Вы находитесь на странице: 1из 43

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit

retrovirus yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manfiestasi neurologis.1 Berdasarkan laporan UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) pada tahun 2011 secara global terdapat lebih dari 700.000 infeksi baru HIV. Sampai akhir tahun 2011, secara global tercatat ada sejumlah 34 juta orang yang mengidap HIV. Diperkirakan 0,8% dari orang dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia mengidap HIV, walaupun tingkatan berat-ringan epideminya selalu bervariasi antar negara maupun secara regional. Sub-Saharan Afrika tetap merupakan daerah yang terparah dijangkiti HIV, dimana 4,9 %, atau dengan kata lain hampir satu orang dari setiap 20 orang dewasanya mengidap HIV. Jumlah penderita HIV di SubSaharan Afrika ini meliputi 69% dari jumlah pengidap dari seluruh dunia. Secara regional prevalensi infeksi HIV di Sub-Saharan Afrika adalah 25 kali lebih tinggi dari angka kejadian di Asia, namun jumlah seluruh pengidap HIV di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur hampir mencapai 5 juta orang. Setelah SubSaharan Afrika, wilayah kedua yang paling parah dijangkiti HIV adalah daerah Caribia dan Eropa Timur, serta Asia Tengah, dimana pada tahun 2011 tercatat bahwa 1% dari orang dewasanya mengidap HIV.2

Di Asia, epidemi meningkat secara signifikan di Bangladesh, Indonesia, Filipina dan Sri Lanka. Jumlah kasus HIV di Indonesia, baru tahun 2012 dilaporkan sebanyak 5.991 kasus, sedangkan jumlah kasus baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 551 kasus. Dari data tersebut diketahui bahwa jumlah kasus tertinggi HIV/AIDS ditemukan di DKI Jakarta.2,3 Penderita infeksi HIV umumnya rentan menderita berbagai infeksi oportunistik, diantaranya disebabkan oleh infeksi parasit.5 Parasit adalah organisme yang tinggal di dalam atau di luar organisme lain dan memiliki ketergantungan terhadap metabolisme pada organisme lain yang berperan sebagai host.4 Toxoplasma gondii adalah parasit kosmopolitan yang ditularkan melalui konsumsi makanan atau meminum air yang terkontaminasi oleh stadium ookista dari feses kucing, konsumsi jaringan yang mengandung kista pada daging mentah atau kurang matang, maupun transmisi takizoit dan kista jaringan melalui transplantasi organ padat.6 Dalam kondisi imun yang normal, infeksi T. gondii seringkali tanpa gejala, tetapi pada individu yang immunocompromised, seperti pasien HIV /AIDS, parasit dapat menyebar secara meluas untuk menyebabkan toksoplasmosis berat dan encephalitis, yang bisa mengancam nyawa. Nisapatorn dkk mengemukakan

bahwa, toksoplasma ensefalitis (TE) adalah suatu kesatuan penyakit klinis yang paling umum akibat toksoplasmosis dan merupakan penyebab paling sering dari lesi fokus intraserebral pada pasien dengan AIDS. Dari hasil penelitian Gazzinelli dkk di Iran diketahui bahwa seroprevalensi toksoplasmosis dari 208 pasien HIV/AIDS adalah 18,2% (38 pasien), 4 pasien (10,4%) menunjukkan seropositif Toxoplasma dengan TE, dan 34 pasien (89,6%) menunjukkan seropositif tanpa

TE. Sebagian besar pasien tersebut berada dalam kelompok usia 25-34, laki-laki, pengangguran, tidak menikah dan tinggal di Shiraz, Iran selatan.6,7,8 Pada mereka yang immunocompromised seperti pada yang terinfeksi HIV, pasien berisiko mengalami toksoplasmosis akut akibat reaktivasi T.gondii jika jumlah CD4 T-sel mereka menurun di bawah 200 sel/uL. TE merupakan

komplikasi klinis yang serius pada pasien immunocompromised, terutama pada pasien dengan AIDS. Mengingat pandemi infeksi HIV telah menyebar ke seluruh dunia, toksoplasmosis telah dikenal sebagai salah satu infeksi oportunistik yang paling sering pada pasien HIV / AIDS. Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa 20% sampai 47% dari semua pasien dengan HIV menderita ensefalitis akibat toksoplasmosis. Sementara angka kejadiannya adalah 25% sampai 50% untuk Eropa dan Afrika.9,10,11 CD4 adalah sebuah penanda untuk menilai progres penyakit dan respon terhadap terapi HIV dan sebagai prognosis penting pada infeksi HIV. Telah dilakukan penelitian oleh Mohraz, dkk di Iran, Mayoritas pasien yang diteliti adalah laki-laki (rasio laki-laki dan perempuan: 5:1) dengan usia rata-rata 36 1 tahun. Prevalensi terhadap toksoplasmosis pada pasien HIV-positif adalah 49,75%. Rata-rata jumlah CD4 pada pasien HIV dengan serologi toksoplasma positif adalah 332,5 22,4 sel / ml. Sepuluh persen dari pasien tersebut menderita TE. Rata-rata jumlah CD4 pada penderita TE tersebut adalah 66,4 15,5 sel / ml. Dengan demikian terdapat penurunan kadar CD4 yang signifikan pada penderita TE.12,11 TE biasanya terjadi pada pasien terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 T sel kurang dari 100/ml2 dan biasanya disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi kronis.

Studi yang dilakukan oleh George dkk menunjukkan bahwa 24-47% dari pasien AIDS yang diketahui seropositive T. gondii akhirnya juga menderita TE.13, Mengenai infeksi Toxoplama gondii pada pasien HIV/AIDS memerlukan penelitian yang lebih lanjut lagi, dikarenakan kejadian HIV/AIDS di RS Kanker Dharmais Jakarta banyak sehingga peneliti tertarik untuk meneliti mengenai Hubungan Kadar CD4 dengan Kejadian Toksoplasmosis pada Penederita HIV/AIDS di RS Kanker Dharmais Jakarta Tahun 2012.

1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1) Berapa jumlah penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012? 2) Bagaimana kadar CD4 pada penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012? 3) Bagaimana kejadian Toxoplasmosis penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012? 4) Bagaimana hubungan antara kadar CD4+ dengan kejadian Toxoplasmosis penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut, yaitu : 1) Untuk mengetahui jumlah penderita HIV/AIDS AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012.

2) Untuk mengetahui kadar CD4+ pada penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012. 3) Untuk mengetahui angka kejadian Toxoplasmosis pada penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012. 4) Untuk mengetahui hubungan antara kadar CD4+ dengan kejadian Toxoplasmosis pada penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti tentang Toxoplasmosis pada penderita HIV/AIDS.

1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi baik kepada masyarakat maupun kepada tenaga profesional dalam usaha pencegahan dan pengobatan infeksi Toxoplasma gondii pada penderita HIV/AIDS.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. 2.1.1.

Kajian Pustaka Pengertian HIV dan AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus, bagian dari

genus Lentivirus, yang merupakan agen penyebab dari AIDS dan menunjukkan banyak gambaran fisikokimia yang merupakan ciri khas famili Retroviridae.15 Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasi ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang.15 Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kelanjutan dari

infeksi HIV dan merupakan suatu penyakit retrovirus yang disebabkan oleh virus HIV ditandai dengan imunosupresi berat yang diperantai oleh sel T yang menimbulkan terjadinya lebih dari 20 infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis.16,17

2.1.1.1. Epidemiologi Berdasarkan laporan UNAIDS (United Nations Programme on

HIV/AIDS) diketahui bahwa pada tahun 2011 secara global terdapat lebih dari 700.000 infeksi baru HIV. Di Asia, epidemi meningkat secara signifikan di Bangladesh, Indonesia, Filipina dan Sri Lanka. Di Indonesia, jumlah kasus HIV baru tahun 2012 dilaporkan sebanyak 5.991 kasus, sedangkan jumlah kasus baru

AIDS yang dilaporkan sebanyak 551 kasus. Dari data tersebut diketahui bahwa jumlah kasus tertinggi HIV/AIDS ditemukan di DKI Jakarta. 2,3 Dari penelitian epidemiologis dan pemeriksaan laboratorium jelas bahwa penularan HIV terjadi pada kondisi yang memudahkan terjadinya pertukaran darah atau cairan tubuh yang mengandung virus atau sel yang terinfeksi virus, terutama kontak seksual, inokulasi parenteral, dan penularan dari ibu yang terinfeksi terhadap bayi yang baru lahir.18

2.1.1.2. Etiologi AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirusyang dapat menyerang pada manusia dan hewan . Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV2, telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS. HIV-1 merupakan tipe yang sering dihubungkan dengan AIDS di Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HIV-2 menyebabkan penyakit yang serupa, terutama di Afrika Barat.1

Gambar 2.2. Anatomi Virus HIV Dikutip dari: WHO.2007 Seperti sebagian besar retrovirus, virion HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh

selubung lipid yang berasal dari membran sel host. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleo kaspid protein p7/p9, dua salinan RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reverse transcriptase, dan integrase). p24 adalah antigen virus yang paling mudah dideteksi sehingga menjadi sasaran antibodi yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV dalam penapisan disebut dengan p17, yang terletak di bawah selubung virion. Selubung virus itu sendiri tersusun atas dua glikoprotein virus (gp120 dan gp41) yang sangat penting untuk infeksi HIV pada sel. Genom provirus HIV-1 mengandung gen gag, pol, dan env, yang mengkode berbagai protein virus. Produk gen gag dan pol mulamula ditranslasikan menjadi protein prekursor besar yang harus dipecah oleh protease virus untuk menghasilkan protein matur.1 Selain ketiga gen retrovirus, HIV mengandung beberapa gen lain yang mengatur sintesis serta perakitan virus yang infeksius. Produk gen tat (transaktivator), misalnya sangat penting untuk replikasi virus, yang menyebabkan peningkatan transkripsi gen virus sebanyak 1000 kali lipat. Protein nef secara khusus mengaktivasi aktivasi kinase intrasel (memengaruhi aktivasi sel-T, replikasi virus, dan inaktivitas virus) dan penting untuk perkembangan infeksi HIV in vivo. 1

2.1.1.3. Manifestasi Klinis Manifestasinya berkisar dari suatu penyakit ringan hingga ke penyakit berat. Karena dalam fase akut dan kronis infeksi HIV mempunyai gambaran yang menyolok, sementara untuk AIDS merupakan manifestasi klinis dari fase terminal.1 Manifestasi klinis pada HIV sindrom akut18, yaitu : 1) General

Demam,

faringitis,

limpadenopati,

sakit

kepala/sakit badan

retroorbita, menurun,

atralgia/mialgia, muntah/diare. 2) Neurologik

letargik/malaise,

anorexia/berat

Meningitis, encepalitis, neuropati perifer, myelopathy. 3) Dermatologi Erythematous maculopapular rash dan mucocutaneous ulceration

Di Amerika Serikat, pasien AIDS yang khas mengalami demam, penurunan berat badan, diare, limfadenopati menyeluruh, infeksi oportunistik multipel, penyakit neurologis, dan neoplasma sekunder.1 Infeksi oportunistik bertanggung jawab 80% kematian pada pasien AIDS. Diare persisten yang sangat lazim pada pasien AIDS, seringkali disebabkan oleh infeksi Cryptosporodium atau Isospora belli, tetapi bakteri patogen seperti spesies Salmonella dan Shigella dapat pula terlibat. Infeksi oportunistik dan neoplasma yang ditemukan pada pasien terinfeksi HIV dan terbatas pada AIDS1, yaitu : 1) Infeksi protozoa Kriptosporidiosis atau isosporodiosis (enteritis), pneumosistosis

(pneumoni atau infeksi diseminata), dan toksoplasmosis (pneumoni atau infeksi SSP). 2) Infeksi jamur Kandidiasis (esofagus, trakea, atau paru), kriptokokosis (Infeksi SSP), koksidioidomikosis (diseminata), dan histoplasmosis (diseminata). 3) Infeksi bakteri

10

Mikobakteriosis, nokaridiosis (pneumoni, meningitis, diseminata), dan infeksi Salmonella, diseminata. 4) Infeksi virus Sitomegalovirus (pulmonal, usus, retinitis, atau infeksi SSP), virus herpes simpleks (lokalisata dan diseminata), virus varicella-zooster (lokalisata dan diseminata), dan leukoensefalopati multifokal progresif. 5) Neoplasma Sarkoma Kaposi, limfoma non-hodgkin (Burkitt, imunoblastik), limfoma primer otak, dan kanker serviks uteri invasiv. Menurut Sudoyo dkk, pada infeksi HIV, tubuh secara gradual akan mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan dimana jumlah limfosit CD4<200/ml atau kurang, sering terjadi infeksi oportunistik pada penderita HIV.19 Organisme penyebab infeksi oportunistik adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum infeksi oportunistik pada penderita defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan infeksi oportunistik pada penderita defisiensi imun lainnya. Infeksi oportunistik, semakin menurun jumlah limfosit CD4, oleh karena itu semakin berat manifestasi infeksi oportunistik atau semakin sulit diobati, bahkan sering menimbulkan kematian. Organisme yang sering menyebabkan infeksi oportunistik terdapat dilingkungan sekitar, seperti air, tanah, atau oleh organisme yang memang sudah terdapat dalam tubuh pada keadaan normal, atau tinggal secara laten lalu mengalami reaktivasi.1

11

Tabel 2.1. Penyebab infeksi oportunistik pada AIDS, sumbernya dan transmisinya
Penularan Orang ke Orang Mungkin Tidak Ya Ya

Organisme Pneumocystis carinii Toksoplasma gondii Mikosporidia Cryptosporidia

Sumber Reaktivasi endogen, orang sakit

Cara Transmisi Inhalasi

Reaktivasi endogen, kotoran Ingestion kucing, daging mentah Air, orang, atau binatang Ingestion/Inhalasi terinfeksi Air, orang, atau binatang Ingestion terinfeksi

Dikutip dari : IPDUI.Intenal Publishing.200919

2.1.1.4. Patogenesis

Gambar 2.3. Patogenesis HIV-1


Dikutip dari : Kumar.Elsevier.20101

12

HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa oleh sel dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menimbulkan viremia dan penyemaian virus yang meluas pada jaringan limfoid. Virus tersebut dikendalikan oleh respon imun penjamu, kemudian pasien memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada sel T maupun makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap tertahan. Jika sel CD4+ yang hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+ menurun dan pasien mengalami gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga ditumpangi oleh virus; makrofag tidak dilisiskan oleh HIV-1, dan dapat mengangkut virus ke berbagai jaringan, terutama otak.1

2.1.1.5. Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun Orang yang terinfeksi HIV membentuk respons humoral dan selular terhadap antigen terkait HIV. Antibodi terhadap banyak antigen virus terbentuk segera setelah infeksi, dijelaskan pada tabel berikut15: Tabel 2.2. Produk gen utama HIV yang berguna mendiagnosis infeksi
Produk gen gp 160 gp 120 P66 P55 P51 Gp41 P32 P24 P17 Deskripsi Prekursor glikoprotein selubung Glikoprotein selubung virion yang paling luar, SU Reverse transcriptase dan Rnase H dari produk gen polimerase Prekursor protein inti, poliprotein dan gen gag Reverse-transcriptase, RT Glikoprotein selubung trans-membran, TM Integrase, IN Protein inti nukleokaspid virion, CA Protein matriks inti virion, MA

Dikutip dari : Jawetz.Encourage Creativity.200415

HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh.

13

Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respons imun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi, akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respons imunitas tubuh tidak berlangsung normal.15

2.1.1.5.1. Abnormalitas pada Imunitas Selular Untuk mengatasi organisme intraseluler seperti parasit, jamur dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (Cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang dibungkus oleh antibodi melalui mekanisme Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV, yang mana jumlah dan fungsi sel Th akan menurun, fungsi fagositosis dan kemotaksis makrofag juga menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya Candida albicans dan Toxoplasma gondii.19 Pada sel Tc, kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo. Demikian juga sering terjadi diferensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi.21

14

Selain itu, kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan IL-2 atau efek langsung HIV.19

2.1.1.5.2. Abnormalitas pada Imunitas Humoral Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B Cell Growth Factors) dan BCDF (B Cell Differentiation Factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Dengan adanya antibodi diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsoniasi.21 HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan nonspesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinemia terutama IgA dan IgG. Limfosit B pada penderita HIV/AIDS tidak memberi respon yang tepat. Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respon yang tidak tepat, misalnya reaktivasi Toksoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan pembentukan IgM.19 Produksi antibodi terutama neutralizing antibody kasus AIDS stadium lanjut (limfosit CD4 <200/uL) bila dibandingkan dengan orang tanpa HIV, ternyata sangat berbeda. Dimana pada stadium sebelumnya Th masih 200-500/uL, produksi antibodi tidak begitu berbeda. Antibodi spesifik terutama neutralizing antibody baru mulai muncul pada minggu kedua atau ketiga, bahkan bisa mundur beberapa bulan setelah infeksi.19

15

Secara umum dapat dikatakan respons antibodi terhadap HIV sangat lemah, dan hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisirkan HIV. Karena itu HIV dapat melewati respons antibodi sehingga dapat bertahan hidup dan menginfeksi sel lainnya.19

2.1.1.6. Perjalanan Penyakit HIV/AIDS Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut: Selama periode awal infeksi virus yaitu sekitar 2-3 minggu dapat menyebabkan sindrom retroviral akut, setelah 2-3 minggu gejala akan menghilang ditambah serokonversi yang dapat menyebabkan infeksi kronis HIV asimtomatik, sekitar 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek) dapat berlanjut menjadi infeksi HIV/AIDS simtomatik, dan sekitar 1,3 tahun infeksi tersebut dapat menyebabkan kematian.16

Gambar 2.4 Perjalanan Penyakit Infeksi HIV/AIDS Tanpa Terapi Antiretroviral


Dikutip dari : WHO.2007

16

Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau Acute Retroviral Syndrom. Sindrom retroviral akut diikuti penurunan CD4 dan peningkatan kadar RNA-HIV dalam plasma (viral load). Hitung CD4 secara perlahan akan menurun dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai titik tertentu. Dengan berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan hitung CD4 <200/mm3, diikuti timbulnya infeksi oportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan menurun secara cepat dan munculnya komplikasi neurologis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV rata rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun 200/mm3 adalah 3,7 tahun.16 Window Period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologis untuk antibodi HIV masih menunjukan hasil negatif sementara sebenarnya virus sudah ada dalam jumlah banyak dalam darah penderita. Window period menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang dengan HIV sudah mampu menularkan kepada orang lain misalnya melalui darah yang didonorkan, bertukar jarum suntik pada IDU (Injection Drug Users) atau melalui hubungan seksual. 16

17

2.1.1.7. Klasifikasi Klinis HIV/AIDS Klasifikasi stadium klinis pasien HIV/AIDS menurut CDC dan WHO dijelaskan pada tabel 2.3 dan tabel 2.4, sebagai berikut : Tabel 2.3 Klasifikasi klinis dan CD4 pasien remaja dan orang dewasa menurut CDC
CD4 Total 500/ml 200-499 <200 % 29 14-28 <14 A (Asimtomatik, Infeksi Akut) A1 A2 A3 Katagori Klinis B (Simtomatik) B1 B2 B3

C (AIDS) C1 C2 C3

Dikutip dari : DEPKESRI.200322

Katagori Klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), Limfadenopati generalisata yang menetap (Persistent Generalized

Lymphadenopathy/PGL) dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.16 Kategori Klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simtomatis) pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam katagori C dan memenuhi paling kurang satu dari beberapa kriteria berikut22: a) Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan imunitas seluler (Cell mediated immunity) atau komplikasi infeksi HIV, b) Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi HIV. Contoh yang termasuk dalam katagori tersebut adalah angiomatosis basilari, kandidiasis orofaringeal, kandidiasis vulvovaginal, displasia leher rahim, demam 38,50C atau diare lebih dari 1 bulan, oral hairy leukoplakia, herpes zoster,

18

purpura idiopatik trombositopenik, listeriosis, penyakit radang panggul, neuropati perifer. Katagori C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya kandidiasis bronki (trakea dan paru), kandidiasis esofagus, kanker leher rahim invasif, coccidiodomycosis difus di paru, kriptokokosis di luar paru, retinitis virus sitomegalo, ensepalopati yang berhubungan dengan HIV, herpes simpleks dan ulkus kronis lebih sebulan lamanya, sarkoma kaposi, limfoma burkitt, limfoma imunoblastik, limfoma primer di otak, Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar atau di luar paru, M. tuberculosis, Mikobakterium jenis lain yang tidak dikenal, pneumonia Pneumocystis carinii, peneumoni yang berulang, leukoensefalopati multifokal progresif, septikemia salmonella yang berulang, toksoplasmosis di otak.16

Tabel 2.4 Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
Stadium Gambaran klinis I Asimptomatik dan limfadenopati generalisata. II Skala Aktifitas Asimptomatik, aktifitas normal Berat badan menurun <10%, Kelainan kulit dan mukosa Simptomatik, yang ringan (dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, aktifitas normal ulkus oral yang rekuren kheilitis angularis), herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, Infeksi saluran napas, seperti sinusitis bakterialis. Berat badan menurun >10% , diare kronis yang berlangsung Pada umumnya dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, lemah, aktivitas kandidiasis orofaringeal, oral hairy leukoplakia, TB paru di tempat tidur dalam tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti kurang dari pneumonia, piomiositis. 50% HIV wasting syndrome, pneumonia pneumocystis cranii, Pada umumnya toksoplasma otak, diare kriptosporodiosis lebih dari 1 bulan, sangat lemah, kriptokokosis lebih dari 1 bulan, kriptokokosis aktivitas di ekstrapulmonal, retinitis virus sitomegalo, herpes simpleks tempat tidur mukokutan >1 bulan, leukonsefalopatimultifokal progresif, lebih 50% mikosis diminata seperti histoplasmosis, kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus dan paru mikobakteriosis atipikal diseminata, septikemia salmonelosis non tifoid, tuberkulosis di luar paru, limfoma, sarkoma kaposi, ensefalopati HIV.

III

IV

Dikutip dari : DEPKES RI.200316

19

2.1.2. Toksoplasma gondii


Pematangan di tanah

Gambar 2.1 Siklus hidup Toxoplasma gondii


Dikutip dari: Parasitologi Kedokteran.EGC.200923

Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Genus Toxoplasma. Toxoplasmosis pada manusia adalah suatu keadaan seseorang terinfeksi T. gondii berasal dari binatang, baik binatang peliharaan misalnya kucing, anjing, burung dan sebagainya, maupun binatang ternak antara lain babi, kambing dan sebagainya bertindak sebagai sumber penularan tersebut. Genus Toxoplasma untuk pertama kali diasampaikan Nicolle dan Manceaux (1909) untuk suatu organisme yang ditemukan oleh mereka pada seekor gundi (Ctenodactylus gundi), rodentia dari Afrika Utara. Mereka meberi nama Toxoplasma gondii. Pada manusia, dulunya penyakit ini sering hanya dihubungkan dengan masalah kehamilan dan kelahiran bayi yang cacat. Dengan merebaknya penularan virus HIV saat ini, kini penyakit ini diasosiasikan pula dengan kemampuannya untuk memperparah penyakit AIDS karena sifatnya yang

20

oportunistik. Dikalangan penderita HIV/AIDS, toksoplasmosis merupakan penyebab paling sering dari kelainan susunan saraf pusat.23 Toksoplasmosis bermanifestasi klinis terutama pada bayi dan anak-anak, dapat berupa subakut ensefalomielitis dan khorioretinitis, sedangkan pada dewasa dan orang tua berupa demam akut. Penyebaran geografis spesies ini ditemukan kosmopolit, dengan infeksi terbanyak pada burung (lebih dari 200 spesies) dan mamalia termasuk manusia. Infeksi pada manusia telah dilaporkan dari banyak daerah di Amerika Serikat dan juga dari seluruh penjuru dunia. Siklus hidup T. gondii terdiri atas 5 stadium utama. Kelima stadium tersebut ditemukan dalam tubuh satu-satunya yang diketahui sebagai tuan rumah definitif, yaitu kucing. Sedangkan dalam tubuh tuan rumah perantara antara lain manusia, mamalia serta burung ditemukan hanya dua stadium, yaitu bentuk trofozoit intraseluler atau stadium proliferatif yang ditemukan selama awal stadium akut suatu infeksi, dan bentuk kista yang ditemukan selama masa kronik atau pada infeksi laten, parasit terdapat di dalam kista tersebut. Selama infeksi primer untuk waktu lebih kurang 2 minggu, kucing melalui tinjanya mengeluarkan ookista yang belum mengalami sporulasi dengan ukuran kurang lebih 10-12 dan berisi sebuah sporoblast. Ookista ini belum infektif, untuk menjadi infektif diperlukan sporulasi pada suhu ruangan 20-22o C yang membutuhkan waktu 3-4 hari. Selama waktu ini, sporoblast primer terbelah menjadi dua sporoblast akan menjadi sporokista masing-masing mengandung 4 sporozoit. Ookista yang sedang mengalami proses pembentukan sporozoit didalamnya disebut sporokista yang relatif toleran terhadap perubahan lingkungan serta dapat tetap infektif di dalam tanah selama kurang lebih 1 tahun. Tertelannya

21

sporokista infektif oleh burung atau mamalia yang sesuai merupakan awal dari infeksi akut yang biasanya berlanjut menjadi kronis. Sering kali infeksi awal ini relatif ringan sehingga tidak diketahui oleh penderita. Selama stadium akut, parasit bentuk proliferatif terdapat pada berbagai jaringan, akan tetapi pada fase kronis, terdapat dalam bentuk kista yang dapat ditemukan pada otot serta berbagai jaringan antara lain sering kali ditemukan dalam susunan saraf pusat.23 Siklus hidup pada tubuh kucing terjadi keduanya, baik multiplikasi aseksual (skizogoni) maupun reproduksi seksual (gametogoni) yang keduanya dapat terjadi pada sel epitel mukosa usus halus. Hasil akhir dari fase seksual adalah makrogamet fertil atau zigot dengan dinding tipis, akan tetapi cukup kuat untuk dapat melindungi organisme ini. Kemudian keluar dan ditemukan di dalam tinja sebagai ookista yang belum matang, belum mengalami sporulasi dan siklusnya akan berulang seperti telah diuraikan di atas.23 Menurut Beaver (1984), jika kucing menelan ookista matang dan parasit berkembang di dalam sel epitel usus halus, maka dalam 21-24 hari ookista dapat ditemukan ke luar bersama tinja kucing tersebut. Jika yang dimakan adalah seekor tikus sakit yang mengandung T. gondii bentuk proliferatif (takizoit) didalam jaringannya, maka dalam 9-11 hari akan muncul ookista dalam tinja kucing tersebut. Akhirnya jika yang dimakan adalah tikus yang sakit kronis dengan kista di dalam jaringannya (bentuk bradizoit), ookista ke luar bersama tinja kucing pada waktu yang lebih pendek, yaitu 3-5 hari setelah infeksi. Penelitian ini menduga bahwa reproduksi pada studium proliferatif dan stadium kista dalam jaringan selain kucing yang akan mencerna ookista merupakan bagian penting dalam siklus

22

hidup parasit ini; oleh karena itu, ketika seekor kucing memakan jaringan yang terinfeksi, siklus akan terjadi secara lengkap dalam waktu lebih singkat. 23

2.1.2.1. Toxoplasmosis pada Penderita HIV/AIDS Toksoplasmosis, sebagai salah satu penyakit zoonosis coccidian yang tersebar di seluruh dunia dengan banyak hewan sebagai inang, juga merupakan penyebab utama yang perlu diperhatikan karena mudah terjangkitnya penyakit ini pada pasien yang terinfeksi HIV. Toksoplasmosis umumnya muncul sebagai penyakit sistem saraf pusat (CNS) dan organ lainnya yang mengancam nyawa, terutama pada pasien HIV yang tidak menerima HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) atau prophylaxis yang benar, serta memiliki jumlah CD4+ sel T yang rendah.24 Manusia dapat terinfeksi dengan T. gondii, yaitu jenis parasit obligat intraseluler, dengan cara menelan ookista dan kista yang terkandung dalam daging mentah atau setengah matang, seperti daging domba, sapi, babi, dan daging rusa; atau menelan makanan yang terkontaminasi tanah; atau melalui penularan transplasenta. Pada orang dengan AIDS, T. gondii dapat menimbulkan penyakit terutama akibat reaktivasi dari infeksi yang pernah dialami sebelumnya.24 Setelah dikonsumsi/ tertelan, parasit menginfeksi monosit yang beredar dan mereplikasi diri dalam lamina propria usus, yang kemudian mengangkut parasit tersebut lebih lanjut menuju ke gastrointestinal limfatik dan kemudian ke berbagai organ dan jaringan. Hal tersebut diikuti oleh nekrosis akibat kematian sel-sel yang diserang parasit dan infiltrasi limfositik. Dalam tubuh inang/ host yang imunokompeten, replikasi takizoit dapat dikendalikan, dan jaringan dikembalikan ke dalam keadaan normal. Kista yang berisi bradyzoites tetap ada,

23

tapi jarang menyebabkan peradangan, penekanan, ataupun manifestasi klinis. Pasien dengan defisiensi sel imunitas, penyebaran parasit akan mengakibatkan adanya gangguan bentuk kista yang diikuti oleh proliferasi parasit dan kerusakan jaringan.24 Pada pasien AIDS, kejadian toxoplasma encephalitis (TE) bervariasi antar wilayah geografis dan kelompok etnis yang berbeda, dimana hal tersebut mungkin mencerminkan perbedaan dalam prevalensi adanya paparan parasit sebelumnya. Risiko terjadinya kelainan klinis, terutama TE, antara pasien yang seropositif terinfeksi HIV berkorelasi baik dengan tingkat CD4+ sel T, biasanya di bawah 100/l.24 Diketahui bahwa secara klinis penyakit yang paling umum dijumpai

akibat toxoplasmosis adalah penyakit cerebral, yaitu berupa multifocal necrotizing encephalitis yang ditandai dengan jaringan nekrosis yang semakin meluas dan nodul mikroglial. Penyakit yang jarang ditemui, adalah retinochoroiditis,

pneumonitis, myocarditis, sepsis. Perubahan status mental, tanda-tanda dan gejala neurologis fokal, sakit kepala, dan kejang, dengan atau tanpa demam dan onset subakut, adalah gejala klinis utama TE.24

2.2.

Kerangka Pemikiran Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi akibat adanya kesempatan untuk

timbul pada kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan, karena itu IO bisa disebabkan oleh organisme non patogen. Pada infeksi oleh HIV, tubuh secara gradual akan mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Spektrum infeksi yang terjadi pada keadaan imunitas tubuh menurun pada infeksi HIV ini disebut sebagai IO. Organisme penyebab IO adalah

24

organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi.19 Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya homeostatis dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum luas. Gejala penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggungya imunitas seluler, disamping imunitas humoral karena gangguan sel Th untuk mengaktivasi sel limfosit B. HIV ini menimbulkan patologi penyakit melalui beberapa mekanisme, antara lain terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi oportunistik.19 T. gondii adalah protozoa parasit yang tersebar luas di seluruh dunia. Prevalensi adanya antibodi positif pada manusia telah dilaporkan dari hampir semua negara. Meskipun infeksi Toxoplasma tidak bergejala di hampir semua kasus, mereka dapat menyebabkan toksoplasmosis congenetal pada bayi dan infeksi akut pada pasien imunosupresi. Infeksi pada bayi dan pasien imunosupresi tersebut telah menimbulkan kekhawatiran baru saat ini karena adanya fakta bahwa Toksoplasma ensefalitis, dan kasus pneumonia, meningkat pada pasien dengan AIDS.25 T. gondii merupakan protozoa obligate intraselular dapat menyebabkan toxoplasmosis dan dapat menginfeksi baik manusia maupun hewan. T. gondii adalah parasit oportunistik yang menginfeksi orang yang immunocompromised dan diperkiraan bahwa sekitar sepertiga dari populasi manusia di dunia terinfeksi

25

olehnya. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa TE telah menjadi salah satu komplikasi paling sering dan umum dari lesi otak fokal pada penderita AIDS. Pada pasien dengan AIDS, toksoplasma ensefalitis terutama disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten dan paling sering menginfeksi otak.11,6,7 Toksoplasmosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama karena penyakit ini dapat menyebabkan kematian atau gangguan fisik dan/atau gangguan psikologis pada pasien dengan penyakit HIV. Infeksi Toksoplasma dilaporkan terjangkit pada sekitar setengah dari populasi dunia tetapi kebanyakan tidak bergejala. HIV yang terinfeksi toksoplasma dapat teraktivasi kembali, dapat dipengaruhi banyak faktor. Hal tersebut termasuk penurunan jumlah sel T CD4, gangguan produksi IL-2, IL-12, IFN-gamma dan gangguan aktivitas sitotoksik Tlimfosit. Diketahui bahwa infeksi T. gondii pada pasien AIDS yang tidak diobati sering berakibat fatal.11,10,13,26

26

Pasien HIV/AIDS

Infeksi primer

Diseminasi virus yang luas dan penurunan CD4+ dalam darah perifer

Respon imun terhadap HIV dan disertai peningkatan viral-load

Replikasi virus terus menerus

Penurunan jumlah sel T CD4+ semakin menurun secara bertahap

Resiko terjadinya penyakit oportunistik

parasit

Bakteri

Jamur

virus

Toxoplasma gondii

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran

27

BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1

Subjek Penelitian

3.1.1. Populasi Penelitian Pasien HIV/AIDS dengan kadar CD4 <200/ml yang mengalami toksoplasmosis yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012. 3.1.1.1.Populasi Target Seluruh penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012.

3.1.1.2. Populasi Terjangkau Seluruh penderita HIV/AIDS dengan infeksi T. gondii yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta periode 1 januari 2012 31 Desember 2012.

3.1.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.1.2.1. Kriteria Inklusi 1) Pasien yang terdiagnosis HIV/AIDS 2) Tercatat menderita infeksi Toxoplasma gondii 3) Tercatat pemeriksaan CD4

3.1.2.2. Kriteria Eksklusi 1) Pasien dengan rekam medik yang tidak lengkap

28

3.2. Bahan Penelitian


Bahan penelitian ini berupa data sekunder yang diambil dari data rekam medis seluruh pasien pasien HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker

Dharmais Jakarta, yang kemudian dipilih berdasarkan kriteria inklusi.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Rancangan Penelitian Metode statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah metode cross sectional dengan penelitian analitik untuk melihat hubungan kadar cd4+ dengan kejadian toksoplasmosis pada penderita HIV/AIDS.

3.3.2. Variabel Penelitian 3.3.2.1. Variabel Bebas dan Terikat 1) Variabel bebas : Infeksi Toxoplasma gondii 2) Variabel terikat : Kadar CD4

3.3.3. Definisi Operasional Tabel 3.1 Tabel definisi operasional


Variabel Definisi Skala

HIV

AIDS

CD4

Retrovirus yang menginfeksi sel CD4+ sehingga Nominal dapat menyebabkan imunosupresi yang berat, dan secara klinis dapat bermanifestasi menjadi AIDS.27 AIDS adalah kelanjutan dari infeksi HIV dan Nominal merupakan suatu penyakit retrovirus yang disebabkan oleh virus HIV ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan terjadinya lebih dari 20 infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manfiestasi neurologis.20,28 Sebuah penanda untuk menilai progres penyakit dan Numerik respons terhadap terapi HIV dan sebagai prognosis penting pada infeksi HIV.29 parasit protozoa intrasluler, dan menye-babkan infeksi zoonosis.30 Nominal

T. gondii

29

3.3.4. Prosedur Penelitian 1. Cara Kerja Cara kerja dan teknik pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1) Perizinan Peneliti mendapatkan surat izin dari Dekan Fakultas Kedokteran Unisba serta mengajukan proposal penelitian kepada bagian Diklit Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta yang kemudian disampaikan ke Direktur Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta untuk mendapatkan izin mengambil data untuk penelitian. 2) Pemilihan Subjek yang akan diteliti Pemilihan subjek penelitian diawali dengan penentuan besar populasi terjangkau dari pasien HIV/AIDS yang terinfeksi T. gondii di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012. Subjek penelitian adalah semua pasien HIV/AIDS yang terinfeksi parasit yang memenuhi kriteria inklusi. 3) Pengambilan Data Bahan penelitian ini berupa data sekunder yang diambil dari data rekam medis seluruh pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012, yang kemudian dipilih berdasarkan kriteria inklusi.

2. Teknik Pengolahan Data Data disajikan dalam bentuk tabel dan diolah secara statistik dengan uji kai kuadrat dan diolah secara komputerisasi dengan perangkat lunak SPSS.

30

3.3.5. Analisa Data Untuk mencapai tujuan penelitian maka digunakan teknik analisis data dengan metode yang digunakan adalah metode chi square. Analisa menggunakan rumus :
P= n N x100

Keterangan n N P

= Nilai yang diperoleh dari populasi tertentu = Jumlah populasi = presentase

3.3.6.

Tempat dan Waktu Penelitian

3.3.6.1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta.

3.3.6.2. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari tanggal maret - 10 Juli 2013.

3.3.7. Aspek Etik Pengambilan data rekam medik merupakan masalah etik dalam penelitian ini. Sehingga diperlukan izin dari rumah sakit untuk pengambilan data rekam medik pasien. Identitas penderita tidak dicantumkan sehingga kerahasian pasien dijaga dengan baik.

31

3.3. Dummy Table (Tabel Kosong) Tabel 3.2 Kadar CD4+ pada penderita HIV/AIDS
No. 1. 2. 3. Kadar CD4+ 500/ml 200-499 <200 n%

Tabel 3.3 Kejadian Infeksi T. gondii pada Penderita HIV/AIDS


No. Infeksi T. gondii n%

1. 2.

Tabel 3.4 Hubungan Kadar CD4+ dengan Infeksi T. gondii


No. 1. 2. 3. Kadar CD4+ 500/ml 200-499 <200 Infeksi T.gondii + -

32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.

Hasil Penelitian Penelitian telah dilakukan di Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker

Nasional Jakarta. Subjek penelitian adalah 204 orang yang terdiri dari 21 orang penderita Toksoplasmosis, dan selebihnya dengan infeksi oportunistik lain serta sudah memenuhi kritera inklusi dan eksklusi.

4.1.1 CD4+

Karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Usia dan Kadar

Karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Usia dan Kadar CD4 dijelaskan seperti pada tabel 4.1 berikut ini.
4.1. Tabel Karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Usia dan Kadar CD4+ Min - Max Usia CD4 5-68 2-1305 Mean 35.47 197.33 SD 9.779 229.989 N 204 204

Tabel 4.1 menunjukan populasi penderita HIV/AIDS berusia antara 5 tahun sampai dengan 68 tahun, dengan rata-rata usia 35,47 tahun. Populasi penderita HIV/AIDS mempunyai kadar CD4 antara 2 sampai 1305.

33

4.1.2

Karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dijelaskan seperti pada

gambar 4.1 berikut ini.

Jenis Kelamin
Wanita(46 orang) 22,5%

Pria (158 orang) 77,5%

Gambar 4.1. Grafik lingkaran karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan gambar 4.1 pada 204 pasien yang diteliti, pasien pria berjumlah 158 orang (77,5%) dan wanita 46 orang (22,5%).

4.1.3

Karakteristik Berdasarkan Kadar CD4 Karakteristik penderita HIV/AIDS berdasarkan Kadar CD4 dijelaskan

seperti pada gambar 4.2 berikut ini.

34

500 (19 orang) 9% 200-499 (50 orang) 25%

Kadar CD4

<200 (135 orang) 66%

Gambar 4.2. Grafik lingkaran karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Kadar CD4+ Berdasarkan gambar 4.2 di atas terlihat bahwa CD4 penderita HIV/AIDS dengan kadar CD4 rendah 66.2%, kadar CD4 sedang 24.5%, dan sedangkan kadar CD4 yang tinggi sebanyak 9.3% dari jumlah penderita yang diteliti.

4.1.4 Kejadian Infeksi Toksoplasma Berdasarkan Jenis Kelamin pada Penderita HIV/AIDS

Karakteristik kejadian infeksi toksoplasma berdasarkan jenis kelamin dijelaskan seperti pada tabel 4.2 berikut ini
Tabel 4.2. Kejadian Infeksi Toksoplasma Berdasarkan Jenis Kelamin pada Penderita HIV/AIDS Jenis Kelamin Total pria Infeksi toksoplasma Total Tidak Ya 141 17 158 n% 69.11 8.3 77.41 wanita 42 4 46 n% 20.59 2 22.59 f 183 21 204 % 89.7 10.3 100

Berdasarkan tabel 4.2 di atas terlihat bahwa penderita HIV/AIDS dengan toksoplasmosis pria 17 orang (8.3%) sedangkan wanita 4 orang (2%), dan

35

sedangkan tanpa toksoplasmosis pria 141 orang (69.11%) sedangkan wanita 42 orang (20.59%) dari jumlah penderita yang diteliti.

4.1.5 Tabulasi Silang Hubungan Kadar CD4+ dengan Infeksi T. gondii Tabulasi Silang Hubungan Kadar CD4+ dengan Infeksi T. gondii dijelaskan seperti pada tabel 4.3 berikut ini Tabel 4.3 Tabulasi Silang Kadar CD4 dengan Infeksi Toxoplasma
CD4+ <200 Toksopla Tidak smosis Ya Total n% 200-499 n% 500 19 0 19 n% 9.31 0 9.31 f Total p n%

114 55.88 21 10.30 135 66.18

50 24.51 0 0

183 89.70 0.003 21 10.30 204 100

50 24.51

Pada tabel di atas, dengan derajat kepercayaan 95% didapatkan nilai p= 0,003, berarti ada perbedaan yang nyata kadar CD4 pada pengidap toksoplasmosis dan bukan pengidap toksoplasmosis. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya hubungan yang bermakna antara kadar CD4 dengan kejadian toksoplasma pada penderita HIV/AIDS.

4.2. Pembahasan 4.2.1 Karateristik Kadar CD4+ Pada Penderita HIV/AIDS di yang Berobat Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta Tahun 2012 Limfosit CD4+ (CD4) adalah secara rutin digunakan di seluruh dunia, untuk menentukan kelayakan, dan pemantauan dari respon terapi antiretroviral (ART) pada pasien HIV-positif. CD4 digunakan sebagai alat ukur terjadinya risiko perkembangan infeksi oportunistik.

36

Jumlah CD4 yang rendah disebabkan oleh beberapa kondisi, dimana jumlah CD4 ini sering turun hingga di bawah 200 per mm3. Fungsi dari CD4 ini untuk mendiagnosa penderita dengan AIDS yang sebelumnya positif antibodi terhadap human immunodeficiency virus (HIV-positif). Sebagai contoh, sekitar 30% dari penderita pneumonia akut telah ditemukan memiliki jumlah CD4 kurang dari 200. Seseorang dengan HIV-positif yang jumlahnya di bawah 200 dianggap sebagai tanda bahwa mereka memiliki imunosupresi yang ekstrim dan virus tersebut dapat menghancurkan sistem kekebalan tubuh. Penderita HIV rentan terhadap sinusitis, sarkoma Kaposi, pneumonia, dan oral hairy leukoplakia. Sedangkan ketika CD4 di bawah 200/mm3, penderita rentan terhadap pneumocystis carinii pneumonia, toksoplasmosis, progressive multifocal leukoencephalopathy, Mycobacterium avium complex, moluskum kontagiosum, dan basiler angiomatosis. Pada penderita HIV dengan kadar CD4 di bawah 50/mm3, pasien beresiko terkena pseudomonas pneumonia,

cytomegalovirus retinitis, limfoma disistem saraf pusat, aspergillosis, dan histoplasmosis. Menurut teori Retno Wahyuningsih tahun 2009, Pada pasien terinfeksi HIV terjadi gangguan kekebalan dan tanpa obat antiretroviral, pasien akan memasuki fase AIDS yang ditandai oleh penurunan CD4 sampai di bawah angka kritis 200 sel/mm3. Pada fase tersebut penderita rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik yang dapat menyebabkan kematian. Pada penelitian ini sesuai dengan teori Retno Wahyuningsih, didapatkan bahwa kadar CD4 pada penderita HIV/AIDS di yang berobat di Rumah Sakit

37

Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012, 135 orang dari 204 memiliki kadar CD4 <200 sel/mm3. 4.2.2 Karateristik kejadian Toksoplasmosis pada Penderita HIV/AIDS yang Berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta Tahun 2012 Toksoplasmosis disebabkan oleh T. gondii, suatu protozoa obligat

intraseluler yang terdistribusi di seluruh dunia. Prevalensi seropositif antibodi terhadap T. gondii diperkirakan sebesar 3%-67% dan tingkat prevalensi tertinggi (90%) terdapat di Eropa Barat dan negaranegara tropis. Penularan ke manusia terjadi terutama oleh konsumsi daging setengah matang yang mengandung kista jaringan atau oleh paparan ookista baik melalui konsumsi sayuran, terkontaminasi kontak langsung dengan feses kucing, transfusi darah, transmisi melalui transplasenta, dan transplantasi organ. Penelitian yang dilakukan Davarpanah, dkk di Iran, prevalensi

toksoplasmosis antara 208 pasien HIV/AIDS (18,2%) (38 pasien), sedangkan 4 (10,4%) dan 34 (89,6%) subyek menunjukkan seropositif Toksoplasma dengan dan tanpa TE. Sebagian besar pasien dengan kelompok usia 25-34 laki-laki, tanpa pekerjaan. Menurut Nissapatorn pada tahun 2009, tingkat prevalensi infeksi Toksoplasma laten pada pasien terinfeksi HIV telah ditemukan sangat bervariasi dari 3% menjadi 97%. Prevalensi telah ditemukan terkait dengan etnis, faktor risiko tertentu, dan reaktivasi toksoplasmosis. Sebelum ART, TE adalah lesi otak fokal yang paling umum terdeteksi pada pasien AIDS dengan infeksi Toksoplasma. Mayoritas pasien berusia 25-34 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan etnis Tionghoa.

38

Pada penelitian ini sejalan dengan Nissapatorn, didapatkan bahwa kejadian Tokoplasmosis pada penderita HIV/AIDS di yang berobat di Rumah Sakit

Kanker Dharmais Jakarta Tahun 2012, 21 dari 204 penderita HIV/AIDS terdiri dari 17 pria dan 4 wanita, terdiri dari usia 24 58 tahun.

4.2.3 Hubungan antara kadar CD4+ dengan kejadian Toxoplasmosis pada penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012 Pada penelitian ini, didapatkan bahwa terdapatnya hubungan yang signifikan antara kadar CD4+ dengan kejadian toxoplasmosis pada penderita HIV/AIDS di yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012 Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Davarpanah dkk di Iran, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah CD4 200499 sel/mm3 dan Toxoplasma-seropositif pada pasien. Studi tersebut

menunjukkan bahwa kemungkinan besar infeksi Toxoplasma dapat menyebabkan terjadinya pengurangan fungsi sel-T. Penurunan pertahanan host mengarah pada reaktivasi infeksi toksoplasma yang kronis pada pasien infeksi HIV, terutama ketika jumlah CD4 menurun di bawah 100 sel / uL. Penderita HIV-positif tanpa komplikasi neurologis yang jumlah CD4 di bawah 100 sel / uL, 79,4% adalah seropositif untuk Toxo-antibodi IgG, dibandingkan dengan 32,2% pada subyek dengan komplikasi neurologis.

4.3 Keterbatasan Penelitian Kekurangan dari penelitian ini adalah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, masih kurangnya sampel yang dibutuhkan, keterbatasan waktu dan jarak tempat penelitian. Dalam penelitian ini, populasi yang diteliti hanya secara

39

general saja, diharpkan untuk penelitian selanjutnya dapat mencantumkan usia, jenis kelamin, dan ras.

40

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Simpulan Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini

dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain : 1) Didapatkan bahwa kadar CD4 pada penderita HIV/AIDS di yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012 sebagian besar berada pada kadar yang rendah yaitu <200/ml 2) Kejadian Toxoplasmosis pada penderita HIV/AIDS di yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta Tahun 2012, 21 dari 204 penderita HIV/AIDS 3) Terdapatnya hubungan yang signifikan antara kadar CD4 dengan kejadian toksoplasmosis pada penderita HIV/AIDS yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012

5.2.

Saran 1) Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sample yang mencukupi 2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui hubungan

toksoplasmosis pada penderita HIV/AIDS dihubungkan dengan jenis kelamin

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2010. 235-45 p. 2. WHO. UNAIDS World AIDS Day Report. Geneva: 2012 13 januari 2013. Report No. 3. Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III Tahun 2012. Jakarta: Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012. 4. Heelan JS, Ingersoll FW. Essential of Human Parasitology. New York: Delmar; 2002. 4 p. 5. Widyani R, Indramaya DM. Infeksi Parasit pada Penderita Infeksi HIV. ISJD Lipi. 2009;21:46. 6. E.U A, S.E AOJ, R H. Toxoplasma gondii IgG antibodies in HIV/AIDS patients attending hospitals in Makurdi metropolis, Benue state, Nigeria. International Journal of Medicine and Biomedical Research. 2012;1(3):186-7. 7. Nissapatorn V, Lee C, Cho S, Rohela M, Anuar AK, Quek K, et al. Toxoplasmosis in HIV/AIDS Patients in Malaysia. Department of Parasitology University of Malaya. 2003;34. 8. Gazzinelli RT, Bala S, Stevens R, Baseler M, Wahl L, Kovacs J, et al. HIV infection suppresses type 1 lymphokine and IL-12 responses to Toxoplasma gondii but fails to inhibit the synthesis of other parasite-induced monokines. The Journal of Immunology. 1995;155:1565. 9. Walle F, Kebede N, Tsegaye A, Kassa T. Seroprevalence and risk factors for Toxoplasmosis in HIV infected and non-infected individuals in Bahir Dar, Northwest Ethiopia. Parasites & Vectors. 2013;6:1-2. 10. Khan A, Su C, German M, Storch GA, Clifford DB, Sibley LD. Genotyping of Toxoplasma gondii Strains from Immunocompromised Patients Reveals High Prevalence of Type I Strains. Journal of Clinical Microbiology. 2005;43:5881. 11. Mohraz M, Mehrkhani F, Jam S, Ahmad S, Alinaghi S, Sabzvari D, et al. Seroprevalence of Toxoplasmosis in HIV+/AIDS Patients in Iran. Iranian Research Center for HIV/AIDS. 2010;49. 12. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. 641 p.

42

13. George SM, Malik AK, Hilli FA. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A Case Report and Review of Pathogenesis and Laboratory Diagnosis. Bahrain Medical Bulletin. 2009;31(2):1-2. 14. Oksenhendler, Charreau E, Tournerie I, Azihary C, Carbon M, Aboulker C, et al. Toxoplasma gondii infection in advanced HIV infection. AIDS. 1994;8(4):1. 15. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Jawetz, Melnick, & Adelberg's Medical Microbiology. San Fransisco: Encourage Creativity; 2004. 604 p. 16. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. Jakarta: Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003. 17. HIV/AIDS. Geneva: 2012 28 November 2012. Report No.

18. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. 1543 p. 19. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing; 2009 November 2009. 20. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2010. 235-45 p. 21. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing; 2009 November 2009. 421-7 p. 22. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. In: Indonesia DKR, editor. Jakarta: Direktor Jendral Pemberatasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2003. p. 1-9. 23. Natadisastra D. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. 1 ed. Jakarta: EGC; 2009. 233 p. 24. E REI, Gotuzzo d. Human Immunodeficiency Virus, Pneumocystis carinii, Toxoplasma gondii, and Leishmania Species. Washington: ASM Press; 2002. 751 p. 25. Terazawa A, Muljono R, Susanto L, Margono SS, Konishi E. High Toxoplasma Antibody Prevalence among Inhabitans in Jakarta, Indonesia. Depertement of Health Sciences, Kobe University. 2003;56:107. 26. Irene Lindstrma, Kaddu-Mulindwab DH, Kirondeb F, Lindha J. Prevalence of latent and reactivated Toxoplasma gondii parasites in HIV-patients from Uganda. Elsevier. 2006:1.

43

27. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, & Adelberg's Medical Microbiology. San Fransisco: Encourage Creativity; 2004. 604-13 p. 28. HIV/AIDS. Geneva: WHO, WHO; 2012 28 November 2012 Report No.

29. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. 30. R T Gazzinelli, S Bala, R Stevens, M Baseler, L Wahl, and JK, et al. HIV infection suppresses type 1 lymphokine and IL-12 responses to Toxoplasma gondii but fails to inhibit the synthesis of other parasite-induced monokines. .

Вам также может понравиться