Вы находитесь на странице: 1из 13

Program Peningkatan Kapasitas Berbasis Masyarakat untuk Pengurangan Risiko bencana

Indonesia dilalui tiga lempeng tektonik yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Sebagai akibatnya, berbagai wilayah di Indonesia rawan bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Pengetahuan, pemahaman, kapasitas dan ketrampilan untuk mengantisipasi ancaman bencana alam tersebut sangat dibutuhkan untuk meminimalisir kerugian harta benda dan kehilangan nyawa. Antisipasi dan penanganan bencana bukan tanggung jawab pemerintah seutuhnya, tetapi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sejak tahun 2007, Bina Swadaya dengan dukungan Cordaid menyelenggarakan Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRB BM). PRB BM adalah sebuah proses pemberdayaan masyarakat yang partisipatif dalam mengelola sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana. Masyarakat diajak melakukan kajian bencana, membuat perencanaan mengelola bencana, dan melaksanakannya melalui kelompok swadaya masyarakat yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Melalui program ini, masyarakat diharapkan mampu mengelola risiko bencana secara mandiri untuk menghindari, mengendalikan risiko, mengurangi, maupun memulihkan diri dari dampak bencana. LOKASI PROGRAM Dusun Pucung, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY dengan ancaman gempa dan kekeringan Dusun Gajihan, Desa Pandes, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dengan ancaman gempa. Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan ancaman gunung meletus. KEGIATAN DAN HASIL Mitigasi Kegiatan mitigasi dilakukan langsung pada sumber ancaman untuk mencegah terjadinya bencana. Membangun tanggul untuk mencegah lereng longsor. Membangun jaringan saluran air bersih untuk mengatasi kekeringan. Melakukan konservasi hutan untuk menghambat laju awan panas dan debu vulkanik dari

gunung meletus. Kesiapsiagaan

Kegiatan kesiapsiagaan dilakukan untuk mengantisipasi bencana. Melakukan sosialisasi pemahaman kesiapsiagaan menghadapi bencana. Membangun Forum Pengurangan Risiko Bencana dan melakukan pelatihan-pelatihan manajemen serta pengembangan organisasi. Melakukan pemutakhiran data penduduk secara rutin. Menyusun standar prosedur penanganan bencana. Membuat peta desa, menentukan jalur evakuasi, lokasi pengungsian, dan sarana pendukung situasi tanggap darurat (emergency). Membangun / memperbaiki jalan untuk jalur evakuasi dan barak pengungsian. Melakukan simulasi evakuasi dan P3K. Memfungsikan transportasi masyarakat menjadi sarana evakuasi penduduk (ambulance). Mengadakan sarana komunikasi publik untuk peringatan dini bencana. Melakukan perekrutan dan pelatihan kader siaga bencana. Pengembangan Ekonomi dan Kegiatan Mata Pencaharian Kegiatan pengembangan ekonomi sebagai salah satu bentuk kesiapsiagaan dan mendorong ketersediaan dana masyarakat dalam mengelola PRB BM Koperasi masyarakat, tabungan bersama, dan asuransi. Pengolahan sampah. Selain bernilai ekonomi, juga untuk mencegah ancaman penyakit. Pariwisata desa, yaitu ekowisata, outbound, live in, promosi tradisi dan kesenian desa seperti tarian, tembang, perayaan alam dan desa, produksi wayang kulit, dsb. Lobby dan Advokasi Kegiatan lobby dan advokasi ke pemerintah local (desa) untuk mendorong pengintegrasian penanganan bencana ke dalam program pembangunan desa. Disahkannya Peraturan Desa yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan pengurangan risiko bencana. Yaitu, Peraturan Desa (Perdes) Penanganan Bencana dan Perdes Tata Kelola Lingkungan. Dialokasikannya dana desa untuk program pengurangan risiko bencana. Dirancangnya pembangunan desa secara fisik dan non fisik yang mengacu kepada pengurangan risiko bencana. Jejaring Pemerintah desa dan Forum berjejaring dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong penyebaran isu, membangun komunikasi dan kerjasama, serta berbagi pengalaman. Pemerintah dari tingkat desa hingga propinsi. Kelompok masyarakat / paguyuban dari tingkat desa hingga propinsi Organisasi lokal dan internasional. Dunia pendidikan, perusahaan, media massa, dll.

Bancana alam sering tak terduga datangnya. Secara tiba-tiba bencana bisa datang tanpa diprediksi. Saat ada bencana terjadi kepanikan, ketakutan dan ketidakberdayaan pada masyarakat. Ketidakmampuan melakukan sesuatu untuk meminimalkan risiko bencana

sering terjadi di lokasi bencana. Kerugian yang diakibatkan oleh bencana yang terjadi semakin besar dan semakin menambah derita korban. Masyarakat Indonesia di berbagai daerah akrab dengan bencana alam sejak zaman dulu. Kesuburan sebagian besar tanah Indonesia ternyata diiringi dengan potensi bencana yang besar. Di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua masyarakatnya sering tertimpa bencana baik itu gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lain-lainnya. Kuantitas bencana alam yang termasuk tinggi di Indonesia itu menjadikan urgen membangun komunitas yang siaga terhadap bencana di berbagai tempat. Komunitas itu diharapkan tanggap menyikapi bencana yang tiba-tiba terjadi di berbagai wilayah yang rentan bencana. Dengan demikian dapat meminimalkan risiko dari bencana. Sejak bencana tzunami melanda Aceh tahun 2004 dulu, LPTP secara aktif ikut berpartisipasi dalam kegiatan penanggulangan risiko bencana. Sebelum itu berbagai kegiatan yang menyangkut penyelamatan lingkungan dan pemetaan daerah rawan bencana longsor sering dilakukan seperti pada program Pidra di Pacitan. Bencana gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan banjir pada tahun 2007 semakin memperkaya pengalaman LPTP dalam kegiatan tanggap darurat bencana dan penanggulangan risiko bencana. Kegiatan penanganan risiko bencana di berbagai kantung wilayah rentan bencana terus dilakukan LPTP hingga sekarang bekerja sama dengan mitranya. Salah satu kantung wilayah rentan bencana yang baru selesai menjadi tempat kegiatan penanggulangan risiko bencana adalah Desa Sengon Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten. Selama satu bulan LPTP bekerja sama dengan YCAP mengajak masyarakat untuk belajar bersama dalam upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam penanggulangan kebencanaan. Satu bulan sebenarnya waktu yang sangat pendek namun keterbatasan waktu itu dimanfaatkan semaksimal mungkin agar tujuan dari kegiatan tercapai dan memberi manfaat yang besar pada masyarakat. Desa Sengon merupakan salah satu desa yang pernah dilanda bencana pada tahun 2007. Luas wilayahnya 233 ha, terdiri dari 112 ha sawah dan ladang, bangunan umum 11 ha, jalan 34 ha dan kuburan 5 ha. Mayoritas mata pencaharian penduduk pertanian Yang lain bekerja disektor pertukangan, pegawai swasta, pedagang dan jasa. Topografi desa terdiri dari perbukitan dan dataran rendah. Desa ini merupakan desa yang rentan terhadap ancaman bencana, terutama bencana banjir dan tanah longsor. Wilayah desa berada di lereng perbukitan. Wilayah yang berada di dataran rendah rawan banjir. Berdasarkan informasi penduduk intensitas bencana mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring perubahan tata ruang di wilayah ini. Bentuk-bentuk ancaman bencana meliputi tanah longsor, banjir dan krisis air saat musim kemarau. Desa Sengon termasuk rentan dalam beberapa hal disebabkan belum adanya kebijakan tata ruang desa dan rencana pembangunan jangka panjang dalam pengelolaan sumberdaya alam. Alih fungsi lahan bisa terjadi setiap saat dan dapat menimbulkan dampak buruk. Masyarakat dan pemerintah desa belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dalam bidang PRB (Penanganan Risiko Bencana). Selain itu perempuan dalam perencanaan dan

pengambilan kebijakan strategis penanganan kedaruratan dan PRB tidak banyak keterlibatannya. Pemerintahan desa juga belum memiliki strategi dan kebijakan PRB. Kegiatan DRR yang diselenggarakan LPTP bersama YCAP selama bulan November lalu untuk menggali dan mengembangkan potensi desa dalam menghadapi situasi bencana. Terdapat banyak potensi yang dapat dikembangkan di sini. Secara tradisional masyarakatnya memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan kedaruratan meskipun masih terbatas. Di desa ini juga cukup banyak organisasiorganisasi sosial dan keagamaan di tingkat desa tetapi belum terorganisir menjadi kekuatan dalam gerakan PRB. Budaya gotong royong, toleransi dan semangat keswadayaan berjalan cukup baik dan ini menjadi kekuatan penting dalam penanganan bencana di masa depan. Selain itu secara spiritual masih banyak kepercayaan dan tradisi ritual untuk menghormati alam dalam menjaga kelestariannya, meskipun saat ini sudah mulai pudar terutama di kalangan generasi muda. Selama satu bulan team dari LPTP berusaha membangun pemahaman masyarakat di desa Sengon mengenai ancaman dan risiko tanah longsor serta tanah amblas di wilayahnya. Bersama masyarakat dan perangkat desa, team juga menyiapkan kader-kader lokal yang potensial untuk menggerakan partisipasi masyarakat dalam membangun gerakan mengurangi risiko kebencanaan. Masih dengan masyarakat, team juga melakukan pemetaan risiko bencana tanah longsor dan banjir secara partisipatif. Kegiatan ini juga berusaha meningkatan peran dan posisi strategis perempuan PRB desa serta mengembangkan aksiaksi inovatif PRB masyarakat desa. Membangun desa siaga bencana hakikatnya adalah menata kembali tatanan sosial budaya dan tata fungsi lingkungan yang selama ini menyebabkan timbulnya potensi risiko bencana. Hasil yang diharapkan adalah terwujudnya desa yang tangguh. Karakteristik dari desa begini ditandai dengan adanya pemahaman warga desa mengenai potensi risiko, adanya kesadaran dan komitmen kolektif warga desa dan pemerintah lokal untuk menyusun rencana PRB desa, adanya team desa untuk PRB, adanya kebijakan desa mengenai strategi dan rencana PRB, berjalannya aksi-aksi inovatif masyarakat untuk PRB dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, dimiliki dan dijalankannya sistem monitoring dan evaluasi PRB, terbangunnya forum/kelembagaan yang fungsional dan permanen dalam mengurangi resiko bencana dan yang terakhir adanya kemampuan berkolaborasi dengan organisasi lain dalam PRB. Dalam implementasi program ini dengan memperhatikan partisipasi masyarakat. Masyarakat dimotivasi kesanggupannya mengikuti keseluruhan proses kegiatan. Masyarakat diberi pemahaman bahwa nanti yang memanfaatkan hasil yang dicapai adalah masyarakat sendiri. Orientasi dari kegiatan ini adalah memperkuat kemampuan dan otonomi kelembagaan lokal untuk menentukan pilihan-pilihan dan membuat keputusan mereka sendiri (asas subsidiarity). Di samping itu kegiatan ini memprioritaskan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong warga dan menempatkan bantuan luar sebagai pelengkap, mengupayakan adanya pertanggungjawaban terbuka di kalangan warga sendiri maupun terhadap pihak luar yang mendukung. Juga memberikan prioritas pada kelompok-kelompok yang paling rentan terhadap terjadinya resiko bencana serta memperjuangkan terlindunginya hak-hak dasar warga. Selain itu menciptakan landasan bagi prakarsa dan kemandirian lokal dalam jangkapanjang serta meletakkan masyarakat dalam posisi sentral dan menentukan. Orang luar berperan mendorong, memajukan, melindungi dan memfasilitasi proses serta mengutamakan terbangunnya masyarakat belajar (community learning).

Yang berkaitan dengan gender mainstraiming juga mendapat prioritas dalam kegiatan ini. Di desa lokasi kegiatan, perempuan memiliki kedekatan fungsional dengan sektor-sektor yang secara langsung terkait dengan isu bencana, seperti mencari dan memanfaatkan kayu bakar dari kebun dan ladang, pengambilan air bersih, pengelolaan lahan tegalan dan sawah, perlindungan anak dan sektor lainnya. Untuk itu prioritas gender dalam program PRB sangat penting. Strategi yang akan dijalankan adalah melibatkan sebanyak dan seintensif mungkin dalam setiap proses dan bentuk kegiatan mulai dari produksi media kampanye peningkatan kesadaran warga terhadap PRB, pembentukan tim inti PRB, pemetaan dan analisa resiko bencana, penyusunan strategi dan kebijakan PRB desa, pelatihan-pelatihan dan pelaksanaan aksi-aksi inovatif PRB. Kegiatan DRR di desa Sengon ini diselenggarakan dengan metode partisipatif. Ini untuk memotivasi terealisirnya desa tangguh di wilayah kegiatan. Dalam upaya pengembangan desa tangguh ini menggunakan metode teknik dan media partisipatif yang antara lain menyelenggarakan aktivitas penelitian partisipatif (participatory research), teknik pemetaan partisipatif, teknik analisa kecenderungan perubahan (trend and change), teknik analisa sejarah perubahan (historical analyses), teknik penelusuran (transect), teknik analisa hubungan kelembagaan (diagram venn), teknik analisa kesejahteraan (wealth ranking) dan teknik-teknik partisipasi lainnya yang relevan. Selama satu bulan, 20 orang warga masyarakat desa Sengon yang merupakan perwakilan dari berbagai unsur terlibat aktif dalam kegiatan ini. 20 orang itu terdiri 4 orang dari unsur pemerintah desa dan sisanya dari unsur tokoh masyarakat, pemuda dan masyarakat petani dari 4 dusun yang ada di desa Sengon. Masing-masing dusun mengirimkan 4 orang. Metode yang digunakan dalam penyelenggaraan pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat di desa Sengon adalah ceramah dan diskusi, kaji urai dan hadap masalah. Untuk menjalankan metode tersebut digunakan alat bantu yaitu dengan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA). Teknik ini familiar bagi para fasilitator LPTP. Sedangkan fasilitator LPTP yang terlibat adalah Rahadi SPd yang merupakan direktur PT Susdec Adiyasa Surakarta, KHP Yunianto (Anton) staff Ahli SDA Pusat Pengembangan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan LPTP. Ada juga Imam Syaifudin ST yang merupakan staf ahli kebencanaan LPTP, Eko Budiarto SE yang juga staf ahli kebencanaan LPTP. Juga Cahyo Mursito dan Ahmad Mustaqim yang merupakan staf ahli Pusat Pengembangan Audio Visual. Team LPTP yang mengendalikan kegiatan ini Bejo Sibet S.Sos yang merupakan team leader dibantu oleh Riyatik Puji Lestari. Selama satu bulan team ini bekerja keras mengelola beragam kegiatan di desa Sengon. Dari beragam kegiatan yang berlangsung selama satu bulan itu telah dilakukan pelatihan dan pemetaan. Analisis dilakukan terhadap potensi bencana yang mungkin terjadi. Potensi bencana yang paling tinggi adalah banjir dan tanah longsor. Sedang penyebab dari bencana banjir adalah tanggul sering dan mudah jebol karena sepanjang badan tanggul adalah tanah berpasir. Minimnya vegetasi sebagai penguat tanggul dan tumbuhnya tanaman-tanaman di dalam sungai membuat air tidak lancar mengalir dan terjadi pendangkalan. Hal itu juga menjadi faktor penyebab banjir. Selain itu erosi ditambah banyaknya sampah yang menutup gorong-gorong juga memicu terjadinya banjir. Dampak bancana banjir yang terjadi setiap tahun itu hasil pertanian tidak maksimal karena sering gagal panen. Implikasi lainnya adalah penurunan kesejahteraan masyarakat. Apalagi

banjir yang terjadi juga melanda pasar desa yang berarti mandegnya perekonomian rakyat. Ekses lain dari banjir adalah munculnya wabah penyakit kulit, diare serta nyamuk demam berdarah yang mengancam kesehatan masyarakat. Hal-hal yang demikian itu yang menjadi pokok bahasan dalam kegiatan di desa Sengon bulan November yang lalu. Kapasitas masyarakat dalam menyikapi risiko bencana berusaha ditingkatkan. Masyarakat yang memiliki kemampuan mengantisipasi dan menangani risiko bencana diharapkan meningkat dari kegiatan ini. Segenap potensi desa yang ada dimotivasi pengembangannya dalam upaya mewujudkan komunitas desa yang memiliki kesiagaan terhadap risiko bencana. Jika itu berkembang dengan baik secara bertahap pada akhirnya akan terwujud desa tangguh yang siaga bencana.

Kajian risiko bencana yang berbasis masyarakat akan meningkatkan kesadaran serta kewaspadaan masyarakat itu sendiri, menyiapkan masyarakat secara fisik dan psikologis terhadap kemungkinan bencana alam yang akan datang dengan merumuskan rencana aksi bersama, meningkatkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dan berkoordinasi dalam suatu wadah kerjasama sebelum, dan saat situasi tanggap darurat dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Langkah awal pengelolaan pengurangan risiko bencana adalah melakukan kajian ancaman atau potensi bencana alam yang ada disekitar masyarakat baik dari jenis, tingkat risiko, frekwensinya waktu dan lamanya, wilayah yg terkena, serta perkembangan dan bahaya ikutannya. Kajian selanjutnya adalah kajian kerentanan yaitu mengidentifikasi lokasi yang rawan bencana, siapa yang paling rentan ketika bencana terjadi baik dari status sosialekonomi, gender, umur dan lain-lain. Selain mengidentifikasi manusia juda diidentifikasi sumberdaya alam lainnya yang rentan terkena dampak bencana seperti keragaman hayati, dan lingkungan hidup. Kemudian dilakukan kajian kemampuan atau kapasitas masyarakat terhadap antisipasi bencana yang mungkin datang. Kajian ini dilakukan untuk memetakan kekuatan dan sumber-sumber yang dimiliki oleh perorangan, rumah tangga, dan komunitas, yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari bencana. Misalnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman bencana, dilakukan prediksi dan peringatan dini dari lembaga yang berwenang., adanya upaya pencegahan dan mitigasi, kesiapan dan kemampuan masyarakat bersama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam menanggapi bencana. Terakhir melakukan kajian pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menganalisis peran dan partisipasi lembaga-lembaga, baik pada tahap manajemen krisis maupun manajemen risiko. Kajian risiko bencana ini dilakukan untuk memahami pengalaman masyarakat dalam menghadapi bencana yang memampukan mereka

mengembangkan strategi penanggulangannya, memahami sumberdaya yang tersedia dan digunakan dalam masyarakat untuk mengurangi risiko serta memahami siapa yang memiliki akses ke sumberdaya ini dan siapa yang memiliki kuasanya. Kajian ini merupakan langkah penting dalam memilih strategi pengurangan risiko dan penguatan kemampuan komunitas. Merupakan suatu kesalahan bila kemampuan masyarakat diabaikan dalam perancangan program karena hanya akan menyia-nyiakan sumber dari luar yang sedikit dan belum tentu dapat di-aplikasikan, hingga pada gilirannya justru berpeluang meningkatkan kerentanan mereka. Kesiapan dan Peningkatan kapasitas inilah yang perlu disosialisasikan dan dilakukan dimasyarakat ( Siapa yang wajib melaksanakannya ?? )

Pengurangan Risko Bencana dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan komunitas melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi bencana yang berfokus pada kegiatan partisipatif untuk melakukan kajian, perencanaan, pengorganisasian kelompok swadaya masyarakat, serta pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana. Tujuannya agar komunitas mampu mengelola risiko, mengurangi, maupun memulihkan diri dari dampak bencana tanpa ketergantungan dari pihak luar. Dalam tulisan SIKLUS PENANGANAN BENCANA kegiatan ini ada dalam fase pra bencana. Fokus kegiatan Pengurangan Risiko Bencana secara Partisipatif dari komunitas dimulai dengan koordinasi awal dalam rangka membangun pemahaman bersama tentang rencana kegiatan kajian kebencanaan, yang didalamnya dibahas rencana pelaksanaan kajian dari sisi peserta, waktu dan tempat serta keterlibatan tokoh masyarakat setempat akan sangat mendukung kajian analisa kebencanaan ini. Selain itu juga di sampaikan akan Pentingnya Pengurangan Risko Bencana mengingat wilayah kita yang rawan akan bencana. Setelah ada kesepakatan dalam koordinasi awal maka masyarkat melakukan kegiatan PDRA ( Participatory Disaster Risk Analysis / Kajian Partisipatif Analisa Bencana ). Kegiatan ini selain melibatkan masyarakat, Tokoh masyarakat juga kader yandu dan PKK dusun, dengan kata lain semua unsur di masyarakat yang ada dilibatkan. Dalam kegiatan ini dijelaskan maksud dan tujuan kegiatan kajian dan analisa kerentanan, ancaman dan resiko kebencanaan. Kegiatan PDRA di suatu wilayah diawali dengan memberikan pemahaman tentang Pengurangan Risiko Bencana berbasis masyarakat yaitu upaya yang dilakukan sendiri oleh masyarakat untuk menemukenali ancaman yang mungkin terjadi di wilayahnya dan menemukenali kerentanan yang ada di wilayahnya serta menemukenali potensi/kapasitas yang dimiliki untuk meredam/mengurangi dampak dari bencana tersebut. setelah menemukenali ancaman, kerentanan, dan Kapasitas yang ada di masyarakat maka perlu

dianalisis untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat mampu mengurangi risiko bencana itu dengan menggunakan rumus Ancaman x Kerentanan dibagi dengan Kapasitas. Sebelum mengkaji perlu diperoleh data terkini dari wilayah tersebut. Pentingnya data terkini mengenai jumlah KK dan Jiwa, pemilik kendaraan , kerentanan dll, sebagai bahan dasar kajian selanjutnya dalam kegiatan PDRA pengurangan risiko bencana wilayah ini. Kemudian dilakukan Kegiatan Kajian dan analisis Risiko bencana secara partisipasif oleh masyarakat Hal-hal yang dikaji : ancaman, kerentanan dan potensi terhadap bencana untuk wilayahnya,

Selanjutnya Hasil Kajian dan analisis Risiko bencana dipresentasikan masyarakat sebagai wujud pemetaan kondisi wilayah dari sisi kebencanaan

Setelah semua selesai, perlu diberikan pemantapan akan pentingnya kesiapsiagaan bencana sampai muncul inisiasi adanya team atau forum pengurangan resiko bencana di suatu wilayah Untuk Selanjutnya setelah masyarakat mempunyai hasil kajian ini maka, apa tindak lanjutnya ? Berdasarkan hasil kajian, tindak lanjutnya adalah mengatasi proritas ancaman dengan sebuah rencana aksi, Apa saja yang ada dalam Rencana Aksi itu ? Tentunya membentuk team di tingkat komunitas. Team yang terbentuk atas dasar kesepakatan, yang kemudian akan menyusun sebuah rencana kegiatan/ program, melaksanakan dan sebagai penanggungjawab dalam pelaksanaan rencana tersebut. Rencana Aksi tentunya sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas hasil dari kajian tersebut. Selain itu juga perlu diketahui pentingnya membangun jaringan yang berbasis masyarakat. Jaringan sangat diperlukan untuk membantu dalam melaksanakan rencana aksi, peningkatan kapasitas team/forum pengurangan resiko bencana selain itu juga untuk keberlanjutan dari team atau forum pengurangan resiko bencana di suatu wilayah.

Kesiapsiagaan Bencana di Rumah


Bencana datang tidak dapat kita duga, tapi bisa kita kurangi risiko dari bencana tersebut, salah satunya adalah dengan melakukan upaya pengurangan risiko. Prinsip dasar pengurangan risiko adalah sebagai berikut :

dengan prinsip dasar tersebut diatas kita harus tahu apa itu ancaman/bahaya, kerentanan dan kapasitas Ancaman merupakan ancaman/bahaya yang ditimbulkan oleh phenomena alam yang luar biasa yang berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia, menyebabkan kehilangan harta-benda, mata pencaharian, dan/atau kerusakan lingkungan Kerentanan Sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Kapasitas Kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana Bagaimana melakukan upaya pengurangan risiko bencana dari rumah?? 1. Berusaha tidak panik, dengan melakukan simulasi-simulasi sederhana atau pada saat kumpul keluarga diberikan pengetahuan tentang bencana dan apa yang harus kita lakukan saat terjadi bencana. 2. Membuat jalur evakuasi di rumah jika terjadi bencana. 3. Menentukan titik kumpul jika terpisah saat bencana terjadi 4. Memasang daftar telepon penting di rumah, maupun di masukan dalam daftar telepon di Handphone. 5. Menyiapkan Tas Siaga bencana yang berisi o Pakaian anggota keluarga setidaknya untuk 3 hari pertama o Minuman dan makanan instan + makanan bayi (jika punya bayi atau balita) o Obat-obatan (terutama yang punya penyakit khusus) + obat anti nyamuk o Senter o Radio berbaterai o Baterai untuk senter dan radio o Dokumen-dokumen berharga o Peralatan mandi setidaknya sikat gigi dan odol o Kebutuhan lain yang tidak memberatkan (misal : alat ibadah, pembalut wanita, dll)

PENTINGNYA KESIAPSIAGAAN
1. Mengurangi ancaman Untuk mencegah ancaman secara mutlak memang mustahil, seperti gunung api meletus. Namun ada banyak cara atau tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurani kemungkinan terjadinya ancaman atau mengurangi akibat ancaman. Contoh : untuk mencegah banjir, sebelum musim hujan masyarakat bisa membersihkan saluran air, got dan sungai serta tidak membuang sampah di sembarang tempat, apalagi di sungai.

2. Mengurangi kerentanan masyarakat Kerentanan masyarakat dapat dikurangi apabila masyarakat sudah mempersiapkan diri, akan lebih mudah untuk menentukan tindakan penyelamatan pada saat bencana terjadi. Persiapan yang baik akan bisa membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat guna dan tepat waktu. Contoh : Masyarakat yang pernah dilanda bencana gunung api meletus dapat mempersiapkan diri dengan melakukan pengawasan aktifitas gunung api dan membuat perencanaan evakuasi, penyelamatan serta mendapat pelatihan kesiapsiagaan bencana. 3. Mengurangi akibat Untuk mengurangi penderitaan akibat suatu ancaman, masyarakat perlu mempunyai persiapan supaya bisa lebih cepat bertindak apabila terjadi bencana. Contoh : umumnya pada kasus bencana, masalah utama adalah persediaan air bersih. Akibatnya banyak masyarakat yang terjangkit penyakit menular. Dengan melakukan persiapan terlebih dahulu, kesadaran masyarakat akan pentingnya sumber air bersih bisa mengurangi kejadian penyakit menular. 4. Menjalin kerjasama Tergantung dari cakupan bencana dan kemampuan masyarakat, penanganan bencana bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri atau apabila diperlukan bisa bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait. Untuk menjamin kerjasama yang baik, pada tahap sebelum bencana masyarakat perlu menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak seperti polisi, puskesmas, aparat desa, dan lembaga lainnya.

SEKOLAH SIAGA BENCANA


Apa itu Sekolah Siaga Bencana? Sekolah Siaga Bencana (SSB) merupakan upaya membangun kesiapsiagaan sekolah terhadap bencana dalam rangka menggugah kesadaran seluruh unsur-unsur dalam bidang pendidikan baik individu maupun kolektif di sekolah dan lingkungan sekolah baik itu sebelum, saat maupun setelah bencana terjadi.

Apa Tujuan Membangun Sekolah Siaga Bencana (SSB)? 1. Membangun budaya siaga dan budaya aman disekolah dengan mengembangkan jejaring bersama para pemangku kepentingan di bidang penanganan bencana; 2. Meningkatkan kapasitas institusi sekolah dan individu dalam mewujudkan tempat belajar yang lebih aman bagi siswa, guru, anggota komunitas sekolah serta komunitas di sekeliling sekolah; 3. Menyebarluaskan dan mengembangkan pengetahuan kebencanaan ke masyarakat luas melalui jalur pendidikan sekolah.

Apa Indikator Sekolah Siaga Bencana (SSB) itu? 1. 1. Indikator untuk Parameter Pengetahuan dan Keterampilan 1. Pengetahuan mengenai jenis bahaya, sumber bahaya, besaran bahaya dan dampak bahaya serta tanda-tanda bahaya yang ada di lingkungan sekolah 2. Akses bagi seluruh komponen sekolah untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan, pemahaman dan keterampilan kesiagaan (materi acuan, ikut serta dalam pelatihan, musyawarah guru, pertemuan desa, jambore siswa, dsb.). 3. Pengetahuan sejarah bencana yang pernah terjadi di lingkungan sekolah atau daerahnya 4. Pengetahuan mengenai kerentanan dan kapasitas yang dimiliki di sekolah dan lingkungan sekitarnya. 5. Pengetahuan upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana di sekolah. 6. Keterampilan seluruh komponen sekolah dalam menjalankan rencana tanggap darurat 7. Adanya kegiatan simulasi regular. 8. Sosialisasi dan pelatihan kesiagaan kepada warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah.

1. 2.

Indikator untuk Parameter Kebijakan

Adanya kebijakan, kesepakatan, peraturan sekolah yang mendukung upaya kesiagaan di sekolah

1. 3.

Indikator untuk Parameter Rencana Tanggab Darurat 1. Adanya dokumen penilaian risiko bencana yang disusun bersama secara partisipatif dengan warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah. 2. Adanya protokol komunikasi dan koordinasi 3. Adanya Prosedur Tetap Kesiagaan Sekolah yang disepakati dan dilaksanakan oleh seluruh komponen sekolah 4. Kesepakatan dan ketersediaan lokasi evakuasi/shelter terdekat dengan sekolah, disosialisasikan kepada seluruh komponen sekolah dan orang tua siswa, masyarakat sekitar dan pemerintah daerah 5. Dokumen penting sekolah digandakan dan tersimpan baik, agar dapat tetap ada, meskipun sekolah terkena bencana. 6. Catatan informasi penting yang mudah digunakan seluruh komponen sekolah, seperti pertolongan darurat terdekat, puskesmas/rumah sakit terdekat, dan aparat terkait. 7. Adanya peta evakuasi sekolah, dengan tanda dan rambu yang terpasang, yang mudah dipahami oleh seluruh komponen sekolah 8. Akses terhadap informasi bahaya, baik dari tanda alam, informasi dari lingkungan, dan dari pihak berwenang (pemerintah daerah dan BMG)

Penyiapan alat dan tanda bahaya yang disepakati dan dipahami seluruh komponen sekolah Mekanisme penyebarluasan informasi peringatan bahaya di lingkungan sekolah Pemahaman yang baik oleh seluruh komponen sekolah bagaimana bereaksi terhadap informasi peringatan bahaya Adanya petugas yang bertanggungjawab dan berwenang mengoperasikan alat peringatan dini. Pemeliharaan alat peringatan dini.

1. 4.

Indikator untuk Parameter Mobilisasi Sumberdaya 1. Adanya gugus siaga bencana sekolah termasuk perwakilan peserta didik. 2. Adanya perlengkapan dasar dan suplai kebutuhan dasar pasca bencana yang dapat segera dipenuhi, dan diakses oleh komunitas sekolah, seperti alat pertolongan pertama serta evakuasi, obat-obatan, terpal, tenda dan sumber air bersih. 3. Pemantauan dan evaluasi partisipatif mengenai kesiagaan sekolah secara rutin (menguji atau melatih kesiagaan sekolah secara berkala). 4. Adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana baik setempat (desa/kelurahan dan kecamatan) maupun dengan BPBD/Lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap koordinasi dan penyelenggaraan penanggulangan bencana di kota/kabupaten.

Apa Syarat Minimal Menuju Sekolah Siaga Bencana (SSB)? 1. 2. 3. 4. Ada komitmen dari Kepala Sekolah dankomunitas sekolah. Ada dukungan dari Dinas Pendidikan diwilayahnya. Ada dukungan dari organisasi terkaitpengurangan risiko bencana. Melakukan penguatan kapasitas pengetahuandan keterampilan bagi guru dan siswa sekolah. 5. Melakukan latihan berkala yang jelas dan terukur. 6. Adanya keterlibatan dukungan menerus dari Dinas Pendidikan dan organisasi terkait PRB, termasuk dalam proses pemantauan dan evaluasi sekolah.

Bagaimana Langkah-langkah Membangun Sekolah Siaga Bencana (SSB)? 1. Membangun kesepahaman & komitmen bersama antar anggota komunitas sekolah dengan atau tanpa difasilitasi oleh pihak luar. 2. Membuat rencana aksi bersama antara sekolah, komite sekolah, orang tua, dan anakanak (bisa dalam bentuk lokakarya, FGD,atau meeting reguler).

3. Melakukan kajian tingkat kesiagaan sekolah dengan menggunakan lima parameter (pengetahuan dan sikap; kebijakan; rencana tanggap darurat; sistem peringatan dini; dan mobilisasisumberdaya). 4. Peningkatan kapasitas (pelatihan-pelatihan) untuk semua stakeholder sekolah (guru, karyawan/staf administrasi, satuan pengamanan, anggota komite sekolah, orang tua, anak-anak). 5. Lokakarya pembentukan sekolah siaga bencana (merumuskankegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap, draft kebijakan, sistem peringatan dini, rencana tanggap darurat, dan mobilisasi sumberdaya). 6. Simulasi/drill menghadapi bencana (sesuai dengan jenis ancaman) dengan frekuensi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan sekolah yang bersangkutan Standarisasi/pembakuansekolah siaga bencana. 7. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program SSB. 8. Sosialisasi dan promosi keberadaan SSB.

MENGENAL ANCAMAN GEMPA BUMI


Gempat bumi terjadi karena gesekan antar lempengan tektonik dibawah permukaan bumi. Pergesekan ini mengeluarkan energi yang luar biasa besarnya dan menimbulkan goncangan di permukaan

Вам также может понравиться