah. Penyebaran areal kebun kelapa dan jumlah produksi kelapa di 25 propinsi di Indonesia pada tahun 1997, menunjukkan bahwa terdapat sepuluh propinsi yang merupakan produsen utama kelapa di Indonesia, yaitu: a. Sulawesi Utara dengan jumlah produksi 1,442 juta butir (11,04%) b. Riau dengan jumlah produksi 1,406 juta butir (10,92%) c. Maluku dengan jumlah produksi 1,072 juta butir (8,33%) d. Jawa timur dengan jumlah produksi 0,987 juta butir (7,66%) e. Jawa barat dengan jumlah produksi 0,889 juta butir (6,81%) f. Jawa tengah dengan jumlah produksi 0,860 juta butir (6,68%) g. Lampung dengan jumlah produksi 0,809 juta butir (6,28%) h. Sulawesi tengah dengan jumlah produksi 0,778 juta butir (6,04%) i. Sulawesi selatan dengan jumlah produksi 0,657 juta butir (5,10%) j. Jambi dengan jumlah produksi 0,554 juta butir (4,30%) A-127

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Potensi bahan baku industri pengolahan sabut kelapa yang dimiliki Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal dan belum mampu menandingi pangsa pasar dunia. Alir Proses Penelitian.

Mulai

Pengambilan serbuk

Perekat

Timbang (gram)

Timbang (gram)

Mixing

Press

Uji mekanik: * Kekuatan tarik & mulur *Kekuatan sobek * Kekakuan Sampling Kulit tiruan

Analisis dan pembahasan

Stop

Gambar 1.1 Bagan alir penelitian

Alat. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Hot Prees Timbangan Gelas ukur Plat baja Segitiga Sendok pengaduk Screen Rakel Gunting Mesin pemisah serbuk sabut kelapa

A-128

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 2.1 Hot Press Bahan. a. b. c. Kain kasa. Perekat/lem Serbuk Sabut Kelapa

Gambar 2.2 Mesin pemisah serbuk sabut kelapa

Gambar 3.1Tiga komponen utama;a. sebuk sabut kelapa, b. kain dan c. perekat

Proses Pembuatan Kulit Tiruan Bahan-bahan utama seperti serbuk sabut kelapa dan perekat ditimbang dengan perbandingan berat tertentu kemudian dicampur hingga betul-betul merata. Campuran serbuk sabut kelapa disebarkan keatas kain secara merata. Selatjutnya dipres dingin pada mesin prees dengan tekanan tertentu dalam waktu yang di tentukan. Setelah proses pres bahan dikeringkan dengan menggunakan pengering rambut.

Gambar 4.2 Bahan siap dipres.

Gambar 4.2 Pengeringan.

A-129

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

Kulit Tiruan.

Gambar 5.1 Kulit Tiruan


Contoh Pengujian

Gambar 6.1 Uji Sobek (lidah) (SNI 0521 2008)

Gambar 6.2 Uji Tarik (SNI 0276 2009)

Daftar Pustaka
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] A. H. Intan, E. Gumbira Sa-id, I. T. Saptono. 2003. Jurnal Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Sabut Kelapa Nasional, IPB, Bogor. Ansoff, dan E. Mcdonnell. 1990. Implanting Strategic Management, 2nd edition Prentice hall international (UK) ltd. APPC, 1997. Coconut statistical year book. Awang, S. A. 1991. Kelapa: Kajian social ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Ketaren, S. dan B. Jatmiko. 1985. Daya Guna Hasil Kelapa, Agroindustri press, Jurusan teknologi pertaniaan, Fateta, IPB, Bogor. . . . . . . . . . ., Standar Nasional Insdonesia (SNI). Negara Republik Indonesia. Tuasikal, Gustaf, Anjar. 2010. Kulit Tiruan dan pemanfaatan Sabut Kelapa, . Warisno. 1998. Budidaya Kelapa Kopyor. Kanisius. Yogyakarta. http://www.id.wikipedia.org/wiki/arecaceae http://www.id.wikipedia.org/wiki/cocos_nucifera http://www.id.wikipedia.org/wiki/kain_mori http://www.id.wikipedia.org/wiki/lem http://www.id.wikipedia.org/wiki/polivinil_asetat http://www.lipi.go.id http://www.TokoMesin.com

A-130

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Proses Perengkahan Berkatalis (Catalytic cracking) Minyak Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) menjadi Fraksi Bahan Bakar
Heny Dewajani(1)(2) dan Arief Budiman(2) * JurusanTeknik Kimia Politeknik Negeri Malang Jalan Sukarno Hatta no 9 Malang, telp (0341) 404420 (2) Program Pascasarjana Jurusan Teknik Kimia , Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika no 2 Yogyakarta 55281,telp. (0274) 631176 *Email : abudiman@chemeng.ugm.ac.id
(1)

Abstrak Peningkatan kebutuhan bahan bakar dan menipisnya persediaan bahan bakar fosil menyebabkan perlunya dikembangkan bahan bakar minyak yang dapat diperbaharui dengan bahan baku minyak nabati. Minyak nyamplung merupakan salah satu minyak nabati yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan bakar minyak karena ketersediannya yang cukup banyak, dan minyak nyamplung bukan merupakan minyak pangan sehingga tidak akan menganggu stabilitas pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi minyak nyamplung yang mempunyai kandungan asam lemak bebas dan gum yang cukup tinggi menjadi bahan bakar nabati dengan proses perengkahan secara termal (thermal cracking) dan dilakukan secara katalitik (catalytic cracking). Kandungan asam lemak minyak nyamplung mempunyai rantai hidrokarbon dengan atom C yang panjang (C16-18) sehingga memungkinkan untuk direngkah menjadi rantai hidrokarbon dengan rantai yang lebih pendek yang mempunyai kesamaan dengan fraksi bahan bakar. Hasil dari proses perengkahan dapat dikelompokkan dalam bentuk fraksi solar, bensin (gasoline) dan kerosen. Proses perengkahan dijalankan dalam reaktor pipa pada suhu 250-400 C dengan katalis berbasis zeolit DHC-8. Penelitian diawali dengan pemanasan minyak dan reaktor yang berisi tumpukan katalis pada suhu yang ditetapkan sehingga minyak berubah menjadi fase uap. Uap yang keluar dari reaktor kemudian diembunkan sehingga diperoleh produk cair hasil perengkahan. Komposisi produk hasil perengkahan dianalisis menggunakan GC. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa pada penggunaan katalis dapat menaikkan fraksi gasoline dan pada suhu reaksi 400C menghasilkan fraksi gasoline paling tinggi sebesar 26.57 %. Kata-kata kunci : katalis , minyak nyamplung , proses perengkahan.

Pendahuluan
Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) khususnya bensin dan solar beberapa tahun terakhir menunjukkan laju peningkatan yang tajam. Sementara itu, ketersediaan minyak bumi sebagai bahan bakar minyak semakin menurun. Untuk itu diperlukan usaha untuk mendorong dikembangkannya bahan bakar berbasis minyak nabati yang bersifat terbarukan. Selama ini, proses konversi minyak nabati menjadi bahan bakar minyak dilakukan dengan proses transesterifikasi sehingga dihasilkan metil ester atau yang dikenal dengan biodiesel yang sifatnya sama denngan bahan bakar solar [1]. Alternatif lain untuk mengkonversi minyak nabati menjadi bahan bakar minyak adalah dengan proses perengkahan yang dapat dilakukan dengan cara termal maupun katalitik. Pada proses perengkahan katalitik minyak nabati akan dihasilkan fraksi kerosene, gasoline dan solar [2]. Teknologi lain yang juga mulai dikembangkan adalah perengkahan dengan proses hidrogenasi (hydroprocessing atau hydrodeoxygenation) yang dapat menghasilkan senyawa hidrokarbon yang sama dengan minyak diesel, bensin dan kerosen. Kelebihan teknologi ini adalah dapat mengkonversi semua senyawa organik dalam minyak nabati tanpa mempertimbangkan kadar asam lemak bebas (free fatty acid, FFA) dan bahkan tidak menghasilkan hasil samping dalam jumlah besar seperti gliserol [3]. Untuk melihat efisiensi proses perengkahan minyak nabati, biasanya digunakan acuan proses perengkahan yang terjadi pada pengolahan minyak bumi. Untuk mengkonversi minyak nabati menjadi minyak setara bahan bakar minyak (BBM) dapat pula dilakukan dengan cara pirolisis agar dihasilkan fraksi solar [4]. Dibandingkan dengan proses pirolisis, proses perengkahan katalitik menunjukkan beberapa kelebihan seperti suhu operasi yang lebih rendah. Pada proses perengkahan hanya terjadi pada 450 C, sementara itu proses pirolisis dilakukan pada kisaran suhu 500-850 C [5,6]. Xu dan Xiao (2011) mempelajari

A-131

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012


pirolisis minyak bekas yang mempunyai nilai asam yang tinggi pada suhu 500 C, ternyata hasilnya setelah diesterifikasi dapat menurunkan nilai asam sehingga diperoleh fraksi yang mempunyai sifat seperti biodiesel [7]. Perengkahan dengan bahan baku minyak kedele dan katalis zirconium complex dapat menghasilkan senyawa asam lemak dalam bentuk asam stearat, asam palmitat, asam oleat dan asam linoleat. Disamping itu, juga dihasilkan senyawa aldehyd dalam bentuk decanal, dan senyawa alkana serta alkena dalam bentuk octadecane dan octadecene [8]. Penggunaan katalis berbasis zeolite banyak digunakan pada proses perengkahan karena tingkat keasamannya yang tinggi sehingga memberikan selektivitas terhadap fraksi gasoline dan diesel dari proses perngkahan. Konversi minyak sawit menjadi gasoline dengan perbandingan silica-alumina (SiO /Al O ) dalam HZSM-5 sebesar 30 menghasilkan 2 2 3 selektivitas terhadap gasoline tertinggi diabandin degan perbandingan SiO2/Al2O3 sebesar 40 dan 50. Hal ini disebabkan karena katalis tersebut memiliki jumlah Bronsted acid sites yang paling besar [9]. Penggunaan 3 jenis zeolite (tipe Y, Beta, Mordenite) dengan pengemban platinum pada perengkahan senyawa hidrokarbon hasil hidrodeoksidasi minyak sawit menunjukkan katalis Pt/Mordenite menghasilkan fraksi gasoline lebih tinggi dibanding katalis lainnya [10]. Secara umum mekanisme perengkahan trigliserida dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. Mekanisme perengkahan trigliserida [11] Penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi minyak nyamplung menjadi bahan bakar setara BBM dengan proses perengkahan berkatalis. Minyak nyamplung sengaja dipilih karena merupakan minyak nabati non pangan yang banyak tersedia di Indonesia. Tanaman nyamplung (Calophyllum Inophyllum) merupakan tanaman liar yang pemanfaatannya masih terbatas hanya diambil kayunya sebagai bahan konstruksi. Kandungan minyak dalam biji nyamplung yang mencapai 50-70% merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati dengan proses perengkahan karena asam lemak penyusunnya 56,71% terdiri dari asam oleat (C18H34O2). Dengan rantai C yang cukup panjang memungkinkan untuk direngkah menjadi senyawa hidrokarbon yang lebih pendek sehingga mempunyai kesamaan dengan fraksi bahan bakar minyak. Sementara itu, sebagai katalis digunakan katalis berbasis zeolite dengan pertimbangan mudah diperoleh dipasaran. Katalis DHC-8 merupakan katalis silica-alumina dengan pengemban Nikel dan Tungsten. Oksida logam (supported metal oxide) memegang peranan penting dalam katalis yang digunakan dalam proses perengkahan di industri perminyakan. Oksida logam tersbut sebagai transformasi asam atau basa dimana keaktifan katalisnya dihubungkan dengan pembentukan sisi asam kuat Bronsted yang mempunyai kemampuan delokalisasi muatan ionik sehingga menghasilkan stabilisasi dari basa terkonjugasi dari oksida. Diantara logam transisi dengan karakteristiknya, Tungsten mempunyai sisi asam Bronsted yang paling kuat, baik sebagai oksida ataupun sebagai penyangga.. Metodologi Penelitian Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak nyamplung yang diperoleh dari daerah Mirit , Kutoarjo dengan komposisi asam lemak penyusun yang dominan terdiri dari asam palmitat 17,56% , asam oleat 57,61% dan asam stearat 18,90% dan katalis yang merupakan katalis berbasis zeolite DHC-8 yang diperoleh dari Pertamina dengan karakteristik seperti ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Komposisi Katalis DHC-8 *

Komposisi

% berat

Alumina silikat 85 95 Tungsten oksida 5 15 Nikel oksida 0-2 *Sumber: UOP Material Safety Data Sheet,Juli 2000

A-132

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tabel 2. Hasil Pengujian Katalis DHC-8*

Sifat fisik
Hasil uji katalis Luas permukaan 50.375 m2/g Volume pori 0.51 cc/g Diameter pori 45.54 *Sumber: Sertifikat Pengujian Bidang Pengolahan Penelitian dan Laboratorium Pertamina,2003 Tahapan penelitian meliputi aktifasi katalis, proses perengkahan dan analisa hasil. Rangkaian alat perengkahan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Proses perengkahan dimulai dengan mengalirkan gas N2 ke dalam reaktor untuk menghilangkan O yang dapat menyebabkan proses oksidasi. Kemudian memanaskan reaktor berisi katalis dan 2 minyak sampai suhu yang ditetapkan sehingga minyak berubah menjadi fase uap yang akan mengalir melalui tumpukan katalis. Uap yang keluar reaktor selanjutnya akan terembunkan setelah melewati pendingin. Hasil cair perengkahan ditampung dan dianalisa menggunakan gas khromatographi. Percobaan diulangi tanpa penggunaan katalis.

Gambar 2. Rangkaian Alat untuk Proses Perengkahan Keterangan gambar. 1. Gas N , 2. Flowmeter, 3. 2 Pengendali suhu 4. Reaktor 5. 6 . Thermocouple 7. Katalis 8.Pendingin balik 9. Gas keluar 10. Hasil cair

Hasil dan Pembahasan Pada proses perengkahan berkatalis fase uap menggunakan reaktor unggun tetap ada beberapa faktor yang mempengaruhi produk yang dihasilkan, antara lain : temperatur dan tekanan reaktor, kecepatan volumetris umpan, sifat dan massa katalis dan bahan baku yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan katalis berbasisi zeolit DHC-8 yang mempunyai ukuran pori lebih besar dari zeolit alam sehingga diharapkan lebih banyak reaktan yang teradsopsi ke dalam pori katalis. Logam Ni dan W merupakan logam yang digunakan pada katalis proses hidrogenasi sehingga diharapkan produk yang dihasilkan mempunyai rantai hidrokarbon jenuh. Berdasarkan persamaan Arrhenius k = Ae-E/RT maka kenaikan temperatur akan menaikkan konversi reaksi. Tetapi pada proses perengkahan berkatalis kenaikan konversi bukan berarti kenaikan pada yield fraksi gasoline karena kenaikan temperatur sampai batas tertentu justru akan menaikkan yield gas dan deposit karbon (coke). Komposisi produk organik cair dihitung berdasarkan % luas area dari hasil analisa gas khromatographi. Penentuan fraksi gasoline, kerosene dan solar didasarkan pada waktu tambat (retention time,RT) hasil khromatgraphi produk sejenis dari Pusdiklat Cepu. Batas waktu tambat (RT) fraksi gasoline pada RT < 5 menit , fraksi kerosene antara 5 20 menit dan fraksi solar pada RT > 20 menit. Deposit karbon (coke) dan gas merupakan hasil samping dari proses

A-133

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

perengkahan. Pembentukan coke pada permukaan katalis akan menurunkan keaktifan katalis, karena coke merupakan racun bagi katalis. Pemanasan bahan baku minyak sawit pada temperatur 350 C berdasarkan sifat minyak sawit. Pada pemanasan antara 200-300 C minyak sawit akan mengalami polimerisasi termal dan pada temperatur diatas 350 C akan terjadi dekomposisi menjadi acrolein, asam lemak , air dengan pelepasan gas CO,CO . Hasil dari perngkahan 2 minyak nyamplung tanpa katalis dapat dilihat pada Tabel III dan Gambar 3 dibawah ini. Tabel III. Hasil Perengkahan Minyak Nyamplung tanpa katalis Komposisi produk Suhu reaktor , C cair, % 300 350 0.1164 0.1290 Fraksi gasoline 0.1591 0.1494 Fraksi kerosen 0.7245 0.7216 Fraksi solar

400 0.1310 0.1222 0.7468

Gambar 3. Prosen luas area hasil kromatogram hasil perengkahan tanpa katalis Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pada perengkahan termal suhu 300-400 C komposisi dari semua fraksi yang dihasilkan hampir sama untuk semua suhu reaktor . Hal ini berarti untuk memecah rantai hidrokarbon pada senyawa trigliserida dalam minyak nyamplung memerlukan panas yang lebih tinggi supaya diperoleh senyawa dengan rantai yang lebih pendek dengan titik didih yang lebih rendah. Prosentase fraksi solar dan gasoline tertinggi pada suhu 400C Hasil perengkahan minyak nyamplung dengan katalis DHC-8 dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 4 dibawah ini Tabel 4. Hasil perengkahan berkatalis pada minyak nyamplung Komposisi produk cair, % Komposisi produk cair, % Suhu Reaktor , C 250 300 350 0.1265 0.1709 0.1455 Fraksi gasoline 0.2578 0.0863 0.1768 Fraksi kerosen 0.6157 0.7428 0.6777 Fraksi solar

400 0.2657 0.2209 0.5134

Gambar 4. Prosen luas area hasil kromatogram hasil perengkahan dengan katalis Pada proses perengkahan menggunakan katalis dapat diperoleh data fraksi gasoline yang dihasilkan dalam proses perengkahan mengalami peningkatan dibanding tanpa penggunaan katalis. Hal ini disebabkan tingkat keasamaan yang tinggi dari katalis (strong acid sites) dan senyawa logam dalam katalis akan menurunkan energi aktivasi reaksi perengkahan sehingga pada suhu yang lebih rendah yaitu 250 C sudah terjadi pemecahan rantai trigliserida menjadi rantai yang lebih pendek dan perengkahan lanjut membentuk fraksi gas CO , CO dan C . Hal ini tidak ditemukan 2 1-4 dalam perengkahan termal Pada suhu yang lebih tinggi 400 C fraksi gasoline yang dihasilkan mencapai hasil tertinggi 26.57%. Dari percobaan terlihat pembentukan coke (deposit karbon) pada permukaan katalis dari perubahan warna katalis menjadi hitam. Dengan berkurangnya luas permukaan, volume pori dan diameter pori maka akan mempengaruhi keaktifan katalis dalam merengkah. Kesimpulan 1. Minyak nyamplung mentah dengan kandungan gum dan asam lemak bebas yang tinggi bisa lansgung dikonversi menjadi fraksi bahan bakar dengan perengkahan termal dan katalitis 2. Perengkahan berkatalitis menghasilkan fraksi gasoline yang lebih tinggi dibanding dengan perengkahan secara termal 3. Fraksi gasoline tertingggi pada perengkahan berkatalis diperoleh pada suhu reaktor 400 C sebesar 26.57% 4. Fraksi gasoline tertingggi pada perengkahan termal diperoleh pada suhu reaktor 400 C sebesar 13.09 %

Daftar Pustaka [1] Levenspiel,O.(1999), Chemical Reaction Engineering , 3rd edition,John Wiley & Sons,Inc,New York

A-134

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9


Bathia,S.,Zabidi,N.,and Twaiq,A,F.(1999), Catalytic Conversion of Palm Oil to Hydrocarbons : Performance of Various Zeolite Catalyst , Ind.Eng.Chem.Res.,38(9),3230-3237 [3] Biswas, S., Catalytic cracking of soybean oil with zirconium complex chemically bonded to alumina support without hydrogen International Journal of Chemical Sciences and Applications , vol 3,issue 2,2012,00 306-313 [4] Ma,Fa,and Hanna,M.A.,(1999) Biodiesel Production : a review ,Bioresour Technol 70 p.1-15. [5] Miertus,et.al , V egetable Oils Chem.Sus.Chem , Catalytic Applications in the Production of Biodiesel from 2009,2,278-300 [6] Santikunaporn,M.Bio-gasoline Production from SSHCs via Catalytic Cracking Reaction The Second TSME International Conference on Mechanical Engineering, 19-21 October 2011, Krabi [7] Santoso, H. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber Energi Biofuel Yang Potensial .Jakarta.2008 [8] Schwab,A.W., Dykstra,G.J., Selke,E., Sorenson,S.C., Pryde,E.H., (1999) Diesel Fuel from Decomposition Thermal of Soybean Oil , JAOCS 65,1781 1786 vol 3,no.6 December 2008 [9] Suarez,Paulo,A,Z,.(2006) Alternative Fuels from the Thermo-Catalytic Cracking of TriglyceridesLaboratory of Materials and Fuels,Institute of Chemistry University of Brasilia [10] Twaiq,A.F., Zabidi,N,. Asmawati., Abdul,R, and Bhatia,S,.(2003) Catalytic Conversion of Palm Oil over Mesoporous Aluminosilicate MCM-41 for the Production of Liquid Hydrocarbon Fuels , Fuel Processing Technology , vol 84, pp.105-120. [11] Xu,J.Xiao,G., Zhou,Y., and Jiang,J. Production of Biofuels from High-Acid Value Waste Oils Energy Fuels,2011,25,4638-4642 [2]

A-135

Bidang Teknik Kimia Yogyakarta, 10 November 2012

A-136

Вам также может понравиться