Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
A.
BAB I PENDAHULUAN
ada bagian ini dijelaskan mengenai latar belakang mengapa dilakukan penelitian ini, tujuan kajian yang ingin dicapai, batasan yang digunakan, metodologi secara singkat dalam penelitian ini dan kerangka kajian serta sistimatika penulisan.
Latar Belakang
Otonomi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dengan negeri yang mempunyai
luas, penduduk, pulau terbanyak dan suku yang beraneka ragam seperti Indonesia. Otonomi sendiri dapat diartikan sebagai pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (LAN, 2007). Pengalaman Orde Baru dengan pendekatan sentralisasinya ternyata tidak mampu membendung gejolak daerah-daerah yang menginginkan keadilan antara pusat dengan daerah, dikarenakan melalui pendekatan top down tersebut setiap daerah di Indonesia hanya bisa memajukan daerahnya dengan mengikuti segala aturan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat menggali potensi yang dimilikinya guna memajukan dan mensejahterakan masyarakat daerahnya. Selanjutnya berbagai kebijakan yang tersentralisasi juga belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya di Provinsi Papua. Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang tersebut dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Kebijakan Otonomi Khusus Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang berarti peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur urusan rumah tangganya, menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua, diharapkan dengan kebijakan ini akan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya dengan memberikan ruang lebih bagi masyarakat lokal Papua dan Papua Barat sebagai subyek utama dalam pembangunan. Kebijakan Otonomi Khusus Papua tersebut tidak lepas dari sejarah panjang friksi yang terjadi antara daerah ini dan Pusat. Sentimen atas ketidakadilan yang diterima daerah ini telah memunculkan berbagai gejolak dimasa lampau yang mengarah pada proses disintegrasi. Gejolak yang menjadi respon atas ketidakadilan sosial ekonomi yang dialami rakyat Papua tersebut merupakan salah satu ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di tingkat lokal, di Provinsi Papua sendiri hal tersebut menjadi salah satu alasan atas keterbelakangan pembangunan yang dirasakan masyarakat Papua. Provinsi Papua yang kaya akan hasil alam, namun ironisnya Provinsi ini merupakan Provinsi yang paling banyak penduduk miskinnya dan tertinggal pembangunanya. Kondisi tersebut tentu saja mencerminkan kelemahan Negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelemahan inilah yang memicu tuntutan atas hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar bagi masyarakat Papua. Latar belakang ini tidak dapat dikesampingkan dalam mengkaji perkembangan pelaksanaan otonomi khusus Papua sampai saat ini. Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001diterbitkan dan mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap Bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahanperubahan positif yang terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan mampu diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah harapannya juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua berawal dari belum berhasilnya Pemerintah mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Selain itu, persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat. Tim Asistensi Otsus Papua (dikutip oleh Sumule, 2002: Djohermansyah Djohan, 2005)
pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Filosofi pemekaran daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua. Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan khusus ini. Pertama adalah agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya. Kedua adalah agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. Keempat adalah penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya. Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun 2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi. Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu perkembangan pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Namun demikian cerita tentang Papua masih banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi khusus yang hampir mencapai satu dekade ini. Bagaimana pencapaian agenda utama dari
kebijakan khusus ini perlu diketahui secara komprehensif. Di samping itu, penting untuk dikaji, sejauh mana Provinsi Papua dan Papua Barat mampu mengejar ketertinggalannya dengan provinsi lainnya sebagaimana diharapkan dengan adanya kebijakan otonomi khusus tersebut. Kebijakan otonomi khusus tidak serta merta menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih baik di Papua. Pelaksanaannya memerlukan kapasitas pemerintahan yang memadai. Titik berat otonomi khusus Papua dan Papua Barat berada pada level provinsi. Namun demikian kabupaten/kota dalam provinsi tersebutlah yang secara riil menjadi lokus utama implementasi program pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Di sisi lain, pemerintah Pusat juga memiliki peran penting dalam kebijakan ini. Kapasitas dan hubungan antara ketiga level pemerintahan ini perlu ditingkatkan untuk terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih baik di Papua. Aspek yang penting dari pelaksanaan otonomi khusus adalah bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Dari segi kebijakan, sejumlah kebijakan pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dan berbagai program pembangunan telah diterapkan. Kebijakan tersebut pada akhirnya juga berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya, khususnya finansial. Apakah pilihan-pilihan kebijakan/program dan alokasi sumberdaya telah berjalan optimal, perlu terus dimonitor dan ditingkatkan. Selain itu, pelaksanaan otonomi khusus juga berjalan beriringan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengganti UndangUndang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Sektoral dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Artinya, penerapan kebijakan otonomi khusus tidak dapat diisolasi dari lingkungan kebijakan lainnya. Perlu ada koherensi antar berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan provinsi tersebut sehingga terbangun kebijakan yang sinergis. Dalam perkembangannya, setelah 11 tahun keberlangsungan otonomi khusus di Papua ternyata belum dapat dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang menjadi sasaran Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur pada kenyataannya masih ditemukan berbagai permasalahan seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di kampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif mahal di sejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional, yakni di kisaran 50,065,9(BPS).
Selanjutnya di bidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta dan penyakit lainya masih banyak terjadi . Di sektor pemberdayaan ekonomi, pribumi Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar kabupaten/kota di Papua masih tetap berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik mata hari, emperan toko dan terus tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan pembangunan infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua. Selanjutnya, di bidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun pengadilan HAM. Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat Papua, ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya merupakan suatu jalan dimana dapat menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak berjalan mulus. Seperti dilansir oleh TheJakartaglobe.com, Ferry Ayomi anggota Kongres Rakyat Papua Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan otonomi khusus, karena kami (rakyat Papua) masih tertinggal dalam situasi kemiskinan, Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Pemerintah sebagai penanggung jawab akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan, diantaranya: Pertama, implikasi dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinisi Papua sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, Inpres Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat*) telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada
Provinsi tersebut. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu melekat berbagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi dinamika yang terjadi di kedua Provinsi ini perlu dipantau perkembangannya seaktual mungkin. Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya otonomi khusus dengan baik. Ketiga , penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis. Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
B.
Tujuan Kajian
Secara umum, tujuan Kajian Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua
dan Papua Barat adalah: 1. Mengetahui apa saja masalah-masalah pada level kebijakan yang perlu mendapat perhatian, sebagai bahan pertimbangan perbaikan ke depan; 2. Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan khusus, lembaga khusus dan kekhususan lainnya; 3. Mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan dan pelaksanaan kewenangan khusus; implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, khususnya terkait pengelolaan keuangan dan
4. Mengembangkan strategi perbaikan untuk memperkuat operasional kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
C.
Batasan Penelitian
Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas sehingga penelitian dapat terarah
dengan baik sesuai tujuan penelitian serta dengan adanya keterbatasan waktu pengerjaan maka perlu adanya batasan penelitian. Batasan penelitian dalam keterkaitan kekhususan lainnya hanya terbatas kepada Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yaitu Perdasi dan Perdasus.
D.
1. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data sekunder. Data sekunder digunakan untuk data pendukung yang dibutuhkan untuk melengkapi data primer, dapat berupa konsep/literatur, kebijakan, berita media massa, hasil kajian-kajian yang terkait, dan laporan-laporan seperti: Provinsi, Kabupaten/Kota dalam angka yang biasanya disajikan oleh Bappeda Kabupaten dan Kota/Badan Pusat Statistik, Data/Laporan Hasil EKPPD, LAKIP, Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahunan, APBD Provinsi Papua dan data-data lainnya yang digunakan untuk menganalisa dan menggambarkan bagaimana pencapaian pembangunan Papua dan Papua Barat pada masa pelaksanaan otonomi khusus dan juga bagaimana kebijakan terimplementasikan di daerah tersebut. Data primer dikumpulkan selain juga melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden-responden yang mewakili juga melalui wawancara dengan pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kota, perwakilan masyarakat, akademisi dan LSM. Diskusi kelompok terarah (focus group discussion) juga dilakukan dengan para politisi, akademisi dan komunitas bisnis serta seminar dengan para pihak terkait yang hasilnya digunakan dalam rangka mendapatkan informasi kebutuhan pengembangan kapasitas daerah Papua dan Papua Barat dalam mewujudkan tujuan otonomi khusus dan diharapkan melalui FGD juga akan didapatkan berbagai informasi yang terkait dengan persepsi, verifikasi, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan dimensi sosial budaya. Wawancara dan FGD dimaksudkan untuk memastikan konsistensi data dan menghindari terjadinya salah tafsir (mis-interpretasi).
2. Daerah Penelitian Untuk analisa data pelaksanaan otonomi khusus, daerah penelitian mencakup Provinsi Papua dan Propinsi Papua Barat, dan untuk studi lapangan digunakan sampel beberapa daerah yaitu
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Provinsi Papua Barat meliputi Kabupaten Manokwari, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan sedangkan Provinsi Papua meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.
3. Kerangka Pikir Kajian Kerangka pikir kajian yang dikembangkan dalam penelitian ini, dengan mengacu kepada acuan pokok kebijakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 yaitu Keuangan Khusus, Kewenangan Khusus, dan Kelembagaan Khusus dan Kekhususan Lainnya yang digambarkan sebagai berikut : Gambar 1.1 Kerangka Pikir Kajian
LEMBAGA KHUSUS
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA (DPRP) & DPRPB MAJELIS PERWAKILAN PAPUA (MRP) & MRPB
IDENTIFIKASI MASALAH
PERDASI & PERDASUS KEKHUSUSAN LAINNYA PEREKONOMIAN PENDIDIKAN KESEHATAN KEPENDUDUKAN & KETENAGAKERJAAN LINGKUNGAN HIDUP SOSIAL INFRASTRUKTUR
KEWENANGAN KHUSUS
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk menghasilkan strategi perbaikan kebijakan dibutuhkan berbagai masukanmasukan dari identifikasi permasalahan yang terkait komponen-komponen kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat sendiri yaitu keuangan khusus, kewenangan khusus, kelembagaan khusus dan kekhususan lainnya yaitu perdasi dan perdasus.
E.
Adapun Sistematika penyajian laporan kajian ini adalah : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan latar belakang, tujuan kajian, metode dan kerangka pikir kajian dan sistematika penyajian. BAB II KERANGKA KONSEP Pada bab ini diuraikan teori-teori evaluasi kebijakan, implementasi kebijakan dan assimetris desentralisasi yang sesuai untuk dijadikan dasar atau landasan untuk membahas tentang kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. BAB III KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT Pada bab ini diuraikan penjelasan kebijakan otonomi khusus dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN Pada bab ini diuraikan sub pokok bahasan yang pertama tentang gambaran umum kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, Implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, dan terakhir strategi alternatif perbaikan penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat BAB IV PENUTUP Pada bab ini diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil laporan yang dibahas dari bab sebelumnya dan saran-saran yang dipandang perlu berdasarkan atas kesimpulan yang dikemukakan.
ada bab ini akan dijelaskan mengenai pengkajian konsep atau teori yang berkaitan dengan desentralisasi asimetris dan implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan otonomi khusus serta pembahasan penelitian yang relevan
A. Pengkajian Teori
1. Desetralisasi Asimetris
Desentralisasi merupakan suatu cara yang efektif dalam memperbaiki bentuk pelayanan dengan mendekatkan penyedia layanan publik dengan lebih memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam pendistribusian layanan masyarakat. Desentralisasi juga diakui di negara berkembang sebagai jalan pintas dalam mempercepat pengentasan kemiskinan (poverty reduction) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) melalui penataan manajemen pemerintah yang efektif dan efisien (Osborne dan Gaebler, 1992). Cornelis Lay1 yang dikutip Suara Karya Online, Desentralisasi merupakan bentuk koreksi terhadap praktek sentralisasi Orde Baru dengan tujuan mengakomodasi aspirasi dari daerah-daerah yang termarjinalkan, penerapan yang paling ideal untuk Indonesia adalah Desentralisasi asimetri yaitu desentralisasi yang disesuaikan dengan daerah masing-masing artinya tidak disamaratakan secara seragam penerapannya terhadap seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang asimetris. Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri. Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat ditelaah untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De facto asymmetry
Disampaikan saat penyampaian aspirasi dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR, 19 Februari 2010
10
merujuk pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan dalam pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya perbedaan karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda. Asimetri, didefinisikan sebagai perbedaan status dan/atau kekuasaan (power) diantara unit-unit yang menjadi bagian suatu Negara federal atau Negara yang terdesentralisasi yang termaktub dalam konstitusi atau ketentuan hukum lainnya (Hombrado,2001). Adapun desentralisasi asimetris merupakan suatu kondisi dimana tidak semua unit yang terdesentralisasi, diberikan fungsi, kewajiban-kewajiban, sekaligus kekuasaan yang sama. Banyak negara di dunia yang menerapkan desentralisasi asimetris, baik politik maupun administrative (Livack, Jeanni, dkk 1998). Secara teoritis, desentralisasi asimetris berhubungan dengan sebuah transfer kekuasaan fiskal, kewenangan, dan tanggung jawab dengan takaran yang berbeda diberbagai daerah yang berbeda dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan suatu negara pembangunannya. Munculnya konsep desentralisasi asimetris (asymmetric decentralisation) berawal dari konsep asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton (1965), dan selanjutnya dikembangkan oleh Andrew Tilin. Menurut Tillin (2006), terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. De facto asymmetry merujuk pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan dalam pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya perbedaan karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda. Disebutkan pula oleh Livack, Jeanni, dkk (1998) bahwa dengan banyaknya perbedaan yang ada, baik dalam yurisdiksi politik maupun perbedaan karakteristik urusan rumah tangganya, model one size fits all tidak sesuai bagi desentralisasi. Argumennya, instrumen yang berbeda bisa menghasilkan efek yang berbeda dalam kondisi yang berbeda. Demikian pula dengan pendekatan yang berbeda, ini pun bisa saja dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang sama. Untuk mengakomodasi kebutuhan pendekatan bagi perbedaan tersebut, dan taraf
11
kebijakan pusat yang asimetris yakni dengan memperlakukan unit yang berbeda secara berbeda bisa diperlukan untuk mendapatkan hasil (outcome) yang sama. Desentralisasi asimetris dapat dijumpai dalam berbagai model. Ditinjau dari relasi antara otoritas pusat dan daerah dapat diidentifikasi berbagai tipe kekhususan/asimetri: Pertama, kekhususan/asimetri politis (political asymmetry), diterapkan khususnya untuk alasan non ekonomi dan alasan politis di negara-negara dimana unit pemerintahan daerahnya memiliki kapasitas yang berbeda, atau dimana terdapat unit pemerintahan daerah yang memiliki tugas tanggung jawab yang berbeda. Kedua, kekhususan (asimetri) administratif (administrative asymmetry), kekhususan dicapai dengan adanya kesepakatan antara otoritas pusat dan otoritas daerah dimana kompetensi disepakati dengan mempertimbangkan kapasitas administratif otoritas lokal. Ketiga, kekhususan/asimetri fiskal (fiscal asymmetry). Kekhususan politis maupun administratif pada umumnya diikuti dengan dimensi finansial yang khusus2. Selain ditemukan kekhususan/asimetri secara de jure, de facto atau keduanya, dapat pula dijumpai kekhususan yang diimplementasikan pada keseluruhan wilayah atau hanya pada wilayah tertentu yang membutuhkan adanya kekhususan. Misalnya ditemukan di Spanyol dan Kanada. Disamping itu, dimungkinkan pula dilakukan desentralisasi asimetrik dengan mendesentralisasikan tugas-tugas secara langsung dari pemerintah pusat kepada swasta daripada pemerintah daerah. Desentralisasi asimetris diberbagai negara diterapkan secara temporer. Terdapat pula desentralisasi asimetris yang diterapkan secara permanen atau untuk jangka waktu yang panjang (long term asymmetrical decentralization). Contoh yang menarik tentang desentralisasi asimetris dijumpai di Republik Macedonia, dimana desentralisasi fiskal yang asimetris diimplementasikan secara bersyarat (conditional fiscal decentralization based on asymmetric transfer of grants). Dalam hal ini masing-masing Municipal mendapatkan hak yang sama dalam hal kompetensi dan sumber finansial, namun memperhatikan aturan spesifik untuk memasuki langkah selanjutnya dalam proses desentraslisasi. Selain itu, adanya kenyataan bahwa beberapa unit bisa saja tidak memenuhi kriteria akan diperhitungkan sehingga konsekuensinya, unitunit tersebut akan tetap berada pada tahapan yang lebih rendah. Pendekatan asimetris dalam proses desentralisasi fiskal asimetris di Republik Macedonia berlandaskan pada prinsip bahwa transfer kompetensi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas
Lihat pembahasan oleh Aleksandra Maksimovska Veljanovski, The Model of the Asymmetric Fiscal Decentralisation in the Theory and the Case of Republic of Macedonia, Iustinianus Primus Law Review Vol1.1
12
municipal dan alokasi pendapatan (revenue assignment) untuk menjamin kinerja finansial yang tepat dan efektif. Oleh karena itu aktivitas finansial pada tingkat lokal mengalami perbaikan dibanding kondisi sebelumnnya. Model yang berbeda diterapkan di China, dimana mekanisme desentralisasi ekonomi asimetris diterapkan bersama dengan sentralisasi politik dibawah partai yang berkuasa dengan control yang ketat dari Chinese Communist Party (CCP). Terminologi assimetris dalam hal ini juga memerujuk pada konsep bahwa Pemerintah Pusat masih memegang kendali diatas. Desentralisasi hanya diberlakukan dalam ekonomi . Terdapat sejumlah tujuan positif tentang manfaat desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetrik bisa menjadi model yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan politis yaitu tujuan stabilitas, integrasi, dan legitimasi bagi pemerintahan nasional. Kekhususan yang dimiliki daerah-daerah berdasarkan sejarah, etnis bahasa, agama, ataupun kombinasinya akan terakomodasikan melalui struktur pemerintahan khusus (Leemans ,1970;Ramses M, 2009). Model desentralisasi asimetris dianggap sebagai berpotensi menyelesaikan konflik yang bersifat politis dan etnis dalam kondisi sosial yang terfragmentasi.Dengan demikian pilihan otonomi khusus secara konsep dapat menjadi strategi untuk mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal yang seringkali menimbulkan gejolak perlawanan terhadap pemerintahan nasional. Alasan lain penerapan desentraslisasi asimetris dilandasi oleh tujuan ekonomi seperti pencapaian efisiensi kepemerintahan daerah, peningkatan kualitas pelayanan. Perbedaan instrument fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam desentralisasi fiskal asimetris juga dilandasi argumen ekonomis, sebagaimana disampaikan oleh Tiebout (1956)dan Oates (1972) bahwa system yang terdesentralisasi akan lebih mampu mengakomodasi perbedaan pilihan untuk pelayanan publik. Tujuan efisiensi tersebut selaras dengan motif administratif dalam penerapan desentralisasi asimetris, khususnya berkenaan dengan adanya perbedaan kapasitas antar daerah dalam menjalankan administrasi publik.Penyediaan properti dan pelayanan publik serta kebijakan publik yang efisien bergantung pada birokrasi yang berfungsi dengan baik. Di samping itu hal ini juga dipengaruhi oleh institusi politik yang mendukung. Jika daerah memiliki kapasitas yang lebih baik dalam menjalankan pemerintahan daripada daerah lain, akan lebih efisien jika kewenangan fiskal tertentu didesentralisasikan pada daerah yang memiliki kapasitas yang lebih baik daripada diberikan pada daerah yang kapasitasnya tidak memenuhi. Joachim Wehner berpendapat yang serupa mengenai manfaat desentralisasi asimetris. Menurutnya tatanan yang asimetris bisa saja merupakan produk yang dilandasi tujuan politis, untuk mencegah ketegangan etnis atau religious namun juga dapat dilakukan untuk
13
mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti efisiensi, pengelolaan makro ekonomi yang lebih baik, dan harmonisasi dalam bidang administrasi (administrative cohesion)3. Pendekatan asimetris seperti diterbitkannya aturan fiskal khusus dapat diterapkan di negara yang memiliki banyak perbedaan. Disamping itu, hal semacam ini juga dapat diimplementasikan dengan tujuan politis dimana daerah tertentu mengalami ketimpangan pembangunan dan populasi multietnis. Devolusi yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan pengorganisasian institusi pemerintahan yang substansial serta akses pada sumber daya yang penting dapat meningkatkan identitas regional tanpa melemahkan identitas nasional. Pengalaman semacam ini dapat dilihat pada desentralisasi asimetris diberbagai negara seperti Kanada, Spanyol, maupun Britania. Desentralisasi asimetris juga diterapkan untuk tujuan hukum (legal reasons). Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan konstitusional. Disamping itu, desentralisasi asimetris untuk tujuan ini bisa juga dilakukan dalam rangka menjalankan kesepakatan internasional yang telah diratifikasi (ratified international agreements). Penerapan desentralisasi asimetris, sekalipun memungkinkan tercapainya manfaat sebagaimana disampaikan dalam argumen positif tentang kebijakan tersebut, juga memungkinkan timbulnya berbagai persoalan atau resiko-resiko tertentu. Livack, Jeanni, dkk (1998) mencatat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan masalah yang fundamental: yakni perlunya suatu hukum yang memperlakukan semua unit dengan sama disatu sisi, sementara disisi lain dihadapan kenyataan bahwa ada perbedaan yang luas diantara unitunit tersebut. Ditambahkan pula bahwa pendekatan desentralisasi asimetris juga memiliki resiko meningkatkan kesenjangan, karena adanya kekuasaan (power) yang lebih (Livack, Jeanni, dkk, 1998). Selain itu sejumlah literatur yang mengkaji tentang penerapan desentralisasi asimetris di berbagai negara, memberikan catatan khusus yang perlu dipertimbangkan. Meski model ini dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan konflik politik dan etnis dalam masyarakat yang terfragmentasi, namun tidak menjamin bahwa masyarakat yang terfragmentasi tersebut dapat menjadi lebih koheren jika pemerintah pusat hanya menerapkan desentralisasi politik, administratif, dan fiskal saja. Reformasi lain perlu dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pendekatan asimetris tidak mengarah pada separatism, namun sebaliknya dapat memelihara unitarisme. Akan tetapi kebutuhan riil, kondisi, dan kapasitas masing-masing area haruslah menjadi kriteria pembedaan transfer khusus atas kompetensi dan tanggung jawab dengan tujuan untuk meningkatkan
Ibid. Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
14
kualitas pelayanan publik dalam unit-unit lokal yang dikelola secara berbeda di suatu negara. Sejarah yang ditunjukkan berbagai negara Balkan seperti Macedonia, Serbia, Kosovo memberikan pelajaran bahwa upaya tersebut tidak berjalan tanpa masalah, sementara dalam benak masyarakat mereka tetap menginginkan pendekatan yang berbeda untuk menyelesaikan masalah keseharian mereka. Logika fiskal dalam hal ini bisa terlihat tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah keseharian yang dihadapi masyarakat lokal. Diperlukan suatu model desentralisasi yang spesifik. Livack, Jeanni, dkk (1998) juga memberikan catatan bahwa pilihan prinsip-prinsip (model) yang diterapkan dalam desentralisasi asimetris mempengaruhi keberhasilannya. Di berbagai negara kesatuan, contoh penerapan desentralisasi asimetrik dapat dijumpai di Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah, Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, Tanzania- Zanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland, Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Di Spanyol, pemerintah pusat mengatur level otonomi yang berbeda bagi daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis. Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting dalam transisi menuju demokrasi4. Italia, menerapkan desentralisasi asimetris yang dituangkan dalam hukum konstitusi yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima daerah, yakni Sardinia, Sicily, TrentinoAlto Adige/Sdtirol, Aosta Valley, dan Friuli-Venezia Giulia, yang memiliki otonomi yang khusus. Status otonomi khusus tersebut memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar dalam hal legislasi dan administrasi.Di samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi finansial yang signifikan. Friuli-Venezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak, sementara Sicily memiliki 100% dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki kebebasan menentukan bagaimana pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni penduduk berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis, Friulli-Venezia Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara TrentinoAlto Adige/Sdtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan.
4
Teresa Garcia-Mil dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric Transition to Democracy, paper 22 Maret, 2002
15
Dalam praktek otonomi daerah di Indonesia paling tidak terdapat tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Pertama, desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka Undang-Undang yang berlaku saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) dan Nangroe Aceh Darussalam (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007). Desentralisasi asimetris yang dianut dalam Undang-Undang tentang Otonomi khusus Papua mencakup aspek politis dan fiskal. Dalam banyak hal, tujuan politis dan ekonomis cenderung mewarnai kebijakan otonomi khusus Provinsi Papua sebagaimana disinggung dalam penjelasan konsep di atas. Kebijakan ini tidaklah permanen, meski diterapkan dalam jangka panjang, pada akhirnya kekhususan dalam hal perimbangan keuangan akan dikurangi setelah jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan.
16
menjadi aktivitas-aktivitas program dengan sedikit mungkin adanya deviasi. Kemudian, pembuat kebijakan berdasarkan pemikiran Pressman dan Wildavsky mempunyai peranan yang paling signifikan karena merupakan satu-satunya tokoh penting dan lainnya merupakan pelaksana saja dalam proses implementasi tersebut. Oleh karenanya, dalam pandangan mereka implementasi membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi serta sumber daya dari atas ke bawah (top down) yang memadai (Parson, 1995). Dalam perkembangan selanjutnya muncul berbagai pendapat tentang fenomena yang kompleks dari implementasi kebijakan5. Analisis tentang implemantasi perlu memperhatikan fenomena tersebut yang mencakup: (1) bentuk kebijakan dan kontennya, (2) organisasi dan sumber dayanya; (3) pelaku termasuk didalamnya mengenai talenta-talenta, motivasi-motivasi, kecenderungan-kecendungan, dan hubungan/relasi antar personal termasuk pola komunikasinya. Studi yang dilakukan oleh Wildavsky dan Majone serta Browne selanjutnya menyimpulkan bahwa proses implementasi melibatkan peran pelaksana dalam merumuskan kebijakan sebagaimana dalam melaksanakan tujuan kebijakan yang ditetapkan dari atas (Parson, 1995). Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pendekatan yang murni top down dalam implemantasi. Kelemahan lain ditunjukkan oleh Michael Lipsky dimana pendekatan top down tidak memperhitungkan peran para aktor dan tingkatan dalam proses implementasi. Disebutkan bahwa pelaksana di lapangan (street-level) harus diperhitungkan. Hal ini memunculkan model bottom-up models, yang mana member penekanan pada fakta bahwa para pelaksana di lapangan memiliki ruang diskresi dalam mengimplementasikan kebijakan (Parson, 1995). Pada implementasi kebijakan pada dasarnya terdapat ruang diskresi yang bisa saja sangat luas, karena kebijakan atau undang-undang mengandung elemen yang dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda (interpretative element). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Davis, 1969 (dikutip oleh Parson, 1995) : A public officer has discretion wherever the effective limits on his power leave him free to make a choice among possible courses of action and inaction. Whether the mode of implementation is top down or bottom up, those on the front line of policy delivery have varying bands of discretion over how they choose to exercise the rule which they are employed to apply. Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang otoritas yang dimilikinya, pelaksana kebijakan bisa memilih apa yang dikehendakinya untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Apapun pendekatannya (baik top down atau bottom up ), para pelaksana kebijakan memiliki banyak pilihan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan
Konsep ini dianggap sebagai generasi kedua dalam studi implementasi. Dalam kelompok ini antara lain adalah Daniel Mazmanian dan Paul Saatier (1975), Donald S. Van Meter dan Carls E. Van Horn menulis buku yang berjudul The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework in Administration and Society serta Merilee S. Grindle menulis buku yang berjudul Politics and Policy Implementation in The Third World.
5
17
yang telah ditetapkan. Adanya diskresi ini di satu sisi bisa memudahkan para pelaksana, namun jelas juga dapat menimbulkan masalah. Perkembangan selanjutnya, muncul konsep implementasi kebijakan generasi ketiga yang lebih mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan utama dengan variable-variabel
penelitian top-down dan bottom-up.6 Dalam pendekatan ini lebih difokuskan kepada desain kebijakan dan jejaring kebijakan serta implikasinya terhadap bagaimana keberhasilan dari implementasi kebijakan. Elemen tersebut merupakan hal terpenting yang akan dievaluasi atau dengan kata lain seberapa baik suatu program dan kebijakan itu didesain akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari implementasinya dalam jejaring kebijakan tertentu. Integrasi kedua elemen tersebut memungkinkan masalah yang timbul akibat adanya diskresi dalam implementasi dapat dikelola. Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, setelah pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menerima mandat dan tanggung jawab baru tersebut yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaannya (implemantasinya). Oleh karena itu dalam perspektif para pelaksana di daerah, desentralisasi tidak hanya berarti sebuah tanggung jawab baru yang kompleks, namun juga suatu bentuk hubungan yang berbeda dengan berbagai tingkatan pemerintahan yang harus dikelola secara simultan. Bagi mereka, hal ini menjadi arena baru-dengan mandat, aturan, tingkat kesulitan yang baru, dimana mereka dituntut untuk berkinerja. Hal ini bisa saja menjadikan seperti apa bentuk desentralisasinya tidak terlalu diambil pusing. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah beradaptasi dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengelola kompleksitas tanggung jawab yang didesentralisasikan (Grindle,2007) . Ada karakteristik tertentu dalam implementasi kebijakan desentralisasi, sehingga faktor yang bisa mempengaruhi keberhasilannya pun khas untuk kebijakan sejenis ini. Cheema dan Rondinelli (1983, hal. 26-31) menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi. Sebagaimana diilustrasikan dalam gambar, faktor tersebut mencakup kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya untuk implementasi program, karakteristik lembaga pelaksana, yang keterkaitan mempengaruhi kinerja dan dampak implementasi kebijakan desentralisasi.
Generasi ketiga ini antara lain dimotori oleh Malcolm L Goggin, Ann Ann OM Bownman, James Lester dan Lautence J Otoole dengan bukunya yang berjudul Implementation Theory and Practice Toward a third Generation. Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
18
Gambar 2.1 Proses Implementasi Program menurut G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rondinelli
Hub. Antar Organisasi 1. Kejelasan & konsistensi sasaran program 2. Pembagian fungsi antar instansi yang pantas 3. Standardisasi prosedur perencanaan, anggaran, implementasi & evaluasi 4. Ketepatan, konsistensi & kualitas komunikasi antar instansi 5. Efektivitas jejaring utk mendukung program
Kondisi Lingkungan 1. Tipe system Pol 2. Struktur pembangunan Kebijakan 3. karakteristik struktur politik lokal 4. kendala sumberdaya 5. sosio kultural 6. Derajad keterlibatan para penerima program 7. Tersedianya infrastruktur fisik yg cukup
Sumberdaya Organisasi 1. control terhadap sumber dana. 2. keseimbangan antara pembagian anggaran & kegiatan program 3. Ketepatan alokasi angg 4. pendapatan yg cukup utk pengeluaran 5. Dukungan pemimpin pol pusat 6. dukungan pemimpin politik lokal 7. komitmen birokras i
Karakteristik & Kapabilitas Instansi Pelaksana : 1. Ketrampilan teknis , manajerial & politis petugas 2. Kemampuan utk mengkoordinasi, mengontrol & mengintegrasikn kepts . 3. Dukungan & sumberdaya pol instansi 4. 4. Sifat kom internal 5. Hub yg baik antara instansi dg kel sasaran 6. Hub instansi dg pihak diluar pemt & NGO 7. Kualitas pemimpin instansi yg bersangkutan 8. komitmen petugas terhadp program 9. kedudukan instansi dlm hirarki sistem adm
Kinerja dan Dampak 1. Tingkat sejauh mana program dpt mencapai sasaran 2. adanya perubahan kemampuan adm pd orgs lokal 3. Berbagai keluaran & hsl yg lain
Lebih lanjut, pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Kondisi lingkungan (environtmental conditions) Pemahaman akan kondisi sosial ekonomi dan politik yang melatarbelakangi munculnya suatu kebijakan sangat diperlukan untuk menganalisa implementasi kebijakan. Suatu kebijakan muncul dari lingkungan sosial ekonomi yang spesifik dan kompleks serta lingkungan politis. Hal ini tidak saja menentukan substansi dari suatu kebijakan, namun juga bentuk dari hubungan antar organisasi yang terlibat didalamnya beserta karakteristik pelaksana beserta jumlah dan jenis sumberdaya yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Hubungan antar organisasi (interorganizational relationship) Keberhasilan suatu kebijakan memerlukan interaksi dan koordinasi organisasi pemerintahan pada berbagai level, baik nasional, regional, maupun di tingkat lokal. Hal ini utamanya dalam tindakan yang saling mendukung yang perlu dilakukan organisasi tersebut dan kerjasama dengan berbagai pihak lain, termasuk dengan para penerima manfaat program. Efektifitas hubungan antar organisasi tersebut bisa saja dipengaruhi oleh berbagai hal: a) kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan serta sejauhmana lembaga pelaksana mendapatkan arahan yang jelas untuk menjalankan aktivitas tersebut; b) alokasi fungsi-fungsi yang sesuai, berdasarkan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki; c) sejauhmana perencanaan, penganggaran, dan prosedur implementasi diatur, sehingga
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
19
dapat meminimalkan interpretasi yang tidak sesuai, dimana dapat menyebabkan implementasi sulit dikoordinasikan; d) akurasi, konsistensi, dan kualitas hubungan komunikasi yang memungkinkan organisasi yang terlibat memahami peran dan tugasnya dalam mendukung satu sama lain; e) efektivitas hubungan unit-unit administratif yang terdesentralisasi yang menjamin interaksi antar organisasi dan koordinasi kegiatan. Sumberdaya untuk implementasi program (resource for policy and program implementation) Kondisi lingkungan dan hubungan organisasi yang kondusif penting bagi implementasi, namun itu saja tidak cukup. Sejauhmana pelaksana menerima dukungan finansial, administratif, serta dukungan teknis yang memadai, juga menentukan hasil dari implementasi. Implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat dipengaruhi sejauhmana pelaksana kebijakan memiliki kontrol terhadap dana yang ada, sejauhmana kecukupan alokasi anggaran maupun ketersediaanya pada waktu yang tepat, maupun seberapa cukup dana yang dimiliki dibanding pengeluaran yang ada. Agar pemerintah daerah mampu melaksanakan kebijakan desentralisasi, diperlukan dukungan dari pimpinan politik, pejabat lokal maupun elit, serta memerlukan dukungan administratif dan teknis dari pemerintah pusat. Karakteristik lembaga pelaksana (characteristic of implementing agencies) Hal ini mencakup kemampuan teknis, manajerial, maupun politis lembaga pelaksana. Disamping itu juga kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengontrol, dan
mengintegrasikan keputusan dari sub-unit yang ada, ditambah dengan dukungan politis dari pimpinan politik nasional. Selain itu hal-hal seperti kualitas komunikasi internal, kepemimpinan organisasi pelaksana, maupun penerimaan dan komitmen untuk mewujudkan tujuan kebijakan juga dapat mempengaruhi hasil-hasil implementasi kebijakan desentralisasi. Hal lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi adalah adanya diskresi dalam kebijakan tersebut. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Davis di atas, implementasi kebijakan otonomi khusus memiliki suatu ruang diskresi didalam pelaksanaannya. Kebijakan tersebut mengandung elemen interpretatif, yang dapat saja diinterpretatisikan secara berbeda oleh pelaksanaanya. Akibatnya, adanya diskresi yang keliru dalam implementasi kebijakan bisa berpengaruh terhadap hasil-hasil kebijakan. Oleh karena itu, bukan saja desain kebijakan yang perlu mendapat perhatian, namun juga dukungan dalam implementasi yang mampu mengarahkan diskresi para pelaksana agar berjalan sesuai dengan tujuan. Dalam hal ini integrasi antara peran dari pemerintah pusat kepada pelaksana di
20
lapangan (top down) dan kemampuan pemerintah daerah di lapangan (bottom-up) sangat menentukan. Implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri (Riant Nugroho;2006), oleh karenanya pada prinsipnya harus memenuhi empat tepat yang penting dalam keefektifan implementasi kebijakan, yaitu : 1. Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. 2. Ketepatan pelaksana Aktor implementasi bukan hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta atau implementasi kebjakan yang diswastakan (privatization atau contracting out). 3. Ketepatan target implementasi Ketepatan di sini berdasarkan atas tiga hal, yaitu: pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. 4. Apakah lingkungan implementasi sudah tepat Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu (1) lingkungan kebijakan, merupakan interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dan lembaga lain yang terkait; (2) lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive institutions yang berkenaan dengan interprestasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat. Pasarnya setiap kebijakan negara (public policy) mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. Hogwood dan Gunn (1986), menjelaskan berbagai penyebab dari kegagalan suatu kebijakan (policy failure) dapat dibagi menjadi 2 katagori, yaitu: (1) karena non implementation (tidak terimplementasikan), dan (2) karena unsuccessful (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan direncanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan tersebut tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki. Oleh karena itu kebijakan memerlukan evaluasi. Evaluasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu
21
dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan (Darwin, 1994: 34). Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, evaluasi ini perlu dilakukan. Terlebih mengingat dalam berbagai literatur tentang desentralisasi, praktek yang ada memperlihatkan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi bisa saja justru menimbulkan dampak yang tidak diinginkan atau tujuan yang tidak tercapai. Menurut Sofian Efendi, evaluasi kebijakan publik dapat ditujukan untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: 1. Bagaimana kinerja kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu. 2. Faktor-faktor apa saja yang menimbulkan variasi itu? Jawabannya berkaitan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan. 3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan tugas dari pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variabel-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak dapat dan dimasukkan sebagai variabel evaluasi. Evaluasi merupakan penilaian terhadap suatu persoalan yang umumnya menunjuk baik buruknya persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi dilakukan dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Hanafi & Guntur, 1984:16). Evaluasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu: 1. Proses pembuatan kebijakan 2. Proses implementasi kebijakan, 3. Konsekuensi kebijakan, 4. Efektivitas dampak kebijakan (Wibowo, 1994: 9). Pada prinsipnya model evaluasi kebijakan sangat bervariasi tergantung dari tujuan dan level yang akan dicapai. Dari segi waktu, evaluasi dibagi menjadi dua yaitu evaluasi preventif kebijakan dan evaluasi sumatif kebijakan. Evaluasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan evaluasi setelah kebijakan, dikarenakan kebijakan otonomi khusus yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 telah dilaksanakan. Selanjutnya berbagai macam keputusan dapat diambil atas dasar evaluasi yang dilakukan beberapa diantaranya yang dapat dilakukan adalah: (1) meneruskan dan mengakhiri program,
22
(2) memperbaiki praktek dan prosedur administrasi, (3) menambah atau mengurangi strategi dan teknik implementasi, (4) melembagakan program ke tempat lain, (5) mengalokasikan sumber daya ke program lain dan (6) menerima dan menolak pendekatan/teori yang dipakai (Wibawa,op.cit:12). Dari kelima keputusan yang diambil atas dasar evaluasi dilihat dari jenis kebijakan yang dievaluasi.
23
dibandingkan daerah lain di Indonesia, disamping juga dana perimbangan lainnya, dari hasil penelitian diketahui bahwa alasan utama diberikannya otonomi khusus pemberian dana otonomi khusus kepada Provinsi Papua faktor politis, yakni untuk mereduksi keinginan sebagian masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam 3 (tiga) tahun pemberlakuannya, dana otonomi khusus juga ternyata tidak efektif karena bagian terbesar dana otonomi khusus tidak digunakan untuk pendidikan dan kesehatan (perbaikan gizi masyarakat) namun dibagikan secara hampir merata ke semua sektor pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Papua. 3. Penelitian peningkatan kualitas sumber daya manusia Majelis Rakyat Papua dalam pelaksanaan tugas dan wewenang yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Esau Hombore, bertujuan mengetahui upaya meningkatkan kualitas SDM MRP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dan mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menjembatani perbedaan pendapat antara DPRP dan MRP, dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam upaya untuk meningkatkan kualitas MRP dapat dilakukan melalui penetapan beberapa kegiatan yang berguna untuk meningkatkan wawasan anggota MRP antara lain dengan Workshop, Diklat, Capacity Building, kerjasama dengan lembaga lain (LSM, LMA, Akademik) dan studi banding, peningkatan juga dapat dilakukan melalui pengembangan kemitraan yang dilakukan bersama-sama dengan DPRP dan tak kalah pentingnya adalah penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi anggota MRP.
24
ada bagian ini akan dijelaskan mengenai kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dilihat dari proses kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat itu sendiri serta muatan kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat
25
Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian diikuti dengan pengangkatan Drs. Herman Monim sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen. TNI Marinir (Purn.) Abraham Atururi sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999, pada tanggal 5 Oktober 1999. Kebijakan pemekaran propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya, khususnya yang terkait dengan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat di Papua, yang ditandai dengan aksi demonstrasi besarbesaran termasuk menduduki gedung DPRD Propinsi Irian Jaya dan Kantor Gubernur Dok II Jayapura pada tanggal 14-15 Oktober 1999. Aksi penolakan ini direspon oleh DPRD Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) dan kemudian dilegitimasi dengan Keputusan DPRD. Nomor 11/DPRD/1999 Tentang Pernyataan Pendapat DPRD Provinsi Irian Jaya kepada Pemerintah Pusat untuk Menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan usul Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999 tanggal 5 Oktober 1999. Aksi penolakan ini didasari oleh beberapa alasan: (1) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut dilakukan tanpa melalui proses konsultasi rakyat; (2) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Irian Jaya, yang antara lain menyebutkan bahwa pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya menjadi 2 (dua) Propinsi, yaitu: (a) Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Timur, dengan ibukota di Jayapura, meliputi: Kabupaten Jayapura, Kodya Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Puncak Jaya; (b) Propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya Barat, dengan ibukota di Manokwari, meliputi: Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Nabire, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, dan Kotif Sorong. (3) Kebijakan Pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya lebih berorientasi sebagai strategi untuk memperkokoh integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa bermaksud untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua melalui akselerasi pembangunan secara berkeadilan. Hal ini terbukti dari format pembagian wilayah yang kurang memperhatikan aspek kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi. Pada tanggal 19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR, pada Paripurna ke-12, ditetapkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
26
(GBHN) Tahun 1999-2004, pada bab IV, huruf G, butir 2 antara lain memuat kebijakan Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya. Rumusan lengkap kebijakan tersebut adalah: ...dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: (a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (b) menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat...; Pada penghujung Sidang Umum MPR tahun 1999, terjadi suksesi kepemimpinan nasional. B.J. Habibie digantikan oleh K.H. Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI. Salah satu agenda politik yang terkait dengan Propinsi Irian Jaya yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid adalah memformulasikan Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Dalam kenyataannya setelah satu tahun pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid, agenda tersebut belum dilaksanakan. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah pada umumnya dan otonomi khusus bagi Aceh dan Irian Jaya, maka dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2000, ditetapkan Tap MPR RI Nomor: IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan perwakilan Rakyat. Dalam salah satu bagian dari Ketetapan ini disebutkan: Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.... Dalam kenyataannya undang-undang yang menjadi landasan operasional penerapan otonomi khusus di Provinsi Irian Jaya sampai dengan memasuki batas waktu yang diamanatkan Tap MPR RI tersebut, ternyata belum ditetapkan. Keterlambatan ini
disebabkan antara lain: (1) tingginya eskalasi politik di Provinsi Irian Jaya menjelang dan pasca Musyawarah Besar dan Kongres Rakyat Papua di Jayapura Tahun 2000 dan (2) adanya keinginan Pemerintahan K.H. Abdurahman Wahid untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi rakyat Papua. Komitmen pemerintah ini direspon oleh berbagai kalangan terutama akademisi dan aktivis LSM, di Provinsi Irian Jaya yang mulai menjadikan otonomi khusus sebagai topik
27
wacana
diberbagai
forum
kajian.
Hal
ini
terbukti
dengan
adanya
sejumlah
konsep/draf/pokok-pokok pikiran tentang materi muatan Rancangan Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Irian Jaya yang disusun oleh berbagai institusi di Irian Jaya. Akan tetapi karena situasi dan kondisi di Provinsi Irian Jaya yang kurang kondusif sebagai akibat meningginya eskalasi politik sebelum dan pasca Mubes dan Kongres rakyat Papua yang salah satu tuntutannya adalah memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka issue tersebut hanya sekedar sebagai wacana dan bahan pergumulan yang lebih bersifat interen institusi tertentu. Pada waktu yang hampir bersamaan Freddy Numberi sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya pada waktu itu, diangkat menjadi salah seorang Menteri dalam Kabinet Presiden K.H. Abdurahman Wahid, akibatnya Musiran diangkat sebagai carateker Gubernur. Dalam posisi ini Pejabat Gubernur Musiran merasa tidak memiliki wewenang yang cukup untuk mempersiapkan RUU Otonomi Khusus Irian Jaya. Kondisi ini diperparah lagi ketika adanya pihak-pihak tertentu yang
mempertentangkan antara otonomi dan merdeka. Dua konsep ini seakan-akan merupakan opsi yang harus dipilih. Pembicaraan tentang kemungkinan penyusunan RUU Otonomi Khusus bagi Irian Jaya baru dimulai secara sungguh-sungguh ketika Drs. J.P. Solossa, M.Si. dilantik sebagai Gubernur dan Drh. Constan Karma sebagai Wakil Gubernur Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua), pada akhir tahun 2000. Atas prakarsa Gubernur maka dibentuk Panitia Penyelenggara Forum Kajian, yang diikuti dengan dibentuknya Tim penjaring Aspirasi, serta Tim Asistensi dan dengan didukung oleh berbagai komponen masyarakat, serta melalui suatu mekanisme yang panjang, maka RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diberi nama Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam bentuk wilayah berpemerintahan sendiri dapat disusun. RUU usulan Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua diterima dan diadopsi oleh DPR RI sebagai RUU usul inisiatif setelah melalui proses pengayaan. Melalui suatu pembahasan yang alot antara DPR dan pemerintah sebagai akibat dari adanya dua RUU mengenai otonomi khusus bagi Irian Jaya, yakni RUU usul inisitif DPR RI dan RUU usulan Pemerintah. Akan tetapi pada akhirnya disepakati bahwa RUU yang dijadikan acuan utama adalah RUU usulan Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua yang telah diadopsi sebagai RUU usul inisiatif DPR RI. Menindaklanjuti amanat kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut, dan setelah melalui pembahasan lebih kurang 5 (lima) bulan, maka DPR RI pada tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang. Hasil ketetapan DPR
28
RI ini kemudian disampaikan kepada Pemerintah (Presiden) untuk disahkan. Presiden Republik Indonesia sesuai kewenangan yang dimiliki, pada tanggal 21 Nopember 2001 telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang kemudian dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 4151. Otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat berlaku sah tahun 2008 setelah Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Perpu diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua menjadi UU. Peraturan tersebut merupakan landasan hukum untuk pelaksanaan otonomi khusus agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya di bidang sosial, ekonomi dan politik, serta infrastruktur. Hal tersebut dikarenakan Provinsi Papua Barat telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001.
29
peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini. Hal tersebut diatas merupakan beberapa dasar pertimbangan dikeluarkannya UU tentang otonomi khusus sebagaimana tercantum dalam konsideran UU Nomor 21 Tahun 2001, yang secara lengkap sebagai berikut: 1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar; 3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang; 4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan daerah otonomi khusus; 5. Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri; 6. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya Papua; 7. Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua; 8. Bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka NKRI; penegakkan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
30
9.
Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
10. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua. 11. Bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua; 12. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dipandang perlu memberikan otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang. Otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2001 pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari Rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
31
Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah: Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik berciri: a. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; b. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan c. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif dan eksekutif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu. Sebagai akibat dari penetapan otonomi khusus ini, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua; Berdasarkan sifat khusus tersebut, berlakulah asas hukum aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum (lex spesialis derogat legi generali). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal, yang diawali dengan konsideran dan diakhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Berikut ini disajikan beberapa muatan dari keistimewaan dan kekhususan bagi Pemerintahan Papua yang dikategorikan dalam bidang-bidang yang meliputi :
1. Bidang Pemerintahan
a. Kewenangan daerah Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
32
aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Kewenangan Bersifat Khusus Beberapa kewenangan yang bersifat khusus antara lain : 1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. 2) Peraturan Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam undang-undang otonomi khusus. 3) Peraturan Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 4) Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5) Pemerintah Papua dapat mengadakan kerjasama secara langsung dengan lembaga atau badan di luar negeri sesuai dengan lembaga atau badan di luar negeri sesuai dengan kewenangannya kecuali hal-hal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah Papua juga dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. 6) Pemerintah Papua dalam hal ini gubernur berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua. Koordinasi yang dilakukan oleh Gubernur dengan Pemerintah adalah dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pelaksanaan operasi militer selain perang di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
33
c. Bentuk dan Susunan Kepemerintahan 1) Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, yang terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pemerintah provinsi sebagai badan eksekutif daterdiri atas gubernur beserta perangkat pemerintah provinsi lainnya. 2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama 3) Di kabupaten/kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta pemerintah kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif. Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya 4) Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain
2. Bidang Politik
Dalam bidang politik penduduk Provinsi Papua mempunyai hak untuk membentuk partai politik. Sedangkan tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Rekrutmen politik dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk mengurangi sifat terbuka partai politik bagi setiap Warga Negara Republik Indonesia, partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masingmasing. Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian partai politik dalam hal seleksi dan rekrutmen politik
3. Bidang Keuangan
a. Penyelenggaraan tugas pemerintah provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. b. Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota berasal dari komponen: 1) Pendapatan Asli Provinsi, Kabupaten/Kota Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas :
34
a) Pajak Daerah, antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak Balik Nama, Pajak Bahan Bakar, Pajak Pengambilan Air Tanah, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Galian Golongan C, Pajak Parkir, dan Pajak lain-lain. Pajak-pajak Daerah ini diatur oleh UU Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001 tentang Pajak Daerah. b) Retribusi Daerah, antara lain: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan, Retribusi Biaya Cetak Kartu, Retribusi Pemakaman, Retribusi Parkir di Tepi Jalan, Retribusi pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemadam Kebakaran, dan lain-lain. Retribusi ini diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain hasil deviden BUMD; dan d) Lain-lain pendapatan yang sah, antara lain : hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar, komisi, potongan, dan lain-lain yang sah. 2) Dana Perimbangan Komponen Dana Perimbangan yang terdiri dari bagi Dana Bagi Hasil terbagi atas Dana Bagi Hasil Pajak (BHP) dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka otonomi khusus dengan perincian sebagai berikut: a) Bagi Hasil Pajak BHP antara lain Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak Penghasilan Badan ataupun pribadi dengan pembagian : Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen); Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen). b) Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
35
Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen). c) DAU yang ditetapkan dengan undang-undang d) Dana Alokasi Khusus Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dana tersebut dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun seluruh kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas sehingga Provinsi Papua dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Penerimaan untuk bagi hasil sumber daya alam yang meliputi pertambangan minyak bumi dan gas alam berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun. Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka otonomi khusus menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi, sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam. Penerimaan khusus dalam rangka otonomi khusus berlaku selama 20 (dua puluh) tahun yang diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. 3) Pinjaman Daerah Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Provinsi Papua dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP. Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
36
4) Lain-lain Penerimaan yang sah Pendapatan daerah selain dari PAD dan Dana Perimbangan, juga didapatkan adanya Pendapatan lain-lain yang sah. Lain-lain pendapatan yang sah terdiri dari pendapatan pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dan pendapatan lainnya.
4. Bidang Perekonomian
a. Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan sebagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua yang diperoleh dari eksploitasi sumber daya alam Papua untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di masa mendatang. b. Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi Papua. Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi Papua diatur dengan Perdasi. c. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat. Pemberian kesempatan berusaha melakukan pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.
5. Bidang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan Hak Asasi Manusia (HAM)
a. Hak-Hak Masyarakat Adat
37
memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Kewajiban sebagaimana dimaksud juga merupakan kewajiban Pemerintah yang
dilaksanakan oleh gubernur selaku wakil pemerintah. Pemberdayaan hak-hak tersebut meliputi pembinaan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup baik lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat. - Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. - Dalam pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain. - Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. - Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak kekayaan intelektual orang asli Papua berupa hak cipta mencakup hak-hak dalam bidang kesenian yang terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana dan rancangan bangunan tradisional serta jenis-jenis seni lainnya, maupun hakhak yang terkait dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang sejenisnya. Perlindungan ini meliputi juga perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual anggota masyarakat lainnya di Provinsi Papua. b. Hak Asasi Manusia Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk melaksanakan hal tersebut pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah: - melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
38
- merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, pemerintah provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
39
2.
Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi Papua. syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk
mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi 3. Pemerintah provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan
kebudayaan asli Papua. Pemerintah provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan. 4. Pemerintah provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. 5. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.
40
41
agian ini akan dijelaskan deskripsi hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum daerah kajian, evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, Implementasi kebijakan serta Perdasus dan Perdasi dan terakhir strategi perbaikan
42
Tabel 4.1 Jumlah Suku Papua Menurut Kabupaten No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kabupaten Jayapura Merauke Sorong Fakfak Yapen waropen Paniai Jayawijaya Manokwari Biak Numfor Jumlah Jumlah 75 39 23 21 20 20 18 18 1 236
Pada tahun 2003, Papua mengalami pembagian menjadi 2 (dua) provinsi, berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 jo Inpres Nomor 1 Tahun 2003, bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian barat menjadi Propinsi Papua Barat dengan wilayah yang mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. 1. Kondisi Wilayah Provinsi Papua Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.062 km atau 19,33 persen dari luas Negara Indonesia yang mencapai 1.890.754 (Km2). Provinsi Papua terdiri dari 29 (dua puluh sembilan) kabupaten/kota yaitu Kabupaten Asmat, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Keerom, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Mappi, Kabupaten Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Nabire, Kabupaten Nduga, Kabupaten Paniai, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Supiori, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen,/ Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Yalimo dan Kota Jayapura. Secara geografis, Provinsi Papua berada pada posisi 0 19' - 10 45' Lintang Selatan dan 130 45' - 141 48' Bujur Timur menempati setengah bagian barat dari New Guinea yang merupakan pulau terbesar kedua dari Greenland. Adapun Batas-batas wilayah Provinsi Papua adalah sebagai berikut : Bagian Utara : Samudera Pasifik Bagian Barat : Provinsi Irian Jaya Barat Bagian Selatan : Laut Arafura Bagian Timur : Negara Papua New Guinea.
43
Keadaan topografi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawan sampai dataran tinggi yang dipadati dengan hutan hujan tropis, padang rumput dan lembah dengan alangalangnya. Dibagian tengah berjejer rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu bagian dari pegunungan tersebut adalah pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena disana terdapat 3 puncak tertinggi yang walaupun terletak didekat kathulistiwa namun selalu diselimuti oleh salju abadi yaitu puncak Jayawijaya dengan ketinggian 5,030m (15.090 ft); puncak Trikora 5.160 m (15.480 ft) dan puncak Yamin 5.100 m (15.300 ft). Di Provinsi Papua terdapat banyak sungai, danau, dan rawa berskala kecil sampai dengan skala besar. Selain sungai, juga terdapat beberapa danau besar antara lain Danau Sentani di Kabupaten Jayapura dan Danau Paniai di Kabupaten Paniai. Disamping itu terdapat beberapa rawa sangat luas terutama disepanjang pesisir pantai selatan Papua. Pulau Komoro merupakan pulau delta hasil sedimen Sungai Digul yang diperkirakan masih muda. Sementara itu, di bagian utara terdapat rawa yang terletak di tepian sungai Memberamo dan anak sungainya yaitu sungai Tariku dan Taritatu, sedangkan daerah rawa sempit menyebar di tepian danau Rembabai. Daerah rawa di Papua terdapat buaya, di samping itu pada garis rawa terluar yang dekat dengan pantai merupakan daerah yang baik untuk kehidupan udang. Vegetasi dominan yang hidup di daerah rawa adalah sagu. Daerah rawa tersebut dapat dikembangkan untuk usaha perikanan darat dan persawahan. 2. Kondisi Wilayah Provinsi Papua Barat Provinsi Papua Barat terletak di wilayah kepala dan leher Burung Pulau Papua pada posisi di bawah garis khatulistiwa antara 129-132 Bujur Timur dan 0-4 Lintang Selatan. Berdasarkan posisi geografisnya Provinsi Papua Barat memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Seram Provinsi Maluku Utara. Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Papua. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda Provinsi Maluku. Secara administrasi pemerintahan, Provinsi Papua Barat terdiri atas 11 Kabupaten/Kota (10 Kabupaten dan 1 Kota), 127 distrik, dan 1.286 kampung. Kesebelas kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Fak Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama dan Kota Sorong. Kondisi topografi Provinsi Papua Barat sangat bervariasi membentang mulai dari dataran rendah, rawa sampai dataran tinggi, dengan tipe tutupan lahan berupa hutan hujan tropis, padang rumput dan padang alang-alang. Ketinggian wilayah di Provinsi Papua
44
Barat bervariasi dari 0 s.d > 1000 m. Kondisi ini merupakan salah satu elemen yang menjadi barrier transportasi antar wilayah, terutama transportasi darat, serta dasar bagi kebijakan pemanfaatan lahan. Karena daerahnya yang bergunung-gunung, maka iklim di Provinsi Papua Barat sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya. Pola umum iklim dan cuaca sangat dipengaruhi oleh topografinya yang kasar. Suhu sangat bergantung dari ketinggian, sedangkan ketinggian dan kejajaran barisan pegunungan mempengaruhi pola angin dan presipitasi dalam setiap daerah. Secara geologis, wilayah Provinsi Papua Barat sangat unik dari proses dan masa pembentukannya. Menurut Piagam dan Davis (1989), wilayah Kepala Burung terbentuk secara terpisah dari bagian lain di New Guinea yang sebagian besar terjadi pada masa Miocene akhir (10 Ma) dan Pliocene (2 Ma), yang berasal dari pengangkatan dasar laut dan sisa pecahan dari benua purba Gondwana. Dari sini terbentuk delapan microplates yaitu Arfak, Kemum, Netoni, Waigeo, Misool, Wandamen. Tambrauw, dan Lengguru yang sangat mempengaruhi bahan induk batuan dan tanah. Jenis batuan yang ada saat ini sangat berhubungan erat dengan proses pembentukan dan masa pembentukan wilayah Papua Barat di masa lampau. Hal ini menyebabkan wilayah ini cenderung labil dan sering terjadi aktivitas tektonik seperti gempa bumi. Kondisi topografi Provinsi Papua Barat dengan kemiringan lahan 3-15% seluas 2.524.944 ha, jenis lahan curam dengan kemiringan 16-40% seluas 2.795.754 ha dan jenis lahan sangat curam dengan kemiringan > 40% seluas 5.556.300 ha. Selain itu, topografi ketinggian 50-1.500 meter di atas permukaan laut.
B. Evaluasi UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008
Dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yg bersifat khusus dan bersifat istimewa yg diatur dengan UndangUndang. Dengan demikian selain otonomi yang berlaku secara umum dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia dikenal juga otonomi yang bersifat asimetris. Saat ini setidaknya ada 5 (lima) provinsi di Indonesia yang berdasarkan otonomi yang bersifat asimetris yaitu Provinisi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Papua Barat. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif dengan pertimbangan seperti karakteristik yang dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, historis, aspek politis dan pertimbangan sebagai
45
ibukota negara. Dalam hal tersebut, aspek kualitas hidup dan ketertinggalan dibandingkan dengan provinsi lain menjadi unsur yang dominan dalam otonomi khusus bagi Provinisi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat diatur dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Oleh karena hanya bersifat menetapkan maka pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintah daerah terdapat dalam Perpu, dimana setidaknya terdapat 2 pasal yang mengalami perubahan dari UU Nomor 21 Tahun 2001 yaitu: a) Perubahan (penambahan) nama provinsi dari semula hanya Papua, menjadi Papua dan Papua Barat, sebagaimana terdapat pada Pasal 1 huruf a, Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) Penghapusan ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf l, huruf a mengenai tugas memilih gubernur dan wakil gubernur yang dihapus karena dipilih melalui Pilkada, sedangkan dihapusnya huruf l karena tidak ada utusan provinsi menjadi anggota MPR RI. Dengan kata lain, penetapan Perpu 1/2008 menjadi undang-undang yakni UndangUndang Nomor 35 Tahun 2008 pada 25 Juli 2008 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, telah diatur tentang sumber-sumber penerimaan daerah sebagai berikut: a) dana pembangunan bagian provinsi, kabupaten/kota dalam rangka Otonomi Khusus: (1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90%, (2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%, (3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20%, (4) Kehutanan sebesar 80%, (5) Perikanan sebesar 80%, b) Pertambangan umum sebesar 70%, dan Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota sebesar 15% dan Tambahan Penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar 55%, c) Pertambangan gas alam sebesar 70%, Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota sebesar 30% dan Tambahan Penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar 40%, dan e) Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Selain penerimaan dari bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta DAU dan DAK sebagaimana tersebut di atas, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua diberikan dana yang besarannya setara dengan 2% dari plafon DAU nasional dan berlaku 20 tahun. Ada pula dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya
46
ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya, sekurang-kurangnya 30% penerimaan dari dana Otonomi Khusus Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas Alam dialokasikan untuk biaya pendidikan dan sekurang-kurangya 15% untuk kesehatan (Pasal 36 ayat 2). Pembagian lebih lanjut Dana Otonomi Khusus 2% DAU Nasional ini antara Provinsi, Kabupaten dan Kota diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah tertinggal (Pasal 34 ayat 3 huruf c angka 7 UU 21 Tahun 2001). Namun sangat disayangkan, perdasus yang telah diamanatkan dalam pasal ini belum diterbitkan atau masih dalam bentuk rancangan perdasus (raperdasus), meskipun pada kenyataannya sudah digunakan sebagai acuan/pedoman. Selama ini pembagian alokasi dana Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan proporsi 40:60, dimana 40% untuk provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Papua, sedangkan Provinsi Papua Barat dengan proporsi 30:70, dimana 30% untuk provinsi dan 70% untuk Kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur Papua Barat . Rancangan Perdasus tentang pembagian dan pengelolaan dana Otonomi Khusus yang ada dapat dikatakan belum memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam lembaran daerah, raperdasus ini pun hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum sehingga membutuhkan pengawasan, peraturan-peraturan pengendalian, turunan dalam menjabarkan dan pertanggungjawaban tata cara guna alokasi, pelaporan terwujudnya
pengelolaan anggaran yang transparan dan akuntabel dan pada implementasi di lapangan akhirnya, pembagian tersebut diatur berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang sebenarnya memang akan lebih tepat apabila diatur dalam perdasus. Kebijakan pengalokasian dana otonomi khusus yang selama ini dilakukan sepertinya juga belum didasarkan kepada model pelaksanaan kewenangan khusus secara proporsional. Pembagian 40% untuk Provinsi Papua dan 30% untuk Provinsi Papua Barat mestinya dibarengi dengan lingkup pelaksanaan kewenangan yang ada di provinsi. Dari sisi pemerintah kabupaten/kota pembagian tersebut dianggap tidak adil, karena belum mempertimbangkan karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di daerah kabupaten/kota, seperti daerah berkarakter pegunungan, dataran, pedalaman, pesisir, termasuk pertimbangan jumlah penduduk (demografi), dan sebagainya. Sumber-sumber pendanaan (resources) pada dasarnya digunakan untuk membiayai kewenangan-kewenangan yang dimiliki Provinsi Papua sebagaimana amanat Pasal 4 ayat (2) UU 21 Tahun 2001 Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seluruh kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan selain daripada 6 (enam) kewenangan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan
47
khusus berdasarkan undang-undang ini. Pada ayat (3) disebutkan bahwa pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi. Perdasus dan perdasi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 terkait dengan kewenangan dalam rangka Otonomi Khusus sampai dengan saat ini kemajuan penyelesaiannya dapat dilihat pada tabel berikut dan penjelasan kewenangan khusus sebagaimana diamanatkan undang-undang Otonomi Khusus dapat dilihat pada lampiran laporan ini:
Tabel 4.2
Jumlah Peraturan Tindak Lanjut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 PROVINSI PROSES PERDASUS DAN PERDASI AMANAT UU NO. 21 Tahun 2001 PAPUA Sudah Diterbitkan Sedang Dalam Proses Belum Diproses PAPUA BARAT Sudah Diterbitkan Sedang Dalam Proses Belum Diproses
Tentang Lambang Daerah
*) Perdasus Tentang Lambang Daerah untuk Provinsi Papua Barat diatur dengan Perda Nomor 2 tahun 2006
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 21 tahun 2001 bahwa pelaksanaan kewenangan khusus dimaksud harus diatur dalam Perdasus dan dengan ketiadaaan peraturan tersebut dapat dikatakan Prinsip money follow function dalam penggunaan anggarannya belum dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Berkaitan dengan hal tersebut, maka tidak heran bahwa kehadiran Otonomi Khusus belum berdampak secara signifikan terhadap pencapaian kesejahteraan orang asli Papua sebagai target/sasaran affirmative action yang menjadi roh UU Nomor 21 Tahun 2001. Apabila Perdasus yang mengatur tentang kewenangan khusus ini tidak segera diterbitkan, maka dapat dipastikan sulit bagi Pemerintah Provinsi Papua/Provinsi Papua Barat, DPRP/DPRPB bersama-sama dengan MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat untuk mengawal kepentingan/kesejahteraan orang asli Papua, oleh karena keseluruhan proses tidak mendapat legitimasi pada tahapan awal proses yaitu penetapan dan pelembagaan hukum kewenangan yang diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 yang menjadi dasar seluruh tindakan/aktivitas/kegiatan dalam
48
Begitupun kewenangan yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota sesuai amanat Pasal 4 ayat (5) UU Nomor 21 Tahun 2001 juga memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan perdasus/perdasi tetapi peraturan khusus dimaksud belum ada, hal ini berimplikasi terhadap pengukuran tingkat keberhasilan pelaksanaan kewenangan khusus di kabupaten/kota disebabkan kesulitan daerah dalam mendefinisikan operasional kewenangan khusus tersebut dalam perencanaan daerahnya. Belum terpenuhinya sejumlah perdasus/perdasi yang disyaratkan berimplikasi pada ketidakjelasan arah kebijakan dan pengelolaan kewenangan khusus. Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang manajemen penyelenggaraan Otonomi Khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas, jelas dan terukur misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum menjadi acuan yang terukur untuk dapat membedakan mana urusan yang harus dikelola oleh provinsi atau kabupaten/kota. Akibatnya, kinerja yang dicapai pada bidang ini menjadi tidak optimal, termasuk akuntabilitasnya seperti yang digambarkan dalam gambar berikut ini:
49
PEMERINTAH PUSAT
OTONOMI SIMETRIS
OTONOMI ASIMETRIS
1
KABUPATEN/KOTA PROVINSI
PERDA
1. 2. 3.
PERDASI
Kewenangan Daera h kabupaten dan Kota Tata cara pemilihan anggota MRP Pengaturan perang kat dan kepegawaia n di Provinsi Papua 4. Kebijakan Kepegawaia n provinsi 5. Pemberian pertimbangan dan persetujua n MRP 6. Fung si. Tugas, Wewenang, bent uk dan susuna n Keanggotaan hukum Ad Hoc 7. Ketentuan Pinjaman Luar Negeri 8. Tata cara penyusunan dan pelaksanaan a nggaran penda patan dan bela nja provinsi 9. Tata cara penyertaan modal 10. Tugas kepolisian di bidang ketentraman da n ketertiban 11. Penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Papua 12. kewajiban melindungi, membina dan mengembangka n kebudayaa n asli Papua 13. Kewajiban menyelengga rakan pelaya nan kese hatan 14. Kewajiban merencanaka n dan melaksa nakan program perbaika n dan peningkatan gizi penduduk 15. Penempatan penduduk 16. Kesempatan Kerja 17. Lingk ungan Hidup 18. Jaminan hidup layak 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
PERDASUS
Lambang Daerah Kewenangan Daera h Provinsi Papua Kewenangan Daera h Kabupaten/Kota Pemberian pertimbangan o leh gube rnur Tata cara pemilihan gube rnur dan wakil Gube rnur Keanggotaan dan jumla h anggota MRP Tugas dan Wewe nagn MRP Hak MRP Kewajiban MRP Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi khusus 11. Perekonomian di Provinsi Papua 12. Pengembangan suk u Suku Terisolasi 13. Pengawasan Sosial
Keterangan: 1. Hubungan dalam alokasi dan distribusi dana otonomi otsus serta sinergitas penyelenggaraan kewenangan khusus. 2. Sejumlah perdasi yang harus diterbitkan. 3. Sejumlah perdasus yang harus diterbitkan.
Belum adanya perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang misalnya, pada bidang sosial di dalam Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan. Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial Pada penjabarannya, bagaimana ruang lingkup dan indikator yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini, tidak ada kejelasan.
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
50
Contoh yang lain, perihal kependudukan, sesungguhnya apa yang menjadi indikator untuk menilai keberhasilan pelaksanaan urusan kependudukan dan ketenagakerjaan di Papua. Apakah pembatasan masuknya orang luar Papua dapat dimaknai sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap orang asli Papua agar memperoleh pekerjaan karena tidak harus bersaing dengan pendatang. Hal inilah yang telah dilakukan selama ini, yakni dengan memberikan KTP bagi penduduk asli dan penduduk non Papua (pendatang). Pemberian dua jenis KTP dan pembatasan dimaksud jelas-jelas telah melanggar hak azasi warga negara untuk bertempat tinggal dan mencari penghidupan yang layak di negeri ini. Terkait dengan pengelolaan kewenangan khusus tercermin desain pelaksanaan otonomi khusus yang terkait dengan: (1) kewenangan/urusan yang akan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah provinsi, (2) kewenangan/urusan mana saja yang didelegasikan oleh pemerintah provinsi kepada pemkab/pemkot dan (3) kewenangan/urusan yang dikerjasamakan atau dikelola bersama-sama pemkab/pemkot seperti yang dapat digambarkan dalam model-model berikut ini: Gambar 4.2 Model-Model Kewenangan Otonomi Khusus
Dalam Model 1, seperti bidang pendidikan, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota bersama-sama memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam memberikan pendidikan bermutu dimana dan memberikan bantuan atau subsidi kepada penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan. Kemudian, untuk model 3 seperti bidang kependudukan, pemerintah provinsi berkewajiban melakukan pembinaan,
pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk, sedangkan penyerahan urusan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota yang tergambar dalam model 2, terkait dengan pengelolaan dana otonomi khusus yang diperuntukkan bagi kewenangan khusus tersebut.
51
Dalam Pelaksanaan kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup juga menjadi urusan wajib yang merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan tidak adanya pedoman dalam bentuk petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut, hal tentunya akan berdampak kepada seringnya terjadi tumpang tindih wewenang dan pelaksanaan pembangunan di antara ketiga level pemerintahan tersebut. Selanjutnya, dalam bentuk dan susuan pemerintahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, disebutkan bahwa pemerintahan di Papua didasarkan pada tiga lembaga yakni: legislatif (DPRP), eksekutif (gubernur dan pemerintahan daerah) dan MRP, dimana posisi ketiga lembaga tersebut adalah sama dan sederajat. Dalam Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan secara jelas Jumlah anggota DPRP adalah 1 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRP sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tanpa diikuti dengan pengaturan mengenai kuota penambahan kursi DPRP yang bersifat khusus. Peraturan UU KPU menetapkan bahwa wakil rakyat yang berhak duduk di DPRD Provinsi Papua adalah 56 kursi. Namun sesuai dengan UU Nomor 21 tahun 2001 mengatur penambahan kuota dari jumlah yang ada maka berjumlah menjadi 67 kursi. Sampai saat ini belum ada mekanisme dalam penambahan 11 kursi yang diamanatkan Undang-Undang Otonomi Khusus tersebut. Pengaturan tata cara pengisian anggota DPRP harus diatur secara khusus dalam Perdasus yang didalamnya memuat ketentuan tentang penambahan 11 anggota DPRP yang diangkat dan berlaku satu kali (einmalig). Selanjutnya, kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundangundangan. DPRP mempunyai tugas dan wewenang (Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001), sebagai berikut: (a) memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; (b) mengusulkan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia; (c) mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden Republik Indonesia; (d) menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur; (e) membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersamasama dengan Gubernur; (f) membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur; (g) menetapkan Perdasus dan Perdasi; (h) bersama Gubernur menyusun dan
52
menetapkan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua dengan berpedoman pada Program Pembangunan Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua; (i) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; (j) melaksanakan pengawasan terhadap: pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan pemerintah daerah lainnya; pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah Provinsi Papua; pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua; (k) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan (l) memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Dalam Perpu Nomor 1/2008, tugas DPRP telah mengalami penyesuaian yaitu penghapusan tugas pertama pada huruf (a) memilih gubernur dan wakil gubernur, dan huruf (l) memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan secara langsung melalui Pilkada, sementara itu utusan golongan/daerah dihapuskan dari MPR RI. Disamping DPRP, dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua juga dibentuk Majelis Rakyat Papua atau disingkat MRP. MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Tugas dan wewenang MRP meliputi: (a) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (b) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP; (c) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur; (d) memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua; (e) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan (e) memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut diatur dengan Perdasus
53
dan sudah diterbitkan Perdasus yang tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP yakni Perdasus Nomor 4 Tahun 2008. Berdasarkan penjabaran tugas dan wewenang tersebut dalam pasal tersebut, pada ayat (1) huruf b, tidak dapat digunakan lagi dikarenakan sudah tidak adanya anggota MRP utusan daerah yang diusulkan oleh DPRP. Utusan daerah telah dihapuskan dan diganti dalam bentuk DPD, sebuah kamar kedua yang dianggap lebih merepresentasikan utusan daerah dan pemilihan anggotanya berdasarkan pemilihan umum legislatif. Adapun hak MRP antara lain: (a) meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (b) meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (c) mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua; dan (d) menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP. Sedangkan kewajiban anggota MRP meliputi: (a) mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; (b) mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan; (c) membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua; (d) membina kerukunan kehidupan beragama; dan (e) mendorong pemberdayaan perempuan. Pelaksanaan hak dan kewajiban MRP didasarkan pada Perdasus dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah dimana sampai saat ini, Peraturan Pemerintah dimaksud belum ada. Dasar dari pembentukan MRP adalah sejenis aksi affirmative yang memiliki tujuan untuk meningkatkan partisipasi rakyat Papua dalam setiap pengambilan keputusan di Papua, baik yang berkaitan dengan politik dan ekonomi, agar dapat melindungi hak-hak orang asli Papua dan juga meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Merujuk pada pandangan Agus Sumule, setidaknya ada tiga persoalan yang melatarbelakangi terbentuknya MRP, yaitu pertama, kehadiran orang-orang asli Papua belum dianggap penting di lembaga-lembaga atau institusiinstitusi pemerintahan selama Orde Baru, serta tidak dilibatkannya orang-orang asli Papua dalam pengambilan kebijakan di Papua; Kedua, partisipasi dan hak-hak politik orang asli Papua terus diabaikan, bahkan setelah reformasi; Ketiga, hak-hak dan partisipasi kaum perempuan di Papua juga terus diabaikan, termasuk dalam hal pembuatan kebijakan publik, atas dasar itulah, dibentuknya MRP menjadi salah satu jalan keluar yang disepakati Jakarta dan Papua dalam membangun komitmen untuk melindungi hak-hak asli orang Papua. Hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini memang berimplikasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang ada di Papua dimana sebelum pemerintahan semula
54
diselenggarakan atas duet pemerintah dan DPRP kini berubah menjadi trio alias Three in One artinya, keputusan terhadap penyelenggaraan pembangunan diatur oleh tiga komponen utama, yakni Pemerintah, DPRP dan MRP. Undang-undang otonomi khusus telah mengakomodir ketiga pilar utama (Pemerintah, DPRP dan MRP) baik menyangkut tugas dan wewenang maupun hak dan kewajiban dari masing-masing ketiga lembaga sebagai pilar utama. Berdasarkan hal tersebut, penyelenggaraan pemerintahan di Papua selain legislative dan eksekutif juga ada MRP sebagai representasi kultural, diharapkan semakin kuat dengan kinerja yang tinggi. Dalam pelaksanaannya ternyata ketiga institusi ini cenderung tidak bersinergis. Bahkan pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi strategis (DPRP, Pemerintah Provinsi, dan MRP) tidak jelas. Akibatnya kinerjanyapun tidak optimal. Ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara lembaga-lembaga ini mengakibatkan munculnya konflik kepentingan bermain pada ranah yang tidak jelas misalnya, MRP sebagai representasi kultural sering masuk ke dalam ranah politik. Di satu sisi, belum ada solusi kebijakan memperkuat peran dan fungsi lembaga khusus (MRP). Pemerintah Provinsi dan DPRP belum dapat bekerja secara optimal dalam proteksi terhadap masyarakat asli Papua yang tergambar dalam diterbitkan perdasus yang belum sesuai dengan target yang diharapkan. Desakan untuk melakukan revisi undang-undang Otonomi Khusus semakin mengemuka seiring dengan tuduhan kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001. Hampir setiap hari, media massa cetak dan elektronik senantiasa memberitakan perlunya penyempurnaan undang-undang otonomi khusus. Namun persoalannya adalah, pertama, tuduhan dan pemberitaan yang relatif gencar tersebut tidak pernah menjelaskan kepada publik hal-hal apa yang perlu direvisi/disempurnakan. Kedua, bahwa tuduhan dan pemberitaan tersebut juga tidak pernah menjelaskan apakah memang isi undang-undang otonomi khusus telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh ataukah tidak?. Titik berat perbincangan mengenai otonomi khusus Papua senantiasa dan selalu saja ditujukan pada kegagalan pemerintah daerah (pemerintah provinsi) dalam mengelola dana Otonomi Khusus yang diterimanya. Benarkah hal itu hanya merupakan kegagalan pemerintah daerah saja? Bukankah pemerintahan daerah terdiri atas pemerintah daerah, DPRP dan MRP secara bersama-sama? Selain pemerintah daerah, ada pula pemerintah pusat yang ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan otonomi khusus. Untuk mendukung pembahasan hasil penelitian ini juga dilengkapi dengan berbagai pendapat, diantarannya bagaimana pandangan dari informan yang terhadap kebijakan
otonomi khusus. Dari segi kebijakan, kabupaten/kota pada daerah penelitian sangat menyambut baik atau menanggapi dengan positip pelaksanaan kebijakan otonomi khusus.
55
Otonomi khusus bagi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua. Kebijakan otonomi khusus sendiri merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.
Box1. Persepsi Responden terhadap Tujuan Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat Persepsi stakeholder pelaksana kebijakan terhadap tujuan suatu kebijakan bisa saja berbeda dari apa yang digariskan oleh kebijakan tersebut. Hal ini bisa saja mempengaruhi tindakan-tindakan yang dipilih dan hasilhasil yang dicapai. Dengan adanya perbedaan persepsi yang dimiliki, implementasi bisa saja menjadi bias, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan LIPI, Yayasan TIFA, dan Yayasan Obor Indonesia tahun 2009, diuraikan beberapa alasan mengapa otsus belum berhasil sebagai kekuatan pendorong paradigma baru pembangunan di Papua dan Papua Barat. Alasan itu antara lain adanya ketidaksamaan pemahaman dan persepsi mengenai otsus. Sejak awal telah terbangun perbedaan persepsi dan kepentingan di kalangan pejabat pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai masyarakat. Seperti dalam penelitian ini, dimana responden diminta mengurutkan tujuan pelaksanaan otsus Papua dan Papua Barat, mayoritas responden (58,33%) menyatakan integrasi nasional sebagai prioritas utama dalam pelaksanaan otsus, sedangkan urutan kedua adalah keadilan dan kesejahteraan rakyat, selanjutnya urutan ketiga penegakan hukum dan HAM, dan terakhir (pengurangan) kesenjangan antar provinsi. Padahal menurut UU Nomor 21 Tahun 2001 pada bagian penjelasannya disebutkan bahwa Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.
Prioritas Tujuan Pelaksanaan Otsus Papua menurut UU Nomor 21 Tahun 2001 Keadilan Penegakan supremasi hukum dan penghormatan HAM Percepatan pembangunan ekonomi Peningkatan kesejahteraan dan pembangunan
56
Responden selanjutnya memang mengharapkan bahwa pelaksanaan otsus hendaknya dapat menjamin terciptanya persatuan dan kesatuan dimana Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi salah satu bagian pentingnya dan untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu ditempuh melalui peningkatan keadilan dan kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat. Selanjutnya, dalam pelaksanaan otonomi khusus, Provinsi Papua memperoleh sumber penerimaan lain yaitu dalam bentuk penerimaan dana otonomi khusus sebesar 2% dari DAU secara nasional. Berdasarkan dana yang diterima tersebut, provinsi kemudian
mendistribusikan kepada kabupaten/kota berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2007, Pada kabupaten/kota, dana otonomi khusus tersebut diarahkan kepada 4 (empat) bidang kewenangan khusus yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan infrastruktur dasar. Berdasarkan dana otonomi khusus tersebut beberapa kabupaten/kota sebagai pelaku kebijakan yang menerjemahkan dalam berbagai program affirmative action, seperti yang dilakukan di Kabupaten Puncak Jaya, melalui beberapa program keberpihakan dan proteksi masyarakat asli Papua asal Kabupaten Puncak Jaya diantaranya program pendidikan melalui pendidikan gratis yang mencakup pembebasan semua biaya dan pungutan di sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (SMA/SMK) dan beasiswa bagi siswa yang akan melanjutkan Perguruan Tinggi dan akomodasi bahkan asrama di kota studinya. Kesehatan gratis meliputi penggratisan biaya pelayanan, obat-obatan hingga tindakan medis dan ditanggung pemerintah selain itu dibangunnya rumah sakit dan puskesmas di setiap distrik di daerah-daerah. Berbicara mengenai evaluasi kebijakan, tentunya juga harus berbicara dampak yang dihasilkan dari implementasi kebijakan tersebut. Dari berbagai pendapat informan diketahui bahwa dampak Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat bervariasi, ada yang menyatakan belum memberikan dampak signifikan, namun ada pula yang menyatakan sebaliknya, bahwa Otonomi Khusus telah memberikan impact bagi masyarakat Papua dan Papua Barat. Anggota DPRP/DPRPB dan anggota MPRP/MPRPB pada umumnya memberikan pendapat bahwa implementasi Otonomi Khusus selama sepuluh tahun belakangan belum memberikan dampak kepada masyarakat Papua, sebagaimana pernyataan Ketua Komisi D-DPR Papua Barat sebagai berikut: Pelaksanaan otonomi khusus selama 10 tahun di Provinsi Papua Barat dinilai belum membawa perubahan kemajuan yang signifikan bagi daerah dan kesejahteraan hidup yang layak serta bermartabat di daerah ini jika disejajarkan dengan perkembangan kemajuan daerah serta tingkat kesejahteraan rakyat secara nasional maupun regional
57
Hal senada disampaikan Anggota MRP Provinsi Papua Barat, H. Muhammad Aerobi (perwakilan agama), bahwa pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua Barat masih jauh dari harapan, sebagaimana pernyataan beliau: kita melihat pelaksanaan Otonomi Khusus ini sepertinya tidak ada transparansi antara legislatif dengan eksekutif. MRP sebagai lembaga representasi adat, agama dan perempuan tidak pernah diajak bicara untuk melaksanakan Otonomi Khusus Papua.Bahkan di Papua Barat ini ada istilah PMP (Papua makan Papua), Otonomi Khusus yang seharusnya memberdayakan orang asli Papua, pada kenyataannya tidak terlaksana karena perilaku orang Papua sendiri. Di sisi lain, penjelasan yang diberikan Kepala Bappeda Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan bahwa Otonomi Khusus Papua Barat sebenarnya memiliki harapan untuk terus dilanjutkan di antara persoalan yang dihadapinya. pemerintah daerah telah mengerahkan segenap daya upaya dalam pelaksanaan otonomi khusus tersebut, permasalahannya masyarakat belum menyadarinya, seharusnya kebijakan Otonomi Khusus mengadopsi kebijakan yang dicanangkan pemerintah orde baru yang menerapkan kebijakan Sekolah Inpres, sekolah yang dibangun berdasarkan dana inpres sehingga masyarakat mengetahui peruntukkan danannya, dapat dikatakan masyarakat membutuhkan suatu label atau penanda dari kebijakan otonomi khusus sehingga masyarakat mengetahui dampaknya Pendapat yang diberikan tersebut merupakan suatu pembelaan terhadap apa yang dikeluhkan sebagian masyarakat bahwa otonomi khusus adalah gagal. Penyelenggaraan Sejak pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mulai berlaku tahun 2001 silam, kami langsung membuat program keberpihakan pada masyarakat karena dana Otsus itu adalah hak mereka, otonomi telah khusus sebagai melalui akselerasi berbagai dalam mengurangi kesenjangan dengan provinsi lain ditempuh program
program di pemerintah kabupaten/kota tetapi memang kurangnya penanda sehingga selama in menjadi pertanyaan masyarakat.
Mengenai manfaat dari penyelenggaraan otonomi khusus, ditekankan oleh Asisten I Kabupaten Biak Numfor, bahwa pelaksanaan otonomi khusus besar atau kecilnya pasti ada dampaknya yang dirasakan masyarakat sehingga otonomi khusus harus tetap dilanjutkan. Otonomi Khusus Papua yang telah dilaksanakan selama 10 tahun lebih, menurut kami perlu dilanjutkan. Besar-kecilnya anggaran yang diturunkan kepada kabupaten/kota pasti akan memberikan manfaat bagi pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Hanya, persoalannya memang, Provinsi harus melengkapi pelaksanaan Otonomi Khusus ini dengan perdasus dan perdasi yang diperlukan.
58
No
Tahun
3.500
3.296
3.000
2.913
Dlm Milyar Rp
2.500 2.000
1.539 1.775
1.642 1.353
1.380
1.643 1.118
1.155
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
59
Dlm Milyar Rp
2012
Sampai dengan tahun 2008 dana otonomi khusus Papua tidak dibagikan kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat. Dengan diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, otonomi khusus juga berlaku bagi Provinsi Papua Barat dan sejak tahun 2009 Pemerintah Provinsi Papua Barat telah menerima dana otonomi khusus. Dana otonomi khusus Papua dialokasikan untuk membiayai kegiatan provinsi dan dialokasikan kepada kabupaten/kota. Otonomi khusus Papua terletak pada provinsi, selanjutnya provinsi melakukan pendistribusian pada kabupaten/kota. Adapun dana tambahan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan berdasarkan usulan provinsi, terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dana tersebut dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam 25 tahun seluruh kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas, sehingga Provinsi Papua dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Pada kurun waktu 2002-2003, Provinsi menerima porsi dana otonomi khusus sebesar 60% sementara 40% sisanya dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua. Hal ini merujuk pada Surat Keputusan Menteri RI Nomor 47/KM.07/2002 tanggal 21 Februari 2002 tentang cara penyalurah dana otonomi khusus Provinsi Papua. Sejak tahun 2004 berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan dalam rangka
60
Otonomi Khusus, pola pengalokasian berubah dengan porsi lebih besar diberikan pada kabupaten/kota (60%). Sementara provinsi menerima 40% dari dana otonomi khusus. Sejak tahun 2007, pola pengalokasian merujuk pada rancangan Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, dengan pola yang sama, yakni kabupaten/kota (60%) dan provinsi (40%). Untuk kabupaten/kota ditetapkan lebih besar (60%) mengingat implikasi dari otonomi daerah dan otonomi khusus Papua titik beratnya beratnya berada di kabupaten/kota. Pola pengalokasian dana otonomi khusus dalam berbagai periode terangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.5 Pola Pengalokasian Dana Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Periode Periode 2002-2003 Porsi Kabupaten/Kota 40% Porsi Provinsi 60% Dasar Hukum Surat Keputusan Menteri RI Nomor 47/KM.07/2002 tanggal 21 Februari 2002 tentang Cara Penyalurah Dana Oonomi Khusus Provinsi Papua Perda Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan dalam Rangka Otonomi Khusus Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009
Periode 2004-2006
60%
40%
Periode 2007-Sekarang
60%
40%
Periode 2009-2011
70%
30%
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua.
Sementara untuk Provinsi Papua Barat, kabupaten/kota mendapat proporsi alokasi yang lebih tinggi daripada kabupaten/kota di Provinsi Papua. Pembagian dana otonomi khusus di Provinsi Papua Barat adalah 70% untuk Provinsi dan 30% untuk Pemerintah kabupaten/kota. Pembagian ini merujuk pada Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009. Perimbangan alokasi antara provinsi dan kabupaten/kota sejauh ini oleh berbagai pihak masih dirasakan kurang ideal mengingat jumlah 60% dana otonomi khusus tersebut dialokasikan kepada kabupaten/kota, alokasi yang diterima oleh kabupaten/kota dianggap ideal. Ditambah lagi, tidak ada dasar pertimbangan yang jelas dalam penetapan proporsi tersebut. Meski otonomi khusus merupakan otonomi bagi provinsi, namun jelas sasarannya tersebar diberbagai kabupaten/kota. Untuk itu muncul beragam pendapat tentang perimbangan dana otonomi khusus antara provinsi dan kabupaten/kota. Sebagian pihak menghendaki pembagian 80% untuk kabupaten/kota dan 20% untuk provinsi, sebagian lagi agar pengelolaannya seluruhnya diserahkan kepada kabupaten/kota. Dana penerimaan khusus ditujukan untuk memperkuat kemampuan keuangan Pemerintah Provinsi Papua serta pemerintah kabupaten dan kota dalam rangka percepatan
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
61
pembangunan dengan tujuan dan sasaran: 1) mendukung pelaksanaan otonomi khusus Papua; 2) meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat; 3) meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat; dan 4) mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, antar wilayah, serta antar desa-kota. Secara garis besar penggunaan dana otonomi khusus digunakan untuk pembangunan di Provinsi Papua dan disalurkan ke kabupaten/kota. Gambaran umum tentang penggunaan dana otonomi khusus kurun 2002-2010 tertuang dalam tabel 4.5. Dana yang disalurkan ke kabupaten/kota diantaranya berupa dana segar (fresh money) yang penggunaannya diserahkan sepenuhnya ke kabupaten/kota untuk mendanai kegiatan sesuai dengan kebutuhan daerah. Ada catatan khusus terkait dengan dana segar tersebut. Dari berbagai contoh penggunaan dana segar, tampak bahwa penggunaan dana segar ini yang semestinya diperuntukkan bagi program-program strategis dengan prioritas pada sektor pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan infrastruktur, dijumpai alokasi yang tidak sesuai dengan prioritas tersebut. Misalnya dijumpai penggunaan dana segar untuk proyek pembuatan rumah dinas camat di salahsatu kabupaten atau pembangunan kantor badan pemerintahan. Tabel 4.6 Penggunaan Dana Otonomi Khusus Papua Tahun 2002-2010
Tahun
2002
Pengalokasian
Sejumlah Rp. 1.38 trilyun, 60% diantaranya atau Rp. 829,53 miliar merupakan alokasi provinsi digunakan untuk melaksanakan program pembangunan dan dana cadangan rutin. Dana otonomi khusus Kabupaten/Kota sebesar Rp. 552,77 miliar (40%) dibagikan kepada 14 Kabupaten/Kota sebagai berikut: Bantuan program/kegiatan di Kabupaten/Kota melalui DIPA Provinsi Papua sejumlah Rp. 349.726.166.000 Bantuan keuangan (dana segar/fresh money) sejumlah Rp. 200.000.000 disalurkan langsung melalui Kas Daerah Kabupaten/Kota Bantuan untuk subsidi pembebasan EBTA sejumlah Rp. 3053.834.000, disalurkan langsung ke Kas Daerah Kabupaten/Kota Sejumlah Rp. 924,48 miliar (60% dari Rp. 1,53 triliun) digunakan untuk pembangunan di Provinsi Papua dan sebesar Rp. 605,51 miliar (40%) dialokasikan ke kabupaten/kota se Provinsi Papua sebagai berikut: Bantuan dana segar (fresh money) bagi 7 kabupaten induk dan 7 kabupaten/kota yang tidak dimekarkan sebesar Rp. 210 miliar Bantuan dana segar (fresh money) bagi 14 kabupaten pemekaran sejumlah Rp. 70 miliar Bantuan proyek yang diarahkan oleh Provinsi untuk 7 kabupaten/kota induk dan 7 kabupaten/kota yang tidak dimekarkan sejumlah Rp. 325,51 miliar Dana Otonomi Khusus sejumlah Rp. 1,64 triliun dialokasikan sebesar Rp.657,42 miliar (40%) untuk Provinsi. Sejumlah Rp. 985,20 miliar untuk 20 Kabupeten/Kota se Provinsi Papua dan 9 kabupaten/kota Se Provinsi Irian Jaya Barat, sebagai berikut: Program/kegiatan yang diarahkan oleh provinsi bagi 15 kabupaten/kota hasil pemekaran sejumlah Rp. 299,94 miliar Diberikan berupa dana segar kepada 7 kabupaten induk sejumlah Rp.485,30 miliar Diberikan kepada 14 kabupaten/kota hasil pemekaran tahun 2002 dan 1 kabupaten hasil pemekaran sebesar Rp. 199,96 miliar
2003
2004
62
Tahun
2005
Pengalokasian
Sejumlah Rp. 350 miliar digunakan antara lain untuk Pilkada, sosialisasi dan pemilihan/pembentukan MRP, pembangunan RS pendidikan, dan RS rujukan Sejumlah Rp. 570 miliar atau sebesar 40% digunakan untuk mendukung program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur Sejumlah Rp. 855,312 miliar dialokasikan kepada 29 kabupaten/kota baik yang berada di wilayah Provinsi Papua maupun Irian Jaya Barat yang digunakan untuk mendanai 4 program prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur masing-masing kabupaten/kota Sejumlah Rp. 2,91 triliun dialokasikan sebesar 40% untuk Provinsi dan sebesar 60% untuk 20 kabupaten/kota se Provinsi Papua dan 9 Kabupaten/Kota se Provinsi Irian Jaya Barat. Pembagian tersebut dilakukan setelah dikurangi dengan pembiayaan kegiatan-kegiatan yang dipandnag sebagai tanggung jawab bersama antara provinsi dan kabupaten/kota (Rp. 165.066.000.000) Sejumlah Rp. 3,29 triliun dialokasikan sebesar Rp. 411,4 miliar untuk mendukung program unggulan Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Sisanya sebesar 60 persen atau sebesar Rp. 1,73 triliun dialokasikan kepada 29 kabupaten/kota se Provinsi Papua dan sebesar Rp. 1,11537 triliun (40%) dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi Papua. Pembagian penerimaan telah didasarkan pada Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua ditetapkan setara 2% dari plafon DAU Nasional ataur sebesar Rp. 3,590 triliun Pembagian penerimaan didasarkan pada Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus. Sejumlah Rp. 1.374.181.353.000 merupakan porsi Kabupaten/Kota. Dana Respek dan infrastruktur sebesar Rp. 1.227.742.897.000 Dilakukan pemisahan antara dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Pengalokasian dana Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 1.023.918.439.000 (40%) menjadi bagian Provinsi digunakan untuk mendukung program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur. Sejumlah Rp. 320 miliar disalurkan untuk dana Respek Sebesar Rp. 1.265.877.659.000 (60%) dialokasikan kepada Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Papua Provinsi Papua Barat menerima alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp. 1.718.484.600.000. Alokasi untuk Provinsi sebesar Rp 857.559.380.000 Sejumlah Rp. 860.925.220.000 didistribusikan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua Barat Sejumlah Rp. 1.045.945.915.000 (40%) dari alokasi dana otonomi khusus Papua (sejumlah Rp. 2.694.864.788.000) digunakan untuk mendukung program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur dan dana Respek sebesar Rp. 350 miliar 60% dari alokasi dana otonomi khusus Papua dialokasikan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua Provinsi Papua Barat menerima alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp. 1.754.942.052.000. Sejumlah Rp. 1.083.182.615.600 dialokasikan untuk program/kegiatan Provinsi Papua Barat Alokasi yang didistribusikan kepada Kabupaten/Kota di wilayah Papua Barat sejumlah Rp. 671.759.436.400
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua
Jika menilik proporsi dana otonomi khusus dalam APBD, pada level provinsi terdapat proporsi yang cukup besar. Nilai total penerimaan dana Otonomi Khusus Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat sampai tahun 2010 sebesar Rp. 28.842.036.297.420, jika dibandingkan
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
63
dengan APBD masing-masing pemerintah provinsi dari TA 2002-2010 mencapai 63,20% dari nilai APBD sebesar Rp. 45.639.072.604.954. Sedangkan total penerimaan dana Otonomi Khusus pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua dan Papua Barat jika dibandingkan dengan keseluruhan penerimaan APBD rata-rata hanya mencapai 10,20% dari nilai APBD. Proporsi yang relatif kecil ini mengakibatkan terbatasnya pengalokasian untuk pendidikan, kesehatan, pemberdayan ekonomi rakyat, infrastruktur, dibandingkan dengan ketersediaan dana otonomi khusus pada kabupaten/kota7. Perimbangan yang kurang berimbang antara provinsi dan kabupaten/kota ini mengindikasikan perlunya perbaikan dalam mekanisme perimbangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Memang otonomi khusus menitikberatkan pada otonomi di level provinsi. Namun mengingat pelayanan kepada masyarakat dan dampaknya sesungguhnya lebih banyak berada di level kabupaten/kota, perlu dukungan dana yang lebih pada kabupaten/kota. Selama ini juga tidak ada mekanisme yang ideal untuk pengalokasian dana otonomi khusus untuk kabupaten/kota. Pembagian di antara kabupaten/kota diharuskan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah tertinggal. Namun demikian untuk alokasi pada tiap-tiap kabupaten/kota di Provinsi Papua belum didasari oleh pertimbangan secara komprehensif. Sejauh ini yang ada baru bersifat rancangan peraturan daerah dengan mempertimbangkan diantaranya (i) luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah, pendapatan asli daerah, pemerimaan pajak bumi dan bangunan, produk domestik regional bruto. Sementara di Provinsi Papua Barat, alokasi kepada kabupaten/kota dilakukan dengan mempertimbangkan Dimensi Keadilan yang mencakup luas wilayah (bobot 20%), jumlah penduduk (bobot 15%), Indeks Kemahalan Konstruksi (bobot 20%), dan jumlah Orang Asli Papua (bobot 45%). Namun terdapat indikasi bahwa kriteria ini sesungguhnya tidak diterapkan dalam pengalokasian dana otonomi khusus bagi kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat (lihat catatan pada box 2). Pembagian alokasi pada kabupaten/kota kurang tidak diikuti dengan target-target pencapaian. Di samping itu tidak ada mekanisme yang jelas terkait dengan mekanisme penyerahan urusan dalam rangka otonomi khusus kepada kabupaten/kota. Hal ini berimbas pada pengelolaan keuangan, dimana terkesan pengalokasian dan kepada kabupaten/kota semata-mata merupakan hibah dari provinsi kepada kabupaten/kota. Alokasi dana otonomi khusus pada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat dalam kurun waktu 2002-2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Informasi antara lain disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Manokwari Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
64
Tabel 4.7 Alokasi Dana Otonomi Khusus Pada Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat
NO
(1)
KABUPATEN
(2)
2002
(3)
2003
(4)
2004
(5)
2009
(10)
2010
(11)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Kab.Jayapura Kab. Yapen Waropen Kab.Biak Numfor Kab. Nabire Kab.Merauke Kab. Jayawijaya Kab. Paniai Kab. Puncak Jaya Kab. Mimika Kota Jayapura Kab.Waropen Kab. Asmat Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Tolikara Kab. Peg. Bintang Kab. Yahukimo Kab.Supiori Kab. Yalimo Kab. Lanny Jaya Kab. Nduga Kab. Puncak Kab. Dogiyai Kab. Memberamo Tengah Kab. Memberamo Raya Kab. Intan Jaya Kab. Deiyai Kab. Manokwari* Kab. Sorong* Kab. Fak-fak* Kab. Teluk Wandama*
44.21 42.18 40.06 41.92 33.83 40.99 38.00 47.10 25.56 37.06 46.71 48.75 30.69 -
46.90 39.69 32.57 35.68 38.30 34.00 33.65 56.30 37.05 33.85 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 34.29 37.96 32.03 5.00
35.95 32.97 35.19 35.67 33.93 36.28 36.50 38.72 37.19 33.41 30.93 38.85 32.97 32.97 33.23 31.41 34.05 34.05 38.62 29.29 32.45 30.93 32.71 33.23
28.50 29.00 28.50 29.00 28.50 29.00 30.30 30.30 28.60 27.10 30.10 31.50 30.10 31.10 30.25 30.00 31.00 31.00 31.50 29.50 28.30 27.10 28.20 30.00
54.48 54.08 55.77 53.11 55.31 61.60 59.79 61.15 55.77 52.66 56.09 61.80 59.98 59.72 57.58 57.00 61.80 61.80 61.80 50.71 54.48 53.56 56.49 54.73
57.16 56.76 58.53 55.74 58.05 64.65 62.75 64.17 58.53 55.26 64.86 64.86 62.95 64.86 60.43 59.82 64.86 64.86 64.86 62.95 60.82 59.80 63.06 61.10
60.82 60.38 62.27 59.30 61.76 68.78 66.75 68.27 62.27 58.79 62.63 69.00 66.97 66.68 64.29 63.64 69.00 69.00 69.00 56.62 5.00 5.00 5.00 5.00 60.82 59.80 63.06 61.10
52.66 52.28 53.91 51.34 53.47 59.55 57.80 59.12 53.91 50.90 54.23 59.74 57.99 57.74 55.67 55.10 59.74 59.74 59.74 49.02 12.77 12.77 12.77 12.77 12.77 12.77 50.18 12.77 12.77 90.95 75.56 67.58 62.46
52.66 52.28 53.91 51.34 53.47 59.55 57.80 59.12 53.91 50.90 54.23 59.74 57.99 57.74 55.67 55.10 59.74 59.74 59.74 49.02 16.86 16.86 16.86 16.86 16.86 16.86 50.18 16.86 16.86 100.46 66.84 64.55 55.86
65
NO
(1)
KABUPATEN
(2)
2002
(3)
2003
(4)
2004
(5)
2009
(10)
2010
(11)
34 35 36 37 38 39 40
Kab. Teluk Bintuni* Kab. Raja Ampat* Kab. Sorong Selatan* Kab. Kaimana* Kota Sorong* Kab.Tambraw* Kab. Maybrat*
35.71 -
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua *Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Papua Barat, Pada Tahun 2002-2003 masih tergabung dalam Provinsi Papua. Kabupaten Tambraw dan Kabupaten Maybrat terbentuk setelah Provinsi Papua Barat dibentuk.
Alokasi dana otonomi khusus yang diberikan kepada kabupaten/kota di Provinsi Papua pada tahun 2010, terlihat bahwa Kabupaten Yakuhimo, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Asmat memperoleh dana terbesar dibanding kabupaten/kota lainnya. Masing-masing kabupaten tersebut mendapatkan dana sejumlah Rp. 59.740.000.000. Sementara Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Intan Jaya, dan Kabupaten Deiyai mendapatkan alokasi terendah, masing-masing sebesar Rp. 16.860.000.000 sedangkan untuk alokasi dana otonomi khusus pada kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat disajikan pada gambar berikut ini. Gambar 4.5
Dalam Gambar di atas terlihat bahwa Kabupaten Manokwari memperoleh dana terbesar dibanding kabupaten/kota lainnya sebesar Rp. 100.46 Milyar sedangkan terkecil didapat Kabupaten Tambraw dan Kabupaten Maybrat sebesar Rp 35 Milyar. Kedua kabupaten ini merupakan kabupaten baru saja dimekarkan.
66
Selanjutnya, pada tahun 2009 Pemerintah Provinsi Papua mengalokasikan dana otonomi khusus pada bidang pendidikan sebesar 7,62%. Sementara Pemerintah Provinsi Papua Barat mengalokasikan dana otonomi khusus yang diterima dengan persentase sebesar 15,36%. Untuk bidang kesehatan, persentase anggaran yang dialokasikan di Provinsi Papua Barat relatif sama dengan alokasi pada bidang pendidikan. Sementara di Provinsi Papua persentasenya sekitar 6,07%. Bidang infrastruktur dan ekonomi mendapat porsi yang jauh lebih tinggi. Di Provinsi Papua alokasinya mencapai 55,02%, lebih tinggi daripada 49,31% yang dialokasikan Pemerintah Provinsi Papua seperti yang disajikan pada Gambar di bawah ini: Gambar 4.6 Proporsi Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat pada Tiga Bidang Tahun 2009
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Bidang Pendidikan Bidang Kesehatan Bidang Infrastruktur dan Ekonomi Papua Papua Barat
Sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, penggunaan dana otonomi khusus terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Pasal 34 ayat 3 Huruf (c) angka (2) UU itu menyebutkan, penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Kabupaten Sorong Selatan memberikan tanggapan yang positif terhadap pemberian dana otonomi khusus dari provinsi tersebut dimana Kabupaten Sorong baru menerima dana otonomi khusus pada tahun 2003, walaupun kebijakan otonomi khusus telah ada pada tahun 2002. Tahap awal lebih memprioritaskan penggunaan dana tersebut kepada bidang pendidikan, dengan membangun sejumlah perpustakaan dan sekolah yang bertipe asrama, hal ini untuk mendorong orang asli Papua yang ada dipelosok untuk bersekolah, karena kesulitan transportasi yang dihadapi sehingga orang asli Papua enggan untuk bersekolah. Dengan besarnya dana otonomi khusus dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat bagi masyarakat belum merasakan manfaatnya seperti dituturkan oleh salah seorang anggota masyarakat yang dikutip dari Kompasiana, 19 April 2011.
67
Kitong sudah dapat otonomi khusus dengan dana yang banyak dari Pemerintah Indonesia karena kitong orang Papua minta merdeka, tapi selama ini saya lihat kitong orang Papua yang ada di kota masih tetap susah hidup. Tidak tahu lagi dengan dong yang ada di kampung-kampung. Saya heran sekali, uang yang banyak-banyak itu lari kemana kah..? Hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Sekretariat Daerah Sorong Selatan, ketika diskusi terbatas yang diadakan di Kantor Bupati, Sorong Selatan : Orang Papua memang mengharapkan dana otonomi khusus adalah seperti dana BLT yang dibagikan langsung, tetapi pemerintah daerah tidak bisa begitu, pengalokasian dana tersebut dilaksanakan melalui programprogram yang berpihak kepada orang asli Papua, harusnya masyarakat dapat melihat dari mudahnya pendidikan bagi orang asli Papua, apabila tidak mampu dapat diberikan beasiswa, kemudian sarana kesehatan dengan berbagai kemudahannya, pembangunan Pasar dan mudahnya jalan dimana pembangunan jalan telah baik, dahulu untuk menuju Kota Sorong dibutuhkan paling tidak waktu 1(satu) hari sekarang paling cuma 5 (lima) jam Berdasarkan hal tersebut, orang asli Papua mengharapkan dana otonomi khusus dibagikan saja kepada orang Papua tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah kabupaten/kota tidak dapat menerapkan seperti itu, pemerintah kabupaten/kota melakukan berbagai program-program yang nantinya akan dapat membantu orang asli Papua, memberi Kail bukan Ikan.
68
Kritik tentang kriteria pengalokasian dana otonomi khusus juga disampaikan oleh Perwakilan Kabupaten Lanny Jaya, seperti yang diuraikan berikut ini: Permasalahan geografis kami lebih berat, tetapi anggaran relatif disamakan dengan daerah lain, ini kan tidak adil karena aksesibilitas kami yang sangat terbatas Topografi Kabupaten Lanny Jaya merupakan dataran tinggi dengan derajat kemiringan lereng yang cukup terjal dan berada pada ketinggian 1.500 hingga 3.000-an meter di atas permukaan laut. Daerah ini mencakup 80 % dari total wilayah kabupaten tersebut, sisanya berupa dataran rendah dengan topografi yang rata. Terkait dengan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, memang masih menjadi suatu kendala hal ini pula diakui pada pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) di setiap kabupaten. Kurangnya sosialisasi terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi sehingga kabupaten/kota mengalami ketidaktauan akan peraturan yang ada, sebagai jalan tengah pemerintah kabupaten kadang dalam pelaksanaannya mengambil inisiatif penyerapan dengan terpenting memberikan penyalurannya yang berdasarkan keterpihakan kepada masyarakat asli Papua. Hal yang sama terjadi ketika diskusi terbatas di Kabupaten Merauke, dimana terjadi kebingungan dengan permasalahan alokasi anggaran tersebut. Bagaimana peruntukkan bagi tenaga kesehatan non Papua yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan bagi orang asli Papua, apakah bisa honorarium dibayarkan kepada tenaga kesehatan tersebut dengan mengunakan dana otonomi khusus? Hal ini juga tergambar berdasarkan pernyataan Anggota Komisi XI DPR RI Irene Manibuy yang dikutip oleh KBR68h.com, dikatakan bahwa: begitu undang-undang Otonomi Khusus pada tahun 2001 yang disertai dengan dana tentunya jadi tidak sekedar undang-undang, tidak sekedar peraturan tetapi dikucurkan sejumlah dana dari pusat kepada daerah. Cuma sayangnya implementasi secara regulasi yang mengiringi tentang dikucurkan dana itu sampai dengan saat ini tidak ada satu peraturan yang mengatur khusus tentang bagaimana penggunaan dana Otonomi Khusus itu. Kedua pengawasannya secara melekat itu tidak ada, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pernyataan yang diamini oleh Kepala Bappeda Kabupaten Sorong Selatan: Kita dikasih dana dari provinsi dalam bentuk gelondongan dan dari kabupaten sini langsung dibagikan kepada tiaptiap SKPD, tanpa petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaaan, monitoring dan evaluasi juga kurang dilakukan oleh pemerintah provinsi.
69
Pernyataan senada diungkapkan Gubernur Barnabas Saebu dalam rapat kerja Menteri Keuangan dan Badan Anggaran DPR RI di Gedung DPR, Senin, 6 Desember 2010 yang dikutip vivanews.com bahwa salah satu penyebab dana otonomi khusus tidak sesuai di lapangan dikarenakan ketidaksiapan aparat pemerintahan dalam pengelolaan anggaran yang besar, lemahnya manajemen keuangan juga menjadi sebab tata kelola pemerintah yang baik pemerintah provinsi penerima dana otonomi khusus tidak berjalan dengan semestinya ditambah kurangnya advokasi yang diberikan pemerintah pusat dalam menyusun sistem perencanaan yang benar, pengawasan internal dan laporan akuntabilitas yang benar. Hal ini diakui oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan yang dikutip di Harian Kompas, 23 November 2011: Perubahan yang tidak signifikan pada kesejahteraan masyarakat Papua setelah penggelontoran dana otonomi khusus diakui sebagai akibat kurangnya perencanaan dan pengawasan. Selain itu, peraturan pedoman penggunaan anggaran umumnya belum ada Hal-hal lain yang perlu menjadi catatan dari alokasi yang telah diterima kabupaten/kota adalah bagaimana pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dana tersebut kepada program kegiatan. Terdapat daerah yang mengalokasikan dana tersebut tidak pada porsinya sebagaimana yang menjadi prioritas seperti yang diungkapkan oleh Ketua Komisi B Dewan DPRPB, Amos H May, yang dikutip MetroTVNews.com, triliunan rupiah dana otonomi khusus bagi Papua dan Papua Barat belum dimanfaatkan secara tepat untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Program pembangunan yang disusun tidak tepat sasaran, dan malah melemahkan pemberdayaan masyarakatnya. Pembangunan dari dana otonomi khusus belum terlihat nyata hasilnya. Pembangunan fisik, selama 10 tahun, memang terlihat, tetapi pembangunan masyarakatnya masih belum sama sekali. Program pengentasan rakyat dari kemiskinan sering kali salah sasaran, di antaranya membagikan televisi kepada warga kampung, yang manfaat ekonominya sebenarnya rendah. Akibat tidak ada petunjuk teknis penggunaan dana otonomi khusus, pengelolaan dana triliunan rupiah itu tidak terkendali. Masyarakat menilai dana yang diserahkan tidak berpengaruh positif. Padahal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menekankan bahwa dana otonomi khusus diperuntukkan bagi peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan,
70
Box3. Pengalokasian dan Pencatatan Dana Otonomi Khusus yang Tidak Pada Porsinya Ditemukan alokasi dana otonomi khusus yang diperuntukkan bagi pilkada kabupaten dan pilkada provinsi. Menurut penuturan Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek yang dikutip KBR68h, hal ini sebenarnya memungkinkan. Disebutkan bahwa ketiadaan dana untuk menggelar pemilukada ulang di Papua Barat tidak bisa dijadikan alasan agar pelaksanaannya ditunda hingga tahun depan, pemerintah daerah bisa saja menggelontorkan dana dari kas daerah yang belum masuk, daerah juga punya dana alokasi khusus atau dana otonomi khusus yang bisa dipergunakan sewaktu waktu. Penundaan itu dimungkinkan kalau dengan alasan ketiadaan dana. Tapi secara factual itu gak mungkin. Karena kalau dari segi pembiayaan, pemda dalam hal kalaus sesuai aturan apakah PP 58 atau Permendagri, pemda dalam hal tertentu atau keadaan darurat dalam mengeluarkan kas yang belum tersedia anggarannya. Namun ini tentunya menjadi rancu, tidak sesuai dengan otonomi khsusu, dan bisa mendorong terjadinya pernyalahgunaan. Dana ini pun dipergunakan untuk pembangunan kantor Bupati. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam pelaporannya, alokasi tersebut ditempatkan pada bidang ekonomi. Apakah ini suatu kesengajaan untuk menghindari tudingan penyalahgunaan. Yang jelah praktek semacam ini tidak diharapkan terjadi. Gambar 4.6. Contoh Pengalokasian dan Pencatatan Dana Otonomi Khusus yang tidak pada porsinya
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, khususnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 15 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, maka Pemerintah Provinsi Papua mempunyai kewenangan untuk mengatur, menetapkan, dan mengendalikan pengelolaan dana penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Namun yang menjadi persoalan Pemerintah Provinsi Papua belum menyediakan payung hukum yang jelas dari pemerintah provinsi sebagai penerima dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang menjadi prioritas bagi daerah masing-masing. Di Kabupaten Biak Numfor pada akhirnya pemberian dana otonomi khusus diberikan kepada hampir semua SKPD, dengan kriteria pengalokasian yang belum jelas8. Sebenarnya tahun 2004 telah diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus, kemudian berlanjut pada tahun 2007 telah dirumuskan Rancangan Perdasus mengenai Pembagian dan
8
Keterangan ini antara lain disampaikan oleh narasumber dari Pemerintah Kabupaten Biak Numfor dalam wawancara Oktober 2011 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
71
Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, namun sampai saat ini belum disahkan oleh DPRP karena DPRP belum menyepakati substansi yang diatur dalam Perdasus tersebut. Namun demikian, Peraturan ini tetap menjadi rujukan bagi berbagai pihak mengingat dapat dianggap sah sebagai Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 meskipun belum memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam lembaran daerah. Berlanjut dengan Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2007. Tahun 2009 diterbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 198 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2009. Melalui pedoman tersebut pemerintah provinsi mencoba lebih mengarahkan penggunaan dana otonomi khusus baik oleh Provinsi maupun kabupaten/kota untuk membiayai percepatan pelaksanaan pembangunan di Papua melalui program prioritas pendidikan, kesehatan, infrastruktur kampung dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Peraturan serupa telah pula diterbitkan pada tahun 2010 sebagai pedoman dalam mengelola dana penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2010. Dalam Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 198 Tahun 2009 tersebut diatur mekanisme pengelolaan dana penerimaan khusus Provinsi Papua. Pada mekanisme perencanaan dalam rangka menyusun/membahas program/kegiatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang bersumber dari dana otonomi khusus tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional, Undang- Undang Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Untuk program dan kegiatan yang bersumber dari dana otonomi khusus di kabupaten/kota melalui pembahasan Usulan Rencana Definitif (URD) oleh provinsi sebelum penetapan APBD kabupaten/kota. Mekanisme pembahasan URD akan diatur dalam Pedoman Pembahasan URD/RD otonomi khusus kabupaten/kota. Terkait dengan pelaksanaan, program dan kegiatan yang bersumber dari dana otonomi khusus tetap berpedoman pada PERDA dan Peraturan Kepala Daerah APBD provinsi dan kabupaten/kota, petunjuk pelaksanaan program dan kegiatan APBD Provinsi Papua dan atau kabupaten/kota serta ketentuan yang berlaku tentang pengelolaan keuangan daerah. Jika
72
diperlukan revisi, revisi program kabupaten/kota disampaikan oleh bupati/walikota kepada Gubernur Provinsi Papua cq Kepala Bappeda Provinsi Papua. Kabupaten/kota tidak diperkenankan melakukan revisi program/kegiatan tanpa persetujuan Gubernur. Usulan revisi selanjutnya dibahas oleh Tim pembahas yang terdiri dari unsur Bappeda Provinsi Papua dan Badan Pengelola Keuangan Daerah. Di Provinsi Papua Barat tahun 2011, pengelolaan dana otonomi khusus diatur dengan Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 900/V/2011/Tahun 2011. Peraturan Gubernur ini mengatur tentang pelaksanaan dan pertanggungjawaban transfer atas bantuan alokasi dana otonomi khusus, tambahan dan infrastruktur kepada pemerintah kabupaten/kota, distrik, kelurahan, dan kampung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan penyaluran dan pertanggungjawaban anggaran bantuan alokasi dana otonomi khusus dan tambahan dana infrastruktur. Secara khusus disebutkan bahwa alokasi dana tersebut digunakan untuk pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, infrastruktur, dan affirmative actions bagi putraputri asli Papua. Peraturan ini juga mengatur penyaluran bantuan dana RESPEK. Peraturan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua Barat tentang pengelolaan dana otonomi khusus dalam prakteknya dapat dikatakan belum berjalan secara optimal, selain belum tersosialisasikan dengan baik, timbul juga berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya diantaranya kegiatan yang dilaksanakan swakelola oleh SKPD dan bersumber dari dana otonomi khusus tidak pernah disampaikan laporan secara rutin maupun berkala sehingga sulit pula mengikuti perkembangannya. Persoalan lain terkait koordinasi dan kerjasama di tingkat tim yang dinilai masih kurang, sehingga hal ini menghambat proses pelaporan. Koordinasi dengan SKPD pengelola kegiatan yang pembiayaannya bersumber dari dana otonomi khusus kurang direspon baik dan terkesan lamban, sehingga mempersulit tim memperoleh data yang member informasi terhadap perkembangan penyelesaian suatu pekerjaan. Kurang adanya koordinasi juga terjadi antara pemimpin proyek provinsi yang melaksanakan pekerjaan di kabupaten dengan pemerintah daerah. Hal ini juga menyulitkan pemerintah daerah dalam melakukan monitoring proyek-proyek yang bersumber dari otonomi khusus. Selain itu proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan SKPD mengalami keterlambatan sehingga pelaksanaan fisik terhambat dan tidak tercapai sepenuhnya. Keterlambatan pencairan dana otonomi khusus ini bisa menyebabkan keterlambatan pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik yang dikerjakan oleh para kontraktor lokal. Di samping itu karena para kontraktor baru lokal rata-rata masih pemula, sangat terbatas dalam hal sumber daya dan modal sehingga pekerjaan harus menunggu pencairan uang muka
73
pekerjaan sebesar 30%. Distrik dan kampung-kampung sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan sebagian besar sangat sulit, sehingga berdampak pada sulitnya kontraktor memobilisasi bahan dan peralatan9 Belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembagian serta bentuk pengelolaannya. Berimplikasi pada menurunnnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah, menimbulkan kecemburuan sosial antara masyarakat terutama antara orang asli Papua dan non-Papua.10 Persoalan lain yang terkait dengan akuntabilitas dan transparansi terkait dengan monitoring yang dilakukan terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan ketersediaan data tentang capaian-capaian pelaksanaan otonomi khusus dan sejauh mana manfaatnya. Data-data sebagai hasil monitoring yang dihimpun tim monitoring sering kurang lengkap, sehingga mempersulit penyelesaian laporan akhir dari pelaksanaan seluruh kegiatan yang dibiayai oleh dana otonomi khusus setiap tahun. Keterlambatan dropping dana pada kabupaten/kota antara lain juga diakibatkan karena keterlambatan perncairan dana otonomi khusus dari pusat ke provinsi. Pemerintah provinsi mengatasi masalah ini salah satunya dengan meminjam dana dari DAU. Panjar kas semacam ini dibolehkan asal ada izin dari DPR dengan catatan uang itu tergantikan. Kondisi ini mengindikasikan perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi . Salah satu poin yang menjadi catatan terkait pengalokasian realisasi dana yang diterima kabupaten/kota. Terdapat pemerintah kabupaten yang menerima sejumlah dana otonomi khusus yang kurang dari rencana. Misalnya dana yang diterima kabupaten tersebut berjumlah 74 Miliar, namun yang terealisasi hanya 75% dari jumlah tersebut. Pemerintah daerah tersebut mengeluhkan darimana dapat mencari minus dana otonomi khusus sebagaimana yang dijanjikan oleh Pemerintah Provinsi 11. Masalah lain adalah belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembangian serta bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada menurunnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah, menimbulkan kecemburuan sosial antara masyarakat terutama antara rakyat asli Papua dan non-Papua. Persoalan lain yang terkait dengan akuntabilitas dan transparansi terkait dengan monitoring yang dilakukan terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan ketersediaan data tentang capaian-capaian pelaksanaan otonomi khusus dan sejauh mana manfaatnya. Data-data sebagai hasil monitoring yang dihimpun tim monitoring sering kurang lengkap, sehingga mempersulit penyelesaian laporan akhir dari pelaksanaan seluruh kegiatan yang dibiayai oleh dana otonomi khusus
9
Informasi ini antara lain disampaikan Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan dan Mimika Informasi ini disampaikan oleh Ketua MRP Papua Barat 11 Informasi ini antara lain diungkap oleh beberapa partisipan dari Kabupaten dalam diskusi di Papua, Oktober 2011
10
74
setiap tahun. Bahkan dijumpai pula laporan pelaksanaan kegiatan pembangunan sumber dana otonomi khusus yang tidak tepat. Misalnya, disebutkan dalam laporan rincian penggunaan dana otonomi khusus untuk bidang ekonomi, namun di dalamnya terdapat alokasi bagi pilkada kabupaten dan provinsi serta pembangunan kantor bupati seperti dalam gambar di atas. Hal ini tentu menjadi pertanyaan terkait akuntabilitas implementasi otonomi khusus. Formula perimbangan dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat belum dapat dikatakan ideal karena meski otonomi khusus berada pada provinsi, namun pelayanan dan dampaknya lebih dirasakan secara langsung pada level kabupaten/kota. Dalam pengelolaannya masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Sasaran program dan kegiatan dalam rangka otonomi khusus seringkali tidak sepenuhnya menjangkau orang asli Papua. Di samping itu dijumpai pula program dan kegiatan yang dijalankan yang tidak semestinya dibiayai dengan dana otonomi khusus karena tidak sesuai dengan prioritas otonomi khusus. Tidak ada targettarget atau indikator capaian yang ingin dicapai melalui otonomi khusus. Ketiadaan payung hukum yang jelas dari Provinsi sebagai penerima dana otonomi khusus dari Pemerintah Pusat tentang penggunaan dana otonomi khusus menimbulkan masalah. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang menjadi prioritas bagi daerah masing-masing. Hal ini berimbas pada penetapan program dan kegiatan. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum optimal. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otonomi khusus mulai dari perencanaan, sampai ke monitoring dan evaluasi terkait aspek pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat. Diperlukan pula adanya perbaikan dalam akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otonomi khusus.
Alokasi dana dalam rangka pelaksanaan otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun pengelolaan dana otonomi khusus dalam prakteknya belum berjalan secara optimal. Dijumpai pula program dan kegiatan yang dijalankan yang tidak semestinya dibiayai dengan dana otsus karena tidak sesuai dengan prioritas otsus. Tidak ada target-target atau indikator capaian yang ingin dicapai melalui otsus. Belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembangian serta bentuk pengelolaannya. Ketiadaan payung hukum yang jelas dari Provinsi sebagai penerima dana otsus dari Pemerintah Pusat tentang penggunaan dana otsus menimbulkan masalah, sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang menjadi prioritas bagi daerah masing-masing. Hal ini berimbas pada penetapan program dan kegiatan. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otsus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum optimal. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otsus mulai dari perencanaan, koordinasi, sampai ke monitoring dan evaluasi terkait aspek pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan otsus Provinsi Papua dan Papua Barat. Diperlukan pula adanya perbaikan dalam akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otsus. Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian dana otsus Papua dan Papua Barat dengan lebih memperhatikan keberadaan penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan. Selain itu perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari Pusat ke Provinsi, sehingga keluhan dropping dana otsus yang selalu terlambat tidak terjadi lagi.
75
76
NO 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
NAMA Deerd Tabuni, Se, M.Si Bob Jacobus Pattipawai, SH Yance Kayame, SH John F. Rustam, SE, MBA Drs. Masia Lay H. Zainuddin Sawiyah, SH Yarius Balingga, SE Jus Jefry Kaunang, SE Yunus Wonda Carolus Kia Kelen Boli Melkias Yeke Gombo Albert Bolang, SH, MH Ruben Magai, S.Ip Boy Markus Dawir Kamarudin Watubun, SH, MH Philipus Wisabla, S.Th Herman Rahail Rosiyati Anwar, SE, MM Yafet Pigai Drs. Marcus Mirino, SH, MM Yulianus Rumbairussy, S.Sos, MM Pdt. Charles Simare Mare, S.Th Yop Kogoya, Dip.Th. SE, M.Si Ananias Pigai, S.Sos Erwin Rinaldi Kbarek Jhony Banua Rouw, SE Thomas Sondegau, ST Drs. Muhamad Nawawi M. Keklo Ossu, Se Ir. Adolf Alpius Asmuruf Ny. Makdalena Matuan Yanni Toni Infandi Hagar Aksamina Madai Amal Saleh Ir. Weynand B. Watory Naftali Kobepa Kamasan Yakob Komboy Letinus Jikwa, SE Yan Permenas Mandenas, S.Sos Kenius Kogoya Harun Agimbau Amon Gobay Arnold Wenekolik Walilo, S.Pd, M.Si. Julius Miagoni, SH Stefanus Kaisepo H. Maddu Mallu, SE Johanes Sumarto Nason Utti, SE
PARTAI P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT P. DEMOKRAT PDI-P PDI-P PDI-P PDI-P PDI-P PDI-P PDS PDS PDS (Wakil Ketua) PDS PDS P. PATRIOT P. PATRIOT P. PATRIOT PAN PAN PAN PBR PBR PBR P.KEDAULATAN P.KEDAULATAN P.KEDAULATAN P. HANURA P. HANURA P. HANURA PPRN PKPB PPPI PNBKI PKDI PNIM PKS P. GERINDRA PBN
77
Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah anggota DPRP sebanyak 56 orang, yang berasal dari Partai Golongan Karya (12 orang), Partai Demokrat (9 orang), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (6 orang), Partai Damai Sejahtera (5 orang), Partai Patriot (3 orang), Partai Amanat Nasional (3 orang), Partai Bintang Reformasi (3 orang), Partai Kedaulatan (3 orang), Partai Hanura (3 orang), dan masing-masing 1 orang berasal dari PPRN, PKPB, PPPI, PNBKI, PKDI, PNIM, PKS, Gerindra, dan PBN. Tabel 4.9 Komposisi DPRPB Periode 1999-2014
NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 41. 40. 42. 43. NAMA Ir. Max A. Hehanussa Origenes Nauw, S.Pd Pdt. Hans Mobalem, S.Th Drs. Anthon Duwit Yosef Johan Auri Jeanne Naomi Karubaboy Amos Hendrik May Aminadap Asmuruf, S.Ip, M.Si Emelia Simorangkir Roberth Melianus Nauw Darius Hara, S.Pd Deby Debora Pangemanan Andi Effendy Simanjuntak Jimmy Demianus Ijie Saleh Siknun, Se Drs. Barnabas Sedik Ir. Eko Tavip Maryanto Salihin, Sh Sius Dowansiba, Se Goliat Dowansiba H. Muhammad Taslim, S.Sos Hasanuddin M. Noor, S.Hut Chaidir Djafar, Se, M.Si A. Fitri Nyili, Se Daniel Daat Abdul Hakim Achmad Royke Veky Tuwo Harianto, St Michael Y.B. Farneubun, St Obeth A. Rumbruren, St Yance Yomaki Ir. Erick Sutomo Rantung Izak K. Bahamba Imanuel Yenu Ir. Yacob Maipauw Maxsi N. Ahorena, Amd, Kp, Se M. Sanusi Rahaningmas, S.Sos Silas Kaaf Elsiana R. Kalembang, Sh Hermince I.A. Baransano Laurantius Renel, Se H. Syahruddin Makki, Sp Ferry M. Auparay PARTAI P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR P. GOLKAR PD PD PD PD PD PDI-P PDI-P PDI-P PDI-P PAN PAN PAN PAN PKS PKS PPP PPP P. HANURA P. HANURA P. BARNAS P. BARNAS PDK PDK PNIM PNIM PKPB PPRN P. GERINDRA PPIB PKB PPI P. PELOPOR PDS PNBKI PBB P. PATRIOT
78
NO 44.
PARTAI PIS
Senada dengan DPRP, komposisi keanggotaan DPRPB didominasi partai besar yakni Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat. Berdasarkan hasil kuesioner yang dilakukan terhadap kinerja DPRP atau DPRPB berdasarkan dari faktor inisiatif, Kapabilitas Sumber daya Manusia (SDM), Integritas SDM serta Sarana dan Prasarana (Sarpras) yang ada dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut: Gambar 4.7 Persepsi terhadap Kinerja DPRP dan DPRPB dilihat dari Inisiatif, Kapabilitas, Integritas dan Sarpras
baik, 33.33
kurang, 33.33
kurang, 25.00
Inisiatif
Kapabilitas
Integritas
Sarpras
Responden memandang bahwa faktor-faktor terkait dengan kinerja daripada DPRP atau DPRPB terbilang baik, hal ini ditunjukkan dengan mayoritas responden (41,67%) menyatakan inisiatif DPRP ataupun DPRPB baik, Kapabilitas SDM pun juga baik (41,67%), untuk integritas responden menyatakan baik (33,33%) dan sangat baik (8,33%), dan terakhit untuk sarana dan prasarana responden menyatakan (58,33%) baik dan 16,67% responden menyatakan sangat baik. Selanjutnya responden mengatakan bahwa untuk melihat kinerja DPRP atau DPRPB adalah dengan seberapa banyak Perdasus dan Perdasi terkait dengan aspirasi orang asli Papua. Responden mengatakan : belum banyak produk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang mampu memproteksi hak-hak sipil orang Asli Papua, DPRP lebih banyak waktu, mengeluarkan penyataan politik
79
Pendapat diatas secara substansial terlihat bahwa kinerja DPRP belum dapat dikatakan baik, DPRP masih sibuk dengan ranahnya sendiri sehingga kepentingan dasar yaitu proteksi terhadap orang asli Papua terabaikan. Pendapat senada juga dikemukakan berikut ini : masih banyak masalah yang belum disentuh yaitu masalah pembentukan Komisi HAM, persolan penambangan ilegal, Pembalakan hutan, pelangaran HAM serta masalah-masalah lainya DRPP juga dituding belum banyak belum menindaklanjuti berbagai aspirasi rakyat untuk ditindaklanjuti dalam bentuk nyata, tetapi lebih sibuk dalam mempolitisasi aspirasi tersebut, seperti dalam pernyataan yang disampaikan berikut ini : DPRP belum menindaklanjuti berbagai aspirasi rakyat dan selalu saja memberikan janji-janji manis tampa pelaksananaan maka fungsinya selama ini harus dipertanyakan serta dipertangungjawabkan, DPRP sebagai lembaga politik di Provinsi Papua seharusnya, setelah menerima berbagai aspirasi masyarakat selama ini harus dibahas dan dilanjutkan kepada pihak-pihak yang berwewenang seperti Gubernur dan Pemerintah Pusat. Sehingga apapun hasilnya harus disampaikan juga kepada Orang Asli Papua (OAP) bukan malah mempolitisir aspirasi tersebut lagi Permasalahan-permasalahan yang dikemukakan tersebut, merupakan permasalahan yang harus secepatnya dapat ditemukan solusinya dengan tentunya memaksimalkan peran DPRP atau DPRPB yang ada. DPRP atau DPRPB sebagai lembaga politik dan legislatif harus lebih responsif terhadap permasalahan yang berkembang sehingga lembaga ini dapat berfungsi seperti yang diharapkan.
80
bupati/walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua, maka untuk pertama kalinya syarat-syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihannya disusun oleh DPRP dan gubernur untuk kemudian diusulkan kepada pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah. Menurut Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 4 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MRP. Dalam peraturan ini MRP mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur. Memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Selanjutnya, MRP memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Memberikan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota serta bupati/walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Berdasarkan posisi dan peran yang ada sekarang dan melihat peran, wewenang dan tugasnya, MRP seharusnya mempunyai posisi yang sejajar dengan gubernur dan DPRP, dengan wewenang yang berbeda peran dimana MRP sebagai lembaga konsultatif kultur. Berdasarkan tugas pokok dan Fungsi MRP Papua Barat maka dapat digambar keadaan keanggotaan sebagai berikut: Tabel 4.10 Komposisi MRP Provinsi Papua Barat Masa Jabatan 2011-2016 NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
NAMA
Hermius Saiba, S.Th Mesianus Waney Jance Aristotelis Waropen, SH Mathias Komegi, SE Filep Yakob Spener Mayor, SE, M.Si Zeth Mlaskit Simson Sonny Bless Drs. Tohntji Wolas Krenak Yusan Yeblo Lukas Agustinus Surbay, SE Zainal Abidin Bay Anike Tance Hendrika Sabami Anthonia Bauw Mince Imburi Rosiyana SaraGoram, A.Md.Pak Ruth Monica Osok Beatrix M. Buratehi, S.Pd
WAKIL
Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan
PENDIDIKAN
SARJANA (S1) SMA SARJANA (S1) SARJANA (S1) PASCASARJANA (S2) SMA SMEA SARJANA (S1) SKKA SARJANA (S1) SMA SMA SMKK SMA (PAKET C) DIPLOMA (D3) SPWK SARJANA (S1)
81
NO
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
NAMA
Neltje Nelly Kambu, S.Pak Olla Dorkas Dwaramury, BA Paula Yewen Lusia Imakulata Hegemur Atakiah Sirfefa Pdt. Lamech Marisan, S.Si Drs. Yan Piet Hein Baibana Yehezkiel Sanadi, S.Th Drs. David Misiro, M.Ed Pdt. Jance Wutoy, S.Th Ev. Mesach M. Karubaba, SE Esrom Kayoi, S.Th.Pak Eduard Sangkek, SH Vitalis Yumte, S.Pd H. Mahmud Ugar, S.Hi H. Arobi Ahmad Aituarauw, SE, Mm
WAKIL
Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Katolik Agama/Islam Agama/Islam
PENDIDIKAN
SARJANA (S1) DIPLOMA (D3) SMKK SMA DIPLOMA (D2) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) PASCASARJANA (S2) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) PASCASARJANA (S2)
Adapun komposisi untuk MRP Provinsi Papua adalah sebagaimana tabel berikut: Tabel 4.11 Komposisi MRP Provinsi Papua Masa Jabatan Tahun 2011-2016 NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
NAMA
Demas Tokoro, SH George Arnold Awi Seblum Werbabkay William Sawaki, SH Joram Wambrauw, SH Aristarkus Marey Yakobus Dumupa, S.Ip Alpius Murib, SE, MM Timotius Murib Wasilani Amanus Mabel Luis Madai Costan Oktemka Dominikus Kombaliop Amote Ananias Tomokaimo, SE Rode Muyasin, A.Md.Pd Bertha Paulina Yane Herlina Rosa Papare Yuliana Wambrauw Fransiska Okmonggop Mote Debora Mote, S.Sos Engelbertha Kotorok Ciska Abugau Nehemi Yebikon Ere Wakur Merry Lantipo Maria Magdalena Kaize Hendrika Pasuaut Herman Saud, M.Th Petrus Bonyadone, S.Th Hofni Simbiak, S.Th Natan Pahabol, S.Pd Yosia Gire, S.Th
WAKIL
Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Adat Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen
PENDIDIKAN
SARJANA (S1) SLTA (PPSDA) SLTA (PAKET C) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SLTA (PAKET C) SARJANA (S1) PASCA SARJANA (S2) SLTA SLTA (PAKET C) SLTA SARJANA (S1) SLTA (PAKET C) SARJANA (S1) AHLI MADYA (D3) SLTA (PAKET C) SLTA (KKSM) SLTA (SPG) SARJANA (S1) SARJANA (S1) AHLI MUDA (D2) SLTA (TIDAK TELAMPIR) SARJANA (S1) SLTP PASCA SARJANA (S2) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1)
82
NO
33 34 35 36 37 38 39 40
NAMA
Ferry Yonathan Ayomi, S.Th Samuel K. Waromi, SH Penetina Lanicasia Kogoya, S.Sos John Polabek Wenda, S.Th Joseph Luns Yom Titus Fransiscus Wayne, S.Pd, MM Drs . Wiro Yoseph Watken Didik Yelegat, S.Sos
WAKIL
Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Kristen Agama/Katholik Agama/Katholik Agama/Islam
PENDIDIKAN
SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SARJANA (S1) SLTA (PAKET C) PASCA SARJANA (S2) SARJANA (S1) SARJANA (S1)
Jumlah anggota MRP secara keseluruhan (Papua dan Papua Barat) seharusnya sebanyak 75 orang. Namun jika dilihat pada tabel di atas jumlahnya baru mencapai 73 orang, karena 2 orang calon anggota MRP Provinsi Papua tidak dapat disyahkan karena tidak memenuhi persyaratan dalam verifikasi. Hingga saat ini terdapat 3 orang anggota MRP Provinsi Papua yang meninggal dunia dan masih belum diusulkan penggantian antar waktu (PAW) yaitu: Ananias Tomokaimo, SE (Wakil Adat); Maria Magdalena Kaize (Wakil Perempuan) dan Yosia Gire, S.Th (Wakil Agama). Jumlah MRP Provinsi Papua saat ini 37 orang. Ada harapan jumlah MRP ditambah bila perlu mewakili semua suku yang ada di Papua, sehingga hak-hak dasar masyarakat adat Papua dapat terakomodir di dalam agenda kerja MRP karena jika tiga komponen MRP seperti adat, agama dan perempuan saja, sepertinya MRP belum lengkap disebut lembaga representasi kultural orang asli Papua dimana seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa jumlah suku di Papua yaitu sebanyak 236 suku. MRP Periode sebelumnya (2005-2011) yang dipilih berdasarkan keterwakilan perempuan, adat, dan agama belum menunjukkan kinerja yang dapat dikatakan memuaskan, dikarenakan MRP yang merupakan lembaga baru dan masih mencari bentuk. Pendapat Dra. Hans S Hiyokoyabi, Wakil Ketua II Umum MRP periode yang lalu, yang dilakukan dalam penelitian yang dilakukan Esau Hombore, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia MRP. Dalam Peningkatan Kualitas MRP.masih sangat kesulitan karena MRP ini merupakan suatu lembaga baru di Indonesia bahkan di dunia sehingga MRP masih mencari pola yang tepat dari lembaga kultur karena Pemerintah RI Belum memberikan Acuan sehingga semua masih mengacu ke DPRP Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Pasal 36 PP Nomor 54 tahun 2004 sebagian besarnya adalah terkait memberikan pertimbangan dan persetujuan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan, calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP, Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur, perjanjian kerjasama sehingga penting bagi anggota MRP untuk terus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan profesionalisme.
83
kekuasaan
legislatif dan eksekutif seperti kekuasaan Judicial Review terhadap PERDASI yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Di Indonesia, hanya ada 3 lembaga yang dapat melakukan Judicial Review yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan MRP, sayangnya MRP tidak tahu bagaimana dapat menggunakan kekuasaannya apalagi definisi normatif tentang orang asli Papua masih belum final bahkan ruang-ruang interpretasinya terus berkembang. Perjalanan keanggotaan MRP periode sebelumnya sendiri, dapat dikatakan lembaga ini masih berjalan tanpa arah, MRP belum bisa dibedakan sebagai lembaga kultural orang asli Papua, justru MRP periode sebelumnya bermain di ranah politik ketimbang ranah kultural misalnya, ada kontradiksi lantaran MRP pernah mengusulkan soal lambang-lambang daerah dan merekomendasikan perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota harus orang asli Papua, dan lain-lain. Ini terjadi karena memang hingga kini belum ada Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur secara terperinci mengenai kewenangan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. Meskipun disatu pihak, sejumlah kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga kultural yang semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan. Dalam sisi kebijakan anggaran belanja untuk pimpinan dan anggota MRP melalui mekanisme pembahasan dari Panitia anggaran eksekutif maupun legislatif dan disidangkan serta diputuskan dalam suatu sidang paripurna dan ditetapkan dalam Keputusan Gubernur tentang DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) MRP. Alasan kenapa anggaran belanja MRP itu dirubah atau tidak sesuai dengan yang diharuskan dalam PP Nomor 54 tahun 2004, karena jumlah gaji yang diharuskan di dalam PP dimaksud tidak sesuai kondisi di Papua. Apalagi anggota MRP adalah utusan atau wakil dari berbagai daerah di Papua dengan medan yang sulit. Tak hanya itu, latar belakang pendidikan dan ekonomi sebagian anggota MRP juga ada yang masih terbatas, sehingga tidak adil jika anggaran belanja mereka disesuaikan dengan PP Nomor 54 tahun 2004 yang hanya berkisar Rp 2 juta (gaji per bulan) bagi anggota dan Rp 3 juta (Gaji per Bulan) bagi pimpinan. Jadi tidak adil memang, apalagi para anggota MRP ini adalah utusan dari berbagai daerah di Papua yang begitu luas dan dengan kesulitan masing-masing. Namun hal ini nampaknya telah terselesaikan, karena pendapatan anggota MRP dan MRPB saat ini telah cukup memadai. Menurut salah seorang anggota MRPB, take home pay anggota MRPB saat ini rata-rata sekitar Rp. 17 juta per bulan. Hanya saja, gaji kami belum dibayarkan sejak kami dilantik beberapa bulan lalu. Tidak hanya itu, sampai sekarang kami masih menginap di hotel ini (Hotel Mansinam-
84
Manokwari) karena kami belum memiliki kantor sendiri dan tidak memiliki tempat tinggal selama di Manokwari. Adapun pembentukan kelembagaan MRP telah sesuai Perdasus Nomor 4 Tahun 2010 Bab II Pasal 3 menyebutkan keberadaan MRP merupakan satu satunya lembaga yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua dan Perwakilan MRP Papua Barat berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua Barat.
pengawasannya. Hal ini penting, mengingat pentingnya inisiatif oleh DPR di seluruh Provinsi Papua, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mendalami suatu permasalahan pemerintahan atau pembangunan tertentu dan menerjemahkannya ke dalam konsep (draft) peraturan daerah yang disodorkan ke eksekutif untuk diperdebatkan, diperkaya, lalu ditetapkan dan dilaksanakan oleh eksekutif dan pihak-pihak lain yang berkompeten.
3. Kewenangan Khusus
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang dimaksud dengan kewenangan khusus adalah kewenangan yang hanya terdapat dalam undang-undang tersebut yang pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan perdasus atau perdasi. Berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001, terdapat 6 (enam) kewenangan khusus yang harus dipenuhi pemerintah provinsi dalam pelaksanaan otonomi khusus yaitu perekonomian, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan sosial. Sementara pada implementasinya di kabupaten/kota berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua diarahkan kepada 4 (empat) bidang yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur kampung.
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
85
Seperti telah dikemukakan dimuka, walaupun masih dalam bentuk rancangan, ternyata peraturan ini telah baku diimplementasikan di setiap kabupaten/kota. Gambaran pelaksanaan kewenangan khusus sendiri di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat diuraikan sebagai berikut: a. Perekonomian Pasal 38, Pasal 39 sampai dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, secara khusus mengatur aspek perekonomian. Perekonomian Provinsi Papua secara umum diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Di samping itu, usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Adapun pengembangan ekonomi kerakyatan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber daya alam mendapat penekanan khusus dalam kebijakan otonomi khusus ini. Pada Pasal 42 ayat 1, diamanatkan bahwa pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Pelaku usaha mendapat kesempatan melakukan investasi dengan melibatkan masyarakat adat. Provinsi Papua memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dan bila dikelola secara benar dan baik, dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Namun pengelolaan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya orang asli Papua. Untuk mewujudkannya kemandirian ekonomi rakyat Papua, khususnya orang asli Papua, yang berorientasi pasar sebagai bagian dari perekonomian nasional regional dan global, perlu mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan ekonomi rakyat di Provinsi Papua. Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Perdasus Provinsi Papua Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan. Perekonomian berbasis kerakyatan menurut perdasus tersebut adalah sistem pembangunan ekonomi rakyat, khususnya ekonomi orang asli Papua. Sementara kegiatan usaha ekonomi berbasis kerakyatan adalah segala usaha ekonomi yang dikelola secara sadar oleh perorangan, kelompok dan badan usaha baik skala kecil, menengah dan besar yang berorientasi dari, oleh dan untuk rakyat. Peraturan Daerah ini memuat penerapan kebijakan affirmatif terhadap orang asli Papua, penciptaan dan perluasan pasar, penyediaan modal, pembinaan dan pendampingan, dan pengembangan budaya kewirausahaan. Substansi terkait ekonomi kerakyatan yang diatur dalam perdasus tersebut terangkum dalam tabel berikut.
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
86
Tabel 4.12 Substansi Tentang Ekonomi Kerakyatan dalam Perdasus Provinsi Papua Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan Aspek Pemanfaatan Sumber Daya Alam Substansi Masyarakat adat berhak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya, dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain. Bentuk-bentuk manfaat tersebut dapat berupa royalti, sewa tanah, kompensasi, dividen, bagi hasil, dana abadi, donasi, dan ganti rugi Pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak lain, terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari masyarakat adat setempat melalui musyawarah Masyarakat adat mengelola dan memanfaatkan budaya dan adat istiadat serta obyek wisata untuk kegiatan usaha pariwisata dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya adat istiadat setempat Pemerintah Daerah dan pelaku usaha skala besar serta organisasi dunia usaha melakukan upaya pengembangan perekonomian masyarakat dalam hal pengelolaan, produksi, pemasaran, sumberdaya manusia dan teknologi. Upaya tersebut meliputi: penguatan institusi masyarakat adat dalam pengelolaan hak ulayat untuk produksi; pemberdayaan kewirausahaan kelompok pengusaha produk lokal; penggalangan kemitraan (partnership) antara usaha besar dan menengah dengan pelaku usaha ekonomi masyarakat setempat; dan pendampingan bagi pelaku usaha ekonomi masyarakat sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat. Adapun cara yang dapat ditempuh melalui: peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan teknis produksi; peningkatan kemampuan teknologi tepat guna; dan peningkatan prasarana dan sarana produksi dan pengelolaan bahan baku, bahan penolong dan kemasan. Wewenang Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan pengelolaan potensi daerah Wewenang Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan mengenai perekonomian berbasis kerakyatan dan melakukan pembinaan dan pengembangan atas pelaksanaan perekonomian berbasis kerakyatan. Wewenang pemerintah kabupaten/kota mengatur pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya dan pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan sesuai potensi daerah. Tanggung jawab Pemerintah daerah mengembangkan sistem nilai dan etos kerja yang berorientasi pada produktivitas dan efisiensi dalam rangka menunjang berkembangnya perekonomian berbasis kerakyatan, memfasilitasi musyawarah antara masyarakat adat dengan pelaku kegiatan usaha ekonomi, menyelenggarakan pelayanan perizinan yang memudahkan dan mendorong berkembangnya usaha ekonomi berbasis kerakyatan, menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk menjamin terciptanya kepastian hukum dan terselenggaranya usaha Ekonomi Berbasis Kerakyatan (EBK). Hak setiap pelaku usaha EBK untuk melakukan kegiatan usaha untuk memperoleh pendapatan yang layak, melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak lain, memperoleh informasi yang diperlukan dalam pengembangan usahanya. Hak masyarakat adat sebagai pelaku usaha untuk memperoleh
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
87
Aspek
Substansi manfaat dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, melakukan usaha dibidang konstruksi, pengadaan barang dan jasa. Kewajiban setiap pelaku usaha ebk untuk memperhatikan adat istiadat setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat dalam pemanfaatan sumber daya alam, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup dalam pemanfaatan potensi daerah. Kewajiban pelaku usaha ekonomi berskala besar yang beroperasi di wilayah Provinsi Papua untuk memberikan dukungan modal usaha yang disertai dengan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat pelaku usaha EBK. Pelaku usaha EBK adalah perorangan, kelompok atau badan yang dikategorikan menurut skala usaha dalam berbagai sektor: primer, sekunder, dan tersier. Keharusan pelaku usaha harus bergabung pada wadah organisasi orang asli Papua yang dibentuk oleh masyarakat adat yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Bentuk organisasi adalah koperasi peranserta masyarakat adat (Kopermas), dan berbadan hukum, kelompok usaha bersama dan kegiatan program lainnya. Masyarakat adat memperoleh prioritas melalui usaha keberpihakan dan pemberdayaan sebelum mampu untuk bersaing secara terbuka selama 10 (sepuluh) tahun untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi di berbagai sektor yang telah disebutkan. Pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan pelaku usaha skala besar dan sektor swasta untuk memperoleh pekerjaan dari jasa pemerintah melalui APBD Provinsi, menyediakan permodalan untuk kegiatan usaha ebk yang berasal dari penyisihan 1 % (satu persen) dari keuntungan bersih Permodalan yang berasal dari Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah. Permodalan yang berasal dari Pemerintah Provinsi sudah harus tersedia dalam anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar 3,5% (tiga koma lima) persen dari Dana Otonomi Khusus pada Tahun Anggaran 2009, yang setiap tahunnya apabila dianggap perlu dapat ditambah. Permodalan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota besarnya ditetapkan sendiri. Sumber daya alam dan hak atas tanah yang berada dalam penguasaan masyarakat yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha ekonomi dapat diperhitungkan sebagai modal. Penentuan nilai ekonomi didasarkan atas kesepakatan antara masyarakat pemangku hak dan pelaku usaha. Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga non pemerintah dapat menjadi lembaga penjamin untuk membantu usaha EBK yang tidak memiliki akses ke lembaga pembiayaan. Pemerintah Daerah, lembaga pembiayaan dan pelaku usaha skala besar melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku usaha EBK yang dilakukan secara berskala dan berkesinambungan. Pembinaan dan Pendampingan tersebut meliputi: peningkatan kualitas sumber daya manusia; pembinaan manajamen usaha;
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Penjaminan Kredit
88
Aspek
Substansi peningkatan ketrampilan usaha; pengembangan perilaku kewirausahaan; pemberian bantuan fasilitas dan permodalan; dan bantuan pemasaran hasil produksi.
Menurut ketentuan tersebut, masyarakat adat memperoleh prioritas melalui usaha keberpihakan dan pemberdayaan sebelum mampu untuk bersaing secara terbuka selama 10 (sepuluh) tahun untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi di sektor usaha. Terbitnya perdasus ini dapat dikatakan terlambat, namun secara substansial, perdasus mengenai ekonomi kerakyatan ini cukup komprehensif dan dapat dijadikan suatu kerangka pengembangan ekonomi kerakyatan. Bagaimana implementasi Perdasus tersebut, memerlukan pengkajian lebih lanjut yang lebih detail. Patut menjadi pertanyaan bagaimana implementasi kebijakan tersebut baik oleh Pemerintah Provinsi Papua maupun pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua. Terdapat indikasi bahwa perdasus ini belum dapat dijalankan dengan baik. Hal ini mengingat para stakeholders, khususnya di kabupaten/kota bahkan belum mengetahui keberadaan Perdasus ini.12 Hal ini berkaitan dengan bagaimana menerjemahkan kebijakan tersebut ke dalam program/kegiatan atau kebijakan lainnya secara konkrit. Ada indikasi bahwa kewenangan membangun perekonomian yang berbasis kerakyatan ini belum dihayati dengan baik sehingga ada kebingungan dalam memaknai kewenangan yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan. Implementasi yang terpantau saat ini baru sekedar pengalokasian dana otonomi khusus ke dalam berbagai program. Salah satu contoh yang dilakukan pemerintah kabupaten diuraikan dalam box 4 berikut:
Hal ini antara lain tercermin dari berbagai diskusi dan wawancara dengan pemerintah daerah yang menyatakan bahwa kebijakan perdasus/perdasi yang mengatur ekonomi kerakyatan ini belum tersedia. Terkesan ada kebingungan dalam memaknai kewenangan yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan
12
89
Di Kabupaten Jayapura, alokasi dana Otonomi Khusus untuk pemberdayaan ekonomi selama tahun 2002-2011 sangat bervariasi sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
Alokasi dana Otonomi Khusus untuk pemberdayaan ekonomi (Milyar Rupiah) selama tahun 2002-2011 di Kabupaten Jayapura Bidang Pemberdayaan Ekonomi 2002 6.42 2003 3.45 2004 2.86 2005 1.92 2006 1 2007 9.2 2008 0.20 2009 12.09 2010 11.82
Beberapa program utama yang dipilih pemerintah adalah gerakan wajib tanam kakao, peningkatan usaha pertanian masyarakat Papua, perikanan dan pemberdayaan usaha ekonomi perempuan Papua. Program lain yang dilakukan adalah pengembangan perikanan melalui pembangunan BBI Lokal, pakan dan bibit ikan, kolam dan penampungan hasil ikan. Selain itu terdapat pula program pengembangan produksi jeruk, pisang dan komoditas tanaman pangan lainnya. Dilakukan pula upaya pengembangan usaha peternakan rakyat berupa pembuatan ranch, pengobatan ternak, bantuan bibit sapi dan ternak lainnya. Dengan adanya gerakan wajib tanam kakao sebagai salah satu program andalan, diharapkan pada tahun 2010 seluruh KK miskin di kabupaten Jayapura telah memiliki sumber penghasilan yang tetap dan pasti. Perkembangan 3 tahun terakhir gerakan wajib kakao, mencatat perkembangan yang positif. Tahun 2006 sejumlah 1.15 juta bibit didistribusikan bagi 490 KK. Selanjutnya pada tahun 2007, 4.1 juta bibit kakao diberikan untuk 4979 KK dan pada tahun 2008, 5 juta bibit diberikan bagi 7000 KK. Tahun 2009 terdapat 14333 KK petani dengan areal mencapai 12.234 ha, kepemilikan rata-rata 0.83 ha/KK. Adapun produksinya mencapai 5.474 ton biji kering. Pendapatan petani yg sudah berproduksi (sekitar 5124KK) berkisar antara Rp 1.6 juta-2.5 juta per bulan (dengan asumsi harga biji kakao kering Rp 18 ribu-20 rb/kg). Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa pengalokasian dana otonomi khusus dengan pemilihan program yang sesuai yang dapat memberi nilai tambah secara langsung bagi pendapatan penduduk sebetulnya dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat asli Papua, khususnya secara ekonomi. Adapun program yang bersifat meningkatkan kapasitas berusaha masyarakat Papua antara lain: pengiriman peserta pelatihan manajemen usaha kecil bagi perempuan Papua Jayapura, bantuan usaha kepada pengusaha perempuan Papua. Selain itu terdapat pula program pelatihan pertukangan mubelair pengusaha asli Papua dan pelatihan anyaman bagi 7 orang di Jogjakarta. Contoh lain adalah penyuluhan dan pendampingan petani dan pelaku agribisnis sebanyak 200 orang di Kalimantan. Belum ada informasi yang jelas tentang kemanfaatan upaya peningkatan kapasitas berusaha masyarakat semacam ini. Namun perlu menjadi perhatian agar program semacam ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan terdapat upaya tindak lanjut agar pengetahuan dan ketrampilan yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan dengan baik. Catatan lain, masih dijumpai alokasi tidak sesuai untuk bidang perekonomian. Di mana kegiatan pengamanan dan perlindungan cagar alam dan pengamanan dan perlindungan kawasan penyangga cagar alam. Kegiatan semacam ini semestinya tercakup dalam sektor lingkungan. Memang diperlukan adanya sinkronisasi dan keterlibatan berbagai sektor. Namun perlu dibedakan peran yang dapat dilakukan oleh masing-masing sektor, dan menghindari adanya tumpang tindih atau sasaran yang kurang tepat.
Papua sangat kaya dengan hasil hutan. Secara ekonomi kekayaan ini juga semestinya mampu meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya orang asli Papua. Pemerintah daerah mencatat bahwa banyak suku yang menguasai areal hutan masyarakat hukum adat
90
yang cukup besar, dan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat hukum adat sangat tergantung pada hutan. Namun demikian dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan selama ini masyarakat hukum adat belum banyak dilibatkan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat hukum adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Di samping itu usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumberdaya alam harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha. Terdapat upaya Pemerintah Provinsi Papua dalam menerjemahkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Salah satu aspek yang terdapat dalam perdasus tersebut adalah keberpihakan kepada masyarakat adat guna memperoleh manfaat dari pengelolaan hutan, diantaranya melalui pelaksanaan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat, dalam bentuk pemberian kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan masyarakat hukum adat. Pemberian hak pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat dilakukan dalam bentuk Kesatuan Pengelolan Hutan Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHK). Sementara di Provinsi Papua Barat, pemerintah provinsi bahkan belum menerbitkan perdasus/perdasi yang mengatur tentang perekonomian, khususnya perekonomian berbasis kerakyatan. Namun Pemerintah Provinsi Papua Barat mencoba mengembangkan suatu grand design terkait empat program strategis Provinsi Papua Barat. Ekonomi kerakyatan menjadi salah satu dari program strategis dalam grand design tersebut. Selanjutnya langkah yang diambil Provinsi Papua Barat tersebut disebarkan ke seluruh kabupaten/kota di wilayah Papua Barat13. Menurut Sekretaris BP3D Papua Barat, pembangunan perekonomian Papua Barat mulai tahun 2011 diarahkan pada pembangunan ekonomi kerakyatan. Dalam konteks ini, dana Otonomi Khusus yang telah didistribusikan kepada kabupaten/kota sebesar 70%, sebagian dana tersebut dimanfaatkan untuk membangun pasar-pasar kampung dan infrastruktur kampung. ...ke depan strategi pembangunan Papua Barat ditekankan pada pemberdayaan masyarakat (community development), salah satunya di bidang ekonomi akan diterapkan ekonomi kerakyatan pada semua bidang pembangunan untuk meningkatkan derajat
13
Penuturan Kepala Bappeda Provinsi Papua Barat Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
91
hidup yang layak bagi warga Papua Barat dan khususnya bagi orang asli yang ada di Papua Barat. Wacana pemerintah provinsi tersebut antara lain telah sejalan dengan upaya pemerintah Kabupaten Manokwari. Hal ini sebagaimana yang telah dilaksanakan Kabupaten Manokwari, dimana telah diprioritaskan pembangunan bidang ekonomi dengan sasaran rehabilitasi prasarana pasar dan pengembangan produktivitas pertanian dalam arti luas. Pemberdayaan ekonomi rakyat dilakukan melalui kebijakan pemberian kredit lunak dalam usaha ekonomi produktif, paket program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui paket program bidang pertanian, perikanan, peternakan , perkebunan, perindustrian, koperasi, usaha sektor informal, dalam rangka memperkuat basis usaha ekonomi keluarga maupun yang berorientasi investasi dalam skala kecil dan menengah. Pemerintah Kabupaten Manokwari pada tahun 2010 mengalokasikan dana sebesar Rp 3.571.137.800 untuk pengembangan ekonomi kerakyatan yang dikelola 3 SKPD. SKPD yang mengelola adalah Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan, Dinas Perikanan dan Kelautan serta Dinas Perindagkop dan UMKM. Dana diarahkan untuk menunjang peningkatan ketahanan pangan, serta pemberdayaan industri kecil, koperasi, UMKM. Senada dengan Kabupaten Manokwari, apa yang dilakukan oleh Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan perhatian khusus pada pembangunan ekonomi kerakyatan. Disampaikan oleh Sekda Kabupaten Sorong Selatan bahwa: program ekonomi kerakyatan merupakan prioritas yang mendapatkan dukungan pendanaan dari Otonomi Khusus, meskipun tidak terlalu besar dana tersebut dapat mendorong dinas terkait untuk memprogramkan kegiatan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Sorong Selatan. Kami mengharapkan dana Otonomi Khusus ini terus dilanjutkan, untuk mengentaskan rakyat Papua dari kemiskinan dan keterbelakangan. Adapun Pemerintah Kota Sorong, mengalokasikan dana sebesar Rp 8.268.550.000 pada tahun 2009. Jumlah ini merupakan 11.07% dari dana yang diterima kota tersebut. Dana tersebut diperuntukkan bagi pengembangan pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan di Kota Sorong yang dikelola oleh 5 SKPD, meliputi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM, Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta Kantor Kebudayaan dan Pariwisata. Namun demikian, program ekonomi kerakyatan yang memberikan kesempatan seluasluasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat nampaknya belum mencapai kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh, program pemberdayaan ekonomi kerakyatan kadang menerima pendanaan yang sangat kecil sehingga efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian.
92
Secara makro, perekonomian daerah di Provinsi Papua mengalami perkembangan yang fluktuatif dari tahun 2007-2010 (Lampiran 1). Tercatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 (pertumbuhan ekonomi daerah) mengalami penurunan dari 4.34 persen di tahun 2007 menjadi -1.4 di tahun 2008. Pada tahun berikutnya terdapat lonjakan menjadi 22.74 persen, namun mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2010 menjadi 2,65 persen. Sementara di Provinsi Papua Barat, dalam kurun waktu yang sama mengalami perkembangan yang cukup positif. Tahun 2007 tercatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 (pertumbuhan ekonomi daerah) sebesar 6.95 persen. Pada tahun berikutnya terus meningkat menjadi 7.84 persen. Selanjutnya pada tahun 2009 terdapat sedikit penurunan menjadi 7.02 persen. Sementara pada tahun 2010 tercatat mengalami peningkatan menjadi 7.96 persen. Dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 mampu mencatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 (pertumbuhan ekonomi daerah) yang tertinggi. Namun untuk Provinsi Papua justru merupakan angka terendah dibanding provinsi lainnya pada tahun 2010. Sektor pertambangan masih mendominasi perekonomian daerah di Provinsi Papua maupun Papua Barat. Perbedaan yang cukup signifikan dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto di kedua Provinsi tersebut jika sektor pertambangan tidak diikutsertakan dalam perhitungan, sebagaimana terlihat dalam grafik berikut. Namun demikian, menilik masing-masing sektor, di Provinsi Papua Barat sektor memiliki share terbesar kedua untuk PDRB di Provinsi tersebut. Sementara di Provinsi Papua sektor pertambangan dan penggalian masih memiliki share terbesar dari PDRB Provinsi tersebut. Produktifitas ekonomi suatu daerah terlihat dari pertumbuhan ekonominya yang diperoleh dari PDRB atas dasar harga konstan. Selama lima tahun terakhir, Papua mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup berfluktuasi. Setelah mencapai pertumbuhan tertinggi di tahun 2005 (36,40%), 2006 (19,26%), 2007 (23.60%), 2008 (22,20%), 2009 (22,74%) dan 2010 (20,09). Tanpa sub sektor pertambangan dan migas, pertumbuhan Provinsi Papua khususnya lima tahun terakhir (2006-2010) terlihat jauh lebih stabil dengan rata-rata pertumbuhan 10,90%. Pada tahun 2010 perekonomian Papua tumbuh 11,98%, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang tumbuh diatas 10%. Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat sebesar 26,82% terhadap tahun 2009. Hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di
93
sektor industri pengolahan 149,52%. Sementara sektor pertambangan dan penggalian mengalami konstraksi sebesar -0,84%. Gambar 4.8 Perbandingan PDRB atas Dasar Harga Konstan dengan Tambang dan Tanpa Tambang di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2005-2010
Tabel berikut memperlihatkan perkembangan PDRB atas dasar harga konstan di Provinsi Papua menurut berbagai lapangan usaha (sektor) dari tahun 2008-2010. Sektor pertanian memiliki share terbesar kedua setelah sektor pertambangan. Di sektor ini, tanaman bahan makanan menghasilkan PDRB tertinggi, diikuti sub sektor perikanan, kehutanan, peternakan, dan tanaman perkebunan. Mengingat mata pencaharian penduduk sebagian besar masih
94
mengandalkan sektor pertanian, perlu diupayakan untuk memperbesar hasil-hasil produksi di sektor pertanian ini. Tabel 4.13 Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (miliyar Rupiah) Tahun 2008-2010 No 1. Lapangan Usaha Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Telekomunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-Jasa 2008 3419.07 1700.89 161.4 224.64 467.85 864.28 8574.1 485.6 45.99 1452.25 1360.78 1344.37 515.55 1734.13 Tahun 2009 3548.78 1755.14 171.87 244.69 481.35 895.73 11495.77 515.78 48.65 1712.65 1518.24 1536.71 745.12 23237.11 2010 3768.31 1868.51 184.2 266.09 510.16 939.35 9475.03 558.8 51.57 1993.11 1677.49 1747.42 792.28 2555.29
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sementara di Provinsi Papua Barat, lapangan usaha pertanian menghasilkan porsi tertinggi penyumbang PDRB, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, jasa-jasa, restoran, pengangkutan, telekomunikasi, bangunan, perdagangan dan hotel, keuangan, persewaan dan jasa, listrik, gas dan air bersih. Produk Domestik Regional Bruto Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat mengalami kenaikan dari tahun 2008-2010 dari Rp 1826,853 milyar, menjadi Rp 1896,815 milyar pada tahun 2009, dan Rp. 2014,324 pada tahun 2010. Pada sektor pertanian ini, usaha perikanan menjadi penyumbang terbesar. Sementara usaha peternakan dan tanaman perkebunanan menyumbang terkecil. Untuk itu strategi peningkatan perekonomian Provinsi Papua Barat ke depan perlu mempertimbangkan upaya peningkatan perekonomian di sektor peternakan dan tanaman perkebunan.
Tabel 4.14
95
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010 No 1. Lapangan Usaha Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Telekomunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-Jasa 2008 1826.853 324.5103 180.2295 104.6912 519.359 698.0628 1101.023 875.5633 29.13444 579.4177 671.7639 474.2808 150.4108 691.0812 Tahun 2009 1896.815 346.4035 190.454 113.5365 518.4514 727.9701 1099.265 1004.826 31.76602 654.539 715.364 551.8739 152.392 741.7145 2010 2014.324 374.1625 201.30927 121880.7 533.5877 783384.3 1090.052 2507.291 34.08513 718.4682 743.8819 612.201 169.1823 796.1624
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan upaya peningkatan perekonomian rakyat, dalam bagian ini diulas kondisi kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini mengingat sasaran dari otonomi khusus adalah orang asli Papua yang mana sebagian besar diantaranya termasuk kategori keluarga miskin. Ujung dari kegiatan perekonomian rakyat pada akhirnya salah satunya adalah penurunan tingkat kemiskinan baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat. Perkembangan kondisi tingkat kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat serta perbandingannya dengan kondisi nasional dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 4.9 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Papua , Papua Barat, dan Nasional Tahun 2007-2010
50 40 30 20 10 0 2007 2008 2009 2010
Sumber : Kompilasi data Badan Pusat statistik, tahun 2007-2010
40.78 39.31
37.08 35.12
37.53 35.71
16.58
15.42
96
Secara umum terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk miskin, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat pada kurun waktu 2007-2010. Terdapat kecenderungan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua yang lebih tinggi daripada Provinsi Papua Barat, diindikasikan dengan persentase penduduk miskin yang lebih tinggi di Provinsi Papua. Perkembangan tingkat kemiskinan di kedua Provinsi tersebut memang tidak hanya merupakan hasil dari implementasi otonomi khusus. Namun demikian, implentasi otonomi khusus juga memberikan andil tersendiri dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan. Artinya, dengan memperhatikan kondisi kemiskinan secara makro yang jauh dari harapan tersebut, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Papua khususnya masyarakat asli Papua. Indikator lain yang memperlihatkan kondisi kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia. Dibandingkan berbagai provinsi di Indonesia, pada tahun 2009 Provinsi Papua masih mencatat IPM terendah sebesar 64,53 %. Provinsi Papua memiliki IPM yang sedikit lebih baik di atas Provinsi Papua, yakni sebesar 68,58%. Angka ini lebih baik dibandingkan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Di lingkup provinsi, secara umum terdapat peningkatan IPM di kabupaten/kota dari tahun 2006-2008. Kabupaten Merauke merupakan daerah dengan IPM terendah di Provinsi Papua, sementara Kota Jayapura memiliki IPM tertinggi. Sementara di Provinsi Papua Barat secara umum terdapat perbaikan IPM di kabupaten/kota pada periode 2007-2010. Tahun 2010, Kabupaten Tambraw tercatat memiliki IPM terendah sebesar 50,51% sementara Kota Sorong tercatat memiliki IPM tertinggi di Papua Barat sebesar 77,18%. Persoalan lain yang perlu menjadi perhatian dalam pembangunan perekonomian Provinsi Papua dan Papua Barat adalah persoalan kesenjangan perekonomian baik dalam kabupaten maupun antar kabupaten dan kesenjangan antara provinsi dengan daerah lain di Indonesia. Kesenjangan ekonomi di dalam kabupaten antara lain dapat dilihat dari rasio gini di berbagai kabupaten di Provinsi Papua. Kabupaten Merauke, Jayawijaya, Nabire, Kepulauan Yapen, Puncak Jaya, Mappi, Pegunngan Bintang, Mimika, Tolikara, Yalimo, dan Dogiyai memiliki rasio Gini sama dengan atau melebihi 30. Sementara untuk kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat data rasio gini tingkat provinsi pada tahun 2008 mencapai 0.36 dan menurun menjadi 0.35 pada tahun 2009. Angka ini menggambarkan ketidakmerataan yang rendah-sedang. Namun demikian, kondisi perekonomian masyarakat Papua dan Papua Barat berada pada level yang rendah.
97
Persoalan pemerataan ekonomi antar kabupaten baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat dapat diperhatikan dari variasi diberbagai indikator seperti PDRB kabupaten/kota, pertumbuhan ekonomi, maupun dari berbagai indikator kesejahteraan seperti persentase penduduk miskin dan Indeks Pembanguan Manusia di berbagai kabupaten/kota sebagaimana terlihat dalam grafik di bawah ini. Terdapat kecenderungan variasi yang lebih besar di Provinsi Papua Barat, dibandingkan Provinsi Papua. Namun demikian, kondisi di Papua tampak lebih mengelompok pada posisi bawah. b. Pendidikan dan Kebudayaan Lahirnya sebuah kebijaksanaan publik dilatarbelakangi adanya suatu masalah. Masalah yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Apa yang diharapkan suatu negara atau masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat tersebut. demikian pula, Pendidikan dalam kebijakan otonomi khusus mendapatkan prioritas utama dilatarbelakangi permasalahan pendidikan di Papua dan Papua Barat seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Nur14 yang dikutip oleh KBR68, permasalahan pendidikan Papua sudah sangat kompleks yaitu dari distribusi geografis, keterbatasan guru atau tenaga pendidik, keterbatasan sarana prasarana dan menumbuhkan semangat belajar terus menerus. Permasalahan infrastruktur dengan wilayah geografis Papua yang sulit, memang
menjadi suatu kendala tersendiri dan diperparah dengan dengan kerusakan jalan menuju tempat pendidikan juga ketersediaan sarana penunjang bagi para guru dengan terpencilnya tempat tugas serta jaminan kesejahteraan bagi para guru ditambah persoalan rendahnya semangat peserta didik dalam mengenyam pendidikan yang disebabkan rendahnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidup anaknya sehingga semakin mempertegas permasalahan pendidikan di Papua. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial, ekonomi, agama dan lokasi geografis. Menyikapi permasalahanpermasalahan pendidikan di Papua di atas, dalam kebijakan otonomi khusus UU Nomor 21 Tahun 2001, Pendidikan mendapatkan porsi yang sangat penting dimana dalam Pasal 36 disebutkan bahwa pendidikan harus dialokasikan sebesar 30% dari penerimaan daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Pendidikan dan Kebudayaan sendiri diatur dalam sub bab tersendiri yaitu Bab XVI dengan 3 (tiga) Pasal yaitu Pasal 56, 57 dan 58. Dalam Pasal 56 menyebutkan pemerintah
14
Menteri Pendidikan Nasional Kabinet sejak 22 Oktober 2009 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
98
provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua dengan menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan pemerintah provinsi. Kemudian, penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sampai tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya diberbagai kesempatan yang wajib diberikan seluasluasnya oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota kepada lembaga keagamaaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dimaksud. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota juga dapat memberikan bantuan atau subsidi kepada penyelenggaran pendidikan tersebut. Pasal selanjutnya selanjutnya yaitu Pasal 57 dan 58 UU Nomor 21 Tahun 2001 diatur masalah kebudayaan dimana pemerintah provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua dengan memberikan peran serta sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat, pemerintah provinsi juga berkewajiban terhadap berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang dimana dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan, untuk bahasa daerah masih dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar. Dalam pelaksanaan kewajiban terkait pendidikan tersebut, telah diterbitkan peraturan daerah propinsi (Perdasi) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pembangunan Pendidikan di Papua yang berisi diantarannya menyangkut : 1) Hak atas pendidikan pola khusus bagi setiap orang Papua. 2) Kewajiban setiap orang tua di Papua untuk Jika dunia pendidikan tak diperhatikan, otomatis Papua mengalami lost generation. pemerintah wajib membuat
serendah-rendahnya pada
3) Hak masyarakat dari keluarga ekonomi lemah dan tidak mampu membiayai pendidikan serta memiliki kemampuan akademik untuk mendapatkan biaya pendidikan dari Pemerintah dan Pemda. 4) Hak Pendidik dan tenaga pendidik yang bekerja di daerah terpencil untuk menerima gaji, pension, tunjangan fungsional, tunjangan daerah terpencil serta tunjangan lain.
99
5) Pendidikan berasrama atau semi asrama yang diberikan ruang untuk menyesuaikan dengan kebutuhan, lingkungan dan usia dan mengakui atau menghormati tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat. 6) Peran pemerintah kampung dan lembaga adat dalam membina dan mengembangkan pendidikan kearifan lokal. 7) Penetapan bahasa inggris sebagai bahasa wajib kedua di lembaga-lembaga pendidikan formal. Kebijakan lain yang ditempuh Pemerintah Provinsi Papua adalah pembebasan biaya pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah. Kebijakan diatur dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pembebasan Biaya Pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Pengurangan Biaya Pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah. Kebijakan yang baik tentunya harus dapat diikuti dengan implementasi yang baik pula di lapangan dan dalam implementasinya. Bagi responden sektor pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapatkan kemajuan yang signifikan, sebelum otonomi khusus responden memandang pelaksanaan pendidikan sangat memprihatinkan terlihat sebanyak 58% responden menyatakan kurang baik. Berbeda dengan capaian pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus dimana 67% menyatakan dalam kondisi baik (67%), 25% menyatakan sedang dan 8% menyatakan sangat baik terlihat pada diagram di bawah ini : Gambar 4.10 Persepsi tentang Capaian Kinerja Pendidikan dan Kebudayaan Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam berbagai program-program seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam Program Penelusuran Pengembangan Potensi Putra-Putri Papua (P5), pengiriman anak-anak Papua ke Surya Institute
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
100
di Sorong Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke yang telah mengirimkan putraputri suku Marind ke Surya Institute sebanyak 50 (lima puluh) orang, sekolah dokter 3 (tiga) orang, akademi penerbangan curug 3 (tiga) orang, IPB 3 (tiga) orang. Pada pelaksanaan otonomi khusus, pendidikan diarahkan kepada keragaman kebutuhan daerah dengan memperbesar muatan lokal, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan sesuai dengan karakteristik spesifik Papua seperti pendidikan berpola asrama. Berdasarkan penjelasan narasumber dari Kabupaten Jayapura, Pelaksanaan
pembangunan di bidang pendidikan selama otonomi khusus khususnya dalam dana pendidikan sebagian besarnya bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD namun demikian, petunjuk pelaksanaan yang mengiringi tentang penggunaan dana otonomi khusus secara lebih tepat sesuai dengan kebutuhan daerah belum ditetapkan sehingga tidak ada ketegasan tentang penggunaan atau pemisahan antara yang bersumber dari dana otonomi khusus dengan dana yang bersumber dari lainnya. Narasumber lainnya menyatakan dalam kewenangan khusus, pendidikan merupakan bidang yang paling diprioritaskan tetapi untuk menilai keberhasilan bidang ini tidak dapat diukur dalam waktu satu atau dua tahun ke depan saja, seperti anakanak Papua yang disekolahkan pada Program P5. Salah satu contoh pelaksanaan otonomi khusus dapat ditunjukkan dari program program yang diberikan dalam rangka otonomi khusus yang dilakukan oleh Kabupaten Manokwari berikut ini : Sektor pendidikan pada Kabupaten Manokwari diarahkan kepada pencapaian 3 (tiga) sasaran yaitu : 1. Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan anak usia dini dan meningkatnya angka partisipasi kasar dan murni SD, SLTP dan SLTA; Pencapaian sasaran dilaksanakan melalui 3 program, yaitu Program Pendidikan Anak Usia Dini, Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Program Pendidikan Menengah. Pencapaian sasaran berdasarkan hasil dari pelaksanaan program sampai tahun 2009 dapat dilihat pada table dibawah ini :
Tabel. 4.15 Indikator Kinerja Hasil Pencapaian Sasaran Meningkatnya Proporsi Anak yang Terlayani pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Meningkatnya Angka Partisipasi
Program Pendidikan Anak Usia Dini Indikator Dimanfaatkannya bantuan pendidikan anak usia dini pelaksanaan Satuan PAUD Realisasi 2006 23 Realisasi 2007 21 Realisasi 2008 2 Realisasi 2009 3
101
Program
Indikator Meningkatnya pengetahuan Guru non formal PAUD Meningkatnya pengetahuan Guru TK Dimanfaatkannya alat peraga edukatif TK Dimanfaatkannya ruang belajar
Satuan Orang Orang Paket TK PAUD Ruang Ruang Ruang Unit Unit Unit Unit Paket Unit Unit Murid Pasang Murid Buku Ruang Unit Unit Paket Murid Pasang Murid Buku
Realisasi 2006 25 9 3 21 15 2 600 27 15 10 30 20 5.511 18.812 9.406 9.406 7 1 300 6 1.818 1.993 -
Realisasi 2007 80 40 14 3 1 37 11 13 420 300 41 6 5 40 20 5.748 24.520 12.260 12.260 7 3 240 7 2.155 4.968 2.848 2.848
Realisasi 2008 40 5 2 36 34 3 750 480 8 2 5.781 19.440 9.720 9.720 7 2 240 6 2.151 5.124 2.565 2.565
Realisasi 2009 30 3 37 52 12 180 450 16 4 6 8 5.781 19.714 9.857 9.857 7 9 280 3 2.511 5.222 2.611 2.611
Dimanfaatkannya ruang belajar Rehabilitasi Gedung Sekolah SD Rehabilitasi Gedung Sekolah SLTP Dimanfaatkannya Meubelair SD Dimanfaatkannya Meubelair SMP Dimanfaatkannya rumah Guru SD Dimanfaatkannya rumah guru SMP Dimanfaatkannya alat peraga Dimanfaatkannya computer untuk siswa Berfungsinya solar cell Terlaksananya ujian sekolah SD dan SMP Dimanfaatkannya seragam sekolah Terdaftarnya murid baru di sekolah Dimilikinya buku raport bagi siswa baru
Pendidikan Menengah
Dimanfaatkannya ruang belajar Dimanfaatkannya rumah guru Dimanfaatkannya meubelair sekolah Dimanfaatkannya alat peraga Terlaksananya ujian sekolah Dimanfaatkannya seragam sekolah Terdaftarnya murid baru di sekoah Dimilikinya buku raport bagi siswa baru
2. Berkurangnya jumlah guru dengan kualifikasi tidak layak mengajar; Pencapaian sasaran dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualitas guru melalui pelatihan, magang atau pendidikan lanjutan. Keberhasilan pencapaian sasaran ini diukur melalui pencapaian 4 (empat) indikator sebagai berikut : Tabel 4.16 Indikator Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidik/Manajemen Pelayanan Kependidikan
Program Peningkatan Mutu Prndidik dan Tenaga Pendidik/ Manajemen Pelayanan Kependidikan Indikator Meningkatnya pengetahuan guru SD, SMP dan SMA Jumlah guru yang disekolahkan Terbinanya guru melalui musyawarah guru mata pelajaran dan kelompok kerja guru Tersedianya guru eksakta tingkat SMP dan SMA Satuan Orang Orang Kondisi 2005 n.a n.a Realisasi 2006 444 41 Realisasi 2007 514 96 Realisasi 2008 294 270 Realisasi 2009 323 703
Orang
n.a
50
110
70
Orang
45
18
3. Terlaksananya pemerataan dan kesempatan pendidikan bagi semua masyarakat luas; Keberhasilan pencapaian sasaran ini diukur melalui pencapaian 4 indikator kinerja hasil yang dikembangkan dari indikator kinerja program/kegiatan tahun 2009 Tabel 4.17
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
102
Bantuan Pendidikan
Unit
12
14
12
PT
Tentunya untuk mengukur seberapa sasaran dan sejauhmana pencapaian program pendidikan yang sudah dicapai dan dampak akan kembali kepada data. Perkembangan bidang pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat secara umum dapat diuraikan menurut berbagai indikator berikut. Perkembangan komponen pendidikan direpresentasikan oleh angka melek huruf dan ratarata lama sekolah. Angka melek huruf menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya sedangkan ratarata lama sekolah menggambarkan ratarata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk untuk menempuh pendidikan formal. 1) Angka Partisipasi Angka partisipasi pendidikan, yang mengindikasikan tingkat partisipasi penduduk dalam mengakses program pendidikan, yang terdiri dari: a) Angka Partisipasi Sekolah (APS), yang mengindikasikan seberapa besar akses dari penduduk usia sekolah dapat menikmati pendidikan formal di sekolah. b) Angka Partisipasi Kasar (APK), mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya. Angka APK ini bisa lebih besar dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan, mencakup anak diluar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Secara umum, APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. c) Angka Partisipasi Murni (APM), yang mengindikasikan proporsi anak usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Angka partisipasi sekolah dapat menggambarkan berapa banyak penduduk usia pendidikan yang sedang bersekolah, sehingga terkait dengan pengentasan program wajib belajar. Indikator inilah yang digunakan sebagai petunjuk berhasil tidaknya program tersebut.
103
Sebagai standar program wajib belajar dikatakan berhasil jika nilai APS SD (umur 7-12) > 95%, SLTP (umur 13-15 tahun) > 70%, SLTA (umur 16-18 tahun) > 50%. Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur pada tahun 2008, 2009 dan 2010 untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dapat digambarkan dalam tabel berikut ini : Tabel 4.18 Angka Partisipasi Sekolah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2008-2010 PROVINSI
1
2008
3
2009
4
2010
5
PAPUA
PAPUA BARAT
Berdasarkan data tersebut di Provinsi Papua Tahun 2008 dan 2009 APS penduduk 712 tahun atau tingkat SD mencapai 76,16%, ini berarti masih terdapat 23,84% yang belum sekolah atau tidak sekolah lagi, sedangkan tahun 2010 sebesar 76,22%. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat sedikit peningkatan APS. Untuk APS penduduk umur 13-15 tahun atau tingkat SLTP tahun 2008 dan 2009 sebesar 73,60% artinya 26,40% masih belum sekolah atau tidak sekolah lagi, sedangkan tahun 2010 sebesar 74,39%, terdapat peningkatan. APS untuk umur 16-18 tahun atau tingkat SLTA tahun 2008 sebesar 49,70% kemudian menurun di 2009 sebesar 47,59% dan mengalami peningkatan kembali tahun 2010 sebesar 48,28%. Di Provinsi Papua Barat APS penduduk 712 tahun atau tingkat SD Tahun 2008 sebesar 93,18%, Tahun 2009 sebesar 93,35%, dan tahun 2010 sebesar 94,04%, APS penduduk 1315 tahun atau tingkat SLTP tahun 2008 sebesar 88,75%, tahun 2009 sebesar 88,75% dan tahun 2010 sebesar 89,95%, sedangkan untuk APS penduduk umur 1618 tahun atau tingkat SLTA tahun 2008 sebesar 57,53%, tahun 2009 sebesar 57,95%, dan tahun 2010 sebesar 58,08%. Hal ini menggambarkan bahwa APS di Provinsi Papua Barat terus mengalami peningkatan di baik di tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Gambar 4.11 Angka Partisipasi Sekolah Tingkat SD
104
97,96
93,18
97,96
93,35
97,96
94,04 Nasional
76,16
76,16
76,22
Persen
86,11
88,75
86,11
88,95
86,11
89,95
73,69
73,69
74,39
Persen
105
60,00 50,00
55,83
57,53
55,83
57,95
55,83
58,08
49,79 40,00
47,59
48,28 Nasional
Persen
Capaian APS di Provinsi Papua untuk usia penduduk 7-12 tahun atau tingkat SD tahun 2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target nasional sebesar 97,96%, APS usia 13-15 atau tingkat SLTP tahun 2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target nasional sebesar 86,11%, dan APS usia 16-18 atau tingkat SLTA tahun 2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target nasional sebesar 55,83%. Sehingga dikatakan penerapan program wajib belajar 9 tahun di Provinsi Papua belum sepenuhnya berhasil, terutama pada jenjang pendidikan SD atau sederajat. Sedangkan di Provinsi Papua Barat untuk usia penduduk 7-12 tahun atau tingkat SD tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah hampir mendekati target nasional sebesar 97,96%, APS usia 13-15 atau tingkat SLTP tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah memenuhi target nasional sebesar 86,11%, dan APS usia 16-18 atau tingkat SLTA tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah memenuhi target nasional sebesar 55,83%. Hal ini menggambarkan bahwa angka yang dicapai Provinsi Papua Barat lebih tinggi dari Provinsi Papua, sementara untuk APS per kabupaten pada Provinsi Papua Barat tahun 2010 disajikan pada gambar berikut.
Gambar 4.14 APS Penduduk Jenjang 7-12, 13-15, 16-18, dan 19-24 di Kabupaten/Kota Provinsi Papua Barat
106
Berdasarkan gambar diatas, terlihat sebagian besar Kabupaten di Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 telah memenuhi target wajib belajar yaitu dengan APS untuk jenjang umur 712 yang telah mencapai 95% diantaranya Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Kaimana bahkan Kabupaten Maybrat capaian APS mencapai 100% artinya pada Kabupaten Maybrat mampu mengenyam pendidikan dasar. Untuk jenjang umur 13-15, semua kabupaten pada Provinsi Papua Barat telah mencapai lebih dari 70% artinya untuk propinsi Papua Barat, programprogram pengentasan program wajib belajar 9 tahun telah berjalan dengan baik. Untuk jenjang usia 1924, tercatat Kabupaten Manokwari memiliki APS tertinggi diantara Kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat yaitu 21.7% artinya 21.76% penduduknya melanjutkan sekolahnya ke bangku perguruan tinggi sedangkan terendah adalah Kabupaten Kaimana yang hanya 3.46%, hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan akses untuk melanjutkan pada perguruan tinggi di kabupaten tersebut yang kurang sehingga terjadi keengganan penduduk kabupaten tersebut untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi lainnya. Indikator lainnya adalah yang digunakan untuk mengukur partisipasi sekolah adalah angka partisipasi kasar (APK). Indikator ini digunakan untuk mengukur seberapa besar
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
107
penduduk bersekolah pada tingkat pendidikan tertentu pada interval usia di tingkat sekolah tersebut. Untuk Papua Barat, secara agregat terjadi peningkatan APK di hampir seluruh jenjang pendidikan kecuali pada jenjang pendidikan SD/MI dibandingkan tahun 2009, sehingga secara umum pola ini menunjukkan terjadi peningkatan yang positif pada perbaikan kondisi pendidikan di tahun 2010. Tabel 4.19 Angka Partisipasi Kasar Provinsi Papua Barat Tahun 2010 Jenjang Pendidikan No
1
Kabupaten/Kota
2
SD/MI
3
SLTP/MTs
4
SMU/MA
5
Perguruan Tinggi
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kabupaten Fakfak Kabupaten Kaimana Kabupaten Teluk Wondama Kabupaten Teluk Bintuni Kabupaten Manokwari Kabupaten Sorong Selatan Kabupaten Sorong Kabupaten Raja Ampat Kabupaten Tawbraw Kabupaten Maybrat Kota Sorong Papua Barat (2010) Papua Barat (2009) Papua Barat (2008)
111.8 119.62 117.65 117.25 110.96 112.26 117.89 142.15 107.98 125.2 108.74 115 117.5 112.68
58.46 54.35 87.72 55.77 68.07 43.24 59.52 62 67.35 61.22 84.06 66.68 66.29 89.99
70.87 36.18 50 40.43 84.48 32.95 73.68 48.65 46.15 82.35 86.25 72.07 62.04 57.25
16.45 3.2 9.24 7.06 29.36 9.94 6.49 8.7 5 5 18.54 16.8 8.41 9.73
APK SD tahun 2010 sebesar 115% artinya masih terdapat penduduk di luar usia sekolah SD/MI (7-12 tahun) yang sedang bersekolah SD/MI karena APK berada diatas 100%. Dengan kata lain, 15% siswa yang sedang bersekolah SD/MI berada diluar usia sekolah SD/MI. Kontribusi paling tinggi yang menjadikan capaian APK Provinsi Papua Barat tahun 2010, dimiliki oleh Kabupaten Raja Ampat dengan APK yang mencapai 142.15% atau 42.15% siswa yang sedang bersekolah SD/MI di Kabupaten Raja Ampat berada diluar usia sekolah SD/MI. APK SLTP/MTs Papua Barat tahun 2010 hanya 66,68% artinya banyaknya penduduk yang bersekolah di SLTP/MTs sebesar 66,68% diantara penduduk usia 1315 tahun selebihnya tidak sedang menempuh pendidikan karena tidak putus sekolah, tidak mampu melanjutkan pendidikan atau karena alasan lainnya. Distribusi APK SLTP/MTs menunjukkan APK Kabupaten Sorong Selatan memiliki nilai terendah yaitu sebesar 43,24% artinya lebih dari setengah penduduk usia 1315 tahun pada kabupaten tersebut tidak melanjutkan sekolah. Selanjutnya, angka partisipasi murni (APM) adalah indikator yang digunakan untuk mendeteksi partisipasi penduduk yang bersekolah tepat pada waktunya. APM dibagi menjadi
108
kelompok APM SD untuk penduduk yang berusia 712 tahun, APM SLTP untuk penduduk yang berusia 1315 tahun dan APM SLTA untuk penduduk yang berusia 1618 serta APM perguruan tinggi untuk penduduk yang berusia 1924 tahun. Tabel 4.20 Angka Partisipasi Murni Provinsi Papua Barat tahun 2010 No. Kabupaten/Kota
1 2
SLTP/MTs
4
SMU/MA
5
Perguruan Tinggi
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Fakfak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Tawbraw Maybrat Kota Sorong Papua Barat (2010) Papua Barat (2009) Papua Barat (2008)
93.42 95.8 83.66 97.31 88.44 89.17 93.68 95.04 90.96 97.56 91.26 91.91 91.25 90.71
48.74 38.98 56.14 41.51 55.34 30.61 47.62 42 48.98 38.78 57.97 49.65 49.03 48.92
46.12 26.28 25 19.87 51.26 17.92 42.11 21.62 35.9 66.18 50 43.93 43.55 43.61
10.08 0.8 3.36 3 11.69 3.47 1.3 n.a. 5 5 9.55 7.36 6.25 6.06
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS ) Provinsi Papua Barat, Tahun 2011
APM Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan di semua level pendidikan dibandingkan tahun 2009. APM SD/MI meningkat menjadi 91,91%, APM ini menunjukkan bahwa hampir 92 dari 100 penduduk usia 7-12 tahun sedang bersekolah SD/MI. APM SLTP/MTS meningkat menjadi 49.65% dari sebelumnya pada tahun 2009 yaitu 49.03%. APM SLTP/MTs yang jauh lebih kecil dari APM SD/MI memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk usia 1315 tahun yang ikut berpartisipasi sekolah SLTP/MTs dibandingkan yang berpartisipasi sekolah SD/MI pada usia 7-12 tahun sangat rendah atau dapat dikatakan banyak penduduk usia 1315 yang tidak melanjutkan pendidikan ke SLTP/MTs. Kecenderungan yang terlihat dari APM tersebut adalah bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh maka tingkat partisipasinya semakin rendah dengan demikian dapat diartikan semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi pula angka putus sekolah. Kesenjangan antara APM SD/MI dengan APM SLTP/MTs menandakan bahwa putus sekolah terbesar adalah ketika siswa menyelesaikan pendidikan SD/MI dan akan melanjutkan ke jenjang pendidikan SLTP/MTs. Berdasarkan sebaran menurut kabupaten/kota, APM tertinggi untuk jenjang pendidikan SD/MI berada pada Kabupaten Maybrat yaitu sebesar 97,56% ; APM SLTP/MTs pada Kota
109
Sorong yaitu sebesar 57,97%; APM SLTA/MA pada Kabupaten Maybrat yaitu sebesar 66,18% dan APM Perguruan tinggi pada Kabupaten Manokwari sebesar 11,69%. 2) Angka Melek Huruf Salah satu faktor untuk menggambarkan kondisi pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat yaitu melalui perkembangan angka melek huruf, yaitu indikasi dari kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Dalam hal angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Untuk Provinsi Papua, angka melek huruf masih dikategorikan terendah dengan dari 29 kabupaten yang ada saat ini, sebagian besar angka melek hurufnya masih dibawah 50% atau dapat dikatakan 50% penduduknya belum dapat membaca dan menulis. Pencapaian angka melek huruf tertinggi adalah Kota Jayapura sebesar 99,09% yang berarti 99,09% penduduknya dapat membaca dan menulis sedangkan terendah adalah Kabupaten Nduga sebesar 30,52% yang berarti hanya 30,52% penduduknya yang dapat membaca dan menulis. Perbandingan antara Penduduk yang masih buta huruf dengan Jumlah penduduk dapat disajikan pada gambar berikut ini :
Gambar 4.15 Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Penduduk Belum Melek Huruf
110
Dalam gambar di atas terlihat bahwa penduduk yang masih buta huruf pada kabupaten Provinsi Papua beragam namun demikian jumlah penduduk yang belum melek huruf pada provinsi Papua ini terbilang tinggi. Tercatat Kabupaten Nduga 83,67% penduduknya masih belum melek huruf. Tingkatan paling baik dicapai oleh Kota Jayapura yang hanya 3,77% penduduknya belum melek huruf. Sementara, angka melek huruf di Provinsi Papua Barat terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seperti tergambar pada grafik di bawah ini :
111
Angka melek huruf di Provinsi Papua Barat tahun 2010 mencapai 93,19% atau mengalami peningkatan di bandingkan kondisi tahuntahun sebelumnya yaitu tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 dimana tahun 2005 sebesar 85,4%, tahun 2006 sebesar 88,55%, tahun 2007 sebesar 90,32%, tahun 2008 sebesar 92,15% dan tahun 2009 sebesar 92,34%. Perkembangan angka melek huruf ini telah atau bisa membaca dan menulis. Semakin tinggi angka melek huruf maka kenaikan persentase angka melek huruf ini akan cenderung semakin lambat, dalam artian pertumbuhan angka melek hurufnya semakin kecil atau mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar di bawah ini: Gambar 4.17 Perubahan Angka Melek Huruf di Provinsi Papua Barat Tahun 2005 - 2010 menandakan bahwa kondisi angka buta huruf di Provinsi Papua Barat terus mengalami penurunan dengan semakin tingginya masyarakat yang
Selama kurun waktu 20092010 angka melek huruf provinsi Papua Barat mengalami peningkatan sebesar 0,85 poin dan untuk periode 20082010 mengalami perubahan sebesar 1,04 poin sedangkan untuk periode 20062008, angka melek huruf di Papua Barat mengalami perubahan sebesar 3,6 lebih tinggi dari periode 20082010. Selanjutnya, perkembangan angka
112
melek huruf menurut kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat dari tahun 20052010 dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 4.18 Melek Huruf menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010
Secara lebih terperinci pencapaian dan peningkatannya tersaji dalam tabel di bawah ini : Tabel 4.21 Peningkatan Angka Melek Huruf Per Kabupaten/Kota Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010 No
1
Kabupaten/Kota
2
2005
3
2006
4
Peningkatan 2009
7
2010
8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Fak fak Kaimana teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Tambrauw Maybrat Kota Sorong
97.18 95.49 83.13 82.98 85.67 88.2 91.4 92.77 76.38 89.8 99.12
97.46 95.5 84.05 85.9 87.79 88.32 91.69 93.62 77.15 90.73 99.13
1.56 4.3 13.95 15.9 10.59 1.12 1.39 7.32 0.77 0.93 0.03
Dari gambar dan tabel diatas, Kabupaten Teluk Bintuni memiliki peningkatan yang sangat tinggi untuk tahun 20052010 dengan perubahan sebesar 13,95 poin, namun untuk pencapaian angka melek hurufnya masih termasuk tiga terendah (85,9) Kabupaten di Provinsi
113
Papua Barat. Pencapaian angka melek huruf terendah adalah kabupaten pemekaran baru Tambrauw yaitu sebesar 77,15% dan Kabupaten Teluk Wondama sebesar 84,05%. 3) Rata-rata lama sekolah Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berumur 15 tahun atau lebih untuk menempuh suatu jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani. Untuk Provinsi Papua Barat, Angka ratarata lama sekolah di Provinsi Papua Barat dari tahun 20062010 terjadi peningkatan walaupan bergerak lambat dimana pada tahun 2006 ratarata lama sekolah adalah sebesar 7,2 tahun, pada tahun 2007 sebesar 7,65 tahun, pada tahun 2008 sebesar 7,67 tahun, pada tahun 2009 sebesar 8,01 tahun dan tahun 2010 meningkat sebesar 8,21 tahun. Rata rata lama sekolah dapat dilihat pada grafik di bawah : Gambar 4.19 Ratarata lama sekolah di Provinsi Papua Barat Tahun 2006 - 2010
Dari gambar grafik tersebut, angka rata-rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat pada tahun 2009-2010 mencapai 8,01 tahun dan 8,21 tahun atau mengalami peningkatan sebesar 0,20 tahun. Untuk tahun 2008 mencapai 7,67 tahun dengan perubahan yang sangat lambat yaitu sebesar 0,02 dari tahun 2007 berbeda dengan tahun 20062007 mengalami perubahan yang cukup besar yaitu sebesar 0,45 tahun. Untuk perubahan angka ratarata lama sekolah di Provinsi Papua Barat dari tahun 20062010 dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
114
Gambar 4.20 Perubahan ratarata lama sekolah Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010
Angka ratarata 8,21 tahun mengandung arti bahwa rata-rata penduduk provinsi Papua Barat hanya mengenyam pendidikan samapi dengan kelas 2 SLTP atau putus sekolah pada kelas 3 SLTP, hal ini berarti bahwa dari tahun 20062010 kondisi pendidikan masyarakat di Provinsi Papua Barat semakin membaik, sedangkan di Provinsi Papua rata-rata lama sekolah tahun 2010 pencapaian angka 6,4 tahun berarti rata-rata penduduk Provinsi Papua hanya mengenyam pendidikan sampai dengan kelas 6 SD. Tingkat pendidikan sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu suatu alat pengukuran keberhasilan yang dilihat dari seberapa besar permasalahan mendasar di masyarakat dapat teratasi seperti kemiskinan, penggangguran, gizi buruk dan buta huruf. Secara nasional IPM Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tahun 2008 masih tergolong rendah dari 33 Provinsi (BP3D RI, 2009). Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.22 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi secara Nasional Tahun 2008 No
1
Provinsi
2
IPM
3
No
4
Provinsi
5
IPM
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah
70,76 73,29 72,96 75,09 71,99 72,05 72,14 70,30 72,19 74,18 77,03 71,12 71,60
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku
64,12 66,15 68,17 73,88 68,72 74,52 75,16 70,09 70,22 69,00 69,29 68,55 70,38
115
No
1
Provinsi
2
IPM
3
No
4
Provinsi
5
IPM
6
14 15 16 17
31 32 33
Dari tabel diatas terlihat bahwa IPM secara nasional pada tahun 2008, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat masih berada pada kisaran terendah dibandingkan dengan provinsi lainnya, oleh sebab itu diperlukan kerja keras dalam perbaikan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan otonomi khusus Papua dan Papua Barat diharapkan merupakan salah satu upaya dalam mengejar ketertinggalan dengan provinsi lainnya. Sektor pendidikan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapat perhatian yang lebih. Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam berbagai program-program peningkatan prasarana serta peningkatan kuantitas dan kualitas pendidik. Sejumlah program juga diterapkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan putra putri asli Papua. Terdapat peningkatan partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan dalam kualitas pendidikan, maupun kualitas dan ketersediaan sarana pendidikan dan sumberdaya manusia pendidiknya. Bidang ini mendapat dukungan yang besar dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD. Diperlukan petunjuk pelaksanaan yang mengiringi tentang penggunaan dana otsus agar lebih tepat sesuai dengan tujuan otonomi khusus sehingga ada ketegasan tentang bagaimana pencapaian-pencapaian yang harus dilakukan terkait penggunaan dana otonomi khusus di bidang pendidikan. c. Kesehatan Pasal 59 dan 60 UU Nomor 21 tahun 2001, mengatur mengenai sektor kesehatan dimana pada Pasal 59 disebutkan bahwa pemerintah rovinsi berkewajiban menetapkan standard mutu dan memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk. Selain itu pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten diwajibkan untuk dapat mencegah dan menanggulangi penyakitpenyakit endemis dan/atau penyakitpenyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk. Kemudian, disebutkan juga bahwa setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendahrendahnya. Selanjutnya, dalam pasal 60 disebutkan dengan kewajiban bagi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan programprogram perbaikan dan peningkatan gizi penduduk yang pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
116
Bidang kesehatan pada pelaksanaan otonomi khusus diarahkan pada peningkatan mutu lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja, pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan. Dari sisi pembiayaan otonomi khusus untuk bidang kesehatan yang dialokasikan Pemerintah Provinsi Papua, terdapat kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan pada kurun tahun anggaran 2005-2011. Tahun Anggaran 2002 tercatat dana yang digulirkan berjumlah 87,24 milyar rupiah. Pada tahun anggaran berikutnya turun menjadi 85,19 milyar rupiah. Pada tahun 2004 dana tersebut turun menjadi 63,90 milyar rupiah. Masalah kesehatan di Papua masih belum tertanggani secara baik akibat pelayanan kesehatan yang belum memuaskan dengan minimnya sarana pelayanan dan alatalat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga se tingkat Rumah Sakit. Provinsi Papua, dengan wilayah yang cukup luas dan kondisi geografis yang cukup sulit, memerlukan dukungan sarana kesehatan yang memadai. Dengan rata-rata jarak dari provinsi ke kabupaten yang cukup jauh, diperkirakan biaya biaya rata-rata perjalanan dari provinsi ke kabupaten berkisar Rp. 4.252.000,-, Sementara rata-rata biaya diperlukan dari Puskesmas ke desa berkisar Rp 1.044.000,-.15 Situasi ini jelas memperlihatkan perlunya mendekatkan sarana-sarana pelayanan kesehatan pada masyarakat, salah satunya untuk menurunkan biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Gambaran perkembangan bidang kesehatan secara umum dapat diuraikan sebagaimana berikut. Aspek yang utama mendapat sorotan dalam hal ini adalah ketersediaan sarana kesehatan dan tenaga bidang kesehatan. Hal ini mengingat kebutuhan ini sangat mendasar yang perlu dipenuhi untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. 1) Sarana Kesehatan Berdasarkan distribusinya baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat tidak semua kabupatennya memiliki rumah sakit sendiri. Dari 29 Kabupaten yang ada di Provinsi Papua pada tahun 2010 hanya 16 Kabupaten yang memiliki rumah sakit sendiri sedangkan 13 Kabupaten lainnya tidak memiliki rumah sakit.
Gambar 4.21 Jumlah Rumah Sakit Dan Rasio Penduduk Terhadap Rumah Sakit per 10.00 penduduk Tahun 2010 Provinsi Papua
15
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Papua Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
117
Kondisi yang berbeda dialami oleh Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 hampir setiap kabupaten telah memiliki rumah sakit, adapun 4 (empat) kabupaten yang belum memiliki, 2 (dua) kabupaten tersebut merupakan kabupaten pemekaran baru yaiut Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw. Kabupaten Raja Ampat dimana pada tahun 2010 ini baru memiliki 1 (satu) rumah sakit setelah tahun sebelumnya belum memiliki. Jumlah rumah sakit di Provinsi Papua Barat hanya berjumlah 13 unit, 6 (enam) diantaranya berada di Kota Sorong dan 3 (tiga) di Kabupaten Manokwari dan 1 (satu) di Kabupaten lainnya seperti Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Sorong, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Fakfak. Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw belum memiliki rumah sakit. Gambar 4.22 Jumlah Rumah Sakit dan Rasio Penduduk Terhadap Rumah Sakit per 10.000 Penduduk Tahun 2010 Provinsi Papua Barat
118
Dilihat dari rasio penduduk terhadap rumah sakit pada Provinsi Papua tercatat Kabupaten Pengunungan Jaya Wijaya memiliki rasio yang paling besar yaitu 1:196.100 artinya satu rumah sakit di Kabupaten tersebut harus melayani sebanyak 196.100 penduduk atau dapat dikatakan bahwa semua penduduk di Kabupaten Pengunungan Jayawijaya hanya terlayani oleh satu rumah sakit saja. Sementara untuk Papua Barat tercatat bahwa Kabupaten Sorong selatan memiliki rasio yang paling besar yaitu 1:70.600. artinya 70.000 penduduk Kabupaten Sorong selatan hanya terlayani oleh 1 (satu) rumah sakit saja. Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Papua, meski cenderung mengalami peningkatan jumlahnya, namun belum mencukupi. Perkembangan jumlah sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 4.23 Perkembangan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi Papua Tahun 2006-2010
SARANA PELAYANAN KESEHATAN 2006 RS PEMERINTAH PUSKESMAS PUSKESMAS PEMBANTU PONDOK BERSALIN 10 230 735 n.a 2007 11 245 735 454 TAHUN 2008 12 260 731 497 2009 16 296 703 497 2010 16 310 685 n.a
Di samping ketersediaan yang masih minim tersebut, Pemerintah Provinsi Papua mencatat berbagai tantangan antara lain adanya sekitar 40% dari puskesmas tersebut tidak memiliki dokter, 26,65% pustu tak memiliki tenaga kesehatan, dan 41,4% pondok bersalin kampung tak memiliki bidan. Selain itu sekitar 7% dari jumlah distrik yang ada tidak
119
mempunyai Puskesmas. Bahkan sejumlah besar kampung belum memiliki sarana pelayanan kesehatan dan tenaga pelayanan kesehatan, sehingga akses ke tempat pelayanan terdekat dapat mencapai 122,8 jam. Kondisi yang ada di Provinsi Papua Barat, tidak jauh beda dengan kondisi pada Provinsi Papua. Perkembangan jumlah sarana pelayanan kesehatan dari tahun 2006-2009 dapat disaksikan pada tabel berikut. Terdapat peningkatan jumlah rumah sakit, namun dengan jumlah tersebut masih sangat kurang. Demikian halnya dengan keberadaan puskesmas, maupun pondok bersalin desa. Tabel 4.24 Perkembangan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2009
SARANAPELAYANAN KESEHATAN
1
TAHUN 2006
2
2007
3
2008
4
2009
5
10 76 334 217
10 76 334 217
10 94 339 185
20
16 16
15
Unit
12 13 10 14
Papua Papua Barat
10 5 0 2008
2009
Gambar 4.24
2010
120
296
320
2010
Papua Barat
2)
Tenaga Kesehatan Kesehatan mendapatkan porsi penting, dimana pembiayaan dana otonomi khusus
terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, bahwa kesehatan juga menerima sekurang-kurangnya porsi 15% dari penerimaan yang diterima Kabupaten/Kota. Untuk implementasi otonomi khusus di level kabupaten/kota. Dalam pembangunan kesehatan, faktor penggerak utamanya adalah sumber daya manusia. SDM kesehatan yang berkualitas menentukan keberhasilan dari seluruh proses pembangunan tersebut. Informasi tenaga kesehatan diperlukan bagi perencanaan dan pengadaan tenaga serta pengelolaan pegawai. Kesulitan memperoleh data tenaga kesehatan yang mutakhir disebabkan antara lain oleh sifat dari data ketenagaan yang selalu berubah dengan cepat dan terus menerus dari waktu ke waktu. Perkembangan tenaga kesehatan baik dokter, bidan, perawat maupun tenaga kesehatan lainnya mengalami peningkatan. Hal ini dapat dipahami bahwa pemerintah provinsi menyadari pentingnya peran kesehatan dalam kemajuan pembangunan daerahnya dan dengan misi untuk mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya di Indonesia, peningkatan tenaga kesehatan menjadi salah satu cara atau arah dari indikator keberhasilan tersebut. Peningkatan tenaga kesehatan ini juga disadari oleh Provinsi Papua Barat dimana dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan jumlah dokter yang cukup signifikan.
121
Berdasarkan gambar di atas terlihat trend yang meningkat untuk masing-masing tenaga kesehatan pada Provinsi Papua dimana Jumlah Dokter Umum tahun 2007 sebesar 248 orang meningkat pada tahun 2010 menjadi 551 orang, begitupun jumlah dokter gigi dan dokter spesialis yang memiliki peningkatan jumlah yang cukup signifikan pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2007. Hal yang sama tentunya berlaku pula pada Bidan, Perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Seperti halnya Provinsi Papua tersebut, Provinsi Papua Barat juga mengalami peningkatan jumlah dokter dimana jumlah dokter meningkat lebih dari 2 (dua) kali lipat dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini menandakan pula sebagai salah satu provinsi termuda di Indonesia, peningkatan tenaga kesehatan menjadi salah satu prioritas utama Pemerintah Provinsi Papua Barat dalam kemajuan pembangunan daerahnya.
122
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Orang
148 56
2008
Dalam gambar diatas terlihat peningkatan jumlah dokter dari tahun 2008 hingga tahun 2010 dari 56 orang menjadi 188 orang artinya dalam 3 (tiga) tahun terakhir terjadi peningkatan sebesar 132 orang dokter di Provinsi Papua Barat. Sementara, jumlah dokter umum yang bertugas di kabupaten/kota Provinsi Papua dan Papua Barat adalah sebanyak 700 orang dengan 551 orang di Provinsi Papua dan 149 orang di Provinsi Papua Barat. Kebutuhan terhadap dokter umum jika dihitung dengan menggunakan rasio setiap 30 dokter umum melayani 100.000 penduduk dan berdasarkan data BPS Penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2010 adalah 2.771.262 jiwa dan 760.855 jiwa maka kebutuhan tenaga dokter umum berdasarkan rasio tersebut untuk Provinsi Papua adalah 830 orang dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar 228 orang. Berarti dapat dikatakan bahwa Provinsi Papua masih kekurangan tenaga dokter umum sebanyak 279 orang untuk Provinsi Papua dan 79 orang untuk Provinsi Papua Barat. Ratio per kabupaten/kota untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.27 Kebutuhan dan Dokter yang ada Pada Provinsi Papua Barat Per Kabupaten
123
Dengan asumsi 30 dokter umum melayani paling tidak 100.000 penduduk, pada gambar di atas sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat mengalami kekurangan jumlah dokter umum. Tercatat Kota Sorong paling besar mengalami kekurangan tenaga dokter umum yaitu sebanyak 47 orang, Kabupaten Raja Ampat masih membutuhkan 1 orang, Kabupaten Sorong sekitar 16 dokter umum, dan Kabupaten Manokwari sekitar 24 dokter, bahkan 2 (dua) Kabupaten Pemekaran baru belum memiliki dokter umum sama sekali. Sementara pada kabupaten/kota di Provinsi Papua terlihat Kota Jayapura memiliki jumlah dokter umum yang lebih besar daripada kebutuhan dokter umum yang ada atau dapat dikatakan bahwa sebagian besar tenaga dokter berada di Kota Jayapura sedangkan daerahdaerah yang memiliki kondisi geografis yang lebih sulit justru sangat kekurangan tenaga dokter.
Gambar 4.28 Kebutuhan dan Dokter yang ada Pada Provinsi Papua Per Kabupaten
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
124
Dari gambar diatas terlihat bahwa jumlah dokter yang ada pada Kota Jayapura pada tahun 2010 adalah sebesar 84 orang sedangkan kebutuhan dokter dengan jumlah penduduk pada Kota Jayapura sebesar 256.705 orang, dengan asumsi 30 dokter umum melayani 100.000 penduduk maka kebutuhan dokter umum untuk Provinsi Papua sebesar 77 dokter. Dari gambar tersebut juga terlihat sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat masih mengalami kekurangan dokter umum dan selain faktor geografis juga ada sebagian wilayah yang merupakan kabupaten pemekaran baru menjadikan penyebaran dokter umum di
125
Provinsi ini tidak dapat sesuai dengan proporsinya seperti Kabupaten Intan Jaya yang merupakan kabupaten pemekaran baru dengan faktor geografisnya yang yang hanya memiliki 1 (satu) orang dokter umum atau Kabupaten Lanny Jaya dengan kondisi geografisnya berbukitbukit ternyata jumlah dokter umumnya hanya 5 orang masih jauh dikatakan untuk proporsional bila dikaitkan dengan jumlah kebutuhan dokter di kabupaten tersebut. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kondisi ketersediaan dokter maupun tenaga kesehatan lainnya juga memperlihatkan upaya pelayanan kesehatan yang masih kurang di provinsi ini. Ketersediaan dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga bervariasi diberbagai kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.25 Jumlah Dokter menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2009
Dokter Spesialis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Kabupaten/Kota
Puskesmas Rumah Sakit
Dokter Umum
Puskesmas Rumah Sakit
Dokter Gigi
Puskesmas Rumah Sakit
Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Kepulauan Yapen Biak Nomfor Paniai Puncak jaya Mimika Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Sarmi Keerom Waropen Supiori Mamberamo Raya Nduga Lanny Jaya Mamberamo Tengah Yalimo Puncak Dogiyai Kota Jayapura JUMLAH
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 7 6 7 8 8 2 0 5 n.a n.a 1 n.a n.a n.a n.a 0 n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a 45 98
33 10 19 17 6 15 7 5 17 11 21 21 15 10 15 10 12 2 7 8 1 2 2 2 4 1 14 287
12 10 12 9 7 14 8 6 18 n.a 4 13 n.a n.a n.a n.a 4 n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a 84 201
6 2 5 5 2 3 0 3 2 2 3 2 1 0 1 2 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 7 48
3 2 2 1 1 1 1 1 2 n.a 1 1 n.a n.a n.a n.a 4 n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a 18 35
Berdasarkan data yang disampaikan Dinas Kesehatan Provinsi, Provinsi Papua masih kekurangan tenaga bidan. Dengan perhitungan satu bidan satu kampung, provinsi ini masih
126
membutuhkan sekitar 2524 bidan, dengan perkiraan sampai tahun 2018 baru dapat terpenuhi. Demikian halnya dengan tenaga gizi, perawat, tenaga analis, kesehatan lingkungan, farmasi, perawat gigi, masih memerlukan cukup banyak tenaga untuk mengisi berbagai sarana pelayanan kesehatan. Sementara di Provinsi Papua Barat, ketersediaan tenaga medis di provinsi ini juga menunjukkan kurangnya tenaga pelayanan kesehatan di Provinsi tersebut. Meskipun dari tahun 2006 sampai tahun 2009 terdapat peningkatan jumlah dokter, kondisi yang ada masih jauh dari yang dibutuhkan. Dari tabel berikut, terlihat Provinsi Papua hanya memiliki dokter ahli/spesialis dalam jumlah yang minim. Ketersediaan yang relatif lebih banyak baru terdapat di Kota Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Fak-Fak. Tidak mengherankan jika dijumpai sarana pelayanan kesehatan (puskesmas) yang tidak ada dokternya. Tabel 4.26 Jumlah Dokter menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2009
NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kabupaten/Kota Kabupaten Fakfak Kabupaten Kaimana Kabupaten Teluk Wondama Kabupaten Teluk Bintuni Kabupaten Manokwari Kabupaten Sorong Selatan Kabupaten Sorong Kabupaten Raja Ampat Kota Sorong Jumlah Ahli 3 7 4 7 21 Dokter Umum 27 4 4 5 32 9 5 12 10 108 Gigi 3 2 2 7 1 1 3 19 Jumlah 33 6 4 7 46 10 9 13 20 148
Memperhatikan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan tenaga dokter serta tenaga kesehatan lainnya, dapat dikatakan bahwa kewajiban untuk memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk belum dapat terpenuhi dengan baik. Dengan kondisi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang sangat luas dan memiliki medan yang sulit, kurangnya sarana pelayanan dan tenaga medis menyebabkan penduduk akan memerlukan biaya yang mahal untuk menjangkau layanan kesehatan yang ada. Sementara mengenai masalah kesehatan, terdapat berbagai masalah kesehatan yang ada di Provinsi Papua. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Papua, masalah tersebut adalah: tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir, Sepuluh penyakit terbanyak yakni Malaria,
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
127
Diare, ISPA, penyakit kulit, kecacingan, frambusia, TBC, Filarial, Gingivitis, konjungtivitis dan masalah kesehatan lainnya seperti kebiasaan makan dan gizi buruk, persalinan dan imunisasi dan terakhir Pola Hidup Bersih Sehat. Dalam upayanya menanggani permasalahan-permasalahan kesehatan tersebut, dalam rangka otonomi khusus masing-masing daerah telah melaksanakan berbagai program dan kegiatan-kegiatan sebagai sarana percepatan pembangunan kesehatan seperti halnya yang dilaksanakan pada Kabupaten Mimika dan Kabupaten Manokwari. Upaya pelaksanaan otonomi khusus di bidang kesehatan di Kabupaten Mimika dari tahun 2002-2010, dilakukan dalam berbagai program yang didanai dengan dana otonomi khusus. Pelayanan kesehatan tersebut ditujukan untuk peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, penanggulangan penyakit, serta peningkatan gizi. 1. Pengadaan obat-obatan dan peralatan medis Antara lain dilaksanakan pada tahun 2002, 2004, 2005, dan 2009. Pada tahun 2004, disamping pengadaan obat-obatan, dan peralatan pengobatan, juga dilakukan pengadaan vitamin, dan vaksin. 2. Pendidikan tenaga kesehatan di Kabupaten Mimika. Pada tahun 2003 dilaksanakan dengan menelan biaya sejumlah 160 juta rupiah. Tahun 2010 dilakukan program pendidikan DIII Keperawatan/Kebidanan dengan biaya 250 juta rupiah. 3. Penanggulangan gizi buruk dan pengembangan posyandu di Kabupaten Mimika. Pada tahun 2003 dilaksanakan dengan menelan biaya sejumlah 153,454 juta rupiah. Tahun 2005, 2007, dan 2008 dilakukan program pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi. Sementara di tahun 2009 diadakan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil, bufas, bayi dan balita. Di samping itu juga dilakukan upaya penanggulangan kurang energy protein (KEP), anemia, gizi besi, gangguan akibat kurang yodium, kekurangan vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya. 4. Pencegahan, penanggulangan penyakit menular dan HIV/AIDS di Kabupaten Mimika Pada tahun 2003 dilakukan dengan dana sejumlah 149,440 juta rupiah. Pada tahun 2004 dilakukan surveilance dan pengamatan penyakit menular juga pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan pemukiman. Di samping itu pada tahun 2004 dilakukan pembangunan sentra pelayanan dan penggunaan serta sosialisasi HIV/AIDS. Upaya lain dilakukan melalui peningkatan imunisasi dan pencegahan serta pemberantasan penyakit menular dan wabah. 5. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan di Kabupaten Mimika.
128
Antara lain dilakukan pada tahun 2003. Selain itu juga dilakukan pengembangan media informasi dan promosi sadar hidup sehat yang dilaksanakan tahun 2007. Penyuluhan kesehatan anak dan balita dilakukan tahun 2008. 6. Pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Mimika. Kegiatan tersebut antara lain dilakukan pada tahun 2003. Pada tahun 2004 dilakukan peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat daerah terpencil di Kabupaten Mimika. Tahun 2005 dilakukan peningkatan pelayanan dan penanggulangan masalah kesehatan. 7. Pelayanan KB dan kesehatan reproduksi Tahun 2007 dan 2008 diadakan penyediaan pelayanan KB dan alat kontrasepsi bagi keluarga miskin serta advokasi dan KIE tentang kesehatan reproduksi remaja. Selanjutnya pada tahun 2008 dilakukan penyuluhan kesehatan bagi ibu hamil dan keluarga kurang mampu, pertolongan persalinan bagi ibu dari keluarga kurang mampu. 8. Peningkatan pelayanan kesehatan rumah sakit dan rujukan di Rumah Sakit Mimika 9. Pembangunan sarana pelayanan kesehatan Pada tahun 2003 dilakukan pembangunan polikinik RSUD. Tahun 2005 dilakukan lanjutan pembangunan RSUD tipe C Kabupaten Mimika serta progam pengadaan peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya. Tahun 2007 dilakukan pengadaan sarana dan prasarana puskesmas serta puskesmas pembantu. 10. Pembangunan rumah dokter sepesialis. Sementara di Kabupaten Manokwari, pelayanan kesehatan digunakan untuk peningkatan jangkauan/pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan melalui program pemberantasan penyakit, pencegahan dan penangggulangan HIV/AIDS, peningkatan SDM di bidang kesehatan baik medis maupun para medis, pelayanan puskesmas, pelayanan rumah sakit, dan penyediaan obat-obatan. Upaya pencapaian sasaran Tercukupinya Rasio Dokter, Puskesmas, Pustu dan Polindes dengan jumlah penduduk melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, dilaksanakan 6 (enam) program, yaitu : 1. Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Pengadaan Peningkatan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Puskesmas dan Jaringannya. Program ini dilaksanakan dengan indikator sasaran yang ingin dicapai adalah meingkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui kegiatan antara lain pembangunan, rehabilitasi, peningkatan puskesmas dan jaringannya, penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta penyediaan biaya operasional puskesmas dan jaringannya. 2. Operasional Puskesmas dan Jaringan serta Gudang Farmasi Kabupaten
129
Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran, pemerintah daerah menyediakan dana operasional untuk 16 puskesmas, 5 puskesmas pembantu plus, 83 puskesmas pembantu, 59 polindes serta 2 puskosdes tersebar di Kabupaten Manokwari. Selain itu juga disediakan biaya operasional dan handing cost GFK yang digunakan untuk membiayai biaya pengepakan dan pengiriman obat-obatan yang didistribusikan ke 19 puskesmas, 5 puskesmas pembantu plus, sedangkan untuk puskesmas pembantu dan polindes pengelola kegiatan selanjutnya menyerahkan biaya untuk pengiriman obat di puskesmas yang selanjutnya didistribusikan ke puskesmas pembantu dan polindes pada akhir tahun 2009. Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan penanggulangan masalah kesehatan, pemerintah daerah juga memberikan insentif bagi tenaga medis dan paramedis untuk tenaga medis PNS, PTT dan tenaga magang yang tersebar di 19 Puskesmas. 3. Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Puskesmas dan Jaringannya Untuk memperluas jaringan pelayanan kesehatan, pada tahun 2009 dilaksanakan program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas beserta jaringannya dengan 9 (sembilan) kegiatan diantaranya kegiatan Pembangunan Puskesmas Pembantu, Pengadaan Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana dan Prasarana Puskesmas Pembantu, Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana dan Prasarana Puskesmas Keliling, Pengadaan Rumah Medis dan Paramedis dan lainnya. 4. Program Kesehatan Masyarakat Pelaksanaan program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan rujukan pada RSUD Manokwari, maka pada tahun 2009 dilaksanakan kegiatan pembangunan gedung perawatan kebidanan tahap II seluas 1.214 M2 . 5. Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan vaksinasi Balita dan Anak sekolah, Peningkatan Surveilance Epidomologi dan Penanggulangan Wabah, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular, Pelaksanaan Fooging dan Monitoring dan Evaluasi. Secara umum pelaksanaan kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut: Imunisasi, Penyemprotan/Fooging Sarang Nyamuk, Frambusia, TB Paru, Kusta, Pemberantasan Filaria, Diare, Pemberantasan ISPA, Pemberantasan Cacing Pita dan Peningkatan Survelian Epedemologi dan Penanggulangan Wabah. 6. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui 3 kegiatan, dengan indikator kinerja hasil adalah meningkatnya pemhaman masyarakat dan
130
anak sekolah tentang kesehatan, terlaksananya penyuluhan dan promosi kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan media promosi dan informasi sadar hidup sehat, dan kegiatan-kegiatan penyuluhan masyarakat pola hidup sehat Salah satu program yang mendapat perhatian khusus dalam pelaksanaan otonomi khusus di bidang kesehatan adalah upaya peningkatan gizi. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi, dengan ketentuan lebih lanjut diatur dengan perdasi. Penekanan ini dilatarbelakangi masalah tingginya angka prevalensi penderita gizi buruk baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat. Upaya perbaikan gizi masyarakat pada hakikatnya dimaksudkan untuk menangani permasalahan gizi yang dihadapi masyarakat. Persoalan gizi ini disebabkan antara lain karena pola hidup yang kurang sehat, di samping pengetahuan kesehatan yang rendah sehingga masyarakat terutama para orang tua yang tidak mengerti dan memahami makanan yang harus diberikan kepada anak-anaknya. Untuk itu, anak-anak yang berusia 0-1 tahun hingga 5 tahun banyak yang mengalami kurang gizi. Kasus tersebut masih banyak terjadi di Papua maupun Papua Barat terutama di daerah pedalaman yang jangkauannya sulit. Tabel 4.27 Persentase Balita Usia 0-59 Bulan Yang Menderita Gizi Kurang dan Buruk Provinsi Papua Barat Papua Indonesia Gizi Buruk 2005 n.a 13.75 8.80 2007 6.8 6.6 5.4 2010 9.1 6.3 4.9 2005 n.a 17.46 19.24 Gizi Kurang 2007 16.4 14.6 13 2010 17.4 10 13
Dari tabel di atas terlihat bahwa prevalensi anak-anak yang berusia 0-59 bulan dengan status gizi kurang dan status gizi buruk masih cukup tinggi. Baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, sampai dengan tahun 2007 kondisinya masih di atas angka nasional. Namun demikian ada indikasi positif penurunan jumlah balita dengan masalah gizi jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2003 khususnya pada Provinsi Papua. Pada dasarnya dengan adanya dana otonomi khusus, hal ini membantu pelayanan kepada masyarakat. Namun kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang ditransformasikan dalam rangka memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat, masih menjumpai berbagai kendala. Salah satunya belum adanya petunjuk yang jelas, baik berupa petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis dari pembuat kebijakan, sehingga pelayanan yang diberikan kepada sebagian masyarakat atau dalam kasus ini masyarakat asli Papua belum
131
dapat diberikan secara optimal, seperti diuraikan pada petikan wawancara yang dilakukan oleh Tim Peneliti : Penyelenggaraan otonomi khusus pada bidang kesehatan diarahkan kepada untuk kabupaten/kota misalnya untuk perbaikan gizi dan pencegahan HIV/AIDS, terkait dengan perdasi bidang kesehatan, sudah ada perdasinya yaitu perdasi Nomor 8 tahun 2010 tentang pelayanan kesehatan, tetapi memang baru disosialisasi, dan untuk desain program, selama ini khan sudah ada dengan mengacu kepada SPM kesehatan Sebagaimana terlihat dalam wawancara di atas, Perdasi mengenai pelayanan kesehatan sudah ada yang diterbitkan pada tahun 2010, namun masih dalam tahap sosialisasi. Standar kesehatan yang ada mengacu pada SPM bidang kesehatan. Namun dari praktek yang ada, terlihat kurang adanya target pencapaian yang terarah. Persoalan lain adalah keterlambatan turunnya anggaran otonomi khusus dilapangan karena anggaran otonomi khusus turunnya selalu akhir tahun. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan di lapangan terburu-buru. Di samping itu ada persoalan di mana dana otonomi khusus tidak boleh diperuntukkan untuk honor pegawai. Sementara dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan sumber daya manusia. Jika tenaga tidak diperhitungkan maka bisa menimbulkan masalah. Sumber daya manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan keuangan. Pemekaran daerah yang selama ini terjadi di Provinsi Papua juga terkait dengan kelemahan ini pada kasus-kasus di mana sumberdaya manusia yang memadai tidak tersedia.16 Kewajiban memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan. Terdapat berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakitpenyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk, namun masih belum optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka penderita gizi buruk dan kurang masih signifikan di kedua provinsi. Peningkatan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan karena kondisinya masih sangat kekurangan, khususnya pada daerah-daerah yang sulit dijangkau dan daerah pemekaran. Sumber Daya Manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan keuangan. Selama ini implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan belum diatur dengan perdasus. Perdasus pelayanan kesehatan baru ditetapkan tahun 2010 dan belum tersosialisasikan dengan baik. Perdasus ini perlu menjadi acuan dalam pelaksanaan ke depan, dan dilakukan dengan standar pencapaian yang jelas.
16
Wawancara dengan Drg. Josef Rinta, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, 18 Oktober 2011 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
132
d. Pembangunan Infrastruktur Wilayah Papua yang sedemikian luas ini dengan kondisi geografis yang berbukit-bukit mengakibatkan sebagian besar penduduk masih hidup terisolir di daerah terpencil yang sulit dijangkau lewat transportasi darat. Oleh sebab itu transportasi di Papua adalah membutuhkan biaya besar. Sementara penerbangannya juga dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Keterisolasian penduduk masih menjadi masalah. Persoalan infrastruktur lain yang perlu menjadi perhatian adalah masih banyak penduduk yang belum dapat mengakses air bersih dan listrik yang memadai. Dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, meski tidak secara eksplisit disebut sebagai kewenangan khusus, pembangunan infrastruktur mendapat perhatian dengan adanya arahan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam implementasi otonomi khusus. Selanjutnya pendekatan kebijakan baru bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (the new deal policy for Papua) juga menekankan pada peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan negara. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan diberikannya dana tambahan infrastruktur sejak tahun 2008. Adapun bentuk pemanfaatan dana tersebut sangat bergantung pada kebutuhan dan kondisi daerah yang bersangkutan. Dengan adanya tambahan sumber daya finansial yang khusus ini Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat diharapkan dapat melaksanakan kebijakan pembangunan infrastruktur di kedua provinsi tersebut. Pemanfaatan dana otonomi khusus dalam bidang infrastruktur di berbagai kabupaten dapat digambarkan sebagai berikut. 1) Kabupaten Biak Numfor Pembangunan bidang infrastruktur dilaksanakan dalam sejumlah program seperti: a) Program perumahan Program ini dilakukan dengan membangun perumahan masyarakat kepulauan sebanyak 117 unit serta pembangunan perumahan masyarakat daerah biak daratan sebanyak 36 unit pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2009 dilakukan kembali pembangunan perumahan masyarakat kepulauan sebanyak 90 unit dan pembangunan perumahan masyarakat daerah biak daratan sebanyak 36 unit. Program lain adalah pembangunan rumah layak huni Tipe 40 sebanyak 80 unit pada tahun 2010 dan Tipe 45 sebanyak 82 unit pada tahun berikutnya. b) Program Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Dilakukan rehabilitasi/pemeliharaan jalan 22 ruas jalan lebar ruas jalan 4 meter. Anggaran juga dialokasikan untuk perencanaan dan pengawasan. c) Program Pembangunan Jaringan Air, Saluran Drainase/Gorong-Gorong
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
133
Dilakukan pemasangan jaringan air bersih. d) Program Peningkatan Jalan Program ini antara lain pelebaran dua jalur jalan majapahit sepanjang 977 m. e) Program Pengendalian dan Pengamanan Lalu Lintas Program ini antara lain pembangunan Median jalan majapahit sepanjang 612 m. 2) Kabupaten Jayapura a) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Tahun 2008 dilakukan pembangunan asrama putri mahasiswa Jayapura di Padang Bulan, pembangunan asrama mahasiswa manokwari, dan pemeliharaan gedung asrama mahasiswa Manado. Anggaran juga dialokasikan untuk kegiatan perencanaan dan pengawasan pembangunan asrama. Tahun 2009 dilakukan pembangunan pagar Asrama Mahasiswa Putri Jayapura di Manokwari dan lanjutan pembangunan Asrama Mahasiswa Putri Kabupaten Jayapura di Kotaraja. b) Program Pembangunan Jalan dan Jembatan Dilakukan pembangunan Jalan Dormega-Yongsu di Distrik Ravenirara, pembangunan Jalan Demta-Bukisi-Maribu di Distrik Yokari , dan pembangunan jalan SP.V-Kwarja di Distrik Yapsi. Selain itu juga dilakukan pembangunan Jembatan Kali Tablanusu I dan II di Distrik Deprare. c) Program Pembangunan Perumahan Program yang pernah dilakukan antara lain : pembangunan Rumah Sederhana Sehat di Kampung Aurina Distrik Airu, pembangunan Rumah Masyarakat di Kampung Tablasu Distrik Depapre, dan pembangunan Rumah Sederhana Sehat di distrik depapre. Selain itu juga dilakukan pembangunan MCK di Kampung Yakonde Distrik Walibu dan pembangunan MCK di Kampung Albar Distrik Ebungfau. d) Program Pembangunan Drainase Pembuatan Drainase dilakukan pada Bahu Jalan Depapre-Dormena e) Program Pembangunan Jaringan Air Bersih Pembangunan jaringan air bersih yang pernah dilakukan antara lain: pembangunan sarana air bersih di Kampung Sinngri di Distrik Nimboran, Pembangunan sarana air bersih di kampung indokesi di Distrik Yokari, pembangunan sarana air bersih di kampung Sosiri di Distrik Walibu, dan pembangunan sarana air bersih di Kelurahan Sentani Kota.
134
Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Jayapura mempergunakan dana otonomi khusus untuk peningkatan lapangan parkir Tablasu Distrik Depapre serta penimbunan Lapangan Parkir Sebelah Barat Jl. Masuk FDS. Kedua program ini dimasukkan dalam kategori pembangunan dan rehabilitasi jalan. 3) Kabupaten Mimika a) Peningkat an jalan Peningkatan jalan antara lain dilakukan di jalan Kokonao di distrik Mimika Barat berupa paving block, dari tahun 2007. Pada tahun-tahun berikutnya sampai dengan tahun 2011, program ini masih dilakukan pada jalan yang sama. Anggaran juga digunakan untuk pengawasan peningkatan jalan tersebut. b) Pembersihan dan penataan alur sungai Tahun 2010 dilakukan pengerukan sungai yang menelan dana mencapai 1,412 miliar rupiah. c) Peningkatan fasilitas keselamatan lalu lintas jalan Tahun 2002 dilakukan peningkatan fasilitas keselamatan lalu lintas jalan yang menelan dana mencapai 1 miliar rupiah. d) Pembangunan pemukiman masyarakat lokal Pembangunan pemukiman masyarakat lokal dilakukan dengan menelan dana mencapai 728,819 juta rupiah. e) Penanganan bencana alam banjir Tahun 2003 dilakukan penanganan bencana alam banjir di kabupaten mimika dengan dana mencapai 5,150 miliar rupiah. f) Operasi dan pemeliharaan pengairan Tahun 2003 dilakukan operasi dan pemeliharaan pengairan di Kabupaten Mimika dengan dana sejumlah 425 juta rupiah. g) Pembuatan rumah jabatan camat Tahun 2002, pembangunan rumah jabatan camat yang menelan dana sebesar 1,195 miliar rupiah dilakukan dengan mempergunakan dana otonomi khusus dan dikategorikan dalam pembangunan infrastruktur h) Pembangunan kantor Tahun 2003 dilakukan pembangunan kantor BP3D Kabupaten Mimika. Pembangunan ini menelan dana sebesar 1,8 miliar rupiah.
4)
135
a) Pembangunan dan peningkatan jalan dan jembatan Pembangunan jalan yang telah dilakukan antara lain pembangunan Jalan SesnaBoldon-Wehali, dan pembangunan Jalan Inspeksi ke TPA, serta pambangunan jalan lingkungan. Untuk upaya peningkatan jalan, dilakukan peningkatan Jalan SP II Wardik, serta alih trase Jalan Sodrofoyo-Elles. b) Pembangunan jaringan air bersih, drainase dan peningkatan saluran irigasi. Antara lain dilakukan pembangunan jaringan air bersih dan peningkatan saluran irigasi Moswaren. Contoh lain adalah pengadaan aksesoris jaringan air bersih (Kota). c) Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Program yang telah dilaksanakan antara lain: pembangunan Jalan Lingkungan sepanjang 2,0 km dan pembangunan Jaringan Air Bersih di SP II Hasik Jaya dan Pengadaan Pipa. Selain itu juga dilakukan peningkatan jalan di berbagai lokasi, yakni peningkatan Jalan Lingkungan Jalan Masuk Kampung SD Sengguer, Kampung Sengguer, Kampung Gorolo, jalan lingkungan Asrama SMA/SMP, jalan lingkungan Asrama Distrik Kais, jalan lingkungan Kampung Kami Sabe, jalan lingkungan jalan lingkungan Kampung Aibobor, jalan lingkungan Kampung Wehali, jalan lingkungan Kampung Any, jalan lingkungan Kampung Sodrofoyo, jalan lingkungan menuju TK Aisya, jalan lingkungan Warkawar, Pembangunan Jaringan Air Bersih di SP II Hasik Jaya dan Pengadaan Pipa, Perencanaan dan Pengawasan Teknik Jalan dan Jembatan, Pembangunan Jalan lingkungan di Inanwatan. d) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Air Program yang telah dilakukan antara lain : normalisasi Sungai Kaswesi dan normalisasi Sungai Tarof. Selain itu juga dilakukan pembangunan Dermaga Kais (Tahap IV) dan Dermaga Kayu Kokoda III. Upaya lain termasuk peningkatan pelabuhan rakyat Wesimar. e) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Udara Terkait transportasi udara, pada tahun 2010 dilakukan peningkatan Perpanjangan Run Way Bandara udara Terminabuan Tahap III. f) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Darat Untuk meningkatkan akses transportasi darat, dilakukan pembangunan Terminal Penumpang Angkutan darat Dalam Kota Terminabuan.
5)
Kabupaten Manokwari
136
Pendanaan bidang infrastruktur diarahkan untuk penyediaan infrastruktur strategis, termasuk prasarana dan sarana sosial ekonomi yang mendukung peningkatan pelayanan publik, terutama masyarakat lokal di wilayah terpencil. Tahun mendapatkan porsi sebesar 11,16 dari dana otonomi khusus atau sebesar Rp 10.194.665.250. Jumlah tersebut lebih kecil dari jumlah pada tahun 2009 yang mencapai lebih dari 11 miliar. Namun dibanding tahun-tahun sebelum 2009 ada peningkatan yang cukup signifikan. Alokasi dana Otonomi Khusus pada bidang infrastruktur digunakan untuk menunjang penerobosan isolasi daerah melalui penyediaan prasarana jalan, penanganan abrasi pantai dan normalisasi air sungai, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kebar dan Taige. Program yang dijalankan antara lain a) Pembangunan jalan dan jembatan terdiri dari pembangunan jalan Sakumi-Neney 4,65 km, jalan Demaisi-Hingk sepanjang 2 km, serta jalan Kampung Inggramui sepanjang 0.3 km. b) Pembangunan Talud/Turap/Bronjong, terdiri dari pembangunan talud abrasi pantai di Arfai, distrik Manokwari Selatan. c) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau, dan sumberdaya air lainnya, terdiri dari normalisasi sungai Arupi sepanjang 100 meter, normalisasi Sungai Membowi sepanjang 100 meter, dan talud pengaman kantor lurah Sanggeng sepanjang 65 meter. d) Pembangunan listrik pedesaan, terdiri dari pembangunan listrik tenaga mikrohidro di Distrik Kebar dan penyediaan sarana listrik perkampungan lainnya. Pembangunan infrastruktur dasar sebagai upaya penerobosan isolasi daerah yang diharapkan akan mempermudah aksesibilitas antara ibu kota kabupaten dengan ibukota distrik serta kampung. Disamping itu diharapkan dengan membangun infrastruktur dasar wilayah, yang meliputi prasarana jalan dan jembatan untuk mengembangkan sentra industri dan produksi pangan, pusat-pusat permukiman penduduk, membuka isolasi daerah, dan membangun prasarana jaringan irigasi untuk mendukung ketahanan pangan, serta menyediakan prasarana air minum, sanitasi, drainase dan air limbah, kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat akan meningkat. Namun mencermati berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pemanfaatan dana otonomi khusus bagi bidang infrastruktur. Ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini khususnya tampak pada awal pelaksanaan otonomi khusus, dimana pemerintah daerah menggunakan dana otonomi khusus untuk infrastruktur
137
yang tidak strategis bagi penerobosan keterisolasian. Misalnya saja dengan pembangunan rumah dinas camat atau sarana pemerintahan. Seyogyanya kebutuhan tersebut dibangun dengan dana APBD yang bukan bersumber dari dana otonomi khusus. Hal semacam ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Perkembangan selanjutnya, pada beberapa tahun terakhir terlihat ada sasaran yang lebih tepat sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. Namun demikian pada beberapa tahun terakhir masih juga dijumpai upaya pembangunan infrastruktur yang kurang strategis sebagaimana diharapkan. Program pembangunan infratruktur salah satunya juga dijalankan melalui pemanfaatan dana otonomi khusus dalam program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Program ini merupakan pembangunan masyarakat berbasis kampung. Program ini mencakup berbagai potensi, bukan hanya infrastruktur, tetapi semua, misalnya perbaikan gizi dan ekonomi. Hal ini karena berkaitan dan juga ditujukan dalam rangka meningkatkan ekonomi secara holistik. Dana yang dialokasikan dalam program RESPEK ini merupakan sebagian dari dana otonomi khusus yang diterima Provinsi di luar dana yang dialokasikan ke pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Program ini juga termasuk pemberdayaan masyarakat kampung tetapi dengan satu posisi peran aktif dari para pendamping. Seluruh
kampung menerima dana tunai langsung (block grant) rata-rata sebesar Rp 100 juta rupiah. Di Provinsi Papua, pada tahun 2007 dana untuk program RESPEK telah digulirkan
pemerintah Provinsi sebesar lebih dari 411 miliar rupiah. Tahun berikutnya mencapai lebih dari 1,2 triliun, di mana berbeda dari tahun sebelumnya total dana ini mencakup juga infrastruktur (sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua). Tahun 2009 sejumlah 320 miliar digulirkan untuk mendanai RESPEK di Provinsi Papua. Tahun 2010 ditingkatkan menjadi 350 miliar dan pada 2011 menjadi 457 miliar. Sementara di Provinsi Papua Barat, Pemerintah Provinsi Papua Barat mulai menyalurkan dana RESPEK pada tahun 2009 sejumlah 122 miliar rupiah. Kemudian pada tahun 2010 menjadi 136,7 miliar rupiah dan menjadi 136,6 miliar rupiah pada tahun 2011. Untuk hasil-hasil yang dicapai melalui program RESPEK ini memerlukan pengkajian lebih lanjut. Namun demikian bagaimana argumen yang digunakan untuk mengalokasikan dana RESPEK tersebut perlu menjadi catatan khusus. Bagaimana pengelolaannya perlu mendapat perhatian untuk diperbaiki. Terdapat sejumlah masalah yang mewarnai pelaksanaan pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya menyangkut masalah geografis, di mana sebagian wilayah lokasi merupakan medan yang sulit.
138
Hal ini antara lain menimbulkan kesulitan dalam memobilisasi alat. Sebagaimana yang dijumpai pada sektor lainnya, pendanaan untuk program infrastruktur juga banyak mengalami keterlambatan pencairan, sehingga pekerjaan lambat dimulai. Di sisi lain kontraktor lokal ratarata kemampuan dasarnya masih terbatas, untuk memulai pekerjaan harus menunggu
pencairan uang muka pekerjaan sebesar 20-30%. Masalah semacam ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi pemerintah daerah. Masalah lain terkait dengan pembebasan tanah. Sebagian wilayah terkendala pembebasan tanah ulayat/adat milik masyarakat. Masalah pertanahan ini juga mengakibatkan mahalnya biaya pembangunan infrastruktur. Salah satu aspek pembangunan infrastruktur yang utama di Provinsi Papua adalah penyediaan dan pembangunan jalan. Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang berkualitas akan meningkatkan usaha pembangunan khususnya dalam upaya memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dan jasa dari suatu daerah ke daerah lain. Progres pembangunan jalan di Provinsi Papua dari tahun 2006-2010 menunjukkan adanya fluktuasi (peningkatan dan penurunan) sebagaimana grafik berikut: Gambar 4.29 Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua (km) tahun 2006-2010
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa panjang jalan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota terlihat mengalami peningkatan dan penurunan meskipun jumlahnya tidak terlalu drastic. Pada tahun 2006 misalnya, jalan nasional yang menghubungkan antar daerah tercatat sebesar 1.848,25 km, namun pada tahun 2007 dan 2008 panjang jalan nasional ternyata mengalami penurunan sebesar 53,3 km (2,90%) menjadi 1.794,95 km. Demikian pula pada level jalan provinsi pun mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 dari 1.562 km menjadi 1.400,63 km atau turun sebanyak 161,5 km (10,33%).
139
Tabel 4.28 Panjang Jalan Menurut Status Jalan di Provinsi Papua Tahun Status Jalan Nasional Jalan Provinsi Jalan Kabupaten/Kota Jumlah 2006 2007 2008 2009 2010
1848,25 1794,95 1794,95 2072,36 2072,36 1562,13 1400,63 1400,63 1498,68 1498,68 13488,33 12131,78 12131,78 12131,78 12131,78 16898,71 15327,36 15327,36 15702,82 15702,82
Pada level jalan kabupaten/kota, penurunan panjang jalan terjadi sepanjang tahun mulai tahu 2007 sampai dengan tahun 2010, yaitu sebesar 1.356,55 km atau sebesar 10,06%, dari 13.488,33 km menjadi 12.131,78 km. Kondisi penurunan panjang jalan kabupaten/kota ini mengindikasikan beberapa hal, misalnya pemerintah kabupaten/kota kurang memberikan perhatian yang cukup pada operasi dan pemeliharaan jalan yang menjadi tanggung jawabnya. Disamping, kurang teralokasikannya anggaran daerah untuk membangun jalan yang baru. Selanjutnya dari sisi permukaan jalan, ternyata panjang jalan yang diaspal sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah panjang jalan yang ada di Provinsi Papua. Data menunjukkan bahwa kegiatan pengerasan jalan masih menjadi permasalahan serius. Tabel 4.29 Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan di Provinsi Papua Tahun 2006-2010 Tahun Permukaan jalan Diaspal Kerikil Tanah Tdk Dirinci Jumlah 2006 2007 2008 2009 2010
3221,88 932,78 1596,98 1522,61 1522,61 4456,92 374,55 374,55 697,64 697,64 6131,03 93,3 1496,6 1189,8 1189,8 0 0 101 126,15 126,15 15815,83 3407,63 5577,13 5545,2 5546,2
Tabel di atas memperlihatkan jumlah panjang jalan yang diaspal pada tahun 2006 sepanjang 3221,88 km mengalami penurunan menjadi 932,78 km pada 2007. Kondisi jalan yang diaspal mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 menjadi 1596, 98 atau sepanjang 664,20 km (41,60%). Ini merupakan progress luar biasa, karena kenaikannya mencapai lebih dari 50%. Namun kondisi ini kembali turun pada tahun 2009 dan 2010 menjadi 1.522,61 km atau sepanjang 74,37 km (4,70%). Kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut: Gambar 4.30 Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan di Provinsi Papua
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
140
Kondisi serupa nampak pada permukaan jalan kerikil dimana terjadi penurunan pada tahun 2007 dan 2008 sepanjang 82,37 km atau sebesar 18,03%, demikian pula untuk jalan tanah pada tahun 2007 sepanjang 37,73 km atau sebesar 28,80%. Tabel 4.30 Kondisi Jalan di Provinsi Papua Kondisi Jalan 2006 Baik Sedang Rusak Rusak berat Tidak dirinci Jumlah 2007 112,5 405,95 0 0 97,25 579,77 16 414,91 0 0 2231,75 3407,63 Tahun 2008 1461 587,88 770,14 849,78 204 5880,8 2009 1356,6 731,87 716,06 640,32 126,15 5580 2010 1356,6 731,87 716,06 640,32 126,15 5581
Kondisi jalan yang baik di Provinsi Papua mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, meskipun jumlah peningkatanya masih relatif kecil. Pada tahun 2006 misalnya, panjang jalan dalam kondisi baik sepanjang 112,5 km meningkat menjadi 405,95 km pada tahun 2007. Kondisi tersebut terus membaik pada tahun 2008 menjadi 1.461 km. Namun pada tahun 2009 dan 2010, kondisi jalan dalam kondisi baik mengalami penurunan menjadi 1.356, 60 km atau menurun sebesar 7,14%. Jika digambarkan dalam grafik, maka kondisi jalan di Provinsi Papua terlihat sebagai berikut:
141
Pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua dapat dikatakan masih belum memperoleh perhatian yang proporsional dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Minimnya perhatian dan alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan pasarana jalan ini akan menyebabkan semakin lamanya upaya pemerintah provinsi dalam rangka membuka isolasi antardaerah di Provinsi Papua. Disamping prasarana jalan, infrastruktur yang tak kalah pentingnya adalah jembatan yang menghubungkan antarwilayah/daerah dikarenakan keberadaan sungai dan atau hamparan lainnya yang memerlukan jembatan. Panjang prasarana jembatan di Provinsi Papua terlihat pada grafik berikut:
142
Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa panjang jembatan di Provinsi Papua masih didominasi oleh jembatan kayu. Hal ini berarti bahwa pembangunan jembatan beton dan jembatan baja masih sangat diperlukan penambahan dari tahun ke tahun untuk mengantisipasi medan wilayah Papua yang sangat berat. Namun yang terjadi pada tahun 2007-2010 justru sebaliknya, yakni terjadi penurunan di hampir semua jenis jembatan di Provinsi Papua, kecuali jembatan baja yang meningkat dari 10.428 km menjadi 10.974,8 km. Dari grafik terlihat terjadi peningkatan pada panjang jembatan baja sepanjang 546,8 km atau sebesar 5%. Angka ini bertahan hingga tahun 2010 atau tidak terdapat kenaikan selama kurang lebih 4 tahun. Pada infrastruktur pelabuhan udara di Provinsi Papua ternyata belum menunjukkan kondisi yang optimal. Sampai tahun 2010 dilaporkan sebanyak 13 bandara yang terdapat di Provinsi Papua dalam memberikan layanan kepada penduduk Papua dan non Papua.
143
Untuk Papua Barat, Pembangunan jalan merupakan salah satu prioritas penting dalam rangka membuka isolasi daerah di Provinsi Papua Barat. Hal tersebut disampaikan Kepala BP3D Provinsi Papua bahwa salah satu misi pembangunan Provinsi Papua Barat adalah meningkatkan ekonomi kerakyatan dengan membuka akses jalan antardaerah. Tabel berikut menjelaskan kondisi panjang jalan di Provinsi Papua Barat pada 2006-2010. Tabel 4.31 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Status Jalan di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010 Tahun Status Jalan 2006 Nasional Provinsi Kab/Kota Jumlah 2007 2008 2009 2010
345,31 615,81 635,81 1168,16 412,31 488,47 686,175 693,175 973,28 938,48 1121,65 3882,222 4071,222 3784,84 4378,43 1955,43 5184,207 5400,207 5926,28 5729,22
Tabel di atas menunjukkan panjang jalan di Provinsi Papua Barat yang menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Pada 2006 total panjang jalan adalah 1955,43 km bertambah menjadi 5184,207 pada 2007 atau meningkat sebesar 62,28%. Panjang jalan baik jalan nasional, jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota terus mengalami penambahan, diantaranya pada tahun 2008 menjadi 5.400, 207 km atau sebesar 4%, dan kembali bertambah pada 2009 menjadi 5.926,28 km atau sebesar 8,88%. Pada tahun 2010, kondisi panjang jalan di
144
Provinsi Papua Barat tercatat sepanjang 5.729,22 km atau mengalami penurunan sebesar 3,33%. Gambaran fluktuasi pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua Barat terlihat pada gambar berikut: Gambar 4.34 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua Barat (km) Tahun 2006-2010
Adapun kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua Barat pun menunjukkan kondisi positif, meskipun belum optimal. Peningkatan panjang jalan yang diaspal terlihat pada tahun 2007 yakni dari 875,98 km menjadi 1.137,31 km atau sebesar 4,41%. Panjang jalan yang diaspal kembali bertambah pada tahun 2008 dan 2009 yaitu menjadi 1.164,85 km dan 1.448,24 km atau masing-masing sebesar 0,50% dan 4,80%.
Tabel 4.32 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010
Permukaan jalan Diaspal Kerikil Tanah Tidak Dirinci Jumlah 2006 2007 875,98 1137,31 1036,7 2226,394 1094,59 1803,953 7,5 16,55 5020,77 7191,207 Tahun 2008 1164,885 2371,201 1688,171 141,45 7373,707 2009 1448,24 1887,37 2220,56 350,11 7915,28 2010 1328,49 1639,25 2222,13 539,35 7739,22
Kondisi permukaan jalan yang dikeraskan (kerikil) juga mengalami peningkatan antara tahun 2007-2008 dari 1.036,7 km menjadi 2.226,394 km (20,07%) pada 2007 dan menjadi 2.371,01 km (2,44%) pada 2008. Namun, kondisi permukaan jalan kerikil ini mengalami
145
penurunan menjadi 1.887,37 km (8,16%) pada 2009 dan kembali turun menjadi 1.639,25 km (4,19%) pada 2010. Gambar 4.35 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010
Gambar di atas menunjukkan panjang jalan dengan permukaan kerikil dan tanah masih mendominasi kondisi jalan di Papua Barat. Angka tertinggi terlihat pada permukaan jalan kerikil sepanjang 2.226,394 km dan permukaan jalan tanah sepanjang 2.222,13 km. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah provinsi dalam membuka isolasi daerahnya. Selanjutnya, terkait dengan infrastruktur transportasi, pada 2006 Papua Barat memiliki 6 bandara yakni Bandara Torea (Fak Fak), Bandara Utarum (Kaimana), Bandara Wasior (Teluk Wondama), Bandara Bintuni (Teluk Bintuni), Bandara Rendani (Manokwari) dan Bandara Deo (Sorong) serta Bandara Teminabuan pada tahun 2007.
146
Dari gambar diatas tersebtu terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah pelabuhan udara pada Provinsi Papua Barat, bila dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/Kota yang ada pada Provinsi Papua Barat yaitu sebanyak 11 Kabupaten/Kota termasuk juga daerah pemekaran baru artinya dengan peningkatan pada tahun 2010 yaitu sebanyak 7 (tujuh) pelabuhan udara, sebagian Kabupaten/Kota tersebut telah memiliki Pelabuhan Udara. Mengingat kondisi geografis Provinsi Papua Barat yang tidak seperti daerah Jawa umumnya, Pelabuhan udara menjadi infrasrtuktur yang sangat stratagis (selain jalan) dalam upaya menembus keterisoliran suatu daerah. Ke depan pembangunan infrastruktur pelabuhan udara/bandara diharapkan harus menjadi prioritas atau paling tidak setiap kabupaten/Kota di Provinsi ini memiliki pelabuhan udara.
Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah ulayat.
e. Kependudukan dan Ketenagakerjaan Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Pasal 61 ayat (3) UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan perlunya penanganan kependudukan untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan peningkatan kualitas dan partisipasi orang asli Papua dalam semua sektor pembangunan. Salah satu masalah kependudukan di Papua sangat berbeda dengan permasalahan pokok kependudukan Nasional, berkisar pada persoalan kepadatan dan pertumbuhan penduduk. Dengan wilayah yang sangat luas sementara jumlah penduduk yang sedikit menyebabkan
147
tingkat kepadatan yang sangat rendah. Permasalahan kependudukan di Papua lebih dihadapkan pada masalah penyebaran penduduk antara Kota-Desa/Kampung dan pola tinggal yang tersebar dalam kampung-kampung kecil yang terpisah sangat jauh. Sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini, distribusi penduduk di Provinsi Papua sebagian besar terkonsentrasi di kota Jayapura. Distribusi penduduk yang terendah di Kabupaten Supiori dengan jumlah penduduk sebanyak 15874 jiwa. Sementara di Provinsi Papua Barat, pada grafik 4.38 distribusi penduduk terbesar terdapat di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari. Distribusi penduduk yang terendah di Kabupaten Tambraw yang merupakan daerah pemekaran dengan jumlah penduduk sebanyak 6144 jiwa. Gambar 4.37 Peta Distribusi Sebaran Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010
Gambar 4.38 Peta Distribusi Sebaran di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010
148
Kabupaten/kota di Provinsi Papua pada umumnya memiliki kepadatan penduduk yang rendah. Dari grafik kepadatan penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, dapat disaksikan bahwa pada umumnya kabupaten di Provinsi Papua memiliki kepadatan penduduk kurang dari 10 orang per km. Beberapa kabupaten seperti Kabupaten Biak Numfor dan Lanny Jaya memiliki kepadatan penduduk lebih dari 50 orang per km. Kota Jayapura relatif cukup padat dengan kepadatan 326.52 orang/km. Kondisi geografis yang cukup luas dan sulit dijangkau juga menjadikan masalah dalam hal ini. Para pendatang umumnya berada di Kota Jayapura, sehingga kepadatan penduduk di Kota ini sangat jauh berbeda dari daerah lainnya di samping karena kota ini merupakan pusat pemerintahan provinsi dan berbagai aktivitas ekonomi. Gambar 4.39 Peta Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010
Sementara di Provinsi Papua Barat, kondisi kepadatan penduduk juga rendah. Dari gambar kepadatan penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat berkisar antara 1.19
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
149
orang per km2 sampai 290.3 orang/km2. Kepadatan terendah di Kabupaten Tambraw sementara yang teringgi adalah Kota Sorong. Namun demikian secara umum kepadatan penduduk di Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun 2010 pun masih kurang dari 10 orang per km2. Hanya Kabupaten Manokwari kepadatan penduduk 13.7 orang per km2 dan Kota Sorong yang kepadatannya melebihi 10 orang per km2. Gambar 4.40 Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010
Kondisi ini berimbas pada pelayanan bagi masyarakat, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat. Bukan saja menyulitkan jangkauan pemberian layanan bagi masyarakat, namun juga menjadi kendala bagi efisiensi penyediaan layanan publik. Persoalan lain berkaitan penduduk asli Papua. Pemerintah Daerah mencatat bahwa orang asli Papua sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan yang sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberaaan orang asli Papua. Masuknya penduduk luar Papua tanpa melalui pendendalian dan penertiban yang benar telah berdampak pada munculnya kesenjangan sosial antara penduduk luar dengan orang asli Papua. Di samping itu hal ini juga berdampak pada kurang terlindunginya hak-hak sebagai orang asli Papua. Dari sisi tingkat kesehatan juga berpengaruh terhadap kondisi kependudukan di Papua.
150
Tingginya angka kematian ibu dan anak menyebabkan lambatnya perkembangan orang asli Papua. Berangkat dari hal ini, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan. Secara umum kebijakan ini mencakup Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Hak dan Kewajiban Penduduk Orang Asli Papua dan Bukan Asli Papua, Pengendalian Penduduk, Penertiban Penduduk, Pertumbuhan Penduduk Orang Asli Papua, Administrasi Kependudukan, dan Ketentuan Pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan. Melalui kebijakan ini Pemerintah Provinsi berwenang membatasi masuknya penduduk luar ke wilayah Provinsi Papua. Disebutkan bahwa setiap orang asli Papua berhak mendapatkan KTP khusus yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Orang asli Papua juga wajib melapor kepada pemerintah kampung, pemerintah kelurahan, dan atau lembaga agama setempat atas setiap peristiwa kelahiran dan kematian atau peristiwa penting lainnya yang dialami, melaporkan perkawinannya kepada instansi pemerintah daerah yang berwenang untuk dicatat dalam buku induk perkawinan dan pemberian akta perkawinan, serta wajib melaporkan pengangkatan anak yang dilakukan. Sementara itu untuk penduduk bukan asli Papua yang datang ke wilayah Papua untuk kegiatan dan tujuan tertentu berhak mendapatkan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) dan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPM). Penduduk bukan asli Papua diwajibkan untuk memiliki KIPS dan KIPM tersebut. Selain itu bagi penduduk bukan asli Papua diwajibkan membawa surat keterangan domisili dari daerah asal, membawa KTP dari daerah asal saat datang ke Provinsi Papua, membawa surat keterangan dari instansi pemerintah daerah yang berwenang yang memuat tujuan kedatangan ke Provinsi Papua, serta menyediakan biaya sebagai jaminan untuk perjalanan kembali ke daerah asal bagi penduduk yang tidak bekerja sebagai PNS, TNI, POLRI, dan bekerja pada Badan Usaha Swasta. Melalui peraturan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua mengatur pengendalian penduduk yang meliputi: menetapkan prosedur dan tata cara memperoleh kartu identitas bagi penduduk musiman, melakukan penertiban terhadap administrasi kependudukan secara terpadu, berkelanjutan, dan lintas sektor pada bidang sosial, ekonomi budaya dan lingkungan hidup. Bagi orang yang bukan asli Papua diwajibkan melapor kepada Pemerintah Kampung dan/atau kelurahan setempat pada saat pindah atau datang ke wilayah Papua selambatlambatnya 14 (empat belas) hari setelah domisili. Badan hukum yang mengelola sarana transportasi laut dan udara wajib menyampaikan laporan tentang penduduk yang datang ke wilayah Papua. Sementara badan hukum yang menyediakan sarana penginapan, wajib menyampaikan laporan tentang penduduk yang menginap dalam sarana tersebut. Untuk
151
menertibkan penduduk, peraturan ini juga menetapkan bahwa penertiban penduduk yang datang di wilayah Provinsi Papua dilakukan pada sarana transportasi, darat, transportasi laut, dan udara. Penertiban melibatkan pula pemerintah kampung, pemerintah kelurahan, tokoh adat dan lembaga keagamaan. Di samping itu, untuk mengetahui pertumbuhan penduduk orang asli Papua dan orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus penduduk orang asli Papua dilaksanakan sekali dalam dua tahun serentak oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Sementara bagi orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus dilaksanakan oleh instansi yang berwenang sekali dalam tiga tahun. Melalui peraturan ini pula, Pemerintah Provinsi Papua menetapkan kebijakan transmigrasi dimana transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah orang asli Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa. Pelaksanaan kebijakan tersebut memerlukan pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP. Di Provinsi Papua Barat, Perdasus/Perdasi yang mengatur tentang bidang kependudukan belum diterbitkan. Peraturan daerah lain yang belum diterbitkan dalam implementasi otonomi khusus di bidang kependudukan ini, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, antara lain yang berkaitan dengan hak penduduk asli Papua untuk memperoleh keutamaan diangkat menjadi hakim atau jaksa di Provinsi Papua. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. Kentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Perdasi. Salah satu persoalan dalam upaya penanganan masalah kependudukan di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah ketiadaan informasi yang tepat tentang populasi penduduk yang merupakan asli penduduk Papua. Di samping itu, untuk mengetahui pertumbuhan penduduk orang asli Papua dan orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus penduduk orang asli Papua dilaksanakan sekali dalam dua tahun serentak oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sementara bagi orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus dilaksanakan oleh instansi yang berwenang sekali dalam tiga tahun. Provinsi Papua Barat telah menjadikan persentase populasi penduduk asli Papua sebagai salah satu criteria dalam pengalokasian dana otonomi khusus kepada kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Tabel 4.30. berikut memperlihatkan sebaran populasi masyarakat asli Papua dan bukan asli Papua di Provinsi Papua.
Tabel 4.33 Jumlah Penduduk Provinsi Papua Menurut Suku Tahun 2010
152
Kab/Kota (1) Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Kepulauan Yapen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Sarmi Keerom Waropen Supiori Mamberamo Raya Nduga Lanny Jaya Mamberamo Tengah Yalimo Puncak Dogiyai Intan Jaya Deiyai Kota Jayapura PAPUA
Papua (2) 73,082 177,698 68,430 62,119 64,338 93,482 149,427 99,339 75,267 37,355 72,390 68,641 162,194 62,361 113,315 22,935 19,725 20,396 15,283 17,088 78,377 148,354 39,315 50,327 92,510 83,395 40,414 61,565 90,196 2,159,318
Non Papua (3) 122,634 18,387 43,513 67,774 18,613 33,316 4,005 1,809 106,734 18,429 9,268 7,936 2,318 3,073 1,112 10,036 28,811 4,243 591 1,277 676 168 222 436 708 835 76 554 166,509 674,063
Total (4) 195,716 196,085 111,943 129,893 82,951 126,798 153,432 101,148 182,001 55,784 81,658 76,577 164,512 65,434 114,427 32,971 48,536 24,639 15,874 18,365 79,053 148,522 39,537 50,763 93,218 84,230 40,490 62,119 256,705 2,833,381
Persentase Papua (5) 37.34 90.62 61.13 47.82 77.56 73.73 97.39 98.21 41.36 66.96 88.65 89.64 98.59 95.30 99.03 69.56 40.64 82.78 96.28 93.05 99.14 99.89 99.44 99.14 99.24 99.01 99.81 99.11 35.14 76.21
Dari tabel 4.30 di atas dapat dijelaskan bahwa perbandingan jumlah penduduk asli Papua dan Non Papua sebenarnya lebih banyak penduduk asli Papua (2.159.318 jiwa dibanding 674.063 jiwa). Di Provinsi Papua, berdasarkan hasil sensus tahun 2010 tercatat 76.21% merupakan penduduk asli Papua. Namun memang, di beberapa kabupaten/kota, jumlah penduduk non Papua lebih besar dari penduduk asli Papua di antaranya di Kota Jayapura, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke. Persentase penduduk asli Papua yang terendah berada di Kota Jayapura dengan persentase sebesar 35,14%. Beberapa daerah memiliki persentase di bawah 50%, seperti di Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Keerom, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Nabire. Persentase terbesar populasi penduduk asli Papua dapat dijumpai di Kabupaten Lanny Jaya dengan persentase sebesar 99,89%. Sejumlah
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
153
kabupaten masih memiliki proporsi penduduk asli Papua yang cukup tinggi di atas 90%. Di antaranya adalah Kabupaten Intan Jaya, Memberamo Tengah, Dogiyai, Tolikara yang memiliki persentase penduduk asli Papua yang melebihi 99%. Gambar 4.41 Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2008-2010
1,500,000 1,000,000 500,000 2008 2009 2010 743,860 798,601 Papua Papua Barat
Jumlah penduduk Provinsi Papua, tahun 2006 (2.000.738), 2007 (2.015.600), 2008 (2.056.500), 2009 (2.097.482), dan 2010 (2.833.381), sedangkan Provinsi Papua Barat, tahun 2009 (743.860), dan 2010 (798.601). Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan pada prakteknya tidak seluruhnya dapat dilaksanakan. Pembatasan penduduk yang masuk ke Papua tidak serta merta dapat dilakukan, karena melanggar hak asasi manusia, yakni hak untuk hidup layak dan bertempat tinggal dimana saja di Indonesia. Di samping itu, hal ini juga bertentangan dengan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya. Dengan demikian sesungguhnya kebijakan otonomi khusus tidak mengharapkan bahwa masalah kependudukan di Provinsi Papua tidak dilakukan dengan membatasi penduduk yang masuk ke Papua. Ditambah lagi bahwa pembedaan KTP asli dan KTP pendatang juga tidak menyelesaikan persoalan sebenarnya. Asisten I Kabupaten Biak Numfor, menyatakan bahwa: terbitnya Perdasi 15/2008 tentang kependudukan ini bagaimana...disatu sisi ini bagus untuk membatasi masuknya orang luar Papua sehingga mengurangi persaingan dengan orang asli Papua, tetapi disisi lain hal ini bisa melanggar ketentuan peraturan perundangan lainnya seperti SIAK. Dan sebagai informasi, masyarakat Papua sebenarnya tidak memerlukan hal seperti ini, yang terpenting bagaimana penduduk asli Papua dapat memperoleh pekerjaan. Senada dengan hal tersebut, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kota Jayapura pun menyatakan:
154
problem kependudukan saat ini sebenarnya bukan hanya persaingan pendatang dengan penduduk asli Papua, akan tetapi bagaimana pemerintah ini mau dan mampu meningkatkan kualitas, kemampuan penduduk Papua. Lalu, bagaimana kita sebagai pemerintah ini bisa mengubah sedikit demi sedikit budaya yang tidak mendukung tercapainya kesetaraan dengan pendatang. Dalam Undang-Undang tentang otonomi khusus Papua, disebutkan bahwa orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orang asli Papua merupakan suatu langkah affirmative dalam rangka pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan. Namun terdapat beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam penanganan bidang kependudukan dan tenaga kerja. Rendahnya kualitas masyarakat dan tingkat pendidikannya. Ditambah lagi produktifitas dan kemampuan daya saing masyarakat asli Papua kurang dibandingkan para pendatang. Di samping itu terdapat pula sikap atau perilaku masyarakat asli yang kurang mendukung. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam kebijakan ini adalah pemerintah daerah perlu memilih langkah konkrit yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan dampak lain yang tidak diharapkan. Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orang asli Papua harus dilakukan dengan penguatan kemampuan, produktifitas, dan pemberdayaan orang asli Papua. Masalah lain yang perlu mendapat perhatian di Papua adalah pengangguran. Gambar memperlihatkan kondisi tingkat pengangguran di kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Perlu adanya verifikasi atau pendataan lebih lanjut tentang sejauhmana tingkat pengangguran penduduk asli Papua. Data semacam itu belum tersedia, namun ke depan perlu dipertimbangkan untuk mengadakan data tersebut. Namun dari data yang ada dapat dilihat bahwa tingkat pengangguran di sebagian besar kabupaten/kota di Papua mengindikasikan adanya masalah pengangguran yang perlu mendapat perhatian. Meskipun demikian, patut diapresiasi bahwa terdapat kecenderungan penurunan angka pengangguran terbuka di Papua.
Gambar 4.42 Perbandingan Indikator Pengangguran di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2008-2010
155
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) di Provinsi Papua dan Papua Barat (2008-2010)
8
TPAK (%)
2008 4.39 7.65 2009 4.08 7.56 2010 3.55 7.69
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) Provinsi Papua dan Papua Barat (2008-2010)
85 80 75 70 65 60
Papua Papua Barat 2008 76.7 68.15 2009 77.75 68.32 2010 80.99 69.29
6 4 2 0
Papua Papua Barat
Sumber :Badan Pusat Statistik dan Hasil Data Olah, Tahun 2011
Untuk Provinsi Papua Barat, tahun 2008 tercatat tingkat pengangguran terbuka sebesar 7,65%, dan menurun menjadi 7,56% pada tahun 2009. Di Provinsi Papua angka pengangguran terbuka relatif rebih rendah dibanding Provinsi Papua Barat. Tahun 2009, tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 4,08%. Angka ini menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 4,39%. Terjadi penurunan yang cukup signifikan jika dibandingkan kondisi pada tahun 2006 dimana angka pengangguran terbuka di Provinsi Papua tercatat sebesar 12,6%. Gambar 4.43 Diagram Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota Propinsi Papua Tahun 2009
Gambar 4.44 Diagram Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota Provinsi Papua Barat Tahun 2009
156
Salah satu hal yang menarik untuk dicermati dari kondisi tingkat pengangguran di Papua, sebagaimana terlihat pada gambar di atas adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kota yang cenderung tinggi. Tingkat pengangguran di Kota Jayapura pada tahun 2009 tercatat sebesar 11,93 %. Sementara di kota Sorong tercatat sebesar 15,45 %. Tingginya tingkat pengangguran ini sangat berkolerasi dengan tingginya jumlah penduduk miskin dan tingkat partisipasi angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Provinsi Papua, tahun 2008 (76,76), 2009 (77,95), dan 2010 (80,99), Provinsi Papua Barat, tahun 2008 (68,15), 2009 (68,32), dan 2010 (69,29). Gambar 4.45 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
85 80
Persen
Sedangkan Jumlah Penduduk Miskin masih cukup tinggi untuk Provinsi Papua, Tahun 2008 sebanyak 934. 370 jiwa (45,43%), 2009 sebanyak 997.340 jiwa (47,54%), dan 2010 sebanyak
157
1.031.210 jiwa (36,39%) dan Provinsi Papua Barat Tahun 2008 sebanyak 256.840 jiwa (34,52%), 2009 sebanyak 256.840 jiwa (34,52%) dan 2010 sebanyak 256.250 jiwa (32,08%). Gambar 4.46 Persentase Penduduk Miskin Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
100 80
Persen
60 40 20 0
2008
2009
2010
Kondisi tenaga kerja di Papua memiliki kecenderungan tingkat pendidikan yang rendah. Sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor informal. Lebih dari 67 % pekerja di Papua Barat merupakan pekerja pada sektor informal. Selain itu, di Provinsi Papua maupun Papua Barat, terdapat kecenderungan bahwa partisipasi kerja laki-laki lebih tinggi daripada perempuan sementara angka pengangguran terbuka perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Terkait pemanfaatan dana otonomi khusus dalam bidang ketenagakerjaan, dapat dicontohkan program-program yang telah diimplementasikan di berbagai kabupaten/kota. Misalnya di Kabupaten Jayapura, dilakukan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja di 5 Distrik 7 kampung. Biaya yang dikeluarkan pemerintah kabupaten Jayapura sebesar Rp.200.000.000 bersumber dari dana otonomi khusus. Di Biak Numfor, dilakukan bantuan pembinaan tenaga kerja pengangguran sebesar. Kegiatan ini menelan biaya sejumlah Rp 1.000.000.000. Ke depan kegiatan ketenagakerjaan perlu lebih disinergikan dengan lapangan kerja yang ada, dengan bidang pendidikan dan program/kegiatan perekonomian lainnya. Alokasi dana otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja memang relatif kecil dibandingkan sektor lainnya. Hal ini karena bidang ini tidak mendapat penekanan sebagai prioritas. Namun sesungguhnya, khususnya untuk bidang ketenagakerjaan, perlu
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
158
mendapat perhatian yang lebih baik lagi. Hal ini karena sesungguhnya masalah ketenagakerjaan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat asli Papua.
Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus telah dilakukan di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan. Di satu sisi penerbitan perda ini, dengan adanya ketentuan untuk melakukan sensus penduduk asli Papua dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Kebijakan wewenang Pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan pembatasan masuknya penduduk luar ke wilayah Provinsi Papua juga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, dan kebijakan lainnya, seperti Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Upaya untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk bisa lebih berdaya saing dalam memperoleh pekerjaan. Meski angka pengangguran terbuka mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan perlunya upaya yang lebih baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan. Bukan saja melalui penambahan alokasi di bidang tersebut, namun juga diperlukan strategi yang tepat dan sinergitas penanganan masalah ketenagakerjaan ini dengan bidang lainnya khususnya dengan bidang pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Ke depan, perlu penyempurnaan perdasi kependudukan yang menitikberatkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pendatang dalam pemenuhan lapangan pekerjaan. Penduduk asli Papua diharapkan dapat bersaing, untuk itu intervensi pemerintah sangat diperlukan dalam upaya tersebut.
f.
di Provinsi Papua dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk. Pemerintah Provinsi berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting. Terkait dengan amanat tersebut, Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Di samping itu di Provinsi Papua dapat pula dibentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan. Untuk melaksanakan amanat tersebut, Pemerintah Provinsi Papua telah menerbitkan sejumlah peraturan terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup. Di antara berbagai peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008 tentang
159
Pelestarian Lingkungan Hidup. Substansi pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam kebijakan tersebut, terangkum dalam tabel berikut. Tabel 4.34 Pengaturan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008
ASPEK Kewenangan dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah SUBSTANSI Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan umum dan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota mengenai pelestarian lingkungan hidup dan melakukan pengawasan atas kebijakan pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota,menetapkan kawasan-kawasan tertentu untuk melindungi keanekaragaman hayati, proses ekologi terpenting, dan pemulihan lingkungan Pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup yang meliputi: penanganan, pengendalian pencemaran dan kerusakan; tempat pembuangan sementara dan tempat pembuangan akhir sampah, urusan kebersihan pelestarian terkait penentuan lokasi dan teknis pengolahan akrab lingkungan; perubahan fungsi ruang;pengendalian pemanfaatan bahan galian C; dan pengendalian abrasi laut. Setiap orang berperan serta dalam menjaga, memanfaatkan lingkungan berdasarkan prinsip pelestarian lingkungan, berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan lingkungan hidup. Organisasi lingkungan hidup dapat ikut serta dalam pelestarian lingkungan. Hak setiap orang untuk menikmati manfaat lingkungan hidup, mendapat penggantian yang layan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan. Kewajiban setiap orang untuk memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, melaporkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta mendukung upaya pemulihan lingkungan hidup. Pemerintah daerah melakukan inventarisasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, karakter sosial budaya, dan ekonomi pada masing-masing wilayah dan mengumumkan hasilnya. Inventarisasi tersebut dapat melibatkan organisasi lingkungan hidup. Pemerintah daerah menyususn perencanaan mengenai pemanfaatan dan pemulihan lingkungan hidup berdasarkan hasl inventarisasi secara partisipatif, transparan, dan terpadu. Pemerintah daerah melakukan pemulihan atas pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dengan pembiayaan yang dibebankan pada APBD. Pemulihan lingkungan hidup juga dilakukan oleh pelaku kegiatan yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatannya dengan dana bersumber dari pelaku kegiatan tersebut, dimana upaya pemulihan tersebut dapat melibatkan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup. Pemerintah kabupaten/kota beserta masyarakat mengembangkan kearifan lokal yang mendukung pelestarian lingkungan hidup di wilayahnya, serta menggali dan mempertahankan praktek-praktek yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Setiap kegiatan usaha yang berdampak luas dalam pemanfaatan lingkungan hidup wajib memiliki ijin sesuai dengan peraturan perundangan yang ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan bupati/walikota. Pemberian ijin tersebut diberikan apabila kegiatan usaha tersebut telah melakukan kajian lingkungan menyangkut kepentingan adat, sosial, dan budaya lokal. Pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pelestarian lingkungan hidup dilakukan bupati/walikota dan hasilnya dilaporkan kepada Gubernur. Pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pelestarian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur.
Pemulihan lingkungan
Kearifan Lokal
Perizinan
160
SUBSTANSI Sengketa lingkungan hidup diselesaikan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga mediasi, negosiasi, arbitrase. Pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada orang atau kelompok yang berjasa melakukan penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup. Pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan perizinan dikenakan sanksi administratif yang dapat berupa: paksaan pemerintahan, denda adminnistratif, penghentian mesin-mesin perusahaan, penutupan sementara tempat usaha, pencabutan izin
Perda tersebut mengamanatkan bahwa penetapan kawasan-kawasan tertentu untuk melindungi keanekaragaman hayati, proses ekologi terpenting, dan pemulihan lingkungan diatur dengan perdasi. Namun belum ada perdasi yang mengatur tentang hal tersebut. Persoalan lingkungan hidup yang sangat penting bagi Provinsi Papua terkait dengan pengelolaan hutan. Hutan di Papua hampir 80% dari luas wilayah Provinsi Papua. Sementara dari tahun ke tahun kerusakan hutan di Papua semakin meluas. Terdapat fakta bahwa di Papua terdapat berbagai suku yang menguasai areal hutan masyarakat hukum adat yang cukup besar. Sebagai implementasi amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, telah diterbitkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Perdasus ini mengatur tentang keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, pembentukan kesatuan pengelolaan hutan, batasan, prinsip, kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, perencanaan hutan, mengatur tentang perizinan, peredaran dan pengolahan hasil hutan, bagi hasil penerimaan kehutanan, pengawasan dan pengendalian, serta penyelesaian sengketa, dan sanksi. Di samping itu peraturan ini juga mengatur tentang pembentukan kesatuan pengelolaan hutan dan kelembagaan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan berkelanjutan tersebut ditujukan untuk: mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat hukum adat Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya, mewujudkan peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial budaya masyarakat hukum adat Papua; menciptakan lapangan kerja, memperluas kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan daerah; mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi hutan; menjamin kelestarian dan keseimbangan ekologi; mempertahankan dan mengembangkan keanekaragaman hayati; mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan iklim global. Melalui Perdasi tersebut terdapat upaya untuk menjaga agar masyarakat hukum adat dapat menikmati lingkungan hidup yang nyaman. Substansi pengelolaan hutan berkelanjutan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lingkungan hidup terangkum dalam tabel berikut. Tabel 4.35
161
Aspek Pengelolaan Lingkungan Hidup Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua
ASPEK Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat SUBSTANSI Masyarakat hukum adat berhak untuk: mengelola dan memanfaatkan hutan yang berada di dalam wilayah hukum adatnya; menggunakan pengetahuan, teknologi dan kearifan lokal; memperoleh pendampingan dan fasilitasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota; berpartisipasi dalam perencanaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan; bermitra dengan pihak lain. Dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain, masyarakat hukum adat berhak: mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan; memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pemanfaatan hutan; memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan tanah miliknya akibat pemanfaatan kawasan hutan; memperoleh manfaat sosial dan ekonomi; menikmati lingkungan yang berkualitas dari kawasan hutan mengelola hutan secara lestari; memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya; melakukan rehabilitasi dan reklamasi hutan sesuai ketentuan perundangan; melakukan perlindungan hutan dan konservasi alam; membayar kewajiban kepada negara; mendistribusikan manfaat secara adil dan proporsional di dalam kelompok masyarakat hukum adatnya; menyisihkan sebagian pendapatannya untuk generasi akan datang. Kesatuan Pelayanan pemerintah terdepan dan terdekat kepada masyarakat hukum adat Pengelolaan Hutan dan pengguna hutan lainnya dilakukan melalui KPH, mencakup: penataan hutan; penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; rehabilitasi hutan; perlindungan dan konservasi; pembinaan; audit internal; pengendalian. Pengurusan Hutan Pengurusan hutan meliputi pengelolaan hutan serta tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan Peredaran dan Pengelolaan hutan didukung dan difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan Pengelolaan pemerintah kabupaten/kota, meliputi aspek manajemen dan aspek hasil. Aspek manajemen meliputi: manajemen kawasan hutan yang mencakup pemanfaatan kawasan, penataan kawasan, pengamanan kawasan; manajemen hutan yang mencakup kelola produksi, kelola lingkungan, kelola sosial; manajemen kelembagaan yang mencakup tata organisasi, pemberdayaan sumber daya manusia, pengelolaan pendanaan. Aspek hasil meliputi: kelestarian fungsi produksi yang mencakup kelestarian sumber daya hutan, kelestarian hasil hutan, kelestarian usaha; kelestarian fungsi ekologi yang mencakup stabilitas ekosistem dan lintasan spesies langka/endemik/dilindungi; kelestarian fungsi sosial budaya, mencakup terjaminnya sistem tenurial hutan komunitas, terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas, terjaminnya keberlangsungan integrasi sosial dan kultural komunitas. Pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat hukum adat dan pihak lainnya didukung dan difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah daerah melakukan bimbingan pengendalian dan pengawasan kepada pemegang izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan dalam rangka pengelolaan hutan lestari.
Tata Hutan dan Tata hutan dilaksanakan pada semua kawasan hutan, dengan komponen utama Penyusunan dari penyiapan areal kerja dan pembagian areal kerja. bupati/walikota Rencana menetapka tata hutan dalam kawasan hutan yang berada dalam satu wilayah Pengelolaan Hutan administrasi pemerintahan kabupaten/kota. Sementara tata hutan dalam kawasan hutan yang berada dalam lintas administrasi pemerintahan
162
ASPEK
SUBSTANSI kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur. Selanjutnya rencana pengelolaan hutan (jangka pendek dan jangka panjang) disusun berdasarkan hasil tata hutan, dengan memperhatikan rencana kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Kewajiban menyusun AMDAL bagi penggunaan kawasan hutan dan atau pemanfaatan hasil hutan oleh pemrakarsa usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadapa lingkungan Pemanfaatan hutan dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat harus tetap menjaga kelestarian fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat hukum adat dengan tetap memperhatikan fungsi dan peruntukan hutan, dengan memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari, yang mencakup aspek kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial budaya. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat dalam bentuk kegiatan usaha dapat dilaksanakan pada semua kawasan hutan sesuai jenis perizinan pada fungsi kawasan hulan. Pemanfaatan hutan pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Perdasus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008. Penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersial, penelitian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dalam bidang kehutanan dilakukan setelah memperoleh ijin dari Gubernur. Dalam pengelolaan hutan pemegang hak kelola melakukan tahapan egiatan: penataan areal kerja; rencana pengelolaan; pemanfaatan; rehabilitasi; perlindungan. Badan usaha sebagai pemegang ijin penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan wajib melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi kawasan hutan yang dilakukan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Rehabilitasi kawasan hutan dan lahan dilaksanakan melalui kegiatan reboisasi; penghijauan; pemeliharaan; pengayaan tanaman; penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan teknik sipil pada lahan kritis dan tidak produktif. Reklamasi kawasan hutan dilakukan untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi. Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi rehabilitasi dan reklamasi hutan yang rusak, atau yang tidak memenuhi fungsi pokoknya. Dalam rangka rehabilitasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memfasilitasi budaya menanam dan memelihara serta penyelenggaraan hutan tanaman bagi masyarakat hukum adat. Pemegang ijin pemanfaatan hutan wajib melakukan perlindungan hutan untuk menjaga dan memelihara hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar berfungsi secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan tersebut meliputi kegiatan: pengamanan areal hutan; pencegahan kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak; tindakan terhadap gangguan keamanan areal hutan; pelaporan adanya pelanggaran hukum di areal hutan kepada instansi kehutanan; penyediaan sarana dan prasarana serta tenaga pengamanan hutan. Pemegang ijin pemanfaatan hutan berperan aktif melaksanakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai peraturan perundangundangan. Pelaksanaan silvikultur pengelolaan hutan secara lestari terdiri: tebang pilih tanam Indonesia pada hutan alam; tebang habis dengan permudaan buatan pada hutan tanaman. Silvikultur Intensif (SILIN). Tebang pilih tanam Indonesia dilaksanakan pada hutan alam produksi untuk mengatur cara penebangan dan melakukan permudaan hutan, melalui pengayaan tanaman dengan jenis
163
SUBSTANSI tanaman unggulan. Dalam pengelolaan hutan dilakukan peningkatan sumber daya manusia dengan pemberian pengetahuan dan teknologi. Pemerintah Provinsi menetapkan pedoman penatausahaan hasil hutan, peredaran dan pengolahan hasil hutan, serta pemenuhan kayu olahan yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Setiap pendirian atau perluasan industri primer hasil hutan kayu wajib memiliki izin usaha industri primer atau izin perluasan industri primer hasil hutan kayu. Izin tersebut diberikan setelah dilakukan pengkajian atas ketersediaan potensi bahan baku. Tata pemberian izin tersebut diatur dengan Peraturan Gubernur. Setiap kegiatan yang menggunakan dan atau mengubah status kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan wajib mendapat persetujuan dari G ubernur. Areal hutan yang dipergunakan untuk kepentingan non kehutanan yang berbatasan dengan kawasan hutan lindung dan atau kawasan konservasi dibuat daerah penyangga selebar 1 (satu) km kearah luar dari batas kawasan. Pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan secara lestari dilaksanakan untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan kelestarian sumber daya hutan.
Aspek lain yang jika tidak tertangani dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan adalah pengelolaan sumber daya alam. Di Papua, masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan sumber daya alam, sebagai sarana untuk mempertahankan dan memelihara kehidupan dan identitas budaya dalam aspek spiritual, sumber kehidupan ekonomi dan pengembangan kehidupan lainnya. Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Papua juga menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 yang mengatur perlindungangan dan Pengelolaan Sumber daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. Peraturan ini terkait dengan amanat untuk memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Perdasus ini lebih bersifat melindungi hak masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan sumber daya alam melalui kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya alam. Namun peraturan ini juga menekankan pengelolaan sumber daya tersebut harus dilakukan dengan menjamin kesinambungan ketersediaan, disamping meningkatkan kualitas hasil pemanfaatannya, serta menghormati hak masyarakat hukum adat. Pengelolaan pengelolaan sumber daya alam oleh Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Pengelolaan tersebut harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam. Adapun rencana pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus berdasar pada berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi dalam hal ini memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan pada pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam; dan menetapkan syarat dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha pemanfaatan sumber daya
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
164
alam. Sementara kewajiban yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi adalah melakukan supervisi pada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, melakukan pendampingan dalam pemetaan adat oleh masyarakat hukum adat yang berada di wilayah lintas Kabupaten/Kota, dan memberikan bantuan pada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pendampingan pada masyarakat hukum adat. Gambaran pelaksanaan pengembangan program bidang lingkungan hidup di Provinsi Papua dapat diuraikan sebagaimana berikut. Berdasarkan Perda Nomor 11 tahaun 2008 terjadi perubahan nomenklatur dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) menjadi Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan Provinsi Papua, sehingga visi mengalami perubahan menjadi Selamatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan menuju Papua baru. Program/kegiatan yang telah dilaksanakan Pemerintah Provinsi Papua (2006-2009), antara lain meliputi program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, program perlindungan dan konservasi sumber daya alam, peningkatan kualitas SDM dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, program peningkatan pengendalian polusi, pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan konservasi laut dan hutan, serta program pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur (tahun 2009-2011), dilakukan melalui pembangunan gedung kantor (laboratorium SDA dan LH), pengadaan perlengkapan gedung kantor, kursus lingkungan hidup bagi aparatur pemerintah Provinsi Papua, sosialisasi dan TOT pelaksanaan kurikulum mulok, pengembangan sekolah berwawasan lingkungan. Program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, dilakukan melalui : Rakor pengelolaan limbah B3 dengan sektor terkait tingkat provinsi/kabupaten/kota; pengawasan limbah B3 di Provinsi Papua, koordinasi penyusunan AMDAL, pemantauan kerusakan lingkungan akibat galian C, pemantauan kualitas air sungai di Provinsi Papua, pemantauan kualitas air perairan pesisir dan lau di Provinsi Papua, peningkatan kapasitas komisi penilai AMDAL Provinsi Papua, Pemantauan RKL/RPL, operasional Komisi Penilai AMDAL Provinsi Papua, Pembinaan laboratorium, rakor AMDAL. Program Perlindungan dna Konservasi SDA: penyuluhan dan pengendalian poilusi dan pencemaran, pemberdayaan institusi kemasyarakatan dalam pengelolaan LH, Konsultasi dan koordinasi pemantapan rencana pengelolaan lingkungan terpadu kawasan teluk cendrawasih, pembinaan dan pengawasan pengelolaan LH, sinkronisasi perencanaan program bidang LH, pembinaan konservasi bagi masyarakat, pembuatan penangkaran burung kasuari pada kebun biologi LIPI di Wamena, peningkatan kinerja PPNS, Penyusunan Perdasi CA. Cyloop, peningkatan kapasitas pengawas LH, penyusunan perdasi/perdasus pengelolaan SDA dan LH (2011).
165
Program peningkatan Kualitas dan akses informasi SDA dan LH, meliputi : pameran lingkungan hidup, pecan lingkungan hidup provinsi Papua, penyusunna status LH daerah, penyusunan dan penyebaran informasi LH, rakornis pengelolaan SDA dan LH, studi potensi SDA Papua, studi potensi sda melalui penginderaan jauh, valuasi ekonomi SDA dan LH, pengembangan aplikasi sistem informasi SDA dan LH, pembangunan jaringan teknologi komunikasi SDALH, pemutakhiran data SDALH, peningkatan SDM di bidang TI, inventarisasi perijinan SDA dan LH Prov Papua. Program peningkatan pengendalian polusi, melalui: monitoring pencemaran udara di provinsi Papua, Program pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan-kawasan konservasi laut dan hutan, melalui konferensi internasional keanekaragaman hayati Papua. Program pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH melalui peningkatan kapasitas tenaga laboratorium SDA dan LH, inventarisasi potensi bahan galian industry dan batubara, sintesa profil SDA Papua, identifikasi potensi karbon di Provinsi Papua, studi potensi SDA di kawasan konservasi hutan dan laut, evaluasi tambang rakyat di Provinsi Papua, operational secretariat task force carbon Papua.17 Pemerintah Provinsi Papua menghadapi kendala seperti sarana dan prasarana pendukung belum terbangun, diantaranya gedung laboratorium. Sementara peralatan laboratorium dan kendaraan operasional lapangan belum memadai. Sumber daya manusia yang berlatar belakang sumberdaya alam dan lingkungan hidup belum mencukupi (masih kurang 50%), sementara di sisi lain disiplin pegawai perlu ditingkatkan. Ditambah lagi dari segi pendanaan belum memadai sesuai dengan beban kerja. Kabupaten Jayapura melalui Dinas Kehutanan mengadakan program pengamanan dan perlindungan cagar alam dengan alokasi dana sebesar Rp. 775.000.000. Di samping itu juga dilakukan pengamanan dan perlindungan Kawasan Penyangga Cagar Alam. Kabupaten Mimika tahun 2009 program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi dan pemulihan cadangan SDA realisasinya. Dinas kehutanan dan perkebunan melakukan program perencanaan dan pengembangan hutan melalui pengembangan hutan masyarakat adat dengan biaya mencapai Rp. 701 juta. Di tahun 2008, Dinas Kehutanan dan perkebunan melakukan program rehabilitasi hutan dan lahan melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan lahan. Di Provinsi Papua Barat, gambaran pelaksanaan pengembangan program bidang lingkungan hidup selama beberapa tahun terakhir dapat diuraikan sebagai berikut. Rencana dan konsep pembangunan di Papua Barat yang berprinsip pada pembangunan berkelanjutan,
17
Disampaikan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Papua
166
pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang untuk mewujudkan Provinsi konservasi Papua Barat. Bapedalda Provinsi Papua Barat baru dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah. Program Bidang Lingkungan Hidup dalam kaitannya dengan otonomi khusus belum banyak dilaksanakan. Namun upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Papua belum optimal.18 Provinsi Papua Barat juga belum menetapkan perdasus/perdasi terkait tentang pengelolaan lingkungan, kawasan lindung, keterlibatan LSM dan pembentukan lembaga independen. Salah satu contoh kebijakan yang telah dilakukan dengan sumber dana dari Otonomi Khusus adalah kegiatan peningkatan edukasi dan komunikasi mayarakat di bidang lingkungan hidup. Dalam kegiatan pengelolaan lingkungan, diikutsertakan pula berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat seperti LSM Perdu, WWF, Paradisea. Undang-Undang tentang otonomi khusus Papua mengamanatkan dibentuknya lembaga independen untuk menyelesaikan sengketa lingkungan. Di Provinsi Papua Barat baru didirikan pos pengaduan masyarakat sejak tahun 2010 yang telah mendapatkan sejumlah pengaduan masyarakat tentang trans Papua Barat. Terdapat berbagai masalah yang dihadapi Pemerintah Provinsi Papua dalam pembangunan di bidang lingkungan hidup di Papua Barat. Masalah tersebut antara lain belum dimilikinya tenaga penyidik bidang lingkungan hidup, laboratorium lingkungan di Provinsi, tenaga laboratorium lingkungan hidup, belum efektifnya pendanaan bagi program pengelolaan lingkungan hidup. Di samping itu konflik masalah sumber daya alam terutama hutan, tambang dan perikanan semakin meningkat.
Di Provinsi Papua telah diterbitkan perdasus tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan, namun di Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang konkrit. Upaya pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati,pengelolaan hutan lindung serta pegelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu lebih melibatkan lembaga non pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ada keterbatasan dalam sarana dan prasarana pendukung, dimana gedung laboratorium, dan saran alainnya belum terbangun. Di samping itu dibutuhkan pula SDM yang berlatar belakang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik. Selain itu perlu adanya koordinasi yang terus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi karena kelestarian lingkungan hidup bukan tanggungjawab sebagian pihak saja tetapi juga tanggung jawab bersama.
g. Bidang Sosial Pelaksanaan kewenangan bidang sosial pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan atau kualitas hidup masyarakat sehingga masyarakat memiliki kebebasan di
18
Hal ini diakui oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat yang menangani masalah lingkungan hidup Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
167
dalam memenuhi aspirasinya dan merelisasikan potensinya. Paradigma pembangunan yang dikembangkan sudah mengalami perubahan, dari pembangunan yang terlalu menitikberatkan kepada bidang perekonomian kepada pembangunan kemasyarakatan atau kadang disebut sebagai pembangunan kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, pelaksanaan kewenangan bidang sosial diharapkan dapat memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial, seperti keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Untuk keterbelakangan (pendidikan) telah dilaksanakan oleh dinas pendidikan, pengagguran dilaksanakan oleh dinas kependudukan dan ketenagakerjaan, sedangkan kemiskinan menjadi ranah dinas sosial dan atau dinas kesejahteraan sosial. Disamping kemiskinan, pelaksanaan kewenangan bidang sosial juga menyangkut penanganan anak terlantar, penyandang cacat dan trauma, panti asuhan/panti jompo, eks penyandang penyakit sosial (eks napi, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya) serta komunitas adat terpencil (KAT) dan masyarakat terisolir. Di Provinsi Papua, kewenangan bidang sosial ditangani oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan Masyarakat Terisolir, sedangkan di Provinsi Papua Barat dilaksanakan oleh Dinas Sosial. Sementara itu, di kabupaten/kota pun nomenklatur yang digunakan berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya namun tetap menyebutkan sosial.19 Pertama, menyangkut penanganan kemiskinan di Papua dan Papua Barat. Kendatipun penanganan kemiskinan bukan hanya menjadi tugas dinas sosial semata, namun persoalan kemiskinan yang melanda sebagian besar penduduk Papua dan Papua Barat senantiasa dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD ini. Ironisnya, kondisi kemiskinan terjadi di tanah yang dianugerahi Tuhan akan kekayaan alam yang melimpah ruah. Gunung, lembah, laut dan pantai semuanya mengandung kekayaan alam yang tidak ternilai. Tambang minyak di Kabupaten Sorong, tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat dan sumber gas bumi di Kabupaten Teluk Bintuni, serta hutan yang terdapat di sejumlah kabupaten seolah tidak memberikan pengaruh nyata pada kehidupan sosial dan kesejahteraan penduduk Papua Barat. Di Provinsi Papua pun menunjukkan kondisi serupa, kandungan emas dan tembaga di Kabupaten Mimika misalnya, ternyata tidak banyak memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Hasil wawancara dengan sejumlah narasumber baik di Papua maupun Papua Barat dapat menggambarkan hal tersebut. Kepala Bappeda Kabupaten Dogiyai menyebutkan : Papua kaya raya, rasanya tidak ada yang membantah. Rakyat Papua tidak menikmati kekayaan yang melimpah, pun rasanya tidak ada yang membantahnya. Persoalan ini
Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Kab. Mimika, Dinas Kesejahteraan Sosial di Kab. Biak Numfor, Dinas Sosial di Kota Sorong, Kab. Manokwari, Kota Jayapura dan Kab. Merauke.
19
168
menjadi titik awal kekecewaan rakyat Papua terhadap pemerintah, termasuk kita semua di dalamnya. Karena itu, pemberian Otonomi Khusus ini menjadi satu harapan baru bagi rakyat dan penduduk Papua untuk menikmati sedikit kekayaan yang telah disumbangkan kepada Pemerintah dan akan kembali kepada mereka sebagiannya guna mengatasi masalah-masalah sosial yang timbul. Senada dengan hal itu, anggota MRP Provinsi Papua Barat menyayangkan sikap penyelenggara pemerintahan yang kurang memberikan memberikan perhatian kepada kesejahteraan rakyat Papua Barat: kalau ingin melihat potret kemiskinan dan keterbelakangan datang ke daerah yang kaya, seperti Papua Barat ini. Jika ada peribahasa ayam mati di lumbung padi, persis seperti yang kami alami disini. Rakyat menjerit karena kemiskinan, sementara para pejabatnya berfoya-foya menggunakan uang rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Permasalahan sosial seperti anak terlantar, orang cacat, panti asuhan/panti jompo sepertinya luput dari perhatian pemerintah daerah. Sayangnya, MRP tidak memiliki kekuatan politik sehingga tidak mampu menyuarakan ini dan menjadikannya peraturan normatif. Secara umum, potret permasalahan penanganan sosial untuk penyandang masalah sosial di Provinsi Papua meliputi: anak-anak yatim piatu, orang lanjut lanjut usia yang memerlukan, kaum cacat fisik dan mental, dan korban bencana alam. Penangananan bidang sosial memerlukan prasarana yang memadai. Salah satunya adalah tersedianya jumlah panti yang memadai bagi masyarakat yang membutuhkan, seperti panti asuhan, panti jompo, dan panti bagi penyandang masalah sosial lainnya. Tabel berikut memperlihatkan keberadaan panti asuhan di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Papua, kondisi pada tahun 2010. Tabel 4.36 Jumlah Panti Asuhan Menurut Status Pengelola Kabupaten/Kota Provinsi Papua Tahun 2010
NO
1
KABUPATEN/KOTA
2
Pemerintah Jumlah
3
Kapasitas
4
Jumlah
6
Kapasitas
7
Penghuni
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten Merauke Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Jayapura Kabupaten Nabire Kabupaten Yapen Waropen Kabupaten Biak Numfor Kabupaten Paniai Kabupaten Puncak Jaya Kabupaten Mimika Kabupaten Yahukimo
120
110
6 15 23 11 18
40
38
2 5 1 2 1
169
NO
KABUPATEN/KOTA
11 12 13 14
Kabupaten Peg. Bintang Kabupaten Keerom Kabupaten Waropen Kota Jayapura Jumlah
2 10 1 49 146
1 4
40 200
40 188
Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, Tahun 2011
Pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat sejumlah panti asuhan yang menampung anak-anak yatim piatu, anak korban bencana, maupun anak-anak korban konflik. Sebagian dilaksanakan oleh pemerintah dan sebagiannya dilaksanakan oleh yayasan atau pihak swasta dan bersubsidi. Di Kabupaten Mimika, terdapat 71 LSM/yayasan, 9 lembaga profesi, 32 lembaga keagamaan, 33 lembaga pemuda, 44 paguyuban/ikatan keturunan dan 16 lembaga wanita yang ikut berpartisipasi dalam penanganan masalah sosial. Sejumlah lembaga tersebut ditujukan untuk melayani anak jalanan (18 anak terlantar, 113 anak nakal), penyandang cacat (250 cacat tubuh dan 37 cacat mental), pramuria (19 timung 85 orang, 6 bar 91 orang, lokalisasi 302 orang) dan lanjut usia sebanyak 332 orang. Perkembangan ketersediaan panti asuhan dalam kurun 2006-2009 menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut. Namun panti tersebut lebih banyak dikelola oleh Swasta/subsidi. Ini mengindikasikan peran/partisipasi kelompok non pemerintah yang lebih baik dalam penanganan masalah sosial terkait penyediaan panti asuhan. Adapun perkembangan penyediaan panti asuhan oleh pemerintah kurang menunjukkan adanya perbaikan. Tabel 4.37 Jumlah Panti Asuhan Menurut Pengelola di Provinsi Papua Tahun 2006-2010 Tahun
1
Jumlah
2
Pemerintah Kapasitas
3
Penghuni
4
4 4 2 4
2,793 -
2793 -
Tabel 4.38 Jumlah Panti Asuhan Menurut Pengelola di Provinsi Papua Barat Tahun 2009-2010
170
Tahun
1
Pemerintah Jumlah
2
Swasta/Subsidi Jumlah
3
2009 2010
41 41
Sementara terkait penanganan orang lanjut usia, pemerintah semestinya berkewajiban menyediakan panti-panti jompo untuk mereka. Pada kenyataannya, karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan orang lanjut usia ini menjadi kurang optimal. Kelompok masyarakat lain yang perlu mendapat perhatian adalah para penyandang cacat. Jumlah penyandang cacat di Provinsi Papua 3.374 orang yang terdiri atas tunanetra, tunarungu, tubuh, mental, tubuh dan mental (ganda). Jumlah penyandang cacat terbanyak berada di Kabupaten Tolikara sebanyak 953 orang, sedangkan pada daerah yang dikunjungi terbanyak berada di Kota Jayapura sebanyak 408 orang. Tabel 4.39 Jenis Cacat Menurut Jenis Kabupaten/Kota Tahun 2010
JENIS CACAT NO
1
KABUPATEN/KOTA
2
NETRA
3
RUNGU WICARA
4
TUBUH
5
MENTAL
6
GANDA
7
JUMLAH
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Jayapura Kabupaten Yapen Waropen Kabupaten Biak Numfor Kabupaten Asmat Kabupaten Tolikara Kabupaten Sarmi Kabupaten Keerom Kabupaten Waropen Kota Jayapura Jumlah
36 35 142 190
12 82 125
269
10 82 82
14 19
36 164 531
18 26
403
1055
77
Terkait permasalahan PMKS, tabel berikut memperlihatkan banyaknya masalah kesejahteraan sosial yang tercatat di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Papua: Tabel 4.40 Banyaknya Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Menurut Jenis dan Kabupaten/Kota 2010
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
171
NO
1
KABUPATEN/KOTA
2
BALITA TERLANTAR
3
ANAK TERLANTAR
4
1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten Merauke Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Jayapura Kabupaten Nabire Kabupaten Yapen Waropen Kabupaten Biak Numfor Kabupaten Paniai Kabupaten Mimika Kabupaten Peg. Bintang Kabupaten Tolikara Kabupaten Keerom Kabupaten Warooen Kabupaten Supiori Kota Jayapura Jumlah
15 12 6 93 126
Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, Tahun 2011
Tabel di atas menunjukkan variasi PMKS di Provinsi Papua, daerah paling banyak jumlah orang lanjut jompo terlantar adalah Kabupaten Keerom sebanyak 557 orang, lalu Kabupaten Yapen Waropen sebanyak 458 orang, kemudian Kota Jayapura sebanyak 297 orang. Sedangkan anak terlantar terbanyak di Kabupaten Jayawijaya, di Kota Jayapura sebanyak 162 anak. Adapun untuk perkembangan banyaknya jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial dari tahun ke tahun terangkum dalam tabel berikut. Jumlah bayi terlantar di Provinsi Papua antara 2006-2008 mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 11639 bayi menjadi 27 bayi pada tahun 2008. Namun tahun 2009 jumlah balita terlantar mengalami kenaikan menjadi 252 bayi. Kecenderungan serupa terjadi pada perkembangan jumlah anak terlantar, lansia terlantar, tuna susila, wanita tuna susila, penyandang cacat, maupun bekas narapidana. Secara umum jika dibandingkan kondisi antara tahun 2006 dan 2010, banyaknya PMKS mengalami perkembangan yang positif dengan berkurangnya jumlah PMKS pada umumnya. Namun untuk PMKS bekas penderita penyakit kusta, justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 66 orang di tahun 2006 menjadi 6289 di tahun 2010. Demikian halnya dengan banyaknya perempuan korban kekerasan yang mengalami peningkatan dari 55 orang di tahun 2006 menjadi 1782 orang di tahun 2010. Tabel 4.41 Perkembangan Banyaknya PMKS menurut Jenisnya di Provinsi Papua Tahun 2006-2010 NO PMKS 2006 PROVINSI PAPUA 2007 2008 2009 2010
172
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Balita Terlantar Anak Terlantar Lansia Terlantar Anak Jalanan Anak Jermal Anak Nakal Anak Korban Tindak kekerasan Korban Narkotika Wanita Rawan Sosial Ekonomi Wanita Korban Kekerasan Tuna Susila Wanita Tuna Susila Penyandang Cacat Bekas Penderita Penyakit Kusta Gelandangan dan Pengemis Bekas Narapidana Perintis Kemerdekaan
11,639 57,122 21,973 963 37,165 55 3,084 28,556 55 2,124 2,040 7,004 66 632 119
252 2,004 3,073 (824) 280 321 1,957 482 1,039 263 7,629 533 473 130
2,383 3,732 397 194 90 1,782 482 653 263 6,289 471 283 120
Disamping masalah PMKS, dalam hal ini perlu juga diketahui keluarga PMKS, sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.42 Keluarga Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Menurut Jenis dan Kabupaten/Kota 2010
NO
1
KABUPATEN/KOTA
2
Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Yapen Waropen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo Peg. Bintang Tolikara Sarmi 5 17 1.006 8.577 17 3.511 15.588 2.000 2.088 484 508 346 131 75 4.384 1.213 1.215 3.247 4.542 2.112 2.147 1.882 779 1.213 943 1.647 880 112 195 484 250 684 117 762 140 150 14.911 2.000 125 -
173
NO
1
KABUPATEN/KOTA
2
17 18 19 20 Kota 21
26.182
Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir, Provinsi Papua, Tahun 2011
Para PMKS berasal dari keluarga dengan kondisi yang tidak mendukung pencapaian kehidupan yang lebih baik. Mereka menjadi seperti saat ini karena peran keluarga yang sangat besar bagi pribadi yang bersangkutan. Setidaknya terdapat 4 latar belakang keluarga yang meliputi: perumahan dan lingkungan tidak sehat, KAT, korban bencana alam dan fakir miskin & keluarga miskin. Perumahan dan lingkungan yang tidak sehat akan mempengaruhi perilaku seseorang menjadi tidak sehat pula, akibatnya menimbulkan masalah. Kedua, KAT yakni jumlah kepala keluarga (KK), lalu korban bencana alam dan fakir miskin & keluarga miskin yang pada akhirnya mempengaruhi seseorang menjadi PMKS. Keluarga PMKS tersebut mengalami perkembangan yang bervariasi dari tahun ke tahun. Tabel berikut merangkum perkembangan jumlah keluarga PMKS dari tahun 2006-2010. Secara umum keluarga PMKS dengan Perumahan dan Lingkungan tidak Sehat, keluarga korban bencana alam, serta keluarga Fakir Miskin dan Keluarga Miskin mengalami kecenderungan adanya penurunan jika dibandingkan antara kondisi tahun 2006-2010. Adapun jenis keluarga PMKS yang mengalami kenaikan jika dibandingkan antara kondisi tahun 2006 dan 2010 adalah keluarga komunitas terpencil. Tahun 2006 tercatat sejumlah 32.721 keluarga komunitas terpencil, namun pada tahun 2010 banyaknya keluarga komunitas terpencil mengalami peningkatan menjadi 41.122. Yang menarik perhatian dari keseluruhan jenis keluarga PMKS tersebut adalah adanya kecenderungan terjadinya lonjakan jumlah keluarga PMKS tersebut dari tahun 2008 ke tahun 2009. Hal ini perlu informasi lebih lanjut terkait latar belakang kondisi tersebut.
Tabel 4.43 Perkembangan Banyaknya Keluarga PMKS di Provinsi Papua Menurut Jenis Tahun 2006-2010 NO
1
KELUARGA PMKS
2
2006
3
2010
7
174
1 2 3 4
Perumahan dan Lingkungan tidak Sehat Komunitas Terpencil Korban Bencana Alam Fakir Miskin dan Keluarga Miskin
Kondisi dan permasalahan bidang sosial di Provinsi Papua Barat, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Papua. Di Provinsi Papua Barat, perkembangan banyaknya penyandang masalah kesejahteraan sosial terangkum dalam tabel berikut. Untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial wanita tuna susila, terdapat kecenderungan penurunan dari tahun 2007-2010. PMKS yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah penyandang masalah narkotika, dimana jumlahnya meningkat dari 19 orang di tahun 2009 menjadi 2115 orang di tahun 2010. Tabel 4.44 Perkembangan Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Papua Barat Tahun 2007-2010 NO
1
PMKS
2
2007
3
2010
6
1 2 3 4 5
Salah satu upaya penanganan masalah sosial yang dilakukan di Provinsi Papua Barat adalah melalui pemberian bantuan UKS bagi keluarga fakir miskin dan pembinaan serta pelayanan sosial bagi penderita cacat mental dan anak nakal. Perkembangan jumlah fakir miskin penerima bantuan serta penderita cacat mental dan anak nakal yang mendapat pembinaan dan pelayanan sosial dapat ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel 4.45 Banyaknya Keluarga Fakir Miskin yang Memperoleh Bantuan UKS serta Penderita Cacat Mental dan Anak Nakal Yang Mendapat Pembinaan dan Pelayanan Sosial di Provinsi Papua Barat Tahun 2007-2010
NO
1
Pelayanan Sosial
2
Tahun 2007
3
2008
4
2009
5
2010
6
175
1 2 3
Terdapat perkembangan positif untuk keluarga fakir miskin yang memperoleh bantuan UKS dalam kurun tahun 2006-2010. Adapun untuk penderita cacat mental dan anak nakal, terdapat kecenderungan penurunan jumlah penerima pembinaan dan pelayanan sosial. Secara umum penanganan masalah sosial di Provinsi Papua Barat juga belum mendapat perhatian yang cukup. Sejumlah upaya program/kegiatan pun telah dilakukan oleh pemda provinsi maupun kabupaten/kota di Papua khususnya. Terdapat beberapa program yang telah dilaksanakan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, di antaranya: Program pemberdayaan fakir miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), dengan kegiatan-kegiatan: pengadaan sarpras pendukung bagi keluarga miskin, peningkatan kesejahteraan sosial keluarga, pemberdayaan KAT; Program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, dengan kegiatan-kegiatan: penanganan masalah strategis menyangkut tanggap cepat darurat dan kejadian luar biasa, pelayanan dan perlindungan kesejahteraan sosial lanjut usia, pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak nakal, pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat, pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat; Program pembinaan anak terlantar, dengan kegiatan pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar; Program pembinaan eks penyandang penyakit sosial (eks narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya); Program pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, dengan kegiatan: pembinaan generasi muda, koordinasi informasi strategis, penyuluhan sosial, pembinaan organisasi, yayasan dan panti sosial, bantuan penghargaan dan bimbingan kepada tokoh perintis/pahlawan yang berjasa terhadap masyarakat, pembinaan dan peningkata sarana keagamaan, wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat, peningkatan akses jaminan sosial, pemberdayaan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, pendayagunaan sumber dana sosial; Program pembinaan kehidupan umat beragama, dengan kegitan: peningkatan kegiatan keagamaan, peningkatan pendidikan keagamaan, dan pelatihan manajemen lembaga keagamaan; Program penunjang pendidikan tinggi negeri dan swasta, dengan kegiatan: bantuan penunjang pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu.
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
176
Dari ketujuh program tersebut, kiranya jelas bahwa persoalan sosial ternyata memiliki spektrum yang sangat luas sehingga memerlukan kejelasan pembagian, mana yang menjadi ranah penyelenggaraan Otonomi Khusus menurut UU 21/2011 dan mana yang menjadi ranah UU 32 Tahun 2004. Sebut saja, dari 7 program dan sekian kegiatan, program apa yang akan dibiayai dengan dana Otonomi Khusus? Sebagai contoh, di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Jayapura, dengan dana Otonomi Khusus sebesar Rp. 6,2 M digunakan untuk membiayai 3 program dan 3 kegiatan (2010) yaitu pembangunan rumah layak huni20 dan tempat ibadah21 bagi komunitas adat terpencil (KAT), penataan rumah masyarakat local 22 dan pelatihan keterampilan bagi pencari kerja.23 Tabel berikut menunjukkan besaran dana APBD yang digunakan untuk membiayai kewenangan bidang sosial. Tabel 4.46 Anggaran Bidang Kesos Provinsi Papua Tahun 2008 dan 2010 No
1
PROGRAM
2
2010 (Rp)
4
1.
2. 3. 4.
5. 6. 7.
Pemberdayaan fakir miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial Pembinaan anak terlantar Pembinaan eks penyandang penyakit sosial (eks narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya) Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial Pembinaan kehidupan umat beragama Penunjang pendidikan tinggi negeri dan swasta Jumlah
Di Provisi Papua dana yang dikeluarkan untuk mendanai 7 program sebesar 17,7 M tahun 2008 dan 14 M tahun 2010. Namun demikian tidak ada kejelasan mengenai berapa jumlah dana yang berasal dari dana Otonomi Khusus dan berapa jumlah yang berasal dari sumber lainnya. Ketidakjelasan tersebut diakibatkan karena tidak adanya guidance yang jelas dari pemerintah provinsi. Hal ini sejalan dengan pengakuan narasumber, dana Otonomi Khusus
Rumah layak huni yang dimaksud disini adalah rumah type 36 Gereja, masjid, dan lain-lain sesuai kebutuhan pemeluk agamanya 22 Disebut juga pembangunan rumah bagi penduduk local sebagaimana yang telah dilakukan di Distrik Kaureh, Distrik Yapsi, Distrik Demta 23 Pelatihan keterampilan kerja bagi pencari kerja di 5 distrik dan 7 kampung di Kab. Jayapura, dan pengadaan alat pertukangan bagi peserta pelatihan
20 21
177
yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari para pengambil kebijakan daerah. Pernyataan pejabat di Dinas Sosial Kabupaten Manokwari menunjukkan hal tersebut: Kewenangan bidang sosial selalu mendapatkan porsi yang minim dalam penganggaran di daerah. Tiap tahun kami selalu memperoleh dana Otonomi Khusus yang tidak sesuai dengan harapan. Bahkan, karena kecilnya dana yang kami terima dari dana Otonomi Khusus, kami merasa tidak diprioritaskan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Barat, sehingga masalah sosial, khususnya seperti penanganan panti asuhan/panti jompo tidak memperoleh pendanaan yang memadai.
Bidang sosial belum tertangani dengan baik dalam pelaksanaan otonomi khusus. Dana otsus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan masalah sosial menjadi kurang optimal. Dalam bidang sosial, diperlukan kejelasan hal-hal yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi khusus di bidang sosial.
PASAL
2
PERIHAL
3
PENGATURAN
4
KET
5
Lambang daerah
Perdasus
Pelaksanaan kewenangan Provinsi Papua Pelaksanaan Kewenangan daerah kabupaten dan kota Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur tentang Perjanjian Internasional yang dibuat oleh pemerintah terkait Kepentingan Provinsi Papua
Belum Terbit (Perda Papua Barat No. 2 Tahun 2006 Tentang Lambang Daerah) Belum Terbit Perdasus Belum Terbit Belum Terbit
3 4
178
NO
1
PASAL
2
PERIHAL
3
PENGATURAN
4
KET
5
Perdasus
Perdasus
Perdasus
Hak MRP
Perdasus
Kewajiban MRP
Perdasus
10
Perdasi
11
Pengaturan perangkat dan kepegawaian baik Provinsi Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya dan DPRP, MRP
Perdasi
Sudah Terbit Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Sudah Terbit Perdasus Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Keanggotaan dan Jumlah anggota MRP Sudah Terbit Perdasus Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Tugas dan wewenang MRP Sudah Terbit Perdasus Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban MRP Sudah Terbit Perdasus Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban MRP Sudah Terbit Perdasus Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pemilihan Anggota MRP Sudah Terbit Perdasi Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD dan Staf Ahli Gubernur Perdasi Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja DinasDinas Daerah Provinsi Papua Perdasi Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Provinsi Papua Belum Terbit
12
13
Kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil Tata cara pemberian pertimbangan dan
Perdasi
Perdasi
179
NO
1
PASAL
2
PERIHAL
3
PENGATURAN
4
KET
5
persetujuan MRP
14
15
Fungsi, Tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaaan Komisi Hukum Ad Hoc Pembagian Penerimaaan dalam rangka otonomi khusus
Perdasi
Perdasus
16 17
Ketentuan Pinjaman luar negeri Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Perekonomian di Provinsi Papua serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi Papua tugas kepolisian di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat, termasuk pembiayaan Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendidikan di Provinsi Papua
Perdasi Perdasi
Sudah Terbit Dibuat dengan Perdasi No 2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Belum Terbit Belum Terbit
18
Perdasus
19 20
Perdasi Perdasi
Sudah terbit Perdasus Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan Belum Terbit Belum Terbit
21
Perdasi
22
Perdasi
Sudah terbit Perdasi Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua Sudah terbit Perdasi Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pembinaan Kebudayaan Asli Papua
23
Kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan Kewajiban merencanakan dan melaksanakan programprogram perbaikan dan peningkatan gizi penduduk
Perdasi
24
Perdasi
Sudah terbit Perdasi Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pelayanan Kesehatan Belum terbit
180
NO
1
PASAL
2
PERIHAL
3
PENGATURAN
4
KET
5
25
Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua Pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup
Perdasi
26
Perdasi
Sudah terbit Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Kependudukan Belum terbit
27
Perdasi
28
29
30
kewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah social Perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua Pengawasan sosial dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggung jawab
Perdasi
Sudah terbit Perdasi Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pelestarian Lingkungan Hidup dan Belum terbit
Perdasus
Belum Terbit
Perdasus
Belum Terbit
Sumber: Subdit Otonomi Khusus Wil. II Dit. PDOD Ditjen OTDA Kemendagri.
Perdasus dan Perdasi yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah sebanyak 13 Perdasus dan 18 Perdasi, sampai dengan saat ini untuk Provinsi Papua sudah menerbitkan 7 Perdasus, sedang dalam proses 5 Perdasus, dan belum diproses 1 Perdasus sedangkan terkait Perdasi sudah menerbitkan 8 Perdasi, sedang dalam proses 8 Perdasi dan belum diproses 2 Perdasi. Sementara itu, untuk Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Sampai saat ini Provinsi Papua Barat belum ada menerbitkan Perdasus, sedang dalam proses 8 Perdasus, dan belum diproses 5 Perdasus, sedangkan terkait Perdasi sudah menerbitkan 1 Perdasi, sedang dalam proses 2
181
Perdasi dan belum diproses 16 Perdasi. Dari sisi anggaran, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Barat menggunakan peraturan gubernur, di antaranya: 1) 2) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Otonomi Khusus dan Tambahan Dana Infrastruktur Tahun Anggaran 2009. Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Bantuan Alokasi Otonomi Khusus dan Tambahan Dana Infrastruktur Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota/Distrik/ Kampung. 3) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 900/8/V/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer Atas Bantuan Alokasi Dana Otonomi Khusus dan Tambahan Dana Infrastruktur Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota/Distrik/Kelurahan/ Kampung. Kondisi di lapangan menyebutkan amanat tersebut 13 Perdasus dan 18 Perdasi belum semuanya dibuat. Kadangkala mengalami keterlambatan seperti yang diungkapkan oleh PP Otda dalam kemandegan legislasi kemandegan otonomi khusus, yaitu Pemerintah provinsi Papua mengajukan draf Perdasus selalu mengalami penolakan oleh pemerintah pusat, hal inilah yang menjadi ungkapan dari berbagai kalangan yang menyatakan bahwa telah terjadi kemandegan legislasi Hasil kuesioner yang diterima oleh Tim peneliti bahwa mayoritas responden bahwa mayoritas menyatakan bahwa penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus sering terlambat 50%, bahkan sebanyak 34% responden menyatakan bahwa penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selalu terlambat. Hanya 8% yang menyatakan sudah baik atau sering tepat waktu dan 8% menyatakan kadang-kadang saja.
Gambar 4.47. Persepsi terhadap Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan Perdasus dan Perdasi
182
Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selain disebabkan permasalahan kemandegan legislasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan anggaran juga masih menjadi kendala klasik. Diagram berikut akan menjelaskan dukungan anggaran bagi penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus. Gambar 4.48. Persepsi Terhadap Anggaran Bagi Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan Perdasi dan Perdasus
Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan anggaran dalam penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus masih kurang memadai 50% dan sedang 8%. Tentu bukan hal yang menggembirakan, mengingat urgensi kebijakan lokal dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat. Dari hasilhasil tersebut, terlihat bahwa sumber daya pendukung dalam implementasi kebijakan dapat dikatakan masih belum memadai. Permasahan lainnya adalah dalam proses penyusunan Perdasus dan Perdasi, selama ini diserahkan kepada konsultan luar Papua yang kadang-kadang tidak memahami Otonomi Khusus secara kontekstual (konteks Papua) tentang apa yang menjadi kekhususan yang harus diatur, terutama untuk sebuah rancangan Perdasus24.
24
http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/07/28/perdasus-perdasi-penantian-tak-berujung/ Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
183
Dalam bukunya Satu Setengah Tahun Otonomi Khusus Papua Refleksi dan Prospek (2003), Dr. Agus Sumule salah satu mantan anggota tim asistensi UU Otonomi Khusus Papua, salah satu hambatan keterlambatan dari penyusunan Perdasi dan Perdasus adalah pemikiran bahwa bahwa penyusunan Perdasi dan Perdasus memerlukan sekian banyak Peraturan Pemerintah (PP) untuk implementasinya. Padahal keunikan UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah bahwa peraturan pelaksanaannya cukup dalam bentuk Peraturan Daerah, baik Perdasus maupun Perdasi, dan tidak membutuhkan Peraturan Pemerintah pusat sebagaimana undangundang yang draftnya pun harus dimasukkan dari Papua. Dr. Agus Sumule kemudian menyatakan bahwa, lamban dan lambatnya penyusunan peraturan-peraturan pelaksana UU Nomor 21 Tahun 2001 menunjukkan bahwa sesungguhnya sementara Papua menyia-nyiakan kesempatan dan peluang untuk merancang sendiri hampir semua aspek pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan agar sedapat mungkin sesuai dengan kekhasan sosial-budaya, politik dan ekonomi di Papua. Padahal kalau kita mengacu pada Pasal 75 UU Nomor 21 Tahun 2001 disana ditegaskan bahwa Peraturan pelaksana yang di maksud Undang-undang Otonomi Khusus ini ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan. Karena memang dikuatirkan pemerintah pusat mengambil alih sebagian kewenangan itu untuk membentuk peraturan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan semangat UU Otonomi Khusus sendiri seperti yang bisa dilihat dari mulai dari lahirnya Inpres Nomor 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45/1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinisi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota sorong, kemudian Tahun 2007, lahirlah Inpres Nomor 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinisi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan Perpu Nomor 1/2008 tentang Perubahan atas UU Otonomi Khusus Papua.
D. Masalah-Masalah Kebijakan dan Implementasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Kebijakan
Mencermati berbagai persoalan otonomi khusus Papua dan Papua Barat sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, menjadi jelas bahwa permasalahan Otonomi Khusus pada dasarnya menyangkut 2 ranah yakni kebijakan dan implementasi kebijakan. Artinya, kegagalan Otonomi Khusus yang selama ini dtuduhkan kepada penyelenggara Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat sesungguhnya kekurangberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus tersebut tidak hanya melulu kealpaan para pelaksana di daerah namun (mungkin) juga terdapat andil kesalahan para perumus kebijakan di level Pemerintah.
184
1. Permasalahan Pada Ranah/Dimensi Kebijakan Permasalahan yang terjadi pada ranah kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat menyangkut hal-hal sebagai berikut: a. Terjadi disharmoni dan inkonsistensi kebijakan, sebagaimana diketahui dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat terdapat dua peraturan perundang-undangan yaitu UU 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008. UU generik atau simetris berlaku di seluruh daerah dan menitikberatkan otonominya di kabupaten/kota, sementara UU Otonomi Khusus atau asimetris menitikberatkan otonominya di level provinsi. Implikasinya, terjadi kerancuan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah, khususnya di level pemerintah kabupaten/kota karena di satu sisi mereka menjalankan otonomi khusus dan di sisi lain mereka harus menjalankan otonomi generik. Akibatnya, terjadi pula apa yang disebut sebagai inkonsistensi kebijakan, dimana pemerintah kabupaten/kota mengalami kerancuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan serta pengelolaan pembiayaannya. Dualisme kebijakan tersebut terus-menerus terjadi dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, sehingga cukup menghambat pelaksanaan pembangunan daerah di berbagai sektor. b. Belum diterbitkannya sebagian besar peraturan pelaksana UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 yang meliputi Perdasus dan Perdasi yakni sebanyak 13 Perdasus dan 18 Perdasi. Sebagai operasionalisasi UU Nomor 21 Tahun 2001 dan UU Nomor 35 Tahun 2008, terbitnya perdasus dan perdasi tersebut merupakan sebuah keharusan. Di satu sisi, belum terpenuhinya sejumlah perdasus dan perdasi yang diisyaratkan dalam undang-undang berimplikasi pada ketidakjelasan arah kebijakan dan pengelolaan kewenangan khusus. Namun di sisi lain, perdasus dan perdasi yang telah diterbitkan pun belum sepenuhnya sesuai dan selaras dengan amanat undang-undang untuk mensejahterakan rakyat Papua dan Papua Barat. c. Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang manajemen penyelenggaraan Otonomi Khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas, jelas dan terukur. Misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum menjadi acuan yang terukur untuk dapat membedakan mana urusan yang harus dikelola oleh provinsi atau kabupaten/kota. Akibatnya, kinerja yang dicapai pada bidang ini menjadi tidak optimal, termasuk akuntabilitasnya. d. Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang. Misalnya, pada bidang sosial di dalam Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan Pemerintah Provinsi
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
185
sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial. Seperti apa ruang lingkup dan indikator yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini, tidak ada kejelasan. Contoh lainnya, perihal kependudukan, sesungguhnya apa yang menjadi indikator untuk menilai keberhasilan pelaksanaan urusan kependudukan dan ketenagakerjaan di Papua dan Papua Barat. 2. Permasalahan Pada Ranah/Dimensi Implementasi Kebijakan Berbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dapat diidentifikasikan sebagai berikut: a. Keuangan Khusus dan Pengelolaannya Persoalan mendasar dalam implementasi keuangan Otonomi Khusus dan pengelolaannya adalah belum tersedianya peraturan pelaksana dalam bentuk perdasus yang mengatur alokasi dan distribusi dana Otonomi Khusus yang disampaikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Amanat pasal 34 ayat (7) tersebut belum dapat dilaksanakan oleh DPRP/DPRPB, MRP dan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua Barat. Hal ini menyebabkan pengelolaan keuangan/dana Otonomi Khusus selama ini hanya didasarkan atas Peraturan Gubernur (Pergub). Artinya, alokasi dan distribusi yang telah dilaksanakan sedemikian rupa, dimana 40:60 untuk Provinsi Papua (40% untuk Provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota) dan 30:70 untuk Provinsi Papua Barat (30% untuk Provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota) sesungguhnya masih belum mencerminkan demokrasi lokal karena tidak melibatkan peran DPRP/DPRPB serta MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat. Persoalan krusial lainnya adalah terkait dengan keterlambatan transfer/dropping dana Otonomi Khusus dari provinsi ke kabupaten/kota, karena keterlambatan transfer dari pusat ke provinsi. Memang diakui, hal ini sudah dicoba jalan keluarnya dengan memperbaiki pencairan dengan menggunakan sistem termin, namun ternyata belum menunjukkan hasil yang positif. Keterlambatan pencairan dana otonomi khusus masih saja terjadi, hal ini memaksa pemerintah daerah untuk meminjam kas DAU dan akan dikembalikan setelah dana otonomi khusus direalisasikan. Permasalahan lain yang dihadapi dalam alokasi dan distribusi keuangan adalah menyangkut transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembagian serta bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada menurunnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah. Terakhir, persoalan yang membelit bidang keuangan dan pengelolaannya adalah terkait ketiadaan payung hukum yang jelas mengenai program dan kegiatan yang akan
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
186
didanai dari dana otonomi khusus dimaksud. Memang, Pergub yang diterbitkan sudah cukup memberikan arah program dan kegiatan prioritas, namun aturan ini pun belum dapat dilaksanakan secara optimal karena substansinya masih kurang lengkap dan di sisi lain pemerintah kabupaten/kota cenderung tidak mematuhi ketentuan pergub karena memiliki agenda prioritas tersendiri. b. Kelembagaan Khusus MRP sebagai lembaga kultural, ternyata selama ini masih disibukkan dengan ranah politik seperti rekomendasi perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota harus orang asli Papua, dan lain-lain. Meskipun disatu pihak, sejumlah kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga kultural yang semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan. c. Kewenangan Khusus Kebijakan pelaksanaan kewenangan khusus sejatinya dibiayai dengan dana Otonomi Khusus, kebijakan alokasi dana Otonomi Khusus yang selama ini dilakukan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pun tidak didasarkan atas model pelaksanaan kewenangan khusus secara proporsional. Pembagian 40% untuk Provinsi Papua dan 30% untuk Provinsi Papua Barat tidak pembagian tersebut dianggap tidak dibarengi dengan lingkup pelaksanaan adil, karena belum sepenuhnya kewenangan yang ada di provinsi. Sementara itu, dari sisi pemerintah kabupaten/kota
mempertimbangkan karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di daerah kabupaten/kota, seperti daerah berkarakter pegunungan, dataran, pedalaman, pesisir, termasuk pertimbangan jumlah penduduk (demografi), dan sebagainya. Pembagian 40:60 dan 30:70 yang telah dilaksanakan di kedua provinsi masih menimbulkan persoalan jika dikaitkan dengan program dan kegiatan prioritas mana yang dibiayai. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Papua yang memegang alokasi 40% mengalokasikan dana otonomi khusus kepada 4 (empat) bidang yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, bahkan sampai ke kabupaten/kota. Sementara di lingkup pemerintah kabupaten/kota, pun melaksanakan program prioritas yang juga membiayai keempat bidang dan program prioritas dimaksud. Bahkan, tidak jarang terjadi pemanfaatan dana otonomi khusus di kabupaten/kota yang tidak sesuai dengan ketentuan pergub dan atau amanat UU Nomor 21 Tahun 2001. Sebagai contoh: dibeberapa kabupaten dana otonomi khusus didistribusikan kepada SKPD-SKPD di luar 6 kewenangan khusus, ironisnya lagi justru SKPD yang menangani bidang kewenangan diperintahkan dalam undang-undang terkadang justru mendapatkan porsi yang sangat kecil. Hal ini terutama terjadi pada kewenangan
187
khusus yang tidak menjadi mainstream penyelenggaraan otonomi khusus seperti kewenangan bidang lingkungan hidup dan bidang sosial. Dalam hal perekonomian, Meskipun telah terbit Perdasus Nomor 18/2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan, pada kenyataannya pendanaan dan implementasi ekonomi kerakyatan belum memberikan pengaruh signifikan bagi kehidupan dan kesejahteraan rakyat Papua. Sementara di Provinsi Papua Barat belum terbit Perdasus mengenai Perekonomian Berbasis Kerakyatan, namun hal ini telah diintegrasikan dalam rencana strategis BP3D dan menjadikannya ke dalam salah satu program prioritas ekonomi kerakyatan. Namun sebagaimana di Provinsi Papua, alokasi dana untuk bidang kewenangan ekonomi kerakyatan mendapat porsi yang kecil sehingga efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, minimnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan dan persoalan distribusi tenaga pendidik, sarana dan prasarana pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, tertinggal dan terisolir. Hal yang sama juga berlaku dialami dalam bidang kesehatan dimana minimnya sarana pelayanan dan alat-alat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga se tingkat Rumah Sakit. Sarana pelayanan kesehatan, meski cenderung mengalami peningkatan jumlahnya, namun belum mencukupi, ditambah penyebaran tenaga kesehatan relatif tidak merata karena sebagian besar hanya ingin berada di kota besar. Ketiadaan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis juga menjadi catatan tersendiri bagi kedua bidang ini, yang pada akhirnya menghambat kebijakan affirmative action yang menjadi keharusan dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Sementara, permasalahan kependudukan tergambar bahwa orang asli Papua sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan yang sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberadaan orang asli Papua namun demikian kebijakan akan pembatasan masuknya orang luar Papua (Perdasi Nomor 15 Tahun 2008) justru menimbulkan kontraproduksi dengan tujuan penyusunannya ditambah dengan rendahnya kualitas masyarakat dan tingkat pendidikan orang asli Papua sehingga produktifitas dan kemampuan daya saing masyarakat asli Papua kurang dibandingkan para pendatang. Hal inilah yang menyebabkan perlu pemikiran kebijakan yang sejalan dalam upaya menciptakan langkah konkrit yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan dampak lainnya melalui program-program penguatan kemampuan, produktifitas, dan pemberdayaan orang asli Papua.
188
Ketiadaan petunjuk teknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus juga dikeluhkan pada bidang pembangunan infrastruktur sehingga cenderung sasaran program pembangungan infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah dalam upaya mempermudah aksesibilitas. Berlanjut, kepada penanganan lingkungan hidup yang disikapi Pemerintah Provinsi dengan telah dikeluarkannnya Perdasi Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Peraturan Daerah Provinsi Papua No 22 Tahun 2008 yang mengatur perlindungangan dan Pengelolaan Sumber daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua, Pemerintah Provinsi menyadari bahwa hampir 80% dari wilayah tanah Papua adalah hutan sementara kerusakan hutan di Papua semakin meluas namun demikian belum dimilikinya tenaga penyidik bidang lingkungan hidup, laboratorium lingkungan di Provinsi, belum dimilikinya tenaga laboratorium lingkungan hidup dan belum efektifnya pendanaan bagi program pengelolaan lingkungan hidup menjadi kebutuhan yang harus segera tertanggani bagi pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Terakhir di bidang sosial, Masih tingginya angka kemiskinan dan penduduk yang tergolong PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) baik di Papua maupun di Papua Barat kurang dibarengi dengan alokasi dana Otonomi Khusus yang memadai untuk menunjang penanggulangannya, diakui memang bidang ini bukan merupakan bidang prioritas pemerintah daerah akan tetapi bidang ini tetap membutuhkan penanganan yang lebih baik dan terencana.
kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat antara lain sebagai berikut:
Peningkatan Kapasitas Percepatan Perbaikan Sumber Daya Manusia Penerbitan Kebijakan Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
189
1.
Jangka Pendek (1 s/d 2 Tahun ke depan) Persoalan besar dalam implementasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
sesungguhnya bukan semata berasal dari regulasi atau peraturan perundang-undangan (UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008) yang mengatur tentang pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua, namun persoalan utama adalah pada lemahnya kemampuan dan komitmen para penyelenggara Otonomi Khusus, baik penyelenggara yang ada di pusat maupun daerah, dalam rangka mensukseskan pelaksanaan Otonomi Khusus itu sendiri. Dengan demikian, munculnya keinginan untuk segera mengubah pengaturan Otonomi Khusus (UU Otonomi Khusus) sebagaimana yang sering disampaikan oleh beberapa kalangan, sebenarnya tidak salah namun untuk jangka pendek tidak tepat, karena pada kenyataannya belum seluruh amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Maka, strategi jangka pendek yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan otsus dan sekaligus menggugah komitmen semua pihak, baik Pusat dan Daerah, untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen. Dalam konteks peningkatan kapasitas (capacity building) penyelenggara kebjakan otsus meliputi upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan pengelolaan keuangan otsus menyangkut alokasi anggaran otsus dan transparansi dalam pengelolaan dan pertanggungjawabannya, peningkatan pengawasan yang menyangkut monitoring dan evaluasi penyelenggaraan otsus.
Peningkatan SDM yang dimaksud tersebut meliputi anggota DPRP/DPRPB, MRP dan aparatur pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Jika dilihat dari latar belakang tingkat pendidikan, baik anggota MRP maupun anggota DPRP/DPRPB memang telah memenuhi persyaratan perundangan karena terbukti mereka telah diusulkan dan akhirnya terpilih menjadi anggota. Namun dari sisi kompetensi dalam rangka menjalankan tugas pokok, jelas masih memerlukan peningkatan dan penajaman pada beberapa aspek tertentu. Sebagai anggota legislatif, peran pimpinan dan anggota DPRP/DPRPB sangat dinantikan terutama
190
dalam penyusunan produk-produk hukum daerah (perdasi) yang diamanatkan oleh UU 21 Tahun 2001, penyusunan anggaran dan pengawasan atas jalannya Otonomi Khusus. Demikian pula pimpinan dan anggota MRP/MRPB, diharapkan dapat memainkan perannya terutama dalam memberikan pertimbangan dalam penyusunan perdasus. Adapun penajaman kompetensi lebih diarahkan pada hal-hal khusus yang belum dikuasai oleh penyelenggara otonomi khusus, misalnya terkait penyusunan produk perundangan (legal drafting). Selain itu, para penyelenggara memerlukan pembekalan substansi penyelenggaraan otonomi khusus seperti persoalan pengelolaan keuangan, pendidikan, kesehatan, perekonomian/ekonomi kerakyatan, lingkungan hidup, kependudukan & ketenagakerjaan, dan sosial. Pemahaman yang cukup memadai mengenai hal-hal tersebut niscaya akan mendorong lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi dengan lebih baik. Tidak kalah penting, aparat pemerintah daerah pun perlu diberikan penajaman kompetensi dalam penyelenggaraan otonomi khusus, salah satunya kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Kemampuan mengelola keuangan daerah, dalam hal ini tidak hanya menyangkut kemampuan teknis akuntansi keuangannya, namun yang terpenting adalah pemahaman mengenai filosofi pengalokasian dan transfer dana otonomi khusus kepada pemerintah kabupaten/kota. Praktik pengalokasian dana otonomi khusus dengan perbandingan 60:40 di Provinsi Papua (60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi) dan 70:30 (70% untuk kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi) di Provinsi Papua Barat yang telah berlangsung saat ini, secara konsep dan implementasi masih memerlukan pembenahan. Disinilah perlunya upaya peningkatan kapasitas, tidak hanya kapasitas pengelolaan keuangan secara umum, namun pengelolaan keuangan yang mempertimbangkan terlaksananya alokasi anggaran yang adil untuk kabupaten/kota di wilayah masing-masing. Yang dimaksud adil tidak harus sama besarnya, tetapi adil dalam pengertian sesuai dengan kriteria dan indikator yang disepakati bersama.
Selain perlunya berbagai program peningkatan kapasitas sumber daya manusia khususnya aparatur di Provinsi Papua maupun Papua Barat melalui berbagai kegiatan bimbingan teknis, pelatihan/diklat, workshop, diskuai, pendidikan formal dan lain sebagainya, nampaknya Program Pendampingan (supervise) bagi Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilakukan dalam jangka pendek. Program Pendampingan (supervisi) adalah penugasan pegawai di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga Pemerintah lainnya dalam suatu gugus tugas untuk memberikan fasilitasi dalam rangka peningkatan kapasitas teknikal dan manajerial kepada aparatur pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menimgkatkan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
191
Agar pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dikawal dengan baik perlu dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan otonomi khusus setiap tahun sebagai kegiatan rutin untuk melihat seberapa jauh efektivitas pelaksanaan otonomi khusus dan mengidentifikasikan berbagai permasalahan yang dihadapi agar solusi pemecahan masalah dapat dilakukan sedini mungkin. Untuk itu perlu di desain suatu instrument evaluasi pelaksanaan otonomi khusus yang komprehensif. 2. Jangka Menengah (3 s/d 5 Tahun kedepan) Fakta-fakta yang terungkap di atas, mengindikasikan bahwa sejak awal diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua, birokrasi Kabupaten/Kota se Provinsi Papua masih mengalami banyak kendala dalam permasalahan teknis baik berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dalam pengimplementasian kebijakan di lapangan terlihat dari masih adanya persepsi berbeda dalam pengimplementasian terkait kebijakan otonomi khusus tersebut. Hal ini harus segera diantisipasi oleh Pemerintah Provinsi dengan segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis yang tepat sehingga dapat memberikan acuan yang jelas dalam penyelenggaraan otonomi khusus terutama dalam pengalokasian dana otonomi khusus. Sementara itu, berkaitan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 di tingkat daerah, saat ini Pemerintah Provinsi Papua baru menerbitkan 7 Perdasus dan 8 Perdasi sedangkan Provinsi Papua Barat telah menerbitkan 1 Perdasi. Namun masih ada Perdasi dan Perdasus yang belum terbentuk, sehingga dikhawatirkan dapat menghambat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 seperti belum pengelolaan dana Otonomi Khusus, yang sampai saat ini belum ada aturan pedoman penggunaannya akhirnya penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara Provinsi dan daerah kabupaten/kota di Papua. Ketiadaan Perdasi dan Perdasus menyebabkan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan amanat Otonomi Khusus. Salah satu penghambat proses penerbitan perdasus dan perdasi adalah belum diterbitkannya dasar hukumnya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) sehingga dalam hal ini Pemerintah Pusat juga harus segera menerbitkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang
192
merupakan dasar pembuatan peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 3. Jangka Panjang (5 s/d 10 Tahun ke depan) Terakhir, dalam jangka panjang diharapkan adanya penyempurnaan terhadap Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan otonomi khusus Papua dimaksudkan agar desain kebijakan lebih operasional, jelas dan mampu menjawab problem kebijakan. Penyempurnaan terkait dengan pasalpasal yang dianggap penting bagi peningkatan kualitas penyelenggaran otonomi khusus dan yang terpenting adalah garis besar arah penyempurnaan harus jelas dan tetap ditujukan untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua. Perbaikan kebijakan ke depan juga perlu mempertimbangkan suatu format kebijakan yang lebih detail dan operasional seperti perlunya pengaturan setingkat PP untuk aspek kewenangan khusus dan keuangan khusus sebagaimana kelembagaan khusus telah diatur dengan PP, sehingga dapat memandu jalannya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua dan Provinisi Papua Barat secara menyeluruh. Saat ini kebijakan yang ada banyak membutuhkan tindak lanjut kebijakan operasional baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Perdasus maupun Perdasi.
193
BAB V PENUTUP
P
1.
ada bagian ini akan dijelaskan tentang kesimpulan dari peneliti yang telah dilakukan, selain kesimpulan dan saran agar penelitian dengan tema yang serupa dapat lebih baik dan memberikan dampak yang positif bagi penyelenggaran otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
A. Kesimpulan
Berdasarkan gambaran yang telah diuraiakan dalam bagian sebelumnnya maka dapat ditarik suatu garis merah atau kesimpulan sebagai berikut : Masalahmasalah dalam level kebijakan yang perlu mendapat perhatian, sebagai bahan pertimbangan ke depan ditemukan beberapa hal sebagai berikut: a. Tidak adanya petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis mengakibatkan pelaksanaan kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup yang juga diatur oleh UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelolaan kewenangan tersebut. b. Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang manajemen penyelenggaraan otonomi khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas. c. Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus misalnya, pada bidang sosial, bagaimana ruang lingkup dan indicator yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini. d. Belum ada mekanisme dalam penambahan kuota kursi bagi DPRP yang diamanatkan UndangUndang Otonomi Khusus tersebut. e. Belum terbangunnya pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi strategis (DPRP/DPRPB, Pemerintah Provinsi, dan MRP) mengakibatkan kinerjanya yang tidak optimal, tidak jelas. ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara lembaga-
lembaga ini mengakibatkan munculnya konflik kepentingan bermain pada ranah yang
194
2.
Implementasi Kebijakaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan khusus, lembaga khusus dan kekhususan lainnya: a. Jumlah dana Otonomi Khusus dan dana tambahan infrastruktur yang telah diserahkan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, pengalokasian dana otsus dari pemerintahan provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana kebijakan dilakukan sebesar 60% Pemerintah Provinsi dan sisanya 40% dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua sedangkan pada Provinsi Papua Barat, Kabupaten/Kota mendapat proporsi alokasi yang lebih tinggi yaitu 70% untuk Provinsi dan 30% untuk Pemerintah Kabupaten/Kota. Penglokasian pada tiaptiap Kabupaten/Kota dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah, pendapatan asli daerah, pemerimaan pajak bumi dan bangunan, produk domestik regional bruto (PDRB) diharapkan dana Otonomi Khusus dapat memperkuat kemampuan keuangan Pemerintah Provinsi Papua serta pemerintah kabupaten dan kota dalam rangka percepatan pembangunan dengan tujuan mendukung pelaksanaan otonomi khusus Papua, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, antar wilayah, serta antar desakota. b. Dalam lembaga khusus, fungsi DPRP tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dalam mewujudkan perlindungan hakhak asli orang Papua, keterberpihakan kepada masyasarkat asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang melibatkan hubungan kerja antara DPRP, MRP dan Gubernur. c. Dalam penyelenggaraan otonomi khusus, telah banyak hal yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota terkait 6 (enam) bidang
kewenangan khusus yang harus dipenuhi yaitu: perekonomian, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan sosial dengan kebijakan `affirmative action` atau keberpihakan pada orang asli Papua seperti program pendidikan dan kesehatan gratis, penggratisan beras bagi masyarakat miskin, beasiswa bagi mahasiswa hingga program strata tiga, pengutamaan orang asli Papua dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil dan pembangunan pasar tradisional sebagai pusat pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi orang asli Papua.
195
d. Perdasus dan Perdasi sebagai pedoman penyelenggaraan otonomi khusus telah ada yang diterbitkan dan menjadi acuan pelaksanaan bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota walaupun belum sesuai target yang diharapkan. 3. Permasalahan kebijakan dan implementasi penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, terkait dengan pengelolaaan keuangan khusus dan pelaksanaan kewenangan khusus dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Aspek Keuangan Khusus dan Pengelolaannya Alokasi dana dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun pengelolaan dana otonomi khusus dalam prakteknya belum berjalan secara optimal. Belum adanya acuan yang jelas dalam pengelolaaan dana otonomi khusus tersebut, sehingga pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya seringkali mengalami kebingungan dalam hal pengalokasiannya. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum optimal dan masih dijumpai ketidaksesuaian pengelolaan dana dengan prioritas otonomi khusus. Pengaturan masalah pembagian dana otonomi khusus yang didistribusikan pemerintah provinsi kepada tiap jumlah kabupaten/kota penduduk asli masih Papua belum dan jelas
pengaturannya.
Keberadaan
kondisi
ketertinggalan belum sepenuhnya menjadi pertimbangan. b. Aspek Kelembagaan Khusus DPRP/DPRPB masih belum memperhatikan kepentingan orang asli Papua, sehingga tujuan utama penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat yaitu proteksi terhadap keberadaan orang asli Papua masih sering terabaikan. Keberadaan MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat yang merupakan lembaga kultural yang relatif baru, masih memerlukan penguatan terhadap anggota dalam memahami tugas dan wewenang, hak dan kewajibannya baik sebagai anggota MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat, maupun sebagai lembaga khusus. c. Aspek Kewenangan Khusus Dalam pelaksanaan 6 (enam) bidang kewenangan khusus, terdapat berbagai permasalahan sebagai berikut: Sektor ekonomi dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus. Pemerintah Papua
196
telah mencoba menerjemahkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan perdasus tentang ekonomi berbasis kerakyatan dan keberpihakan pada masyarakat adat dalam mendapat manfaat ekonomi dalam pengelolaan hutan. Di level kabupaten/kota telah diupayakan berbagai program ekonomi kerakyatan namun hasilnya belum optimal. Program pemberdayaan ekonomi kerakyatan efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian. Sektor pendidikan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapat perhatian yang lebih. Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam berbagai program-program peningkatan prasarana serta peningkatan kuantitas dan kualitas pendidik. Sejumlah program juga diterapkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan putra-putri asli Papua. Terdapat peningkatan partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan dalam kualitas pendidikan berupa ketersediaan sarana pendidikan dan sumber daya manusia pendidiknya. Bidang pendidikan mendapat dukungan yang besar dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD. Selama ini implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan belum diatur dengan perdasus. Perdasus pelayanan kesehatan baru ditetapkan tahun 2010 dan belum tersosialisasikan dengan baik. Kewajiban memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, terutama karena minimnya sarana pelayanan kesehatan dan tenaga bidang kesehatan. Terdapat berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakitpenyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk, namun masih belum optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka penderita gizi buruk dan kurang masih signifikan di kedua provinsi. Peningkatan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan karena kondisinya masih sangat kekurangan, khususnya pada daerah-daerah yang sulit dijangkau dan daerah pemekaran. Sumber daya manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan keuangan.
197
Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah ulayat.
Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus telah dilakukan di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan, sementara di Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang kependudukan. Di satu sisi hal ini dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Upaya untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk bisa lebih berdaya saing dalam memperoleh pekerjaan. Meski angka pengangguran terbuka mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini di Provinsi Papua maupun Papua Barat, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan perlunya upaya yang lebih baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan.
Dalam bidang lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan diantaranya telah dilakukan dengan menerbitkan perdasus telah diterbitkan perdasus tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Sementara untuk Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur
198
tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang konkrit. Upaya pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lindung serta pegelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan. Permasalahan lainnya dalam bidang lingkungan hidup ini adalah belum adanya lembaga independen dalam penyelesaiaan sengketa lingkungan kemudian juga diikuti dengan sarana prasarana pendukung dan terakhir SDM yang berlatar belakang lingkungan hidup. Bidang sosial belum tertangani dengan baik dalam pelaksanaan otonomi khusus. Dana Otonomi Khusus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan masalah sosial menjadi kurang optimal. Dalam bidang sosial, dengan spektrum yang sangat luas yang diatur harus ada pengaturan yang jelas antara mana yang menjadi ranah penyelenggaraan otonomi khusus menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 dan mana yang menjadi ranah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah sehingga memerlukan kejelasan hal-hal yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi khusus di bidang sosial. d. Perdasi dan Perdasus Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selain disebabkan permasalahan keterlambatan legislasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan anggaran juga masih menjadi kendala klasik
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut, untuk keberhasilan implementasi kebijakan penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, maka diajukan saran sebagai masukan bagi perbaikan implementasi program ini dimasa yang akan datang sebagai berikut: 1. Dalam tahapan Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat diajukan beberapa saran yang dapat memperbaiki pelaksanaannya dilapangan sebagai berikut:
199
a. Perlu adanya acuan yang jelas mengenai pengaturan bersama dalam hal penggunaan, pengalokasian dan transfer dana otonomi khusus selain itu diperlukan juga pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi yang lebih efektif dan efisien sehingga dana otonomi khusus benar-benar jelas pemakaiannya. b. Perlu adanya Juklak dan Juknis yang mengiringi penggunaan dana Otonomi Khusus agar lebih tepat sesuai dengan tujuan otonomi khusus sehingga ada ketegasan tentang bagaimana pencapaian sasaran/target yang harus dilakukan terkait penggunaan dana otonomi khusus. c. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otonomi khusus mulai dari perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, sampai pada tahapan monitoring dan evaluasi sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk terciptanya akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otonomi khusus. Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat dengan lebih memperhatikan jumlah penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan di setiap kabupaten/kota. Selain itu perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi, sehingga tidak terjadi keterlambatan dropping dana Otonomi Khusus. d. Peningkatan kapasitas yang berkesinambungan terhadap sumber daya yang ada bukan hanya lembaga khusus tetapi juga seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua, seperti halnya Anggota DPRP/DPRPB dan Aparatur Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. e. Pengelolaan dana otonomi khusus harus dilakukan secara transparan melalui laporan pertanggungjawaban publik dengan demikian fungsi kontrol akan berjalan efektif, sesuai dengan mekanisme yang berlaku untuk pengelolaan keuangan daerah. f. Perlu pengaturan yang jelas, mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus dan mana yang diatur Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah seperti pengaturan bidang pendidikan, kesehatan, sosial dimana bidang-bidang tersebut juga sudah ada Standar Pelayanan Minimal, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. g. Perdasi-perdasus perlu lebih disosialisasikan oleh pemerintah provinsi dan diikuti dengan upaya-upaya konkrit dari pemerintah kabupaten/kota.
200
2. Untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat ini berjalan secara lancar khususnya dalam faktor komunikasi dan kemampuan pegawai yang merupakan faktor penentu keberhasilan implementasi program ini, disarankan dilakukan komunikasi dan koordinasi internal maupun eksternal dari semua pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Provinsi, DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota) perlu ditingkatkan. 3. Untuk faktor-faktor lain yang menjadi pengaruh bagi keberhasilan kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat diajukan saran dan rekomendasi sebagai berikut : a. Kementerian Dalam Negeri, perlu menerbitkan peraturan yang berkaiitan dengan pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. b. Dibutuhkan dukungan bersama dari kementerian/lembaga terkait dalam
implementasi kewenangan khusus dalam bidang perekonomian, kependudukan dan tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dan sosial. Diharapkan kementerian/lembaga terkait dapat berperan sebagai katalisator terhadap pencapaian tujuan penyelenggaran otonomi khusus yaitu peningkatan taraf hidup masyarakat asli Papua melalui peningkatan dan percepatan pembangunan sarana dan prasarana dasar (pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat) di seluruh Papua, antara lain: prasarana perhubungan, transportasi dalam rangka membangun jaringan transportasi terpadu, ketersediaan air bersih, energi dan ketersediaan telekomunikasi yang cukup dan memadai bagi seluruh rakyat. c. Pembentukan daerah otonom baru harus dilakukan secara bersamaan dengan restrukturisasi beberapa kabupaten, kecamatan dan desa, sehingga kantor pemerintah daerah dapat lebih dekat, sehingga mudah diakses oleh masyarakat. d. Perdasus dan perdasi yang belum diterbitkan harus segera diselesaikan terutama yang berkaitan dengan pengelolaan dana otonomi khusus, kewenangan khusus, dan kelembagaan khusus yang sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaannya. Selama ini penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara provinsi dan daerah kabupaten/kota, hal inilah yang menimbulkan kerancuan dalam pengalokasiannya kepada masyarakat dan juga dibutuhkan penyempurnaan berbagai perdasus dan perdasi sehingga dapat lebih berpihak kepada masyarakat asli Papua seperti Perdasi Kependudukan harus lebih menitikberatkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar dapat memiliki
201
kesempatan yang sama dengan pendatang dalam hal pemenuhan lapangan pekerjaan. e. Untuk menjamin agar implementasi penyelenggaraan otonomi khusus ini dapat terimplementasi dengan baik, maka perlu memaksimalkan peran MRP sebagai fungsi pengawasan dari setiap tahapan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap orang asli Papua melalui pemberian pertimbangan dan persetujuan. Hal ini menyebabkan pentingnya bagi MRP untuk terus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan profesionalisme serta dengan terus memperbaiki sistem pemilihan anggota MRP. f. Pemerintah Provinsi Papua, kabupaten/kota, DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat mesti mensikronisasikan tugas dan wewenangnya dalam rangka melindungi, keberpihakan, dan memberikan peluang bagi orang asli Papua di bidang Kesehatan dan Pendidikan. g. Searah dengan tujuan penyelenggaran otonomi khusus di Papua dan Papua Barat yaitu dalam rangka pengingkatan taraf hidup masyarakat asli Papua untuk mengurangi kesenjangan dengan provinsi lainnya butuh dukungan dan waktu yang mencukupi sehingga penyelenggaraannya dapat mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan.
C. Srategi Perbaikan
Strategi perbaikan dalam memperkuat kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dapat dilasanakan berdasarkan jangka waktunya yaitu jangka pendek yang berlangsung 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun ke depan, Jangka menengah yang berlangsung 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun ke depan dan Jangka panjang yaitu 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun ke depan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam strategi perbaikan dapat dimulai dengan meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan Otonomi Khusus dan sekaligus memantapkan komitmen semua pihak, baik pusat maupun daerah untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen dengan Program Pendampingan (supervisi) dari pemerintah dalam memberikan fasilitasi dan advokasi guna peningkatan kapasitas teknikal dan manajerial. Jangka Pendek: 1) Meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan otonomi khusus dan sekaligus menggugah komitmen semua pihak, baik pusat dan daerah, untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen; 2) Perlu dilakukan pendampingan teknis untuk menyelesaikan Perdasi/Perdasus yang diamanatkan UU
Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
202
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008; 3) Setiap tahun perlu dilakukan Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus sebagai amanat pelaksanaan Pasal 78 UU Nomor 21 Tahun 2001, yang hasilnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk perumusan kebijakan dan implementasi otonomi khusus, serta dapat menjadi pertimbangan dalam pencairan alokasi dana otonomi khusus; dan 4) Untuk itu perlu segera disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus. Jangka Menengah, Strategi diarahkan untuk mendorong pemerintah pusat dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus, ataupun yang tidak diamanatkan tetapi diperlukan untuk menjalankan kewenangan khusus mengacu kepada Pasal 74 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jangka Panjang, perlu dilakukan penyempurnaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua agar desain kebijakan lebih operasional dan mampu menjawab problem kebijakan, dengan memperhatikan perkembangan dinamika sosial politik.
203