Вы находитесь на странице: 1из 4

Menyoal Mismatch Pendidikan dan Dunia Usaha Wandi Prawisnu Simanullang Mahasiswa MM-UGM

Kerja Pemerintahan SBY pada jilid yang ke-2 ini, sepertinya tantangan yang dihadapi akan semakin berat. Apalagi dengan terungkapnya fakta-fakta yang cukup mengejutkan, yaitu meningkatnya jumlah pengangguran tenaga terdidik. Menurut data yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia pada februari 2009 mencapai 9,2 juta. Dari jumlah tersebut, penganggur terdidik lulusan universitas berjumlah 626.200 orang. Sementara untuk lulusan diploma yang menganggur berjumlah 486. 400 orang (Solopos, 19 agustus 2009). Menarik untuk menyimak fakta-fakta di atas, begitu banyaknya orang-orang pintar atau terdidik dengan kualifikasi pendidikan tertentu dan harus duduk diam di rumah. Bila mengacu pada fakta-fakta di atas, tentunya akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan tertentu. Apa yang menjadi penyebab tingginya angka pengangguran terdidik tersebut? Bagaimana cara mengatasinya? Penyebab Tingginya Pengangguran Terdidik Bila mengacu pada Karsidi (2008), setidaknya terdapat empat hal yang menyebabkan angka pengangguran terdidik. Pertama, ketidakcocokan (mismatch) antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dengan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status atau masalah keahlian khusus. Kedua, semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman. Golongan ini menilai bahwa pekerjaan yang stabil dengan kadar resiko rendah (bekerja di perusahaan), lebih menguntungkan daripada harus membuka usaha sendiri yang beresiko tinggi. Hal ini diperkuat hasil studi Clignet, 1980 (dalam Assegaf, 2001) yang menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia antara lain disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Ketiga, terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal sementara angkatan kerja terdidik cenderung memasuki sektor formal yang kurang beresiko. Hal ini menimbulkan

tekanan penawaran di mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar, memberi tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil. Keempat, belum efisiennya fungsi pasar tenaga kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Hal ini tentu saja berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Mismatch Pendidikan: Perlu Sinergisitas Lembaga Pendidikan dan Dunia Usaha Pengangguran merupakan problematika sosial yang dihadapi oleh negara

berkembang, termasuk Indonesia. Dampak dari pengangguran sangatlah luas, pengangguran dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Karena tidak adanya pendapatan yang diterima, pengeluaran untuk membiayai kehidupan sehari-hari pun menjadi terganggu. Hal ini kemudian akan membuat masyarakat menjadi miskin atau semakin miskin. Selain itu, meningkatnya pengangguran sebagai akibat tidak terkelolanya ketenagakerjaan dengan baik dapat memberikan dampak serius, seperti meningkatnya kriminalitas yang selanjutnya dapat menganggu stabilitas negara. Seperti diungkapkan sebelumnya, salah satu penyebab tingginya angka pengangguran tenaga terdidik adalah mismatch pendidikan dengan kesempatan kerja yang tersedia. Hal ini mengindikasikan tidak terjadinya sinkronisasi antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan lembaga penyedia pekerjaan (industri dan dunia usaha) serta perkembangan lapangan pekerjaan. Sebab, lembaga penyelenggara pendidikan di Indonesia lebih terfokus pada lulusan yang berkualitas, namun kurang memperhatikan kebutuhan pasar tenaga kerja. Berangkat dari kondisi di atas, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mencari titik temu antara lembaga pendidikan dan dunia usaha. Untuk mencari titik temu antara lembaga pendidikan dan dunia usaha, maka diperlukan kerjasama dan sinergisitas antara keduanya. Lewat kerjasama yang dilakukan, lembaga pendidikan dan dunia usaha dapat bertukar informasi. Informasi yang berkaitan dengan kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan tenaga profesional dan lain-lain, dari informasi yang diperoleh tentunya lembaga pendidikan dapat melakukan analisis. Selain itu, kerjasama dapat dilakukan dengan cara-cara lainnya. Misalnya, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, hampir dapat dipastikan harus menerapkan CSR (Corporate Social Responsibility). Salah satu program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah, membiayai perguruan tinggi untuk melakukan riset yang berkaitan

dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Lewat hasil riset yang dilakukan, maka perguruan tinggi dapat melakukan analisis dan memetakan kebutuhan pasar terhadap tenaga kerja. Hasil riset tersebut, kemudian disinkronkan dengan pendidikan. Perguruan tinggi kemudian memasukkan hasil riset dan analisisnya ke dalam penyelenggaraan pendidikan, lalu menyusun kurikulum dan jurusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Sebagai contoh adalah ketika Sarjana Ilmu Sosial sudah banyak beredar di pasaran, namun peluang kerjanya kecil, maka lembaga pendidikan perlu mengurangi kuota penerimaan mahasiswa jurusan Ilmu Sosial. Sebaliknya, ketika Sarjana Teknik Industri sangat dibutuhkan oleh dunia usaha, maka institusi pendidikan sejatinya perlu menambah kuota mahasiswa dalam jurusan tersebut. Dengan demikian, terciptalah sinkronisasi antara pendidikan dan kebutuhan akan ketenagakerjaan, yang selanjutnya dapat menghindar tingginya angka pengangguran. Lewat kerjasama yang dilakukan, sejatinya akan menciptakan suatu simbiosis yang saling menguntungkan satu sama lain. Dunia usaha akan mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan serta tidak mengecewakan dan mampu mendukung perkembangan usahanya. Demikian juga dengan perguruan tinggi, perguruan tinggi tidak lagi dituding sebagai sarang pengangguran melainkan sebagai sumber tenaga kerja yang profesional. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan yang baik antara perguruan tinggi dan dunia usaha akan memberikan manfaat serta dapat membantu mengurangi angka pengangguran terdidik. Mismatch Pendidikan menciptakan Peluang Seperti tercatat dalam hasil sensus ketenagakerjaan nasional pada tahun 2007, hanya 5 saja persen dari jumlah angkatan kerja yang berminat pada kewirausahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa tenaga kerja kita lebih berminat untuk bekerja pada orang lain, daripada membuka atau menciptakan peluang usaha, yang tentunya akan bermanfaat bagi dirinya dan dan orang lain. Mismatch pendidikan sebenarnya menciptakan sebuah peluang, peluang untuk membuka usaha. Bayangkan saja, bila seorang sarjana dengan kualifikasi pendidikan tertentu, dengan segala peluh dan keringatnya mencari pekerjaan, namun pekerjaan pun tak kunjung tiba karena kualifikasi pendidikan yang dimiliki tidak dibutuhkan, hingga akhirnya dia harus menganggur. Berangkat dari kondisi yang demikian, sejatinya kondisi ini mengisyaratkan agar tidak lagi mencari pekerjaan melainkan memaksa untuk menciptakan peluang usaha. Apa yang menyebabkan keengganan seseorang untuk menciptakan peluang usaha? Padahal kewirausahaan tak diragukan lagi sebagai salah satu solusi terbaik dalam

menghadapi pengangguran di masa seperti sekarang ini. Saya mengindikasikan ada beberapa hal yang menyebabkan keengganan seseorang menciptakan peluang usaha, yaitu: modal, sarana dan prasarana, pengetahuan dan budaya wirausaha. Masalah-masalah tersebut seharusnya segera dicarikan solusi, misalnya oleh Pemerintah dan pihak swasta. Pemerintah dan swasta sejatinya dapat memberikan bantuanbantuan permodalan kepada tenaga kerja terdidik yang terpaksa harus menganggur karena tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Permodalan dapat disalurkan lewat program kredit tertentu yang diprioritaskan bagi tenaga kerja terdidik. Selain itu, untuk menumbuhkan jiwa usahawan dalam diri seseorang, sebaiknya juga harus sering diselenggarakan pelatihanpelatihan tentang kewirausahaan yang tentunya dapat memotivasi diri untuk mau berusaha. Penutup Terlihat dengan jelas, bahwa pengangguran terdidik adalah sebuah fakta sosial yang ada di masyarakat. Penyebab utamanya telah diketahui secara bersama, yaitu mismatch pendidikan dan kesempatan kerja yang ada di pasaran tenaga kerja. Seperti telah dijabarkan sebelumnya, untuk mengatasinya perlu ada upaya optimal dan sinergisitas antara dunia usaha dan pendidikan. Tetapi, bila disadari mismatch sebenarnya juga membuka peluang bagi seseotang untuk dapat berusaha dan menciptakan peluang. Tetapi ironisnya, sedikit sekali orang yang menganggap bahwa mismatch adalah peluang, bahkan cenderung menganggap suatu ancaman besar.

Вам также может понравиться