Вы находитесь на странице: 1из 59

BAB I PENDAHULUAN

Diabetes

mellitus

(DM)

merupakan

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi dan secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Insulin merupakan suatu hormon yang diproduksi pankreas yang berfungsi mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya (American Diabetes Assosiation, 2004 dalam

Smeltzer&Bare, 2008). Secara klinis terdapat dua tipe DM yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan karena kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun sedangkan DM tipe 2 merupakan kasus terbanyak (90-95% dari seluruh kasus diabetes) yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan diawali dengan resistensi insulin (American Council on Exercise, 2001; Smeltzer&Bare, 2008). DM tipe 2 berlangsung lambat dan progresif, sehingga tidak terdeteksi karena gejala yang dialami pasien sering bersifat ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuria,polidipsi dan luka yang lama sembuh (Smeltzer&Bare, 2008). Kemampuan tubuh untuk bereaksi dengan insulin dapat menurun pada pasien DM, keadaan ini dapat menimbulkan komplikasi baik akut (seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar nonketotik) maupun kronik. Komplikasi kronik biasanya terjadi dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah diagnosa ditegakkan (Smeltzer&Bare, 2008). Komplikasi kronik terjadi pada semua organ tubuh dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat penyakit gagal ginjal. Selain itu, sebanyak 30% penderita diabetes mengalami kebutaan akibat retinopati dan 10% menjalani amputasi tungkai kaki (Medicastore, 2007). DM sudah merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita

diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian jumlah tersebut akan meningkat menjadi 300 juta orang (Suyono, 2006). Menurut data WHO, Indonesia menempati urutan keempat terbesar dalam jumlah penderita diabetes di dunia. Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap penyakit diabetes. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang, dimana baru 50 persen yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30 persen yang datang berobat teratur (Medicastore, 2007). Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok (Suyono, 2006) didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makasar prevalensi terakhir pada tahun 2005 mancapai 12,5%, merupakan suatu angka yang sangat mengejutkan. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan WHO bahwa jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, meningkat dua kali dibanding tahun 1995. Mengingat jumlah penderita DM yang terus meningkat dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling baik adalah melakukan pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan tiga tahap yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer merupakan semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada populasi umum misalnya dengan kampanye makanan sehat, penyuluhan bahaya diabetes. Pencegahan sekunder yaitu menemukan penderita DM sedini mungkin misalnya dengan tes penyaringan sedini mungkin terutama pada populasi resiko tinggi sehingga komplikasi tidak terjadi. Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan melalui penyuluhan, maka perlu kerjasama semua pihak untuk mensukseskannya ( Suyono, 2006). Menurut American Diabetes Association (2004), komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda dan diperlambat dengan mengendalikan kadar glukosa darah. Pengelolaan diabetes yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam rentang normal dapat dilakukan secara nonfarmakologis dan

farmakologis. Pengelolaan nonfarmakologis meliputi pengendalian berat badan, olah raga/latihan jasmani dan diet. Terapi farmakologis meliputi pemberian insulin dan/atau obat hiperglikemia oral (Medicastore, 2007; Smeltzer&Bare, 2008).

BAB II LAPORAN HASIL KUNJUNGAN RUMAH

Identitas Pasien dan Keluarga Identitas Pasien Nama Jenis kelamin Usia : Tn. Munjani : Laki-laki : 48 tahun

Status Pernikahan : Menikah Alamat : Dusun Demesan RT 010 RW006 Desa Girirejo,

Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Agama Suku Bangsa Pendidikan Pekerjaan : Islam : Jawa : SD : Buruh bangunan

Identitas Kepala Keluarga Nama Jenis Kelamin Umur : Bapak Munjani : Laki laki : 48 tahun

Status Pernikahan : Menikah Alamat : Dusun Demesan RT 010 RW006 Desa Girirejo,

Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Agama Suku Bangsa Pendidikan Pekerjaan : Islam : Jawa : SD : Buruh bangunan

Tabel 1. Profil Keluarga yang Tinggal Satu Rumah No Nama Kedudukan JK Umur dalam Keluarga 1. Bapak Munjani 2. Choiriyah Istri KK P 46 SD KK L 48 SD Buruh bangunan Ibu rumah Sehat tangga 3. 4. Mobaroq Rafikoh Anak KK Anak KK L P 18 14 SMA SMP Pelajar Pelajar Sehat Sehat Sakit (tahun) Pendidikan Pekerjaan Keterangan

Keterangan : L P : laki-laki : perempuan

Gambar 1. Pohon Keluarga

Keterangan : = Meningggal = Meningggal = Pasien

Resume Penyakit Dan Penatalaksanaan Yang Sudah Dilakukan Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 3 Desember 2012 pukul 14.00 WIB dan dilanjutkan pada tanggal 8 Desember 2012 pada pukul 13.00 di rumah pasien di Dusun Demesan, desa Girirejo, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang. Keluhan Utama : Penurunan berat badan sejak 1 bulan sebelum datang berobat

Keluhan Tambahan : Lemas, sering haus, kesemutan pada tangan dan kaki, sering BAK pada malam hari

Riwayat Penyakit Sekarang 1 bulan SMRS, os mengeluh berat badan menurun, penurunan berat badan di rasakan untuk pertama kali nya, semakin lama semakin menurun. Penurunan berat badan diakui pasien tidak diikuti dengan diet, pasien juga mengatakan tidak sedang banyak pikiran. Pasien mengaku nafsu makannya semakin meningkat, ia juga mengaku sering mengemil kue jajanan pasar. Pasien mengatakan bahwa ia merasa cepat haus dan sering terbangun malam hari untuk buang air kecil sebanyak 2-3x/malam. 2 minggu SMRS, pasien mengatakan sering merasa kesemutan terutama tangan dan kaki. Berat badan semakin turun, masih merasa cepat haus dan sering BAK dimalam hari. 1 minggu SMRS, os mengeluh lemas dan berat badan semakin menurun sehingga istri os memeriksakan os ke Puskesmas. Keluhan jantung berdebar-debar disangkal, ia juga mengatakan tidak ada keluhan leher membesar ataupun bola mata menonjol. Setelah dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu, didapatkan hasil 433 mg/dl, lalu os disarankan untuk dilakukan pemeriksaan gula

darah puasa pada keesokan harinya, dan didapatkan hasil 269 mg/dl. Dari hasil pemeriksaan, os didiagnosis menderita diabetes mellitus. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengaku tidak pernah merasakan keluhan ini sebelumnya, tidak ada riwayat sakit jantung, darah tinggi, ginjal maupun asma. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien mengaku memiliki keluarga yang menderita penyakit diabetes mellitus (ibu pasien), dan darah tinggi (ayah pasien), penyakit asma disangkal, penyakit ginjal penyakit paru dan jantung disangkal. . Riwayat Kebiasaan Pasien sering mengkonsumsi makanan manis dan merokok 1 bungkus/hari. Minum-minuman alcohol disangkal dan jarang berolahraga.

Pemeriksaan Fisik Tanggal 3 Desember 2012 pukul 14.30 WIB di kediaman pasien Keadaan umum Kesadaran Tanda vital : Tekanan darah Nadi Suhu Pernapasan : 130/80 mmHg : 88 x/menit : 36,80 C : 20x/menit TB : 165 cm BB : 68 kg BMI : 24,97 : Tampak Sakit ringan : Compos mentis

Status Generalis Kepala : Normosefali Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga Hidung Bibir

: Normotia, benjolan (-), oedem (-), nyeri tekan (-) : Normosepti, sekret (-), deviasi septum (-) : pucat (-), sianosis (-)

Tenggorok: T1-T1, faring hiperemis (-), granulasi (-), nyeri telan (-) Leher : Trakea di tengah, pembesaran KGB (-/-) Thoraks : Paru - paru Inspeksi :

Bentuk dada normal, simetris, gerak thoraks pada pernafasan simetris, sama tinggi, tidak ada bagian yang tertinggal, retraksi (-/-) Palpasi :

Gerak nafas simetris, sama tinggi, tidak ada bagian yang tertinggal, vokal fremitus simetris, sama kuat Perkusi :

Kedua hemitoraks berbunyi sonor, peranjakan paru tidak dapat dinilai Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonchi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, iktus kordis terlihat pada ICS V 2 cm lateral dari garis mid klavikularis kiri Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V 2 cm lateral dari garis mid klavikularis kiri Perkusi :
Tidak ada nyeri ketuk, batas jantung kanan pada garis sternalis kiri setinggi ics IV, batas paru lambung sekitar ics VI, batas jantung kiri setinggi ics V 2 cm garis midklavikularis kiri, batas atas jantung kiri setinggi ics III pada garis sternalis kiri

Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Datar, Caput Medusae (-), Smilling umbilikus (-) Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), Hepatomegali (-), Splenomegali (-) Perkusi : Timpani, nyeri ketuk (-) Auskultasi : Bising usus normal Ekstremitas Ekstremitas Superior Inspeksi : simetris, sianosis (-/-), tidak tampak luka Palpasi : akral hangat (+/+),edema (-/-) Ekstremitas Inferior Inspeksi : simetris, sianosis (-/-), tidak tampak luka Palpasi : akral hangat (+/+),edema (-/-)

Hasil Laboratorium di Puskesmas Tempuran Tanggal 30 November 2012 GDS GDP : 433 mg/dl

Tanggal 1 Desember 2012 : 269 mg/dl

Diagnosis Kerja Diabetes Mellitus Tipe 2

Rencana Penatalaksanaan Medikamentosa : Metformin 1 x 500 mg (p.o) Glibenklamid 1 x tablet (p.o)

Nonmedikamentosa : Diet ( jumlah, jenis, jadwal ) Olahraga teratur

Hasil Penatalaksanaan Medis Keluhan pasien berkurang. Faktor pendukung : Pasien rutin minum obat dan kontrol ke dokter Faktor penghambat: Terkadang masih susah untuk mengatur pola makan Indikator keberhasilan Perbaikan keadaan umum

Tabel Permasalahan Pada Pasien Tabel 2. Tabel Permasalahan Pada Pasien No. Risiko & masalah kesehatan 1. Gula darah tinggi Menurunkan gula darah dengan Pasien obat dan perbaikan pola makan 2. Pola makan berlebih Penyusunan jadwal, jenis dan Pasien jumlah diet Rencana pembinaan Sasaran

Identifikasi Fungsi Keluarga Fungsi Biologis Dari wawancara dengan penderita diperoleh keterangan bahwa penderita belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya Fungsi Psikologis Penderita memiliki empat anak, anak pertama dan kedua sudah berkeluarga. Saat ini Penderita tinggal serumah dengan anak ketiga dan keempat yang masih bersekolah SMA dan SMP. Hubungan antara penderita dengan anak nya baik. Penderita bekerja sebagai buruh bangunan. Penderita mempunyai kepribadian yang terbuka dan ramah terhadap orang lain. Fungsi Ekonomi

10

Biaya kebutuhan sehari-hari pasien dipenuhi dari upahnya sebagai buruh. Pendapatan perbulan kurang lebih Rp. 500.000 800.000. Uang tersebut dipakai untuk kebutuhan rumah tangga seperti listrik dan makan serta biaya sekolah untuk kedua anaknya. Pasien tidak mempunyai ASKES untuk kesehatan. Fungsi Pendidikan Penderita bersekolah sampai SD Fungsi Religius Penderita seorang Muslim dan keluarga yang lain memeluk agama Islam, menjalankan ibadah agama secara rutin (sholat dan pengajian). Penerapan nilai agama dalam keluarga baik. Fungsi Sosial dan Budaya Penderita dan keluarga tinggal di desa Demesan di kawasan pemukiman yang cukup padat penduduk. Penderita dan keluarga dapat diterima dengan baik di lingkungan rumahnya. Komunikasi dengan tetangga baik. Keluarga penderita aktif dalam kegiatan di lingkungan seperti arisan dan pertemuan warga yang rutin dilakukan sebulan sekali. Pola Konsumsi Penderita Frekuensi makan besar 3x sehari, diselingi dengan makanan ringan.

Penderita biasanya makan di rumah. Jenis makanan dalam keluarga ini bervariasi. Variasi makanan sebagai berikut : nasi, lauk (tahu, tempe, telur), sayur (kangkung, bayam, dll), air minum (air putih, teh, kopi). Pasien jarang mengkonsumsi ayam, daging. Air minum berasal dari air sumur pompa yang dimasak sendiri. Identifikasi Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Faktor Perilaku Penderita bekerja sebagai buruh bangunan. Faktor Lingkungan Tinggal dalam lingkungan yang cukup padat penduduk, dimana kebersihan di dalam rumah cukup baik. Pencahayaan di dalam rumah cukup dan

11

sirkulasi udara berjalan cukup lancar. Sumber air minum berasal dari sumur pompa dan dimasak sebelum diminum. Buang air besar menggunakan jamban leher angsa di wc sendiri di luar rumah yang langsung dibuang ke septitank. Untuk pembuangan limbah, dibuang ke got dan mengalir ke saluran kota, dan tersedianya tempat pembuangan sampah di luar rumah. Faktor Sarana pelayanan kesehatan Terdapat Puskesmas Tempuran yang berjarak < 5 km. Faktor keturunan Keturunan diabetes mellitus dari keluarga ( ibu pasien )

Identifikasi Lingkungan Rumah Gambaran Lingkungan Rumah Rumah pasien terletak di Dusun Demesan, Desa Girirejo, Kecamatan m2 ,

Tempuran, Kabupaten Magelang, dengan ukuran rumah 11 x 6,5

bentuk bangunan 1 lantai. Rumah tersebut ditempati oleh 4 orang. Secara umum gambaran rumah terdiri dari 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang makan, 1 ruang keluarga, 1 kamar mandi, 1 jamban, dan 1 dapur di bagian belakang rumah. Rumah mempunyai langit-langit dan memiliki dinding tembok, lantai bagian depan rumah menggunakan keramik dan bagian belakang rumah terbuat dari tanah. Penerangan dalam rumah dan kamar cukup sehingga rumah cukup terang dan tidak terasa lembab. Ventilasi dan jendela cukup memadai, yaitu dengan luas < 10 % dan jarang dibuka. Cahaya matahari masuk lewat pintu dan jendela. Tata letak barang di rumah cukup rapi. Sumber air bersih dari sumur pompa untuk minum maupun cuci dan masak. Air minum dimasak sendiri. Fasilitas MCK terdapat kamar mandi yang menggunakan jamban cemplung. Kebersihan dapur kurang, tidak ada lubang asap dapur, namun asap dapur langsung mengarah ke pintu. Tidak ada saluran untuk pembuangan air limbah. Tidak ada tempat pembuangan sampah dan tertutup dan membuang sampah di kebun. Jalan di depan rumah

12

lebarnya 4 meter terbuat dari tanah . Kebersihan lingkungan di sekitar rumah cukup.

Gambar 2. Denah Rumah

Jamban

Kamar Mandi

Dapur

Kamar Tidur 3 Ruang Makan Kamar Tidur 2

Kamar Tidur 1

Ruang tamu

Diagnosis Fungsi Keluarga Fungsi Biologis Dari hasil wawancara. Fungsi Psikologis Hubungan pasien dengan keluarga terjalin baik

13

Hubungan sosial dengan tetangga dan kerabat baik.

Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan Kesan sosial ekonomi kurang dilihat dari pendapatan sebagai buruh sebesar Rp.500.000-800.000 per bulan. Fungsi Religius dan Sosial Budaya Termasuk keluarga yang taat beragama. Hubungan keluarga dan pasien dengan tetangga baik, komunikasi berjalan dengan lancar. Tidak terdapat keterbatasan hubungan antara pasien dan masyarakat. Faktor Perilaku Pasien tinggal di rumah yang pencahayaannya baik dan ventilasi udara di rumah baik sehingga sirkulasi udara baik. Lantai kedap air (ubin) sehingga kebersihan terjaga serta tidak banyak debu. Faktor Non Perilaku Sarana pelayanan kesehatan di sekitar rumah dekat. Jarak antara rumah pasien dengan puskesmas < 5 km.

Diagram Realita Yang Ada Pada Keluarga Gambar 3. Diagram Realita

GENETIK

Ibu pasien memiliki riwayat DM

YANKES

STATUS KESEHATAN

LINGKUNGAN

- Puskesmas berlokasi cukup dekat

PERILAKU

Sering mengkonsumsi makanan manis Jarang berolahraga


14

Pembinaan Dan Hasil Kegiatan Tabel 3. Pembinaan dan Hasil Kegiatan Tanggal Kegiatan yang dilakukan Keluarga yang terlibat 3 Desember 2012 8 Desember 2012 Perkenalan, melakukan anamnesis pemeriksaan fisik kepada pasien di rumah Mengamati keadaan kesehatan rumah dan lingkungan sekitar Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit Diabetes mellitus, komplikasi, pengobatan pencegahan, faktor resiko. Edukasi mengenai pola makan, dan kontrol gula darah serta efek jangka panjang dari gula darah yang tidak terkontrol Edukasi kepada keluarga pasien untuk selalu memotivasi dan mendukung pasien untuk mengontrol gula darah, pola makan dan merokok. Pasien, istri dan anak pasien tentang mengerti penyakit Pasien dan Pasien, istri dan anak keluarga pasien dapat Pasien Mendapatkan diagnosis kerja pasien Hasil Kegiatan

memahami penjelasan yang diberikan dan diharapkan dapat

merubah pola hidup

Diabetes Mellitus dan cara menangani

penyakit tersebut.

15

Kesimpulan Pembinaan Keluarga Tingkat pemahaman : Pemahaman terhadap pembinaan yang dilakukan cukup baik. Faktor pendukung : Penderita dan keluarga dapat memahami dan menangkap penjelasan yang diberikan tentang penyakit diabetes mellitus itu sendiri. Keluarga yang kooperatif dan adanya keinginan untuk Faktor penyulit : Indikator keberhasilan : pasien mengetahui risiko dan bahaya dari penyakit itu sendiri.

16

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

III.1

DEFINISI Menurut American Diabetes Association(ADA) 2005, Diabetes Melitus

merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik

dengan

karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-keduanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa Diabetes Melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolute atau relative dan gangguan fungsi insulin.

III.2

KLASIFIKASI Klasifikasi DM dapat dilihat pada table 1. Tabel 4. Klasifikasi Etiologis DM

Tipe 1

Destruksi sel beta umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute : Autoimun Idiopatik Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe 2

Tipe lain

Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

17

Diabetes Melitus Gestasional

DM ditegakkan apabila kadar glukosa darah sewaktu melebihi 200 mg%. Jika didapatkan nilai di bawah 100 mg% berarti bukan DM dan bila nilainya diantara 100-200 mg% belum pasti DM. Pada wanita hamil, sampai saat ini pemeriksaan yang terbaik adalah dengan test tantangan glukosa yaitu dengan pembebanan 50 gram glukosa dan kadar glikosa darah diukur 1 jam kemudian. Jika kadar glukosa darah setelah 1 jam pembebanan melebihi 140 mg% maka dilanjutkan dengan pemeriksaan test tolesansi glukosa oral. Gangguan DM terjadi 2% dari semua wanita hamil, kejadian meningkat sejalan dengan umur kehamilan, tetapi tidak merupakan

kecenderungan orang dengan gangguan toleransi glokusa, 25% kemungkinan akan berkembang menjadi DM. DM gestasional merupakan keadaan yang perlu ditangani dengan professional, karena dapat mempengaruhi kehidupan janin/ bayi dimasa yang akan datang, juga saat persalinan.

III.3

PATOFISIOLOGI Pada defisiensi insulin akut, akan tejadi hiperglikemia karena pengaruh

insulin pada metabolisme glukosa tidak ada. Penimbunan glukosa di ekstrasel menyebabkan hiperosmolaritas. Transpor maksimal glukosa akan meningkat di ginjal sehingga glukosa diekskresikan ke dalam urin. Hal ini menyebabkan diuresis osmotik yang disertai kehilangan air (poiluria), Natrium dan Kalium dari ginjal, dehidrasi, dan kehausan. Meskipun kehilangan Kalium dari ginjal, tetapi tidak terjadi hipokalemia karena sel melepaskan Kalium akibat penurunan aktivitas kotranspor natrium-kalium-2clorin dan natrium-kalium-ATPase. Jika terdapat defisiensi insulin, protein akan dipecahkan menjadi asam amino di otot dan jaringan lain. Pemecahan otot bersama dengan gangguan elektrolit akan menyebabkan kelemahan otot. Lipolisis yng telah tejadi menyebabkan pelepasan asam lemak kedalam darah (hiperlipidasidemia). Hati

18

menghasilkan asam asetoasetat dan asam hidroksibutirat-B dari asam lemak. Penumpukan asam ini akan menyebabkan asidosis, yang memaksa pasien untuk bernafas dalam. Beberapa asam ini akan terjadi aseton. Skema patofiosolgi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Patofisiologi Diabetes Mellitus

19

III.4

DIAGNOSIS Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler. Berbagai keluhan dapat dikemukakan pada diabetesi. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut dibawah ini. Keluhan klasik DM berupa : poliria, polydipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama jika keluhan klasik ditemukan. maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan TTGO. Meskipun TTGO beban 75g glukosa lebih sensitif dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. Ketiga dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM.

20

Tabel 5. Kriteria Diagnosis DM 1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu 200mg/dL (11,1 mmo/L) Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau 2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam Atau 3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh. TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L) GDPT: glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL (5,6 -6,9 mmol/L)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan seharihari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anakanak) dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit

21

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

III.5

PEMERIKSAAN PENYARING
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM

namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM sebagai berikut:

1. Usia > 45 tahun 2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2 yang disertai dengan faktor risiko: kebiasaan tidak aktif turunan pertama dan orang tua dengan DM riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat DM-gestasional hipertensi (140/90 mmHg) kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.

22

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi glukosa oral (TTGO) standar.

Pemeriksaan penyaring untuk tujuan (skrining masal) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan ada kelaianan. Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit Lain atau general check up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada table 3.

Tabel 6. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL) Bukan DM Belum pasti DM Kadar Glukosa darah sewaktu (mg/dL) Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) Plasma vena <100 100-125 126 Darah kapiler <90 90-199 200 Plasma vena <100 100-199 200 DM

Catatan: untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

III.6

PILAR PENATALAKSANAAN DM

Pilar penatalaksanaan Diabetes Mellitus antara lain: 1. Edukasi 2. Terapi gizi medis

23

3. Latihan jasmani 4. Intervensi Farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemi dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

1. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang: Perjalanan penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM dan risikonya Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain.

24

Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia Pentingnya latihan jasmani yang teratur Masalah khusus yang dihadapi (misalnya: hiperglikemia pada kehamilan) Pentingnya perawatan diri Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Edukasi dapat dilakukan secara individual dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.

2. Terapi Gizi Medis Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri) Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi Prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

25

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari Lemak Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25 % kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori Lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA/Mono Unsaturated Fatty Acicf), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan Asam lemak jenuh.

26

Protein Dibutuhkan sebesar 15 - 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang, dan kacang-kacangan (Leguminosa), tahu, tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0.8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi. Garam Anjuran asupan natrium untuk diabetisi sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur. Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6 gr/hari garam dapur, terutama pada mereka yang hipertensi. Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin dan soda. Serat Seperti halnya masyarakat umum, penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari kacangkacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut. Pemanis Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol, mengandung 2 kalori /g

27

Batasi penggunaan pemanis bergizi. Dalam penggunaannya pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan para diabetisi karena efek samping pada lipid plasma. Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin,

acesulfame potassium, sukralose, neotame. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily intake / ADI)

B. Kebutuhan kalori Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus modifikasi menjadi: Berat badan ideal = (TB dalam cm -100) x 1 kg. BB Normal Kurus Gemuk : BB ideal 10% : < BBI - 10% : > BBI + 10%

28

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus IMT = BB (kg)/TB(m2) Klasifikasi IMT* BB kurang BB Normal BB Lebih Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I Obes
*

: <18,5 : 18,5-22,9 : 23,0

25,0-29,9 30

WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pasific Perspective; Redefining obesity and its treatment

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain Jenis Kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB. Umur Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, diatas 70 tahun Aktifitas Fisik atau Pekerjaan kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktifitas fisik Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktifitas ringan 30% dengan aktifitas sedang, dan 50% dengan aktifitas sangat berat

29

Berat Badan Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% bergantung kepada tingkat kegemukan Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

3. Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang, latihan jasmani sebaiknya disesuiakan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan

30

Tabel 7. Aktifitas Fisik Sehari-hari Kurangi aktifitas Hindari aktifitas sedenter Persering Aktifitas Misalnya, menonton televise, menggunakan internet, main game computer Misalnya, jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda,

Mengikuti olahraga rekreasi sepak bola dan beraktifitas fisik tinggi pada waktu liburan Aktifitas Harian Kebiasaan bergaya hidup sehat Misalnya, berjalan kaki ke pasar (tidak tangga

menggunakan mobil), menggunakan

(tidak menggunakan lift), menemui rekan kerja (tidak hanya melalui telepon internal), berjalanjalan

4. Intervensi Farmakologis Intervensi farmokologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani 1. Obat hipoglikemik oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: a. pemicu sekresi insulin (insulin secretogogue): sulfonilurea dan b. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion c. penghambat glukoneogenesis (metformin) d. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa

A. Pemicu Sekresi Insulin 1) Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
31

Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faai ginjai dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfoniiurea kerja panjang. 2) Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin 1. Tiazolidindion Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauanfaal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal. C. Penghambat glukoneogenesis (metformin) 1. Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin
32

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjai (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.

Tabel 8. Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap penurunan A1C (Hb-glikosilat) Cara kerja utama Efek utama Sulfonilurea Meningkatkan sekresi Insulin BB hipoglikemia naik, 1,5-2% samping Penurunan A1C

Glinid

Meningkatkan sekresi Insulin

BB hipoglikemia

naik,

Metformin

Menekan produksi Diare, glukosa hati

dispepsia, 1,5-2%

& asidosis laktat

menambah sensitivitas terhadap insulin Penghambat Menghambat Flatulens, tinja 0,5-1,0%


33

glukosidase alfa Tiazolidindion

absorpsi glukosa

lembek

Menambah sensitivitas terhadap insulin

Edema

1,3%

Insulin

Menekan produksi Hipoglikemia, BB Potensial sampai glukosa stimulasi pemanfaatan glukosa hati, naik normal

Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecif dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal Sulfonilurea generasi I & II: 15 -30 menit sebelum makan Glimepiride: sebelum/sesaat sebelum makan Hepaglinid, Nateglinid: sesaat/ sebelum makan Metformin: sebelum /pada saat/ sesudah makan karbohidrat Penghambat glukosidase a (Acarbose): bersama suapan pertama makan Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.

2. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat Hiperglilkemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemla dengan asidosis laktat
34

Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan TGM Gangguan fungsi ginjai atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis, yakni : insulin kerja cepat (rapid acting insulin) insulin kerja pendek (short acting insulin) insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) insulin kerja panjang (long acting insulin) insulin campuran tetap (premixed insulin)

Efek samping terapi insulin Efek samping utama dari terapi insulin adalah teriadinya hipoglikemi Penatalaksanaan hipoglikemi dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin: Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya

hiperglikemi pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemi setelah makan Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi

35

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa: insulin kerja cepat (rapid acting), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau kerja panjang (long acting) dan insulin campuran tetap (premixed insulin). Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis insulin Kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial. dengan kerja menengah atau kerja panjang untuk koreksi defisiense insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi dengan OHO Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian. Penyesuian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap hari 3-4 hari bila target terapi belum tercapai

Cara Penyuntikan insulin Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subuktan). Dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap permukaan kulit Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu

Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan percampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan harus dilakukan dengan benar demikian pula mengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh diabetisi yang sama. Secara resmi, kemasan insulin injeksi 40u/ml tidak beredar lagi si Indonesia sehingga mengurangi risiko kesalahan yang dapat di sebabkan karena
36

perbedaan kemasan insulin dengan semprit yang dipakai Saat ini juga tersedia insulin campuran (premixed) kerja cepat dan kerja menengah.

3. Terapi kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah beium tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe-2). Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang/panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan meniiai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.

37

III.7

PENILAIAN HASIL TERAPI Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan diabetes tipe 2 harus dipantau

secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

III.7.1 Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah: Untuk mengetahui apakah target terapi telah tercapai Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila target terapi belum tercapai. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam postprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. III.7.2 Pemeriksaan A1C Tes hemoglobin terglikasi, yang disebut juga sebagai

glycohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan sebanyak 4 kali dalam setahun. III.7.3 Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi diabetisi dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam
38

setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.

Tabel 9. Prosedur pemantauan

Tes dilakukan pada waktu (tergantung tujuan pemeriksaan): - sebelum makan - 2 jam sesudah makan - sebelum tidur malam*

Diabetesi dengan control buruk/tidak stabil dilakukan setiap hari sampai target tercapai

tes

Diabetisi dengan kontrol baik/stabil tes dilakukan sebanyak 1 2 kali/ minggu Pemantauan dapat lebih jarang apabila diabetisi terkontrol baik secara konsisten Pemantauan glukosa darah pada diabetisi yang mendapat terapi insulin ditujukan juga untuk penyesuaian dosis insulin dan memantau timbulnya hipoglikemi

Diabetisi yang melaukan aktifitas tinggi pada keadaan kronis, atau pada diabetisi yang sulit mencapai target terapi (selalu tinggi atau sering mengalami hipoglikemi).

*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed time) dilakukan pada jam 22.00

39

III.7.4 Pemeriksaan Glukosa Urin Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada diabetisi yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa diabetisi bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat tegantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

III.7.5 Penentuan Benda Keton Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada diabetisi tipe-2 yang terkendali buruk kadar glukosa darah >300 mg/dL), Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada diabetisi tipe 2 yang sedang hamil, Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus Kadar benda keton darah <0.6 mmol/L dianggap normal, di atas 1.0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3.0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.

III.8

KRITERIA PENGENDALIAN DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan

pengendalian DM yang baik yang merupakan target terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.

40

Tabel 10. Kriteria pengendalian DM Baik Glukosa (mg/dL) Glukosa (mg.dL) A1C (%) Kolesterol Total (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigeliserida (mg/dL) IMT (kg/m2) Tekanan darah (nmHg) <6,5 <200 >100 >45 <150 18.5 2,3 130/180 150-199 23-25 130-140/8090 200 >25 >140/90 6,5 8 200-239 100-129 >8 240 130 darah 2 jam 80-144 145-179 180 darah puasa 80-100 Sedang 100-125 Buruk 126

Keterangan: Angka di atas adalah hasil pemeriksaan plasma vena. Penu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma vena.

Untuk diabetisi berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan Iain-Iain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus diabetisi usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.

III.9

PROMOSI PERILAKU SEHAT Promosi perilaku sehat merupakan faktor penting pada kegiatan pelayanan

kesehatan. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan diabetes yang optimal


41

dibutuhkan perubahan perilaku. Perlu dilakukan edukasi bagi diabetisi dan keluarga untuk pengetahuan dan peningkatan motivasi. Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui dukungan tim educator yang terdiri dari dokter, ahli diet, perawat dan tenaga kesehatan lain

III.9.1 Perilaku sehat bagi diabetisi Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar diabetesi dapat menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah : Mengikuti pola makan sehat Meningkatkan kegiatan jasmani Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman, teratur Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data yag ada Melakukan perawatan kaki secara berkala Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana dan mau bergabung dengan kelompok diabetisi serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan diabetes. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan Libatkan keluarga/ pendamping dalam proses edukasi Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan keluarganya Gunakan alat bantu audio visual

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi 42

Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah : Mengenal dan mencegah penyulit akut DM Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain Makan di luar rumah Rencana untuk kegiatan khusus Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM Pemeliharaan/Perawatan kaki

Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara detail pada semua dengan ulkus maupun neuropati peripheral dan penyakit arteri perifer 1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.

diabetesi

2. Periksa kaki setiap hari, dan laporkan pada dokter apabila ada kulit terkelupas atau daerah kemerahan atau luka. 3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya. 4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, dan mengoieskan iosion pelembab ke kulit yang kering Edukasi perawatan kaki harus dilakukan secara teratur tingkat lanjutan.

III.10 PENYULIT DIABETES MELITUS Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun III.10.1 Penyulit akut 1. Ketoasidosis diabetic 2. Hiperosmolar non ketotik 3. Hipoglikemi

Dalam buku konsensus hanya dibahas mengenai hipoglikemi, sedangkan mengenai ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik dapat dilihat 2002) buku Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 (PERKENI 2002)
43

Hipoglikemi dan cara mengatasinya Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga mencapai <60 mg/dL Bila terdapat penurunan kesadaran pada diabetisi harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipogiikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannva (2472 jam atau lebih, terutama pada diabetisi dengan gagal ginjai kronik) Hipoglikemi pada usia lanjut merupakan suatu ha yang harus dihindari mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada diabetisi. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing gelisah kesadaran menurun sampai koma) Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada diabetisi dengan hipoolikemi berat Untuk diabetisi yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

III.10.2 Penyulit menahun: 1. Makroangiopati yang melibatkan: Pembuluh darah jantung Pembuluh darah tepi
44

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada diabetisi. Biasanya teriadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul Pembuluh darah otak 2. Mikroangiopati: Retinopati diabetic Kontrol glukosa darah dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi asatosal tidak mencegah timbulnya retinopati Nefropati diabetic Kontrol glukosa darah dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati Pembatasan asupan protein dalam diet (0.8 g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati 3. Neuropati Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Adanya neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala lain yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa nyeri di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap diabetisi perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan sederhana. Dilakukan sedikitnya setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan antara lain duloxetine, antidepresan trisiklik atau gabapentin. Semua diabetisi yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

45

Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.

III.11 PENCEGAHAN PRIMER III.11.1Sasaran pencegahan primer: Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok, faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk menjadi DM dan kelompok prediabetes. Faktor risiko diabetes Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk prediabetes yaitu : Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi Riwayat keiuarga dengan diabetes Umur. Risiko untuk menderita prediabetes meningkat seiring dengan memngkatnya usia Riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi disbanding dengan bayi lahir dengan BB normal Faktor risiko yang bisa dimodifikasi; Berat badan lebih Kurangnya aktifitas fisik Hipertensi Dislipidemia Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe-2

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes : Penderita polycystic ovary syndrome (PCOS) Penderita sindroma metabolic

46

Prediabetes Prediabetes merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes. Angka kejadian prediabetes dilaporkan terus mengalami peningkatan. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of Health and Human Services (DHHS) dan the American Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan prediabetes adalah TGT dan GDPT Setiap tahun 4-9% orang dengan prediabetes akan menjadi Diabetes. Prediabetes mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Diagnosis prediabetes ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam. Diagnosis prediabetes ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari angka tersebut di bawah ini : Glukosa darah puasa antara 100 -125 mg/dL Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199 mg/dL. Pada pasien dengan prediabetes, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yanq dapat dimodifikasi.

III.11.2 Materi pencegahan primer: Penyuluhan, yang ditujukan kepada: A. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan kelompok prediabetes. Materi penyuluhan meliputi antara lain: 1. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk
47

menurunkan risiko terkena DM tipe-2 atau prediabetes. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 510% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe-2. 2. Diet sehat. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Karbohidrat komplek merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak

menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat iarut 3. Latihan jasmani. Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kontrol glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan serta dapat meningkatkan kadar kolesterol-HDL. Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung >70%

maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktifitas/minggu. 4. Menghentikan merokok. Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meski merokok berkaitan langsung dengan timbulnya prediabetes, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari prediabetes dan DM tipe 2

48

B. Perencana kebijakan kesehatan agar memahami dampak sosio ekonomi penyakit ini dan pentingnya penyediaan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer

Pengelolaan, yang ditujukan kepada : Kelompok prediabetes Kelompok dengan risiko (obesitas, hipertensi, disliplidemia, dll)

1. Pengelolaan Prediabetes Prediabetes sering berkaitan dengan syndrom metabolik yang ditandai dengan adanya obesitas sentral, dislipidemi (trigliserida yang tinggi, dan atau kolesterol HDL rendah),dan hipertensi Sebagian besar penderiat prediabetes dapat diperbaiki dengan perubahan gaya hidup, menurunkan berat badan mengkonsumsi diet sehat serta melakukan latihan jasmani yang cukup dan teratur. Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup lebih lebih efektif untuk mencegah DM tipe-2 dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan Penurunan berat badan sebesar 5-10% disertai dengan latihan jasmani teratur mampu mengurangi resiko timbulnya DM tipe 2 sebesar 50%. Sedangkan penggunaan obat (seperti metformin thiazolidinediones, acarbose) hanya mampu menurunkan resiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai obat tersebut untuk penanganan Prediabetes masih menjadi kontroversi Bila disertai dengan obesitas hipertensi dan dislipedemia, dilakukan pengendalian berat badan, tekanan darah dan profil lemak hingga tercapai target yang ditetapkan 2. Pengelolaan berbagai faktor risiko : a. Obesitas b. Hipertertsi c. Dislipidemia
49

III.12 PENCEGAHAN SEKUNDER Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada diabetes yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM Dalam upaya pencegahan sekunder program penyluhan memegang peranan penting untuk meningkatkan kepatuhan diabetisi dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama diabetisi baru Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya. Materi penyuluhan pada tingkat pertama dan lanjutan dapat dilihat pada materi edukasi pada bab II.3.3.1 dan materi tentang edukasi edukasi tingkat lanjut pada bab II.4.2. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardivaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada diabetesi. Selain pengobatan terhadap tingginya glukosa darah, maka pengendalian berat badan, tekanan darah profil lipid dalam darah serta pemberian antipletelet dapat menurunkan resiko tembulnya kelaianan kardivaskular pada diabetesi.

Dislipidemia pada Diabetes Displidemia pada diabetesi lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardivaskular Perlu pemeriksaan profit lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lemak sedikitnya dilakukan setahun sekali d dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien dengan profil lemak menunjukkan hasil yang baik (LDL<l00mg/dL; HDL>50 mg/dL; trigleserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil lemak dapat dilakukan 2 tahun sekali.

50

Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada diabetisi adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.

Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan penggunaan lemak jenuh serta peningkatan aktifitas fisik terbukti dapat memperbaiki profil lemak dalam darah

Dipertimbangkan untuk

memberikan terapi

farmakologis

sedini

mungkin bagi diabetisi yang disertai dislipidemia Target terapi: o Pada pasien target utamanya adalah penurunan LDL dengan pemberian statin Pada diabetisi dengan penyakit kardiovaskular: - LDL <70 mg/dL (1.8 mmol/L) - Pasien dengan usia >40 tahun, dianjurkan menurunkan LDL sebsear 30-40% dari kadar awal - Pasien dengan < 40tahun dengan risiko penyakit

kardiovaskular yang gagal dengan perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmokologis Pada diabetesi dengan penyakit kardiovaskular - LDL <70 mg/dL (1.8 mmol/L) - semua diabetisi diberikan terapi statin untuk

menurunkan LDL sebesar 30-40% o o

Trigliserida < 150 mg/dL (1.7 mmol/L) HDL > 40 mg/dL (1.15 mmol/L) untuk pria dan >50 mg/dL untuk wanita

o Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida 150 mg/dL (1.7 mmol/L) atau HDL 40 mg/dL (1.15 mmol/L) dapat diberikan fibrat

51

o Apabila trigliserida 400 mg/dL (4.51 mmol/L) perlu segera diturunkan dengan terapi farmakologis untuk mencegah timbulnya pankreatitis. o Terapi kombinasi statin dengan obat pengendali lemak yang lain mungkin diperlukan untuk mencapai target terapi, dengan memperhatikan peningkatan risiko timbulnya efek samping o Niasin merupakan obat yang efektif untuk meningkatkan HDL, namun pada dosis besar dapat meningkatkan kadar glukosa darah o Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontra indikasi o Selanjutnya dapat dilihat pada buku Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada DM

Hipertensi pada Diabetes Indikasi pengobatan : Bila TD sistolik 130 mmHg dan/atau TD diastolik 80 mmHg. Sasaran (target penurunan) tekanan darah: Tekanan darah <130/80 mmHg Bila disertai proteinuria 1g/24 jam: < 125/75 mmHg Pengelolaan: Non-farmakoiogis: Modifikasi gaya hidup, antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi garam Farmakologis: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi (OAH): Pengaruh OAN terhadap profil lipid Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
52

Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan: Penghambat ACE Penyekat reseptor angiotensin Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah Diuretik dosis rendah Penghambat alfa Antagonis kaisium golongan non-dihiropiridin Pada diabetisi dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidupo hingga 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis Diabetisi dengan tekanan darah sistolik 140 atau tekanan diastoiik 90 mmHg langsungg perubahan gaya hidup dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi. Catatan : Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB = angiotensin II receptor blocked) dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria. Penghambat kardiovaskular. Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi glukosa. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran. sudah tercapai. Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap
53

ACE dapat memperbaiki kinerja

Obesitas pada Diabetes Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dencan sindrom dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemi, hipertensi), yang didasari oleh resistensi insulin resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas membutuhkan pendekatan khusus Obesitas dan diabetes meningkatkan risiko kematian akibat PJK Penurunan 5-10 % dari berat badan dapat memperbaiki sindroma dismetabolik dan menurunkan risiko PJK secara bermakna Pengelolaan obesitas terutama ditujukan pada perubahan perilaku pola makan dan peningkatan kegiatan jasmani. Apabila tidak cukup, maka pendekatan farmakoterapi (misalnya sibutramine dan orlistat) atau terapi bedah merupakan pilihan.

Gangguan koagulasi pada Diabetes Terapi asetosal 75-160 mg/hari diberikan sebagai strategi pencegahan sekunder bagi diabetisi dengan riwayat pernah mengalami penyakit kardiovaskular Terapi asetosal 75-160 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan primer pada diabetisi tipe-2 yang merupakan faktor risiko

kardiovaskular, termasuk diabetisi dengan usia >40 tahun yang memiliki riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dan kebiasaan merokok, menderita hipertensi, dislipidemi atau albuminuria asetosal dianjurkan tidak diberikan pada diabetisi dengan usia di bawah 21 tahun, seiring dengan peningkatan kejadian sindrom Reye Terapi kombinasi asetosai dengan antiplatelet lain dapat

dipertimbangkan pemberiannya pada diabetisi yang memiliki risiko sangat tinggi.


54

Penggunaan obat antiplatelet selain asetosal dapat dipertimbangkan sebagai pengganti asetosal pada diabetisi yang mempunyai kontra indikasi dan atau tidak tahan terhadap penggunaan asetosal.

III.13 PENCEGAHAN TERSIER


Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok diabetisi yang telah mempunyai penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih ianjut. Upaya rehabilitasi pada diabetisi dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh pemberian asetosal dosis rendah (75-160 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi diabetisi yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada diabetisi dan keiuarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli diberbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri, dll) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

55

DAFTAR PUSTAKA

1. Chernecky, Schumacher . 2005. Critical care & emergency nursing. USA. Elsevier Science 2. PB Perkeni. Consensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus Tipe 2. 2006 3. DR. Paul Belchetic & DR. Peter J Hammond. 2005. Diabetes and Endokrinology. Mosby 4. Prof. DR. H. Tabrani. 2008. Agenda Gawat Darurat (critical care). Bandung. PT Alumni

5. Adam

JMF.

Penatalaksanaan

endokrin

darurat.

Perkumpulan

Endokrinologi indonesia. Makassar, 2002 6. Hudak dan Gallo. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume II. Jakarta: EGC. 7. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes2006. Diabetes care 2006:29:S94-S102 8. American Diabetes Association. Practical Insulin. A handbook for prescribers. ADA edisi 2004 9. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medika-bedah Brunner dan Suddarth. Edisi 8.. Jakarta: EGC. 10. American Diabetes Association. Hyperglikemic crises in diabetes. Diabetes care 2004:27:S94-S102

56

LAMPIRAN

57

PERBANDINGAN OBAT OHO

58

59

Вам также может понравиться