Вы находитесь на странице: 1из 24

1

BAB I
DEMOKRASI

A. Pengertian Demokrasi
Kata ini berasal dari bahasa Yunani (dmokrata) "kekuasaan
rakyat", yang terbentuk dari (dmos) "rakyat" dan (kratos)
"kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik
negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari
(aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua isi tersebut
saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya
memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasibaik secara
langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan
pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Hal ini juga sudah didukung dengan pernyataan yang tertulis dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimana demokrasi berarti bentuk ataupun sistem
pemerintahan dimana seluruh rakyatnya turut memerintah dengan melalui
perantara wakil rakyat. Segala gagasan ataupun pandangan yang menomorsatukan
persamaan hak serta kewajiban adalah prioritas penting dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan
dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica)
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi
sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat
kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut
pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
2


Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya
kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk
gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak
akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja
harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang
mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu
secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga
negara tersebut.
Berikut adalah pengertian demokrasi menurut para ahli :
Abraham Lincoln berpendapat Demokrasi adalah pemerintah dari, oleh,
dan untuk rakyat.
Kranemburg berpendapat Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
demos (rakyat) dan cratein (memerintah). Jadi, demokrasi adalah cara
memerintah dari rakyat.
Koentjoro Poerbopranoto berpendapat Demokrasi adalah negara yang
pemerintahannya dipegang oleh rakyat. Hal ini berarti suatu sistem di
mana rakyat diikut sertakan dalam pemerintahan negara.
Harris Soche berpendapat Demokrasi adalah pemerintahan rakyat karena
itu kekuasaan melekat pada rakyat.
Henry B. Mayo berpendapat Sistem politik demokratis adalah
menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-
wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dan didasarkan atas
kesamaan politik dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
International Commision for Jurist menyatakan Demokrasi adalah suatu
bentuk pemerintahan untuk membuat keputusan politik diselenggarakan
oleh wakil-wakil yang dipilih bertanggung jawab kepada mereka melalui
pemilihan yang bebas.
C.F. Strong menyatakan Suatu sistem pemerintahan pada mayoritas
anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem
perwakilan yang menjarnin bahwa pemerintah akhimya
mempertanggungjawabkan tindakan kepada mayoritas.
3


Samuel Huntington menyatakan Sistem politik sebagai demokratis sejauh
para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu dipilih
melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan semua orang dewasa
mempunyai hak yang sama memberikan suara.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian demokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan dipergunakan
untuk kepentingan rakyat. Namun dalam perkembangannya demokrasi tidak
hanya sebagai bentuk pemerintahan tetapi telah menjadi sistem politik dan sikap
hidup.
B. Macam-Macam Demokrasi
1. Demokrasi Presidentil
Demokrasi presidetil disebut juga sebagai demokrasi presidensial.
Dalam demokrasi presidensial, orang-orang yang menjalankan
pemerintahan (para menteri dalam susunan kabinet presidensial)
bertanggungjawab kepada presiden karena yang memilih menteri-menteri
itu adalah presiden.
Negara yang menganut sistem demokrasi presidensial antara lain
negara Pakistan pada masa pemerintahan Presiden Ayub Khan tahun 1960.
Negara Indonesia sejak tahun 1966 hingga sekarang juga menjalankan
demokrasi presidentil.
2. Demokrasi Parlementer
Dalam demokrasi parlementer, orang-orang yang menjalankan
pemerintahan (eksekutif) bertanggungjawab kepada parlemen dan
kekuasaan legislatif (DPR) berada di atas kekuasaan eksekutif. Para
menteri kabinet bertanggungjawab kepada badan legislatif. Kabinet harus
mendapat kepercayaan dari DPR dan DPR dapat memberikan mosi tidak
percaya kepada kabinet.
Negara yang menjalankan demokrasi parlementer dalam
pemerintahan mereka antara lain Belgia, Belanda, Perancis dan Indonesia
pada masa Demokrasi Liberal (tahun 1950 sampai 1959).

4


3. Demokrasi dengan sistem pemisahan kekuasaan
Sistem demokrasi dengan pemisahan kekuasaan hampir
sepenuhnya diterapkan di negara Amerika Serikat. Kekuasaan legislatif
dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden,
sedangkan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung.
Masing-masing badan berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain.
Kekuasaan yang diberikan pada setiap badan dibatasi untuk mencegah
penumpukan kekuasaan. Antar lembaga negara bekerja dengan saling
mengawasi sehingga terjadi keseimbangan diantara lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
4. Demokasi melalui referendum dan inisiatif rakyat
Referendum adalah pemungutan suara rakyat mengenai suatu
rencana pemberlakukan undang-undang. Sistem demokrasi melalui
referendum ini berlaku di negara Swiss. Setiap wilayah administratif di
Swiss disebut sebagai kanton.
Kanton-kanton tersebut berbentuk republik yang masing-masing
kanton memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam
praktek demokrasi di negara Swiss, tugas legislatif berada di bawah
pengawasan rakyat. Pengawasan oleh rakyat dilakukan melalui
referendum.
Referendum dibagi menjadi dua, yaitu referendum obligator dan
referendum fakultatif. Referendum obligator atau referendum wajib adalah
pemungutan suara rakyat yang wajib dilakukan untuk suatu rencana
undang-undang dasar negara bagian atau undang-undang lain yang
dianggap penting. Sedangkan referendum fakultatif adalah pemungutan
suara rakyat mengenai rencana undang-undang yang tidak diharuskan,
kecuali jika pada masa tertentu setelah rencana undang-undang itu
diumumkan sejumlah rakyat meminta diadakan referendum kembali.



5


C. Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi
1. Pendidikan Demokrasi
Bagi negara yang menganut sistem demokrasi, pendidikan
demokrasi merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan sejak dini
secara terencana, sistematis, dan berkesinambungan. Hal ini agar
demokrasi yang berkembang tidak disalahgunakan atau menjurus kepada
anarki, karena kebebasan yang kebablasan, sehingga merusak fasilitas
umum, menghujat atau memfitnah pun dianggap sebagai bagian dari
demokrasi.
Menurut Djiwandono dkk (12003:4 1) : bila demokrasi tidak
disertai oleh tatanan politik dan aturan politik serta hukum yang jelas,
suatu kondisi tertentu bisa berubah menjadi anarkisme dan bahkan
kemudian mengundang otorianisme yaitu suatu pemerintahan yang
menindas dan berlawanan dengan prinsip demokrasi.
Berdasarkan hal tersebut menunjukan bahwa demokrasi tidak bisa
dilaksanakan dengan baik tanpa adanya tatanan politik serta hukum yang
jelas. Tanpa tatanan politik serta hukum yang jelas demokrasi bisa berubah
menjadi anarkisme atau otorianisme. Oleh karena itu, bagi negara totaliter
atau otonter, pendidikan demokrasi menjadi lebih penting lagi, walaupun
ini disadari oleh yang berkuasa akan mengancam kekuasaannya. Oleh
karena melalui pendidikan demokrasi rakyat akan diberdayakan untuk
menuntut haknya dan menentang berbagai kebijakan penguasa yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi. Pentingnya
pendidikan demokrasi di Indonesia, disadari pula oleh para tokoh
pendidikan dan para pengambil kebijakan. Dari mulai tahun 1960 sampai
sekarang, pendidikan demokrasi telah dilaksanakan walaupun dengan
substansi yang berbeda, karena faktor kepentingan penguasa.
Sementara menurut Tilaar (1999:172-174), bahwa: Pendidikan
demokrasi yang merupakan tuntutan dari terbentuknya masyarakat madani
Indonesia mengandung berbagai unsur, yaitu :
6


a) Manusia memerlukan kebebasan politik artinya mereka memerlukan
pemerintah dari dan untuk mereka sendiri;
b) Kebebasan intelektual;
c) Kesempatan untuk bersaing di dalam perrwujudan diri ssendiri (self
realization);
d) Pendidikan yang mengembangkan kepatuhan moral kepada
kepentingan bersama dan bukan kepada kepentingan sendiri atau
kelompok;
e) Pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda (the right to be
different) Percaya kepada kemampuan manusia uniuk membina
masyarakat di masa depan.
Demokrasi memang tidak diwarisi , tetapi ditangkap dan dicerna
melalui proses belajar oleh karena itu untuk memahaminya diperlukan
suatu proses pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi dalam
berbagai konteks, dalam hal ini untuk pendidikan formal (disekolah dan
perguruan tinggi), non formal (pendidikan diluar sekolah) dan informal
(pergaulan dirumah dan masyarakat cultural) untuk membangun cita
cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam
berbagai konteks (Winaputra,2006:19).
System pemerintahan demokrasi sangat di cita cita kan oleh
berbagai Negara. Namun upaya untuk menuju kehidupan demokrasi yang
ideal tidak lah mudah. Proses mengimplementasikan demokrasi inilah
sebagai system politik dalam kehidupan bernegara.
Demokrasi bertujuan menghasilkan demokrasi yang mengacu pada
ciri ciri sebagai berikut :
a. Proses yang tak pernah selesai, dalam arti bertahap, berkesinambungan
terus menerus.
b. Bersifat evolusioner dalam arto dilakukan secara berlahan.
c. Perubahan bersifat damai dalam arti tanpa kekerasan (anarkis).
d. Berjalan melalui cara musyawarah; dalam arti pebedaan yang ada
siselesaikan dengan cara musyawarah.
7


Jadi, budaya demokrasi dimasyarakat akan terbentuk bilamana
nilai nilai demokrasi itu sudah berkembang luas, merata, dihayati dan
dijalankan sebagai sikap dan perilaku hidup pada hakikat nya budaya
demokrasi akan mengembangkan nilai nilai demokrasi.
Dalam memahami demokrasi harus memaknai aspek-aspek
demokrasi secara menyeluruh diperlukan kecerdasan ruhaniyah,
kecerdasan nagliyah, kecerdasan agliyah (otak logis-rasional), kecerdasn
emosional (natsiyah), kecerdasan menimbang (judgment), kecerdasan
membuat keputusan dan memecahkan masalah (decision making and
problem solving) dan kecerdasan membahasakan serta
mengkomunikasikannya.
Berdasarkan pendapat di atas, menunjukan bahwa untuk
memahami demokrasi diperlukan adanya kecerdasan ruhaniyah, nagliyah,
aqliyah, nafsiyah, kececdasan dalam menimbang serta kecerdasan daiarn
membuat keputusan dan memecahkan masalah. Dengan kata lain, perlu
dikembangkannya pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional,
yang memungkinkan para siswa dapat mengembangkan dan menggunakan
seluruh potensinya sebagai individu dan warga negara dalam masyarakat
bangsa dan negara yang demokratis.
2. Pendidikan Demokratisasi
Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun
secara cepat ke arah demokrasi. Demokratisasi ini menjadi tuntutan global
yang tidak bisa dihentikan. Jika demokratisasi tidak dilakukan, maka
bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang saudara yang
menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah (BJ
Habibie 2005).
Demokratisasi di suatu system pemerintahan memerlukan proses
yang tidaklah mudah. Pada saat perubahan terjadi, selalu ada orang yang
tidak ingin melakukan perubahan terus menerus, atau ada manusia yang
tidak mampu menyesuaikan diri. Dalam kontes demokratisasi, peran
individu yang mampu menerima perubahan itu sangat penting. Untuk
8


itulah, individu harus punya tanggung jawab. Apalagi globalisasi yang
terus mendorong perubahan yang tidak bisa ditahan oleh Negara manapun.
Demokratisasi biasanya terjadi ketika ekspektasi terhadap
demokrasi muncul dari dalam Negara sendiri, karena warga negaranya
melihat system politik yang lebih baik, seperti yang berjalan di
negara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh
Negara tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional datang sebagai
sebuah inpirasi yang kuat bagi warga Negara didalam Negara itu.
Demokratisasi di Indonesia
Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial
politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai
dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap
arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para aktifis
politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan
politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak
memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda
bumiputera. Dapat dicatat disini para migran politik tersebut antara lain:
Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi
pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah
perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa
demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965)
bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan
karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode
transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal yaitu Momentum historis perkembangan
demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No.
X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam
maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai
bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan
9


pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas,
melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan
mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi
pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu
multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September
1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan
anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai
berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria
demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan
langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan
representativness.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan
kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya.
Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan
pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali
fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti pemerintahan dalam
waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-
serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada
umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya
dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir menuduh
para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya,
bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak
menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan
kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan
demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak.
Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal
yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab
utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari
10


krisis politik tersebut adalah menguburdemokrasi liberal yang dalam
pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya,
Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk
revolusi,parliamentary democracy is not good for revolution.
Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto).
Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22
April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik
demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya tentang
demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin
(Guided Democracy).
Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah
terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis
(PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30
September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya
kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama
Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen.
Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya
tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya,
yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep
yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila
memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin
Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila
adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat
Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan
bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan
pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan
pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-
partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu
11


dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde
Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologiSoeharto
melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai
menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai
Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan
dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol
melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini
merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk
membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara
demokrasi terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak
pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington
dinamakan gelombang demokrasi ketiga Soeharto menjawab dengan
kebijakan mulur mungkret liberalisasi politik terbatas, yang oleh para
pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi
sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang
mencoba-coba keluar dari aturan main yang ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai
tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos
ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997.
Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya
ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah,
inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin
besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi
protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demokratisasi Pasca Orde Baru yaitu ketika Berakhirnya Orde
Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat.
Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam,
mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk
mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999
diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal
12


bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-
elite lama dalam proses transisi.
Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang
dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers,
pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-
partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen
konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal
dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak
demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini
merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di
lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan,
agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998.
Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan
Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal.
Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun
berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis
dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah
tragedi transisi demokrasi.
Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan
pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh
Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak
pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk
dalam kategori negara bebas. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa
Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat
minimal (partly free).




13


BAB II
PROSES DEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI

A. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi.
Berikut ini beberapa pengertian masyarakat madani menurut para ahli :
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang
ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
Menurut Syamsudin Haris, masyarakat madani adalah suatu lingkup
interaksi sosial yang berada di luar pengaaruh negara dan model yang
tersusun dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga,
asosiasi sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk
lingkungan komunikasi antar warga masyarakat.
Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat
yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi
Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat
berperadaban dengan ciri antara lain : egaliteran(kesederajatan),
menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah.
Menurut Ernest Gellner, Civil Society atau Masyarakat Madani
merujuk pada mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non
pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi
Negara.
Menurut Cohen dan Arato, Civil Society atau Masyarakat
Madani adalah suatu wilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi,
politik dan Negara yang didalamnya mencakup semua kelompok-
kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial
14


diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar
kebaikan bersama (public good).
Menurut Muhammad AS Hikam, Civil Society atau Masyarakat
Madani adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-
generating), keswadayaan (self-supporing),dan kemandirian yang tinggi
berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan
nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Menurut M. Ryaas Rasyid, Civil Society atau Masyarakat
Madani adalah suatu gagasan masyarakat yang mandiri yang
dikonsepsikan sebagai jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-
kelompok sosial yang mandiri, perkumpulan-perkumpulan, serta
lembaga-lembaga yang saling berhadapan dengan negara.
B. Proses Demokrasi Menuju Masyarakat Madani
Dalam perspektif sejarah ,masyarakat madani (civil society), di rintis di
Indonesia sejak masyarakat kita mulai bersentuhan dengan pendidikan modern,
sistem kapitalis global, dan moderenisasi. Kesadaran masyarakat untuk
mendirikan organisasi-organisasi modern seperti budi utomo (1908),
muhammadyah (1912), menjadi indikator tumbuhnya civil society.
Setelah indonesia merdeka, semangat civil society makin berkembang.
Pada tahun 1950-an,organisasi-organisasi politik kemasyarakatan berkembang
pesatdan pemerintahan baru di bawah pimpinan soekarno bertekad membangun
negara modern dengan sistem demokrasi parlementer.
Hal ini meyebabkan kemandirian masyarakat sulit diciptakan, padahal
kemandirian sangat penting karena menjadi unsur yang paling menentukan dalam
hal pembangunan masyarakat madani ini.
Berikut ini upaya-upaya yang dilakukan untuk megatasi kendala yang
dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani.
a. Memposisikan kemandirian sebagai suatu sistem kepribadian manusia
yang sangat mendasar yang mampu menghasilkan kreatifitas,
inovasi,dan prakarsa.
15


b. Menyadari eksistensi kemanusiaan sebagai mahluk tuhan yang
memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat serta bertanggung jawab
atas segala kehendak dan perbuatan itu.















16


BAB III
BERBAGAI PERSOALAN DAN SOLUSI IMPLEMENTASI
DEMOKRASI DAN NEGARA HUKUM
Demokrasi dipandang sebagai sebagai sesuatu yang penting karena nilai-
nilai yang dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata
kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi merupakan alat yang
dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan
pemerintahan yang baik (good society and good government). Kebaikan dari
sistem demokrasi adalah kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, baik secara
langsung maupun perwakilan. Secara teoritis, peluang terlaksananya partisipasi
politik dan partisipasi warga negara dari seluruh lapisan masyarakat terbuka lebar.
Masyarakat juga dapat melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan
pemerintahan karena posisi masyarakat adalah sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi.
Namun dalam praktek atau pelaksanaan demokrasi khususnya di
Indonesia, tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada. Demokrasi yang
dilaksanakan di Indonesia belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara
menyeluruh. Partisipasi warga negara dalam bidang politik pun belum terlaksana
sepenuhnya. Untuk memaparkan lebih lanjut, permasalahan demokrasi yang ada
perlu dikelompokkan lagi menjadi tiga hal, yaitu dari segi teknis atau prosedur,
etika politik, serta sistem demokrasi secara keseluruhan.
Dari segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya
sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya pemilu pada
tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk
pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden
(Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia
internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung
17


secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi global
dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.
Namun sesungguhnya pemilu 1999 yang dipandang baik ini mengalami
penurunan partisipasi politik dari pemilu sebelumnya yaitu tahun 1997 yang
mencapai 96,6 %. Tingkat partisipasi ppolitik di tahun berikutnya pun mengalami
penurunan, dimana pada pemilu tahun 2004, tingkat partisipasi politik mencapai
84,1 % untuk pemilu Legislatif, dan 78,2 % untuk Pilpres. Kemudian pada pemilu
2009, tingkat partisipasi politik mencapai 10,9 % untuk pemilu Legislatif dan 71,7
% untuk Pilpres.
Menurunnya angka partisipasi politik di Indonesia dalam pelaksanaan
pemilu ini berbanding terbalik dengan angka golput (golongan putih) yang
semakin meningkat. Tingginya angka golput ini menunjukkan apatisme dari
masyarakat di tengah pesta demokrasi, karena sesungguhnya pemilu merupakan
wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih
orang-orang yang dianggap layak untuk mewakili masyarakat, baik yang akan
duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), maupun Presiden dan Wakil Presiden.
Hak untuk memilih atau mengemukakan pendapat tergolong sebagai Hak
Asasi Manusia yang pelaksanaannya dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat
(3). Tingginya angka golput mungkin berasal dari pandangan masyarakat yang
memandang bahwa hak asai manusia merupakan suatu kebebasan, yang dalam hal
ini adalah kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya ataupun tidak. Memang
tidak ada aturan atau hukum yang menjerat bagi orang-orang yang tidak turut
serta berpartisipasi politik dalam pemilu, namun apabila terus dibiarkan angka
golput terus meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi
Indonesia yang akan semakin tidak berkualitas akibat rendahnya partisipasi dari
para warganya.
18


Yang kedua adalah demokrasi dipandang dari segi etika
politiknya. Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan
dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik
berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan
bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek
etika. Walaupun dalam konteks politik berkaitan erat dengan masyarakat, bangsa
dan negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai
manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan
senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan
berbudaya.
Pemilihan umum di Indonesia merupakan arena pertarungan aktor-aktor
yang haus akan popularitas dan kekuasaan. Sebagian besar petinggi pemerintahan
di Indonesia adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji untuk
memikat hati rakyat. Menjelang pemilihan umum, mereka akan mengucapkan
berbagai janji mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka lakukan apabila
terpilih dalam pemilu, mereka berjanji untuk mensejahterakan rakyat,
meringankan biaya pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan
bagi rakyat, dan sebagainya.Tidak hanya janji-janji yang mereka gunakan untuk
mencari popularitas di kalangan rakyat melalui tindakanmoney politics.
Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan melanggar
etika politik. Hak pilih yang merupakan hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan
oleh orang lain, namun melalui money politics secara tidak langsung mereka
mempengaruhi seseorang dalam penggunaan hak pilihnya. Selain itu, perbuatan
para calon petinggi pemerintahan tersebut juga melanggar prinsip pemilu yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan mempengaruhi hak
pilih seseorang merupakan perbuatan yang tidak jujur, karena jika rakyat yang
dipengaruhi tersebut mau memilihnya pun hanya atas dasar penilaian yang
subyektif, tanpa memandang kemampuan yang dimiliki oleh calon tersebut.
Tindakan ini juga merupakan persaingan yang tidak sehat dan tidak adil bagi
calon lain yang menjadi pesaingnya.
19


Apabila calon petinggi pemerintahan yang sejak awal sudah melakukan
persaingan tidak sehat tersebut berhasil menduduki jabatan pemerintahan, tentu
sangat diragukan apakah ia dapat menjalankan pemerintahan yang bersih atau
tidak. Terbukti dengan begitu banyaknya petinggi pemerintahan di Indonesia saat
ini, khususnya mereka yang duduk di kursi DPR sebagai wakil rakyat, yang
terlibat kasus korupsi. Ini adalah buah dari kecurangan yang mereka lakukan
melalui money politics dimana mereka sudah mengaluarkan begitu banyak dana
demi membeli suara rakyat, sehingga ketika mereka berkuasa mereka akan
cenderung memanfaatkan kekuasaannya yang antara lain bertujuan untuk
mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan tersebut.
Tidak hanya korupsi, sikap atau perilaku keseharian para wakil rakyat
tersebut juga tidak menunjukkan etika politik yang baik sebagai seseorang yang
seharusnya mengayomi dan menjadi penyambung lidah rakyat demi mencapai
kesejahteraan rakyat. Mereka kehilangan semangat dan tekad untuk membela
rakyat yang bertujuan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, yang mereka
ungkapkan ketika masih menjadi calon wakil rakyat. Mereka kehilangan jatidiri
sebagai seorang pemimpin dan justru menyalahgunakan kepercayaan rakyat
terhadap mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Terbukti banyak
anggota DPR yang menginginkan gaji tinggi, adanya berbagai fasilitas dan sarana
yang mewah yang semuanya itu menghabiskan dana dari rakyat, dalam jumlah
yang tidak sedikit. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan,
bahkan untuk sekedar rapat saja mereka tidak menghadiri dan hanya titip absen,
atau mungkin hadir namun tidak berpartisipasi aktif dalam rapat tersebut. Sering
diberitakan ada wakil rakyat yang tidur ketika rapat berlangsung.
Terakhir atau yang ketiga adalah permasalahan demokrasi dipandang dari
segi sistemnya secara keseluruhan, mencakup infrastruktur dan suprastruktur
politik di Indonesia. Infrastruktur politik adalah mesin politik informasi berasal
dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik (political party), kelmpok
kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media
komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political
20


figure). Disebut sebagai infrastruktur politik karena mereka termasuk pranata
sosial dan yang menjaid konsen masing-masing kelompok adalah kepentingan
kelompok mereka masing-masing.
Sedangkan suprastruktur politik (elit pemerintah) merupakan mesin politik
formal di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik
pemerintah bersifat kompleks karena akan bersinggungan dengan lembaga-
lembaga negara yang ada, fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang
satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada
umunya elit politik pemerintah dibagi dalam kekuasaan eksekutif (pelaksana
undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (yang
mengadili pelanggaran undang-undang), dengan sistem pembagian kekuasaaan
atau pemisahan kekuasaan.
Dalam pelaksanaan demokrasi, harus ada hubungan atau relasi yang
seimbang antar komponen yang ada. Tugas, wewenang, dan hubungan antar
lembaga negara itu pun diatur dalam UUD 1945. Relasi atau hubungan yang
seimbang antar lembaga dalam komponen infrastruktur maupun suprasruktur,
serta antara infrastruktur dengan suprastruktur akan menghasilkan suatu
keteraturan kehidupan politik dalam sebuah negara. Namun tetap saja,
penyimpangan dan permasalahan itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat yang
beragam dan senantiasa berubah seiring waktu.
Dalam lembaga legiflatif (DPR) misalnya, sebagai lembaga yang dipilih
oleh rakyat, dan kedudukannya adalah sebagai wakil rakyat yang sebisa mungkin
harus memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat, megingat pemegang
kekuasaan tertinggu dslam negara demokrasi adalah rakyat (kedaulatan rakyat).
Namun dalam pelaksanaannya, lembaga negara tidak memposisikan diri sebagai
penyampai aspirasi rakyat dan representasi dari kehendak rakyat untuk mencapai
kesejahteraan, namun justru lembaga negara tersebut sebagai pemegang
kekuasaan dalam sebuah negara, dan rakyat harus tunduk terhadap kekuasaan
tersebut.
21


Contoh lain adalah dalam lembaga yudikatif, atau lembaga yang bertugas
mengadili terhadap pelanggaran undang-undang. Hukum di Indonesia adalah
hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Siapa yang punya uang, tentu
akan mengalami hukuman yang ringan meskipun melakukan kesalahan yang
besar. Sebaliknya, apabila tidak punya uang, dia tidak bisa berkutik dengan
hukuman yang dijatuhkan padanya meskipun kesalahan yang dilakukan tergolong
ringan. Bukti bahwa hukum Indonesia bisa dibeli adalah adanya hakim yang
tertangkap akibat menerima suap untuk meringankan kasus yang sedang ia
tangani. Atau contoh lain adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan yang sedang
menjalani hukuman, namun dapat dengan mudah keluar masuk penjara dengan
berbagai alasan atau kepentingan, dan tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan oleh
rakyat kecil.
Permasalahan yang terkait dengan komponen infrastruktur politik belum
efektifnya peran lembaga-lembaga tersebut demi kepentingan rakyat, dan
terkadang justru pelaksanaannya hanya demi kepentingan kelompok atau individu.
Dalam hal kebebasan pers misalnya, meskipun sudah dijamin dalam UUD 1945
namun pelaksanaannya belum sepenuhnya efektif. Contohnya adalah adanya
wartawan yang meliput kasus atau persoalan publik, justru diculik, dianiaya, atau
bahkan dibunuh.
Selain itu, partai politik telah beralih fungsi dari lembaga demokrasi
menjadi lembaga yang yang mirip dengan perusahaan, dengan tujuan memperoleh
keuntungan. Terbukti dengan keterlibatan partai politik dalam berbagai kasus
korupsi, transaksi-transaksi politik dalam pemilihan daerah, serta money politics.
Partai politik juga menjadi rumah bagi orang-orang tertentu yang mengejar
popularitas dan kekuasaan, serta untuk menguasai sumber daya alam tertentu.
Komersialisasi partai politik ini juga terlihat dalam kaderisasinya, dimana banyak
anggota partai politik yang direkrut adalah pengusaha-pengusaha, yang
sebenarnya hanya dijadikan tunggangan agar partai politik tersebut dapat dengan
mudah memperoleh dana, misalnya dari adanya proyek-proyek.
22


Permasalahan-permasalahan demokrasi yang terjadi di Indonesia ini harus
segera ditangani karena sudah mencapai titik kritis. Apabila dibiarkan tanpa ada
upaya penyelesaian, demokrasi di Indonesia akan mati, dan negara Indonesia
justru mengarah pada negara dengan pemerintahan yang otoriter. Kedaulatan
rakyat tidak lagi berlaku, aspirasi rakyat melalui kebebasab pers terlalu dibatasi.
Bahkan lembaga yang bertugas sebagai penyampai aspirasi rakyat seperti DPR
dan partai politik telah beralih fungsi menjadi lembaga yang menjadi rumah bagi
pihak-pihak yang menginginklan popularitas, kekuasaan, dan kekayaan.













23


BAB V
PENUTUP
A. Keimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai Buku Sekolah Elektronik. Penulis
dapat menyimpulkan bahwa siswa SMAN 1 Majalengka telah benar-benar
memanfaatkan BSE sebagai perangkat tambahan untuk penguasaan materi selain
materi dari guru atau buku yang ada di sekolah. dalam membantu proses
pembelajaran. Tingkat pemanfaatan BSE tersebut lebih pada paparan kelebihan
dan kekurangan BSE.
Dampak positif dari BSE di antarnya:
1. BSE dapat membantu siswa belajar secara mandiri.
2. BSE dapat memungkinkan siswa mendapatkan buku yang bervariasi
dalam satu literature.
3. BSE dapat membantu mengurangi salah satu beban biaya sekolah.
4. Dengan adanya BSE pembelajaran dapat dilakukan secara kontekstual.
5. BSE lebih mudah di bawa daripada buku fisik.
Dampak negatif dari BSE
Dampak negatif BSE di antaranya:
1. Hanya dapat di akses apabila ada perangkat komputer dan jaringan internet
2. Harus menguasai cara mengoperasikan komputer
3. Harus menguasai bahasa komputer
4. Dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang didapat maka berikut di bawah ini beberapa saran
yang dapat dikemukakan.
1. Sehubungan dari beberapa dampak positif yang muncul. Penulis menyarankan
agar apikasi pembelajaran BSE di SMAN 1 Majalengka lebih di optimalkan
lagi. Dengan lebih meningkatkan lagi kelengkapan buku yang ada di fitur
24


BSE. Untuk siswa, sudah seyogyanya lebih mengoptimalkan pemanfaatan
BSE dalam proses pembelajaran untuk membantu menambah dan melengkapi
materi-materi pembelajaran. Bagi guru-guru disarankan lebih interaktif dalam
memberikan materi-materi pembelajaran.
2. Sehubungan dengan adanya dampak negatif yang muncul, penulis juga
menyarankan mudah-mudahan suatu saat ada temuan mengenai software yang
bisa mengakses BSE dalam handphone agar adanya pemerataan dalam
mengakses BSE. Selain itu, untuk menambah pengetahuan siswa dalam
mengoperasikan komputer, seharusnya lebih ditingkatkan lagi pelatihan
pembelajaran komputer bagi siswa. Dan disarankan jangan berlama-lama
berada di komputer agar tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan.

Вам также может понравиться