4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara
7 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MEYELESAIKAN MASALAH FISIKA Sudiran Guru IPA-Fisika SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah Fisika. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu berjumlah 38 orang, terdiri dari 20 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Penelitian yang diterapkan adalah penelitian tindakan kelas melalui dua siklus pembelajaran. Setiap siklus terdiri dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah Fisika. Peningkatan ini didukung dengan meningkatkannya jumlah siswa yang tuntas dari 14 siswa (36,84%) pada siklus pertama menjadi 31 siswa (81,58%) pada siklus kedua dengan rata-rata hasil belajar 74,24. N-gain pada siklus pertama sebesar 0,29 termasuk dalam kategori kurang dan N-gain pada siklus kedua sebesar 0,40 termasuk dalam kategori sedang. Kata kunci: model pembelajaran, creative problem solving, menyelesaikan masalah Fisika PENDAHULUAN Proses pembelajaran yang dilaksanakan guru selama ini, khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu, belum memaksimal penginte- grasian sikap ilmiah kedalam proses pembela- jaran. Ini salah satu penyebab peserta didik belum menggunakan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan guru beberapa tahun terakhir terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran Fisika di sekolah masih belum dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah-masalah dengan memberdayakan berpikir kiritis siswa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa kurang mampu dalam menyelesaikan masalah Fisika diantaranya (1) Pembelajaran masih berfokus pada guru, sehingga siswa pasif dan hanya menerima informasi pelajaran dari guru. (2) Siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran, sehingga komunikasi yang terjadi cenderung satu arah. (3) Media, alat dan bahan pembelajaran yang ada tidak memadai. Pada dasarnya, jika guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan menerapkan model pembelajaran yang berfokus pada aktivitas dan kreativitas siswa, maka siswa akan menjadi kritis dalam menerima informasi. Sebagaimana hasil dari beberapa penelitian menjelaskan bahwa model pembelajaran creative problem solving (CPS) membangkitkan kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif sehingga dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, kemudian dapat digunakan secara efisien untuk meningkatkan pendidikan guru dan siswa harus menerima pengenalan yang secara menyeluruh untuk pemecahan masalah secara kreatif (Myrmel, 2003; Muneyoshi, 2004; Lanoven, dkk., 2004). Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika ISSN 2085-5281 Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara 8 Guru belum memaksimalkan pemberda- yaan potensi berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan soal-soal Fisika, baik soal yang berkaitan dengan kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotor. Jika merujuk pada beberapa hasil penelitian yang menjelaskan bahwa model pembelajaran creative problem solving merupakan framework yang sangat baik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif (Maraviglia & Kvashny, 2006; Isaksen & Treffinger, 2004). Akan tetapi yang terjadi dalam pendidikan kita adalah ada guru yang ketika masuk kelas untuk mengajar hanya mengemukakan pendapat- pendapatnya di depan peserta didik. Kemudian peserta didik hanya duduk dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh guru, sehingga mereka tidak terbiasa mengemukakan pendapatnya di depan kelas. Padahal sebenarnya mereka membutuhkan alat bantu untuk menjadi pribadi yang kritis. Proses belajar mengajar yang dilaksanakan guru belum memaksimalkan penerapan model-model pembelajaran sesuai dengan teori yang ada. Kegiatan pembelajaran terkesan hanya menyelesaikan kewajiban mengajar yang pada akhirnya penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang ingin dicapai tidak terealisasi, sehingga siswa tidak memahami konsep Fisika yang diajarkan. Salah satu alat bantu yang tersedia dalam pembe- lajaran yaitu menerapkan metode atau model pembelajaran. Metode atau model pembelajaran ini nantinya dapat menunjang perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu dari sekian banyak metode atau model pembelajaran yang tepat untuk dilakukan adalah model pembelajaran creative problem solving. Berdasarkan uraian latar masalah, rumusan masalah dalam penelitian adalah (1) Bagaimana menerapkan model pembelajaran creative problem solving untuk meningkatkan kemam- puan menyelesaikan masalah Fisika siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu? (2) Bagaimana aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving? (3) Bagaimana peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah Fisika setelah diterapkan model pembelajaran creative problem solving? Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui cara menerapkan model pembela- jaran creative problem solving untuk mening- katkan kemampuan menyelesaikan masalah Fisika siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu. (2) Mengetahui aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan model pembelajaran creative problem solving. (3) Mengetahui peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah Fisika setelah diterapkan model pembelajaran creative problem solving. Kemampuan Secara umum, kemampuan berarti perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Menurut Robbins (2000) kemampuan biasa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek, sedangkan menurut Keith Davis dalam Mangkunegara (2000) secara psikologis kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan patensi (IQ) dan kemampuan reality. Menurut Guilford dalam Suryabrata (2004) membagi kemampuan menjadi tiga jenis yaitu: 1) Kemampuan perseptual, yaitu kemampuan dalam mengadakan persepsi atau pengamatan antara lain mencakup faktor-faktor kepekaan indera, perhatian, kecepatan persepsi dan sebagainya. 2) Kemampuan Psikomotor, yang mencakup beberapa faktor antara lain: kekuatan, kecepatan gerak, ketelitian, keluwesan dan lain-lain. 3) Kemampuan Intelektual, yaitu kecenderungan yang menekankan pada kemam- puan akal dimana mencakup beberapa faktor. Ability (kemampuan, kecakapan, ketang- kasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Kemampuan itu sendiri artinya kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Jadi kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan untuk melakukan sesuatu atau kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika ISSN 2085-5281 Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara 9 Model Creative Problem Solving (CPS) Creative Problem Solving adalah a framework which can be used by individuals or groups to formulate problems, opportunities, or challenges; generate and analyze many varied, and novel options; and plan for effective implementation of new solutions or courses of action. Kemudian Myrmel (2003) mengemu- kakan bahwa Creative Problem Solving is the process of identifying challenges, generating ideas, and implementing innovative solutions to produce a unique product. Munandar (2009) menjelaskan bahwa pemecahan masalah secara kreatif merupakan suatu rancangan yang berstruktur terhadap pemikiran kreatif, atau suatu rancangan imajinatif terhadap pemikiran logis. Munculnya Creative Problem Solving sampai saat ini telah menjadi sebuah framework yang efektif, dimana framework supported by theory and research and built upon five fundamental principles. (1) creative potential exists among all people, (2) creativity can be expressed among all people in an extremely broad array of areas or subjects, (3) creativity is usually approached or manifested according to the interests, preferences, or styles of individuals, (4) people can function creatively, while being productive to different levels, or degrees of accomplishment or significance, and (5) through personal assessment and deliberate intervention, in the form of training or instruction, individuals can make better use of creative styles, thus enhancing levels of creative accomplishment and full creative potential. Tahapan-tahapan Model Creative Problem Solving Berikut dijelaskan tahapan-tahapan dalam Pemecahan Masalah secara Kreatif yang dikemukakan oleh Edwards (Munandar, 2009): Tahap I. Menemukan Fakta (Fact Finding): Dalam tahap ini kita ingin memperoleh gambaran yang lebih terperinci dan jelas tentang keadaan saat ini. Untuk itu kita ajukan pertanyaan-pertanyaan faktual, yaitu pertanyaan yang menanyakan fakta-fakta yang berhu- bungan dengan apa yang terjadi sekarang dan atau yang terjadi pada masa lalu. Tahap II. Menemukan Masalah (Problem Finding): Pada tahap ini disusun sebanyak mungkin pertanyaan kreatif sehubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Masalah- masalah atau pertanyaan-pertanyaan kreatif dirumuskan berdasarkan fakta-fakta yang telah dikumpulkan dalam tahap menemukan fakta. Pertanyaan kretif berorientasi ke masa depan dan memancing banyak alternatif jawaban. Pada fase divergen diajukan pertanyaan kreatif sebanyak mungkin. Tahap III. Menemukan Gagasan (Idea Finding): Pada tahap III ini adalah ingin mendapatkan sebanyak mungkin alternatif jawaban untuk memecahkan masalah. Untuk keperluan itu, kita memproduksi sebanyak mungkin gagasan dengan menggunakan teknik- teknik kreatif seperti sumbang saran, penulisan gagasan, hubungan yang dipaksakan, yang digunakan pula untuk mendapatkan gagasan- gagasan atau jawaban-jawaban yang dapat memecahkan masalah yang telah kita pilih. Tahap IV. Menemukan Jawaban (Solution Finding): Untuk dapat menilai lebih halus menganai gagasan yang telah diperoleh pada tahap III, maka dalam tahap ini disusun tolok ukur, kriteria, atau persyaratan. Semua hal yang dapat digunakan sebagai tolok ukur atau kriteria harus dicatat. Tolok ukur dapat ditemukan dengan mengantisipasi semua kemungkinan dan akibat yang akan timbul jika jawaban terhadap masalah dilaksanakan. Tahap V: Menemukan Penerimaan (Acceptance Finding): Pada tahap ini dibuatkan rencana secara amat terperinci tentang pelaksanaan gagasan-gagasan tersebut. Kemudian dibuatkan juga rencana terperinci untuk mengumumkan gagasan-gagasan itu. Jika jawaban terhadap masalah melibatkan orang lain, maka orang itu perlu kita jelaskan kebaikan dari gagasan, sehingga ia dapat menerimanya dan dapat membantu kita. Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika ISSN 2085-5281 Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara 10 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu, beralamat di Jalan Paluh Tabuhan, Desa Tanjung Pasir Kecamatan Pangkalan Susu, Pos. 20858. Waktu pelaksanaan penelitian pada semester genap Tahun Pelajaran 2011/2012. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu yang berjumlah 38 orang, 20 orang siswa laki-laki dan 18 orang siswa perempuan. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas melalui dua siklus pembela- jaran, dimana setiap siklus terdiri dari kegiatan perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan hasil observasi awal tentang kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah Fisika diketahui masih rendah. Hal ini diindikasikan dengan perolehan nilai siswa, nilai terendah 35,00 dan nilai tertinggi 66,50 dengan nilai rata-rata secara klasikal sebesar 52,34. Hanya dua orang siswa (5,26%) yang memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan 65,19. Rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah Fisika tidak terlepas dari proses pembelajaran dan karakteristik siswa. Karakteristik siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu Tahun Pelajaran 2011/2012 pada umumnya aktivitas belajarnya rendah, kemampuan matematika siswa juga rendah, kemampuan bernalar atau berpikir kritis rendah dan kreativitas siswa dalam menyelesaikan suatu masalah juga rendah. Proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berfokus pada guru, artinya belum melibatkan aktivitas siswa sehingga siswa hanya menunggu dan menerima informasi dari guru. Pembelajaran Fisika menuntut siswa untuk dapat aktif mencari dan mengolah informasi secara kritis sehingga mereka dapat menyelesaikan persoalan dalam Fisika. Siklus Pertama Data kemampuan siswa menyelesaikan masalah Fisika diperoleh melalui pelaksanaan tes kemampuan kognitif yang didukung dengan kegiatan psikomotorik. Tes kemampuan kognitif terdiri dari 5 item tes dalam bentuk uraian dan kegiatan psikomotorik melaksanakan demons- trasi untuk menilai unjuk kerja siswa. Berdasarkan hasil tes kemampuan kognitif siswa diketahui nilai terendah 39,25 dan nilai tertinggi 76,75 dengan nilai rata-rata klasikal 60,03 sedangkan N-gain untuk siklus pertama ini sebesar 0,29. N-gain untuk siklus pertama ini termasuk dalam kategori rendah. Ada 14 siswa (36,84%) yang memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan (65,19). Berarti masih ada 63,16% atau 24 siswa yang belum memperoleh nilai ketuntasan. Pada tes kemampuan koginitif di akhir siklus pertama ini, ranah C2 (memahami) menurut Anderson, dapat diselesaikan oleh 31 siswa (81,58%), ranah C3 (mengaplikasikan) dapat diselesaikan oleh 15 siswa (39,47%) dan ranah C4 (menganalisis) dapat diselesaikan oleh 11 siswa (28,95%). Siklus Kedua Data tentang kemampuan siswa menyele- saikan masalah Fisika pada siklus kedua ini diperoleh melalui pelaksanaan tes kemampuan kognitif yang didukung dengan kegiatan psikomotorik. Tes kemampuan kognitif terdiri dari 5 item tes dalam bentuk uraian dan kegiatan psikomotorik melaksanakan demons- trasi untuk menilai unjuk kerja siswa. Berdasarkan hasil tes kemampuan kognitif siswa diketahui nilai terendah 62,50 dan nilai tertinggi 95,25 dengan nilai rata-rata klasikal 74,24 sedangkan N-gain untuk siklus kedua ini sebesar 0,49. N-gain ini termasuk dalam kategori sedang, artinya peningkatan hasil belajar siswa pada siklus kedua ini berarti dengan kategori sedang. Ada 31 siswa (81,58%) yang memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan (65,19). Pada tes kemampuan koginitif di akhir siklus kedua ini, ranah C2 (memahami) Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika ISSN 2085-5281 Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara 11 menurut Anderson, dapat diselesaikan oleh 36 siswa (94,74%), ranah C3 (mengaplikasikan) dapat diselesaikan oleh 30 siswa (78,95%) dan ranah C4 (menganalisis) dapat diselesaikan oleh 23 siswa (60,53%). Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan data hasil tes kemampuan kognitif siswa pada siklus I sebagai penilaian terhadap kemampuan siswa menyelesaikan masalah Fisika diketahui bahwa nilai terendah 39,25 dan nilai tertinggi 76,75 dengan nilai rata-rata klasikal 60,03. N-gain pada siklus pertama ini sebesar 0,29 dan ini termasuk dalam kategori kurang. Ini berarti peningkatan hasil belajar siswa pada siklus pertama ini tidak signifikan. Ada 14 siswa (36,84%) yang memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan (65,19). Jika dibandingkan dengan data awal sebelum dilaksanakan tindakan pembelajaran melalui penerapan model pembelajaran creative problem solving, terjadi peningkatakan nilai rata-rata secara klasikal kemampuan siswa menyelesaikan masalah Fisika sebesar 10,25 yaitu dari 66,50 menjadi 76,75. Siswa yang memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal juga meningkat dari 2 (dua) orang siswa menjadi 14 (empat belas) orang siswa atau meningkat sebanyak 12 orang siswa (31,58%). Pelaksanaan tindakan pada siklus I belum mencapai target yang ditetapkan, yaitu pembe- lajaran berhasil apabila minimal 75% dari jumlah siswa sudah memperoleh ketuntasan. Indikasi ketuntasan ini adalah perolehan nilai kemampuan siswa menyelesaikan masalah Fisika sama dengan atau di atas nilai kriteria ketuntasan minimal. Ternyata pada siklus I hanya 36,84% dari jumlah siswa atau 14 (empat belas) siswa yang tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pembelajaran harus dilanjutkan ke siklus II dengan beberapa perbaikan perlakuan pada tahapan proses pembelajaran. Setelah tindakan pembelajaran dilaksa- nakan dengan beberapa perbaikan perlakuan proses pembelajaran di siklus II, maka di akhir siklus dilakukan tes kemampuan kognitif. Hasil tes menunjukkan bahwa nilai terendah 62,50 dan nilai tertinggi 95,25 dengan nilai rata-rata klasikal 74,24. N-gain pada siklus kedua ini sebesar 0,40 dan ini termasuk dalam kategori sedang. Ini berarti peningkatan hasil belajar siswa cukup signifikan. Siswa yang memper- oleh nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan 65,19 sebanyak 31 siswa (81,58%). Jika dibandingkan dengan siklus I, terjadi peningkatan perolehan nilai rata-rata klasikal pemahaman konsep Fisika siswa dari 76,75 menjadi 95,25 atau meningkat sebesar 18,50. Siswa yang memperoleh nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan juga meningkat dari siklus I sebanyak 14 siswa menjadi 31 siswa pada siklus II atau meningkat sebanyak 17 siswa (44,74%). Data pada siklus II menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal mencapai 81,58%. Jumlah ini sudah melebihi dari target yang ditetapkan sebesar 75%, ini berarti pembelajaran yang dilaksanakan guru sudah berhasil, sehingga siklus pembelajaran dapat dihentikan. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan: 1. Penerapan model pembelajaran creative problem solving pada pembelajaran Fisika di kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu dilaksanakan melalui 5 (lima) tahapan. Tahap I: Menemukan Fakta (Fact Finding). Pada tahap ini kita ajukan pertanyaan-pertanyaan faktual, yaitu perta- nyaan yang menanyakan fakta-fakta yang berhubungan dengan apa yang terjadi sekarang dan atau yang terjadi pada masa lalu. Tahap II: Menemukan Masalah (Problem Finding). Pada tahap ini masalah- masalah atau pertanyaan-pertanyaan kreatif dirumuskan berdasarkan fakta-fakta yang telah dikumpulkan dalam tahap menemukan fakta. Tahap III: Menemukan Gagasan (Idea Finding). Pada tahap ini adalah ingin Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika ISSN 2085-5281 Vol. 4 (1) Juni 2012 Asosiasi Guru Fisika Indonesia Sumatera Utara 12 mendapatkan sebanyak mungkin alternatif jawaban untuk memecahkan masalah. Tahap IV: Menemukan Jawaban (Solution Finding). Pada tahap ini kita dapat menilai lebih halus menganai gagasan yang telah diperoleh pada tahap III, maka disusun tolok ukur, kriteria, atau persyaratan. Tahap V: Menemukan Penerimaan (Acceptance Finding). Pada tahap ini dibuatkan rencana secara amat terperinci tentang pelaksanaan gagasan-gagasan tersebut. 2. Melalui penerapan model pembelajaran Creative Probel Solving terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Satu Atap Pangkalan Susu dalam proses pembelajaran Fisika. Berdasarkan data aktivitas kelompok belajar siswa yang diperoleh melalui lembar observasi sistematis bahwa aktivitas belajar siswa pada siklus I termasuk dalam kategori cukup dan pada siklus II meningkat menjadi kategori tinggi. 3. Melalui penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving ada peningkatan kemampuan siswa menyelesaikan masalah Fisika. Peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah Fisika tersebut dilihat dari meningkatkannya jumlah siswa yang tuntas dari 14 siswa (36,84%) pada siklus pertama menjadi 31 siswa (81,58%) pada siklus kedua dengan rata-rata hasil belajar 74,24. N-gain pada siklus pertama sebesar 0,29 termasuk dalam kategori kurang dan N-gain pada siklus kedua sebesar 0,40 termasuk dalam kategori sedang. DAFTAR PUSTAKA Isaksen, S.G. & Treffinger, D.J. 2004. Celebrating 50 Years of Reflective Practice: Versions of Creative Problem Solving. Journal Of Creative Behavior, Quarter 2004. Lavonen, J., Autio, O., and Meisalo, V. 2004. Creative and Collaborative Problem Solving in Technology Education: A Case Study in Primary School Teacher Education. The Journal of Technology Studies, Vol. 75, 107-115. Mangkunegara, P.A. 2000. Manajemen Sumber Daya Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Maraviglia, F., and Kvashny, A. 2006. Managing Virtual Change: A Guide to Creative Problem-Solving in Design Professions. (Published in 2006 by Author House Publishing). Munandar, U.S.C. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta dan Pusat Perbukuan DEPDIKNAS. Muneyoshi, H. 2004. Identifying How School Teachers Use Creative Problem Solving. New York: Thesis, International Center for Studies in Creativity, Buffalo State College. p. 74. Myrmel, M.K. 2003. Effects Of Using Creative Problem Solving In Eighth Grade Technology Education Class At Hopkins North Junior High School. A Research Paper, The Graduate School, University of WisconsinStout, August 2003. ada di http://www2.uwstout.edu/ content/lib/thesis /2003/2003myrmelm.pdf. [25-2-2012]. Robbin, S.P. 2000. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Prehallindo. Suryabrata, S. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudiran: Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika ISSN 2085-5281