Вы находитесь на странице: 1из 22

POSITIVISME

Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Masa pendidikannya di cole Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-1816. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam. Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte diusir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metodemetode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan. Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.

Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur. Terukur itulah sumbangan positivisme. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme dan rasionalisme. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu : 1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta

2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus-menerus dari syarat-syarat hidup 3. Metode ini berusaha kearah kepastian

4. Metode ini berusaha kearah kecermatan. Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. Pada abad ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan Abad Positivisme. Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran fikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat, lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang dunia yang abstrak.

Auguste Comte, atau nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798 1857), pendiri aliran filsafat positivisme, telah menampilkan ajarannya yang sangat terkenal, yaitu hukum tiga tahap (law of three stages). Melalui hukum ini dinyatakan bahwa sejarah manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut

tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riil. Secara eksplisit juga ditekankan bahwa istilah positif adalah suatu istilah yang dijadikan nama bagi aliran filsafat yang dibentuknya sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif. Penelitian dengan pendekatan positivisme menggunakan beberapa tahap yaitu: Pertama, Pengajuan masalah umum berdasarkan rasional ilmiah tertentu. Kedua, spesifikasi masalah ke dalam ruang lingkup yang lebih khusus serta diikuti pengembangan hipotesis berdasarkan kerangka teoritik tertentu. Untuk menjawab masalah umun dan menjawab hipotesis dilakukan tahap ketiga yaitu, pembuatan jenis rancangan penelitian yang relevan untuk menjawab permasalahan umum dan menguji hipotesis yang telah disusun. Jenis rancangan penelitian dapat bermacam-macam seperti kuasi eksperimen, eksperimen, survei, ex post facto, analisis basis data dan rekaman. Langkah keempat adalah pengumpulan data. Alat pengumpulan yang digunakan menggunakan wawancara terstruktur, pengamatan terkontrol, dan memakai angket. Secara umum data penelitian dalam kerangka positivistik terwujud pada pola-pola yang bersifat kuantitatif. Kelima, tahap terakhir berupa analisis data yang diperolah. Seperti pada penelitian ilmu alam, teknik analisis yang digunakan bersifat statistik matematis seperti analisis faktor, analisis jalur, analisis kanonik, analisis diskriminan atau bahkan sampai pada teknik analisis yang paling canggih seperti meta-analisis. (kerlinger,1986)

Penelitian Kuantitatif dengan Pendekatan Positivistik Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme.

Filosofi penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum, yaitu : 1. Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri. 2. Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan. Acuan filosofik dasar metodologi penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut: 1. Acuan hasil penelitian terdahulu Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah bukti empirik hasil-hasil penelitian terdahulu. 2. Analisis, sintesis dan refleksi Metodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis. 3. a. Fakta obyektif Variabel Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain. b. Eliminasi data Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti. c. Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir Penelitian positivistik menuntut data obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya. 4. Argumentasi

a.

Fungsi parameter Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab-akibat).

b. Populasi Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti. c. Wilayah atau penelitian Membahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama. 5. a. Realitas Desain standar Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis. b. Uji kebenaran Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya. Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan penetapan populasi.

EPISTOLMOLOGI sederhana epistemologi dapat diartikan sebagai bagaimana membangun suatu pemikiran.M e l a l u i k a j i a n e p i s t e m o l o g i s t e r h a d a p p o s i t i v i s m e d e n g a n mengaitkannya ke dalam pendekatan kuantitatif, maka dapat dikemukakan beberapa asumsi berikut : a.

Dalam pendekatan positivisme, individu adalah seseorang yang bebasnilai. Individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melekat padaindividu lain. Oleh karena individu bebas nilai, maka individu tersebutd a p a t m e l i h a t f e n o m e n a a t a u g e j a l a s e c a r a o b y e k t i f d e n g a n menggunakan kreteria-kreteria universal. b. Positivisme memandang ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yangdimiliki manusia untuk memperoleh pengatahuan, dan karena konsep i l m u p e n g e t a h u a n d i l a n d a s i o l e h a d a n ya f a k t a a t a s f e n o m e n a ya n g t e r j a d i m a k a d e n g a n d e m i k i a n d a p a t d i k a t a k a n b a h w a i l m u pengetahuan dapat menggantikan akal sehat. c. Pendekatan kuantitatif yang merupakan cerminan p o s i t i v i s m e mengaganggap bahwa segala sesuatu adalah nyata dan bisa dipelajari,karenanya dalam penelitian kuantitatif obyek yang akan diteliti harus bisa dikatakan dengan jumlah dan angka, maka untuk memperolehobyek yang dapat dihitung maka obyek tersebut harus nyata (real).Selain itu pendekatan kuantitatif juaga bersifat universal, sehingga pendekatan ini menggunakan pola universal yang ketat agar hasil penelitian dapat diakui secara universal. d. Pola pendekatan kuantitatif bersifat baku, linier, dan bertahap. Dalamhal ini penelitian kuantutatif mamandang bahwa hasil penelitian yangtelah dilakukan bersifat baku atau obyektif bukan subyektif.

1. Kesimpulan Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis. Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa ob servasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan

keduanya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu : 1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta 2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup 3. Metode ini berusaha ke arah kepastian 4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

\\\Apakah

positivisme

itu?

Positivisme adalah suatu aliran falsafati yang sejak awal abad 19 amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia.

Dipengaruhi oleh paradigma berfikirnya Galileo-Gallilae (Galilean), Isaac Newton (Newtonian) dan August Comte (Comtian) Positivisme = Konsep tentang kebenaran yang menolak finalitas dalam kehidupan, dimana Galilean memandang semesta adalah situasi acak dari suatu jumlah hubungan causeeffect yang tak terhingga.

PARADIGMA POSITIVISM DARI SISI ONTOLOGI

Ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Materialistik mekanistik sebagai perintis aliran ini, yang mengemukaan bahwa hukum-hukum mekanik itu inheren dalam benda itu sendiri, dengan kata lain ilmu dapat menyajikan gambar dunia secara lebih meyakinkan didasarkan pada penelitian empirik daripada spekulasi philosofik.

Realitas yang real dalam faham ini diatur oleh kaidah-kaidah tertentu ( biasa disebut scientific method ) yang universal dan kebenaran sesuatu hanya akan dicapai dengan

asas probabilistik. Scientific Method adalah pendekatan yang dianut oleh positivisme menyatakan bahwa ontologik realitas dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari independen, dieleminasikan dari obyek yang lain dan dapat dikontrol. Oleh karena itu salah satu konsekwensi mendasar dalam metodologi penelitiannya adalah kerangka teori dirumuskan se spesifik mungkin dan menolak ulasan yang meluas yang tidak langsung relevan. Sumber teori diatas harus memenuhi dua kriteria yaitu, (a). Sesuai dengan situasi empiris, (b). Melakukan fungsi teori, yaitu meramalkan, menerangkan dan menafsirkan.

Dari penjelasan diatas jelas bahwa, secara ontologi , positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoritik, dengan kata lain bahwa konseptualisasi teoritik ilmu menjadi tidak jelas, atau dapat dikatakan tidak ada urunan dalam membangun teori, sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan menjadi semakin miskin konseptual teoritiknya atau tidak ada teori-teori lain yang mendasar muncul.

PARADIGMA POSITIVISM DARI SISI EPI

STEMOLOGI

Epistemologi adalah faham filsafat yang membahas secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan yaitu mengenai asal mula, susunan, metodemetod dan sahnya pengetahuan. Burrel dan morgan (1979) menyatakan bahwa cara pandang fungsionalist Paradigm banyak dipengaruhi oleh physical realism yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang obyektif, berdiri secara independen di luar diri manusia. Dengan kata lain Paradigma positivisme ada realitas objektif adalah dualis (objectivis) yaitu

sebagai suatu realitas yang eksternal diluar

penelitian. Peneliti harus sejauh mungkin membuat jarak dengan objek penelitiannya (Triyuwono, 2000). Anggapan ini berarti manusia dianggap pasif, artinya positivism paradigm meniadakan manusia aktif yang sebenarnya dapat mengkontruksi kehidupan. Selain itu positive menggunakan pendekatan deduktive dalam membuat kesimpulan. Pendekatan deduktif merupakan proses berpikir dengan metode rasional untuk

mendapat kebenaran guna menarik kesimpulan yang bersifat individu dari yang bersifat umum, ini terlihat jelas pada proses pembentukan hipotesis, dimana hipotesis diturunkan dari teori-teori atau hasil hasil penelitian terdahulu. Lebih jauh dikatakan bahwa tujuan penelitian yang berlandaskan positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya mem- buat hukum dari generalisasinya. Pandangan ini menyatakan bahwa hypothetico- deductive account dari eksplanasi ilmiah , dan metode kuantitatif pengumpulan data dan analisis untuk mengeneralisasi teori diakui sebagai cara yang baku (Chua dalam Triyuwono, (2000)). Ini berarti bahwa paradigma positivisme mengarahkan individu atau organisasi tidak secara holistic, karena mengisolasi individu dan organisasi ke dalam variable atau hipotesis dan tidak memandangnya sebagai kesatuan yang utuh. Kebenaran positivisme dicari lewat hubungan kausal linear; tiada akibat tanpa sebab dan tiada sebab tanpa akibat. Teori kebenaran seperti ini yang biasa disebut dengan teori korespondensi yaitu sesuatu itu benar bila ada korespondensi atau isomorphisma antara pernyataan verbal atau matematik dengan realitas empiric (empirik

sensual/indrawi). Ini berarti jawaban terhadap pertanyaan hubungan sebab akibat digunakan untuk meramalkan, control disatu pihak dan verstehen dilain pihak.

Secara

obyektif pengetahuan hanya yang ditangkap oleh panca indra saja tidak dapat

dipandang sebagai pengetahuan yang utuh, namun pengetahuan indrawi menjadi sangat penting , karena bertindak selaku pintu gerbang pertama untuk menuju pengetahuan yang lebih utuh dan masih dibutuhkan pengetahuan dari sumber yang lain agar mencapai pengetahuan yang holistic.

KONSEP DAN TEORI POSITIVISME 1. 2. 3. 4. Metode penelitian: kuantitatif Sifat metode positivisme adalah obyektif. Penalaran: deduktif. Hipotetik Menurut Agus Comte, perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun bangsa melalui tiga zaman; yaitu zaman teologis, metafisis dan zaman positif. Pertama; zaman teologis, yakni zaman di mana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut Zaman teologis ini dibagi lagi atas tiga periode : 1) 2) 3) Periode pertama, di mana benda-bend dianggap berjiwa (animisme). Periode kedua ketika manusia percaya pada Dewa-dewa (politeisme). Periode ketiga ketika manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (monoteisme). Kedua; zaman metafisis, yakni kekuatan yang adikodrati diganti dengan ketentuanketentuan abstrak. Ketiga; zaman positif, yaitu ketika orang tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang yang mutlak baig teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya dengan pengamatan dn akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja. Hukum tiga tahap ini tadi tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juaga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisi, dan sebagai orang dewasa ia adalah seorak fisikus.

KELEMAHAN POSITIVISME

Diantara kelemahan positvisme ini, diantaranya adalah : 1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar

terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik. 2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya,

maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat. 3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat

merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan. 4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan

pengetahuan yang valid. 5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat

dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

6.

Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang

optimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus yakni realitas sejarah berlangsung berulangulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

POST-POSITIVISME (Penentang Positivisme)

Munculnya gugatan terhadap positivisme

di mulai pada tahun (1970-1980 M).

Pemikirannya dinamai post-positivisme. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry).Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah. Adapun beberapa asumsi dasar pemikiran post-positivisme ini, diantaranya : 1. 2. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti

empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali. 3. 4. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif

melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah. 5. 6. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa

menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.

7.

Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi

dari sebuah keputusan.

TEORI DAN KONSEP POST-POSTIVISME

1. 2. 3. 4.

Metode penelitian: kualitatif Sifat metode post-positive: Subyektif Penalaran: Induktif. Interpretatif

KESIMPULAN

Postivistik atau positivisme diketahui juga adalah cabang dari epistemology yang tentu juga dari cabang filsafat. Dengan landasan dari epistemology tersebut, bahwa untuk mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral. Adapun yang merupakan cabang epistemology diantaranya ; (1) Empirisme, (2) Rasionalisme, (3) Positvisme, (4) Intuisionisme. Dan dalam pengertian abstraknya bahwa filsafat postivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

PENUTUP Dengan diketahuinya pemahaman positvistik, tentu juga memahami epistemology kita mempunyai dasar untuk mempertahankan dalam gugatan dari post-postivisme tersebut. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran. Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Dan kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek.Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat.

Paradigma Positivistik Secara etimologis historis, istilah dasar positif dikenal luas karena usaha keras filsuf Perancis Auguste Comte. Dalam kerangka filsafat positivisme, pengetahuan manusia dianggap bermakna jika dapat dicapai dan dibuktikan melalui pengamatan inderawi empirik. Implikasi dari pernyataan itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah pun dianggap valid sejauh diperoleh melalui prosedur ketat ilmiah positivistik atau melalui proses yang mengandalkan pada pengamatan-pengamatan dan eksperimen-eksperimen yang bersifat empirik inderawi. Menurut paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan. Jika dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a) aspek ontologis, positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol; (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena; (c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. Kevalidan penelitian positivisme dengan cara mengandalkan studi empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Data diambil berdasarkan rancangan yang telah matang, seperti kuesioner, inventori, sosiometri, dan sebagainya. Paham positivistik akan mengejar data yang terukur, teramati, dan menggeneralisasi berdasarkan rerata tersebut. Kata kunci positivisme yang penting adalah jangkauan yang bisa dibuktikan secara empirik (nyata) oleh pengalaman indrawi (dilihat, diraba, didengar, diraba dan dirasakan). Misalnya: seseorang pada akhirnya berkesimpulan dan itu benar, bahwa logam apapun jenisnya akan memuai jika dipanaskan. Proses nalar tidak lain berlandaskan pada pengujian terhadap berbagai jenis logam yang memuai saat

dipanaskan. Penemuan bukti bahwa logam tersebut dapat memuai dipandang sebagai kebenaran yang bersifat umum, berawal pada peristiwa yang bersifat khusus. Pengambilan kesimpulan seperti ini disebut sebagai penalaran induktif. Cara penalaran ini merupakan proses yang diawali dari fakta-fakta pendukung yang spesifik, menuju ke arah yang lebih umum untuk mencapai kesimpulan. Contoh lainnya: Ayam hitam yang kita amati mempunyai hati. Ayam putih yang diamati juga mempunyai hati. Kesimpulannya adalah setiap ayam mempunyai hati. Filsafat positivistik memberikan pengaruh yang nyata dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendekatan positivisme dipakai sangat luas dalam penelitian-penelitian dasar, demikian juga penelitian di bidang pendidikan. Penganut positvistik sepakat bahwa tidak hanya alam semesta yang bisa dikaji, melainkan fenomena sosial termasuk pendidikan harus mencapai taraf objektifitas dan valid melalui metode yang empirik. Dalam rangka mengkaji gejala/fenomena sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, positivisme memiliki pokok-pokok paradigma positivistik sebagai berikut: 1. 2. 3. Keyakinan bahwa suatu teori memiliki kebenaran yang bersifat universal. Komitmen untuk berusaha mencapai taraf objektif melalui fenomena. Kepercayaan bahwa setiap gejala dapat dirumuskan dan dijelaskan mengikuti hukum sebab akibat. 4. Kepercayaan bahwa setiap variabel penelitian dapat dididentifikasikan, didefinisikan dan pada akhirnya diformulasikan menjadi teori dan hukum.

Pendekatan Positivistik dalam Penelitian Gejala alam maupun gejala sosial adalah objek penelitian yang penting dikaji manusia untuk memperoleh manfaat seluas-luasnya. Lebih jauh lagi, kenyataan di sekeliling manusia bisa diformulasikan menjadi ilmu pengetahuan yang jelas dan terukur. Untuk memperolah nilai kebermanfaatan, manusia melakukan pendekatan terhadap alam dan lingkungan sosialnya. Sehingga manusia lebih memahami dan mengetahui aturan dan hukum-hukum pada lingkungannya. Positivistik bisa menjalankan peran pendekatan ilmiah pada gejala lingkungan untuk diformulasikan menjadi pengetahuan yang bemakna. Pengetahuan modern mengharuskan adanya kepastian dalam suatu kebenaran. Sehingga, sebuah fakta dan gejala dapat dikumpulkan secara

sistematis dan terencana harus mengikuti asas yang terukur, terobservasi dan diverifikasi. Dengan begini, pengetahuan menjadi bermakna dan sah menurut tata cara positivistik. Positivistik sendiri sebenarnya merupakan sebuah paham penelitian. Istilah ini juga merujuk pada sudut pandang tertentu, sehingga boleh disebut sebagai pendekatan. Paham penelitian positivistik berbau statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan, paham positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis dianggap ringan dan kurang teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke arah mencari fakta atau sebabsebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif. Tujuan penelitian dengan pendekatan positivisme adalah menjelaskan yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, benda-benda fisik atau manusia. Kriteria kemajuan puncak dalam paradigma ini adalah bahwa kemampuan ilmuwan untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya berkembang dari waktu ke waktu. Perlu dicermati reduksionisme dan determinisme yang diisyaratkan dalam posisi ini. Peneliti terseret ke dalam peran ahli, sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi justru tidak layak, bagi seorang peneliti. Positivistik lebih menekankan pembahasan singkat, dan menolak pembahasan yang penuh diskripsi cerita. Peneliti yang akan menggunakan positivistik, harus berani membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi lapangan. Peneliti lebih banyak berpikir induktif, agar menghasilkan verifikasi sebuah fenomena. Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara subyek peneliti dan obyek penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif. Kebenaran diperoleh melalui hukum kausal dan korespondensi antar variabel yang diteliti. Karenanya, menurut paham ini, realitas juga dapat dikontrol dengan variabel lain. Biasanya peneliti juga menampilkan hipotesis berupa prediksi awal setelah membangun teori secara handal. Pendekatan positivistik mewarnai paradigma dan mekanisme kegiatan ilmiah penelitian dalam rangka mencapai kesimpulan yang bermakna sebagai pengetahuan. Nilai penting objektivitas dan validitas pada suatu penelitian menjadi titik tolak mekanisme penelitian saat ini. Suatu penelitian yang memiliki dasar positivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menekankan objektivitas secara universal dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.

2. 3.

Menginterpretasi variabel yang ada melalui peraturan kuantitas atau angka. Memisahkan peneliti dengan objek yang hendak diteliti. Membuat jarak antara peneliti dan yang diteliti, dimaksudkan agar tidak ada pengaruh atau kontaminasi terhadap variabel yang hendak diteliti.

4.

Menekankan penggunaan metode statistik untuk mencari jawaban permasalahan yang hendak diteliti. Penelitian dengan pendekatan positivisme menggunakan beberapa tahap yaitu: Pertama, Pengajuan masalah umum berdasarkan rasional ilmiah tertentu. Kedua, spesifikasi masalah ke dalam ruang lingkup yang lebih khusus serta diikuti pengembangan hipotesis berdasarkan kerangka teoritik tertentu. Untuk menjawab masalah umun dan menjawab hipotesis dilakukan tahap ketiga yaitu, pembuatan jenis rancangan penelitian yang relevan untuk menjawab permasalahan umum dan menguji hipotesis yang telah disusun. Jenis rancangan penelitian dapat bermacam-macam seperti kuasi eksperimen, eksperimen, survei, ex post facto, analisis basis data dan rekaman. Langkah keempat adalah pengumpulan data. Alat pengumpulan yang digunakan menggunakan wawancara terstruktur, pengamatan terkontrol, dan memakai angket. Secara umum data penelitian dalam kerangka positivistik terwujud pada pola-pola yang bersifat kuantitatif. Kelima, tahap terakhir berupa analisis data yang diperolah. Seperti pada penelitian ilmu alam, teknik analisis yang digunakan bersifat statistik matematis seperti analisis faktor, analisis jalur, analisis kanonik, analisis diskriminan atau bahkan sampai pada teknik analisis yang paling canggih seperti meta-analisis. (kerlinger,1986)

Penelitian Kuantitatif dengan Pendekatan Positivistik Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme.

Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivistik. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tata pikir kategorisasi, interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008 : 12). Penelitian kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivisme untuk mengkaji hal-hal yang ditemui di lapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke kuantitatif atau

kualitatif,sehingga dalam proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur pemikiran yang tepat. Dalam metode kuantitatif, setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis. Jadi hubungannya terletak pada penggunaan paradigma positivis dalam menyusun kerangka penelitian kuantitatif. Filosofi penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum, yaitu : 1. Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri. 2. Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan. 3. Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.

Acuan filosofik dasar metodologi penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut: 1. Acuan hasil penelitian terdahulu Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah bukti empirik hasil-hasil penelitian terdahulu. 2. Analisis, sintesis dan refleksi Metodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis. 3. a. Fakta obyektif Variabel Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain. b. Eliminasi data Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti. c. Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir Penelitian positivistik menuntut data obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya. 4. a. Argumentasi Fungsi parameter Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab-akibat). b. Populasi Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti. c. Wilayah atau penelitian

Membahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama. 5. a. Realitas Desain standar Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis. b. Uji kebenaran Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya. Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan penetapan populasi. Kritik Positivistik Kritik paling umum yang dibuat dan diterima di kalangan ilmuwan sosial adalah kritik seputar perluasan metode-metode ilmiah dalam wilayah kehidupan sosial manusia. Kelompok anti positivis yang menggunakan garis argumen ini menegaskan bahwa antara kehidupan sosial manusia dan fakta alam yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu alam terdapat perbedaan mendasar. Perbedaannya adalah bahwa tingkah laku manusia tidak dapata diramalakan (unpredictable) yang disebabkan oleh tiga faktor: 1. 2. 3. Kehendak bebas manusia yang unik Karakter hidup sosial yang tunduk aturan dan bukan tunduk hukum Peran kesadaran dan makna dalam kehidupan sosial Dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoretik, dengan konsekuensi konseptualisasi teoretik ilmu yang dikembangkan dengan metode yang melandaskan pada positivisme menjadi tidak jelas. Sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme (ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin konseptualisasi dan tidak memunculkan teori-teori baru yang mendasar. Sebagai akibatnya, banyak ilmu sosial mengalami stagnasi.

Вам также может понравиться