V.I Gambaran Rumah sakit Buah Hati RSIA Buah Hati berdiri pada tahun 2005 di J l. Aria Putra No. 399 Ciputat Tangerang Selatan yang berawal dari sebuah klinik Praktek Dokter bersama. Berkembangnya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik dan lengkap mendorong konsorsium dokter-dokter spesialis untuk mengembangkan RSIA Buah Hati menjadi salah satu rumah sakit pilihan masyarakat, maka pada tanggal 19 april 2011 berdiri RSIA Buah Hati di jl. Raya Siliwangi No. 189 Pamulang Tangerang Selatan. RSIA Buah Hati mempunyai kapasitas ruang perawatan Ibu 44 bed di Ciputat dan 75 bed di Pamulang. Visi : RSIA Buah Hati sebagai rumah sakit dengan mutu pelayanan berkualitas, terpadu dan mengutamakan patien savety. Misi : Menyediakan dan mengembangkan secara terus menerus seluruh sarana dan prasarana penunjang pelayanan, bekerjasama dengan berbagai pihak agar dapat meluaskan jaringan pelayanan, mengembangkan potensi tenaga secara keseluruhan bagi tercapainya pelayanan kesehatan yang baik, mewujudkan kinerja efektif, efisien dan dapat dipertanggung jawabkan secara profesional. Kebijakan Mutu 1. Memberikan pelayanan kesehatan yang profesional berorientasi pada kepuasaan pelanggan dengan meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan SDM 2. RSIA Buah Hati menyediakan ruang konsultasi dan ruang persalinan yang nyaman untuk ibu karena RSIA Buah Hati mengedepankan privasi tinggi dan sentuhan khusus bagi wanita. 3. RSIA Buah Hati memberikan perhatian istimewa kepada anak-anak oleh karena itu RSIA Buah Hati menyediakan fasilitas dan pelayanan yang terintegrasi khusus untuk anak. 69 4. RSIA Buah Hati sebagai rumah sakit yang mendukung program nasional SAYANG IBU, SAYANG BAYI mengusung program IMD( Inisiasi Menyusui Dini) dan Rooming In (rawat bersama ibu dan bayi). Program ini adalah salah satu bentuk keperdulian RSIA Buah Hati kepada bayi untuk mendapatkan ASI pada awal kehidupannya. Filisofi Hospital with homny and Loving care. Tata nilai adalah five pillars of excelent (Quality Of Medical Care, Quality People, Quality servis, Quality work place and Quality Relation).
V.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan Univariat
1. Distribusi frekuensi berdasarkan data demografi Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan data demografi di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90) Variabel Kategori Frekuensi Persen (%) Umur <20 5 5.6 20 - 35 77 85.6 >35 8 8.9 Total 90 100.0 Paritas Primipara 42 46.7 Multipara 48 53.3 Total 90 100.0
Distribusi umur responden sebagian besar adalah usia reproduktif. Untuk usia reproduktif (20-35) tahun adalah (85,6%), sedangkan diatas 35 tahun 8,9% dan kurang dari 20 tahun adalah 5,6%. Distribusi paritas responden hampir merata untuk masing-masing paritas. Untuk responden paling banyak adalah multipara 53,3% sedangkan responden primipara 46,7%.
2. Distribusi frekuensi berdasarkan posisi menyusui responden Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan posisi menyusui di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90) Posisi Menyusui Frekuensi Persen (%) Tidak tepat 49 54,4 Tepat 41 45,6 Total 90 100,0
Distribusi posisi menyusui hampir merata untuk masing-masing posisi menyusui. Paling banyak posisi menyusui dengan tidak tepat (54,4%) responden, sedangkan posisi menyusui dengan tepat (45.6%) responden. Hasil penelitian posisi menyusui tidak tepat pada post partum seksio sesarea dikarenakan adanya keterbatasan gerak dan nyeri post operasi seksio sesarea sehingga perlu dukungan dari suami, keluarga/kerabat dekat dan petugas kesehatan. Menurut Wulandari & Handayani (2011) bahwa cara pengamatan teknik menyusui yang benar yaitu: bayi tampak tenang, badan bayi menepel pada pada perut ibu, mulut bayi terbuka lebar, dagu menempel pada payudara ibu, sebagian besar areola mammae masuk kedalam mulut bayi, bayi tampak menghisap kuat dengan irama perlahan, puting susu ibu tidak terasa nyeri, putting susu ibu tidak lecet/luka, telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus dan kepala bayi tidak mengadah. Posisi saat pemberian ASI pada Ibu melahirkan dengan bedah sesar: Ibu dapat dalam posisi berbaring miring dengan bahu dan kepala yang ditopang bantal, sementara bayi disusukan dengan kakinya ke arah ibu, dan apabila ibu sudah dapat duduk, bayi dapat ditidurkan di bantal di atas pangkuan ibu dengan posisi kaki bayi mengarah ke belakang ibu di bawah lengan ibu. 3. Distribusi frekuensi berdasarkan nyeri post operasi seksio sesarea pada responden Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan nyeri post operasi di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90) Variabel n Mean Median Modus SD SE Nyeri 90 8,14 8 7 1,001 0,105
Distribusi rata-rata nyeri post operasi pada responden dengan skala nyeri 8, median skala nyeri 8, modus skala nyeri 7, standar deviasi 1,001 (skala nyeri 9-7), standar eror 0,105. Hasil penelitian bahwa rata-rata nyeri yang dirasakan oleh responden skala nyeri 8, menurut Bourbanis skala nyeri tersebut tergolong nyeri berat: secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi. Berdasarkan hasil wawancara kepada responden nyeri akan berkurang dan terasa nyaman apabila setelah diberikan terapi analgetik dan relaksasi nafas dalam, di RSIA Buah Hati terapi analgetik diberikan secara intravena dan supositoria post seksio sesarea sampai 24 jam, kemudian diganti dengan terapi analgetik secara oral. Defenisi Nyeri International Association for the Study of Pain, IASP mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan (IASP, 1986 dikutip dari Carrol dan Browsher, 1993). Menurut Ganong (2003) nyeri pasca operasi merupakan nyeri menetap selagi luka dalam proses penyembuhan yang ditandai dengan nyeri yang berlebihan bila daerah luka tersebut terkena rangsangan yang biasanya hanya sebabkan nyeri ringan. 4. Distribusi frekuensi berdasarkan mobilisasi post operasi responden Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan mobilisasi post operasi di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90) Mobilisasi Frekuensi Persen (%) Pasif 50 55.6 Aktif 40 44.4 Total 90 100.0
Tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa dari 90 responden lebih banyak yang melakukan mobilisasi pasif (55,6%) dibandingkan yang melakukan mobilisasi aktif (44,4%). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara rata-rata pasien di RSIA Buah Hati setelah 36 jam post partum seksio sesarea pasien belum berani melakukan mobilisasi secara mandiri, mobilisasi dilakukan dengan bantuan keluarga dan tenaga kesehatan dengan alasan karena nyeri pada luka operasi. Menurut Kasdu, 2003, mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik. Pada pasien post operasi seksio sesarea 6 jam pertama dianjurkan untuk segera menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari jarinya agar kerja organ pencernaan segera kembali normal. Menurut Carpenito, 2000. Tujuan mobilisasi dini yaitu membantu proses penyembuhan ibu yang telah melahirkan, untuk menghindari terjadinya infeksi pada bekas luka sayatan setelah operasi seksio sesarea, mengurangi resiko terjadinya konstipasi, mengurangi terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot otot di seluruh tubuh, mengatasi terjadinya gangguan sirkulasi darah, pernafasan, peristaltik maupun berkemih).
5. Distribusi frekuensi berdasarkan rooming in responden Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan rooming in di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90) Rooming in Frekuensi Persen (%) Intermiten 53 58,9 kontinu 37 41,1 Total 90 100.0
Tabel 5.5 diatas menunjukkan hasil penelitian 90 responden lebih banyak yang melakukan rooming in intermiten (58,9,0%) dan rooming in kontinu (41,1%). Hasil penelitian rata-rata pasien di RSIA Buah Hati melakukan rooming intermitten walaupun dari RSIA Buah Hati sudah memberikan kebijakan rooming in, sebagian besar pasien belum tahu tentang tujuan dan keuntungan dari rooming in oleh karena itu ibu mimilih bayi ditempatkan diruang bayi agar ibu dapat istirahat setelah menjalani proses persalinan seksio sesarea. Rooming in adalah suatu sistem perawatan ibu dan anak bersama-sama atau pada tempat yang berdekatan sehingga memungkinkan sewaktu-waktu, setiap saat, ibu tersebut dapat menyusui anaknya. Rawat gabung dapat bersifat: kontinu: dengan bayi tetap berada disamping ibunya terus menerus, atau Intermiten: dimana bayi sewaktu-waktu ingin menyusui, atau atas permintaan ibunya dapat dibawa kepada ibunya (Soetjiningsih, 1997).
6. Distribusi frekuensi berdasarkan pengeluaran ASI (jam) post seksio sesarea responden Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan pengeluaran ASI (jam) di RSIA Buah Hati tahun 2012 (n=90) Variabel Mean Median Modus SD SE Pengeluaran ASI post SC 38,12 48 72 28,157 2,968
Distribusi rata-rata waktu percepatan pengeluaran ASI pada responden adalah 38 jam, median percepatan pengeluaran ASI adalah 48 jam, modus percepatan pengeluaran ASI adalah 72 jam, standar deviasi 28,157( 10 jam- 66 jam) dan standar error 2,968. Proses terjadinya pengeluaran air susu dimulai atau dirangsang oleh isapan mulut bayi pada putting susu ibu. Gerakan tersebut merangsang kelenjar Pictuitary Anterior untuk memproduksi sejumlah prolaktin, hormon utama mengandalkan pengeluaran air susu. Proses pengeluaran air susu juga tergantung pada let down replex, dimana hisapan putting dapat merangsang kelenjar pictuitary posterior untuk menghasilkan hormon oksitosin, yang dapat merangsang serabut otot halus didalam dinding saluran susu agar membiarkan susu dapat mengalir secara lancar. Kegagalan dalam perkembangan payudara secara fisiologis untuk menampung air susu sangat jarang terjadi. Payudara secara fisiologis merupakan tenunan yang tersusun seperti pohon tumbuh didalam putting cabang yang menjadi ranting semakin mengecil. Susu diproduksi pada akhir ranting dan mengalir kedalam cabang-cabang besar mennuju saluran ke dalam putting. Secara visual payudara dapat digambarkan sebagai setangkai buah anggur, mewakili tenunan kelenjar yang mengeksresi dimana setiap selnya mampu memproduksi susu, bila sel-sel myopithelial di dalam dinding alveoli berkontraksi, anggur tersebut terpencet dan mengeluarkan susu ke dalam ranting yang mengalir ke cabang-cabang lebih besar, yang secara perlahan-lahan bertemu di areola dan membentuk sinus lactiferous. Pusat dari areola adalah putingnya, yang tidak kaku letaknya dan dengan mudah menghisap mulut bayi. Kolostrum yang dihasilkan ibu umumnya diproduksi dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu sekitar 7,4 sendok teh(36.23ml) perharinya atau sekitar 1,4 hingga 2,8 sendok teh (6.86-13.72ml) sekali menyusu(http://askep- askeb.cz.cc/2010/03/agar-asi-lancar-di-awal-masa menyusui). Pada studi 32 ibu dengan bayi prematur disimpulkan bahwa produksi ASI akan optimal dengan pemompaan ASI lebih darai 5 kali perhari selama bulan pertama setelah melahirkan. Pemompaan dilakukan bayi prematur belum dapat menyusu (Hopskinston et al,1988 dalam ACC/SCN, 1991). Studi lain yang dilakukan pada ibu dengan bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10 kali perhari selama 2 minggu pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup (de Carvalho, et al, 1982 dalam ACC/SCN, 1991). Berdasarkan hal ini direkomendasikan penyusuan paling sedikit 8 kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. Frekuensi penyusunan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara. Setelah areola dan rolling massase ASI lebih cepat keluar dibanding sebelum dilakukan tindakan tersebut dalam satuan 12 jam pertama kelahiran (Desmawati, 2008). Badriul (2010). Menyatakan dua puluh empat jam setelah ibu melahirkan adalah saat yang sangat penting untuk keberhasilan menyusui selanjutnya. Pada jam-jam pertama setelah melahirkan dikeluarkan hormon oksitosin yang bertanggung jawab terhadap produksi ASI. Ibu yang menjalani bedah Caesar mungkin belum mengeluarkan ASI nya dalam 24 jam pertama setelah melahirkan. Kadang kala perlu waktu hingga 48 jam. Walaupun demikian, bayi tetap dianjurkan untuk dilekatkan pada payudara ibu untuk membantu merangsang produksi ASI. Secara keseluruhan proses menyusui melibatkan 4 faktor, yaitu (1) Bayi, (2) Payudara, (3) Air Susu Ibu dan (4) Otak Ibu. Kita sering kali meremehkan peran otak ibu dalam proses menyusui. Proses menyusui merupakan jalinan ikatan batin anatara ibu dan bayi. Ibu harus menyiapkan dirinya agar berada dalam keadaan baik saat menyusui. Perasaan depresi, marah dan nyeri harus dihindarkan saat menyusui karena dapat menghambat produksi air susu ibu.
V.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan Bivariat 1. Hubungan posisi menyusui dengan pengeluaran ASI (jam) post seksio sesarea Posisi menyusui merupakan variabel independen berupa data kategorik yaitu posisi menyusui tepat dan tidak tepat menggunakan skala ukur ordinal, sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel dependen dengan data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena itu menggunakan analisa data Uji T-Test Independent. Tabel 5.7 Analisis hubungan posisi menyusui dengan pengeluaran ASI (jam) pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)
Variabel n Pengeluaran ASI(jam) post operasi P Value Mean SD SE Posisi menyusui Tepat 41 9,29 6,306 0,985 0,000 Tidak tepat 49 62,24 11,528 1,647
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat rata-rata percepatan pengeluaran ASI pada ibu post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati yang menyusui dengan posisi tepat adalah 9 jam dengan standar deviasi 6 jam (3-15 jam), standar error 0,985, sedangkan rata-rata percepatan pengeluaran ASI dengan posisi menyusui yang tidak tepat yaitu 62 jam dengan standar deviasi 11 jam (51-72jam) dan standar error 1,647. Hasil uji statistik nilai P value =0,000 (<0,05), berarti ada hubungan yang bermakna antara posisi menyusui dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa ibu post partum seksio sesarea yang menyusui dengan posisi menyusui yang tepat, pengeluaran ASInya lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang menyusui dengan posisi yang tidak tepat. Menurut Wulandari & Handayani, 2011. Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin mengalami berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat sederhana, seperti misalnya cara menaruh bayi pada payudara ketika menyusui, isapan bayi yang mengakibatkan puting susu terasa nyeri, dan masih banyak lagi masalah lain. Terlebih pada minggu pertama setelah persalinan seseorang, ibu lebih peka dalam emosi. Untuk itu seorang ibu butuh sesorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui. Orang yang dapat membantunya terutama adalah orang berbengaruh besar dalam kehidupannya atau yang disegani, seperti suami, keluarga/kerabat terdekat, atau kelompok ibu-ibu pendukung ASI dan dokter/tenaga kesehatan. Seorang dokter atau tenaga kesehatan yang berkecimpung dalam bidang laktasi, seharusnya mengetahui bahwa walaupun menyusui itu merupakan proses alamiah, namun untuk mencapai suatu keberhasilan menyusui diperlukan pengetahuan mengenai teknik-teknik menyusui yang benar. Sehingga pada suatu saat nanti dapat disampaikan pada ibu yang membutuhkan bimbingan laktasi. 2. Hubungan nyeri post operasi dengan pengeluaran ASI (jam) pada ibu post partum seksio sesarea Nyeri post operasi merupakan variabel independen berupa data kategorik yaitu nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat terkontrol dan nyeri berat tidak terkontrol menggunakan skala ukur interval, sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel dependen dengan data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena itu menggunakan analisa data Uji T-Test Dependent.
Tabel 5.8 Analisis hubungan nyeri dengan pengeluaran ASI (jam) pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)
Variabel n Mean SD SE P value Nyeri 90 8,14 1,001 0,105 0,000 Pengeluaran ASI (jam) post SC 38,12 28,157 2,968
Tabel 5.8 hasil penelitian dari 90 responden rata-rata mengalami nyeri post operasi seksio sesarea dengan skala nyeri 8 dengan standar deviasi 1,001 (skala nyeri 7-9) dan standar error 0,105. Sementara itu nilai rata-rata percepatan pengeluaran ASI pada responden tersebut adalah 38 jam dengan standar deviasi 28 jam (10- 66 jam) dan standar error 2,968. Hasil uji statistik nilai P value = 0,000 (< 0,05), berarti terdapat hubungan yang bermakna antara nyeri post operasi dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012. Berarti semakin tinggi nyeri yang dialami ibu post partum seksio sesarea maka semakin lambat pengeluaran ASI nya. Menurut Saleha (2009). Apabila bayi disusui, maka gerakan yang menghisap akan berirama yang akan menghasilkan rangsangan saraf yang terdapat didalam glandula pitutiari posterior. Akibat rangsang reflex ini ialah dikeluarkannya oksitosin dan pitutiari posterior. Hal ini akan menyebabkan sel-sel miopitel disekitar alveoli akan berkontraksi dan mendorong air susu masuk ke dalam pembuluh darah ampulae. Refleks ini dapat dihambat oleh adanya rasa sakit, misalnya jahitan luka operasi. Dengan demikian, penting untuk menempatkan ibu dalam posisi yang nyaman,santai dan bebas dari rasa sakit terutama pada jam-jam menyusukan bayi. 3. Hubungan mobilisasi dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea Mobilisasi merupakan variabel independen berupa data kategorik yaitu pasif dan aktif menggunakan skala ukur ordinal, sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel dependen dengan data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena itu menggunakan analisa data Uji T-Test Independent. Tabel 5.9 Analisis hubungan mobilisasi dengan pengeluaran ASI (jam) pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)
Variabel N Pengeluaran ASI(jam) post operasi P Value Mean SD SE Mobilisasi Aktif 40 18,68 21,62 3,42 0,000 Pasif 50 53,68 22,62 3,20
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat rata-rata percepatan pengeluaran ASI pada ibu post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati yang melakukan mobilisasi aktif adalah 18 jam dengan standar deviasi 21 jam, standar error 3,42, sedangkan rata-rata percepatan pengeluaran ASI dengan mobilisasi pasif yaitu 53 jam dengan standar deviasi 22 jam dan standar error 3,20. Hasil uji statistik nilai P value =0,000 (<0,05), berarti ada hubungan yang bermakna antara mobilisasi dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa ibu post partum seksio sesarea yang melakukan mobilisasi aktif, pengeluaran ASInya lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang melakukan mobilisasi pasif. Cunningham (2005) menyatakan bahwa ambulasi pada sebagian besar kasus, pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawat dapat bangun dari tempat tidur sebentar- bentar sekurang-kurangnya 2 kali. Ambulasi dapat ditentukan waktunya sedemikian rupa sehingga preparat analgesik yang baru saja diberikan akan mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua, pasien dapat berjalan kekamar mandi dengan pertolongan. Dengan ambulasi dini, trombosis vena dan emboli pulmoner menerapkan peristiwa yang jarang terjadi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Carpenito (2000) bahwa mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologi. Dengan melakukan mobilisasi dini membantu mempercepat pengeluaran ASI secara fisiologis dan dapat melakukan persiapan untuk memperlancar pengeluaran ASI. Menurut Saleha (2009) persiapan yang dilakukan untuk memperlancar pengeluaran ASI yaitu (1) membersihkan putting susu dengan air atau minyak, sehingga epitel yang lepas tidak menumpuk. (2) puting susu ditarik setiap mandi, sehingga menonjol untuk memudahkan isapan bayi, dan bila putting susu belum menonjol, dapat menggunakan pompa susu atau menggunakan jarum suntik yang dipotong ujungnya. 4. Hubungan rooming in dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea Rooming in merupakan variabel independen berupa data kategorik yaitu intermiten dan kontinu menggunakan skala ukur ordinal, sedangkan pengeluaran ASI merupakan variabel dependen dengan data numerik menggunakan skala ukur rasio, karena itu menggunakan analisa data Uji T-Test Independent. Tabel 5.10 Analisis hubungan rooming in dengan pengeluaran ASI ( jam) pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012 (n=90)
Variabel N Pengeluaran ASI(jam) P Value Mean SD SE Rooming in Kontinu 37 23,54 25,29 4,16 0,000 Intermitten 53 48,30 25,63 3,52
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat rata-rata percepatan pengeluaran ASI pada ibu post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati yang melakukan rooming in kontinu adalah 23 jam dengan standar deviasi 25 jam, standar error 4,16, sedangkan rata-rata percepatan pengeluaran ASI dengan rooming in intermitten yaitu 48 jam dengan standar deviasi 25 jam dan standar error 3,52. Hasil uji statistik nilai P value =0,000 (<0,05), berarti ada hubungan yang bermakna antara rooming in dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea di RSIA Buah Hati Tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa ibu post partum seksio sesarea yang melakukan rooming in kontinu, pengeluaran ASInya lebih cepat dibandingkan dengan ibu yang melakukan rooming in intermitten. Riset terakhir menunjukkan bahwa jika tidak ada masalah medis, tidak ada alasan untuk memisahkan ibu dari bayinya, meskipun sesaat (Yamauchi and Yamanouchi 1990; Buranasin 1991; Oslislo and Kaminski 2000). Bahkan makin seringnya ibu melakukan kontak fisik langsung (skin-to-skin contact) dengan bayi akan membantu menstimulasi hormon prolaktin dalam memproduksi ASI (Hurst 1997). Karena itu pada tahun 2005, American Academy of Pediatrics (AAP) mengeluarkan kebijakan agar ibu dapat terus bersama bayinya di ruangan yang sama dan mendorong ibu untuk segera menyusui bayinya kapanpun sang bayi menginginkannya. Semua kondisi tersebut akan membantu kelancaran dari produksi ASI. Menurut Soetjiningsih, 1997. Keuntungan rawat gabung: menggalakan pemakaian ASI, kontak emosi ibu dan bayi lebih dini dan lebih rapat, Ibu dapat segera melaporkan keadaan-keadan bayi yang aneh ditemuinya, Ibu dapat belajar cara merawat bayi, mengurangi ketergantungan ibu pada perawat/bidan dan membangkitkan kepercayaan diri yang lebih besar dalam perawatan bayi, dapat tukar pengalaman dengan ibu-ibu lain, termasuk juga dapat menimbulkan motivasi penggunaan KB, berkurangnya infeksi silang dan berkurangnya infeksi nosokomial, mengurangi beban perawatan terutama dalam pengawasan sehingga paramedis bisa melakukan pekerjaan lain yang bermanfaat misalnya penyuluhan serta cara-cara perawatan payudara dan cara perawatan bayi. Kebijakan Mutu RSIA Buah Hati sebagai rumah sakit yang mendukung program nasionanl SAYANG IBU, SAYANG BAYI mengusung program IMD( Inisiasi Menyusui Dini) dan Rooming In (rawat bersama ibu dan bayi). Program ini adalah salah satu bentuk keperdulian RSIA Buah Hati kepada bayi untuk mendapatkan ASI pada awal kehidupannya. Tetapi tidak semua pasien menyadari betapa pentingnya rooming in sehingga rata-rata pasien di RSIA Buah Hati melakukan rooming intermitten dikarenakan ingin istirahat setelah menjalani persalinan post seksio sesarea. V.4 Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti masih menemukan keterbatasan- keterbatasan dalam melakukan penelitian sebagai berikut : 1. Keterbatasan Responden dan Waktu Penelitian Selama penelitian responden yang melakukan persalinan seksio sesarea di RSIA Buah Hati terdapat 90 responden, dimana respoden ini terdapat pasien yang ODC (One Day Care) sedangkan kriteria inklusinya yaitu 36 jam post seksio sesarea sehingga peneliti meminta bantuan kepada bidan yang merujuk pasien tersebut untuk mengisi kuesioner yang di berikan oleh peneliti setelah pasien 36 jam post seksio sesarea beserta hasil obsevasinya sesuai dengan point yang diperlukan peneliti. Data dalam penelitian ini adalah dengan mengisi kuisioner dan lembar observasi, karena pada responden waktu post seksio sesarea yang berdeda-beda dan keterbatasan waktu peneliti, maka bantuan perawat atau bidan setempat diperlukan untuk memberikan kuisioner dan mengisi lembar observasi sesuai point yang diperlukan peneliti. Pengumpulan data ini dilakukan selama 4 minggu, karena melihat dari komposisi pasien yang datang sebelumnya, maka dalam waktu 4 minggu sudah dapat memenuhi jumlah sampel.
2. Keterbatasan Desain Penelitian Desain penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan cross sectional. Hal ini berarti pengukuran terhadap variabel independent dan variabel dependent dilakukan secara bersama sehingga hasil penelitian tidak menujukkan sebab akibat. Dalam penelitian ini, pengukuran yang dilakukan peneliti adalah dengan kuisioner dan observasi terstruktur. Dalam penelitian ini peneliti lebih cermat mendefinisikan apa yang akan di observasi melalui suatu perencanaan yang matang. Peneliti tidak hanya mengobservasi fakta- fakta yanng ada pada subjek, tetapi lebih didasarkan pada perencanaan penelitian yang sudah disusun sesuai pengelompokannya, pencatatan, pemberian kode terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan
3. Keterbatasan kuesioner Dalam pembuatan kuesioner penelitian tentang analisis faktor- faktor yang berhubungan dengan pengeluaran ASI pada post partum seksio sesarea, peneliti belum menemukan standar baku instrumen variabel tersebut sehingga instrumen tersebut di buat berdasarkan pemahaman dan pengalaman dari peneliti dengan mengacu pada sumber-sumber yang relevan tetapi tentunya sebagai peneliti pemula masih terbatas dengan penetahuannya.