Вы находитесь на странице: 1из 15

Kepentingan kebijakan pertanian

Contoh dari cakupan dan tipe kepentingan kebijakan pertanian misalnya:


tantangan pemasaran dan selera konsumen lingkungan perdagangan internasional (pasar dunia, hambatan perdagangan, hambatan karantina dan teknis, menjaga tingkat persaingan global dan citra pasar, dan manajemen masalah keamanan hayati (biosecurity) yang mempengaruhi perdagangan internasional keamanan hayati (hama dan penyakit yang menular dari hasil tanaman dan peternakan, seperti busuk jeruk (citrus canker), jelaga tebu (sugarcane smut), flu burung, bovine spongiform encephalopathy (BSE), dan penyakit mulut dan kuku) infrastruktur seperti transportasi, pelabuhan, telekomunikasi, energi, dan fasilitas irigasi kemampuan manajemen dan suplai tenaga kerja koordinasi agenda strategis internasional (penelitian, metode pertanian terbaru, aktivitas agroindustri, dan sebagainya) air (hak akses, perdagangan air, penyediaan air untuk keberlangsungan lingkungan, perhitungan jumlah dan alokasi water) masalah akses sumber daya alam (manajemen vegetasi setempat, perlindungan keragaman hayati, keberlanjutan sumber daya alam pertanian produktif)

Pengurangan kemiskinan
Pertanian tetap menjadi kontributor tunggal terbesar dalam memberikan penghidupan bagi 75% masyarakat miskin dunia yang hidup di pedesaan. Stimulasi pertumbuhan pertanian menjadi aspek penting dalam kebijakan pertanian di negara berkembang. Sebuah paper yang diterbitkan Natural Resource Perspective oleh Overseas Development Institute menemukan bahwa infrastruktur, pendidikan, dan layanan informasi efektif yang baik di wilayah pedesaaan menjadi penting untuk meningkatkan kesempatan bekerja di bidang pertanian bagi warga miskin.[1]

Keamanan hayati
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keamanan hayati Keamanan hayati (biosecurity) dalam menghadapi pertanian industri yaitu mencegah transfer penyakit ke hewan ternak dan manusia, misal penyakit flu burung, bovine spongiform encephalopathy, dan penyakit lainnya yang tidak menular ke manusia namun berpotensi membahayakan sumber daya hayati setempat.

Ketahanan pangan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ketahanan pangan FAO mendefinisikan ketahanan pangan sebagai "ketika manusia, setiap saat memiliki akses fisik dan ekonomi ke bahan pangan yang mencukupi dan aman yang memenuhi kebutuhan diet dan selera untuk menjalankan kehidupan yang aktif dan sehat".[2] Empat syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan keamanan sistem pangan meliputi ketersediaan akses fisik

dan ekonomi, pemanfaatan tepat guna, dan jaminan stabilitas ketiga elemen tersebut dalam jangka waktu yang lama.[2] Terdapat 6.7 miliar manusia di bumi, sekitar 2 miliar mengalami kerawanan pangan.[3] Sistem pangan akan semakin tertekan dengan populasi global yang akan mencapai 9 miliar pada tahun 2050 dan perubahan pola diet yang akan membutuhkan lebih banyak bahan pangan.[4] Perubahan iklim juga menambah ancaman bagi ketahanan pangan, mempengaruhi hasil pertanian, persebaran hama dan penyakit, perubahan pola cuaca yang diikuti perubahan pola dan musim tanam.

Kedaulatan pangan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kedaulatan pangan Kedaulatan pangan (food sovereignty), adalah istilah yang dibuat oleh anggota Via Campesina pada tahun 1996,[5] mengenai hak manusia untuk mendefinisikan sistem pangan mereka. Advokat ketahanan pangan meletakkan manusia yang memproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumsi bahan pangan pada pusat pembuat kebijakan di sistem pangan, dibandingkan korporasi dan pelaku pasar yang diyakini dapat mendominasi sistem pangan global. Gerakan ini diadvokasi oleh berbagai petani, warga desa, pemuka agama, nelayan tradisional, masyarakat pribumi, perempuan, pemuda pedesaan, dan organisasi lingkungan.

Langkah strategis untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan Di tengah situasi seperti ini, apa yang bisa di lakukan untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan yang beroreintasi pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan nasional? Menurut saya, setidaknya ada empat aspek strategis yang harus dilaksanakan, yaitu aspek pertanahan, proses produksi, distribusi dan kelembagaan petani. Pertama, aspek pertanahan. Melalui sejumlah kebijakan pertanahan yang dapat dilihat di bagian sebelumnya, nampak betapa pemerintah masih belum atau tidak menyadari pentingnya penguasaan alat produksi, dalam hal inimtanah, bagi kepentingan perkembangan kesejahteraan kaum tani. Dalam hal pertanahan setidaknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah berikut: (1) pemerintah harus bersungguh-sungguh menjalankan Pembaruan Agraria yang berpihak kepada petani. Hal itu dapat dilakukan dengan menjadikan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan, sebagai tanah obyek landreform. Kemudian saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.056 hektar tanah terlantar yang jika didistribusikan akan sangat bermanfaat bagi keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani, dan petani-petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak, disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional.

(2) Pemerintah menghentikan program food estate, perkebunan pangan skala luas yang diperuntukkan bagi korporasi. Pengembangan food estate bertentangan dengan upaya pemerintah memenuhi kemandirian pangan, ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani ataupun koperasi menjadi korporasi/perusahaan produksi pertanian dan pangan. Kondisi ini akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia dengan menyerahkan pengelolaan kebutuhan dasar rakyat ke tangan perusahaan; (3) pemerintah tidak melakukan alih fungsi lahan-lahan subur yang digunakan untuk pertanian menjadi peruntukkan lain di luar sektor pertanian, terutama yang tidak menguntungkan bagi rakyat banyak. Serta pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria; (iv) pemerintah mengatur kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia, seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kedua aspek produksi. Sistem produksi pertanian yang bersifat agribisnis, seperti yang saat ini didorong pemerintah Indonesia, hanya akan membuat pangan dan pertanian berada dalam kontrol perusahaan mulai dari input hingga produksinya. Sistem tersebut hanya akan membuat petani dan rakyat Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri. Upaya untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian saat ini, jangan sampai menjadi Revolusi Hijau jilid II yang membuat petani tergantung dan terikat pada perusahaan-perusahaan penghasil input pertanian seperti benih, pupuk dan pestisida. Saatnya pemerintah Indonesia membangun kemandirian dan kedaulatan kaum tani. Mendorong dilaksanakannya pertanian rakyat yang berkelanjutan, misalnya, hendaknya bukan saja didorong untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian. Melalui penjualan input-input pertanian, perusahaan-perusahaan tersebut telah menangguk keuntungan besar-besaran. Sebagai contoh, nilai bisnis benih dunia pada tahun 2008 mencapai 31 milyar dolar dan bisnis agrokimia bahkan rata-rata mendapat keuntungan sebesar 35 milyar dolar per tahunnya. Dengan semangat meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia, beberapa langkah yang harus dan mendesak dilaksanakan pemerintah Indonesia antara lain; (1) memandirikan produksi benih secara nasional. Sebagai contoh tahun 2008, sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh Syngenta dan Bayern Corp. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas, harus dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani. Karena, setidaknya, hampir setiap propinsi memiliki universitasuniversitas yang mumpuni untuk mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Kedepan harapannya, secara perbenihan Indonesia bisa maju dan mandiri. (2) Mengubah arah kebijakan subsidi pertanian agar ditujukan langsung kepada keluargakeluarga tani dan bukannya kepada perusahaan penghasil sarana produksi ataupun distributor besar. Saat ini, sistem subsidi masih ditujukan kepada perusahaan penghasil sarana produksi dan distributor besar baik swasta maupun BUMN, tanpa disertai pengawasan lebih lanjut hingga ke tingkat petani. Situasi ini menyebabkan hampir setiap tahun petani senantiasa mengalami kelangkaan pupuk maupun benih.

(3) Pertanian rakyat berkelanjutan menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil. Inovasi teknologi pada petani kecil ini memiliki beberapa karakter, yakni penghematan input dan biaya, pengurangan resiko kegagalan, dikembangkan untuk lahan marjinal, cocok dengan sistem pertanian keluarga tani, dan meningkatkan pemenuhan nutrisi, kesehatan, dan lingkungan. Sistem ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah berbasiskan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitif pada lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas dan stabilitas pertanian. Demikian juga tidak terjebak dengan model monokultur. Upaya yang praktis adalah mengimplementasikan kembali program Go organic 2010, dengan berbagai perbaikan seperti diatas. Ketiga, aspek distribusi. Kebijakan distribusi yang ada saat ini juga sangat merugikan petani. Dengan serbuan impor pangan murah, petani kehilangan insentif untuk terus berproduksi. Bukan hanya petani, rakyat Indonesia secara luas juga mengalami kerugian dengan sistem distribusi yang ada. Secara nasional juga pemerintah tidak berdaya menghadapi spekulasi perdagangan hasil pertanian dan pangan. Untuk mencegah semakin luasnya krisis pangan dan kelaparan di Indonesia, sesungguhnya kebijakan distribusi pangan dan hasil pertanian memiliki peranan yang sangat vital. Saya berpendapat, perubahan kebijakan distribusi pertanian harus segera dilaksanakan, dan dalam jangka pendek sejumlah alternatif yang bisa dilakukan antara lain; (1) pengaturan tata niaga bahan pangan yang harus diatur oleh badan pemerintah, jangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang sifatnya oligopoli bahkan pada komoditas tertentu dimonopoli oleh beberapa korporasi dalam negeri maupun asing. (2) Menetapkan harga dasar terutama untuk kebutuhan pokok yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. menetapkan harga dasar yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus dapat menutupi ongkos produksi dan kebutuhan hidup petani namun juga tidak merugikan konsumen. (3) Melakukan pengaturan ekspor impor produk pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan dengan melihat keuntungan yang diperoleh. Mengurangi ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tidak melakukan ekspor bahan pangan pokok ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Melindungi petani dari dumping produk pertanian luar negeri dengan tidak mengurangi atau menghapuskan pajak impor. (4) Peran pemerintah, dalam hal ini Bulog, sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan persediaan pangan dalam negeri secara luas harus ditegakkan kembali, terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Pemerintah harus berani bersikap melindungi pertanian nasional, jangan terpaku dengan berbagai perjanjian liberalisasi pertanian yang diusung oleh WTO ataupun berbagai FTA, baik regional maupun bilateral. Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional (sebagai contoh bea masuk import beras yang nol persen) dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya

BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik. (4) Mengambil langkah tegas untuk mencegah terjadinya spekulasi produk pertanian yang dapat merugikan masyarakat luas. Perlunya melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan spekulan. Keempat, aspek kelembagaan petani. Kebijakan kelembagaan yang mengurus kepentingan petani dan pertanian serta pembangunan pedesaan hingga sekarang belumlah ada. Program dan kelembagaan yang ada sifatnya parsial tidak menyeluruh dan kuat. Beberapa hal untuk membangun kelambagaan petani dan pertanian yang harus dilakukan adalah (1) dibangunnya pemahaman agraria secara nasional sehingga kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah tidaklah sepotong-sepotong. Kelembagaan yang dimaksud adalah yang mampu mengurus dan menangani persoalan petani dan pertanian mulai dari alat produksi, input produksi, proses produksi, distribusi dan keuangan. Artinya juga menangani soal pendidikan, teknologi dan pengembangan infrastruktur, serta koperasi dan organisasi petani. (2) Memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai organisasi tani dalam mendapatkan pelayanan baik dalam subsidi maupun pelatihan tekhnik pertanian. Pemerintah perlu menetapkan jaminan yang mendukung tumbuhnya organisasi tani yang mandiri serta memperbesar alokasi dana dan pengaturan distribusi dana untuk usaha pertanian yang menguntungkan petani dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih pada dukungan harga pasca produksi. Penutup Banyaknya kebijakan dan program pangan dan pertanian yang dicanangkan pemerintah, seharusnya menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini, termasuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Namun, sayangnya, berbagai program ini justru didorong demi melayani kepentingan para investor. Pemerintah tidak lagi mendukung keluarga-keluarga petani yang telah menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama puluhan tahun. Pemerintah justru menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengelola sumberdaya agraria dan memroduksi pangan bagi negeri ini. Cara pikir seperti inilah yang justru akan semakin memperlemah kedaulatan pangan bangsa. Untuk itu, masih ada waktu empat tahun lagi bagi pemerintah sekarang untuk mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada kaum tani. Tentu dengan kembali kepada UndangUndang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Hal ini merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia, untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran petani dan seluruh rakyat Indonesia.***

Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian
Pertanian sebagai basis ekonomi kerakyatan dan merupakan sektor yang melibatkan sebagian besar penduduk Indonesia terus mendapatkan ancaman dan permasalahan baik dari dalam maupun luar. Marginalisasi sektor pertanian rakyat, dengan mulai mendominasinya pertanian korporasi (corporate farming) dan ancaman ketersingkiran petani kecil pedesaan dengan adanya globalisasi pasar bebas Neo Liberalisme melalui kesepakatan Agreement on Agriculture (AoA) merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pemerintah hingga saat ini belum memihak petani kecil dengan memberikan kebijakan proteksi dan subsidi yang cukup dapat melindungi mereka dari ancaman pasar bebas, dimana produk-produk pertanian dari negara lain dapat bebas masuk dan menggusur. Jika hal ini terus dibiarkan, kebangkrutan ekonomi pertanian rakyat dan hilangnya kedaulatan produksi pangan merupakan resiko besar yang terpampang di depan mata.

Sementara itu, pertanian rakyat juga masih menghadapi persoalan-persoalan klasik dan internal dari dari pra produksi sampai pasca produksi. Permasalahan pra produksi meliputi pemenuhan faktor-faktor produksi, dari tanah hingga sarana produksi pertanian (benih, pupuk, dll.), dan dukungan infrastruktur pertanian semisal irigasi. Pada proses produksi, terjadi permasalahan inefisiensi akibat tinginya biaya input dan minimnya aplikasi teknologi yang dapat meningkatkan produktifitas. Permasalahan pasca produksi terlihat dari rendahnya nilai tukar hasil produksi pertanian yang menyebabkan petani kecil tak kunjung sejahtera. Jauh sebelum pemerintah mendengungkan program revitalisasi pertanian yang katanya akan menyelesaikan krisis pertanian di Indonesia, yang ternyata tak kunjung kongkret dan masih bias dalam konsep dan praktek, sebenarnya sudah banyak pihak yang mengkampanyekan pertanian berkelanjutan sebagai alternatif. Pertanian Berkelanjutan mengandung pengertian bahwa petani harus mempunyai kedaulatan dalam produksi yang dapat menjamin keberlanjutan ekologi, ekonomi dan sosial budayanya. Pemberdayaan ekonomi pertanian dilakukan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan kemandirian petani melalui peningkatan produktifitas dan efisiensi produksi pertanian melalui pertanian organis, tata kelola produksi yang mendukung ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan dengan usaha ekonomi produktif dan manajemen pasca panen, serta peningkatan posisi tawar dan akses dalam pasar produksi pertanian rakyat. Dalam perspektif ekonomi, pertanian berkelanjutan melalui inovasi teknis produksinya bisa jadi menjawab persoalan ekonomi mikro pertanian pada segi permodalan dan efisiensi produksi dengan penekanan input, peningkatan produktifitas dengan aplikasi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, dan penambahan pendapatan rumah tangga petani dengan produksi pasca panen misalnya. Namun pada persoalan ekonomi makro, dimana petani sebagai individu-individu produsen harus menjadi bagian besar struktur ekonomi pada suatu wilayah atau negara, dimana terdapat banyak sekali aktor dan kepentingan yang bermain, persoalan ekonomi petani kecil ternyata tidak cukup diselesaikan dengan resep teknis semata. Sebenarnya, pada level makro, yang bisa menjamin tata perkonomian dapat mensejahterakan petani adalah pemerintah, dengan membuat kebijakan makro yang memihak kepentingan petani produsen. Namun seperti sudah dinyatakan di awal tulisan, kenyataan tersebut jauh dari harapan, dan menjadi tanggung jawab eksponen gerakan tani untuk terus mengkampanyekan dan mendorong perubahan kebijakan tersebut.

Pertama kita akan membedah persoalan makro ekonomi pertanian, atau persoalan-persoalan di luar produksi. Dalam struktur ekonomi, petani produsen dengan jumlah mayoritas memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan aktor lain, yaitu pemodal, pedagang, distributor, dan penikmat rente lainnya. Tata niaga produk pertanian yang berlaku sangat tidak adil bagi petani, karena nilai tukar produk pertanian di tingkat petani sangat rendah dan jauh dari kelayakan, sementara marjin harga produsen dan harga konsumen akhir yang cukup lebar lebih banyak dinikmati oleh pelaku distribusi. Tata niaga tersebut juga cenderung aman bagi distributor. Bila terjadi kenaikan biaya distribusi, misalnya kenaikan harga BBM, maka distributor akan menaikkan harga konsumen, tetap menekan harga produsen, dan marjin keuntungan distributor relatif stabil. Kondisi ini terbangun karena tidak efisiennya pola distribusi produk pertanian dan tidak adanya aturan dan perangkat yang membatasi ekspansi dan eskploitasi modal terhadap petani. Praktek ijon yang dilakukan tengkulak adalah salah satu contoh. Sebab lain adalah paradigma tata niaga pertanian yang lebih memihak konsumen, dan menempatkan rakyat tani sebagai produsen dan rakyat lain sebagai konsumen dalam posisi vis a vis. Penyesuaian harga di tingkat produsen, dengan resiko memperbesar harga konsumen seakan menjadi tabu dalam kebijakan, padahal petani produsen yang jumlahnya sangat banyak harus diperhatikan. Apabila ada kecendengunan kenaikan harga produk pertanian, alih-alih justru menjadi alasan untuk membuka keran impor yang akan semakin memperpuruk ketahanan produksi pertanian dalam negeri. Apa yang bisa dilakukan petani produsen dalam kondisi mekanisme pasar yang tidak terkontrol seperti ini selain terus menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan pro petani? Upaya yang harus dilakukan adalah menaikkan daya tawar petani produsen, karena persoalan mendasarnya adalah posisi lemah petani dalam permainan pasar, dan posisi lemah pada relasi dengan pelaku ekonomi lainnya. Kelemahan dalam pemasaran terjadi karena dominasi tengkulak dalam menentukan harga jual produk pertanian di tingkat petani. Ketergantungan pemenuhan modal kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal menyebabkan praktek ijon dan penentuan harga jual yang tidak bisa dielak oleh petani. Harga pasar tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan mekanisme harga dalam pasar persaingan sempurna yaitu hubungan tingkat penawaran dan permintaan. Kondisi yang terjadi, jaringan tengkulak dan pemodal membentuk kartel distribusi yang menyebabkan tipe pasar produk pertanian adalah oligopoli, sehingga mereka dapat dengan mudah mempermainkan harga pasar dengan tetap menekan harga produsen. Sementara ini baru komoditas padi (gabah) yang mendapatkan intervensi pemerintah dalam perlindungan harga, dengan penentuan harga dasar pembelian, namun itupun belum dapat menyelesaikan persoalan tata niaga gabah dan persoalan petani padi lainnya. Upaya menaikkan daya tawar petani produsen harus dilakukan dengan konsolidasi petani produsen dalam satu wadah yang menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan mengkolektifkan semua proses dalam rantai pertanian, yaitu meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, dengan gerakan simpan-pinjam produktif, yaitu anggota kolekte menyimpan tabungan untuk dipinjam sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumsi. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit dan jeratan hutang tengkulak. Apabila kolektifikasi modal dapat berkembang baik, maka tidak menutup kemungkinan modal kolektif tersebut tidak hanya digunakan dalam pemenuhan modal kerja produksi, tetapi juga dalam pemasaran. Kedua, kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat

dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen, dalam satu koordinasi dan kerjasama. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi maka akan dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit, satu momok persoalan produksi yang paling sulit dilakukan secara parsial. Langkah ini juga dapa menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen sendiri yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam. Ketiga, kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaringjaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. Satu hal yang perlu diingat, upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai yang tidak menguntungkan. Tentu saja upaya tersebut bukan hal mudah untuk dilakukan. Organisasi dan pengorganisasian tani yang kuat sangat mutlak dibutuhkan. Saat ini gerakan pengorganisasian tani cenderung berorientasi politik, pada ranah kebijakan umum, nasional dan global. Pemberdayaan pertanian melalui program-program developmentalis masih berkutat pada tata kelola, produksi, dan pemasaran pada level mikro. Bahkan advokasi pemasaran program developmentalis cenderung berkompromi pada tatanan pasar yang sudah berlaku, dengan intervensi pada rantai pemasaran, tanpa usaha merubah struktur pasar. Pembangunan kekuatan ekonomi pertanian dari bawah, dimulai dari kelompok-kelompok tani dengan kolektifikasi seluruh aktifitas ekonomi, dari produksi barang dan jasa serta konsumsi harus dimulai agar petani produsen lebih berdaya dalam perang kepentingan dengan pelaku pasar lain. Perubahan struktur pasar, tata niaga dan pola relasi dalam pemasaran produk pertanian yang memihak dan mensejahterakan petani harus ditekan dari dua sisi, kebijakan pertanian yang pro petani, dan konsolidasi kekuatan ekonomi petani produsen yang dibangun dari bawah. Dimulai dari hal kecil, menyadarkan dan menggerakkan anggota kelompok tani untuk bekerjasama, ber ko-operasi, dan menjadikan kelompok sebagai organisasi politik dan ekonomi adalah hal yang harus dilakukan. []

Pertanian Berkelanjutan dan Kedaulatan Pangan; Bukan Sekedar Swasemba Pangan

Oleh Widya Kridaningsih Banyumas, pertengahan 2006. Waktu itu harga beras melambung tinggi, mencapai Rp. 5000 per kilo bahkan lebih. Ramai sekali media massa memberitakan dan mengulas harga kebutuhan pokok yang meroket itu. Tua muda, laki-laki perempuan berdesakan dan membentuk berderet panjang untuk ngantri beras operasi pasar. Panas, peluh dan desakan kanan kiri tidak mereka hiraukan untuk mendapatkan 2 kilogram beras dengan harga lebih murah. Begitu kira-kira gambaran ketika masyarakat kita berhadapan dengan krisis pangan. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang dihasilkan baik secara alami dari makhluk hidup maupun melalui rekayasa teknologi yang dikonsumsi oleh manusia guna menghasilkan energi sumber kehidupannya. Pangan menempati posisi penting dalam kehidupan makhluk di muka bumi ini, apalagi bagi manusia. Pangan menjadi salah satu kebutuhan mendasar yang harus dicukupi, setelah air dan udara. Bahkan pemerintah akan menanggung dosa besar jika tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Masalah pangan memang tidak pernah terselesaikan di negeri ini. Sejak lebih dari 20 tahun silam, sejak pangan pokok untuk seluruh penduduk di negeri ini diseragamkan menjadi beras. Tak bisa dipungkiri, ideologisasi beras justru merupakan pemicu malapetaka berbagai persoalan pangan nasional. Beras yang semula hanya berstatus sebagai satu jenis makanan etnis wilayah dan musim tertentu naik kelas menjadi makanan pokok dengan status lebih tinggi dan bergengsi dibanding makanan pokok lain. Konsumsi beras selalu meningkat setiap tahunnya, bahkan Husodo (2003) menyebutkan bahwa angka rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun mencapai 133 kg, tertinggi di dunia. Akibatnya setiap tahun, Indonesia harus merelakan cadangan devisanya untuk mendatangkan sedikitnya 2 juta ton beras dari negara lain. Persoalan pangan yang kita hadapi ternyata sangat kompleks. Persoalannya bukanlah sekedar bagaimana mewujudkan ketahanan pangan (food security) melalui swasembada pangan (self suficiency) apalagi hanya swasembada beras, akan tetapi bagaimana mewujudkan kedaulatan atas pangannya (food reliance).

Komitmen Internasional

FAO organisasi pangan dan pertanian dunia dalam Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) tanggal 13-17 November 1996 di Roma mengeluarkan deklarasi Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia (Rome Declaration on Word Food Security). Deklarasi ini memuat, kesepakatan negara-negara di dunia untuk menjamin akses dan pemenuhan masyarakat atas jumlah, komposisi gizi dan aman dari cemaran biotik maupun abiotik yang berdampak negatif bagi kesehatan. Deklarasi ini juga mensyaratkan kesesuaian jenis pangan yang diproduksi dengan pola konsumsi masyarakat. Deklarasi tersebut ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan mengeluarkan UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan, lalu dioperasionalkan melalui PP 68 tahun 2002 yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan ketersediaan pangan; cadangan pangan nasional; penganekaragaman pangan; pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, dan pengendalian harga; peran pemerintah dan masyarakat serta pengembangan SDM dan kerjasama internasional. Persoalan sesungguhnya ternyata bukan hanya sekedar penyediaan pangan, yang lebih penting adalah bagaimana cara negara mencukupi kebutuhan pangan tersebut? Karena, ketergantungan pangan suatu negara terhadap negara lain, merupakan ancaman besar bagi kedaulatan suatu bangsa baik secara politik, ekonomi, sosial-budaya dan Hankam. Sebuah negara yang sudah tidak memiliki kedaulatan pangan tinggal menunggu keruntuhannya saja karena telah kehilangan kemerdekaan untuk mengurus dirinya sendiri.

Kontribusi PB terhadap proses pembangunan kedaulatan pangan Menurut Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) (2005), Kedaulatan Pangan merupakan hak setiap orang, kelompok masyarakat dan negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai sumber daya produktif serta dalam menentukan kebijakan produksi, distribusi, dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya khas masing-masing. Adapun 4 (empat) pilar yang menyangganya yaitu 1) Penataan ulang sumber-sumber produksi pangan; 2) Pengembangan pertanian berkelanjutan 3) Pengembangan perdagangan yang adil; dan 4) Penguatan pola konsumsi aneka pangan lokal. Pertanian Berkelanjutan (PB) merupakan pengelolaan sumber daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sembari merawat dan meningkatkan kualitas lingkungan dan pelestarian Sumber Daya Alam (SDA). Ada 3 (tiga) capaian yang diinginkan dalam pengembangan PB yaitu adanya peningkatan produktivitas dan pendapatan komunitas manusia; peningkatan keseimbangan dan peningkatan stabilitas dan berkelanjutan dari sistem melalui konservasi air, tanah dan unsur hara. Jadi terdapat dua dimensi dalam PB yaitu dimensi biofisika dan dimensi sosial.

Dalam konsep PB upaya penyediaan pangan dapat dilakukan secara mandiri oleh petani, sebagai produsen sekaligus konsumen pangan. Pangan diproduksi melalui penggunaan berbagai benih tanaman pangan lokal yang telah beradaptasi dengan kondisi wilayah dan iklim setempat. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemanfaatan kotoran ternak (padat atau cair), pupuk hijau dan limbah atau sisa tanaman atau sampah dapur, sedangkan pengendalian OPT (organisme penganggu tanaman) dilakukan dengan memanfaatkan bahanbahan lokal yang diramu berdasar pengetahuan dari petani-petani pendahulu.

Begitu pun input air, misalnya irigasi dapat dihemat melalui penerapan konservasi tanah dan air. Selain itu, pemanfaatan keanekaragaman hayati baik tanaman maupun ternak dapat mencukupi kebutuhan manusia lainnya seperti bahan obat, protein yang bersumber dari aneka macam ternak, kayu bakar, dsb. Semua itu akan memberikan jaminan ketersediaan bahan pangan sepanjang waktu, karena lingkungan pertanian tetap terjaga keseimbangannya dan kualitasnya sehingga bisa menghasilkan produk secara berkelanjutan.

Banyumas dan Kedaulatan Pangan Banyumas terkenal sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Tengah. Lahan sawah seluas 32.770 ha menghasilkan gabah sebanyak 325.121 ton atau setara 195.072 ton beras bagi 1.538.285 jiwa. Jadi, setiap jiwa memperoleh jatah 126 kg per tahun. Angka tersebut sudah memenuhi nilai rata-rata konsumsi beras di Indonesia. Namun, ketahanan pangan tidak hanya diukur dari ketersediaan bahan pangan saja, tetapi bagaimana aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan tersebut. Sebagaimana di propinsi lain di Indonesia, petani dan buruh tani merupakan komposisi penduduk terbesar di Kabupaten Banyumas yaitu 25,14% dan 23,08 %, jika digabungkan sekitar 727.817 orang. Rata-rata kepemilikan lahan pertanian oleh petani hanya sekitar 0,2 ha sehingga hasilnya pun dapat diperkirakan hanya dapat mencukupi kebutuhan keluarga petani. Belum lagi kasuskasus kegagalan panen yang disebabkan faktor iklim seperti banjir, angin kencang dan kekeringan memperburuk situasi perekonomian petani. Kondisi agro ekosistem yang buruk dan ketergantungan petani terhadap asupan luar (benih, pupuk dan pestisida kimia) juga menyebabkan margin keuntungan yang diperoleh petani sangat kecil.

Untuk mewujudkan kedaulatan pangan memang tidaklah semudah membalik tangan. Banyak prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapainya. Prasyarat-prasyarat tersebut di antaranya perlu dilakukanya Reforma Agraria untuk melakukan penataan ulang atas struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah sehingga petani memiliki dan berkuasa atas sumber agraria (tanah, air, sumber daya alam) sebagai faktor produksi utama. Pembangunan infrastruktur pendukung pertanian, seperti irigasi, pabrik alat-alat dan mesin pertanian made in Indonesia, sarana trasportasi, meningkatkan akses dan informasi tentang sektor pertanian, dsb.; Peningkatan Kapasitas SDM pertanian; dan Membuat kebijakan yang berpihak pada pertanian, misal membangun struktur perdagangan produk pertanian yang adil, memperbesar anggaran sektor pertanian, mendorong perubahan pola konsumsi, dll. Menurut data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Banyumas, mulai terjadi penurunan produksi pada tahun 2005, dari 358.073 ton menjadi 329.084 ton. penyebab utama penurunan produksi adalah a) permasalahan faktor produksi yaitu adanya ketimpangan kepemilikan lahan dan penguasaan struktur agraria di Kabupaten Banyumas, perubahan kondisi agroekosistem, rendahnya akses iptek dan anggaran pertanian, dan ketersediaan sarana produksi (pupuk); b) permasalahan pada proses produksi yaitu tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap asupan luar, dan rendahnya penguasaan teknologi budidaya. Permasalahan pertanian di Kab. Banyumas

bencana angin, banjir dan kekeringan kerusakan infrastruktur (irigasi) perubahan iklim global privatisasi air tingginya serangan hama dan penyakit kurang PPL mekanisme tataniaga harga produk rendah mekanisme penyediaan saprodi belum tepat sasaran rendahnya respon terhadap perubahan iklim global tingginya ketergantungan masyarakat terhadap beras pertumbuhan penduduk tinggi alih fungsi lahan pertanian di kabupaten banyumas. Kenyataan yang sangat ironis ini mengingat Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang amat kaya dengan berbagai sumber daya secara umum dapat dipahami sesungguhnya tidak lepas dari adanya skenario jahat pihak luar yang terwujud lewat kebijakan pangan yang kurang berpihak kepada rakyat. Kebijakan pangan yang tidak berpihak pada rakyat ini menurut versi Prabowo Subianto yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengharuskan kita membangun perekonomian nasional secara mandiri, profesional, dan tidak rapuh dari intervensi dan konspirasi internasional. Krisis ekonomi 1997 merupakan pelajaran berharga yang mengingatkan betapa tidak enaknya dijajah secara ekonomi oleh pihak asing, yang direpresentasikan oleh campur tangan sejumlah lembaga internasional semacam IMF atau lembaga-lembaga donor lainnya. Dua agenda besar yang harus segera dikerjakan bangsa Indonesia untuk membangun kemandirian ekonomi nasional, yaitu pertama; menjaga stabilitas mata uang kita dan mengendalikan devisa negara; kedua membangun dan memperkuat swasembada pangan dan menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja, utamanya yang diorientasikan pada pedesaan. Indonesia perlu mencontoh apa yang dilakukan Malaysia, capital control, suatu strategi yang sejalan dengan gagasan pemikiran Kwik Kian Gie, yakni segera menerapkan fixed rate system dan membatasi perdagangan rupiah. Keteguhan ini sesuai dengan amanat UUD 1945. Pada era Mahathir Muhamad, Malaysia berhasil menjaga stabilitas mata uang dan mengendalikan devisa Negara saat mengahdapi krisis. Namun kunci utamanya dari keberhasilan pembangunan apapun yang dilakukan harus dilandasi oleh semangat nasionalisme. Karenanya pembanunan

yang dilakukan setengah hati oleh para penyelenggara Negara karena dalam pelaksanaannya sambil melakukan korupsi jelas tidak mungkin akan berhasil. Nasionalisme para pengusaha Indonesia pada segala tingkatan, patut dikobarkan. Inilah sebabnya ada semacam sentiment terhadap pengusaha asing hingga semangat untuk menlakukan nasionalisasi asset, agar dominasi yang terjadi tidak semakin memporak porandakan ketahanan jiwa petriotisme kebangsaan pengusaha Indonesia yang terprovokasi untuk menghadapi persaingan bebas model ekonomi liberal1. Prioritas pilihan pada pembangunan sektor pertanian, relevan dengan faktual tentang banyaknya rakyat Indonesia yang bekerja dan menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Jumlah rumah rumah tangga pada tahun 2003 sebagaimana dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia tercatat sebanyak 25,4 juta, sebagian besar petani Indonesia ini tergolong miskin. Indikatornya yang mencolok tampak dari meningkatnya persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan dari 52,7% pada 1993 menjadi 56,5% pada 2003. Petani gurem menurut definisi BPS, adalah mereka yang terbilang sebagai rumah tangga pertanian yang menguasai lahan (milik sendiri atau menyewa) kurang dari 0,5 hektar dengan pendapatan per bulan rata-rata di bawah Rp 500 ribu. Dalam 10 tahun terakhir, BPS mencatat terjadinya peningkatan jumlah petani gurem rata-rata 2,6% per tahun. Gambaran ini kalau pun tidak juga dimanipulasi sungguh amat sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin suatu keluarga katakanlah mereka hanya memiliki satu orang anak dapat bertahan hidup dengan penghasilan yang sangat minimal sebesar Rp 500 ribu. Angka kemiskinan yang menggelayuti kaum tani Indonesia ini, cukup representative mewakili kemiskinan rakyat yang bergerak dalam sector lain, seperti kaum nelayan. Tampaknya, ini pula yang mendorong pertumbuhan sikap mencari pekerjaan di perkotaan sebagaimana menjadi pemandangan umum pada setiap kesempatan, terutama pada saat tahun baru, dimana akhir dari masa pendidikan baik untuk yang lulus maupun terputus karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang relative mahal ikut berbondong-bondong menyerbu kota. Pilihan pekerjaan di

pedesaan bukan saja relative langka, namu bentuk usaha maupun pekerjaan sambilan pun nyaris tidak member peluang. Dalam konteks ini pula, semakin nyata tidak berpihaknya kebijakan pemerintah dalam melakukan pembangunan secara tidak merata. Semua seakan diperuntukkan bagi mereka yang berpunya. Sementara kemiskinan di pelosok-pelosok desa semakin terabaikan. Tidak berpihaknya kebijakan pangan pemerintah terhadap petani, dalam pandangan Prabowo Subianto misalnya ketika produksi pertanian anjlok saat krisis terjadi, pemerintah bukannya mendorong ke arah peningkatan produktivitas, melainkan membanjiri pasar dengan beras impor. Ironisnya, saat panen raya, pemerintah justru membuka selebar-lebarnya kran impor beras yang menurut Depperindag 2003 mencapai 3,5 juta ton per tahun. Akibatnya, harga beras di tingkat petani pun anjlok tajam. Belum lagi, dampak berantai akibat kebijakan konversi lahan, rendahnya pemberian kredit kepada petani, hingga menulitkan berkembangnya pembangunan pertanian. Urgensi pembangunan sektor pertanian sekurangnya didukung oleh empat faktor. Pertama, dimilikinya sumber daya pertanian lahan subur dan pengairannya yang cukup melimpah. Kita tahu, luasnya lahan subur merupakan faktor produksi yang potensial didayagunakan secara maksimal. Kedua, ketersediaan tenaga kerja. Memang ada masalah menyangkut kualitas SDM sektor pertanian modern (dalam arti luas) yang belum memadai. Namun lewat kebijakan peningkatan SDM petani yang tepat, kelemahan ini niscaya dapat diperbaiki. Adapun factor ketiga, mengenai besarnya potensi untuk memberikan nilai tambah terhadap produk pertanian lewat proses pengolahan primer pasca panen dan pengembangan agroindustri. 1.Sumber : Online Prabowo Potensi ini tidak terlepas dari populasi penduduk Indonesia berjumlah sekitar 226 juta sekarang ini, sebagai potensi pasar domestik yang sangat besar bagi produk pertanian primer dan olahan. Berikutnya, keempat, keterkaitan dengan sifat sumber daya pertanian yang renewable resources, sesebtulnya merupakan suatu modal besar bagi upaya pembangunan agroindustri yang mampu dirancang secara berkelanjutan. Hanya dengan demikian, pembangunan pertanian

yang dilakukan mampu mengurangi hingga akhirnya dapat menghilangkan ketergantungan komoditas bahan pangan inpor. Pada bagian lain, petani Indonesia akan semakin kuat menggeliat, menjadi penopang utama suku guru ekonomi Indonesia. Karena keterpurukan petani Indonesia merupakan masalah keterjajahan Indonesia dalam bentuk impor dari bangsa asing. Dalam konteks inilah relevan berbagai upaya dan daya dikerahkan untuk membangun kehidupan petani yang layak dan manusiawi bagi Indonesia. Sebab pilihan sikap semakin mendesak untuk dilakukan. Karena kemiskinan rakyat Indonesia yang paling parah sesungguhnya jelas dapat direpresentasikan oleh keberadaan kaum petani. Demikian juga kehdupan kaum nelayan yang umumnya berada di daerah pedalaman, terutama dari berbagai daerah yang tidak nyaris tidak sama sekali terjamah oleh pembangunan. Sementara kemiskinan di perkotaan jelas dan tetap dominan membayangi kehidupan buruh berupah rendah. Setidaknya, jika pembangunan untuk petani dan nelayan dapat segera dimulai, gairah kehidupan baru pasti akan terus bangkit. Tingkat urbansiasi pun arus deras pencari kerja dari desa menuju kota pasti dapat ditekan, meski entah sampai kapan baru dapat dihentikan. ***

Вам также может понравиться