Вы находитесь на странице: 1из 12

TUGAS

MATA KULIAH DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

OLEH:
ARDY YOSAFAT PANDIE NIM: 14020113410037 KELAS INTENSIF ANGKATAN 39

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK KONSENTRASI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014

Kata Pengantar
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus yang melalui perantaraannya Roh Kudus dapat membimbing, memberikan kekuatan, kesehatan, hikmat dan nafas kehidupan kepada penulis dalam proses menyelesaikan penulisan makalah sederhana ini dengan judul: IMPLIKASI DARI OTONOMI KHUSUS (OTSUS) PAPUA: Konflik Vertikal dan Konflik Horisontal. Makalah ini merupakan hasil kolaborasi dari pemikiran penulis dengan pendapat para ahli sebelumnya dalam membantu melihat permasalahan Otonomi Khusus di Papua. Di mana permasalahan ini kenyataannya sangat ironis dan jauh dari apa yang kita kira. Paradoks dalam paradoks mungkin yang patut diberikan kepada kompleksnya permasalahan Otonomi Khusus di Papua. Singkatnya, penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah sederhana ini termasuk teman-teman seperjuangan dan juga atas koreksi dari Bpk. Yuwanto. Ph.D selaku Dosen Mata Kuliah Desentralisasi dan Otonomi daerah dalam proses pembuatan makalah sederhana ini. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita sekalian. Sola Scriptura Verbum Dei.

Semarang, 25 April 2014

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi .................................................................................................................... i BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Identifikasi .. .................................................................................................... 4 BAB II. KONSTRUKSI ARGUMEN A. Konflik Vertikal ..............................................................................................5 B. Konflik Horisontal ...........................................................................................6 BAB III. PENUTUP Kesimpulan .................................................................................................................8 DAFTAR ISI

ii

IMPLIKASI DARI OTONOMI KHUSUS (OTSUS) PAPUA: Konflik Vertikal dan Konflik Horisontal BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayahnya dengan mengacu pada aspek-aspek kedaerahan dengan kata lain terjadinya transfer kekuasaan. Desentralisasi merupakan produk dari perkembangan demokratisasi suatu bangsa. Secara konseptual ataupun formulasi tidaklah salah untuk mengatakan bahwa otonomi pada hakekatnya adalah demokrasi di tingkat lokal atau demokrasi di tingkat daerah.1 Desentralisasi juga merupakan sebuah peluang (opportunity) bagi pemerintah, namun bisa juga menjadi suatu ancaman (threat) yang harus dihadapi oleh pemerintah. Pelayanan publik merupakan kegiatan yang senantiasa diseleggarakan harus seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang pemenuhan kebutuhan pelayanan publik. Dalam kajian negara hukum, pemerintah mengatur pelayanan publik di berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengangkut hak dasar rakyat dan hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang prima. Kualitas suatu pelayanan publik yang berkualitas yakni pemerintah mampu memenuhi seluruh sendi kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pelayanan administrasi yang terkandung dalam UU No.25 Tahun 1999 tentang Pelayanan Publik.2 Tujuan otonomi daerah pada intinya merupakan suatu jenjang atau proses untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan upaya mereformasi tatanan birokrasi untuk dapat bersifat responsif dengan polemik yang berkembang di tengah lingkungan masyarakat serta dapat segera mendapatkan jalan keluar dari permasalahan. Untuk itu, pemerintah pusat dapat mengadakan suatu koordinasi yang solid dengan kepala daerah setempat untuk dapat menjalankan prinsip sharing of power dan tidak hanya sekedar tentang pembagian kekuasaan, pemerintah pusat harus mempunyai daya untuk melakukan suatu pendayagunaan aparatur administrasi pemerintah daerah atau empowering of regional administration.

1 2

Warsito Utomo, Dinamika Administrasi Publik. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011) hlm. 133. Kuliah Manajemen Kualitas Pelayanan Publik, 8 Maret 2013.

Warsito Utomo menjelaskan bahwa terdapat tiga problema yang paling pokok di dalam implementasi Otonomi Daerah. Pertama, saat ini Indonesia sedang mengalami masa transisi, perubahan, reformasi, dan iklim politik dan pemerintahan monolitik sentralisitik ke pemerintahan yang demokratik khususnya demokrasi lokal atau otonomi atau desentralisasi yang sebelumnya selama hampir 30 tahun berada dalam masa pemerintahan orde baru yang cenderung sentralistik di mana masyarakat tidak mempunyai public space untuk mengungkapkan keberadaannya sebagai civil society. Akibatnya, bagaikan lepas dari kungkungannya atau jeratan sehingga menjadi lepas kendali dan terjadilah suatu euphoria di dalam bidang pemerintahan, politik, kemasyarakatan bahkan perekonomian. Kedua, banyaknya pasal dalam undang-undang yang menimbulkan misinterpretasi yang berakibat terjadinya perbedaan pendapat, persepsi bahkan konflik antar kompenen secara internal dan eksternal. Ketiga, sangat cepat dan pendeknya waktu sosialisasi undang-undang sehingga tidak saja daerah-daerah menjadi kebingungan dan malahan kebablesan, tetapi juga ketidaktahuan dan ketidaktepatan memberikan makna , filosofi, dan prinsip otonomi daerah.3 Jadi permasalahan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah menjadi persoalan yang tidak kunjung terselesaikan hingga sampai hari ini, bahkan permasalahan ini semakin kompleks dalam usaha meminimalisir masalah yang berkaitan dengan otonomi daerah dan juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan bagi pemerintah pusat. Kebijakan otonomi daerah dalam rangka menciptakan konsep desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah ternyata justru menimbulkan konflik ketimbang memecahkan suatu masalah. Kondisi ini berlangsung sangat lama, sehingga menimbulkan berbagai ketidakpuasan. Semangat pemerintah dalam pemberian otonomi dari waktu ke waktu terus berubah, dari otonomi yang bernuansa demokratis ke otonomi yang bercirikan liberal, dilanjutkan ke otonomi seluas-luasnya, selanjutnya kepada otonomi yang nyata dan bertanggung jawab sampai pada munculnya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta perubahannya UU No.12 Tahun 2008 yang diharapkan dapat menjanjikan otonomi yang seluas-luasnya dan bertanggung jawab. Namun dari sekian banyak peraturan tentang pemerintah daerah yang sudah ada lebih dari setengah abad dalam praktiknya tetap merupakan kata-kata yang indah belaka tanpa wujud yang nyata. Lama kelamaa hal ini

Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) hlm.27-28.

menimbulkan rasa tidak puas di daerah yang kaya dengan sumber daya alam, namun tetap miskin.4 Sebagai suatu daerah yang kaya akan sumber daya alam dan dikenal sebagai mutiara hitam, Papua merupakan suatu daerah yang mengalami keterbelakangan pembangunan yang tidak sepadan dengan kekayaan alamnya yang begitu hebat. Hal ini terlihat bahwa arus mobilisasi warga dalam menjalani kehidupan sehari-hari ditambah lagi topografi daerah Papua yang mayoritas daerah hutan dan berbukit. Jadi tak jarang kehidupan masyarakatnya sedikit terisolir dari suatu kehidupan luar atau arus modernisasi di tambah lagi dengan pentingnya suatu peningkatan kesejahteraan hidup warga Papua. Sebagai tajuk rencana dalam penulisan paper ilmiah ini, fokus permasalahan yang akan diambil oleh penulis melingkupi tema pemberlakuan Kebijakan Otonomi Khusus di Papua dengan mencermati berjalannya implementasi kebijakan tersebut yang dicetuskan oleh Pemerintah Pusat dengan menggunakan konsep Asimetri Desentralisasi yang dilakukan oleh dubnia barat untuk mengatasi suatu permasalahan yang berhubungan dengan kemerdekaan yang diajukan oleh suatu daerah berdaulat sendiri, langkah pemerintah tersebut sebagai suatu cara yang dinilai komprehensif dalam mengatasi dinamika masalah yang terjadi di Papua sejak 1961. Wacana untuk merdeka dan berdaulat secara terpisah dengan NKRI merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks antara Pemerintah RI dengan warga masyarakat Papua, terlebih lagi mencuat pernyataan dari Koordinator Umum Organisasi Papua Merdeka (OPM), Lambert Pekikir yang menolak untuk diajak dialog mengenai masa depan Papua secara tegas menyatakan jangan bikin dialog macam-macam, dialog tidak membuat Papua aman, justru yang terjadi adalah polemik yang berkepanjangan dan kami telah menunggu resolusi 2504 diubah PBB, kalau itu sudah dilakukan mau bikin kongres merdeka pun terserah.5 Terlihat jelas penolakan dialog yang disampaikan oleh Koordinator OPM terhadap semua tawaran pemerintah RI dalam proses rekonsiliasi di Papua. Ini menggambarkan bahwa Pemerintah RI yang harus bertanggung jawab atas ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap semua program Pemerintah RI termasuk dengan Program Otonomi Khusus dan juga adanya Program UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) yang telah gagal total dan juga kebijakan Otonomi Khusus ini malah memperparah konflik di Papua.
4 5

M. Busrizalti, Hukum Pemda: Otonomi Daerah dan Implikasinya. (Yogyakarta: Total Media, 2013). Hlm. 63. Tabloid Reformata, Edisi 146 Desember 2011. Oleh Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA). Hlm. 4.

Sedikit menjelaskan bahwa suatu kebijakan pemerintah pasti bertujuan untuk kemakmuran rakyat, tapi nyatanya kebijakan pemberian Otonomi Khusus (Otsus) yang diimplemetasikan di daerah Papua boleh dibilang jauh dari target utama yaitu untuk menciptakan kemakmuran daerah terkhususnya kemakmuran rakyat yang dalam proses implementasinya melupakan aspek pendekatan sosial budaya (social culture approach) yang sangat kompleks dalam kehidupan masyarakat papua. Sehinggan kebijakan Otonomi Khusus yang telah diimplementasikan hanya membuang banyak sekali anggaran, tapi masyarakat Papua tidak merasa keadilan, kemiskinan, hidup di pedalaman, mendapat perlakuan yang semena-mena, dan pengerukan kekayaan alam Papua, sehingga muncul suatu pernyataan dari rakyat Papua bahwa Bagi Orang Papua, NKRI Bukan Harga Mati. B. Identifikasi Masalah Pada pembahasan kali ini, penulis akan memfokuskan perhatian dari penulisan karya ilmiah ini dengan melakukan pembatasan masalah yakni dalam scope konflik vertikal (warga Papua dengan Pemerintah RI dengan pemberlakuan Otonomi Khusus) dan konflik Horisontal (perang saudara yang terjadi di sekitar lingkungan Freeport). Persoalan dari Otonomi Khusus di Papua terlalu ironis dalam implementasinya di lapangan dan bukan saja menciptakan konflik vertikal tetapi menciptakan konflik horisontal sebagai implikasi dari gagalnya pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

BAB II KONSTRUKSI ARGUMEN


A. Konflik Horisontal Otonomi Khusus yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia terhadap Papua mempunyai muatan politis dan juga mengandung strategi win win solution antara Pemerintah RI dengan masyarakat Papua. Kebijakan ini mempunyai efek yang sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat Papua dari segi keadilan (equity), di mana masyarakat Papua menganggap hidup mereka telah didiskriminasi oleh Kebijakan Pemerintah Pusat perijinan kegiatan pertambangan PT. Freeport di tanah Papua, kebijakan Pemberian Otonomi Khusus terhadap Papua sebagai kebijakan yang sifatnya membujuk atau mengajak damai. Merasa tidak mendapat keadilan, masyarakat Papua mulai mengajukan diri untuk merdeka dari NKRI dengan pembentukan Organisasi Papua Merdeka yang terus mengancam keberadaan PT. Freeport dengan sejumlah aksi-aksi teror. Kebijakan Otonomi Khusus seharusnya memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya baik itu keuangan maupun penyelenggarakan pelayanan umum. Nyatanya semua petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan masih sentralistik yang memerlukan pertimbangan pemerintah pusat yakni presiden. The land of forgot, istilah yang digunakan para antropolog barat kiranya tepat untuk menyebut daerah di ujung timur Indonesia, Papua atau Irian Jaya. Wilayah yang luas dan unik dan kekayaan alam yang melimpah tidak menjadikan Papuan menjadi pusat perhatian bangsa-bangsa dunia. Selama ratusan tahun lamanya, masyarakat Papua tidak memiliki kontak dengan dunia luar. Tidak adanya kontak dengan dunia disebabkan oleh isolasi alam di mana 244 kelompok suku bangsa hidup dengan beragam bahasa, terpasung selama ribuan tahun dalam budaya yang mirip dengan zaman batu.6 Berbagai langkah pemerintah untuk meminimalisir konflik politik dan sosial di tanah Papua mengalami jalan buntuh dalam mengajak dialog dengan tokoh masyarakat sekitar karena sudah menebarkan mosi tidak percaya terhadap bantuan pemerintah RI. Seakan upaya penyelasaian permasalahan gagalnya Otonomi Khusus di Papua seperti paradoks dalam paradoks, tidak ada titik temunya.
6

Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. (Jakarta: CIReS Fisip UI bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, 2007). Hlm. 97.

Penjelasan Rizal Ramli mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menegaskan bahwa rezim SBY-Boediono memang menjalankan politik dua muka di Papua. Di satu sisi, dalam berbagai pidato dan pernyataan, SBY menyatakan pendekatan damai, perlakuan setara, dan tanpa kekerasan terhadap warga Papua. Tapi di sisi lain, dalam kenyataannya terus berlangsung, bahkan meningkatnya kekerasan di bumi Papua.7 Penolakan terhadap direvisinya Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan usaha Pemerintah yang sia-sia dalam menekan angka terjadinya konflik di Papua. Konflik politik di Papua menyulut pemerintah memakai cara dengan pendekatan militer dan juga Metode penyelesaian konflik dengan menggunakan kekerasan (forcing)8 seperti yang dilakukan Pemerintah RI terlalu sangat keliru serta tidak cocok pada konteks di mana pendekatan tersebut diimplementasikan. Respect masyarakat Papua terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sudah pudar dengan gagalnya kebijakan Otonomi Khusus yang membuat terancamnya hak hidup masyarakat Papua terancam dan berniat untuk melepaskan diri atau merdeka karena sudah bosan dengan seluruh janji-janji Pemerintah RI yang melupakan semangat dalam UU Otonomi Khusus juga merupakan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) Nomor IV Tahun 1999. Spirit dari amanat TAP MPR itu ialah mempertahankan keutuhan dan integrasi NKRI, sebab di situ dinyatakan: integrasi bangsa Indonesia dipertahankan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan Otonomi Khusus yang diatur dengan Undang-undang.9 B. Konflik Horisontal Selain itu dengan, permasalahan atau konflik vertikal antara warga Papua dengan Pemerintah Pusat, kemudian muncul suatu konflik horizontal yang terjadi sesama rakyat Papua dengan berlatarkan etnis sebagaimana penulis telah paparkan mengenai keberadaan PT. Freeport Indonesia di bumi Cendrawasih yang dinilai menjadi sumber konflik selain dilihat dalam artian suatu kebijakan yang diciptakan Pemerintah RI. Tetapi keberadaan PT. Freeport Indonesia yang merupakan anak cabang dari Freeport-McMoRan Copper & Gold.
7 8 9

Loc.Cit. Tabloid Reformata, Edisi 146 Desember 2011. Oleh Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA). Hlm. 8. Jimmy L. Gaol. A to Z Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia. (Jakarta: Grasindo, 2014). Hlm.648.

Azyumardi Azra, Jamal D. Rahman et,al. Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. (Jakarta: Mizan, 2008). Hlm. 469.

Inc sebagai suatu sumber konflik antar etnis dengan modus perebutan keuntungan dari masing-masing di sekitar daerah Timika. Sebuah pernyataan sederhana dari Kapolda Papua bahwa terjadinya konflik sebagai perang suku yang merupakan budaya yang mengakar dalam kehidupan mereka 10. Namun jika diteliti mengenai latar belakang permasalahan konflik horisontal ini dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik kekerasan (political economy of violence) oleh Elwert.11 Terdapatnya pro dan kontra terhadap kehadiran dari PTFI yang menyebabkan konflik horisontal antara etnis untuk merebut keuntungan. Pihak PTFI memberikan bantuan akomodasi berupa peningkatan fasilitas umum dengan mengucurkan dana yang dikelola oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) yang fokus pendanaannya terhadap daerah Dani, Moni, Ekari/Mee, Damal, dan Nduga. Dana kemitraan tersebut mencapai 52 Juta Dollar AS pada tahun 2006, dan kontribusi total sejak dana tersebut digagas adalah sebesar 242 Juta Dollar AS. 12 Persaingan antara berbagai suku yang berada di sekitar Timika di tengarai bahwa PTFI telah menjadi aktor kunci yang melatarbelakangi terjadinya konflik horizontal antar sesama etnis di Papua dengan memebrikan bantuan akomodasi berupa makanan dan angkutan transportasi untuk masyarakat supaya menciptakan konflik antar etnis dan juga menurut masyarakat sekitar adanya campur tangan oknum Kepolisian, TNI, dan BIN (Badan Intelijen Negara) dalam konflik sesama warga.13 Berbagai upaya mediasi telah dilakukan oleh tokoh adat dan juga tokoh agama dalam meminimalisir konflik yang terjadi Papua terkhususnya konflik horisontal yang terjadi antar suku dan meruntuhkan semangat persatuan dan kesatuan yang sesungguhnya dari rakyat Papua belum mendapatkan titik temu dari pemecahan masalah horisontal antar etnis dipicu masih adanya rasa arogan dan perasaan saling curiga antar etnis dalam perebutan tanah ulayat.

10 11 12 13

Op.Cit. Azyumardi Azra, Jamal D. Rahman et,al. Hlm. 473. Ibid. Azyumardi Azra, Jamal D. Rahman et,al. Hlm. 475. Ibid. Azyumardi Azra, Jamal D. Rahman et,al. Hlm. 477.

Diakses dari Nabire.net: http://www.nabire.net/selain-karena-dibukanya-jalan-paniai-nabire-freeport-juga-ditudingsebagai-biang-perang-suku-di-timika/. Pada tanggal 24 April 2014, Pukul 10.13 PM.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan Di akhir pembahasan yakni pada tahap kesimpulan dari pembahasan mengenai Permasalahan Otonomi Khusus di Papua yang bukan saja menyebabkan konflik vertikal namun juga menyebabkan konflik horisontal yang terjadi di lingkungan internal warga Papua dan tentunya meresahkan warga Papua yang lainnya serta melecehkan kehidupan sosial budaya masyarakat Papua dari segala konflik kepentingan yang terjadi. Reformasi tata pemerintahan baik itu di pusat maupun daerah agar kebijakan yang dikeluarkan tidak salah kaprah seperti kebijakan Otonomi Khusus yang merenggut hak warga Papua sehingga tercapainya suatu kualitas pelayanan publik yang penuh integritas serta berkeadilan yang merata terhadap semua rakyat Papua. Permasalahan Otonomi Khusus di Papua seharusnya menjadi suatu agenda kerja sama yang penting antara Pemerintah RI, Pemerintah Papua, Tokoh Masyarakat (adat dan agama), dan pihak PTFI. Sehingga dapat menjelaskan suatu cara bila Papua dapat memisahkan diri dengan Indonesia atau Pemerintah dapat mengakhiri penderitaan Masyarakat Papua yang telah terdiskriminasi dari rasa ketidakadilan, hidup terisolir. Ataukan perlu dengan pendekatan Asimetri Desentralisasi yang menjadikan Papua sebagai daerah istimewa seperti yang diberlakukan pada daerah Aceh. Mari kita melihat sebagai suatu kebijakan yang dapat dicari jalan keluarnya dan bergandeng tangan demi tercapainya suatu kondisi yang kondusif di bumi cendrawasi. Singkatnya, badai pasti berlalu.

DAFTAR PUSTAKA
Buku Azra, Azyumardi., Rahman, Jamal, D., Komaruddin, Hidatat., Widjanarko, Putut. (2008). Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: Mizan. Gaol, Jimmy L (2014). A to Z Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Grasindo. Busrizalti, M (2013). Hukum Pemda: Otonomi Daerah dan Implikasinya. Yogyakarta: Total Media. Hadi, Syamsul., Widjajanto, Andi. (2007). Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: CIReS Fisip UI bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Utomo, Warsito (2011). Dinamika Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Utomo, Warsito (2009). Administrasi Publik Baru Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Media Massa Gaol, J, Hotman. (2011). Apa Perlu UP4B?. Tabloid Reformata (Edisi 146, 1-31 Desember 2011). Internet Admin, nabire.net. (2014). Selain Karena Dibukanya Jalan Paniai- Nabire, Freeport Juga Dituding Sebagai Biang Perang Suku Di Timika. [online]. Tersedia: http://www.nabire.net/selain-karena-dibukanya-jalan-paniai-nabire-freeport-juga-ditudingsebagai-biang-perang-suku-di-timika/. [24 April 2014, Pukul 22.13 WIB]

Вам также может понравиться