Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TUBERKULOSIS ANAK PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Pada peninggalan Mesir kuno, ditemukan relief yang menggambarkan orang dengan gibbus. Kuman Mycobacterum tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Walaupun telah dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obat antituberkulosis yang poten hingga saat ini TB masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 ini, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, 95% kasus terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, TB juga masih merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia.1,2 Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta TB pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).1 Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes Mantoux dan foto rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit.1,3 9
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam (BTA) positif, sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya. penanganan TB anak kurang diperhatikan.1,2,3 Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor risiko infeksi TB.1 Peningkatan insidens infeksi HIV dan AIDS di berbagai negara turut menambah permasalahan TB anak. Saat ini, telah terjadi peningkatan interaksi antara tuberkulosis dan infeksi HIV dan AIDS pada anak.1
EPIDEMIOLOGI Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju, salah satunya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang), telah terinfeksi oleh M. tuberkulosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.1 Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat.1
10
MORBIDITAS DAN MORTALITAS Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5% sampai 6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak usia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Pada survei nasional di lnggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak usia <15tahun menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (tahun 19831993) didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Di negara berkembang, tuberkulosis pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7%.1,4 Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru TB anak dan 450.000 anak usia di bawah 15 tahun meninggal dunia karena TB. Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, serta akan mencapai 11,9 juta kasus di tahun 2005.1 Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat (2) pengobatan yang tidak adekuat (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat;(4) infeksi endemik human immuno-deficiency virus (HIV); (5) migrasi penduduk; (6) mengobati sendiri (self treatment); (7) meningkatnya kemiskinan; (8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai.1 Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penderita TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi kurang dari 12 bulan didapatkan 16,5%. Karena sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, data TB anak menjadi sangat terbatas, 11
termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan upaya dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai negara. Dengan adanya konsensus ini, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan sehingga kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat diperkecil dan angka prevalensi pastinya dapat diketahui.1,2,3
PATOGENESIS TUBERKULOSIS Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.1,4 Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). 1,4
12
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.1,4 Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.1,4 Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempuma fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.1,4 Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi 13
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.1,4 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.1,4 Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.1,4 Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. 14
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis,TB tulang, dan lain-lain.1,4 Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.1,4 Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm. yang secara histologik merupakan granuloma.1,4
15
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan 16
menyebar ke saluran vaskular didekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.1,4 Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5% - 3 % penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempuma. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.1,4 Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5 - 25 tahun setelah infeksi primer.1,4
DIAGNOSIS Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibaccilary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim 17
paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak.1,3,4 Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/ sputum sulit dilakukan. Pada anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastric tube (NGT) dan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak menyenangkan bagi pasien. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental dan purulent berwama hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.1,3,4 Karena berbagai alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya sering kali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB anak ditemukan karena ditemukannya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB. Karena sulitnya diagnosis TB anak, maka dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak oleh beberapa pakar dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.1,2,3,4
18
negatif atau tidak tahu, atau BTA tidak jelas Uji Tuberkulin Negatif Positif ( 10 mm, atau 5 mm pada keadaan imunosupresi) Berat badan/Keadaan Gizi Demam tanpa Gizi BB/TB kurang: < 90% Gizi BB/TB < buruk: 70%
atau BB/U < 80% 2 minggu 3 minggu 1 cm limfe aksila, Jumlah 1, tidak nyeri
sebab yang jelas Batuk Pembesaran kelenjar koli, inguinal Pembengkakan tulang/sendi panggul, falang Foto dada Normal/tidak jelas Sugestif TB JUMLAH SKOR lutut, Ada pembengkakan
Catatan : Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Jika dijumpai skrofuloderma**, pasien dapat langsung didiagnosis
tuberkulosis. Berat badan dinilai saat pasien datang Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal l3). 19
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
**Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi tuberkulosis, diawali oleh suatu limfadenitis atau osteomyelitis yang membentuk abses dingin dan melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di permukaan kulit. Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif. Sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung. Serta sikatriks yang menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan didaerah leher atau wajah, tetapi dapat juga dijumpai diekstremitas atau trunkus.1,2,3,4 Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan menunjang diagnosis. Demikian pula adanya kontak dengan penderita TB dewasa dengan BTA positif. Adanya kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang berbahaya karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di sekitarnya.1,2,3,4 Penurunan berat badan merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada TB anak. Penurunan berat badan dalam hal ini adalah apabila terjadi penurunan berat badan dalam dua bulan berturut-turut. Umumnya, penderita TB anak mempunyai berat badan di bawah garis merah atau bahkan gizi buruk. Dengan alasan tersebut, kriteria penurunan berat badan menjadi penting.1,2,3,4 Demam merupakan suatu tanda umum yang menandai adanya infeksi. Yang dimaksud demam adalah demam lama ( 2 minggu) yang tidak diketahui penyebabnya, atau bukan suatu demam akibat demam tifoid dan bukan akibat malaria. Batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu (batuk kronik) merupakan salah satu gejala umum TB anak. Hal yang perlu diperhatikan adalah batuk kronik juga
20
merupakan gejala utama asma yang biasanya bersifat berulang selain adanya kronisitas.1,2,3,4 Pembesaran kelenjar limfe di daerah leher, aksila, atau inguinal dapat menjadi tanda adanya TB anak. Umumnya pembesaran kelenjar bersifat multipel (lebih dari satu), tidak nyeri, tidak panas, perabaan kenyal, pada awalnya warna sama dengan sekitarnya lama kelamaan warna berubah menjadi livide (merah kebiruan). Yang harus diperhatikan adalah jika pembesaran kelenjar tersebut sudah berubah menjadi skrofuloderma, keadaan ini merupakan tanda spesifik untuk TB sehingga pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau langsung mendapat pengobatan TB. 1,2,3,4 Pembengkakan tulang/sendi merupakan tanda TB anak yang harus dibedakan dengan pembengkakan sendi akibat penyebab lain. Demikian pula apabila terdapat keluhan pincang harus dibedakan dengan penyebab lain. Pada TB tulang atau sendi, selain dijumpai gejala umum TB pada anak, dapat dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Gejala atau tanda TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan. TB tulang belakang ditandai oleh gibbus berupa benjolan ditulang belakang yang umumnya seperti abses, tetapi tidak terdapat tanda radang. Warna benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. TB sendi panggul biasanya menimbulkan gejala berupa pincang saat berjalan dan pasien sulit berdiri. Kelainan pada sendi lutut dapat berupa bengkak di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis. 1,2,3,4 Foto rontgen dada adalah pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis TB anak. Berbeda dengan TB dewasa, pemeriksaan radiologis kurang banyak manfaatnya untuk mendiagnosis TB anak, kecuali pada keadaan tertentu, misalnya pada gambaran milier. Gambaran infiltrat atau pembesaran kelenjar getah bening hilus yang selama ini banyak digunakan sebagai dasar diagnosis TB, bukanlah suatu gambaran khas TB karena hal tersebut masih
21
dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti pneumonia atau infeksi respiratorik akut lain. Selain itu, terdapat perbedaan persepsi dalam pembacaan foto rontgen dada. 1,2,3,4
Uji Tuberkulin (Tes Mantoux) Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat.4 Memiliki nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifitas 90%, semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. 4 Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. 4 Uji tuberkulin positif bila: Infeksi TB alamiah4 Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten) Infeksi TB dan sakit TB TB yang telah sembuh Imunisasi BCG4 Infeksi mikobakterium atipik4 Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada : - Tidak ada infeksi TB4 - Dalam masa inkubasi infeksi TB4
22
- Anergi (keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan sehingga tubuh tdk memberi reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenamya sdh terinfeksi TB, misalnya pada gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang). 4
TATA LAKSANA Obat antituberkulosis (OAT) diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.1,4 Pemberian gizi yang adekuat. 1,4 Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan. 1,4 Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). 1,4
23
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dengan menggunakan 3 macam obat dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat) dengan menggunakan 2 macam obat. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB anak adalah paduan Rifampisin, Isoniazid (INH), dan Pirazinamid. Pada fase intensif diberikan Rifampisin, INH, dan Pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan Rifampisin dan INH.1,2,3,4 OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada fase intensif maupun pada fase lanjutan. Hal ini bertujuan mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.1,2,3,4 Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang dan lain-lain pada fase intensif diberikan minimal 4 macam obat (Rifampisin, INH, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin). Sedangkan pada fase lanjutan diberikan Rifampisin dan INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (Prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadinya perlekatan jaringan.1,2,3,4
24
KOMBINASI DOSIS TETAP OAT (Fixed Dose Combination) Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket kombipak dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak untuk anak berisi obat fase intensif yaitu Rifampisin (R) 75 mg, Isoniazid (H) 50 mg, dan Pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.
25
EVALUASI AKHIR PENGOBATAN Evaluasi dilakukan untuk menilai perkembangan hasil terapi dan memantau timbulnya efek samping obat. Kepatuhan dan keteraturan minum obat perlu dievaluasi selama pengobatan. Keputusan untuk menghentikan pemberian OAT setelah 6 bulan terutama didasarkan pada perbaikan klinis. Foto rontgen dada dapat dilakukan sebagai alat bantu evaluasi pengobatan terutama pada TB milier, efusi pleura dan atelektasis. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan.1,4 26