Вы находитесь на странице: 1из 134

Einstein on God

"I'm not an atheist, and I don't think I can call myself a pantheist. We are in the position of a little child entering a huge library filled with books in many languages. The child knows someone must have written those books. It does not know how. It does not understand the languages in which they are written. The child dimly suspects a mysterious order in the arrangement of the books but doesn't know what it is. That, it seems to me, is the attitude of even the most intelligent human being toward God. We see the universe marvelously arranged and obeying certain laws but only dimly understand these laws. Our limited minds grasp the mysterious force that moves the constellations." (Albert Einstein)

KENALILAH DIRIMU (Nasir-i Khusrau)


Kenalilah dirimu Kalau kau pahami dirimu sendiri, Kau akan bisa memisahkan yang kotor dari yang suci Pertama, akrablah dengan dirimu Kemudian jadilah pembimbing lingkunganmu Kalau kau kenal dirimu, kau akan mengetahui segalanya Kalau kau pahami dirimu, kau akan terlepas dari bencana Kau tak tahu nilaimu sendiri Sebab kau tetap begini Akan kau lihat Tuhan, kalau kau kenal dirimu sendiri Langit yang tujuh dan bintang yang tujuh adalah budakmu Namun, kasihan, kau tetap membudak pada ragamu Jangan pusingkan kenikmatan hewani Kalau kau pencari surgawi Jadilah manusia sejati Tinggalkan tidur dan pesta ria Tempuhlah perjalanan batin seperti pertapa Apapula tidur dan makan-makan? Itu semua urusan binatang buas Dengan ilmu jiwamu bertunas Jagalah sekarang juga Sudah berapa lama kau tidur? Pandanglah dirimu sendiri Kau sesungguhnya luhur Renungkan, coba pikirkan dari mana kau datang? Dan kenapa kau dalam penjara ini sekarang? Jadilah penentang berhala bagai Ibrahim yang pemberani Ada maksud kau dicipta serupa ini Sungguh malu kalau kau telantarkan maksud penciptaanmu ini.

Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Pidato B.J. Habibie)
Yth. Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Yth. Presiden RI ke-5, Ibu Megawati Soekarnoputri Yth. Wakil Presiden dan Para Mantan Wakil Presiden Yth. Pimpinan MPR dan Lembaga Tinggi Negara lainnya Bapak-bapak dan Ibu-ibu para anggota MPR yang saya hormati Serta seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai, Assalamu alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua. Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka. Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, era demokrasi terpimpin, era demokrasi Pancasila, hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah. Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dibahas, dan apalagi diterapkan, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila? Para hadirin yang berbahagia,

Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah lenyap dari kehidupan kita.Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 194566 tahun yang lalutelah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap manipulasi informasi dengan segala dampaknya. Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelumberhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia. Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya amnesia nasional tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm(norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai tidak Pancasilais atau anti Pancasila. Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan! Para hadirin yang berbahagia, Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik. Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit. Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan. Krisis ini terjadi karena luluhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warga negara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hakhak sipil warga negara serta pelecehan terhadap supremasi hukum. Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa

ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teralienasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih membumi sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan. Para hadirin yang berbahagia, Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini? Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke manca negara, sedemikian rupa sehingga rakyat harus membeli jam kerja bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru. Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colonialism atau VOCbaju baru itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan jam kerja bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan Neraca Jam Kerja tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan nilai tambah berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari biaya tambah; dengan ungkapan lain, value added harus lebih besar dari added cost. Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas, daya saing dan lapangan kerja untuk SDM di Indonesia dengan mengembangkan serta menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didorong oleh kebutuhan pasar global dan domestik. Pasar domestik nasional harus menjadi pendorong utama. Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat diaktualisasikan lagi dalam kehidupan kita. Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di

masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia. Para hadirin yang saya hormati, Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut. Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai- nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang. Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya. Wassalamu alaikum wr wb. Jakarta 1 Juni 2011 Bacharuddin Jusuf Habibie Sumber http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/11/06/01/lm3gk2-ini-pidato-pancasila-bj-habibiereaktualisasi-pancasila-dalam-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara

Aku Mengaku Hanya Menyembah-Nya Saja, Tapi Kenyataannya Aku Masih Lalai dalam MenyembahNya
Kisah ini diceritakan oleh Syaikh Al-Akbar Ibn Arabi dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah. Berikut petikannya: Seorang guru bercerita bahwa ia memiliki seorang murid kecil yang terbiasa membaca Al Quran kepadanya. Suatu hari, ia melihat wajah muridnya sayu. Ia pun bertanya tentang kondisi murid itu kepada teman-temannya. Ada yang menjawab bahwa anak itu telah shalat malam dengan mengkhatamkan seluruh Al Quran. Ia lalu bertanya kepadanya, Wahai anakku, saya diberitahu bahwa kamu semalam mengkhatamkan seluruh Al Quran dalam shalatmu. Benar, guru. jawab murid itu. Wahai anakku, nanti malam, bayangkanlah wajahku di depanmu sewaktu kamu shalat lalu bacalah Al Quran di hadapanku dan jangan kamu lalai. Ya, guru. Ketika pagi hari, ia bertanya, Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan? Sudah, guru. Apakah kamu mengkhatamkan Al Quran? Tidak, aku tak mampu menyelesaikan lebih dari separo Al Quran. Wahai anakku, itu cukup baik. Nanti malam, hadirkanlah bayangan wajah salah seorang sahabat Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang telah mendengarkan Al Quran langsung dari Rasulullah, lalu bacalah di depannya dan hati-hati jangan sampai salah. Insyaallah, guru. Saya akan lakukan. jawab sang murid. Keesokan harinya, ia bertanya lagi, Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan? Murid itu menjawab, Saya tak mampu membaca lebih dari seperempat Al Quran. Baiklah, nanti malam kamu bayangkan wajah Rasulullah yang telah menerima wahyu Al Quran itu dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca. Baik, guru. Keesokan harinya, ketika guru bertanya, murid itu menjawab,

Aku tak mampu membaca lebih dari satu juz saja atau sekitar itu. Wahai anakku, nanti malam kamu bayangkan wajah Jibril yang telah mendiktekan Al Quran kepada Rasulullah, bacalah di depannya dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca. Baik, guru. Keesokan harinya, ketika ia bertanya, murid itu menjawab, Saya tidak mampu membaca lebih dari beberapa ayat saja. sambil menyebutkan ayat-ayat Al Quran yang ia baca. Wahai anakku, malam nanti bertaubatlah kepada Allah dan menunduklah. Ketahuilah bahwa orang yang sedang shalat itu adalah orang yang sedang berduaan dengan Tuhannya. Renungkanlah apa yang kamu baca. Yang terpenting bukanlah memperbanyak bacaan, tapi tadabbur (menghayati) ayat-ayat yang kamu baca. Maka, jangan sampai kamu lalai. Keesokan harinya, sang guru tidak menemui murid itu. Ada yang mengatakan bahwa ia sedang sakit. Lalu ia menjenguknya. Ketika melihat wajah gurunya, murid itu menangis sambil berkata, Wahai guru, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Aku belum pernah menyadari bahwa aku telah berbohong kecuali semalam tadi. Semalam aku telah membayangkan seolah Allah hadir dalam shalatku, lalu aku pun merasa berat ketika membaca Al Quran di depan-Nya, aku tidak bisa menyelesaikan surat Al Fatihah kecuali hanya sampai Maliki Yaumiddin saja. Ketika aku hendak membaca Iyyaka nabudu, aku malu. Aku merasa telah berdusta di hadapan Allah. Aku mengaku hanya menyembah-Nya saja, tapi kenyataannya aku masih lalai dalam menyembah-Nya. Aku tidak bisa ruku sampai terbit fajar. Aku takut menghadap Allah dalam keadaan yang tidak aku sukai ini. Tiga hari kemudian, murid tersebut meninggal dunia. Ketika dimakamkan, sang ustadz mengunjungi kuburannya lalu bertanya tentang keadaannya di sana. Tiba-tiba ia mendengar suara pemuda itu dari bawah kuburan, Wahai Ustadz, saya hidup di sisi Sang Maha Hidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun. Kemudian ustadz itu pulang ke rumahnya dalam keadaan sakit, ia terbaring di atas ranjang akibat melihat kejadian itu. Tak lama kemudian, ia pun meninggal dunia menyusul pemuda tersebut. Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi berkata, Barangsiapa membaca 'iyyaka nabudu' seperti bacaan pemuda itu, ia telah benar-benar membacanya. (Sumber: Al Futuhan Al Makkiyah: Safar 6 hal. 297 cet. Sorbon; 2/6-7 Maktabah Syamilah

Merayakan Waktu Senggang


(Tulisan lama banget, sekitar 5 tahun yang lalu, dan pernah di muat di suplemen khazanah Pikiran Rakyat.) Apa kiranya yang terbayangkan saat kita disodori kata waktu senggang? Pergi berlibur? Jalanjalan sambil belanja di mall dan factory outlet? Pergi menonton ke bioskop? Bertamasya? Silahkan bayangkan sendiri kegiatan waktu senggang lainnya yang lazim bagi Anda. Namun, perhatikan lebih seksama, saat ini terlihat bahwa bayangan kita tentang waktu senggang lebih terkait dengan rekreasi. Rasanya nyaris tidak pernah waktu senggang dikaitkan lagi dengan reflektivitas dan kontemplasi. Sebagaimana disinyalir Bambang Sugiharto, di waktu senggang manusia kontemporer kini cenderung pergi, ke luar dari diri menuju perangkap-perangkap eksterior, bepergian ke tempat-tempat yang disebutkan di atas. Adalah Josef Pieper, pemikir Jerman, yang mengamati hilangnya pemaknaan manusia kontemporer akan waktu senggang. Waktu senggang merupakan saat bagi manusia untuk kembali kepada diri, menikmati hidupnya sebagai manusia. Karenanya, waktu senggang di sini tidak dipahami sebagai saat untuk bermalas-malasan, karena justru merupakan waktu paling produktif. Sebagaimana dikemukakan Anton Subianto: Aristoteles dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa waktu senggang adalah saat di mana manusia hidup secara paling penuh. Itulah saat di mana manusia bereksistensi sesuai dengan esensinya sebagai manusia. Maka, pelenyapan waktu senggang dari kehidupan manusia merupakan penghapusan visi kemanusiaan tersebut. Padahal Aristoteles pernah berkata bahwa kita bekerja agar dapat menikmati waktu senggang. Sekolah dan Waktu Senggang Skole dalam bahasa Yunani bermakna waktu senggang. Sementara dalam bahasa Latin adalah scola atau otium, yang berarti luang atau rileks. Kata skole inilah yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi school dan leisure. Karenanya, sekolah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran semula memiliki konotasi waktu senggang. Pada masa Yunani kuno, masyarakat polisnya terbagi menjadi dua lapisan, yaitu orang bebas dan para budak. Para budak adalah orang-orang yang tenggelam dalam aktivitas fisik berbentuk kerja kasar, di ranah praksis. Perbudakan membuat mereka tak bisa mengelaborasi waktu senggangnya seperti orang bebas. Sementara orang bebas mempunyai banyak waktu senggang. Dalam waktu senggang mereka mengeksplorasi berbagai dimensi kehidupan manusia hingga tingkatan yang mendalam dan mendasar. Pada zaman Helenik dan Helenistik, juga Abad Pertengahan, dikenal istilah artes liberales yang bermakna keterampilan bagi orang bebas, serta mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan kehormatan. Konsep ini dipertentangkan dengan artes serviles yang bermakna keterampilan bagi budak, dan mengandung pengertian bahwa suatu aktivitas dihargai dengan upah material. Artes liberales ini biasanya hanya diperuntukkan bagi kaum aristokrat dan klerik, karena merekalah yang memiliki banyak waktu senggang. Namun, di dunia pendidikan kita saat ini, pengertian pendidikan sebagai waktu senggang, yaitu untuk kembali ke diri, telah lenyap.

Sebagaimana dituliskan Anton Subianto: Menurut Josef Pieper, hilangnya penghargaan pada waktu luang terjadi karena pendidikan (eksakta). Baginya, pendidikan bukanlah semata pengetahuan diskursif dengan tujuan analisis, manipulasi, dan rekonstruksi realitas yang adalah ciri khas ilmu-ilmu eksakta. Pengetahuan ini, melalui investigasi, artikulasi, kombinasi, komparasi, klasifikasi, abstraksi, deduksi, dan justifikasi, mau memberi kita kekuatan dan kekuasaan untuk mengontrol dunia. Sayangnya, pengetahuan macam ini justru tidak berbicara sedikit pun tentang panggilan dunia asli, seruan untuk menjadi manusia. Kini, kondisi pendidikan pun semakin diperparah dengan adanya merkantilisme, yaitu, komersialisasi pengetahuan dan informasi di era kapitalisme global. Pepatah Latin berbunyi: non scuola sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah (ujian, nilai, keahlian, kepintaran, ijazah, kemudahan mendapat pekerjaan), tetapi pertama-tama untuk hidup. Namun, saat ini pendidikan lebih dipandang sebagai investasi untuk memperoleh upah material yang besar di kemudian hari. Bahkan, dalam salah satu pidatonya, Presiden SBY menghimbau agar para pendidik bisa mengarahkan dan menyiapkan para peserta didiknya untuk membuka lapangan kerja. Seolah pendidikan berfungsi agar menjadikan orang kaya raya. Padahal, konon 9 dari 10 pengusaha sukses bukanlah sarjana. Bukan hanya itu. Banyak pedagang, baik kaki lima maupun toko kecil pinggir jalan, yang sukses mendulang untung hingga jutaan rupiah per harinya. Namun, kasarnya, untuk sukses berdagang seperti itu, tidak lulus SD pun bukan masalah. Hal ironis lainnya ditemukan dalam salah satu liputan suplemen Kampus yang meliput tentang kebiasaan para mahasiswa di Bandung menghabiskan waktu senggang sesudah kuliah untuk clubbing atau nongkrong di mal dan restoran fast food. Alasan yang mereka kemukakan umumnya adalah untuk melepaskan penat dan stress setelah kuliah seharian. Ini sebenarnya mengherankan. Permasalahannya, mayoritas mahasiswa di Indonesia tidak dikenal sebagai pembaca buku, memiliki gairah keilmuan yang besar, atau sering mengunjungi perpustakaan. Banyak dari mereka bahkan bisa lulus menjadi sarjana tanpa pernah menamatkan satu buku keilmuan yang menjadi pilihan kuliahnya, dan skripsi yang asal jadi. Bukan hanya itu, di berbagai kompleks perumahan yang banyak menjadi tempat kost mahasiswa, biasanya menjamur tempat bermain dan menyewa play station, atau warnet yang menyediakan game online. Para mahasiswa sering sekali tampak bersaing dengan anak-anak memenuhi tempat tersebut. Sepertinya berlebihan apabila belajar seharian di bangku kuliah telah membuat mereka sumpek dan stress. Penyebab ketidakbergairahan para mahasiswa tersebut memang banyak. Salah satunya adalah atmosfir pendidikan yang feodal, tertutup, enggan berubah mengikuti progres keilmuan. Selain itu, pola pendidikan dan pendidik yang tidak inspiratif (pepatah: guru yang baik itu mengajari, guru sejati itu memberi inspirasi). Dan yang paling mendasar adalah banyaknya mahasiswa salah jurusan dikarenakan tidak ditanamkan visi tentang fungsi pendidikan bagi hidupnya; yang ditanamkan hanyalah pandangan bahwa pendidikan bisa membuat kaya raya. Permasalahannya, di kalangan pendidik seringkali mengakar kuat keyakinan bahwa pendidikan bisa mencetak seseorang menjadi apa pun. Banyaknya mahasiswa yang tidak bersemangat kuliah, bahkan drop out, mengindikasikan bahwa tidak semua orang akan menemukan energi

minimalnya di sembarang bidang. Energi minimal merupakan semacam bayangan jati diri individu. Itu merupakan kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu. Karena itu, sudah seharusnya pendidikan dikembalikan kepada semangat waktu senggang, yaitu dalam pengertian kembali kepada diri. Pendidikan seharusnya bisa mengantarkan peserta didiknya untuk mengenali energi minimalnya. Dengan begitu, peserta didik bisa merintis jalan ke arah pengenalan diri autentiknya. Maka, pendidikan pun akan berfungsi sebagai panggilan untuk menjadi manusia. Kerja dan Waktu Senggang Waktu senggang sebenarnya dipahami juga sebagai human action on holiday (holy day alias hari kudus). Hal ini mengingatkan kembali kepada tradisi hari Sabat Bani Israil: manusia harus beristirahat di hari ke tujuh sebagaimana Tuhan berhenti mencipta di hari ke tujuh. Namun, beristirahat di waktu senggang bukanlah diam pasif bermalas-malasan, tetapi mengkuduskan hari Tuhan yang juga merupakan hari manusia. Namun, seperti dikemukakan di atas, manusia kontemporer banyak yang telah kehilangan waktu senggang. Akibatnya mereka semakin jarang bersentuhan dengan totalitas diri-nya. Dalam waktu senggang, manusia punya banyak kesempatan berkontemplasi tentang yang sublim, yaitu, pengalaman eksistensial penting yang menjadi akar makna hidup. Seperti diidentifikasi oleh Bambang Sugiharto: dalam budaya imaji audio-visual elektronik agaknya yang sublim itu adalah histeria tanpa alasan atas pesona fiksi imaji-imaji itu, keterpesonaan tak terjelaskan terhadap kekuasaan dan kecerdasan elektronik. Baudrillard menuding pasar imaji sebagai sekadar tendensi untuk menguasai dan menggoda saja, tanpa makna, tanpa dasar dan tanpa acuan. Bila itu benar, maka yang terjadi dalam pasar global kini hanyalah pemompaan adrenalin tanpa kepuasan, pemancingan kuriositas tanpa pernah mendapatkan, pembentukan keinginan tanpa tujuan. Dalam budaya macam ini memang tak ada tempat bagi kontemplasi dan refleksi atas substansi. Segala energi terserap oleh pesona eksterioritas hasrat dan imaji (kerja, belanja, mengkonsumsi, pergi-pergi). Kadang menakjubkan melihat berbondong-bondong orang Jakarta merayakan waktu senggang dengan berbelanja di berbagai factory outlet Bandung. Seperti tengah menggeluti suatu urusan yang tak pernah tuntas setiap minggunya. Hal itu mengisyaratkan bahwa kini waktu senggang hanya bermakna jeda demi peluang lebih banyak untuk mengonsumsi, dan kebudayaan pun dikuasai oleh pengelolaan ilusi (budaya media dan konsumerisme). Salah satu penyebab hilangnya pemaknaan waktu senggang sebagai hari kudus untuk kembali kepada diri adalah perubahan pola kerja manusia. Di kota-kota besar tidak begitu sulit untuk menemukan orang-orang yang terjebak hidup untuk kerja ketimbang kerja untuk hidup. Pieper mengutip Thomas Aquinas: kemalasan justru adalah kemandulan menggeluti waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja, karena kerja di pandang hanya sebagai demi kerja semata. Dunia manusia menjadi begitu gaduh dengan urusan bisnis dan kerja.

Pieper mensinyalir bahwa pada masa ini kerja telah menjadi sebentuk agama. Sebagaimana dikemukakan Fransiskus Simon: Kerja menjadi satu-satunya sarana yang dimutlakkan, hingga tak heran bahwa ia lantas mudah mendehumanisasi kemanusiaan, seperti pesan dibalik ungkapan kita mesti bekerja seperti Herkules. Kerja tak lagi menjadi ekspresi eksistensi manusia, tak lagi bernilai sakral, tak lagi mempunyai fungsi sosial. Kerja telah menginvasi berbagai ranah kehidupan atas nama prinsip utilitarian, maka manusia terjerembab ke lembah rutinitas, otomatisasi, dan mekanisasi. Kini, peradaban manusia identik dengan kerja total, dan dunia pendidikan pun berperan mendukung hal tersebut. Karenanya, Pieper menggunakan mitos Sisifus, yang dihukum Dewa untuk terus menerus menaikan batu ke atas gunung dan menggelindingkannya, sebagai analogi bahwa kerja merupakan rantai abadi yang mengikat manusia, tanpa manusia itu sendiri menikmati buah makna dari pekerjaannya. Waktu senggang yang dipahami dalam konteks nilainilai kerja seperti itu lebih tampak sebagai kemalasan (untuk kembali kepada diri). Di Amerika, misalnya, ada pengacara yang tidak pernah istirahat makan siang. Dia makan siang sambil berjalan ke sana kemari untuk bekerja. Atau suami istri yang saking sibuknya bekerja, harus membuat janji untuk bisa meluangkan waktu berduaan. Berbagai kajian terkini menunjukkan bahwa jumlah waktu yang diabdikan untuk bekerja di Amerika Serikat sedang berada di puncaknya. Namun terdapat pula berbagai trend teknologi yang dapat berujung pada pengurangan hari kerja. Sebuah artikel dalam New York Times (24 November 1993) menunjukkan bahwa ada gerakan serius di Eropa untuk membatasi kerja menjadi empat hari seminggu. Bayangkan Jakarta. Kemacetan yang semakin parah, sedotan rutinitas kerja yang monoton dan melelahkan, serta interaksi antar manusia yang tidak ramah. Orang harus berangkat kerja sewaktu masih subuh, agar tidak terjebak macet. Sesampainya di kantor, mereka bekerja. Ketika waktu pulang tiba, banyak yang memilih shalat maghrib di kantor, atau mampir dulu di berbagai tempat hiburan, agar bisa menghindari kemacetan. Setelah agak malam, baru mereka mulai merayap pulang. Permasalahannya, pulang sore atau agak malam, biasanya sama-sama sampai di rumah pada waktu yang sama juga. Sesampainya di rumah, badan sudah terlalu lelah untuk menikmati waktu senggang dengan kembali kepada diri. Bahkan di akhir pekan, mereka cenderung pergi keluar dari diri, menuju perangkap eksterioritas yang dipenuhi imaji dan ilusi. Zamzam AJT pernah menguraikan bahwa bagi yang beragama Islam, ada mekanisme harian yang merupakan saat bagi penganutnya untuk menikmati waktu senggang, yaitu shalat. Dalam hadis disebutkan bahwa Shalat adalah miraj-nya muminin. Zamzam menjelaskan: Maka, di dalam kata shalat tersirat suatu dinamika atau proses perjalanan yang sifatnya menaik (uruj), dan secara eksplisit bentuk ibadah shalat yang dicontohkan Nabi Saw mengisyaratkan adanya perubahan bertahap dari suatu state ke state yang lain secara tertib. Serangkaian kalimah takbir yang diucapkan dalam ibadah shalat menunjukkan suatu proses kenaikan (miraj) bertahap. Shalat bukanlah jeda yang terlalu sering mengganggu ritme kerja. Justru, setelah shalat (yang khusyu), orang akan merasakan kemudahan meneruskan pekerjaannya. Selain itu: Istilah shalat melampaui dari sekadar nama suatu ibadah mahdlah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata shalat mencerminkan suatu proses pengorbitan setiap ciptaan Allah. Secara spesifik terhadap poros dari suatu amr Allah Swt . Ini diisyaratkan oleh An-Nr [24]: 41...

Dalam dua penelitian yang dilakukan terpisah oleh Budi Fajar AM dan Herry Mardianto, mereka memaparkan tentang aktivitas pengikut thariqah di Jakarta dan Bandung. Sudah menjadi kelaziman bahwa pada akhir pekan, banyak orang dari berbagai agama mengikuti aktivitas keagamaan. Begitu juga di kalangan umat Islam. Namun, ada satu hal sangat spesifik di komunitas thariqah tersebut, yaitu waktu senggang yang mereka jalani secara eksplisit dinyatakan untuk kembali kepada dan mengenal diri. Mereka menjalani riyadhah untuk melatih agar jiwa (nafs) bisa bertahap lepas dari keterikatan terhadap jasad, setiap minggu mengunjungi mursyidnya untuk mengaji dan menerima bimbingan suluk agar bisa mengena diri yang berarti juga mengenal Allah, serta mengadakan pengajian tafsir Al-Quran yang memuat banyak khazanah tentang pengenalan diri. Kedua penelitian ini setidaknya memperlihatkan bahwa di antara deru kebisingan dunia kerja kota besar, masih ada orang-orang yang berupaya untuk menghindari waktu senggangnya dari perangkap eksterioritas. Karenanya, sudah semestinya ideologi merkantilisme dihilangkan dari dunia pendidikan. Pendidikan dikembalikan sebagai waktu senggang untuk kembali kepada diri dengan mengolah energi minimal peserta didiknya. Dengan demikian, diharapkan kelak nantinya mereka pun akan bekerja di bidang energi minimalnya, menghasilkan karya-karya yang berguna dan bukan asal mendapat upah material. Sehingga, manusia bisa senantiasa merayakan waktu senggangnya baik dalam dunia pendidikan maupun kerja, mencelup hari-harinya dengan aura hari kudusnya.[]

Balik Memberi Melebihi dari yang Diterima


(Sebuah tulisan lama, mungkin sekitar 6 tahun lalu, yang pernah di muat di kolom opini Pikiran Rakyat) Berikut kisah nyata. Seorang suami tidak mau mengurus KTP lamanya yang sudah habis masa berlakunya. Sang istri mendesak dan mengingatkan bahwa sang suami akan menemukan banyak kesulitan administratif apabila tidak mempunyai KTP baru. Alasan keengganan sang suami adalah: Negara tidak pernah memberi apa pun kepada saya, jadi untuk apa saya mengurus KTP? Mendengar alasan itu, sang istri beristighfar dan mengingatkan bahwa setelah mendengarkan pengajian tentang nasionalisme, sang istri merasa belum berbuat apa pun untuk negara. Namun, sang suami memang tidak mau berpikir panjang dan keras kepala. Maka terpaksalah sang istri yang tengah hamil tua, ditemani anaknya yang baru masuk SD, pergi ke kelurahan menguruskan KTP baru untuk sang suami. Sayangnya, filosofi birokrasi di Indonesia adalah: Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Setelah sekian kali bolak -balik ke kelurahan yang jaraknya jauh, rupanya terjadi kesalahan penulisan nama. Sang istri diminta kembali ke kelurahan. Karena sudah kelelahan, sang istri menelepon ke kelurahan dan menangis meminta agar hal tersebut bisa dipermudah dan diurus oleh para petugas kelurahan saja, tanpa perlu dia bolak-balik lagi ke kelurahan. Sang istri bahkan sampai terpaksa menceritakan betapa beratnya menikah dengan seorang lelaki yang sulit. Akhirnya, ada seorang petugas kelurahan yang tergerak dan mau membantu sang istri tersebut. Setelah KTP tersebut selesai, sang istri memberikannya kepada sang suami. Namun, bukannya berterima kasih atas jerih payah sang istri, sang suami itu malah meremehkan KTP tersebut dengan komentarkomentar picik yang tidak bermutu. Memang sangat disayangkan bahwa sang suami sudah kadung apatis terhadap negara (bahkan, sebenarnya, terhadap banyak hal). Permasalahan ini bisa kita pahami penyebabnya. Sebagaimana banyak terungkap, seringkali sepak terjang para pelaksana pemerintahan negara, entah itu korupsi, kolusi, nepotisme, memang mudah membuat masyarakat marah dan putus asa terhadap masa depan Indonesia. Namun, seperti yang diperlihatkan oleh kehidupan Rasulullah Saw, seorang mukmin sejati itu seharusnya memiliki kepribadian seperti lautan. Berbagai sampah, kotoran, bangkai dan hal-hal buruk lainnya masuk ke dalam lautan. Namun apa yang lautan keluarkan sebagai balasannya? Mutiara, ikan untuk di makan, minyak bumi, uap air pembentuk awan yang nantinya akan menurunkan hujan yang berguna bagi semua kehidupan, dan hal-hal berguna lainnya. Seperti itu pulalah kepribadian Rasulullah Saw. Beliau diingkari, dihina, dilempari batu sampai terluka, hingga Jibril pun menawarkan untuk menghukum para pengingkar tersebut dengan menimpakan gunung ke atas mereka. Namun tidak pernah sekalipun beliau memohon Allah SWT mengazab kaum pengingkar tersebut. Bahkan beliau menjelaskan kepada Jibril bahwa sikap kaum pengingkar tersebut disebabkan kebodohan dan ketidakmengertian mereka. Bahkan ketika seorang perempuanyang selalu melemparkan kotoran ke arah beliau Saw ketika melintasi rumahnyajatuh sakit, beliau Saw malah menengoknya. Sebaliknya, sikap sang suami yang apatis tersebut lebih menyerupai pabrik sampah. Ketika berbagai sampahberupa sepak terjang memuakkan sebagian pelaku pemerintahan negaramasuk ke dalam dadanya, sang suami malah balik mengeluarkan sampah lagi. Masuk sampah, keluar sampah.

Lantas apa yang seharusnya dilakukan oleh para mukmin menyikapi keadaan seperti ini? Tentu saja gagasan tentang membuat revolusi atau menjadi seorang pengerah massa bukanlah suatu pemikiran yang harus serta merta diwujudkan oleh semua orang. Apalagi perbuatan bidah seperti bom bunuh diri yang malah dilabeli jihad fi sabilillah. Namun sayangnya, tak jarang manusia dikuasai oleh hawa nafsunya untuk melakukan sesuatu secara terburu-buru (yang dalam hadis ditegaskan sebagai perbuatan setan). Atau terobsesi melakukan sesuatu yang besar dan, secara sadar atau pun tidak, ingin mendapat sorotan atas perbuatannya tersebut. Atau, lebih buruk lagi, malahan menjadi apatis seperti sang suami di atas. Seorang ulama pernah mengatakan bahwa untuk mengukur apakah suatu perbuatan itu lahir dari hawa nafsu, manusia bisa mengukur melalui dua hal, yaitu kemampuan dan kesempatan. Apabila ada kemauan, juga kemampuan, namun belum ada kesempatan, maka memaksakan diri mewujudkan kemauan tersebut berarti memperturutkan hawa nafsu. Begitu juga apabila kemauan dan kesempatan ada, namun tidak mempunyai kemampuan, maka memaksakan diri mewujudkan kemauan tersebut berarti memperturutkan hawa nafsu. Nah, terkait dengan kemauan untuk mengadakan perubahan, sebenarnya Allah SWT pun memberi kesempatan kepada setiap individu mukmin untuk bisa berbuat sesuatu yang sederhana dalam hidup kesehariannya. Namun dalam jangka panjang dan bertahap akan menunjukkan hasilnya. Dalam teori chaos, yang lebih dikenal di kalangan saintis, terdapat ungkapan terkenal, yaitu, kepak sayap kupu-kupu di samping rumah kita telah mengakibatkan tornado di Amerika. Apa maksud ungkapan ini? Sebuah perbuatan yang mungkin kecil di mata kita, juga di mata orang lain, dalam suatu reaksi berantai terus menerus ternyata telah turut andil menciptakan suatu dampak yang besar. Tak ubahnya seperti gelindingan bola salju yang awalnya hanya sebesar kelereng, namun lama kelamaan membesar dan dapat melumat manusia. Begitu pulalah halnya perbuatan manusia. Dalam kesempatan lain, ulama yang tadi pun pernah berkata bahwa apabila seorang pegawai mendapat gaji sebesar Rp. 1000000, namun kualitas kerjanya hanya setara dengan Rp. 500000, maka pegawai tersebut telah melakukan korupsi sebesar Rp. 500000 dari tempat kerjanya setiap bulan. Namun, apabila pegawai tersebut bekerja optimal sehingga kualitas kerjanya setara dengan Rp. 1000000, maka pegawai tersebut tidak mendapatkan apa pun selain upah atas jerih payah kerjanya semata. Sementara apabila pegawai tersebut bekerja lebih optimal lagi sehingga kualitas kerjanya setara dengan Rp. 1500000, maka kelebihan Rp. 500000 dari jerih payah kerjanya tersebut akan menjadi amal shalihnya. Dengan demikian, setiap bulan pegawai tersebut memiliki tabungan yang akan menjadi bekalnya untuk menempuh berbagai kehidupan berikutnya sesudah kehidupan dunia ini. Selain itu, seorang ulama lainnya juga mengingatkan tentang berlakunya salah satu hukum Allah SWT, yaitu qishash. Namun, qishash yang dikemukakannya bukan dalam pengertian nyawa dibalas dengan nyawa, tapi lebih luas lagi, yaitu, suatu perbuatan akan dibalas dengan perbuatan yang setimpal. Dalam hal ini, dia menekankan tentang ketertiban seorang mukmin sejati dalam menaati berbagai peraturan, termasuk peraturan negara yang telah ditetapkan untuk suatu kebaikan. Sebuah contoh kecil: peraturan lalu lintas. Apabila seseorang sering melanggar lampu merah dan berbagai peraturan lalu lintas lainnya, maka tidaklah pantas baginya merasa sakit hati ketika orang lain pun kemudian melanggar peraturan yang dibuatnya,

entah di kantor atau pun di rumah. Bukankah dia pun sering melanggar peraturan yang telah dibuat orang lain? Kesemua paparan di atas mungkin terkesan remeh dan tidak memperlihatkan sesuatu yang besar, terlebih apabila dipandang melalui berbagai hasrat untuk melakukan perubahan secara revolusioner. Tapi, bukankah manusia memang harus menimbang kemampuan dan kesempatan. Lagi pula, bukan tidak mungkin berbagai perbuatan kecil tersebut suatu ketika pun akan berdampak besar. Al-Quran pun menegaskan hal seperti ini dengan mengingatkan bahwa barangsiapa membunuh satu jiwa, maka itu sama dengan membunuh semua jiwa. Begitu pula apabila seseorang menghidupkan satu jiwa, maka itu sama dengan menghidupkan semua jiwa (lihat QS Al-Maidah [5]: 32). Ternyata kebaikan yang hendak manusia lakukan tidaklah harus berupa sesuatu yang bersifat kolosal dan menyentuh semua manusia. Begitu pula halnya dengan keburukan. Bayangkan orangtua yang mendidik dan mencontohkan kepada anak-anaknya untuk senantiasa menaati berbagai peraturan, baik aturan agama maupun negara serta kemasyarakatan, juga mendidik dan mencontohkan untuk senantiasa balik memberi melebihi dari yang diterimanya. Maka, setiap kali anak-anaknya menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan mereka masingmasing, bukankah sang orangtua pun akan mendapatkan aliran kebaikannya? Dan bayangkan ketika ajaran kebaikan tersebut berlanjut pula hingga cucu-cucunya? Selain itu, bayangkan pula apabila orangtua tersebut ternyatatanpa mereka sadaritengah mendidik seorang anak yang akan menjadi orang besar di kemudian hari, misalnya nabi (untuk masa lalu), atau ulama atau malah seorang pemimpin besar sebuah bangsa. Bayangkan ketika sebuah bangsa diubah dan dibawa menuju ke kemakmuran dan keadilan oleh seorang nabi atau pemimpin yang yang adil, bukankah segala kebaikan yang diajarkan oleh sang anak kepada sekian juta manusia yang dipimpinnya akan mengalir juga kepada orangtua yang telah mengajarkan semua kebaikan tersebut kepada sang anak? Tak salah apabila Rasulullah Saw bersabda bahwa ketika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua perkara kecuali tiga hal: harta yang dibelanjakan di jalan Allah, ilmu yang diamalkan, dan doa anak yang shalih. Sebaliknya, bayangkan seorang koruptor membawa uang hasil korupsi ke rumahnya. Kemudian uang korupsi tersebut dibelanjakan menjadi makanan yang masuk ke dalam tubuh anakanaknya. Makanan tersebut kemudian berubah menjadi daging pembentuk tubuh anak-anaknya, dan pada gilirannya nanti akan memcemari karakter anak-anaknya. Bayangkan pula, bagaimana jadinya ketika di masa depan salah seorang anaknya menjadi pembesar negara dan melakukan korupsi juga? Sebuah keburukan di tingkatan keluarga tersebut semakin teramplifikasi menjadi merugikan negara dan masyarakat banyak. Dalam Al-Quran, Allah SWT sendiri telah mencontohkan bahwa barangsiapa berinfak, maka Dia Taala akan membalasnya 700 kali lipat (yaitu, seperti satu benih yang tumbuh menjadi 7 batang dan tiap batang berbuah seratus, lihat QS Al-Baqarah [2]: 261). Demikianlah, Islam mengajari agar manusia senantiasa seperti lautan, yaitu membalas keburukan yang masuk dengan mengeluarkan berbagai kebaikan, dan juga balik memberi dengan melebihi daripada yang diterima seperti dalam bekerja. Sementara korupsi adalah sebaliknya, mengambil lebih daripada yang seharusnya diterima.[]

Akhlak, Nalar dan Absurditas


Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto Kontroversi kasus RUU APP, razia malam yang konyol akibat Perda Tangerang, kasus karya seni Agus Suwage dan Davy Linggar, penutupan rumah ibadah, sweeping orang asing, dan sebagainya adalah beberapa gejala yang menunjukkan bahwa perselingkuhan antara agama dan politik di negeri ini betul-betul telah mengompori meluasnya dan menguatnya tendensi fundamentalisme. Sebuah kemunduran yang membahayakan: membahayakan hidup berbangsa, tapi juga membahayakan dan merusakkan martabat agama itu sendiri. Kasus-kasus itu memperlihatkan bagaimana kini, sebagai alat politik, agama telah terperosok melakukan banyak hal yang demikian naf, absurd dan menggelikan, hingga cenderung menjadi bahan olok-olok mereka yang memiliki bahkan sedikit saja kecerdasan. Kedangkalan yang Disucikan Ketika saat ini penggunaan nalar kritis adalah sesuatu yang tak terelakkan, bahkan menjadi semacam syarat bagi kehidupan dan kemanusiaan modern yang bermartabat; ketika dalam berbagai slogannya agama pun merayakan penggunaan akal sebagai sesuatu yang wajib, dalam kenyataannya di negeri ini akal terus menerus dikangkangi dan dianggap berbahaya, terutama bila status quo mulai terancam. Pada titik ini, akal kritis lantas dengan sewenangwenang dicap entah sebagai kebarat-baratan, ancaman kemurtadan, bahaya relativisme agama, atau yang kini populer: ancaman bagi akhlak budaya bangsa. Yang terakhir itulah terutama masalahnya kini: istilah akhlak terus menerus digunakan untuk melegitimasikan tindakan-tindakan yang justru tak berakhlak; istilah budaya bangsa terus menerus digunakan untuk segala strategi politik yang justru mendisintegrasikan budaya bangsa. Politisasi agama rupanya telah mengakibatkan syahwat atas kekuasaan demikian menggelegak dan disucikan, egosentrisme kelompok yang sempit dilegitimasi secara moral, dan yang lebih parah, kedangkalan serta kerancuan berpikir diyakini sebagai kesalehan. RUU APP adalah salah satu konfigurasi paling menarik dari semua kekacauan pikiran itu. Sudah ada banyak undang-undang yang bisa digunakan untuk mengatur urusan pornografi dan perkara susila umumnya, dan berbagai kasus pun selama ini telah diproses dengan semestinya. Sesungguhnya tak diperlukan lagi undang-undang baru untuk mengatur hal itu, apa lagi dengan isi substansi yang dangkal, serampangan dan rancu. Ada banyak hal dalam RUU APP itu yang menyebabkannya bukan saja sangat lemah, tapi juga berbahaya. Tentang itu telah banyak tulisan akhir-akhir ini yang membahasnya, namun ada baiknya saya ringkaskan dahulu pendapat masyarakat ihwal RUU itu. Pertama, dasar-dasar konseptual peristilahannya tumpang-tindih, antara pornografi, erotisme, sensualitas, obsenitas dan ketelanjangan banal seharihari. Satu hal pokok yang diabaikan di sana adalah soal tujuan (motivasi) dan cara atribut seksual ditampilkan. Yang spesifik pada pornografi adalah tujuan dan caranya yang sematamata hendak memanipulasi perangsangan. Pada erotisme, obsenitas, sensualitas dan ketelanjangan banal sehari-hari, tujuan, bentuk dan konteksnya dapat bermacam-macam. RUU itu terlampau bersemangat dengan urusan mempertontonkan aurat, hingga rancu menganggap semua itu pornografi. Lantas seolah juga dengan menutup aurat segala problem moralitas langsung beres. Begitu sederhana dan naf. Kedua, RUU itu terlalu jauh mengatur wilayah

moralitas individu dan memaksakan satu standar moralitas partikular bagi masyarakat yang majemuk. Ketiga,dalam berbagai sisi ternyata RUU itu melanggar konstitusi dan HAM. Keempat, dengan denda yang begitu besar sesungguhnya negara mengeksploitasi hak seksual warganya.Kelima, RUU itu menstigmatisasi secara negatif tubuh dan seksualitas perempuan, serta mengkriminalisasi kaum perempuan yang sebenarnya sudah selalu merupakan pihak yang menjadi korban. Keenam, RUU ini memberi peluang ke arah meningkatnya kekerasan oleh para polisi-moral, yang tentu lagi-lagi kaum perempuanlah yang akan banyak menjadi korban. Ketujuh, ada banyak persoalan moral yang lebih mendasar hari ini yang perlu dibenahi ketimbang sekadar urusan aurat, misalnya: gelagat kemunafikan yang begitu parah, etos kerja dan komitmen nilai yang begitu rendah, sulitnya bersikap konsisten antara idealisme dan tindakan konkrit, manipulasi isu agama untuk tujuan yang justru dapat merusakkan agama, dan sebagainya. Demikian, dari berbagai alasan di atas menjadi jelas bahwa RUU yang maunya menegakkan moral justru membawa demikian banyak karakter imoral di dalamnya. Suatu moralisme yang absurd. Akar Persoalan Salah satu akar mendasar dari berbagai gelagat macam di atas itu agaknya adalah kekosongan dan lemahnya individu. Kekosongan ini menyebabkan individu begitu tergantung pada simbolsimbol eksternal secara harfiah dan berlebihan, ketergantungan yang sesungguhnya patologis. Simbol-simbol itu menggantikan ketiadaan isi dalam diri, menggantikan ego, sekaligus memberi ilusi bahwa dirinya adalah bagian dari entitas ego-kolektif yang lebih besar. Ada sejenis megalomania dan kengototan pada kemutlakan, yang menyembunyikan rasa ketidakberartian. Itulah sebabnya jumlah massa, pengeras suara, berbagai spanduk, jumlah tempat ibadah, dan berbagai bentuk formalisasi eksternal prinsip-prinsip yang diyakini dianggap begitu penting. Sementara segala bentuk tafsir nalar mendalam adalah bahaya merusakkan kepastian permukaan, maka akan coba selalu dihindarkan. Namun, dengan itu sesungguhnya individuindividu itu menjadi makin rapuh, sebab secara mental dan intelektual tak teruji. Akibatnya kecenderungan defensif pun menjadi terlampau besar, dan pada tingkat bawah sadar senantiasa dibayangi kecurigaan dan ketakutan. Celakanya kecurigaan dan ketakutan sesungguhnya adalah sumber kekerasan, yang bukan hanya membahayakan pihak lain, melainkan juga merusakkan diri sendiri. Situasi komunikasi dan interaksi global sekarang sebenarnya tak bisa dihadapi dengan struktur mental macam itu. Adalah ilusi bahwa kita bisa menghindar dari segala keusilan bernalar kritis. Lagi pula, alih-alih merusakkan sistem, keterbukaan untuk mengolah nalar kritis adalah siasat terbaik justru untuk memperkuat diri dan sistem itu sendiri. Sebaliknya, semakin harfiah dan tertutup suatu sistem simbol diperlakukan, semakin dangkal ia, semakin merosot martabatnya, semakin tak bernyawa dan kehilangan wibawa. Sesungguhnya banyak orang muda yang cerdas memahami hal ini. Masalahnya kebodohan massal yang disucikan dan dilindungi kekuasaan memang sangatlah mengerikan.[]

Ekonomi dan Agama: Dikotomi Antara Sains dan Agama?


Rachmat Sudarsono (Doktor Ekonomi jebolan UGM, sekarang menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Unpad) Pendahuluan Sains dan agama berbicara tentang dua tingkatan realitas yang sangat berbeda. Sains berbicara tentang fenomena alam yang dapat diraih oleh panca indera manusia; agama berbicara tentang tingkatan realitas yang lebih tinggi yang bersifat transendental dan di luar jangkauan pengalaman indra. Sains sangat menggantungkan pada kemampuan manusia, terutama akal;1 serta mencoba mendapatkan pengetahuan melalui observasi dan eksperimen. Sains berupaya menjelaskan dan menganalisis tentang apa; dan harus dapat melakukan prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Ketika sains berbicara tentang alam, maka eksplanasi dan analisisnya lebih pasti dan daya prediktifnya lebih besar. Namun, ketika sains berbicara tentang manusia, makhluk yang tidak selalu berperilaku standar, maka eksplanasi dan analisisnya bisa kurang tepat dan prediksinya seringkali tidak akurat. Berbeda dengan sains, agama selain harus melakukan optimasi akal, juga harus bergantung pada pengetahuan yang bersumber dari pewahyuan.2 Hal ini dilakukan untuk membantu mentransformasi kondisi manusia dari apa kepada kondisi ideal atau apa seharusnya. Sekalipun sains dan agama berbicara tentang dua tingkatan realitas yang berbeda, tetapi tujuan utama kedua institusi ini sama, yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia. Sebenarnya, jika aspek spiritual dan kesejahteraan material (wealth) yang akan diberikan oleh kedua institusi ini saling berkaitan, maka sains dan agama akan dapat melayani umat manusia secara lebih efektif. Agama dapat menyediakan perspektif yang benar kepada sains, sehingga sains tidak lupa akan keterbatasannya. Sains dapat membantu agama menjadi lebih efektif dalam mewujudkan apa seharusnya dengan melakukan analisis yang lebih baik tentang apa, serta memberikan kerangka untuk prediksi dengan menyediakan teknologi yang lebih baik dan penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Dengan demikian, sebenarnya tidak akan terjadi dikotomi antara sains dan agama. Sains tidak harus anti-agama; sebaliknya agama juga tidak harus anti-sains. Konflik akan timbul jika sains menolak mengakui keterbatasannya dan mengabaikan kontribusi ajaran-ajaran moral dan transendental.3 Konflik juga akan terjadi jika agama membuat pernyataan-pernyataan yang irasional dan sulit diterima oleh sains.4 Jika terjadi konflik, maka solusi yang terbaik adalah melalui dialog. Jika keduanya tetap bersitegang, masing-masing mencoba mematikan konsep lawannya, dan menggunakan kekuatan untuk memaksakan pandangannya kepada orang lain, maka konflik akan meluas dan mengeras sehingga kecil kemungkinannya untuk melakukan rekonsiliasi. Sekalipun konflik antara sains dan agama sebenarnya tidak perlu terjadi, namun hal ini benar-benar terjadi dalam masyarakat sejak dulu hingga saat ini. Gerakan Renaissance menggunakan sikap-sikap yang bermusuhan terhadap agama dan menciptakan epistemologi dengan menjadikan akal sebagai hakim tertinggi bagi semua kebenaran. Renaissance telah menolak semua kepercayaan metafisik yang tidak dapat ditelusuri oleh akal dan inderawi. Ilmu ekonomi tanpa terkecuali. Prinsip-prinsip yang

dibangunnya telah melahirkan konsep-konsep manusia ekonomi rasional, positivisme, dan laissez-faire, yang tidak sesuai dengan pandangan dunia Kristen saat itu. Secara umum, agama berisi tentang prinsip dan pedoman normatif serta serangkaian aturan terhadap semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ekonomi. Namun demikian, masih terdapat perdebatan panjang dalam mendefinisikan secara tepat konstruksi ilmu ekonomi dalam perspektif agama.5 Sebagai suatu sains, ilmu ekonomi yang merupakan the queen of social sciences, universalitas dan generalisasi ilmu ekonomi sering dipertanyakan kembali karena ia dianggap gagal dalam memberikan penjelasan atau solusi masalah-masalah dalam perekonomian.6 Penggunaan perspektif agama dalam pengembangan ilmu ekonomi diharapkan dapat merevisi prinsip-prinsip atau tata nilai serta melakukan rekonstruksi ulang agar teori ekonomi lebih dapat menyentuh aspek holistik manusia.7 Sayangnya, penggunaan perspektif agama dalam proses rekonstruksi teori ekonomi tersebut masih berperan sebagai free rider; ia belum dapat memberikanunderlying assumptions yang bersifat genuine, sehingga teori ekonomi berbasis nilai-nilai etik belum dapat diterima secara ilmiah.8 Pada dasarnya ilmu ekonomi merupakan ilmu untuk mengamati fenomena sosial, baik dari awal sejarah dan perkembangan manusia sampai dengan pola interaksi sosial, baik secara individu maupun antar individu, baik dalam suatu kelompok maupun antar komunitas. Teori ekonomi bukanlah suatu ilmu yang statis, tapi ia masih terus berkembang dan berevolusi untuk mendapatkan formulasi dan kontruksi teori ekonomi yang lebih robust dan lebih relevan dengan tata nilai yang dianut oleh masyarakat pada zamannya. Dalam sejarah perkembangannya, prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai ilmu ekonomi telah mengalami banyak perubahan. Perluasan teori ekonomi dilakukan dengan melonggarkan beberapa asumsi dasar dengan lebih mengakomodasi realitas ekonomi yang sebenarnya. Ekualitas antara natural sciences dan social sciences dalam perspektif hubungan antara sains dan agama menjadi salah satu isu penting dalam pengembangan ilmu ekonomi.9 Namun, dalam perkembangannya, para teoretisi ilmu ekonomi berhadapan dengan serangkaian kerumitan fenomena sosial yang kompleks yang seringkali terjadi secara simultan karena sifat dan karakteristik dasar perilaku manusia sulit dipahami dan sulit diprediksi. Dalam makalah ini, pemaparan diskusi mengenai isu agama dan ekonomi terbagi menjadi empat bagian. Pertama, filosofis, konsep dan prinsip-prinsip dasar ilmu ekonomi. Bagian ini mendiskusikan mengenai latar belakang lahirnya ilmu ekonomi dan permasalahan pokok yang menjadi fokus ilmu ekonomi. Kedua, evolusi dan perkembangan pemikiran ilmu ekonomi. Bagian ini mendiskusikan mengenai peranan beberapa tokoh sentral yang membidani perubahan paradigma teori ekonomi. Ketiga, keselarasan dan polemik antara ekonomi dan agama. Bagian ini membahas diskusi mengenai kontradiksi antara beberapa asumsi dasar teori ekonomi dengan beberapa asumsi dasar dalam perspektif agama (Islam). Keempat, rekonsiliasi atau solusi terhadap konflik antara sains ekonomi dan agama. Bagian ini mendiskusikan tentang wacana paradigma sains ilmu ekonomi yang dibangun di atas landasan paradigma agama. Filosofi, Konsep dan Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Ekonomi Sebenarnya, usia ilmu ekonomi sama tuanya dengan usia manusia di planet ini. Ilmu ekonomi muncul pada saat manusia ada dan hadir di dunia serta hidup dan bekerja untuk memenuhi

kebutuhannya. Masalah inti ekonomi seperti: barang apa yang akan dikonsumsi dan diproduksi; bagaimana memproduksi dan mendistribusikannya, tetap menjadi isu utama ilmu ekonomi selama ribuan tahun, baik yang terekam oleh sejarah maupun tidak. Pendekatan ilmu ekonomi terhadap berbagai aktivitas ekonomi pada masa lalu hingga saat ini, tidak dapat dilepaskan dengan aspek moral, persepsi kultural dan nilai-nilai keagamaan, aspirasi dan visi masyarakat terhadap kondisi sosial. Aspek etika dan moral telah berperan penting dalam membentuk mindset dan kodifikasi ilmu ekonomi. Kepentingan diri (self interest), penciptaan kekayaan (wealth) dan kepemilikan (capital acquisition) tetap menjadi titik sentral analisis dalam ilmu ekonomi. Kerangka etika, moral dan agama, disadari atau tidak disadari telah banyak mempengaruhi pemikiran para teoretisi dalam membangun paradigma ilmu ekonomi. Pada dasarnya, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran.10 Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang relatif tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas.11 Kata ekonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani (oikos) yang berarti keluarga, rumah tangga; dan (nomos), atau peraturan, aturan, hukum; dan secara garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga. Dengan demikinan, pada dasarnya ilmu ekonomi menerangkan tentang prinsip-prinsip dalam menggunakan pendapatan rumah tangga sehingga menciptakan kepuasan yang maksimum kepada rumah tangga tersebut.12 Samuelson13 (1979) dalam Sukirno (2008) mendefinisikan ekonomi sebagai berikut: Ilmu ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana orang-orang dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang; dengan menggunakan sumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi, sekarang dan di masa datang, kepada berbagai orang dan golongan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua aktivitas penting dari kegiatan manusia dan masyarakat yang menjadi tujuan analisis ilmu ekonomi. i. Bagaimana cara individu dan/atau komunitas dapat memperoleh kepuasan yang maksimum dengan menggunakan pendapatan atau sumber daya tertentu? ii. Bagaimana cara meminimumkan penggunaan pendapatan atau sumber daya untuk mencapai suatu tingkat kepuasan tertentu? Pertama, aktivitas manusia dalam memutuskan pilihan yang paling efisien dalam penggunaan berbagai sumber daya agar tercipta kepuasan yang optimal.14 Sumber daya tersebut adalah benda atau jasa, yang disediakan oleh alam atau diciptakan manusia yang digunakan oleh individu untuk menghasilkan berbagai macam barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia, seperti: tanah, modal, tenaga kerja, dan kewirausahaan. Pengertian tanah meliputi semua sumber ekonomi yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi.15 Modal merupakan barang-barang yang digunakan oleh para pengusaha untuk menciptakan barang lain atau jasa.16 Sedangkan manusia menyediakan dua macam

sumber daya, yaitu: (1) tenaga jasmani dan psikologisnya sebagai tenaga kerja; (2) keahlian kewirausahaan17 dalam mengelola sumber daya secara efektif dan efisien dalam memproduksi barang dan jasa.18 Kedua, aktivitas manusia dalam penggunaan sumber daya agar mencapai tingkat efisiensi yang optimum.19 Aktivitas ini dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara keinginan manusia dengan ketersediaan sumber daya untuk memenuhi keinginan tersebut. Maka, ilmu ekonomi memberikan panduan tentang keputusan alokasi sumber daya yang paling efisien sehingga barang-barang dan jasa-jasa yang mereka hasilkan mencapai jumlah yang paling sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat. Evolusi Teori Ekonomi Evolusi teori ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan filsafat yang pada gilirannya mempengaruhi mind-set para teoritisi ekonomi pada saat merumuskan teori ekonomi. Para pemikir ekonomi menggunakan filsafat untuk dapat membantu dalam menemukan dan melihat underlying assumptions yang tersembunyi dari suatu fenomena ekonomi tertentu. Filsafat memberikan insight bagi para pencetus ide ilmu ekonomi untuk berpikir secara kritis dan terbuka serta kebersediaan untuk tidak memihak dalam memahami kebenaran ilmiah.20 Filsafat bukan saja memberikan perspektif mengenai pembahasan ilmu ekonomi itu sendiri, tetapi juga menjembatani keterkaitan ilmu ekonomi dengan berbagai aspek kehidupan, seperti: pendidikan, kebudayaan, moral, sosial dan politik. Pengembangan teori ekonomi lebih lanjut ternyata telah berhasil mengakomodasi dan mendapatkan kontribusi dari berbagai disiplin ilmu, seperti: matematika, statistika, psikologi, antropologi, sosiologi dan hukum. Maka dari itu, filsafat dan pandangan politik para pemikir ekonomi sangat mempengaruhi berbagai pemikiran ilmu ekonomi dan sistem perekonomian, Evolusi pemikiran ekonomi dapat ditelusuri dari berbagai artefak sejak zaman Yunani kuno sampai dengan saat ini. Benang merah teori ekonomi lebih pada perbedaan paradigma mengenai apa, bagaimana dan siapa yang akan mengelola dan menentukan alokasi faktor-faktor produksi dan harga yang fair. Maka, tata nilai dan prinsip-prinsip serta aliran filsafat ilmu yang diyakini oleh para pemikir ekonomi akan mempengaruhi pemikiran dan aktivitas ekonomi masyarakat. Evolusi pemikiran ekonomi pada akhirnya melahirkan tiga aliran (mazhab) besar teori ekonomi, yaitu: teori ekonomi klasik Adam Smith, teori ekonomi Keynesian, dan teori ekonomi Marxis (sosialis).21

Pemikiran Ekonomi Skolastikat Sistem ekonomi skolastikat memberikan pedoman tata nilai dan prinsip-prinsip ekonomi dalam tataran filosofis dan normatif. Pemikiran ekonomi pada masa ini lebih banyak dilakukan oleh para filosof dan skolastik, seperti: Aristoteles, Thomas Aquinas dan Fransois Quesnay. Sistem ekonomi skolastikat sebenarnya sudah mulai berupaya untuk membentuk ilmu ekonomi menjadi satu disiplin ilmu sendiri, sehingga dalam fase ini, ekonomi sering disebut dengan fisiokrat. Aristoteles memperlakukan kekayaan pribadi sebagai jalan emas dan kehidupan yang baik dengan melakukan derma dan kebajikan bagi sesama. Kaum skolastik Katolik dan Protestan terlibat dalam perdebatan tentang apa itu yang disebut harga yang adil di dalam perekonomian. Kaum skolastik Katolik mengatakan bahwa harga yang adil tak lain adalah harga pasar umum. Chanakya (350 SM) yang dikenal sebagai the Machiavellis prince, menyajikan diskusi tentang

bagaimana konsep manajemen yang efektif dan efisien serta masalah etika di bidang ekonomi dengan memfokuskan diri pada isu kesejahteraan seperti redistribusi kekayaan pada kaum miskin dan etika kolektif yang dapat mengikat kebersamaan masyarakat.

Pemikiran Ekonomi Merkantilisme Pemikiran ekonomi zaman merkantilisme banyak dipengaruhi oleh transisi pemikiran-pemikiran dari filsafat abad Pertengahan (dogmatis) dengan pemikiran filsafat zamanRenaissance sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ialah zaman peralihan ketika kebudayaan abad Pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman Renaissance adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas, yaitu sebagai animal rationale. Pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang karena ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, yang tidak didasarkan pada campur tangan Ilahi. Renasissancemembuka peluang manusia untuk melakukan discovery mencari dunia baru untuk mendapatkan hal-hal baru. Merkantilisme adalah pemikiran ekonomi dengan filosofi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Fase ini merupakan tahap awal bagi perkembangan modern capitalism sehingga sering disebut denganmerchant capitalism. Pada fase ini terjadi geographic discoveries oleh merchant overseas traders yang ditandai kenaikan yang cepat dalam perdagangan luar negeri.22 Para pedagang Eropa yang diperkuat oleh sistem kontrol dari negara, subsidi, dan monopoli menghasilkan keuntungan dari hasil transaksi perdagangan. Transaksi ekonomi diatur dengan hukum feodal seperti hak untuk mengumpulkan pajak untuk para bangsawan dan gereja dan pengaturan asosiasi pekerja (guild) serta sewa faktor-faktor produksi. Konsep utama mercantilist theory adalah bullionism, yaitu doktrin yang menekankan pada pentingnya akumulasi precious metals. Mercantilists berpendapat bahwa negara seharusnya melakukan ekspor barang yang lebih banyak daripada impor, sehingga pihak luar negeri akan membayar selisihnya dalam bentuk precious metals. Mercantilistsberpendapat bahwa perlu adanya subsidi dalam bentuk penjaminan monopoli protective tariffs, untuk melindungi manufactured goods dalam negeri. Selain itu, para perintismerchantilism menekankan pentingnya kekuatan negara dan kolonialisme sebagai kebijakan ekonomi yang utama. Negara harus mendapatkan koloni untuk mendapatkan suplai bahan mentah dan pasar bagi produk yang dihasilkannya. Maka, koloni harus dicegah untuk melaksanakan produksi dan berdagang dengan pihak asing lainnya untuk menghindari adanya kompetisi.

Pemikiran Ekonomi Klasik atau Laissez-Faire (Perekonomian Pasar) Kata laissez faire berasal dari bahasa Perancis yang berarti: biarlah mereka melakukan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka. Pada hakikatnya dalam sistem laissez faire, anggota masyarakat diberikan kebebasan penuh untuk menentukan kegiatan ekonomi yang ingin mereka lakukan. Filsafat atau ideologi yang mendasarinya adalah terdapatnya suatu keyakinan bahwa apabila setiap unit ekonomi diberikan kebebasan penuh untuk melakukan kegiatan ekonomi yang akan memberikan keuntungan kepada dirinya, maka pada waktu yang

sama masyarakat akan memperoleh keuntungan juga. Kebebasan penuh di dalam kegiatan ekonomi maksudnya adalah suatu sistem ekonomi di mana pemerintah sama sekali tidak campur tangan dan tidak berusaha mempengaruhi kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat. Seluruh sumber daya yang tersedia dimiliki dan dikuasai oleh anggota-anggota masyarakat; dan mereka mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan bagaimana sumber-sumber daya tersebut akan digunakan. Mereka bebas menentukan jenis pekerjaan yang ingin mereka lakukan, jenis usaha yang ingin mereka kembangkan, dan jenis barang-barang yang akan mereka beli dari pendapatan yang diperoleh. Maka, sistem mekanisme pasar akan dapat menciptakan efisiensi yang cukup tinggi atas kegiatan-kegiatan di dalam perekonomian.23 Teori ekonomi klasik menentang keras sistem nilai mercantilist doctrines yang berkeyakinan bahwa jumlah keseluruhan dari kekayaan dunia ini adalah tetap sehingga suatu negara hanya dapat meningkatkan kekayaannya dari pengeluaran negara lainnya. Dalam pandangan teori ekonomi klasik, kebijakan merkantilisme hanya menghasilkan kemakmuran dan keuntungan bagi produsen dan pemegang monopoli saja. Dalam sistem merkantilisme, kepentingan konsumen selalu dikorbankan demi kepentingan produsen. Ide utama yang diajukan oleh Smith adalah kompetisi antara berbagai penyedia barang dan pembeli akan menghasilkan kemungkinan terbaik dalam distribusi barang dan jasa karena hal itu akan mendorong setiap orang untuk melakukan spesialisasi dan peningkatan modalnya sehingga akan menghasilkan nilai lebih dengan tenaga kerja yang tetap. Smiths thesis berkeyakinan bahwa sebuah sistem besar akan mengatur dirinya sendiri dengan menjalankan aktivitas masing-masing tanpa harus mendapatkan arahan tertentu. Hal ini yang biasa disebut sebagai invisible hand yang menjadi pusat gagasan dari sistem ekonomi pasar. Smith mengabaikan kasus yang muncul setiap hari di mana kapitalis dituding sebagai penyebab perilaku ekonomi yang kontraproduktif seperti: keserakahan, penipuan, kecurangan, dan mengelabui konsumen, karenanya mereka hanya mengejar kepentingan diri sendiri (self-interest) dengan mengorbankan kepentingan publik. Smith hanya mengatakan bahwa manusia hampir selalu punya kesempatan untuk membantu saudaranya. Dia lebih besar kemungkinannya untuk memenangkan kompetisi jika dia dapat menarik kepentingan diri mereka untuk membantu orang lain. Dengan kata lain, semua pertukaran atau perdagangan yang sah harus bermanfaat bagi pembeli dan penjual, dan tidak mengorbankan salah satu pihak. Invisible hand hanya bisa bekerja jika pengusaha menganut pandangan persaingan jangka panjang, di mana mereka mengakui pentingnya reputasi bisnis. Singkatnya, kepentingan diri akan membantu kepentingan masyarakat hanya jika produsen merespons kebutuhan konsumen. Jika konsumen ditipu atau dicurangi, kepentingan diri akan terpenuhi tetapi dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat ideal yang dibayangkan Smith adalah masyarakat yang dipenuhi oleh nilai kebaikan, kedermawanan, dan hukum sipil yang melarang praktik bisnis yang curang dan tidak adil. Iklim moral yang baik dan sistem hukum yang kuat akan bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Smith mendukung institusi sosial- pasar, komunitas agama, dan hukum- untuk memperkuat kontrol diri, disiplin diri, dan kedermawanan. Model Smith merefleksikan atribut esensial ini: Setiap orang, sepanjang dia tidak melanggar hukum keadilan, diperbolehkan secara bebas mengejar kepentingannya sendiri dengan caranya sendiri, dan diperbolehkan bersaing dengan orang lain di bidang usaha dan pengumpulan modal. Smith percaya bahwa perdagangan akan mendorong orang untuk bekerja keras dan mendisiplinkan diri. Orang tidak akan mau menipu dan bersedia untuk memperbaiki kesalahan agar tidak kehilangan konsumennya.

Pemikiran Ekonomi Marxisme (Sosialis) Sistem ekonomi marxisme merupakan sistem ekonomi di mana pemerintah menentukan dan merencanakan sepenuhnya corak perekonomian dan kegiatan-kegiatan produksi yang harus dilakukan (command economy). Sistem ekonomi perencanaan muncul karena adanya keyakinan yang sangat berbeda dengan ideologi dalam sistem mekanisme pasar. Perkembangan sistem ekonomi sosialis bermula dari keyakinan bahwa kegiatan ekonomi yang diatur oleh mekanisme pasar akan selalu menimbulkan pengangguran dan ketidakadilan. Sistem ekonomi sosialis berkeyakinan bahwa pemerintah akan selalu dapat menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dengan lebih efisien daripada sistem pasar. Maka dari itu, untuk menjamin kelancaran aktivitas ekonomi dalam mencapai sasaran ekonomi yang ditetapkan dalam perencanaan, maka faktor-faktor produksi dikuasai dan dimiliki oleh negara. Tata nilai marxisme yang menyebabkan terjadinya benturan keras dengan tata nilai agama adalah doktrin agama adalah candu. Implikasinya, dalam sistem sosialis, prinsip-prinsip ekonominya sangat mengabaikan tata nilai yang bersumber dari agama karena menegasikan keberadaan Tuhan.

Pemikiran Ekonomi Keynesian (Perekonomian Campuran) Pemikiran ekonomi Keynesian muncul sebagai solusi dari kegagalan teori ekonomi klasik pada saat terjadi great depresion tahun 1930-an yang menunjukkan bahwa invisible hand perekonomian pasar tidak mampu bekerja untuk menahan gejolak di pasar modal. Pemikiran ekonomi Keynesian mengajukan teori bahwa pasar tidak selalu mampu menciptakan keseimbangan, dan karena itu intervensi pemerintah harus dilakukan agar distribusi sumber daya mencapai sasarannya.24 Sistem ekonomi campuran adalah sistem ekonomi yang dikendalikan dan diawasi oleh pemerintah, tetapi masyarakat masih mempunyai kebebasan yang cukup untuk menentukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ingin mereka jalankan. Mekanisme pasar masih tetap penting di dalam menentukan corak kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam masyarakat oleh interaksi antara pembeli dan penjual. Berdasarkan interaksi ini akan ditentukan barang apa yang perlu diproduksi dan bagaimana cara yang paling efisien untuk menghasilkan barang tersebut. Dalam perekonomian campuran, sebahagian besar keputusankeputusan seperti itu masih tetap diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam perekonomian campuran, tujuan pokok dari intervensi pemerintah adalah untuk menghindari akibat-akibat yang kurang menguntungkan sistem pasar bebas. Campur tangan pemerintah memungkinkan dilakukannya usaha-usaha untuk menghindari redistribusi pendapatan yang relatif tidak merata. Intervensi pemerintah dalam perekonomian dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama, intervensi berupa penetapan peraturan-peraturan atau menetapkan rule of the game yang bertujuan untuk mengaturkan dan mengawasi kegiatan ekonomi agar mereka menjalankan dengan norma-norma yang wajar. Kedua, intervensi berupa secara langsung melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi, sebagai pelaku ekonomi. Ketiga, intervensi pemerintah dengan menetapkan kebijakan fiskal dan moneter untuk menciptakan stabilitas perekonomian negara. Kontradiksi Asumsi Dasar Teori Ekonomi dan Agama

Evolusi pemikiran ekonomi telah menunjukkan bahwa ilmu ekonomi telah berkembang sebagai suatu disiplin yang terintegrasi antara kepentingan individu dan sosial; usaha privat dan negara; dengan motif mencari keuntungan moneter, sehingga mendegradasi dimensi etik, baik bagi manusia sebagai individu maupun manusia secara sosial. Pengembangan paradigma ilmu ekonomi telah memutus hubungan antara ilmu dan persoalan-persoalan transendental seperti etika, agama, dan nilai-nilai moral. Maka, paradigma ilmu ekonomi, kini tengah mengalami tantangan untuk bisa memasukkan dimensi moral ke dalam membangun asumsi-asumsi dasar dan paradigma ilmu ekonomi. Realitas ekonomi saat ini dihadapkan dengan berbagai permasalahan etika seperti: terjadinya krisis keuangan global, eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja, kesenjangan ekonomi yang sangat lebar, ekspropriasi, korupsi, kecurangan dan penipuan serta beberapa modus moral hazard lainnya. Terjadinya berbagai modus pelanggaran etika tersebut, ditengarai disebabkan oleh kegagalan teori ekonomi konvensional dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Jika teori ekonomi konvensional dianggap sebagai sumber terjadinya kemiskinan atau gagal dalam menciptakan kemakmuran secara lebih merata, maka apakah teori atom juga dapat dipersalahkan karena terjadinya kehancuran massal di Hiroshima dan Nagasaki? Apakah Adam Smith patut dipersalahkan karena invisible hand tidak bekerja untuk dapat memakmurkan masyarakat? Apakah terjadi ketidakselarasan antara nilai-nilai yang dianut oleh pemeluk agama dengan nilai-nilai dalam ilmu ekonomi? Apakah unsur etika, nilai dan budaya memang harus dipertimbangkan dalam membangun sebuah teori ekonomi? Apa yang sebenarnya dipahami oleh masyarakat tentang beberapa terminologi ilmu ekonomi? Apakah perlu dilakukan redefinisi dan penafsiran ulang terhadap berbagai terminologi dan berbagai asumsi dasar ilmu ekonomi? Maka, untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut perlu dibangun terlebih dahulu kesepahaman tentang beberapa asumsi dasar dan terminologi ilmu ekonomi; dan secara objektif dapat dievaluasi berdasarkan perspektif etika dan tata nilai agama, apakah perlu dilakukan penafsiran ulang, revisi atau penambahan dengan asumsi-asumsi baru.

Epistemologi Ilmu Ekonomi: Normatif atau Positif atau Keduanya? Pernyataan normatif adalah penyataan yang mengandung arti apakah yang sebaiknya harus terjadi. Jadi pernyataan normatif adalah suatu pandangan subjektif atau suatu value judgement. Pernyataan itu bukan mengemukakan pendapat mengenai keadaan apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi (what will be); tetapi mengemukakan apa yang sebaiknya harus terjadi (what should be). Pernyataan normatif sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari kebudayaan dan keagamaan. Oleh karena itu, kebenaran pernyataan normatif tidak dapat dibuktikan dengan hanya melihat kepada kenyataan.25 Epistemologi teori ekonomi konvensional lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat positivisme, sehingga ia lebih membatasi diri pada persoalan-persoalan positif yang bersifat freevaluedaripada membahas persoalan-persoalan normatif; sehingga teori ekonomi konvensional tidak mempertimbangkan penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk pada tingkatan perumusan teoretik. Pertanyaannya adalah apakah teori ekonomi konvensional benar-benar bebas nilai? Apakah efek dari pemisahan aspek positif dan normatif bagi teori ekonomi? Jika tata nilai agama tidak dipertimbangkan dalam asumsi dasar teori ekonomi, apakah ini berarti bahwa teori ekonomi dapat dikatakan bertentangan dengan agama? Apakah tata nilai agama tidak

sebaiknya lebih dijadikan sebagai landasan moral dan payung hukum semata agar teori ekonomi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan? Apakah terdapat batas-batas yang jelas antara ekonomi normatif dan positif? Apakah sebenarnya ekonomi positif dan normatif merupakan dua sisi dari mata uang yang sama dari teori ekonomi? Ilmu ekonomi konvensional tidak mempertimbangkan tata nilai halal dan haram, baik dalam memproduksi maupun distribusi barang dan jasa. Maka, ilmu ekonomi berdiri netral di antara motif ekonomi yang berbeda-beda. Kegiatan ekonomi dalam membuat dan mendistribusikan minuman beralkohol, usaha peternakan daging babi, jasa prostitusi dan perjudian merupakan aktivitas yang dapat dijelaskan oleh teori ekonomi; namun hal ini tidak mungkin terjadi sekiranya teori ekonomi mengakomodasi tata nilai dari perspektif Islam. Persoalan benturan etika dalam aktivitas ekonomi tersebut tidak masuk dalam domain tataran teoretik ilmu ekonomi. Persoalan etika lebih pada domain ilmu hukum, agar aktivitas ekonomi dapat selaras dengan tata nilai para penganut agama dan budaya masyarakatnya. Dalam hal ini, persoalan etika menjadi kondisional yang bersifat normatif dalam perumusan teori dan kebijakan ekonomi.

Asumsi Dasar Tentang Human Nature Ilmu ekonomi mempelajari perilaku ekonomi individu dan masyarakat untuk memperoleh jawaban-jawaban bagi masalah yang menyangkut hubungan di antara kebutuhan manusia dengan alat pemuasnya. Namun siapakan manusia? Apakah manusia yang dikonstruksikan oleh teori ekonomi sama dengan konstruksi manusia dalam perspektif agama? Jika terdapat perbedaan perspektif tentang konstruksi manusia, apakah objektivitas teori ekonomi dapat dibenarkan secara ilmiah? Ilmu ekonomi mengasumsikan bahwa manusia sebagai makhluk sosial; dan tidak mempertimbangkan manusia yang juga memiliki dimensi spiritual.26 Asumsi manusia dalam perspektif Islam, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali bahwa dalam diri manusia itu terdapat perpaduan tiga entitas, yaitu: jasad (body), jiwa (soul) dan ruh (spirit).27 Asumsi human nature dalam perspektif agama adalah manusia sebagai aspek jiwa; dan jiwalah yang diamanahi atau ditugasi; dan jiwalah yang diuji dan diajari; dan jiwalah yang dihukumi. Aspek jasad hanyalah berupa representasi jiwa yang terzahirkan di alam dunia. Maka aktivitas ekonomi yang berlaku dalam tataran jasadiah akan berimplikasi pada jiwa sekiranya memiliki perilaku yang kontraproduktif atau melanggar tata nilai agama.

Asumsi Dasar Tentang Law of Scarcity Dalam teori ekonomi kebutuhan manusia diasumsikan tidak terbatas sedangkan alat pemuas kebutuhan manusia adalah terbatas. Arti alat pemuas kebutuhan yang terbatas adalah: bahwa untuk mendapat alat pemuas tersebut, manusia perlu melakukan pengorbanan dengan proses pertukaran atau transaksi ekonomi. Maka, dalam melakukan aktivitas ekonomi, manusia selalu dihadapkan kendala kemampuan dan kesempatan (constraints budget) dalam memuaskan kebutuhannya. Konsekuensinya, manusia akan selalu dihadapkan dengan pilihan yang paling efisien dengan membuat suatu skala prioritas. Pertanyaannya adalah apakah tindakan ekonomi berupa optimasi dengan penyusunan skala prioritas adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama? Pada saat individu memiliki sumber daya yang berlebih, apakah ia dapat melakukan

distribusi sumber daya dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai agama seperti overconsumption atau tindakan pemborosan lainnya?

Asumsi Dasar Tentang Pemilikan Sumber Daya Evolusi pemikiran ilmu ekonomi menunjukkan terdapatnya perubahan paradigma dalam pemilikan faktor-faktor produksi, yaitu: penguasa, yaitu raja dan para bangsawan serta para aristokrat pada fase skolastikat; penguasa dan para pedagang (golongan borjuis) pada fase merkantilisme; laisses faire dalam sistem klasik; negara pada sistem sosialis; dan campuran antara negara dan privat pada sistem Keynesian. Hak milik pribadi adalah merupakan dasar kapitalisme; penghapusannya merupakan sasaran utama ajaran sosialisme. Keynesian berupaya mencari jalan tengah; intervensi pemerintah dengan memberlakukan pajak progresif diharapkan terdapat redistribusi pendapatan secara tidak langsung kepada masyarakat yang tidak memiliki sumber daya. Asumsi kepemilikan sumber daya dalam tata nilai agama bahwa ia pada hakikatnya adalah titipan dari Tuhan; dan bukan pemilikan secara mutlak. Hak pemilikan pribadi diakui dan dilindungi dalam agama, tetapi pemilik akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan mengenai asal dan cara perolehan sumber daya dan pendistribusiannya. Maka dari itu, prinsip dasar pemilikan sumberdaya dalam agama adalah konsep taawun yaitu tolong menolong dalam agama. Asumsi ini tidak terdapat dalam teori ekonomi konvensional. Pemilikan, pengelolaan dan distribusi sumberdaya didasarkan pada hukum-hukum positif dan mainstream ekonomi yang dianut masyarakatnya. Normatifnya, pemilikan sumberdaya dalam tata nilai agama adalah terdapat kemanfaatan, pembayaran zakat, pemilikan yang sah dan tidak merugikan orang lain, penggunaan yang tidak boros dan terdapat tatacara hukum waris. Maka, terdapat beberapa pertanyaan: jika pembayaran pajak menjadi satu paket dengan pajak, apakah hal tersebut dimungkinkan? Jika jawabannya memungkinkan, maka asumsi kepemilikan dalam teori ekonomi konvensional layak dipertanyakan kembali? jika penggunaan sumberdaya ekonomi dilakukan secara efisien, apakah itu selaras dengan konsep agama untuk tidak boros?

Asumsi Dasar Tentang Penetapan Harga28 Ihwal asumsi penetapan harga barang atau faktor-faktor produksi, sebagian besar mazhab ekonomi sepakat bahwa itu adalah hasil dari mekanisme permintaan dan penawaran. Namun masih terjadi perdebatan apakah penetapan harga yang fair sebaiknya diserahkan pada mekanisme pasar atau perlu adanya intervensi pemerintah. Jika penetapan harga diserahkan pada mekanisme pasar, apakah akan terdapat kompetisi yang sehat29 untuk menjamin terciptanya harga secara lebih efisien? Jika suatu unit ekonomi akan menetapkan harga, berapakah margin laba yang seharusnya ditetapkan? Prinsip agama bahwa dalam penetapan harga harus didasarkan pada kerelaan dan tidak ada keterpaksaan di antara pihak-pihak yang melakukan transaksi ekonomi, semata agar kedua pihak mendapatkan keberkahan.30 Konstruksi keberkahan tidak ditemukan dalam asumsi teori ekonomi konvensional tentang penetapan harga. Walaupun demikian, pada prinsipnya teori ekonomi berupaya untuk mendapatkan harga yang fair, baik melalui mekanisme pasar atau intervensi pemerintah. Pertanyaan fundamental lainnya adalah sektor-sektor apa saja yang

penetapan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar atau perlu intervensi pemerintah? Apakah sektor penetapan harga pada sektor pendidikan dan kesehatan dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar?

Asumsi Dasar Tentang Keputusan Produksi Barang Keputusan produksi barang akan menentukan tipikal penggunaan sumber-sumber daya. Suatu perekonomian harus menentukan barang dan kuantitasnya yang harus diproduksi yang dibutuhkan oleh suatu perekonomian. Masyarakat harus menentukan keinginan mana yang harus dipenuhi dan keinginan mana yang harus dikorbankan atau ditangguhkan untuk memenuhinya. Penentuan tersebut akan menentukan penggunaan sumber-sumber daya. Makin banyak sesuatu jenis barang akan dihasilkan, semakin banyak sumber daya yang akan digunakan di kegiatan tersebut; semakin berkurang sumber daya yang digunakan oleh sektor lain. Dalam teori ekonomi keputusan produksi barang tidak mengenal halal dan haram. Hal ini berarti bahwa teori ekonomi memiliki analisis yang sama dalam keputusan untuk memproduksi minuman beralkohol dan makanan yang mengandung lemak babi dengan kegiatan produksi barang-barang yang dianggap halal oleh agama.

Asumsi Dasar Tentang Proses Produksi Pilihan proses produksi: apakah bersifat padat karya atau padat modal. Masalah efisiensi merupakan salah satu faktor yang akan dijadikan dasar dalam melakukan pemilihan tersebut. Dalam memikirkan masalah efisiensi kegiatan memproduksi, yang harus dipikirkan tidaklah terbatas hanya kepada masalah efisiensi dari segi teknik. Selain pertimbangan teknis, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah besarnya jumlah permintaan. Apabila permintaan sangat besar, penggunaan teknik yang sangat modern akan menaikkan efisiensi. Tetapi apabila permintaannya tidak terlalu banyak, penggunaan proses produksi yang lebih sederhana akan menciptakan efisiensi yang lebih baik. Tampaknya untuk asumsi penentuan proses produksi tidak terdapat pertentangan antara nilai-nilai dari ilmu ekonomi dengan nilai-nilai agama.

Asumsi Dasar Tentang Distribusi Pendapatan Masalah selanjutnya yang harus dipikirkan suatu perekonomian adalah bagaimanakah pendapatan nasional didistribusikan kepada berbagai golongan dan individu dalam masyarakat. Setiap perekonomian harus memecahkan masalah dan memikirkan cara untuk mendistribusikan pendapatan secara adil tanpa mengurangi kegairahan individu-individu untuk bekerja sampai kapasitas optimumnya. Mekanisme pajak merupakan tools dalam teori ekonomi untuk redistribusi pendapatan dari unit ekonomi yang memiliki kelebihan sumber daya kepada unit ekonomi lainnya. Dalam teori ekonomi tidak dikenal istilah zakat dalam kebijakan redistribusi pendapatan. Namun demikian, secara teknis operasional, pajak dan zakat memiliki kesamaan fungsi dalam perekonomian, yaitu, subsidi bagi unit ekonomi yang memiliki defisit sumber daya. Perbedaannya adalah dalam pentarifan dan alokasi. Tarif pajak relatif lebih besar daripada zakat; alokasi dan distribusi pajak selain kepada unit defisit, tetapi juga pembangunan infrastruktur untuk kemanfaatan ekonomi masyarakat secara kolektif.31 Maka, dalam konteks negara yang memiliki pluralitas keberagamaan, mekanisme pajak lebih dapat diterima dalam model-model perekonomian dan lebih bisa digeneralisasi.

Asumsi Dasar Tentang Uang Dalam teori ekonomi, uang merupakan alat pertukaran atau alat pengukur nilai suatu barang. Uang dapat dianggap sebagai faktor produksi yang dapat diperjualbelikan dan disewakan untuk mendapatkan sejumlah keuntungan yang dibayarkan oleh pihak lain tanpa memandang penggunaan atau peran uang yang disewakan oleh pihak lain. Kompleksitas uang semakin meningkat dalam teori keuangan internasional, terutama bagaimana mekanisme mata uang dinilai dengan mata uang lainnya; dan penentuan alat pembayaran yang dapat diterima untuk transaksi ekonomi internasional. Stabilitas nilai tukar dan manajemen lindung nilai tetap menjadi isu utama teori keuangan internasional. Berbeda dengan nilai-nilai agama, maka terdapat intepretasi pada segolongan penganut agama bahwa uang tidak dapat dijadikan sebagai komoditas; sehingga uang tidak boleh diperjualbelikan. Sebagai satuan pengukur nilai, maka purchasing power uang harus stabil, agar uang dapat digunakan sebagai alat tukar yang jujur dan dapat dipercaya. Pengertian nilai uang yang stabil dalam teori ekonomi lebih pada pengertian nilai riil daripada nilai nominal. Jika suatu perekonomian relatif stabil (inflasi mendekati nol), maka nilai nominal akan sama dengan nilai riil. Adanya perbedaan dimensi waktu, tidak akan menurunkan atau menaikkan purchasing power dari uang sebagai penentu nilai dan pembayaran karena tidak adanya risiko dari penurunan atau kenaikan nilai uang.32

Asumsi Dasar Tentang Risiko Risiko dalam perspektif teori ekonomi merupakan suatu trade-off dengan hasil investasi yang diharapkan (return). Secara teoretis, return memiliki hubungan yang positif dengan risiko, yaitu bahwa semakin tinggi risiko yang dihadapi, maka investor mensyaratkan returnyang tinggi. Risiko lebih kepada probabilitas return dan dapat menyimpang dari return yang diharapkan. Tingginya tingkat return yang diharapkan (expected return) oleh investor adalah sebagai kompensasi atas semua pengorbanan baik sumber daya, waktu maupuneffort seorang investor dalam melakukan suatu investasi. Maka dari itu, investor yang rasional tentunya akan selalu memperhitungkan besaran risiko dan return dalam prosespricing suatu investasi. Dalam teori ekonomi, para pelaku ekonomi diasumsikan bersifatrisk-averse, sehingga jika terdapat pilihan ekonomi antara berbagai kesempatan investasi, mereka akan memilih investasi yang akan memberikan risiko yang minimal untuk returntertentu; atau investasi pada level risiko tertentu dapat memberikan return yang terbesar.33 Dalam praktiknya, para pelaku ekonomi menarik kondisi uncertainty nilai ekonomi masa yang akan datang relatif terhadap nilai ekonomis saat ini dalam suatu discount ratetertentu.34 Prinsipprinsip asuransi merupakan salah satu bentuk implementasi manajemen risiko. Kritik para penganut agama terhadap konsep ini adalah: bahwa teori ekonomi tidak mengakomodasi nilainilai tawakkal; dan tidak beriman kepada taqdir, qadha dan qadarTuhan. Implikasinya adalah usaha ekonomi berkaitan dengan manajemen risiko cenderung haram, karena dinilai menyimpang dari akidah. Kekhawatiran terhadap masa depan direfleksikan dengan aktivitas ekonomi untuk menjadi pemegang polis asuransi dapat dihukumi dengan suatu tindakan kemusyrikan. Pembelaan teori adalah: bahwa jika risiko adalah sesuatu yang dapat diukur, maka ia dapat dikelola. Asuransi tidak mencegah terjadinya suatu peristiwa atau takdir yang terjadi,

tetapi sekiranya takdir yang tidak diharapkan terjadi, asuransi hanya meminimalkan dampak yang lebih buruk dari peristiwa tersebut.35

Asumsi Dasar Tentang Time Value of Money Konsep time value of money merupakan konsep penting dalam ekonomi karena berkaitan dengan nilai suatu aliran kas dari investasi ekonomi yang bersifat jangka panjang. Konsep ini berkaitan dengan produktivitas modal suatu investasi, bahwa nilai investasi dari pendiskontoan atas aliran kas pada tingkat cost of capital tertentu.36 Kerap disalahpahami bahwa dengan adanya larangan bunga pada pinjaman, Islam menolak konsep nilai waktu dari uang. Para pakar Islam selalu mengakui nilai waktu dari uang, tetapi berpendapat bahwa kompensasi nilai seperti itu memiliki batasan. Pengakuan terhadap nilai ekonomi dari waktu tidak selalu berarti mengakui hak kompensasi material yang ekuivalen untuk nilai ini dalam semua kasus. Menurut syariah, kompensasi nilai waktu dalam kontrak penjualan merupakan hal yang dibenarkan, tetapi dalam kasus peminjaman, peningkatan (bunga) dilarang digunakan sebagai cara kompensasi material untuk waktu. Waktu sendiri tidak dapat menghasilkan aliran kas. Waktu hanya dapat memberikan kontribusi bagi penciptaan nilai ketika aktivitas ekonomi dilakukan. Sejumlah uang dapat diinvestasikan ke dalam usaha bisnis atau dapat dipinjamkan dalam waktu tertentu. Dalam kasus investasi, investor akan dikompensasi untuk setiap keuntungan atau kerugian yang didapat sepanjang waktu tersebut dan Islam mengakui penuh pengembalian investasi ini sebagai hasil dari aktivitas ekonomi.

Asumsi Dasar Tentang Bunga Teori bunga merupakan terminologi ekonomi yang paling kontroversial dan paling banyak menyita perhatian dan kritik dari para penganut agama. Walaupun sebenarnya penjelasan dan penentuan mengenai suku bunga sendiri masih merupakan polemik di antara para ahli ekonomi. Namun demikian, terdapat konsesus pendapat yang menganggap bahwa bunga merupakan tambahan tetap bagi modal sebagai biaya yang layak bagi digunakannya uang dalam suatu proses produksi. Kritik utama terhadap teori bunga adalah: bahwa bunga memiliki kesamaan sifat dengan riba yang sangat tegas dilarang dalam agama. Namun, apakah riba sama dengan bunga masih dalam perdebatan sengit baik di antara para pemikir ekonomi syariah sendiri maupun dengan para teoritisi ekonomi. Para ahli ekonomi klasik menganggap bunga sebagai ganti rugi yang dibayarkan pihak debitur kepada kreditur untuk laba yang akan diperoleh debitur pada saat menggunakan uang dari kreditur. Dalam perspektif ini, bunga merupakan insentif bagi kreditur karena adanya waiting cost penundaan konsumsi sekarang untuk waktu yang akan datang. Maka, dalam teori klasik tabungan merupakan fungsi dari bunga. Berbeda dengan teori klasik, teori ekonomi Keynesian berpendapat bahwa tingkat pendapatan lebih menjamin persamaan antara tabungan dan investasi daripada suku bunga. Singkatnya, justifikasi umum bagi bunga dalam ilmu ekonomi adalah: bahwa bunga merupakan imbalan dari tabungan, produktivitas modal marginal, dan konsekuensi tak terhindarkan dari perbedaan antara nilai sekarang barang modal pada masa sekarang dan nilai mereka setelah beberapa waktu. Ini berarti bahwa ide adanya bunga karena adanya preferensi waktu, yaitu, sikap individu yang lebih menyukai pendapatan sekarang daripada pendapatan di masa yang akan datang.

Untuk alasan bunga merupakan sebagai bagi tabungan, para cendekiawan Muslim merespons bahwa pembayaran seperti itu hanya dapat dirasionalisasikan apabila tabungan digunakan untuk investasi guna menciptakan modal dan kekayaan tambahan. Menurut mereka, tindakan menahan diri dari mengonsumsi tidak membuat seseorang mendapat hak atas pendapatan. Banyak pakar muslim yang menyatakan bahwa pelarangan riba oleh Islam memiliki dua dimensi. Pertama, akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko yang setara. Kedua, tindakan memberikan pinjaman sebagai tindakan kebajikan dengan alasan untuk membantu seseorang yang sedang membutuhkan. Apabila seseorang membutuhkan modal untuk tujuan komersial maupun investasi, maka modal tersebut harus diberikan dengan dasar pembagian risiko; dan tidak seharusnya dieksploitasi, dan pihak yang meminjam tidak seharusnya dibebani syarat-syarat yang memberatkan. Pemikiran Teori Ekonomi Masa Depan dan Rekonsiliasi Budaya Terjadinya krisis keuangan global mendorong banyak pengamat ekonomi politik memunculkan isrilah neoliberal economics yang diilhami oleh laissez-faire capitalism danclassical liberalism. Fenomena ini sebenarnya dapat dijelaskan oleh berbagai perspektif ilmu ekonomi, misalnya teori informasi asimetris, resource dependence dan agency theory. Namun, berbagai perspektif teori tersebut tidak dapat mencegah terjadinya moral hazard. Berbagai teori tersebut sebenarnya telah memberikan panduan normatif. Beberapa derivasi dari teori tersebut kemudian memberikan inisiasi terbangunnya konsep good corporate governance tentang pedoman tata kelola sumber daya ekonomi yang bersifat akuntabel, transparansi dan fair. Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak. Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, yaitu kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk tumbuh dan berkembang. Konsekuensinya, suatu sistem untuk mendukung ekonomi dalam perspektif agama seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan agama tentang kehidupan. Persoalan utama dalam pengembangan ilmu ekonomi yang berbasis agama adalah masalah epistemologi, yaitu pilihan metoda untuk dapat lebih menggali underlying assumption yang berasal dari sumbersumber etika dan moral ekonomi, yaitu Alquran dan Hadis ataupun sumber-sumber hikmah lainnya yang secara objektif memiliki nilai kebenaran yang sama. Pengembangan ilmu ekonomi berbasis agama tidak sekadar hanya mengambil kebaikankebaikan dari berbagai teori ekonomi dan membuang nilai-nilai yang tidak sesuai dengan norma dan etika agama, kemudian melakukan klaim bahwa hasil sintesis terhadap semua itu sebagai ilmu ekonomi berbasis agama. Pertama, paradigma ilmu ekonomi berbasis agama tidak bisa sekedar melakukan adopsi dari teori ekonomi klasik untuk analisis ekonomi mikro; dan teori ekonomi Keynesian untuk analisis makro untuk kemudian secara deduktif dikonfirmasi dengan sumber-sumber tata nilai agama. Kedua, pengembangan teori ekonomi secara induktif yang bersumber dari fenomena dan realitas ekonomi kemudian ditelusuri dan dikonfirmasi kepada AlQur'an dan Sunnah untuk mendapatkan dukungan atas pemecahan-pemecahan masalahmasalah ekonomi. Hal ini berati bahwa paradigma ilmu ekonomi yang bersumber dari agama sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hanya saja, pembangunan paradigma tersebut haruslah

bersifat genuine. Artinya, para pemikir ilmu ekonomi berbasis agama harus bersedia jujur dan objektif menerima kebenaran suatu sains ekonomi dari berbagai pemikir ekonomi yang saat ini berkembang. Penutup, pembangunan paradigma ilmu ekonomi sebagai sebuah moral science, maka ia harus mempertimbangkan aspek keadilan (justice/fairness), persamaan (equality) dan pemerataan (equity), kemanusiaan (humanity), serta menghormati nilai-nilai agama (religious values). Sebagai suatu ilmu moral, maka ilmu ekonomi mengenal dan menghormati kepentingan bersama (social/people welfare, public needs, public interests), dan pula mengenal dan menghormati kepentingan individu (kebebasan, the pursuit of happiness). Konsekuensi logisnya adalah perlu adanya epistemologi untuk bisa mendukung kebenaran ilmiah yang bisa diterima secara universal.[] Catatan-catatan: 1. Pengertian akal memiliki dua konsep, yaitu akal rasio jasadiah dan lubb atau akal jiwa. 2. QS[10]:100 bahwa Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang menggunakan akalnya. 3. Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat lebih karena upaya generalisasi epistemologi dalam mengungkapkan kebenaran yang bersifat transendental dengan perangkat akal rasio yang tidak didesain untuk dapat memahami sesuatu yang bersifat transendental. 4. Implikasi dan relevansi perilaku positif manusia terhadap kehidupan akhirat tidak dapat dimasukkan dalam asumsi teori ekonomi, seperti: konsep dosa dan pahala serta keberkahan dalam transaksi ekonomi. 5. Dalam berbagai kasus, konstruksi dan definisi agama dapat tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Terdapat perbedaan penafsiran tentang kata ad-diin dalam Al-Quran dan Hadis dengan pemahaman agama yang dipersepsikan atau dipahami oleh sebagian besar masyarakat, termasuk teoretisi ekonomi. 6. Berbagai bentuk kegagalan ilmu ekonomi konvensional seperti ketidakmampuannya dalam mencegah terjadinya depresi dan resesi dalam perekonomian; kegagalan dalam menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata; sampai dengan terjadinya high cost economy dan subsidi ekonomi yang dianggap tidak fair. 7. Aspek holistik manusia dalam ekonomi bahwa aktivitas atau transaksi ekonomi yang dilakukan oleh suatu individu tidak hanya berimplikasi pada sesuatu yang bersifat material atau lahiriah (aspek jasad atau body manusia) tetapi juga batiniah (aspek jiwa atau soulmanusia). Agama pada dasarnya berupaya menyeimbangkan kepentingan lahiriah dan batiniah; namun aktivitas manusia secara jasadiah akan berdampak pada aspek jiwa atausoul sebagai dzat insn manusia yang sebenarnya (Al-Ghazali).

8. Penggunaan perspektif agama dalam pengembangan teori ekonomi tidak hanya sekadar pengatributan, yaitu, hanya dengan menambah istilah menjadi teori ekonomi Islam atau keuangan Islam; etos kerja Protestan; religiusitas Budhisme dalam ekonomi dan sebagainya. Selain itu, terdapat kecenderungan penggunaan perspektif agama secara parsial, misalnya, istilah keuangan Islam seringkali dianggap menunjukkan sebuah sistem yang melarang bunga. Padahal berbagai aspek lain sebenarnya telah disentuh oleh teori keuangan konvensional seperti reduksi efek informasi asimetris dengan mensyaratkan akuntabilitas, transparansi, fairness. Selain itu, dalam berbagai kasus terdapat eforia pengatributan ilmu-ilmu sosial dengan agama seperti: psikologi Islam, sosiologi Islam, politik Islam dengan tanpa memberikan distinctive yang fundamental terhadap berbagai asumsi dasar ilmu-ilmu tersebut. Objektivitas ilmu ekonomi semestinya setara dengan ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, fisika dan kimia yang tidak pernah menggunakan atribut agama di belakang ilmu-ilmu tersebut. 9. Hampir tidak terjadi konflik antara kebenaran ilmiah suatu ilmu antara natural sciencesdengan agama. Kebenaran hukum Newton dalam ilmu fisika dapat berlaku secara universal dan memiliki generalisasi yang tinggi, namun tidak sama halnya dengan ilmu ekonomi. Suatu model ekonomi dengan menggunakan mekanisme bunga dalam menstabilkan nilai tukar mata uang suatu negara, dapat menjadi suatu hal yang bertentangan dengan agama, jika dalam perspektif agama, bunga adalah riba. 10. Istilah kemakmuran, wealth, dalam ekonomi adalah kemakmuran secara moneter yang diasumsikan bahwa individu cenderung menginginkan jumlah barang yang lebih banyak, lebih bagus dan lebih bervariasi. 11. Hukum kelangkaan (scarcity law) merupakan asumsi utama ilmu ekonomi yang menjadi dasar filosofis munculnya ilmu ekonomi. Berbagai sumber daya yang terbatas sering disebut dengan faktor-faktor produksi. 12. Konsep rumah tangga dalam ekonomi dapat berupa unit analisis yang berbeda, yaitu: rumah tangga konsumen (individu); rumah tangga produksi (perusahaan); dan rumah tangga pemerintah. Kepuasan suatu rumah tangga didasarkan pada preferensi subjektif atas berbagai alternatif pilihan yang tersedia dengan konstrain sumber daya yang dimiliki (budget constraint) tertentu, sehingga tingkat kepuasan suatu rumah tangga tidak dapat diperbandingkan dengan tingkat kepuasan rumah tangga lainnya. 13. Peraih hadiah Nobel untuk bidang Ilmu Ekonomi tahun 1970. 14. Fungsi tujuan adalah memaksimumkan utilitas atau kepuasan dengan constraint budget tertentu. 15. Ini berarti pengusahaan atas 'tanah bukan hanya untuk menghasilkan barang pertanian, tetapi juga barang tambang, hasil hutan dan hasil perikanan. Selain itu, tanah merupakan tempat untuk perumahan, kegiatan industri dan kegiatan menghasilkan jasa. 16. Barang modal dalam ekonomi meliputi sumber daya finansial dan non-finansial.

17. Dalam ekonomi, kewirausahaan tidak sama dengan pebisnis, yaitu lebih pada kemampuan dan keberanian mengelola risiko terhadap berbagai sumber daya untuk dapat menciptakan produk dan/atau jasa yang menjadikannya bernilai dan sustainable growthyang tidak selalu harus memiliki motif mencari keuntungan. Sedangkan pebisnis lebih pada pengelolaan sumber daya untuk sekedar bertahan hidup. 18. Pengertian efektif dan efisien dalam ekonomi adalah do the right things; and do the things right. 19. Fungsi tujuan adalah meminimumkan atau efisiensi budget dengan kendala tingkat utilitas tertentu. 20. Filsafat memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang mendukung pengembangan teori ekonomi dengan memberikan pandangan keseluruhan tentang kehidupan. Dengan kata lain, filsafat berusaha membawa hasil penyelidikan manusia, keagamaan, sejarah dan keilmuan kepada suatu pandangan yang terpadu, sehingga dapat memberi pandangan dan pengetahuan bagi kehidupan manusia secara lebih komprehensif. 21. Walaupun evolusi teori ekonomi terjadi secara sekuensial berdasarkan waktu, tetapi lahirnya suatu aliran pemikiran ekonomi tidak secara otomatis menggugurkan teori ekonomi sebelumnya. Masing-masing aliran pemikiran ekonomi tetap berkembang dengan memberikan fleksibilitas dengan realitas ekonomi yang terjadi. 22. Merchant overseas traders terutama berasal dari Inggris, Spanyol, Portugis dan Belanda. Pada kasus di Indonesia, VOC menjadikan Indonesia sebagai daerah geographic discoveries. Kelak dari keuntungannya yang berlimpah, VOC kemudian mendirikan mendirikan negara sendiri, yaitu Belanda. 23. Adam Smith sering disebut sebagai yang pertama mengembangkan ilmu ekonomi klasik melalui karya besarnya Wealth of Nations. Sebagai seorang ekonom yang pernah mengajar filsafat moral, Smith tetap tidak melupakan akar moralitasnya terutama yang tertuang dalamThe Theory of Moral Sentiments. Perkembangan sejarah pemikiran ekonomi kemudian berlanjut dengan menghasilkan tokoh-tokoh seperti Alfred Marshall, J.M. Keynes, Karl Marx, hingga peraih hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 2006, Edmund Phelps. 24. Dua aliran ini kemudian saling bertarung dalam dunia ilmu ekonomi dan menghasilkan banyak varian dari keduanya seperti: new classical, neo klasik, new keynesian, monetarist, dan lain sebagainya. Banyak economists menggunakan kombinasi dari neoclassical microeconomics dan Keynesian macroeconomics menjadi Neoclassical synthesis. 25. Perhatikanlah pernyataan berikut: peningkatan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan dengan mempercepat pertambahan pendapatan nasional; dan peningkatan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan dengan berusaha agar pertambahan pendapatan dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Kalau diteliti kenyataan yang terjadi, ternyata masingmasing pendapat tidak dapat dibuktikan oleh kenyataan. Pandangan yang menekankan tentang pentingnya mempercepat kegiatan ekonomi, akan menunjukkan bahwa cara tersebut

menciptakan pertambahan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Tetapi pertambahan tersebut terutama bisa saja hanya diperoleh oleh sebahagian kecil penduduk. Sedangkan cara kedua mungkin tidak menciptakan pertambahan pendapatan per kapita yang sama tingginya, tetapi lebih banyak anggota masyarakat yang menikmati pertambahan pendapatan tersebut. 26. ]Pendekatan ilmu ekonomi terhadap perspektif spiritual diakomodasi dalam ilmu ekonomi keperilakuan (behavioral economics) dalam konstruksi religiusitas berdasarkan observasi cara keberagamaan pelaku ekonomi secara ekstrinsik. Pengukuran tingkat religiusitas dilakukan dengan observasi terhadap frekuensi berdoa dan shalat bagi umat Islam; seberapa sering berkunjung ke gereja dan sembahyang di pura atau tempat peribadatan bagi agama tertentu. 27. Manusia adalah hewan yang mampu berpikir (hayyawan nathiq). Maksudnya manusia berjasmani seperti hewan, tapi juga mampu mencerap pengetahuan tentang Allah SWT sebagaimana malaikat. Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya tambahan unsur jiwa (an-nafs) yang membuat manusia mampu berpikir dan mewujudkan apa yang dipikirkannya (nathiq), baik dalam bentuk perkataan hingga perbuatan, sehingga bila saja binatang diberi jiwa (an-nafs) sebagaimana yang diberikan kepada manusia, tentu ia akan sanggup berpikir dan akhirnya mukallafah. 28. Penetapan harga tidak sekadar penetapan harga barang dan jasa, tetapi juga sewa terhadap faktor-faktor produksi lainnya termasuk upah tenaga kerja; sewa dan harga tanah; sewa atau interest atas modal finansial. 29. Kompetisi yang sehat dalam arti tidak sekadar kondisi pasar dalam persaingan sempurna di mana terdapat banyak penjual dan pembeli; dan tidak ada satu pihak yang menjadi price-setter; tetapi bebas dari spekulasi, penimbunan dan penyelundupan. 30. Konsep berkah dalam terminologi agama adalah: bahwa dengan transaksi tersebut semoga Tuhan ridha kepada kedua pihak yang bertransaksi; yang dengan berkah tersebut individu kemudian bisa lebih dapat mendekatkan diri dengan Tuhan. 31. Alokasi dan distribusi zakat lebih pada golongan masyarakat secara given berdasarkan tuntunan agama (ashnaf). 32. Nilai riil adalah nilai uang setelah disesuaikan dengan inflasi. Jika terdapat inflasi 10%, maka purchasing power uang menurun 10%. Suatu barang seharga 1000 saat ini, maka dengan inflasi 10% pertahun akan sama dengan 1100 pada tahun depan. Nilai nominal 1000 akan sama dengan 1100 secara riil. Jika tidak terdapat inflasi, maka nilai nominal akan sama dengan nilai riil yang memiliki purchasing power untuk ditukarkan dengan suatu barang senilai 1000. 33. Standar deviasi merupakan ukuran paling umum yang digunakan dalam mengukur tingkat risiko suatu investasi. Volatilitas return yang semakin tinggi, diindikasikan dengan besaran standar deviasi yang semakin besar. Pada kondisi investasi dengan volatilitas yang semakin besar, maka kemungkinan investor untuk mendapatkan return positif yang tinggi atau return negatif yang tinggi juga akan semakin besar.

34. Discount rate tidak identik dengan tingkat suku bunga atau inflasi. 35. Asuransi jiwa dan kecelakaan kerja tidak dapat mencegah terjadinya kematian atau kecelakaan kerja. Tetapi, jika kematian tidak dapat dihindarkan dan kecelakaan kerja menyebabkan cacat tubuh yang permanen sehingga tidak dapat menghasilkan pendapatan ekonomi, maka perusahaan asuransi ikut menanggung kebutuhan konsumsi ekonomi bagi keluarga yang ditanggungnya. 36. Cost of capital adalah biaya rata-rata tertimbang dari harga masing-masing komponen modal sebagai sumber pendanaan investasi, baik yang berasal dari modal sendiri atau pinjaman. Daftar Pustaka Aydin, Necati. 2010. Free Market Madness and Human Nature. Harvard Law School Cambridge Massachuset. Ninth Harvard University Forum of Islamic Finance. Ayub, Muhammad.2009. Understanding Islamic Finance. Penerbit Gramedia. Chapra, Umer. 1997. Al Quran Menuju Sistem Moneter Yang Adil. Penerbit Dhana Bhakti Prima Yasa. Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi. Sebuah Tinjauan Islam. Penerbit Gema Insani Press. Djojohadikusumo, Sumitro. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Evans, M.J. 2009. The Future of Conflict Between Islamic and Western Financial System: Profit, Principle and Pragmatism. University of Piisburgh Law Review, Vol. 71:XX. Farooq, M. Omar. 2007. Stipulation of Excess in Understanding and Misunderstanding Riba: The Al-Jassas Link. Arab Law Quarterly, 21. Iqbal, Zamir dan Abbas Mirakhor. Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek. Penerbit Kencana. Mannan, M.A. 1992. Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. Penerbit Intermasa. Obaidullah, M. 2006. Teaching Corporate Finance from an Islamic Perspective. Syed Anwer Mahmood Islamic Economics Research Centre Published. Qardhawi, Yusuf. 1995. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Penerbit Gema Insani Press. Rivai, Veithzal., dan Permata Veithzal. 2008. Islamic Financial Management. Penerbit Rajawali Press. Skousen, Mark. 2005. Maestro Teori-teori Ekonomi Modern: Sejarah Pemikiran Ekonomi.Penerbit Prenada.

Shalat dan Transformasi Fitrah Diri


Zamzam A. J. Tanuwijaya & Kuswandani Yahdin Bismillahirrahmnirrahm. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad Saw bersabda bahwa, Shalat adalah miraj-nya muminin. Istilah miraj di sini secara spesifik dihubungkan dengan peristiwa isra-mirajNabi Saw pada tanggal 27 Rajab tahun ketiga belas dari Nubuwwah, saat beliau berusia 53 tahun. Peristiwa isra, yang artinya perjalanan malam, adalah peristiwa diperjalankannya Nabi Saw secara horizontal dari Masjidil Haram Mekkah ke Masjidil Aqsha Yerussalem (lihat Al-Isra [17]: 1). Dan peristiwa miraj adalah peristiwa diperjalankannya beliau Saw secara vertikal dari Masjidil Aqsha naik ke Sidratul Muntaha. Di tempat tertinggi ini secara khusus Nabi Saw menerima perintah kewajiban menjalankan ibadah shalat bagi beliau Saw beserta umatnya sebanyak 5 kali (17 rakaat) dalam sehari semalamnya. Secara umum, makna miraj dalam hadis tersebut dihubungkan dengan tangga spiritual, yakni suatu perangkat ibadah yang dapat menaikkan derajat si mumin menjadi lebih dekat kepada Rabb-nya. Maka, di dalam kata shalat tersirat suatu dinamika atau proses perjalanan yang sifatnya menaik (uruj), dan secara eksplisit bentuk ibadah shalat yang dicontohkan Nabi Saw mengisyaratkan adanya perubahan bertahap dari suatu state kestate yang lain secara tertib. Serangkaian kalimah takbir yang diucapkan dalam ibadah shalat menunjukkan suatu proses kenaikan (miraj) bertahap. Takbir sebagai ungkapan yang menyatakan suatu proses naik, tercermin pada saat Nabi Saw sedang mendaki sebuah bukit, di sana beliau Saw mendzikirkan kalimat takbir. Berbeda dengan ketika Nabi Saw sedang turun dari sebuah bukit, maka beliau mendzikirkan kalimat tasbih. Dalam 17 rakaat pada lima waktu shalat wajib, diucapkan 94 kali takbir pokok yang membatasi setiap bentuk sikap (state) dalam shalat. Berarti dalam sehari semalam seharusnya terjadi minimal 94 kali kenaikan derajat kedekatan dengan Allah Swt. Istilah shalat melampaui dari sekadar nama suatu ibadah mahdlah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata shalat mencerminkan suatu proses pengorbitan setiap ciptaan Allah. Secara spesifik terhadap poros dari suatu amr Allah Swt . Ini diisyaratkan oleh An-Nr [24]: 41, Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya bertasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbihnya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS An-Nuur [24] : 41 ) Tasbih mencerminkan mengalirnya setiap ciptaan dalam suatu proses penyerahan diri (aslama) yang bersifat umum, dan shalat dalam hal ini mencerminkan suatu pengaliran dengan modus atau bentuk tertentu, yang secara spesifik tidak sama dari satu ciptaan ke ciptaan yang lainnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung telah ditentukan ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan telah ditentukan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Dalam pandangan para pejalan (salik), seekor burung yang terbang bebas menggambarkan jiwa (nafs) yang telah terbebas dari perangkap sangkar dunia, dan dua sayap burung yang terkembang melambangkan berfungsinya dua akal insan secara sinergis,

yakni akal bawah (pikiran) dan akal atas (lubb). Sebagaimana Allah Swt mengungkapkan peringkat akal para malaikat dengan pernyataan bersayap dua, bersayap empat dan seterusnya, ini menunjukkan hierarki kemuliaan dari para malaikat. Maka shalat adalah seperti sepasang sayap, merupakan perangkat untuk terbang (miraj) ke atas, sehingga afdhal-nya suatu shalat sangat ditentukan oleh pengetahuan lahiriahnya (hukum fiqh) dan pengetahuan batiniahnya (hakikat shalat) Secara umum aspek praktis shalat, sebagai suatu ibadah mahdlah yang paling pokok, wajib ditegakkan dalam waktu-waktu yang telah ditentukan. Dalam aspek praktis shalat tampak tercermin keseluruhan dari dinamika kehidupan: pada saat berdiri posisi akal ada di atasqalb, pada saat ruku posisi akal sejajar qalb, dan pada saat sujud posisi akal ada di bawahqalb. Dan Nabi Saw mengingatkan bahwa semulia-mulia keadaan shalat adalah pada saat sujudnya, dan beliau Saw memerintahkan agar kita memperbanyak berdoa pada saat bersujud, yaitu pada saat akal diletakkan di belakang qalb (akal yang tunduk kepada qalb yang dirahmati Allah Swt). .... Mereka memiliki qalbu yang dengannya mereka menggunakan aql-nya. (QS Al-Hajj [22]:46) Serangkaian shalat praktis tersebut wajib ditegakkan untuk membangun suatu keadaandzikir kepada Allah Swt (lihat QS Thaaha [20]:14). Dzikir di sini bukan sebatas mengulang-ulang memuji Allah Swt dengan lisan ihwal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tetapi suatu dzikir mencakup suatu keadaan totalitas jiwa (nafs) akibat sentuhan rahmat-Nya, sehingga insan tersebut baqa dalam tasbih, doa, kesyukuran dan sebagainya. Dan jika dzikir ini menjadi sebuah maqam, maka menjadi tidak berbatas waktu. Jadi serangkaian shalat praktis yang berbatas waktu wajib ditegakkan untuk membangun dan memelihara suatu keadaan shalat yang tidak berbatas waktu, dzikrullah. Petala langit dan bumi dan segala isinya yang berserah diri dengan suka cita (QS Fushilat [41]: 11) berada dalam keadaan shalatdengan cara mengorbit pada poros amr masing-masing, Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan tasbihnya (QS An-Nuur [24]: 41). Tujuan sejati dari suatu suluk (tazkiyatu-nafs) adalah untuk menemukan kodrat diri, merupakan qudrah atau kuasa Allah Swt yang ada di dalam nafs, sebagai mandat/misi hidup yang harus dimanifestasikan. Barangsiapa mengenal nafs-nya maka akan melihatqudrah dirinya sebagai bayangan terbatas dari qudrah-Nya, dan barangsiapa yang mengenal kuasa-Nya maka akan mengenal Rabb-Nya, sebagaimana dikatakan Rasulullah Saw, man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu. Dan kodrat diri ini tak lain merupakan fitrah Allah Swt yang disematkan kepada diri insan tertentu yang telah menegakkan ad-diindalam dirinya. Maka tegakkanlah wajahmu kepada ad-dn secara hanif. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah diin yang tegak, namun sebagian besar manusia tidak mengetahui. (QS Ar-Ruum [30]:30). Jika seseorang merealisasikan fitrah dirinya, maka sebagaimana petala langit dan bumi, ia hidup dalam energi minimalnya, dan akan mengalirkan suatu kekaryaan suci yang berguna untuk masyarakat. Apa yang ia lahirkan tak lain merupakan harta terpendam (kanzun makhfi)-Nya yang merahmati alam semestanya. Seorang insan yang telah berhasil merealisasi fitrah dirinya

adalah seorang yang telah berhasil menegakkan ad-dn dalam dirinya, dan ini berarti ia telah berjalan dalam shirath al-mustaqim-nya. Shalat itu adalah tiangnya ad-diin ( Rasulullah Saw) Ad-Dn di atas mencakup tiga komponen: al-Islam, al-Iman dan al-Ihsan. Ketiga aspek tersebut harus ditegakkan secara utuh di dalam diri insan. Jika satu dari ketiga aspek tersebut belum terbangun, maka ia belum termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah mendirikan adDn di dalam dirinya. Jadi rangkaian shalat itu merupakan proses untuk menegakkan ketiga pilar ad-dn tersebut. Dan tentang pilar ketiga ad-dn yakni al-ihsan,Nabi Saw pernah berkata, Engkau mengabdi kepada-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya adalah pilar yang paling halus dan paling sulit untuk ditegakkan kecuali oleh mereka yang mencari-Nya dengan sungguhsungguh, berharap bertemu (liqa) Allah dengan kerinduan yang mendalam. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya (liqa) dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS AlBaqarah [2]: 45-46). Bagian akhir dari ayat di atas berkaitan dengan ke-ihsan-an sebagai tanda dari hadirnya kekhusyuan di dalam shalat. Dan jika suatu shalat tidak mencapai pilar ihsan, maka ibadah shalat akan dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan, sehingga bangunan ad-dndalam diri orang tersebut sulit untuk didirikan. Jika seseorang tidak dapat menegakkan ad-dn dalam dirinya, maka shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan fakhsya danmunkar. sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan fakhsya dan munkar. Dan sungguh dzikrullah itu adalah yang terbesar.. (QS Al-Ankabut [29]:45) Keihsanan dalam shalat hanya menjadi milik mereka yang berharap berjumpa (liqa) Allah, dan ini sebagai salah satu tanda penting dari tumbuhnya benih kecintaan dari Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa mengharap berjumpa dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih, dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadat kepada-Nya. (QS Al-Kahfi [18]: 110) Dalam Al-Quran, aspek amal shalih diletakan setelah keimanan. Dalam pernyataan imandan amal shalih, tercermin ketiga pilar ad-diin. Keimanan, dengan banyak tahapannya, merupakan suatu proses penegakkan pilar al-iman. Kemudian ketaatan mengamalkan setiap perintah Allah dan menjauhi larangannya, dengan ikhlas, merupakan proses penegakkan pilar al-islam. Adapun keshalihan (ketidakrusakkan) yang dilekatkan pada kata amal, merupakan suatu persoalan yang mengkualifikasi derajat amal-amal. Keshalihan diukur dari kemurnian tauhid, ini tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan membangun pengetahuan untuk mengenal-Nya, dan ini merupakan pokok dari pilar al-ihsan. Nabi Saw bersabda bahwa, Seutama-utama amal adalah yang disertai dengan ilmu tentang Allah Taala. Amal yang banyak tanpa disertai dengan ilmu tentang Allah Taala adalah tidak berguna, dan amal yang sedikit jika disertai dengan ilmu tentang Allah Taala adalah bermanfaat.

Kemudian Nabi Saw bersabad pula, Siapa yang mengenal Allah maka pasti mencintaiNya,pada maqam ini pilar ketiga dari ad-dn terbangun. Bagaimana agar keihsanan dan kecintaan kepada Allah dapat tumbuh, maka hanya dengan cara mengikuti semua langkah Nabi Saw dengan ikhlas, baik lahiriahnya maupun batiniahnya. Katakanlah, Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian. (QS Ali Imran [3]:31) Dan Nabi Saw bersabda, Amal yang paling Allah cintai adalah shalat pada awal waktu, kemudian Berbakti kepada orang tua, dan setelah itu jihad fisabilillah. Para mumin sejati adalah para pecinta Allah Swt, maka ad-dn tegak dalam dirinya, sehingga tidak ada perbuatan fakhsya dan kemungkaran yang keluar dari dirinya. Alhamdulillahi Rabbil-aalamin Wallahu alam bish-shawaab.

Tentang Musa dan Khidir


Bismilllahi Rahmani Rahim Kakak sulung seperjalanan suatu ketika menjelaskan kepadaku salah satu hikmah QS Al-Kahfi ayat 65-82: ******* 65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami 66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. 68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" 69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". 70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. 72. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". 73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". 74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". 75. Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"

76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". 77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". 78. Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. 79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. 80. Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. 81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). 82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". ******* Al-Quran itu lautan hikmah, dan salah satu hikmah dari rangkaian ayat itu adalah pengajaran Khidir kepada Musa tentang tiga peristiwa penting dalam hidupnya. Pertama, saat Khidir melubangi dan menenggelamkan perahu itu simetri dengan peristiwa saat Asiyah menemukan tabut berisi bayi Musa. Asiyah mengambil bayi Musa itu danmenenggelamkan tabutnya di tempat pemandiannya. Kemudian bayi itu dibawa ke hadapan Firaun yang sebenarnya tengah memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil. Ironisnya, bayi yang diramalkan para ahli nujum Firaun akan menumbangkan kekuasaannya, dan ingin dibunuhnya, malah dia besarkan di istananya sendiri. Itulah titik penting peristiwa pertama dalam hidup Musa yang Khidir ajarkan juga dengan tindakan menenggelamkan perahu. Kedua, saat Khidir membunuh anak kecil, itu simetri dengan peristiwa saat Musamembunuh orang Mesir. Musa saat itu sudah menjadi Pangeran Mesir, mendampingi Merneptah, sang putra Mahkota, anak sang Firaun. Seandainya tidak terjadi peristiwa pembunuhan itu, maka

dalam sejarah kita akan mengenal Musa sebagai Pangeran Mesir mendampingi kakak angkatnya, Merneptah. (Dan saat nanti kembali sebagai Nabi, Musa akan berhadap-hadapan dengan kakak angkatnya tersebut karena sang Firaun sebelumnya sudah meninggal dan digantikan oleh Merneptah). Karena peristiwa pembunuhan itulah makan garis hidup Musa berubah. Secara lahiriahdia memang terbuang dan seperti merana, namun itu malah mengantarkannya ke takdir berikutnya yang jauh lebih besar. Ketiga, saat Khidir menambal dinding tanpa meminta upah, padahal mereka tengah lapar saat itu, memiliki kesimetrian dengan peristiwa saat Musa menolong Rehuellah Zipora, putrinya Nabi Syuaib, mengambilkan air untuk ternak mereka dari sebuah sumur, padahal Musa sendiri sedang dalam keadaan luntang-lantung terusir dari Mesir, dari Pangeran menjadi gelandangan yang tak punya apa-apa. Namun, justru peristiwa itulah yang membuat Musa menjadi dipertemukan dengan seorang Nabi dari kalangan masyarakat Arab kuno (yang bukan dari garis keturunan Ismail dan bukan pula dari garis keturunan Ishaq), yaitu Nabi Syu'aib. Maka dengan gemblengan dari Nabi Syu'aib yang juga menjadi mertuanya, maka Nabi Musa pun menjadi Nabi dan nantinya akan kembali ke Mesir untuk membebaskan bangsanya dari perbudakan Firaun. Well, seperti perkataan Isaac Bashevis Singer yang saya kutip dalam status semalam: "Life is Gods novel. Let Him write it." Indah bukan? Terima kasih kakak sulungku seperjalanan. Selama 15 tahun ini telah banyak yang kau ajarkan dalam pengajian dan diskusi-diskusi kita. Jazakallahu khairan katsiran. Salam dari adikmu yang belum bisa membalas kebaikan-kebaikanmu T_T Wallahu 'alam bishawwab.

Sekilas Tentang Isra Miraj


Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Israa: 1) ******* Dalam banyak kesempatan, kakak sulung seperjalanan sering menceritakan kepingan-kepingan hikmah peristiwa Isra Miraj. Saya mencoba merangkum kembali semua kepingan yang pernah beliau ajarkan kepada saya sebagai berikut. Dalam bukunya, Imam Al-Qusyairi menjelaskan bahwa secara kebahasaan Miraj itu berarti Sullam (tangga). Bentuk jamaknya adalah Ma'aariij dan Ma'aarij, seperti Mafaatiih dan Mafaatih. Sedangkan bentuk tunggal Ma'aarij adalah Mi'raj, seperti Mirqaah, kemudian dibaca Mi'raaj, dan bentuk jamaknya Ma'aariij, seperti Miftaah yang bentuk jamaknya adalah Mafaatiih. Sedangkan Ma'raj bentuk jamaknya adalah Ma'aarif seperti Maftah yang bentuk jamaknya adalah Mafaatih. Al-Ma'aarij adalah Al-Mashaa'id (tempat naik). Sebagaimana yang kita ketahui, peristiwa Isra Miraj yang dialami oleh Rasulullah Muhammad saw berusia 53 tahun (13 tahun dari awal masa kenabiannya), dan terjadi di tengah-tengah tahun kedukaan, di titik terberat hidup beliau saw di Mekkah, setelah meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah, dan pada saat umat muslim mengalami embargo dari kaum kafir. Namun, setelah peristiwa Isra Miraj, hal berat lainnya yang harus beliau saw hadapi adalah tentu saja kaum kafir saat itu akan menyangkalnyakeraguan sesaat dari para sahabat. Pada saat Rasulullah saw menceritakan peristiwa tersebut kepada para sahabat, mereka umumnya terdiam dulu sesaat sebelum kemudian membenarkan, kecuali satu orang yang langsung membenarkannya, yaitu Abu Bakar. Karena peristiwa itulah maka Abu Bakar mendapat gelar Ash-Shiddiq. Itulah peristiwa yang menandai bahhwa Abu Bakar telah menjadi seorang yang mencapai marifatullah, karena sebagaimana tertuang dalam QS Al-Hadiid 19 dinyatakan: Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu Shiddiqin dan Syuhada di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka. Bisa dibilanng bahwa beriman kepada Allah tidaklah sulit, karena akan beriman manusia kepada Allah hingga datang seorang Rasul. Beriman kepada Rasul adalah perkara yang lebih berat, karena manusia akan terantuk pada sosok manusiawi mereka yang tak jarang sukar dimengerti. Misalnya, bukankah sulit untuk mengimani Nuh ketika dia malah membuat perahu di kaki bukit, dan bukannya di pinggir laut? Bukankah sulit untuk mengimani Khidir saat dia melubangi perahu dan membunuh anak kecil? Bukankah sulit mengimani Ibrahim saat dia meninggalkan istri keduanya beserta bayinya di padang pasir tak berpenghuni tanpa sumber air, dan setelah bayi itu dewasa Ibrahim malah hendak menyembelihnya, dan sebagainya, dan sebagainya. Karenanya tak heran bahwa hanya mereka yang sudah mencaai tingkatan Syuhada dan Shiddiqin saja yang bisa mengimani Alla dan Rasul.

supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya (QS Al-Ahzab: 24) Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah al-muttaquun. (QS Az-Zumar: 33) (Hari-hari ini, kita sering melihat orang saling berbunuh-bunuhan justru karena merasa paling benar dan bahwasanya tindakannya itu benar. Lagi pula semua pengajian selalu mengaku benar, tidak ada pengajian yang mengaku sebagai pengajian sesat, sebagaimana kecap juga selalu mengklaim sebagai kecap No. 1) Itulah gambaran hal yang harus Rasulullah saw hadapi setelah mengalami peristiwa Isra Miraj, mulai dari penolakan kaum kafir hingga keraguan sesaat dari para sahabat, namun penghiburan itu datang dari Abu Bakar yang mulai saat itu mendapat gelar Ash-Shiddiq. ******* Isra itu adalah perjalan malam, sebuah perjalanan vertikal. Mudahnya, Isra itu adalah semacam napak tilas perjalanan bani israil yang menunjukkan keterkaitan nubuwah Rasulullah Muhammad saw dengan apa-apa yang pernah diturunkan di kalangan Bani Israil. Terlebih secara silsilah, beliau saw (sebagai nabi tertinggi) juga merupakan keturunan dari nabi besar Ibrahim as. Namun, karena beliau saw lahir dari Hajar, isri kedua yang merupakan budak pemberian dari Raja Mesir, maka itu pulalah salah satu hal yang membuat kaum Yahudi memandang rendah Rasulullah saw. Pasalnya, kaum Yahudi merasa bahwa mereka lahir dari garis keturunan Sarah, istri pertama Ibrahim yang berasal dari kalangan ningrat dan bukan budak, dan dari rahim Sarah ini pulalah lahir garis keturunan raja-raja Bani Israil. Namun, justru dalam status Hajar sebagai budak itulah Allah menyimpan sebuah hikmah besar. Bukankah kemuliaan manusia di hadapan Allah adalah justru saat dia menjadi hamba atau budak Alllah Taala? Rasulullah saw memang lahir dari garis budak, dan coba perhatikan kehidupan beliau saw: beliau makan seperti orang biasa, tidak seperti para raja di istana, beliau bergaul dengan para sahabatnya sebagai orang biasa dan bukan sebagai raja kepada bawahannya, dan seterusnya. Isra itu sendiri menunjukkan kesinambungan antara jalan yang telah dibukakan sebelumnya oleh para nabi Bani Israil untuk kehadiran nabi tertinggi dan penutup nubuwah keagamaan, yaitu Nabi Muhammad saw. Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah yang dengannya Kami teguhkan fuad-mu (QS Huud [11]: 120) Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi orang-orang yang mempunyai lubb (ulil albab) (QS Yusuf [12]: 111)

Kakak sulung seperjalanan pernah menguraikan perbedaan ibrah dan hikmah. Secara bahasa, ibrah berasal dari abara yang artinya menyeberangkan atau menembus (seperti jarum). Sementara hikmah berasal dari hakama yang artinya (meng)hukum(i). Dikatakan bahwa kisah para nabi mempunyai ibrah, maksudnya, ada pelajaran tersembunyi yang harus diambil dengan cara ditembus. Sementara hikmah lebih merupakan hukum yang, bisa dikatakan, menunjukkan keberpolaan hukum. Menyerupai rotasi elektron mengelilingi proton dan netron yang berulang hingga pola rotasi planet mengitari matahari. Namun, baikibrah maupun hikmah itu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang mempunyai lubb atau ulil albab (QS Al-Baqarah [2]: 269.) Dalam Islam, kisah kenabian itu tersebar di Al-Quran dan hadis, namun berbentuk fragmen tak utuh. Oleh generasi berikutnya, berbagai fragmen itu berusaha dirangkai utuh menjadi kisah. Berbagai kisah kenabian tersebut sering tak disadari sebenarnya menampilkan ketidaklinieran dan keganjilan perbuatan para nabi. Namun, dibaliknya tersimpan ibrah dan hikmah yang kaya. Bahkan Ibn Arabi pun dianugrahi kitab Fushush Al-Hikam yang memaparkan berbagai hikmah kenabian tersebut. Salah satu hikmah kenabian yang orisinil dan kokoh adalah seperti dipaparkan oleh kakak sulung seperjalanan yang mengungkapkan bahwa kisah para nabidari Adam as hingga Rasulullah Muhammad sawmerepresentasikan perjalanan setiap nafs manusia dalam menuju Allah. Dimulai dari kejatuhan manusia ke dalam dosa (nabi Adam) hingga berhasil menemukan misi hidupnya dan beramal shalih dalam misi hidup tersebut (Rasulullah Saw). Berikut adalah penggambarannya secara singkat, melompat-lompat dan global (karena merincinya tidak dimungkinkan dalam tulisan ini): Untuk konteks Isra Miraj ini kita akan langsung menyoroti dari mulai Ibrahim as dengan babak tentang tanah yang dijanjikan dan pencarian Ibrahim akan tanah tersebut hingga meninggal. Tanah yang dijanjikan itu merupakan simbolisasi dari qalb. Dari Ibrahim, pencarian itu dilanjutkan oleh Ishaq as dan Yaqub as, dan terbelokkan pada Yusuf as yang membawa alurnya ke arah Mesir. Dalam kisah Yusuf episode dia dibuang ke dalam sumur oleh kakak-kakaknya, dan episode dimasukkan ke penjara bawah tanah. Kisahnya tersebut menyoroti aspek keterpenjaraan di bawah tanah yang menyimbolkan kondisi nafs yang terpenjara di dalam jasad. Dari Yusuf, kita beralih ke Musa as. Ibn Arabi memaparkan bahwa Mesir adalah simbol dari Madinatul Badan, atau bisa digambarkan juga sebagai kehidupan dunia. Di Mesir ini terjadi peristiwa perbudakan Bani Israil dan pembunuhan semua anak laki-laki oleh Firaun dan keluarganya, dan membiarkan anak perempuan hidup. Itulah simbol terjadinya pembunuhan nafs dan membiarkan jasad hidup. Karena itu, datanglah Musa mengajak untuk hijrah kembali kepada pencarian tanah yang dijanjikan. Inilah fokus kisah Musa. Yusuf yang terpenjara di bawah tanah telah diangkat keluar, kemudian dibawa berhijrah dari keburukan kepada kebaikan. Inilah permulaan baru, karena nafs terbangkitkan dari keterpenjaraannya. Dari Musa kita melompati dulu kisah Yusa asyang meruntuhkan benteng Yerikho sebagai simbol hancurnya hijab qalblangsung ke Dawud as. Seluruh hidup Dawud lebih banyak dihabiskan dengan berperang. Kisah hidup Dawud ini menyimbolkan tahap jihad akbar melawan hawa nafsu di tanah yang dijanjikan (qalb). Saat Bani Israil (yaitu, para salik) tiba di tanah

yang dijanjikan (qalb), mereka mendapati di atasnya telah berdiri berbagai kerajaanyang melambangkan berbagai hawa nafsu dalam qalb manusia. Di tahap ini, seorang salik harus melakukan jihad akbar untuk menaklukan berbagai kerajaan hawa nafsu yang sudah sekian lama bercokol di qalb-nya. Dari sini, kita beralih ke kisah hidup Sulaiman as. Sulaiman adalah raja Bani Israil terbesar yang memerintah bukan hanya manusia, tetapi juga kalangan jin. Allah menganugerahinya kemampuan untuk berbicara dengan binatang. Hal yang paling penting dari aspek Sulaiman adalah saat membangun Baitullah untuk Bani Israil, sebuah bait di mana tidak ada yang disembah di dalamnya selain Allah. Begitu pula halnya dengan qalb manusia. Setelah jihad akbar, qalb pun berhasil dikuasai sepenuhnya, barulah di sini seorang salik bisa berkata La ilaha ilallah. Dari Sulaiman kita melompati dulu beberapa nabi dan langsung ke kisah Isa as. Dalam Al-Quran, Isa seringkali didampingkan dengan penisbatan Rh Al-Quds. Kisah Isa menjadi simbol bagi salik yang telah mencapai Awal ad-din (agama) adalah mengenal Allah yang sejalan dengan hadis: Barangsiapa mengenal nafs-nya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb-nya. Gelarnya pun adalah syuhada, yaitu seseorang saksi Allah yang benar, serta terkait dengan peristiwa persaksian primordial (QS Al-Araf [7]: 172) dan hakikat syahadat. Dari sini, salik melangkah ke tahap tertinggi yang disimbolkan melalui kehidupan Rasulullah Muhammad saw sebagai representasi ke-shidiqin-an atau orang yang telah paripurna beramal dalam misi hidup yang Allah amanahkan unik pada tiap individu. QS Al-Hadid [57]: 19 menegaskan bahwa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nyahanyalah Syuhada dan Shidiqin. Maka, hikmah Isra sebagai perjalanan horisontal bagi kita sebagai umat Rasulullah Muhammad saw adalah perjalanan untuk membaca aspek-aspek jasadiah dalam upaya pengenalan diri, untuk merangkai kepingan puzzle yang bisa dirangkai secara lahiriah untuk membaca diri sendiri. Mudahnya, Isra adalah perjalanan mengindentifikasi diri secara ragawi dalam upaya untuk menemukan misi hidup yang Alllah amanahkan secara unik kepada tiap-tiap individu pada saat penciptaan. Karenanya, secara mudahnya, bisa dikatakan bahwa Isra adalah pencarian horizontal di aspek jasadiah. Sementara dalam konteks Rasullah saw, Isra adalah pengaitan antara nubuwah beliau saw, sebagai batu bata terakhir dari bangunan kenabian pembawa agama dengan nubuwah para Nabi dari Bani Israil sebelumnya. Kemudian beralih ke Miraj, yang merupakan perjalanan dari Baitul Maqdis menuju Sidhratul Muntaha. Dan ini pun masih ada kaitannya dengan Bani Israil, yaitu, bahwasanya jalur untuk Miraj yang digunakan oleh Rasullah saw adalah jalur yang pertama kali ditemukan oleh Nabi Yaqub as. Peristiwa Nabi Yaqub as tersebut tertuang dalam Kitab Kejadian 28: 10-22. Maka Yakub berangkat dari Bersyeba dan pergi ke Haran. Ia sampai di suatu tempat, dan bermalam di situ, karena matahari telah terbenam. Ia mengambil sebuah batu yang terletak di tempat itu dan dipakainya sebagai alas kepala, lalu membaringkan dirinya di tempat itu. Maka bermimpilah ia, di bumi ada didirikan sebuah tangga yang ujungnya sampai di langit, dan tampaklah malaikat-malaikat Allah turun naik di tangga itu.

Berdirilah TUHAN di sampingnya dan berfirman: "Akulah TUHAN, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak; tanah tempat engkau berbaring ini akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu. Keturunanmu akan menjadi seperti debu tanah banyaknya, dan engkau akan mengembang ke sebelah timur, barat, utara dan selatan, dan olehmu serta keturunanmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat. Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu." Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia: "Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya." Ia takut dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga." Keesokan harinya pagi-pagi Yakub mengambil batu yang dipakainya sebagai alas kepala dan mendirikan itu menjadi tugu dan menuang minyak ke atasnya. Ia menamai tempat itu Betel; dahulu nama kota itu Lus. Lalu bernazarlah Yakub: "Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu." Rasulullah saw menggunakan tangga Yaqub untuk menuju Sidhratul Muntaha. Dan harus diingat, bahwa gelar yang diberikan kepada Nabi Yaqub dari Allah adalah Israil, yaitu, "berjalan di tengah malam menuju Allah". Seringkali jalur itu disebut juga sebagai Tangga Yaqub, namun jangan Anda memahami bahwa itu adalah tangga harfiah, karena seperti dijelaskan di atas, Miraj itu secara kebahasaan adalah Tangga dan juga Tempat Naik. Tenpat Tangga Yaqub ini pernah hilang dan tidak diketahui lagi oleh Bani Israil, namun kemudian tempat itu ditemukan kembali oleh Nabi Dawud as. Hal serupa pernahh terjadi juga pada Bani Quraisy yang kehilangan mata air Zamzam, dan kemudian ditemukan kembali oleh Abdul Muthalib. Hilangnya tempat Tangga Yaqub dan Mata Air Zamzam itu, oleh kakak sulung seperjalanan dijelaskan sebagai hilangnya sumber pengetahuan kebenaran di kedua umat itu. Nah, dalam Miraj itulah Rasullah saw bertemu dan bercakap-cakap dengan Allah Taala dan mendapatkan perintah shalat. Seperti bisa dibaca dalam notes sebelumnya, Shalat adalah Miraj-nya orang Mukmin. Bagi kita, umatnya Muhammad saw, adalah proses kita naik ke tataran jiwa hingga ruh untuk mencapai marifat atau pengenalan diri beserta misi hidup unik yang Allah amanahkan kepada tiap-tiap individu. Pada kenyataannya, sulit bagi manusia untuk menumbuhkan benih kemisian tersebut jika tanah tempat tumbuhnya benih tersebut merupakan tanah yang gersang, dan bumi diri yang kering dari hujan rahmat Tuhan. Hanya dengan dua bagian rahmat-Nya-lah manusia dapat menempuh jalan pensucian dan disucikan (al-muthaharn). Karena kesuburan sang muthaharn pula maka benih ketetapan-Nya dapat dikenali (marifat) dan dipersaksikan (syuhada) untuk kemudian

ditumbuhkan dan berbuah (bagi sesama manusia dan bagi semesta alam), hingga jadilah manusia sebagai kalimah-Nya. Misi nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam misi nafs karena bakat langit nafs merupakan fithrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena hatinya dipenuhi dosa. Meskipun setiap individu memiliki benih serta misi yang spesifik dan unik, namun perlu dikaji pola yang umum berlaku dalam rangka mencapai persaksian dan kedekatan dengan Tuhan. Pintu masuk menuju hal ini adalah pada perkara bagaimana menemukan tatanan yang senantiasa tertanam dalam diri manusia (innate), yaitu struktur insan dalam kaitannya dengan perjalanan menuju Tuhan. Pemahaman tentang struktur insan amat berpengaruh dalam membentuk struktur keberagamaan, karena manusia adalah makhluk yang berproses dan berkembang, baik lahir maupun batin di mana proses tersebut ada polanya. Pola proses inilah yang amat penting dipahami seorang salik, sehingga dia bisa mengukur posisi perjalanannya menuju Allah dan membangun keberagamaannya dengan struktur yang benar dan sesuai kehendak Allah. Proses ini dikenal di kalangan kaum shufi dengan istilah uruj (miraj), yaitu proses berpindahnya atau naiknya kesadaran manusia, dari satu kesadaran ke kesadaran lain sehingga faktor kendali kehidupan seseorang senantiasa berpindah sejalan dengan uruj.

Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya. Barangsiapa mengenal nafs-nya maka akan mengenal Rabb-nya. (Rasulullah SAW) Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs, maka instrumen mata dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Taala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albb, dan hanya Ulul-Albb yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta. Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albb. (Al Baqarah [2]: 269) Proses uruj tadi merupakan proses taubat, di mana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah

(pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri. Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali). (Al-Mumin [40]: 13) Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk. (Thaha [20]: 82) Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (Al-Hujurat [49]: 11) Dalam Al-Quran, bumi itu juga melambangkan jasad. Bumi bisa kita ubah-ubah, seperti halnya gunung bisa kita hancurkan, lereng bukit kita ubah menjadi sawah, dan seterusnya. Itu menggambarkan bahwa jasad kita memang mudah untuk diubah-ubah, karena seperti halnya bumi, maka kita bisa saja merekayasa identitas dan autentisitas menjadi berubah-ubah dan relatif. Bahwa secara jasadiah kita bisa menyangkal bahwa tak ada autentisitas dan ketetapan misi hidup yang sudah Allah gariskan atas diri kita karena sifat jasad kita sama seperti bumi yang bisa kita ubah dan bahkan rusak. Namun, dalam Al-Quran, langit pun melambangkan jiwa. Dan sebagaimana kita tak bisa seenaknya mengubah-ubah rasi bintang, jalur rotasi planet, bahkan semata ingin membentuk awan, maka begitu pulahal jiwa manusia. Kesejatian manusia terpendam di aspek jiwa ini, bukan di aspek jasad yang seringkali hanya berupa tanda-tanda saja. Karenanya, bagi kita sebagai umat rasulullah Muhammad saw, konteks Miraj adalah perjalanan ke aspek batin kita untuk mencari kesejatian diri kita. Demikianlah salah satu hikmah Isra Miraj yang pernah diajarkan kepada saya oleh kakak sulung seperjalanan. Tentu semua kesalahan pemaparan adalah kesalahan sayayang tidak mampu mengingat semua detailnya, namun ini saya tuliskan sebagai sebentuk kebersyukuran sayya karena telah dipertemukan dengan guru dan kakak seperguruan tersebut. Alhamdulillahi Rabbil Allamin. Wallahu alam bishawwab.

And This Too Shall Pass


One morning, the boy Solomon saw the goldsmith who works for King David's Palace walk out of the palace very desperate and sad. Salomon asked the goldsmith with curiosity, what makes you feel so sad and desperate? The goldsmith answered, I have to provide a solution to the King within seven days. If not I will be taken out of my job. I am really confused because there is no solution for what the King has asked. What is the solution that the King is looking for? Solomon was curious. The goldsmith presented the demand of the King to Solomon as follows: I need to make a gold ring for the king with an inscription on it which should help the king not to be very happy and forget the divine truth at his happy moments. At the same time the inscriptions on it should help him not to lose his heart when he is facing failures and desperations. Immediately Solomon gave what he needs to inscribe on it: He said write as follows "This too shall pass." ***** Solomon was David's son and king of Judaea. When God appeared before him and asked what he might desire, Solomon did not ask for wealth or power. Instead, Solomon asked for the wisdom to judge between good and evil and God gave him what he desired. It was soon after known throughout the world that Solomon was the wisest of all the kings in the world and so, the king of Egypt came to test him. The king posed Solomon a simple riddle, and if he could answer it, would reward him with vast riches and most importantly his daughter's hand in marriage. The riddle was as follows: What can you say to a happy man to make him sad that will also make a sad man happy? Solomon thought and replied: "Gam zeh ya'avor" (this too shall pass). ***** One day Solomon decided to humble Benaiah ben Yehoyada, his most trusted minister. He said to him, "Benaiah, there is a certain ring that I want you to bring to me. I wish to wear it for Sukkot which gives you six months to find it." "If it exists anywhere on earth, your majesty," replied Benaiah, "I will find it and bring it to you, but what makes the ring so special?" "It has magic powers," answered the king. "If a happy man looks at it, he becomes sad, and if a sad man looks at it, he becomes happy." Solomon knew that no such ring existed in the world, but he wished to give his minister a little taste of humility. Spring passed and then summer, and still Benaiah had no idea where he could find the ring. On the night before Sukkot, he decided to take a walk in one of he poorest quarters of Jerusalem.

He passed by a merchant who had begun to set out the day's wares on a shabby carpet. "Have you by any chance heard of a magic ring that makes the happy wearer forget his joy and the broken-hearted wearer forget his sorrows?" asked Benaiah. He watched the grandfather take a plain gold ring from his carpet and engrave something on it. When Benaiah read the words on the ring, his face broke out in a wide smile. That night the entire city welcomed in the holiday of Sukkot with great festivity. "Well, my friend," said Solomon, "have you found what I sent you after?" All the ministers laughed and Solomon himself smiled. To everyone's surprise, Benaiah held up a small gold ring and declared, "Here it is, your majesty!" As soon as Solomon read the inscription, the smile vanished from his face. The jeweler had written three Hebrew letters on the gold band: gimel, zayin, yud, which began the words "Gam zeh ya'avor" -- "This too shall pass." At that moment Solomon realized that all his wisdom and fabulous wealth and tremendous power were but fleeting things, for one day he would be nothing but dust.

BARAT PASTI SALAH, DAN HANYA ISLAMLAH YANG BENAR


Ada satu hal yang rasanya cukup sering saya temukan saat membaca tulisan para aktivis Islam yang mencoba berargumen terhadap berbagai pemikiran Barat, yaitu, tendensi penghakiman nyaris tanpa ampun atas pemikiran Barat. Hal itu membuat tulisan-tulisan mereka sudah terlihat tendensius bahkan dari judulnya. Saya rasa, salah satu hal yang mendasari sikap semacam itu adalah karena fanatisme-nya bahwa kebenaran hanya ada di Islam, dan lebih spesifik lagi adalah dalam Al-Quran dan Al-Hadis (lengkap dengan tafsir khas ideologi kelompoknya), kemudian sumber kebenaran tambahan lainnya adalah pandangan para ulama yang dianggap lurus menurut kelompok masing-masing. (Oh ya, herannya, terhadap teknologi yang lebih bernilai praktis mereka seringkali afirmatif dan tidak kritis) Secara pribadi, saya sendiri memang pernah mengalami masa-masa seperti itu. Saat saya mulai tertarik membaca buku adalah saat saya masih tercelup ideologi NII (yang kini sedang heboh lagi untuk kesekian kalinya). Saat saya mulai membaca buku filsafat berbarengan dengan saat saya intens mengikuti pengajian dengan salah seorang pentolan Ikhwanul Muslimin. Saya pergi dari pengajian tersebut karena tidak nyaman dengan cara ustad tersebut menjelek-jelekan Nurcholis Madjid dan Jalaluddin Rahmat. Akhirnya saya lepas dari pengajian apa pun dan terjun bebas ke SKAU, unit di Salman yang berisi anak-anak nakal berpikiran bebas lagi liar yang membuat para aktivis di lingkungan masjid itu menjadi sebal dan gerah. (Akhirnya SKAU dibubarkan juga oleh YPM SALMAN hiks hiks hiks) Di sini saya semakin kenal dekat dengan tasawuf. Sebenarnya sejak tingkat pertama di kuliah saya sudah mulai berkenalan dengan seorang yang mungkin bisa dibilang menjalani hidup seperti sufi. Ke mana-mana saya ikut dia dan banyak bertanya padanya. Kemudian kami berpisah karena kesibukan masing-masing dan ketika di SKAU saya kembali didekatkan dengan khazanah tasawuf. Tapi, sejujurnya saja ya, makin lama saya makin kurang pas dengan atmosfir berwacana tasawuf di SKAU itu. Kegelisahan semacam itu mengantarkan saya ke tahap berikutnya, yaitu menjadi tidak hanya berwacana tasawuf. Nah, titik ini menjadi penting bagi saya, karena justru dengan tidak hanya berwacana tasawuf saya malah jadi semakin intens belajar berbagai pemikiran Barat. Bahkan bertahun-tahun saya belajar pada kalangan Katolik tentang Filsafat, dan yang paling menerima saya dengan terbuka adalah pak Bambang Sugiharto. Beliau sampai berkata: kamu tidak akan pernah lulus dari UNPAR karena selalu jadi mahasiswa di sini Bagi saya, kalangan yang penguasaan filsafat Baratnya paling paten dan mumpuni adalah kalangan Katolik. Selain itu kakak saya juga berpesan: Al, pelajari pemikiran para filsuf itu sampai mendalam ya, karena pasti ada maksudnya Tuhan mengizinkan mereka hadir. Beliau suka mengutip QS 3: 191 yang berbunyi Maa khalaqta haadzaa bathilan (tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia). Selain itu, beliau juga mengajarkan bahwa kalau mengalahkan singa itu ya di kandangnya. Kalau saya bahasakan ulang adalah, kalau mau berwacana tanding dengan Barat, maka kuasai juga bahasa, logika, alur berpikir dan argumentasinya, dan berbahasalah dengan bahasa mereka. Kalau menurut bahasa keponakan jauh saya, Daud, jangan jadi banci. Maksud dia begini. Misalnya kita hendak menyisipkan nilai-nilai Islam dalam sebuah karya tulis tugas akhir kita. Nah,

ketimbang mengambil semangat dan cara pandangnya, kita malah menampilkan secara mentahmentah ayat Al-Quran dan Al-Hadis dalam tugas akhir itu. Selain akan sangat besar berpotensi menjadi Jaka Sembung bawa golok, pengutipan Al-Quran dan Al-Hadis secara mentah dan begitu saja dalam karya tugas akhir itu juga berpotensi membuat para penguji, kalau kebetulan Muslim, menjadi serba salah untuk mengkritisinya. Tidak dikritisi juga salah, karena bagaimana bisa mengujinya, apalagi kalau ternyata Jaka Sembung bawa golok, dan kalau dikritisi akan merasa salah seperti tidak beriman. Nah, cara membuat para penguji bingung dan tidak leluasa itu adalah yang Daud katakan sebagai cara banci. Saya sepakat dengan dia. Selain itu, saya pun mendapat sebuah cerita bagus dari Mas Herman tentang Nasruddin Hoja. Dikisahkan bahwasanya Nasruddin Hoja sering keluar masuk negeri tetangganya. Tentu saja kebiasaan tersebut menimbulkan kecurigaan pada Fulan, petugas bea cukai di perbatasan. Dia yakin sekali bahwa Nasruddin tengah menyelundupkan sesuatu. Namun, setiap kali dia memeriksa Nasruddin dengan sangat teliti, tak ditemukan apa pun, karena Nasruddin hanya membawa keledai yang memanggul jerami. Demikianlah hal tersebut senantiasa berulang. Tahun demi tahun pun berlalu, hingga mereka berdua pun beranjak tua. Suatu ketika keduanya bertemu kembali, berkatalah si Fulan, Nasruddin, sekarang kita sudah sama-sama tua. Aku sudah pensiun sebagai petugas bea cukai perbatasan, dan kau pun sudah tidak bepergian lagi ke negeriku. Sudah saatnya kau bicara jujur padaku, tohaku pun tidak akan bisa menangkapmu. Aku sebenarnya yakin sekali bahwa engkau tengah menyelundupkan sesuatu setiap kali memasuki negeriku. Namun, setiap kali aku memeriksamu, aku tidak menemukan apa pun selain keledai dengan jerami di punggungnya. Sebenarnya apa yang engkau selundupkan? Dengan entengnya Nasruddin menjawab, Keledai! Aku menyelundupkan keledai, karena di negerimu harga keledai lebih mahal. Anekdot di atas, dalam konteks berwacana, saya tafsirkan sebagai strategi untuk tidak mengeksplisitkan khazanah Islam saat dibahasakan. Tapi, tentu saja, secara pribadi bukan berarti saya adalah politikus wacana yang selamanya selalu berstrategi menyelundupkan khazanah Islam (khususnya tasawuf) karena, seperti dikemukakan di atas, saya mengimani bahwa tak ada kesia-siaan dalam kemunculan para pemikr Barat itu. Jadi, ketimbang sudah memelihara sikap tendensius bahwa Barat dengan rasionalitasnya itu sudah mengidap kesalahan sejak awal karena sekulerismenya, saya malah lebih sibuk mencari keping-keping kebenaran dari mereka. Kalau pun saya mengkritisi pemikiran mereka, itu bukan berarti saya sudah tendensius menilai mereka sesat pikir, karena toh biasa juga kalau para pemikir itu saling mengkritisi. Dan kenapa saya tidak boleh mengkritisi, selama logika saya sejalan dan argumentatif. Nah, karena itu, saya sendiri sering mengamini pemikiran beberapa filsuf, terlebih saya sangat menyukai para filsuf bahasa, dan filsuf sejarah Michel Foucault (walau masih dangkal pemahaman saya). Saya juga mengamini sebagian pemikiran Karl Marx, Merleau-Ponty (tentang tubuh), juga mengamini sebagian pandangan para feminis, dan sebagainya, dan sebagainya. Resiko dari sikap semacam itu dan menulis dengan bahasa pemikir Barat membuat saya berulang kali di cap sebagai wakil dari Jaringan Islam Liberal. Well, orang yang ngomong kayak gitu berarti memang tidak kenal saya sama sekali, karena di kalangan teman-teman berwacana yang cukup dekat, mereka tahu kalau saya terlalu mistikus dan Platonis. Dan rasanya mustahil ada orang JIL yang mistik kayak saya wkwkwkwkwkwkwkwk.

Tapi, secara pribadi saya sebenarnya lebih senang mencari keping-keping kebenaran dari para pemikir Barat itu, untuk hidup saya, serta belajar mengikuti alur argumentasi dan pola pikirnya, sehingga saya selalu kehilangan selera untuk membaca tulisan-tulisan dengan sikap tendensius khas para aktivis Islam yang menghakimi nyaris membabi-buta pemikiran yang lahir dari Barat. Seolah-olah kebenaran hanya datang dari Islam (apa pun itu menurut tafsir masing-masing) saja. Maaf, saya tidak percaya itu, karena setiap manusia juga berpikir, apalagi kalau terlatih berpikir mendasar seperti para filsuf dan ilmuwan, sehingga percik-percik kebenaran itu pun ada di mana-mana. Saya tidak percaya bahwa BARAT PASTI SALAH, DAN HANYA ISLAMLAH YANG BENAR. I dont buy it.

KENAPA AL-QURAN TIDAK JELAS SISTEMATIKANYA?


Sejarawan Thomas Carlyle menganggap Muhammad adalah salah satu pahlawan terhebat di dunia bahkan dia pun menyebut Al-Quran "Bacaan berat yang pernah saya baca, tulisan campur aduk yang melelahkan."

[TANYA] SEMOGA Allah selalu memberi keselamatan bagi kita semua. Bisakah memberi petunjuk kepada saya kenapa ayat-ayat dalam Al-Quran tidak tersusun secara sistematis? Adakalanya ditemukan pokok bahasan yang melompat-lompat dalam satu surat. Bagaimana cara meraih makna dari kitab suci ini dengan baik sehingga bisa diamalkan dalam kehidupan kita? Apakah ada pengaruhnya jika kita bisa berbahasa arab dalam mempelajari Al Quran? Wassalam, Wisnu Wijayanto

[JAWAB]

I. Lucky G. Adhipurna PERTANYAAN bagus! sayangnya saya gak punya jawaban bagus. Ini sekadarnya aja. Bacaan kita bilang sistematis (logis, rasional, masuk akal, dan lain-lain) kalo bacaan itu masuk, klop, pas, fit, cocok, ludes termakan skema fakultas pikir kita. Padahal, bacaan kita yang satu ini (al-Quran) justru bertujuan mentransformasi skema fakultas pikir kita itu (bahkan seluruh fakultas kedirian kita). Kalo kita baca sesuatu yang sistematis (yang nyaman masuk selera skema pikir kita), praktis kita tidak belajar apapun dari bacaan itu (jangankan ter-transformasi oleh bacaan itu). Contoh, saya lancar dan nyaman baca buku The Tao of Physics, saya sudah familiar dengan jalan pikir buku itu, jalan pikir argumen buku itu klop dengan skema pikir saya: maka praktis, saya tidak belajar apapun (yang baru, mendasar, ground-breaking, transforming knowledge) dari buku itu. Kalo pun saya merasa belajar dan dapat sesuatu dari buku itu, itu sekadar ilusi, justifikasi, amplifikasi dari skema kerdil pikiran saya yang itu-itu juga, yang gak dapat pelajaran apapun dari buku itu.

Jadi, kembali ke laptop, tentang apa yg salah dgn al-Quran; yang salah adalah gagasan kita tentang yang sistematis, logis, masuk akal, dan lain-lain itu. Al-Quran yang mau menciptakan akal baru dalam diri kita, kok dipaksa supaya bisa masuk akal sempit pikiran kita. Terkait kemampuan bahasa arab, dari sisi teknis tentu bisa dibilang kalo itu mendukung. Tapi pada prinsipnya, kita memahami al-Quran sejauh diri kita berhasil ditransformasi secara lahir dan bathin olehnya. Toh sangat banyak orang yang mampu berbahasa arab tapi kenyataannya al-Quran sama sekali tidak mentransformasi dirinya, dan bagitu banyak hal-hal dalam al-Quran yang belum mampu dia pahami. Mungkin gitu. Salaam, Lucky G. Adhipurna

II. Alfathri Adlin SAYA pernah ikutan tes buta warna sewaktu mau masuk kuliah dulu. Rupanya tes buta warna itu berupa berbagai bulatan warna yang disusun acak-acakan namun membentuk pola tertentu. Saya lulus tes buta warna. Namun, suatu ketika, saya mengantarkan adik kelas saya untuk ikutan tes buta warna. Rupanya, sekian pola acak warna tersebut tidak tertangkap polanya oleh mata dia. Dia tidak melihat angka atau jalur yang terbentuk dari warna-warna tersebut. Di situlah saya baru tahu kalau dia itu buta warna dan bahwa orang buta warna itu kayak gitu. Nah, demikian pula Al-Quran. Tapi Al-Quran itu bukan alat tes buta warna, tapi alat tes buta mata hati. Kalau kita melihat Al-Quran masih sebagai sebuah kitab dengan ayat-ayat yang acakacakan, maka itu tanda kita masih buta mata hati. Namun, kalau kita melihat Al-Quran sudah sebagai sebuah kitab dengan ayat-ayat yang satu sama lainnya mengikat sangat kuat, sekuat mata rantai, seperti yang pernah diungkapkan dan dialami oleh mursyid dan kakak sulung kita, maka itu berarti kita sudah tidak buta mata hati lagi. Kalau tidak salah Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa sebagaimana halnya matahari bagi mata lahiriah kita, Al-Quran adalah matahari bagi mata batiniah kita, saking terangnya. demikian dari saya. mohon maaf kalau ada silap kateu. Wass. Wr. Wb. Alfathri Adlin

III. Herry Mardian MAS Wisnu, alhamdulillah.

Quran, memang tidak mudah dipahami. Ayat-ayatnya tampak tidak sistematis dan melompatlompat, jika instrumen untuk memahami Quran kita menggunakan pikiran atau rasio, paradigma sistematika yang dalam standar kita, teratur. Dan memang, sangat sedikit orang yang telah mampu menjangkau makna Quran, walaupun itu para pejalan spiritual. Ada yang sudah terbuka, ada yang baru terbuka secara global dan belum detil (abstraksi), ada yang baru bisa paham sedikit sedikit, itu pun dengan dibantu oleh mereka yang sudah terbuka, ada yang belum bisa memahami. Porsi terbesar makna Quran memang hanya bisa dijangkau bukan dengan instrumen rasio atau akal jasad kita ini, melainkan dengan instrumen aql atau akal nafs/jiwa. Jika sebagian besar manusia bahkan tidak menyadari bahwa dalam dirinya ada diri yang lebih sejati dari diri fisikalnya, yaitu nafs, apa lagi menggunakan akal nafs-nya (aql) untuk memahami persoalan. Karena akal jiwa (aql) juga disebut dengan istilah lubb, maka orang-orang yang aql nya telah berfungsi disebut juga ulil-albab. Itulah sebabnya dalam quran begitu sering dikatakan berulang-ulang, hanya ulil-albaab sajalah yang mampu mengambil pelajaran. Pendek kata, porsi terbesar makna quran memang ter-enkripsi, dan instrumen untuk membuka enkripsi quran hanyalah aql/lubb, bukan akal jasad (rasio). Dan orang-orang yang dalam dirinya telah memiliki lubb atau aql ini belum tentu seorang ustadz terkenal ataupun mereka yang sekolah agama hingga S-4. Belum tentu. Namun demikian, sebagai kitab pembimbing manusia, mereka yang belum memiliki lubb pun diizinkan membaca sedikit makna dan beberapa rahasianya, walaupun hanya sebagian kecil saja. Mampu berbahasa arab pun belum menjamin seseorang bisa menjangkau makna Quran, karena quran pada dasarnya adalah bahasa Quran, bukan bahasa arab untuk berkomunikasi (contoh kita tidak akan akurat memahami quran jika hanya menggunakan bahasa arab biasa). Demikian banyak orang yang berbahasa arab tapi juga tidak mengerti makna-makna ayat Quran. Tapi tentu, bisa berbahasa arab (qurani, bukan bahasa komunikasi sehari-hari) akan jauh lebih mudah memahaminya daripada tidak bisa sama sekali. Tapi hal yang terpenting adalah, bahwa kita mulai jujur pada diri kita sendiri dalam beragama ini. Kita berhenti mengindoktrinasi diri bahwa kita memahami Quran, bahwa Quran adalah kitab teragung, bahwa Quran mencakup jawaban bumi dan langit, dan sebagainya. Hal itu memang benar, tapi dari sisi mana?-nya kita sama sekali tidak paham. Pelan-pelan, kita mulai semakin jujur bahwa: kita tidak mampu menjangkau Quran. Kita tidak memahami shalat dan gerakan-gerakannya. Tidak memahami makna puasa. Makna zakat. Makna rakaat-rakaat shalat dan waktu-waktunya. Makna haramnya minuman keras, diizinkannya poligami, hukum waris yang aneh karena lelaki mendapat dua kali bagian wanita, dan lain sebagainya. Ternyata, kita tidak memahami diin kita. Tidak memahami hidup kita, sejarah diri kita, kenapa bertemu si A dan tidak B, kenapa bagian ini ada musibah dan bagian itu ada keberuntungan. Kita lama kelamaan akan menyadari bahwa kita bahkan tidak memahami diri kita sendiri. Selama sekian puluh tahun hidup, kita bahkan tidak kenal siapa kita!

Ini adalah awal kita mulai memahami hakikat hamba pada diri kita: bahwa kita adalah makhluk yang lemah, yang bodoh, yang perlu bimbingan. Kita adalah makhluk, yang akan senantiasa butuh Rabb-nya, setiap saat. Tidak semua orang mampu mengerti, merasakan dan memahami hal ini, merasakan hakikat hamba ini. Padahal, Wamaa khalaqtul jinna wal insa illa li yabuduun. (Q. S. 51 : 56) Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka yabud, abid, mengabdi, meng-hamba. Bukan diciptakan cuma untuk beribadah dalam pengertian untuk shalat, puasa, zakat, dan seterusnya. Tapi meng-abdi. Meng-hamba. Bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Total. Ini penting. Selama kita masih yakin akan kemampuan kita sendiri, entah itu di sisi agama, penghasilan, ilmu, kecerdasan, dan lain sebagainya; selama kita masih yakin bahwa ada kemampuan diri kita yang membuat kita mampu melalui hari esok dengan selamat, hakikat penghambaan tidak akan pernah muncul dari dalam diri kita. Jika kita sudah mulai menyadari bahwa kita ternyata nggak bisa apa-apa sama sekali!, maka insya Allah itu adalah saat bahwa kita benar-benar butuh Allah. Kelak sebelum menghadapi setiap hal, kita tidak akan pernah berhenti memohon pada-Nya untuk dibimbing, diajari dan dituntun oleh Tuan kita, sebaik-baik majikan bagi para hamba-Nya. Dengan demikian, mulai saat itu setiap peristiwa dalam hidup kita justru akan menjadi rangsangan untuk mengingat-Nya. Saat itu, setiap saat kita ada dalam kondisi memohon. Saat itu, setiap saat kita ada dalam kondisi zikir pada-Nya. Tanpa menyadari hakikat hamba (budak) dalam diri kita ini, sang Tuan tidak akan pernah menunjukkan jalan menuju diri-Nya, apalagi mengenalkan sifat Maha Raja-nya pada kita. Walaupun kita punya segunung prestasi, tapi jika kita belum sepenuhnya bergantung kepadaNya mengabdi, pada dasarnya kita sama sekali belum berfungsi. Mulai dari jujur pada diri kita sendiri. Selamat berjalan, Mas Wisnu selamat berjalan, sahabatsahabat. Semoga Dia mengajarkan pada kita semua tentang diri-Nya. Wass Wr Wb Herry Mardian

IV. Imam Suhadi KANG Wisnu, menarik sekali membahas hal yang disampaikan Kang Wisnu. Jika kita merujuk kepada Q.S. 3:7, dimana dijelaskan adanya ayat muhkamat dan ayat mutasyabihaat. Dan dengan jelas tercantum, tidak memahami ayat mutasyabihaat kecuali ulil-albaab. Berkait dengan ayat ini, saya kutipkan sebuah hadits Qudsi dimana dikatakan: Barangsiapa melakukan apa yang diketahuinya, Maka Allah akan mengajarkan apa-apa yang tiada diketahuinya.

Dari ayat-ayat muhkamat inilah sebenarnya kita memulai untuk mencoba memahami ayat-ayat yang melompat-lompat ini. Karena dengan menjalankan yang muhkamat ini, kelak kita akan diajarkan atau diberikan kepahaman tentang ayat-ayat yang melompat tersebut. Permasalahannya adalah dalam menjalankan yang muhkamat tidak boleh pilih-pilih. Kita benarbenar dituntut untuk menjalankan semua yang muhkamat. Contoh ayat yang muhkamat adalah perintah shalat, puasa, zakat, shadaqah. Mungkin kita sudah menjalankan ini. Namun ada pula ayat-ayat muhkamat yang lain, yang mungkin kita abaikan, seperti memaafkan orang lain, sabar, syukur, tawakal, dsb. Nah memulai dengan menjalankan yang muhkamat-muhkamat inilah semoga menjadi gerbang memahami yang lainnya. Dengan memulai menjalankan yang muhkamat, dengan hidayah-Nya, sedikit demi sedikit kita akan diberikan kepahaman tentang yang lainnya, sehingga kita akan melihat bahwa al-Quran ini sesungguhnya sangat sistematis dan tidak melompat-lompat. Imam Suhadi

(diambil dari http://suluk.blogsome.com/2007/03/31/kenapa-al-quran-tidak-jelas-sistematikanya/, blog milik Herry Mardian)

Nasihat Rasulullah Saw kepada Ibn Arabi


Berhati-hatilah engkau agar jangan membenci orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya atau yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Aku pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw pada tahun 590H di Tlemcen (Aljazair). Telah sampai kepadaku kabar mengenai seseorang yang membenci Syaikh Abu Madyan. Aku yakin bahwa Abu Madyan termasuk tokoh di kalangan 'arifin (kaum arif). Aku benci kepada orang yang membenci Abu Madyan. Maka Rasulullah Saw pun bertanya kepadaku dalam mimpiku itu: "Mengapa engkau membenci si fulan?" Aku menjawab, "Karena ia membenci Abu Madyan" Rasulullah saw bertanya lagi, "Bukankah si fulan itu mencintai Allah SWT dan mencintaiku?" Aku menjawab, "Betul, wahai Rasulullah, ia mencintai Allah SWT dan mencintaimu." Beliau bertanya lagi kepadaku, "Lalu mengapa engkau membencinya karena kebenciannya kepada Abu Madyan? Mengapa engkau tidak mencintainya karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya?" Aku menjawab, " Wahai Rasulullah, demi Allah, mulai sekarang, aku tidak akan keliru dan lupa. Sekarang aku bertobat dan ia menjadi orang yang paling kucintai. Engkau telah mengingatkan dan memberikan nasihat, semoga Allah memberikan shalawat kepadamu."

Pengetahuan dan Diri


(Sebuah tulisan lamaaaaaaaaa banget, yang pernah di muat di Humaniora Teroka, Kompas) DALAM sebuah film yang ditayangkan oleh satu stasiun televisi swasta diceritakan kisah seorang Ibrahim Al-Haqq dari Turki. Ibrahim mengalami peristiwa yang agak ganjil, yakni melihat seseorang di kejauhan yang selalu berteriak-teriak: di mana engkau di mana engkau? Begitu sering orang di kejauhan itu terlihat. Bahkan, semakin hari sosok tersebut semakin terlihat dekat, atau terlihat di sela-sela kerumunan orang. Ibrahim semakin penasaran, hingga ia bertanya kepada sahabatnya: Siapakah orang gila yang setiap hari selalu berteriak-teriak mencari seseorang itu? Akan tetapi, sang sahabat malah balik bertanya: Orang gila yang mana? Aku tidak melihatnya. Bagi Ibrahim tetap saja sosok tersebut terlihat, semakin dekat, semakin dekat hingga akhirnya dia pun berhadapan langsung dengan sosok tersebut. Betapa terkejutnya Ibrahim melihat sosok tersebut, yang ternyata adalah dirinya sendiri. Ia memberi banyak wejangan kepada Ibrahim, antara lain sebuah ungkapan, Fungsi pengetahuan adalah untuk mengenal diri.Cerita di atas mengingatkan kita pada sebuah tulisan di pintu masuk kuil di Delphi, Yunani, Gnothi Se Authon (Kenalilah Dirimu Sendiri). Ucapan (kata mutiara) Apollo itu digunakan Socrates untuk mengajari warga Athena mengenali siapa diri mereka yang sejati. Bahwa kehidupan yang tidak ditafakuri ialah kehidupan yang tidak layak dijalani. Manusia, menurut Socrates, mempunyai diri yang nyata yang harus ditemukan dan dikenali oleh dirinya sendiri. Kebahagiaan yang nyata terdapat dalam pengenalan akan diri yang nyata tersebut. Dengan mengenal siapa dirinya, manusia akan mengetahui bagaimana sebaiknya berbuat. Maka, Socrates pun mengimbau kaum muda untuk bertafakur agar dapat mengenal diri mereka sendiri. Walaupun pengetahuan dapat dipelajari melalui debat dan diskusi, Socrates tetap menekankan bahwa pengetahuan yang nyata mengenai esensi harus dicapai dengan pengenalan diri sendiri. Tak mengenal diri Kearifan kuno ihwal kaitan antara pengetahuan dan pengenalan diri tersebut kini sudah benarbenar terlupakan. Pengetahuan lebih sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri manusia. Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad XIX, juga sudah mensinyalir hal tersebut dengan menyatakan: Kita tak kenal, kita (yang katanya berpengetahuan) tak kenal diri kita sendiri niscaya kita tetap asing bagi diri kita sendiri; kita tak paham diri kita sendiri. Hal tersebut juga menjadi keprihatinan Walker Percy, filsuf asal Amerika. Menurut dia, kita hidup di sebuah zaman yang lebih gila dari biasanya. Karena, kendatipun ada kemajuan besar-

besaran sains dan teknologi, manusia tidak memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat. Percy mempertanyakan kenapa hanya ada satu teori yang diterima secara umum tentang penyebab dan obat radang paru-paru akibat bakteri pneumococcus. Kenapa hanya ada satu teori tentang orbit planet, serta gaya tarik-menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi M31 di Andromeda? Sementara itu, kenapasekurangnyaada enam belas mazhab psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Kenapa selama 2.000 tahun terakhir ini kita tak tahu lebih banyak tentang psikis ketimbang yang sudah diketahui Plato? Hal tersebut semakin diperkabur dengan pandangan, manusia itu tak ubahnya tanah liat tak berbentuk dan menantikan dibentuk menjadi apa pun. Identitas kita dipandang hanya sebagai konstruksi sosial-budaya belaka yang menjadi cetakan bagi manusia yang terlempar ke dalamnya. Pandangan seperti ini semakin mengarahkan manusia untuk bergerak, melihat, dan mempelajari segala sesuatu di luar dirinya, dan melupakan khazanah dirinya sendiri, seperti dikemukakanantara lainoleh Socrates. Energi minimal Dalam tren buku-buku psikologi populer, manusia malah lebih sering diarahkan untuk terobsesi menjadi orang lain yang dipandang sebagai simbol hidup paripurna. Bagaimana menjadi seperti Michael Jordan, misalnya. Padahal, orang yang selalu ingin menjadi seperti orang lain hanya menjadi pecundang. Socrates tentang pengenalan diri yang nyata atau diri sejati sudah mengisyaratkan tentang cetakan primordial manusia. Gunting yang diciptakan untuk menggunting akan melakukan kerja tersebut lebih baik daripada benda lainnya. Begitu pula manusia. Dia diciptakan untuk sebuah tujuan, dan dapat melaksanakan tujuan tersebut lebih baik daripada makhluk lain yang tidak diciptakan untuk tujuan itu. Dalam ajaran Socrates terlihat adanya energi minimal, sebuah energi di mana seseorang terlihat oleh orang lain seperti tengah bekerja keras mengerjakan sesuatu. Padahal, bagi yang bersangkutan, kerja keras tersebut tak ubahnya seperti ikan yang bernapas di air. Begitu mudahnya melarutkan diri dalam keasyikan, dalam kerja. Akan tetapi, tak setiap energi minimal tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami dirinya. Sering kali yang terjadi adalah: terciptanya jurang yang lebar antara pengetahuan yang diperoleh melalui energi minimal dan pengenalan diri melalui pengetahuan tersebut. Dua tipe manusia Dilema antara pengetahuan dan pengenalan diri bisa kita lihat salah satu contohnya pada dua tipe manusia, yaitu pemikir dan penulis. Tidak setiap pemikir menjadi penulis (pandai menulis dengan baik, mengalir lancar dan enak dibaca); juga tidak setiap penulis menjadi pemikir (berkemampuan membangun konstruksi pengetahuan yang tertata tertib dan mendalam).

Di kalangan pemikir (baca: intelektual) secara umum terdapat dua tipe yang terkait dengan pengetahuan dan pengenalan diri. Pertama, pemikir yang mengabdikan hidupnya demi pengembangan ilmu itu sendiri, ini terbagi menjadi dua subtipe: mereka yang memang energi minimalnya cocok dengan bidang yang digelutinya dan mereka yang lebih dimotivasi hasratnya semata pada bidang itu. Untuk subtipe pemikir yang kedua, selain ilmu diperoleh tidak semudah pemikir subtipe pertama, ilmu yang digelutinya pun hanya memperkenalkan dirinya kepada berbagai hasrat dalam dirinya. Pada pemikir subtipe pertama, selain mudah mendalami ilmu yang memang menjadi energi minimalnya, ilmu yang dipelajarinya berpotensi mengantarkannya pada pengenalan diri. Permasalahannya, sering kali mereka lebih antusias mengkaji ilmu yang digandrunginya ketimbang berefleksi ihwal energi minimalnya. Misal, kita lebih mudah belajar fisika daripada bahasa (seperti Einstein). Pengenalan dasar energi minimal dapat menjadi jalan pembuka pengenalan diri sendiri seperti yang dikemukakan Socrates. Di sisi lain, ada tipe pemikir yang menyerahkan diri jadi penampung gagasan-gagasan orang lain, menjadikan dirinya sendiri tak ubahnya ensiklopedia berjalan. Tahu banyak hal, tapi hanya sebagai kumpulan kutipan. Dia asyik menggeluti pemikiran orang lain, tapi tak pernah melahirkan pengetahuan (yang seharusnya bisa dilahirkan dari pengenalannya akan diri sendiri). Di kalangan penulis, secara umum ada satu gejala umum terkait dilema ini, yaitu penulis yang memiliki energi minimal dalam mengolah kata-kata, tetapi tidak menjadi pemilik dari pengetahuan yang dituliskannya. Menulis sudah menyerupai sebuah keterampilan atau kriya baginya. Penulis seperti ini sangat terampil mengolah kepingan informasi menjadi sebuah tulisan yang bagus: entah dari ensiklopedi, kamus, internet, dan sebagainya. Namun, bukan berarti penulis itu menggunakan pengetahuan yang dituliskannya untuk mengenali dirinya. Penulis seperti ini biasanya lebih asyik mengolah kata-kata, merangkai kalimat, tetapi belum tentu punya kemampuan membangun suatu konstruksi pengetahuan yang integral dan komprehensif. Pengetahuan di kepalanya lebih menyerupai puzzle yang tidak bersesuaian satu sama lain dan mengambang. Demikianlah, tidak ada salahnya kita kembali menoleh ke belakang, kepada kearifan kuno yang mengajarkan bahwa fungsi pengetahuan itu adalah untuk mengenal diri. Apalah artinya manusia yang berpengetahuan luas atau penulis yang prolifik, tapi dia gagal mengenali dirinya dan kehidupan yang seharusnya ditapakinya dengan pengenalan dirinya tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim Al-Haqq dan Socrates di atas.

Yang Tersembunyi di Balik Hijab: Mitologi, Teologi dan Ideologi dari Jilbab (Bagian 1)
Baghdad beberapa ratus tahun yang lalu. Seorang perempuan berwajah cantik memasuki kota tersebut dengan hanya menutupi separuh wajahnya menggunakan cadar serta membiarkan separuhnya lagi terbuka. Maka bertanyalah seorang lelaki yang berpapasan dengannya Mengapa engkau tidak menutup seluruh wajahmu? Dia menjawab, Tunjukkan dulu kepadaku seorang laki-laki sejati agar aku bisa menutup seluruh wajahku. Di seluruh Baghdad ini, hanya ada satu laki-laki sejati, dan dia adalah Husayn (ibn Mansyur Al-Hallaj). Seandainya bukan karena dia, aku bahkan tidak akan menutup separuh wajahku seperti ini. Perempuan tersebut adalah saudara Husayn ibn Mansyur Al-Hallaj, sang shufi martir; yang konon dikatakan bahwa dia pun mengklaim kesetaraan dengan laki-laki dalam perjuangan spiritual. Jakarta beberapa tahun yang lalu. Saya gemar sekali mengenakan jilbab panjang, ujar Miranda Risang Ayu. Suatu hari saya bercermin, saya melihat lipatan jilbab yang saya sentuh bergerak gemulai. Baginya, hijabselain berfungsi untuk menutup auratjuga dapat membebaskan apa yang harus dibebaskan sehingga dia dapat menemukan pengganti dari kegemulaian tubuh perempuan pada lipatan-lipatan jilbab. Ide pemaduan antara estetika kain dan gerak lain itu ditemukannya setelah ia sering mendatangi berbagai kelompok tashawwuf. Maka berputarputarlah para perempuan berhijab panjang yang menarikan tarian kreasinya, tarian yang sekilas mirip dengan tarian para darwisy darithariqah Mawlawiyyah. Begitulah, penggunaan hijab umumnya didasarkan pada konsep keagamaan serta pemahaman dan penafsiran personal akan konsep tersebut. Sudah sejak zaman Rasulullah Saw hijab menjadi isu yang cukup sensitif bagi kaum muslimin, misalnya seperti yang terjadi pada pertengahan bulan Syawwal tahun kedua Hijriah. Peristiwa yang bermula dari ulah beberapa orang Yahudi ketika memaksa seorang muslimah untuk membuka tutup wajahnya, namun ditolak perempuan tersebut. Akan tetapi, ketika muslimah tersebut hendak pergi, tanpa disadarinya, salah seorang dari para laki-laki Yahudi tersebut mengaitkan ujung jilbabnya hingga tersingkaplah pakaian bagian punggungnya. Muslimah tersebut menjerit-jerit ketika menyadari kejadian itu, sementara para lelaki Yahudi tersebut tertawa-tawa melihat kejadian itu. Pada saat itu, seorang laki-laki muslim melihat kejadian tersebut dan langsung membunuh laki-laki Yahudi yang melakukan perbuatan tidak senonoh tersebut, tapi kemudian ia balik dikeroyok dan dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang ada di sekitarnya. Ketika peristiwa ini sampai ke telinga Rasulullah Saw, beliau pun memerintahkan kaum muslimin untuk bersiaga perang mengepung kaum Yahudi tersebut, namun atas desakan Abdullah bin Ubay maka Rasulullah Saw pun, dengan marah, hanya mengusirnya saja. Peristiwa itu kemudian tercatat dalam sejarah sebagai pengkhianatan pertama kaum Yahudi (yaitu Bani Qainuqa) terhadap umat muslimin. Jilbab atau kerudung, dalam berbagai bentuk dan nama, sebenarnya telah memiliki sejarah yang lebih tua dari zaman Rasulullah Saw. Dalam Taurat, misalnya, dikenal pula istilah yang semakna dengan jilbab, yaitu tiferet; sedang dalam Injil terdapat istilah redid, zammah,realah, zaif, dan mitpahat.1 Bukan tidak mungkin bahwa istilah serupa, apabila ditelusuri lebih jauh, akan ditemukan juga dalam agama-agama lain yang diturunkan ke muka bumi ini, seperti Hindu dan Budha, karena bagaimana pun, pakaian mewakili suatu tanda atau simbol spiritual keagamaan. Namun, tetap harus diingat bahwa senantiasa tercipta jarak atau keterpisahan antara tatanan

nilai yang hakiki dengan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari secara luas. Berkaitan dengan penggunaan jilbab atau kerudung ini, Epstein, seorang antropolog, mengatakan, Tradisi wanita menghijabi diri mereka ketika mereka bepergian dalam masyarakat umum telah sangat lama (dilakukan) di negeri timur. Barangkali rujukan pertamanya dapat ditemukan dalam kodeks bangsa Assyria, yang mengatur supaya para istri, anak perempuan, janda, ketika bepergian ke luar rumah, harus berhijab.2 Dalam tulisan ini, secara global, sejarah hijab akan dicoba untuk dikaji dengan pengkategorian secara arkeologis dari mitologi, teologi hingga ideologi, sehingga ketiga kategori tersebut, pada akhirnya, secara tidak langsung mewakili simptom hasrat dari masing-masing zaman yang berbeda. Di Seputar Permasalahan Jilbab dan Pengertiannya Kata hijab berasal dari kata hajaba yang berarti menyembunyikan dari pandangan atau juga dinding pemisah, sedangkan dalam konteks yang luas (hingga hari ini) hijab sering dikaitkan dengan penutupan aurat secara bersahaja oleh perempuan Muslim, yaitu berupa jilbab. Persoalan jilbab memang tidak sederhana sebagaimana tidak sederhananya pula makna dari istilah tersebut bagi setiap orang. Secara harfiah, jilbab berarti pakaian yang luas atau lapang dan dapat menutup aurat perempuan, kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan. Jilbab adalah bentuk mashdar dari akar kata jalaba yang berarti membawa atau menghimpun, sedang bentuk jamaknya adalah jalbb yang berarti baju kurung (auter garments atau juga mantle dan cloak) yang dapat menutupi seluruh anggota badandi dunia Arab lebih dikenal dengan jalabiyyah; selain itu juga tajalbaba yang berarti membajui. Adapun Lisnul Arab mendefinisikan jilbab sebagai kain bagian luar atau penutup yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya untuk menutupi dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Jilbab tersebut benar-benar menyembunyikan tubuhnya.3 Sedangkan dalam alQamus dikatakan jilbab merupakan pakaian yang lebar, yang biasa dipakai untuk menutupi pakaian (dalam) mereka dan menutupi seluruh tubuh (kecuali yang boleh ditampakkan). Ibnu Hazm menuliskan bahwa dalam bahasa Arabjilbab merupakan kain bagian luar yang menutupi seluruh tubuh. Sepotong pakaian yang terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh tidak dapat disebut sebagai jilbab.4 Adapun, sebagaimana dicatat oleh Nasaruddin Umar, jenis-jenis pakaian perempuan dalam vocabulary Arab pada masa Rasulullah dikenal dengan beberapa istilah, yaitu Khimar, pakaian yang khusus menutupi bagian kepala, dir, pakaian yang khusus menutupi bagian badan, niqab dan burq pakaian yang khusus menutupi daerah muka kecuali bagian bola mata, idzar, yaitu pakaian berjahit yang menutupi anggota badan sampai ke bagian kaki, rida, pakaian luar yang menutupi bagian atas badan ke bagian bawah di atas idzar, dan jilbab yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala, termasuk menutupi dir dan khimar.5 Beberapa peristilahan yang sering terkait dengan perkara hijab ini, yang di antaranya muncul dalam QS An-Nr [24]: 31, adalah khimar, yang bentuk jamaknya adalah khumur, memiliki makna tudung atau selendang untuk penutup kepala. Kata ini merupakan bentuk turunan dari akar kata khamara yang berarti menutupi atau menyembunyikan, dan terkait pula dengan kata khamr yang berarti anggur, atau secara harfiah berarti sesuatu yang menutupi atau mendera pikiran atau kepala. Awra, istilah bahasa Arab untuk pudendumseringkali

diterjemahkan sebagai bagian pribadi atau bagian yang dapat menimbulkan malu apabila terlihat, sesuatu yang seharusnya ditutupi. Adapun merujuk kepada Lisanul Arabistilah zina adalah termasuk segala sesuatu yang memperelok; istilah ini kemudian dipahami sebagai kecantikan alami maupun ornamen buatan yang berarti perhiasan, dandanan, dekorasi, pakaian, dan cara berpakaian. Kata ini berasal dari akar kata zanayang berarti berias, berdandan, berhias, menambahi ornamen, berpakaian, dan membuat seseorang (perempuan) menjadi lebih cantik dan percaya diri. Ilyas Islam mencoba merumuskan apa yang termasuk zina yaitu wajah, tangan dan kaki serta apa pun yang tampak dari tubuh seorang perempuan karena faktor yang tak terkendali seperti hembusan angin, atau yang di luar keperluan.6 Kemudian istilah juyb yang merupakan bentuk jamak dari kata jayb, sebuah turunan dari kata jawb atau memotong dan merujuk kepada belahan (dari pakaian) yang berarti bahwa tutup kepala harus menutupi leher dan menggantung di atas dada. Adapun kata kerjatabahraja menandai aktivitas menghiasi sesuatu, merapikan diri, menjadi tidak alami (palsu), berpakaian untuk diperlihatkan. Ini, menurut Ilyas, tidak hanya untuk membuat seseorang menjadi cantik, tapi juga untuk memamerkan dirinya, untuk mengembangkan daya tarik seseorang dengan tujuan untuk memancing hasrat. Ini tidak hanya merujuk kepada pakaian, tapi juga perilaku, seperti berjalan dengan langkah yang menggoda juga bertingkah genit atau yang tidak keruan. Hal ini terkait dengan kata bahraj yang berarti salah, lancung, palsu, memalukan, tidak layak, murahan, sampah, sedangkan oknumnya disebut dengan mubahraj, yaitu menyolok, mentereng tapi tidak berharga, terlalu glamour, banyak hiasan, suka pamer, rosokan, dan murahan. Dalam QS Al-Ahzab [33]: 33 terdapat istilah tabarruj yang berarti menampilkan kecantikan, yang turunan kata lainnya adalah buruj yang digunakan dalam beberapa ayat di Al-Quran (4: 77; 15: 16; 25: 61; 85: 1). Buruj artinya menara karena visibilitasnya yang jelas, dan visibilitas yang jelas dari perempuan pun dapat diakibatkan dari tipe pakaian yang digunakannya, cara mereka berjalan, atau cara mereka bertingkah laku. Dalam tafsir klasik tabarruj diartikan sebagai, pertama, mengigal atau berjingkrak-jingkrak secara menggoda; berjalan dengan cara yang seksi; mendandani diri sendiri secara lengkap; kedua, bercumbu-cumbuan, berkeltah; dan, ketiga, berias, memperlihatkan dandanan, memamerkan daya tarik tubuh. Tabarruj juga termasuk membuka tudung kepala, mengikatkannya ke belakang, yang berlawanan dengan diikat ke depan, yang mengekspos leher, kalung, telinga dan anting-anting yang dikenakannya. Dalam pengertian umum,tabarruj berarti seorang perempuan yang memperagakan dirinya sendiri di hadapan publik; termasuk gaya berjalannya yang tak tertutup dan menggunakan kain yang menyingkapkan lekuk tubuh, ornamen, make-up, dan sejenisnya.7 Lebih jauh lagi, dalam kaitannya dengan sejarah dunia Islam, Nasaruddin mencatat sejumlah penutup kepala yang dikenal dengan istilah-istilah yang berbeda di tiap-tiap bangsa, seperti misalnya istilah cadar yang lebih terkenal di Iran yang berasal dari bahasa Persi chador berarti tenda (tent). Dalam tradisi Iran cadar itu berarti sepotong pakaian serba membungkus yang menutupi seorang wanita dari kepala hingga ujung kaki.8 Sedangkan di India, Pakistan dan Bangladesh dikenal dengan istilah purdah yang berasal dari bahasa Indo-Pakistan, pardeh, yang berarti gorden (curtain). Istilah charshaf lebih dikenal di Turki untuk nama pakaian muslimah tersebut, milayt di Libya, abya, serta kudung atau kerudung untuk daerah Indonesia, Thailand Selatan, Malaysia dan Brunei Darussalam.9

Beryl Causari Syamwil, yang termasuk generasi awal pemakai jilbab di Indonesia, mengamati bahwasanya di Indonesia busana muslim bukanlah tradisi baru karena sudah ada ketika pertama kali Islam datang, namun masih dalam proses untuk menutup aurat. Dia menunjuk selendang tipis yang dikenakan perempuan Indonesia untuk menutupi sebagian rambutnya sebagai bukti dari proses menuju penggunaan jilbab dalam pemahaman seperti hari ini. Selain itu, Beryl juga menunjuk proses baju bodo, busana adat Bugis yang pada awalnya hanya berupa selembar sutra halus yang tembus pandang, namun kemudian menjadi tujuh lapis ketika pengaruh Islam masuk. Pada tahun 50-an para perempuan Bali masih banyak yang bertelanjang dada, namun hari ini mereka telah menggunakan bebatsebagai penutup dadanya, dan, menurut Beryl lagi, di daerah-daerah Indonesia yang belum berpakaian tertutup penuh bisa jadi dikarenakan proses evolusinya terhenti oleh banyak faktor.10 Dari sini dapat dilihat bahwa pengertian masyarakat tentang batas aurat pun terus mengalami perubahan dari aurat yang tadinya dibiarkan terbuka berubah menjadi tabu apabila terlihat, yang kemudian kembali kedalam bentuk yang lebih halus seperti yang sering terjadi pada saat-saat sekarang ini. Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara pengaruh Islam tersebut akan lebih mudah dilihat pada busana pengantin dari berbagai suku yang memiliki pengaruh Islam cukup kuat.Pertama, keindahan busana pengantin laki-laki dan perempuan yang terdapat unsur pengaruh lingkungannya, baik motif hiasan, bahan dan warnanya. Kedua, unsur panjang pada tiap daerah di Indonesia yang sangat bervariasi. Ketiga, tudung kepala untuk laki-laki dan perempuan yang beraneka ragam. Menurutnya, besar kecilnya pengaruh Islam berakar pada sebuah komunitas di Indonesia saat awal masuknya Islam terlihat dari sedikit banyaknya pakaian adat suatu daerah yang menutupi bagian tubuh manusia. Sedangkan mengenai jilbab Mansyur mengatakan bahwa itu adalah busana dengan ukuran yang mampu menutupi keburukan atau kekurangan tubuh serta tidak mengekspos perhiasan fisik.11 Pada kenyataannya, (tradisi) kerudung yang telah berkembang di Indonesia khususnya dan negara-negara Melayu pada umumnya, ternyata memiliki makna yang sepadan dengan istilah khimr pada zaman Rasulullah Saw. Namun, proses menutup aurat tersebut sempat terhenti ketika Belanda dengan peraturan-peraturannya mewajibkan setiap siswi untuk menggunakan rok ke sekolah-sekolah hingga tak heran apabila cukup banyak orang yang terkejut ketika isu jilbab dan baju kurung diangkat lagi ke permukaan. Mengenai hal ini Kees van Dijk mencatat bahwa Bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya yang tiba di Hindia Belanda berkonfrontasi dengan bangsa Indonesia dalam hal gaya hidup Eropanya, termasuk dalam hal pakaian. Orang-orang Indonesia, yang telah berziarah ke pusat keagamaan Islam, dan orang-orang Muslim dari daerah pusat Islam lainnya, dari Saudi Arabia kini, Persia, Mesir dan India, memperkenalkan, mendorong, dan memodifikasi gagasan dan simbol religius berkaitan dengan cara bagaimana semestinya bagi seorang Muslim untuk berperilaku di masyarakat, termasuk norma-norma dalam berpakaian. Belakangan ini, lajunya telah meningkat secara drastis dan tingkat persentuhannya menjadi semakin intens, namun konfrontasi antara tiga kompleks pemikiran utama, perilaku, dan pakaianBarat, Muslim, dan Indonesiatelah lama berlangsung, semenjak kontak pertama antara dunia Barat dan Muslim.

Di Indonesia, kontak dengan bagian-bagian dunia Islam lebih lama dari pada dengan daratan Eropa; orang-orang Muslim telah meninggalkan bekas lama sebelum orang Belanda dan Eropa hadir dalam situasi ini. Oleh karena itu, pilihan antara mengenakan pakaian yang berdasarkan aturan Muslim atau budaya pribumi telah berlangsung amat lama.12

Mitologi Hijab Ada sebuah asumsi menarik mengenai asal-usul kerudung atau jilbab yang diungkapkan oleh Nasaruddin bahwa dalam beberapa literatur Yahudi penggunaan kerudung berawal dari peristiwa dosa asal (original sin) yaitu peristiwa ketika Hawa menggoda suaminya, Adam, untuk memetik dan memakan buah khuldi, buah terlarang, yang mengakibatkan mereka berdua menjadi berdosa dan terusir dari Surga. Akibat peristiwa itu, dalam Kitab Talmud, maka Adam dan Hawa pun mendapatkan kutukan berupa 10 penderitaan.13 Salah satu bentuk kutukan terhadap perempuan adalah bahwa dia akan mengalami menstruasi di mana sepanjang sejarah manusia menstruasi dianggap sebagai suatu simbol, baik secara teologis maupun mitos, dan dari sini pulalah para antropolog mengaitkan asal-usul penggunaan jilbab, yaitu dari menstrual taboo. Istilah menstruasi sendiri memiliki makna teologis,14 yaitu Kata menstruasi (mens) berasal dari bahasa Indo-Eropa. Akar katanya adalah manas, mana, atau men, yang juga sering menjadi Ma. Artinya, sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian menjadi makanan suci (divine food) yang diberkahi lalu mengalir ke dalam tubuh dan memberikan kekuatan bukan hanya pada jiwa, tetapi juga fisik. Mana juga berhubungan dengan kata Mens (Latin) yang kemudian menjadi kata mind(pikiran) dan moon (bulan). Keduanya mempunyai makna yang berkonotasi kekuatan spiritual. Dalam bahasa Yunani, Men berarti Month (Bulan).15 Menstruasi merupakan salah satu penderitaan kutukan yang harus dijalani oleh Hawa dan segenap kaumnya. Karena itu, perempuan yang sedang mengalami menstruasi dianggap sedang berada dalam suasana tabu dan darah menstruasinya (menstrual blood) dianggap sebagai darah tabu yang menuntut perlakuan khusus. Larangan melakukan hubungan seksual ketika seorang perempuan sedang menstruasi terdapat di hampir semua agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Bahkan di kalangan Yahudi dan Kristen ada kepercayaan bahwa beberapa jenis makanan tidak boleh disentuh pada saat seorang perempuan sedang menstruasi karena dikhawatirkan akan mencemari, terutama itu adalah makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Tatapan perempuan yang sedang menstruasi memiliki semacam kemampuan tertentu untuk menimbulkan daya rusak Sang Mata Kejahatan. Sang Mata Kejahatan dapat menyebabkan gagalnya panen, membusuknya makanan, dan sakitnya anak kecil.16 Kepercayaan akan menstrual taboo tersebut mengakibatkan munculnya berbagai macam tanda dan isyarat yang harus digunakan oleh perempuan pada anggota badan tertentu agar masyarakat dapat terhindar dari pelanggaran terhadap menstrual taboo. Mengenai tabu tersebut Franz Steiner juga Evelyn Red menjelaskan lebih jauh bahwa Istilah tabu atau taboo pada darah haidlberasal dari rumpun bahasa Polynesia. Kata ta berarti tanda, simbol (mark) dan kata pu atau bu adalah keterangan tambahan yang menggambarkan kehebatan (intensity), lalu diartikan sebagai tanda yang sangat ampuh (marked thoroughly)Taboo juga sering diartikan dengan tidak bersih (unclean, impure), tetapi juga diidentikkan dengan kata suci (holy) dan pemali (forbidden). Tabu juga sering dikacaukan pengertiannya dengan sakral (sacred) dan

profan Menstrual taboo sudah menjadi istilah yang umum digunakan dalam buku-buku antropologi yang berbicara tentang persoalan menstruasi.17 Dari menstrual taboo tersebut lahirlah apa yang disebut sebagai menstrual creation berupa kosmetik, sisir, selop, sandal, sepatu, pondok haidl, kerudung dan cadar. Pada mulanya, kosmetik hanya digunakan oleh perempuan yang sedang menstruasi, dan terlarang bagi anakanak yang belum menstruasi, orang yang sudah menopause, apalagi kaum laki-laki; kosmetik ini berfungsi sebagai isyarat tanda bahaya (signal of warning) agar tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo serta sebagai penolak bala. Cara penggunaan kosmetik tersebut juga memiliki corak dan tata cara masing-masing pada setiap daerahnya. Selain itu, di beberapa kelompok masyarakat, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh menginjakkan kakinya ke tanah tanpa alas kaki (selop, sandal atau sepatu) untuk mencegah polusi dan malapetaka. Bahkan di beberapa daerah alas kaki tersebut dibuat berat, berukuran kecil dan runcing agar perempuan yang sedang menstruasi tidak bisa berjalan jauh ke mana-mana. Kemudian, pondok haidl, suatu pondok yang dibangun jauh dari perkampungan dan dikhususkan untuk perempuan yang sedang menstruasi agar mereka tidak membaur dengan masyarakat, termasuk keluarga dekatnya sendiri. Adapun cadar (hood) pertama kali digunakan untuk wanita yang sedang menstruasi dan pengganti pondok haidl bagi perempuan dari kalangan raja atau bangsawan. Cadar tersebut berfungsi untuk menutupi pancaran mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan yang diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan malapetaka bagi alam dan manusia. Penggunaan kata hut dalam bahasa Inggris yang berarti kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher dan kata hat yang berarti topi mempunyai kedekatan makna dan boleh jadi berasal dari satu akar kata dengan hut yang berarti bangunan sementara (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi. Secara etimologis kata hutmaknanya berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata hood, selain berarti kerudung/cadar, juga berarti penjahat dan buaya darat. Karena itu, penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.18 Dalam agama Yahudi, kemudian, bahkan muncul peraturan yang menyatakan bahwa .Para wanita yang bepergian ke muka umum dengan tanpa berhijab merupakan penyebab sah bagi tindakan penceraian, sebagaimana halnya dengan kekafiran.19 Mungkin karena itu pula maka Nur Veergin menunjuk ajaran agama lain, khususnya Kristen, sebagai penyebar penggunaan chador atau kerudung hitam panjang. Sebagaimana dinyatakannya Saya harus mengatakan bahwa berbagai kategori ini dipengaruhi oleh ajaran Kristen. Sebagai contoh adalah cadar. Dikatakan bahwa chador hitam mengerikan yang kian banyak terlihat di jalanan Istambul merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam, bagaimanapun itu sama sekali tidak berhubungan dengan Islam Turki. Kebiasaan itu datang dari Byzant (ajaran Kristen), ia datang dari Iran, tetapi ia jelas tidak diturunkan, tidak berasal dari budaya nasional Turki atau pun budaya Islam di Turki.20 Menurut Farzaneh Milani, perubahan dari pondok haidl menjadi jilbab adalah buah dari perjuangan perempuan bangsawan, namun tidak ada data yang pasti mengenai kapan peralihan itu terjadi. Sedangkan menurut Navabakhsh, jilbab sudah menjadi bagian dari tradisi pra-Islam,

bahkan 500 tahun SM jilbab sudah menjadi pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan di Kerajaan Persia. Lebih jauh lagi dia menyatakan bahwa Semula Al-Quran sendiri tidak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Katahijabdalam arti pengucilan wanitatidak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Rasulullah. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya wanita kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan bagian dari tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.21 Sedangkan Fatimah Mernissi menyatakan bahwa Jilbab dalam arti hijab, sebagai kesan untuk memisahkan wanita dari masyarakat tidak dikenal pada masa Rasulullah[kecuali] dua abad setelah Rasulullah Saw wafat, terutama setelah Kitab Fikih disusun (abad kedua Hijriah) dan setelah Islam meluas dan mengakomodir berbagai kultur dan mitos lokal, seperti bekas wilayah kerajaan Persi dan Romawi yang bersikap tegas terhadap penggunaan jilbab.22 Hal yang serupa dikemukakan oleh Akbar S. Ahmed, bahwasanya, Meskipun hijab, chadoratau bahkan purdah tidak terdapat di masa awal Islam menurut pendapat beberapa cendekiawan, seiring perjalanan waktu busana ini mulai dikaitkan dengan Islam. Kebiasaan ini terasimilasi bersamaan dengan penaklukan masyarakat Persia dan Byzantium dan dianggap mencerminkan semangat Al-Quran. Mungkin benar bahwa penutupan diri dan pemakaian cadar mencerminkan wanita kelas atas, wanita urban yang berusaha melindungi diri dari pandangan mereka yang berkeliaran di pasar ataupun ladang-ladang pertanian. Tetapi selama beberapa abad, kebiasaan ini menyebar ke bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu hal ini menyebar ke bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu hal ini mendatangkan konsekuensi yang tidak menguntungkan. Wanita di kota-kota kecil dan besar sering terkurung di rumah-rumah kecil dengan kontak sosial yang terbatas dan karena itu terhalang dari kehidupan masyarakat.23 Pandangan bahwasanya jilbab itu berasal dari menstrual taboo sebagaimana dikemukakan oleh para antropolog di atas bisa jadi sebenarnya merupakan sebentuk deviasi dari ajaran agama. Bahwa memang sudah biasa terjadi bagaimana sebuah ajaran agama yang dibawa oleh para Nabi atau Rasul pada awalnya memiliki makna serta kekuatan spiritual yang tinggi, jernih dan murni, karena masih diajarkan oleh tangan pertama secara langsungtak ubahnya minum langsung dari mata air. Namun, setelah para Nabi atau Rasul tersebut meninggal, dan tidak ada pengganti yang memang ditunjuk untuk meneruskan dan menjaga ajaran tersebut, maka biasanya ajaran agama tersebut akan mulai terdeviasi menjadi suatu ritual tanpa spiritualitas, dan mulai muncul berbagai penambahan di dalamnya. Kemudian, setelah beberapa lama, biasanya ajaran tersebut akan terdeviasi lagi menjadi sesuatu yang sifatnya emosional, agama dengan wajahnya yang kaku atau aturan-aturan yang sifatnya menekan, tak bermakna, dan cenderung mengada-ada. Oleh karena itu, bisa jadi jilbab yang dianggap terlahir dari menstrual taboo tadi sebenarnya jejak yang terbaca oleh para antropolog pada fase ketiga dari deviasi suatu ajaran agama. Melihat bagaimana sebuah kerudung atau jilbab cukup sering muncul di berbagai belahan bumi yang memiliki jejak dari ajaran agama-agama besar, bukan tidak mungkin bahwa kerudung atau jilbab tersebut memang termasuk bagian dari ajaran agama di masa-masa awalnya dengan penyesuaian terhadap budayanya. Karakteristik alam dan budaya dari suatu bangsa tentunya

akan sangat mewarnai bentuk dari ajaran dan aturan agama yang ada di wilayah tersebut, terutama dalam masalah perilaku orientasi seksualitas para lelakinya (terutama apabila dikaitkan dengan penggunaan jilbab, atau lebih luas lagi, cara menutup aurat bagi perempuan); sebagaimana Rasulullah Saw sendiri pernah bersabda bahwa Cadar yang sesungguhnya terletak di mata kaum lelaki. Dalam hal ini, budaya sebenarnya lebih merupakan proses pemaknaan baik pada alam atau realitas eksternalnya, juga pada sistem sosial yang memiliki nilai-nilai adiluhung baik pada identitas maupun kehidupan sehari-hari. Namun, tetap harus ada suatu pembedaan yang tegas antara kebiasaan sehari-hari berupa bentukan yang cenderung bersifat banal dengan budaya sebagai cerminan jiwa yang hakiki dari suatu suku bangsa serta mengandung nilai-nilai adiluhung, simbolik dan eskatologis. Budaya membedakan dirinya dengan alam untuk menetapkan identitas keberadaannya, lalu melegitimasi diri dengan membandingkannya kembali pada alam dan menetapkan dirinya sebagai yang alamiah lebih sebagai yang kultural itu sendiri. Alam, dengan begitu, merupakan realitas mentah yang melingkupi suatu masyarakat. Betapa pun tak tersentuhnya, yang alamiah adalah makna yang dibentuk oleh suatu budaya bagi alam. Dengan kata lain, yang alamiah merupakan produk budaya, sedangkan alam itu sendiri adalah pra-kultural.24 Hal ini nantinya akan terkait pula dengan orientasi seksual dari para laki-laki di tiap-tiap daerah; perilaku dan ketertarikan secara seksual terhadap perempuannya pun berbeda-beda, sehingga melahirkan tabu yang berbeda-beda pula namun tetap berada di seputar daerah erogen perempuan. Para perempuan di daerah gurun biasanya menggunakan bahan yang berlapis, menutupi wajah dan berbentuk terusan (untuk menghindari dehidrasi dan hilangnya panas tubuh) yang disesuaikan dengan kondisi alam, budaya, serta kebiasaan masyarakatnya. Sedangkan di daerah-daerah tropis yang biasanya cukup hijau dengan iklim yang sejuk, kebanyakan dari pakaian daerahnya sudah menutupi sebagian besar tubuhnya, dari mulai leher, lengan hingga ujung kaki. Tidak seperti para perempuan di gurun, para perempuan di daerah tropis biasanya hanya menggunakan kerudung yang digulungkan di kepalanya, serta pakaian yang biasanya terdiri dari dua potong kain untuk tubuh dan bagian kaki; yang juga disesuaikan dengan kondisi alam, budaya dan kebiasaan masyarakatnya. Selain itu, untuk mengatakan bahwa jilbab terlahir dari mitos yaitu menstrual taboosebenarnya kurang tepat, ketimbang dipandang sebagai deviasi dari suatu ajaran agama. Mitos, sebagaimana dikemukakan oleh Lvi-Strauss, sebenarnya merupakan suatu bentuksapienza poetica (kebijakan puitis) dari masyarakat tradisional di mana mereka menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat berbagai bentuk metafisik metafora, simbol, dan mitos-mitos. Itulah yang membedakan antara cara berpikir yang ilmiah dan yang primitif. Cara berpikir ilmiah bekerja dengan memilah-milah alam ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan semakin kecil; sebaliknya, berpikir primitif bersifat holistik, dan bertujuan untuk menemukan jalan bagi pengertian akan seluruh alam. Oleh karena itu, menstrual taboo bukanlah suatu mitos melainkan lebih merupakan suatu bentuk deviasi dan materialisasi banal atas ajaran agama. Mitos, sebagai suatu cara berpikir, memiliki suatu makna yang lebih dalam daripada yang tampak secara fenomena, sedang perlakuan terhadap menstrual taboo tersebut lebih merupakan penafsiran harfiah yang kaku dan

represif dari suatu ajaran agama yang pasti memiliki dimensi esoterik yang dalam dan agung. Namun dimensi esoterik ini seringkali sukar ditransmisikan sehingga mudah terkubur dalam perjalanan waktu, terdeviasi oleh benak manusia yang cenderung membatasi ide-ide yang universal, yang kehilangan mata air ajaran agamanya (mitos pun sebenarnya dapat juga mengalami hal serupa). Namun, melihat bagaimana ajaran mengenai penggunaan jilbab tersebut ternyata diakomodir pula oleh kitab-kitab suci menandakan bahwa yang terjadi adalah deviasi bukan mitos. Akan tetapi, dalam lintasan sejarah adalah sesuatu yang telah terpola di mana deviasi akan dikoreksi serta dimurnikan kembali untuk kemudian terdeviasi kembali, kemudian dikoreksi dan dimurnikan kembali, dan demikian seterusnya. Selain itu, dengan melihat uraian para antropolog di atas, terkesan bahwa penggunaan jilbab tidak terkait secara langsung dengan hasrat seksual, terutama hasrat laki-laki terhadap bagianbagian tubuh perempuan yang terbuka. Hasrat yang tampak mencolok dari berbagai paparan di atas seperti mengarah kepada hasrat untuk mengkongkritkan segala yang imaterial dari spiritualitas. Seakan menstrual taboo memiliki dampak langsung secara fisikal dan pencegahannya pun dengan atribut-atribut yang fisikal pula, seperti jilbab misalnya. Hasrat pengkongkritan ini terdapat juga dalam agama Yahudi, misalnya ketika bani Israil mendatangi Nabi Samuel untuk memilihkan bagi mereka seorang raja seperti bangsa lain. Terlihat bahwasanya sulit sekali bagi bani Israil untuk bisa hidup berbangsa dan bernegara dengan mengangkat Tuhan sebagai raja mereka. Mereka memerlukan sosok raja yang lebih kongkrit, yang memiliki istana dan singgasana, sebagaimana bangsa lainnya. Begitu pula halnya dalam agama Nasrani, dengan sosok Yesus yang mati di tiang salib. Penggambaran Tuhan yang antropomorfis seperti Yesus yang mati di tiang salib untuk menebus dosa umat manusia merupakan suatu hal kongkrit yang lebih mudah dihayati ketimbang Tuhan yang Maha Gaib, yang tak terindrai dan tak terbayangkan. Atau kebiasaan menunjukkan tangan ke atas untuk mengisyaratkan Tuhan, atau asap dupa yang melayang ke atas dengan membawa serta doadoa yang dipanjatkan kepada Tuhan adalah beberapa gambaran lainnya dari hasrat manusia untuk mengkongkritkan hal-hal yang imaterial menjadi material. Nah, bukan tidak mungkin hasrat pengkongkritan tersebut juga terhadap perkembangan mitologi yang berputar di sekitar permasalahan jilbab. Teologi Hijab Dalam Islam tak ada kaitan antara penggunaan jilbab dengan menstrual taboo (bahkan istilah yang terakhir sama sekali tidak dikenal), begitu pula perlakuan terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Pada masa Rasulullah Saw, perempuan dari kalangan Yahudi apabila sedang mengalami menstruasi, maka masakannya tidak dimakan dan mereka tidak boleh bersama keluarganya di rumah. Kemudian datanglah seorang sahabat menanyakan perihal itu kepada Rasulullah Saw, dan beliau pun diam untuk beberapa saat, dan turunlah ayat yang berbunyi, Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS Al-Baqarah [2]: 222)

Kaum Yahudi pun terkejut mendengar turunnya ayat ini, terkejut melihat bagaimana hal yang selama ini mereka tabukan ternyata dianggap sebagai suatu hal yang alami (adzan), dan mereka pun bereaksi dengan mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Nabi Saw) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Saw oleh Usaid Ibn Hudhair dan Ubbad Ibn Basyr, dan wajah Rasulullah Saw pun berubah karena tidak suka dengan reaksi kaum Yahudi tersebut. Kontak sosial dengan perempuan yang sedang mengalami menstruasi ini sering didemonstrasikan oleh Rasulullah Saw, misalnya, beliau pun minum dalam satu bejana dengan Aisyah yang sedang haidh; selain itu beliau Saw pun sering menegaskan berulangkali dalam hadis-hadisnya seperti, Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj). (Al-Hadis) Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jim). (Al-Hadis) Adapun penggunaan hijab dalam ajaran agama Islam sebenarnya bermula dari usulan Umar bin Khaththab sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, Aisyah menceritakan, Apabila para isteri Nabi hendak buang air pada malam hari, mereka pergi ke tanah lapang. Umar (bin Khaththab) mengusulkan kepada Nabi Saw supaya menyuruh para isteri beliau memakai hijab. Tetapi Rasulullah Saw tidak berbuat apa-apa. Pada suatu malam Saudah binti Zama, istri Rasulullah, keluar waktu Isya, dan dia adalah seorang wanita yang tinggi perawakannya. Lalu Umar menyapanya, Hai, kami mengenal engkau, hai Saudah! Dia menyapa karena sangat mengharapkan supaya turun ayat hijab. Memang sesudah itu turun ayat hijab. (Al-Hadis) Sesungguhnya, tidaklah mengherankan melihat bagaimana Umar bin Khaththab telah mengusulkan penggunaan hijab tersebut karena Rasulullah Saw sendiri menyebutkan ihwal Umar bin Khaththab dalam hadisnya, Sesungguhnya sebahagian dari umatku itu orang-orang yang disampaikan berita (muhaddits), guru dan ahli-ahli ilmu kalam. Dan sesungguhnya Umar itu sebahagian dari mereka. (Al-Hadis) Hal ini dapat dilihat pula pada Asbabun Nuzul dari beberapa ayat-ayat Al-Quran yang ternyata turun atas usulan atau juga membenarkan usulan dari Umar bin Khaththab. Namun, tetap harus disadari bahwa turunnya ayat-ayat dalam Al-Quran bukan karena berbagai pertanyaan yang dilontarkan kepada Rasulullah Saw, tersusun dari peristiwa-peristiwa yang kebetulan terjadi, atau bahkan atas usulan dari Umar bin Khaththab. Permasalahan tersebut terlalu besar dan tidak relevan untuk dibahas dalam tulisan ini. Kembali ke permasalahan pakaian, pada kesempatan lain Rasulullah Saw pernah bersabda ihwal pakaian sebagai simbol dari Ad-Dn yang lagi-lagi dilekatkan kepada Umar bin Khaththab, Dari Abu Said Al-Khudri, Katanya Rasulullah saw bersabda: Aku bermimpi dalam tidurku, seolah-olah aku melihat manusia dihadapkan kepadaku. Baju (qamis) mereka di antaranya ada yang sampai ke susunya dan ada pula yang kurang dari itu. Kulihat juga Umar bin Khaththab

dihadapkan kepadaku, sedangkan bajunya dihela-helanya karena sangat dalam. Para sahabat bertanya: Apakah takwil mimpi Anda itu? Jawab Nabi Saw: Ad-Dn. (Al-Hadis)25 Bahwa Ad-Dn didirikan di atas iman dan amal shalih, yang mudahnya, biasa juga diistilahkan dengan Taqwa, oleh karena itu qamis Umar bin Khaththab melambangkan ketaqwaannya, sebagaimana hadis lainnya menyebutkan Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa, perhiasannya ialah malu dan buahnya ialah ilmu. (Al-Hadis) Hadis ini juga menjadi penjelas dari ayat Al-Quran yang berbunyi, Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa (libasut taqwa) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al-Arf [7]: 26) Adapun untuk perkara iman sendiri, yang akan menjadi fondasi terdasar dalam permasalahan jilbab nantinya, dibahas secara kompehensif oleh Imam Al-Ghazali.26 Bahwa iman itu berwujud cahaya, tempatnya dalam qalb, dan fungsinya untuk menerima petunjuk yang akan membimbing manusia menuju Shirathl Mustaqm (jalan orang-orang yang dianugrahi nimat) dan mengerjakan amal shalih. Ada perbedaan kualitas dan entitas yang sangat signifikan antara mumin dan al-mumin baik dalam Al-Quran maupun Al-Hadis, seperti dalam bahasa Inggris yang membedakan antara book (yang bisa merujuk ke buku secara umum) dan the book (yang merujuk pada suatu buku tertentu saja). Apabila seseorang telah mendapatkan cahaya iman maka dia disebut sebagai mumin (ataumumint), sedang apabila orang tersebut bertaqwa (bentukan dari iman dan amal shalih; dan orangnya disebut sebagai muttaqn, sedang jenjang tertingginya adalah al-muttaqn) maka dia disebut sebagai al-mumin (atau al-mumint), dan seminimal-minimalnya jenjangal-mumin adalah shalihn.27 Selain itu, al-mumin merupakan orang-orang yang telah dianugrahi rahmatminimal rahmat pertama28sehingga digelari pula sebagai al-muthahharuun (QS Al-Wqiah [56]: 79), dan mengenai itu Rasulullah Saw dalam salah satu hadisnya bersabda, Jika Allah telah memberimu rahmat, maka rahmat itu harus ditunjukkan di dalam hidupmu. Mereka bertanya kepada beliau Saw, Bagaimana rahmat Allah itu harus ditunjukkan? Beliau menjawab, Dengan berpakaian yang bersih, berbau harum, memperputih rumah, menyapu halaman rumah, dan menyalakan lampu sebelum terbenam matahari sehingga akan menambah keindahannya.29 (Al-Hadis) Rangkaian ayat Al-Quran dan Al-Hadis di atas berfungsi untuk menjelaskan aspek-aspek mendasar pembentuk landasan dari syariat Islam mengenai hijab serta subjek yang ditujunya, sehingga ayat mengenai hijab tersebut dapat lebih terpahami konteksnya. Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri al-muminn: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya

mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab [33]: 59) Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa hijab) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (QS Al-Ahzab [33]: 55) Katakanlah kepada al-mumint: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan dalam kaumnya, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai al-muminnsupaya kamu beruntung. (QS An-Nuur [24]: 31) Al-mumint adalah suatu suri tauladan yang seharusnya ditiru oleh para mumint, baik keberserahdiriannya, ketaqwaannya, tingkah lakunya, bahkan hingga cara berpakaiannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw pun dalam hadis-hadisnya menganjurkan Barangsiapa meniru-niru tingkah laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. (Al-Hadis) Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan oleh seseorang kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman. (Al-Hadis) Teman duduk yang shalih adalah seumpama orang yang mempunyai kesturi. Jikalau ia tidak memberikan kepadamu dari kesturinya, niscaya engkau akan memperoleh bau harumnya. (AlHadis) Itulah sebabnya Rasulullah Saw pada saat itu melarang pakaian yang melewati mata kaki, karena itu mencerminkan kesombongan keagamaan, sehingga seolah-olah sang pemakai adalah orang yang agamanya sebagus Umar, sementara Umar secara jasadiah hanya mengenakan pakaian penuh tambalan. Seperti itu juga larangan Rasulullah Saw tentang pemakaian sutra dan emas, karena pakaian itu adalah pakaian laki-laki penghuni surga. Karena itu permasalahan keislaman seseorang, tidak hanya dilekatkan pada penggunaan jilbab secara fisik semata, tapi justru utamanya dalam peniruan akhlak dan tingkah laku seorang almumint hingga suatu hari bisa dimasukkan ke dalam golongan al-mumintersebut. Sebagaimana dicatat oleh Nasaruddin bahwa feminis seperti Fatimah Mernissi dan Riffat Hasan dapat saja menggugat keberadaan jilbab dan hijab dengan berbagai alasan kritis, namun dampak-dampak positif dari penggunaan jilbab tidak dapat mereka nafikan, seperti yang

dikemukakan oleh Lama Abu Odeh bahwa Bagi seorang feminis, keragaman seksualitas berhijab dapat menjadi sangat menarik dan menjanjikan interaksi dan dialog yang kaya dengan para wanita yang berhijab. Posisinya secara bersesuaian akan menjadi lebih bernuansa dan beragam. Daripada mengabaikan mereka sebagai musuh, ancaman, kesadaran yang salah, ia dapat memandang mereka sebagai komunitas wanita yang beragam, bercabang, nampak bersatu, yang berusaha untuk tetap bertahan dalam sebuah lingkungan yang tidak bersahabat bagi mereka sebagaimana pula baginya. Adalah sebuah keragaman yang mengundang percakapan antara yang sama, dari pada keterpisahan dari yang lain.30 Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan jilbab telah banyak dibahas dalam literatur-literatur yang membahasnya secara panjang lebar, namun, tetap dengan satu napas yang sama bahwa jilbab tidak boleh menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, transparan, atau segala hal yang bisa mengundang syahwat bagi laki-laki yang melihatnya. Akan tetapi, ada hal-hal lain juga yang mesti dilihat secara hati-hati, misalnya perbedaan antara rapi dan bermegah-megah. Selain itu juga, predikat berlebihan tidak bisa serta merta ditempelkan terhadap segala bentuk yang dipandang (secara subjektif) mewah dan berkemilauan karena ada masalah kezuhudan (yaitu, tidak mengisi qalb dengan kecintaan terhadap dunia) yang seringkali tersembunyi, seperti Nabi Sulaiman yang memang kaya raya namun tidak mencintai kekayaan tersebut. Namun, secara umum Rasulullah Saw memberikan beberapa larangan mengenai cara berpakaian, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis berikut, Rasulullah mengutuk laki-laki yang berpakaian seperti wanita dan wanita berpakaian seperti lakilaki. (Al-Hadis) Dari ibn Umar, Rasulullah Saw bersabda: Allah tidak akan melihat kepada orang yang berpakaian terlalu dalam sampai terseret di tanah, karena kesombongannya. (Al-Hadis) Tiga orang tidak ditanyakan tentang mereka: laki-laki yang bercerai dari jamaah orang banyak, laki-laki yang mendurhakai imamnya, lalu meninggal dalam berbuat maksiat. Maka kedua orang itu tadi tidak ditanyakan halnya. Dan wanita yang suaminya tiada bersama dengan dia dan telah dicukupkannya untuk wanita itu perbelanjaan dunia. Lalu wanita itu berhias di luar batas dibelakangnya. Maka tidak ditanyakan dari halnya. Dan tiga orang tiada ditanyakan halnya, yaitu laki-laki yang bertengkar dengan Allah tentang selendang-Nya. Dan selendang Allah itu ialah keagungan (al-kibria). Sarung-Nya ialah, kemuliaan. Laki-laki yang dalam keraguan tentang Allah. Dan laki-laki yang putus asa daripada rahmat Allah. (Al-Hadis) Ada catatan menarik yang dibuat oleh Nasaruddin mengenai makna dari warna serta motif jilbab yang digunakan oleh perempuan kaum Badui (Bedouin women) di kawasan Timur Tengah, selain juga penggunaannya yang dilakukan pada momen-momen tertentu. Dia menjelaskan bahwa Perempuan yang sudah kawin menggunakan jilbab warna hitam dengan bahan ikat pinggang warna merah. Warna hitam pertanda simbol kelemahan manusia yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, sedangkan warna merah adalah simbol penciptaan hidup (creation of life) yang diasosiasikan kepada darah menstruasi. Darah adalah simbol kehidupan (fertility symbol). Ketika terjadi pembuahan, maka darah menstruasi akan terhenti dan terwujudlah sebuah janin, jadi motif warna merah mempunyai teologi tersendiri. Kalau sedang bepergian jauh mereka

menggunakan jilbab hitam, dan pada acara-acara resmi, seperti pesta perkawinan, mereka menggunakan selendang hitam (black shawl/milaya).31 Sedangkan mengenai cara berpakaian, bentuk dan warnanya, sangat Rasulullah Saw tekankan aspek kesederhanaannya di mana dalam ajarannya Islam senatiasa mengajarkan jalan pertengahan, suatu keseimbangan. Selain wujud penampakan luar yang memang harus diperhatikan, aspek dalam atau nafs manusia jauh lebih utama untuk diperhatikan, dipelihara, disucikan, serta diberi pakaian (baca: taqwa) dan karenanya pakaian, khususnya hijab, sebenarnya lebih merepresentasikan permasalahan akhlak dan kesuciannafs dari sang pemakai yang menuntut kesimetrian pada aspek luar atau jasadiah dan tingkah laku. Hal ini bisa dilihat dari rangkaian hadis-hadis berikut ini, Kebajikan semuanya dijadikan pada orang yang sedang (pertengahan). (Al-Hadis) Pekerjaan yang terbaik ialah yang ditengah-tengah (sedang). (Al-Hadis) Pakaian untukmu yang terbaik ialah yang berwarna putih, maka pakailah dan juga untuk mengkafani mayat-mayatmu. (Al-Hadis) Sesungguhnya aku adalah hamba, aku memakai pakaian, sebagaimana yang dipakai oleh hamba. (Al-Hadis) Bahwa Allah itu indah, yang mencintai keindahan. (Al-Hadis) Bahwa Allah Taala tiada memandang kepada rupamu dan hartamu. Sesungguhnya Ia memandang kepada qalb-mu dan amalmu. (Al-Hadis) Wahai Tuhanku! Jadikanlah batiniyahku itu lebih baik dari zahiriyahku. Dan jadikanlah zahiriyahku itu yang baik!. (Al-Hadis) Adapun dalam khazanah agama yang turun sebelum Islam ada juga anjuran untuk menggunakan penutup kepala bagi perempuan, misalnya seperti yang tertulis dalam Kitab Injil 1 Korintus 11: 2-16: Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran yang kuteruskan kepadamu. Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah. Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi

perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah. Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi lakilaki jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi penudung. Tetapi jika ada orang yang mau membantah, kami maupun Jemaat-jemaat Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian. Dari uraian seputar permasalahan teologi jilbab tersebut mulai terlihat bahwa penggunaan pakaian secara umum dan penggunaan jilbab secara khusus terkait juga permasalahan pengendalian hasrat dan tingkat kesucian nafs. Segala macam penampilan yang dapat memancing hasrat, baik termanifestasikan maupun hanya bergemuruh dalam hati, adalah perkara yang harus dihindari. Hasrat seksual terlarang bukan semata dihukumi ketika terealisasi secara fisikal, namun juga ketika mulai berkecamuk dalam dada. Pengendalian hasrat yang dianjurkan adalah hingga tingkatan lintasan hati. Selain itu, tampak pula bahwa atribut jilbab itu lebih merupakan atribut al-mumint dengan kualitas nafs tertentu, sehingga penggunaannya pun selalu terkait dimensi esoteris. Bahwa secara eksoteris jilbab memang memiliki dampak psikologis dan sosiologis yang tidak bisa diabaikan, namun tidak semua perkara dalam agama bisa dicocok-cocokkan maksudnya dengan basis material tertentu. Misalnya, sudah lazim bahwa umat Islam kebanyakan memaknai bahwa pengharaman memakan daging babi dikarenakan adanya cacing pita yang bisa menjadi bibit penyakit. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, kini bahaya cacing pita pada daging babi pun sudah bisa diatasi. Nah, apakah runtuhnya asumsi cacing pita tersebut akan membuat daging babi menjadi halal. Ataukah, jangan-jangan, umat Islam akan mencari-cari lagi basis material lainnya untuk bisa berargumentasi secara (pseudo)ilmiah tentang pengharaman tersebut? Bisa jadi alasan pengharaman daging babi itu sebenarnya sesuatu yang spiritual. Namun, seperti telah diutarakan di atas, apakah manusia akan kembali mengikuti hasrat pengkongkritannya atas berbagai perkara spiritual yang imaterial? Ideologi Hijab Pada bagian awal telah diperlihatkan bagaimana jilbab dalam penggunaannya di masyarakat pra-Islam ternyata banyak diselubungi oleh mitos mengenai menstrual taboo, mitos yang bisa jadi lebih dekat kepada fenomena deviasi ajaran agama yang kemudian sangat merendahkan dan menindas perempuan. Adapun dalam Islam, penggunaan jilbab sama sekali tidak berhubungan dengan mitos menstrual taboo tersebut; jilbab dalam Islam merupakan representasi dari nafs al-mumint yang telah dibersihkan (al-muhtthaharun), cahaya iman yang telah diberi pakaian taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari akhlak yang mulia, keihsanan. Namun, dalam perubahan zaman, era di mana unsur-unsur peradaban pun semakin kompleks dan sistem kemasyarakatan pun mengarah kepada globalisasi, maka makna

jilbab pun berkembang, bahkan hingga ke arah yang tak terduga, di manameminjam kata-kata Yi-Fu TuanKita tidak dapat tetap bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun (kita tak dapat) menjaga proyek dan kreasi-kreasi kitatermasuk perkakas, perumahan, perkotaan, dan pertamanankesungguhan moral dalam bentuk apa pun, tanpa di suatu tempat dibelakangnya terdapat sebuah dukungan dari suatu model realitas religius yang dirasakan amat mendalam.32 Fenomena yang menarik dari maraknya penggunaan jilbab di Indonesia adalah bahwa gerakan tersebut justru dipelopori oleh mahasiswi di lingkungan perguruan tinggi non IAIN dan sekolahsekolah menegah non pesantren sejak tahun 1980-an, sebagaimana dicatat oleh Kees van Dijk bahwa, Popularitas jilbab yang berkembang pesat sekali lagi telah mengangkat diskusi tentang apa yang merupakan tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran agama. Mereka yang membedakan kedua hal tersebut menemukan bahwa cadar jarang dikenakan oleh para mahasiswi di institusi-institusi perguruan tinggi Islam, namun mahasiswi di universitas sekuler kadang memilih untuk mengenakannya. Diperkirakan bahwasanya perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanak-kanak, namun oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam kemudian dalam kehidupan mereka.33 Gejala ini sebenarnya memiliki kaitan erat dengan Revolusi Iran 1979 yang menetapkan seluruh perempuannyatermasuk turis asing yang sedang berkunjung ke negeri ituuntuk memakai jilbab apabila akan bepergian keluar rumah. Bahkan pada saat itu, majalah-majalah berbahasa Inggrisseperti Yaumul Quds, Makjubah, dan lain sebagainyamenampilkan potret-potret perempuan anggun, terpelajar, pejuang dan tokoh masyarakat dengan jilbabnya yang beraneka corak dan warna.34 Akbar S. Ahmed melihat bahwa proses kembalinya umat Islam kepada identitas primordial merupakan suatu cara memperoleh kembali martabatnya yang hilang, sebagaimana dinyatakannya bahwa Seorang wanita mengenakan hijab atau seorang pria memelihara jenggot, keduanya berupaya mendapatkan kembali harga diri mereka. Mereka membuat pesan: dengan menonjolkan diri dan identitas mereka sendiri, mereka bermaksud menangkap kembali sedikit martabat yang secara mendalam diperlukan oleh semua manusia.35 Di Turki tahun 1839, misalnya, ketika rezim Nasionalis-Sekuler pimpinan Kemal Ataturk berkuasa diterapkanlah institusi Tanzimat (reorganization) di mana simbol-simbol dan identitas lokal kembali diperkuat, jilbab dianggap sebagai identitas asing yang harus dilepaskan, bahkan thariqah Mawlawiyyah pun dilarang melakukan ritual tarian berputarnya. Namun ketika rezim konservatif berkuasa, maka isu pertama yang diangkat adalah reislamisasi kaum perempuannya. Sedangkan di Indonesia jilbab muncul dalam bentuk simbol yang memiliki banyak makna serta didasarkan pada pemahaman perempuan yang menggunakannya, bahkan Suzanne April Brenner berpendapat bahwa jilbab di Indonesia merupakan suatu peristiwa yang seratus persen modern di mana perempuan berjilbab adalah sebagai suatu tanda globalisasi, suatu lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern ini(serta)menolak tradisi lokal, paling tidak dalam hal berpakaian; dan sekaligus si pemakai juga menolak hegemoni Barat, dan hal-hal lain yang terkait dengannya di Indonesia.36

Namun, pada awalnya, jilbab di Indonesia hanya dianggap sebagai simbol busana kaum pinggiran, selain itu pemakaiannya pun sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, misalnya pada saat melayat, shalat tarawih berjamaah di masjid, atau pada hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha; sedang perempuan yang mengenakan jilbab kemanapun ia pergi biasanya adalah seorang perempuan yang sudah berhaji (hajjah). Tentu saja, hari ini hal tersebut telah mengalami perubahan yang cukup drastis, sebagaimana dicatat oleh Akbar, bahwa Hijab pada tahun 1980-an dan 1990-an telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas Muslim yang diakui di kalangan gadis-gadis muda. Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara yang sopan untuk mengatakan: di sinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya.37 Jilbab bagiku adalah sebuah pembebasan. Karena dengan jilbab ini aku bisa beraktivitas di masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain, ujar seorang sahabat, aktivis yang mengaku feminis. Feminisme biasanya memprotes ihwal terlalu dominannya kepentingan laki-laki dalam melahirkan teologi, misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan, namun hal itu dibantah oleh sahabat tadi ketika ditanya pendapatnya mengenai kontradiksi tersebut. Begitulah jilbab hari ini, pemaknaannya yang begitu beragam tampaknya lebih mendekati ke arah ideologis. Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Karen W. Washburn, misalnya, memperlihatkan banyak sisi-sisi yang menarik mengenai landasan pemahaman personal akan penggunaan jilbab pada tiga orang perempuan yang bisa dianggap mewakili tiga dari sekian banyak bentuk ideologi jilbab.38 Dari tiga studi kasus yang dikemukakan oleh Washburn, kasus Noor adalah kasus yang paling menarik di mana Noor kadang-kadang memakai jilbab dan kadang-kadang tidak, bergantung pada perasaannya serta keadaan. Bagi Noor jilbab hanyalah suatu cara berpakaian, bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu state spiritualitas tertentu (seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas). Selain itu Noor pun menyatakan dirinya sebagai seorang feminis. Pengalaman lainnya yang dia alami adalah pernah dikira sebagai WTS ketika pulang dari kampus malam hari, padahal dia sedang mengenakan jilbab. Pola pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab seperti yang dilakukan Noor ini cukup banyak, dan bisa dikatakan sebagai suatu gejala yang biasa di kalangan aktivis yang bergelut dengan wacana. Suatu kesangsian semiotis terhadap jilbab dengan melucuti dimensi esoterisnya. Namun, ketiga studi kasus yang dikemukakan oleh Washburn tersebut bisa dikatakan sebagai kasus jilbab serius di mana ketiga responden yang diwawancarainya memiliki suatu konsep yang dipikirkan serta diyakininya. Pada kenyataannya ada juga fenomena lain dari jilbab yang dapat dikategorikan sebagai fenomena gaya hidup pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama kudung gaul, jilbab lontong, atau jilbab trendi. Perempuan yang mengenakan kudung gaul tersebut biasanya selalu mengenakan jilbab pada saat bepergian keluar rumah berbeda dari Noornamun jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian berupa sweater atau t-shirt yang kekecilan (body fit) sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya dan tergantung di atas pinggangnya, serta celana (jeans maupun katun) yang juga ketat (stretch atau hipster). Cara berpakaian ini memang sedang menjadi trend fashion yang seringkali diidentikkan sebagai pakaian anak gaul. Oleh karena ituberbeda dengan ketiga responden yang diwawancarai Washburncara pandang mereka terhadap jilbab sangat naif, banal dan permukaan. Selain itu,

dalam pergaulan pun mereka mengikuti etika yang berlaku pada komunitas anak gaul, seperti cara berpacaran, kebiasaan jalan-jalan di mal, ngeceng, mendatangi jumpa fans atau konser idolanya dan berteriak-teriak histeris, bahkan dalam beberapa kasus ada yang hingga hamil di luar nikah (berita terakhir, malah beredar vcd porno yang menampilkan perempuan berjilbab sebagai pelakunya). Kudung gaul dalam hal ini bisa dikatakan sebagai sebentuk ideologi hibrid. Busana muslimah kian trendi, begitu headline yang tertulis di sebuah koran nasional dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif gaya, seperti yang terjadi pada tanggal 10 Januari 1996 dengan digelar peragaan busana bertema Tendensi Busana Muslim yang bertempat di Puri Agung, Hotel Sahid Jakarta serta memperagakan karya-karya dari 12 desainer. Pada saat itu, peragaan tersebut bisa dikatakan merupakan suatu terobosan baru, suatu pergelaran besar yang menyajikan keanggunan dan kemewahan busana muslimah yang kemilau, yang dapat membuat seorang ibu menangis karena kehabisan undangan seharga Rp. 45000 (suatu harga yang cukup mahal untuk saat itu). Acara ini merupakan suatu upaya adaptasi busana muslimah yang dulu diidentikkan dengan pakaian kaum pinggiran kepada kalangan atas, dan, sebagaimana layaknya peragaan fashion lainnya, hanya 30% saja dari busana yang diperagakan dapat dipakai, sedang sisanya hanyalah untuk menarik perhatian saja. Atau paling tidak untuk melepaskan keinginan terpendam sang desainer yang diungkapkan lewat karya-karyanya yang aneh; suatu cara untuk menghindari kejenuhan akan model busana yang itu-itu saja.39 Tentu saja kreasi-kreasi tersebut memang terlalu riskan untuk dikatakan memenuhi syarat-syarat yang digariskan dalam syariat Islam. Fenomena lainnya adalah bahwa pada saat ini pun relatif lebih mudah untuk menemukan showroom busana muslimah dengan koleksi-koleksinya yang menarik. Harganya pun ada yang berkisar hingga ratusan ribu ke atas. Busana muslimah pun kini muncul dalam berbagai corak dan warna, bahkan juga dipadukan dengan berbagai corak etnik. Mengenai ini Kees van Dijk mencatat, Kekayaan dan kerumitan juga tidak bebas dari pelanggaran-pelanggaran. Salah satu konsekuensi dari penekanan yang baru terhadap Islam adalah pengadopsian gaya busana Muslimuntuk pemakaian sehari-hari juga untuk peristiwa-peristiwa yang lebih seremonialdan gaya busana Muslim memperlihatkan Rok-rok yang panjang dan kepala yang berhijab hiasan jilbab Muslim yang bergaya banyak dicarinamun ajaran yang paling ketat mengenai bahan-bahan pakaian Muslim yang pantas tidak dijadikan sebagai sebuah hukum. Pakaianpakaian berwarna-warni cerah, dan tidak selalu serba menyembunyikan. Muslimah di Indonesia, sebagaimana pernah dinyatakan dalam suatu pertunjukan semacam itu, menginginkan busana yang menarik, nyaman, dan memungkinkan kebebasan gerak. Pertunjukan busana Muslim diselenggarakan serangkai dengan pertunjukan biasa lainnya, di mana pakaian yang sesuai dengan ajaran Islam dipertunjukkan sebagaimana juga dengan gaya-gaya lain yang lebih beraniMeski demikian, pertunjukan busana Muslim merupakan sebuah indikasi pergeseran gradual menuju nilai-nilai Islam, sebagaimana popularitas Muslim pop, wahana para artis dan penyanyi yang telah berubah menjadi religius.40 Dalam kenyataannya, memang gaya visual bisa menyatu dengan gaya hidup karena manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa, baik tiga dimensi maupun dua dimensi. Pada zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas baik melalui perhiasan ataupun pakaian. Peter York menyatakan bahwa dibanding dengan hari ini, orang zaman dulu hidup dalam penjara gaya karena dalam masyarakat tradisi lama gaya visualnya relatif tidak banyak berubah. Adapun dalam sistem masyarakat modern batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional dengan

cepat menghilang karena arus gelombang gaya hidup global melalui media sangat mudah untuk berpindah-pindah tempat. Alvin Toffler menyatakan bahwa sekarang ini terjadi kekacauan nilai, yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan sehingga yang ada adalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai yang disebutnya sebagai subkultur (sebagai akibat peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern). Toffler mendefinisikan gaya hidup sebagai, alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukkan identifikasi mereka dengan subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun dari mosaik beberapa item, yaitu super-product yang menyediakan cara mengorganisir produk dan idea.41 Dalam perspektif ini, maka busana muslimah pun bisa dikategorikan sebagai gaya hidup yang menawarkan sebuah identitas sekaligus sarana untuk menghindari kebingungan dikarenakan begitu banyak pilihan. Namun, gaya hidup yang berkembang hari ini sangat beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat khusus. Dengan kata lain, semua individu adalah konsumer yang bisa memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri sesukanya sehingga terjadilah ketidakpastian akan nilai dan gaya hidup yang sebenarnya ditawarkan oleh busana muslim. Karena sistem pasar gaya hidup inilah, maka perubahan yang radikal dan ironis dalam idiom busana muslimah pun terjadi secara paradigmatik maupun sintagmatik. Hijab untuk bagian kepala biasanya berupa jilbab yang telah dijahit sedemikian rupa, namun secara paradigmatik dia bisa digantikan dengan sehelai kain entah berupa kain saja, taplak atau bahkan selimut (mengingat pada masa awal turunnya perintah jilbab ini banyak sekali kaum muslimin yang hidup sangat kekurangan) namun tetap dengan mengindahkan syariat penutupan aurat. Sedang secara sintagmatik hijab biasanya terdiri dari khimar, dir, niqab dan burq, idzar, rida, dan jilbab. Selain itu, secara sintagmatik pula, warna hijab membentuk idiom yang memiliki makna-makna spiritual seperti warna hitam dan warna merah seperti yang telah diuraikan di atas. Warna-warna lain pun memiliki makna spiritual seperti warna putihwarna yang dianjurkan oleh Rasulullah Sawmelambangkan kesucian nafs dengan keberserahdiriannya. Biru gunung lambang kehendak yang mantap, biru samudra lambang kebijaksanaan yang dalam, biru keungu-unguan lambang qalb yang rapuh tanpa kesetiaan, kuning gading lambang kerinduan yang dalam akan perintah Tuhan, dan lain sebagainya.42 Sedangkan saat ini idiom hijab atau busana muslimah tersebut diubah secara paradigmatik. Jilbab, misalnya, diganti dengan sebuah topi yang menutupi rambut saja, atau ciput yang biasanya hanya menjadi bagian dalam dari jilbab, atau bahan-bahan lainnya yang biasanya fashionable namun masih menampakkan bagian leher. Selain itu secara sintagmatik jilbab, misalnya lagi, dipadukan dengan sweater atau t-shirt body fit ditambah celana atau jeans yang ketat (stretch atau hipster), plus kosmetik tebal dan parfum yang menyengat. Selain itu, pemilihan warna pun dikombinasikan hanya sebatas pertimbangan matching atau tidak, sebatas estetika pop.43 Sebagaimana yang dicatat juga oleh Lama Abu Odeh, Dan ada pula mereka yang menggunakan warna-warni, malu-malu namun dengan berani, semakin menjadi lebih memasyarakat. Mereka mengenakan make-up dengan hijabnya. Mereka lebih kreatif, mengikuti gaya busana masyarakat, secara konstan berupaya melunakkan hijab. Mereka menciptakan beragam cara untuk mengikatkan scarf kerudung pada leher mereka, yang dengan sendirinya menjadi lebih berwarna-warni selain warna putih standar. Pakaian hijab yang longgar tiba-tiba menjadi sedikit lebih ketat, lebih berwarna, lebih berani dalam meniru busana Barat, bahkan jika hal ini tidak secara eksplisit memperlihatkan bagian tubuh wanita. Kita dapat pula

memperhatikan mereka di jalan-jalan bercakap-cakap dengan pria, berjalan-jalan dengan mereka, menumbangkan pemisahan yang dikedepankan oleh hijab terhadap perbedaan jenis kelamin.44 Hal ini bisa dilihat pada kostum pramugari di berbagai penerbangan dunia Arab yang menggunakan kostum rancangan desainer-desainer Prancis yang tidak lagi terpaku pada normanorma motif maupun bentuk tradisional yang penuh dengan makna-makna spiritual. Selain itu, desainer dalam pengungkapan fashion-nya biasanya selalu berpindah-pindah dalam memilih bagian tubuh yang ingin ditonjolkannya, dan umumnya yang menjadi perhatian adalah daerahdaerah erogen, seperti dada, pinggang, paha, pantat, kaki, tangan dan bagian tubuh lainnya yang selalu dikaitkan dengan kewanitaan. Prediksi Jean-Luc Godard luput ketika dia menyatakan It may be that one has to choose between ethics and aesthetics, but whichever one chooses, one will always find the other at the end of the road.45 Berkaitan dengan hal ini Lama Abu Odeh mencatat, Andaikan kita dapat membekukan waktu tersebut dalam era 70-an, dalam upaya untuk memahami hubungan wanita dengan tubuh mereka, kita akan menemukannya berlapis-lapis dan amat rumit. Dari satu sisi tubuh mereka nampak sebagai medan perang di mana perjuangan budaya masyarakat poskolonial berlangsung. Di sisi lain, busana Barat yang menutupi tubuh mereka membawa dengannya konstruksi kapitalis atas tubuh wanita: yang terseksualisasi, terobjektivikasi, terbendakan, dan sebagainyaNamun karena kapitalisme tidak pernah benar-benar menang dalam masyarakat poskolonial, di mana ia berhasil tinggal bersama dengan formasi-formasi sosial pra-kapitalis (tradisionalisme), tubuhtubuh para wanita ini juga secara simultan terkonstruksi secara tradisional: terbendakan, termilikkan, terteror sebagai wakil kehormatan (seksual) keluarga. Proses tinggal bersama (kohabitasi) dalam tubuh wanita dari konstruksi ganda ini (yang kapitalis dan yang tradisional) dialami oleh para wanita ini sebagai sesuatu yang senantiasa berselisihan. Yang awal seperti memaksa mereka untuk menjadi perayu, seksi dan seksual, sementara yang terakhir menjadi pemalu, konservatif dan aseksual. Di mana yang awal didukung oleh atraksi pasar (konsumsi komoditas-komoditas Barat), yang terakhir didukung oleh ancaman kekerasan (sang wanita amat disucikan, seringkali dengan kematian, jika ia mengorbankan kehormatan seksual keluarga).46 Fashion pada dasarnya adalah antusiasme yang singkat terhadap sesuatu seperti pada gaya berpakaian. Gejolak tersebut datang dan pergi secara cepat dengan kekuatan tinggi, suatu phantasmagoria yang tak ubahnya musim dengan waktu sendiri. Selain itu, fashion pun merepresentasikan kecenderungan perilaku manusia yang berlangsung sangat singkat. Dalam masyarakat modern, fashion merupakan industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian menjadikannya sebagai kebutuhan industri sehingga terbentuklah pola-pola yang berkaitan dengan perkembangan fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi (dalam hal ini adalah busana muslimah) ditentukan oleh pola pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna konotatif; inilah ideologi. Studi konotasi dalam gaya hidup pop diulas secara rinci oleh Roland Barthes melalui semiologi dengan mengamati pengkeramatan yang berhasil mengubah budaya borjuis kecil sehingga menjadi berkesan universal, menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah mitos-mitos

yang dibangkitkan oleh sistem tanda lebih luas yang membentuk masyarakat. Mitos-mitos menyelimuti hidup manusia dengan sedemikan halusnya justru karena mereka nampak benarbenar alami. Konotasi, meskipun merupakan sifat asli tanda, agar dapat berfungsi dia membutuhkan keaktifan pembaca. Dan Barthes pun membuat peta tentang bagaimana tanda bekerja.47

Hal ini dijelaskan lebih jauh oleh Barthes sebagai berikut, Penanda-penanda konotasi, yang dapat kita sebut konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Secara alamiah beberapa tanda dapat dikelompokkan bersama untuk membuat sebuah konotator tunggalasalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal; atau dengan kata lain, satuansatuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal (inilah kasus, sebagai contoh, dengan nada suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun maka dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal sesuatu yang tertunjukkan (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa pemerlihat yang membawanya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus; itu adalah, jika anda mau, sebuah fragmen ideologi. Petanda-petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form (dalam pemaknaan seperti Hjemslev) penanda-penanda konotasi, sementara retorika adalah form dari konotator-konotator.48 Pendek kata, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan anarkis penciptaan makna yang tak berkesudahan, namun, di sisi lain, keanekaragaman budaya dan perubahan terusmenerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotika, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat, makna tingkat ketiga.49

Secara sekilas bagan tersebut mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada dasarnya, adalah sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu bahasa sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Louis Althusser bahwa Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan kita dengan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.50

Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran nafs yang merembes dari Ruh Al-Quds, sementara kesadaran ideologis berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa citraan yang mengkonstruksi doxa (opini) yang bersumber dari fakultas-fakultas tubuh.51 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, jilbab adalah pakaian yang diwajibkan bagi al-mumint (dengan kesadaran iluminatifnya) sebagai representasi dari qalbnya yang tercahayai serta nafsnya yang tersucikan; sedang apabila jilbab masih berupa sistem penampakan, entah berupa fashion, simbol keagamaan, wacana (dekonstruksi) maupun kesadaran non iluminatif, maka pada tataran tersebut jilbab masih merupakan kesadaran ideologis yang sangat rentan terhadap permainan semiotis. Sebagaimana dinyatakan kembali oleh Althusser, bahwa Bukanlah keinginan akan objek-objek yang mendorong fetisisme komoditi, namun keinginan untuk suatu kode Inilah artikulasi mendasar dari proses ideologis: tidak dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural52 [Maka ideologi] bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri.53 Ia adalah sihir dari kode yang membentuk dasar dominasi [Ideologi] nampak sebagai semacam selancar kultural berbuih di atas tepian pantai ekonomi.54 Permainan tanda dalam busana kini seakan menjadi perjuangan akan pluralitas dan identitas yang seringkali dilakukan dengan pencurian tanda dari suatu kode yang telah mapan dan diberi makna baru yang, tak jarang, ironis. Hal ini dijelaskan oleh Dick Hebdige, bahwa Perjuangan di antara diskursus, definisi dan makna yang berbeda di dalam ideologi oleh karena itu pada saat yang sama selalu merupakan sebuah perjuangan di dalam signifikansi: sebuah perjuangan untuk

pemilikan tanda yang meluas hingga bidang-bidang yang paling mendunia dari kehidupan sehari-hari [objek-objek] dapat disesuaikan secara ajaib; dicuri oleh kelompok-kelompok subordinat dan dibuat membawa makna-makna rahasia: makna-makna yang menyatakan, dalam kode, sebuah bentuk resistensi terhadap aturan yang menjamin subordinasi mereka yang berkelanjutan.55 Hijab sebagai busana muslimah kini mengalami deviasi dalam bentuk yang lebih halus; dia tidak lagi dikaitkan praktek takhayul yang naif, tidak pula dengan tabu-tabu, akan tetapi dengan citraan-citraan atau, dalam bentuk yang lebih sophisticated, wacana dekonstruksi (syariat). Seperti yang juga terjadi pada Hippies, Punk, dan lainnya, jilbab pun tidak terlepas dari sentuhan Raja Midas kapitalisme yang mengubahnya menjadi kode-kode komoditi yang bebas dikonsumsi. Misalnya dalam acara-acara keagamaan di televisi, setelah syarat-syarat utama sang presenter terpenuhicantik, terkenal, artikulatif dan memiliki citra ramah dan riangkemudian dilengkapilah dengan hijab sebagai kode acara tersebut (hal serupa tidak selalu diberlakukan kepada presenter laki-laki). Pada kesempatan lain, bisa saja sang presenter kemudian tampil di acara yang bernuansa pantai atau kolam renang dengan tuntutan swimsuit atau bikini sebagai kodenya. Hal ini menjadi sesuatu yang umum karena pakaian cenderung dipakai sebagai representasi ideologi yang seakan dijajarkan dalam suatu etalase, dalam suatu demokrasi selera dari sekian banyak tawaran pilihan gaya hidup yang disediakan; dan, terutama dalam dunia gemerlap, hijab hanyalah salah satu dari sekian banyak daftar pakaian yang harus dikenakan dalam menjalani profesi sebagai tukang pesta (baca: selebritis). Permainan semiotis dari simbol-simbol keagamaan tidak hanya terjadi pada hijab saja, contoh lainnya adalah seperti penggunaan peci haji yang secara sintagmatik dipadukan dengan kode busana gaul lainnya yang, tentu saja, menghilangkan gambaran spiritualitasnya, dan digantikan dengan citra yang baru sama sekali. Atau janggut yang pernah terdeviasi menjadi simbol dari para penganut islam fundamentalis, kini dijungkirbalikkan menjadi kode milik anak gaul dengan cara diberi warna-warna yang menyolok. Makna-makna kebudayaan yang adiluhung dan dalam tampak terlalu merepotkan untuk gaya hidup pop, apalagi makna-makna spiritual. Bahkan dengan lantangnya sebuah iklan meneriakkan Saya mungkin tidak mengerti makna kehidupan. Tapi jangan katakan bahwa saya tidak tahu bagaimana menikmatinya. Makna adalah masalah bagi semangat gaya hidup pop, sesuatu yang secara superlatif digambarkan oleh Baudrillard bahwasanya Tidak ada kesejatian objek, dan denotasi tidak akan pernah lebih dari sekedar konotasi-konotasi yang paling molek.Fungsi(onalitas) bentuk-bentuk, objek-objek, menjadi lebih tak terpahami, tak terbaca, tak terhitung, setiap hari.56 Barthes, yang ingin menghancurkan gagasan bahwa tanda itu bersifat alami, pernah menganalisis bagaimana kaitan antara pakaian, tabu dan tanda yang ingin dikomunikasikan oleh si pemakai kepada masyarakat. Dia mengemukakan bahwa tabu-tabu pada gaya berpakaian bukanlah suatu batasan akan kebebasan manusia, melainkan tabu itu memperingatkan bahwa jenis-jenis pakaian tertentu akan menciptakan suatu citra diri sang pemakai dalam pandangan orang lain. Orang bisa saja mengabaikan peringatan ini, namun kemudian dia harus menjalani konsekuensi dari citra yang diciptakannya di dalam benak-benak orang lain yang melihatnya. Tak jarang bahwa citra yang diciptakan dari suatu gaya berpakaian yang asing biasanya memang bertujuan untuk menarik perhatian orang lain, seperti gaya punk yang menantang orang lain dengan anting, peniti, rantai dan kalung anjing, serta gembok. Atribut-atribut tersebut

sangat riskan untuk menimbulkan rasa sakit bagi para pemakainya, sangat mudah bagi orang lain untuk menyakitinya dengan memegang dan menarik atribut-atribut tersebut dari tubuh mereka, tapi pada kenyataannya tak ada orang yang iseng melakukannya. Dalam hal ini, kudung gaul tampaknya secara terang-terangan ingin mengajukan suatu citraan mengenai modernitas yang bersatu dengan religiusitas, atau suatu teka-teki yang memaksa masyarakat untuk mencari kaitan antara religiusitas dan keseksian yang mereka gabungkan dalam gaya pakaiannya. Barthes mengajukan bahwa manusia itu senantiasa menyadari efek dari cara berpakaiannya terhadap orang lain, namun mereka selalu mencoba berpura-pura bahwa cara mereka berpakaian itu sangat alami dan spontan. Mereka sebenarnya mengekspresikan kesadaran, pilihan yang secara gaya hidup telah ditentukan dan cara mereka ingin dilihat oleh orang lain. Lama Abu Odeh pun pernah memberikan ilustrasi bagaimana dengan berjilbab seorang perempuan dapat terhindar dari pelecehan seksual (sexual harassment), terlindung dari perkataan dan perlakuan yang tidak senonoh terhadap dirinya dibanding dengan perempuan yang berpakaian terbuka seperti yang dikemukakannya bahwa Kesediaan seorang wanita untuk mengemukakan keberatan terhadap gangguan pria sangatlah berbeda ketika ia berhijab. Rasa untuk tidak tersentuh dari tubuhnya biasanya lebih kuat dari pada seorang wanita yang tidak berhijab.57 Namun hal itu tidak selalu berlaku bagi para perempuan pengguna kudung gaul, dikarenakan mereka masih menonjolkan daya tarik tubuhnya kepada laki-laki (di samping kodekode gaul yang digunakannya dalam berinteraksi secara sosial) yang secara otomatis menghilangkan rasa segan terhadap perempuan berjilbab pada umumnya, untuk kemudian mereka pun cenderung diperlakukan sama dengan perempuan yang berpakaian terbuka lainnya. Dari uraian di atas setidaknya terlihat bahwa hasrat yang berkembang dalam penggunaan jilbab adalah hasrat permainan citra. Dunia konsumsi kontemporer sangat mengandalkan kekuatan citra untuk memancing hasrat para konsumennya. Terlebih lagi, di zaman ini realitas pun dibabat habis hanya menjadi datar tanpa hierarki. Realitas seringkali dipandang hanya sebatas tubuh dan dorongan-dorongan hasrat, tak ada realitas esoteris di balik realitas material karena semuanya hanyalah konstruksi semata. Pandangan yang lazim berkembang saat ini adalah pembedaan alam/budaya (nature/culture). Misalnya, makan itu alam, sedangkan apa yang dimakan adalah budaya. Dalam hal ini, segala yang terkait dengan agama pun diyakini sebagai bagian dari budaya, dan karena itu hanyalah konstruksi sosial semata, tak ada realitas lain di baliknya selain imajinasi saja. Namun, bukankah alam pun adalah konstruksi. Pemahaman manusia kontemporer akan tubuh, lautan, gunung, bumi, ruang angkasa, pada kenyataannya, berasal dari konstruksi sains yang berkembang dari abad ke-16. Salah satu wacana yang sering mencuat belakangan ini adalah afirmasi hasrat oleh wacana secara filosofis. Misalnya, ketika muncul kecenderungan orang mulai banyak melakukan nikah antar agama yang secara syariat lahir tidak diperbolehkan, maka tiba-tiba muncullah wacana intelektual untuk melegalkan pernikahan semacam itu dengan argumen bahwa zaman sudah berubah. Permasalahannya apakah kecenderungan hasrat setiap zaman harus senantiasa diafirmasi begitu saja? Mungkin sikap mengafirmasi tersebut bermaksud untuk menumbuhkan sikap kritis di masyarakat terhadap perubahan zaman, namun pada dasarnya wacana itu hanya lahir dari sikap pragmatis, bukan pemikiran kritis lagi filosofis. Begitu pula dengan pandangan yang menyatakan bahwa jilbab itu hanyalah konstruksi budaya semata, bisa jadi semata terlahir dari sikap pragmatis saja. Setelah realitas dipapas habis tanpa hierarki, dan segala sesuatu pun

dinyatakan hanya bertumbuh kembang sebagai konstruksi semata, maka hasrat pun mendapatkan tempat untuk menjadi determinator. Postkrip

Tidak perlu merangkai kata-kata hingga menjadi kalimat demi mewakili ide, juga tidak perlu membicarakanya melalui alat-alat suara demi menyampaikan sebuah maksud, adalah tubuh dan segala sesuatu yang dipakaikan ke tubuh yang akan membentuk kata-kata atau alat untuk menyampaikan ide. Pakaian adalah ekspresi dari suatu jalan hidup, sedang hijab, khususnya, merupakan representasi spiritualitas. Namun, simbol, bagaimanapun, dapat dipandang sebagai suatu entitas kosong yang bisa diisi dengan petanda apa pun. Oleh karena itu, Washburn pun mengkategorikan jilbab sebagai personal symbol yang membawa makna baik di tingkat personal maupun kebudayaan karena tidak semua orang memakainya.58 Secanggih-canggihnya semiotika membeberkan wacana jilbab tetaplah sulit untuk bisa mewakili keseluruhan fenomena jilbab yang ada hari ini karena hal tersebut selalu berkaitan kepribadian si pemakai beserta hasrat dan pemaknaan subjektifnya. Jilbab dalam basis teologinya kini senantiasa berada dalam dilema ketika berhadapan dengan media dan gaya hidup pop, ketika berhadapan dengan persimpangan jalan antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai gaul. Tampaknya pola sejarah manusia memang berjalan ke arah yang semakin halus. Tak ada lagi perbudakan manusia secara fisik di dunia ini, yang kemudian berganti pola menjadi apa yang biasa dikenal sebagai hegemoni. Tak ada lagi fetishisme terhadap berhala, berganti menjadi fetishisme terhadap komoditi dan citra yang dikandungnya. Begitu pula halnya dengan hijab sebagai simbol keagamaan, deviasi yang dialaminya bukan lagi berupa takhayul-takhayul yang naif, tabu-tabu yang menekan perempuan, tapi bergerak ke arah yang semakin halus berupa deviasi semiotik atau pembacaan berbasis wacana yang semakin sophisticated. Dalam garis tipis halus dan licin itulah kini manusia diuji dan disaring ihwal kemurnian niatnya untuk mencari dan menemukan keberadaan Tuhan.[] Catatan Kaki: 1. Lihat Nasaruddin Umar, (1996): Antropologi Jilbab, dalam Ulumul Quran, no. 5, vol. VI, Lembaga Studi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Pusat Peranserta Masyarakat, hal. 36. 2. Epstein, Louis M., (1967): Sex, Laws and Customs in Judaism, Ktav Publishing House, Inc.: New York, hal. 36. 3. Ilyas Islam, The Hijb in the Qurn, sebuah artikel dari internet. 4. Ibid. 5. Nasaruddin (1996), dikutip dari Abdul Halim Abu Syaqqah, Tahrir al-Marah fi Ashr al-Risalah, Juz IV, Darul Qalam lil-nasyr wal-Tauzi: Mesir, hal. 54. 6. Ilyas, op.cit.

7. Ibid. 8. Farzaneh Milani, (1992): Veils and Words: The Emerging Voices of Iranian Women Writer, Syracuse University: New York, hal. 20. 9. Ibid., hal. 37. 10. Lihat Beryl Causari Syamwil dalam Busana Muslimah kian Trendi, Republika, Minggu, 28 Januari 1996, hal. 4. 11. Ahmad Mansyur Suryanegara, (1991): Membudayakan kembali Libasut Taqwa di Indonesia, Diskusi Busana Muslimah, Festival Istiqlal 1991, 29 Oktober, Hotel Borobudur Intercontinental, Jakarta. 12. Dijk, Kees van, (1997): Sarong, Jubbah, and Trouser, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.): Outward Appearances: Dressing State & Society in Indonesia, KITLV Press: Leiden, hal. 43. 13. Nasaruddin Umar, (1995): Teologi Menstrual: Antara Mitologi dan Kitab Suci, dalam Jurnal Ulumul Quran, no. 2, vol. VI, Lembaga Studi Agama dan Filsafat & Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Lengkapnya penderitaan itu adalah sebagai berikut, bahwa bagi Adam beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah: 1. Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk normal . sesudahnya. 2. Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi. 3. Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri. 4. Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata pencarian. 5. Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan. 6. Laki-laki akan memakan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya. 7. Adam kehilangan ketampanannya yang menakjubkan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. 8. Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki. 9. Adam dibuang dari taman Surga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya. 10. Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur. Sedang bagi Hawa beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah: 1. Wanita akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh Hawa. 2. Wanita yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit. 3. Wanita akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya yang membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan hingga dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti diharapkan. 4. Wanita akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri. 5. Wanita akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua. 6. Wanita akan merasa sakit pada waktu melahirkan. 7. Wanita tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki.

8. Wanita masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi. 9. Wanita sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya. 10. Wanita lebih suka tinggal di rumah. 14. Salah satu pembahasan yang cukup menarik, misalnya, bisa dibaca pada tulisan Robin Edgar berjudul Red Moon Rising: Menstrual Symbolism in Total Lunar Eclipses di sebuah situs internet. 15. Nasaruddin (1995), sebagaimana dikutip dari Lara Owen, (1993): Her Blood is Gold: Celebrating the Power of Menstruation, Harper: San Francisco, hal. 29. 16. Grahn, Judy, (1993): Blood, Bread, and Roses: How Menstruation Created the World, Beacon Press: Boston, hal. 87. 17. Nasaruddin, (1995 & 1996), op.cit., hal. 78 & 43, dikutip dari beberapa sumber yaitu Franz Steiner, (1956): Taboo, Penguin: London, hal. 32; Evelyn Red, (1993): Womans Evolution, Pathfinder: New York; Thomas Buckley & Alma Goettlieb, (1988): Blood Magic: The Anthropology of Menstruation, University of California Press: Berkeley, hal. 7. 18. Nasaruddin, (1995), op.cit., hal. 78. 19. Epstein, (1967), op.cit., hal. 41. 20. Akbar S. Ahmed, (1997): Living Islam: Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand Hingga Stornoway, alih bahasa oleh Pangestuningsih, Mizan: Bandung, hal.233. 21. Nasaruddin, (1995), op.cit., sebagaimana dikutip dari Mustafa Hashem Sherif, What is Hijab, dalam Journal the Muslim World, vo. LXXVIII, no. 2, hal. 157. 22. Nasaruddin, (1996), op.cit. hal. 39. 23. Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 232-233. 24. Lihat Terrence Hawkes, (1988): Structuralism and Semiotics, Routledge: London. 25. Adapun perkara ad-Diin diperjelas lebih jauh dalam sebuah hadis Pada suatu hari kami (Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, Ya Muhammad, beritahu aku tentang Al-Islam. Lalu Rasulullah Saw menjawab, AlIslam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah,

mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu. Kemudian dia bertanya lagi, Kini beritahu aku tentang Al-Iman. Rasulullah Saw menjawab, Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya. Orang itu lantas berkata, Benar. Kini beritahu aku tentang Al-Ihsan. Rasulullah berkata, Beribadahlah kepada Allah seolah-olah anda melihatNYA walaupun Anda tidak melihatNYA, karena sesungguhnya Allah melihat Anda. Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi? Lalu Aku (Umar) menjawab, Allah dan rasulNYA lebih mengetahui. Rasulullah lantas berkata, Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Diin kalian. (Al-Hadis) Imam Ali bin Abi Thalib kwh menegaskan Awaludinna Marifatullah, Awal dari Ad-Diin adalah marifatullah. Adapun marifat itu sendiri adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, Man arafa nasfahu faqad arafa Rabbahu, Barangsiapa yang mengenal nafsnya maka sungguh ia akan mengenal Rabbnya. Kemudian Imam Al-Ghazali pun memberikan catatan mengenai hal ini bahwa kemuliaan dan keutamaan manusiaadalah disebabkan persediaannya mengenal Allah (marifatullah)di mana marifatullah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan di akhirat adalah alat dan simpanannya. Ad-Diin didirikan diatas tiga sendi, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan; padanannya dalam Al-Quran adalah Iman dan Amal Shalih. Perkara iman diatur dan berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syariat. Namun Syariat pun terbagi menjadi dua yaitu, pertama, Syariat Lahir yang diatur dan berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karya. Kedua, adalah Syariat Bathin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa dan cipta yang dikemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf.

Pembahasan lebih detail mengenai masalah ini lihat Serambi Suluk, op.cit. 26. Imam Al-Ghazali mengemukakan dua pengertian iman, yaitu pengertian majazi, di mana iman diartikan sebagai percaya, dan pengertian haqiqi, di mana iman diartikan sebagai cahaya. Lebih jauh, beliau pun membagi tiga tingkatan iman, yaitu Iman awami, yaitu imannya orang-orang yang awam, yang semata-mata taqlid, di mana iman dipahami sebagai percaya. Iman mutakalimiin, yaitu imannya para ahli kalam yang bercampur aduk dengan berbagai macam dalil, dan tingkatannya mendekati tingkat keimanan orang awam. Iman Arifiin, yaitu imannya para al-mumin, orang-orang telah marifat kepada Allah SW T, tingkat keimanan dari orang-orang yang menyaksikan dengan nur keyakinan. Lebih jauh mengenai kaitan iman dengan qalb (dan pada gilirannya nanti adalah ketaqwaan) tergambarkan secara gamblang dalam hadis bahwa Qalb itu empat macam: qalb yang bersih, padanya pelita yang bersinar gemilang, maka itulah qalb al-mumin. Qalb hitam terbalik, maka itulah qalb orang kafir. Qalb terbungkus yang terikat bungkusannya, itulah qalb orang munafiq. Dan qalb yang melintang, padanya keimanan dan kemunafikan, maka keimanan dalam qalb itu, adalah seperti sayur-sayuran, yang dipanjangkan oleh air yang baik, dan kemunafikan dalam di dalam qalb, adalah seperti luka yang dipanjangkan

leh darah dan nanah. Maka yang manakah di antara dua hal tadi yang banyak pada qalb, maka begitulah jadinya qalb itu. (Dalam riwayat lain: bejalanlah hal itu dengan qalb). (Al-Hadis) Taqwa itu di sini. Lalu Nabi Saw menunjukkan kepada qalb. (Al-Hadis) Lebih jauh lagi mengenai iman dapat dilihat dalam bentuk yang saling berkait pada beberapa ayat Al-Quran serta Al-Hadis sebagai berikut Orang-orang Arab itu berkata: Kami telah beriman. Katakanlah: Kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah berserah diri (aslam) karena iman itu belum masuk ke dalam qalbmu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan menguarangi sedikitpun amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujuraat [49]: 14) Maka apakah orang-orang yang dilapangkan shudurnya untuk berserah diri (Al-Islam) lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalbnya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS Az-Zumar [39]: 22) Pada hari ketika kamu melihat al-mumin dan al-muminat, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan (yaitu, cahaya iman) dan di sebelah kanan mereka (yaitu, cahaya ilmu) mereka, (dikatakan kepada mereka): Pada hari ini ada berita gembira untukmu (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak. (QS Al-Hadiid [57]: 12) Berkaitan dengan Q.S. Az-Zumar [39]: 22 Nabi Saw ditanya: Apakah pembukaan itu? Nabi Saw menjawab: Yaitu perluasan. Sesungguhnya cahaya itu, apabila telah dicurahkan ke dalam qalb, niscaya meluaslah dada dan terbuka. (Al-Hadis) Rasulullah Saw bersabda, Apabila cahaya Allah telah memasuki qalb maka dadapun menjadi lapang dan terbuka. Seorang sahabat bertanya, Apakah yang demikian itu ada tanda-tandanya ya Rasulullah? Rasulullah menjawab, Ya, orang-orang yang mengalaminya lalu merenggangkan pandangannya dari negeri tipuan dan bersiap menuju ke negeri abadi serta mempersiapkan diri untuk mati sebelum mati. (Al-Hadis) Sahabat Anas bin Malik meriwayatakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah Saw sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah. Rasulullah Saw bertanya, Bagaimana keadaanmu, ya, Haritsah? Haritsah menjawab, Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mumin billah. Rasulullah Saw menjawab, Ya Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu harus dibuktikan. Haritsah menjawab, Ya Rasulullah, hawa nafsu telah menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di waktu siang hamba berpuasa. Sekarang ini hamba dapat melihat Arsy Allah tampak dengan jelas di depan hamba. Hamba dapat melihat orang-orang di surga saling kunjung mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni neraka berteriak-teriak. Maka Rasulullah Saw berkata, Engkau menjadi orang yang imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di qalbmu. (Al-Hadis)

27. Lihat QS Al-Ankabuut [29]: 9; QS Al-Israa [17]: 9; QS Al-Kahfi [18]: 2; QS An-Nuur [24]: 62. 28. Untuk mengetahui lebih jauh ihwal rahmat pertama dan rahmat kedua bisa dilihat dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, vol. 1, no.1, Agustus 2001, PICTS: Bandung. 29. Hadis ini sebenarnya sangat simbolik, untuk mengetahui lebih lanjut makna dari kata-kata beliau Saw di atas, lihat kerangkanya dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, op.cit. 30. Lama Abu Odeh, (1997): Post-Colonial Feminism and the Veil: Thinking the Difference, dalam Mary M. Gergen & Sara N. Davis (ed.), Toward a New Psychology of Gender: A Reader, Routledge: New York, hal. 254-255. 31. Nasaruddin, (1996): op.cit., hal. 39. 32. Yi-Fu Tuan, sebagaimana di kutip oleh Victor Papanek, (1994): The Coming of a New Aesthetic: Eco-Logic, Etho-Logic, Bio-Logic, dalam Jeremy Myerson (ed.), Design Renaissance, Open Eye Publishing: England, hal. 29. 33. Dijk, Kees van, (1997): op.cit., hal. 75-77. 34. Beryl Causari Syamwil, (Dzulqaidah 1414): Harapan kepada Peran Buku-buku Tentang Wanita Islam di Indonesia, dalam Jurnal Salman Komunikasi Aspirasi Ummat (SKAU), hal. 19. 35. Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 212. 36. Washburn, Karen E., (2001): Jilbab, Kesadaran :Post-Kolonial, dan Aksi Tiga Perempuan (Jawa), dalam Monika Eviandaru, dkk., Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, Kanisius: Yogyakarta, hal. 111. 37. Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 233. 38. Lihat Washburn, (2001): op.cit., hal. 111-138. 39. Kebosanan adalah perilaku yang dipacu oleh masyarakat industri atau kapitalis. Sistem nilai yang berlaku di situ adalah nilai-nilai yang berpijak pada suatu kapital atau uang. Masyarakat diajak berkelana dalam siklus kehidupan fashion, dan diajari untuk selalu meraih sesuatu yang baru, serta diajari juga untuk cepat bosan terhadap suatu mode. Sebuah siklus yang seolah selalu menawarkan kebaruan, suatu progress, padahal sebenarnya mereka hanya berputarputar saja. Selain itu masyarakat pun seolah diberikan kebebasan untuk memilih yang sebenarnya adalah pendiktean dari seperangkat gaya oleh produsen kepada konsumen. 40. Dijk, Kees van, (1997): op.cit., hal. 77-78. 41. Dikutip dari catatan kuliah Estetika III oleh Yustiono di FSRD-ITB tahun 1998.

42. Pembahasan mengenai makna-makna spiritual dari warna-warna dibahas lebih jauh secara mendalam pada Falsafah Jroning Warna, PICTS: Bandung. 43. Baru-baru ini sempat mencuat suatu peristiwa yang kontroversial dalam dunia fashion di Prancis di mana seorang desainer terkemuka menempelkan potongan ayat Al-Quran yaitu surat Al-Baqarah yang ditempelkan di atas bagian belahan dada yang terbuka pada baju rancangannya. Ketika ditanya, sang desainer berkata bahwa dia tidak mengetahui bahwasanya huruf Arab tersebut adalah ayat Al-Quran, karena dia menemukan sebuah potongan ayat tersebutentah dari manayang kemudian dinilainya sangat bagus apabila ditempelkan pada salah satu baju rancangannya. Di sini bisa dilihat bahwa estetika bagi desainer jauh lebih utama ketimbang maknanya. 44. Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 2547. 45. Godard, Jean-Luc, sebagaimana dikutip dalam Papanek (1994), op.cit. 46. Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 246-247. 47. Barthes, Roland, (1983): Myth Today, dalam Mythologies, diseleksi dan alih bahasa oleh Annete Lavers Paladin: New York, hal. 115. 48. Barthes, Roland, (1994): Elements of Semiology, alih bahasa oleh Annete Lavers & Colin Smith, Hill and Wang: New York, hal. 91-92. 49. Fiske, John, (1990): Introduction to Communication Studies, edisi kedua, Routledge: London, hal. 171. 50. Althusser, Louis, (1970): For Marx, alih bahasa oleh Ben Brewster, Vintage: New York, hal. 223. 51. Penjelasan lebih jauh mengenai masalah ini dibahas dalam Alfathri Adlin, (2005): Spiritualitas/Terapi: Fenomena Keberagamaan dan tashawwuf di Masyarakat Perkotaan, makalah dalam Diskusi Bulanan FSK ITB dan Penerbit Jalasutra, 2 Maret 2005, di Galeri Soemardja FSRD ITB. 52. Althusser, ibid., hal. 92. 53. Ibid., hal. 118. 54. Ibid., hal. 144. 55. Hebdige, Dick, (1993): Subculture: The Meaning of Style, Routledge: London, hal. 17-18. 56. Baudrillard, (1981): For A Critique of Political Economy of the Sign, Telos Press: London, hal. 196.

57. Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 248-249. 58. Washburn mengambil pembagian ini dari Dr. Gananath Obysekere yang mengkategorikannya menjadi tiga bagian, dan dua kategori selain personal symbol tersebut adalah, pertama, cultural symbol, suatu simbol yang sangat dikenali dan diketahui oleh orang di satu kebudayaan. Kedua, psychogenetic symbol, suatu simbol yang mungkin mempunyai arti personal untuk pelaku-pelaku di zaman dulu, tetapi yang sekarang sudah hilang arti personalnya. Lihat Washburn (2001): op.cit., hal. 131-132.

Meneropong Potensi Intelektualitas Bandung


(Hanya sebuah tulisan lama yang pernah di muat di Pikiran Rakyat...) Suatu ketika Yasraf Amir Piliang bercerita bahwa dia pernah duduk menjadi pembicara bersama seorang intelektual dari Jakarta dalam lima forum pertemuan ilmiah yang diadakan di lima propinsi Indonesia. Topik dari kelima forum tersebut berbeda-beda, namun sang intelektual Jakarta itu ternyata hanya mempresentasikan makalah yang sama. Belakangan didapati bahwasanya dia bukanlah satu-satunya yang berbuat demikian. Di kesempatan lain, saya pernah bertemu dengan seorang penulis muda dari Jakarta yang telah menyelesaikan beberapa naskah dan sedang mencari penerbit yang bersedia menerbitkannya. Dalam percakapan panjang, mulai terkuaklah masa lalunya bahwa dia sebelumnya adalah ghost writer bagi seorang intelektual terkemuka di Jakarta. Sang intelektual hanya memberikan gambaran kasar dan arahan tentang suatu tulisan, dan anak muda inilah yang menuliskan serta mengumpulkan referensinya. Rupanya, penulis muda tersebut memaparkan, tidak sedikit intelektual yang melakukan hal serupa untuk menjaga eksistensinya di hadapan publik. Penyebabnya, kurang lebih, adalah seperti tertuang dalam ilustrasi berikut. Seorang intelektual Jakarta mengeluhkan bahwa waktunya habis terbuang di jalanan Jakarta yang macet karena dia banyak mendapat undangan berbicara di berbagai forum dan media. Itu pun hanya bisa dilakukan sehari sekali, disamping mengajar di kampusnya, karena jarak yang jauh disertai kepadatan lalu lintas. Seperti halnya kebanyakan orang Jakarta, sang intelektual itu pun sudah harus bersiap-siap pergi pada dini hari, dan baru pulang malam hari. Bayangkan, untuk intelektual yang diminta berbicara tentang wacana apa pun secara mendasar dan mendalam di berbagai forum dan media, kapankah dia memiliki waktu untuk membaca dan memperbaharui wawasannya? Ini pula yang diakui oleh sang intelektual, bahwasanya dia hanya bisa mendaur ulang terus menerus wawasan yang sudah dimilikinya, karena dia nyaris tidak memiliki waktu untuk belajar dan membaca. Saban hari rutinitas kehidupannya lebih mirip selebritis (dan seakan tertuntut untuk senantiasa begitu); terkenal di mana-mana, cuap-cuap di berbagai media dan forum, namun nyaris muatan omongannya itu-itu saja. Sekali lagi, ternyata tidak sedikit intelektual yang mengalami hal serupa. Tentu tidak semua intelektual di kota metropolis seperti Jakarta terjebak menjadi seperti yang digambarkan di atas. Para intelektual Katolik, misalnya, umumnya adalah orang-orang yang memiliki disiplin ketat dan terbiasa dengan tradisi monastik. Mereka terbiasa berdisiplin meluangkan waktunya untuk merenung dan berefleksi. Sekarang mari kita coba bandingkan dengan ritme kehidupan di Bandung. Bisa dikatakan bahwa luas Bandung hanyalah seperlima Jakarta. Untuk mereka yang beraktivitas di kota Bandung, orang masih bisa membuat janji di lima tempat dalam satu hari dan menepatinya. Umumnya, mereka hanya berhitung waktu sekitar 30 hingga 45 menit untuk pergi ke tempat rutinitas hariannya, entah itu sekolah atau kantor (dengan pengecualian bagi mereka untuk beraktivitas harus keluar kota, misalnya Jatinangor). Begitu juga untuk waktu pulangnya. Belum lagi iklimnya yang relatif lebih sejuk ketimbang Jakarta. Di Bandung orang lebih memiliki banyak waktu luang ketimbang orang Jakarta. Begitu pula dengan kehidupan yang dialami para intelektual yang menetap di Bandung. Dengan kondisi seperti itu, sepertinya Bandung memiliki lebih banyak

intelektual yang wawasannya mendasar dan mendalam serta menelurkan buku-buku yang dahsyat. Namun, apakah kondisinya memang demikian? Sekadar contoh saja. Dalam banyak kesempatan yang pernah saya alami, ada suatu hal yang menarik. Di Bandung ini cukup sering diadakan acara peluncuran dan bedah buku,studium generale, seminar, extension course dan lain sebagainya. Biasanya, ketika para panitia tersebut rapat untuk merumuskan siapa yang akan menjadi pembicara, umumnya nama-nama yang pertama disebut adalah Bambang Sugiharto dan Yasraf Amir Piliang. Entah telah berapa kali mereka berdua dipasangkan dalam berbagai forum. Hampir saban hari ada saja orang datang untuk mengundang mereka menjadi pembicara. Tanggapan dari keduanya nyaris serupa: kondisi ini sudah tidak sehat karena selalu kami yang diminta berbicara di berbagai forum. (Tentu saja masih banyak intelektual lainnya di Bandung yang sering diundang untuk menjadi pembicara, namun mungkin tidak sesering mereka berdua dalam hal disandingkan bersama.) Selain itu, untuk peserta yang datang dalam acara peluncuran dan bedah buku, Bandung dan Yogya, misalnya, memiliki perbandingan yang terbalik. Di Bandung, peluncuran dan bedah buku chicklit bisa lebih ramai ketimbang bedah buku budaya, sementara di Yogya malah sebaliknya. Padahal, jumlah perguruan tinggi di Bandung jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan Yogya. Mungkin penyebab umumnya adalah dua masalah mendasar berikut yang saling bertautan. Pertama, banyaknya mahasiswa yang salah pilih jurusan kuliah sehingga tidak memiliki minat untuk belajar keilmuan secara mendasar. Kedua, minimnya para pengajar yang tepat di bidangnya sehingga penguasaan keilmuannya pun mantap dan mendasar. Ketika dia mengajar, para mahasiswa pun dapat memahaminya dengan menyenangkan. Biasanya, pengajar yang tidak tepat di bidangnya itu melindungi dirinya dengan sikap yang keras dan galak. Apabila ditanya, dan dia tidak bisa menjawab, dia malah sewot. Selain itu, pepatah pun berkata bahwa guru yang baik itu mengajari, namun guru sejati itu memberi inspirasi. Seorang murid yang sudah terinspirasi, biasanya akan terpacu untuk belajar mendalami atas inisiatifnya sendiri. Dalam suatu kesempatan, Romo Haryatmoko pernah memberikan sebuah tips berharga yang didapatkannya dari Romo Franz Magnis Suseno. Dia berkata, bahwa kalau ingin mudah mempelajari berbagai pemikiran dan teori sosial, maka kuasai dulu secara mendalam pemikiran seorang pemikir. Setelah dikuasai dengan baik, maka kita akan mudah mempelajari pemikiran lainnya, karena umumnya para pemikir tersebut saling mengomentari dan mengkritisi satu sama lain. Contohnya, Romo Moko sangat menguasai pemikiran Paul Ricoeur, atau Romo Magnis yang sangat menguasai pemikiran Karl Marx. Begitu pula dua pemikir Bandung yang sebutkan di atas, yaitu Bambang Sugiharto yang sangat menguasai hermeneutika, atau Yasraf Amir Piliang yang sangat menguasai semiotika. Memang cukup sering terdengar cetusan bahwa kita semestinya tidak cuma pandai memamah teori-teori dari pemikir lain, tapi juga seharusnya bisa menawarkan orisinalitas. Pandangan itu ada benarnya. Akan tetapi, tak ada sesuatu yang benar-benar baru di dunia ini (kebaruan murni). Kebaruan selalu lahir dengan meniru, mengambil sebagian dan mengolah sesuatu dari yang lama. Lagi pula mempelajari sesuatu secara sungguh-sungguh tidak berarti harus menjadi pengikut setia pemikiran tersebut. Banyak pemikir besar yang melahirkan pemikiran orisinalnya tersendiri, awalnya adalah pengkaji suatu pemikiran. Seperti Gadamer yang lahir dari didikan

Heidegger, atau para strukturalis dan post-strukturalis yang lahir dari tradisi pemikiran Saussure. Orisinalitas mereka justru lahir dari dialognya dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya. Sialnya, biasanya ada saja orang yang berlaku curang. Maksud hati ingin terlihat orisinal, tetapi ternyata dia hanya mencuri pemikiran orang lain secara diam-diam (misalnya, dari mahasiswa bimbingannya atau koleganya). Selain itu, ada banyak manfaatnya apabila dalam suatu presentasi ilmiah (entah itu peluncuran buku, studium generale atau seminar), dan juga dalam makalah, diuraikan juga dasar-dasar teoretik dari pemikiran yang dipakai sebelum mulai menggunakannya dalam analisis atau juga mengkritisinya. Karena tidak semua audiens atau pembaca adalah orang-orang yang sudah paham akan teori atau pemikir yang dimaksudkan. Uraian dasar tersebut akan sangat membantu mereka untuk belajar. Apabila diberikan satu contoh kongkrit, kita bisa mengambil karya Yasraf Amir Piliang. Bambang Sugiharto menjelaskan bahwa karya-karya Yasraf itu nyaris leksikografis, dan ternyata pasar Indonesia tampaknya lebih membutuhkan uraian bergaya leksikografis semacam itu. Hal ini terlihat dalam pemasarannya yang terbilang bagus dibandingkan buku-buku sejenisnya, dan juga terlihat dengan cukup seringnya karya Yasraf tersebut dikutip dalam berbagai karya tugas akhir, entah skripsi, tesis atau pun disertasi. (Contoh-contoh ini saya ambil bukan karena kultus individu saya terhadap Yasraf atau Bambang, tetapi lebih kepada karena kedekatan saja). Kembali kepada tips dari Romo Moko di atas, rasanya kondisi Bandung sangat mendukung bagi seseorang untuk belajar secara mendalam tanpa harus terpengaruh dengan hiruk pikuk dan pola hidup serba terburu-buru seperti di Jakarta. Namun, mungkin dikarenakan akses liputan media yang lebih gencar di Jakarta, membuat para intelektual tersebut seperti tumbuh lebih subur dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Untuk Bandung sendiri, konon banyak pemikir berbakat lebih memilih hijrah ke Jakarta ketimbang tetap di Bandung. Sekalipun resikonya mereka bisa terjebak dalam lingkaran setan daur ulang wawasan lama, dikarenakan pola hidup Jakarta yang sering memaksa orang menghabiskan waktu di jalanan yang macet dan jarak yang serba jauh. Semoga keadaannya tidak selalu seperti ini, karena dengan sekian potensi yang ada di kota Bandung ini, bukanlah suatu utopia untuk mengharapkan lahirnya, katakanlah, semacam mazhab pemikiran Bandung.[]

WHY TO MOVE
(di muat ulang karena ada yang meminta artikel ini diubah menjadi notes, biar bisa diberi comment...) Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan (atau paling tidak sering ngedumel)? Berikut ini petikan dari bukunya Haris Priyatna yang berjudul Azim Premji, "Bill Gates" dari India (terbitan Mizania 2007). Azim Premji adalah milyuner dari India yang telah menyulap Wipro, dari sebuah perusahaan minyak goreng menjadi konglomerasi perusahaan dengan salah satunya adalah Wipro Technologies yang merupakan ikon kebangkitan industri teknologi informasi di India. Dia urutan ke-21 orang terkaya di dunia versi Forbes 2007. Azim dikenal sebagai milyuner yang bergaya hidup sederhana. Berikut ini pandangan Premji tentang mengapa karyawan betah dan tidak betah dengan perusahaan. Wipro sendiri memiliki tingkat turn-over (kepindahan) karyawan yang sangat rendah, padahal gajinya tidak lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis seperti Infosys dan TCS. Mengapa KARYAWAN meninggalkan perusahaan? Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat pergantian karyawan. Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang meninggalkan perusahaan untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih menjanjikan, lingkungan kerja yang lebih nyaman, atau sekedar alasan pribadi. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan ini. Belum lama ini, Sanjay, seorang teman lama yang merupakan desainer software senior, mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan internasional prestisius untuk bekerja di cabang operasinya di India sebagai pengembang software. Dia tergetar oleh tawaran itu. Sanjay telah mendengar banyak tentang CEO perusahaan ini, pria karismatik yang sering dikutip di beritaberita bisnis karena sikap visionernya. Gajinya hebat. Perusahaan itu memiliki kebijakan SDM ramah karyawan yang bagus , kantor yang masih baru, dan teknologi mutakhir, bahkan sebuah kantin yang menyediakan makanan lezat. Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar negeri untuk pelatihan. "Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling baru", katanya tak lama setelah bergabung. Ini betul-betul pekerjaan yang hebat dengan teknologi mutakhir. Ternyata, kurang dari delapan bulan setelah dia bergabung, Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia tidak punya tawaran lain di tangannya, tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di sana lagi. Beberapa orang lain di departemennya pun berhenti baru-baru ini. Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan. Dia pusing akan uang yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung karena tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa karyawan berbakat ini pergi walaupun gajinya besar ? Sanjay berhenti untuk satu alasan yang sama yang mendorong banyak orang berbakat pergi. Jawabannya terletak pada salah satu penelitian terbesar yang dilakukan oleh Gallup Organiza tio n. Penelitian ini menyurvei lebih dari

satu juta karyawan dan delapan puluh ribu manajer, lalu dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul First Break All the Rules. Penemuannya adalah sebagai berikut: Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihatlah atasan langsung/tertinggi di departemen mereka. Lebih dari alasan apapun, dia adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan dia adalah alasan mengapa mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman, dan relasi bersama mereka. Biasanya langsung ke pesaing. Orang meninggalkan manajer/direktur anda, bukan perusahaan, tulis Marcus Buckingham dan Curt Hoffman penulis buku First Break All the Rules.Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan mempertahankan orang yang bagus - dalam bentuk gaji yang lebih besar, fasilitas dan pelatihan yang lebih baik. Namun, pada akhirnya, penyebab kebanyakan orang keluar adalah manajer. Kalau Anda punya masalah pergantian karyawan yang tinggi, lihatlah para manajer/direktur Anda terlebih dahulu. Apakah mereka membuat orang-orang pergi? Dari satu sisi, kebutuhan utama seorang karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan lebih terkait dengan bagaimana dia diperlakukan dan dihargai. Kebanyakan hal ini bergantung langsung dengan manajer di atasnya. Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami oleh orang-orang yang bagus . Sebuah survei majalah Fortune beberapa tahun lalu menemukan bahwa hampir 75 persen karyawan telah menderita di tangan para atasan yang sulit. Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk kemungkinan yang paling parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional dan produktivitas karyawan.Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua bentuk tekanan, karyawan menganggap penghinaan di depan umum adalah hal yang paling tidak bisa diterima. Pada kesempatan pertama, seorang karyawan mungkin tidak pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam. Pada saat yang kedua, pikiran itu diperkuat. Saat yang ketiga kalinya, dia mulai mencari pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas kemarahan secara terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif, seperti: dengan membandel dan memperlambat kerja, dengan melakukan apa yang diperintahkan saja dan tidak memberi lebih, juga dengan tidak menyampaikan informasi yang krusial kepada sang bos. Seorang pakar manajemen mengatakan, jika Anda bekerja untuk atasan yang tidak menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat masalah. Anda tidak mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu. Para manajer bisa membuat karyawan stres dengan cara yang berbeda-beda: dengan terlalu mengontrol, terlalu curiga, terlalu mencampuri, sok tahu, juga terlalu mengecam. Mereka lupa bahwa para pekerja bukanlah aset tetap, mereka adalah agen bebas. Jika hal ini berlangsung terlalu lama, seorang karyawan akan berhenti - biasanya karena masalah yang tampak remeh. Bukan pukulan ke-100 yang merobohkan seorang yang baik, melainkan 99 pukulan sebelumnya. Dan meskipun benar bahwa orang meninggalkan pekerjaan karena berbagai alasan, untuk kesempatan yang lebih baik atau alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya bisa saja bertahan, kalau bukan karena satu orang yang mengatakan kepada mereka, seperti yang dilakukan bos Sanjay: Kamu tidak penting. Saya bisa mencari

puluhan orang seperti kamu.Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk sesaat biaya kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk mencari penggantinya. Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak memiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan itu sementara waktu. Kehilangan klien dan relasi yang telah dibina oleh orang tersebut. Kehilangan moril sejawat kerjanya. Kehilangan rahasia perusahaan yang mungkin sekarang dibocorkan oleh orang tersebut kepada perusahaan lain. Plus, tentu saja, kehilangan reputasi perusahaan. Setiap orang yang meninggalkan sebuah korporasi akan menjadi dutanya, entah tentang kebaikan atau keburukan. Demikian pesan Azim Premji. Bagaimana pendapat Anda (sebagai bawahan maupun atasan)?_,_._ From: ******** (NSN - ID/Indonesia - MiniMD)

Hubungan Kita yang Begitu Sering Jatuh Bangun


Aku masih ingat saat pertama kali kakak menceritakan tentang kiamat. Saat itu kami sedang di beranda rumah. Kakak menceritakan bagaimana kesemua yang ada ini akan hancur luluh lantak tak bersisa. Kiamat. Kata yang baru kudengar namun maknanya masih susah kumengerti. Kenapa Tuhan membangun dan menghancurkan kembali semua yang dibangun-Nya. Aku berulang kali bertanya pada kakak: Benarkah demikian? Kenapa? Sukar bagiku untuk mempercayainya. Mungkin itulah ingatan paling awal yang kupunya tentang-Mu, ingatan yang kuat karena aku, si anak usia 5 tahun itu, tak henti bertanya: apa maksud-Mu atas itu semua? Aku ingat bahwa ketika masih kecil itu, aku sudah ikut pengajian yang, yah katakanlah, semacam perpanjangan dari pengajian Imran yang mau melakukan kudeta tahun 80an. Aku satu-satunya anak kecil di antara anak-anak yang sudah jauh lebih besar. Aku hanya tertarik ikut kakakku ke pengajian itu. Setiap kali mereka membaca Al-Quran secara bergantian, aku selalu di lewat karena belum bisa mengaji. Aku hanyalah anak kecil yang sekadar nongkrong di antara para peserta pengajian lainnya yang lebih tua. Setelah agak lebih besar aku mengikuti pengajian di masjid-masjid sekitar rumah. Aku masih ingat saat pertama kali semua siswa diwajibkan oleh guru agama untuk shalat Ashar di sekolah, dan dipuji kemampuanku membuat kaligrafi (yah sekelas anak-anaklah, aku dari kecil memang disebut pandai menggambar). Rasanya tak ada yang istimewa dalam hubunganku dengan-Mu di masa-masa itu. Aku hanyalah anak yang kadang rajin shalat, berpuasa dan sebagainya, namun juga suka malas shalat dan mencuri-curi untuk batal puasa. Engkau pasti tahu itu. Di penghujung SMA, aku mulai sering berinteraksi dengan teman-teman aktivis keagamaan. Mereka sering memintaku untuk membuat dekorasi bagi acara-acara mereka. (Saat SMA aku memang sering sekali membuat dekorasi untuk acara-acara sekolah, dan entah telah berapa puluh kali aku menginap di sekolah setiap malam minggu.) Akhirnya mulailah aku masuk lingkaran aktivis itu. Di sana aku mulai mengenal atmosfir pergerakan Islam, namun aku selalu terhambat untuk masuk sepenuhnya ke dalam jamaah mereka karena beberapa hal. Di antaranya, misalnya, aku tidak bisa mengganti musik kesukaanku dengan nasyid yang mereka anjurkan (gue kan anak metal dan salah satu sumber referensi metal di sekolah :-), juga prinsip mereka yang mengharamkan pacaran sementara aku, yah gitulah, ada adik kelas di lingkaran itu yang membuatku tidak bisa berprinsip serupa wkwkwkwkwkwk. (Akhirnya kami pun dipisahkan karena sang adik kelas terpaksa memilih prinsip itu juga karena tekanan lingkungan tersebut.) Tapi, dari persinggungan singkat itu, terutama dengan seorang teman yang kini dua orang anaknya menjadi keponakanku, aku mulai punya gambaran akan sesuatu yang lebih dalam tentang agama-Mu. Ada sesuatu yang sangat serius dari agama, dan itu bukan sekadar ritual saja. Itu yang mengendap di diriku. Rasanya ada sesuatu dari-Mu yang perlu kuperjuangkan di muka bumi ini. Mungkin seperti itu. Selepas SMA, aku kuliah di FSRD ITB. Di sini terjadi titik balik. Awalnya aku bukanlah pembaca buku. Aku hanyalah anak metal yang malas belajar, malas membaca dan cukup puas dengan nilai seadanya. Namun pertemuanku dengan Prof. Primadi Tabrani menjadi awalan bagaimana aku akan menjadi pembaca buku. Titik balik lainnya adalah saat aku tengah menggambar bunga di taman-taman yang ada di dalam ITB. Entah bagaimana awalnya aku tiba-tiba mulai bertanya: Apa alasanku untuk percaya bahwa bunga ini adalah ciptaan-Mu? Bukankah semua proses terjadinya bunga ini adalah natural? Semua berjalan secara natural saja. Dan apa peran-Mu?

Kalau pun Engkau ada, bukankah Engkau adalah Tuhan yang menganggur? Gelitikan pertanyaan di hadapan bunga itu ternyata meluas ke mana-mana, dan menetap hingga sekian lama. Sebenarnya hanya tinggal satu langkah bagiku untuk menegaskan bahwa Engkau tidak ada, namun, entah apa dan kenapa, ada sesuatu yang menahanku, sesuatu dari dalam diriku sendiri, untuk tidak menandaskan saja keateisan-ku itu. Penandasan itu kugantungkan hingga akhirnya aku berkenalan dengan seorang mantan demonstran ITB, yang di DO dan di penjara karena mendemo Rudini, yang kemudian memilih jalan sufi. Perkenalanku dengannya, kebersamaanku mengiringinya pergi ke berbagai tempat bisa dikatakan sebagai awal perkenalanku dengan tasawuf. Setelah cukup lama mengikuti dia ke mana-mana, aku mulai berkenalan dengan fenomena-fenomena mistik dari jalan sufi yang diambilnya. Sejujurnya, saat itu aku merasa asing dengan fenomena itu, kebingungan tapi tak tahu harus mencari jawaban pembanding pada siapa. Hubungan kami terputus saat dia harus mulai bekerja bersama temannya yang membangun sebuah perusahaan. Sejak saat itu, aku makin jarang bertemu dengannya, dan akhirnya kami pun benar-benar tidak bertemu lagi. Setelah berpisah itu, aku sempat berinteraksi intens dengan teman sewaktu di SMA yang juga kuliah di Seni Rupa juga dan berpandangan bahwa Pancasila adalah Thaghut, dan bahwa Indonesia harus menjadi Negara Islam Indonesia. Aku pun diajak mengikuti pengajiannya, namun selalu saja ada yang kurasa tidak pas dan mengganjal. Hanya satu kali aku mengikuti pengajian itu, dan tidak berlanjut lagi. Namun aku kembali gelisah. Sekali lagi aku bertemu teman masa SMA dan dia mengajakku ke seorang ustad yang memberi kami pengajian secara rutin di pagi hari, setelah shalat subuh, di mushalla rumahnya. Beberapa bulan aku mengikuti pengajian itu, namun saat tiba liburan panjang, pengajian itu diliburkan dulu, namun aku tidak pernah kembali lagi ke pengajian itu. Hal yang selalu menggangguku adalah: Kenapa mereka selalu saja mengajarkanku untuk mengkafirkan orang lain? Apakah aku akan menjadi tambah dekat kepada-Mu dengan mengkafirkan orang lain? Misalnya, aku pernah diajari mengkafirkan Nurcholis Madjid karena tulisan-tulisannya, padahal belum satu pun bukunya pernah kubaca! Lagi pula, mungkin terlihat konyol, bahwa pada saat itu aku sudah menyakini bahwa kalau ulama itu bersih hati, maka Engkau bisa memberitahukan ihwal perkara yang disembunyikan oleh orang dihadapannya. Akhirnya tibalah krisis berikutnya bagi hubungan kita. Aku melihat begitu banyak orang bermain dalil agama, tapi semua itu hanya untuk kepentingan dirinya. Mengajari agar mengkafirkan orang lain dan mendaku dirinya sebagai pemegang kebenaran dan karena itu berhak bertindak semena-mena terhadap yang dikafirkannya. Muak dengan itu semua, aku berkata dalam hati kepada-Mu: Aku menerima keberadaan-Mu, namun aku tidak percaya bahwa Kau pernah menurunkan agama. Agama hanya ciptaan manusia untuk melanggengkan kepentingannya. Maka, aku pun hidup hanya dengan bermodalkan mempercayai keberadaan-Mu, namun tidak mempercayai agama. Aku bahkan berulang kali mengungkapkan bahwa dosa itu tak lain hanyalah seperti archetype Jungian. Dalam fase ini, rasanya aku hidup dengan easy going dan menjalin hubungan dengan adik kelas di ITB. Namun, kebuntuan itu datang lagi. Setelah sekian lama dalam kebuntuan, kudatangi lagi teman lamaku, teman yang nantinya akan menjadi ibu dari dua keponakanku. Sekali lagi, dia menjadi keranjang sampahku. Setelah berbicara dengannya, aku mendatangi adik kelasku itu, dan

mencoba menjelaskan padanya bagaimana kacaunya keadaanku dan bagaimana aku tidak bisa meneruskan hubungan kami. Dia tidak bisa mengerti apa yang kuungkapkan, apa yang kurasakan, dan tidak mau ditinggalkan. Aku tetap meninggalkannya. Aku pun pulang dan menyendiri di kamar. Saat itu, pertama kali aku mulai shalat lagi setelah sekian lama kutinggalkan. Aku sujud dan menangis meminta ampun kepada-Mu. Saat itu, aku merasa seperti orang yang terjatuh ke jurang terdalam dan dilingkupi kegelapan. Perasaan itu seperti termanifestasikan dan untuk sesaat aku memang merasa benar-benar berada di jurang gelap itu. Aku kembali mempercayai agama-Mu. Berikutnya, aku bergabung dengan kelompok anak-anak ITB yang jebol dalam perkuliahan, namun doyan berfilsafat. Mereka menarikku semakin dalam ke dunia wacana (dan kini, saat kami semua sudah berkeluarga, dari para teman seangkatan, hanya tersisa aku yang masih terjebak di dunia teoretis yang gila ini). Bersama mereka aku diperkenalkan dengan sekian anak muda lainny yang suka bersufi-sufi ria dan berkumpul di sekitar penyair sufistik dari Sekarjalak. Yah, untuk sekian lama, aku menikmati itu. Namun, kembali rasa gelisah itu muncul lagi. Maka kudatangi lagi temanku, ibu dari dua keponakanku di masa depan, ihwal apa yang kualami. Kali ini, dia menawariku bertemu dengan kenalannya. Maka diaturlah pertemuan itu. Aku datang bersama dua orang temanku. Ketika bertemu dengannya, aku sudah merasakan sesuatu. Entah apa itu. Aku tidak tahu pasti. Hingga kini aku tidak tahu pasti perasaan apa itu. Setelah pertemuan itu, kedua temanku sibuk dengan kesimpulan mereka masing-masing yang mengkritisi ini itu dari lelaki yang baru sekali kami temui itu. Sementara aku hanya bisa berkata: Aku merasa seperti bertemu dengan orang-orang yang digambarkan dalam buku Warisan Para Awliya karya Fariduddin Attar. Seperti legenda yang selama ini kudengar dan ternyata legenda itu masih ada dihadapanku. Semenjak itu, aku selalu rutin datang menemuinya, berdiskusi dengannya, mendapat banyak pengajaran tanpa doktrin. Dia banyak menyemangatiku, membesarkan hati, mendengarkan masalahku, menghampiri dan menerimaku ketika orang lain menjauhiku. Persahabatanku dengannya masih berlangsung hingga 15 tahun kemudian, hingga detik aku menuliskan notes ini. Namun, ketegangan dalam hubungan kita tetap terjadi. Aku masih ingat, saat itu tanggal 7 Februari 1997, aku bertekad untuk mengubah jalan hidupku, namun, pada saat yang sama aku kembali terjatuh pada dosa-dosa yang kutahu akan membatalkan pahala atau bahkan puasa yang Kau wajibkan atasku. Saat itu, bulan Ramadhan, malam ganjil di sepuluh hari terakhir, dalam kondisi terpuruk dan hina aku mencoba untuk memberanikan diri bertaubat dan kembali pada-Mu, berjanji untuk taat pada-Mu dan Rasul-Mu, namun aku begitu rapuh untuk sekadar meminta kepada-Mu. Aku takut Kau tolak. Malam itu, tak pernah kuduga sebelumnya, Kau izinkan sesuatu terjadi padaku, sesuatu yang membuatku, hingga hari ini, tidak bisa lagi menjadi seorang rasionalis militan. Sekali pun kini aku masih selalu bergaul dengan para pemikir rasional, aku tidak pernah lagi tertarik untuk menjadi rasionalis militan di segala hal. Singkat kata, aku lebih mempercayai hierarki realitas, dan rasionalitas hanyalah tools terendah dari semua alam itu. Setelah sekian tahun berlalu, kulihat lagi jalan hidupku, dan kusadari bahwa hubungan kita begitu sering jatuh bangun, bahkan hingga saat ini. Berulang kali aku gagal bisa menjadi manusia yang bisa Kau sukai atau cintai. Aku kembali terjatuh, lagi dan lagi. Aku mencoba bangkit, dan jatuh lagi, hingga lama kelamaan orang pun mulai mengetahui kejatuhanku dan

mulai menghakimi dan seperti menjauhiku karena hubungan kita yang selalu jatuh bangun. Antara aku mentaati-Mu dan mengingkari-Mu. Lelaki sahabatku itu, yang seperti kakak bagiku, lelaki yang menurutku Engkau cintai, hanya dia yang datang menghampiri dan menerimaku apa adanya. Namun, karena merasa dijauhi, aku pun memilih menjauh dari banyak orang, kecuali dari kakakku itu. Aku ingat hadis yang menceritakan bagaimana orang shalih itu seperti orang yang memakai wewangian, kalau tak terciprat olehmu wewangiannya, tercium olehmu wanginya. Sementara orang yang pendosa itu seperti bara api, kalau kau tak terpercik oleh apinya, bau asapnya melekat di pakaianmu. Itulah sebabnya aku menjauh. Aku tak mau menjadi asap yang menempel di pakaian orang lain. Aku juga tak ingin orang lain sibuk membicarakan aku dan hubungan kita yang selalu jatuh bangun ini. Aku ingat bagaimana hubungan kita tidak selalu berjalan baik, bahkan hingga baru-baru ini. Saat ibunda meninggal, aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa kepada-Mu. Aku merasa seperti bertemu dengan orang yang mengenalku, kami duduk berhadap-hadapan, aku menatapnya namun seperti tercekat untuk berkata-kata. Aku hanya bisa menatap orang itu dan membisu dengan mulut sedikit terbuka dan tatapan nanar. Terlalu malu dan hina hanya untuk mengajaknya berbicara, apalagi meminta. Itulah yang kurasakan saat kematian ibundaku dan hubunganku dengan-Mu. Aku tidak mau mengulangi masa-masa saat aku mempertanyakan keberadaan-Mu dan juga saat tidak mempercayai bahwa Engkau memang menurunkan agama. Terlalu konyol kalau aku harus mengulangi itu lagi. Namun, seberapa sering lagi hubungan kita harus jatuh bangun begini karena kerapuhanku?

Prof. Dr. A. Teeuw -- Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan


(Tulisan ini hanya cuplikan dari halaman 33-43. Beberapa kalimat saya hilangkan karena merujuk pada bahasan di halaman yang tidak dicuplik di sini, dan penghilangan itu saya tandai dengan titik sebanyak tiga buah [...]. Di sini saya sengaja hanya mengambil bagian yang menyangkut tentang pendidikan. Semoga berguna.) Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Negara Modern Sudah tentu di zaman modern ini semua negara dan bangsa berusaha kuat untuk mencapai tingkat keberaksaraan yang setinggi mungkin, sebab keniraksaraan sebenarnya dianggap hambatan yangpaling parah untuk kemajuan di zaman teknologi modern ini. Di Indonesia pun banyak usaha diarahkan ke tujuan itu, sejak awal kemerdekaan, dan walau pun sudah dicapai sukses yang cukup mengesankan, namun kegiatan sebagaimana proyek Kejar (kelompok belajar) masih sangat diperlukan dan dilangsungkan terus menerus. Akan tetapi masalahnya jauh dari penyelesaian tuntas, juga kalau secara formal setiap orang di Indonesia sudah pandai memabca dan menulis. Dari berbagai ahli di bidang pendidikan, penerbitan, kesusastraan dan lain-lain sering terdengar keluhan bahwa banyak orang yang sudah pandai membaca, bahkan yang sudah memperoleh pendidikan yang cukup tinggi, belum mengembangkan reading habit, kebiasaan membaca. (Dalam hubungan ini tidak kebetulanlah jumlah buku yang di Indonesia dihasilkan pada tahun 1986 tidak lebih dari 6000 judul, dibandingkan dengan 44000 di Amerika Serikat [Kompas, 16/9/88], jangan dihitung lagi tiras masing-masing judul.) Membaca secara individual (seperti diungkapkan dalam peribahasa Belanda met een boekje in een hoekje ) bahkan dalam lingkungan keluarga sering dianggap sikap atau situasi yang kurang sosial. Dan justru dengan adanya alat informasi elektronik, radio dan televisi, yang memungkinkan penikmatan bersama, dan yang menekankan aspek pendengaran yang mempersatukan, yang mengakrabkan sidang pendengar, baik dalam keluarga, maupun dalam lingkungan kampung, misalnya juga dengan Kelompencapir, seakanakan aspek kelisanan kebudyaan masih diperkuat lagi. Kelisanan dan Pendidikan Hal ini merupakan masalah besar untuk perkembangan dan pengembangan masyarakat Indonesia. Sweeney...berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang luas di berbagai sektor pengetahuan dan pengalaman yang luas di berbagai sektor masyarakat Malaysia dan di berbagai tingkat pendidikan, menunjukkan dilem yang dihadapi oleh manusia Melayu, khususnya intelektual modern. Dalam bab yang berjudul Oral Orientation in Written Composition (Sweeney, 1987: 267-302) dia menguraikan masalah yang dihadapi mahasiswa Melayu dan khususnya dalam pelajaran sastra Melayu (dan Indonesia!). Sudah tentu dalam pelajaran universiter tulisan merupakan wahana utama. Tetapi dalam tulisan masih jelas sekali oral orientation, pertama karena kebanyakan mahasiswa (khususnya di berbagai Jabatan Pengajian Melayu) masih berasal langsung dari tradisi dan lingkungan kebudayaan di mana kelisanan masih kuat. Kedua, situasi kuliah masih dialami sebagai situasi penyampaian pengetahuan secara lisan. Dari guru (pensyarah, profesor) diharapkan informasi yang sesuai dengan tradisi lisan: formula, skema-

skema, chunks of knowledge, bahan yang harus dan dapat dihapalkan. Dalam hal ini, tulisan menjadi sarana penting. Sebab justru tulisan memungkinkan memorisasi secara harfiah: Dalam masyarakat dengan orientasi kelisanan, tulisan dianggap semacam adisarana/memungkinkan semua kata sang guru diselamatkan secara harfiah, bahkan dihapalkan harfiah. Tulisan menjadi alat pembantu untuk penerusan pengetahuan secara lisan. Dalam hal ini, kesimpulan dan pengalaman Sweeney sesuai sekali dengan hasil penelitian Goody yang dibicarakan di atas: dalam masyarakat yang lisan murni, tanpa adanya tulisan, penghafalan tidak ada, tetapi baru berdasarkan adanya tulisan sebagai penunjang ingatan, penghafalan menjadi mungkin dan bahkan dianggap perlu. Dengan segala aspeknya yang negatif: sebab penghafalan lewat tulisan, khususnya diktat kuliah, mengakibatkan pembekuan, fosilisasi pengetahuan. Pelajaran berarti pengumpulan potongan-potongan pengetahuan, yang memperoleh kewibawaannya lewat kata guru, yang masih diperkuat oleh tulisan. Dan menulis (misalnya makalah atau skripsi) praktis berarti mengulang potongan dan bahan baku yang dikumpulkan secara rajin dalam studi, dan yang kemudian dirakit kembali, persis seperti dalam puisi lisan. Pelajarqan menjadi akumulasi formula dan ungkapan konvensional. Pendekatannya pada hakikatnya bersifat menyelamatkan keseluruhan-keseluruhan. (Sweeney, 1987: 284) Orientasi Kelisanan dan Teori Ilmiah Hal ini sesuai dengan pengalaman saya sebagai dosen dan pembimbing penulisan skripsi dan tesis di Indonesia selama sepuluh tahun belakangan ini, khususnya di bidang sastra. Dalam banyak usulan penelitian, bagian yang diwajibkan berjudul Landasan Teori sering terdiri atas rangkaian kutipan atau rumusan, formula yang diambil dari berbagai karya ilmiah yang dianggap berwibawa, sudah tentu dengan rujukan yang patut, yang dirakit menjadi suatu ceritanamun ternyata plotnya, dalam arti logika atau konsistensi intrinsiknya sering kacau atau sama sekali tidak ada: argumentasi yang sungguh ilmiah, dasar penalaran yang merangkaikan berbagai pendapat dan metode tidak ada, sehingga bahkan tidak jarang berbagai pendekatan atau teori yang bertentangan digabung begitu saja dalam satu alinea, tanpa komentar apa-apa. Hal ini sudah tentu berarti bahwa landasan teori yang sungguh-sungguh tidak ada, digantikan oleh sejumlah formula yang sering dalam pembicaraan usulan semacam ini dengan calon doktor ternyata tidak mempunyai makna apa-apa, hanya mempunyai semacam arti atau fungsi magis. Ada kalanya saya cenderung mengatakan bahwa potongan-potongan atau formula-formula teori (sastra) yang disajikan bahkan menjadi legitimasi untuk tidak berpikir sendiri dan mandiri. Formula teori, tepat atau tidak tepat untuk penelitian yang ingin dilakukan, menggantikan akal sehat dan pikiran mandiri. Dalam hal ini, pengalaman saya sama sekali sesuai dengan yang dikemukakan Sweeney: ...prosedur kesarjanaan tertentu amat sesuai untuk pendekatan parataktis dan formulaik. Paktek untuk menyediakan kutipan-kutipan, misalnya, tampaknya pas persis untuk tujuan ini. Mahasiswa diberikan sebuah metode untuk memperoleh potonganpotongan pengetahuan besar yang siap pakai tentang pokok tertentu, dan sekaligus kesempatan untuk melegitimasi diri dari segi kesarjanaan. Potongan-potongan semacam itu sering menjadi unit yang berdiri sendiri, tanpa hubungan atau sangkut paut dengan apa yang mendahuluinya atau yang menyusul. saya bahkan sering bertanya-tanya apakah peraturan yang cukup ketat yang memaksa mahasiswa untuk menyusun usulan penelitian menurut skema yang tetap (sudah

tentu secara tak dimaksudkan!) tidak lagi merugikan daripada menguntungkan, sebab memperkuat prasangka atau salah sangka mahasiswa bahwa usulan penelitian dapat dirakit secara formulaik: tinggal mengisi skema saja dengan sejumlah formula. Pengajaran Sastra Melayu Tidak hanya mahasiswalah yang terdorong oleh salah paham tentang apakah ilmu pengetahuan dan apakah penelitian. Sweeney juga menjelaskan bahwa banyak buku yang dipakai di Indonesia dan Malaysia di sekolah menengah (dan di universitas) menunjukkan kekurangan yang sama: misalnya, buku-buku sekolah tentang sastra Melayu yang diperiksanya ternyata bersifat formulaik belaka, Buku-buku mengenai sastra Melayu ini, khususnya yang diterbitkan di Indonesia, hampir seluruhnya terdiri atas formula terapung; formula yang itu-itu saja terapung dari satu buku ke buku lain, sehingga mungkinlah membaca empat puluh buku semacam ini pada satu sore. satu formula disambung secara parataktis atau kumulatif dengan formula lain, informasi yang sungguh baru tidak ada, pengetahuan semacam ini hanya dapat dihafalkan, tanpa mempunyai daya kembang bagi otak murid-murid; terjadi semacam fosilisasi informasi: dan kesimpulannya cukup mengejutkan juga, Fosilisasi ini pasti mempunyai dampak mematikan semangat atas pengajaran sastra dalam sekolah-sekolah Indonesia. saya khawatir kesimpulan ini bukan tak ada kebenarannya, mungkin tidak hanya untuk pengajaran sastra Melayu. Beberapa Kesimpulan 1. Judul karangan ini mengesankan seakan-akan Indonesia berada di antara dua kutub, yaitu kutub kelisanan dan kutub keberaksaraan, orality dan literacy. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks. Pada masa ini sebenarnya Indonesia mengalami empat tahap sekaligus. Di berbagai daerah, paling tidak di pelosok-pelosoknya, tahap kelisanan yang cukup murni masih dijumpai. Kemudian tahap kebudayaan khirografik (tahap kebudayaan manuskrip, khususnya dengan fungsi aural yang masih kuat) juga bukan tak ada lagi, dalam berbagai lingkungan di mana pembacaan naskah sudah lazim dan masih lazim. Kemudian sudah tentu tahap tipografik sudah mulai dimasuki sejak awal abad ke dua puluh ini oleh makin banyak orang, khususnya lewat pendidikan modern. Akhirnya tahap elektronik, dengan kelisanan sekunder, juga sudah luas dihayati orang; diantaranya ada golongan terdidik yang sebelumnya atau sekaligus juga menghayati kebudayaan tipografik, tetapi mungkin ada golongan cukup besar yang masuk tahap keempat ini tanpa interiorization of print culture, pembatinan atau pencernaan tahap membaca yang sungguh-sungguh. 2. Dalam kebudayaan Barat sejak abad ke-16, proses pembatinan kebudayaan membaca, dengan segala konsekuensinya, maju jauh; satu konsekuensi yang jelas dan menonjol adalah individualisasi yang sangat kuat, bahkan ada orang yang bilang yang sudah terlanjur: masyarakat terpecah-pecah dalam sejumlah individu yang sedikit sekali menunjukkan kohesi; sampai ke dalam lingkungan keluarga, individualisasi itu sudah normal; terjadi gejala-gejala seperti alienation, keterasingan, kehilangan solidaritas dan kebersamaan. Sudah tentu gejalagejala itu mempunyai banyak aspek lagi: ekonomi, sosiologi, keagamaan, sehingga hubungan sebab-akibat antara segala aspek dan gejala itu tidak mudah ditentkan; namun pastilah keberaksaraan dalam arti makin makin majunya pembatinan cetakan merupakan faktor yang esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.

3. Sekaligus harus dikatakan bahwa justru kebudayaan cetakan inilah yang memungkinkan perkembangan ilmu pengetahuan beserta teknologi sangat canggih yang sering dianggap ciri paling menonjol dalam kebudayaan Barat. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga yang memungkinkan Eropa Barat dan Amerika Serikat menaklukkan hampir seluruh dunia, dulu dalam bentuk imperialisme politik dengan sistem penjajahan, kemudian dan sampai sekarang dengan kekuasaan ekonomi yang dimungkinkan oleh teknologi, yang pada gilirannya tidak mungkin tanpa ilmu pengetahuan yang berdasarkan kebudayaan tipografik. Kebudayaan tipografik pula yang baru memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis dan independen, sikap ilmiah sejati. 4. Mengingat hal-hal ini, Indonesia menghadapi paradoks atau dilema. Kelisanan, juga dan justru dalam bentuk sekundernya, dengan segala aspek positifnya merupakan syarat mutlak untuk pembangunannya sebagai negara dan bangsa; lewat kelisanan dapat dibina (digembleng) atau dipertahankan solidaritas, kebersamaan, semangat nasional. Kemungkinan yang disediakan oleh teknologi modern dengan alat-alat elektronikanya sudah tentu sangat penting. [...] 5. [...] Dinamika keudayaan memerlukan pengembangan pemikiran kritis dan penalran logis, yang hanya dapat dihasilkan oleh pendidikan, dengan pembacaan buku secara individual, sebagai sarana yang mutlak perlu. Untuk ini, kebudayaan formulaik justru merupakan hambatan seperti telah disadari oleh Plato 2400 tahun yang lalu, dan seperti dinuktikan oleh Sweeney untuk situasi mahasiswa Melayu modern, kelisanan sekunder tak kurang merupakan hambatan untuk pengembangan pikiran ilmiah yang kritis. Pemikiran formulaik, dengan chunks of knowledge yang dihafalkan, dan dirakit, tanpa dicernakan dan dibatinkan secara kritis, tidak mungkin menghasilkan kemajuan ilmiah yang sungguh-sungguh. 6. Demikianlah Indonesia berada dalam dilema antara kelisanan dan keberaksaraan. Dan tugas yang paling berat sudah tentu dihadapi oleh para pendidik, di berbagai bidang dan tingkat pendidikan. Sebab mereka pada satu pihak bertugas utuk ikut mempertahankan solidaritas, kebersamaan dan stabilitas nasioal, lewat pemanfaatan aspek positif kelisanan, baik primer, maupun sekunder. Tetapi sekaligus mereka harus mendidik siswanya untuk meninggalkan pemikiran forulaik, untuk melepaskan diri dari sloganisme ilmiah, dari verbalisme sok ilmiah dan untuk mengembangkan sikap kritis dan independen, juga terhadap bahan-bahan pelajaran yang mereka dari guru mereka sendiri atau dari buku-buku bacaan yang berwibawa. 7. Ironisnya, dapat dikatakan bahwa dilema, dalam perumusan baru, sebenarnya masih tetap merupakan dilema yang dipertahankan dalam Polemik Kebudayaan, lebih dari lima puluh tahun yang silam; dan seperti dahulu, demikian juga sekarang, penyelesaian masalah ini bukanlah perkara pilihan either/or. Satu-satunya jalan ke masa depan adalah jalan yang berdasarkan sintesis antara aspek positif kelisanan dan aspek positif keberaksaraan, dengan meninggalkan atau meniadakan aspek negatif kedua-duanya. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa dilema ini sungguh-sungguhlah menyajikan buah simalakama: dimakan buah-buah keberaksaraan terncamlah stabilitas; berpantang makan buah-buah keberaksaraan terancamlah dinamika pembangunan. Mudah-mudahan Indonesia nanti dalam abad ke-21 menikmati masa secondary orality, yang sungguh-sungguh mencernakan hasil-hasil literacy dalam arti yang sebaik-baiknya.

APAKAH MANUSIA ITU PEMBENTUK SEJARAH YANG SADAR AKAN TINDAK-KESEJARAHANNYA?


"What experience and history teaches us is that people and governments have never learned anything from history, or acted on principles deduced from it" Georg Wilhelm Friedrich Hegel (German Philosopher and Inventor, 1770-1831)

Notes ini saya awali dengan pertanyaan: apakah manusia itu pembentuk sejarah yang sadar akan tindak-kesejarahannya? Dalam sebuah film berjudul Angulimala diceritakan tentang anak seorang Brahmin yang ketika lahir diramalkan akan membunuh banyak manusia. Untuk menghindari ramalan tersebut tergenapkan, sang Brahmin menamainya Ahimsaka (yang artinya tidak berbahaya) dan membesarkannya di lingkungan Brahmana dan kuil Hindu. Namun, singkat cerita, Ahimsaka akhirnya melakukan pembunuhan pertamanya, dan itu menjadi awal pembuka terpenuhinya ramalan tentang Ahimsaka akan menjadi pembantai banyak manusia. Kesemua pembunuhan itu dia lakukan dengan keyakinan untuk membebaskan jiwa-jiwa yang menderita. Setiap membunuh satu manusia dia mengambil jari manusia tersebut dan dirangkainya menjadi semacam tasbih. Karena itulah Ahimsaka dijuluki Angulimala atau 'kalung jari'. Setelah membunuh 999 manusia, dia hendak membunuh satu orang lagi agar genap 1000 yang akan menyempurnakan spiritualitasnya. Namun, saat dia akan membunuh manusia ke-1000, Angulimala malah menjadi tersadarkan akan kesalahan keyakinannya selama ini dalam membunuh banyak manusia. Angulimala pun menyesal dan menjadi pengikut calon korbannya yang ke 1000, yaitu Buddha Sidharta Gautama. Kisah semacam Angulimala ini sangat banyak bertebaran dalam khazanah agama. Mulai dari kisah hidup Buddha sendiri yang sudah diramalkan akan menjadi orang suci dan bukannya raja pengganti ayahnya, atau kelahiran Musa yang diantisipasi Firaun dengan pembunuhan bayi-bayi Bani Israil, kedatangan Muhammad sebagai nabi akhir zaman, dan bahkan hingga saat ini, bagaimana sekian ramalan yang belum terwujud masih bertebaran di sekitar kita. Terserah Anda untuk berargumen apa dengan semua kisah ramalan dalam tradisi keagamaan tersebut: percaya, ragu, atau menolak mentah-mentah. Silahkan, saya tidak punya urusan apa pun dengan status kepercayaan Anda, dan juga atas kerja keras Anda untuk menjadi rasionalis yang mengajukan argumen ini itu untuk merasionalisasikannya. Hal yang paling menarik bagi saya adalah: apabila memang ramalan itu sudah disampaikan jauh-jauh hari, tapi sebesar apa pun upaya manusia untuk menghindarinya, dalam berbagai kisah tersebut, ramalan itu selalu saja tergenapkan. Lantas apa peran manusia? Berperan sebagai pembentuk sejarahkah atau hanya berperan sesuai bentukan 'sejarah yang telah diramalkan itu'? Oke, sekarang kita berpindah ke wilayah yang lebih rasional (katakanlah demikian). Apakah dengan intelektualitasnya, manusia bisa lepas dari bentukan zaman dan sejarahnya? Melalui buku-buku karya Michel Foucault kita bisa melihat bahwa para intelektual suatu zaman ternyata

hanyalah bentukan dari episteme zamannya. Foucault menjelaskan bahwa pada masa sebelum Renaisans, kegilaan dipahami sebagai kebijakan yang menyampaikan sindiran-sindiran menyentak, si bijak yang menjadi orang gila. Namun setelah masa Renaisans, kegilaan dipandang sebagai kejatuhan manusia dari rasionalitas, keterputusan dari nalar. Di Zaman Klasik, kegilaan dipahami sebagai manusia yang menjadi terbinatangkan, maka diperlukan sekian 'siksaan disiplin' untuk menjinakkan keliaran psikisnya. Dan di zaman modern, kegilaan, terutama oleh Freud, dipandang sebagai sesuatu yang bisa ditelusuri sejarahnya dari masa kecil, dan laksana Tuhan, sang psikiater bisa menunjuk titik yang menjadi awal mula penyebab kegilaan tersebut. Hampir kesemua buku Foucault memiliki langgam yang sama, yaitu memperlihatkan keterputusan epistemologi dari zaman ke zaman lainnya. Paparan-paparan Foucault sangat jelas memperlihatkan bahwa para intelektual dan pemikir pada suatu zaman, sekritis apa pun mereka, seringkali hanyalah hasil bentukan zamannya. Kalau pun ada pemikir yang melampaui zamannya, maka mereka harus membayar konsekuensinya: terasing dan dipandang aneh pada zamannya. Bahkan Thomas Jefferson yang sangat menjunjung tinggi kemerdekaan manusia dan kebebasan berbicara itu, yang juga anti perbudakan, tetap saja tidak bisa lepas dari stereotipe zamannya yang memandang orang kulit hitam itu rendah dan tidak bisa berpikir. Hannah Arendt pernah melakukan penelitian dengan menanyai sekian banyak orang sipil Jerman yang menyakiti dan membenci orang Yahudi habis-habisan pada saat Hitler berkuasa. Arendt bertanya, kenapa mereka bisa sedemikian tega menyakiti orang-orang Yahudi yang sudah menjadi tetangganya selama sekian tahun itu? Jawaban mereka bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu:1. Entahlah, rasanya waktu itu, kalau saya tidak berbuat demikian rasanya salah.2. Entahlah, saya tidak sadar. Karenanya, kembali kepada dua paparan 'model sejarah' (katakanlah demikian) di atas, apakah manusia itu pembentuk sejarah yang sadar akan tindak-kesejarahannya? Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu apa jawabannya. (Ya Tuhanku, saya tidak tahu.) (Dipersembahkan untuk seorang kakak yang kini jasa-jasanya banyak dilupakan oleh orangorang yang dulu pernah menimba pengetahuan darinya.)

Punya Masalah Aja Sombong


Suatu ketika, seorang salik mendapatkan penglihatan sebagai berikut: dia mendapati dirinya tengah berada di sebuah majlis, dan kemudian terbitlah matahari yang tepat menyinari wajahnya. Salik tersebut merasa silau dan merasakan panas di wajahnya. Setelahnya, saat ada kesempatan bertemu dengan mursyidnya, dia menyampaikan penglihatan tersebut. Sang mursyid menjelaskannya dengan teguran: Nak, kalau kamu sedang punya masalah, mukamu jangan menjadi masam terhadap orang lain. Rupanya itulah makna penglihatan" matahari yang menyinari silau dan memanaskan wajah sang salik. Luar biasa! Ketika mendapati kisah tersebut sekitar 12 tahun yang lalu, saya tetap merasa takjub dengannya. Betapa luhur ajaran itu. Coba bayangkan, dalam kehidupan sehari-hari betapa mudahnya manusia berubah menjadi orang-orang yang bermuka masam dan hilang keramahannya saat tengah menghadapi suatu masalah yang menurutnya terasa berat. Bahkan bukan tidak mungkin manusia semacam itu adalah diri kita sendiri. Seseorang yang menenteng wajah masam karena lagi ada masalah ke mana-mana benar-benar mengganggu secara sosial. Dia merusakkan atmosfir kebahagiaan yang ada di sekitarnya. Dia membuat orang di sekitarnya menjadi salah tingkah, takut berekspresi apa pun karena si bermuka masam sangat mudah meledak dan berkata-kata kasar akibat tafsirannya sendiri atas perkataan atau tingkah orang lain. Seorang teman yang asli Jawa pernah memaparkan bagaimana mursyidnya mengajarkan kepadanya ihwal filosofi Jawa, yaitu, manusia itu harus menjadi seperti lautan. Lihatlah, apa saja yang masuk ke lautan? Bangkai, sampah, air kotor, limbah ini itu, dan berbagai kekotoran lainnya. Tapi apa yang dikeluarkan lautan? Ikan-ikan laut yang segar dan lezat untuk di makan manusia, ikan-ikan hias yang cantik dan indah lengkap dengan terumbu karang nan eksotik, minyak bumi, mutiara, uap air untuk hujan yang menyirami bumi dan sekian kebaikan lainnya. Nah, teman saya menambahi: Sayangnya Al, saat ini teramat sangat jarang orang Jawa yang bisa seperti lautan. Kebanyakan mereka cuma bisa jadi selokan. Di hadapan orang yang bersikap tidak menyenangkan dia seperti tidak apa-apa, tapi ketika berada di belakang orang tersebut, mereka ngerasani (meng-ghibah) habis-habisan. Saya tersenyum kecut mendengarnya. Tapi, tentang filosofi Jawa itu, rasanya tidak salah kalau saya menafsirkannya juga sebagai orang yang ke dalam dirinya beruntun datang sekian masalah tidak mengenakkan, tetapi wajahnya tidak pernah berubah menjadi masam dan kusut karenanya, yang wajah itulah kemudian dia pamerkan kepada orang-orang di sekitarnya. Rasulullah Saw pernah bermuka masam, maka Allah menegurnya dan kemudian mengabadikan peristiwa tersebut dalam Al-Quran sebagai surat Abasa (meski sebagian kalangan tidak menisbatkan hal itu kepada Rasulullah dan menafsirkannya sebagai si fulan atau si fulan yang ada di sekitar Rasulullah Sawwell, maaf kalau saya tidak bisa mengikuti pandangan yang kedua tersebut). Rasulullah pun pernah bersabda bahwa senyum itu shadaqah. Bukan hanya itu. Hal yang juga luar biasa dari Rasulullah Saw adalah cara beliau menghadapkan diri pada orang yang diajaknya bicara. Dalam salah satu hadis diceritakan bahwa ketika berbicara dengan seseorang, Rasulullah Saw tidak pernah hanya memalingkan

wajahnya saja ke arah orang yang diajaknya bicara. Beliau selalu menghadapkan seluruh tubuhnya ke hadapan orang tersebut. Sadruddin Al-Qunawi, anak tiri Ibn Arabi, menceritakan tawil dari hadis tersebut. Singkatnya, menurut Al-Qunawi, sikap Rasulullah Saw tersebut sebenarnya merupakan representasi atau semacam perpanjangan dari sikap Allah Taala terhadap seluruh makhluk-Nya. Bahwa Dia Taala selalu menghadapkan segenap Diri-Nya dalam menghadapi makhluk-Nya. Luar biasa bukan? Dalam hadis, Rasulullah Saw pun pernah menyatakan bahwa dari semua Nabi, beliaulah yang paling takut terhadap Allah Taala. Namun, dari semua Nabi, beliau Saw-lah yang justru paling banyak tersenyum. Kalau Anda pernah membaca novel The Name of the Rose, di dalamnya Anda akan mendapatkan satu hal yang cukup mengejutkan. Ada sebuah kitab parodi yang lucu di sebuah biara telah diracuni oleh sang penjaga perpustakaan, yang juga seorang biarawan, sehingga siapa pun yang membaca dan memegang buku tersebut, akan secara tidak sengaja menelan racun di tiap halaman buku itu. Permasalahannya, umumnya pada saat itu orang membuka halaman kitab dengan cara membasahi ujung jarinya terlebih dahulu. Kenapa sang penjaga perpustakaan melakukan hal itu? Karena, menurutnya, Yesus tidak pernah tertawa, dan manusia harus meniru perilaku tersebut. Dia sangat benci dengan buku parodi yang mengundang tawa tersebut. (Tapi harus diingat, Yesus tidak pernah tertawa karena takut pada Allah, bukan karena lagi banyak masalah terus bete kayak kita, oke?) Kembali kepada senyum dan wajah masam. Seperti tertuang dalam notes saya yang berjudul Kesempitan dan Kesenangan, siapa di antara manusia di muka bumi ini yang tidak mempunyai masalah? Saya percaya bahwa tidak ada manusia yang seperti itu. Namun, melihat paparan di atas, melihat pada filosofi Jawa barusan, dan juga menyadari fakta bahwa semua manusia pasti punya masalah masing-masing, maka bisakah kita memberikan pembenaran saat kita menenteng-nenteng wajah masam ke mana-mana? Aneh kan? Punya masalah aja sombong, pake dipamer-pamer ke mana-mana...Ngerasa unik kali ya? "Hey lihat wajah masam gue, maklum gue lagi punya masalah gitcu lho." Emangnya siapa yang lagi gak punya masalah? Sombong bener... :-D Wallahualam bi shawab. (Ya Allah, ubah aku menjadi orang yang bisa selalu memberi senyum kepada orang lain, sekali pun masalah sedang mengepung kehidupanku. Amin.)

Kata Siapa Rejeki itu Di Tangan Tuhan?


Pernahkah Anda membeli sesuatu dari pedagang kecil, dan setelah Anda menyerahkan uangnya, mereka menerima uang tersebut dan kemudian memukul-mukulkannya ke semua barang dagangannya sambil berkata Penglaris, penglaris? Hal itu biasa dilakukan para pedagang kecil ketika mendapatkan pembeli pertama. Entah sudah berapa kali saya menyaksikan hal itu. Mungkin kita, terlebih kalau merasa sebagai yang punya pengetahuan agama lebih akan merasa geli terhadap tabiat tersebut. Tapi, sebaiknya kita juga mawas diri, bahwa seringkali kita tidak memiliki sesuatu yang berharga seperti yang mereka miliki. Bayangkan, saya pernah membeli cendol Elizabethone of my favorite beveragesyang kini ramai dijajakan di sepanjang jalan sekitar Pasar Baru. Pedagangnya sangat banyak dan saling berdekatan. Saat itu sudah mendekati jam 3 siang, dan saya memilih secara acak saja salah satu pedagangnya. Dia tampak sedang duduk termenung, dan di samping kiri kanannya banyak pedagang cendol lainnya. Kemudian saya meminta satu bungkus cendol Elizabeth untuk saya bawa pulang ke rumah. Apa yang terjadi setelah saya menyerahkan uang pembayaran cendol tersebut? Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil memegang uang tersebut dengan kedua tangannya dan kemudian memukul-mukulkan uang tersebut ke semua barang dagangannya sambil berkata: Penglaris, penglaris. Ya Allah, dari tadi pagi dia berjualan, setelah jam 3 siang, baru sayalah pembeli pertamanya? Coba pikirkan sebentar tentang para pedagang kecil yang saban pagi harus pergi menuju tempat berjualannya. Mereka tidak tahu seberapa banyak dagangannya akan terjual hari itu. Berapa banyak pembeli yang akan datang? Berapa keuntungan hari itu yang bisa mereka dapatkan? Semua serba tidak pasti. Sekarang mari kita berbicara tentang orang-orang seperti saya, dan bukan tidak mungkin termasuk Anda sendiri (yang kebetulan mau membaca notes membosankan ini di FB). Saya adalah orang yang bekerja di sebuah perusahaan. Punya posisi tertentu. Saban hari saya pergi ke kantor dan bekerja di depan komputer tanpa perlu memikirkan berapa uang yang bisa saya dapat hari ini. Saya tidak perlu memukul-mukulkan uang ke komputer saya sambil berkata Penglaris, penglaris (sebuah tabiat yang menggelikan bukan?). Saya hidup dalam sebuah kepastian, yaitu, bahwa pada setiap tanggal sekian di rekening saya akan masuk uang sejumlah tertentu. Dengan kepastian tersebut saya bisa dengan mudah menentukan ini itu dalam hidup saya. Misalnya, ketika menjelang tanggal tua, dan uang di dompet menipis, saya bisa saja datang ke keluarga atau kenalan untuk meminjam uang sambil mengemukakan kepastian yang saya punya: Saya pinjam uang segini ya, nanti tanggal segini pasti saya bayar karena itulah tanggal kepastian uang akan saya dapatkan. Pasti gitu lho. Atau kalau fase utang kiri kanan seperti itu sudah terlewati, maka orang-orang yang seolah memiliki kepastian tersebut bisa lebih keren lagi. Dengan sangat mudah mengajukan pembuatan kartu kredit, sehingga belanja tidak lagi menjadi masalah, tinggal gesek, nanti pembayarannya akan dipotong dari rekening yang saban tanggal sekian pasti akan ada uang masuk. Atau kalau mau ditumpuk-tumpuk utang dari kartu kredit itu juga bisa, asal, misalnya, bisa ngakalin bank dengan ngasih nomor telepon lain sebagai bemper, agar siapa pun yang menerimanyalah yang disibukkan oleh tagihan terus menerus dari debt collector. Atau, lebih mentereng lagi, datanglah ke dealer motor atau mobil, mengajukan

kredit pembelian kendaraan sambil memperlihatkan berapa uang yang pasti didapatkan saban bulan. Maka dengan kepastian tersebut, dealer pun akan mengabulkan. Untuk mereka yang menjadi PNS, bisa lebih nikmeh lagi. Saat SK PNS sudah berada di tangan, silahkan bawa SK itu ke Bank dan ajukan permohonan untuk membeli rumah, misalnya, atau apa pun. (Jangan sewot ya, biar pun saya karyawan swasta, tapi istri saya adalah PNS tulen, dan ibu bapak kandung saya malahan pasangan PNS tulen.) Mungkin Anda masih ingat beberapa waktu yang lalu, para anggota DPRD yang baru dilantik berbondong-bondong mendatang BPD Jabar untuk menggadaikan SK mereka agar mendapatkan pinjaman guna melunasi hutang piutangnya sewaktu kampanye jor-joran beberapa waktu lalu (gali lubang, tutup lubang). Memang tidak mengherankan, karena yang lebih sering menggiurkan saat menjadi PNS adalah, selain kepastian saban bulan, juga tunjangan dan asuransi ini itu yang bisa mengurangi sekian varian ketidakpastian dalam kehidupan. (Bahkan ada yang sedemikian terobsesi mendapat pekerjaan sebagai anggota DPR/D hingga ketika tidak terpilih mereka lalu jeprut, depresi, gila atau bahkan bunuh diri karena terlilit hutang yang gagal dilunasi dengan sebuah kepastian di genggaman tangan.) Nah, dengan sekian banyak kepastian yang rasanya berada di genggaman tangan, jujurkah apabila lisan saya berkata sambil merendah kepada orang lain Ah rejeki kan di tangan Tuhan? Kok saya merasa ucapan seperti itu lebih menyerupai kampanye gombal ala pemilu. Di mana kebergantungan saya kepada Allah dalam masalah rejeki ketika, seminimalnya, uang sejumlah sekian sudah pasti masuk rekening saya setiap bulan. Sangat berbeda sekali keadaan saya dengan para pedagang kecil yang saban hari berangkat ke tempatnya berjualan dengan sekian ketidakpastian. Rasanya, di lisan merekalah perkataan bahwa Rejeki itu di Tangan Tuhan benar-benar bunyi. (Bahkan dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw menyuruh kita untuk benar-benar menaruh respek terhadap mereka yang harus bekerja keras dan berat untuk mendapatkan penghidupannya.) Dari situ, tabiat para pedagang kecil memukul-mukulkan uang sambil berkata penglaris, penglaris bukan lagi menjadi hal yang menggelikan, tapi bisa lebih merupakan sebentuk sindiran lugu dari mereka yang memiliki kesempatan besar untuk benarbenar bergantung kepada Tuhan ihwal rejekinya bagi saya, atau pun mungkin Anda, yang sudah terlalu terbiasa menggenggam kepastian di tangan setiap bulan. Terakhir, salam saya untuk para pedagang kecil itu, dan juga bagi teman-teman di FB ini yang memilih hidup dalam jalur ketidakpastian tersebut, bersyukurlah karena Anda memiliki sesuatu yang berharga yaitu kesempatan lebih besar untuk benar-benar mengalami dan menghayati bahwa Rejeki itu Di Tangan Tuhan ketimbang orang-orang seperti saya yang terbiasa seolah menggenggam kepastian di tangannya. Mohon maaf kalau ada silap kateu. Wassalam.

Keep Your Mind Thinking: Yang Bisa Saya Rumuskan Per Hari ini Tentang Menulis Ilmiah
Saya ingat bahwa sejak awal belajar menulis, saya sudah memulainya dengan nekad menuliskan analisis sok ilmiah. Tulisan utuh pertama saya adalah tentang jilbab yang dikaitkan dengan semiotika dan budaya populer. Tulisan tersebut sangat emosional dan buruk sekali. Dengan percaya dirinya saya kirim tulisan itu ke Republika. Hasilnya? Jelas ditolak mutlak. Namun tulisan ini kemudian berevolusi terus menerus setiap tahun hingga akhirnya memanjang menjadi 30an halaman dan di muat di Jurnal IIIT. Kemudian saya revisi lagi dan masuk dalam antologi Menggeledah Hasrat. Hanya itu saja dari tulisan awal saya yang berevolusi terus menerus, tulisan-tulisan awal lainnya pada umumnya sudah hilang entah ke mana. (Lagi pula kalau membacanya lagi pastilah memalukan.) Selain emosional, tulisan-tulisan saya di fase awal sangatlah divergen. Panjang sekian puluh halaman, penuh kutipan dan saduran, namun tidak ada fokus dan kesatuan tema. Selama bertahun-tahun saya selalu menulis dengan cara seperti itu. Namun, karena bantuan dan masukan dari sekian banyak teman yang cerdas dan berbakat dengan mengedit dan memberi saran tentang bagaimana sebaiknya saya menulis, sedikit demi sedikit mulai ada perbaikan. Ketertarikan terhadap yang sok ilmiah itu juga terlihat pada saat menerjemahkan buku di Mizan. Saya lebih memilih buku yang membahas suatu topik ilmiah (Posmodernisme dan Cultural Studies) sekali pun disajikan secara populer. Dan saat ini, saya bekerja sebagai editor yang salah satu tugasnya menangani naskah penulis lokal khusus kajian humaniora. Nah, dengan sepenggal pengalaman menulis itu, dan beberapa pengamatan pribadi saat mengedit buku penulis lokal, saya mencoba memberanikan diri memaparkan apa yang saya mengerti per hari ini tentang menulis ilmiah. Terlihat pada judul tulisan ini bahwa saya memang memplesetkan slogan yang sangat sering dipakai oleh Anwar Holid: Keep Your Hand Moving. Plesetan ini selain buat lucu-lucuan, sebenarnya juga untuk menekankan aspek yang berbeda dari menulis ilmiah. Slogan Keep Your Hand Moving mengisyaratkan suatu keproduktifan membuat tulisan, bahkan kalau bisa dilakukan setiap hari. Istilah kerennya prolifik. Apakah menulis ilmiah pun harus dilakukan saban hari (mengikuti nasihat Mas Hernowo)? Jenis-jenis tulisan itu bermacam-macam. Ada tulisan personal, ada yang sastrawi, ada yang ilmiah dan lain sebagainya. Tulisan personal adalah salah satu tulisan yang bisa dilakukan setiap hari. Namun keprolifikan serupa tidak bisa dituntut dalam menulis ilmiah. Untuk menulis ilmiah yang baik, orang perlu membaca, merenung panjang dan menyusun argumen yang sistematik dan tajam. (Belum lagi kalau mau menulis kajian filsafat, untuk memahami buku rujukan yang dipakai sebagai bahan menulis membutuhkan waktu yang tidak sebentar.) Kesemua proses menulis ilmiah itulah yang saya rumuskan menjadi keep your mind thinking. Di dunia ilmiah banyak pemikir besar yang sepanjang hidupnya hanya menghasilkan sedikit buku atau tulisan, namun meski pun terbilang tidak prolifik, pemikiran mereka mengubah paradigma pada masa berikutnya. Contoh paling ekstrim adalah Ferdinand de Saussure yang dinobatkan menjadi bapak linguistik modern dan pencetus semiologi (sekarang lebih dikenal dengan istilah semiotika) justru melalui buku yang tidak pernah ditulisnya. Buku Pengantar

Linguistik Umum yang monumental serta mengubah wajah filsafat dan linguistik abad 20 itu hanyalah catatan kuliah dari para murid yang kemudian mereka kumpulkan dan rangkai menjadi sebuah buku legendaris. Saya ingat sebuah cerita. Suatu ketika Einstein tengah berada di sebuah pesta dan dia melihat seorang fisikawan yang selalu sibuk mencatat dengan membawa notes. Einstein bertanya kepada fisikawan tersebut tentang kebiasaannya itu. Sang fisikawan menjelaskan bahwa itu membantunya untuk bisa selalu sigap mencatat setiap lintasan ide yang melintas di benaknya, sehingga bisa dia catat dan tuliskan nantinya. Sang fisikawan menganjurkan Einstein untuk mencobanya juga. Einstein berkata: Entahlah apa itu berguna buat saya, karena saya hanya punya satu ide sepanjang hidup saya. Dalam dunia ilmiah, biasanya pemikir besar memang hanya memiliki satu ide besar yang kemudian dia kembangkan dan beranak-pinak menjadi sekian buku atau tulisan. Tak jarang dalam perjalanan karirnya, sang pemikir bisa merevisi pemikiran-pemikiran terdahulunya (itulah pentingnya mencantumkan tanggal dalam setiap tulisan agar para kritikus mengetahui dan memahami evolusi pemikiran sang penulis ilmiah tersebut). Jadi, dalam menulis ilmiah, keprolifikan bukanlah hal yang didewakan. Ketajaman tawaran pemikiran dalam tulisan itulah yang lebih didewakan. Kalau Anda ingin menulis yang sastrawi (juga termasuk esai personal), maka kemampuan memikat melalui craft kata-kata mutlak diperlukan. Sementara dalam dunia menulis ilmiah, craft kata-kata untuk membuat tulisan yang memikat bukanlah hal utama. Contoh paling ekstrim dari hal ini adalah Max Weber. Melalui bukunya yang membahas tentang Kapitalisme dan Etika Protestan, Max Weber menancapkan pengaruhnya yang panjang hingga hari ini dalam dunia sosiologi dan bidang humaniora lainnya. Namun, ada satu hal yang memprihatinkan dari Max Weber: tulisannya buruk sekali. Aneh bukan? Seseorang bisa mempengaruhi dunia pemikiran justru melalui tulisan yang kualitasnya nyaris dodol. Tapi itulah dunia menulis ilmiah. Kalau boleh saya menganalogikannya, menulis ilmiah itu menyerupai percakapan William Wallace dengan pamannya dalam film Brave Heart. Dalam suatu upacara peringatan para pahlawan perang Skotlandia di malam hari, Wallace kecil tampak tertarik pada pedang pamannya. Mengetahui hal itu, pamannya berkata kepada Wallace kecil: Kamu bisa membaca? Wallace menggeleng. Kemudian pamannya berkata: Pertama-tama aku akan melatih kamu menggunakan ini (sambil sang paman menyentuhkan telunjuknya ke jidat Wallace), setelah itu baru aku akan melatih menggunakan ini (sambil sang paman mengacungkan pedangnya). Ya, menulis ilmiah itu yang paling utama adalah Anda melatih kemampuan berpikir analitis-teoretik terlebih dahulu, soal skill menulis itu bisa dilatih belakangan. Dan tidak perlu ngotot untuk prolifik, dahulukanlah ketajaman analisis-teoretik. Demikian. Wassalam. Mohon maaf kalau ada silap kateu.

Orang yang Menyadari Kematian


(Sebuah kisah yang diciptakan oleh Abu Yazid Al-Busthami, seorang quthb al-awliyya, yang semoga bisa memberi kita sedikit peringatan bahwa betapa tipisnya jarak antara kita dengan kematianMungkin dengan begitu kita juga bisa mulai belajar untuk tidak cengeng menghadapi segala hal yang kita namai sebagai penderitaanToh, untuk membentuk sebuah pedang, maka besi pun harus dibakar hingga sepanas api terlebih dahulu untuk kemudian dipukul berulang kali, itulah hukum kehidupan manusia...Semoga Dia menguatkan siapa pun yang kini tengah ditempa-Nya. Amin) Pernah ada seorang darwis yang berangkat mengadakan perjalanan melalui laut. Ketika penumpang-penumpang lain memasuki perahu satu demi satu, mereka melihatnya dan mereka pun meminta nasihat kepadanya. Nasihat yang diberikan para darwis umumnya sama, yakni mengingatkan perkara yang menjadi perhatian darwis sepanjang masa: Cobalah menyadari maut, sampai kau tahu maut itu apa. Hanya beberapa penumpang saja yang secara khusus tertarik akan peringatan itu. Mendadak ada angin topan menderu. Anak kapal maupun penumpang semuanya berlutut, memohon agar Tuhan menyelamatkan perahunya. Mereka terdengar berteriak-teriak ketakutan, menyerah kepada nasib, meratap mengharapkan keselamatan. Selama itu sang darwis duduk tenang, merenung, sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap gerak-gerik dan adegan yang ada di sekelilingnya. Akhirnya suasana kacau itu pun berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar kini betapa tenang darwis itu selama peristiwa ribut-ribut itu berlangsung. Salah seorang bertanya kepadanya, Apakah Tuan tidak menyadari bahwa pada waktu angin topan itu tak ada yang lebih kokoh daripada selembar papan, yang bisa memisahkan kita dari maut? Oh tentu, jawab darwis itu. Saya tahu, di laut selamanya seperti itu. Tetapi saya juga menyadari bahwa kalau saya berada di darat dan merenungkannya, dalam peristiwa sehari-hari biasa, pemisah antara kita dengan maut itu lebih rapuh lagi.

Kesempitan dan Kesenangan


Dalam film Matrix diceritakan bahwasanya terjadi peperangan antara AI (Artificial Intelligent) dengan manusia. Manusia menciptakan awan hitam yang menutupi langit bumi dari sinar matahari yang merupakan sumber energi utama AI. Tidak kurang akal, AI pun menciptakan peternakan manusia yang dimatisurikan dalam tabung-tabung, dan pikirannya diberi simulasi realitas bernama Matrix. Peternakan manusia itu berfungsi untuk memberi suplai energi dari panas tubuh manusia, pengganti matahari, bagi AI. AI pun melakukan penelitian seksama atas tubuh manusia, mengenai berbagai syaraf yang menstimulus reaksi-reaksi tertentu. Awalnya, AI menciptakan dunia Matrix yang sempurna, tanpa penderitaan dan berbagai hal tidak menyenangkan bagi manusia. Hasilnya? Panen gagal! Ai terpaksa mencipta ulang realitas Matrix lengkap dengan penderitaan. Namun dengan sinis, AI mengomentari hal tersebut: Rupanya otak primitif kalian membutuhkan penderitaan dan sebagainya Menarik sekali kesimpulan AI tersebut. Tampaknya, untuk menjalani hidup ini, manusia memang harus berjalan berdampingan dengan sekian hal tidak menyenangkan, atau lebih umum bisa kita sebut sebagai kesempitan. Pernah secara berseloroh, seorang teman kuliah dulu berkata: Masalah saya adalah saya tidak mempunyai masalah. Lucu, walau pun memang kelihatan sekali kebohongan lelucon tersebut. Siapakah di antara semua friend saya di FB ini yang tidak punya masalah sama sekali saat ini? Tidak punya masalah? I dont buy it. Setiap manusia itu lahir kembar dengan masalah dan mati dengan membawa dan akan menghadapi sekian juta masalah lagi di alam seberang sana, dan seterusnya. "Problem is our middle name". Kita semua punya jutaan cadangan masalah di masa depan. Seharusnya tidak perlu iri dengan keadaan orang lain, karena toh sebenarnya sedang sama-sama memendam masalah yang belum selesai, menahun, pura-pura dilupakan, atau bahkan yang sedang menampakkan diri dengan jentre. Tapi, uniknya, yang namanya kesempitan itu seringkali malah berguna untuk memperlihatkan daya survive, ketangguhan serta kreativitas dan kecerdasan manusia. Hal ini paling mudah kita lihat dalam sejarah, sekian banyak represi yang dijalankan oleh rezim-rezim kejam terhadap suatu kaum, malah memunculkan suatu keunggulan tersendiri. Bangsa Yahudi ditekan di Jerman (sebelum berakhir dengan genocide oleh Nazi) untuk tidak boleh berkecimpung di bidang lain selain seni. Tapi, apa yang terjadi? Siapa orang desain dan seni yang tidak mengenal nama Bauhaus? Sebuah sekolah yang melahirkan sekian prinsip pendidikan dasar seni dan desain, sehingga memicu sekian metode dan gaya dalam seni dan desain, dan sampai hari ini jejaknya masih ada di depan hidung Anda sendiri, dalam nyaris setiap benda manufaktur yang mengelilingi kehidupan Anda sehari-hari. Begitu pula ketika terjadi represi di Rusia, banyak bermunculan sastrawan besar justru karena pembatasan kebebasan berkarya. Di Indonesia kita bisa melihata bagaimana orang Cina ditekan hanya boleh berdagang, dan lihat hasilnya, merekalah yang menguasai perekonomian Indonesia. Kesempitan tersebut bisa terjadi bukan hanya karena unsur politik, tapi banyak hal, bahkan faktor kondisi alam. Bayangkan negara-negara Eropa yang seringkali berada dalam 4 musim yang sering membatasi aktivitas kesehariannya, sehingga bisa dipahami jika musim panas seringkali menjadi saat yang paling dirayakan, karena di saat itulah orang bisa dikatakan bebas untuk beraktivitas tanpa harus terganggu oleh iklim. Namun, kesempitan yang dimunculkan oleh

alam juga memaksa orang-orang yang hidup di daerah tersebut harus berpikir keras untuk survive. Rasanya tak terbayangkan oleh saya, University of Industrial Art of Helsinsky, Finlandia, pernah mengadakan seminar tentang Semantika Desain saat mereka tengah digempur badai salju yang membuat suhu di luar berkisar -36 derajat celcius. Sedingin itu suhu yang harus mereka hadapi di alamnya. (Bandingkan dengan kita yang hidup di negeri serupa surgameski belakangan kita sadar juga betapa kita sebenarnya hidup di atas bumi yang mudah menggeliat sewaktu-waktu...semoga memaksa bangsa yang lembam dalam berpikir ini untuk bangkit) Kesempitan itu bisa juga berupa keterbatasan harta benda. Karena saban tahun saya harus selalu datang beberapa kali ke Yogya untuk urusan pekerjaan, saya bisa merasakan satu hal yang cukup kontras dibandingkan dengan Bandung. Di Yogya, biaya hidup relatif murah. Saya bisa makan soto ayam plus es jeruk dengan biaya hanya berkisar Rp. 5000 atau Rp. 6000. Jangan pikirkan makan siang macam apa yang bisa Anda dapatkan dengan uang sebesar itu di Jakarta! Nah, dengan biaya hidup yang relatif rendah tersebut, ternyata sebagian besar mahasiswa Yogya masih juga hidup secara lebih sederhana lagi. Pada saat bulan Ramadhan, banyak mahasiswa biasa berkumpul di masjid Kauman atau Malioboro agar bisa mendapatkan tajil gratis, sehingga uangnya bisa mereka sisihkan untuk membeli buku! Ketika uang tidak punya, maka berpikir adalah hal gratis yang bisa dilakukan, mungkin seperti itu. Karenanya, tidak heran apabila di Yogya, antusiasme terhadap keilmuan di kalangan para mahasiswa berhidup sederhana tersebut jauh lebih besar daripada umumnya mahasiswa yang relatif berkecukupan di Bandung atau Jakarta. (Saya sendiri sudah tidak berminat lagi untuk menyelenggarakan bedah buku atau seminar di Bandung, karena pasti tidak laku dan sepi peserta, kayaknya untuk mahasiswa Bandung mendingan bikin acara obral baju sisa eksport biar rame...) Singkatnya, dalam banyak hal, kesempitan yang datang menemani kehidupan manusia seringkali lebih manjur sebagai obat dan efektif untuk memberi stimulus agar ketangguhan dan kemampuan yang terpendam dalam diri manusia bisa keluar. Menyerupai tube odol. Kalau kita menekan tube-nya, maka dari dalamnya akan keluar odol putih yang berguna untuk menyegarkan dan membersihkan gigi. Mari lihat sekilas Amerika. Negara ini adalah negara maju yang makmur, the land of free. Siapa pun bisa bebas melakukan apa pun selama tidak melanggar hak orang lain. Setiap anak muda yang sedang liar-liarnya, atau orangtua yang tidak kunjung dewasa, lazimnya mendambakan kebebasan ala Amerika. Apa pun tersedia, mau sebebas apa pun bisa. Namun, apa hasilnya? Generasi X yang malas sekolah, tidak berpengetahuan, hanya ingin bersenang-senang, party all night, dan akhirnya malah menjadi manusia-manusia rapuh. Teman saya yang berprofesi sebagai dokter gigi di sana pernah menelepon saya cukup lama dan bercerita bagaimana jengkelnya dia pada Generasi X, yang bahkan untuk sikat gigi pun malas. Dia sampai mendamprat orangtua anak tersebut karena membiarkan anaknya semalas itu. Kata teman saya, itu terjadi karena para orangtua mereka. Sebenarnya orangtua tersebut adalah generasi yang lahir dari suatu masa yang tidak mudah di Amerika, mereka harus survive dan bekerja matimatian untuk mencapai kesuksesan. Apa yang terjadi setelah mereka sukses? Mereka memandang bahwa masa lalu mereka yang sulit dahulu adalah sesuatu yang tidak mengenakkan. Mereka tidak ingin anak-anaknya mengalami kesulitan seperti mereka dahulu. Karena itu, mereka pun mati-matian ingin membahagiakan anak-anaknya dengan sekian kemudahan dan kemewahan material. Mereka lupa bahwa justru semua kesempitan yang

mereka alami dulu itulah yang mencetak mereka menjadi punya daya survive. Hal seperti ini pernah diangkat pula oleh Oprah Winfrey dalam salah satu episodenya. Oprah bertanya, bagaimana masa depan Amerika di generasi yang rapuh seperti ini? Well, ternyata kesempitan lebih banyak manfaatnya ketimbang berbagai kesenangan yang melenakan. Sewaktu kuliah di ITB dulu, bayaran kuliah per semester relatif masih murah, yaitu Rp. 240.000. Dengan bayaran sebegitu, saya masih mendapati banyak teman-teman yang hidup sangat sederhana: mengontrak di kamar kos yang kumuh dan tidak mendapat cahaya matahari, perabotan kamar yang seadanya, makan dengan menu sederhana, dan berbagai kesederhanaan lainnya. Namun, kalau saya bertemu dengan mereka saat ini, sebagian besar sudah bisa hidup dengan layak, atau bahkan mapan. Semoga mereka (dan juga saya) tidak lupa bahwa dulu, kehidupan penuh keterbatasan dan kesempitan adalah hidup yang banyak menempa mereka untuk survive. Namun, hal unik lainnya dari manusia, bahwa meskipun secara lahir dan batin dia membutuhkan kesempitan dalam kehidupannya, secara paradoks mereka menciptakan tradisi curhat. Seolah hanya kesempitanlah yang bisa dibagi dengan orang lain, sementara kebahagiaan hanya untuk dinikmati seorang diri. Di mana-mana kita mudah mendapati orang yang curhat ini itu kepada orang lain, bahkan di FB. Ada yang misterius memang. Umumnya setelah mengungkapkan kesempitan diri, sang pelaku curhat bisa merasa lega. Tapi, sebenarnya sebanyak apa manusia butuh curhat? Apakah saban kali dia bertemu kenalan yang di rasa dekat, maka meluncurlah curhatan demi curhatan? Apalagi sekarang ada FB yang seringkali juga menjadi sarana pelampiasan curhat dan hampir bisa dipastikan akan mendapat tanggapan. Sejujurnya, saya pun tidak tahu sebanyak apa manusia butuh curhat (termasuk untuk diri saya sendiri)? Saya teringat seorang filsuf pencetus eksistensialisme, Soren Aabye Kierkegaard yang menulis: People demand freedom of speech as a compensation for the freedom of thought which they seldom use. Mohon maaf kalau saya berkesimpulan bahwa di FB saya lebih sering melihat orang berbicara trivia things untuk merayakan kebebasan berbicara, ketimbang untuk berbagi sesuatu yang bisa kita renungkan bersama yang berguna untuk menjalani hidup sehari-hari. Tapi, secara umum pun dalam kehidupan sehari-hari saya masih sering berpikir: seberapa banyak manusia butuh curhat, kalau dalam kenyataannya, berbagai kesempitan hidup yang dihadapinya malah lebih sering berguna sebagai obat dan pengasah diri? Manusia memang paradoks. Dia tidak bisa hidup tanpa masalah karena sudah kadung "lahir kembar" dengan masalah, tapi dia pun tetap menciptakan wahana curhat manakala dia menghadapi masalah, dan tidak berhenti sampai di situ, mereka pun ingin melindungi orangorang yang dicintainya dari berbagai masalahpadahal masalah pulalah yang membuatnya survive dan keluar kemampuan untuk melampauinya. Ya itulah manusia. Dan saya juga tidak menyangkal bahwa saya pun menjalani paradoks tersebut: berteman akrab dengan masalah sekaligus butuh curhat sebagai pelepasan namun seringkali ingin melindungi anak dan istri saya dari berbagai keterbatasan dan kesempitan yang saya pandang tidak menyenangkan seperti yang pernah saya alami.[]

Dosa Besar itu Bernama Keluh Kesah


Semalam aku bersumpah pula, kuangkat sumpah demi hidup-Mu, Bahwa aku tak akan pernah memalingkan mataku dari wajah-Mu; bila Kau memukul dengan pedang, aku tak akan berpaling dari-Mu. Aku tak akan mencari sembuh dari yang lain, karena kepedihanku ialah lantaran perpisahan dengan-Mu. Bila Kau mesti melemparkan aku ke dalam api, aku bukan mukmin bila aku mengeluh. Aku bangkit dari jalan-Mu bagai debu; kini aku kembali ke debu jalan-Mu. Dalam sebuah hadis, sayang saya hanya ingat redaksi umumnya, Rasulullah saw bersabda betapa herannya beliau terhadap keluh kesah manusia ketika mereka ditimpa kesakitan, karena seandainya manusia itu tahu bahwa kesakitan yang menimpanya merupakan wahana pembersihan, sehingga nanti saat manusia tersebut menghadap Tuhan sudah dalam keadaan bersih, maka tentu mereka akan senang menerimanya. Ketangguhan untuk menerima kesakitan apa pun sebenarnya terlihat jelas juga di kalangan sufi (dan terutama para nabi). Rasanya tak jarang para sufi dipandang secara melankolik sebagai orang yang asyik berpuisi-puisi cinta dengan Tuhan dan tidak pernah berbuat banyak dan nyata untuk manusia di sekitarnya (Insya Allah, kalau ada waktu dan umur saya ingin sekali menuliskan betapa dodolnya stereotipe klise lagi basi ini, Insya Allah). Sekarang coba perhatikan puisi Rumi di atas, apakah Anda bisa menangkap ketangguhan yang dahsyat dalam puisi tersebut? Coba amati bait kunci Bila Kau mesti melemparkan aku ke dalam api, aku bukan mukmin bila aku mengeluh. Bahwa semua ungkapan cinta kepada Tuhan yang banyak bertebaran dalam puisi Rumi (dan juga sufi lainnya) diimbangi dengan kesediaan mereka untuk menerima apa pun yang diperbuat Allah sebagai sang kekasih terhadap mereka sebagai para pecinta. Setiap orang bisa saja dengan mudah mengatakan aku mencintai Rasulullah dan Allah, tapi tamparan keras dalam kehidupan yang mengunjunginya sehingga terlahirkanlah keluh kesah baik di lisan mau pun dalam hati menunjukkan betapa cinta itu sebenarnya belum meresap. Apabila dibaca kisah hidup Rumi, sebenarnya terlihat jelas bahwa dia pun menghadapi sekian banyak ujian, namun tak ada keluh kesah yang terungkap dalam puisinya, semata cinta kepada Allah. Padahal dia harus menghadapi sekian fitnah dan kedengkian dari kalangan muridnya karena pertemanannya dengan Syamsi Tabriz, dia harus menghadapi kenyataan bahwa anak sulungnya pun beroposisi terhadapnya (bahkan Schimmel mencatat bagaimana Rumi pun tidak bisa ikut menguburkan anak sulungnya tersebuttentu hal ini cukup menyakitkan bagi seorang ayah), dan sekian banyak fitnahan lainnya dari lingkungan sekitarnya. Ketangguhan seperti ini bisa kita lihat juga dalam Mazmur yang ada di Alkitab milik umat Yahudi dan Nasrani. Mazmur itu merekam sekian madah dari Nabi Dawud as. Sebagaimana kita ketahui Rasulullah Saw sendiri pernah mengungkapkan bahwa dalam hal tertentu Nabi Dawud diuji lebih berat dari beliau Saw. Rasulullah memiliki keluarga dan sahabat yang taat padanya dan Allah. Sementara Nabi Dawud Saw, setelah menikah dengan anaknya Thalut (atau Saul dalam Alkitab), harus menerima keadaan bahwa dirinya difitnah hendak mengkudeta Thalut sehingga selama

sekian tahun harus melarikan diri dari Thalut. Berulangkali Dawud memperlihatkan bahwa mudah saja baginya untuk membunuh Thalut, namun dia tidak mau melakukannya. Kemudian bagaimana dia dikhianati oleh istri-istrinya, bagaimana dia harus kehilangan sahabatnya, Yonatan, yang adalah kakak iparnya (putranya Thalut) karena mati dalam peperangan. Bagaimana dia harus menerima pengkhianatan dari teman-teman semeja makannya, bagaimana dia harus menghadapi kenyataan bahwa Absalom, anaknya, telah membunuh seorang saudara tirinyasaya lupa namanyakarena telah berbuat tidak senonoh terhadap adiknya Absalomsaya juga lupa siapa namanya (maklum, lagi di kantor dan gak megang Alkitab). Tidak hanya itu, Absalom pun di kemudian hari malah memerangi bapaknya hingga dia sendiri mati. Tidak cukup sampai di situ, Dawud pun harus melakoni skenario peristiwa dirinya merebut Batsyeba dari Uriah, kemudian bagaimana Dawud dimintai putusan apa hukuman bagi perkara seseorang yang memiliki 99 kambing malah mengambil satu kambing milik orang lain. Saat Dawud menjatuhkan apa putusan hukuman bagi si perebut satu kambing milik orang lain tersebut, sebenarnya Dawud tengah menjatuhkan hukuman untuk dirinya sendiri. Dan sekian anak yang lahir dari rahim Batsyeba akan meninggal, namun, Allah memang sebaik-baiknya Sutradara, justru dari Batsyeba inilah lahir seorang nabi Sulayman, dan bukan dari istri-istri lainnya yang dinikahi bukan dengan cara sekontroversial Batsyeba. Percayalah, kalau membaca seksama kisah hidup Dawud dari sumber-sumber yang ada di agama Semit, kita bisa agak sesak dada membayangkannya dan mengerti mengapa Rasulullah Saw sampai mengatakan bahwa Nabi Dawud memang diuji sekian hal yang lebih berat dari Rasulullah Saw. Dengan brilian, Ibn Arabi dalam Fushush Al-Hikam memaparkan bahwa dari namanya saja kita bisa tahu bahwa nama Muhammad dalam bahasa Arab ditulis dengan huruf yang saling tersambung, berbeda dengan nama Dawud yang ditulis terpisah-pisah antar tiap huruf, yaitu Dal, Alif, Wau, Dal, yang menunjukkan bagaimana kehidupan Dawud itu sendiri terpenggal-penggal oleh sekian ujian seperti yang bisa kita saksikan dalam alur kehidupannya. (Kalau ada yang kemudian mengomentari paparan Ibn Arabi itu dengan sok hermeneutis, Ah, itu kan cuma metode menafsirnya IbnArabi aja, maka saya cuma bisa berkomentar, Kasihan sekali, terjebak hanya oleh satu cara pikir saja, seperti orang yang cuma punya palu, dan hanya palu, sehingga melihat segala hal sebagai paku) Nah, kembali kepada Mazmur, silahkan simak madah demi madah yang tertuang di dalamnya, adakah keluh kesah terlontar dari Dawud karena sekian prahara kehidupan yang harus dihadapinya? Adakah keluh kesah karena dirinya didzalimi oleh si anu dan si anu? Itulah ketangguhan dan kekuatan sebenarnya namun seringkali teralihkan karena terbungkus oleh bentuk ungkapan-ungkapan puitis, sama seperti puisi-puisi Rumi mau pun sufi lainnya. Dalam puisinya, Rumi bahkan mengaitkan keluh kesah dengan ketidakberimanan. Itulah sebabnya, di kalangan para sufi, keluh kesah itu termasuk dosa besar yang susah untuk dibersihkan. Apabila hati itu seperti bola kaca, maka ada dosa-dosa yang menyerupai lumpur yang menempel dan membentuk kerak di luar bola kaca tersebut. Dengan air, lumpur itu bisa kembali dibersihkan. Namun, ada dosa-dosa yang begitu halus dan kecil seperti molekul, yang masuk ke dalam pori-pori bola kaca dan mengendap di bagian inti bola kaca. Keluh kesah termasuk dosa yang halus seperti itu, karena kaitannya dengan akidah seseorang terhadap Allah. Bagaimana cara membersihkannya? Bola kaca itu harus dibedah dan dibersihkan bagian dalamnya. Maka tak heran, bagi kalangan pecinta Alah, keluh kesah termasuk dosa besar.

Kenapa? Banyak sufi, salah satu yang saya ingat adalah Abdul Qadir Jailani, menyatakan hal yang kurang lebih sama. Begini kurang lebih. Apabila kita mengenal sekian orang, kita umumnya membuat semacam identifikasi bahwa si A itu pengghibah, si B itu pemarah, si C itu tidak percaya diri di banyak hal, dan sebagainya. Kenapa identifikasi itu lahir? Karena dalam interaksi, kita melihat bahwa itulah karakteristik yang paling dominan pada diri orang-orang tersebut. Nah, dalam hal ini, Allah Taala mengidentifikasi Diri-Nya sebagai Rahman dan Rahim, yang berarti menunjukkan bahwa dua asma itulah yang paling dominan pada Dia. Dua asma itulah yang paling dibanggakan-Nya sehingga diabadikan dalam rajanya doa, yaitu Bismillahi Rahmani Rahimi. Dengan Rahman dan Rahim-Nya itu pulalah maka Dia selalu menegaskan bahwa Dia hanya memberikan yang terbaik bagi manusia. Ibn Arabi mengutarakan bahwa Allah memiliki dua Tangan, Tangan Kanan merepresentasikan Kepemurahan-Nya, dan Tangan Kiri merepresentasikan Kemurkaan-Nya, padahal, kata Ibn Arabi lagi, sebenarnya kedua Tangan tersebut hanyalah Tangan Kanan belaka. Nah, karena itu, sebuah keluh kesah yang terlontar pada seseorang yang mengaku sebagai pecinta Allah, atau setiap orang yang mengaku berimanseperti disinggung Rumi di atas secara langsung sebenarnya merupakan sebentuk ketidakmenerimaan atas segala hal yang menghampiri dalam kehidupannya sekaligus tudingan bahwa Allah Taala tidak adil. Sebuah keluh kesah secara langsung menghapuskan asma Rahman dan Rahim dari Allah Taala, padahal kedua asma itulah yang paling dibanggakan-Nya, asma yang mengidentifikasikan sifat dominan Diri-Nya. Di sinilah saya selalu loyo sekaligus kagum kalau melihat bahwa para pecinta Allahpara sufi sejati juga para nabibenar-benar mengajarkan tentang ketangguhan dan keberserahdirian yang gila-gilaan. Sejujurnya, meskipun masih bermental gombal dan berwatak munafik kronis lagi akut, tapi saya selalu kabita melihat kemilitanan para sufi dan nabi tersebut dalam mencinta dan tangguh menerima apa pun. Tidak salah kan? Ketangguhan untuk tidak berkeluh kesah itu memang tidak mudah. Tidak pernah ada yang mengatakan hal itu mudah. Misalnya, saat menyaksikan berbagai berita tentang gempa di tanah kelahiran, saya seringkali tidak tahan dengan beberapa narasi pembawa berita yang terlalu membimbing saya untuk akhirnya berkeluh kesah dan cenderung tidak menerima. Terlebih hal itu menimpa sebagian saudara saya juga. Saya juga tidak bisa mengiyakan begitu saja bahwa itu semua adalah azab dari Allah, karena pada kenyataannya saya juga tidak tahu apa Kehendak Dia atas peristiwa ini. Saya juga tidak mau menjadi terlalu sok saintis dengan memaparkan gempa tersebut secara sok ilmiah dan seolah memperlihatkan kewarasan nalar-padahal sebenarnya lebih mirip mati rasadalam banyak pembicaraan. Saya lebih membutuhkan penguatan seperti ketika di berita tampil seorang Bapak yang berdiri di depan sekolah anaknya yang ambruk, dan dia belum tahu apakah anaknya masih hidup ataukah sudah mati. Tapi dia malah berkata, Kalau pun anak saya sudah mati, tidak apa-apa, Allah rupanya lebih sayang pada anak saya. Saya tidak bisa lupa hal itu hingga hari ini. Saya hanya membayangkan apakah kalau hal itu menimpa saya, bisakah saya berkata seperti Bapak itu? Menyusul lagi sebuah berita tentang seorang lelaki yang kehilangan semua keluarganya. Kini dia sebatang kara. Saya kembali tersentak, kalau saya dalam posisi lelaki tersebut, akankah saya masih berpegang bahwa Allah itu Rahman dan Rahim. Dari situ, saya kembali teringat kepada para pecinta Tuhan, kepada para sufi dan nabi yang begitu militan dalam mencintai Allah dan tidak berkeluh kesah. Betapa dalam kondisi kematian yang begitu mudah menjemput kita,

ketika bumi yang kita pijak kini begitu mudah menggeliat sewaktu-waktu tanpa kita ketahui, maka ketangguhan untuk bisa menerima apa pun dalam kehidupan ini, seperti yang diperlihatkan para sufi dan nabi tersebut, benar-benar menjadi semakin "ngabibita. Wallahu alam bi shawwab. Mohon maaf kalau ada silap kateu. Wassalam. (Ya Allah, ampuni kalau melalui tulisan ini, kemunafikanku malah menjadi sumber fitnah bagi khazanah agama-Mu yang agung tersebut, semoga Engkau berkenan memudahkanku untuk senantiasa menjadi lebih baik hari demi hari. Amin.)

Umar bin Al-Khaththab pun Memekik Pedih dan Perih


Rasulullah Saw hari itu sedang menjadi imam shalat isya di Masjid Nabawi, Madinah. Para sahabat yang menjadi makmum kala itu, antara lain Umar bin Al-Khaththab, merasa gelisah melihat keadaan Rasulullah Saw yang menurut mereka sedang sakit. Buktinya, setiap kali menggerakkan tubuh untuk ruku, sujud, dan sebagainya, senantiasa kedengaran suara keletakkeletik, seakan tulang belulang beliau longgar semuanya. Karena itu, selepas mengucapkan salam, Umar pun memberanikan diri bertanya kepada beliau dengan perasaan khawatir, Wahai Rasul, apakah engkau sakit? Tidak , Umar. Aku sehat saja, jawab Rasulullah saw ramah dan santun. Tapi, mengapa setiap kali engkau menggerakkan badan dalam shalat, kami mendengar bunyi tulang belulangmu berkeretakan? cecar Umar bin Al-Khaththab penuh rasa ingin tahu dan penasaran. Mula-mula Rasulullah Saw tidak ingin mengungkapkan rahasianya. Namun, lantaran para sahabat tampak sangat khawatir atas keadaan beliau, beliau akhirnya membuka pakaian yang beliau kenakan. Tampak oleh para sahabat, beliau mengikat perutnya yang kempis dengan selembar kain yang di dalamnya diisi batu-batu kerikil untuk mengganjal perut untuk menahan lapar. Dan, batu-batu itulah yang berbunyi keletak-keletik selama beliau menjadi imam salat. Melihat yang demikian itu, dengan serta-merta Umar bin Al-Khaththab pun memekik pedih dan perih, Wahai Rasul! Apakah sudah sehina itukah anggapanmu kepada kami? Apakah engkau mengira seandainya engkau mengatakan lapar, kami tidak bersedia memberimu makanan yang paling lezat? Bukankah kami semua hidup dalam kecukupan? Rasulullah saw pun tersenyum ramah seraya menyahut, Tidak, Umar. Tidak. Aku tahu, kalian, para sahabatku, adalah orang-orang yang setia kepadaku. Apalagi sekadar makanan, harta, ataupun nyawa akan kalian serahkan untukku sebagai rasa cinta kalian kepadaku. Tetapi, di mana akan kuletakkan mukaku di hadapan pengadilan Allah kelak di Hari Pembalasan, apabila aku selaku pemimpin justru membikin berat dan menjadi beban orang-orang yang kupimpin?

Berpikir Mendasar dan Menulis Ilmiah (Remix)


Satu hal yang, entah kenapa, saya rasakan cukup kental di kalangan umat Islam Indonesia adalah keterpesonaan dan pandangan yang lebih positif terhadap sains. Sementara untuk ilmuilmu humaniora, sikap yang mengemuka lebih bersifat peyoratif. Sains lebih dipercaya dan disambut lebih antusias untuk digunakan menafsirkan dan membuktikan kebenaran ayat-ayat AlQuran. Tokohnya yang kini cukup dikenal antara lain Maurice Buccaile dan Harun Yahya. Secara kasar bisa dikatakan bahwa seolah segala teori sains itu maksum dari falsifikasi. Padahal dalam perjalanan sejarah sains kita juga bisa melihat bahwa banyak teori sains yang berguguran, difalsifikasi oleh teori baru berikutnya. Bayangkan, setelah antusias menafsirkan Al-Quran menggunakan suatu teori sains, dan berbahagia bahwa Al-Quran itu ternyata ilmiah dan oke, ternyata, 10 tahun kemudian, ada teori baru yang membuktikan bahwa teori sains yang dipakai menafsirkan Al-Quran itu terbukti salah. Konsekuensinya, berarti Al-Quran-nya juga salah dong? Bagaimana dengan ilmu humaniora? Berbeda dengan sains yang umumnya menuntut riset dan basis fakta dan pembuktian fisikal sebagai landasan kebenaran sehingga begitu memukau, ilmu humaniora yang lebih kental dengan interpretasi teoretis dan sangat plural, cenderung diperlakukan agak seenaknya. Sepertinya siapa pun bisa berkomentar dalam nada kritis dan peyoratif atas suatu cabang ilmu humaniora, padahal tidak memahami pokok-pokok dasar yang membangun suatu teori dalam ranah humaniora. Orang lebih mudah mengatakan feminisme itu hawa nafsu, filsafat itu sumber waham, psikologi itu ilmu sesat pikir, ilmu ekonomi saat ini hanya mengajak kepada hal-hal yang haram, dan sebagainya. Coba kejar lebih detail apa maksud perkataan tersebut dari mereka yang mengujarkannya, lebih sering tidak ada penjelasan yang memuaskan apalagi bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tentu saja bukan maksud saya mengagungkan keilmiahan sebagai ukuran kebenaran. Bukan itu sama sekali. Saya hanya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau tabiat berujar kritis atas suatu perkara keilmuan tanpa tahu duduk perkara sebenarnya merebak luas di kalangan umat Islam yangsebagai umat nabi tertinggi sepanjang zamanakan menghadapi peperangan pengetahuan yang dahsyat. Yaitu, peperangan yang dinubuwahkan oleh Nabi Daniel as akan menghancurkan satu kaki terakhir dari patung yang dilihat Nebukadnezar dalam mimpinya, atau dinubuwahkan oleh Rasulullah Muhammad saw didahului oleh runtuhnya Konstantinopel. Saya merasa bahwa kalau memang tertarik untuk membicarakan suatu teori humaniora, entah itu feminisme atau filsafat atau psikologi atau apa pun, rasanya tidak ada salahnya kita juga mencoba mencari tahu terlebih dahulu (bisa bertanya, berdiskusi atau membaca) sehingga tidak asal berkata kritis tanpa dasar. Lagi pula, kalau kita bisa mendapatkan suatu pemahaman mendasar tentang suatu ilmu dengan cukup bertanggung jawab, itu bisa menjadi berguna bagi orang lain saat mereka bertanya atau membaca tulisan kita. Terlebih apabila Allah menerimanya sebagai amal shalih. Kebetulan bulan Juli hingga Agustus kemarin, ada Training Penulisan Ilmiah dan Ilmiah Populer yang diadakan oleh Bale Pustaka bersama Forum Studi Kebudayaan, dan saya diminta berbicara di satu pertemuan tentang Imajinasi. (Satu-satunya teman seperjalanan yang ikut training hanyalah Mbak Frida. Pengumumannya bisa teman-teman lihat di sini:http://www.dipansenja.blogspot.com/)

Saya selalu mendambakan kehidupan akademik yang inspiratif dan kondusif untuk belajar. Dosen-dosen yang berwawasan luas dan terbuka, tidak picik dan dangkal. Saya selalu ingin mencoba memperbaikinya sedikit demi sedikit meskipun saya berada di luar sistem pendidikan tinggi. Saya bertahan di Jalasutra hanya agar bisa memberi buku-buku bermutu bagi para mahasiswa sekali pun dicap penganut copy-left dan lain sebagainya. Pada pertemuan pertama Training Menulis Ilmiah tersebut, Pak Bambang Sugihartoguru saya tentang filsafat Baratmempresentasikan sekian permasalahan tradisi keilmuan dan penulisan ilmiah di Indonesia dengan cukup menarik dalam makalahnya yang berjudul HASRAT TERHADAP PENGETAHUAN DAN PENULISAN ILMIAH. Cukup menarik, dan saya rasa bisa bermanfaat apabila saya bagi bersama teman-teman di sini. Silahkan dibaca dan semoga ada manfaatnya: Problem kinerja ilmiah di Indonesia: 1. Terlalu biasa berimprovisasi (itu pun berdasarkan dengar-dengar saja, atau kata orang). 2. Kecenderungan simbolisme dangkal: yang penting kesan intelektual (dengan menggunakan istilah gagah sembarangan; pengutipan yang sembrono). 3. Malas membaca sumber utama. 4. Terlalu cepat membuat sintesis dengan mencampuradukkan segala teori secara othak-athik gathuk. 5. Pengorganisasian gagasan lemah hingga argumen-argumen pun dangkal. 6. Miskin kompleksitas (kurang tahan terhadap kerumitan teknis dan tak mampu melihat lapisan persoalan tersembunyi). 7. Paradoks: bangga terhadap segala yang asing, sekaligus overdefensif dan naif terhadap pendapat yang berbeda dengan keyakinan. 8. Tidak kreatif dalam mencari sudut pandang/tema. 9. Kemampuan bahasa asing yang rendah, hingga eksplorasi menjadi terbatas. Karakter Umum Keilmiahan: 1. Metodis dan sistematis 2. Dapat dites (secara objektif dan intersubjektif) 3. Mengandung presisi tinggi 4. Logikanya koheren 5. Data yang digunakan dapat dipercaya 6. Mampu memberikan penjelasan lebih Sasaran ideal penelitian: 1. Melacak ulang unsur-unsur genealogis untuk melihat kekuatan dan kelemahan hal-hal tertentu yang sudah diyakini umum (melacak unsur dan situasi di masa lalu yang telah membentuk pola berpikir, merasa dan perilaku saat ini). 2. Menggali kebenaran (duduk perkara) di balik permasalahan. 3. Mencari kemungkinan-kemungkinan dan terobosan baru menghayati realitas dan menangani masalah agar lebih manusiawi/lebih beradab. Yang diperlukan untuk pengembangan hasrat terhadap pengetahuan

1. Melihat knowing sebagai doing, bukan sekadar receiving. Mengetahui adalah soal melakukan, yaitu: membaca, menulis, berdebat, mencari, dst. 2. Pengetahuan mesti dipersonalisasikan, dijadikan milik dan visi pribadi hingga terbentuklah perasaan khas kita (Whitehead menyebutnya sebagai immense feeling for things) terhadap bidang yang kita geluti. 3. Biasakan menghadapkan diri kepada konsep/pendapat yang asing, yang sekilas seperti tak masuk akal namun seperti ada benarnya. Ini akan merangsang eksplorasi kita. 4. Cari selalu kemungkinan sudut pandang yang berbeda, segar, independen dan tak terduga. Semakin banyak membaca, semakin besar peluang kita mendapatkan hal itu. Ini memang paradoks. 5. Biasakan membaca sumber utama yang berat. Para penulis besar dan handal akan menyeret pikiran kita ke pemikiran yang mendalam. Membaca = berpikir. 6. Biasakan menulis dalam bahasa asing (ikuti seminar internasional). 7. Cari lapisan-lapisan permasalahan yang lebih kompleks dan mendalam. 8. Dalam mengkritisi bacaan: lacak dan tumbangkan asumsi-asumsi dasar yang tersembunyinya. 9. Ciptakan iklim dan sistem Publish or Perish (cara terbaik menulis adalah dengan langsung praktik menulis sesering mungkin). Demikian catatan dari saya. Sekali lagi, saya bukan mengagungkan hal yang ilmiah sebagai kebenaran tertinggi. Bukan itu. Saya hanya berharap bahwa umat Islam yang akan bangkit ini tidak lagi berujar seolah kritis tapi tanpa dasar pengetahuan. Demikian. Mohon maaf kalau ada silap kateu. Wassalam.

Why Philosophy ?
Prof. Dr. Bambang Sugiharto FILSAFAT ITU RUWET, MENYESATKAN, TAK ADA GUNANYA, BAHKAN BERBAHAYA. Itu kata orang yang tak mampu berpikir. 1. Filsafat itu ruwet, tapi sebenarnya hidup bisa lebih ruwet akibat cara berpikir yang kacau, tak sistematis dan dasarnya lemah. Filsafat tampak ruwet karena ia hendak menyiangi benang kusut kenyataan, justru agar petanya lebih jelas dan inti terdalam persoalannya lebih gamblang. Mutu kesarjanaan di Indonesia umumnya rendah karena cara berpikir yang seringkali kacau, tidak sistematis dan kemampuan argumentasinya rendah. Filsafat membantu menata gagasan, memperdalam analisis dan memperkuat argumentasi. 2. Filsafat itu menyesatkan, tapi sebenarnya lebih sesat orang yang tak tahu apa pendapat pribadinya sendiri karena segala pendapatnya adalah pendapat orang lain; tak tahu siapa dirinya karena segala sikapnya hanyalah penyesuaian diri dengan sikap sekelilingnya atau sekadar jaim, jaga image. Lebih sesat lagi orang yang terpenjara oleh masalah yang sebetulnya bukan masalah. Filsafat melatih kita merumuskan pendapat dan sikap pribadi sehingga tak diombang-ambingkan pendapat orang lain; menjernihkan cara kita melihat mana masalah mana bukan masalah, mana yang penting, mana yang tidak penting; melatih kita untuk melihat berbagai kemungkinan jawaban untuk sebuah persoalan. Dalam kerangka filsafat, hidup adalah seribu kemungkinan pilihan. 3. Filsafat itu tak ada gunanya, spekulasi teori yang tak menginjak bumi, kerjaan orang-orang frustrasi. Tapi sebenarnya lebih tak ada gunanya dan menyedihkan orang yangsibuk bekerja tanpa tahu apa yang sebenarnya ia butuhkan dan rindukan. Lebih menyedihkan orang yang tak bisa melihat kemungkinan lain selain kenyataan yang dijalaninya tanpa pilihan. Filsafat melatih kita berani mempersoalkan apa yang sesungguhnya kita butuhkan dan kita rindukan, apa tujuan hidup dan kerja, mana lebih penting hidup sukses atau hidup yang bermakna. 4. Filsafat itu berbahaya sebab ia membawa ke arah ateisme atau pemurtadan. Tapi sebenarnya lebih berbahaya mereka yang menghayati agama dengan penuh ketakutan: takut berpikir, takut berdosa, takut neraka, takut dirampok agama lain, takut pada pesona dunia, dan akhirnya takut pada kehidupan. Orang macam ini berbahaya karena merekalah orangorang yang paling siap melakukan bom bunuh diri dan menghancurkan orang lain. Orang macam ini berbahaya, karena gara-gara mereka, Tuhan dan agama jadi tampak begitu dungu, aneh dan sakit. Filsafat membuat kita berani mempertanyakan keyakinan-keyakinan religius yang terlampau naf, agresif dan destruktif. Dengan cara itu filsafat justru merupakan upaya terus-menerus untuk menjaga agama dan spiritualitas dari kemungkinan merusakkan dirinya sendiri, dan mengembalikannya setiap kali pada inti ruhnya yang tertinggi. DALAM DUNIA YANG KIAN SAKIT, FILSAFAT MENJAGA PIKIRAN ANDA TETAP SEHAT DAN JIWA ANDA TETAP KUAT.

Вам также может понравиться