Вы находитесь на странице: 1из 11

LAPORAN PENDAHULUAN MALFORMASI ANOREKTAL

1. Konsep Penyakit a. Definisi Malformasi anorektal (anus imperforata) adalah malformasi kongenital di mana rectum tidak mempunyai lubang keluar. Anus tidak ada, abnormal atau ektopik. Kelainan anorektal umum pada laki-laki dan perempuan memperlihatkan hubungan kelainan anorektal rendah dan tinggi diantara usus, muskulus levator ani, kulit, uretra dan vagina (Wong, 2003) b. Etiologi 1) Malformasi Anus Gangguan pertumbuhan dan fusi serta pembentukan anus dari tonjolan embrionik. 2) Malformasi Rektum Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital serta gangguan perkembangan septum anorektal yang memisahkannya (terjadi fistel). (Mansjoer, 2000) c. Patofisiologi Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. Begitu juga pada malformasi rektum berawal dari gangguan pemisahan kloaka jadi rektum dan sinus urogenital dan perkembangan septum unorektal yang memisahkannya. Kedua malforamsi membentuk fistel-fistel yang menghambat pengeluaran mekonium kolon sehingga terjadi obstruksi usus yang nampak gambaran perut kembung, distensi abdomen, muntah dengan cairan mula-mula berwarna hijau kemudian bercampur tinja. Distensi abdomen yang terjadi menyebabkan penekanan intra abdomen ke torakal sehingga klien mengalami gangguan pola nafas. Kegagalan pengeluaran mekonium menimbulkan refluks kolon sehingga muntahmuntah didukung ketidaknormalan anus serta rektum. Hal ini mengganggu pola eliminasi feses. Malformasi harus segera ditangani yang pertama untuk tindakan sementara dengan kolostomi baru kemudian dilakukan pembedahan definitif sesuai dengan letak defeknya. Pasca pembedahan pasien tirah baring lama-

kelamaan akan menyebabkan intoleransi aktivitas. Adanya perlukaan pada jaringan akan menimbulkan nyeri serta resiko tinggi infeksi karena luka merupakan port entry kuman. d. Klasifikasi Klasifikasi malformasi anorektal berdasarkan atas hubungan rektum dengan otot puborektal : 1) Kelainan letak rendah (low anomalies) Pada letak ini rektum menyambung pada otot puborektal,spinter interna dan eksterna fungsi berkembang normal, tidak ada hubungan dengan traktus genitourinaria. 2) Kelainan letak sedang (intermedieat anomalies) Rektum terletak dibawah otot puborektal, terdapat cekungan anus, dan posisi spinter eksterna normal. 3) Kelainan letak tinggi (high anomalies) Akhir rektum terletak diatas otot puborektal, tidak terdapat spinter interna dan terdapat hubungan dengan genitourinaria pada laki-laki fistula rektouretra, pada perempuan rektovaginal. e. Manifestasi klinis 1) Perut kembung, sedang muntah timbul kemudian. 2) Cairan muntah mula-mula hijau kemudian bercampur tinja. 3) Kejang usus. 4) bising usus meningkat. 5) Distensi abdomen. 6) Keluar mekonium baik dari vagina atau bersama urine (tergantung letak fistel). 7) Mekonium keluar pada anus seperti pasta gigi. (Betz, 2002 ) f. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang 1) Pemeriksaan colok dubur, pada atresia rektum jari tidak masuk lebih 12 cm. 2) Protosigmoidoskopi, anoskopi, radiografi lateral terbalik. 3) Urogram intravena; sistourethrogram: dilakukan pada waktu miksi harus dilakukan karena seringnya malformasi traktus urinarius menyertai anomali ini. 4) Rontgenologis kolumna vertebralis: untuk mengetahui kelainan yang menyertai yaitu anomali vertebra.

5) Pemeriksaan inspeksi dan palpasi daerah perineum secara dini. 6) Ultrasound: dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rektal. 7) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan cara menusukkan jarum tersebut sambil melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek itu disebut defek tingkat tinggi. g. Komplikasi 1) Asidosis hiperkloremia 2) Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan 3) Kerusakan uretra ( akibat prosedur bedah ) 4) Komplikasi jangka panjang : a) Eversi mukosa anal b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis) c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasinya sigmoid) d) Masalah atau keterlambatan yg berhubungan dg toilet training e) Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi) f) Prolaps mukosa anorektal (menyebabkan inkontinensia dan rembesan persisten) g) Fistula kambuhan (karena tegangan diarea pembedahan dan infeksi ) (Betz, 2002 ) h. Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit maformasi anorektal ada dua macam yaitu dengan tindakan sementara dan tindakan definitive, sebagai berikut: 1) Tindakan Sementara a) Tindakan spontan tergantung tinggi rendahnya atresia. Anak segera dipuasakan untuk pembedahan. Bila diduga ada malformasi rektum, bayi harus segera dikirim ke ahli bedah yaitu dilakukan kolostomi transversum akut. Ada 2 tempat yang kolostomi yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversokolostomi dan sigmoidkolostomi. Khusus untuk defek tipe kloaka pada perempuan selain kolostomi juga dilakukan vaginostomi dan diversi urine jika perlu (setelah anak lebih besar 1 1,5 tahun). b) Pada malformasi anus laki-laki tipe covered anal dilakukan insisi/ diiris hanya pada garis hitam di kulitnya, kemudian diperlebar perlahan-lahan

dan apabila ada lubang dilanjutkan dengan kelingkin yang dilapisi vaselin didorong masuk sampai teraba/ menonjol ujung rektum kemudian ujung rektum di insisi tanpa dijahit. Pada defek letak rendah langsung dilakukan terapi definitif yaitu anorektoplasti posterior sagital (PSARP), sisanya dilakukan kolostomi sementara. 2) Tindakan Definitif Pembedahan definitif ini dimaksudkan untuk menghilangkan obstruksi dan mempertahankan kontak kontinensi. Untuk malformasi rectum setelah bayi berumur 6 bulan dilakukan ano-rekto-vagina-uretroplasti posterior sagital (PSAVURP).Pada malformasi anus tindakan koreksi lebih lanjut tergantung pada defek ; a) Pada malformasi anus yang tidak ada fistel tetapi tampak ada anal dimple dilakukan insisi dianal dimple melalui tengah sfingter ani eksternus. b) Jika fistel ano uretralis terapi anal dimple tidak boleh langsung ditembus tapi lebih dulu fistel ano uretralis tersbeut diikat. Bila tidak bisa kasus dianggap dan diperlakukan sebagai kasus malformasi rektum. c) Pada agenesis anorektal pada kelainana tinggi setelah bayi berat badan mencapai 10 kg tersebut harus diperbaiki dengan operasi sakroperineal atau abdomino perineal dimana kolon distal ditarik ke aneterior ke muskulus puborektalis dan dijahitkan ke perinuem.

2. Pengkajian Pengkajian Pre Operatif 1) Pemeriksaan fisik : a) Daerah perineum Inspeksi daerah perineum untuk mencari hubungan fistula ke kulit, menemukan muara anus ektopik atau stenatik. lihat adanya mekonium (apakah keluar dari vagina atau keluar bersama urine) lihat adanya garis hitam yang menentukan letak fistel dan terapi selanjutnya. b) Abdomen Memeriksa tanda-tanda obstruksi usus (perut kembung) Amati adanya distensi abdomen Ukur lingkar abdomen

Dengarkan bising usus ( 4 koadran) Perkusi abdomen Palpasi abdomen (mungkin kejang usus) c) Kaji hidrasi dan status nutrisi Timbang berat badan tiap hari Amati muntah proyektif (karakteristik muntah) d) TTV Ukur suhu badan (umumnya terjadi peningkatan) Ukur frekuensi pernafasan (terjadinya takipnea atau dispnea) Ukur nadi (terjadinya takikardia) e) observasi manifestasi malformasi anorektal 2) Pemeriksaan colok dubur pada anus yang tampak normal, tapi bila tidak dapat masuk lebih 1 2 cm berarti terjadi atresia rektum. 3) Pemeriksaan dengan kateter untuk membedakan fistel uretra dan fistel vesika. Pengkajian Post Operatif 1) Kaji integritas kulit meliput tekstur, warna, suhu kulit. 2) Amati tanda-tanda infeksi 3) Amati pola eliminasi dan keadaan umum pasien.

3. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan a. Pra Operasi 1) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah. Tujuan : Klien menunjukan keseimbangan cairan elektrolit setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, dengan kriteria hasil : keseimbangan jumlah input dan out put, turgor kulit elastis, TTV normal (suhu:36,5 37,RR: 35x/menit),tidak didapatkan distensi abdomen. Intervensi : a) Ukur jumlah Input Output cairan. Rasionalisasi : Mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan. b) Inspeksi turgor kulit. Rasionalisasi : Pada keadaan dejidrasi turgor kulit tidak elastis. c) Ukur tanda- tanda vital. Rasionalisasi : Keadaan dehidrasi diidentifikasi dg adanya perubahan TTV :takikardi,hipotensi,peningkatan suhu.

d) Inspeksi adanya distensi abdomen. Rasionalisasi : Peningkatan tekanan abdomen ditandai dengan adanya distenai abdomen e) Kolaborasi berikan cairan IV. Rasionalisasi : Menganti cairan dan elektrolit yang hilang. 2) Gangguan pola nafas berhubungan dengan penekanan torakal sekunder terhadap distensi abdomen. Tujuan : Pola nafas normal/ terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam dengan kriteria hasil: RR normal (30 60 x/ menit), reguler, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, tidak ditujukkannya penggunaan cuping hidung dalam bernafas. Intervensi : a) Posisikan anak pada posisi yang nyaman dengan penggunaan bantal 30. Rasionalisasi : untuk efisiensi ventilasi maksimum b) Catat TTV dan irama jantung Rasionalisasi : takikardi, disritmia dan perubahan tekanan dapat menunjukkan efek hipoksia sistemik pada fungsi jantung. c) Berikan O2 sesuai dengan kebutuhan Rasionalisasi : dapat memperbaiki dan mencegah hipoksia d) Auskultasi bunyi nafas catat adanya bunyi nafas adventisius seperti : krekel,mengi . Rasionalisasi : biasanya bunyi nafas menurun. e) Inspeksi adanya sianosis. Rasionalisasi : Mengindikasikan adanya kekurangan oksigen ke jaringan. 3) Ansietas pada orang tua berhubungan dengan tindakan / prosedur pembedahan. Tujuan : Orang tua mengungkapkan penerimaan tindakan/prosedur (ansietas berkurang), setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, dengan kriteria hasil keluarga mampu mengungkapkan rasa sakit,penerimaan atas pembedahan,dan memahami prosedur pembedahan. Intervensi : a) Identifikasi ketidaktahuan. Rasionalisasi : Dengan memberikan kejelasan dari keluarga agar sedikit tenang.

b) Peningkatan support terhadap keluarga tindakan atau prosdur tsb tindakan tepat. Rasionalisasi : Dengan support akan menurunkan cemas. c) Menjelaskan tentang prosedur tepat waktu. Rasionalisasi : Meningkatkan rasa optimis dengan pembedahan.

b. Post Operasi 1) Nyeri berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan. Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Dengan kriteria hasil: klien tidak cemas dan tegang lagi, klien tidak menangis terus, ekspresi wajah wajar (tidak menahan nyeri). Intervensi : a) Kaji dan catat adanya peningkatan nyeri Rasionalisasi : Digunakan untuk mengetahui keadaan nyeri klien untuk menentukan tindakan pengurangan nyeri. b) Hindari palpasi area pembedahan kecuali jika diperlukan Rasionalisasi : Agar terhindar dari peningkatan rasa nyeri pasca operasi. c) Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang. Rasionalisasi : Berkurangnya stimulus nyeri. d) Kolaborasi pemberian analgesi sesuai ketentuan dan pantau

keefektifannya. Rasionalisasi : Digunakan untuk farmakoterapi untuk nyeri. 2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perlukaan jaringan pada pembedahan. Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Dengan kriteria hasil: suhu normal; 36,5C 37C, tidak ada tanda-tanda radang (merah, bengkak, panas area luka), balutan kering dan bersih. Intervensi : a) Ukur suhu tubuh setiap 4 jam Rasionalisasi : Peningkatan suhu tubuh menunjukkan terjadinya infeksi sistemik. b) Gunakan teknik septik dan aseptik medik

Rasionalisasi : Mencegah terjadinya infeksi dan sepsis. c) Lakukan perawatan luka dengan hati-hati agar luka tetap bersih Rasionalisasi : Untuk meminimalkan resiko infeksi. d) Ganti balutan luka setelah 3 hari post operasi dengan cara; luka dialas betadin dan tutup dengan kasa kering. Rasionalisasi : Dengan balutan dapat meningkatkan kelembaban dan mempercepat penyembuhan luka. e) Kolaborasi pemberian antimikrobial/ antibiotik sesuai kebutuhan. Rasionalisasi : Digunakan untuk pencegahan infeksi secara sistemik. 3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya perlukaan jaringan. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam tidak didapat kerusakan integritas kulit, dengan kriteria hasil : meningkatnya persembuhan luka,bebas tanda-tanda infeksi. Intervensi : a) Inspeksi warna ukuran luka. Rasionalisasi : Kemerahan bengkak mengidentifikasi adanya kerusakan integritas kulit. b) Bersihkan permukaan kulit dg menggunakan hydrogen/air dg sabun lunak/petrolatum. Rasionalisasi : Petrolatum membersihkan feses yang menempel. c) Gunakan balutan teknik aseptik. Rasionalisasi : Menurunkan iritasi kulit. 4) Perubahan terhadap pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnya kemampuan fisik dan proses hospitalisasi. Tujuan : tumbang tercapai sesuai usia setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan kriteria hasil : pasien memperlihatkan peningkatan karakteristik fisik,perkembangan sensoris, perilaku sosialisasi, perkembangan kognitif. Intervensi : a) Kaji tingkat perkembangan anak dalam seluruh area fungsi . Rasionalisasi : penting untuk mengetahui apakah anak sudah mencapai tumbangnya. b) Ajarkan orang tua tentang tugas perkembngan normal anak sesuai kelompok usianya.

Rasionalisasi : keluarga (ibu ) menjadi perawat anak selama dirumah, diharapkan mampu memantau perkembangan anak setiap waktu. b) Berikan kesempatan bagi seorang anak sakit untuk memenuhi tugas perkambangan sesuai kelompok usia. Rasionalisasi: Mencegah terjadinya regresi karena proses hospitalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta. Wong, Dona L. 2003. Pedoman Keperawatan Pediatrik. EGC, Jakarta.

Вам также может понравиться