Вы находитесь на странице: 1из 24

MAKALAH HI ASIA TENGGARA DAMPAK HUMAN TRAFFICKING DI LAOS TERHADAP KETAHANAN DAN KEAMANAN (HUMAN SECURITY) DI KAWASAN ASIA

TENGGARA.

Oleh : Dewi Ayu Shifa (201010360311117)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2013

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kejahatan Lintas Negara pada dasarnya adalah kejahatan yang berdampak terhadap dua Negara atau lebih. Jenis dan ruang lingkup kejahatan lintas Negara ini telah berkembang sedemikian rupa, diantaranya termasuk adalah perdagangan manusia (human trafficking). Perdagangan manusia (human trafficking) adalah segala bentuk perekrutan, perpindahan, pengiriman orang yang bertujuan untuk eksploitasi. Proses perdagangan manusia umumnya menggunakan kekerasan, penipuan dan pemaksaan didalamnya. Eksploitasinya berbentuk pemaksaan untuk menjadi pekerja seks, kerja paksa, perbudakan atau segala hal yang mirip dengan perbudakan atau penjualan organ tubuh. Sementara itu perdagangan anak biasanya berbentuk penjualan anak ke luar negeri untuk diadopsi, untuk dijadikan pengemis atau untuk pemujaan agama. Kasus perdagangan manusia (human trafficking) adalah masalah yang sekarang telah menjadi kasus Internasional. Kasus yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat ini ada hampir di setiap Negara di dunia. Pemecahan demi pemecahan berusaha dicari oleh dunia Internasional guna meminimalisir kasus ini, namun belum ada suatu titik terang yang menunjukkan penurunan kasus atau korban perdagangan manusia. Perdagangan manusia memang telah menjadi fenomena umum yang terjadi di banyak Negara berkembang. Hal itulah yang melatarbelakangi kami mengambil judul penelitian yaitu membahas Fenomena Human Trafficking di Asia Tenggara khususnya di Negara Laos. Laos adalah negara terutama sumber untuk wanita dan anak perempuan diperdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial dan eksploitasi tenaga kerja sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja pabrik di Thailand. Beberapa pria Lao, wanita, dan anak-anak bermigrasi ke negara-negara tetangga untuk mencari peluang ekonomi yang lebih baik, tetapi mengalami kondisi kerja paksa atau terikat atau prostitusi paksa setelah kedatangan. Beberapa pria Lao yang bermigrasi ke Thailand rela mengalami kondisi perbudakan paksa dalam perikanan Thailand dan industri konstruksi. Untuk tingkat yang lebih rendah Laos adalah negara transit untuk Vietnam, Cina dan Burma dan wanita ditakdirkan untuk Thailand. Laos, berpotensi sebagai negara transit yayaitu dengan munculnya pembangunan jalan raya baru yang

menghubungkan Rakyat, AOS Republik Cina, Vietnam, Thailand, dan Kamboja melalui Laos. Perdagangan internal juga merupakan masalah yang mempengaruhi perempuan muda dan anak perempuan yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial di daerah perkotaan. Pemerintah Laos tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk pemberantasan perdagangan manusia, namun itu membuat upaya yang signifikan untuk melakukannya. Pemerintah meningkatkan upaya penegakan hukum untuk menyelidiki pelanggaran perdagangan dan menuntut dan menghukum pelaku trafficking. Hal tersebut juga meningkatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi Internasional dan masyarakat sipil untuk memberikan pelatihan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk memberikan repatriasi dan reintegrasi korban, dan meluncurkan kampanye kesadaran masyarakat untuk memerangi perdagangan manusia. Kurangnya sumber daya yang parah tetap hambatan terbesar bagi pemerintah, AOS kemampuan untuk memerangi perdagangan manusia dan tetap tergantung pada komunitas donor internasional untuk mendanai antitrafficking kegiatan. Trafficking tidak hanya merampas hak asasi tapi mereka juga rentan terhadap kekerasan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Dalam menghadapi kejahatan transnasional di mana masalah trafficking merupakan ancaman keamanan multinasional dan yang merugikan kaum perempuan dan anak-anak karena dianggap sebagai objek yang lemah untuk di ekpolitasi oleh karena itu pelaku Trafficker menipu, mengancam, dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban kedalam pekerjaan mirip perbudakan atau kedalam prostitusi. Beberapa pelaku trafficking adalah bagian dari sindikat internasional. namun lebih banyak dari mereka bukan bagian dari kejahatan teroganisir. Di antara mereka adalah agen prekrut tenaga kerja, aparat pemerintah dan bahkan teman serta kerabat. Meskipun mampu memberi hukuman berat pada pelaku Trafficking, penegak hukum selalu meloloskan mereka karena kurangnya kesadaran atau bahkan berkolusi dengan tersangka. Perdagangan manusia adalah pelanggaran HAM (hak asasi manusia), pada dasarnya perdagangan manusia melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup merdeka dan bebas dari bentuk perbudakan. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia ( PBB 1948) mendefinisikan HAM secara luas dengan tujuan agar manusia di seluruh dunia saling menghormati hak asasi semua orang.

Meningkatnya arus globalisasi dan teknologi menyebabkan manusia secara mudah melakukan perpindahan lintas batas negara. Keadaan ini mengingatkan adanya resiko kegiatan trafficking di dalam suatu Negara. Pada awalnya trafficking hanya mencangkup ekpolitasi seksual saja, tetapi seiring dengan perubahan zaman konsep trafficking semakin berkembang. Kegiatan trafficking tidak hanya terjadi di dalam suatu negara tetapi dapat dilakuakan lintas batas negara (transnasional), sehingga tidak ada negara yang terhindar dari kegiatan tersebut termasuk Laos. Walaupun pemerintah telah berusaha meratifikasi instrument internasional mengenai perbudakan dan perdagangan anak dan perempuan di Laos. Lemahnya sektor ekonomi sangat merugikan bagi perekonomian suatu negara, dimana perlu menciptakan lebih dari 2 juta pekerjaan setiap tahunnya agar dapat menyerap pencari kerja baru. Lemahnya perekonomian merupakan kondisi ideal bagi perdagangan dan ekspolitasi serta kekerasan terhadap buruh, calon buruh perempuan dan anak-anak, karena banyak orang telah terperangkap di jurang kemiskinan di desa maupaun di kota. Perdagangan perempuan dan anak adalah pelanggaran nyata atas hak asasi manusia yang paling mendasar, bersifat multidimensi, baik dilakukan secara terang-terangan maupun terse lubung. Perdagangan manusia atau dikenal dengan istilah human trafficking adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan mengingat jumlah korbannya yang kian meningkat dari waktu ke waktu. Dapat dikatakan bahwa perdagangan manusia adalah bisnis yang menguntungkan dan sering dianggap sebagai tindak kriminal paling menguntungkan ketiga setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan senjata. Menurut International Labor Organization (ILO), keuntungan yang dhasilkan dari perdagangan manusia bisa mencapai US$ 31 milyar per tahun. Dari permasalahan yang telah di uraikan, penulis tertarik untuk menjadikan masalah ini sebagai penelitian dalam penelitian ini dengan judul : DAMPAK HUMAN TRAFFICKING DI LAOS TERHADAP KETAHANAN DAN KEAMANAN (HUMAN SECURITY) DI KAWASAN ASIA TENGGARA.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah : Bagaimana Dampak Human Trafficking Di Laos terhadap Ketahanan dan Keamanan Kawasan ASEAN? 1.3 TUJUAN dan MANFAAT PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya human trafficking di Laos dan perkembangan human trafficking tersebut. 2. Untuk mengetahui upaya pemerintah Laos dalam mengurangi human trafficking di Laos 3. Untuk mengetahui dampak human trafficking di Laos terhadap kawasan-kawasan di Asia Tenggara 4. Untuk mengetahui peran ASEAN terhadap perkembangan human trafficking di Laos 1.3.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, penulis bagi dalam dua segi manfaat, yaitu : A. Manfaat Akademik Penelitian ini diharapkan dapat membantu bagi perluasan wacana atau kajian dan pemenuhan referensi keilmuan bagi studi Hubungan Internasional pada khususnya dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada serta dapat memberikan gambaran mengenai kajian human securrity. B. Manfaat Praktis Memberikan pemahaman mengenai Dampak ancaman human trafficking di Laos terhadap keamanan (human security) di kawasan ASEAN. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai sumber referensi dan kerangka berfikir bagi penelitian selanjutnya dengan mempertimbangkan kesesuaian konteks penelitian 1.3 Landasan Konsep 1.3.1 Konsep Human Security Konsep Human Security pertama kali di perkenalkan pada tahun 1994 oleh United Nations Development Programme (UNDP), dengan mengeluarkan Human Development Report. Dalam laporan tersebut terdapat tujuh kategori yang termasuk dalam konsep Human Security, antara lain : a. Economic Security (keamanan ekonomi) b. Food Security (keamanan pangan) c. Health Security (keamanan kesehatan) d. Environmental Security (keamanan lingkungan) e. Personal Security (keamanan personal)

f. Community Security (keamanan komunitas) g. Political Security (keamanan politik) Human Security memiliki dua komponen penting yaitu : Freedom from fear and freedom from want. Dimana konsep human security ini mengandung sektor-sektor sosial, psikologi, politik, dan ekonomi yang mendukung dan menjaga keamanan serta kesejahteraan manusia. Konsep ini tidak melihat bagaimana menjaga keamanan manusia pada waktu tertentu saja tetapi juga bagaimana mempertahankan kondisi keamanan tersebut setiap waktu agar hidup manusia tidak terancam atau terlanggar hak-haknya. 1.4 Metodologi Penelitian 1.4.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Eksplanatif. Metode penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa satu fakta atau kondisi tersebut terjadi dan bagaimana hubungannya dengan fenomena lainnya. Peneliti melakukan pengamatan terhadap hubungan variabel yang sudah tercantum dalam penelitian, serta menguji hipotesa. Jadi dalam hal ini peneliti ingin mengamati atau meneliti tentang ancaman human trafficking di Laos, dimana hal ini dapat mempengaruhi human security di wilayahwilayah Asia Tenggara.

1.4.2 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan yang digunakan sebagai landasan teori/konsep bagi peneliti dalam berpendapat dan menganalisis suatu permasalahan. Studi pustaka ini diperoleh dari skripsi, dari teori-teori maupun opini para ahli yang bersumber dari buku maupun internet. Secara berurutan, teknik pengumpulan data diawali dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin. Setelah dikumpulkan, data diseleksi dan di kelompokan kedalam beberapa bab pembahasan yang disesuaikan dengan sistematika penulisan

1.4.3 Teknik Analisa Data Dalam menganalisa penelitian ini, penulis menggunakan tiga tahap, yakni : 1. Pemeriksaan. Berfungsi untuk melihat apakah data yang di kumpulkan sudah fallid, (benar atu bahkan salah).

2.

Pengolahan. Pada tahapan ini peneliti mengolah data untuk dipilah-pilah mana yang cocok dan sesuai dengan kategori yang di butuhkan oleh masing masing sub bab penelitian.

3.

Analisa data dan interpretatif. Tahapan akhir ini menjadikan data yang mentah dan yang sudah di olah tadi untuk kemudian dianalisa dan di interpretasikan oleh peneliti.

1.4.4 Sumber Data Pada penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder. Yaitu data yang di dapat dari sumber lain yang masih berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Data sekunder cenderung siap pakai yang artinya siap diolah dan di analisis oleh peneiti. Adapun kemudian data-data tersebut didapat dari berbagai literatur seperti buku-buku dan jurnal di perpustakaan maupun laboratorium Hubungan Internasional, kliping berbagai koran maupun majalah, serta data-data yang dapat dipertanggungjawabkan dari internet atau bahan-bahan pustaka yang dapat dijadikan acuan dalam menjawab rumusan masalah diatas.

PEMBAHASAN

2.1 Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Protokol Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya pada wanita dan anak-anak (salah satu dari tiga Protokol Palermo), mendefinisikan perdagangan manusia sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksanaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan exploitasi. Exploitasi termasuk, paling tidak exploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk bentuk lain dari exploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh. Banyak Negara keliru dalam memahami definisi ini dengan melupakan perdagangan manusia dalam Negara atau menggolongkan migrasi tidak tetap sebagai perdagangan. TVPA menyebutkan bentuk-bentuk perdagangan berat didefinisikan sebagai: a. Perdagangan seks dimana tindakan seks komersial diberlakukan secara paksa, dengan cara penipuan, atau kebohongan, atau dimana seseorang diminta secara paksa melakukan suatu tindakan demikian belum mencapai usia 18 tahun, atau b. Merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkan seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan, atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, peonasi, penjeratan hutang atau perbudakan. Dalam definisi-definisi ini, para korban tidak harus secara fisik diangkut dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Definisi ini juga secara jelas berlaku pada tindakan merekrut, menampung, menyediakan, atau mendapatkan seseorang untuk maksud-maksud tertentu. Perdagangan manusia berbeda dengan penyelundupan. Pada penyelundupan, orang-orang yang diselundupkan umumnya meminta bayaran dari para penyelundup, sedangkan dalam kasus perdagangan manusia, umumnya terjadi penipuan sehingga korban tidak mendapatkan timbale balik apapun. Dalam penyelundupan, orang-orang yang diselundupkan tidak diberi kewajiban apapun, dalam arti mereka datang ketempat tujuan secara cuma-cuma. Sedangkan para korban trafficking mengalami perbudakan yang merugikan saat mereka sampai di tempat tujuan. Umumnya para korban Trafficking adalah orang-orang yang mudah terbujuk oleh

janji-janji palsu sang traffickers. Beberapa Traffickers menggunakan taktik-taktik manipulatip untuk menipu korbannya diantaranya dengan intimidasi, rayuan, pengasingan, ancaman, penyulikan dan penggunaan obat-obatan terlarang. Orang-orang yang dijual umumnya berasal dari daerah miskin dimana peluang untuk mendapatkan penghasilan amat terbatas. Bisa juga mereka berasal dari korban pengungsian atau orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Kebanyakan dari mereka masuk ke negara lain dibawa oleh traffickers melalui perbatasan. Karena kontrol yang kurang diperbatasan inilah, mereka bisa dengan leluasa lolos dan masuk ke Negara tersebut. Sedangkan perdagangan anak umumnya dilakukan oleh orang tua yang benar-benar miskin. Alasan mereka menjual anaknya adalah untuk membayar hutang atau untuk mendapatkan uang. Ada juga yang menjual anaknya karena belum siap untuk mengurus anak tersebut sehingga mereka dijual dengan harapan bisa memperoleh masa depan yang lebih baik.

2.2 Korban-korban Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Sebagian besar korban perdagangan manusia adalah wanita. Mereka dijual untuk menjadi pekerja seks komersial. Para Traffickers umumnya menjanjikan para wanita tersebut peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus, atau kesempatan untuk belajar di luar negeri. Kemudian, mereka akan memaksa korbannya untuk menjadi pekerja seks atau terjun ke dunia pornografi. Melalui agen perjalanan, mereka akan dikirim ke tempat tujuan. Kemudian sesampainya disana, para korban tersebut baru akan menyadari bahwa mereka telah ditipu dimana pekerjaan yang akan mereka lakukan dan gaji yang mereka dapatkan umumnya tidak sama dengan apa yang dijanjikan sebelumnya. Mereka juga akan ditempatkan pada situasi dimana tidak ada peluang untuk melarikan diri. Umumnya, para wanita menerima ajakan para Traffickers dengan tujuan untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Mereke diiming-imingi pekerjaan layak atau pendidikan gratis. Tipe pekerjaan yang ditawarkan umumnya adalah pekerjaan di catering dan hotel, di bar dan club, kontrak sebagai model, dan pekerjaan paruh waktu. Traffickers biasanya membujuk dengan janji akan menikahi korban, atau memaksa dan menculik korban. Dan pada akhirnya korban-korban tersebut akan diterjunkan pada bisnis prostitusi. Perdagangan manusia juga terjadi pada pria. Pria yang berpendidikan rendah umumnya dijadikan korban untuk menjadi pekerja kasar dengan upah yang sangat rendah. Sebagian dari mereka juga ada yang dijadikan korban perkawinan paksa atau pekerja seks. Departemen Negara Amerika Serikat menduga ada sekitar 600.000-820.000 pria, wanita dan anak-anak yang dijual ke negara-negara didunia setiap tahunnya. Dan 80% diantara jumlah

tersebut adalah wanita. Data tersebut juga menyebutkan bahwa kebanyakan dari para korban perdagangan manusia dijual untuk eksploitasi seks komersial. Para korban perdagangan manusia mengalami banyak hal yang mengerikan, baik luka fisik dan psikologis, termasuk penyakit dan pertumbuhan yang terhambat, seringkali meninggalkan pengaruh permanen yang mengasingkan para korban tersebut dari keluarga dan masyarakat mereka. Para korban perdagangan manusia seringkali kehilangan kesempatan penting mereka untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Dalam banyak kasus eksploitasi pada korban perdagangan manusia terus meningkat: seorang anak yang diperjual belikan dari satu kerja paksa dapat terus diperlakukan dengan kejam di tempat lain. Para korban dipaksa dalam perbudakan seks seringkali dibius dengan obat-obatan dan menderita kekerasan yang luar biasa. Selain itu, korban biasanya diperdagangkan di lokasi yang bahasanya tidak mereka pahami, yang menambah cedera psikologis akibat isolasi dan dominasi. Perdagangan merenggut anak secara paksa dari orang tua dan keluarga mereka, menghalangi pengasuhan dan perkembangan moral mereka. Perdagangan mengganggu jalan pengetahuan dan nilai-nilai budaya dari orang tua kepada anaknya dan dari generasi ke generasi, yang membangun pilar utama masyarakat. Keuntungan dari perdagangan seringkali membuatnya mengakar di masyarakat-masyarakat tertentu, yang kemudian dieksploitasi secara berulang-ulang sebagai sumber yang siap menjadi korban. Hilangnya pendidikan mengurangi kesempatan ekonomis masa depan para korban dan meningkatkan kerentanan mereka untuk diperdagangkan di masa mendatang. Para korban yang kembali kepada komunitas mereka seringkali menemui diri mereka ternoda dan terbuang/terasing, dan membutuhkan pelayanan sosial secara terus menerus. Mereka juga berkemungkinan besar menjadi terlibat dalam tindak kejahatan serta menunjukkan perilaku yang kejam. Pria, wanita dan anak-anak Laos diperdagangkan untuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja di Thailand. Banyak diantara korban tersebut berasal dari daerah dataran rendah Laos. Pria Laos umumnya diperdagangkan untuk bekerja di Industri atau perikanan, sedangkan perempuan Laos umumnya diperdagangkan untuk dipaksa menikah dengan Pria China. Walaupun tidak ada perkiraan angka yang pasti mengenai jumlah korban perdagangan manusia yang berasal dari Laos. Pemerintah Thailand mencatat sedikitnya ada 180000 imigran gelap dari Laos yang bekerja di Thailand. World Vision Laos melaporkan 44% orang tua di Laos tidak mengetahui dimana keberadaan anaknya.

2.3 Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Human Trafficking di Laos 2.3.1 Faktor Letak Geografis Laos Republik Demokratik Rakyat Laos adalah negara yang terkurung daratan di Asia Tenggara, berbatasan dengan Myanmar dan Republik Rakyat Cina di sebelah barat laut, Vietnam di timur, Kamboja di selatan, dan Thailand di sebelah barat. Dari abad ke-14 hingga abad ke-18 Hal inilah yang membuat negara Laos menjadi sumber, tempat transit serta tujuan dalam perdagangan manusia. Laos merupakan negara transit dari korban-korban perdagangan manusia dari Burma dan Vietnam yang menuju ke Thailand. Laos juga menjadi negara tujuan bagi wanita China dan Vietnam yang menjadi pekerja seks komersial. Di Laos, pelayanan seks komersial terjadi di club malam dan warung bir kecil. Banyak korban dari Laos yang direkrut oleh orang lokal yang memiliki pengalaman untuk mengirimkan pekerja ke luar negeri tetapi tidak bekerja sama dengan sindikat kriminal tertentu. 2.3.2 Faktor Ekonomi dan kemiskinan Sebagian besar dari wilayah Laos kekurangan infrastruktur yang memadai. Laos masih belum memiliki jaringan rel kereta api, meskipun adanya rencana membangun rel yang menghubungkan Vientiane dengan Thailand yang dikenal dengan Jembatan Persahabatan Thailand-Laos. Jalan-jalan besar yang meghubungkan pusat-pusat perkotaan, disebut Rute 13, telah diperbaiki secara besar-besaran beberapa tahun terakhir, namun desa-desa yang jauh dari jalan-jalan besar hanya dapat diakses melalui jalan tanah yang mungkin tidak dapat dilalui sepanjang tahun. Listrik tidak tersedia di banyak daerah pedesaan atau hanya selama kurun waktu tertentu. Ekonomi Laos menerima bantuan dari IMF dan sumber internasional lain serta dari investasi asing baru dalam bidang pemrosesan makanan dan pertambangan, khususnya tembaga dan emas. Pertumbuhan ekonomi Laos terhambat oleh minimnya sumber daya manusia di negara berpenduduk sekitar 6 juta itu. Kalangan berpendidikan banyak yang memilih pindah ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan dengan standar gaji tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2005, sebanyak 37 persen penduduk Laos yang mengenyam pendidikan tinggi tinggal di luar negeri. Penyebab terjadinya perdagangan manusia di Laos juga terjadi karena perbedaan pendapatan perkapita yang mendorong warga Laos untuk bermigrasi ke Thailand. Lembaga ILO yang didukung oleh Pemerintah Laos mencatat sekitar 7% keluarga memiliki sanak saudara yang bekerja di Thailand. Kemiskinan

dan keinginan mendapatkan penghidupan yang layak diduga menjadi penyebab utama maraknya perdagangan manusia di Laos. Penyediaan korban perdagangan manusia didorong oleh banyak faktor termasuk kemiskinan, daya tarik standar hidup di tempat lain yang dirasakan lebih tinggi, lemahnya strukur sosial dan ekonomi, kurangnya kesempatan bekerja, kejahatan yang terorganisir, kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, diskriminasi terhadap wanita, korupsi pemerintah, ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan tradisi-tradisi budaya seperti perbudakan tradisional. Para keluarga miskin berupaya menambah penghasilan mereka selain mengikutkan istri ke dalam pekerjaan, anak pun di manfaatkan meskipun mereka belum cukup umur. Apalagi mereka di iming-imingi gaji yang lumayan tinggi karena terbelit dengan keluarga yang miskin, maka mereka pun bersedia dengan harapan dapat menghidupi keluarganya. Ketertinggalan ekonomi merupakan faktor utama yang menjadi faktor penyebab terjadinya Human Trafficking di Laos. Ketertinggalan ekonomi Laos juga tampak dari kondisi Vientiane yang menjadi jantung kota utama di Laos. Dibandingkan dengan Jakarta, kondisinya jauh berbeda. Tidak ada gedung hingga bertingkat delapan. Tidak ada infrastruktur kereta api. Tidak ada jalan tol, apalagi jalan layang. Jika dibandingkan, kondisinya hampir sama dengan ibu kota provinsi di Indonesia, seperti Yogyakarta dan Semarang. Dibandingkan dengan negara-negara di sekelilingnya, perekonomian Laos memang tertinggal. Pendapatan per kapitanya tercatat 986 dollar AS per tahun. Pendapatan per kapita Thailand tercatat 4.700 dollar AS, Kamboja 700 dollar AS, sedangkan Singapura mencatat pendapatan per kapita tertinggi sebesar 37.000 dollar AS. Menurut Duta Besar Indonesia untuk Laos Kria Fahmi Pasaribu, selama dua tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Laos mencapai 8 persen. Itu merupakan pertumbuhan tertinggi sepanjang sejarah Laos. Salah satu pemicunya adalah masuknya sejumlah perusahaan swasta untuk berinvestasi. Sayangnya, pertumbuhan itu masih terkonsentrasi di wilayah selatan atau di sekitar Vientiane. 2.3.3 Faktor Pendidikan Tingkat pendidikan yang rendah, dan ketiadaan kemampuan atau keterampilan hidup adalah salah faktor yang mempengaruhi korban untuk terjerat dalam lingkaran kejahatan perdagangan manusia di Laos. Pada beberapa kasus, para pelaku human trafficking bertindak seolah-olah sebagai agen penyalur tenaga kerja yang akan menyalurkan para tenaga kerja

pada perusahaan tertentu di luar neger. Pendidikan sekitar 15% wanita dewasa buta huruf dan separuh anak remaja putus sekolah. 2.3.4 Faktor Budaya Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya trafiking, antara lain: (a) Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka. Kondisi sosial keluarga dan masyarakat yang sebagian besar masih patriarkhis, di mana posisi masih belum setara dengan laki-laki baik di dalam suatu keluarga maupun diberbagai kehidupan. (b) Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga. Selain itu pemahaman anak juga masih rendah, di mana anak oleh sebagian keluarga masih di anggap milik orang tua, dan orang tua memandang anak perempuan sebagai aset yang akan mendatangkan keuntungan yang besar. (c) Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anakanak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka. Perkawinan usia muda 30% perempuaan menikah sebelum usia 16 tahun menurut data SUPAS tahun 1995, perkawainan usia dini berresiko terjadinya perceraian pada usia perkawinan 10-14 tahun 3 lebih banyak.

2.3.5 Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk

menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking. Adapun lemahnya kontrol Negara dalam penegakkan hukum mengakibatkan meningkatnya kegiatan trafficking tersebut. Adanya oknum aparat yang bersedia memberikan kemudahan pengurusan paspor dan paspor lintas Negara melalui praktik percaloan, sehingga penguasaan dan validitas data pemegang paspor tidak dapat dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan manusia tersebut untuk memngirimkan korban perdagangan manusia di bawah umur ke luar negeri. Kontrol yang kurang terhadap hal tersebut inilah yang membuat mereka bisa dengan leluasa lolos dan masuk ke Negara tersebut. 2.4 Perkembangan Human Trafficking di Laos Pria, wanita dan anak-anak Laos diperdagangkan untuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja di Thailand. banyak diantara korban tersebut berasal dari daerah dataran rendah Laos. Pria Laos umumnya diperdagangkan untuk bekerja di Industri atau perikanan. Sedangkan perempuan Laos umumnya diperdagangkan untuk dipaksa menikah dengan Pria China. walaupun tidak ada perkiraan angka yang pasti mengenai jumlah korban perdagangan manusia yang berasal dari Laos, Pemerintah Thailand mencatat sedikitnya ada 180000 imigran gelap dari Laos yang bekerja di Thailand. World Vision Laos melaporkan 44% orang tua di Laos tidak mengetahui dimana keberadaan anaknya. Laos merupakan negara transit dari korban-korban perdagangan manusia dari Burma dan Vietnam yang menuju ke Thailand. Laos juga menjadi negara tujuan bagi wanita China dan Vietnam yang menjadi pekerja seks komersial. Di Laos, pelayanan seks komersial terjadi di club malam dan warung bir kecil. Ada banyak penyebab terjadinya perdagangan manusia di Laos. Salah satunya adalah perbedaan pendapatan perkapita yang mendorong warga Laos untuk bermigrasi ke Thailand. Lembaga ILO yang didukung oleh

Pemerintah Laos mencatat sekitar 7% keluarga memiliki sanak saudara yang bekerja di Thailand. Kemiskinan dan keinginan mendapatkan penghidupan yang layak diduga menjadi penyebab utama maraknya perdagangan manusia di Laos. Laos juga menjadi surganya penyelundup karena mudahnya dalam akses antar batas Negara, seperti pada area perbatasan Birma, Kamboja, Laos, dan Malaysia. Hal inilah yang menyebabkan mudahnya terjadi penyelundupan manusia maupun barang juga narkoba di Laos. Maka dari itu, pemerintah Laos pun bertindak dalam meningkatkan upaya-upaya untuk mencegah ataupun mengurangi perdagangan manusia (human trafficking) dengan bekerjasama dengan organisasi-organisasi Internasional dan masyarakat sipil, misalnya seperti MLSW bekerjasama dengan UNICEF untuk menyiapkan peningkatan kesadaran billboard dan keamanan di dekat pos pemeriksaan perbatasan dan kota-kota besar. Pemerintah Laos menunjukkan beberapa upaya untuk mengurangi permintaan untuk tindakan seks komersial melalui razia berkala klub malam dan disko yang digunakan sebagai front untuk seks komersial. Pada bulan Oktober dan November 2007, polisi menutup bar dan tempat hiburan yang digunakan untuk kegiatan seksual komersial di Luang Prabang. Usahausaha pencegahan pun turut dilakukan pemerintah Laos walau masih terbatas. Pencegahan yang dilakukan diantaranya juga dengan mempublikasikan bahaya perdagangan manusia, mengadakan seminar-seminar, dan melakukan sosialisasi baik melalui media cetak maupun elektronik. Pemerintah juga mengadakan workshop untuk menyadarkam masyarakat akan bahaya menjadi pekerja seks komersial. Selain itu, pemerintah Laos juga berusaha mengurangi pariwisata seks. Kenaikan umum di bidang pariwisata di Laos dan peningkatan kemungkinan bersamaan dalam pariwisata seks anak di wilayah ini telah menarik perhatian pihak berwenang Laos yang berusaha untuk mencegah pariwisata seks anak dari mengambil akar. Vientiane Provinsi membentuk gugus tugas pada pariwisata seks anak pada bulan Desember 2007 untuk mengkoordinasikan upayaupaya antara pemerintah dan sektor pariwisata. Pemerintah dan LSM host beberapa seminar untuk melatih karyawan sektor pariwisata, termasuk sopir taksi, tentang cara melaporkan perilaku yang mencurigakan. Pariwisata polisi menerima pelatihan tentang pedoman disusun pada bulan Juli 2007 yang bertujuan untuk memerangi pariwisata seks dan mengidentifikasi calon korban. Banyak hotel internasional besar di poster Vientiane dan Luang Prabang ditampilkan secara jelas diciptakan oleh peringatan LSM internasional tentang pariwisata seks anak. Perlindungan terhadap korban dilakukan dengan melakukan deportasi ke negara asal bagi korban-korban yang mengalami eksploitasi seksual.

2.5 Dampak Human Trafficking Laos di kawasan Asia Tenggara Trafficking manusia dari daratan Asia Tenggara pada periode modern dimulai sejak 1960-an berkaitan dengan kehadiran tentara Amerika Serikat di Indocina. Setelah tentara Amerika Serikat keluar dari Indocina pada 1975, banyak perempuan yang tetap berada pada perdagangan seks di Thailand; yang lainnya mulai bekerja di luar negeri, khususnya Jerman, Skandinavia, Hong Kong, dan Jepang. Agen-agen memfasilitasi migrasi dan lapangan pekerjaan perempuan tersebut melalui jaringan antarbangsa trafficking manusia. Masalah kuncinya adalah ketidakmampuan perempuan migran mengantisipasi dan mengendalikan kondisi tenaga mereka. Bukti riset mutakhir mengenai trafficking manusia dan migrasi tidak teratur di Asia Tenggara menggambarkan beberapa pergeseran. Pergeseran ini bisa dilihat perekrut, penyedia jasa transpor, proses traffikcking, dan jenis eksploitasi di tempat tujuan. Perekrutan: Jika perekrutnya cukup dikenal seperti saudara dan teman dekat tidak akan berakhir dengan trafficking manusia. Penggunaan kekuatan, penculikan, pengambilan paksa, dan paksaan sudah sangat berkurang. Dalam banyak kasus, pihak yang hendak melakukan trafficking mendekati perekrut untuk mencari keterangan mengenai migrasi. Pemakaian keterangan palsu mengenai pekerjaan dan kondisi kerja menjadi lebih sering diidentifikasi. 2.5.1 Di Thailand Thailand adalah negara sumber, transit, dan tujuan dalam perdagangan pria, wanita dan anak-anak untuk tujuan eksploitasi seksual dan pekerja paksa. Per empuan Thailand diperdagangkan ke Australia, Bahrain, Jepang, Malaysia, Singapura, Afrika Selatan, Taiwan, Eropa dan Amerika Utara untuk menjadi pekerja seks komersial. sejumlah Pria, wanita dan anakanak dari negara Burma, Laos, Kamboja, dan RRC menjadi imigran yang bekerja di Thailand. Perbedaan ekonomi regional menjadi pendorong banyaknya imigran illegal di Thailand yang juga memberikan kesempatan pada para traffickers untuk mendapatkan lebih banyak korban untuk dijadikan pekerja seks komersial dan pekerja paksa. Perdagangan manusia didalam negeri juga terjadi di Thailand terutama di Thailand Utara. Pariwisata seks yang tersebar di Thailand telah menyebabkan peningkatan perdagangan manusia dengan tujuan eksploitasi seks komersial. Beberapa pihak seperti PBB, NGO dan pemerintah memperkirakan ada sekitar 200000- 300000 pekerja di industri seks yang berusia dibawah umur atau menjadi korban

paksaan. Wanita dan anak perempuan diduga berjumlah paling banyak. Perempuanperempuan muda dari Laos diduga bekerja tanpa memperoleh gaji yang layak dan mengalami siksaan secara fisik di Thailand. Didalam negeri, Perempuan diperdagangkan dari timur laut dan utara menuju Bangkok untuk menjadi pekerja seks komersial. bagaimanapun, perdagangan dalam negeri saat ini mengalami penurunan yang disebabkan oleh program pencegahan dan pembinaan peningkatan ekonomi. perempuan Thailand juga diperdagangkan ke Jepang, Malaysia, Bahrain, Australia, Afrika Selatan, Eropa, dan Amerika Serikat bukan hanya untuk menjadi pekerja seks tetapi juga untuk menjadi buruh kasar. Pria Thailand diperdagangkan untuk bekerja di Perikanan dan Perkebunan komersial, industri, dan pekerja bangunan.

2.5.2 Di Malaysia Malaysia merupakan negara tujuan dan sumber dalam perdagangan manusia. Para Traffickers Malaysia diduga memiliki sindikat kriminal. sebagian kecil wanita dan anak-anak Malaysia diperdagangkan untuk eksploitasi seksual ke negara Singapura, Macau, hongkong, Taiwan, Jepang, australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Kementrian Luar Negeri Malaysia mencatat setidaknya ada 100 perempuan Malaysia yang diperdagangkan ke luar negeri selama tahun 2006 dan setiap tahun jumlahnya selalu mengalami peningkatan. Malaysia juga menjadi negara tujuan dari para korban perdagangan manusia baik lakilaki dan perempuan yang berasal dari Indonesia, Thailand, Filipina, Kamboja, Vietnam, Burma, RRC, India, Nepal, Bangladesh, dan Pakistan. Mereka datang ke Malaysia untuk bekerja disektor industri, konstruksi dan agrikultur. tetapi ada juga diantara mereka yang menjadi pekerja seks komersial. NGO Malaysia yang bernama Tenaganita melaporkan bahwa 65% korban perdagangan manusia di Malaysia dipekerjakan menjadi tenaga kerja paksa.

2.5.3 Di Singapura Singapura merupakan salah satu negara tujuan dari sejumlah wanita dan remaja yang diperdagangkan dengan tujuan eksploitasi seksual. Beberapa wanita dari RRC, Indonesia,

Thailand, Malaysia, Filipina dan Vietnam yang menjadi imigran di Singapura untuk bekerja disektor pariwisata seksual dan sektor formal. Pemerintah Singapura Melegalkan prostitusi dikawasan "traditional redlight districts" dan tidak menghukum pelaku prostitusi yang sudah dewasa atau berusia diatas 16 tahun. Dikawasan tersebut, para pekerja seks kebanyakan berasal dari luar negeri seperti Thailand, filipina, Malaysia, China, Indonesia, Vietnam, India dan Srilangka. Hampir semua pekerja seks komersial asing tersebut mengetahui pekerjaan apa yang akan mereka jalani sebelum pergi ke Singapura. Walaupun prostitusi tidak dilarang di singapura, namun mucikari (orang yang bertindak sebagai penyalur pekerja seks komersial) merupakan pekerjaan yang illegal. polisi seringkali menangkap para mucikari terutama mereka yang beroperasi diluar "traditional redlight districts". Para pekerja seks komersial akan dideportasi segera jika diketahui sedang hamil atau mengidap HIV.

2.5.4 Di Kamboja Kamboja merupakan negara sumber, transit dan tujuan dari perdagangan manusia. Para Traffickers berasal dari sindikat kriminal, orang tua, kerabat, teman, pasangan dan tetangga. Pria, wanita dan anak-anak Kamboja diperdagangkan untuk menjadi pekerja seks dan buruh di Thailand, Malaysia, Macao, dan Taiwan. Pria Kamboja diperdagangkan untuk bekerja di perkebunan, perikanan dan industri konstruksi. perempuan dipkerjakan sebagai pekerja seks komersial dan buruh kasar di pabrik atau pembantu rumah tangga. Anak-anak dipekerjakan sebagai pengemis atau penjual bunga dipinggir jalan. departemen sosial Thailand mencatat bahwa 76% orang yang pulang dari Thailand memiliki tanah, 93% mempunyai tanah dan rumah yang bebas dari cicilan, dan 47% merupakan korban yang dijual oleh ibunya sendiri. Kamboja sendiri merupakan daerah transit perdagangan manusia dari Vietnam ke Thailand. Kamboja merupakan negara tujuan dari perdagangan anak dan wanita dari Vietnam dan China. tujuan dari korban perdagangan tersebut adalah Phnom Penh, Siem Reap, dan Sihanouk Ville. laporan tahun 2005 menyebutkan ada 2000 korban dikamboja yang dijadikan

2.6 Upaya pemerintahan Laos terhadap terjadinya Human Trafficking di Laos Laos merupakan negara urutan kedua dalam U.S. Department of States Trafficking in Persons Report tahun 2007 sebagai negara yang belum sepenuhnya serius dalam memerangi perdagangan manusia tetapi telah melakukan usaha yang signifikan, antara lain :

2.6.1 Prosecution (Penuntutan) Pemerintah Laos menunjukan kemajuannya dalam anti-trafficking yaitu upaya penegakan hukum dan kemauan untuk berkerjasama dengan negara-negara lain serta LSM dan organisasi Internasional. Laos melarang segala bentuk perdagangan melalui Pasal Kode, Penal 134 yang mengatur hukuman yang cukup berat dan sebanding dengan yang telah ditetapkan untuk kasus perkosaan. Pada tahun 2007, Kementerian Keamanan Publik Pasal 134 untuk menyelidiki 38 kasus perdagangan mengakibatkan 23 penangkapan 8 penuntutan yang sedang berlangsung. Sebuah tambahan 20 kasus yang saat ini sedang di selidiki. Polusi korupsi, sektor peradilan yang lemah dan kurangnya tentang pemahaman sistem pengadilan yang menghambat upaya penegakkan hukum anti-trafficking. Melalui bantuan hukum, Lao Bar Association di bantu korban dengan mendidik masyarakat luas pada sistem hukum dan dengan memberikan nasihat hukum kepada para korban pelanggaran HAM, termasuk perdagangan manusia. Korupsi tetap menjadi masalah dengan pejabat pemerintah yang rentan terhadap keterlibatan atau kolusi dalam perdagangan manusia, narkotika, satwa liar, dan pembalakan liar. Tidak ada pejabat pemerintah atau penegak hukum yang telah ditertibkan atau dihukum karena terlibat dalam perdagangan manusia. Oleh karena itu, pemerintah Laos bekerjasama dengan organisasi-organisasi Internasional dan masyarakat sipil untuk meningkatkan kapasitas penegakan hukum melalui pelatihan bagi polisi, penyidik jaksa, dan pejabat bec cukai dan perbatasan. 2.6.2 Protection (Perlindungan) Pemerintah Laos menunjukan kemajuan dalam meningkatkan perlindungan bagi korban perdagangan sepanjang tahun. Departemen Kesejateraan Tenaga Kerja dan Sosial (MLSW) dan Departemen Imigrasi bekerjasama dengan IOM, UNIAP, dan LSM lokal untuk memberikan bantuan bagi korban. MLSW terus mengoperasikan pusat transit kecil di Vientiane. 280 korban resmi di idetifikasi perdagangan lintas batas dipulangkan ke Laos dari Thailand dan tambahan 21 dipulangkan pada tahun 2008. Sekitar 100 korban saat ini berada dipusat rehabilitasi di Thailand. Pemerintahan Laos memberikan pelayanan media, konseling, pelatihan kejuruan, dan layanan ketenagakerjaan untuk korban di penampungan transit di Vientine dan di tempat penampungan Uni perempuan Laos. Pemerintah secara aktif

mendorong korban untuk bepartisipasi dalam penyelidikan dan penuntutan pelaku perdagangan. Pada Januari 2007, pemerintah Laos berhenti memerlukan izin keluar bagi warga untuk bepergian ke luar negeri yang menghilangkan potensi untuk menghukum imigran ilegal dan korban perdagangan manusia melalui denda, setelah mereka keembali. Pemerintah tunduk terhadap denda dna penghapusan dasar hukum bagi denda mereka, hukuman mengurangi keuangan secara efektif dihadapi oleh korban. Pemerintah menyediakan lahan untuk sebuah LSM untuk penampungan baru dan pusat transit bagi korban trafficking di Savannakhet pad atahun 2007 dan terus menyediakan ruang jabtor dan staf untuk membantu program-program IOM. 2.6.3 Prevention (Pencegahan) Pemerintah Laos meningkatkan upaya-upaya untuk mencegah ataupun mengurangi perdagangan manusia (human trafficking) dengan bekerjasama dengan organisasi-organisasi Internasional dan masyarakat sipil, misalnya seperti MLSW bekerjasama dengan UNICEF untuk menyiapkan peningkatan kesadaran billboard dan keamanan di dekat pos pemeriksaan perbatasan dan kota-kota besar. Pemerintah Laos menunjukkan beberapa upaya untuk mengurangi permintaan untuk tindakan seks komersial melalui razia berkala klub malam dan disko yang digunakan sebagai front untuk seks komersial. Pada bulan Oktober dan November 2007, polisi menutup bar dan tempat hiburan yang digunakan untuk kegiatan seksual komersial di Luang Prabang. Usaha-usaha pencegahan pun turut dilakukan pemerintah Laos walau masih terbatas. Pencegahan yang dilakukan diantaranya juga dengan mempublikasikan bahaya perdagangan manusia, mengadakan seminar-seminar, dan melakukan sosialisasi baik melalui media cetak maupun elektronik. Pemerintah juga mengadakan workshop untuk menyadarkam masyarakat akan bahaya menjadi pekerja seks komersial. Selain itu, pemerintah Laos juga berusaha mengurangi pariwisata seks. Kenaikan umum di bidang pariwisata di Laos dan peningkatan kemungkinan bersamaan dalam pariwisata seks anak di wilayah ini telah menarik perhatian pihak berwenang Laos yang berusaha untuk mencegah pariwisata seks anak dari mengambil akar. Vientiane Provinsi membentuk gugus tugas pada pariwisata seks anak pada bulan Desember 2007 untuk mengkoordinasikan upayaupaya antara pemerintah dan sektor pariwisata. Pemerintah dan LSM host beberapa seminar untuk melatih karyawan sektor pariwisata, termasuk sopir taksi, tentang cara melaporkan perilaku yang mencurigakan. Pariwisata polisi menerima pelatihan tentang pedoman disusun

pada bulan Juli 2007 yang bertujuan untuk memerangi pariwisata seks dan mengidentifikasi calon korban. Banyak hotel internasional besar di poster Vientiane dan Luang Prabang ditampilkan secara jelas diciptakan oleh peringatan LSM internasional tentang pariwisata seks anak. Perlindungan terhadap korban dilakukan dengan melakukan deportasi ke negara asal bagi korban-korban yang mengalami eksploitasi seksual. Kerja Sama antara Negara Transit dan Tujuan. Laos pun mulai berperan aktif dalam mekanisme kerjasama keamanan perbatasan dan regional. Hal ini mengingat letak geografis strategis menempatkan Laos sebagai jalur lintas trans national crimes terutama penyelundupan narkoba dan perdagangan manusia. Komisi bersama Thailand-Laos bertemu untuk membahas langkah menjaga perdamaian dan ketertiban di sepanjang perbatasan. Wakil Gubernur Nan, Kamon Wittaya dan Kol Boonyung Jundalasarn, Wakil Kepala Kabupaten Chaiyaburi, Laos, membahas langkah keamanan di sepanjang perbatasan Thailand-Laos antara Nan dan Chaiyaburi pada pertemuan ke delapan Komisi Bersama itu. Kedua negara akan berkoordinasi mencegah penyelundupan barang ilegal, senjata, perdagangan manusia, dan kejahatan lain yang mengancam keamanan bagi kedua negara tetangga. Jika terjadi masalah, pihak-pihak menegaskan mereka akan bersamasama menyelesaikan masalah mereka di bawah hukum nasional dan internasional, selain perjanjian bilateral. 2.7 Peran ASEAN terhadap perkembangan Human Trafficking di Laos Dengan maraknya kegiatan perjual belian manusia di Laos, dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya yang rata-rata dilarikan ke Negara-negara seperti Thailand, China dan Malaysia sebagai pekerja illegal atau pun pekerja sex bagi kaum wanita. Hal ini menjadi mimpi buruk bagi warga Negara di kawasan Asia Tenggara yang masuk dalam ASEAN. Para pemimpin Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) bertekad meningkatkan langkah mereka dalam perang melawan perdagangan manusia di kawasan tersebut. Tekad itu tertuang dalam draf pernyataan bersama yang diperkirakan dirilis pada KTT akhir pekan ini. Para pemimpin ASEAN menekankan pentingnya pendekatan komprehensif terhadap kejahatan transnasional (dalam draf kesepakatan ASEAN yang diperoleh AFP). Pemimpin menyadari pentingnya pendekatan regional yang komprehensif serta instrumen hukum akan membuat negara anggota ASEAN dapat membantu korban,

khususnya perempuan dan anak-anak. Perdagangan manusia, termasuk perempuan dan anakanak yang dipaksa menjadi pelacur atau bekerja dengan upah rendah, merupakan masalah besar di Asia Tenggara. Tapi pemerintah sering dianggap kurang dalam bertindak untuk memerangi penyelundupan manusia. Kondisi itu dapat berubah saat para pemimpin ASEAN berjanji menguatkan kerja sama regional dan internasional, juga memperbaiki kemampuan regional untuk menyelidiki sindikat penyelundupan manusia (dalam draf kesepakatan KTT ASEAN). Berbagai langkah akan dilaksanakan untuk memastikan korban yang terancam dan menyediakan bantuan medis serta bentuk lain yang dibutuhkan, termasuk repatriasi ke negara asal mereka. Para kepala negara dan pemerintahan di Asia Tenggara akan memberi tugas kepada para pejabat di negara masing-masing untuk mempercepat pembentukan konvensi ASEAN untuk korban perdagangan manusia. Banyak korban, khususnya perempuan tertarik karena ada iming-iming mendapatkan pekerjaan sah di luar negeri. Tapi mereka berakhir sebagai pelacur di kawasan rawan. Menurut Euan Graham, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies, anak-anak Asia Tenggara juga diperdagangkan untuk bekerja di industri perikanan global. Warga Asia Tenggara, termasuk anak-anak, juga menjadi korban perdagangan manusia untuk menjadi pekerja paksa. Asia Tenggara merupakan lokasi utama perdagangan manusia untuk kerja paksa di industri perikanan. Thailand merupakan negara tujuan utama dan banyak korban berasal dari Myanmar, Kamboja, dan tentunya Laos. Para pemimpin ASEAN juga akan merujuk pada komitmen terhadap perdagangan manusia seperti dibuat dalam inisiatif Bali Process pada 2002.

KESIMPULAN Perdagangan manusia adalah kasus yang tidak dapat dihindari oleh setiap Negara. Kasus perdagangan manusia sangat sulit untuk dihilangkan melainkan hanya dapat diminimalisir agar tidak terus meningkat. Untuk meminimalisirnya pun diperlukan peran serta dari berbagai pihak terutama pemerintah. Jika pemerintah berperan aktif dalam memberantas perdagangan manusia serta bekerja sama dengan Negara ini, maka selamanya manusia tidak akan jadi komoditi legal yang bebas diperdagangkan. Seperti yang telah kita bahas diatas, terdapat berbagai factor yang menyebabkan terjadinya human trafficking di Laos. Dan salah satu factor utamanya adalah taraf perekonomian yang rendah dan juga pendidikan yang kurang memadai. Hal tersebutlah yang menyebabkan mudahnya para masyarakat terpancing dalam transaksi human trafficking dengan janji mendapat pekerjaan yang layak dan gaji yang besar, karena gaji pekerja di Laos sangatlah rendah. Perbandingannya dengan pekerjaan yang sama namun upah yang berbeda, seperti upah pekerja di Laos dan Thailand sangatlah berbeda. Hal inilah yang mempermudah para pelaku human trafficking untuk mendapatkan mangsa. Laos juga merupakan Negara dengan keamanan yang rendah, sehingga begitu mudah bagi penyelundup untuk melakukan transaksi antar Negara. Dan biasanya, Negara tujuan penyelundupan adalah Thailand, Malaysia dan Singapura yang pada dasarnya merupakan Negara yang mapan. Para korban human trafficking selain dijadikan pekerja paksa, atau illegal, korban tersebut juga dijadikan penyelundup obat terlarang, senjata, dan juga pekerja seks. Hal inilah yang menyebabkan tidak amannya area Asia Tenggara. Sedangkan peran pemerintah Laos perlulah sangat diperkuat dalam melindungi masyarakatnya dari kegiatan human trafficking yang bukan hanya meresahkan warga Laos, melainkan juga di wilayah Asia Tenggara. Karena dengan dibiarkan maraknya kegiatan human trafficking ini, maka hal ini akan meluas ke berbagai Negara dan menjadi hal yang wajar terjadi. Padahal kasus human trafficking ini berperan terhadap nyawa tiap individu sebagai korbannya dan juga berperan bagi keluarga dan bahkan bagi keamanan Negara. Pendidikan pun juga perlu ditingkatkan, agar masyarakat tidak mudah untuk diperdaya oleh pelaku human trafficking. Dan juga perlu adanya penyuluhan tentang human trafficking itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA WEBSITE http://www.Human-Trafficking.org http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/397077/ http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/08/22/m95uog-thailandlaoskerja-sama-keamanan-perbatasan D. Suganto, Bekerjanya Sindikat Perdagangan Anak dan Perempuan, dikutip dari http://www.kompas.com/kompas cetak/2510/80/nas05.htm http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2003/09/10/brk,20030910-15,id.html http://kampus.okezone.com/read/2012/10/12/373/703154/pendidikan-minim-jeratkorban-human-trafficking http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2186943-faktor-penyebabhuman-trafficking/ http://www.stoptrafficking.or.id/index.php/option=comconten&task=blogecategory7i d=0&itemid=53 http://www.Useinfo.state.gov/topical/global/Traffic/crs510.htm, Human Security: http://www.about-international-

relations.blogspot.com/2009/04/human-security-theory-teori-human.html Usaha Pemerintah Laos terhadap ancaman Human Trafficking di Laos:

http://en.wikipedia.org/wiki/humantraffickinginLaos

Вам также может понравиться