Вы находитесь на странице: 1из 8

Laporan Praktikum Ke-9 M.K.

Biometeorologi

Hari, tanggal : Rabu, 16 April 2014 Asisten : 1.Wahyu Sukmana Dewi (G24100025) 2.Ilmina Philippines (G24100060)

Pemetaan Indeks Kerawanan DBD di Wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta

Alvin Gustomy (G24110065)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

I. 1.1. LatarBelakang

PENDAHULUAN

Penggambaran keadaan suatu wiayah yang luas seringkali menjadi lebih sederhana apabila dinyatakan dalam bentuk pewilayahan tingkat kerentanan suatu terhadap suatu kejadian. Zonasi dan pemetaan penyakit digunakan untuk mengetahui sebaran secara geografik. Tingkat kerawanan wilayah terhadap kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia ditentukan berdasarkan data kejadian penyakit DBD di wilayah tersebut. Penggolongan tingkat endemik dihubungkan dengan angka kejadian atau jumlah kasus. Praktikum pemetaan indeks kerawanan DBD di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta dilakukan untuk mengetahui indeks kerentanan wilayah berdasarkan data dan memetakan tingkat kerentanan wilayah. 1.2. Tujuan Mahasiswa dapat melakukan pemetaan indeks kerawanan penyakit DBD berdasarkan klasfikasi iklim Koppen Mahasiswa dapat memahami hubungan iklim dengan penyebaran DBD

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DKI Jakarta danJawa Barat (wilayah, dan tentang DBD) Di Indonesia vektor DBD adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus namun sampai saat ini Ae. Aegypti merupakan vektor utama. Angka kejadian DBD meningkat setiap awal musim hujan dan dapat menimbulkan kejadian luar biasa di berbagai wilayah dan menimbulkan wabah lima tahunan. Jumlah penderita DBD terus meningkat, khususnya di kota besar seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di kota besar. DKI Jakarta adalah kota terbesar di Indonesia dan mempunyai jumlah penderita DBD terbanyak. Salah satu wilayah di DKI Jakarta yaitu Kota Madya Jakarta Pusat merupakan daerah endemis DBD. Di Jakarta Pusat terdapat 44 kelurahan dan sembilan di antaranya merupakan zona merah; salah satunya adalah Kelurahan Paseban. Zona merah adalah wilayah yang dalam tiga minggu berturut-turut terdapat tiga pasien DBD/minggu (Ramadhani 2013). Sedangkan, Jawa Barat merupakan salah satu

propinsi endemis DBD di Indonesia. Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderita DBD di propinsi Jawa Barat selama lima tahun terakhir. Jumlah penderita klinis DBD di Jawa Barat terus meningkat bahkan menimbulkan banyak kematian. Namun, belum ada data yang spesifik mengenai distribusi virus dengue di Propinsi Jawa Barat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang keberadaan dan distribusi serotipe virus dengue di kabupaten/kota Jawa Barat. Tujuannya adalah untuk mengetahui distribusi serotipe virus dengue di kabupaten/kota dengan tingkat endemisitas DBD berbeda di Propinsi Jawa Barat (Prasetyowati 2010). 2.2. DemamBerdarah Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Prediksi kejadian demam berdarah dengue di suatu wilayah, selama ini dilakukan berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimalminimal dan siklus 35 tahun sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Cara prediksi ini terdapat kelemahan karena berubahnya data menjelang musim penularan DBD dan belum adanya data faktor risiko terkini, sehingga prediksi sering tidak tepat. Data faktor risiko DBD dapat digunakan untuk menentukan jenis intervensi, sehingga kejadian DBD dapat dicegah sesuai konsep kewaspadaan dini. Data surveilans epidemiologi yang dihasilkan, sebagian masih diolah secara manual dan semi otomatis dengan penyajian masih terbatas dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan penyajian dalam bentuk peta belum dilakukan. Berdasarkan kenyataan tersebut, dikembangkan sistem surveilans epidemiologi DBD untuk kewaspadaan dini berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Pada sistem ini, dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada saat menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis intervensi. Dengan SIG, dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta kegiatan lain, dan dengan teknik overlayer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program pemberantasan DBD (Soegijanto 2006).

III. 3.1. Alat dan Bahan

METODOLOGI

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum Pemetaan Indeks Kerawanan DBD di Wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta yaitu seperangkat komputer, software Ms. Excel dan ArcMap, dan data DBD di Wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. 3.2. LangkahKerja (diagram alir dari pengolahan data-Arc GIS)
Pemetaan data DBD diolah dengan Ms. Excel dengan rumus persamaan CH, Y=2500-25x
Klasifikasi iklim Koppen berdasar persamaan CH, Aw =Y>CH total; Am=Y<CH total; Af=CH min >60 Klasifikasi Indeks Kerawanan (IK) DBD wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kemudian, Hasil data olahan di interpretasi ke dalam pai chart Data hasil overlay Koppen dan IK DBD dimasukkan ke dalam ArcMap dan diolah sesuai dengan base map Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hasil layout peta IK DBD Jawa Barat dan DKI Jakarta diinterpretasikan.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue dan menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di kota besar, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Untuk mengetahui kepadatan dan penyebaran vektor DBD dilakukan analisis dengan klasifikasi iklim Koppen dan indeks kerawanan di suatu wilayah. Klasifikasi iklim Koppen berdasarkan curah hujan dan temperatur. Selain itu, klasifikasi iklim Koppen juga berdasarkan data temperatur udara dan endapan yang dihubungkan dengan kelompok-kelompok tanaman. Iklim Koppen dibagi menjadi 5 bagian daerah iklim yang ditandai dengan simbol A, B, C, D, dan E. Kelompok A yaitu iklim hujan tropis, Kelompok B yaitu iklim kering/gurun, Kelompok C yaitu iklim sedang, Kelompok D yaitu iklim salju, dan Kelompok E yaitu iklim kutub (Prasetyowati 2010). Penggambaran keadaan suatu wiayah yang luas

seringkali menjadi lebih sederhana apabila dinyatakan dalam bentuk pewilayahan atau tingkatan kesesuain/kerentanan wilayah terhadap suatu kejadian disebut indeks kerawanan. Zonasi dan pemetaan penyakit digunakan untuk mengetahui sebaran secara geografik. Peta sebaran geografis penyakit sangat berguna unruk mempelajari hubungan antara cuaca/iklim dengan penyakit atau masalah kesehatan lain secara empirik (Hidayati et al 2009). Berdasarkan data hasil, diperoleh empat Pai Chart yaitu berdasarkan tingkat kerawanan wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat (Gambar 1), dan berdasarkan klasifikasi iklim Koppen wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat (Gambar 2).

Gambar 1. Tingkat kerawanan DBD DKI Jakarta (Kiri) dan Jawa Barat (kanan)

Gambar 1 menunjukkan tingkat kerawanan DKI Jakarta dan Jawa Barat yang dikategorikan dengan A (Aman), AA (Agak Aman), AR (Agak Rentan), R (Rentan), dan SR (Sangat Rentan). Berdasarkan pai charts Gambar 1, diketahui bahwa wilayah DKI Jakarta memiliki indeks kerawanan yang lebih tinggi dibandingkan Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah DKI Jakarta lebih rentan/rawan terhadap penyebaran penyakit DBD, dibandingkan dengan Jawa Barat. Salah satu faktor tingginya indeks kerawanan DBD di DKI Jakarta adalah kepadatan penduduk dengan jarak antar rumah yang berdekatan. Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain. Semakin dekat jarak antar rumah warga maka semakin mudah nyamuk menyebar dari rumah ke rumah karena jarak terbang Ae.aegypti pendek yaitu 40-50 meter. Wilayah berpenduduk padat akan memudahkan penularan DBD yang berdampak pada tingginya kasus DBD. Faktor lain yang berperan

dalam penyebaran infeksi virus dengue adalah mobilitas penduduk. DKI Jakarta memiiki mobilitas yang tinggi sehingga sangat mendukung terhadap tingkat endemisitas suatu daerah endemis DBD. Selain itu, mudahnya transportasi antar kota dengan desa menyebabkan mobilitas penduduk menjadi meningkat, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran virus dengue dari daerah perkotaan ke pedesaan. Berbeda dengan kondisi wilayah Jawa Barat, dengan wilayah yang lebih luas serta pendudukan cenderung tinggal menyebar. Sehingga kepadatan penduduk dengan jarak antar rumah yang berjauhan. Wilayah berpenduduk menyebar akan menyebabkan penularan DBD yang berdampak pada rendahnya kasus DBD (Ramadhani 2013).

Gambar 2. Klasifikasi iklim Koppen DKI Jakarta (Kiri) dan Jawa Barat (kanan)

Pada gambar 2 kalsifikasi iklim Koppen DKI Jakarta dan Jawa Barat dikategorikan menjadi Aw (CH persamaan>CH total), Am (CH persamaan<CH total), dan Af (CH min>60). Berdasarkan pai charts pada gambar 2 diketahui bahwa, DKI Jakarta memiliki CH persamaan<CH total yang ditandai dengan warna biru (Am) yang menyelimuti lebih dari 3/4 bagian pai charts, dibandingkan Jawa Barat yang hanya memiliki daerah warna biru (Am) yang menyelimuti kurang dari 2/4 bagian pai charts namun di dominasi oleh Af yang ditandai dengan warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa DKI Jakarta memiliki CH Tahunan yang lebih rendah dibandingkan Jawa Barat. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, DKI Jakarta dan Jawa Barat sama-sama . berada di kelompok A yaitu iklim hujan tropis. Namun, DKI Jakarta dan Jawa Barat memiliki intensitas curah hujan (CH) yang berbeda sehingga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kejadian DBD. Pengaruh curah hujan dengan breeding place atau tempat

perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti sangat erat. Curah hujan tinggi memungkinkan banyak bermunculan breeding place, namun demikian curah hujan tinggi dapat menyapu breeding place yang ada, baik yang alami maupun artificial (). Kondisi ini menyebabkan indeks kerawanan DBD di Jawa Barat lebih rendah dari DKI Jakarta (Gambar 1). Selain itu, kondisi DKI Jakarta dengan hujan dan panas berseling pada pergantian musim lebih berpengaruh positif terhadap populasi nyamuk disebabkan air hujan tidak mengalir dan menggenang di beberapa tempat. Sehingga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit DBD (Prasetyowati 2010). Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian penyakit DBD, seperti mobilitas penduduk, mudahnya transportasi antar kota dengan desa, kepadatan penduduk, dan faktor lingkungan. Jughan Sitorus (2003) menyatakan bahwa lingkungan merupakan salah satu faktor penentu terjadinya penyakit. Faktor lingkungan, seperti curah hujan, temperatur dan kelembaban udara mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan kasus DBD. Namun, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai korelasi curah hujan (cuaca) dengan kejadian DBD di masing-masing wilayah di Indonesia, mengingat setiap wilayah memiliki karakteristik curah hujan yang berbeda.

V.

KESIMPULAN

Pemetaan indeks kerawanan penyakit DBD berdasarkan klasifikasi iklim Koppen terdapat perbedaan tingkat kerawanan di DKI Jakarta dan Jawa Barat. DKI Jakarta memiliki tingkat kerawanan DBD yang lebih tinggi dibandingkan Jawa Barat. Salah satu faktor tingginya tingkat kerawanan DBD disebabkan oleh curah hujan tahunan (iklim) yang rendah di DKI Jakarta dibandingkan di Jawa Barat.

VI.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Rini et al. 2009. Penyusunan metode penentuan indeks kerawanan wilayah dan pemetaan wilayah rentan penyakit demam berdarah di Indonesia. J. Ekologi Kesehatan. 8 (IV): 1066-1076. Prasetyowati, Heni. 2010. Serotipe Virus Dengue di tiga Kabupaten/Kota dengan tingkat endemisitas DBD berbeda di Propinsi Jawa Barat. J. Aspirator. 2 (II): 120-124. Ramadhani Masitha, Astuty Hendri. 2013. Kepadatan dan penyebaran Aedes aegypti setelah penyuluhan DBD di Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat. J. eJKI. 1 (I). Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Airlangga University Press.

VII.

LAMPIRAN

Вам также может понравиться