Вы находитесь на странице: 1из 3

Osteoporosis Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurun densitas massa tulang dan perburukan

mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Setiyohadi, 2009). Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial seperti umur, menopause, obat-obatan seperti glukokortikoid, dan lain-lain. Semakin bertambah umur maka resiko untuk terkena osteoporosis semakin besar. Setelah memasuki masa menopause, resiko terhadap osteoporosis juga besar bagi wanita. Selain itu, obatobatan seperti glukokortikoid juga berperan dalam meningkatkan resiko terkena osteoporosis. Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal sehingga menyebabkan hipokalsemi, hiperparatiroidisme dan peningkatan kerja osteoklas. Menurut Setiyohadi (2009), faktor resiko terjadinya osteoporosis yaitu: 1. Umur Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan peningkatan resiko 1,4 1,8 kali. 2. Genetik Etnis (Kaukasus/oriental>orang hitam/polinesia) Gender (perempuan>laki-laki) Riwayat keluarga.

3. Lingkungan Makanan, defisiensi kalsium Aktifitas fisik dan pembebanan mekanik Obat-obatan misalnya kortikosteroid, anti konvulsan, heparin Merokok Alkohol Jatuh (trauma).

4. Hormon endogen dan penyakit kronik Defisiensi estrogen Defisiensi androgen Gastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme

5. Sifat fisik tulang Densitas massa tulang Ukuran dan geometri tulang Mikroarsitektur tulang Komposisi tulang. Osteoporosis dibedakan menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Osteoporosis primer yaitu osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui sedangkan osteoporosis sekunder yaitu osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Osteoporosis primer dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe I dan II. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis II disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorbsi kalsium di usus sehingga menyebabkan

hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Tapi, akhir tahun 1990-an Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis. Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi di usus, ekskresi kalsium di ginjal dan sekresi horom paratiroid (PTH). Sedangkan efek langsung estrogen terhadap tulang berhubungan dalam peningkatan formasi tulang dan menghambat resorbsi tulang oleh osteoklas. Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat. Hali ini disebabkan penurunan kadar estrogen meningkatkan produksi sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF-) dimana sitokin menyebabkan peningkatan kerja dari osteoklas sehingga resorpsi meningkat dan terjadi soteoporosis. Selain peningkatan kerja osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi di ginjal. Sehingga kadar kalsium didalam darah berkurang. Hal ini menyebabkan sintesis hormon paratiroid meningkat sehingga

resorpsi kalsium pada tulang menjadi meningkat. Ini menyebabkan osteoporosis menjadi semakin berat. Pendekatan klinis sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis karena gejala klinis tidak begitu jelas. Diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan kalau perlu biopsi tulang. Penderita osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberensia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda McConkey). Penatalaksanaan osteoporosis berupa medikamentosa dan non-

medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa dapat menggunakan obatobatan yang kerjanya bersifat anti-resorptif (menghambat kerja osteoklas) dan stimulator tulang (meningkatkan kerja osteoblas). Penatalaksanaan nonmedikamentosa yaitu dengan pembedahan yang dapat dilakukan bila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul. Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang pemeriksaan densitometri (paling sering menggunakaan DEXA) setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya. Selain itu, pemeriksaan petanda biokimia juga dapat dilakukan yang waktunya lebih cepat yaitu 3-4 bulan. Yang dinilai adalah penurunan kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang.

Sumber : Setiyohadi, Bambang. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V Bab Osteoporosis. Jakarta : InternaPublishing.

Вам также может понравиться