Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pendahuluan Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, tercantum bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai tingkat kesehatan jiwa secara optimal, pemerintah Indonesia menegaskan perlunya upaya peningkatan kesehatan jiwa, seperti yang dituangkan dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009
tentang kesehatan Bab IX pasal 144 yang menyatakan bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. WHO (2009) memperkirakan sebanyak 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, terdapat sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan
34
akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai keseluruhan 13% dan dari penyakit secara akan kemungkinan
adalah faktor
perkembangan
lingkungan serta ditandai dengan gejala positif, negatif dan kognitif (Andreasen 1995; Nuechterlein et al 2004;. Muda et al. 2009 dalam Jones et al, 2011). Gejala kognitif sering mendahului terjadinya psikosis, dan pengobatan yang segera dilakukan diyakini sebagai prediktor yang lebih baik dari hasil terapi (Green, 2006; Mintz dan Kopelowicz, 2007 dalam Jones et al, 2011). Gejala positif meliputi waham, halusinasi, gaduh gelisah, perilaku aneh, sikap bermusuhan dan gangguan berpikir formal. datar, Gejala negatif meliputi sulit motivasi,
berkembang menjadi 25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan di semua negara, pada perempuan dan lakilaki, pada semua tahap kehidupan, orang miskin maupun kaya baik di pedesaan maupun perkotaan mulai dari yang ringan sampai berat. Data WHO (2006) mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan. Gambaran gangguan jiwa berat di Indonesia pada tahun 2007 memiliki prevalensi sebesar 4.6 permil, artinya bahwa dari 1000 penduduk Indonesia terdapat empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat (Puslitbang Depkes RI, 2008). Penduduk Indonesia pada tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi Depkes RI, 2009) sebanyak 225.642.124 sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan 1.037.454 orang. Provinsi Jawa Barat didapatkan data individu yang mengalami gangguan jiwa sebesar 0,22 % (Riskesdas, 2007).
memulai pembicaraan, afek tumpul atau berkurangnya berkurangnya atensi, pasif, apatis dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak nyaman (Videbeck, 2008). Isolasi sosial sebagai salah satu gejala negatif pada skizofrenia digunakan oleh klien untuk menghindar dari orang lain agar pengalaman yang tidak menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang lagi. Dan konsep diri merupakan dimana semua hal perasaan ini dan pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri, meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri.
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
35
Tindakan
keperawatan
yang
dapat
untuk
membantu
menyelesaikan
dilakukan kepada klien isolasi sosial dan harga diri rendah adalah terapi generalis dan terapi spesialis yang (terapi ditujukan psikososial/psikoterapi)
perasalahan yang dihadapi oleh klien dan diakhiri dengan tahap resolusi dimana klien diupayakan untuk tidak tergantung kepada perawat karena telah dilakukan latihan mengatasi masalah oleh perawat. Metode Karya ilmiah akhir ini merupakan analisis terhadap penerapan manajemen terapi latihan ketrampilan sosial pada klien isolasi sosial dan harga diri rendah dengan pendekatan model teori hubungan interpersonal Peplau yang dilaksanakan terhadap klien yang mengalami isolasi sosial dan harga diri rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit dr Marzoeki Mahdi Bogor sejak tanggal 10 September hingga 9 November 2012 dengan jumlah klien yang mengalami isolasi sosial sebanyak 18 klien.
kepada klien sebagai individu, kelompok klien, dan keluarga klien, serta komunitas disekitar klien (Carson, 2000; Chen, et, al., 2006; Eiken, 2012). Tindakan keperawatan spesialis diberikan kepada pasien yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi adalah latihan ketrampilan sosial (Cacioppo, et, al, 2002). Terapi ini merupakan metode yang didasarkan prinsip-prinsip sosial dan menggunakan teknik perilaku bermain peran, praktek dan umpan balik guna meningkatkan dalam kemampuan Varcarolis, 2006). Karya tulis ilmiah ini menggabungkan tindakan keperawatan dengan salah satu teori model keperawatan yang sesuai dengan kondisi klien isolasi sosial yaitu teori keperawatan Hildegard Peplaus. Teori Peplau sangat tepat diaplikasikan pada klien yang mengalami isolasi sosial dan harga diri rendah karena menjelaskan proses hubungan antara perawat dan klien dimulai dari tahap orientasi dimana perawat merupakan orang asing yang baru dikenal oleh klien, selanjutnya masuk kedalam tahap identifikasi dan eksploitasi dimana terjadi proses hubungan terapeutik seseorang
36
Hasil
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Klien Dengan Masalah Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor 2012 (n=18) Karakteristik Usia a. 18 24 tahun b. 25 65 tahun Jenis kelamin Laki-laki Pendidikan a. Menengah (SMP-SMA) b. Tinggi (PT) Pekerjaan a. Bekerja b. Tidak bekerja Status perkawinan a. Belum menikah b. Menikah Penanggung jawab biaya a. Umum b. Jamkesmas c. Jamkesda Jumlah 5 13 18 11 7 9 9 6 12 2 10 6 Prosentase 27,8 72,2 100,0 61,1 38,9 50,0 50,0 33,3 66,7 11,1 55,6 33,3
Tabel 2 Distribusi Faktor Predisposisi Pada Klien dengan masalah Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor 2012 (n=18) Faktor Predisposisi Biologis a. Trauma/penyakit fisik b. Genetik c. Riwayat gangguan jiwa sebelumya d. Penyalahgunaan NAPZA Psikologis a. Introvert b. Riwayat kegagalan/kehilangan c. Riwayat kekerasan Sosial kultural a. Pendidikan menengah b. Status ekonomi rendah c. Jarang terlibat kegiatan sosial Jumlah 6 12 9 5 13 14 9 11 11 4 % 33,3 66,7 50,0 27,8 72,2 77,8 50,0 61,1 61,1 22,2
Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa pada faktor predisposisi biologis terbanyak yaitu adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 12 klien (66,7%). Sebanyak 14 klien (77,8%) mengalami riwayat kegagalan, serta dari sosial ekonomi rendah sebanyak 11 klien (61,1%) merupakan faktor sosial budaya.
Berdasarkat tabel 1 dapat dijelaskan bahwa mayoritas klien pada rentang usia 25-65 tahun atau pada masa dewasa yaitu 13 klien (72.2%) dan seluruhnya berjenis kelamin laki-laki (100%). Mayoritas klien memiliki latar belakang pendidikan sekolah menengah (SMP-SMA), yaitu 11 klien (61,1%), 50% memiliki pekerjaan, 12 klien (66,7%) sudah menikah dan 10 klien (55,6%) biaya perawatan ditanggung oleh Jamkesmas.
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
37
Tabel 3 Distribusi Faktor Presipitasi Pada Klien dengan masalah Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor 2012 (n=18) Faktor Presipitasi Biologis Putus obat Psikologis 1. Keinginan tidak terpenuhi 2. Gagal membina hubungan dengan lawan jenis 3. Gagal bekerja 4. Merasa tak berguna Sosial Kultural 1. Ekonomi 2. Masalah pekerjaan 3. Konflik keluarga Asal stresor 1. Internal 2. Eksternal Waktu stresor 1. < 6 bulan 2. > 6 bulan Jumlah stresor 1. >1 stresor Jumlah 6 14 9 12 12 11 12 11 18 14 6 12 18 % 33,3 77,8 50,0 66,7 66,7 61,1 66,7 61,1 100,0 77,8 33,3 66,7 100,0
Tabel 4 Distribusi Penilaian Stresor terhadap masalah Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor 2012 (n=18)
Isolasi Sosial Harga diri rendah Min Minmaks n Mean SD Mean SD mak s Respon 18 27,50 7,548 16- 16,06 4,7 7-23 Kognitif 39 9 Respon Afektif 18 15,89 5,368 8-27 13,61 3,5 8-23 6 Respon 18 14,94 2,711 9-19 17,61 5,2 10-27 4 Perilaku Respon Sosial 18 19,61 3,109 13- 13,44 4,1 8-20 24 6 Respon 18 15,17 3,536 9-21 7,94 1,3 6-10 Fisiologis 0 Jumlah 18 93,11 16,97 69- 60,92 15,57 46-99 130 Penilaian Terhadap Stresor
Berdasarkan tabel 4 dapat dijelaskan bahwa rata-rata penilaian terhadap stressor pada 18 klien isolasi sosial pada respon kognitif 27,50, respon afektif sebesar 15,89, respon perilaku sebesar 14,94, respon fisiologis sosial sebesar 19,61, dan respon secara sebesar 15,17
Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa pada faktor presipitasi aspek biologis yaitu putus obat sebanyak 6 klien (33,3%), dan secara psikologis 77,8% klien memiliki keinginan yang tidak terpenuhi, pada faktor sosial budaya didapatkan masalah pekerjaan sebanyak 66,7%, asal stresor seluruhnya berasal dari internal tetapi ada juga stresor ekstrenal yang menyertainya yang didapatkan pada 14 klien klien (77,8%). (66,7%) Waktu dan stresor jumlah paling stresor banyak pada waktu >6 bulan sebanyak 12 seluruhnya lebih dari 1 stresor.
keseluruhan respon klien harga diri rendah sebesar 93,11. Sedangkan penilaian stresor pada masalah harga diri rendah didapatkan gambaran rata-rata respon kognitif klien sebelum diberikan terapi latihan ketrampilan sosial sebesar 16,06, respon afektif sebesar 13,61, respon perilaku sebesar 17,61, respon sosial sebesar 13,44, respon fisik sebesar 7,94 dan secara komposit didapatkan respon klien harga diri rendah sebesar 60,92.
38
Tabel 5 Distribusi Penilaian Stresor pada Klien dengan masalah Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah Sebelum dan Sesudah Diberikan Latihan Ketrampilan Sosial di Ruang Antareja Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor 2012 (n=18)
Penilaian Terhadap Stresor Respon Kognitif Respon Afektif Respon Perilaku Respon Sosial Respon Fisiologis Jumlah n 18 18 18 18 18 18 Mean Sebelum 27,50 15,89 14,94 19,61 15,17 93,11 Isolasi Sosial Mean Sesudah 14,89 11,33 9,83 13,89 10,61 60,56 Min-maks 12-18 9-14 8-13 10-17 8-13 53-66 Mean sebelum 16,06 13,61 17,61 13,44 7,94 60,92 Harga diri rendah Mean sesudah 9,28 7,94 9,83 7,11 6,00 40,17 Min-maks 7-13 6-10 8-13 6-11 5-7 32-49
Berdasarkan tabel 5, rata-rata respon secara keseluruhan sebelum diberikan terapi latihan ketrampilan sosial sebesar 93,11 dan sesudah diberikan terapi latihan ketrampilan sosial sebesar 60,56. Rata-rata respon secara keseluruhan sebelum diberikan terapi latihan ketrampilan sosial sebesar 60,92 dan sesudah diberikan terapi latihan ketrampilan sosial sebesar 40,17. Pembahasan 1. Karakteristik klien a. Usia Klien yang dirawat dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah di ruang Antareja sebagian besar berada dalam rentang usia 25-65 tahun atau pada masa dewasa yaitu 13 klien (72.2%). Masa dewasa merupakan masa kematangan dari aspek kognitif, emosi, dan perilaku. Kegagalan yang dialami seseorang untuk mencapai tingkat kematangan tersebut akan sulit memenuhi tuntutan perkembangan pada usia tersebut dapat berdampak terjadinya gangguan jiwa (Yusuf,
menyatakan bahwa usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan frekuensi dewasa. Usia dewasa untuk merupakan usia jiwa dengan risiko tertinggi mengalami
produktif dimana klien memiliki tuntutan sendiri, dicapai mengembangkan baik dari diri maupun dulu aktualisasi diri,
keluarga, dengan
lingkungan. Aktualisasi diri dapat terlebih mencapai harga diri yang positif (Maslow, 1970, dalam Townsend, 2009). Individu yang merasa gagal, merasa tidak berguna ditambah lagi adanya stressor lain seperti gagal menemukan untuk pasangan sehingga merupakan dampaknya klien menjadi malu bersosialisasi akibat dari ketidakmampuan klien dalam mencapai aktualisasi diri. Menurut Erikson (2000) dalam Stuart & Laraia (2005), pada usia
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
39
ini individu mulai mempertahankan hubungan saling ketergantungan, memilih pekerjaan, memilih karir, melangsungkan perkawinan. Individu memiliki perkembangan dalam kehidupannya tugas-tugas sesuai tingkat
dibandingkan wanita dan wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Didukung pula oleh pendapat Sinaga (2007), yang menyatakan prevalensi Skizofrenia berdasarkan jenis kelamin, ras dan budaya adalah sama. Dimana wanita cenderung mengalami gejala yang lebih ringan, lebih sedikit rawat inap dan fungsi sosial yang lebih baik di komunitas dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki lebih banyak mengalami tuntutan harga diri rendah dan isolasi sosial karena disebabkan terhadap tanggung jawab atau peran yang harus dipenuhi seorang laki-laki didalam dibanding keluarga lebih tinggi perempuan, sehingga
usianya. Tugas perkembangan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menjadi stresor untuk perkembangan berikutnya dan jika stresor tersebut menumpuk sangat berisiko mengalami gangguan jiwa. Kondisi menyebabkan tersebut individu akan merasa
rendah diri dan apabila berlangsung lama akan menjadi harga diri rendah kronis. b. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan bagian dari aspek sosial budaya faktor predisposisi dan presipitasi
stresor yang dialami juga lebih banyak. c. Pendidikan Klien yang dirawat dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah sebagian belakang klien besar memiliki latar pendidikan (61,1%). latar Hal sekolah ini klien belakang
terjadinya gangguan jiwa. Seluruh klien adalah laki-laki karena di ruangan Antareja merupakan ruang perawatan klien laki-laki. Terlepat dari kondisi dan tersebut, Grebb Kaplan, (1999); Sadock,
Davison dan Neale (2001), dalam Fausiah dan Widury, (2005) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih mungkin memunculkan gejala negatif
pendidikan yang cukup memenuhi syarat dalam menerima informasi baru. Klien sebagian besar mampu
40
memahami penjelasan, pengarahan, melakukan latihan seperti yang disampaikan oleh perawat dalam pelaksanaan terapi latihan ketrampilan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Siagian (1995) yang menyatakan semakin tinggi pendidikan besar Tingkat pengetahuan mempengaruhi seseorang dan semakin untuk memanfaatkan keterampilan. sangat individu
menerima informasi pembelajaran yang disampaikan oleh perawat. Hal ini dapat diamati pada saat perawat melakukan terapi latihan ketrampilan sosial, pasien mudah menangkap informasi yang disampaikan mengenai penjelasan terapi dan sesi-sesi yang akan dilakukan terapi. d. Status Pekerjaan Klien yang dirawat dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah sebagian besar memiliki pekerjaan sebelum dirawat yaitu (50,0%). Hal ini memberikan gambaran bahwa klien sebelum masuk ke rumah sakit, mampu terlibat aktif dan produktif dalam menjalankan peran sehari-hari Pekerjaan produktivitas fungsi juga dan dilingkungannya. mencerminkan penghasilan yang sebelum melakukan
pendidikan cara
berperilaku, membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara penilaian klien terhadap stresor. Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan menyelesaikan seseorang masalah dalam yang
dihadapinya. Hal ini senada dengan pendapat Kopelowicz (2002) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki. sumber dengan dapat Pendidikan koping kemampuan membantu sebagai seseorang mengatasi berhubungan
seseorang. Hal ini sesuai dengan ekonomi keluarga memberikan tugas anggota,
terutama kepala keluarga untuk mencari sumber-sumber kehidupan dalam keluarga memenuhi (WHO, satu memenuhi yang 1978, faktor fungsi-fungsi lain dalam terutama keluarga Effendy, dan
untuk menerima informasi yang masalah yang dihadapi seseorang. Pada klien kelolaan, pendidikan klien termasuh dalam pendidikan menengah sehingga mampu
kebutuhan
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
41
terjadinya gangguan jiwa. Faktor status sosioekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa dibanding juga pada didukung tingkat Pendapat oleh sosioekonomi tersebut tinggi.
sudah menikah yaitu sebanyak 12 klien (66,7%). Hal ini didukung dengan pendapat Hawari (2001) dan Kintono (2010) bahwa yang berbagai menyatakan
masalah perkawinan dapat menjadi sumber stress bagi seseorang dan merupakan salah satu penyebab umum gangguan jiwa. Masalah umum yang sering terjadi selama menjalani pertengkaran, perkawinan adalah ketidaksetiaan,
Townsend (2009) yang menyatakan bahwa salah satu faktor sosial yang menyebabkan gangguan tingginya jiwa angka termasuk
skizofrenia adalah tingkat sosial ekonomi rendah. Penjelasan tersebut bahwa seseorang menjelaskan yang berada
kematian salah satu pasangan, dan perceraian yang jika tidak dapat diatasi dapat menjadi sumber stres yang menyebabkan Cara mekanisme keluarga, sosial, masalah seseorang koping yaitu fungsi kejiwaan. merupakan dalam
dalam sosial ekonomi rendah dan tidak memiliki pekerjaan lebih berisiko untuk mengalami berbagai masalah terutama kurangnya rasa percaya diri dalam menjalankan aktivitas hidup sehari-hari. Terapi latihan ketrampilan sosial sangat tepat dilakukan terhadap individu yang mengalami masalah kurang percaya diri sehingga klien memiliki pengetahuan bagaimana cara membina hubungan dengan orang lain, cara melakukan kerja sama dengan orang lain yang dapat dijadikan sebagai mekanisme koping konstruktif. e. Status Perkawinan Klien isolasi sosial dan harga diri rendah yang dirawat sebagian besar
mengatasi permasalah yang muncul dalam menjalankan 5 (lima) fungsi sebuah fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan penempatan reproduksi, fungsi ekonomi, serta memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggota keluarga merupakan (Friedman, 1998). Beberapa fungsi keluarga tersebut stresor bagi setiap orang yang sudah melangsungkan pernikahan sehingga apabila salah satu atau beberapa terpenuhi fungsi dapat tersebut tidak menyebabkan
terjadinya harga diri rendah. Harga diri rendah yang dialami seseorang
42
dapat
menyebabkan
seseorang
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa akan dapat proses melangsungkan
mengalami penurunan minat dan merasa tidak mampu menjalani interaksi dengan orang lain karena merasa tidak percaya diri. 2. Faktor Predisposisi a. Aspek Biologis Sebagian besar faktor predisposisi pada klien yang diberikan terapi latihan ketrampilan sosial adalah adanya memiliki riwayat peran genetik yaitu sebanyak 66,7%. Faktor genetik terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007). Jika salah satu orang tua menderita gangguan jiwa, keturunannya memiliki resiko 10%, dan resiko sebesar 40% jika kedua orang tua memiliki riwayat gangguan jiwa. Pada klien isolasi sosial dan harga diri rendah yang dilakukan dilihat pengelolaan, faktor dengan napza, dapat genetik faktor ataupun bahwa
kehidupannya tanpa harus merasa minder, tidak percaya diri serta masih tetap dapat melakukan interaksi terhadap orang lain. b. Aspek Psikologis Faktor predisposisi pada aspek psikologis sebagian besar akibat adanya kegagalan/kehilangan Pengalaman kegagalan akan kehilangan riwayat (77,8%). dan
mempengaruhi
respon individu dalam mengatasi stresornya. Hal ini sesuai dengan teori psikoanalisa Freud (1994) yang masalah, menyampaikan konflik yang bahwa tidak ketidakmampuan menyelesaikan
disadari antara impuls agresif atau kepuasan libido serta pengakuan terhadap eksternal ego yang dari kerusakan dari berasal
merupakan faktor yang lebih besar dibandingkan fisik, riwayat predisposisi lainnya seperti trauma riwayat gangguan jiwa sebelumnya. Pemberian terapi latihan
kepuasan. Hal ini senada dengan yang disampaikan Erickson (1963, dalam Townsend bahwa 2009) yang menyatakan pengalaman
penolakan orang tua pada masa bayi akan membuat anak menjadi tidak percaya diri dalam
ketrampilan sosial dapat membantu klien mengembangkan cara berpikir bahwa klien yang memiliki riwayat
berhubungan dengan orang lain. Kondisi ini akan membuat individu lebih cenderung merasa rendah diri.
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
43
Pemberian
terapi
latihan
Klien dengan gangguan jiwa berat yang memiliki status ekonomi rendah sering mendapatkan stigma dari lingkungan sosialnya sehingga akan membuat tidak mereka terlibat lebih dalam memilih
ketrampilan sosial dapat membantu klien mengembangkan mekanisme koping dalam memecahkan masalah terkait masa lalu yang tidak menyenangkan. Klien dilatih untuk mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan yang dapat meningkatkan harga dirinya sehingga tidak akan mengalami hambatan sosial. c. Aspek Sosial Budaya Faktor predisposisi selanjutnya adalah aspek sosial budaya, dimana pada klien kelolaan didapatkan aspek sosial budaya sebagian besar adalah pendidikan menengah dan sosial ekonomi rendah masingmasing sebanyak 11 klien (61,1%). Menurut Townsend (2009) status sosioekonomi yang rendah lebih rentan mengalami gangguan jiwa dibanding yang dalam dialami pada oleh tingkat seseorang kebutuhan perhatian munculnya sosioekonomi tinggi. Kemiskinan menjadikan terjadinya keterbatasan pemenuhan kurangnya pokok seperti nutrisi, pemenuhan kesehatan, dapat stres. terhadap pemecahan masalah yang menimbulkan dalam berhubungan
kegiatan sosial sehingga terkesan menutup diri. Terapi latihan ketrampilan sosial akan melatih klien dalam meningkatkan hubungan dengan orang lain dengan cara memberikan pengetahuan bagaimaa serta menjalani kemampuan hubungan
dengan orang lain yang akan meningkatkan kemampuan untuk mencapai harga diri yang positif. 3. Faktor Presipitasi Hasil pengkajian terhadap 18 klien yang mengalami isolasi sosial dan harga diri rendah kronis diperoleh bahwa 6 klien (33,3%) mengalami putus obat. Rata-rata klien menyampaikan bahwa mereka merasa bosan dan merasa sudah sembuh sehingga tidak perlu lagi minum obat, disamping itu klien juga menyampaikan bahwa jika minum obat terus menerus menjadikan klien tidak bisa bekerja seperti biasa karena mudah ngantuk dan lemas.
44
Seluruh klien yang mengalami masalah isolasi sosial dan harga diri rendah memiliki stresor berasal dari diri klien sendiri dan juga ditambah dengan stresor dari luar diri pasien. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart dan Laraia (2005) bahwa stresor dapat berasal dari internal maupun eksternal. Waktu terpaparnya stresor pada klien sebagian besar sudah mengalami gangguan jiwa > 6 bulan dan jumlah stresor yang dialami oleh klien lebih dari 1 stresor. Kondisi ini menujukkan bahwa rata-rata klien sudah mengalami gangguan jiwa kronis. Jumlah stresor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam satu waktu satu yang stresor bersamaan akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan dalam satu waku. Setiap stresor atau masalah yang muncul membutuhkan penyelesaian sehingga semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka individu tersebut makin dituntut untuk memiliki penyelesaian koping yang adekuat dan makin bervariasi dalam mengatasi stresornya (Stuart dan Laraia, 2005). 4. Penilaian Terhadap Stresor Berdasarkan hasil penilaian terhadap stresor pada klien yang memiliki masalah isolasi sosial didapatkan ratarata respon kognitif 27,50, respon afektif sebesar 15,89, respon perilaku
sebesar 14,94, respon sosial sebesar 19,61, respon fisiologis sebesar 15,17 dan secara keseluruhan respon klien harga diri rendah penilaian sebesar stresor 93,11. pada Sedangkan
masalah harga diri rendah didapatkan gambaran rata-rata respon kognitif klien sebelum diberikan terapi latihan ketrampilan sosial sebesar 16,06, respon afektif sebesar 13,61, respon perilaku sebesar 17,61, respon sosial sebesar 13,44, respon fisik sebesar 7,94 dan secara komposit didapatkan respon klien harga diri rendah sebesar 60,92. Respon klien dengan isolasi sosial dan harga diri rendah dalam menghadapi stresor tersebut sesuai dengan pendapat Stuart dan Laraia (2005) yang melihatnya dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Kelima aspek tersebut dijadikan pedoman dalam penilaian terhadap respon klien dengan isolasi sosial dan harga diri rendah kronis dalam karya ilmiah ini. Didapatkannya penilaian terhadap stresor pada kelima respon tersebut mendorong penulis untuk memberikan terapi latihan ketrampilan sosial yang bertujuan untuk membantu meningkatkan respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosialnya. Terapi latihan ketrampilan sosial
merupakan
proses
pembelajaran
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
45
dengan menggunakan teknik perilaku bermain peran, praktik dan umpan balik untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah (Kneisl, 2004). Proses pembelajaran sosial mengacu kepada dan kekuatan berpikir tentang beberapa bagaimana belajar memberikan pujian hukuman, termasuk pujian dan model yang akan diberikan. Pembelajaran sosial meliputi motivasi, emosi, pikiran, penguatan sosial, penguatan diri. Penguatan sosial bisa berbentuk perhatian, rekomendasi, perhatian dan lainnya yang dapat membuat individu terus berperilaku ke arah yang lebih baik. 5. Ketepatan Penerapan Manajemen
hubungan ketrampilan
sosial. sosial
Adanya terbukti
latihan dapat
membantu meningkatkan kemampuan sosial klien yang dapat dilihat pada respon kognitif, sektif, psikomotor, sosial dan fisik. Pada klien harga diri rendah juga didapatkan penurunan respon kognitif, afektif, perilaku, sosial dan fisik. Hal ini diakibatkan karena sebelum diberikan terapi, klien merasa malu, minder dan tidak percaya diri untuk dengan membina hubungan sosial Setelah lingkunganya.
diberikan terapi, didapatkan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan sosial klien. Pelaksanaan terapi latihan ketrampilan sosial yang dilakukan pendekatan dengan model menggunakan
Terapi Latihan Ketrampilan Sosial pada Klien Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah Kronis Pendekatan dengan Model Menggunakan
hubungan interpersonal Peplau pada klien dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah. Model interpersonal dapat dilakukan secara efektif karena
proses tahap pertama dalam hubungan perawat dengan klien yang disebut tahap orientasi diawali dengan membina hubungan saling percaya dimana perawat dan klien belum saling mengenal orang dan perawat merupakan bagi klien. Tahap asing
menunjukkan bahwa terapi latihan ketrampilan sosial memiliki pengaruh yang signifikan setelah dilakukan pada klien yang mengalami masalah isolasi sosial. Pada klien isolasi sosial, latihan ketrampilan klien yang sosial didapatkan diberikan adanya berdasarkan hasil identifikasi masalah ketidaktahuan dan ketidakmampuan klien dalam membina dan melakukan
identifikasi dilakukan oleh perawat dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap masalah yang muncul pada klien. Pada tahap ini
46
hubungan perawat dan klien sudah terbina dengan baik sehingga perawat dapat menggali permasalahan yang klien alami. Setelah mendapatkan berbagai data, perawat dengan klien bersama-sama menentukan tujuan untuk membantu mengatasi masalah yang termasuk dalam tahap eksploitasi. Pada tahap eksploitasi ini perawat melatih klien tentang kemampuan untuk meningkatkan hubungan sosial melalui terapi latihan ketrampilan sosial. Terapi latihan ketrampilan sosial terdiri dari 4 sesi dan dimana pada tiap-tiap sesi dilakukan rata-rata 3 kali pertemuan, masing-masing pertemuan dilakukan selama 30-45 menit. Tahap eksploitasi ini dilakukan bersama klien sampai klien benar-benar menguasai baik secara kognitif maupun psikomotor untuk tiap-tiap sesi latihan terapi. Setelah perawat merasa yakin bahwa klien telah mampu menguasai terapi yang dilatihkan, selanjutnya perawat melakukan identifikasi kembali terhadap kemampuan klien dalam melaksanakan kemampuan yang telah dilatihkan serta perawat membantu klien untuk mempersiapkan lepas dari ketergantungan terhadap perawat dalam melakukan hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya
yang termasuk dalam tahap akhir yaitu tahap resolusi. Simpulan 1. Faktor predisposisi biologis terbanyak yaitu adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 12 klien (66,7%). Sebanyak 14 klien (77,8%) mengalami riwayat kegagalan, serta berpendidikan menengah dan dari sosial ekonomi rendah masing-masing sebanyak 11 klien (61,1%) merupakan faktor sosial budaya. Faktor presipitasi aspek biologis yaitu putus obat sebanyak 6 klien (33,3%), dan secara psikologis 77,8% klien memiliki keinginan yang tidak terpenuhi, pada faktor sosial budaya didapatkan masalah pekerjaan sebanyak ada juga 66,7%, stresor asal ekstrenal stresor yang seluruhnya berasal dari internal tetapi menyertainya yang didapatkan pada 14 klien (77,8%). Waktu stresor paling banyak pada waktu >6 bulan sebanyak 12 klien (66,7%) dan jumlah stresor seluruhnya lebih dari 1 stresor. 2. Latihan ketrampilan sosial dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada klien isolasi sosial dan harga diri rendah. Semua klien telah mampu melakukan latihan berbicara yang baik, melakukan latihan berbicara untuk menjalin persahabatan, melakukan latihan berbicara untuk bekerjasama
Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
47
dan melakukan latihan berbicara untuk menghadapi situasi yang sulit. 3. Latihan ketrampilan sosial dapat menurunkan tanda dan gejala pada klien yang mengalami isolasi sosial dan harga diri rendah. Rata-rata respon secara latihan latihan keseluruhan ketrampilan ketrampilan pada sosial sosial masalah sebesar sebesar isolasi sosial sebelum diberikan terapi 93,11 dan sesudah diberikan terapi 60,56. Dan rata-rata respon secara keseluruhan pada masalah harga diri rendah sesudah sebelum diberikan model diberikan terapi latihan latihan hubungan ketrampilan sosial sebesar 60,92 dan ketrampilan sosial sebesar 40,17. 4. Pendekatan interpersonal Peplau dirasakan tepat diterapkan pada klien dengan masalah isolasi sosial dan harga diri rendah karena asuhan tahapan-tahapan keperawatan pemberian model dalam
Chen, K, & walk. (2006). Social Skills Training Intervension for Student with Emotional/Behavioral Disorder: A Literature Review from American Perspective. www.ccbd.net/dokuments/bb/BB.15(3)%socia l % 20 skills pdf. Desember 12, 2012. Kneisl, C.R., Wilson, S.K., and Trigoboff, E. (2004). Psychiatric mental health nursing. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Kopelowitz, dkk (2002), Psycosocial treatment for schizofrenia, NewYork, Oxford University Michelson, L., Sugai, P.D & Wood, R.P.(1985). Social skills assesment, New York: Plenum press. Riskesdas, (2007), Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian Kesehatan Nasional, Jakarta. Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2007). Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioral ed. Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Lippincott Williams & Wilkins Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th ed. Missouri: Mosby, Inc. Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan Varcarolis, E.M.,. (2010). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing a Clinical Approach. Missouri: Saunders Elsevier Videbeck, S.L. (2008). Psychiatric-Mental Health Nursing. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins WHO. (2006). The world health report: 2006: mental health: new Understanding, new hope. www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh tanggal 20 Februari 2011. WHO. (2009). Improving health systems and services for mental health (Mental health policy and service guidance package). Geneva 27, Switzerland: WHO Press.
hubungan interpersonal Peplau yang terdiri dari tahap orientasi, identifikasi, eksploitasi klien. Daftar pustaka
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Crawford, L. E., Ernst, J. M., Burleson, M. H., Kowalewski, R. B., . . . Berntson, G. G. (2002). Loneliness and Health: Potential Mechanisms. Psychosomatic Medicine, 64, 407417. Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The Nurse-Patient Journey. 2nd ed. Philadelphia: W.B. saunders Company.
dan
resolusi
dapat
48