Вы находитесь на странице: 1из 53

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU


NOMOR 19 TAHUN 2011
TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI KAPUAS HULU ,
Menimbang

Mengingat

: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 2009, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.

1.

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;

2.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UndangUndang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah
Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1820);

3.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);

4.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);

5.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

6.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
1

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,


Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
7.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

8.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

9.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4959);
11. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
13 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049 );
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4959);
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan


Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 25, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3003);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
2

Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010


Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5110);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5142);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5145);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 138, Tambahan Lembanran Negara Republik Indonesia
Nomor 5172);
22. Peraturan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Nomor 7 Tahun 2008
tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Kapuas Hulu;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU
dan
BUPATI KAPUAS HULU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

: PERATURAN DAERAH TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL


DAN BATUBARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1.

Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik


Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.

2.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang


pertambangan mineral dan batubara.

3.

Pemerintah daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

4.

Bupati adalah Bupati Kapuas Hulu.

5.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu.

6.

Dinas adalah Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kapuas Hulu.

7.

Masyarakat adalah masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu.

8.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

9.

Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik
dalam bentuk lepas atau padu.

10.

Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari
sisa tumbuh tumbuhan.

11.

Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau
batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.

12.

Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam


bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

13.

Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara
yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
pasca tambang.

14.

Badan usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak dibidang pertambangan yang
didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

15.

Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki
potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintah
yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

16.

Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang
telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.

17.

Wilayah lzin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang
diberikan kepada pemegang IUP.

18.

Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP
tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.

19.

Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan.

20.

IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.

21.

IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP
Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

22.

Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan
investasi terbatas.

23.

Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi


geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.

24.

Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi


secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber
daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup.

25.

Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh


informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis
dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta
perencanaan pascatambang.

26.

Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

27.

Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh


fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.

28.

Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan
atau batubara dan mineral ikutannya.

29.

Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu
mineral dan/ atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.

30.

Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau


batubara dari daerah tambang dan/ atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat
penyerahan.

31.

Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral
atau batubara.

32.

Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha
pertambangan.

33.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut AMDAL, adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/ atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.

34.

Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk
menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

35.

Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan


terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha
pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut
kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

36.

Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan


kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik
tingkat kehidupannya.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pertambangan mineral dan / atau batubara dikelola berasaskan:
5

a.
b.
c.
d.

manfaat, keadilan, dan keseimbangan;


keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; dan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pasal 3
Pengelolaan mineral dan batubara, bertujuan:
a.

menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara


berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

b.

menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan


berwawasan lingkungan hidup;

c.

menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber
energi untuk kebutuhan dalam negeri;

d.

mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing


di tingkat nasional, regional, dan internasional;

e.

meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan


lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan

f.

menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral


dan batubara.

BAB III
PENGUASAAN DAN KEWENANGAN PENGELOLAAN
Pasal 4
(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya dan yang tak terbarukan merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 5
(1)

Kewenangan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dalam pengelolaan pertambangan


mineral dan batubara antara lain, adalah :
a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambangan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu;
c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan
usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah Kabupaten
Kapuas Hulu;
d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka
memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;
e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi
pertambangan pada wilayah Kabupaten Kapuas Hulu;
f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah Kabupaten Kapuas
Hulu;
g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha


pertambangan secara optimal;
i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta
eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan Gubernur;
j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada
Menteri dan Gubernur;
k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dalam
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2)

Kewenangan Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan dan Penelitian
Pasal 6
(1)

Bupati sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan penyelidikan dan penelitian


pertambangan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu untuk memperoleh data dan informasi.

(2)

Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat :


a. formasi batuan pembawa mineral logam dan/atau batubara;
b. data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah
berakhir, dan/atau telah dikembalikan kepada Bupati;
c. data perizinan hasil inventarisasi terhadap perizinan yang masih berlaku, telah berakhir,
dan/atau telah dikembalikan kepada Bupati;
d. interpretasi penginderaan jauh baik berupa pola struktur maupun sebaran litologi.
Pasal 7

Bupati dalam melaksanakan penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 ayat (1) harus berkoordinasi dengan Menteri dan Gubernur.
Pasal 8
(1) Bupati wajib mengolah data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara dengan standar
nasional pengolahan data geologi;
(2) Bupati dalam mengolah data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk pejabat atau lembaga yang
berkompeten.
(3) Peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat informasi mengenai formasi batuan pembawa mineral dan/atau batubara.
(4) Bupati wajib menyampaikan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Menteri untuk dievaluasi.
(5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan oleh Menteri sebagai bahan
penyusunan rencana WP.

Pasal 9
7

WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dapat terdiri atas :


a.
WUP;
b.
WPR; dan/atau
c.
WPN
Pasal 10
(1) Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan eksplorasi untuk memperoleh data
dan informasi dalam rangka penetapan WUP, WPR, dan WPN dalam WP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Data hasil eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. Peta yang terdiri dari atas :
1. peta geologi dan peta formasi batuan pembawa; dan/ atau
2. peta geokimia dan peta geofisika,
b. perkiraan sumber daya dan cadangan.
(3)

Bupati dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
berkoordinasi dengan Menteri dan Gubernur.

(4)

Bupati wajib menyampaikan peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) beserta hasil eksplorasi kepada Menteri.
Pasal 11

(1) Bupati wajib mengolah data dan informasi hasil eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara.
(2) Bupati dalam mengolah data dan informasi hasil eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menunjuk pejabat atau lembaga yang berkompeten.
(3) Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud ayat (1) paling
sedikit memuat sebaran potensi/cadangan mineral dan/atau batubara.
(4) Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
dalam bentuk lembar peta dan digital.
Bagian Kedua
Pengelolaan Data dan Informasi
Pasal 12
(1)

Setiap data yang berasal dari kegiatan usaha pertambangan merupakan milik Pemerintah
Daerah.

(2)

Pengelolaan data diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan data diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 13

(1)

Pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 meliputi perolehan,


pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pemusnahan
data.

(2)

Pengelolaan data dilakukan dalam sistem informasi geografis dengan koordinat pemetaan
menggunakan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional.

(3)

Pemanfaatan data digunakan untuk:


a. Penetapan klasifikasi potensi dan WP.
b. Penentuan neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara, atau
c. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mineral dan batubara.

Bagian Ketiga
Tarif Data dan Informasi
Pasal 14
(1)

Penetapan tarif data dan/atau informasi pertambangan


diatur dalam Peraturan Bupati tersendiri.

(2)

Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi.
Bagian Keempat
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan
Pasal 15

(1)

Pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan


pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan batubara.

(2)

Pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan


penelitian dan pengembangan mineral dan batubara.

(3)

Hasil penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan wajib dilaporkan kepada
pemerintah daerah.

(4)

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah


daerah, swasta, dan masyarakat.

BAB V
USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 16
(1) Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
a. pertambangan mineral; dan
b. pertambangan batubara.
(2) Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas :
a. pertambangan mineral radioaktif;
b. pertambangan mineral logam;
c. pertambangan mineral bukan logam; dan
d. pertambangan batuan.

Pasal 17
Penggolongan komoditas dalam pertambangan mineral dan batubara terdiri atas 5 (lima)
golongan sebagai berikut :
a.

mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif
lainnya;

b.

mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga,
perak, timbal, seng, timah, nikel, mangan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa,
wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium,
indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom,
9

erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium,


hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium,
selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin;
c.

mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar,
kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker,
fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang,
pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu
gamping untuk semen;

d.

mineral batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah
serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit,
leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper,
krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar,
kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir
urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan
tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak
mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang
berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; dan

e.

batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.

Pasal 18
Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dapat dilaksanakan dalam bentuk:
a.
b.

IUP; dan
IPR.
BAB VI
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 19

(1) IUP terdiri atas dua tahap:


a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian
atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
IUP diberikan oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
diajukan oleh :
a.

badan usaha;

b.

koperasi; dan

c.

perseorangan.

permohonan yang

Pasal 21
10

IUP diberikan melalui tahapan :


a.

Pemberian WIUP; dan

b.

Pemberian IUP.
Pasal 22

(1)

IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a wajib memuat
ketentuan sekurang-kurangnya :
a. nama perusahaan;
b. lokasi dan luas wilayah;
c. rencana tata ruang wilayah (RTRW) atau rencana detail tata ruang (RDTR);
d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal atau dokumen pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peruntukkannya.

(2)

IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b wajib
memuat ketentuan sekurang-kurangnya :
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. rencana umum tata ruang;
e. lokasi pengolahan dan pemurnian;
f. pengangkutan dan penjualan;
g. modal investasi disertai dengan laporan keuangan terakhir yang diaudit oleh akuntan
publik;
h. jangka waktu berlakunya IUP;
i. jangka waktu tahap kegiatan;
j. penyelesaian masalah pertanahan;
k. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;
l. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;
m. perpanjangan IUP;
n. hak dan kewajiban pemegang IUP;
o. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
p. perpajakan;
q. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi;
r. penyelesaian perselisihan;
s. keselamatan dan kesehatan kerja;
t. konservasi mineral atau batubara;
u. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
v. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;
w. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
x. pengelolaan data mineral atau batubara;
y. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau
batubara; dan
z. memiliki kepala teknik tambang yang bersertifikasi dan memperoleh rekomendasi dinas
teknis.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan persyaratan IUP Eksplorasi dan
IUP Operasi Produksi di atur dengan Peraturan Bupati.
11

Pasal 23
(1)

IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral
atau batubara.

(2)

Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di
dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.

(3)

Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud


pada ayat (2), harus membentuk badan usaha baru dan wajib mengajukan permohonan IUP
baru untuk mineral lain kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya.

(4)

Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat
untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.

(5)

Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak
dimanfaatkan pihak lain.

(6)

IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan
kepada pihak lain oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 24

IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP.
Bagian Kedua
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Paragraf 1
Umum
Pasal 25
(1)

Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.

(2)

Setiap pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 hanya dapat diberikan 1 (satu)
WIUP.

(3)

Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan usaha
yang telah terbuka (go public) dapat diberikan lebih dari 1 (satu) WIUP.
Paragraf 2
Pemberian WIUP Mineral Logam dan Batubara
Pasal 26

(1)

WIUP mineral logam dan/atau batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara lelang.

(2)

Sebelum dilakukan pelelangan WIUP mineral logam dan/atau batubara, bupati


mengumumkan secara terbuka WIUP yang akan dilelang kepada badan usaha, koperasi,
atau perseorangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan
lelang.

(3)

Dalam pelaksanaan pelelangan WIUP mineral logam dan/atau batubara yang berada di
dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten ditetapan oleh Bupati.

(4)

Biaya lelang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kabupaten Kapuas Hulu.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara lelang WIUP mineral logam dan WIUP batubara
diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 3
12

Pemberian WIUP Mineral Bukan Logam Dan Batuan


Pasal 27
(1)

WIUP mineral bukan logam dan batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan WIUP dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin.

(2)

WIUP mineral bukan logam dan/atau WIUP batuan dalam 1 (satu) WUP diberikan oleh
Bupati apabila WIUP berada di dalam wilayah Kabupaten kapuas Hulu.

(3)

Bupati wajib menerapkan sistem permohonan pertama yang telah memenuhi persyaratan,
membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta mendapat prioritas pertama
untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam dan/atau WIUP batuan.
Bagian Ketiga
IUP Eksplorasi
Pasal 28

(1)

IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 8 (delapan) tahun.

(2)

IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.

(3)

IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun.

(4)

IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 29

(1)

Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000
(lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

(2)

Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit
500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

(3)

Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hectare
dan paling hanyak 5.000 (lima ribu) hektare.

(4)

Pemegang IUP Eksplorasi batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima
ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hekto are.
Pasal 30

(1)

Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi
yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Bupati
sesuai dengan kewenangannya.

(2)

Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan
dan penjualan.
Pasal 31

Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diberikan oleh Bupati.
Pasal 32
Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenai iuran
produksi.

13

Bagian Keempat
IUP Operasi Produksi
Pasal 33
(1)

IUP Operasi Produksi diberikan oleh Bupati apabila lokasi penambangan, lokasi
pengolahan pemurnian, serta pelabuhan berada dalam wilayah Kabupaten.

(2)

Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai
kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.

(3)

IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan
atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil
kajian studi kelayakan.

Pasal 34
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun.
IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan
dalamjangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 5 (lima) tahun.
IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima)
tahun.
IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun.

Pasal 35
(1)
(2)
(3)
(4)

Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi


WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam
diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.
Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP
dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.
Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP
dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

Pasal 36
(1)

Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Bupati paling cepat
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sebelum berakhirnya jangka waktu IUP Operasi Produksi.

(2)

Bupati wajib memberikan keputusan menerima atau menolak permohonan perpanjangan


IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat sebelum
berakhirnya IUP Operasi Produksi.

(3)

Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali, harus
mengembalikan WIUP Operasi Produksi kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14

Pasal 37
(1)

Pemegang IUP Operasi Produksi yang sudah memperoleh perpanjangan IUP Operasi
Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu masa berlakunya IUP Operasi Produksi
berakhir, harus menyampaikan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya mengenai
keberadaan potensi dan cadangan mineral atau batubara pada WIUP-nya.

(2)

WIUP yang IUP-nya akan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang masih
berpotensi untuk diusahakan, WIUP-nya dapat ditawarkan kembali melalui mekanisme
lelang atau permohonan wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Dalam pelaksanaan lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang IUP
sebelumnya mendapat hak menyamai (right to macth).

Bagian Kelima
Hak Dan Kewajiban
Paragraf 1
Hak
Pasal 38
Pemegang IUP dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik
kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.

Pasal 39
Pemegang IUP dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan
setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Pemegang IUP berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah
diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan
radioaktif.

Pasal 41
(1)

Pemegang IUP tidak boleh memindahkan IUP kepada pihak lain.

(2)

Untuk pengalihan kepemilikan dan atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat
dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.

(3)

Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan dengan syarat :
a. harus memberitahu kepada Bupati; dan
b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42

Pemegang IUP dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Kewajiban
15

Pasal 43
Pemegang IUP wajib:
a.
b.
c.
d.
e.

menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;


mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia;
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/ atau batubara;
melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan
mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.

Pasal 44
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP wajib melaksanakan:
a.

ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;

b.

keselamatan operasi pertambangan;

c.

pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan


pascatambang;
upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat,
cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media
lingkungan.

d.
e.

Pasal 45
(1)

Pemegang IUP wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai
dengan karakteristik Kabupaten Kapuas Hulu.

(2)

Pemegang IUP wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Pemilik IUP wajib memberikan kompensasi akibat penurunan kualitas lingkungan kepada
pemerintah daerah yang nilai besarannya diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 46

(1)

Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang
IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok
pada WIUP.

(2)

Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum dimulai
kegiatan operasi produksi.

(3)

Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan
perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 47
Pemegang IUP wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam
pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Pasal 48
16

(1)

Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan


pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

(2)

Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah


dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP lainnya.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 47 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 49
(1)

Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi


Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dapat melakukan kerja sama dengan
badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP.

(2)

Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang


melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP
atau IPR.
Pasal 50

(1)

Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual
mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi
Produksi untuk penjualan.

(2)

IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali
penjualan oleh Bupati.

(3)

Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai iuran produksi.

(4)

Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan
laporan hasil penjualan mineral dan/ atau batubara yang tergali kepada Bupati.
Pasal 51

Pemegang IUP harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP wajib
mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 53
(1)

Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

(2)

Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan
kepada pemerintah daerah dan masyarakat.

Pasal 54
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 55
17

Pemegang IUP wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi
produksi kepada Bupati.

Pasal 56
(1)

Pemegang IUP wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Bupati.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 57

(1)

Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP yang sahamnya dimiliki
oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah kabupaten, badan usaha milik
daerah atau badan usaha swasta nasional.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VII
PERTAMBANGAN RAKYAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 58
WPR ditetapkan berdasar kriteria sebagai berikut :
a.

mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan
tepi sungai;

b.

mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua
puluh lima) meter;

c.

endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;

d.

luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare ;

e.

menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau

f.

merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurangkurangnya 15 (lima belas tahun);

g.

tidak tumpang tidih dengan WUP dan WPN;dan

h.

merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.


Pasal 59

(1)

Dalam menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat, Bupati berkewajiban melakukan


pengumuman mengenai rencana WPR, kepada masyarakat secara terbuka.

(2)

Pengumuman rencana penetapan WPR dilakukan oleh Bupati.

(3)

Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja dan ditempatkan di kantor Pemerintah Daerah, dinas
dan/atau media massa.

Pasal 60
18

(1)

Bupati menetapkan WPR setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan


berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten.

(2)

Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum
ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.

(3)

WPR yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan
secara tertulis kepada menteri dan gubernur.

(4)

Koordinasi dilakukan untuk mendapatkan pertimbangan berkaitan dengan data dan


informasi yang dimiliki pemerintah provinsi yang bersangkutan.

(5)

Konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten untuk memperoleh


pertimbangan.

Pasal 61
Kegiatan pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
pertambangan mineral logam;
b.

pertambangan mineral bukan logam;

c.

pertambangan batuan; dan/ atau

d.

pertambangan batubara.
Pasal 62

(1)

Usaha Pertambangan Rakyat dilarang pada wilayah yang tertutup untuk kepentingan
umum, tempat-tempat kuburan, wilayah yang dianggap suci, tempat wilayah usaha
pertambangan mineral dan batubara lain.

(2)

Dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangan rakyat harus memperhatikan ketentuan


sebagai berikut :
a. syarat kedalaman sumuran dan terowongan pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima)
meter;
b. dapat menggunakan pompa-pompa mekanik, penggulundungan atau permesinan
dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power (HP) untuk 1 (satu)
IPR; dan
c. tidak diperkenankan menggunakan alat-alat berat dan bahan peledak.
Bagian Kedua
Pemberian Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 63

(1)
(2)

IPR diberikan oleh Bupati dengan memperhatikan kepentingan daerah.


Bupati memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat dan/atau koperasi.

(3)

Bupati dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4)

Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib
menyampaikan surat permohonan kepada Bupati.

(5)

Tata cara dan persyaratan pemberian IPR diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 64

(1)

Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:


a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar ;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar ; dan/ atau
c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektar.
19

(2)

IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban pemegang IPR
Pasal 65
Pemegang IPR berhak :
a.
mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja,
lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah; dan
b.

mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 66

Pemegang IPR wajib:


a.

melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan;

b.

mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja


pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku;

c.

mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah;

d.

membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan

e.

menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala


kepada pemberi IPR.

Pasal 67
(1)

Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, pemegang IPR dalam melakukan
kegiatan pertambangan rakyat wajib mentaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan.

(2)

Persyaratan teknis pertambangan diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 68
(1)

Bupati melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta


permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan
rakyat.

(2)

Bupati bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat
yang meliputi:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. pengelolaan lingkungan hidup; dan
c. pasca tambang.

(3)

Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bupati wajib
mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

(4)

Bupati wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat
yang berada dalam wilayahnya dan melaporkan secara berkala kepada gubernur dan
menteri.

20

BAB VIII
PENCIUTAN WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 69
(1)

Pemegang IUP sewaktu-waktu dapat mengajukan permohonan kepada Bupati untuk


menciutkan sebagian atau mengembalikan seluruh WIUP.

(2)

Penciutan atau pengembalian wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyerahkan :
a. laporan, data dan informasi penciutan atau pengembalian yang berisikan semua
penemuan teknis dan geologis yang diperoleh pada wilayah yang akan diciutkan dan
alasan penciutan atau pengembalian serta data lapangan hasil kegiatan;
b. peta wilayah penciutan atau pengembalian beserta koordinatnya;
c. tanda bukti pembayaran kewajiban keuangan;
d. laporan kegiatan sesuai status tahapan terakhir;
e. laporan pelaksanaan reklamasi pada wilayah yang diciutkan atau dilepaskan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penciutan atau pengembalian wilayah diatur dalam
Peraturan Bupati.

BAB IX
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 70
(1)

(2)

Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang


IUP apabila terjadi :
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan;
c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung
beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan
di wilayahnya.
Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP.

(3)

Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bupati.

(4)

Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c


dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan
masyarakat kepada Bupati.

(5)

Bupati wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak


disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak menerima permohonan tersebut.
Pasal 71

(1)

Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang
menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu)
tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun.

(2)

Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang
IUP sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan
kepada Bupati.

(3)

Bupati mencabut keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2).
21

Pasal 72
(1)

Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan


kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a, pemegang IUP tidak
mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2)

Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan


yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 ayat (1) huruf b dan huruf c, pemegang IUP wajib :
a. menyampaikan laporan kepada Bupati;
b. menuhi kewajiban keuangan; dan
c. tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja serta
pemantauan

BAB X
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 73
IUP dan IPR berakhir karena:
a.

dikembalikan;

b.

dicabut; atau

a.

habis masa berlakunya.


Pasal 74

(1)

Pemegang IUP atau IPR dapat menyerahkan kembali IUP atau IPR-nya dengan
pernyataan tertulis kepada Bupati dan disertai dengan alasan yang jelas.

(2)

Pengembalian IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah
setelah disetujui oleh Bupati dan setelah memenuhi kewajibannya.

Pasal 75
IUP atau IPR dapat dicabut oleh Bupati apabila :
a.

pemegang IUP atau IPR tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IPR
serta peraturan perundang- undangan;

b.

pemegang IUP atau IPR melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Daerah ini; atau

c.

pemegang IUP atau IPR dinyatakan pailit.


Pasal 76

Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IPR telah habis dan tidak diajukan
permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi
tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IPR tersebut berakhir.
Pasal 77
(1)

IUP atau IPR yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 dikembalikan kepada Bupati.
22

(2)

WIUP atau WPR yang IUP-nya atau IPR-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78

Apabila IUP atau IPR berakhir, pemegang IUP atau IPR wajib menyerahkan seluruh data yang
diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Bupati.
BAB XI
USAHA JASA PERTAMBANGAN
Pasal 79
(1)

Pemegang IUP wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.

(2)

Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemegang IUP dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan
hukum Indonesia.

(3)

Khusus perusahaan jasa pertambangan nasional dan perusahaan jasa pertambangan lain
yang berbadan hukum Indonesia harus memperoleh persetujuan dari Dinas .

(4)

Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:


a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan di bidang:
1. penyelidikan umum;
2. eksplorasi;
3. studi kelayakan;
4. konstruksi pertambangan;
5. pengangkutan;
6. lingkungan pertambangan;
7. pascatambang dan reklamasi; dan/ atau
8. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan di bidang :
1. penambangan; atau
2. pengolahan dan pemurnian.

Pasal 80
(1)

Dalam hal pemegang IUP menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan
usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP.

(2)

Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau perseorangan
sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Bupati.

(3)

Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal.
Pasal 81

(1)

Pemegang IUP dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang
usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali
dengan persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri.

(2)

Pemberian persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan apabila:
a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah Kabupaten Kapuas
Hulu; atau

23

b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat atau mampu berdasarkan
kreteria :
1. memiliki investasi yang cukup;
2. memiliki modal kerja yang cukup; dan
3. memiliki tenaga kerja yang kompeten dibidang pertambangan sesuai dengan yang
dipersyaratkan oleh pemegang IUP.

BAB XII
PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
Pasal 82
(1)

Pemegang IUP wajib membayar pendapatan negara.

(2)

Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan
penerimaan negara bukan pajak.

(3)

Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :


a.
pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan;
b.
bea masuk dan cukai

(4)
a.
b.
c.
d.

Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :
iuran tetap;
iuran eksplorasi;
iuran produksi; dan
kompensasi data informasi.

Pasal 83
Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang dipungut dari pemegang IUP
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 84
(1)
(2)

Pemegang IUP atau IPR wajib membayar pendapatan daerah.


Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah; dan
c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 85
(1)

Pemegang IUP atau IPR tidak dikenai pajak daerah dan retribusi daerah atas tanah/batuan
yang ikut tergali pada saat penambangan yang tidak dimanfaatkan.

(2)

Pemegang IUP atau IPR dikenai pajak dan retribusi daerah atas pemanfaatan tanah/batuan
yang ikut tergali pada saat penambangan.

Pasal 86
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya pajak daerah dan retribusi daerah yang dipungut dari
pemegang IUP atau IPR diatur dalam Peraturan Bupati.
24

BAB XIII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 87
(1)

Hak atas WIUP atau WPR tidak meliputi hak atas permukaan bumi.

(2)

Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(3)

Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan
setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 88
Pemegang IUP Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan
dari pemegang hak atas tanah pada tanah yang diusahakan atau dimanfaatkan.
Pasal 89
(1)

Pemegang IUP atau IPR sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(2)

Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IPR.
Pasal 90

Pemegang IUP atau IPR yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah
dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 91
Hak atas IUP atau IPR bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.

BAB XIV
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 92
(1)

Bupati bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha


pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP dan IPR.

(2)

Pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan paling sedikit terhadap :
a. pengadministrasian pertambangan;
b. teknis operasional pertambangan; dan
25

c.penerapan standar kompetensi tenaga kerja pertambangan.


Pasal 93
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan atas pelaksanaan kegiatan IUP dan IPR diatur
dengan Peraturan Bupati .

Bagian Kedua
Pengawasan
Paragraf 1
Pengawasan Pelaksanaan Kegiatan Sesuai Dengan
lzin Usaha Pertambangan dan Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 94
(1)

Pengawasan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf a meliputi :
a. evaluasi terhadap laporan perencanaan kegiatan usaha pertambangan; dan
b. evaluasi terhadap laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.

(2) Pengawasan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf b berupa
pengawasan langsung terhadap seluruh kegiatan di lapangan yang dilakukan oleh
pemegang IUP dan IPR.

Pasal 95
(1)

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, antara lain, berupa :


a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun
dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan - kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut
kepentingan umum;
n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP atau IPR; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.

(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
dan huruf l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.

(3)

Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu belum mempunyai inspektur
tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
26

Pasal 96
Bupati wajib melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing
sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri dan Gubernur.

Pasal 97
(1)

Pengawasan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP dan IPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1) huruf n, paling sedikit meliputi :
a. luas wilayah;
b. lokasi penambangan;
c. lokasi pengolahan dan pemurnian;
d. jangka waktu tahap kegiatan;
e. penyelesaian masalah pertanahan;
f. penyelesaian perselisihan;
g. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral dan
batubara;
h. pelaksanaan reklamasi dan pascatambang.

(2)

Pengawasan pelaksanaan kegiatan dalam IUP eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi antara lain tahap penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.

(3)

Pengawasan pelaksanaan kegiatan dalam IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf h meliputi antara lain tahap konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

(4)

Pengawasan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP dan IPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara berkala oleh Kepala Dinas yang ditunjuk oleh Bupati.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP dan
IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 2
Inspektur Tambang
Pasal 98

(1)

Inspektur tambang mempunyai tugas melakukan pemeriksaan, penyelidikan, dan


pengujian dan wajib menyampaikan laporannya kepada Kepala Inspektur Tambang.

(2)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), inspektur


tambang mempunyai kewenangan:
a. memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat;
b. menghentikan atau menutup untuk sementara waktu sebagian atau seluruh kegiatan
pertambangan mineral dan batubara apabila kegiatan
dimaksud dinilai dapat membahayakan keselamatan pekerja tambang, keselamatan
umum, atau menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan;
c. mengusulkan penutupan secara tetap sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan
mineral dan batubara apabila kegiatan dimaksud dinilai dapat membahayakan
keselamatan pekerja tambang, keselamatan umum, atau menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan kepada kepala lnspektur Tambang.

(3)

Inspektur Tambang melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan pertambangan


melalui:
a. evaluasi terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu;
b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu;
c. penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan.

(4)

Untuk diangkat menjadi Inspektur Tambang harus memenuhi persyaratan jabatan.


27

Paragraf 3
Pengawasan Reklamasi dan Pascatambang
Pasal 99
(1)

Pengawasan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang dilakukan oleh Bupati.

(2)

Untuk melaksanakan tugas pengawasan Bupati menugaskan Dinas dan atau Inspektur
Tambang.

(3)

Dinas dan atau Inspektur Tambang dalam melaksanakan tugasnya dapat berkoordinasi
dengan Instansi terkait.
Bagian Ketiga
Perlindungan Masyarakat
Pasal 100

(1)

Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan
berhak:
a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan
pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan
pertambangan yang menyalahi ketentuan.

(2)

Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 101

(1)

Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di


sekitar WIUP.

(2)

Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan dengan Bupati dan
masyarakat setempat.

(3)

Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan usulan program
kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kepada Bupati untuk diteruskan
kepada pemegang IUP.

(4)

Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP yang terkena dampak langsung akibat
aktifitas pertambangan.

(5)

Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan masyarakat yang
berada dekat kegiatan operasional penambangan dengan tidak melihat batas administrasi
wilayah kecamatan.

(6)

Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dibiayai dari alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada
anggaran dan biaya pemegang IUP setiap tahun.

(7)

Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana


dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP.

Pasal 102

28

Pemegang IUP setiap tahun wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran
biaya tahunan kepada Bupati untuk mendapat persetujuan.

Pasal 103
Setiap pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada Bupati.
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diatur dengan
Peraturan Bupati.

BAB XVI
REKLAMASI DAN PASCATAMBANG
Bagian Kesatu
Reklamasi dan Pascatambang Bagi Pemegang IUP
Paragraf 1
Umum
Pasal 105
(1)

Pemegang IUP Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi.

(2)

Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang.

(3)

Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada
kegiatan eksplorasi.

(4)

Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap
lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem dan metode :
a. penambangan terbuka; dan
b. penambangan bawah tanah.

(5)

Pascatambang wajib dilaksanakan untuk memulihkan fungsi lingkungan menurut kondisi


lokal di seluruh wilayah penambangan.

Pasal 106
(1)

Pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP Eksplorasi wajib memenuhi prinsip :


a.
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan; dan
b.
keselamatan dan kesehatan kerja;

(2)

Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang oleh pemegang IUP Operasi Produksi wajib
memenuhi prinsip :
a.
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan;
b.
keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c.
konservasi mineral dan batubara.

Pasal 107
(1)

Prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, paling sedikit meliputi :
29

a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara
berdasarkan standart baku mutu atau kreteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
c. penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing,
lahan bekas tambang dan struktur buatan lainnya;
d. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; dan
e. menghormati nilai-nilai sosial dan budaya setempat.
f. perlindungan terhadap kualitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)

Prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja; dan
b. perlindungan setiap pekerja dari penyakit akibat kerja.

(3)

Prinsip-prinsip konservasi mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (2) huruf c, paling sedikit meliputi :
a.penambangan yang optimum dan penggunaan teknologi pengolahan yang efektif dan
efisien;
b. pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marginal kualitas rendah dan mineral
kadar rendah serta mineral ikutan;
c.pendataan sumberdaya cadangan mineral dan batubara yang tidak tertambang (yang tidak
mineable) serta sisa pengolahan atau pemurnian.

(4)

Dalam hal mineral ikutan dari sisa penambangan, pengolahan dan pemurnian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c mengandung radioaktif, pemegang
IUP Operasi Produksi wajib melakukan analisa keselamatan radiasi untuk tenorm dan
melaksanakan intervensi terhadap paparan radiasi yang berasal dari tenorm sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108
(1)

Pemegang IUP Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun


rencana reklamasi berdasarkan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2)

Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam rencana kerja dan
anggaran biaya eksplorasi.

Pasal 109
(1)

Pemegang IUP Eksplorasi yang telah menyelesaikan kegiatan studi


kelayakan harus mengajukan permohonan persetujuan rencana reklamasi dan rencana
pascatambang kepada Bupati.

(2)

Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagimana dimaksud


pada ayat (1) diajukan bersama dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi.

(3)

Rencana reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud ayat (1)


disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.

(4)

Rencana reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat


(3) harus sesuai dengan :
a.
prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106;
b.
peraturan perundang-undangan yang terkait;
30

c.
d.

sistem dan metode penambangan berdasarkan studi kelayakan;


kondisi spesifik WIUP.
Paragraf 2
Rencana Reklamasi
Pasal 110

(1)

Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, disusun untuk pelaksanaan
setiap jangka waktu 5 (lima) tahun dengan rincian tahunan.

(2)

Dalam hal umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, rencana reklamasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur tambang.

(3)

Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat
:
a.tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang;
b. rencana pembukaan lahan;
c.program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan
lahan diluar bekas tambang yang bersifat sementara dan/atau permanent;
d. kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi,
pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir; dan
e.rencana biaya reklamasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Paragraf 3
Rencana Pascatambang
Pasal 111

(1)

Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, memuat :


a.profil wilayah, meliputi lokasi dan aksesibilitas wilayah, kepemilikan dan peruntukan
lahan, rona lingkungan awal dan kegiatan usaha lain di sekitar tambang;
b. deskripsi kegiatan pertambangan, meliputi keadaan cadangan awal, system dan metode
penambangan, pengolahan dan permurnian serta fasilitas penunjang;
c.rona lingkungan akhir lahan pascatambang, meliputi keadaan cadangan tersisa,
peruntukan lahan, morfologi, air permukaan dan air tanah serta biologi akuatik dan
teresterial;
d. program pascatambang, meliputi
1.
reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan diluar bekas tambang;
2.
pemeliharaan hasil reklamasi;
3.
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dan pemantauan.
e.organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang;
f. kriteria keberhasilan pascatambang; dan
g. rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung.

(2)

Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil konsultasi
dengan pemerintah daerah, instansi terkait dan masyarakat.
Paragraf 4
Persetujuan Rencana Reklamasi
Pasal 112

(1)

Bupati memberikan persetujuan atas rencana reklamasi yang telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dan Pasal 110 dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi diterbitkan.

(2)

Dalam hal rencana reklamasi belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 109
dan Pasal 110, Bupati mengembalikan rencana reklamasi kepada pemegang IUP Operasi
Produksi.
31

(3)

Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana reklamasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Bupati.

Pasal 113
(1)

Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan perubahan rencana reklamasi yang telah
disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 apabila terjadi perubahan :
a.
b.
c.
d.
e.

sistem dan metode penambangan yang telah disetujui;


kapasitas produksi;
umur tambang;
tata guna lahan; dan/atau
dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peratuan perundang-undangan dibidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

(2)

Perubahan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka
waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan
reklamasi periode tahun berikutnya kepada Bupati.

(3)

Bupati memberikan persetujuan atas perubahan rencana reklamasi yang telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dan Pasal 110 dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak menerima perubahan rencana reklamasi.

(4)

Dalam hal perubahan rencana reklamasi belum memenuhi ketentuan sebagaimana dalam
Pasal 109 dan Pasal 110, Bupati mengembalikan pengajuan perubahan rencana reklamasi
kepada pemegam IUP Operasi Produksi.

(5)

Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali perubahan rencana


reklamasi yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender kepada Bupati.
Paragraf 5
Persetujuan Rencana Pascatambang
Pasal 114

(1)

Bupati memberikan persetujuan atas rencana pascatambang yang telah


memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dan Pasal 111 dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi diterbitkan.

(2)

Dalam hal rencana pascatambang belum memenuhi ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dan Pasal 111, Bupati mengembalikan rencana
pascatambang kepada pemegang IUP Operasi Produksi.

(3)

Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana pascatambang


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Bupati.
Pasal 115

(1)

Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan perubahan rencana pascatambang


apabila terjadi perubahan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113.

(2)

Perubahan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Bupati.

(3)

Bupati memberikan persetujuan atas perubahan rencana pascatambang yang telah


memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dan Pasal 111 dalam jangka
32

waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak menerima pengajuan perubahan
rencana pascatambang.
(4)

Perubahan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sebelum akhir kegiatan
penambangan.
Bagian Kedua
Reklamasi dan Pascatambang Bagi Pemegang IPR
Pasal 116

(1)

Bupati sebelum menerbitkan IPR pada WPR wajib menyusun rencana reklamasi dan
rencana pascatambang untuk setiap WPR.

(2)

Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 117

(1)

Bupati menetapkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 116 untuk pemegang IPR.

(2)

Pemegang IPR bersama dengan Bupati wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang
sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Bagian Ketiga
Pelaksanaan dan Pelaporan
Paragraf 1
Reklamasi Tahap Eksplorasi
Pasal 118

(1) Pelaksanaan reklamasi pada lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi dilakukan pada lahan
yang tidak digunakan pada tahap operasi produksi.
(2) Lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
lubang pengeboran, sumur uji, parit uji, dan/atau sarana penunjang.
(3) Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai memenuhi
kriteria keberhasilan.
Paragraf 2
Reklamasi dan Pascatambang Tahap Operasi Produksi
Pasal 119
(1)

Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai
dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sampai memenuhi kriteria
keberhasilan.

(2)

Dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pemegang IUP Operasi Produksi harus menunjuk pejabat yang bertanggungjawab atas
pelaksanaan reklamasi dan pascatambang.
Pasal 120

33

Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dan Pasal 119
wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha
pertambangan pada lahan terganggu.
Pasal 121
Dalam hal pelaksanaan reklamasi berada di dalam kawasan hutan, dan pulau-pulau kecil
penilaian keberhasilan reklamasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Paragraf 3
Pelaporan dan Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang
Pasal 122
(1)

Pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan


reklamasi setiap 1 (satu) tahun kepada Bupati.

(2)

Bupati melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
diterimanya laporan.

Pasal 123
Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) Bupati
memberitahukan tingkat keberhasilan reklamasi secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi
Produksi.

Pasal 124
(1)

Pelaksanaan pascatambang wajib dilakukan oleh pemegang IUP Operasi Produksi setelah
sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir.

(2)

Dalam hal kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum masa yang telah ditentukan
dalam rencana pascatambang yang telah disetujui, pemegang IUP wajib melaksanakan
pascatambang pada lahan terganggu.

(3)

Pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) wajib dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah sebagian atau
aeluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir.

(4)

Pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
dinyatakan selesai apabila telah memenuhi kriteria keberhasilan pascatambang.

Pasal 125
(1)

Pemegang lUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pascatambang


setiap 3 (tiga) bulan kepada Bupati.

(2)

Bupati melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan pascatambang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
sejak diterimanya laporan.
Bagian Keempat
Jaminan Reklamasi dan Pascatambang
34

Paragraf 1
Umum
Pasal 126
(1)

Pemegang IUP wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sesuai
dengan perhitungan rencana biaya reklamasi dan perhitungan rencana biaya pascatambang
yang telah mendapat persetujuan Bupati.

(2)

Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :


a.jaminan reklamasi tahap eksplorasi; dan
b. jaminan reklamasi tahap operasi produksi.

Paragraf 2
Jaminan Reklamasi
Pasal 127
(1)

Jaminan reklamasi tahap eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf
a ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi yang disusun berdasarkan dokumen
lingkungan hidup dan dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi.

(2)

Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada bank pemerintah
dalam bentuk deposito berjangka.

(3)

Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana kerja dan anggaran
biaya tahap eksplorasi disetujui oleh Bupati.

Pasal 128

(1)

Jaminan reklamasi tahap opererasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat
(2) huruf b ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi.

(2)

Jaminan reklamasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :


a.rekening bersama pada bank pemerintah;
b. deposito berjangka pada bank pemerintah;
c.bank garansi pada bank pemerintah atau swasta nasional; atau
d. cadangan akuntansi.

(3)

Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat (tiga puluh) hari kalendar sejak rencana reklamasi disetujui
oleh Bupati.

Pasal 129
(1)

Dalam hal pemegang IUP tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan reklamasi
berdasarkan evaluasi laporan dan/atau penilaian lapangan, Bupati dapat menetapkan pihak
ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dengan menggunakan jaminan reklamasi.

(2)

Dalam hal jaminan reklamasi yang telah ditetapkan tidak menutupi untuk menyelesaikan
reklamasi, kekurangan biaya reklamasi tetap menjadi tanggung jawab pemegang IUP.

35

(3)

Dalam hal terdapat kelebihan jaminan dari biaya yang diperlukan untuk penyelesaian
reklamasi, kelebihan biaya dapat dicairkan oleh pemegang IUP setelah mendapat
persetujuan dari Bupati.

Pasal 130

Pemegang IUP dapat mengajukan permohonan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi
kepada Bupati berdasarkan tingkat keberhasilan reklamasi.
Pasal 131
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan jaminan reklamasi diatur dengan
Peraturan Bupati.
Paragraf 3
Jaminan Pascatambang
Pasal 132
(1)

Jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) ditetapkan sesuai
dengan rencana pascatambang.

(2)

Jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan setiap tahun
dalam bentuk deposito berjangka pada bank pemerintah.

(3)

Penempatan jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana pascatambang
disetujui oleh Bupati.
Pasal 133

Penempatan jaminan pascatambang tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP Operasi


Produksi untuk melaksanakan pascatambang.

Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan jaminan pascatambang diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 135
(1)

Dalam hal pemegang IUP tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan kegiatan
pascatambang berdasarkan evaluasi laporan dan/atau penilaian lapangan, Bupati dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan pascatambang sebagian atau
seluruhnya dengan menggunakan jaminan pascatambang.

(2)

Dalam hal jaminan pascatambang yang telah ditetapkan tidak menutupi untuk
menyelesaikan pascatambang tetap menjadi tanggung jawab pemegang IUP Operasi
Produksi.

(3)

Dalam hal terdapat kelebihan jaminan dari biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan
pascatambang, kelebihan biaya dapat dicairkan oleh pemegang IUP Operasi Produksi
setelah mendapat persetujuan dari Bupati.
36

Pasal 136
Dalam hal kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang telah ditentukan
dalam rencana pascatambang yang telah disetujui, pemegang IUP Operasi Produksi wajib
menyediakan jaminan pascatambang sesuai dengan yang telah ditetapkan.

Pasal 137
Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan pencairan dana jaminan pascatambang
kepada Bupati dengan melampirkan program dan rencana biaya pascatambang.
Bagian Kelima
Penyerahan Lahan Reklamasi dan Lahan Pascatambang
Pasal 138
(1)

Pemegang IUP wajib menyerahkan lahan yang telah direklamasi kepada pihak yang berhak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui Bupati.

(2)

Pemegang IUP dapat mengajukan permohonan penyerahan lahan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) baik sebagian atau seluruhnya kepada Bupati apabila lahan yang telah
direklamasi masih diperlukan untuk pertambangan.

Pasal 139
Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah selesai melaksanakan pascatambang wajib
menyerahkan lahan pascatambang kepada pihak yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan melalui Bupati.
BAB XVII
PENYIDIKAN
Pasal 140
(1)

Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak
pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan;
d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan
menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha
pertambangan; dan/atau
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.
37

i. menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.

(3)

Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan
penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan
merupakan tindak pidana.

(5)

Pelaksanaan kewenangan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB XVIII
SANKSI-SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 141
(1)

Bupati mengenakan sanksi administratif kepada pemegang IUP atau IPR atas
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5), Pasal 24, Pasal 35,
Pasal 41 ayat (1), Pasal 49 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53 ayat (1), Pasal 56 ayat (1),
Pasal 57 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67 ayat (1), Pasal 81 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), Pasal 84
ayat (1) ), Pasal 105 ayat (2) dan ayat (5), serta Pasal 106.

(2)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:


a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi;
dan/atau
c. pencabutan IUP atau IPR.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bupati.

(3)

Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 142
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP atau IPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20, Pasal 23 ayat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 63 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
Pasal 143
Pemegang IUP atau IPR yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 50 ayat (4), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66 huruf e, dengan tidak
benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 144
(1)

Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).

(2)

Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
38

Pasal 145
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari
pemegang IUP atau izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 146
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang
IUP yang telah memenuhi syarat-syarat, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 147
(1)

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan
hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan
ditambah 1/3 (satu pertiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.

(2)

Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan hukum dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa :
a.pencabutan izin usaha; dan/ atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 148

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 146 kepada
pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa :
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
Pasal 149
Setiap orang yang mengeluarkan IUP atau IPR yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini
dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara
dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 150
Semua izin pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, dinyatakan
tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya izin.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 151
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal di undangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kapuas Hulu.
39

Ditetapkan di Putussibau
pada tanggal 13 Desember 2011
BUPATI KAPUAS HULU,
A. M. NASIR
Diundangkan di Putussibau
pada tanggal 1 Februari 2012
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU,

Ir. H. M. SUKRI
Pembina Utama Muda
NIP. 19590922 198903 1 004
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU TAHUN 2012 NOMOR 5

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU
NOMOR 19 TAHUN 2011
TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
40

I. UMUM
Undang-Undang Dasaar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Pemanfaatan kekayaan alam berupa mineral dan batubara harus dikelola secara profesional
dan transparan agar memiliki nilai tambah bagi peningkatan pendapatan nasional guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu dan masyarakat Indonesia
pada umumnya.
Dalam perkembangannya, dalam rangka menjawab perkembangan situasi pada masa kini dan
tantangan di masa depan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Tantangan yang dihadapi oleh pertambangan
mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi
daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi informasi, hak
kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab permasalahan tersebut, perlu
disusun peraturan daerah yang baru di Bidang Pertambangan Umum dengan berlandaskan
kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Daerah ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1.

Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan
pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bersama dengan pelaku usaha.

2.

Pemerintah Daerah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang


berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk
melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan
otonomi daerah.

3.

Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan


pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah

4.

Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraaan masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu dan rakyat Indonesia pada
umumnya.

5.

Usaha Pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dean mendorong


kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong
tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

6.

Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan


harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi dan
partisipasi masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah
asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan
sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk
mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang
Pasal 3
41

Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Yang dimaksud dengan mineral radioaktif dalam ketentuan ini termasuk bahan
galian nuklir.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
42

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Perseorangan dalam ketentuan ini adalah Warga Negara Indonesia.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
43

Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Huruf a
Yang dimaksud dengan tepi dan tepi sungai adalah daerah akumulasi
pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam suatu meander sungai.
Huruf b
44

Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Pengumuman rencana WPR dilakukan di kantor kepala kampung dan di Dinas
Pertambangan dan Energi Kabupaten Kapuas Hulu dengan dilengkapi peta situasi
yang menggambarkan lokasi, luas dan batas serta daftar koordinat; dan dilengkapi
daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan bukti pembayaran kewajiban keuangan dalam
ketentuan ini adalah iuran tetap, iuran produksi, pajak dan retribusi daerah.
45

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Huruf a
Keadaan kahar dalam ketentuan ini antara lain meliputi perang, kerusuhan
sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran dan lainlain bencana alam di luar kemampuan manusia.
Huruf b
Keadaan yang menghalangi dalam ketentuan ini antara lain meliputi
blokade, pemogokan, perselisihan perburuhan, di luar kesalahan
pemegang IUP dan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang
menghambat kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang
sedang berjalan.
Huruf c
Kondisi daya dukung lingkungan dalam ketentuan ini adalah apabila
kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menaggung
beban kegiatan operasi produksi mineral dan/atau batubara yang dilakukan
diwilayahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
46

Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kepala Inspektur Tambang adalah pejabat yang secara
ex officio menduduki jabatan :
1.
direktur yang mempunyai tugas pokok dan
fungsi di bidang keteknikan pertambangan mineral dan batubara di
Pemerintah;
47

2.

kepala dinas teknis provinsi yang


mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan
batubara di pemerintah provinsi;

3.

kepala dinas teknis kabupaten/kota yang


mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan
batubara di pemerintah kabupaten/kota.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang disesuaikan dengan
status lahan dan tata ruang saat dokumen pengelolaan lingkungan disusun.
48

Tata guna lahan sesudah ditambang disesuaikan dengan peruntukan lahan


pascatambang sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik lahan dan tata
ruang.
Huruf b
Pembukaan lahan dalam ketentuan ini antara lain kegiatan pembersihan
lahan (land clearing) dan penggalian untuk keperluan tambang, timbunan,
jalan, kolam sedimen, dan sarana penunjang.
Huruf c
Program reklamasi terhadap lahan terganggu mencakup program
pemulihan untuk kurun waktu 5 (lima) tahun yang dirinci setiap tahun
meliputi: lokasi lahan yang akan direklamasi, teknik dan peralatan yang
akan digunakan dalam reklamasi, sumber material pengisi untuk back
filling, revegetasi, pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan bekas tambang,
pemeliharaan, pemantauan dan rincian biaya reklamasi.
Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Biaya langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya penatagunaan lahan,
revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, pekerjaan
sipil sesuai peruntukan lahan pascatambang.
Biaya tidak langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya mobilisasi dan
demobilisasi alat, perencanaan reklamasi, administrasi, dan supervisi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Biaya langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya pascatambang pada
tapak bekas tambang, fasilitas pengolahan dan pemurnian, fasilitas
penunjang, pemeliharaan dan peralatan, sosial dan ekonomi, serta
pemantauan.
Biaya tidak langsung meliputi biaya mobilisasi dan demobilisasi alat,
perencanaan pascatambang, administrasi, dan supervisi.
Ayat (2)
Konsultasi dalam ketentuan ini adalah dalam rangka tukar pikiran untuk
mendapatkan saran terhadap penyusunan program rencana pascatambang.
Instansi terkait lainnya dalam ketentuan ini antara lain instansi Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, kehutanan, atau tata ruang.
49

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah warga masyarakat yang terkena


dampak langsung kegiatan usaha pertambangan.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Batas waktu 2 (dua) tahun dimaksudkan untuk memberikan waktu yang
mencukupi bagi pemegang IUP untuk mempersiapkan pelaksanaan
pascatambang, seperti lelang pelaksana kegiatan, pengaturan peralatan dan
karyawan, dan lain-lainnya.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan
reklamasi dan pascatambang yaitu Kepala Teknik Tambang.
Pasal 120
Pelaksanaan reklamasi wajib dilaksanakan secepatnya untuk menghindari kerusakan lahan
yang lebih parah dan untuk efisiensi penggunaan peralatan, bahan, dan sumber daya
manusia.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Pelaksanaan pascatambang dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
tahapan pengakhiran kegiatan usaha pertambangan atau secara sekaligus dan
menyeluruh setelah seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir.
Ayat (2)
50

Berakhirnya kegiatan usaha pertambangan sebelum jangka waktu yang


ditentukan dalam rencana pascatambang, dapat terjadi karena ketidaklayakan
usaha pertambangan secara permanen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Jaminan reklamasi dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan
reklamasi.
Biaya pelaksanaan reklamasi dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan
pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Jaminan reklamasi dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan
reklamasi.
Biaya pelaksanaan reklamasi dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan
pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud rekening bersama (escrow account) dalam ketentuan ini
merupakan rekening antara pemegang IUP dengan Bupati atau pejabat yang
ditunjuk sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Pihak ketiga dalam ketentuan ini adalah kontraktor pelaksanaan reklamasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
51

Pasal 132
Ayat (1)
Jaminan Pascatambang dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya
pelaksanaan pekerjaan pascatambang.
Biaya pelaksanaan pascatambang dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan
pascatambang yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Pihak ketiga dalam ketentuan ini adalah kontraktor pelaksanaan pascatambang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Lahan yang telah direklamasi adalah lahan yang telah memenuhi kriteria
keberhasilan reklamasi berdasarkan evaluasi oleh Bupati.
Ayat (2)
Bupati dapat memberikan penundaan penyerahan lahan sepanjang sesuai dengan
perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP dengan pemegang hak atas
tanah atau izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pasal 139
Dinyatakan selesai melaksanakan pascatambang apabila telah memenuhi kriteria
keberhasilan pascatambang berdasarkan evaluasi oleh Bupati.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
52

Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.

53

Вам также может понравиться