Вы находитесь на странице: 1из 2

”TOKOH IKLAN” DAN ”KALIYUGIS”

MEMBAYANGI PEMIMPIN BALI


Oleh : Ir. I Wayan Jondra, M.Si.
Mahasiswa S3 Kajian Budaya, Unud

Bali merupakan suatu daerah yang unik dan spesifik baik dari segi geografis
maupun dari segi masyarakatnya. Demikian uniknya Bali, maka pemimpin Bali kedepan
ini hendaknya pemimpin yang Balinese, artinya pemimpin yang memahami Bali dan
berprilaku sebagai manusia Bali yang dikenal arif dan bijaksana. Bali sebagai daerah
tujuan wisata perlu mendapat porsi khusus dari calon/pemimpin Bali kedepan, dengan
tidak meninggalkan pertanian sebagai basis budaya Bali yang dikenal adiluhung dan
unggul yang dikenal dengan local genius.
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang berkultur petani, dimana dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam pergerakan perjuangan/pertahanan untuk
mempertahankan eksistensinya selalu mengacu kepada tokoh yang dia miliki, baik itu
tokoh dadia, banjar, desa adat, sekehe, maupun kelompok-kelompok terntentu. Dengan
demikian, maka peran tokoh-tokoh ini dalam mengarahkan pengikutnya untuk memilih
gubernur yang Balinese menjadi sangat penting, guna terwujudnya pemimpin Bali yang
memang Bali luar dalam. Tentunya hal ini menjadi suatu tugas yang sangat sulit bagi para
tokoh tersebut, sebab saat ini ada akses mas media, baik cetak maupun elektronik
(televisi, radio, internet dan lain-lain) beragam informasi telah mencemari otak
masyarakat Bali.
Kemudahaan mengakses media masa ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang
yang ambisius untuk menduduki jabatan Gubernur Bali. Inilah jaman kali yuga, banyak
sekali dan patut dicurigai tatkala muncul tokoh-tokoh munafik (kaliyugis) dimana
berpenampilan (kulit luar) ayam padahal sejatinya dia adalah musang (pemakan ayam);
penampilan dermawan padahal dia adalah lintah darat dan pencaplok hak rakyat dan hak
publik; penampilan damai padahal dia telah melakukan pemecah belahan masyakarat
maupun organisasi publik, bahkan organisasi keagamaan demi menempatkan orang-
orangnya pada organisasi bersangkutan; dia berpenampilan pembela wong cilik tetapi
sebenarnya dia pelaku penindasan dan perampasan orang yang tak berdaya;
berpenampilan bak orang suci kemana-mana memutih (udeng putih, baju putih, saput
putih) padahal sejatinya adalah penjahat kelas kakap, mengaku dirinya telah berjuang
untuk Bali, padahal tak satupun mereka menorehkan hasil yang monumental demi Bali
dan masih banyak lagi.
Kondisi seperti tersebut diatas tentunya tidak dapat dicerna dengan baik oleh
masyrakat Bali, yang hanya tahu dipermukaan, dan baru tahu orangnya dalam beberapa
tahun belakangan ini, karena sering masime krama, sering kelihatan dan terdengar di
media masa. Sehingga peran tokoh masyaraktlah untuk mencari jati diri orang yang
bersangkutan dari berbagai sumber, jangan cepat percaya jika kehebatan orang tersebut
hanya diketahui dari yang bersangkutan, atau kelompoknya, bahkan yang muncul di
media masa, perlu disaring, sebab tulisan di media masa perlu disaring yang mana
mememang berita (suatu artikel yang ditulis/dimuat karena berbobot), yang mana
merupakan advetorial (suatu artikel yang ditulis/dimuat karena bayar/sifatnya iklan atau
reklame). Ketika seseorang terlalu sering muncul di media massa belum tentu baik/hebat,
bisa jadi dia “tokoh iklan” muncul di media masa karena bayar, yaaa…h maklumlah Ke-
uangan yang maha kuasa di zaman kali yuga ini atau mungkin dia juga memang hebat,
demikian sebaliknya bukan berarti yang tidak pernah muncul di media masa belum tentu
buruk, mungkin rendah hati atau memang rendah diri dan tidak hebat.
Jika masyarakat Bali tidak kritis, tentu hal ini akan sangat berbahaya, bisa jadi
Bali dipimpin oleh orang yang “kaliyugis”, jika hal ini terjadi Bali akan menjadi semakin
terpuruk, dan semakin jauh dari jalan Dharma. Tentunya untuk mengantisipasi hal ini
tidaklah hal yang mudah, dibutuhkan suatu penalaran yang kritis dan mendalam, dan
selalu melakukan upaya antitesis (pemutar balikan) terhadap sintesis-sintesis yang
muncul di media masa. Sehingga akan mampu mengungkap apa sebenarnya yang ada di
balik aktifitas-aktifitas orang-orang yang agresif dan ambisius.
Pemimpin Bali kedepan haruslah pemimpin yang Balinese, yang mana sejak
memulai karirnya sudah menunjukkan karakter pemimpin yang menerapkan
kepemimpinan Hindu seperti misalnya Asta Brata, Ekacayawrtti, Stiti Dharmeng Prabu,
dan kepemimpinan yang menerapkan kepemimpinan Bali yang berdasar kepada
kepemimpinan Subak, yang mengacu pada nilai-nilai tri hita karana, serta menjunjung
tinggi falasafah : selunglung sebayantaka, paras paros sarpanaya dalam bingkai desa
kala patra.
Sebagai seorang yang peduli pada Bali saya hanya bisa berdo’a semoga Ida
Sanghyang Widhi menjauhkan Bali dari pemimpin yang “tokoh iklan”, dan “kaliyugis”,
sehingga Bali dapat segera bangkit dari keterpurukan, dan bagi mereka disadarkan dari
kesesatannya, sehingga tidak memperkeruh suasana Bali, Satyam Eva Jayate (Kebenaran
akan selalu menang).

Вам также может понравиться