2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care
Robert A. Berg, Chair; Robin Hemphill; Benjamin S. Abella; Tom P. Aufderheide; Diana M. Cave; Mary Fran Hazinski; E. Brooke Lerner; Thomas D. Rea; Michael R. Sayre; Robert A. Swor
Basic life support (BLS) merupakan dasar yang penting dalam penyelamatan jiwa pada pasien-pasien dengan henti jantung (cardiac arrest). Aspek fundamental dari BLS antara lain kemampuan untuk mengenali henti jantung tiba-tiba (sudden cardiac arrest / SCA) sesegera mungkin, dan aktivasi system respon gawat darurat, resusitasi kardiopulmoner (cardiopulmonary resuscitation / CPR) sedini mungkin, dan defibrilasi cepat dengan defibrillator eksternal (automated external defibrillator / AED). Pengenalan awal dan respon terhadap serangan jantung dan stroke juga merupakan bagian tersendiri dalam BLS. Pada bagian ini menjabarkan pedoman BLS 2010 pada pasien dewasa, diperuntukkan untuk paramedis emergensi dan pelayanan kesehatan yang lain. beberapa kunci BLS berubah dan ada pula hal- hal yang berlanjut, berdasarkan pedoman BLS 2005. Pedoman ini meliputi :
Pengenalan sesegera mungkin terhadap SCA didasarkan pada penilaian tidak adanya atau ke-tidak-responsif-an dari pernafasan normal (misalnya, korban tidak bernafas atau tersengal-sengal) Lihat, dengarkan, dan rasakan, ditiadakan dari algoritme BLS Memunculkan adanya Hand-Only (hanya kompresi dada) CPR (misalnya, kompresi dada secara kontinyu pada daerah tengah dada) untuk regu penyelamat yang tidak terlatih Perubahan urutan menjadi kompresi dada sebelum membebaskan pernafasan (CAB dibanding ABC) Pekerja kesehatan secara berkelanjutan melakukan kompresi dada yang efektif/CPR hingga kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation / ROSC) atau mengakhiri usaha-usaha resusitasi secara keseluruhan. Peningkatan focus pada metode untuk meyakinkan berlakunya CPR berkualitas tinggi (jumlah dan kedalaman kompresi yang adekuat, pengembangan dada 2
penuh selama kompresi, meminimalisir jeda-jeda yang terjadi selama kompresi dada, dan menghindari ventilasi berlebihan) Pemantauan terhadap nadi tidak begitu ditekankan Memperkenalkan algoritme BLS yang disederhanakan dengan merevisi algoritme sebelumnya Rekomendasi pendekatan yang simultan dan terarah pada kompresi dada manajemen jalan nafas, pernafasan, deteksi irama, dan syok (jika sesuai) melalui tim regu penyelamat terlatih, secara terintegrasi, dalam keadaan yang sesuai
Walaupun sudah banyak perkembangan penting dalam pencegahannya, SCA terus menjadi penyebab kematian pertama di berbagai belahan dunia. SCA memiliki banyak etiologi (penyebab kardio atau non kardio), keadaan (disaksikan atau tidak disaksikan) dan setting-nya (di luar RS atau di dalam RS). Dari heterogenitas ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan tunggal terhadap tindakan resusitasi, adalah tidak praktis, namun inti dari semua tindakan yang dilakukan adalah strategi universal untuk mencapai keberhasilan resusitasi. Semua tindakan ini diistilahkan sebagai suatu Chain of Survival. Untuk pasien dewasa meliputi :
Pengenalan henti jantung dan aktivasi system respon gawat darurat sesegera mungkin CPR sedini mungkin dan penekanan pada kompresi dada Jika ada indikasi, lakukan defibrilasi cepat Advanced life support yang efektif Pelayanan pasca henti jantung yang terintegrasi
Jika semua dari langkah ini terlaksana secara efektif, daya tahan hidup dapat mencapai 50% setelah henti jantung karena fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation / VR) di luar rumah sakit. Sayangnya, daya tahan hidup ini pada banyak kasus di dalam maupun di luar rumah sakit, jauh menurun. Sebagai contoh, daya tahan hidup setelah henti jantung akibat VR, bermacam-macam di sekitaran 5% - 50%, baik di dalam maupun di luar RS. Variasi ini menyebabkan kesempatan perkembangan maupun kemunduran outcome juga bermacam-macam.
Kesadaran akan terjadinya henti jantung tidak selalu mudah, apalagi bagi orang awam. Banyak sekali kebingungan pada regu penyelamat dapat menghasilkan 3
tertundanya atau kegagalan mengaktifkan system respon gawat darurat atau untuk memulai CPR. Waktu yang cukup berharga dapat hilang begitu saja karena orang- orang di sekitar pasien terlalu bingung untuk bertindak. Oleh karena itu, pedoman BLS ini difokuskan pada kemampuan mendeteksi henti jantung dengan pedoman yang sesuai dengan tindakan regu penyelamat. Sekali orang-orang awam disekitar pasien menyadari bahwa si korban tidak merespon, kemudian orang-orang tersebut sesegera mungkin harus mengaktivasi (atau menyuruh seseorang untuk mengaktivasi) system respon gawat darurat. Sekali pekerja kesehatan menyadari bahwa si korban tidak merespon dengan henti nafas atau tidak bisa bernafas normal (misalnya hanya tersengal-sengal), mereka akan mengaktivasi system respon gawat darurat. Setelah aktivasi, regu penyelamat harus sesegera mungkin memulai CPR.
CPR sedini mungkin dapat meningkatkan kecenderungan bertahan hidup, namun biasanya CPR tidak dilakukan hingga responder gawat darurat yang professional datang ke tempat kejadian. Kompresi dada merupakan komponen khusus CPR yang sangat penting karena perfusi selama CPR bergantung pada kompresi ini. Oleh karena itu, kompresi dada harus dijadikan prioritas teratas dan tindakan awal ketika memulai CPR pada korban dewasa SCA. Istilah push hard and push fast ditekankan pada beberapa komponen penting kompresi dada. CPR berkualitas tinggi penting sekali tidak hanya pada onset namun sepanjang jalannya resusitasi. Defibrilasi dan perawatan lanjut harus dihubungkan dalam hal meminimalisir interupsi dalam CPR.
Defibrilasi cepat merupakan predictor kuat keberhasilan resusitasi pada pasien VF SCA. Usaha-usaha untuk mempersingkat waktu antara terjadinya kolaps vaskuler dengan tindakan defibrilasi, dapat meningkatkan ketahanan hidup pada pasien- pasien serangan, baik di dalam maupun di luar RS. Tergantung setting dan keadaan, defibrilasi lebih awal dapat dicapai dengan strategi yang melibatkan regu penyelamat, dimana mereka adalah orang awam, responder nontradisional, polisi, tenaga medis gawat darurat (emergency medical service / EMS) professional, dan tenaga RS professional. Salah satu dari strategi ini adalah penggunaan AED. AED secara baik melakukan penilaian terhadap irama jantung, yang memungkinkan regu penyelamat yang tidak terlatih dalam intrepertasi irama jantung, untuk secara akurat melakukan syok penyelamatan terhadap pasien SCA.
4
Pengenalan dan aktivasi sesegera mungkin, CPR sedini mungkin, dan defibrilasi cepat (jika diperlukan) merupakan rantai pertama dalam BLS, yang disebut chain of survival. BLS di luar rumah sakit dapat melibatkan orang-orang awam yang mungkin baru sekali melakukan suatu tindakan resusitasi seumur hidupnya. Dengan demikian, menciptakan strategi yang efektif dalam menterjemahkan BLS ke dalam dunia awam merupakan suatu tantangan tersendiri. Bagian ini membahas tentang perkembangan pedoman BLS dewasa dengan tujuan memperbaiki pedoman yang lalu dengan pengetahuan terbaru dan sebisa mungkin menerapkan strategi ini ke dalam lingkungan masyarakat awam. Setiap orang, baik orang awam maupun tenaga terlatih, secara potensial dapat menjadi regu penyelamat.
Selain itu, pada bagian ini ditujukan untuk system respon gawat darurat, urutan- urutan BLS dewasa, keterampilan BLS dewasa, penggunaan AED, resusitasi pada situasi khusus, dan kualitas BLS. Bagian Urutan-urutan BLS Dewasa menjelaskan tentang ikhtisar dan ringkasan dari urutan BLS pada dewasa. Bagian Keterampilan BLS Dewasa menerangkan tentang detail yang lebih rinci tentang keterampilan CPR individual, dan informasi lebih lanjut tentang hands-only (hanya kompresi) CPR. Bagian Resusitasi pada Situasi Khusus meliputi sindroma koroner akut, stroke, hipotermia, dan obstruksi jalan nafas oleh benda asing. Karena meningkatnya pengawasan dan usaha untuk meyakinkan kualitas CPR, bagian terakhir difokuskan pada kualitas dari BLS.
Mengaktifkan Sistem Respon Gawat Darurat Pengiriman gawat darurat merupakan komponen tersendiri dari respon EMS. Orang-orang di sekitar tempat kejadian (biasanya orang awam) harus sesegera mungkin melakukan panggilan ke nomor gawat darurat mereka untuk mengawali respon, kapan saja mereka menemukan korban yang tidak merespon. Karena instruksi CPR oleh regu penjemput terhadap orang disekitar tempat kejadian dapat meningkatkan kecenderungan bertahannya korban dari henti jantung, semua regu penjemput harus dilatih untuk menyesuaikan instruksi, sehingga yang bersangkutan dapat melakukan instruksi CPR via telepon (Class I, LOE B).
Ketika regu penjemput meminta orang disekitar korban untuk menentukan apakah masih ada pernafasan korban, orang-orang itu biasanya salah tafsir antara sesak nafas/pernafasan abnormal dengan pernafasan normal. Informasi yang salah ini 5
dapat menghasilkan kegagalan regu penjemput 911 untuk menginstruksikan orang disekitar korban untuk memulai CPR pada korman henti jantung. Untuk menolong orang disekitar korban mengenali terjadinya henti jantung, regu penjemput harus bertanya tentang kesadaran korban dan kualitas pernafasan (normal vs abnormal). Regu penjemput harus member tahu orang tersebut secara spesifik tentang pernafasan abnormal, dengan tujuan mengenali apa itu sesak nafas dan henti jantung (Class I, LOE B). Perlu ditekankan, regu penjemput harus waspada akan terjadinya kejang umum yang singkat, mungkin bisa menjadi manifestasi pertama terjadinya henti jantung. Regu penjemput harus meminta orang disekitar korban untuk melakukan CPR pada pasien yang tidak merespon, yang tidak bernafas normal, karena umumnya pada keadaan henti jantung, cedera serius akibat kompresi dada memiliki frekuensi yang sangat kecil (Class II, LOE B). Dapat disimpulkan, dengan tujuan mengaktivasi responder gawat darurat professional, regu penjemput harus mengajukan pertanyaan yang tidak bertele-tele tentang apakah pasien sadar dan bernafas normal, dengan tujuan mengidentifikasi kemungkinan henti jantung pada korban. Regu penjemput harus pula memberikan instruksi CPR untuk membantu orang disekitar korban untuk memulai CPR ketika dicurigai terjadi henti jantung.
Karena lebih muda bagi regu penyelamat menerima instruksi CPR via telepon untuk melakukan hands-only (hanya kompersi) CPR daripada CPR konvensional (kompresi plus membantu pernafasan), regu penjemput harus menginstruksikan orang awam disekitar pasien yang tidak terlatih untuk melakukav hands-only CPR untuk pasien dewasa dengan SCA (Class I, LOE B). Selama instruksi hands-only CPR memiliki aplikabilitas yang luas, pemberian contoh dalam membantu pernafasan adalah hal yang penting. Regu penjemput harus memasukkan bantuan pernafasan dalam instruksi CPR yang diberikan terhadap orang-orang disekitar korban, baik korban dewasa maupun anak-anak, yang memiliki kecenderungan besar mengalami henti jantung karena asfiksia (misalnya korban tenggelam).
Proses peningkatan kualitas system EMS, meliputi peninjauan ulang kualitas instruksi CPR dari regu penjemput, yang diberikan pada orang yang memanggil, disadari merupakan komponen yang penting pada program penyelamatan hidup yang berkualitas (Class IIa, LOE B).
6
Urutan-urutan BLS Dewasa
Langkah-langkah BLS terdiri dari beberapa seri dari penilaian dan tindakan secara berurutan, yang diilustrasikan pada algoritme BLS baru yang telah disederhanakan (Gambar 1). Tujuan dari algoritme ini adalah untuk menunjukkan langkah-langkah BLS secara logis dan ringkas yang memungkinkan semua jenis penyelamat untuk mengingat dan melakukannya dengan mudah. Tindakan ini telah dilakukan dulunya sebagai urutan langkah-langkah berbeda, dengan tujuan membantu penyelamat tunggal memprioritaskan tindakan yang akan dilakukannya. Walau demikian, di banyak tempat kerja dan kebanyakan EMS serta resusitasi di RS melibatkan suatu tim yang dapat melakukan semua tindakan secara simultan (misalnya, satu anggota tim mengaktivasi system respon gawat darurat dimana yang lain memulai kompresi dada, dan orang ketiga melakukan ventilasi atau mengambil bag-mask untuk membantu fungsi pernafasan, dan orang keempat mengambil dan mengatur mesin defibrillator). 7
Pengenalan dan Aktivasi Sistem Respon Gawat Darurat Sesegera Mungkin Jika penyelamat tunggal menemukan korban dewasa yang tidak merespon (misal, tidak ada gerakan atau respon atau stimulasi) atau menyaksikan seorang dewasa yang tiba-tiba jatuh pingsan, setelah meyakinkan bahwa kejadian itu aman, si penyelamat tersebut harus memeriksa respon korban dengan menepuk-nepuk bahu atau mencoba berbicara pada korban. Orang disekitar tempat kejadian, baik yang terlatih ataupun tidak, harusnya minimal dapat mengaktivasi system respon gawat darurat milik masyarakat (misalnya, memanggil 911, atau jika di dalam suatu institusi dengan sistem respon tersendiri, memanggil sistem tersebut). Jika korban juga mengalami kesulitan bahkan tidak adanya pernafasan (misalnya tersengal- sengal), si penyelamat harus menganggap korban tersebut dalam keadaan henti jantung (Class I, LOE C). Penyelamat yang awam harus menelepon sistem respon gawat darurat di saat si penyelamat menemukan korban yang tidak merespon 8
sedangkan tim penjemput harus dapat memandu penyelamat awam tersebut untuk memeriksa pernafasan dan langkah-langkah CPR, jika diperlukan. Penyedia layanan kesehatan dapat memeriksa respon dan melihat apakah pernafasan normal masih ada atau tidak (misalnya, tersengal-sengal) hampir secara simultan sebelum mengaktifkan sistem respon gawat darurat. Setelah aktivasi, semua regu penyelamat harus sesegera mungkin memulai CPR (lihat langkah-langkah di bawah) untuk korban dewasa yang tidak merespon, yang tidak bernafas atau tidak bernafas dengan normal (hanya tersengal-sengal).
Ketika menelpon 911 untuk meminta bantuan, si penyelamat harus siap untuk menjawab pertanyaan regu penjemput tentang lokasi kejadian, bagaimana jalannya kejadian tersebut, nomor dan kondisi korban, serta alat-alat yang tersedia. Jika si penyelamat tidak pernah belajar atau sudah lupa bagaimana cara melakukan CPR, mereka harus juga dipersiapkan untuk mengikuti instruksi tim penjemput. Pada akhirnya, selama diinstruksikan untuk melakukan CPR, si penyelamat tidak boleh menutup teleponnya.
Pemeriksaan Nadi Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa baik penyelamat awam dan penyedia layanan kesehatan mengalami kesulitan dalam mendeteksi nadi. Penyedia layanan kesehatan pun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan pemeriksaan nadi.
Penyelamat awam tidak harus memeriksa nadi dan harus menganggap bahwa henti jantung terjadi jika korban dewasa tiba-tiba pingsan atau korban yang tidak merespon tidak bernafas secara normal. Penyedia layanan kesehatan harus menghabiskan waktu tidak lebih dari 10 detik dalam melakukan pemeriksaan nadi, dan jika penyelamat tidak dapat merasakan nadi secara pasti selama periode tersebut, penyelamat harus memulai kompresi dada (Class IIa, LOE C).
CPR Sedini Mungkin Kompresi Dada Kompresi dada terdiri dari aplikasi tekanan ritmik yang bertenaga pada sternum bagian setengah bawah sternum. Kompresi ini menghasilkan aliran darah melalui 9
peningkatan tekanan intratorak dan secara langsung mengkompresi jantung. Hal ini menghasilkan aliran darah dan penghantaran oksigen ke miokard dan otak.
Kompresi dada yang efektif merupakan hal yang penting sebagai penjaga aliran darah selama CPR. Untuk alas an ini, semua pasien henti jantung harus dilakukan kompresi dada (Class I, LOE B). Untuk melakukan kompresi dada yang efektif, tekan kuat dan tekan cepat (push hard and push fast). Istilah ini dapat dipahami oleh orang awam dan penyedia pelayanan kesehatan untuk mengkompresi dada orang dewasa pada kecepatan 100 kompresi per menit (Class IIa, LOE B) dengan kedalaman kompresi paling tidak 2 inchi atau 5 cm (Class IIa, LOE B). Penyelamat harus memperhatikan daya kembang dada setelah setiap kompresi, untuk membuat jantung mengisi secara lengkap sebelum kompresi selanjutnya (Class IIa, LOE B). Penyelamat harus berusaha meminimalisir frekuensi dan durasi jeda pada seiap kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan per menitnya (Class IIa, LOE B). Perbandingan kompresi : ventilasi yang dianjurkan adalah 30 : 2 (Class IIa, LOE B).
Menyelamatkan Pernafasan Perubahan pada 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC adalah rekomendasi memulai kompresi sebelum ventilasi. Tidak ada hasil penelitian baik pada hewan maupun pada manusia yang menunjukan perbaikan outcome setelah pemberian kompresi 30 kali dan ventilasi 2 kali, sudah jelas bahwa aliran darah bergantung pada kompresi dada. Oleh karena itu, penundaan dan interupsi (jeda) pada kompresi dada harus dapat di minimalkan sepanjang dilakukan resusitasi. Lagi pula, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, ketika memposisikan kepala, untuk melakukan bantuan pernafasan mulut-ke-mulut, dan/atau mengambil alat bag-mask untuk menyelamatkan pernafasan membutuhkan waktu. Memulai 30 kompresi dibanding 2 ventilasi menyebabkan penundaan lebih kecil pada kompresi pertama (Class IIb, LOE C).
Sekali kompresi dada telah dimulai, regu penyelamat terlatih harus melakukan penyelamatan pernafasan melalui mulut-ke-mulut atau bag-mask untuk menyediakan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut :
10
Berilah bantuan pernafasan selama 1 detik (Class IIa, LOE C). Berilah volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan dada yang dapat terlihat (Class IIa, LOE C). Gunakan perbandingan kompresi-ventilasi, yaitu 30 kali kompresi dada dibanding 2 ventilasi.
Defibrilasi Awal dengan AED Setelah mengaktivasi sistem repon gawat darurat, penyelamat tunggal harus mengambil AED (jika dekat dan mudah diakses) dan kemudian kembali ke korban untuk meletakkan dan menggunakan AED tersebut. Penyelamat kemudian harus melakukan CPR berkualitas. Ketika terdapat 2 atau lebih penyelamat, satu penyelamat harus memulai kompresi dada ketika penyelamat kedua mengaktivasi sistem respon gawat darurat dan mengambil AED (atau defibrillator manual di kebanyakan RS) (Class IIa, LOE C). AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus melakukan CPR dengan kompresi dada dan ventilasi.
Urutan Defibrilasi Nyalakan mesin AED. Ikuti petunjuk pada AED. Lanjutkan kompresi dada sesegera mungkin setelah pemberian syok (minimalkan interupsi/jeda).
Strategi CPR Spesifik untuk Penyelamat : Lakukan Semuanya Bersamaan Pada bagian ini akan menyimpulkan urutan intervensi CPR yang harus dilakukan oleh 3 penyelamat prototipikal setelah mereka mengaktivasi sistem respon gawat darurat. Langkah-langkah spesifik yang harus dilakukan oleh regu penyelamat (hand-only CPR, CPR konvensional dengan penyelamatan pernafasan, CPR dan penggunaan AED) ditentukan oleh tingkatan latihan yang sudah dijalani si penyelamat.
Penyelamat Awam yang Tidak Terlatih Jika orang disekitar tempat kejadian tidak dilatih tentang keterampilan CPR, maka orang tersebut harus bisa melakukan hands-only (hanya kompresi dada) CPR, dengan istilah tekan kuat dan tekan cepat (push hard and push fast), atau 11
mengikuti arahan dari regu penjemput gawat darurat. Penyelamat harus melanjutkan hands-only CPR sampai AED datang dan siap digunakan oleh penyedia layanan kesehatan yang mengambil alih perawatan korban (Class IIa, LOE B). Penyelamat Awam yang Terlatih Semua penyelamat awam, minimal, dapat melakukan kompresi dada pada korban dengan henti jantung. Selain itu, jika penyelamat awam yang terlatih ini dapat melakukan penyelamatan pernafasan, dia harus menambahkan tindakan bantuan pernafasan dalam perbandingan 30 kompresi terhadap 2 ventilasi.penyelamat harus melanjutkan CPR hingga AED datang dan siap digunakan atau provider EMS mengambil alih perawatan korban (Class I, LOE B).
Penyedia Layanan Kesehatan Seoptimalnya, semua penyedia layanan kesehatan harus terlatih tentang BLS. Pada populasi terlatih ini, merupakan hal yang wajar untuk penyelamat EMS atau tenaga professional RS untuk melakukan kompresi dada dan penyelamatan pernafasan pada korban dengan henti jantung (Class IIa, LOE B). Tindakan ini harus dilakukan dalam suatu siklus yaitu 30 kompresi terhadap 2 ventilasi, hingga alat bantu pembebas jalan nafas terpasang; kemudian melanjutkan kompresi dada dengan ventilasi dengan kecepatan 1 kali nafas setiap 6-8 detik (8 hingga 10 ventilasi per menit) harus dilakukan. Perhatian lebih harus diberikan untuk meminimalkan interupsi (jeda) pada kompresi dada ketika memasang, atau membantu ventilasi, dengan alat bantu jalan nafas. Selain itu, ventilasi berlebihan juga harus dihindari.
Jika memungkinkan penyedia layanan kesehatan dapat menyesuaikan urutan- urutan tindakan penyelamatan terhadap kecenderungan penyebab arrest. Sebagai contoh, jika penyedia layanan kesehatan sendirian melihat korban telah mengalami SCA dan memanggil bantuan (menelepon 911 atau nomor respon gawat darurat), mengambil AED (jika dekat), dan kembali pada korban untuk meletakkan AED dan menggunakannya, kemudian melakukan CPR. Jika pelayan kesehatan yang sendiri ini menolong korban dewasa yang tenggelam, atau korban obstruksi jalan nafas oleh benda asing yang menjadi tidak sadar, pelayan kesehatan tersebut dapat memberikan 5 siklus (kurang lebih 2 menit) CPR, sebelum mengaktivasi sistem emergensi gawat darurat (Class IIa, LOE C). 12
Keterampilan BLS Dewasa Urutan dari keterampilan BLS untuk pelayan kesehatan digambarkan pada Algoritme BLS untuk Pelayan Kesehatan (lihat gambar 2).
Pengenalan Terjadinya Henti Jantung (Box 1) Langkah pertama yang penting dalam pengobatan henti jantung adalah pengenalan terjadinya sesegera mungkin. Orang disekitar dapat menyaksikan korban yang pingsan tiba-tiba atau menemukan seorang korban yang terlihat tidak hidup. Pada waktu itu, beberapa langkah harus segera dimulai. Sebelum mencapai korban, regu penyelamat harus yakin bahwa kejadian itu aman dan kemudian memeriksa responnya. Untuk melakukan hal ini, tepuklah korban pada bahunya, kemudian bertanyalah apakah anda baik-baik saja?. Jika korban merespon, dia akan menjawab, bergerak, atau mengerang. Jika korban tidak merespon, penyelamat awam harus mengaktivasi sistem respon gawat darurat. Pelayan kesehatan harus 13
juga memeriksa apakah nafas korban normal atau abnormal, atau tidak ada sama sekali, ketika memeriksa responsivitas korban; jika pelayan kesehatan menemukan korban yang tidak merespon, tidak bernafas, atau tidak bernafas dengan normal (misalny hanya tersengal-sengal), penyelamat harus menganggap bahwa korban tersebut dalam keadaan henti jantung dan sesegera mungkin mengaktivasi sistem respon gawat darurat (Class I, LOE C).
2010 AHA Guidelines for CPR and ECC ini tidak begitu menekankan hal pemeriksaan pernafasan. Penyelamat professional maupun awam bisa saja tidak dapat menentukan secara akurat ada atau tidaknya pernafasan yang adekuat atau normal pada korban yang tidak merespon, karena jalan nafas tidak terbuka, atau karena korban terlihat biasa saja ketika dia mengalami sesak nafas, yang dapat terjadi pada beberapa menit pertama setelah SCA, yang dapat menyebabkan salah penilaian dengan pernafasan yang adekuat. Penyelamat harus memperlakukan korban yang seperti ini sebagaimana apabila dia tidak bernafas (Class I, LOE C). Perlatihan CPR, baik pelatihan formal di dalam kelas, maupun latihan seketika seperti yang diberikan oleh regu penjemput, harus menekankan bagaimana mengenali tipe pernafasan seperti ini dan harus menginstruksikan penyelamat untuk melakukan CPR walaupun keadaan pernafasan pasien masih terlihat biasa saja (Class I, LOE B).
2010 AHA Guidelines for CPR and ECC ini juga tidak begitu menekankan tentang pemeriksaan nadi sebagai salah satu mekanisme untuk mengenali terjadinya henti jantung. Penelitian telah menunjukkan baik orang awam maupun pelayan kesehatan mengalami kesulitan dalam mendeteksi nadi. Karena alasan ini, pemeriksaan nadi dihapuskan dari pelatihan terhadap penyelamat awam beberapa tahun yang lalu, dan tidak begitu ditekankan pada training pelayan kesehatan. Penyelamat awam harus menganggap bahwa henti jantung terjadi dan harus memulai CPR jika ada korban dewasa mengalami pingsan tiba-tiba atau korban yang tidak merespon, tidak bernafas atau tidak bernafas normal (misal, hanya tersengal-sengal).
Pelayan kesehatan dapat memakan waktu cukup lama untuk memeriksa nadi, dan mengalami kesulitan menentukan apakah nadi masih berdenyut atau tidak. Tidak ada bukti, walau demikian, bahwa memeriksa pernafasan, batuk, atau gerakan, lebih utama daripada mendeteksi sirkulasi. Karena keterlambatan kompresi dada harus diminimalkan, pelayan kesehatan harus bisa memeriksa nadi tidak lebih dari 10 14
detik, dan jika penyelamat tidak dapat merasakan nadi secara pasti selama periode itu, penyelamat harus memulai kompresi dada (Class IIa, LOE C).
Teknik : Kompresi Dada (Box 4) Untuk memaksimalkan efektivitas kompresi dada, letakkan korban pada permukaan yang keras jika dimungkinkan, dalam posisi terlentang, dengan penyelamat berlutut di samping dada korban (misalnya di luar RS) atau berdiri di samping tempat tidur pasien (misal di dalam RS). Karena biasanya ranjang di RS tidak keras dan beberapa maneuver yang dilakukan untuk mengkompresi dada malah berakibat bergesernya matras daripada kompresi dada, kami merekomendasikan penggunaan papan yang diletakan di bawah tubuh korban, walaupun tidak ada bukti kuat yang mendukung atau menentang penggunaan papan ini selama CPR. Jika papan ini digunakan, perhatian yang lebih harus diberikan untuk menghindari penundaan memulai CPR, untuk meminimalkan jeda (interupsi) pada CPR. Matras yang berisi udara harus dikempeskan ketika melakukan CPR.
Penyelamat harus meletakkan bagian pangkal telapak tangan pada daerah tengah dada korban (dimana setengah ke bawah sternum) dan bagian pangkal telapak tangan lainnya di atas yang pertama, sehingga kedua tangan overlapped dan terletak parallel (Class IIa, LOE B).
Gerakan kompresi dada yang benar membutuhkan beberapa keterampilan penting. Sternum pada orang dewasa harus tertekan paling tidak 2 inchi (5 cm) (Class IIa, LOE B), dengan waktu kompresi dada dan pengembangan dada/relaksasi yang sama (Class IIb, LOE C). Membuat rongga dada untuk mengembang secara lengkap setelah setiap kompresi (Class IIa, LOE B). Pada penelitian manusia tentang CPR di dalam dan di luar RS, ketidak lengkapan pengembangan dada sering dijumpai, biasanya ketika penyelamat merasa kelelahan. Ketidak lengkapan pengembangan dada selama BLS CPR dihubungkan dengan tekanan intratorakal yang lebih tinggi, dan secara signifikan menurunkan hemodinamik, termasuk penurunan perfusi koroner, cardiac index, aliran darah miokardium, dan perfusi serebral.
Jumlah total kompresi dada yang diberikan pada korban merupakan fungsi dari kecepatan kompresi dada dan proporsi waktu dimana kompresi dada diberikan tanpa interupsi (jeda). Kecepatan kompresi bukanlah jumlah kompresi yang 15
diberikan per menit. Jumlah sebenarnya kompresi yang diberikan per menitnya ditentukan oleh kecepatan kompresi dada, dan jumlah serta durasi interupsi (jeda) untuk membuka jalan nafas, memberikan bantuan pernafasan, dan analisis AED. Jumlah kompresi dada yang diberikan per menitnya merupakan hal penentu yang penting dari kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) dan daya tahan hidup intak secara neurologis. Salah satu penelitian tentang pasien henti jantung di dalam RS menunjukkan bahwa pemberian >80 kompresi/menit dihubungkan dengan ROSC . Data ekstrapolasi dari penelitian observasional di luar RS menunjukkan kemajuan daya tahan hidup hingga sampai di RS dengan paling tidak 68 sampai 89 kompresi dada per menitnya; studi ini juga menunjukkan bahwa kemajuan ini terjadi dengan kecepatan kompresi 120/menit. Oleh karena itu, untuk penyelamat awam dan pelayan kesehatan dalam melakukan kompresi dada pada dewasa dengan kecepatan paling tidak 100 kompresi per menit (Class IIa, LOE B).
Istilah siklus tugas merujuk kepada waktu yang terpakai dalam mengkompresi dada sebagai proporsi waktu antara permulaan 1 siklus kompresi dan permulaan kompresi selanjutnya. Aliran darah koroner ditentukan sebagiannya oleh siklus tugas ini (penurunan perfusi koroner dihubungkan dengan siklus tugas >50%) dan sebagian lainnya oleh bagaimana dinding dada relaksasi pada akhir setiap kompresi. Walaupun siklus tugas ini bervariasi antara 20%-50% dapat menghasilkan perfusi koroner dan serebral yang adekuat, siklus tugas sebesar 50% direkomendasikan karena mudah dicapai dengan latihan (Class IIb, LOE C).
Pada tahun 2005, ada 3 penelitian observasinal dengan sampel manusia menunjukkan bahwa interupsi (jeda) pada kompresi dada sering ditemukan, berkisar rata-rata 24% hingga 57% dari semua kasus henti jantung.
Data efikasi yang lebih besar menduga bahwa pembatasan frekuensi dan durasi interupsi pada kompresi dada dapat meningkatkan outcome yang berarti pada pasien henti jantung. Data sedang dikumpulkan untuk membuktikan efektivitas dari intervensi ini di dunia nyata. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa data yang berlawanan, merupakan hal yang beralasan bagi regu penyelamat untuk meminimalisir interupsi pada kompresi dada, untuk melakukan pemeriksaan nadi, menganalisa irama, atau melakukan aktivitas lain selama tindakan resusitasi. (Class IIa, LOE B). 16
Bukti tambahan tentang kepentingan untuk meminimalkan interupsi pada kompresi dada, didapatkan dari penelitian non-randomisasi yang melihat bahwa tingkat daya tahan hidup korban henti jantung di luar RS dapat ditingkatkan dengan pemberian kompresi dada secara berkelanjutan tanpa memulai bantuan pernafasan terlebih dahulu, atau menggunakan rasio kompresi banding ventilasi yang lebih besar (50 : 2). Perlu diperhatikan, pada setiap penelitan ini, jalan nafas terbuka, insuflasi oksigen tersedia, dan bantuan ventilasi direkomendasikan pada beberapa poin selama resusitasi EMS. Sistem EMS yang lain telah menitikberatkan perkembangan yang signifikan pada daya tahan hidup di kasus henti jantung di luar RS dengan penggunaan kompresi-plus-ventilasi dengan memperhatikan kualitas kompresi dan minimalisasi waktu hands-off. Pada waktu ini terdapat tidak cukup bukti untuk mendukung tidak dilakukannya bantuan ventilasi dari tahapan CPR yang dilakukan EMS professional.
Kelelahan penyelamat dapat menyebabkan kecepatan dan kedalaman kompresi menjadi inadekuat. Kelelahan dan kompresi yang dangkal biasanya terjadi setelah 1 menit dilakukan CPR, walaupun penyelamat tidak menyadari kelelahan ini terjadi setelah 5 menit. Ketika terdapat 2 atau lebih penyelamat, beralasan jika penyelamat bergantian melakukan kompresi dada setiap dua menit (atau setelah kurang lebih 5 siklus kompresi dan ventilasi pada perbandingan 30 : 2) untuk mencegah penurunan kualitas kompresi (Class IIa, LOE B). Menyadari bahwa pergantian penyelamat ini selama tindakan apapun dihubungkan dengan interupsi yang sesuai dalam kompresi dada (misal, pada waktu AED memberikan syok). Setiap usaha harus dibuat untuk menyelesaikan pergantian ini dalam waktu < 5 detik.
Interupsi pada kompresi dada untuk mempalpasi nadi spontan yang terjadi atau memeriksa ROSC dapat berpengaruh pada perfusi organ-organ vital. Sehingga, penyelamat awam harus tidak menginterupsi kompresi dada untuk mempalpasi nadi atau memeriksa ROSC (Class IIa, LOE C). Selain itu, penyelamat awam harus melanjutkan CPR hingga AED datang, korban sadar, atau personil EMS mengambil alih CPR (Class IIa, LOE B).
17
Penyedia layanan kesehatan harus menginterupsi kompresi dada sejarang mungkin dan mencoba membatasi interupsi tidak lebih dari 10 detik, kecuali untuk intervensi spesifik seperti memasukkan alat bantu jalan nafas atau penggunaan defibrillator (Class IIa, LOE C). Karena adanya kesulitan dalam penilaian nadi, interupsi pada kompresi dada untuk pemeriksaan pilsa harus diminimalkan selama resusitasi, walaupun untuk menentukan apakah ROSC sudah terjadi.
Oleh karena terdapat beberapa kesulitan tersendiri dalam menyediakan kompresi dada yang efektif selama memindahkan pasien selama CPR, resusitasi secara umum harus dilakukan dimana pasien ditemukan (Class IIa, LOE C). hal ini tidak dapat dilakukan jika lingkungan korban ditemukan berbahaya.
Rasio Kompresi-Ventilasi Rasio kompresi-ventilasi 30 : 2, layak dilakukan pada pasien dewasa, namun validasi lebih lanjut dari pedoman ini (Class IIb, LOE B). rasio 30 : 2 pada dewasa didasarkan pada konsensus para ahli dan pada studi kasus. Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan metode terbaik untuk mengkoordinasi kompresi dada dan ventilasi selama CPR serta untuk memastikan rasio kompresi-ventilasi terbaik, dalam hal outcome daya tahan hidup dan neurologis pasien, dengan atau tanpa alat bantu jalan nafas.
Ketika alat bantu jalan nafas digunakan, 2 orang penyelamat tidak perlu lagi untuk menghentikan sementara kompresi dada untuk melakukan ventilasi. Sementara itu, si penyelamat yang melakukan kompresi, harus melakukannya dengan kecepatan paling tidak 100 kali per menit tanpa menghentikannya sementara untuk ventilasi (Class IIa, LOE B). Penyelamat yang memberikan ventilasi dapat memberikan ventilasi setiap 6 hingga 8 detik sekali (sekitar 8 hingga 10 kali per menitnya).
Hands-Only CPR Hanya sekitar 20% orang dewasa dengan henti jantung di luar RS, mendapatkan CPR dari orang-orang disekitarnya. Hands-only CPR oleh orang disekitar korban, secara substansial memiliki peningkatan daya tahan hidup dibandingkan tanpa menerima CPR dari orang disekitarnya. Beberapa penelitan observasional pada pasien henti jantung yang ditangani lebih dulu oleh penyelamat awam menunjukkan kesamaan tingkat daya tahan hidup diantara korban yang mendapatkan hands-only 18
CPR versus CPR konvensional dengan penyelamatan pernafasan. Dengan catatan, beberapa penyedia layanan kesehatan dan orang awam menunjukkan keengganan untuk melakukan bantuan pernafasan mulut-ke-mulut untuk korban dengan henti jantung, merupakan hal yang secara teori dan penghalang potensial untuk melakukan CPR bagi orang disekitar korban. Ketika beberapa orang disekitar korban diwawancarai, walaupun demikian, keengganan tersebut tidak diekspresikan; panik diketahui merupakan penghalang yang utama dari orang awam untuk melakukan CPR. Teknik Hands-only CPR yang lebih sederhana dapat membantu mengatasi kepanikan ini dan keraguan dalam bertindak.
Bagaimana bisa CPR oleh orang awam dapat efektif tanpa menyelamatkan pernafasan ? awalnya selama SCA dengan VF, penyelamatan pernafasan tidak sepenting kompresi dada, karena kadar oksigen dalam darah tetap adekuat untuk beberapa menit pertama setelah henti jantung. Selain itu, kebanyakan korban henti jantung menunjukkan pernafasan tersengal-sengal atau sesak yang cukup parah, dan pertukaran gas menyebabkan oksigenasi dan eliminasi CO2. Jika jalan nafas terbuka, pengembangan dada secara pasif selama fase relaksasi kompresi dada dapat menyediakan pertukaran gas yang cukup. Walaupun demikian, pada beberapa waktu selama diperpanjangnya CPR, oksigen suplementer dengan bantuan ventilasi perlu dilakukan. Interval yang pasti dilakukannya hands-only CPR dapat diterima, belum diketahui saat ini.
Orang awam harus dapat diminta untuk melakukan kompresi dada (baik hands-only CPR maupun CPR konvensional, termasuk menyelamatkan pernafasn) untuk setiap orang dengan dugaan sementara henti jantung (Class I, LOE B). Tidak ada penelitian prospektif pada korban henti jantung dewasa yang menunjukkan bahwa CPR konvensional oleh orang awam memiliki outcome yang lebih baik daripada hands- only CPR ketika diberikan sebelum kedatangan EMS. Sebuah penelitian cukup besar yang terbaru tentang henti jantung pada anak, di luar RS, menunjukkan bahwa daya tahan hidup lebih baik ketika CPR konvensional (termasuk penyelamatan pernafasan) dilakukan, pada kausa non kardiogenik, dibandingkan dengan hands- only CPR. Karena penyelamatan pernafasan merupakan salah satu komponen penting untuk resusitasi yang sukses pada henti jantung pediatric, dari henti jantung asfiksial, baik pada dewasa dan anak-anak (misalnya tenggelam, overdosis obat) dan dari perpanjangan henti jantung, CPR konvensional dengan penyelamatan 19
pernafasan direkomendasikan untuk semua penyelamat terlatih (baik di dalam, maupun di luar RS) untuk beberapa situasi spesifik tersebut (Class IIa, LOE C).
Mengelola Jalan Nafas Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perubahan signifikan pada pedoman ini adalah rekomendasi inisiasi kompresi dada sebelum ventilasi (CAB dibanding ABC). Perubahan ini menggambarkan perkembangan bukti-bukti yang menunjukkan kepentingan kompresi dada dan kenyataan bahwa mempersiapkan perlengkapan jalan nafas membutuhkan waktu. Pola pikir ABC dapat menguatkan pemikiran bahwa kompresi harus menunggu hingga ventilasi telah dimulai. Pola pikir ini dapat terjadi bahkan ketika terdapat lebih dari 1 penyelamat, karena jalan nafas dan pernafasan sebelum ventilasi sudah sangat mendarah daging pada diri setiap regu penyelamat. Perhatian yang baru terhadap pola CAB ini membantu mengklarifikasi bahwa maneuver jalan nafas harus dilakukan secara cepat dan efisien sehingga interupsi pada kompresi dada minimal dan kompresi dada harus menjadi prioritas pada resusitasi pada korban dewasa.
Buka Jalan Nafas : oleh Orang Awam Orang awam terlatih yang merasa mampu dapat melakukan kompresi dan ventilasi harus membuka jalan nafas menggunakan maneuver head tilt chin lift (Class IIa, LOE B). Untuk penyelamat yang melakukan hands-only CPR, tidak terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan jalan nafas pasif apapun (misalnya melakukan hiperekstensi leher untuk membuat ventilasi pasif).
Buka Jalan Nafas : oleh Pelayan Kesehatan Pelayan kesehatan harus menggunakan maneuver head tilt chin lift untuk membuka jalan nafas pada korban tanpa bukti adanya cedera kepala atau servikal. Walaupun teknik head tilt chin lift telah dikembangkan menggunakan sukarelawan dewasa yang tidak sadar, atau dilumpuhkan, dan belum diteliti pada korban dengan henti jantung, secara klinis, bukti radiologis, dan laporan kasus, telah menunjukkan efektivitas maneuver ini (Class IIa, LOE B).
Antara 0,12 dan 37% dari korban dengan trauma tumpul juga memiliki trauma spinal, dan risiko trauma spinal meningkat jika korban memiliki trauma kraniofasial, Glasgow Coma Scale bernilai <8, atau keduanya. Untuk korban yang dicurigai 20
menderita trauma spinal, penyelamat di awal harus menggunakan gerakan manual restriksi spinal (misalnya meletakkan 1 tangan pada kedua sisi kepala pasien untuk mempertahankan posisinya) dibandingkan alat-alat imobilisasi (Class IIb, LOE C). Alat-alat imobilisasi spinal dapat berbaur dengan pemeliharaan jalan nafas, namun pada akhirnya, penggunaan alat ini dapat menjadi sangat penting untuk menjaga posisi kesejajaran spinal selama transportasi. Jika penyelamat mencurigai adanya cedera cervical, mereka harus membuka jalan napas dengan jaw thrust tanpa ekstensi kepala (Class IIb, LOE C 133 ). Karena mempertahankan jalan napas dan ventilasi yang adekuat merupakan prioritas dalam CPR (Class I, LOE C), menggunakan manuver head tilt-chin lift jika jaw thrust tidak cukup membuka jalan napas.
Pertolongan Pernapasan (Box 3A, 4) The 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC membuat beberapa rekomendasi yang sama pada penyelamatan pernapasan seperti pada tahun 2005: Memberikan napas lebih dari 1 detik (Class IIa, LOE C). Berikan tidal volume yang cukup untuk menghasilkan visible chest rise (Class IIa, LOE C). 55
Gunakan rasio kompresi terhadap ventilasi, 30 kompresi dada untuk 2 ventilasi. Saat sebuah perangkat airway (yaitu, endotrakheal tube, Combitube, atau laryngeal mask airway [LMA]) diberikan selama 2 orang melakukan CPR, beri 1 nafas setiap 6 sampai 8 detik tanpa mencoba untuk mensinkronkan napas dengan kompresi (Ini akan mengakibatkan pengiriman 8 sampai 10 napas/menit). Seharusnya tidak ada jeda dalam kompresi dada dalam pemberian ventilasi (Class IIb, LOE C). Studi pada orang dewasa yang di anestesi (dengan perfusi normal) menunjukkan bahwa tidal volume 8 sampai 10 mL / kg memelihara oksigenasi dan eliminasi CO2 normal. Selama CPR, cardiac output adalah 25% sampai 33% dari normal, sehingga oksigen dari paru-paru dan pengiriman CO2 ke paru-paru juga dikurangi. Hasilnya, ventilasi rendah (lebih rendah dari tidal volume dan jumlah pernapasan normal) dapat mempertahankan oksigenasi dan ventilation yang efektif. 55,110,111,119 Karena alasan tersebut, tidal volume CPR dewasa sekitar 500 sampai 600 mL (6 sampai 7 mL/kg) seharusnya cukup (Class IIa, LOE B), 145-147 Hal ini konsisten dengan tidal volume yang menghasilkan visible chest rise. 21
Pasien dengan obstruksi jalan nafas atau kapasitas paru-paru yang buruk mungkin memerlukan tekanan tinggi untuk mendapatkan ventilasi yang baik (untuk menghasilkan visible chest rise). Tekanan pada resusitasi bag-mask dapat mencegah pengiriman tidal volume yang cukup pada patients. 148 Pastikan bahwa perangkat bag-mask memungkinkan Anda untuk memotong tekanan-relief katup dan penggunaan tekanan yang tinggi, jika diperlukan, untuk mencapai visible chest expansion. 149
Ventilasi berlebihan tidak diperlukan dan dapat menyebabkan inflasi lambung dan komplikasi, seperti regurgitasi dan aspirasi (Class III, LOE-B 150 152 ). Lebih penting lagi, ventilasi yang berlebihan berbahaya karena meningkatkan tekanan intrathoracic, menurunkan venous return jantung, dan mengurangi cardiac output. 152 Singkatnya, penyelamat harus menghindari ventilasi yang berlebihan (napas terlalu banyak atau volume terlalu besar) selama CPR (Class III, LOE B). Tujuan primer selama CPR dari ventilasi yang dibantu adalah untuk menjaga oksigenasi yang adekuat; tujuan sekunder adalah untuk mengeliminasi CO2. Namun, konsentrasi oksigen inspirasi yang optimal, volume tidal dan jumlah pernafasan untuk mencapai tujuan tersebut tidak diketahui. Seperti disebutkan di atas, selama menit pertama pada sudden VF cardiac arrest, penyelamatan napas tidak sepenting kompresi dada 29,108,153 karena kandungan oksigen dalam darah arteri noncirculating tetap tidak berubah sampai CPR dimulai, kandungan oksigen darah menjadi adekuat selama beberapa menit pertama CPR. Selain itu, upaya untuk membuka jalan napas dan memberikan penyelamatan napas (atau untuk mengakses dan mengatur peralatan saluran napas) dapat menunda inisiasi kompresi dada. 154 Masalah ini didukung oleh the CAB approach of the 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC (yaitu, dimulai dengan kompresi Dada sebelum Airway dan Breathing). Untuk korban cardiac arrest yang berkepanjangan baik ventilasi dan kompresi sangat penting karena selama oksigen di darah dikonsumsi dan oksigen di paru-paru habis (meskipun waktu yang tepat tidak diketahui). Ventilasi dan kompresi juga penting bagi korban asphyxial arrest, seperti anak-anak dan korban tenggelam, karena mereka mengalami hipoksemia pada saat cardiac arrest. 30,109
Pertolongan Pernapasan Mulut ke Mulut Pertolongan pernapasan mulut ke mulut memberikan oksigen dan ventilasi. 155
Untuk memberikan Mouth-to-mouth rescue breathing, buka jalan napas, cubit hidung, dan menutup mulut ke mulut. Berikan 1 napas lebih dari 1 detik, ambil 22
napas "biasa" (bukan dalam), dan berikan napas kedua lebih dari 1 detik (Class IIb, LOE C). Mengambil napas teratur daripada napas dalam mencegah penyelamat merasa pusing dan mencegah overinflation paru-paru korban. Penyebab paling umum kesulitan ventilasi adalah kesalahan dalam membuka jalan napas, 57 sehingga jika dada korban tidak naik dengan nafas pertama, reposisi kepala dengan melakukan head tilt-chin lift lagi dan berikan nafas kedua. Jika korban dewasa dengan sirkulasi spontan (misalnya, palpasi nadi yang kuat dan mudah teraba) memerlukan dukungan ventilasi, penyelamat harus memberikan napas sekitar 1 nafas setiap 5 sampai 6 detik, atau sekitar 10 sampai 12 napas per menit (Class IIb, LOE C). Setiap napas harus diberikan lebih dari 1 detik. Setiap nafas harus menyebabkan visible chest rise.
Perangkat Pernapasan Mulut ke Barrier Beberapa penyelamat 114-116 menyatakan bahwa mereka mungkin ragu-ragu untuk memberikan Mouth-to-Mouth Rescue Breathing dan lebih memilih menggunakan perangkat barrier. Risiko penularan penyakit melalui ventilasi mulut ke mulut sangat rendah, dan masuk akal untuk memulai penyelamatan napas dengan atau tanpa perangkat barrier. Saat menggunakan perangkat barrier, penyelamat tidak harus menunda kompresi dada selama pemasangan perangkat.
Ventilasi Mulut ke Hidung dan Mulut ke Stoma Mouth-to-nose ventilation dianjurkan jika ventilasi melalui mulut korban tidak mungkin dilakukan (misalnya, mulut luka parah), mulut tidak dapat dibuka, korban dalam air, atau menutup mulut ke mulut sulit (Class IIa, LOE C). Serangkaian kasus ini menunjukkan bahwa Mouth-to-nose ventilation pada orang dewasa layak, aman, dan efektif. 156
Berikan mouth-to-stoma ventilation pada korban dengan stoma trakea yang membutuhkan bantuan pernapasan. Dengan membuat segel ketat di atas stoma mengelilinginya dengan masker wajah pediatrik (Class IIb, LOE C). Tidak ada bukti efektivitas, keamanan, atau kelayakan dari mouth-to-stoma ventilation. Satu studi pasien dengan laryngectomies menunjukkan bahwa masker wajah pediatrik menghasilkan segel peristomal yang lebih baik dari masker ventilasi standar. 157
23
Ventilasi dengan Bag dan Masker Penyelamat dapat menyediakan ventilasi bag dan masker dengan udara ruangan atau oksigen. Perangkat bag-mask memberikan ventilasi tekanan positif, tetapi perangkat bag-mask mungkin menghasilkan inflasi lambung dan komplikasinya. Perangkat Bag-Mask Perangkat bag-mask harus disertai 158 : nonjam sebuah katup inlet; baik tanpa tekanan katup relief atau tekanan katup relief yang bisa bypass; fitting standar 15- mm/22-mm; reservoir oksigen untuk memungkinkan pengiriman oksigen konsentrasi tinggi; katup outlet nonrebreathing yang tidak dapat terhalang oleh benda asing dan tidak akan macet dengan oksigen aliran 30 L/menit, dan kemampuan untuk melakukan fungsi yang memuaskan di bawah kondisi lingkungan umum dan temperatur yang ekstrem. Masker harus terbuat dari bahan transparan untuk memungkinkan deteksi regurgitasi. Mereka harus mampu menciptakan segel ketat di wajah, yang meliputi mulut dan hidung. Masker harus dilengkapi dengan inlet (insuflasi) oksigen dan memiliki standar connector 15-mm/22-mm. 159 Harus tersedia untuk orang dewasa dan beberapa ukuran pediatrik. Ventilasi Bag-Mask Ventilasi bag-mask adalah keterampilan yang menantang yang memerlukan cukup latihan untuk kompetensi. 160,161 Ventilasi Bag-mask bukanlah metode yang disarankan ventilasi untuk satu penyelamat selama CPR. Hal ini paling efektif jika diberikan oleh 2 penyelamat terlatih dan berpengalaman. Salah satu penyelamat membuka napas dan segel masker untuk wajah sedangkan yang lain meremas bag. Kedua penyelamat memperhatikan visible chest rise. 160 162
Penyelamat harus menggunakan bag dewasa (1 sampai 2 L) untuk memberikan kira-kira 600 mL tidal volume 163-165 untuk korban dewasa. Jumlah ini biasanya cukup untuk menghasilkan visible chest rise dan mempertahankan oksigenasi dan normocarbia pada pasien apneic (Class IIa, LOE C 145-147 ). Jika jalan napas terbuka dan baik, segel ketat didirikan antara wajah dan masker, volume ini dapat disampaikan dengan menekan 1-L bag dewasa sekitar dua pertiga dari volume atau 2-L bag dewasa sekitar sepertiga dari volume. Selama pasien tidak memiliki kelainan airway di tempat, para penyelamat harus memberikan siklus 30 kompresi dan 2 nafas selama CPR. Penyelamat memberikan ventilasi selama jeda pada kompresi dan memberikan napas lebih dari 1 detik (Class IIa, LOE C). 24
Penyelamat harus menggunakan tambahan oksigen (O2 konsentrasi > 40%, Pada laju aliran minimum 10 sampai 12 L/menit) saat tersedia.
Ventilasi melalui Supraglottic Airway Perangkat supraglottic airway seperti LMA, esofagus-trakea combitube dan perangkat King airway, saat ini digunakan dalam lingkup praktek BLS di sejumlah daerah (dengan otorisasi tertentu dari kontrol medis). Ventilasi dengan bag melalui perangkat ini memberikan alternatif ventilasi bag-mask untuk penyelamat terlatih yang memiliki pengalaman yang cukup untuk menggunakan perangkat manajemen jalan nafas selama cardiac arrest (Class IIa, LOE B 166-171 ). Tidaklah jelas bahwa perangkat ini kurang rumit untuk digunakan daripada bag-mask, pelatihan diperlukan untuk penggunaan yang aman dan efektif dari kedua perangkat bag- mask dan perangkat airway. Perangkat ini dibahas lebih detail pada Bagian 8.1 dari Pedoman ini.
Ventilasi dengan Advanced Airway Ketika korban mengalami kelainan airway selama CPR, penyelamat tidak lagi memberikan siklus 30 kompresi dan 2 napas (yaitu, tidak lagi melakukan kompresi untuk memberikan 2 napas). Sebaliknya, kompresi dada terus menerus dilakukan pada tingkat minimal 100 per menit tanpa jeda untuk ventilasi, dan ventilasi yang diberikan 1 napas sekitar setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8 sampai 10 napas per menit).
Oksigen Pasif dan Tekanan Oksigen positif selama CPR Meskipun banyak penelitian menggambarkan hasil dengan kompresi saja pada CPR, penelitian ini jarang memberikan teknik tambahan untuk meningkatkan ventilasi atau oksigenasi. Dua komparatif studies 97,172 dan 2 studi analisis post hoc 98,173 dari teknik airway ventilasi pasif selama cardiac arrest menggunakan protokol yang sama. Protokol tersebut meliputi sebuah airway oral dan administrasi oksigen dengan masker nonrebreather, dengan ventilasi sela versus insuflasi pasif oksigen selama kompresi dada terputus minimal. Studi-studi ini tidak menunjukkan secara signifikan keseluruhan peningkatan hasil. Namun, subkelompok analisis menunjukkan ketahanan hidup yang lebih baik dengan oksigen pasif insuflasi antara pasien dengan VF cardiac arrest. Tidak ada bukti yang mendukung rekomendasi penggunaan airway pasif atau teknik ventilasi spesifik. 25
Tekanan Krikoid Tekanan krikoid adalah teknik memberi tekanan pada tulang rawan krikoid korban untuk mendorong trakea posterior dan memampatkan kerongkongan terhadap vertebra serviks. Tekanan krikoid dapat mencegah inflasi lambung dan mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi bag-mask, tetapi juga dapat menghambat ventilasi. Tujuh studi acak terkontrol, menunjukkan bahwa tekanan krikoid dapat menunda atau mencegah kelainan airway dan aspirasi yang dapat terjadi meskipun diberi tekanan. 174-180 Tambahan studi manekin 181-194 ditemukan pelatihan manuver menjadi sulit untuk kedua penyelamat ahli dan nonahli. Baik penyelamat ahli maupun nonahli menunjukkan penguasaan teknik, dan tekanan yang diterapkan sering tidak konsisten dan di luar batas efektif. Tekanan krikoid mungkin digunakan dalam beberapa keadaan khusus (misalnya, untuk membantu melihat pita suara selama intubasi trakea). Namun, penggunaan rutin tekanan krikoid pada cardiac arrest orang dewasa tidak dianjurkan (Class III, LOE B).
Defibrilasi AED (Box 5, 6) Semua penyedia BLS harus dilatih untuk memberikan defibrilasi karena VF adalah ritme awal yang dapat diobati dan umum pada orang dewasa dengan cardiac arrest. 195 Korban dengan VF, tingkat bertahan hidup paling tinggi saat CPR segera disediakan dan defibrilasi diberikan dalam waktu 3 sampai 5 menit dari collapse. 4,5,10,11,196,197 Defibrilasi cepat merupakan terapi pilihan untuk VF durasi pendek, seperti pada korban cardiac arrest yang keluar-rumah sakit atau pasien yang dirawat di rumah sakit dengan pemantauan irama jantung (Class I, LOE A). Pada babi, aliran darah mikrovaskuler adalah menurun selama 30 detik dari awal VF; kompresi dada mengembalikan sebagian aliran darah mikrovaskuler yang berkurang dalam 1 menit. 198 Kompresi dada sementara penyelamat lainnya mengambil dan mengisi defibrillator untuk meningkatkan kemungkinan survival. 6
Setelah sekitar 3 sampai 5 menit VF tidak teratasi, beberapa hewan menunjukkan bahwa periode kompresi dada sebelum defibrilasi dapat memberikan keuntungan. 199 Pada 2 percobaan kontrol secara acak pada orang dewasa VF / pulseless ventricular tachycardia (VT) yang keluar rumah sakit, 1 1/2 sampai 3 menit CPR oleh EMS sebelum defibrilasi tidak meningkatkan ROSC atau tingkat bertahan hidup dari interval respon EMS. 200,201 Percobaan kontrol acak yang ketiga 202 dan percobaan klinis kohort dengan kontrol 203 secara keseluruhan tidak ada perbedaan hasil. Namun, dalam dua studi sub kelompok pasien dengan interval 26
respon EMS, interval lebih lama dari 4 sampai 5 menit menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup untuk dapat keluar dari rumah sakit dengan periode CPR sebelum defibrilasi. 202,203
Terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan atau menunda defibrilasi untuk memberikan periode CPR pada pasien dengan VF/pulseless VT cardiac arrest yang keluar rumah sakit. Program AED penyelamat (AED onsite dan tersedia) dan untuk lingkungan rumah sakit, atau jika penyelamat EMS menyaksikan terjadinya kolaps, penyelamat harus menggunakan defibrillator ini secepatnnya (Class IIa, LOE C). Jika tersedia lebih dari satu penyelamat, salah satu penyelamat melakukan kompresi dada sementara yang lain mengaktifkan sistem respon emergency dan mengambil defibrillator tersebut. Defibrilasi dibahas lebih lanjut pada Bagian 6: "Electrical Therapies"
Posisi Pemulihan Posisi pemulihan digunakan untuk korban dewasa yang tidak respon dengan pernapasan normal dan sirkulasi yang efektif. Posisi ini dirancang untuk mempertahankan jalan napas paten dan mengurangi risiko obstruksi saluran napas dan aspirasi. Korban ditempatkan pada satu sisi dengan lengan bawah di depan tubuh. Terdapat beberapa variasi posisi pemulihan, masing-masing dengan keunggulan tersendiri. Tidak ada posisi tunggal yang sempurna untuk semua korban. 204,205 Posisi harus stabil, dekat lateral posisi yang sebenarnya, dengan kepala tergantung dan tanpa tekanan pada dada yang dapat mengganggu pernapasan (Class IIa, LOE C). Studi pada sukarelawan normal 206 menunjukkan bahwa mengulurkan lengan bawah di atas kepala dan memutar kepala ke lengan, sementara tekuk kedua kaki, berguna untuk korban yang diketahui atau diduga cedera spinal. 207
Situasi Resusitasi Khusus Sindrom Koroner Akut Di Amerika Serikat penyakit jantung koroner bertanggung jawab untuk 1 dari setiap 6 pasien yang masuk rumah sakit pada tahun 2005 dan 1 dari setiap 6 kematian pada tahun 2006. 208 The American Heart Association memperkirakan bahwa pada tahun 2010, 785.000 orang Amerika akan mengalami serangan koroner baru dan 470.000 akan mengalami serangan berulang. 208 Sekitar 70% kematian dari infark 27
miokard akut (IMA) terjadi di luar rumah sakit, paling banyak terjadi pada 4 jam pertama setelah onset gejala. 208,209
Pengakuan awal, diagnosis, dan pengobatan IMA dapat meningkatkan hasil dengan membatasi kerusakan jantung, 210 tetapi pengobatan yang paling efektif jika diberikan beberapa jam dari awal onset. 211 Pasien yang beresiko memiliki sindrom koroner akut (ACS) dan keluarga mereka harus diberikan penjelasan untuk mengenali gejala ACS dan untuk segera mengaktifkan sistem EMS ketika gejala muncul, daripada menunda perawatan dengan menghubungi keluarga yang lain, memanggil dokter, atau mengemudi ke rumah sakit. Gejala klasik yang berhubungan dengan ACS yaitu ketidaknyamanan dada, ketidaknyamanan area lain pada tubuh bagian atas, sesak napas, berkeringat, mual, dan sakit kepala ringan. Gejala khas IMA berlangsung lebih dari 15 menit. Gejala tidak khas dari ACS mungkin lebih umum pada lansia, wanita, dan penderita diabetes, tetapi ada beberapa pasien yang datang dengan tanda dan gejala tidak khas. 212-214 Tanda dan gejala tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi atau mengecualikan diagnosis ACS karena dilaporkan memiliki sensitivitas 35% sampai 92% dan spesifisitas 28% sampai 91%. Sejumlah penelitian tidak mendukung penggunaan tanda dan gejala klinis independen dari elektrokardiograf (EKG), biomarker jantung, atau tes diagnostik lainnya untuk menentukan ACS pada pra- rumah sakit atau departemen emergency (ED). 215-228
Untuk meningkatkan hasil ACS, semua penyelamat EMS harus dilatih untuk mengenali gejala-gejala ACS, bahkan jika tidak khas. Masuk akal untuk penyelamat meminta pasien dengan gejala jantung potensial untuk mengunyah aspirin (160 sampai 325 mg), asalkan pasien tidak memiliki riwayat alergi aspirin dan tidak ada tanda-tanda aktif perdarahan saluran cerna (Class IIa, LOE C). 229-233
Penyedia EMS harus mendapatkan EKG 12-lead, menentukan timbulnya gejala ACS, dan memberikan pemberitahuan kepada rumah sakit tujuan. 229,234
Percobaan klinis menunjukkan perbaikan hasil pada pasien ST-segment elevation miokard infarction (STEMI) yang diangkut EMS langsung ke intervensi koroner perkutan (PCI) - Rumah Sakit yang mampu. 235-237 Jika pasien memiliki STEMI di EKG dan jika PCI merupakan metode yang dipilih untuk reperfusi, wajar untuk mengangkut pasien langsung ke fasilitas PCI, melewati departemen emergency terdekat yang diperlukan, dimana interval waktu antara kontak medis pertama kurang dari 90 menit, dan waktu transportasi yang relatif pendek (yaitu, kurang dari 30 menit), atau berdasarkan protokol EMS daerah (Class IIa, B LOE). 28
Diberikan EMT dasar untuk mengelola oksigen selama penilaian awal pasien yang diduga ACS. Namun, ada bukti yang cukup untuk 'Mendukung atau menyangkal penggunaan oksigen pada ACS tanpa komplikasi. Jika pasien dyspneic, hypoxemic, memiliki tanda-tanda gagal jantung, atau saturasi oksihemoglobin < 94%, penyelamat harus mengelola oksigen dan terapi titrasi untuk menyediakan konsentrasi oksigen terendah yang akan menjaga saturasi oksihemoglobin 94% (Class I, LOE C). 238 Jika pasien tidak menggunakan aspirin dan tidak memiliki riwayat alergi aspirin dan tidak ada bukti perdarahan gastrointestinal, penyedia EMS harus memberikan aspirin nonenteric (160-325 mg) untuk dikunyah (Class I, LOE C). 229,234,239,240
Penyedia EMS dapat memberikan nitrogliserin kepada pasien dengan ketidaknyamanan dada dan diduga ACS. Meskipun masuk akal untuk mempertimbangkan pemberian awal nitrogliserin pada pasien dengan hemodinamik stabil, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau menyangkal pemberian rutin nitrogliserin dalam tatalaksana ED atau pra-rumah sakit pada pasien yang diduga ACS (Class IIb, LOE B). 241-243 Nitrat dalam semua bentuk dikontraindikasikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik awal < 90 mm Hg atau 30 mm Hg di bawah baseline dan pada pasien dengan infark ventrikel kanan (lihat Bab 10). Hati-hati pada pasien dengan STEMI dinding inferior, dan EKG sisi kanan harus dilakukan untuk mengevaluasi infark ventrikel kanan. Pemberian nitrat dengan sangat hati-hati, untuk pasien dengan STEMI inferior dan diduga keterlibatan RV karena pasien memerlukan preload RV yang adekuat. Nitrat dikontraindikasikan saat pasien telah menggunakan phosphodiesterase-5 (PDE-5) inhibitor dalam waktu 24 jam (48 jam untuk tadalafil). Untuk pasien yang didiagnosis STEMI di pre-rumah sakit, penyedia EMS harus memberikan analgetik yang sesuai, seperti morfin intravena, untuk nyeri dada persisten (Class IIa, LOE C). Penyedia EMS dapat mempertimbangkan pemberian morfin intravena untuk nyeri dada yang tidak responsif terhadap nitrogliserin (Class IIb, LOE C). Namun, morfin harus digunakan dengan hati-hati pada unstable angina (UA)/NSTEMI karena berhubungan dengan peningkatan kematian. Informasi tambahan tentang penilaian dan pengobatan pasien dengan STEMI dan ACS terdapat pada Bagian 10: "Acute Coronary Syndromes."
Stroke Hampir 800.000 orang menderita stroke setiap tahun di Amerika Serikat, dan stroke 29
adalah penyebab utama keparahan, kecacatan jangka panjang dan kematian. 245
Terapi fibrinolitik diberikan satu jam pertama dari timbulnya gejala neurologis dan meningkatkan hasil pada pasien tertentu dengan stroke iskemik akut. 246-249 Terapi yang efektif memerlukan deteksi dini dari tanda-tanda stroke, aktivasi sistem EMS dan pengiriman personil EMS; triase yang sesuai ke pusat stroke; pemberitahuan prearrival; triase cepat, evaluasi, dan manajemen di departemen emergency; dan pemberian cepat terapi fibrinolitik kepada pasien. Untuk informasi tambahan tentang langkah-langkah ini, lihat AHA/American Stroke Association (ASA) Pedoman untuk manajemen stroke iskemik akut dan Bagian 11: "Adult Stroke". 250,251
Pasien berisiko tinggi untuk stroke, anggota keluarga mereka, dan penyedia BLS harus belajar untuk mengenali tanda-tanda dan gejala stroke dan untuk memanggil EMS segera setelah tanda-tanda stroke muncul (Class I, LOE C). Tanda- tanda dan gejala stroke yaitu tiba-tiba mati rasa atau kelemahan pada lengan, wajah, atau kaki, terutama pada satu sisi tubuh; kebingungan tiba-tiba, sulit untuk berbicara atau pemahaman; kesulitan melihat pada satu atau kedua mata secara tiba-tiba; kesulitan berjalan tiba-tiba, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi; dan sakit kepala yang berat secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. 252,253 Masyarakat dan pendidikan profesional penting untuk meningkatkan pengenalan stroke dan awal aktifasi EMS. 254-256
Penyedia EMS harus dilatih untuk pasien stroke dan pengiriman cepat responden emergency. Penyedia EMS harus dapat melakukan penilaian stroke di luar rumah sakit (Class I, LOE B257-259), menetapkan waktu onset gejala bila mungkin, menyediakan dukungan kardiopulmoner, dan memberitahu rumah sakit yang menerima pasien yang diduga stroke sedang dalam perjalanan. 260-262 Sistem EMS harus memiliki protokol untuk mendahulukan pasien bila memungkinkan langsung ke pusat stroke (Class I, LOE B261, 263264). Hal ini mungkin penting bagi anggota keluarga menemani pasien selama transportasi untuk memferifikasi waktu munculnya gejala dan memberikan persetujuan untuk terapi intervensi. Pasien dengan stroke akut beresiko untuk mengalami gangguan pernapasan, kombinasi perfusi yang buruk dan hipoksemia akan memperburuk serta memperpanjang cedera otak iskemik yang akan mengarah pada hasil yang lebih buruk. 265 Baik di luar dan di rumah sakit, tenaga medis harus memberikan tambahan oksigen untuk pasien stroke yang hypoxemic (yakni, saturasi oksigen < 94%) (Class 1, LOE C). Tidak ada data yang mendukung intervensi hipertensi pada 30
pra-rumah sakit. Kecuali pasien hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 MmHg), intervensi pra-rumah sakit untuk tekanan darah tidak dianjurkan (Class III, LOE C). Informasi tambahan tentang penilaian stroke menggunakan skala stroke dan manajemen stroke termasuk Bab 11: "Adult Stroke."
Tenggelam Tenggelam merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah lebih dari 3.500 setiap tahun di Amerika. 266 Selama 25 tahun terakhir, kejadian tenggelam yang fatal telah menurun secara signifikan dari 3,8 kematian per 100.000 penduduk pada tahun 1970 menjadi 1,2 pada tahun 2006. 266 Durasi dan keparahan hipoksia berkelanjutan sebagai akibat dari tenggelam adalah penentu tunggal yang paling penting. 267,268 Penyelamat harus menyediakan CPR, terutama penyelamatan pernapasan, segera jauhkan korban dari air (Class I, LOE C). Saat menyelematkan korban tenggelam segala usia, penyelamat tunggal memberikan 5 siklus CPR (sekitar 2 menit) sebelum meninggalkan korban untuk mengaktifkan sistem EMS. Ventilasi mulut ke mulut di dalam air mungkin berguna bila diberikan oleh seorang penyelamat terlatih (Class IIb, LOE C 269 ). Kompresi dada sulit dilakukan di air, mungkin tidak efektif dan dapat membahayakan baik bagi penyelamat dan korban. Tidak ada bukti bahwa air bertindak sebagai benda asing obstruktif. Manuver untuk mengurangi Foreign-Body airway Obstruction (FBAO) tidak dianjurkan untuk korban tenggelam karena manuver tidak diperlukan dan dapat menyebabkan cedera, muntah, aspirasi, dan penundaan CPR. 270
Penyelamat harus menjauhkan korban tenggelam dari air dengan sarana tercepat yang tersedia dan harus memberikan resusitasi secepat mungkin. Cedera spinal cord jarang terjadi. 271 Korban dengan tanda-tanda klinis cedera, mabuk alkohol, atau riwayat menyelam ke dasar air memiliki risiko tinggi untuk cedera spinal cord, dan penyelamat dapat mempertimbangkan imobilisasi dan stabilisasi dari tulang belakang leher dan dada. 272
Hipotermia Korban dengan hipotermia, penilaian pernapasan dan denyut nadi sangat sulit karena denyut jantung dan pernapasan sangat lambat, tergantung derajat hipotermia. Jika korban tidak responsif dengan pernapasan tidak normal, penyelamat harus memulai kompresi dada secara langsung (lihat Bab 12: "Cardiad Arrest in 31
Special Situations"). Jika korban dewasa tidak bernapas atau pernapasan tidak normal (hanya terengah-engah), penyelamat dapat memeriksa denyut nadi, tetapi harus memulai CPR jika denyut nadi benar-benar tidak terasa dalam waktu 10 detik. Jangan menunggu memeriksa suhu korban dan menunggu sampai korban rewarmed untuk memulai CPR. Untuk mencegah kehilangan panas lebih lanjut, lepaskan pakaian yang basah dari korban; lindungi korban dari angin, panas, atau dingin, dan jika mungkin, berikan kehangatan, oksigen yang dilembabkan. Hindari gerakan kasar, dan transportasi korban ke rumah sakit sesegera mungkin. Jika VF terdeteksi, personil emergency harus memberikan pertolongan berdasarkan protokol yang sama untuk korban cardiac arrest normothermic (lihat Bab 12: "Cardiac Arrest in Special Situations"). Untuk pasien hipotermia dengan cardiac arrest, usaha resusitasi dilanjutkan sampai pasien dievaluasi oleh penyedia perawatan yang lebih tinggi. Di luar rumah sakit, pemanasan pasif dapat digunakan sampai pemanasan aktif tersedia.
Obstruksi Jalan Napas oleh Benda Asing (Tersedak) FBAO merupakan penyebab yang jarang, tetapi dapat dicegah, dan dapat menyebabkan kematian. 273 Sebagian besar kasus yang dilaporkan FBAO terjadi pada orang dewasa saat mereka makan. 274 Sebagian besar kasus tersedak yang dilaporkan pada bayi dan anak-anak terjadi saat makan atau bermain saat orang tua atau pengurus anak tidak ada. Karena tersedak umumnya disaksikan, dan penyelamat biasanya mengintervensi saat korban masih responsif. Pengobatan biasanya sukses, dan kelangsungan hidup bisa melebihi 95%. 275
Mengenali Obstruksi Jalan Napas oleh Benda Asing Karena mengenali FBAO adalah kunci keberhasilan pertolongan, penting untuk membedakan kegawatdaruratan ini dengan pingsan, cardiac arrest, kejang, atau kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan tiba-tiba, sianosis, atau kehilangan kesadaran. Benda asing dapat menyebabkan obstruksi jalan napas ringan atau berat. Penyelamat harus mengintervensi jika korban tersedak menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan napas berat. Termasuk tanda-tanda pertukaran udara yang buruk dan kesulitan bernapas meningkat, seperti batuk, sianosis, atau ketidakmampuan untuk berbicara atau bernapas. Korban tersedak di leher, menunjukkan tanda tersedak yang umum. Cepat bertanya, "Apakah Anda tersedak?" Jika korban 32
menjawab "Ya" dengan menganggukkan kepalanya tanpa berbicara, hal ini menunjukkan bahwa korban mengalami obstruksi jalan napas parah.
Pertolongan pada Obstruksi Jalan Napas oleh Benda Asing Saat FBAO menunjukkan tanda-tanda obstruksi saluran napas berat, penyelamat harus dengan cepat menghilangkan obstruksi. Jika obstruksi ringan dan korban batuk hebat, jangan mengganggu usaha pasien untuk batuk dan bernapas spontan. Usaha pertolongan hanya diberikan jika terdapat tanda-tanda obstruksi menjadi berat: batuk, sulit bernapas yang semakin meningkat dan disertai stridor, atau korban menjadi tidak responsif. Mengaktifkan sistem EMS dengan cepat jika pasien mengalami kesulitan bernafas. Jika lebih dari satu penyelamat, salah satu penyelamat menelepon 911 sementara yang lain bersama korban tersedak. Data klinis mengenai efektivitas manuver untuk menolong FBAO sebagian besar retrospektif. Untuk orang dewasa dan anak-anak berumur > 1 tahun dengan FBAO berat, laporan kasus menunjukkan keefektifan pukulan pada punggung atau "slaps," 276-278 menekan perut, 275-277,279,280 dan menekan dada. 276,281 Pda 1 kasus 513 korban tersedak yang dipanggil EMS, 275 kira-kira 50% dari obstruksi jalan napas lega sebelum kedatangan EMS. Intervensi EMS dengan menekan perut berhasil pada lebih dari 85% dari kasus. Beberapa pasien dengan obstruksi persisten biasanya digunakan suction atau forsep Magill. Kurang dari 4% meninggal dunia. 275
Meskipun penekanan dada, memukul punggung, dan menekan perut efektif untuk menghilangkan FBAO yang berat pada pasien dewasa dan anak 1 tahun yang sadar (Responsif), untuk kemudahan dalam pelatihan disarankan menekan perut diberikan dengan cepat sampai obstruksi hilang (Class IIb, LOE B). Jika menekan perut tidak efektif, penyelamat dapat mempertimbangkan menekan dada (Class IIb, LOE B). Menekan perut tidak direkomendasikan untuk bayi < 1 tahun karena dapat menyebabkan cedera. Menekan dada harus digunakan untuk pasien obesitas jika penyelamat tidak dapat mengelilingi perut korban. Jika korban tersedak sedang hamil, penyelamat harus melakukan penekanan dada daripada perut. Jika korban dewasa dengan FBAO menjadi tidak responsif, penyelamat harus meletakkan pasien ke tanah, segera aktifkan (atau mengirim seseorang untuk mengaktifkan) EMS, dan kemudian mulai CPR. Penyelamat harus hati-hati menurunkan korban ke tanah, mengutus seseorang untuk mengaktifkan sistem 33
emergency dan mulai CPR (tanpa memeriksa denyut nadi). Setelah 2 menit, jika seseorang belum melakukannya, penyelamat harus mengaktifkan sistem respon emeregency. Sebuah percobaan secara acak dari manuver untuk membuka jalan napas pada cadavers 282 dan 2 studi perspektif pada sukarelawan anestesi 281,283
menunjukkan tekanan jalan napas yang tinggi dapat dihasilkan dengan melakukan penekanan dada daripada penekanan perut. Jalan napas dibuka selama CPR, penyelamat harus mencari objek dalam mulut korban, jika ditemukan, segera ambil. Cukup melihat ke dalam mulut seharusnya tidak secara signifikan meningkatkan waktu yang diperlukan untuk melanjutkan 30 kali kompresi dada. Tidak ada studi yang mengevaluasi penggunaan rutin usapan jari untuk membersihkan jalan napas pada obstruksi. Rekomendasi menggunakan usapan jari dulu berpedoman pada laporan anekdot bahwa itu sangat membantu untuk menghilangkan obstruksi jalan napas. 276,277,284 Namun, laporan kasus juga telah mendokumentasikan cedera pada korban 236,285,286 atau penyelamat.
Kualitas BLS Kualitas CPR baik di luar dan di dalam rumah sakit, kejadian cardiac arrest sering memburuk, dan metode harus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas CPR untuk korban cardiac arrest. 73,91-93,287 Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan kompresi dada, kedalaman, recoil dada, laju ventilasi, dan indikator dari aliran darah seperti tidal akhir CO2 (PETCO2). 72,73,80,288,293 Namun, tidak ada penelitian yang menunjukkan peningkatan signifikan pada kelangsungan hidup pasien yang berhubungan dengan penggunaan perangkat umpan balik CPR selama cardiac arrest. Perangkat umpan balik CPR lainnya dengan accelerometers mungkin melebihkan kedalaman kompresi saat kompresi dilakukan pada permukaan yang lunak seperti kasur karena kedalaman gerakan sternum mungkin sebagian karena gerakan kasur dari kompresi dada anterior-posterior (AP). 62,294 Tetapi, CPR dan teknologi umpan balik secara visual dan auditori dapat meningkatkan kualitas CPR (Class IIa, LOE B).
34
Kesimpulan Langkah-langkah penyelamatan BLS adalah: Segera Mengenali dan Aktivasi sistem respon emergency CPR Secepatnya dan Defibrilasi Cepat untuk VF Saat orang dewasa tiba-tiba jatuh, siapa pun yang berada di dekatnya harus mengaktifkan sistem emergency dan memulai kompresi dada. Penyelamat yang terlatih harus melakukan kompresi dan ventilasi. Berlawanan dengan kepercayaan pada situasi ini, CPR tidak berbahaya. Keterlambatan sangat berbahaya dan CPR dapat menyelamatkan nyawa. Namun, kualitas CPR penting. Kompresi dada harus dengan mendorong keras dan cepat di tengah dada (yaitu, penekanan dada harus adekuat jumlah dan kedalamannya). Penyelamat harus memungkinkan dada untuk kembali setelah kompresi dan meminimalkan gangguan pada kompresi dada. Mereka juga harus menghindari ventilasi berlebihan. Jika dan bila tersedia, sebuah AED harus diberikan dan digunakan tanpa menunda kompresi dada. Dengan penyediaan tindakan yang cepat dan efektif, kehidupan akan terselamatkan setiap hari.