Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1.1
Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Gejala klinis leptopirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influenza, meningitis, hepatitis, demam dengue demam berdarah dan demam virus lainnya. Sehingga seringkali tidak terdiagnosis . Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan bakteri lepstopira tergolong cukup tinggi bahkan untuk penderita yang berusia lebih dari 50 tahun malah kematiannya bisa mencapai 56% (Masniari poengan, peneliti dari Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor 2007) Salah satu daerah di Indonesia merupakan daerah endemik Leptospirosis yaitu di Guilan Provinsi di utara di Iran. Karena diagnosa Leptospirosis berdasarkan gejala klinis sangat sulit karena kurangnya karakteristik pathogonomic, dukungan laboratorium diperlukan. Angka kejadian penyakit leptospirosis di Provinsi Guilan Iran Utara cukup tinggi terutama pada daerah Rasht. Pada daerah tersebut terdapat 233 kasus Leptospirosis dari keseluruhan kasus yang berjumlah 769. 1
1.2
Rumusan Masalah Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Bagaimana epidemiologi leptopirosis ? Bagaimana etiologi leptospirosis ? Bagaimana cara penularan leptospirosis ? Bagaimana Manisfestasi klinik leptopirosis? Bagaimana Pencegahan leptopirosis? Bagaimana Pengobatan leptopirosis? Bagaimana pengendalian dan pemberantasan leptopirosis ?
1.3
Tujuan Penulisan Sesuai dengan masalah yang dirumuskan diatas tujuan inipun dirumuskan guna memperoleh suatu deskripsi tentang: 1. Epidemiologi leptospirosis 2. Etiologi lephospirosis 3. Cara penularan leptospiros 4. Manisfestasi klinik 5. Pencegahan leptopirosis 6. Pengobatan leptopirosis 7. Pengendalian dan pemberantasan leptospirosis.
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Epidemiologi leptospirosis Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, baik negara berkembang maupun negara maju, di daerah pedesaan dan perkotaan. Suatu penelitian melaporkan 31% anak di daerah perkotaan dan 10% anak di pinggiran kota pernah terpapar leptospira yang ditunjukkan dengan adanya antibodi terhadap leptospira. Di Indonesia, penyakit ini tersebar di pulau Jawa, Sumsel, Riau, Sumbar, Sumut, Bali, NTB, Sulsel, Sulut, Kaltim, dan Kalbar. KLB tercatat terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002) (diperoleh 138 spesimen dengan 44,2% positif), Bekasi (2002), dan Semarang (2003). Manusia yang beresiko tertular adalah yang pekerjaanya berhubungan dengan hewan liar dan hewan peliharaan seperti peternak, petani, petugas laboratorium hewan, dan bahkan tentara. Wanita dan anak di perkotaan sering terinfeksi setelah berenang dan piknik di luar rumah. Orang yang hobi berenang termasuk yang sering terkena penyakit ini. Angka kematian akibat penyakit ini relatif rendah, tetapi meningkat dengan bertambahnya usia. Mortalitas bisa mencapai lebih dari 20% bila disertai ikteru dan kerusakan ginjal. Pada penderita yang berusia lebih dari 51 tahun, mortalitasnya mencapai 56%. 3
2.2
Etiologi Leptospirosis merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh beberapa bakteri dari golongan leptospira yang berbentuk spiral kecil disebut spirochaeta. Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili
leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulunggulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofitik. Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi. Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbedabeda. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia.
2.3
Cara Penularan Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini : a. Kontak dengan air, tanah, dan lumpur yang tercemar bakteri. b. Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan yang terinfeksi. c. Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Berdasarkan berbagai data, infeksi yang sering adalah melalu cara yang pertama. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit intak (sehat) terutama bila kontak lama dengan air. Hewan penular utama pada manusia adalah tikus. Di Amerika Serikat penular terbesar adalah anjing. Di Indonesia, infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir. Detergen, bahkan konsentrasi rendah sekalipun, terbukti dapat menghambat perkembangan hidup leptospira. Faine S. menyatakan bahwa terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu : 1. Penularan via kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim sedang, sering terjadi di peternakan sapi atau babi. 2. Penularan atau penyebaran penyakit karena kontaminasi yang luas pada lingkungan, biasanya pada iklim tropis-basah (musim hujan). Paparan pada manusia secara lebih luas tidak terbatas karena pekerjaan.
2.4
Manifestasi Klinik Infeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang asimtomatis (tanpa gejala), sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita yang terpapar infeksi tidak mengalami gejala tetapi menunjukkan serologi positif. Masa inkubasi biasanya terjadi sekitar 7-12 hari dengan rentang 220 hari. Sekitar 90% penderita dengan manifestasi ikterus (penyakit kuning) ringan sekitar 5-10% dengan ikterus berat yang sering dikenal dengan penyakit Weil. Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase septisemia dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1-3 hari kondisi penderita menunjukkan beberapa perbaikkan. Fase awal tahap ini, organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Selama fase awal yang terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
Karakteristik manifestasi klinis yang terjadi adalah demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis. Fase ke-2 sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat di deteksi dengan isolasi kuman dari urin dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan
serebrospinalis. Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal. Gejala non spesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin sedikit lebih ringan dibandingkan fase awal dan 3 hari sampai beberapa minggu terakhir. Beberapa penderita sekitar 77% mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak respon dengan pemberian analgesik. Leptospirosis dapat terjadi makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis. Juga dapat menimbulkan manifestasi aseptic meningitis, encephalitis, atau fever of unknown origin. Leptospirosis dapat dicurigai
bila didapatkan penderita dengan flulike disease dengan aseptic meningitis atau disproporsi mialgia berat. Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada penderita berbeda tergantung berat ringannya penyakit dan waktu dari onset timbulnya gejala. Tampilan klinis secara umum dengan gejala pada beberapa spektrum mulai dari yang ringan hingga pada keadaan toksis. Manifestasi neurologi didapatkan palsi saraf kranial, penurunan kesadaran, delirium atau gangguan mental berkepanjangan seperti depresi, kecemasan, iritabel, psikosis, dan demensia. Pemeriksaan mata terdapat perdarahan subconjuntiva, uveitis, tanda iridosiklitis atau korioretinitis. Gangguan hematologi yang ditemukan adalah perdarahan, petekie, purpura, ekimosis dan
splenomegali. Kelainan jantung dijumpai tanda dari kongestif gagal jantung atau perikarditis.
2.5
Pencegahan Dapat dilakukan dengan cara : 1. Membiasakan diri dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) 2. Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus 3. Mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan
4. Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya 5. Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis ( petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan dan lain lain ) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan. 6. Menjaga kebersihan lingkungan 7. Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah 8. Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang. 9. Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung. 10. Menghindari pencemaran oleh tikus. 11. Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh tikus. 12. Meningkatkan penangkapan tikus .
2.6
Pengobatan Leptospira adalah penyakit yang self-limited. Secara umum prognosisnya dalah baik. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain : 1. Penyakit sedang atau berat : penisilin 4 x 1,5 IU atau amoksilin 4 x 1 gr selama 7 hari. 2. Penyakit ringan : ampisilin 4 x 500 mg, amoksilin 4 x 500 mg, atau eritromisin 4 x 500 mg.
2.7
Pengendalian dan pemberantasan Leptospirosis Pengendalian dan pemberantasan leptospirosis dapat dilakukan dengan tiga jalur intervensi : 1. Intervensi sumber infeksi Penularan dapat dicegah dengan sebagai berikut : a. Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi b. Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi c. Mengurangi populasi tikus d. Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman e. Mencegah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia f. Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan g. Membuang kotoran hewan peliharaan 2. Intervensi pada jalur penularan a. Memakai alat pelindung kerja b. Mencuci luka dengan cairan antiseptik dan ditutup dengan plester. c. Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik d. Meningkatkan kesadaran terhadap potensi risiko dan bagaimana mencegah pajanan e. Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengelolaan air minum yang baik f. Memberikan peringatan kepada masyarakat g. Mekanisasi pekerjaan dengan risiko pajanan yang tinggi, seperti pekerja pemotongan hewan, perkebunan, dokter hewan. 10
h. Manajemen ternak yang baik i. Menerapkan prosedur kewaspadaan standar di laboratorium dan bangsal perawatan. 3. Intervensi pada manusia a. Menumbuhkan sikap waspada dengan upaya edukasi b. Memberikan profilaksis pasca pajanan. Di Indonesia, pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis akan berhasil jika memiliki beberapa strategi, yakni : 1. Pendekatan antar disiplin, yang meliputi : dana, sosial, kultur dan partisipasi masyarakat. Suksesnya program pengendalian dan pemberantasan zoonosis tidak hanya hubungan erat antar kementerian, tetapi keseriusan dan kerjasama antar kementerian maupun Direktorat Jenderal terkait. Kelembagaan antar kementerian maupun antar Direktorat Jenderal sangat berkaitan. Sebagai contoh berhasilnya program pengendalian dan pemberantasan leptospirosis di beberapa negara lain karena upaya koordinasi antara dinas kesehatan dan dinas kesehatan hewan. 2. Prioritas analisis epidemiologi kuantitatif dan penerapannya 3. Gencar dilakukannya promosi kesehatan mengenai penyakit zoonosis.
11
3.1 Kesimpulan Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri leptospira ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Penyakit leptospirosis mungkin banyak terdapat di Indonesia terutama di musim penghujan. Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung, sedangkan penularan dari manusia ke manusia sangat jarang. Pengobatan dengan antibiotik merupakan pilihan terbaik pada fase awal ataupun fase lanjut (fase imunitas). Selain pengobatan antibiotik, perawatan pasien tidak kalah pentingnya untuk menurunkan angka kematian. Angka kematian pada pasien leptospirosis menjadi tinggi terutama pada usia lanjut, pasien dengan ikterus yang parah, gagal ginjal akut, gagal pernafasan akut.
12
3.2
Saran 1. Pada orang berisiko tinggi terutama yang bepergian ke daerah berawarawa dianjurkan untuk menggunakan profilaksis dengan doxycycline. 2. Masyarakat terutama di daerah persawahan, atau pada saat banjir mungkin ada baiknya diberi doxycycline untuk pencegahan. 3. Para klinisi diharapkan memberikan perhatian pada leptospirosis ini terutama di daerah-daerah yang sering mengalami banjir. 4. Penerangan tentang penyakit leptospirosis sehingga masyarakat dapat segera menghubungi sarana kesehatan
13
DAFTAR PUSTAKA
News healt. 2003. Leptospirosis. http://www.mhcs.health.nsw.gov.au/publication pdfs/ 7140/DOH-7140-IND.pdf Poengan, Masniari. 2007. Leptospirosis. Bogor : Balai Besar Penelitian Veteriner Susanti, Eni. 2010. Leptospirosis Penambah wawasan dan mengasah kepedulian. Dari http://www.leptospirosis.org/ Widarso HS dan Wilfried. 2002. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Kumpulan Makalah
Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Widoyono. 2005. Penyakit Tropis : Epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasan. Jakarta : Erlangga WHO. Leptospirosis. http://www.searo.who.int/LinkFiles/CDS_leptospirosisFact_Sheet.pdf
14