Вы находитесь на странице: 1из 1

Jaringan Aksi Nasional Pengurangan Dampak Buruk Narkoba Suntik

Mengobati Pecandu Narkoba di Penjara

Penulis: LR. Baskoro.

PRIA bertubuh kurus itu menunjukkan kartu di tangannya. Di hadapannya, berdiri seorang perawat dengan buku tebal,
berisi daftar nama para narapidana yang berkewajiban berhak mendapatkan terapi khusus. Sejurus si perawat
memandang nama yang tertera, mencocokannya dengan buku acuannya. Ia menyediakan cairan dengan takaran yang
sesuai buat pasiennya. Di depan sang perawat, pria itu mencampur cairan itu dengan sirup. Lalu, glek, cairan itu
ditenggaknya habis, dan ia pun angkat kaki. Inilah pemandangan rutin tiap-tiap pagi, dari pukul sembilan di poliklinik
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Narkotika, Jakarta. Para narapidana berbaris memanjang, tertib, seperti penonton
yang antre di depan loket bioskop. Menunggu giliran untuk mendapatkan cairan methadon.
Methadon cairan yang rasanya pahit, dan merupakan obat yang disediakan penjara Cipinang bagi para napi yang
kecanduan narkoba, khususnya putaw. Para tahanan pecandu barang haram jenis ini, jika kambuh berteriak-teriak
histeris, bahkan sampai berguling-guling atau membentur-bentukan kepala ke dinding. Buat mereka, para dokter
menempuh pengobatan khusus: Program Terapi Rumatan Methadon (PTRM). Di sinilah takaran methadon menjadi
kunci keberhasilan metode ini. “Habis minum rasanya badan jadi nyaman,” ujar seorang napi yang pernah
menenggak methadon tersebut. Methadon merupakan zat sintetis heroin. Bedanya dengan heroin, zat ini tidak
menimbulkan ketergantungan. Karena itu, “jatah” methadon untuk seorang napi dari hari ke hari akan
dikurangi. Dan itu semua dicatat petugas. “Tapi, untuk napi pengguna shabu-shabu tidak mendapat pengobatan
cara semacam ini,” kata Winanti, psikholog yang bertugas menjadi konsuling di penjara yang paling canggih
sistem pengamanannya di Indonesia itu. Selain mendapat jatah methadon, penjara Cipinang yang memiliki tiga dokter
umum dan delapan perawat itu menerapkan metode therapeutic community (TC) untuk menghilangkan ketergantungan
para narapidana pada narkoba. Para napi dimasukkan dalam kelompok-kelompok dengan jumlah antara 15 sampai 25
orang. Setiap hari, setelah apel pukul tujuh pagi dan sarapan, anggota kelompok ini berkumpul, saling berdiskusi di
bawah bimbingan seorang konseling. Mereka, misalnya, diminta bercerita tentang persoalan yang dihadapi atau
pengalaman menyelesaikan masalah tertentu. Semboyan yang diserukan para peserta TC itu: no drug, no sex, no
violence. “Intinya mereka harus dibuat sibuk, dan dibangun kepercayaan dirinya, dengan itu mereka bisa lepas
dari narkoba,” ujar Winanti. Empat tahun sudah Winanti bertugas sebagai konseling di penjara Cipinang ini.
“Perlu kesabaran dan pengawasan yang terus menerus kepada para napi yang mengikuti program TC,”
ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu. Sayang sekali program itu sulit terpenuhi. Tak mudah mengawasi lebih dari
2.500 tahanan, dengan sipir yang tak lebih dari 100 orang. Kendati demikian, dalam soal pengobatan, para narapidana
di penjara narkotik jauh lebih beruntung ketimbang di penjara-penjara lainnya di Indonesia. Di penjara atau rumah
tahanan lainnya, belum ada program PTRM yang memberikan “obat” untuk para pencandu narkoba. Di
rumah tahanan (Rutan) Salemba, misalnya, jika seorang narapidana sakau dan memerlukan pertolongan, ia akan dikirm
ke Rumah Sakit Ciptomangunkusumo atau ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati. “Fasilitas kami memang
terbatas,” ujar Kepala Rutan Salemba, Bambang Sumardiono. Untuk memberi penyuluhan terhadap para
pengguna narkoba, Rutan Salemba bekerja sama dengan Partisan Club pimpinan Baby Jim Aditya. Dua kali dalam
sepekan, Baby atau anak buahnya datang ke Salemba memberi penyuluhan kepada puluhan narapidana seputar
bahaya dan pencegahan HIV. “Narkoba dan HIV itu sangat dekat sekali,” ujar Baby yang sudah bertahun-
tahun melakukan penyuluhan di berbagai penjara di Indonesia. “Di penjara, kemungkinan penularan itu semakin
besar,” ujar Baby. Selain Salemba, Partisan Club juga “masuk” ke penjara wanita Pondok Bambu,
Jakarta Timur dan penjara Tangerang. Baby menempuh metode khusus untuk menyadarkan para narapidana agar tidak
bermain-main dengan narkoba. Selain mengajak diskusi, ia juga melakukan pendekatan dari hati ke hati. Tidak jarang
pendekatan ini sekaligus menjadi tempat “curhat” para napi. Saat Tempo mengikuti kegiatan Baby yang
berlangsung di sebuah selasar sempit di salah satu bangunan Rutan Salemba, misalnya, seorang bapak menangis
sesenggukan saat Baby menjelaskan, bahwa akibat ulahnya “bermain” narkoba, ia kini menelantarkan
anak istrinya. “Yang kami lakukan memang pendekatan semacam ini,” ujar Baby. Menurut Baby program
yang ia lakukan adalah mengerem laju epidemik HIV. “Tidak mungkin memberantasnya,” ujarnya. Tak
hanya memberi penyuluhan, kadang kala Baby juga memberi rujukan dan mengantar tahanan yang sakau ke rumah
sakit yang bekerja sama dengan lembaganya. Menurut Baby, untuk semua aktivitasnya itu, lembaganya tidak mendapat
bantuan sepeserpun dari pemerintah. “Yang saya inginkan, hanyalah supaya kami tidak dipersulit masuk dan
menjalankan program kami,” ujarnya.***

http://www.jangkar.org Powered by Joomla! Generated: 23 September, 2009, 21:07

Вам также может понравиться