Вы находитесь на странице: 1из 2

Penatalaksanaan Hiperplasi Gingiva Pada Pasien Pasca

Transplantasi Hati

Siti Dzaenap Ulfa, Tati Sri Rahmawati, Tri Winarsih, Widhariyani P, Yulinda Riski, Yashinta Ramadinta,
Zendy Amrin
Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Jurusan Kedokteran Gigi,
Purwokerto

Abstract
Background: Liver is an important organ in the metabolism of drugs that are composed of liver cells which
produce bile. One of the functions of bile is carrying toxic material and metabolic waste out of the body. Objective:
Billiary atresia is a rare congenital disease that attacks the bile ducts infants with symptoms like jaundice on the
body until the patient's teeth. Case Report: This paper reports a male patients (16 yo) who had a gingival
hyperplasia with edema and ulceration of the mucosa on the maxillary and mandibular anterior teeth. Patient had
suffered from congenital biliary atresia since birth and had received a liver transplant at the age of 3 years with
Prednisolone and Cyclosporine drug consumption until now. Gingival hyperplasia induced by Cyclosporine is
considerated. Case Management: The management of this case is scaling and root planning and then substitute
Cyclosporin with Tacrolimus. After treatment, the maxillary gingival hyperplasia is disappear, while the
mandibular one is still visible so the choosen treatment is gingivectomy. Conclusion: Gingivectomy remains to be
done in patients post liver transplantation with some special attention preoperation, during operation, and
postoperation.
Keyword: Biliary atresia, gingival hyperplasia, post liver transplantation, gingivectomy

Pendahuluan
Hati terletak pada inferior dekstra diagfragma
setinggi tulang rusuk kelima. Hati merupakan organ
pengubah makanan menjadi senyawa yang dapat
digunakan oleh jaringan, pembentukan faktor
pembekuan darah kecuali faktor VIII, detoksifikasi
racun, dan proses metabolisme obat. Hati terbagi
menjadi lobus kanan dan kiri yang tersusun atas sel
hati pensekret empedu. Cairan empedu akan keluar
dari sel hati menyatu menjadi kapiler empedu
kemudian menjadi struktur yang lebih besar yaitu
saluran empedu kemudian berjalan keluar dari hati
masuk ke kantung empedu (1). Empedu sebagai
produk hati memiliki 2 fungsi utama, yaitu
membawa bahan toksik dan sisa metabolisme keluar
dari tubuh serta membantu absorpsi vitamin A,D,E,K
(2)
Atresia Biliari termasuk penyakit kongenital
yang menyerang saluran empedu bayi. Tersumbatnya
saluran empedu akan berakibat pada akumulasi
bilirubin sebagai produk akhir hemoglobin yang
tidak dapat keluar dari hati dan tertimbun dalam
darah. Autoimun atau invasi virus pada masa
organogenesis menjadi pertimbangan munculnya
penyakit ini. Kerusakan jaringan sampai gagal fungsi
hati yang membutuhkan transplantasi menjadi
perhatian utama (2). Manifestasi umum atresia biliari
adalah jaundice dalam waktu lebih dari 3 minggu
pasca lahir dan beberapa laporan kasus menyebutkan
gejala yang sama terlihat pada gigi pasien (3).
Hiperplasi gingiva adalah peningkatan jumlah
sel pada jaringan secara abnormal yang merujuk
pada pembesaran ukuran gingiva. Penggunaan obat
sistemik tertentu diketahui dapat menginduksi
pembesaran gingiva dengan sintesis kolagen
berlebihan oleh fibroblas atau inhibisi penghancuran
kolagen dengan penghambatan produksi enzim
kolagenesterase, seperti phenytoin, siklosporin, dan
beberapa golongan antibiotik (4).

Laporan Kasus
Pada tahun 2007, seorang laki-laki (16 th)
dirujuk dari dokter hepatologi ke Departemen
Restorasi Kedokteran Gigi untuk mengobati giginya
yang berwarna hijau. Pasien pernah mengidap
kongenital atresia biliari dan jaundice sejak lahir
sampai pasien menerima transplantasi hati pada usia
3 tahun. Pasca transplantasi, pasien diharuskan
mengkonsumsi prednisolon (4 mg setiap 2 hari) dan
siklosporin A (125 mg dua kali sehari). Pada
pemeriksaan intra oral ditemukan pembesaran
gingiva disertai edema dan ulkus pada mukosa gigi
anterior rahang atas, pigmentasi hijau pada gigi
insisiv rahang atas dan rahang bawah, kaninus dan
molar pertama rahang bawah, namun tidak
ditemukan adanya enamel hipoplasia. Enamel dan
dentin gigi premolar berwarna putih normal
dikarenakan terjadi mineralisasi setelah ransplantasi
hati. Oral hygiene pasien buruk disertai adanya
inflamasi, namun tidak terlihat adanya jaringan lunak
dan tulang marginal yang hilang. Pasien tidak
mempunyai kebiasaan merokok serta tidak
mengkonsumsi obat-obatan selain siklosporin A dan
prednisolon. Sejak dilakukan transplantasi hati
pasien tidak pernah mendapatkan perawatan
periodontal. Berdasarkan pemeriksaan klinis dan
radiografi pasien di diagnosis mengalami hiperplasi
gingiva et causa induksi obat korelasi stain gigi
karena konginetal hiperbilirubinemia (5).




Penanganan Kasus
Edukasi cara menjaga kebersihan mulut secara
baik dan kemudian dilakukan scalling kalkulus
dengan dialiri hydrogen peroksida 5% untuk
mengurangi perdarahan dan menghindari infeksi
selama perawatan. Pasca perawatan pasien diberi
obat kumur chlorhexidine 0,12% dua kali sehari
selama 14 hari. Pasien dirujuk kembali pada dokter
penyakit dalam untuk substitusi obat siklosporin A
menjadi Tacrolimus yang dipilih karena ketiadaan
laporan efek samping pada pembesaran gingiva.
Pasca pengobatan, hiperplasi gingiva pada rahang
atas dapat diatasi, sedangkan pada rahang bawah
masih terlihat sehingga dokter gigi memutuskan
untuk melakukan gingivektomi. Evaluasi pasca
gingivektomi dilakukan selama 1 tahun. Estetika
untuk pigmentasi gigi dicapai dengan veneer
komposit untuk menutupi warna hijau pada gigi (5).

Gambar1. Pemeriksaan Intraoral pada pasien (5)



Diskusi
Perawatan bedah mulut seperti gingivektomi
pada pasien pasca transplantasi memerlukan
perhatian khusus (6). Pasien pasca transplantasi
diharuskan mengkonsumsi obat immunosupressan
untuk mencegah reaksi penolakan tubuh terhadap
organ transplantasi. Siklosporin A merupakan
kortikosteroid penekan sistem imun dengan lebih
selektif pada sel limfosit T dan menghambat fungsi
sel makrofag, monosit, serta neutrophil. Pemakaian
jangka panjang obat ini dapat menyebabkan
kebutaan. gangguan ginjal, dan pembesaran gingiva
Degradasi daya tahan tubuh akan meningkatkan
risiko infeksi dalam perawatan bedah (7).
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum
pembedahan adalah pemeriksaan tingkat kecemasan
pasien, pemeriksaan klinis intraoral dan ekstraoral,
serta pemeriksaan laboratorium mengenai
protrombine time dan trombosit untuk mengetahui
ada atau tidaknya risiko perdarahan yang berlebihan
terkait fungsi hati (8). Premedikasi untuk mengatasi
kecemasan pasien tidak harus selalu dilakukan, tetapi
apabila dibutuhkan dapat diberikan benzodiazepine
per oral 1-2 jam sebelum pembedahan. Penanganan
koagulopati dan trombositopenia pre-operasi
dilakukan untuk menghindari risiko pendarahan saat
atau setelah operasi. Proses penyembuhan luka dapat
dibantu dengan pemberian vitamin K 10 mg secara
parenteral atau tranfusi trombosit bila kadar
trombosit pasien kurang dari 50.000/mm
3.
(9).
Pencegahan infeksi postoperasi dapat dilakukan
dengan pemberian antibiotik profilaksis sebelum
tindakan pembedahan apabila pembedahan risiko
infeksi tinggi atau dilakukan lebih dari 2 jam (10).

Tabel 1. Pilihan antibiotik profilaksis pada pasien
pasca transplantasi hati (11).
Dosis Waktu
Amoksisilin 2 gr oral 1 jam
sebelum
pembedahan
Amoksisilin
kombinasi
metronidazole
500 mg oral 1 jam
sebelum
pembedahan
Vankomisin 1 gr IV Perlahan 1
jam sebelum
pembedahan
Ampisilin 2 gr IV 1 jam
sebelum
pembedahan
Ampisilin
kombinasi
metronidazole
500 mg IV I jam
sebelum
pembedahan

Pemilihan obat anestesi bagi pasien pasca
transplantasi hati perlu diperhatikan. Obat yang tidak
memberatkan fungsi hati atau pengurangan dosis
pada obat yang dimetabolisme oleh hati lebih
diprioritaskan. Anestesi yang dapat dijadikan pilihan
untuk gingivektomi pada kasus ini adalah anestesi
lokal golongan amida, yaitu Lidokain (Xylocaine)
dengan peningkatan interval pemberian atau dosis
yang tidak melebihi 7mg/kg (6). Penggunaan
anestesi ester sebagai pengganti golongan amida juga
pernah dilaporkan (12). Teknik anestesi yang
digunakan adalah infiltrasi pada interdental 33
dengan 32, interdental 31 dengan 41, dan interdental
42 dengan 43 sebanyak 0,5 cc. Tindakan universal
precaution dalam proses pembedahan dilakukan
secara optimal untuk mencegah infeksi (12).
Setelah tindakan gingivektomi, terapi medika
mentosa seperti analgesik dan antibiotik diberikan
dengan pertimbangan metabolisme obat tidak
memberatkan organ hati atau dengan pengurangan
dosis. Pada tabel 1 dibawah ini terdapat beberapa
pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien pasca
transplantasi hati (6) (Tabel 1).

Tabel 2. Pilihan obat tanpa memberatkan kerja hati
(6).
Tidak
disarankan
Disarankan
Analgesik Kodein
Ibuprofen
Aspirin
Asam
mefenamat
K-diklofenak
Antibiotik Erithromisin
Azitromisin
Tetrasiklin
Amoksisilin
Kortikosteroid Prednisone Prednisolon

Kesimpulan
Gingivektomi tetap dapat dilakukan pada
pasien pasca transplantasi hati selama dokter gigi
memperhatikan kondisi sistemik pra-operasi, bahan
anestesi dan tindakan bedah yang diberikan durante
operasi, dan terapi medika mentosa pasca-operasi
yang tidak memberatkan kerja hati.

Referensi
1. Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk
Paramedis, Gramedia. Jakarta. 2005.
2. Hartley H. Dental findings in a patient with
biliary atresia. Journal Clinical Pediatric Dental.
2012; 18 (2) : 3237.
3. Sokol RJ. Pathogenesis and Outcome of Billiary
Atresia: Current Concepts, Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition. 2003; 3 (1): 12-
15.
4. Gosavi DD. Drug Induced Gingival
Enlargement, International. Journal of
Pharmaceutical. 2013; 4 (1): 43-48,
5. range et all . Dental Treatment of an Adult
Patient with a History of Biliary Atresia.
Quintessence International. 2013; 43 (4): 337-
339.
6. Golla K, Epstein JB, Cabay RJ. Liver disease:
current perspectives on medical and dental
management. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
Oral Radiol Endod. 2004; 98 (2) : 516-21.
7. Saleh A, Alqahtani AM. Adult liver
transplantation in the USA. Wolters Kluwer
Health. 2011; 27 (1): 240247.
8. Patel T. Review: Surgery in Patient with Liver
Diseases. Mayo Clin Proc. 1999; 74 (4) : 593-
599.
9. Polok A. Anaesthetic Protocol. Edinburg.
Scotland. 2013
10. Weed H. Antimicrobial prophylaxis in the
surgical patient. The Medical Clinic of North
America. 2003; 87 (1) : 59-75.
11. Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL.
Dental Management of the Medically
Compromised Patient. 7
th
Edition. 2008; 354
12. Grau-Garca-Moreno DM. Dental management
of patients with liver disease. Med Oral. 2003; 8
(2) : 231.
Gambar2. Kondisi pasca perawatan (5)

Вам также может понравиться