Вы находитесь на странице: 1из 18

1

METODE TAFSIR MAUDHUI





A. PENDAHULUAN

al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada umat Islam, dan al-Qurn adalah sebagai
pedoman aturan kehidupan bagi umat Islam yang bersifat historis dan normatif.
Ayat-ayat al-Qurn yang bersifat historis dan normatif tidak semua dapat dipahami
secara tekstual saja, karena banyak dari ayat-ayat al-Qurn yang masih mempunyai makna
yang luas (abstrak) dan perlu untuk ditafsirkan lebih dalam, agar dapat diambil sebuah
hukum ataupun hikamah yang dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh Manusia secara
umum dan umat Islam secara khusus.
Al-Qurn juga sebagai aturan yang menjadi penentu dasar sikap hidup manusia, dan
membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih mendetail, karena pada zaman sekarang
banyak permasalahan-permasalahan yang komplek, dan tentunya tidak sama dengan
permasalahan-permasalahan yang ada pada zaman Nabi Muhammad Saw.
Tafsir al-Qurn yang dianggap mampu menjadi solusi dari kondisi di atas mengalami
perkembangan yang luar biasa. Ahli tafsir dengan berbekalkan keilmuannya
mengembangkan metode tafsir al-Qurn secara berkesinambungan untuk melengkapi
kekurangan atau mengantisipasi penyelewengan ataupun menganalisa lebih mendalam tafsir
yang sudah ada (tentunya tanpa mengesampingkan asbab al-Nuzul, nasikh wa mansukh,
qiraat, muhkamat mutashabihat, am wa khash, makkiyat madaniyat, dan lain-lain).
Tipologi tafsir berkembang terus dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan
kontek zaman, dimulai dari tafsir bi al-matsur atau tafsir riwayat berkembang ke arah tafsir
bi al-Rayi. Tafsir bi al-Matsur menggunakan nash dalam menafsirkan al-Qurn,
sementara tafsir bi al-Rayi lebih mengandalkan ijtihad dengan akal. Sedangkan berdasarkan
metode terbagi menjadi: tafsir tahlili, tafsir maudhui, tafsir ijmali dan tafsir muqaran.
Tafsir maudhui atau tematik adalah tafsir berperan sangat penting khususnya pada
zaman sekarang, karena tafsir maudhui dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan
mampu menjawab permasalahan yang ada.Tafsir maudhui atau tematik ada berdasar surah
al-Qurn ada berdasar subjek atau topik. Dengan adanya pemaparan di atas, penulis
menganggap tafsir tematik adalah topik yang menarik untuk dibahas, maka dari itu penulis
menjadikan tafsir maudhui sebagai topik pembahasan dalam makalah ini.


2

B. PEMBAHASAN
1.1. Pengertian Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.
1

Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya
dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung
arti: cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu
pengetahuan dan sebagainya atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan.
2

Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu
pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau
pekerjaan fisik pun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan
salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini,
studi tafsir al-Qurn tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-
baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam
ayat-ayat al-Qurn yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Metode tafsir Qurn
berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harusdiperhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat
Qurn. Maka, apabila seseorang menafsirkan ayat Qurn tanpa menggunakan metode,
tentu tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-
Ray al-Mahdh (tafsir berdasarkan pikiran) .
3

Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir.
Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: metode tafsir, yaitu cara-cara
yang digunakan untuk menafsirkan al-Qurn, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu
tentang cara tersebut. Maka pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin
(perbadingan), misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu
berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat al-Qurn, disebut pembahasan
metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan
teknik atau seni penafsiran. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran dan seni atau teknik ialah cara yang


1
Fuad Hassan dan Koentjaraningrat. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat [ed],
Metode-metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 16.

2
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, (Jakarta: Balai Pustaka 1988), h. 580-581.

3
Tafsir bi al-ray al-mahdh (tafsir berdasarkan pemikiran) yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibnu
Taymiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram Ibnu Taymiyah. Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir.
(Kuwait: Dar al-Quran al-Karim, cet.ke-I, 1971 / 1391), h. 105, dalam Nashruddin Baidan. Metodologi
Penafsiran al-Qur'an, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000), h. 2.
3

dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan
metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Quran.
4

Di dalam penafsiran al-Quran ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan
metode penafsiran, seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab, dan allaunu. Dalam al-
Munawwir, Kamus Arab-Indonesia,
5
kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang
sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi,
kata mazhab bermakna aliran,
6
dan kata laun bermakna corak atau warna dalam penafsiran
ayat-ayat al-Quran yang digunakan oleh para mufassir.
Sebagai contoh: manhaj dan thariqah adalah digunakan dalam metode tahlili,
muqarin, ijmali dan mawdlui. Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan
dan madzhabyang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang
ahli fiqih cenderung menafsirkan ayat Qurn ke arah fiqih dan seorang filosof menafsirkan
Qurn ke arah fisafat, dan seterusnya.
7

Allaunu yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat al-Qurn.
Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qurn tentu akan menggunakan corak atau warna
tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat
al-Quran tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan
menggunakan rasio. Seorang sufi akan menafsirkan ayat al-Qurn dengan corak tasawuf.
8

Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam
menafsirkan al-Qurn mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir
akan menentukan corak atau warna tafsirnya.


4
Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Quran., h. 1-2.

5
Ahmad Warso Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan
Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP.al-Munawwir Krapyak. Kata: Thariqah jalan, cara, 1984), h. 910-
1645. Manhaj [cara, metode], h. 1567, Ittijah [arah], h. 1645, dan Allaunu (warna,corak), h. 1393. Sebagai
perbandingan: Menurut Hans Wehr: thariqah (jamak: tharaiq) berarti cara, mode, alat, jalan, metode, prosedur
dan system. Manhaj (jamak: ittijahat) berarti terbuka, dataran, jalan, cara, metode, dan program. Ittijah
(jamak:alwan) berarti warna, mewarnai, corak, macam, dan contoh Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic. ed.J. Milton Cowan. (London: Macdonald and Evans Ltd, 1974), h. 559.

6
H. Said Agil Husin al-Munawar, Silabus Diskusi, tanggal 21 Januari 2012.

7
Contoh Ittijah dalam penafsiran al-Qurn, buku karangan Abdul Majid Abdus Salam al-Muhtasib.
1973. Ittijah al-Tafsir fy al-Ashr al-Hadis, al-Kitab al-Awwal: Ittijah Salafy, Ittijah Aqly Taufiqy, Ittijah Ilmy.
Beirut: Dar al-Fikir, yaitu tentang orientasi tafsir pada masa modern, dan buku karangan Nasr Hamid Abu Zaid.
1996. al-Ittijah al-Aqly fi al-Tafsir; Dirasah fy Qadliyah al-Majaz fy al-Qurn inda al-Mutazilah. Beirut: al-
Markaz al-Tsaqafly al-Araby, yaitu tentang orientasi tafsir yang rasional menurut Mutazilah. (Muqowin. 1997.
Metode Tafsir, Makalah Seminar al-Quran Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 18
Desember 1997, h.5).

8
Hujair a.h.Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau Corak
Mufassirin), (Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008), h. 4.
4

1.2. Pengertian Tafsir Maudhui
Kata maudhui berasal dari bahasa arab yaitu maudhu yang merupakan isim
maful dari fiil madhi wadhaa yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan
membuat-buat.
9
Arti maudhui yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau
topik atau sektor, sehingga tafsir maudhui berarti penjelasan ayat-ayat al-Qurn yang
mengenai satu judul / topik / sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhui yang berarti
yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhuyang berarti hadis yang
didustakan / dipalsukan / dibuat-buat.
10

Adapun pengertian tafsir maudhui (tematik) menurut istilah para ulama ialah

.
Artinya : Mengumpulkan ayat-ayat al-quran yang mempunyai tujuan yang satu yang
bersama-sama membahas judul / topik / sektor tertentu dan menertibkannya
sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab
turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-
penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat
lain, kemudian mengistimbatkan.
11

Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama
bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan
kembali ke al-Qurn. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan
pengalaman manusia dengan al-Qurn. Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk
memaksakan pengalaman ini kepada al-Qurn dan menundukkan al-Qurn kepadanya.
Melainkan menyatukan keduanya di dalam konteks suatu pencarian tunggal yang
ditunjukkan untuk sebuah pandangan Islam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu
atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya.
Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok
ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sintesis, atas dasar ciri kedua
ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah
pandangan yang tersusun.
12



9
Luia Maluf, al-Mun jid fr al-Lughah wa al-Alam, (Dar al-Masyriq, Beirut, 1987), h. 905.

10
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlini Pada Masa Kini, (Kalam Mulia, Jakarta, 1990), h. 83-84.

11
Abd al-Hayy al Farmawi, , Mu jam al-Alfaz wa al-alam al-Ourniyah, Dar al-`ulum, (Kairo,
1968), h. 52.

12
Sadr at, Muhammad Baqir, Pendekaian Temalik Terhadap Tafsir al-Qurn, dalam Ulumul Quran,
(Vol I, No. 4, 1990), h. 34.
5

Menurut al-Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk
mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit
dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili
(representatif).
13
Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir
maudhui ialah upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qurn mengenai suatu tema tertentu, dengan
mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya
sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan al-Qurn secara utuh
tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan
sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.

1.3. Pengertian Metode Tafsir Maudhui
Metode tafsir maudhui adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-
Qurn dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qurn yang mempunyai tujuan satu, yang
bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa
turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
14

Menurut al-Farmawi metode tafsir maudhui ialah metode yang membahas ayat-
ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang
berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbab al-Nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan
dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qurn, hadis,
maupun pemikiran rasional.
15
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qurn tidak dilakukan ayat
demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qurn dengan mengambil sebuah tema khusus dari
berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qurn.
Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qurn, konsep nubuwwah
di dalam al-Qurn, pendekatan al-Qurn terhadap ekonomi, dan sebagainya.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhui mempunyai dua
pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qurn dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara


13
Abd al-Hayy Farmawi al, AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhui, (Matbaah al-Hadarah al`Arabiyah,
Kairo, 1977), h. 62.

14
http://id.wikipedia.org/wiki/tafsir_al-qur'an, 22.00 Wib, 04 April 2013.

15
Abd al-Hayy al-Farmawi, AI-Bidayah. fi al-Tafsir al-Maudhui, h. 52., dalam Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qurn, h. 151.
6

satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan
berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran
yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qurn yang dibahas satu masalah tertentu dari
berbagai ayat atau surat al-Qurn dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik
petunjuk al-Qurn secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
16
Lebih lanjut M. Quraish
Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhui ada dua bentuk
penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qurn yang terdapat pada ayat-
ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan
oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi
rasul. Kedua, metode maudhui mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini
menghimpun pesan-pesan al-Qurn yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.
17

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak
salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qurn itu
sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas
dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiran yang diberikan tidak boleh jauh
dari pemahaman ayat-ayat al-Qurn agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan berkala (al-Ray al-Mahdh). Oleh karena itu dalam pemakainnya,
metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu
tafsir.
18


1.4. Sejarah Tafsir Maudhui
Dasar-dasar tafsir maudhui telah dimulai oleh Nabi Saw. sendiri ketika menafsirkan
ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-Masur. Seperti yang
dikemukakan oleh al-Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang
sebagai tafsir maudhui dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik
berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini
termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Quran al-Karim. Sedangkan tafsir maudhui berdasarkan
subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di


16
M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qurn. (Bandung: Mizan, 1992), h. 74.

17
M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qurn, Tafsir Mau atas Perbagai Persoalan Umat. (Bandung:
Mizan, 1997), h. 13.

18
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'n, h. 152.
7

institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini
digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.
19
Buah dari tafsir model ini menurut
Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad,al-Insn f al-
Qurn,al-Marah f al-Qurn, dan karya Abul Ala al-Maududi, al-Rib f al-Qurn.
20

Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof.
Dr. Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-
Maudui: Dirasah Manhajiyah Mauduiyah.
21
Namun jika, merujuk pada catatan lain,
kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik
berdasar surah maupun berdasarkan subjek.
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qurn, Zarkashi (745-794/1344-
1392), dengan karyanya al-Burhn,
22
misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal
yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian
juga Suyt (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqn.
23
Sementara tematik berdasar subyek,
diantaranya adalah karya Ibn Qayyim al-Jauzyah (1292- 1350H.), ulama besar dari mazhab
Hambal, yang berjudul al-Bayn f Aqsm al-Qur`n; Majz al- Qur`n oleh Ab Ubaid
; Mufradt al-Qur`n oleh al-Rghib al-Isfahn; Asbb al-Nuzl oleh Ab al-Hasan al-
Wahd al-Naisbr (w. 468/1076), dan sejumlah karya dalam yakni;
1. Naskh al-Qur`n oleh Ab Bakr Muhammad al-Zuhr (w. 124/742),
2. Kitb al-Nsikh wa al-Manskh f al-Qur`n al-Karm oleh al-Nahhs (w. 338/949),
3. al-Nsikh wa al-Manskh oleh Ibn Salam (w. 410/1020),
4. al-Nsikh wa al-Manskh oleh Ibn al-At`iqi (w.s. 790/1308),
5. Kitb al-Mujz f al-Nsikh wa al-Manskh oleh Ibn Khuzayma al-Fris. Sebagai
tambahan, tafsir Ahkm al-Qur`n karya al-Jass (w. 370 H.), adalah contoh lain dari
tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qurn.
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan
sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan
sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah
di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Qurn maupun tematik berdasar
subyek / topik.


19
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurn, cet. Ke xix, (Bandung: Mizan, 1999), h.114.

20
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurn, cet. Ke xix, h. 114.

21
Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhuiy: Suatu
Pengantar, terj. oleh Suryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996). h. 21.

22
Badr al-Dn Muhammad, al-Zarkash, al-Burhn f Ulm al-Qur`n, (Beirt: Dr al-Kutub al-
Ilmyah, 1408 / 1988), h. 61-72.

23
Jall al-Dinal-Suyt, al-Itqn f Ulm al-Qur`n, (Kairo: Dr al-Turth, 1405 / 1985), h. 159-161.
8

1.5. Operasionaliaasi Kerja Tafsir Maudhui
Metode ini juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan
pada tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qurn. Ada dua cara dalam tata kerja
metode tafsir maudhui: Pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qurn
yang berbicara tentang satu masalah (maudhu / tema) tertentu serta mengarah kepada satu
tujuan yang sama, sekalipun turunya berbeda dan tersebar dalam berbagai surah al-
Quran. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surat al-Qurn.
al-Farmawi mengemukakan langkah-langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang
ingin menggunakan metode maudhui, langkah-langkah tersebut adalah :
24

1. Memilih atau menetapkan masalah atau topik bahasan setelah menentukan batasan dan
mengetahui jangkauan yang akan di kaji secara maudhui dalam ayat al-Qurn;
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalahtersebut;
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi
turunnya (Makiyah dan Madaniyah), disertai pengetahuan mengenai latar belakang
turunnya atau sabab al-Nuzul;
4. Mengetahui hubungan (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya;
5. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis;
6. Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadits bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan semakin sempurna dan jelas;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa, mengkompromikan
antara pengertian yang amm dan khash, muthlaq muqayyad, mengsingkronkan ayat-
ayat yang lahirnya kelihatan terkesan kontradiktif, menjelasakan ayat nasikh
dan mansukh sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa suatu
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna yang kurang tepat;
25

8. Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban dari al-Qurn terhadap masalah
yang dibahas.
Beberapa prinsip penafsiran yang perlu dipegangi dalam menggunakan
metode maudhui, antara lain:
1. Memberikan penjelasan terhadap lafad-lafad atau ayat masing-masing, dalam rangka
tujuan pembahasan;


24
Abd al-Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Maudhui, (Kairo : al-Hadharah al-Arabiyah,
1977), h. 61-62.

25
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2005 ), h. 48.
9

2. Tidak menyimpang dari masalah pokok pembahasan;
3. Penafsir hendaknya menetapi langkah-langkah seperti telah ditatapkan dan kaidah-
kaidah lainnya untuk menghindari kekeliruan yang terjadi;
4. Tidak memilih ayat tertentu atau sebaliknya menolak ayat lainnya berdasarkan
keinginan atau kepentingan justifikasi teori dan konsepsi sendiri;
5. Untuk menghindari keterlibatan pemikirian (al-rayu) yang berlebihan, hendaknya
dalam menafsirkan tetap memakai al-Qurn sebagai rujukan utama atau alat uji
penafsiran.
26


1.6. Macam-Macam Tafsir Maudhui
Dalam perkembangannya, metode tafsir maudhui dibagi kepada tiga macam:
1. Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya
dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan
bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling
melengkapi. Contoh:
;O4^- *. Og~-.- +O 4` O)
g4OEOO- 4`4 O) ^O-
N.4 ;O4^- O) jE4O=E- _
4O-4 O1O4^- +OO)lC^- ^
NUu4C 4` g)U4C O) ^O- 4`4
NO^C Ogu+g` 4`4 NjO64C ;g`
g7.EOO- 4`4 NOu4C OgOg _
4O-4 O1gOO- +OO4^- ^g
Artinya : Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar
daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah
yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun (Q.S. Saba : 1-2).
Di al-Qurn surat saba: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan
kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-
Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
2. Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Qurn yang memiliki kesamaan
arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah
satu bahasan tema tertentu.
27



26
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qurn, (CV. Pustaka Setia, Bandung, 2004), h.
104.
10

3. Menghimpun seluruh ayat al-Qurn yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya
diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhui.
Contohnya: Allah Swt. berfirman:
-OOU4- NE1-47 }g` gO)O
eE)UE =4- gO^OU4N _ +O^^)
4O- C-O+-- N7gOO- ^@_
Artinya :Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya, maka Allah
menerimatibatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha
penyayang (Q.S. al-Baqarah : 37).
Untuk menjelaskan kata kalimat pada firman Allah Taala di atas ,nabi mengemukakan
ayat.
~ 4L+4O .E4u 4L=O^
p)4 - Og^> 4L
E4;EOO>4 E=O74L =}g`
=}C)OOEC^- ^g@
Artinya : Keduanya berkata, : ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang merugi (Q.S. al-Araf : 23).
Contoh lainnya:
E_GC^4C -g~-.- W-EON44`-47
W-Ou g1ON^) _ ;e^UgOq
7 OE1jg4 Eu^- ) 4`
_OUuNC 7^OU4 4OOEN O@>g4`
g^1O- +^4 NNONO Ep)
-.- N7^4 4` C@ONC ^
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya
(Q.S. al-Maidah : 1).



27
M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumu al-Qurn, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001), h. 192-
193.
11

Untuk menjelaskan pengecualian yang terdapat pada ayat saat disana, nabi merujuk firman
Allah :
;e4`@ONO N7^OU4 O4-^1E^-
NO.-4 N^4O4 OC@O4gC^- ^@
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...(Q.S. al-Maidah : 3)

1.7. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Maudhui
1). Kelebihan metode tafsir maudhui
Jika kita bandingkan dengan metode-metode lain, tafsir tematik / maudhuI memiliki
beberapa kelebihan. Di antara kelebihan metode ini ialah sebagai berikut:
a. Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka
metode maudhui sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan
tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi masyarakat;
b. Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan
sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul;
c. Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qurn selalu dinamis sesuai dengan
tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan
pendengarnya bahwa al-Qurn senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di
muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial;
d. Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan
dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qurn dapat diserap secara utuh. Pemahaman
semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka
metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih
baik dan tuntas;
28


2). Kekurangan metode tafsir maudhui
Di samping mempunyai kelebihan, metode ini juga tak luput dari kekurangan yang
antara lain sebagai berikut:
a. Memenggal ayat al-Qurn: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qurn ialah suatu
kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan
yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu
diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat


28
Jall al-Din al-Suyt, al-Itqn f Ulm al-Qur`n, h. 18.
12

misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika
menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis;
b. Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka
pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut.
Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat
ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qurn itu
bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan
diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari
permata tersebut.
29


1.8. Urgensi Metode Tafsir Maudhui
Melihat keunggulan metode tematik bahwa metode ini memang lebih dapat
diandalkan untuk menjawab permasalahan kehidupan di muka bumi ini. Itu berarti, metode
berperan besar dalam kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar
sesuai dengan maksud diturunkannya al-Qurn.
Berangkat dari pemikiran yang demikian, maka kedudukan metode ini menjadi
semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam. Oleh karenanya, metode ini perlu dimiliki
oleh ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon mufasir, agar mereka dapat
memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan yang benar demi
meraih kebahagian di dunia dan di akhirat.
Terjadinya pemahaman yang terkotak-kotak dalam memahami ayat-ayat al-Qurn,
sebagai akibat dari tidak dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini sangat
berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang jauh dalam
memahami al-Qurn, sebagaimana telah dicontohkan ketika kita menjelaskan metode global
dan analitis di atas.
Penulis berpendapat bahwa dalam metode tematik, hal itu tak akan terjadi. Jadi,
berdasarkan bukti-bukti tersebut maka jelaslah bahwa metode tematik menduduki tempat
yang amat penting dalam kajian tafsir al-Qurn.
30

Menurut Ali Hasan al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhui dalam era
sekarang ini yaitu :
1. Metode maudhui berarti menghimpun ayat-ayat al-Qurn yang tersebar pada bagian
surat dalam al-Qurn yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini


29
Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qurn, h. 165-168.

30
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qurn, h. 169-170.
13

termasuk tafsir bi al-Matsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari
kesalahan;
2. Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut seorang pengkaji dapat menemukan segi
relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu;
3. Dengan metode maudhui seorang pengkaji mampu memberikan suatu pemikiran dan
jawaban yang utuh dan tuntas tentang suatu tema dengan cara mengetahui,
menghubungkan dan menganalisis secara komprehensif terhadap semua ayat yang
berbicara tentang tema tersebut;
4. Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak dan menghindarkan diri dari
kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam ayat;
5. Metode maudhui sesuai dengan perkembangan zaman modern dimana terjadi
diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah tersebut perlu
penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah sistematika buku yang membahas
suatu tema tertentu;
6. Dengan metode maudhui orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi
dan segala segi dari suatu tema;
7. Metode maudhui memungkinkan bagi seorang pengkaji untuk sampai pada sasaran
dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah payah dan menemui
kesulitan;
8. Metode maudhui mampu menghantarkan kepada suatu maksud dan hakikat suatu
masalah dengan cara yang paling mudah, terlebih lagi pada saat ini telah banyak
bertaburan kotoran terhadap hakikat agama-agama sehingga tersebar doktrin-
doktrin kemanusiaan dan isme-isme yang lain sehingga sulit untuk dibedakan.
31

Dari berbagai uraian tentang kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode
yang dikemukakan, menurut Hujair A. H. Sanaky kebutuhan ummat pada zaman modern,
metode maudhui mempunyai peran yang sangat besar dalam penyelesaian suatu tema
dengan mendasarkan ayat-ayat al-Qurn, walaupun setiap metode memiliki karakteristik
sendiri-sendiri yang tentu tergantung pada kepentingan dan kebutuhan mufassir serta situasi
dan kondisi yang ada. Dengan demikian metode maudhui dapat digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat dewasa ini, karena
metode maudhui mampu menghantarkan ummat (pembaca tafsir) ke suatu maksud dan


31
Ali Hasan al-Aridl. Tarikh Ilm al-Tafsir. h. 92-95, dalam Muqowin, Metode Tafsir, Makalah
Seminar al-Quran, Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga, 18 Desember 1997, Yogyakarta, h. 22-
23. Hujair a.h.sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin),
(al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008), h. 22.
14

hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah, sebab tanpa harus bersusah payah
dan memenuhi kesulitan dalam memahami tafsir. Selain itu sisi lain yang dilihat adalah
dengan metode maudhui, mufassir berusaha berdialog aktif dengan al-Qurn untuk
menjawab tema yang dikehendaki secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-
Quran dengan metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya mengikuti urutan
ayat dan surat dalam al-Qurn.
32


1.9. Perbedaan Metode Tafsir Maudhui Dengan Metode Tafsir Lainnya
1). Perbedaan metode maudhui (tematik) dengan metode tahlili
Metode Tahlili Metode Maudhui (Tematik)
1. mufassir terikat dengan susunan ayat
sebagaimana tercantum dalam mushaf.


2. Mufassir berusaha berbicara
menyangkut beberapa tema yang
ditemukan dalam satu ayat.



3. Mufassir berusaha menjelaskan segala
sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.


4. Sulit ditemukan tematema tertentu yang
utuh.
5. Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak
digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang
ada.
1. Mufassir tidak terikat dengan susunan
ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat
dengan urutan masa turunya ayat, atau
kronologi kejadian.
2. Mufassir tidak berbicara tema lain selain
tema ysng sedang dikaji. Oleh karena
itu, ia dapat mengangkat tema-tema al-
Qurn yang masing-masing berdiri
sendiri dantidak bercampur aduk dengan
tema-tema lain.
3. Mufassir tidak membahas segala
permasalahan yang dikandung oleh satu
ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan
pokok bahasan.
4. Mudah untuk menyusun tema-tema al-
Qurn yang berdiri sendiri.
5.Walaupun benihnya ditemukan sejak
dahulu, sebagai sebuah metode
penafsiran yang jelas dan utuh baru
dikenal belakangan saja.
2). Perbedaan metode maudhui (tematik) dengan metode ijmali (global)
Metode Ijmali (Global) Metode Maudhui (Tematik)


32
Hujair a.h. sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin), (al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008), h. 23.
15

1. Mufassir terikat dengan susunan mushaf.
2. Mufassir berusaha berbicara
menyangkut beberapa tema yang
ditemukan dalam satu ayat.
1. Mufassir tidak terikat dengan susunan
mushaf.
2. Mufassir tidak berbicara tema lain selain
tema yang sedang dikaji.

3). Perbedaan metode maudhui dengan metode muqaran
Metode Muqaran Metode Maudhui
1. Mufassir menjelaskan al-Qurn dengan
apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
2. Mufassir terikat dengan uraian para
mufassir.

1. Mufassir tidak berbicara tema lain selain
tema yang sedang dikaji.
2. Mufassir tidak terikat dengan uraian para
mufassir.

1.10. Contoh Penafsiran dengan Menggunakan Metode Tafsir Maudhui
Untuk membantu pemahaman secara praktis dari teori-teori di atas, maka di bawah
ini akan disebutkan satu sampel dari bentuk penafsiran maudhui yang dilakukan oleh
Farmawi. Dengan judul Riayat al-Yatim fi al-Qurn al-Karim, al-Farmawi melakukan
langkah-langkah penafsiran sebagai berikut:
1. Mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan anak yatim sekaligus
mengelompokkan ayat-ayat tersebut ke dalam Makiyah dan Madaniyah. Makiyah
sebanyak 5 ayat dan madaniyah 17 ayat.
2. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, al-Farmawi kemudian menetapkan sub-sub bahasan, yaitu
tentang pemeliharaan anak yatim berdasarkan:
a. Ayat-ayat makiyah dengan dua tema:
1) Pemeliharaan diri / fisik, dengan mengacu pada 4 ayat;
2) Pemeliharaan harta anak yatim, bedasarkan pada 1 ayat.
b. Ayat-ayat Madaniyah yang dibagi pada tiga sub bahasan:
1) Pentingnya membina akhlak dan pendidikan anak yatim dengan berdasarkan pada 4
ayat;
2) Pemeliharaan anak yatim dengan mengacu pada 9 ayat;
3) Perintah bertinfak pada anak yatim berdasarkan 4 ayat.
3. Pada tahap permbahasan, al-Farmawi memperhatikan masa turunnya surat dan urutan-
urutan ayat bila terdapat beberapa ayat dalam satu surat yang sedang dibahasnya.
Demikian pula memperhatika munasabah antar ayat dan ayat yang disajikan dalam suatu
16

kaitan rasional, sehingga uraian itu menjadi menarik. Misalnya tentang hubungan tiga
ayat Makiyah.
Ayat Q.S. al-Dhuha: 6, yang maknanya merupakan suatu pertanyaan kepada Nabi Saw.
yang cukup menggugah hati bila dihubungkan dengan latar belakang dirinya yang yatim itu.
Kemudian disusul oleh ayat Q.S. al-Dhuha: 9, yakni suatu tuntutan kepada kaum muslimin
untuk menghormati atau menyayangi anak yatim, dan sebaliknya tidak boleh berbuat
sewenang-wenang. Kemudian dihubungkan dengan ayat 17 dari al-Fajr, yang maknanya
Allah Swt. mengecam para hartawan yang memperhatikan anak yatim itu.
Ayat ketiga ini semacam peringatan keras kepada setiap orang untuk segera tampil
sebagai pembela anak yatim. Peringatan ini mengundang para sahabat untuk bertanya kepada
Rasul Saw. tentang kewajiban bagaimana melakukan pembelaan terhadap anak yatim itu?
Pertanyaan itu kemudian dijawab oleh Allah Swt. seperti yang terdapat dalam surat yang
turun di Madinah, Q.S. al-Baqarah: 220.
O) 4Ou^O- jE4O=E-4
El4^OU4*OEC4 ^}4N _OE4-41^- W
~ /EE;) += OOE= W p)4
-O7CgCq` 7+^4Ou=) _
+.-4 NUu4C EO^^- =}g`
gE)U^- _ O4 47.E- +.-
744L;NV _ Ep) -.- NOCjG4N
_1EO ^gg
Artinya : Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,
katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui
siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah
menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Baqarah: 220).
Secara keseluruhan, rangkaian pembahasan yang bersifat tematik itu adalah upaya
untuk menemukan jawaban dari ayat-ayat al-Qurn tentang anak yatim, sehingga uraiannya
sudah terpola pada penekanan tertentu seperti itu. Demikian pula kutipan tentang hadis Nabi
Saw. adalah sebatas yang berkaian dengan tema ini.
33


C. Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa sejarah munculnya
tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar Al-Azhar


33
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qurn, h. 104-106.
17

Syaikh Mahmud Syaltut, pada tahun 1960, sedangkan berdasarkan tema digagas pertama
kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof.
Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, pada tahun 1977. Langkah yang dilakukan dalam metode
tematik ini adalah menetapkan masalah yang akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengan topik tersebut,melengkapi ayat-ayat dengan hadis-hadis yang relevan
dengan topik pembahasan kemudian dibahas dan disimpulkan. Keistimewaan tafsir metode
tematik adalah menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi merupakan cara terbaik
dalam menafsirkan Al-Qurn, sementara itu kesimpulan yang diambil mudah dipahami
tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu dan al-
Qurn sebagai petunjuk hidup secara konkrit dapat menjawab problem-problem yang
dihadapi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi, Abdul Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, (penerjemah) Rosihon
Anwar, Metode Tafsir MaudhuI, Bandung: Pustaka Setia. 2002.
Al-Farmawi, Abd al-Hay, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Maudhui, Kairo : al-Hadharah al-
Arabiyah, 1977.
Al-Aridl, Ali Hasan. Tarikh Ilm Al-Tafsir. Hlm.92-95, Dalam Muqowin, Metode Tafsir,
Makalah Seminar Al-Qurn, Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga, 18
Desember , Yogyakarta.1997,
Al-Suyt, Jall Al-Din, Al-Itqn F Ulm Al-Qur`n , Kairo: Dr Al-Turth, 1405/1985.
Baidan, Nasruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'n,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
Hassan, Fuad. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjaraningrat [Ed], Metode-
Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1977.
Khaeruman, Badri, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qurn,Bandung: CV Pustaka Setia.
Munawir, Ahmad Warson, 2002, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progresif, 2004.
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, 2005.
Sanaky, Hujair A.H., Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau
Corak Mufassirin), Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qurn, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003.
-------------------------, dkk, Sejarah dan Ulumu al-Qurn,Jakarta: Pustaka Firdaus.
Usman, 2009, Ilmu tafsir, Yogyakarta: Teras, 2001.
18

------------------------, Membumikan al-Qurn, cet. Ke xix , Bandung: Mizan, 1999.
-------------------------, Wawasan Al-Qurn, Tafsir Mau Atas Perbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan. 1997.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia, Cet. Ke-I, Jakarta: Balai Pustaka,1988.

Вам также может понравиться