Вы находитесь на странице: 1из 0

Vol.

4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara


7
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM
SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA
MEYELESAIKAN MASALAH FISIKA
Sudiran
Guru IPA-Fisika SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah Fisika. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII
SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu berjumlah 38 orang, terdiri dari 20
orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Penelitian yang diterapkan adalah
penelitian tindakan kelas melalui dua siklus pembelajaran. Setiap siklus terdiri
dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah Fisika. Peningkatan ini didukung dengan
meningkatkannya jumlah siswa yang tuntas dari 14 siswa (36,84%) pada
siklus pertama menjadi 31 siswa (81,58%) pada siklus kedua dengan rata-rata
hasil belajar 74,24. N-gain pada siklus pertama sebesar 0,29 termasuk dalam
kategori kurang dan N-gain pada siklus kedua sebesar 0,40 termasuk dalam
kategori sedang.
Kata kunci: model pembelajaran, creative problem solving, menyelesaikan
masalah Fisika
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran yang dilaksanakan
guru selama ini, khususnya pada pelajaran
Fisika di kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap
Pangkalan Susu, belum memaksimal penginte-
grasian sikap ilmiah kedalam proses pembela-
jaran. Ini salah satu penyebab peserta didik
belum menggunakan kemampuan berpikir kritis
dan kreatifnya. Berdasarkan hasil pengamatan
yang dilakukan guru beberapa tahun terakhir
terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar
di kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap
Pangkalan Susu menunjukkan bahwa kegiatan
pembelajaran Fisika di sekolah masih belum
dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan
masalah-masalah dengan memberdayakan
berpikir kiritis siswa.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
siswa kurang mampu dalam menyelesaikan
masalah Fisika diantaranya (1) Pembelajaran
masih berfokus pada guru, sehingga siswa pasif
dan hanya menerima informasi pelajaran dari
guru. (2) Siswa kurang dilibatkan dalam proses
pembelajaran, sehingga komunikasi yang terjadi
cenderung satu arah. (3) Media, alat dan bahan
pembelajaran yang ada tidak memadai.
Pada dasarnya, jika guru melaksanakan
proses belajar mengajar dengan menerapkan
model pembelajaran yang berfokus pada
aktivitas dan kreativitas siswa, maka siswa akan
menjadi kritis dalam menerima informasi.
Sebagaimana hasil dari beberapa penelitian
menjelaskan bahwa model pembelajaran
creative problem solving (CPS) membangkitkan
kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif
sehingga dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi, kemudian dapat digunakan secara
efisien untuk meningkatkan pendidikan guru
dan siswa harus menerima pengenalan yang
secara menyeluruh untuk pemecahan masalah
secara kreatif (Myrmel, 2003; Muneyoshi,
2004; Lanoven, dkk., 2004).
Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika
ISSN 2085-5281
Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara
8
Guru belum memaksimalkan pemberda-
yaan potensi berpikir kritis siswa dalam
menyelesaikan soal-soal Fisika, baik soal yang
berkaitan dengan kemampuan kognitif, afektif
maupun psikomotor. Jika merujuk pada
beberapa hasil penelitian yang menjelaskan
bahwa model pembelajaran creative problem
solving merupakan framework yang sangat baik
untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif (Maraviglia & Kvashny, 2006; Isaksen
& Treffinger, 2004).
Akan tetapi yang terjadi dalam pendidikan
kita adalah ada guru yang ketika masuk kelas
untuk mengajar hanya mengemukakan pendapat-
pendapatnya di depan peserta didik. Kemudian
peserta didik hanya duduk dan mendengarkan
apa yang dikatakan oleh guru, sehingga mereka
tidak terbiasa mengemukakan pendapatnya di
depan kelas. Padahal sebenarnya mereka
membutuhkan alat bantu untuk menjadi pribadi
yang kritis. Proses belajar mengajar yang
dilaksanakan guru belum memaksimalkan
penerapan model-model pembelajaran sesuai
dengan teori yang ada. Kegiatan pembelajaran
terkesan hanya menyelesaikan kewajiban
mengajar yang pada akhirnya penguasaan
peserta didik terhadap kompetensi yang ingin
dicapai tidak terealisasi, sehingga siswa tidak
memahami konsep Fisika yang diajarkan. Salah
satu alat bantu yang tersedia dalam pembe-
lajaran yaitu menerapkan metode atau model
pembelajaran. Metode atau model pembelajaran
ini nantinya dapat menunjang perkembangan
kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu
dari sekian banyak metode atau model
pembelajaran yang tepat untuk dilakukan adalah
model pembelajaran creative problem solving.
Berdasarkan uraian latar masalah, rumusan
masalah dalam penelitian adalah (1) Bagaimana
menerapkan model pembelajaran creative
problem solving untuk meningkatkan kemam-
puan menyelesaikan masalah Fisika siswa kelas
VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu?
(2) Bagaimana aktivitas siswa dalam kegiatan
belajar mengajar dengan menerapkan model
pembelajaran creative problem solving? (3)
Bagaimana peningkatan kemampuan siswa
dalam menyelesaikan masalah Fisika setelah
diterapkan model pembelajaran creative problem
solving? Tujuan penelitian ini adalah untuk (1)
Mengetahui cara menerapkan model pembela-
jaran creative problem solving untuk mening-
katkan kemampuan menyelesaikan masalah
Fisika siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Satu
Atap Pangkalan Susu. (2) Mengetahui aktivitas
siswa dalam kegiatan belajar mengajar dengan
menerapkan model pembelajaran creative
problem solving. (3) Mengetahui peningkatan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan
masalah Fisika setelah diterapkan model
pembelajaran creative problem solving.
Kemampuan
Secara umum, kemampuan berarti
perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan
yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi
yang diharapkan. Menurut Robbins (2000)
kemampuan biasa merupakan kesanggupan
bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil
latihan atau praktek, sedangkan menurut Keith
Davis dalam Mangkunegara (2000) secara
psikologis kemampuan (ability) terdiri dari
kemampuan patensi (IQ) dan kemampuan
reality. Menurut Guilford dalam Suryabrata
(2004) membagi kemampuan menjadi tiga jenis
yaitu: 1) Kemampuan perseptual, yaitu
kemampuan dalam mengadakan persepsi atau
pengamatan antara lain mencakup faktor-faktor
kepekaan indera, perhatian, kecepatan persepsi
dan sebagainya. 2) Kemampuan Psikomotor,
yang mencakup beberapa faktor antara lain:
kekuatan, kecepatan gerak, ketelitian, keluwesan
dan lain-lain. 3) Kemampuan Intelektual, yaitu
kecenderungan yang menekankan pada kemam-
puan akal dimana mencakup beberapa faktor.
Ability (kemampuan, kecakapan, ketang-
kasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga
(daya kekuatan) untuk melakukan suatu
perbuatan. Kemampuan itu sendiri artinya
kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Jadi
kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan,
kekuatan untuk melakukan sesuatu atau
kapasitas seorang individu untuk melakukan
beragam tugas dalam suatu pekerjaan.
Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative
Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan
Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika.
Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika
ISSN 2085-5281
Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara
9
Model Creative Problem Solving (CPS)
Creative Problem Solving adalah a
framework which can be used by individuals or
groups to formulate problems, opportunities, or
challenges; generate and analyze many varied,
and novel options; and plan for effective
implementation of new solutions or courses of
action. Kemudian Myrmel (2003) mengemu-
kakan bahwa Creative Problem Solving is the
process of identifying challenges, generating
ideas, and implementing innovative solutions to
produce a unique product.
Munandar (2009) menjelaskan bahwa
pemecahan masalah secara kreatif merupakan
suatu rancangan yang berstruktur terhadap
pemikiran kreatif, atau suatu rancangan
imajinatif terhadap pemikiran logis. Munculnya
Creative Problem Solving sampai saat ini telah
menjadi sebuah framework yang efektif,
dimana framework supported by theory and
research and built upon five fundamental
principles. (1) creative potential exists among
all people, (2) creativity can be expressed
among all people in an extremely broad array
of areas or subjects, (3) creativity is usually
approached or manifested according to the
interests, preferences, or styles of individuals,
(4) people can function creatively, while being
productive to different levels, or degrees of
accomplishment or significance, and (5)
through personal assessment and deliberate
intervention, in the form of training or
instruction, individuals can make better use of
creative styles, thus enhancing levels of
creative accomplishment and full creative
potential.
Tahapan-tahapan Model Creative Problem
Solving
Berikut dijelaskan tahapan-tahapan dalam
Pemecahan Masalah secara Kreatif yang
dikemukakan oleh Edwards (Munandar, 2009):
Tahap I. Menemukan Fakta (Fact Finding):
Dalam tahap ini kita ingin memperoleh
gambaran yang lebih terperinci dan jelas
tentang keadaan saat ini. Untuk itu kita ajukan
pertanyaan-pertanyaan faktual, yaitu pertanyaan
yang menanyakan fakta-fakta yang berhu-
bungan dengan apa yang terjadi sekarang dan
atau yang terjadi pada masa lalu.
Tahap II. Menemukan Masalah (Problem
Finding): Pada tahap ini disusun sebanyak
mungkin pertanyaan kreatif sehubungan dengan
masalah yang sedang dihadapi. Masalah-
masalah atau pertanyaan-pertanyaan kreatif
dirumuskan berdasarkan fakta-fakta yang telah
dikumpulkan dalam tahap menemukan fakta.
Pertanyaan kretif berorientasi ke masa depan
dan memancing banyak alternatif jawaban.
Pada fase divergen diajukan pertanyaan kreatif
sebanyak mungkin.
Tahap III. Menemukan Gagasan (Idea
Finding): Pada tahap III ini adalah ingin
mendapatkan sebanyak mungkin alternatif
jawaban untuk memecahkan masalah. Untuk
keperluan itu, kita memproduksi sebanyak
mungkin gagasan dengan menggunakan teknik-
teknik kreatif seperti sumbang saran, penulisan
gagasan, hubungan yang dipaksakan, yang
digunakan pula untuk mendapatkan gagasan-
gagasan atau jawaban-jawaban yang dapat
memecahkan masalah yang telah kita pilih.
Tahap IV. Menemukan Jawaban (Solution
Finding): Untuk dapat menilai lebih halus
menganai gagasan yang telah diperoleh pada
tahap III, maka dalam tahap ini disusun tolok
ukur, kriteria, atau persyaratan. Semua hal yang
dapat digunakan sebagai tolok ukur atau
kriteria harus dicatat. Tolok ukur dapat
ditemukan dengan mengantisipasi semua
kemungkinan dan akibat yang akan timbul jika
jawaban terhadap masalah dilaksanakan.
Tahap V: Menemukan Penerimaan (Acceptance
Finding): Pada tahap ini dibuatkan rencana
secara amat terperinci tentang pelaksanaan
gagasan-gagasan tersebut. Kemudian dibuatkan
juga rencana terperinci untuk mengumumkan
gagasan-gagasan itu. Jika jawaban terhadap
masalah melibatkan orang lain, maka orang itu
perlu kita jelaskan kebaikan dari gagasan,
sehingga ia dapat menerimanya dan dapat
membantu kita.
Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative
Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan
Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika.
Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika
ISSN 2085-5281
Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara
10
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMP
Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu, beralamat
di Jalan Paluh Tabuhan, Desa Tanjung Pasir
Kecamatan Pangkalan Susu, Pos. 20858. Waktu
pelaksanaan penelitian pada semester genap
Tahun Pelajaran 2011/2012. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP
Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu yang
berjumlah 38 orang, 20 orang siswa laki-laki
dan 18 orang siswa perempuan. Metode
penelitian yang digunakan adalah Penelitian
Tindakan Kelas melalui dua siklus pembela-
jaran, dimana setiap siklus terdiri dari kegiatan
perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil observasi awal tentang
kemampuan siswa dalam menyelesaikan
masalah Fisika diketahui masih rendah. Hal ini
diindikasikan dengan perolehan nilai siswa,
nilai terendah 35,00 dan nilai tertinggi 66,50
dengan nilai rata-rata secara klasikal sebesar
52,34. Hanya dua orang siswa (5,26%) yang
memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan
minimal (KKM) yang ditetapkan 65,19.
Rendahnya kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah Fisika tidak terlepas
dari proses pembelajaran dan karakteristik
siswa. Karakteristik siswa kelas VIII SMP
Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu Tahun
Pelajaran 2011/2012 pada umumnya aktivitas
belajarnya rendah, kemampuan matematika
siswa juga rendah, kemampuan bernalar atau
berpikir kritis rendah dan kreativitas siswa
dalam menyelesaikan suatu masalah juga
rendah. Proses pembelajaran yang dilaksanakan
masih berfokus pada guru, artinya belum
melibatkan aktivitas siswa sehingga siswa
hanya menunggu dan menerima informasi dari
guru. Pembelajaran Fisika menuntut siswa
untuk dapat aktif mencari dan mengolah
informasi secara kritis sehingga mereka dapat
menyelesaikan persoalan dalam Fisika.
Siklus Pertama
Data kemampuan siswa menyelesaikan
masalah Fisika diperoleh melalui pelaksanaan
tes kemampuan kognitif yang didukung dengan
kegiatan psikomotorik. Tes kemampuan kognitif
terdiri dari 5 item tes dalam bentuk uraian dan
kegiatan psikomotorik melaksanakan demons-
trasi untuk menilai unjuk kerja siswa.
Berdasarkan hasil tes kemampuan kognitif
siswa diketahui nilai terendah 39,25 dan nilai
tertinggi 76,75 dengan nilai rata-rata klasikal
60,03 sedangkan N-gain untuk siklus pertama
ini sebesar 0,29. N-gain untuk siklus pertama
ini termasuk dalam kategori rendah. Ada 14
siswa (36,84%) yang memperoleh nilai di atas
kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan
(65,19). Berarti masih ada 63,16% atau 24
siswa yang belum memperoleh nilai ketuntasan.
Pada tes kemampuan koginitif di akhir
siklus pertama ini, ranah C2 (memahami)
menurut Anderson, dapat diselesaikan oleh 31
siswa (81,58%), ranah C3 (mengaplikasikan)
dapat diselesaikan oleh 15 siswa (39,47%) dan
ranah C4 (menganalisis) dapat diselesaikan
oleh 11 siswa (28,95%).
Siklus Kedua
Data tentang kemampuan siswa menyele-
saikan masalah Fisika pada siklus kedua ini
diperoleh melalui pelaksanaan tes kemampuan
kognitif yang didukung dengan kegiatan
psikomotorik. Tes kemampuan kognitif terdiri
dari 5 item tes dalam bentuk uraian dan
kegiatan psikomotorik melaksanakan demons-
trasi untuk menilai unjuk kerja siswa.
Berdasarkan hasil tes kemampuan kognitif
siswa diketahui nilai terendah 62,50 dan nilai
tertinggi 95,25 dengan nilai rata-rata klasikal
74,24 sedangkan N-gain untuk siklus kedua ini
sebesar 0,49. N-gain ini termasuk dalam
kategori sedang, artinya peningkatan hasil
belajar siswa pada siklus kedua ini berarti
dengan kategori sedang. Ada 31 siswa
(81,58%) yang memperoleh nilai di atas kriteria
ketuntasan minimal yang ditetapkan (65,19).
Pada tes kemampuan koginitif di akhir
siklus kedua ini, ranah C2 (memahami)
Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative
Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan
Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika.
Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika
ISSN 2085-5281
Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara
11
menurut Anderson, dapat diselesaikan oleh 36
siswa (94,74%), ranah C3 (mengaplikasikan)
dapat diselesaikan oleh 30 siswa (78,95%) dan
ranah C4 (menganalisis) dapat diselesaikan
oleh 23 siswa (60,53%).
Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan data hasil tes kemampuan
kognitif siswa pada siklus I sebagai penilaian
terhadap kemampuan siswa menyelesaikan
masalah Fisika diketahui bahwa nilai terendah
39,25 dan nilai tertinggi 76,75 dengan nilai
rata-rata klasikal 60,03. N-gain pada siklus
pertama ini sebesar 0,29 dan ini termasuk
dalam kategori kurang. Ini berarti peningkatan
hasil belajar siswa pada siklus pertama ini tidak
signifikan. Ada 14 siswa (36,84%) yang
memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan
minimal yang ditetapkan (65,19).
Jika dibandingkan dengan data awal
sebelum dilaksanakan tindakan pembelajaran
melalui penerapan model pembelajaran creative
problem solving, terjadi peningkatakan nilai
rata-rata secara klasikal kemampuan siswa
menyelesaikan masalah Fisika sebesar 10,25
yaitu dari 66,50 menjadi 76,75. Siswa yang
memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan
minimal juga meningkat dari 2 (dua) orang
siswa menjadi 14 (empat belas) orang siswa
atau meningkat sebanyak 12 orang siswa
(31,58%).
Pelaksanaan tindakan pada siklus I belum
mencapai target yang ditetapkan, yaitu pembe-
lajaran berhasil apabila minimal 75% dari
jumlah siswa sudah memperoleh ketuntasan.
Indikasi ketuntasan ini adalah perolehan nilai
kemampuan siswa menyelesaikan masalah
Fisika sama dengan atau di atas nilai kriteria
ketuntasan minimal. Ternyata pada siklus I
hanya 36,84% dari jumlah siswa atau 14 (empat
belas) siswa yang tuntas. Hal ini menunjukkan
bahwa tindakan pembelajaran harus dilanjutkan
ke siklus II dengan beberapa perbaikan
perlakuan pada tahapan proses pembelajaran.
Setelah tindakan pembelajaran dilaksa-
nakan dengan beberapa perbaikan perlakuan
proses pembelajaran di siklus II, maka di akhir
siklus dilakukan tes kemampuan kognitif. Hasil
tes menunjukkan bahwa nilai terendah 62,50
dan nilai tertinggi 95,25 dengan nilai rata-rata
klasikal 74,24. N-gain pada siklus kedua ini
sebesar 0,40 dan ini termasuk dalam kategori
sedang. Ini berarti peningkatan hasil belajar
siswa cukup signifikan. Siswa yang memper-
oleh nilai sama dengan atau di atas kriteria
ketuntasan minimal yang ditetapkan 65,19
sebanyak 31 siswa (81,58%). Jika dibandingkan
dengan siklus I, terjadi peningkatan perolehan
nilai rata-rata klasikal pemahaman konsep
Fisika siswa dari 76,75 menjadi 95,25 atau
meningkat sebesar 18,50. Siswa yang
memperoleh nilai sama dengan atau di atas
kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan
juga meningkat dari siklus I sebanyak 14 siswa
menjadi 31 siswa pada siklus II atau meningkat
sebanyak 17 siswa (44,74%).
Data pada siklus II menunjukkan bahwa
siswa yang memperoleh nilai di atas kriteria
ketuntasan minimal mencapai 81,58%. Jumlah
ini sudah melebihi dari target yang ditetapkan
sebesar 75%, ini berarti pembelajaran yang
dilaksanakan guru sudah berhasil, sehingga
siklus pembelajaran dapat dihentikan.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dapat
disimpulkan:
1. Penerapan model pembelajaran creative
problem solving pada pembelajaran Fisika
di kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap
Pangkalan Susu dilaksanakan melalui 5
(lima) tahapan. Tahap I: Menemukan Fakta
(Fact Finding). Pada tahap ini kita ajukan
pertanyaan-pertanyaan faktual, yaitu perta-
nyaan yang menanyakan fakta-fakta yang
berhubungan dengan apa yang terjadi
sekarang dan atau yang terjadi pada masa
lalu. Tahap II: Menemukan Masalah
(Problem Finding). Pada tahap ini masalah-
masalah atau pertanyaan-pertanyaan kreatif
dirumuskan berdasarkan fakta-fakta yang
telah dikumpulkan dalam tahap menemukan
fakta. Tahap III: Menemukan Gagasan
(Idea Finding). Pada tahap ini adalah ingin
Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative
Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan
Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika.
Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika
ISSN 2085-5281
Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara
12
mendapatkan sebanyak mungkin alternatif
jawaban untuk memecahkan masalah.
Tahap IV: Menemukan Jawaban (Solution
Finding). Pada tahap ini kita dapat menilai
lebih halus menganai gagasan yang telah
diperoleh pada tahap III, maka disusun
tolok ukur, kriteria, atau persyaratan. Tahap
V: Menemukan Penerimaan (Acceptance
Finding). Pada tahap ini dibuatkan rencana
secara amat terperinci tentang pelaksanaan
gagasan-gagasan tersebut.
2. Melalui penerapan model pembelajaran
Creative Probel Solving terjadi peningkatan
aktivitas belajar siswa kelas VIII SMP
Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu dalam
proses pembelajaran Fisika. Berdasarkan
data aktivitas kelompok belajar siswa yang
diperoleh melalui lembar observasi sistematis
bahwa aktivitas belajar siswa pada siklus I
termasuk dalam kategori cukup dan pada
siklus II meningkat menjadi kategori tinggi.
3. Melalui penerapan model pembelajaran
Creative Problem Solving ada peningkatan
kemampuan siswa menyelesaikan masalah
Fisika. Peningkatan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah Fisika tersebut
dilihat dari meningkatkannya jumlah siswa
yang tuntas dari 14 siswa (36,84%) pada
siklus pertama menjadi 31 siswa (81,58%)
pada siklus kedua dengan rata-rata hasil
belajar 74,24. N-gain pada siklus pertama
sebesar 0,29 termasuk dalam kategori
kurang dan N-gain pada siklus kedua
sebesar 0,40 termasuk dalam kategori
sedang.
DAFTAR PUSTAKA
Isaksen, S.G. & Treffinger, D.J. 2004.
Celebrating 50 Years of Reflective Practice:
Versions of Creative Problem Solving.
Journal Of Creative Behavior, Quarter
2004.
Lavonen, J., Autio, O., and Meisalo, V. 2004.
Creative and Collaborative Problem
Solving in Technology Education: A Case
Study in Primary School Teacher Education.
The Journal of Technology Studies, Vol.
75, 107-115.
Mangkunegara, P.A. 2000. Manajemen Sumber
Daya Perusahaan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Maraviglia, F., and Kvashny, A. 2006.
Managing Virtual Change: A Guide to
Creative Problem-Solving in Design
Professions. (Published in 2006 by
Author House Publishing).
Munandar, U.S.C. 2009. Pengembangan
Kreativitas Anak berbakat. Jakarta: Rineka
Cipta dan Pusat Perbukuan DEPDIKNAS.
Muneyoshi, H. 2004. Identifying How School
Teachers Use Creative Problem Solving.
New York: Thesis, International Center
for Studies in Creativity, Buffalo State
College. p. 74.
Myrmel, M.K. 2003. Effects Of Using Creative
Problem Solving In Eighth Grade
Technology Education Class At Hopkins
North Junior High School. A Research
Paper, The Graduate School, University
of WisconsinStout, August 2003. ada di
http://www2.uwstout.edu/ content/lib/thesis
/2003/2003myrmelm.pdf. [25-2-2012].
Robbin, S.P. 2000. Perilaku Organisasi.
Jakarta: PT. Prehallindo.
Suryabrata, S. 2004. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative
Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan
Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika.
Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika
ISSN 2085-5281

Вам также может понравиться