Вы находитесь на странице: 1из 7

MENYELAMI HIKMAH IDUL FITRI

Oleh Mazlan Salim

Akhirnya, kita dapat menyelesaikan seluruh rangkaian amaliah Ramadhan pada


tahun ini. Setelah sebulan lamanya kita berjuang, melatih diri mengendalikan
hawa nafsu, sekarang kita memasuki babak baru perjuangan yang sesungguhnya.
Selama satu bulan, kita telah menguras tenaga, hati dan pikiran kita untuk
beribadah, mengabdi dan mencurahkan kekhusyu’
an untuk mendapatkan segala
keutamaan Ramadhan. Saat ini patutlah kita bertanya, sudahkah kita memperoleh
kesucian diri sebagaimana sucinya hari yang kita peringati ini ?
Sesungguhnya kecenderungan kita sebagai manusia adalah menghendaki
kesalehan dan menyukai kebenaran. Itulah fitrah kita. Jika seseorang melakukan
kemaksiatan dan membenci kebenaran pada hakikatnya dia telah menentang
fitrahnya sendiri. Allah swt maha penyayang kepada hamba-Nya. Sebagaimana
dulu Allah swt melepas kita ke dunia ini dalam keadaan suci dari dosa, maka
ketika kembali kepadanya Allah juga ingin kita dalam keadaan suci lagi. Oleh
sebab itu, karena Allah maha penyayang, Dia menyediakan sarana-sarana
pembersihan diri dari dosa yang dapat kita lakukan sendiri selama hidup di dunia
ini. Allah swt tawarkan kepada kita bulan Ramadhan sebagai bulan penghapus
dosa agar kita memperbanyak istighfar dan bartaubat di dalamnya. Tapi, apa yang
kita lakukan?

1
Ternyata masih banyak diantara hamba-Nya yang tidak peduli dengan tawaran
Allah swt. Mereka lebih memilih tawaran syaitan yang membawanya semakin
jauh dari jalan Allah swt. Seharusnya Ramadhan menjadi bulan penghapus dosa,
bagi mereka Ramadhan justru memperbanyak dosa berlipat ganda. Kalau sudah
begini, memasuki Idul Fitri, sebenarnya kesucian apa yang mereka peringati dan
Idul Fitri mana yang mereka rayakan ?

Sekali lagi, Allah maha penyayang kepada kita. Allah tetap ingin kita kembali
kepada-Nya dalam keadaan suci. Allah menantikan permohonan ampun kita yang
setulusnya dan pengabdian kita yang seikhlasnya semata-mata karena-Nya.
Allah swt membenci kepura-puraan, karena kepura-puraan itu sebagian dari
kemunafikan. Ibadah orang munafik tidak akan bertahan lama. Mereka sudah
gugur, mungkin di minggu-minggu pertama, atau tak sempat mencapai garis
finisnya. Jika pada awal Ramadhan, telah tertampung semua lumpur, batu dan
intannya, maka yang berhasil menuntaskan ibadah sampai akhir Ramadhan
ibarat intan yang dihasilkan dari pendulangan Ramadhan yang berkilau cahaya
dan mendatangkan kepuasan bagi yang memilikinya. Sementara yang lain,
mungkin batu atau lumpur yang sudah hanyut bersama gebyarnya suasana
duniawi dan gelombang hawa nafsu.
Mereka itu seperti pemain-pemain sinetron yang melakonkan peran kesalehan
dan ketakwaan. Setelah Ramadhan berlalu, dia kembali seperti semula. Kita
saksikan, banyak orang mendadak soleh dalam bulan Ramadhan, tiba-tiba
menjadi salah setelah Idul Fitri. Dalam bulan Ramadhan, bibirnya bergetar
dengan zikir dan doa, setelah Ramadhan dengan bibir yang sama ia menyakiti
saudaranya. Jika Ramadhan pun tidak dapat menyadarkan dan mendorong kita
untuk bertaubat kepada Allah swt, maka betapa bebalnya hati kita, kerasnya jiwa
kita dan alangkah tidak malunya kita di hadapan Allah swt. Inilah ciri-ciri su'ul
khatimah, Hidup yang diakhiri dengan kedurhakaan kepada Allah swt.
Rasulullah saw bersabda bahwa ada tiga orang yang tidak akan diperhatikan Allah
swt di hari kiamat, satu diantaranya adalah orang tua yang berzina. Dalam Islam,
kalau ada orang tua yang melakukan kemaksiatan, dia akan memperoleh siksaan
dan ancaman lebih banyak dibanding anak muda yang melakukan kemaksiatan
yang sama, karena dia berada di ujung kematiannya.

2
Hal ini mengingatkan kita, betapa jeleknya seseorang yang belum juga mau
bertaubat. Dari Ramadhan ke Ramadhan, dari Idul Fitri ke Idul Fitri sepanjang
hidupnya tidak juga tergerak hatinya untuk kembali kepada Allah swt. Semakin
bertambah umur bukan semakin taat, tetapi justru semakin banyak melakukan
maksiat.
Oleh sebab itu, inilah saatnya kita bertaubat kepada Allah, kembali kepada
kesucian diri. Betapapun besarnya dosa dan kesalahan kita tentu lebih besar lagi
ampunan Allah swt.
Allah swt berfirman :

Katakanlah : "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Az-
Zumar : 53)

Idul Fitri merupakan moment yang tepat untuk kita memulai kehidupan spiritual
yang baru. Ber-Idul Fitri pada hakikatnya adalah memunculkan kesadaran
spritual untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama dengan lebih baik di masa-masa mendatang.

Idul Fitri mempunya dua dimensi, dimensi spiritual dan dimensi sosial.
Meningkatkan ketaatan kepada Allah merupakan dimensi spiritual ber-Idul Fitri.
Memperhatikan sesama merupakan dimensi sosialnya. Dalam ber-Idul Fitri kita
dianjurkan memperkuat silaturrahmi dengan saling bermaafan satu sama lain.
Idul Fitri boleh jadi sama di seluruh dunia, tapi Lebaran hanya khas Indonesia.
Dalam berlebaran kita membuka diri lebar-lebar untuk mengakui kesalahan dan
memintakan maafnya dan memaafkan orang lain.
Yang menggembirakan, di media-media cetak maupun eletronik, kita
menyaksikan banyak tokoh-tokoh pemimpin kita yang berlomba-lomba
menyampaikan ucapan selamat Idul Fitri dan menghaturkan permohonan maaf
lahir batinnya. Mereka itu dari berbagai kalangan. Ada ketua Partai politik (dan
ini banyak sekali, maklum sebentar lagi kita mau pemilu), presiden, wapres, para
menteri, artis-artis yang sedang mengadu nasib jadi politisi dan mungkin pula

3
koruptor-koruptor pun ikut menyampaikan selamat dan mohon maafnya. Tetapi,
cukupkah permohonan maaf di bibir saja ? Mari kita dengarkan apa yang
dikatakan Ali bin Thalib tentang syarat meminta maaf terhadap sesama manusia.
Bahwa setelah anda menyesali dan mengungkapkan kesalahan, maka
kembalikanlah hak-hak rakyat yang telah dirampas dan bila selama ini
perut anda sudah buncit dengan hasil korupsi, maka kempeskanlah
dan rasakan sakitnya hidup susah dan menderita akibat kesalahan-
kesalahan yang pernah dilakukan. Setelah itu, barulah pantas
meminta maaf.
Ketika mereka mengucapkan mohon maaf lahir batin, terbayangkah di benaknya,
bagaimana sakitnya kehidupan korban Lumpur lapindo, rakyat kelaparan,
kesulitan sembako, pengangguran yang meningkat akibat kebijakan yang mereka
ambil dalam mengelola negeri ini. Tak satu pun keluar dari mulut mereka
pengakuan terhadap dosa-dosa yang mereka lakukan terhadap rakyat. Ingin sekali
kita mendengar –misalnya – ada pemimpin yang berkata: : "Wahai rakyatku,
maafkan kami, karena kami tidak atau belum bisa membuat kalian hidup
sejahtera". Atau ada pemimpin partai yang berkata : "Maafkan kami. Dengan
sangat menyesal kami akui bahwa anggota dewan yang kalian pilih dari partai
kami ternyata seorang koruptor kelas kakap". Nyatanya, tak satupun
pengakuan-pengakuan itu keluar dari mulut mereka. Yang kita dengar, Selamat
Idul Fitri 1429 H Mohon Maaf Lahir dan Batin ; sebuah ungkapan datar dan bisa
jadi tak bermakna bila kita ukur dengan apa yang dipersyaratkan oleh Ali bin Abi
Thalib tadi.

Kalau mengakui kesalahan saja tidak mau, bagaimana mungkin kita percaya
mereka tulus meminta maaf. Lantas, mohon maaf itu untuk kesalahan yang mana
? Jangan-jangan kita akan dibohongi lagi dengan manisnya kata-kata. Kita ini
orang timur yang konon memiliki tata karma dan sopan santun yang tinggi.
Bagaimana besarnya kesalahan dapat kita maafkan bila memang yang meminta
maaf benar-benar menyesali kesalahannya. Tetapi, menuntut mereka untuk
mengembalikan hak-hak rakyat yang dirampas dan harta negara yang dikorupsi
sebelum menerima maafnya, tak kalah pentingnya. Sebagaimana kata Ali bin
Thalib, sebelum anda meminta maaf, kembalikan dulu hasil korupsinya dan

4
rasakan dulu sakitnya hidup di penjara. Kalau tidak, maka kita pun sebagai rakyat
bisa saja minta maaf karena belum bisa memaafkan mereka.

Sebentar lagi kita akan memilih pemimpin baru. Kita berharap bangsa ini masih
mendapat hidayah Allah swt untuk memilih pemimpin yang benar-benar
memikirkan nasib rakyatnya, bukan pemimpin yang menjadikan rakyatnya
sebagai sarana uji coba. Yang sudah pernah gagal, kita sarankan janganlah
bernafsu memimpin lagi, karena daripada nantinya harus capek meminta maaf
kepada rakyat atas kegagalannya, lebih baik nikmatilah kehidupan yang bersih
dari dosa. Jadikanlah yang lalu sebagai pelajaran, kita ambil hikmahnya agar
tidak terulang lagi di masa mendatang.
Semoga Allah swt senantiasa melindungi kita semua. Amin.

5
KHUTBAH KEDUA :

Dengan semangat Idul Fitri, marilah kita kembali kepada kesucian kita.
Bertaubatlah kepada Allah swt, sebelum ajal menjemput kita, karena boleh jadi
inilah Idul Fitri terakhir buat kita. Kita berada dalam perjalanan di padang pasir,
kita kehilangan unta yang mengangkut perbekalan kita. Ketika kita risau dan
cemas, kita melihat unta itu berjalan kembali kepada kita, lengkap dengan
perbekalan yang dipikulnya. Kita tentu senang sekali. "Ketahuilah", kata
Rasulullah saw, "Allah lebih senang dari itu, apabila Ia melihat hamba-
Nya yang pernah jauh tersesat dalam gelimang dosa dan
meninggalkan-Nya, berjalan kembali kepada-Nya".
Akhirnya, marilah kita bermohon kepada Allah swt :

6
7

Вам также может понравиться