Вы находитесь на странице: 1из 15

DIA

Aku rindu dengan aku yang dulu


Saat penat tak mengalahkan tekadku
Saat optimis masih menjadi prinsipku
Impianku menjadi orang baik dan
memerbaiki orang

Begitulah isi secarik kertas yang kudapati di meja belajarnya. Bagiku Dia orang yang
masih misterius, walau aku sudah 2 tahun ngekos bersamanya. Jarang bicara, tapi sekalinya
bicara bisa membuat orang tertawa dan betah ngobrol dengannya sampai pagi, yang aku heran
lagi, Dia kadang menangis sendiri sambil mendengarkan lagu-lagu di MP4nya, apa yang
sebenarnya Dia tangisi?, kadang berhari-hari Dia tidak pulang ke kosan, padahal setahuku Dia
tidak punya banyak teman, lantas, kemana Dia pergi? Dan dimana dia berada? Satu lagi yang
membuatku penasaran, hampir tiap hari Dia pergi pagi-pagi sekali, mau apa dan ada apa di
kampus? Segala sesuatu tentangnya adalah tanda Tanya.
Penasaran mendorongku untuk meneliti lebih detail jenak-jenak waktunya. Mulai dari
bangun tidur, kuliah, sampai kembali ke kosan.
Saat itu hari Kamis, waktu masih menunjukan pukul dua dini hari. “Ini saatnya beraksi”
gumamku pelan. Aku ingin tahu apa yang dilakukannya saat hari masih dini. Dia sedang sujud,
dari situ aku dapat satu point tentang kepribadiannya, kalau Dia adalah pribadi religious. Selesai
salam, kusapa dirinya,
“Tahajjud, Bang??” tanyaku biasa memanggilnya Bang,
“Ah enggak, solat isya, tadi kecapean jadi langsung tidur, lupa deh solat isyanya.
Aku tak bisa membedakan mana yang solat isya mana yang solat tahajjud, karena setiap
dini hari Dia pasti sudah melek, sedangkan aku, aku juga melek, buang air kecil, kemudian tidur
lagi.
Adzan subuh terdengar serak-serak dari kejauhan. Dia mengajakku solat berjamaah di
masjid seperti biasa. Biasanya aku tak penuhi ajakannya sambil sedikit basa-basi orang sunda,
“Insya Alloh Bang, ntar nyusul!”. Khusus untuk hari itu aku memenuhi ajakannya walaupun
harus mengurangi jatah tidurku.
Sambil terseok-seok aku ikuti langkahnya. Lima menit sudah aku mengekornya, maklum
kos-kosan yang aku tempati jauh dari masjid. Lima menit adalah mesjid paling dekat, namun
bagiku begitu jauh, sama halnya dengan jarak antara Jakarta dan Bandung.
Terkejut diriku bukan buatan sambil menggesek-gesek mata dengan punggung tangan.
Sepenuh inikah masjid? Ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak semuanya berkumpul, beda sekali
dengan masjid-masjid di kotaku, besar, tapi selalu kosong melompong.
“Bang, tiap hari sepenuh ini?” tanyaku penasaran.
“Enggak, Cuma hari ini saja”
“yaaa.. sama aja kalau gitu, itu artinya hari-hari biasa tetap kosong”
Usai solat shubuh Dia maju kedepan, naik ke atas mimbar, namun kemudian turun
kembali. Alangkah terkejutnya diriku, ternyata Dia bisa ceramah juga, aku kira orang pendiam
tak bisa bicara di depan umum.
“Maaf ibu-ibu bapak-bapak, saya tak biasa ceramah di atas mimbar” katanya
Retorikanya mengagumkan, humor-humornya segar dan mendidik. Hebat, tak
menyangka, ternyata teman satu kosku benar-benar multitalenta, diem bisa, ngomong juga bisa.
“waaah mang, hebat juga, aku enggak nyangka, jadi tiap hari kamis ya ngisi ceramah ibu-ibu
bapak-bapak?”
“Ah enggak, baru dua kali, pak ustadz yang biasa ngisi ceramah lagi demam, udah dua pekan
aku gantiin beliau, mungkin minggu depan insya Alloh beliau ngisi lagi”.

***
seminggu kemudian…

terhapuslah sudah semua penasaranku tentangnya, sekarang Dia bukan orang misterius
lagi bagiku. Aktivitasnya dari A sampai Z sudah aku ketahui, semuanya memiliki cerita sendiri-
sendiri, mengapa ia suka menangis? Mengapa juga kadang berhari-hari Dia tak pulang ke kosan?
Dan mengapa Dia pergi ke kampus pagi-pagi sekali.
Sungguh aku kagum dan terharu dengannya, dia tipe orang yang “Apa adanya, tapi ada
apanya”. Aku kira, Dia orang yang tak pernah jatuh cinta sama cewek, ternyata Dia juga
manusia, bukan malaikat. “Tak ada orang suci, yang ada hanya orang yang berkomitmen untuk
terus menyucikan diri” begitu jawabnya ketika aku bertanya kepadanya tentang kesholehannya
yang selalu terjaga. Sekarang aku tak ragu untuk menjadi orang soleh, karena ternyata orang
soleh enggak mesti kuper, enggak mesti ngurung diri seharian di dalam masjid, enggak mesti
mengasingkan diri dari pergaulan, pokoknya asyik deh, cumin kebetulan temenku yang satu ini
emang udah dari sana nya punya sifat pendiam, ngomong seperlunya, dan enggak bisa basa-basi,
jadi beberapa orang menilainya eksklusif, ternyata tidak. Sekarang aku enggak mau menilai
orang cumin dari covernya.

***

Satu minggu yang lalu…

Nafasku tersengal-sengal, putus-putus, tenggorokanku kering bukan buatan, aku perokok


berat, enggak terbiasa main bola terlalu lama. Dia benar-benar hebat, pantas kalau teman-
temannya member gelar “Macan lapangan”, staminanya oke, padahal bangun selalu jam tiga atau
jam dua. Keren abis lah pokoknya!
Karena otot-otot kakiku sudah terasa pegal, aku memutuskan untuk mendeportasi diriku
ke pinggir lapangan, selonjoran sambil menonton kelanjutan pertandingan bola antar mahasiswa.
Baru lima menit main rasanya seperti sebelas jam, capek nya minta ampun.
Ini ternyata yang dikerjakannya tiap pagi, pantas staminanya selalu fit. Bayangkan saja,
main bola setiap pagi? Ternyata diam-diam Dia juga gila bola, sama sepertiku, bedanya Dia suka
main bola, aku main game bola, be te (bede tipis) kan?
“gak main lagi?”
“Capek Bang!!!”
“Lha, baru lima menit kok udah capek?”
“Maklum bang, kebanyakan ngonsumsi siwak firaun!!!”
“????????????????????????”
“Rokok, Bang!!!”
“Oooooooooooooooh… ada-ada aja ente” tawanya meledak seperti petir di siang bolong.
Dua jam sudah aku menemaninya dalam pertandingan bola antar mahasiswa yang
diadakan tiap hari, kecuali hari minggu senin dan selasa, karena lapangannya di pakai oleh
kegiatan ekstra kulikuler lain seperti karate dan basket, maklum, lapangannya tak terlalu besar,
hanya setengah dari Stadion Bung Karno, mungkin! Kalau gak salah ngukur.

***

“Men sana inconpore sano”, bener tuh kata-kata itu, “Dalam tubuh yang kuat
terdapat….” Ah lupa lagi! Pokoknya begitu. Main bola sudah membuat aku tak jadi “ahli uap”
lagi saat dosen mencak-mencak menjelaskan materi. Dia pernah bilang, kalau gak salah olah raga
juga bisa buat kita pintar, karena dengan olah raga otomatis aliran darah kita lancar, kalau aliran
darah lancar, otomatis otak mikirnya lancar, otomatis jadi pinter, bener gak? Maklum bukan ahli
kesehatan.
Waktu bergulir begitu cepat, secepat detak jantung orang yang sudah lari marathon. Jam
kuliah sudah usai.
“Bang mau kemana lagi udah ini?’ tanyaku penasaran belum puas dengan hidden activity yang
selama ini luput dari pandanganku.
“Oh ya, maaf nih, malam ini ada pengajian di masjid al falah, yang ngisnya Ustad yang ceramah
di masjid kampus…”
“Ooh mau ngaji ya?”
“Yaa.. sambil ngaji sambil jualan, acaranya sampai malam, setelahnya ada itikaf sampai subuh,
setelah solat shubuh ada ceramah on air langsung dari masjid, siangnya ada pengajian lagi di
masjid al hidayah, sekalian jualan lagi, jadi maaf, beberapa hari kayaknya aku enggak pulang!”
“Oke, gak apa-apa mang”
Terjawablah sudah penasaranku yang lainnya. Dia tidak pulang karena ada bisnis jualan
DVD Murottal, makanan ringan dan jilbab wanita, karena pria enggak pake jilbab. Keren!, sudah
bisa mandiri secara financial, kalau aku masih ngandelin BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari
ortu.
Kehidupan Dia mirip film Yamada Tarou Kun yang baru ku tonton kemarin-kemarin.
Film mini seri Jepang yang mengisahkan tentang seorang pemuda…. Panjang kalau dijelasin,
tonton aja sendiri!!

***

Adalah hal yang pasti, tiap kali Dia pulang dari bisnisnya, selalu membawa buah tangan.
Biasanya martabak telor manis dan asin, atau gorengan dan nasi goreng. Dia benar-benar sahabat
bermutu, dan tau “Si Kon”(Baca: Situasi Kondisi) sahabatnya yang selalu kelaparan. Mungkin
ini yang membuatku betah tinggal se kos sama Dia, walaupun kemisteriusannya terkadang
membuatku antipati dan berpikir negatif, tapi hadiah-hadiah berupa makanan yang dia berikan
padaku membuat imejnya di mataku berubah dari imej misterius menjadi misterius tapi
menyenangkan.
“tahaadduu.. tahaabbuu….”, begitu katanya ketika ku tanyakan tentang alasannya
mengapa selalu membawa oleh-oleh atau hadiah untukku. “Saling memberi hadiahlah, maka
kalian akan saling mencintai”. Kalau cewek-cewek gatel pasti bilang “so.. sweet!!!”, kalau aku
bilang “keren bro!!!”.
“Gimana bisnisnya mang? Waaah pasti sukses nih” kataku sambil mengunyah sekerat martabak
telor yang masih panas.
“Alhamdulillah ada peningkatan”
“Peningkatan hasil?”
“Yup, sama peningkatan status!”
“Maksudnya?”
“Ah udahlah, nanti aja diceritainnya, gak seru”
“Jangan gitu dong mang, ayo certain!”
“Nanti ada saatnya”
“eeeaarghhhh!!!” sendawa (Teurab; B. Sunda)
Malam ini aku pasti tidur pulas, bagaimana tidak, satu dus kecil martabak berisi 20
potong martabak sudah kulahap semua. Untuk Dia kusisakan dua, bukannya tak tau diri, tapi Dia
memang jarang ngemil, apa lagi martabak, Dia lebih suka makan dari pada ngemil, apalagi kalau
sama semur jengkol, itu makanan favorit Dia, lima piring pun pasti habis.
Badanku roboh di atas kasur penuh kepinding, kelopak mataku semakin lama semakin
berat. Dia memang kawan sejati, menyelimutiku supaya terhindar dari nyamuk nakal dan
kepinding (tumila; B. Sunda) gatel.
Malam itu aku bermimpi indah, bidadariku datang menyapa, matanya bulat seperti bola
tenis, hidungnya panjang dan runcing seperti tusuk sate, aaah benar-benar wanita tipikalku,
namun tunggu!! dia menangis sesengukan, kenapa? Ada apa? Aku bukan orang jahat!! Aku
belum pernah membunuh, kecuali satu kali seumur hidupku, itu pun membunuh tikus, sekarang
aku sudah tobat.
Aku tersadar, mataku yang tertahan kantuk mulai terbuka sedikit, rupanya Dia sedang
menangis sesengukan di atas hamparan sajadahnya, begitu khusyu, wajahnya sembab dibanjiri
air mata.
Aku paksa tubuhku untuk bangun. Ingin rasanya seperti Dia, bisa menangis khusyu
dalam solat malamnya.
Saat aku terbangun, Dia masih bercucuran air mata, masih sesengukan, lama, lamaaaa
sekali. Aku mendekatinya dan serta merta dia menghapus air matanya.
“………………………………………………….” Hening, aku tak berbicara sepatah katapun
padanya agar tak menggangu.
“Kamu tau enggak?” tiba-tiba Dia mengawali
“tau apa bang?”
Dia menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.

“Sebelum aku ikut SPMB dan kuliah di Universitas yang sekarang ini, aku sempat ikut
seleksi beasiswa belajar di Pakistan, aku dinyatakan lulus. Aku, orang tua dan seluruh
keluargaku bahagia bukan kepalang. Saat hendak ke berangkat ke Jakarta untuk mengurus visa,
keluarga dan orang sekampung melepas keberangkatanku. Rencananya setelah visa turun aku
langsung bertolak ke Pakistan”.
“Suasana haru pun terjadi, aku memeluk ayahku, nenek dan sepupu-sepupuku yang
masih kecil-kecil. Aku sudah tak punya ibu, beliau telah pergi, jauh sebelum aku bisa
mengucapkan kata ‘Ibu’dan ‘Ayah’”.
“Setelah sampai Jakarta, aku menginap sementara di pondok pesantren tempatku belajar
dulu, saat usiaku masih 11 tahun. Sehari, dua hari, tiga hari, visa tak kunjung turun, sampai
akhirnya ada berita bahwa di Pakistan sedang terjadi konflik, jadi orang asing tidak boleh masuk
ke Negara itu. Akhirnya keberangkatanku ke Pakistan ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan
lamanya. Sambil menunggu visa, kyai pondok memerbolehkanku untuk mengajar, sebagai salah
satu bentuk pengabdianku”.
“Setahun sudah berlalu, tapi aku urung untuk memberi kabar kepada keluarga. Tekadku
sudah bulat, hanya akan menelepon keluarga di kampung jika aku sudah ada di Pakistan. Aku tak
mau mengecewakan keluarga dan orang sekampung yang telah mengiringi keberangkatanku,
namun tekad itu yak bertahan lama, suatu hari ketika sedang solat dhuhur berjamah di masjid,
pikiranku tiba-tiba kalut, ada sesuatu yang membuatku ingin menelepon keluarga di kampong,
seakan sesuatu itu langsung berbisik ke telingaku.
“Dengan perasaan tak menentu, akhirnya ku telpon keluargaku,
‘Hallo, siapa ini?” seseorang tiba-tiba mengangkat telpon
‘………………………………………………………..’ hening, aku masih ragu
‘Hallo siapa ini??”
‘Ini……… Dia’
‘Diaaaaaaaaaa…… bapakmu sudah meninggal sebulan yang lalu!!!!!!’”.
“Saat itu seluruh badanku terasa lemas, aku tergagap, tak mampu berkata-kata, ingin
rasanya menumpahkan seluruh air mata, bagaimana tidak? Ayah adalah orang terbaik yang
pernah ku temui di dunia ini, aku menyayanginya, dan beliau pun sangat menyayangiku. Hari-
hariku bersamanya adalah senyum dan tawa, ia adalah sosok sempurna bagiku”.
“Hal yang paling membuatku sedih lagi adalah tatkala aku mengetahui bahwa ayahku
sebelum meninggal sering merindukanku, dan kerap kali menanyakanku dalam igauan tidurnya.
Kalau sedang nonton TV pas kebetulan ada berita tentang Pakistan, kerinduan ayahku kepadaku
semakin menjadi-jadi”.
‘Lagi apa ya Dia sekarang? Sehat apa enggak?’ Tanya ayah berbicara sendiri”.
“Bibiku menceritakan bahwa ayahku membiarkan rambutnya terurai panjang sampai
sebahu, kusut, berantakan dan tak pernah disisir. Kalau dikatakan kepadanya ‘Potong lah
rambutmu itu, Orang-orang tak sedap melihat rupamu!’, ayah hanya menjawab ‘Aku ingin
rambut ini dipotong oleh anak ku’”.
Suatu hari ayah pergi ke hutan untuk menebang pohon. Beliau ayunkan kampak ke pohon
sedikit demi sedikit, hingga pohon yang cukup besar pun nampaknya akan tumbang. Kawan-
kawan yang bersamanya mulai menghindar agar tak tertimpa pohon, namun ayah tetap pada
posisinya, diam mematung. Kawan-kawan ayah yang merasakan ada tidak beres dengan prilaku
beliau berlari ke arahnya, mencoba menghindarkan beliau dari pohon tersebut, namun usaha
kawan-kawan ayah gagal, pohon lebih dulu menimpanya. Ayahku pun jatuh sakit beberapa hari
pasca tragedy itu, sampai akhirnya beliau kembali keharibaan ilahi. Itulah yang selama ini
membuatku sering menangis sendiri. Aku merasa berdosa terhadap ayah”.

Aku menarik nafas dalam-dalam, ceritanya membuatku menangis, padahal aku orang
yang langka menangis, tapi hari ini, setelah mendengar ceritanya, butiran air mataku menetes.
Orang buas sepertiku ternyata masih punya hati!i aku jadi rindu ayah dan ibu, selama ini aku
selalu mngacuhkan mereka, uang mereka aku pakai, tapi nasehat mereka aku buang.

***
Dua minggu kemudian…

Hari ini aku sedang duduk di sebuah bangku, sendiri dalam keramaian, menatap wajah
bahagianya dari kejauhan. Dia, teman lama yang baru kukenal sosoknya kemarin, yang baru
menjadi inspirasi baru hidupku, kini, harus berpisah denganku.
Tiga haru lalu Dia memenuhi janjinya untuk menjelaskan kepadaku perihal peningkatan
status yang sebelumnya ia katakan. Dia memberikan secarik kertas undangan, sederhana tapi
unik, aku yakin itu pasti hasil desainnya sendiri.
“Tu.. tu.. tunggu.. ini beneran?” aku tergagap
“Peningkatan status, ingat kan?” Dia balik bertanya
Aku hanya menganggukan kepala, seakan tak percaya apa yang kulihat. Tertulis di
undangan itu “Diaul Haqq dan Diana”.
“Kenapa gak pernah bilang-bilang?”
“Kan biar surprise!”
“Tapi nanti aku tinggal sama siapa?”
“Tenang, aku udah bicara sama Joko supaya tinggal bersama kamu, dari pada dia sendirian lebih
baik berdua, biaya kosnya kan jadi lebih ringan kalau patungan”
Aku masih terduduk menyaksikan pesta walimahan yang sederhana tapi meriah. Dia dan
istrinya bersandingan di pelaminan, sangat kontras, Dia Sembilan, istrinya ku nilai enam, biasa-
biasa, tidak cantik tidak jelek. Apa kira-kira yang membuat Dia mencintainya? ?? benar apa kata
pepatah love is blind, cinta itu buta. Tidak peduli cantik atau tidak, kalau sudah cinta lain
ceritanya.
Acara pernikahan sudah usai, sekarang Dia menggandeng pasangannya, pulang ke rumah
kontrakan barunya. Merajut mahligai rumah tangga. Aah.. indah nian nampaknya.
Untuk beberapa hari kedepan, aku masih sendiri, joko baru akan pindah sekitar tiga
minggu lagi. Saat ini, aku sendiri, tiada yang menemani, Dia dan barang-barangnya yang sering
kupinjam telah pergi, kecuali satu barang yang tertinggal disini, buku catatan hariannya, inilah
yang akan menemaniku sementara sambil menunggu Joko.
Ku buka lembaran pertama buku diary nya. Ku tatap kata-kata itu lekat-lekat. Ini rupanya
yang membuat cita rasa cintanya berbeda, kalau aku kebalikan dari prinsipnya. Kata-kata itu
adalah:

Bukan titik yang membuat tinta


Tapi tinta yang membuat titik
Bukan cantik yang membuat cinta
Tapi cinta yang membuat cantik

“Keren bro!!!” komentarku


Kemudian ku buka lembaran-lembaran lain, kali ini ku temukan sebuah syair menggugah
tentang pemuda sejati:

Pemuda sejati, janganlah hanya duduk malas


Menjalani hari-hari yang tak jelas
Memohon penghidupan sambil memelas
Dunia ini begitu indah nan luas
Keluar … dan lihatlah kemegahan alam tanpa batas
Bangunlah dan teriakan dengan keras
“Takkan kubiarkan hidupku terampas!!!”
“Oleh jiwa pengecut dan rasa malas!!!”
Pemuda sejati, kau adalah harta yang berharga
Untuk bangsa dan agama
Jangan biarkan mereka kecewa
Dengan tindak tandukmu yang tercela
Bahagiakanlah mereka
Buatlah setiap jiwa menghela nafas lega
Melihat masa kembali tersenyum ceria
Pemuda sejati, hidup adalah perjuangan
Perjuangan panjang yang terkadang melelahkan
Membuat punggung jiwamu berat menahan beban
Oh.. alangkah banyak rintangan dan cobaan
Tapi ketahuilah, ia yang akan mengantarmu menuju kesuksesan
Mengajarkanmu arti kedewasaan
Melatihmu bertahan ditengah kemalangan
Sampai tak ada lagi ruang tuk keputus asaan
Pemuda sejati, teladanilah kehidupan Muhammad (SAW)
Yang namanya penuhi jagad
Pribadi mulia yang dikenal berabad abad
Sebagai perubah bangsa bermoral bejad
Pemuda sejati, kau adalah harapan yang dinanti
Kau bagai rahib dimalam hari
Dan penunggang kuda disiang hari
Jadikanlah setiap jenak kehidupan lebih berarti
Tanpa harus memalsukan identitas diri
Pemuda sejati bangun dan bergegaslah benahi diri
Galilah potensi dan temukan amunisi
Agar esok negeri tak lagi mati
Agar esok negeri berseri kembali

Asyik rasanya membuka lembaran-lembaran Diarynya, kata-katanya membuat jiwa


mudaku kembali, membuat ada harapanku belum ada. Aku belum puas, aku hanyut dalam
lembaran-lembaran diarynya, lembar terakhir adalah cerprn ke 19 dari 20 cerpen yang tak kalah
menariknya.
Habis??? Lembaran itu sudah habis kulahap semua, padahal belum lewat tiga jam, benar-
benar menyenangkan.[]
Cerita Pagi

Pagi memiliki ceritanya tersendiri bagi seorang pemuda tanggung yang berusaha belajar
mandiri. Saat mentari menyapa, ia mulai membenahi dirinya dengan sedikit membasahi rambut
kemudian menyisirnya serapi mungkin. Detik yang terus berlalu membuatnya tergesa-gesa,
seakan ada momen penting yang tak boleh terlewat barang sedetik pun.
Motor kurus tanpa mesin (Baca:sepeda) yang setia menemaninya setiap pagi ke kampus
mulai ia giring ke luar rumah dan tak lama kemudian, sambil pamit, sepeda itu pun digebahnya
meluncur ke jalan raya, membeset angin pagi yang sejuk dan segar.
Sambil menghirup udara pagi yang segar, kecepatan sepedanya mulai dikurangi. Momen-
momen yang ditunggu itu belum datang juga, batang hidung yang ia cari belum Nampak.
Hatinya mulai gusar, jangan-jangan detik-detik mengesankan yang tiap pagi didapatinya telah
berlalu mendahului sepedanya. Kalau begitu, paginya tak lagi memiliki cerita seperti pagi-pagi
sebelumnnya.
Mendung di pikirannya tiba-tiba berubah menjadi cerah ketika suara lembut itu menyapa.
Sebuah sepeda motor melintas ke samping sepedanya.
“Assalamualaikum, Kak!” Suara lembut itu menyapanya, membuat hati berbunga-bunga.
Sesaat tatapan mereka berdua bertemu, namun sepeda motor yang di kemudikan
pamannya seakan menegur sang pemuda untuk menundukan pandangan. Dengan sekejap, sepeda
motor itu pun lenyap seolah ditelan bumi. Begitu singkat momen itu, tapi membuat pagi sang
pemuda memiliki ceritanya sendiri.[]
Putri Sudah Remaja

Aku punya adik perempuan, Putri namanya. Bulan ini tanggal 3 Maret 2009, umurnya
genap 16 tahun, sebentar lagi putri masuk SMA. Gayanya sekarang sudah mulai berubah, bagiku
itu membuat resah, tapi bagi ayah dan ibu itu sesuatu yang lumrah. Orang tuaku memang
permisif, tapi masih punya prinsip. Aku dan putri tak boleh berhenti mengaji. Saat aku duduk di
kelas empat SD, orang tuaku mulai gusar melihat anaknya buta agama, tak tahu mana alif mana
yaa, tak tahu siapa Nabi Muhammad saw siapa Nabi Isa. Atas usulan ibu kepada ayah, aku di
masukan ke sebuah TKA – TPA (sekarang TPQ; Taman Pendidikan Quran) yang jaraknya
sepuluh menit jalan kaki dari rumah. Hal ini diberlakukan pula terhadap Putri ketika dia
menginjak kelas yang sama.
Waktu sangat singkat, banyak hal yang berubah di madrasah TKA – TPA itu, ada yang
datang, ada yang pergi, pergantian waktu mengganti wajah-wajah santri dan guru. Sekarang, aku
dan putri berada pada posisi yang sama, sama-sama menjadi pengajar. Mengajar anak-anak
bagiku adalah hal yang menyenangkan sekaligus membosankan, mungkin seperti itu pula
perasaan putri, bahkan nampaknya ia lebih parah dariku, ia ingin meninggalkan mengajar ngaji
di madrasah tersebut, ia ingin hidup seperti kebanyakan remaja pada umumnya.

“Bu, Putri pengen berhenti mengajar ngaji!”


“Mengaji dan mengajar ngaji itu sampai mati!!!”
“Mati, perang kaleeee…” ledek Putri dengan suara pelan.

Keinginan Putri ditolak. Untuk hal yang ini menurutku ibu benar-benar tegas dan bijak.
Putri adalah remaja, dan ada semacam opini publik di kota kami, khususnya di daerahku,
pinggiran kota Bandung, bahwa belajar mengaji cukup sampai SMP. Sudah SMA tak perlu lagi
belajar, apalagi kalau belajarnya di madrasah, campur baur dengan anak-anak ingusan yang
masih bau kencur. Apa kata dunia?
Putri sudah terbius opini publik ini, sekarang ia mulai berani bolos mengajar ngaji, mulai
melawan, bahkan aku pun pernah di makinya. Satu hal yang kusadari, Putri yang sekarang sudah
bukan Putri yang dulu. Aku paham itu, tapi apa yang harus ku lakukan agar Putri mau tetap
bertahan mengajar? Karena kalau tidak, siapa lagi yang mendidik anak-anak titipan itu? Orang
tua mereka pun seakan membuang anak-anaknya, tidak ada kerjasama yang baik antara pengajar
dan orang tua santri, sebagian orang tua hanya tau mengajikan anak-anaknya di madrasah,
selepas mengaji, atmosfer pendidikan hilang sama sekali. Satu sisi, orang tua benar-benar
memercayakan pendidikan agama sepenuhnya kepada madrasah, sisi lain mereka tak tahu apa
yang sebenarnya sedang terjadi di madrasah.

***
Langit Nampak merah keunguan, indahnya ditambah dengan seruan adzan maghrib yang
merdu dari kejauhan. Diriku seakan tertarik ke sana, sebuah masjid, terselip di sela-sela gang,
kecil, namun ramai. Puluhan bahkan ratusan bocah-bocah menggemaskan belajar a bat a tsa di
situ, gurunya banyak, tapi kini berkurang, kemana? Sebagian mengakhiri masa lajang/bujang,
sebagian pindah profesi, nongkrong. Maklum, mayoritas pengajar masih SMA dan kuliah, yang
sudah bekerja dan bekeluarga hanya satu, kepala madrasahnya saja.
Aku sudah tak sabar, hari ini aku menjanjikan hadiah untuk santri-santri kecil yang bisa
menjawab pertanyaanku. Hadiahnya ku beli dari warung tadi pagi, sederhana, tapi
mengenyangkan.

“Bu, Putri mana?” tanyaku.


“masih di sekolah, Nak”
“Petang hari kayak gini?”

Sudah sebulan santri-santri kecil tak melihat wajah Putri, aku tak bisa melarangnya,
sekarang Putri lebih pandai dariku, pandai bersilat lidah. Setiap hari pasti alasannya itu-itu
melulu, ekskul dan belajar kelompok. Aku pernah menasehatinya agar pandai memanage waktu,
karena hidup bukan hanya di sekolah, rumah dan lingkungan tempat kita berada punya hak juga.
Sayang, nasehatku masuk telinga kanan pun sepertinya tidak, tiap kali aku bicara, Putri
memasukkan headset MP4 ke telinganya.
Solat maghrib berjalan dengan penuh kekhusyuan, tidak seperti biasanya, ribut dan
gaduh, bahkan tak jarang sampai berujung pertengkaran, masalahnya sepele, hanya karena cubit
mencubit pantat ketika sujud. Begitulah bocah, belajarnya adalah mainnya atau sebaliknya.
Usai salam, aku dan para santri masih harus menunggu bapa-bapak berjenggot nan
beruban wiridan , maklum masjidnya adalah madrasah juga, 2 in one. Untuk membuat bangunan
sendiri memerlukan dana yang banyak, jadi, untuk sementara dan untuk waktu yang lama
madrasah adalah masjid dan masjid adalah madrasah.
Sambil menunggu bapak-bapak selesai wiridan, seperti biasa, aku membuka mushaf dan
membaca beberapa ayat Al-Quran, sedangkan santri, biasanya berlari-larian di halaman, main
kucing-kucingan sambil teriak-teriak, namun hari ini sunyi senyap, Dennas, santri badung yang
biasa cekikikan pun bahkan tak Nampak gusi-gusinya, hanya diam sambil menopang dagu.

“Tumben, Nas, gak lari-larian?” tanyaku.


“Enggak a”
“Kenapa?”
“Takut dimarahin”
“Sama siapa?”
“itu tuh, sama bapak-bapak yang pake kopiah biru!”
“Kamu nya sih ribut”
“Tapi kan yang ribut bukan Dennas aja, kenapa cuman Dennas yang di marahin? Kenapa
enggak yang lain juga?”
“Mungkin maksudnya ke yang lain juga”
“Tapi Dennas tetep gak suka sama bapak-bapak itu, galak, bicaranya nyakitin….”

Aku tak berkomentar lagi, kudengarkan terus keluhannya tentang bapak tua berjenggot
itu. Semua keluhannya adalah komentar negatif tentang sikapnya. Hal ini adalah salah satu
permasalahan yang sampai kini belum kutemukan solusinya, bagaimana caranya? Bicara dengan
orang tua memang sulit, sedikit mengemukakan argumen disangka menasehati, “Didinya nyaho
naon?, dimana-mana oge tu-ur mah moal ngaleuwihan tak-tak” begitulah bunyi sebuah
pernyataan seorang bapak tua ketika aku berusaha untuk mengingatkannya agar tak bersikap
keras terhadap anak. Perlu pendekatan dan silaturahim intens dengan mereka, tapi aku tak punya
banyak waktu untuk itu, jadwalku padat, usai kuliah langsung kumpul organisasi mahasiswa,
sorenya ada kegiatan lain, begitu setiap hari, mengajar adalah sisa tenaga dan sisa waktuku.
Masjid sudah kosong, wiridan telah usai, santri-santri kecil dikumpulkan, anak
perempuan duduk berjajar di belakang anak laki-laki.

“Apa ini???” tanyaku sambil mengacungkan sebuah benda mencoba untuk mengalihkan
perhatian,
“Pulpeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen!!!!” jawab para santri kecil kompak
“Baguuuuuuuus, sekarang aa minta kalian diam, kunci mulutnya rapat-rapat dan dengarkan!”

Suasana gaduh tiba-tiba menjadi hening. Jurus untuk mengalihkan perhatian yang baru ku
pelajari dari buku kumpulan simulasi dan ice breaking ternyata benar-benar ampuh. Anak-anak
memang sulit dikendalikan, apa lagi anak zaman sekarang, kekerasan dalam mendidik tidak
mempan disini, malah membuat mereka lari. Sudah tak dapat lagi kuhitung jari berapa anak-anak
yang berhenti mengaji akibat kekerasan dalam mendidik. Sekarang, setelah diadakan training-
training dan seminar-seminar cara mendidik anak, para guru tak pernah lagi menerapkan sistem
“Sapu lidi” ketika mengajar, karena mereka sadar kalau kekerasan hanya akan membuat anak-
anak berhenti mengaji kemudian beralih ke lain permainan.
Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, para pengajar belum ada yang datang, baru
aku seorang. Santri-santri nampaknya sudah tak sabar untuk segera dibubarkan, berkelompok
membentuk sebuah lingkaran-lingkaran kecil dengan satu pengajar di setiap kelompok. Aku
sendiri sudah bosan memberi wejangan, dan teka-teki berhadiah sebungkus roti seharga lima
ratus rupiah. Biasanya Putri selalu datang paling awal, jauh lebih awal dariku, namun sekarang ia
mungkin sudah menemukan keasyikan baru dan melupakan mengajar sama sekali.
Adzan isya berkumandang. Tanpa intruksi dariku, anak-anak membubarkan diri mereka
sendiri. Anak-anak perempuan berkumpul di belakang untuk mengenakan mukena mereka, yang
laki-laki, sebagian buang air kecil dan berwudhu, yang lainnya lari-larian di dalam masjid.
Suasana menjadi gaduh, Dennas si bocah badung kembali beraksi, kalau tidak ngisengin anak
perempuan, pasti brantem-branteman. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa, tanganku dua,
mulutku satu, ditambah mikropon masjid rusak, maka, untuk mengatur seratus lebih bocah-bocah
adalah hal yang tidak mudah.
Seorang bapak-bapak tua tiba-tiba melangkah masuk ke dalam masjid, sorot matanya
tajam nan bermuka masam, ia melangkah perlahan menuju mimbar,
“Brug.. brag.. brug.. brag.. !!!!!!!” tangannya menghempas mimbar kayu itu berkali-kali.
Dalam hitungan detik suasana menjadi hening sehening kuburan, hanya senandung
jangkrik yang terdengar.
“maneh teh edeuk ngaraji edeuk ulin? Mun edeuk ulin, geus weh balik!!! Tah budak eta, saha
ngaran maneh??”
“Dennas!!! Dennas!!!” kawan-kawannya menyahut, Dennas sendiri terdiam, wajahnya tertunduk
ketakutan.
“jig balik, ameh teu ngagandengan!!!”
Dennas berdiri sembari mengambil tas gendongnya dan berlalu melangkah keluar masjid.
Hatiku miris melihat peristiwa itu, perasaanku kacau, tersinggung, marah dan merasa tidak
berharga bercampur menjadi satu. Kakek-kakek tua berkopiah itu seakan telah memosisikan
diriku sebagai pengajar yang tidak becus. Padahal menghadapi anak-anak berusia di bawah 10
tahun berbeda dengan menghadapi remaja, pemuda dan orang dewasa.
***

“Maaf ya, bapak saya emang kayak gitu”


“Kamu kan anaknya, saya minta bantuan kamu agar menasehati beliau pelan-pelan”
“Gimana ya.. saya enggak biasa menasehati orang tua, saya suka susah ngomongnya, tapi.. insya
Alloh saya usahakan.
Percakapan singkat antaraku dan salah seorang kawan yang juga staf pengajar berakhir.
Dia adalah putra dari sang kakek berkopiah biru.
Pengajian telah usai tepat pukul 20.00 malam, anak-anak berhamburan keluar masjid,
berlomba-lomba mengambil sandal di rak. Hari ini jumlah lingkaran-lingkarang kecil yang tersisi
oleh pengajar hanya tiga dari sebelas lingkaran yang ada. Kemana para pengajar? Kemana Putri?
Aku merasa menjadi lone ranger kalau seperti ini terus, sudah berhari-hari bahkan berminggu-
minggu anak-anak mengaji tanpa guru. Datang ke masjid hanya formalitas, setelah itu kembali
kerumah tanpa ilmu. Bisa saja aku yang menghandle semuanya, tak usah ada lingkaran-lingkaran
kecil, namun tentunya efektifitas dan hasilnya akan berbeda, pebicaraan dari hati ke hati akan
terasa lebih sulit karena jumlah yang banyak menuntutku untuk membagi rata pandangan mata
ke semua santri.
Aku kembali ke rumah dengan hati yang sakit lantaran peristiwa tadi. Di rumah kudapati
seorang pemuda tanggung masih memakah baju putih abu, tambah geram aku dibuatnya, namun
kegeraman ku sembunyikan di balik senyumanku yang asimetris kepada pemuda tanggung itu.
Tebakanku benar, Putri sudah punya keasyikan baru, sekarang ia sudah mulai berani menunjukan
“Si dia” yang selama ini ia sembunyikan.

“Tok.. tok.. “ kuketuk kamar Pintu kamar Putri perlahan.


“Itu Pacar Putri?” tanyaku langsung begitu Putri membukakan pintu.
“Iya, emang kenapa? Enggak boleh?” jawab putri sinis.
“Putri kan udah janji sama aa enggak bakal pacaran!”
“Itu bukan urusan aa, Putri gak mau terikat dengan janji!”

Jawabannya pedas diluar kebiasaan. Putri sudah benar-benar berubah. Geram ditimpah
geram, bukan main marahnya diriku, dadaku sesak, hampir saja tangan ini melayang ke pipinya,
namun aku paling anti kekerasan. Dengan memasang wajah masam, aku berlalu dari
hadapannya. Malam ini adalah malam yang membuat panas ubun-ubunku. Mulai dari pengajar
yang banyak membolos, peristiwa Dennas, sampai sikap Putri yang mengesalkan.
Aku ingin membalas sikap Putri, aku tidak terima, bagiku sikap putri adalah pelecehan
terhadap statusku sebagai kakak, dimana-mana kakak lebih berkuasa ketimbang adik.
Pagi datang, udaranya begitu segar, semua kemarahanku terhadap putri sudah agak
sedikit hilang, namun rasa ingin membalas kekesalan kemarin masih ada. Putri terlihat sudah
rapi pagi-pagi sekali, padahal biasanya malas-malasan.

“Aa cepetan, udah siang, aa kan udah janji mau antar Putri hari ini!!”

Aku mendengar seruannya, sebetulnya saat yang pas untuk membalas kejengkelannya
kemarin malam, namun sudahlah. Lagi pula, aku baru sadar kalau balas membalas merupakan
sikap orang dewasa yang kekanak-kanakan.
Sesuai dengan janjiku, hari ini ku antar Putri ke sekolahnya dengan motor matic yang
baru ayah beli beberapa hari lalu.

“Put, santri-santri udah banyak yang nanyain,” kataku membuka percakapan sambil
mengemudikan motor.
“Aa ingin Putri mengajar lagi, kasihan anak-anak di masjid, kalau enggak ada Putri, pengajar
perempuan yang lain jadi terbawa malas. Aa ingin Putri jadi Putri yang dulu, semangat, rajin
mengajar, enggak kayak sekarang. Aa tahu, Putri butuh kebebasan sebagai remaja dan aa pun
yakin Putri bisa bebas tanpa harus meninggalkan ngaji kemudian beralih ke pacaran. Put, aa
Cuma mengingatkan, jaga pergaulan, pandai-pandai pilih teman, apalagi kalau udah menyangkut
lawan jenis, cowok itu sensitif kalau udah dekat cewek. Bukannya aa gak percaya sama teman
Putri yang kemarin, tapi setidaknya gaya itu mencerminkan tingkah lakunya, maaf ya Put, kalau
gaya nya amburadul kayak gitu, kurang lebih karakternya juga kayak gitu. Aa khawatir sama
Putri, aa gak mau kalau Putri sampai salah bergaul. Aa minta sama Putri agar selektif memilih
teman. Lihat dengan siapa dia bergaul; setidaknya itu bisa menjadi patokan lain buat Putri dalam
memilih teman!”
Dari tadi aku berbicara sendiri, entahlah apakah Putri mendengar kata-kataku atau
memasukan headset mp4 nya ke telinga? Aku tak tahu!

***

Hari ini, tak jauh berbeda dengan hari kemarin, pengajar yang datang itu-itu lagi, kakek
berkopiah biru marah-marah lagi, Dennas diusir lagi, malah kali ini lebih kasar. Sepulang
mengaji aku menemukannya di sebuah rental game online. Saat ini kekerasan sudah tidak
mempunyai tempatnya lagi dalam dunia anak. Anak-anak sekarang, seperti Dennas, diusir
sepertinya malah menjadi kesempatan, lain dengan anak-anak zaman dulu, orang tua atau guru
mungkin memberlakukan kekerasan, karena zaman belum terlalu menyediakan aneka permainan,
paling-paling main layangan atau kucing-kucingan, oleh karenanya mereka cenderung patuh
tanpa perlawanan, walaupun tetap, tidak dulu tidak sekarang, yang namanya kekerasan tidak
diperbolehkan.
Hari sudah kelam. Putri belum juga kembali. Raut wajah ibu menunjukan kekhawatiran.
Ibu menyuruhku untuk menjemput Putri ke sekolah. Motor yang sudah ku cuci tadi sore terpaksa
harus ku kotori lagi dengan air-air tergenang sisa hujan.
Dengan rasa malas, kugiring motor ke luar rumah, dinyalakan dan dipanaskan sebentar.

“Putri, Putri, kamu emang suka ngeselin” gumamku dalam hati sembari menatap langit kelam
yang tak berbintang.
“Putri, kamu dari mana aja? Tadinya aa mau jemput kamu!” sapaku ketika tiba-tiba putri
muncul di hadapanku.
“BRUG!!!” tanpa kalam dan salam ia berlalu membanting pintu rumah, wajahnya masam tanpa
senyuman.
“Kenapa Put, kamu kok marah-marah gitu? Tanyaku.
“Putri kemana aja? Mama khawatir tau enggak!” timpal ibu.

Tak ada jawaban, Putri langsung masuk kamar, membanting pintu dan menguncinya
rapat-rapat.
Keesokan harinya, saat aku selonjoran di ruang tamu, Putri mendekatiku,

“Benar apa kata aa waktu anter Putri,”


“Cowok yang Putri bawa kesini gak baik!”
“Punya pacar lain?” tanyaku.
“Bukan!”
“Terus apa dong?”

Putri seperti ragu untuk mengatakannya, namun akhirnya dia menceritakan semuanya.
Hatiku lega tatkala putri memiliki sikap atas ajakan yang tak pantas itu.

“Semua laki-laki itu sama, selalu kayak gitu” kata Putri sambil bermuka cemberut.
“Kayak gitu gimana?” tanyaku memancing.
“Emang, cinta itu satu kemasan 3 in one sama yang kayak begitu ya, a?” Putri balik bertanya.
“Menurut Putri?”
“gak tau” jawabnya singkat.
“gak semua cowok kayak gitu, tapi semua cowok punya potensi untuk berbuat seperti itu tatkala
ada kesempatan dan ada niatan dari cowok itu sendiri. Aa yakin Putri udah tau cerita nabi Yusuf.
Cewek sama cowok apalagi bukan mahrom kalau berdekatan seperti kutub utara dan selatan pada
magnet, ada medannya, tarik menarik satu sama lain, bisa lepas kalau sudah berjauhan”.

Putri hanya mengangguk mendengarkan wejanganku. Terkadang seribu nasehat belum


berarti bagi seseorang sebelum ada yang peristiwa yang menyadarkan orang tersebut dan
mengembalikan ingatannya akan nasehat-nasehat yang sebelumnya bagai angin lalu.

“Satu lagu Put, cinta tidak identik dengan yang seperti itu, cinta adalah sesuatu dan ‘yang seperti
itu’ adalah sesuatu yang lain, gak bisa dapat dua-duanya kecuali dengan satu cara yang halal”
“Caranya?” Tanya putri penasaran.
“Menikah, menikah adalah celebration of love, setelahnya adalah puncak keindahan dan puncak
kenikmatan. Pada masa inilah (baca:pasca nikah) cinta benar-benar diuji. Masihkah bertahan
lagu-lagu cinta yang dulu sering disenandungkan? Masihkah bertahan puisi-puisi cinta yang dulu
dideklamasikan? Atau jangan-jangan satu kata ‘sayang’ pun tak pernah lagi diungkapkan. Kalau
begitu, kemanakah perginya ‘Cinta sejati yang dulu sering dihikayatkan?’”.
“Kamu harus bisa mendobrak adat Put! Jangan mengekor terus seperti bebek, latah mengikuti
zaman. Hari-hari kedepan harus dirancang, bukannya malah terlena dengan hari ini sehingga
melupakan yang akan datang. Jangan lupa juga ‘Waktu adalah kehidupan’, kalau Putri menyia-
nyiakan waktu, berarti Putri menyia-nyiakan kehidupan, ingat-ingat syair ini karena waktu yang
telah berlalu takkan kembali terluang:

‘Andai masa muda


Kembali walau sehari saja
Maka kan kukabarkan padanya
Apa yang ia lakukan di masa tua’

***
“Horeeeeeeeeeeeiiii…!!!” santri-santri kecil bersorak-sorai, sebagiannya bertepuk tangan.
Kembalinya Putri mengajar disambut gembira, pengajar perempuan lain pun bermunculan.
Keberadaan Putri ibarat pepatah “Ada gula ada semut”, ada Putri, yang lain pun ikut ada.
Tentang kakek-kakek berkopiah biru, anaknya sudah berhasil menasehati. Sekarang
beliau lebih memaklumi keadaan santri yang terkadang tak terkendali. Beliau sudah paham,
pengajarnya pun tak mendapat imbalan yang begitu besar, selain itu juga terkadang sibuk dengan
aktivitas sekolah, jadi wajar kalau terkadang sebagian ogah-ogahan dalam mengajar.[]

Cerpen ini didedikasikan untuk pengajar Al-Muawanah yang telah mengantarkanku ke


negeri ini, yang pertama mengajariku “Apa itu Islam” disaat aku sama sekali tak
mengenalnya.

Вам также может понравиться