Вы находитесь на странице: 1из 39

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

SISTEM PEMBUKUAN AS-SUNNAH

Disusun Oleh : Alvin Ria Subekti

Dosen Pembimbing : Dra. Siti Nurjanah, M. Ag

MATA KULIAH METODOLOGI STUDI ISLAM

Program Studi III Perbankan Syariah/1/C STAIN Jurai Siwo Metro 2012/2013

BAB I PENDAHULUAN

Pembukuan As Sunah atau Hadits Turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkaitan dengan perintah membaca dan belajar sebagaimana firman Allah Taala, Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalian. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)

Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidaklah dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, tidak berarti bahwa diantara mereka tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang diantara mereka ada yang mampu membaca dan menulis, Adiy bin Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.

Kemudian pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana Al-Quran sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At-Taratib Al-Idariyah. Bahkan

Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara mereka: ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa binti Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Saad, Karimah binti AlMiqdad. Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi shallallahu alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Said bin Ash agar mengajar menulis di Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.

Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan hadits.

a. Riwayat yang melarang penulisan hadits

- Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, Apa yang sedang kalian tulis? Kami menjawab, hadits-hadits yang kami dengar dari engkau. Beliau berkata, Apakah kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah. (Diriwayatkan dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)

b. Riwayat yang membolehkan penulisan hadits

- Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis. (HR. Bukhari) - Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, Ikatlah ilmu dengan buku. (Diriwayatkan Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi) Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata, Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.

Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Said Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan tabiin. Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali,

Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash. Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:

1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam sehingga dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits dan AlQuran. Ketika keadaan telah aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Quran

telah banyak, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis hadits, dan larangan sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).

2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Quran dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.

3. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya.

Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya. Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.

Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:

- Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Quran telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Quran dengan hadits.

- Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.

- Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Muawiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Quran dengan makna yang bukan sebenarnya.

Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.

Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.

Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.

Ibnu Hajar berkata, Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah ArRabi bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabiin). Imam Malik menyusun Al-Muwatha di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-AuzaI di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.

Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:

a. Al-Muwatha karya Imam Malik bin Anas

b. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shanani

c. As-Sunan karya Said bin Mansur

d. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah

Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabiin. Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian As Sunnah As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup) [Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409), Lisanul Arab (17/89)]. Para Ulama bahasa berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As Sunnah itu hanya terbatas jalan yang baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan yang baik maupun yang buruk? Yang benar ialah bahwa menurut bahasa, As Sunnah adalah thariq (jalan) yang baik maupun yang buruk. Di antara hal-hal yang menunjukan pengertian ini adalah hadits Nabi Shalallahualaihi wa salam. Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahualaihi wasallam pernah bersabda:

Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasai no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

(Yakni), ketika Nabi shalallahualaihi wa salam membagi sunnah itu menjadi dua, yang baik (sunnah hasanah) dan yang buruk (sunnah sayyi-ah).

Adapun pengertian As Sunnah menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits (muhaddits), sebagaimana halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih. Menurut para muhadditsin, As Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi shalallahualaihi wa salam, baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) dan sifat (budi pekerti maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau, baik sebelum maupun sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].

Sedangkan menurut ahli ushul, As Sunnah dimutlakkan kepada semua yang dinukil dari Nabi shalallahualaihi wa salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari Beliau shalallahualaihi wa salam, baik sebagai keterangan terhadap apa yang ada dalam Al Kitab atau tidak [Lihat Ushul Ahkam Al Amidi (1/169)].

As Sunnah dalam istilah ahli fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang

bukan wajib. Maka jika dikatakan bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara

Abdul Qadir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 81

tersebut) bukan fardlu dan bukan pula wajib, tidak haram serta tidak pula makruh [Lihat Syarhul Kawkabul Munir (2/160)].

Akan tetapi As Sunnah menurut kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu. Karena yang mereka maksud dengan As Sunnah adalah mana yang lebih luas daripada yang dipaparkan para muhaddits, ahli ushul dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah yang dimaksud adalah kesesuaian dengan Al Kitab (Al Quran). Sedang sunnah Rasulullah shallallahualaihi wa salam serta para sahabatnya adalah sama dalam masalah aqidah maupun ibadah. Lawannya adalah bidah.

Sehingga bila dikatakan si Fulan di atas As Sunnah, jika amalannya sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahualaihi wa salam. Lalu bila dikatakan si Fulan di atas bidah, jika amalannya menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau salah satunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, Adapun lafaz As Sunnah dalam perkataan salaf, mencakup sunnah dalam masalah ibadah dan Itiqad, meskipun kebanyakan yang menyusun tulisan tentang As Sunnah mengkhususkan pembahasannya dalam bidang Itiqad" [Lihat Al Amr bin Maruf wan Nahyu Anil Munkar (hal 77)]

Beliau rahimahullah mengatakan dalam Al Hamawiyah, As Sunnah adalah semua yang Nabi shalallahualaihi wa salam berada diatasnya, baik Itiqad, Iqtishad, ucapan maupun perbuatan" [Al Hamawiyah hal 2]

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, Banyak ulama yang belakangan mengkhususkan As Sunnah kepada hal-hal yang berkaitan dengan Itiqad; karena dia adalah pokok agama ini. Sedangkan yang menyelisihinya berada dalam bahaya yang besar" [Lihat Jamiul Ulum wal Hikam (hal 249). Sebab itulah banyak tulisan tentang makna ini dengan istilah As Sunnah, misalnya As Sunnah karya Imam Ahmad, As Sunnah karya Abu Dawud As Sijistani, As Sunnah karya Ibnu Abi Ashim Abdullah bin Imam Ahmad, dan As Sunnah karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, dan selainnya]

Aku (Syaikh Abdussalam bin Salim As Suhaimi) katakan: As Sunnah, jika disebut secara mutlak dalam masalah aqidah, yang dimaksud adalah dien (ajaran Islam) yang sempurna, bukan sebagaimana di istilahkan oleh ulama ahli hadits, ahli ushul maupun fiqih.

Ibnu Rajab rahimahullah juga mengatakan, "As Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya adalah berpegang dengan semua yang Nabi shalallahualaihi wa salam dan para Khulafaur rasyidin berada diatasnya, baik Itiqad, amalan, maupun ucapan. [Lihat Ibid (hal 262)]

Al-Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain AlQur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Quran sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :

Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya. -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)

Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syariat bagi umat ini.

Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syariat Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafii rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih). Kaidah Ushul menyatakan, Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat, dan juga kaidah Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih). Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Quran dan AsSunnah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan keluarnya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455) a. HADITS QUDSI

Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada Qudus yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci. Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah taala.

Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi : Pertama, Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda,Seperti yang diriwayatkannya dari Allah azza wa jalla. Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu anhu dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku

telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian. Kedua, Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda,Allah berfirman.. Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda,Allah taala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya.

Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Quran Al-Quran itu lafadh dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam. Membaca Al-Quran termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala. Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Quran, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan mutawatir.

b. HADITS SHAHIH

Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

1. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.

2. Harus bersambung sanadnya

3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.

4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)

5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)

6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.

Semoga Allah subhanahu wa taala menanamkan kepada kita kecintaan kepada ilmu hadits, para ulama ahlul hadits, dan orang-orang yang senantiasa berusaha meniti jejak mereka, menilai, menimbang, memutuskan, dan mengembalikan segala permasalahan umat ini kepada ahlinya, yaitu ulama ahlul hadits, sehingga ucapan dan amalan-amalan kita terbimbing diatas ilmu.

2. Sejarah Singkat Penulisan dan Pembukuan Hadits

Pada masa permulaan Al-Quran masih diturunkan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan penulisan Al-Quran. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis AlQuran, Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Quran.

Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam: Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Quran hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di dalam neraka. (HR. Muslim)

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada amulfath (tahun. VIII H) yang berbunyi: Tulislah untuk Abu Syah.

Demikian pula dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.

Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Quran. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.

Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.

Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur.

Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.

Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

3. Kedudukan sunah dalam sistem hukum Islam

Hukum Islam bertumpu dan bersumber dari dua macam sumber hukum utama, yaitu Al-quran dan sunnah (Hadits). Al-quran adalah kalamulloh yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan membacanya merupakan suatu amal ibadah. Alloh SWT menurunkan Al-quran kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Diturunkan melalui pengemban amanat wahyu (Jibril as) dengan lafadz-lafadz yang asli dan diwahyukan kepada nabi Muhammad secara jelas ketika beliau terjaga bukan pada waktu tidur, bukan ilham (bisikan pada jiwa) kemudian Al-quran disampaikan kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya. Adapun isi Al-quran terdiri dari perintah Alloh, larangan Alloh dan cerita dari Alloh.

Sedangkan sunnah dalam istilah para ahli hadits ialah semua perkataan, perbuatan, persetujuan, cita-cita, sifat-sifat atau keadaan akhlaq dan bentuk fisiknya. Yang dimaksud persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau melakukan perbuatan dihadapan Rosul dan beliau tidak mengingkarinya, atau perkataan dan perbuatan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau namun beritanya sampai kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak memberikan komentar dan tidak ingkarnya itu merupakan persetujuan (takrir).

Fungsi hadits terhadap Al-quran itu sendiri sebagai pensyarah, yaitu merinci hal-hal yang disebutkan secara garis besar dalam Al-quran, memberikan pembatas ayat-ayat yang masih mutlak, menentukan arti khusus ayat-ayat yang masih umum,

menjelaskan ayat-ayat yang pelik dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang dikemukakan secara ringkas. Nabi dalam memberikan penjelasan mengenai Alquran terkadang dengan ucapan, perbuatan, terkadang dengan kedua-duanya, salah satu contoh : Di dalam Al-quran tidak ada penjelasan tentang jumlah, bilangan, bacaan, tata cara sholat, kemudian sunnahlah yang menjelaskannya.

Juga di dalam Al-quran tidak dijelaskan tentan kapan zakat itu diwajibkan, berapa nishobnya, berapa banyaknya yang harus dikeluarkan zakatnya, maka sunnahlah yang menerangkan secara rinci tentang hal itu dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang kita temui.

Mengingat pentingnya hadits (sunnah) dalam syariat Islam dan fungsinya terhadap Al-quran para sahabat sangat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Al-quran. Mereka menghafalkan lafadz-lafadz hadits dan maknanya, memahami dan mengetahui maksud dan tujuannya, juga mengamalkan isi dari sunnah tersebut, termasuk mereka tahu berapa besar pahala dari menyampaikan sunnah dari Rosululloh. Oleh karena itu tidaklah heran mereka bersungguh-sungguh menyampaikan hadits (sunnah) yang mereka terima, karena mereka yakin bahwa hadits (sunnah) itu merupakan ajaran agama yang wajib disampaikan kepada segenap manusia dan syariat universal yang abadi.

4. Penulisan hadits zaman Rosululloh dan sesudahnya

Di masa Rosululloh masih hidup, hadits belum dibukukan, dalam arti umum seperti Al-quran. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1. Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, disamping tidak lengkapnya peralatan tulis menulis yang mereka miliki. 2. Adanya larangan menulis hadits, Rosululloh bersabda: Janganlah kalian menulis sesuatu apapun (yang kamu terima dariku) selain Al-quran, barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Al-quran hendaklah dihapus. (HR Muslim)

Larangan menulis hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Al-quan atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Al-quran. Atau larangan penulisan hadits itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah dengan Al-quran akan tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka khawatir lupa akan penulisan hadits itu diperbolehkan, dan dalam pengertian inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu diijinkan.

Tidak berselang lama setelah Rosululloh berpulang kehadirat Alloh, para penulis hadits dari kalangan sahabat maupun tabiin bermunculan. Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah bermaksud membukukan hadits, beliau mengumpulkan para sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk membukukan tetapi nampaknya Alloh belum menghendaki ide Khalifah Umar terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahu 99 H) beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli fiqih dari kalangan tabiin yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di Madinah wafat pada tahun 120 H)

Selain Ibnu Hazm adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri (ulama terkemuka di Hijaz dan Syam, wafat pada 124 H). Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengintruksikan pembukuan karena merasa khawatir hilang dan lenyapnya hadits (sunnah) karena banyak sahabat yang telah meninggal atau karena khawatir tercampurnya antara hadits asli dan hadits bathil. Karena pada masa itu telah meluas dan dianut berbagai ras suku bangsa dan berbagai kepentingan dalam memeluk agama Islam, disamping itu bermunculan kelompok Atheis yang ingin menghancurkan agama Islam dengan membuat hadits palsu yang menyesatkan demi mengukung kepentingan mereka.

Setelah generasi (tabaqah) A-Zuhri dan Abu Bakar ibnu Hazm berlalu, muncullah generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadits. Tercatat sebagai ulama yang menulis hadits, antara lain ialah :

1. Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di Mekah 2. Mamar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman 3. Abu Amr Abdur Rahman al Azwai, wafat tahun 156 H di Syam 4. Said bin Abi Arubah, wafat tahun 151 H 5. Rabi bin Sabih, wafat tahun 160 H 6. Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Basrah 7. Muhammad bin Ishak wafat tahun151 H

8. Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah 9. Abu Abdullah Sufyan as Sauri, wafat 161 H di Kuffah 10. Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan 11. Hasyim bin Basyir, wafat tahun 188 H di Wasit 12. Jarir bin Abdul Hamid. Wafat tahun 188 H 13. Al Lais bin Sad, wafat tahun 175 H di Mesir

Pada masa ini pembukuan hadits masih campur aduk antara hadits dengan pendapat sahabat dan fatwa tabiin tapi sayang karya-karya zaman itu hanya karya Imam Malik Muwattho yang kita jumpai, yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakan, itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan serangan keji yang menimpa negeri Islam seperti penyerbuan dan perampasan pasukan Tartar dan tentara salib merupakan penyebab hilangnya hadits yang telah dibukukan itu.

Zaman keemasan pembukuan hadits yaitu pada tahun 200-300 H. Pada abad ini hanya pembukuan hadits rosululloh saja bahkan ada yang menghimpun kitab musnad dan sebagian penyusun hadits yang dalam susunannya mengklasifikasikan sahabat menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya). Ulama terbaik yang menyusun kitab ini adalah Ahmad bin Hambal.

Pengarang lainnya yang mengikuti sistem musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang huruf pertama namanya huruf alif, huruf ba dan seterusnya. Pada masa itu ulama terbaik yang menyusun berdasarkan cara demikian ialah Imam Abul Qosim at Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya Al Mujamul Kabir. Ulama lainnya yang juga menyusun hadist dengan sistem musnad ini ialah Ishak bin Rawahaih (wafat 238 H), Utsman bin Abi Syaibah (wafat 239 H), Yaqub ibnu Abi Syaibah (wafat 263 H) dan lain-lain.

Di samping itu pada masa ini ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika bab fiqih dan sebagainya. Ia memulai penysusunannya dengan kitab sholat, zakat, puasa, haji, lalu bab gadaian dan seterusnya. Para ulama penulis dengan sistem ini pun di antaranya ada yang :

1. Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya memuat hadits shohih semata, seperti Imam Bukhari dan Muslim 2. Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat hadits shohih semata, tetapi ia memasukkan pula hadits shohih dan hasan, bahkan hadits daif sekalipun. Sewaktuwaktu terkadang mereka menerangkan pula nilai-nilai hadits yang dimuatnya itu. Namun pada saat yang lain, mereka tidak menjelaskannya. Hal ini karena mereka telah merasa cukup dengan hanya menyebutkan sanad hadits secara lengkap dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik dan meneliti sanadsanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits shohih, hasan dan daif. Tugas membedakan hadits ini bukanlah suatu pekerjaan yang sulit bagi para pelajar hadits pada waktu itu terlebih lagi bagi para ulama. Contoh utama bagi kitab hadits yang disusun menurut sistematika fiqih ini ialah kitab-kitab yang disusun oleh para

penghimpun sunan (hadits) yang keempat yaitu Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah.

Abad ketiga Hijriah ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh) hadits dan pengumpulannya. Pada abad ini muncul sejumlah besar ulama kenamaan bidang hadits dan kritikus hadits. Dan pada masa ini pulalah terbitnya sinar terang Kutubus sittah dan kitab semisal yang memuat hampir semua kecuali sebagian hadits nabi dan yang menjadi pegangan utama bagi para ahli fiqih, nujtahid, ulama dan pengarang. Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu, ahli pendidikan, ahli moral, ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka perlukan.

5. PEMBUKUAN SUNNAH

Dimasa rasululloh SAW masih hidup, hadist belum dibukukan seperti ALQuran, hal ini disebabkan 2 faktor, yaitu : 1. Kuatnya hapalan para sahabat & kecerdasan akal mereka, disamping tidak

lengkapnya alat tulis pada zaman itu. 2. Larangan dari rasululloh SAW, janganlah kamu menulis sesuatu yang kamu

terima dariku, selain Al-Quran, barang siapa yang telah menulis sesuatu selain AlQuran hendaklah dihapus. (HR. Muslim)

Adanya Nabi memberikan larnagan seperti itu mengandung 3 pengertian :

Adanya sebuah kekhawatiran akan tercampurnya antara hadist dengan Al-

Quran, atau Kekhawatiran Nabi bahwa dengan penulisan hadist itu akan membuat mereka

lalai terhadap Al-Quran, atau Larangan itu ditujukan kepada orang yang dipercaya kekuatan hafalannya.

Tapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah/hadist dapat tercampur aduk dengan Al-Quran, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka takut lupa akan penulisan hadist maka penulisan hadist/sunnah itu diperbolehkan. Tidak berselang lama setelah Rasululloh berpulang kehadirat Allah, para penulis hadist dari kalangan sahabat maupun tabiin bermunculan. Pada masa kekhalifaan Uman bin Khatab r.a muncul usulan dari Umar untuk membukukan hadist, beliau mengumpulkanp ara sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk membukukan hadist. Namun, rupanya Allah belum menghendaki hal tersebut, khalifah Umar bin Khatab r.a berpulang kehadirat Allah sebelum bisa memenuhi keinginannya tersebut. Pembukuan hadist baru bisa terlaksana setelah kekhalifaan Umar bin Abdul Azis (tahun 99 H). Beliau menginstruksikan pembukuan hadist pada 2 orang yaitu : Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm, dia adalah seorang ahli fiqih

dari kalangan tabiin yang diangkat oleh Umar bin Abdul Azis sebagai gubernur dan godi (juru hukum) di Madinah, dan wafat pada 120 H. Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri, dia adalah ulama

terkemuka di Hijaz dan Syam, dan wafat pada 124 H.

Setelah generasi Abu Bakar Ibnu Hazm & Az-Zuhri berlalu muncullah generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadist. Namun pada masa ini, pembukuan hadist masih campur aduk antara hadist dengan pendapat sahabata dan fatwa tabiin. Sayangnya karya zaman itu hanya karya Imam Malik Muwattho yang kita jumpai, sedangkan yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakaan, itu pun di perpustakaan barat akibat adanya perang salib yang menimpa negeri Islam pada masa itu. Zaman keemasan pembukuan hadist yaitu pada tahun 200-300 H, pada masa ini hanya pembukuan hadist rasulullah saja bahakan ada yang menghimpun kitab musnad & sebagian penyusun hadist yang dalam susunannya mengklasifikasikan sahabt menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya), ulama terbaik yang menyususn kitab ini adalah Ahmad bin Hanbal Pengarang lainnya yang mengikuti system Musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang inisial namanya dimulai huruf alif & seterusnya. Ulama terbaik yang menyusun berdasarkan cara ini ialah Imam Abdul Qasim at-Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya AlMujamul Kabir. Disamping itu ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika bab fikih, dsb. Ia memulai penyusunannya dengan kitab sholat, zakat, puasa, haji lalu bab gadaian dst. Para penulis dengan system fikih ini pun, diantaranya ada yang : Membatasi kitabnya dengan hanya membuat hadist shohih semata, seperti

Imam Bukhori dan Muslim

Tidak membatasi kitabnya, bukan hanya hadist shohih saja tapi juga Hasan,

bahkan daif sekalipun. Terkadang mereka menerangkan pula nilai hadist yang dimuatnya, dan terkadang juga tidak. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik & meneliti sanad serta matannya, lalu membedakan hadist shahih, hasan dan daif. Contoh : Imam Abu Dawud, Tirmidzi, NasaI dan Ibnu Majjah.

Tahun ke- 300 H ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh) hadist & pengumpulannya. Pada tahun ini muncul sejumlah besar ulama terkenal bidang hadist & kritikus hadist.

6. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah

Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Masud dan Abu Hurairah.

As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaranlembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa Umar bin Abdul Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-

hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan hadits. Kata khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad, Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja. [1]

Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi.

Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:

Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian. [2]

Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi'in. Begitu selanjutnya, para Tabi'in

yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh Tabiut Tabiin. Bagai roda yang terus berputar, haditshadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad, asy-Syafii, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.

Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H), datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah: 1. Ibnu Juraij di Makkah 2. Sa'id bin Arubah 3. Al-Auzai di Syam 4. Sufyan ats-Tsauri di Kufah 5. Imam Malik bin Anas di Madinah 6. Abdullah Ibnul Mubarak 7. Hammad bin Salamah di Bashrah 8. Husyaim 9. Imam asy-Syafi'i

Mereka ini semuanya dari generasi Tabi'ut Tabiin yang hidup pada zaman kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi'in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:

Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:

Imam al-Bukhari (Muhammad bin Ismail al-Bukhari, lahir th. 194 H - wafat th. 256 H) Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H - wafat th. 261 H)

Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dhaif, bahkan ada pula yang maudhu' (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :

1. Musnad Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H) 2. Shahih al-Bukhari (194 - 256 H) 3. Shahih Muslim (204 - 261 H)

4. Sunan Abu Dawud (202 275 H) 5. Sunan ad-Darimi (181 255 H) 6. Sunan Ibni Majah (209 - 273 H) 7. Sunan an-Nasa-i (225 - 303 H)

Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:

1. Shahih Ibnu Khuzaimah (223 - 311 H) 2. Mu'jamul Kabir, Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shaghir, yang disusun oleh ath-Thabrani (260-340 H) 3. Sunan ad-Daraquthni (306 - 385 H) 4. Al-Mustadrak al-Hakim (321 - 405 H)

Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya. Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha'if dan palsu, sehingga dengan

demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam.

Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh alImam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sabah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha'if, kitabkitab ini sudah dicetak. Di antaranya:

1. Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha'if S Sunan at-Tirmidzi, 2. Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha'if Sunan Abi Dawud, 3. Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha'if Sunan an-Nasa-i, 4. Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha'if Sunan Ibni Majah, 5. Shahih al-Adabul Mufrad dan Dhaif al-Adabul Mufrad, 6. Shahih Mawariduzh Zhaman dan Dhaif-nya, 7. Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dhaif-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.

Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabat, Tabi'in, Tabiut Tabi'in dalam penulisan hadits dan pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang AsSunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

7. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah : 1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir dari jalan Ali bin Sa'id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin Abdillah dari Abdullah bin Umar.

Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa 'illatnya : a. Al-Wadhiin bin Atha jelek hafalannya b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Bisa diterima kalau ada mutabinya. c. Abi Hadhir tersebut lemah

2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi Dzi'bin, dari Said bin Abi Sa'id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi'bin dari Sa'id al-Makburi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, Dari

Abu Hurairah. Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu Hurairah.

Jadi 'illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi'bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini termasuk mursal.

Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.

Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah dan syariat-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Quran, bukankah ba-nyak hukum syariat yang ditetapkan dalam As-Sunnah?

Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka'at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala hukum mu'amalah dan ibadah?

Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, Dapat kiranya kita mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kambing, unta, dan sapi?

Adakah aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ke-tentuan fiqh lainnya?

Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

aSekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma' ulama orang tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa cukup shalat satu rakaat dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.

Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya. Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma ummat Islam. Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal nash-nashnya ada, mereka menurut ijma ulama termasuk orang fasik.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah hidup) [Lihat An Nihayah Ibnu Atsir (2/409), Lisanul Arab (17/89)]. As-Sunnah atau AlHadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Quran sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah : Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya. -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130) Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syariat bagi umat ini. Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syariat Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafii rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih). Kaidah Ushul menyatakan, Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat, dan juga kaidah Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih). Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Вам также может понравиться